ringkasan peb
DESCRIPTION
semangat yaTRANSCRIPT
EKLAMPSIA
Etiologi / Patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini
sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima
untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit
pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat
mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester
satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi
dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan
terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan
penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia
Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola
hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau
eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih sering
dijumpai pada penderita preeklampsia dan eklampsia.
Terminologi
Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90
mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria
diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah
harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg digunakan sebagai
pedoman.
Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang
bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia juga
disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada wanita yang
mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan dengan pre
eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi – komplikasi yang terjadi
pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978 – 1998 di sebuah rumah sakit di
Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit neurologis (7 %), pneumonia aspirasi
(7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan kematian
maternal (1 %)
Gambaran Klinis Eklampsia
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia digolongkan menjadi
kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung saat kejadiannya sebelum
persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Tanpa memandang waktu dari onset
kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah
wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang
menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang
akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,
otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi
secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang begitu hebatnya
sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.
Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot – otot rahang. Fase ini dapat
berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin
lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tidak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa detik
penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita bernafas
panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan
baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari
kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma
setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya
segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus – kasus yang berat,
keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat
pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat
diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50
kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan
keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan
pada susunan saraf pusat.
Komplikasi
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang
sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output
akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan
edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila
keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit
vaskuler kronis.
Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena pneumonia
aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita
muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis,
sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan.
Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau beberapa
saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila perdarahan otak
tersebut tidak fatal maka penderita dapat mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih
sering didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus
yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous
malformation.
Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan kebutaan dengan variasi
tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah
terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis.
Prognosis penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan
pulih dalam waktu 1 minggu.
Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat bahkan
koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri yang luas.
Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat herniasi uncus trans
tentorial.
Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis, penderita berubah
menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari sampai sampai 2 minggu namun
prognosis penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat kelainan psikosis
sebelumnya. Pemberian obat – obat antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan
secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini.
Diagnosis Diferensial
Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang selalu didiagnosis sebagai
eklampsia. Hal ini karena diagnosis diferensial keadaan ini seperti, epilepsi, ensefalitis,
meningitis, tumor otak serta pecahnya aneurisma otak memberikan gambaran serupa dengan
eklampsia. Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami kejang harus didiagnosis sebagai
eklampsia sampai terbukti bukan
Prognosis
Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan paling
berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian akibat
eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase
10 % - 15 %. Antara tahun 1991 – 1997 kira – kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika
Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai
keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil.
Manajemen
Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital dan
rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk melaporkan
hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip –
prinsip dasar pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita
2. Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing, Circulation
3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat
diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara loading
dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk
menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan
yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105
mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.
5. Koreksi hipoksemia dan asidosis
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada
kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan.
Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.
7. Terminasi kehamilan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan eklampsia
yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia,
berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.
A. Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang - kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.
- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena
2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan
nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam
sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah
diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%.
Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat dan
mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
4. Perawatan pada serangan kejang :
Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari fraktur.
Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).
5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “.
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan
iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda intoksikasi MgSO4.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian
Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
B. Pengobatan Obstetrik :
1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin.
2. Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme ibu,
yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
Setelah kejang terakhir.
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.
Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.
PREEKLAMPSIA
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan penyakit dalam kehamilan yang ditandai dengan gejala
hipertensi, edema dan proteinuria. Eklampsia merupakan kegawat-daruratan obstetri yang
morbiditas dan mortalitasnya tinggi bagi ibu dan bayinya. Insidens preeklampsia adalah 7-10
% dari kehamilan dan merupakan penyebab kematian ibu nomor dua di Indonesia.
Preeklampsia juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan kematian janin
dalam kandungan.
A. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia merupakan sindroma spesifik-kehamilan berupa penurunan perfusi pada
organ-organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah dan proteinuria (William, 2005)
Preeklamsi merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan trias: hipertensi, edema
dan proteinuria yang terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu sampai segera setelah
persalinan. (Rustam Mochtar, 1998; B. Taber, 1994; Cunningham et. at. 1989; Budiono W. et.
at. 1997)
B. Faktor Risiko Preeklampsia
1) Riwayat preeklampsia
Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat keluarga dengan
preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia.
2) Primigravida
Pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking antibodies) belum
sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia. Perkembangan
preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan kehamilan dengan umur
yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua.
3) Kegemukan
4) Kehamilan ganda.
Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi kembar atau lebih.
5) Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu sebelumnya, memiliki risiko terjadinya
preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi hipertensi kronik, diabetes, atau penyakit ginjal.
C. Patofisiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori yang
dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori
tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori- teori yang saat ini banyak dianut adalah :
1) Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan ototnya tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2) Teori Radikal Bebas
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas).
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang
sangat toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil
akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel.
3) Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Maka,
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Akibatnya, lapisan ototnya tetap kaku dan
keras sehingga lumen arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
4) Teori Genetik
Preeklampsia meningkat pada anak dari ibu yang memiliki riwayat menderita preeklampsia.
5) Teori Defisiensi Gizi
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, dapat mengurangi risiko
preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah.
D. Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada
sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia.
Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap
berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan
vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal
dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan
proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan
peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume
intavaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.
Peningkatan hemolisis mikroangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark
plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan
kematian janin dalam rahim.
E. Diagnosis Preeklampsia
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi 2
golongan yaitu:
1)Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a) Tekanan darah ≥140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat
tekanan darah normal.
b) Proteinuria kuantitatif > 300 mg/24 jam atau kualitatif dipstik : 1+ atau 2+ pada urine
kateter atau midstearm.
c) Edem : lokal pada tungkai tidak digunakan dalam kriteria diagnostik kecuali anasarka.
