rhino sinusitis

48
Case Report session Rhinosinusitis Kronik ec Rinitis Alergi Oleh : Eldesra Mahyori 03923075 Preceptor : Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 1

Upload: panitisp

Post on 23-Oct-2015

21 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rhino Sinusitis

Case Report session

Rhinosinusitis Kronik ec Rinitis Alergi

Oleh :

Eldesra Mahyori 03923075

Preceptor :

Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT

TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2012

Tinjauan Pustaka

1

Page 2: Rhino Sinusitis

Rhinosinusitis Kronis

Rinosinusitis adalah kondisi yang ditimbulkan oleh respon peradangan yang

mengenai mukosa kavum nasi dan sinus paranasal.

Infeksi saluran nafas atas pada anak lebih sering terjadi dibandingkan orang

dewasa yaitu sekitar 6-8 kali per tahun sedangkan pada orang dewasa 2-3 kali per

tahun.

Faktor predisposisi yang paling umum adalah infeksi saluran nafas atas oleh

virus dan alergi. Sinus yang sering mengalami infeksi pada anak adalah sinus etmoid

dan maksila karena kedua sinus tersebut sudah ada sejak lahir dan berkembang pada

umur 3 tahun.

Komplikasi sinusitis pada anak mencakup pada orbita, intra kranial, paru,

mukokel dan osteomielitis.

Penatalaksanaan lebih sering secara konservatif dengan medika mentosa

empirik dan terapi operatif bila terjadi komplikasi pada sinusitis akut dan pada

sinusitis kronis yang gagal dengan medika mentosa.

Etiologi

Faktor etiologi pada rinosinusitis:

1. Peradangan : infeksi saluran nafas atas dan alergi.

2. Mekanikal : deformitas septum / nasal, obstruksi Kompleks Osteo Meatal

(KOM), konka hipertropi, polip, tumor, adenoid hipertropi, benda asing dan cleft

palate.

3. Sistemik : fibrosis kistik, sindroma Kartagener, imunodefisiensi.

4. Lain-lain : berenang atau menyelam.

Menurut Lanza di kutip oleh Siow Jin Keat, penyebab multi faktor rinosinusitis

yaitu:

1. Faktor penderita.

Genetik / kondisi kongenital (fibrosis kistik dan sindrome immotil silia), alergi /

kondisi imun, anatomi yang abnormal, penyakit sistemik (endokrin & metabolik),

mekanisme saraf, neoplasma.

2. Faktor lingkungan.

Virus / infeksi, trauma, kimia noxiuos dan iatrogenik (obat-obatan dan

pembedahan).

2

Page 3: Rhino Sinusitis

Patofisiologi

Peranan alergi pada sinusitis adalah akibat reaksi anti gen anti bodi yang

menimbulkan pembengkakan mukosa sehingga menimbulkan obstruksi pada ostium

sinus dan menghambat aliran mukus. Selanjutnya terjadi vakum di rongga sinus

sehingga terjadi transudasi cairan ke rongga sinus. Menumpuknya cairan di rongga

sinus merupakan media pertumbuhan bakteri sebagai hasil obstruksi ostium sinus

yang lama. Faktor kelainan anatomi seperti septum deviasi, hipertropi atau paradoksal

konka media dan konka bulosa juga dapat mempengaruhi aliran ostium sinus

Menurut Messerklinger, yang di kutip oleh Kenedy, bila dua lapisan mukosa

yang berdekatan saling kontak karena edema akan terjadi gangguan fungsi silia di

tempat tersebut sehingga terjadi retensi sekret. Kontak mukosa pada kompleks ostio

meatal terjadi pada celah antara prosesus unsinatus dengan konkha media, antara bula

etmoid dan konkha media serta di atas dan belakang bula etmoid. Pada keadaan ini

pertukaran udara atau ventilasi terganggu, perubahan pH sinus akan menurun, oksigen

akan di serap dan mukosa akan mengalami hipoksia dan kematian sel mukosa sinus

yang memudahkan terjadinya infeksi.

