rhino sinusitis
TRANSCRIPT
Case Report session
Rhinosinusitis Kronik ec Rinitis Alergi
Oleh :
Eldesra Mahyori 03923075
Preceptor :
Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT
TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012
Tinjauan Pustaka
1
Rhinosinusitis Kronis
Rinosinusitis adalah kondisi yang ditimbulkan oleh respon peradangan yang
mengenai mukosa kavum nasi dan sinus paranasal.
Infeksi saluran nafas atas pada anak lebih sering terjadi dibandingkan orang
dewasa yaitu sekitar 6-8 kali per tahun sedangkan pada orang dewasa 2-3 kali per
tahun.
Faktor predisposisi yang paling umum adalah infeksi saluran nafas atas oleh
virus dan alergi. Sinus yang sering mengalami infeksi pada anak adalah sinus etmoid
dan maksila karena kedua sinus tersebut sudah ada sejak lahir dan berkembang pada
umur 3 tahun.
Komplikasi sinusitis pada anak mencakup pada orbita, intra kranial, paru,
mukokel dan osteomielitis.
Penatalaksanaan lebih sering secara konservatif dengan medika mentosa
empirik dan terapi operatif bila terjadi komplikasi pada sinusitis akut dan pada
sinusitis kronis yang gagal dengan medika mentosa.
Etiologi
Faktor etiologi pada rinosinusitis:
1. Peradangan : infeksi saluran nafas atas dan alergi.
2. Mekanikal : deformitas septum / nasal, obstruksi Kompleks Osteo Meatal
(KOM), konka hipertropi, polip, tumor, adenoid hipertropi, benda asing dan cleft
palate.
3. Sistemik : fibrosis kistik, sindroma Kartagener, imunodefisiensi.
4. Lain-lain : berenang atau menyelam.
Menurut Lanza di kutip oleh Siow Jin Keat, penyebab multi faktor rinosinusitis
yaitu:
1. Faktor penderita.
Genetik / kondisi kongenital (fibrosis kistik dan sindrome immotil silia), alergi /
kondisi imun, anatomi yang abnormal, penyakit sistemik (endokrin & metabolik),
mekanisme saraf, neoplasma.
2. Faktor lingkungan.
Virus / infeksi, trauma, kimia noxiuos dan iatrogenik (obat-obatan dan
pembedahan).
2
Patofisiologi
Peranan alergi pada sinusitis adalah akibat reaksi anti gen anti bodi yang
menimbulkan pembengkakan mukosa sehingga menimbulkan obstruksi pada ostium
sinus dan menghambat aliran mukus. Selanjutnya terjadi vakum di rongga sinus
sehingga terjadi transudasi cairan ke rongga sinus. Menumpuknya cairan di rongga
sinus merupakan media pertumbuhan bakteri sebagai hasil obstruksi ostium sinus
yang lama. Faktor kelainan anatomi seperti septum deviasi, hipertropi atau paradoksal
konka media dan konka bulosa juga dapat mempengaruhi aliran ostium sinus
Menurut Messerklinger, yang di kutip oleh Kenedy, bila dua lapisan mukosa
yang berdekatan saling kontak karena edema akan terjadi gangguan fungsi silia di
tempat tersebut sehingga terjadi retensi sekret. Kontak mukosa pada kompleks ostio
meatal terjadi pada celah antara prosesus unsinatus dengan konkha media, antara bula
etmoid dan konkha media serta di atas dan belakang bula etmoid. Pada keadaan ini
pertukaran udara atau ventilasi terganggu, perubahan pH sinus akan menurun, oksigen
akan di serap dan mukosa akan mengalami hipoksia dan kematian sel mukosa sinus
yang memudahkan terjadinya infeksi.
Gejala Klinik
Gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan diagnosis rhinosinusitis :
Mayor :
Nyeri wajah / tekanan / kepenuhan
Nasal obstruksi / blockage
Nasal atau postnasal debit / nanah (berdasarkan riwayat atau pemeriksaan fisik)
Hyposmia / anosmia
Demam (dalam rinosinusitis akut saja)
Minor :
Sakit kepala
Demam (selain rhinosinusitis akut)
Halitosis
Fatigue
Nyeri gigi
Batuk
Nyeri telinga/tekanan/rasa penuh
3
Klasifikasi
Klasifikasi pada Rhinosinusitis Dewasa
Klasifikasi Durasi Anamnesis,
pemeriksaan fisik
Catatan
Akut Sampai empat
minggu
Adanya dua atau
lebih tanda-tanda
dan gejala Mayor,
satu Mayor dan dua
atau lebih tanda-
tanda atau gejala-
gejala ringan, atau
nanah hidung pada
pemeriksaan
Demam atau nyeri
wajah / tekanan bukan
merupakan sejarah
sugestif tanpa adanya
tanda-tanda dan gejala
hidung lainnya.
