resusitasi perdarahan pada trauma-rw
DESCRIPTION
resusitasiTRANSCRIPT
RESUSITASI PERDARAHAN PADA TRAUMA
Erwin Kresnoadi
Bagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Provinsi NTB
===========================================================
Pendahuluan
Trauma menyebabkan kerusakan pada macam-macam jaringan dan organ
tubuh, diantaranya pembuluh darah. Akibat kerusakan jaringan dan organ tubuh ini
dapat terjadi gangguan hemodinamik. Kabanyakan penderita trauma akan mengalami
syok hipovolemik, tetapi mungkin juga menderita syok kardiogenik, neurogenik, dan
bahkan syok septik.¹
Syok pada penderita trauma dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu akibat
perdarahan (syok haemoragik) dan yang bukan akibat perdarahan (syok non
haemoragik). Penderita yang cedera diatas diafragma dapat memperlihatkan tanda
perfusi organ yang tidak adekuat karna kinerja jantung yang tidak baik dari trauma
tumpul miokard atau dari tension pneumothorak yang mengakibatkan preload yang
tidak cukup. 3,4
Trauma jaringan akan berakibat pada terjadinya SIRS, pelepasan mediator
yang menyebabakan peningkatan permiabilitas vaskuler dan oedem jaringan. Selain
dari pada itu yang lebih penting adalah bahwa perdarahan yang berlangsung akan
menyebabkan berkurangnya volume intravena. Redistribusi cairan awal yang terjadi
setelah terauma berkaitan dengan tingginya tingkat trauma yang terjadi dan iskhemia
oleh karna banyaknya darah yang hilang saat berlangsungnya trauma.
Disamping pemilihan cairan yang tepat, monitoring sangat berperan. Monitor
yang diperlukan antara lain jumlah urin, keadaan mental pengisian kapiler, warna
kulit, suhu dan laju nadi. Sedangkan evalusi lanjutan diperlukan kadar laktat,asam
basa, oksigan kunsumsi dan sturasi oksigen vena campuran.²
1
A. Definisi Perdarahan
Definisi dari perdarahan adalah kehilangan darah akut dari volume peredaran
darah. Volume darah dapat bervariasi, voluma darah orang dewasa normal adalah
kira-kira 70% ( 70 ml / Kg BB ) dari berat badan. Bila penderita gemuk maka volume
darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan idealnya, karna bila kalkulasi
berdasarkan berat badan sebanarnya, hasilnya mungkin jauh diatas volume yang
sesungguhnya. Volume darah anak-anak dihitung 80 – 90 % dari barat badan (80 –
90 ml/ Kg ).3,4
Distibusi cairan tubuh dawasa adalah sebagai berikut:
1. zat padat : 40% dari berat badan
2. Zat cair : 60% dari berat badan Terdiri dari :
a. Cairan intra sel 40% dari BB
b. Cairan eksta sel 20% dari BB terdiri dari
o Cairan intra vaskular 5% dari BB
o Cairan interstisiil 15% dari BB
c. Cairan transseluler : (1-3%) cavum serosum, cavum sinovial, traktus
gastrointestinal, traktus urinari dan cairan serebrospinal.
Dalam cairan tubuh terlarut :
Elektrolit.
Elektrolit terpenting dalam - ekstra sel : Na+ dan Cl-
- intra sel : K + dan PO4- 5
B. Patofisiologi Perdarahan
Jika terjadi perdarahan maka kompertemen cairan intravascular mengalami
devisit atau hipovolemi. Vasokonstriksi progresif merupakan kompensasi tubuh
2
yang merupakan respon dini dari kahilangan darah. Vasokonstriksi dimulai dari kulit,
otot, dan sirkulasi viseral ( dalam organ perut ).
Respon terhadap berkurangnya darah yang akut adalah peningkatan denyut
jantung, sebagai usaha untuk menjaga output jantung. Pelepasan katekolamin
endogen meningkatkan tekanan pembuluh darah perifer, hormon lain yang bersifat
vasoaktif juga dilepaskan kedalam sirkulasi, seperti histamin, bradikinin, beta
endropin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokinin lain. Substansi ini berdampak
besar pada mikro sirkulasi dan permiabilitas pembuluh darah. 3,4
Pada perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur
venous return dengan cara kontraksi pembuluh darah sistem vena, namun ini tidak
banyak membantu memperbaiki tekanan vena sistemik. Cara yang paling efektif
untuk memulihkan cardiac output dan perfusi organ adalah dengan memulihkan
venous return kabatas normal dengan memperbaiki volumenya.³
Perubahan-peribahan yang terjadi pada perdarahan adalah :
- Vasokonstriksi organ sekunder (Viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan
organ primer (otak dan jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
- Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, sehingga terjadi metabolisme
anaerob dengan produk asam laktat yang menyebabkan laktat asidosis.