Gejala Klinik

Gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan diagnosis rhinosinusitis :

Mayor :

Nyeri wajah / tekanan / kepenuhan

Nasal obstruksi / blockage

Nasal atau postnasal debit / nanah (berdasarkan riwayat atau pemeriksaan fisik)

Hyposmia / anosmia

Demam (dalam rinosinusitis akut saja)

Minor :

Sakit kepala

Demam (selain rhinosinusitis akut)

Halitosis

Fatigue

Nyeri gigi

Batuk

Nyeri telinga/tekanan/rasa penuh

3

Page 4: Rhino Sinusitis

Klasifikasi

Klasifikasi pada Rhinosinusitis Dewasa

Klasifikasi Durasi Anamnesis,

pemeriksaan fisik

Catatan

Akut Sampai empat

minggu

Adanya dua atau

lebih tanda-tanda

dan gejala Mayor,

satu Mayor dan dua

atau lebih tanda-

tanda atau gejala-

gejala ringan, atau

nanah hidung pada

pemeriksaan

Demam atau nyeri

wajah / tekanan bukan

merupakan sejarah

sugestif tanpa adanya

tanda-tanda dan gejala

hidung lainnya.

Pertimbangkan

rinosinusitis bakteri

akut jika gejala

memburuk setelah

lima hari, jika gejala

menetap selama 10

hari atau dengan

gejala keluar dari

proporsi mereka yang

biasanya dikaitkan

dengan infeksi virus

Subakut 4 - <12 minggu Sama Resolusi lengkap

setelah terapi medis

yang efektif.

Akut rekuren Empat atau lebih

episode per tahun

dengan setiap episode

durasinya minimal

tujuh hari, tidak

adanya tanda dan

gejala intervensi

Sama -

Kronik 12 minggu lebih Sama Nyeri wajah / tekanan

bukan merupakan

4

Page 5: Rhino Sinusitis

anamnesis sugestif

tanpa adanya tanda-

tanda dan gejala

hidung lainnya.

Rinosinusitis akut memiliki onset yang relatif cepat, biasanya durasi empat

minggu atau kurang dan gejala benar-benar teratasi. Kebanyakan kasus adalah virus.

Resolusi gejala biasanya terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari, dan kebanyakan

pasien sembuh tanpa intervensi medis. Subkategori rinosinusitis bakteri akut lebih

mungkin untuk berkembang menjadi penyakit kronis atau untuk menyebar ke luar

sinus ke daerah orbital atau meninges. Rinosinusitis bakteri akut disarankan oleh

gejala termasuk drainase purulen yang memburuk setelah lima hari atau berlangsung

lebih dari 10 hari, dan / atau gejala yang tidak proporsional untuk tipe terkait dengan

proses virus pernapasan atas akut Rinosinusitis akut rekuren didefinisikan sebagai

empat atau lebih episode penyakit akut dalam jangka waktu 12 bulan, dengan resolusi

gejala antara setiap episode (setiap episode durasinya minimal tujuh hari ').

Rinosinusitis subakut pada dasarnya adalah sebuah kontinum tingkat rendah infeksi

akut lebih dari empat minggu tetapi kurang dari 12 minggu durasi. Rinosinusitis

kronis dibedakan dengan gejala yang menetap selama 12 minggu atau lebih.

Penatalaksanaan Sinusitis

1. Sinusitis Akut

Tujuan utama terapi sinusitis adalah memuihkan fungsi normal sinus. Terapi

harus mampu meningkatkan drainase dan ventilase sinus. Pada sinusitis akut

bacterial adalah dengan eradikasi kuman agar inflamasi mukosa khususnya di

ostium dan sekitarnya reda sehingga drainase dan ventilasi sinus pulih.

Ini dicapai dengan antibiotik adekuat dan dekongestan.

1.1. Antibiotik lini pertama

Secara empiric dianjurkan pemberian amoxicillin 3x500mg atau

kotrimoksazol 2x480mg. walaupun amoxicillin tidak memiliki

kepekaan terhadap betalaktamase tetapi terbukti masih efektif untuk

sinusitis akut dan perlu dilakukan pemantauan selama 2x24 jam, jika

ada perbaikan antibiotic dilanjutkan selama 5-7 hari.