2)Preeklampsia berat, bila disertai salah satu atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut:
a) Tekanan darah ≥160/110 mmHg.
b) Proteinuria ≥ 5 gr/jumlah urin dalam 24 jam atau kualitatif dipstik: 3+ atau 4+
c) Oligouria, yaitu jumlah urine < 400 cc/ 24 jam.
d) Kenaikan kreatinin serum
e) Terdapat edema paru dan sianosis
f) Adanya gangguan serebral, nyeri kepala dan gangguan penglihatan
g) Rasa nyeri di epigastrium dan kuadran kanan atas abdomen
h) Hemolisis mikroangiopatik
i) Gangguan fungsi hepar
j) Trombositopenia
Pembagian preeklampsia berat:
a. preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
b. preeklampsia berat dengan impending eklmpsia (nyeri kepala, mata kabur, mual
muntah, nyeri epigastrium).’
F. DIAGNOSIS BANDING
Hipertensi Proteinuri Onset
Preeklamsia Ringan + (≥140/90) + (> 300 mg/24
jam atau kualitatif
dipstik : 1+
>20 minggu
gestasi
Preeklamsia Berat + (≥160/110) Proteinuria ≥ 5
gr/jumlah urin
dalam 24 jam atau
kualitatif dipstik:
3+ atau 4+
>20 minggu
gestasi
Eklamsia
(Preeklamsia yang
disertai kejang dan
atau koma)
+ + >20 minggu
gestasi
Hipertensi Kronis + - <20 minggu
gestasi / sebelum
hamil dan
menetap sampai
12 minggu pasca
persalinan
Superimposed
Preeklamsia
+ + <20 minggu
gestasi/ sebelum
hamil dan
menetap sampai
12 minggu pasca
persalinan
Hipertensi
Gestasional
+ - < 20 minggu
G. Komplikasi
Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada preeklamsia berat dan eklampsia:
Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi
pada preeklampsia.
Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan
kadar fibrinogen secara berkala.
Hemolisis
Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis
yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan
kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering
ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat
terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat
akan terjadi apopleksia serebri.
Edema paru-paru
Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklampsia merupakan akibat vasospasme
arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga dapat
ditemukan pada penyakit lain.Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan
faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan lowplatelet.
Merupakan sindrom gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler
(peningkatan enzim hati [SGPT, SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual,
muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc),
agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan tromboksan
(vasokonstriktor kuat), lisosom.
Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat
timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin
H. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan
Pengelolaan preeklampsia ringan dapat secara :
Rawat jalan (ambulatoir)
1. Mengurangi aktivitas sehari-hari
2. Tidak perlu diet khusus
3. Vitamin prenatal
4. Tidak perlu mengurangi konsumsi garam
5. Tidak perlu pemberian diuretik, antihipertensi dan sedativa
6. Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu
Rawat inap (hospitalisasi)
1. hipertensi yang menetap selama > 2 minggu
2. proteinuria menetap selama > 2 minggu
3. hasil tes laboratorium yang abnormal
4. adanya gejala atau tanda 1 atau lebih preeklampsia berat
Sikap terhadap kehamilanya:
- Bila usia kehamilan <37 minggu, tekanan darah mencapai normotensif selama
perawatan, kehamilannya ditunggu sampai aterm.
- Bila usia kehamilan >37 minggu, persalinan dituggu sampai onset persalinan
atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran
tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu
memperingan kala II.
b. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
Dasar pengelolaan preeklampsia berat :
1. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya, yaitu terapi
medikamentosa.
2. Kedua baru menentukan sikap terhadap kehamilannya :
a. Ekspektatif, konsevatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa.
b. Aktif, agresif : bila umur kehamilan ≥ 37 minggu, akhiri kehamilan
setelah mendapatkan terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Pemberian terapi medikamentosa
a. Segera masuk RS.
b. Tirah baring miring ke kiri secara intermitten.
c. Infus RL atau D5%.
d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
e. Antihipertensi.
Diberikan bila TD ≥ 180/110. Obat yang diberikan adalah nifedipine
10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, dosis maksimal 120 mg
dalam 24 jam.
f. Diuretik tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena:
1. Memperberat penurunan perfusi plasenta
2. Memperberat hipovolemia
Diuretik baru diberikan jika terdapat edema paru, gagal jantung kongstif
atau edema anasarka. Diyretik yang diberikan adalah furosemid.
Sikap terhahap kehamilannya
Konservatif, ekspektatif :
a. Tujuan: mempertahankan kehamilan
b. Indikasi : kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda dan
gejala impending eklampsia.
Aktif,agresif :
a. Tujuan : terminasi kehamilan
b. Bila didapatkan 1 atau lebih keadaan di bawah ini:
Ibu :
1. Kegagalan terapi medikamentosa : setelah 6 jam sejak dimulai
pengobatan tidak terjadi perubahan dan setelah 24 jam sejak
dimulainya pengobatan terjadi kenaikan tekanan darah.
2. Adanya tanda dan gejala impending eklampsia.
3. Gangguan fungsi hepar maupun fungsi ginjal.
4. Dicurigai terjadi solusio plasenta.
5. Timbulnya onset partus.
6. Ketuban pecah dini.
7. Perdarahan.
Janin :
1. IUGR berat berdasarkan pemeriksaan USG
2. NST non reaktif
3. Timbulnya oligohidramnion
4. Adanya tanda fetal distress
Laboratorium
Adanya tandra sindrom HELLP, khususnya menurunyya trombosit dengan
cepat.
I. Perawatan Obstetrik Preeklamsia Ringan
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu-≤37
minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah mencapai
normotensif selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm (>37 minggu).
Sementara itu pada kehamilan aterm (>37 minggu) persalinan ditunggu sampai terjadi
onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada
taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu
memperpendek kala II.