- Laktat asidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada orgam
primer dan sekunder sehingga terjadi kerusakan yang merata.4
Pada tingkat sel, pembengkakan retikulum endoplasma merupakan tanda ultra
structural pertama dari hipoksia sel, setelah itu diikuti dengan cedera mitokondrial.
Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra sel lainnya.
Natrium (Na) dan air masuk sel, dan terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi
penumpukan kalsium intra seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera
seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini
memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi. ³
C. Pembagian / Kelas dari Perdarahan
3
Pembagian kelas perdarahan disesuaikan dengan persentase kehilangan
volume darah yang akut.
Pembagian / kelas perdarahan terdiri atas:
1. Perdarahan kelas I – kehilangan volume darah sampai 15%
Gejala kelinis minimal
Takikardi minimal
Tidak dijumpai perubahan yang berarti pada tekanan darah, nadi dan
frekwensi nafas.
Pada penderita yang sehat tidak perlu diganti
Mekanisme kompensasi akan memulihkan volume darah dalam 24jam
Bila ada penyebab lain, pengganti cairan primer akan memperbaiki sirkulasi
2. Perdarahan kelas II – kehilangan volume darah sampai 15-30%
Takikardi, takipneu dan penurunan tekanan nadi
Perubahan SSP yang tidak jelas, seperti cemas, ketakutan dan sikap
permusuhan
Tekanan sistolik berubah sedikit pada shok yang dini
Produksi urin sedikit terpengaruh ( 20 – 30 ml / jam pada dewasa )
Kadang – kadang memerlukan transfusi
Pada awal perdarahan masih dapat di stabilkan dengan kristaloid
3. Perdarahan kelas III – kehilangan volume darah sampai 30-40%
Takikardi dan takipneu yang jelas
Perubahan pada status mental dan penurunan tekanan diastolic
Hampir selalu memerlukam transfuse darah ( tergantung dari respon
terhadap pemberian cairan )
4. Perdarahan kelas IV- kehilangan darah > 40%
4
Mengancam jiwa penderita
Takikardi yang jelas
Penurunan tekanan darah sistolik yang cukup besar
Tekanan nadi yang sangat sempit ( tekanan diastolic yang tak teraba )
Produksi urin tidak ada
Kesadaran menurun
Kulit dingin dan pucat
Perlu transfusi segera ³´6
Resusitasi cairan dimulai bila tanda dan gejala kehilangan darah nampak atau
diduga ada, bukan bila tekanan darah menurun atau sudah tidak terdeteksi. Beberapa
faktor akan sangat mengganggu penilain respon hemodinamik terhadap perdarahan.
Faktor-faktor itu meliputi :
- Usia penderita
- Parahnya cedera ( trauma ) yang memerlukan perhatian khusus bagi jenis dan
anatomi cederanya
- Rentan waktu antara cedera dan permulaan terapi
- Obat – obat yang sebelumnya sudah diberikan karna ada penyakit kronis
Sehingga sangat berbahaya untuk menunggu sampai ada tanda-tanda yang jelas untuk
memulai resusitasi.³
D. Jenis Cairan
1. Kristaloid
Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul rendah ( < 8000 Dalton ),
dengan atau tanpa glukosa. Cairan ini dapat berbentuk larutan isotonik atau
hipertonik. Cairan isotonis akan bergarak bebas didalam kompertemen intravaskular
dan interstisial namun tidak menyebabkan pergeseran intrasel. Cairan ini dapat efektif
5
mengganti cairan interstisial yang bergeser. Cairan hipertonik dapat menyebabkan
redistribusi cairan intrasel kedalam kompertemen ekstraseluler .
Keuntungan secara teoritis dari cairan hipertonis adalah jumlah yang diperlukan
untuk resusitasi sedikit. Efek osmotik, efek inotropik dan efek vasodilatasi langsung
cairan salin hipertonik akan meningkatkan MAP, CO dan meningkatkan aliran darah
ginjal, mesenterium, serta pembuluh darah koroner dengan cara vasodilatasi perifer.
Namun untuk dapat bekerja efektif, cairan ini harus melewati paru-paru, sehingga
akan memicu reseptor osmolar ,sehinga halini dapat juga menjadi predesposisi
perdarahan yang banyak dari pembuluh darah yang telah terbuka. Dapat juga
menyebabkan hipernatremia dan hiperkloremia dengan hasil akhir asidosis metabolik.