1.2. Antibiotic lini kedua

5

Page 6: Rhino Sinusitis

Antibiotic lini kedua memiliki kepekaan terhadap betalaktamase yaitu

amoxicillin klafuanat 3x500mg/125 mg atau ampicillin surbaktam atau

cephalosporin generasi kedua seperti cefuroxime 2x250mg cefaclor

3x250mg cefixim 2x400mg dan cefadrin, cefrozil, cefotiam.

Antibiotic alternative adalah makrolid dan linkosamid. Tidak tertutup

untuk memberikan lini kedua ini tanpa lini pertama terlebih dahulu

terhadap serangan akut berulang.

1.3 Jika tidak ada perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen

foto polos/CT scan dan atau naso-endoskopi. Jika ada kelainan, pasien

dapat didioagnosis sebagai sinusitis akut berulang atau kronik dan

penatalaksanaan seperti sinusitis kronik. Jika tidak ada kelainan maka

diagnosis sebaiknya dievaluasi kembali, misalnya dengan melakukan

pemeriksaan alergi secara konferhensif atau pemeriksaan kultur dan

pungsi sinus maksila.

2. Sinusitis Kronik

2.1. Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperi

deviasi

septum, kelainan atau variasi anatomi, polip, kista, jamur, infeksi gigi,

dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan sesuai dengan kelainan

yang

ditemukan.

2.2. jika tidak ditemukan faktor predisposisi diduga kelainan adaah

bacterial yang memerlukan pemberian antibiotic dan pengobatan medik

lainnya.

2.3. Pengobatan antibiotic

Pilihan antibiotic harus yang mencakup betalaktamase seperti pada

terapi sinusitis akut lini kedua yaitu amoxicillin klafuanat atau

ampicillin sulbaktam, cephalosporin generasi kedua, makrolid,

klindamycin. Jika ada perbaikan diteruskan sampai 10-14 hari atau

lebih jika diperlukan.

6

Page 7: Rhino Sinusitis

2.4. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibitotik alternative seperti

ciprofloxacin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika

diduga ada bakteri anaerob dapat diberikan metronidazol.

2.5. Jika dengan antibiotic alternative tidak ada perbaikan maka evaluasi

kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis

dengan

pemberiksaan nasoendoskopi, sinuskopi, lakukan irigasi sinus maksila

sampai 5 kali atau CT Scan jika belum dilakukan. Jika dari hasil

pemeriksaan ditemukan adanya obstruksi KOM, maka penatalaksanaan

selanjutnya adalah operasi.

2.6. Terapi tambahan pada sinusitis kronik

Terapinya berupa dekongestan oral, kortikosteroid oral, dan atau

topical serta mukolitik. Antihistamin dan imunoterapi dapat

dipertimbangkan pada pasien atopi. Dengan obat ini diharapkan

inflamasi dan udem menjadi reda, osteomeatal terbuka, pertukaran gas

meningkat dan silia aktif kembali.

Pengobatan diatermi, Proetz displacement therapy atau irigasi sinus

dapat dilakukan sebagai penunjang.

Diatermi adalah terapi untuk memperbaiki sirkulasi pembuluh darah

sehingga antibiotic dapat berpenetrasi dengan baik, sedangkan

tindakan Proetz dan irigasi berguna untuk membersihkan rongga sinus

dari materi purulen.