Pertimbangkan
rinosinusitis bakteri
akut jika gejala
memburuk setelah
lima hari, jika gejala
menetap selama 10
hari atau dengan
gejala keluar dari
proporsi mereka yang
biasanya dikaitkan
dengan infeksi virus
Subakut 4 - <12 minggu Sama Resolusi lengkap
setelah terapi medis
yang efektif.
Akut rekuren Empat atau lebih
episode per tahun
dengan setiap episode
durasinya minimal
tujuh hari, tidak
adanya tanda dan
gejala intervensi
Sama -
Kronik 12 minggu lebih Sama Nyeri wajah / tekanan
bukan merupakan
4
anamnesis sugestif
tanpa adanya tanda-
tanda dan gejala
hidung lainnya.
Rinosinusitis akut memiliki onset yang relatif cepat, biasanya durasi empat
minggu atau kurang dan gejala benar-benar teratasi. Kebanyakan kasus adalah virus.
Resolusi gejala biasanya terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari, dan kebanyakan
pasien sembuh tanpa intervensi medis. Subkategori rinosinusitis bakteri akut lebih
mungkin untuk berkembang menjadi penyakit kronis atau untuk menyebar ke luar
sinus ke daerah orbital atau meninges. Rinosinusitis bakteri akut disarankan oleh
gejala termasuk drainase purulen yang memburuk setelah lima hari atau berlangsung
lebih dari 10 hari, dan / atau gejala yang tidak proporsional untuk tipe terkait dengan
proses virus pernapasan atas akut Rinosinusitis akut rekuren didefinisikan sebagai
empat atau lebih episode penyakit akut dalam jangka waktu 12 bulan, dengan resolusi
gejala antara setiap episode (setiap episode durasinya minimal tujuh hari ').
Rinosinusitis subakut pada dasarnya adalah sebuah kontinum tingkat rendah infeksi
akut lebih dari empat minggu tetapi kurang dari 12 minggu durasi. Rinosinusitis
kronis dibedakan dengan gejala yang menetap selama 12 minggu atau lebih.
Penatalaksanaan Sinusitis
1. Sinusitis Akut
Tujuan utama terapi sinusitis adalah memuihkan fungsi normal sinus. Terapi
harus mampu meningkatkan drainase dan ventilase sinus. Pada sinusitis akut
bacterial adalah dengan eradikasi kuman agar inflamasi mukosa khususnya di
ostium dan sekitarnya reda sehingga drainase dan ventilasi sinus pulih.
Ini dicapai dengan antibiotik adekuat dan dekongestan.
1.1. Antibiotik lini pertama
Secara empiric dianjurkan pemberian amoxicillin 3x500mg atau
kotrimoksazol 2x480mg. walaupun amoxicillin tidak memiliki
kepekaan terhadap betalaktamase tetapi terbukti masih efektif untuk
sinusitis akut dan perlu dilakukan pemantauan selama 2x24 jam, jika
ada perbaikan antibiotic dilanjutkan selama 5-7 hari.
1.2. Antibiotic lini kedua
5
Antibiotic lini kedua memiliki kepekaan terhadap betalaktamase yaitu
amoxicillin klafuanat 3x500mg/125 mg atau ampicillin surbaktam atau
cephalosporin generasi kedua seperti cefuroxime 2x250mg cefaclor
3x250mg cefixim 2x400mg dan cefadrin, cefrozil, cefotiam.
Antibiotic alternative adalah makrolid dan linkosamid. Tidak tertutup
untuk memberikan lini kedua ini tanpa lini pertama terlebih dahulu
terhadap serangan akut berulang.
1.3 Jika tidak ada perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen
foto polos/CT scan dan atau naso-endoskopi. Jika ada kelainan, pasien
dapat didioagnosis sebagai sinusitis akut berulang atau kronik dan
penatalaksanaan seperti sinusitis kronik. Jika tidak ada kelainan maka
diagnosis sebaiknya dievaluasi kembali, misalnya dengan melakukan
pemeriksaan alergi secara konferhensif atau pemeriksaan kultur dan
pungsi sinus maksila.