Penatalaksanaan

Tujuan umum terapi untuk pasien dengan rinosinusitis bakteri untuk

mengendalikan infeksi, mengurangi edema jaringan dan sebaliknya obstruksi sinus

ostial sehingga mucopus dapat mengalir. Mempertahankan hidrasi pasien dengan

asupan cairan yang cukup, ditambah dengan menggunakan semprotan hidung saline

seperti yang diinginkan, dianjurkan.Meskipun hasil studi hanya sugestif, beberapa

7

Page 8: Rhino Sinusitis

studi menggunakan mukolitik (kalium iodida jenuh [SSKI] solusi, guaifenesin), dan

yang paling disukai penggunaan dekongestan oral (pseudoefedrin [Sudafed]), untuk

pasien dengan hidung parah/ sinus obstruksi. Hal ini dapat dilengkapi dengan

penambahan dekongestan topikal (misalnya, phenylephrine, oxymetazoline) selama

tiga sampai lima hari. Antibiotik oral direkomendasikan untuk tujuh sampai 14 hari

pada pasien yang akut, rinosinusitis akut atau subakut bakteri berulang. Antibiotik

dilabeli oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan pasien dengan

rinosinusitis akut termasuk amoksisilin-klavulanat kalium (Augmentin) dan sebagian

besar sefalosporin generasi baru, makrolida dan fluoroquinolones.

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi

septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,

kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan

yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.

Medikamentosa

Antibiotika

Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai

terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi

sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam,

sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik

diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.

Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti

siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada

bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol.

Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali

apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan

nasoendoskopi maupun CT-Scan.

Terapi Medik Tambahan

Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi

antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung

dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,

meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.

8

Page 9: Rhino Sinusitis

Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena

efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan

hati-hati.

Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan

hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama

(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.

Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari

50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga

kemungkinan imunoterapi.

Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang

tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,

fexofenadine dan loratadine.

Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan

kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin,

sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan

perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.

Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-

alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan

pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.

Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi

singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat

oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan

hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.

Penatalaksanaan Operatif

Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan

optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.

Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc,

trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat

dilaksanakan.

Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan

ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya pengetahuan

patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional

misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan

9

Page 10: Rhino Sinusitis

meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus

medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam

bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif

yang lebih efektif dan fungsional.

Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang

sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya

kelainan patologi dirongga-rongga sinus. Jaringan patologik yang diangkat tanpa

melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar.

Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi

dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.

Rinitis Alergi

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-

bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE.

Etiologi

10

Page 11: Rhino Sinusitis

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang

secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas

memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak

semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih

besar atau mencapai 50 %.

Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh

lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki

kecenderungan alergi.

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama

udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur,

serbuk sari, dan lain-lain.

Patofisiologi

Sensitisasi

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses

sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan

tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini

menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang

menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II

membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas

II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini

akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2

akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan

lainnya.

IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B

menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan

terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator.

Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.

Reaksi Alergi Fase Cepat

Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan

alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin,

tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin.

Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan

11

Page 12: Rhino Sinusitis

dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema,

berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung

tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan

sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa

gatal pada hidung dan bersin-bersin.

Reaksi Alergi Fase Lambat

Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini

disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel

postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule

(VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel

pada sel endotel.

Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,

limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini

kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic

Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein

(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas

dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih

didominasi oleh sumbatan hidung.

Klasifikasi

Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat

berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:

Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di

atas.

Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

12

Page 13: Rhino Sinusitis

1. Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung

tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul,

menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon

terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi

seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada

mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga

merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu

bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa

garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat

hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).

Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat

atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga

dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala

hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau

penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5

sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil

dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST

(Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent

Test).

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit

yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit

gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick

test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan

pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen

inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat

13

Page 14: Rhino Sinusitis

mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis

inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung

dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan,

dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative

Food Test (IPFT).

Penatalaksanaan

Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:

Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan

ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.

Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE pada

permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan

imunoterapi.

Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjut

reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini

dinetralisir dengan obat – obatan antihistamin yang secara kompetitif

memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.

Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya

gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau

lokal.

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:

Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan

imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi

komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.

Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini

terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang

mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan

laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI

eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk

mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

14

Page 15: Rhino Sinusitis

2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa

asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal

berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran

terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji

kulit.

3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit

alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

Tonsilitis Kronis

Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan yang

menahun dari rokok ataupun jenis makanan tertentu, hygiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.

Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang-kadang kuman

berubah menjadi kuman golongan gram negative.

Patologi

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga

epitel jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid

diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti

tampak melebar. Secara klinis kripti ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus

sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan

jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar limfa submandibula.

Gejala dan Tanda

Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan

beberapa kripti terisi oleh detritus.

15

Page 16: Rhino Sinusitis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut

yang berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan

(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan

bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang

mungkin tampak, yakni :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan

sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau

seperti keju.

2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti

terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang

melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

Gambar 4. Ukuran tonsil

Ukuran tonsil dibagi menjadi :

T0 : Post tonsilektomi

T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris

T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar

posterior)

T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median

T4 : Sudah melewati garis median

Diagnosis

1. Anamnesis

16

Page 17: Rhino Sinusitis

Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus

menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam

dan nyeri pada leher.

2. Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian

kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-

kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju

atau dempul amat banyak terlihat pada kripta.

Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.

Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan berbagai derajat

keganasan, seperti Streptokokus beta hemolitikus grup A, Streptokokus viridans,

Stafilokokus, atau Pneumokokus.

Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.

Komplikasi

Tonsillitis kronis dapat menyebabkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis

kronis, sinusitis, atau otitis media secara perkontinoitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul

endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosinklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkulosis.

Tonnsilektomi dilakukan jika terjadi infeksi berulang, gejala sumbatan jalan nafas,

dan kecurigaan neoplasma.

Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah :

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis.

2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.

3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat

badan penyerta.

4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).

5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan

sekitarnya.

17

Page 18: Rhino Sinusitis

Indikasi relatif

Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi adalah relatif. Indikasi yang paling

sering adalah episode berulang infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A.

Indikasi tonsilektomi yang paling dapat diterima pada anak-anak adalah :

1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan

penatalaksanaan medis yang adekuat).

2. Tonsillitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan

patogenik (keadaan karier).

3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya penelanan).

4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap 6 bulan setelah infeksi

mononucleosis (biasanya pada dewasa muda).

5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan

dengan tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotic yang buruk.

6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap

penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).

7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial

dan gigi-geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.

8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal

persisten.

Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah :

1. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang.

2. Infeksi sistemik atau kronis.

3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.

4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.

5. Rhinitis alergika.

6. Asma.

7. Diskrasia darah.

18

Page 19: Rhino Sinusitis

8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.

9. Tonus otot yang lemah.

10. Sinusitis.

11.

Deviasi Septum

Bentuk septum normal adalah lurus ditengah rongga hidung, tetapi pada orang

dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah.Deviasi septum

yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bia deviasi cukup berat,

menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat

mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

Etiologi

Penyebab paling sering adalah trauma.Trauma dapat terjadi sesudah lahir,

pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterine. Penyebab lain adalah

ketidak seimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun

batas superior dan inferior telah menetap.

Bentuk Deformitas

Bentuk deformitas septum ialah :

1. Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S,

2. Dislokasi, yaitu bagian bawah kartilagoseptum keluar dari kista maksila dan

masuk ke dalam rongga hidung,

3. Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke

belakang disebut Krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina,

4. Bila deviasi atau Krista septum bertemu dan melekat dengan konka

dihadapannya disebut sinekia.

Gejala Klinik

Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah sumbatan hidung.

Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka

hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya konka yang hipertrofi, sebagai akibat

mekanisme kompensasi.

Keluhan lainnya ialah rasa nyeri dikepala dan di sekitar mata. Selain dari itu

penciuman bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviai

19

Page 20: Rhino Sinusitis

septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi

terjadinya sinusitis.

Terapi

Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan

tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada

pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.

Reseksi submukosa, pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium

kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang

rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan

mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu digaris tengah.

Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung

pelana (saddle nose) akibat trunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang

rawan septum terlalu banyak diangkat.

Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok

di reposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi

ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa

seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.

20

Page 21: Rhino Sinusitis

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Defnizal

MR : 723808

Umur : 18 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Perum Dep-kes, Jl.Kesehatan blok C 2 no 80 Ulu

Gadut Padang.