2. Sinusitis Kronik
2.1. Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperi
deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi, polip, kista, jamur, infeksi gigi,
dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan sesuai dengan kelainan
yang
ditemukan.
2.2. jika tidak ditemukan faktor predisposisi diduga kelainan adaah
bacterial yang memerlukan pemberian antibiotic dan pengobatan medik
lainnya.
2.3. Pengobatan antibiotic
Pilihan antibiotic harus yang mencakup betalaktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini kedua yaitu amoxicillin klafuanat atau
ampicillin sulbaktam, cephalosporin generasi kedua, makrolid,
klindamycin. Jika ada perbaikan diteruskan sampai 10-14 hari atau
lebih jika diperlukan.
6
2.4. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibitotik alternative seperti
ciprofloxacin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob dapat diberikan metronidazol.
2.5. Jika dengan antibiotic alternative tidak ada perbaikan maka evaluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis
dengan
pemberiksaan nasoendoskopi, sinuskopi, lakukan irigasi sinus maksila
sampai 5 kali atau CT Scan jika belum dilakukan. Jika dari hasil
pemeriksaan ditemukan adanya obstruksi KOM, maka penatalaksanaan
selanjutnya adalah operasi.
2.6. Terapi tambahan pada sinusitis kronik
Terapinya berupa dekongestan oral, kortikosteroid oral, dan atau
topical serta mukolitik. Antihistamin dan imunoterapi dapat
dipertimbangkan pada pasien atopi. Dengan obat ini diharapkan
inflamasi dan udem menjadi reda, osteomeatal terbuka, pertukaran gas
meningkat dan silia aktif kembali.
Pengobatan diatermi, Proetz displacement therapy atau irigasi sinus
dapat dilakukan sebagai penunjang.
Diatermi adalah terapi untuk memperbaiki sirkulasi pembuluh darah
sehingga antibiotic dapat berpenetrasi dengan baik, sedangkan
tindakan Proetz dan irigasi berguna untuk membersihkan rongga sinus
dari materi purulen.
Penatalaksanaan
Tujuan umum terapi untuk pasien dengan rinosinusitis bakteri untuk
mengendalikan infeksi, mengurangi edema jaringan dan sebaliknya obstruksi sinus
ostial sehingga mucopus dapat mengalir. Mempertahankan hidrasi pasien dengan
asupan cairan yang cukup, ditambah dengan menggunakan semprotan hidung saline
seperti yang diinginkan, dianjurkan.Meskipun hasil studi hanya sugestif, beberapa
7
studi menggunakan mukolitik (kalium iodida jenuh [SSKI] solusi, guaifenesin), dan
yang paling disukai penggunaan dekongestan oral (pseudoefedrin [Sudafed]), untuk
pasien dengan hidung parah/ sinus obstruksi. Hal ini dapat dilengkapi dengan
penambahan dekongestan topikal (misalnya, phenylephrine, oxymetazoline) selama
tiga sampai lima hari. Antibiotik oral direkomendasikan untuk tujuh sampai 14 hari
pada pasien yang akut, rinosinusitis akut atau subakut bakteri berulang. Antibiotik
dilabeli oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan pasien dengan
rinosinusitis akut termasuk amoksisilin-klavulanat kalium (Augmentin) dan sebagian
besar sefalosporin generasi baru, makrolida dan fluoroquinolones.
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan
yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.
Medikamentosa
Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai
terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi
sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam,
sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik
diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali
apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan
nasoendoskopi maupun CT-Scan.
Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung
dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
8
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena
efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan
hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari
50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga
kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang
tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,
fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan
kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin,
sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan
perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-
alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan
pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi
singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat
oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan
hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.
Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc,
trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat
dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya pengetahuan
patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional
misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan
9
meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus
medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif
yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang
sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya
kelainan patologi dirongga-rongga sinus. Jaringan patologik yang diangkat tanpa
melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi
dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
Rinitis Alergi
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
Etiologi
10
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50 %.
Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama
udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur,
serbuk sari, dan lain-lain.
Patofisiologi
Sensitisasi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses
sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan
tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini
menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang
menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II
membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas
II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini
akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan
lainnya.
IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B
menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan
terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator.
Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.
Reaksi Alergi Fase Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin,
tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan
11
dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema,
berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung
tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan
sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Reaksi Alergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel
postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule
(VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel
pada sel endotel.
Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,
limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini
kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas
dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih
didominasi oleh sumbatan hidung.
Klasifikasi
Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat
berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:
Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.
Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
12
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon
terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi
seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada
mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga
merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat
hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat
atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5
sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil
dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST
(Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent
Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit
yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit
gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick
test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan
pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
13
mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis
inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung
dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan,
dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative
Food Test (IPFT).
Penatalaksanaan
Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:
Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan
ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.
Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE pada
permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan
imunoterapi.
Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjut
reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini
dinetralisir dengan obat – obatan antihistamin yang secara kompetitif
memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.
Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya
gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau
lokal.
Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:
Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan
laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI
eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk
mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.
14
2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa
asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal
berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran
terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji
kulit.
3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit
alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.
Tonsilitis Kronis
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan yang
menahun dari rokok ataupun jenis makanan tertentu, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.
Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman golongan gram negative.
Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
epitel jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
tampak melebar. Secara klinis kripti ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibula.
Gejala dan Tanda
Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus.
15
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan
(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan
bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang
mungkin tampak, yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang
melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Gambar 4. Ukuran tonsil
Ukuran tonsil dibagi menjadi :
T0 : Post tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar
posterior)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
Diagnosis
1. Anamnesis
16
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam
dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian
kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-
kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju
atau dempul amat banyak terlihat pada kripta.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan berbagai derajat
keganasan, seperti Streptokokus beta hemolitikus grup A, Streptokokus viridans,
Stafilokokus, atau Pneumokokus.
Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Komplikasi
Tonsillitis kronis dapat menyebabkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronis, sinusitis, atau otitis media secara perkontinoitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosinklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.
Tonnsilektomi dilakukan jika terjadi infeksi berulang, gejala sumbatan jalan nafas,
dan kecurigaan neoplasma.
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah :
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya.
17
Indikasi relatif
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi adalah relatif. Indikasi yang paling
sering adalah episode berulang infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A.
Indikasi tonsilektomi yang paling dapat diterima pada anak-anak adalah :
1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan
penatalaksanaan medis yang adekuat).
2. Tonsillitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik (keadaan karier).
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya penelanan).
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap 6 bulan setelah infeksi
mononucleosis (biasanya pada dewasa muda).
5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotic yang buruk.
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial
dan gigi-geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.
8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.
Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah :
1. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang.
2. Infeksi sistemik atau kronis.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
5. Rhinitis alergika.
6. Asma.
7. Diskrasia darah.
18
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.
9. Tonus otot yang lemah.
10. Sinusitis.
11.
Deviasi Septum
Bentuk septum normal adalah lurus ditengah rongga hidung, tetapi pada orang
dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah.Deviasi septum
yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bia deviasi cukup berat,
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
Etiologi
Penyebab paling sering adalah trauma.Trauma dapat terjadi sesudah lahir,
pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterine. Penyebab lain adalah
ketidak seimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun
batas superior dan inferior telah menetap.
Bentuk Deformitas
Bentuk deformitas septum ialah :
1. Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S,
2. Dislokasi, yaitu bagian bawah kartilagoseptum keluar dari kista maksila dan
masuk ke dalam rongga hidung,
3. Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke
belakang disebut Krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina,
4. Bila deviasi atau Krista septum bertemu dan melekat dengan konka
dihadapannya disebut sinekia.
Gejala Klinik
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah sumbatan hidung.
Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka
hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya konka yang hipertrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
Keluhan lainnya ialah rasa nyeri dikepala dan di sekitar mata. Selain dari itu
penciuman bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviai
19
septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis.
Terapi
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada
pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.
Reseksi submukosa, pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu digaris tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung
pelana (saddle nose) akibat trunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang
rawan septum terlalu banyak diangkat.
Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok
di reposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi
ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa
seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.
20
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Defnizal
MR : 723808
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Perum Dep-kes, Jl.Kesehatan blok C 2 no 80 Ulu
Gadut Padang.
Suku bangsa : Minangkabau
Tanggal pemeriksaan : 7 Maret 2012
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 18 tahun ke poli THT RS Dr M Djamil Padang pada
tanggal 7 Maret 2012 dengan
Keluhan Utama : Cairan terasa mengalir ke tenggorok sejak 1 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
♦ Cairan terasa mengalir sejak 1 bulan yang lalu, cairan dirasakan kental.