Suku bangsa : Minangkabau

Tanggal pemeriksaan : 7 Maret 2012

ANAMNESIS

Seorang pasien laki-laki berumur 18 tahun ke poli THT RS Dr M Djamil Padang pada

tanggal 7 Maret 2012 dengan

Keluhan Utama : Cairan terasa mengalir ke tenggorok sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

♦ Cairan terasa mengalir sejak 1 bulan yang lalu, cairan dirasakan kental.

♦ Ingus yang keluar kental dan berwarna kuning kehijauan, ingus tidak disertai

darah.

♦ Pilek dirasakan sepanjang hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari.

♦ Hidung kiri dirasakan tersumbat (+), hilang timbul sejak 1 bulan ini.

♦ Penciuman dirasakan berkurang (+) sejak 1 bulan ini.

♦ Nyeri pada wajah tidak ada, nyeri kepala tidak ada.

♦ Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali terutama saat terkena debu dan dingin.

Keluhan ini dirasakan meningkat sejak 1 bulan yang lalu. Bersin-bersin

meningkat pada cuaca dingin.

♦ Pasien merasakan hidungnya tersumbat. Hidung tersumbat dirasakan sejak 3

bulan yang lalu, pada kedua lubang hidung, bergantian kanan dan kiri, tidak

meningkat.

21

Page 22: Rhino Sinusitis

♦ Nyeri menelan berulang sejak 5 tahun ini, nyeri dirasakan lebih dari 3 kali

dalam setahun.

♦ Riwayat sering batuk pilek (+).

♦ Riwayat tidur mengorok (+) sudah lama dirasakan.

♦ Riwayat terbangun malam hari ketika tidur (+).

♦ Riwayat sering mengantuk pada pagi dan siang hari (+).

♦ Riwayat demam tidak ada.

♦ Riwayat trauma pada hidung tidak ada.

♦ Riwayat operasi pada bagian telinga, hidung, maupun tenggorokan tidak ada.

♦ Riwayat merokok tidak ada.

♦ Riwayat keluar darah dari hidung tidak ada.

♦ Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada.

♦ Riwayat gangguan pendengaran tidak ada.

♦ Riwayat telinga berdenging tidak ada.

♦ Riwayat sakit gigi tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :

♦ Riwayat sakit seperti ini tidak ada.

♦ Riwayat mata berair dan gatal saat cuaca dingin dan bila terkena debu ada.

♦ Riwayat nafas menciut pagi hari tidak ada.

♦ Riwayat alergi makanan tertentu ada.

♦ Riwayat alergi obat tidak ada.

Riwayat penyakit keluarga :

♦ Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini.

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :

♦ Pasien seorang pelajar SMA

♦ .

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

22

Page 23: Rhino Sinusitis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis cooperatif

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Frekuensi nadi : 91 x/menit

Frekuensi nafas : 18 x/menit

Suhu : 37 0C

Pemeriksaan Sistemik

Kepala : normocephal, rambut tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : tidak teraba pembesaran KGB

Paru

Inspeksi : simetris kiri, kanan statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor kiri = kanan

Auskultasi : suara nafas vesikuler normal, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : ictus tidak terlihat

Palpasi : ictus terba 2 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (–)

Abdomen

Inspeksi : tak tampak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : tympani

Auskultasi : bising usus + normal

Extremitas : perfusi baik, oedem -/-

Status Lokalis THT

Telinga

23

Page 24: Rhino Sinusitis

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Daun telinga

Kel kongenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada

Dinding liang

telinga

Cukup lapang (N) Cukup lapang (N) Cukup lapang

(N)

Sempit Tidak Tidak

Hiperemi Sedikit (minimal) Tidak ada

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret/serumen

Ada / Tidak Ada Ada

Bau Tidak ada Tidak ada

Warna Kekuningan Kekunigan

Jumlah Minimal Minimal

Jenis Tidak ada Tidak ada

Membran timpani

Utuh

Warna Putih mengkilat Putih mengkilat

Reflek cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Bulging Tidak ada Tidak ada

Retraksi Tidak ada Tidak ada

Atrofi Tidak ada Tidak ada

Perforasi

Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada

Jenis Tidak ada Tidak ada

Kwadran Tidak ada Tidak ada

Pinggir Tidak ada Tidak ada

Gambar

24

Page 25: Rhino Sinusitis

Mastoid

Tanda radang Tidak ada Tidak ada

Fistel Tidak ada Tidak ada

Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tes garpu tala

Rinne ( + ) ( + )

Schwabach Sama dengan

pemeriksa

Sama dengan

pemeriksa

Weber Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan Telinga N Telinga N

Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dektra Sinistra

Hidung luar

Deformitas Tidak ada Tidak ada

Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus paranasal

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Nyeri ketok Ada (pada sinus maxillaris) Ada (pada sinus maxillaris)

Rinoskopi Anterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Vestibulum Vibrise Ada Ada

Radang Tidak ada Tidak ada

25

Page 26: Rhino Sinusitis

Cavum nasi

Cukup lapang (N)

Sempit

Lapang

Sempit Lapang

Sekret

Lokasi Dasar kavum nasi Dasar kavum

nasi

Jenis Mukopurulen Mukopurulen

Jumlah Sedikit Sedikit

Bau TIdak Tidak

Konka inferior Ukuran Sempit Hipertrofi

Warna Pucat Pucat

Permukaan Licin Licin

Edema Tidak ada Tidak ada

Konka media Ukuran Sukar dinilai Sukar dinilai

Warna Sukar dinilai Sukar dinilai

Permukaan Sukar dinilai Sukar dinilai

Edema Sukar dinilai Sukar dinilai

Septum

Cukup

lurus/deviasi

Deviasi Cukup lurus

Permukaan Licin Licin

Warna Merah muda Merah muda

Spina Ada Ada

Krista Tidak ada Tidak ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Perforasi Tidak ada Tidak ada

Massa

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Bentuk Tidak ada Tidak ada

Ukuran Tidak ada Tidak ada

Permukaan Tidak ada Tidak ada

Warna Tidak ada Tidak ada

Konsistensi Tidak ada Tidak ada

Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada

26

Page 27: Rhino Sinusitis

Pengaruh

vasokonstriktor

Tidak ada Tidak ada

Gambar

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Koana

Cukup lapang (N)

Sempit

Lapang

Cukup lapang Cukup lapang

Mukosa

Warna Merah muda Merah muda

Edem Tidak ada Tidak ada

Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada

Konka inferior

Ukuran Hipertrofi Hipertrofi

Warna Pucat Pucat

Permukaan Rata Rata

Edem Tidak ada Tidak ada

Adenoid Ada/tidak Tidak ada Tidak ada

Muara tuba

eustachius

Tertutup sekret Ada Ada

Edem mukosa Tidak ada Tidak ada

Massa

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Ukuran Tidak ada Tidak ada

Bentuk Tidak ada Tidak ada

Permukaan Tidak ada Tidak ada

Post Nasal Drip Ada/tidak Ada Ada

Jenis Mukopurulen Mukopurulen

27

Page 28: Rhino Sinusitis

Gambar

Orofaring dan mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Palatum mole +

Arkus Faring

Simetris/tidak Simetris Simetris

Warna Merah muda Merah muda

Edem Tidak ada Tidak ada

Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada

Dinding faring Warna Kemerahan Kemerahan

Permukaan Tidak rata Tidak rata

Tonsil

Ukuran T3 T3

Warna Hiperemis Hiperemis

Permukaan berbenjol berbenjol

Muara kripti Melebar Melebar

Detritus Ada Ada

Eksudat Tidak ada Tidak ada

Perlengketan

dengan pilarTidak ada Tidak ada

Peritonsil

Warna Hiperemis Hiperemis

Edema Tidak ada Tidak ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Tumor

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Bentuk Tidak ada Tidak ada

Ukuran Tidak ada Tidak ada

Permukaan Tidak ada Tidak ada

Konsistensi Tidak ada Tidak ada

Gigi Karies/Radiks M3 atas PM3 bawah

Kesan

Lidah

Warna Merah muda Merah muda

Bentuk Normal Normal

Deviasi Tidak ada Tidak ada

28

Page 29: Rhino Sinusitis

Massa Tidak ada Tidak ada

Gambar

Laringiskopi Indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Epiglotis

Bentuk N N

Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Pinggir rata/tidak Rata Rata