♦ Ingus yang keluar kental dan berwarna kuning kehijauan, ingus tidak disertai
darah.
♦ Pilek dirasakan sepanjang hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
♦ Hidung kiri dirasakan tersumbat (+), hilang timbul sejak 1 bulan ini.
♦ Penciuman dirasakan berkurang (+) sejak 1 bulan ini.
♦ Nyeri pada wajah tidak ada, nyeri kepala tidak ada.
♦ Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali terutama saat terkena debu dan dingin.
Keluhan ini dirasakan meningkat sejak 1 bulan yang lalu. Bersin-bersin
meningkat pada cuaca dingin.
♦ Pasien merasakan hidungnya tersumbat. Hidung tersumbat dirasakan sejak 3
bulan yang lalu, pada kedua lubang hidung, bergantian kanan dan kiri, tidak
meningkat.
21
♦ Nyeri menelan berulang sejak 5 tahun ini, nyeri dirasakan lebih dari 3 kali
dalam setahun.
♦ Riwayat sering batuk pilek (+).
♦ Riwayat tidur mengorok (+) sudah lama dirasakan.
♦ Riwayat terbangun malam hari ketika tidur (+).
♦ Riwayat sering mengantuk pada pagi dan siang hari (+).
♦ Riwayat demam tidak ada.
♦ Riwayat trauma pada hidung tidak ada.
♦ Riwayat operasi pada bagian telinga, hidung, maupun tenggorokan tidak ada.
♦ Riwayat merokok tidak ada.
♦ Riwayat keluar darah dari hidung tidak ada.
♦ Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada.
♦ Riwayat gangguan pendengaran tidak ada.
♦ Riwayat telinga berdenging tidak ada.
♦ Riwayat sakit gigi tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
♦ Riwayat sakit seperti ini tidak ada.
♦ Riwayat mata berair dan gatal saat cuaca dingin dan bila terkena debu ada.
♦ Riwayat nafas menciut pagi hari tidak ada.
♦ Riwayat alergi makanan tertentu ada.
♦ Riwayat alergi obat tidak ada.
Riwayat penyakit keluarga :
♦ Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini.
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :
♦ Pasien seorang pelajar SMA
♦ .
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
22
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis cooperatif
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 91 x/menit
Frekuensi nafas : 18 x/menit
Suhu : 37 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : normocephal, rambut tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Paru
Inspeksi : simetris kiri, kanan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler normal, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus tidak terlihat
Palpasi : ictus terba 2 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (–)
Abdomen
Inspeksi : tak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi : bising usus + normal
Extremitas : perfusi baik, oedem -/-
Status Lokalis THT
Telinga
23
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telinga
Kel kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Dinding liang
telinga
Cukup lapang (N) Cukup lapang (N) Cukup lapang
(N)
Sempit Tidak Tidak
Hiperemi Sedikit (minimal) Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret/serumen
Ada / Tidak Ada Ada
Bau Tidak ada Tidak ada
Warna Kekuningan Kekunigan
Jumlah Minimal Minimal
Jenis Tidak ada Tidak ada
Membran timpani
Utuh
Warna Putih mengkilat Putih mengkilat
Reflek cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Perforasi
Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Kwadran Tidak ada Tidak ada
Pinggir Tidak ada Tidak ada
Gambar
24
Mastoid
Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tes garpu tala
Rinne ( + ) ( + )
Schwabach Sama dengan
pemeriksa
Sama dengan
pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Telinga N Telinga N
Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dektra Sinistra
Hidung luar
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Ada (pada sinus maxillaris) Ada (pada sinus maxillaris)
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
25
Cavum nasi
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Sempit Lapang
Sekret
Lokasi Dasar kavum nasi Dasar kavum
nasi
Jenis Mukopurulen Mukopurulen
Jumlah Sedikit Sedikit
Bau TIdak Tidak
Konka inferior Ukuran Sempit Hipertrofi
Warna Pucat Pucat
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Konka media Ukuran Sukar dinilai Sukar dinilai
Warna Sukar dinilai Sukar dinilai
Permukaan Sukar dinilai Sukar dinilai
Edema Sukar dinilai Sukar dinilai
Septum
Cukup
lurus/deviasi
Deviasi Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Spina Ada Ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada
26
Pengaruh
vasokonstriktor
Tidak ada Tidak ada
Gambar
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Cukup lapang Cukup lapang
Mukosa
Warna Merah muda Merah muda
Edem Tidak ada Tidak ada
Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada
Konka inferior
Ukuran Hipertrofi Hipertrofi
Warna Pucat Pucat
Permukaan Rata Rata
Edem Tidak ada Tidak ada
Adenoid Ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Muara tuba
eustachius
Tertutup sekret Ada Ada
Edem mukosa Tidak ada Tidak ada
Massa
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Post Nasal Drip Ada/tidak Ada Ada
Jenis Mukopurulen Mukopurulen
27
Gambar
Orofaring dan mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole +
Arkus Faring
Simetris/tidak Simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Edem Tidak ada Tidak ada
Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding faring Warna Kemerahan Kemerahan
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Tonsil
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis Hiperemis
Permukaan berbenjol berbenjol
Muara kripti Melebar Melebar
Detritus Ada Ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan
dengan pilarTidak ada Tidak ada
Peritonsil
Warna Hiperemis Hiperemis
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Gigi Karies/Radiks M3 atas PM3 bawah
Kesan
Lidah
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Deviasi Tidak ada Tidak ada
28
Massa Tidak ada Tidak ada
Gambar
Laringiskopi Indirek
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglotis
Bentuk N N
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Pinggir rata/tidak Rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Ariteniod
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Gerakan Simetris Simetris
Ventrikular band
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Plica vokalis
Warna Merah muda Merah muda
Gerakan Simetris Simetris
Pingir medial Rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Subglotis/trakea Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Sinus piriformis Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Valekula Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret ( jenisnya ) Tidak ada Tidak ada
Gambar
29
Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher : tidak ada pembesaran KGB
Inspeksi : tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening di leher
Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di leher.
RESUME
1. Anamnesis
o Cairan dirasakan mengalir ke tnggorok sejak 1 bulan ini, dirasakan kental,
ingus yang keluar kental dan berwarna kuning kehijauan. Ingus tidak disertai
darah. Pilek dirasakan sepanjang hari. Pilek mengganggu aktivitas sehari-hari.
o Pasien mengeluhkan bersin-bersin. Keluhan ini dirasakan meningkat sejak 1
bulan yang lalu. Bersin-bersin meningkat pada cuaca dingin.
o Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali terutama saat terkena debu dan dingin.
Keluhan ini dirasakan meningkat sejak 1 bulan yang lalu. Bersin-bersin
meningkat pada cuaca dingin.
o Pasien merasakan hidungnya tersumbat. Hidung tersumbat dirasakan sejak 3
bulan yang lalu, pada kedua lubang hidung, bergantian kanan dan kiri, tidak
meningkat.
o Nyeri menelan berulang sejak 5 tahun ini, nyeri dirasakan lebih dari 3 kali
dalam setahun.
o Riwayat sering batuk pilek (+).
o Riwayat tidur mengorok (+) sudah lama dirasakan.
o Riwayat terbangun malam hari ketika tidur (+).
o Riwayat sering mengantuk pada pagi dan siang hari (+).
2. Pemeriksaan fisik
Rinoskopi anterior
- KNDS :, Kavum nasi sempit, sekret ada, mukopurulen, konka inferior
hipertrofi, hiperemis, permukaan bergerigi, konka media sukar dinilai,
septum deviasi ke kanan.
30
Rinoskopi Posterior
KNDS : Koana cukup lapang, mukosa merah konka inferior hipertrofi,
hiperemis, permukaan bergerigi, post nasal drip ada, mukopurulen.
3. Pemeriksaan penunjang :
Foto Rontgen : posisi waters dan foto panoramik
Prick test
Nasoendoskopi
4. Diagnosis Kerja : Susp. Rhinosinusitis kronik maksila dekstra ad sinistra ec
rhinitis alergi
5. Diagnosis Tambahan: septum deviasi + tonsilofaringitis kronis + susp. OSSA
6. Diagnosis Banding : Konka hipertrofi
Sinusitis dentogen
7. Penatalaksanaan :
Terapi Umum : Menghindari alergen pencetus
Terapi khusus :
- Cefixim 2 x 100 mg
- Rhinofed 3 x 1
- Ambroxol 3 x1
- Nasal Spray 1x 2 semprot KNDS
8. Prognosis :
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad sanam : dubia et bonam
- Quo ad functionam : bonam
31
Daftar Pustaka
32
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 150-153.
2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 126-
127.
3. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 128-
132.
4. Rusmarjono, Soepardi AE.Tonsilitis Kronik. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2007: 223-225.
33