Massa Tidak ada Tidak ada

Ariteniod

Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Gerakan Simetris Simetris

Ventrikular band

Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Plica vokalis

Warna Merah muda Merah muda

Gerakan Simetris Simetris

Pingir medial Rata Rata

Massa Tidak ada Tidak ada

Subglotis/trakea Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret Tidak ada Tidak ada

Sinus piriformis Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret Tidak ada Tidak ada

Valekula Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret ( jenisnya ) Tidak ada Tidak ada

Gambar

29

Page 30: Rhino Sinusitis

Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher : tidak ada pembesaran KGB

Inspeksi : tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening di leher

Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di leher.

RESUME

1. Anamnesis

o Cairan dirasakan mengalir ke tnggorok sejak 1 bulan ini, dirasakan kental,

ingus yang keluar kental dan berwarna kuning kehijauan. Ingus tidak disertai

darah. Pilek dirasakan sepanjang hari. Pilek mengganggu aktivitas sehari-hari.

o Pasien mengeluhkan bersin-bersin. Keluhan ini dirasakan meningkat sejak 1

bulan yang lalu. Bersin-bersin meningkat pada cuaca dingin.

o Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali terutama saat terkena debu dan dingin.

Keluhan ini dirasakan meningkat sejak 1 bulan yang lalu. Bersin-bersin

meningkat pada cuaca dingin.

o Pasien merasakan hidungnya tersumbat. Hidung tersumbat dirasakan sejak 3

bulan yang lalu, pada kedua lubang hidung, bergantian kanan dan kiri, tidak

meningkat.

o Nyeri menelan berulang sejak 5 tahun ini, nyeri dirasakan lebih dari 3 kali

dalam setahun.

o Riwayat sering batuk pilek (+).

o Riwayat tidur mengorok (+) sudah lama dirasakan.

o Riwayat terbangun malam hari ketika tidur (+).

o Riwayat sering mengantuk pada pagi dan siang hari (+).

2. Pemeriksaan fisik

Rinoskopi anterior

- KNDS :, Kavum nasi sempit, sekret ada, mukopurulen, konka inferior

hipertrofi, hiperemis, permukaan bergerigi, konka media sukar dinilai,

septum deviasi ke kanan.

30

Page 31: Rhino Sinusitis

Rinoskopi Posterior

KNDS : Koana cukup lapang, mukosa merah konka inferior hipertrofi,

hiperemis, permukaan bergerigi, post nasal drip ada, mukopurulen.

3. Pemeriksaan penunjang :

Foto Rontgen : posisi waters dan foto panoramik

Prick test

Nasoendoskopi

4. Diagnosis Kerja : Susp. Rhinosinusitis kronik maksila dekstra ad sinistra ec

rhinitis alergi

5. Diagnosis Tambahan: septum deviasi + tonsilofaringitis kronis + susp. OSSA

6. Diagnosis Banding : Konka hipertrofi

Sinusitis dentogen

7. Penatalaksanaan :

Terapi Umum : Menghindari alergen pencetus

Terapi khusus :

- Cefixim 2 x 100 mg

- Rhinofed 3 x 1

- Ambroxol 3 x1

- Nasal Spray 1x 2 semprot KNDS

8. Prognosis :

- Quo ad vitam : bonam

- Quo ad sanam : dubia et bonam

- Quo ad functionam : bonam

31

Page 32: Rhino Sinusitis

Daftar Pustaka

32

Page 33: Rhino Sinusitis

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 150-153.

2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Buku ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 126-

127.

3. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Buku ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 128-

132.

4. Rusmarjono, Soepardi AE.Tonsilitis Kronik. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 223-225.

33