Kadar serum akan kambali normal dengan pemberian cairan hipertonik dalam
jumlah kecil.
Cairan kristaloid ada dua golongan :
Mengandung elektrolit: ringer laktat, ringer solution, NaCl 0,9%, daraw
solution
Tidak mengandung elektrolit: dekstrose 5% dan 10%
2. Koloid
Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul tinggi ( > 8000 ), tekanan
onkotik tinggi sehingga sebagian besar akan tinggal di ruang intravascular. Koloid
pertama kali diperkenalkan oleh Starling. Kolid berasal dari tanaman gumacacia yang
digunakan pada perang dunia I, sedangkan darah dan komponennya digunakan pada
perang dunia II. Albumin kemudian banyak digunakan, namun karna harganya yang
mahal kemudian mendorong berkembangnya koloid sintetis seperti dekstran, gelatin
dan hetastarches. Pengganti darah dikembangkan untuk mencari cairan pembawa
oksigen yang non antigenic dan bebas pembawa penyakit. Tersedia tiga produk
berbahan dasar hemoglobin:
1. Stroma bebas hemoglobin
2. Stroma modifikasi bebas hemoglobin
6
3. Hemoglobin yang terlingkupi dalam liposom
Hemoglobin pembawa O2 (HbOc ) dari darah sapi atau darah manusia yang sudah
ekspire masih dalam penilitian.
Cairan koloid : Albumin, Plasma Protein Function, Dextran, Hetastarches, red blood
cell.
3. Cairan khusus
Cairan yang dipergunakan untuk koreksi atau indikasi khusus seperti NaCl
3%, bic-nat, manitol. 3,4 Resusitasi cairan dapat meningkatkan edema interstitial,
dimana akan meningkatkan trauma perfusi ke dalam membrane interstitial kapiler.
Hal ini mengakibatkan kanaikan tekanan onkotik pada ruang ekstraseluler dan yang
paling bertanggung jawab untuk hal ini adalah glukosa. Edem jaringan jarang sekali
mengancam nyawa namun dapat menurunkan oksigenasi jaringan, menunda
penyembuhan dapat mengakibatkan sepsis. Tujuan utama dari terapi cairan menjamin
suplai oksigen yang mencukupi. Pada sebuah editorial oleh Bickell, ‘’ Apakah
korban trauma akan lebih terancam oleh upaya resusitasi cairan’’, beliau mencoba
menjelaskan berapa banyak pasien truma hipotensif berada dalam keterbatasan
kompensasi fisiologis dan pertanyaanya tidak hanya cairan apa yang diberikan namun
juga berapa banyak dan kepada siapa diberikan.
The American College of surgeons protocol untuk ATLS merekomendasikan
penggantian tiap ml darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid (aturan 3 : 1).
Respon pasien untuk resusitasi awal ini akan menentukan terapi selanjutnya, terdapat
tiga pola respon resusitasi cairan yaitu : ²
1. Respon cepat : respon cepat dan hemodinamis stabil.
Penderita kelompok ini memberikan respon tehadap bolus cairan awal dan
hemodinamik tetap normal jika cairan awal selesai atau dilambatkan sampai
kecepatan maintenance. Penderita ini biasanya kehilangan volume darah
minimum ( < 20% ). Konsultasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan
terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.³
7
2. Respon semantara:
Respon awal baik kemudian dengan cepat memburuk oleh karena cairan akan
semakin menurun dari kadar yang bisa dipertahankan. Respon hemodinamik akan
berubah bila tetesan diperlambat karena kahilangan darah masih berlangsung.
Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini 20 – 40% volome darah. Pemberian
cairan pada kelompok ini harus harus diteruskan, demikian pula pemberian darah.
Respon terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan
operasi segera. ³
3. Tidak respon : gagal untuk respon terhadap kristaloid maupun darah.
Kelompok ini tidak memberikan respon / respon minimal walaupun sudah
diberikan darah dan cairan yang cukup. Tindakan operasi harus segara dilakukan.
Walaupun sangat jarang namun harus diwaspadai kemungkinan syok non
haemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Pemasangan CVP
atau echocardiografi emergensi dapat membantu membadakan kedua kelompok
ini. ³
Tujuan resusitasi cairan adalah :
- Memulihkan volume sirkulasi darah
- Pada syok untuk memulihkan perfusi jaringan dan pengiriman oksigan pada
sel sehingga tidak terjadi iskhemia jaringan hingga dapat menekan terjadinya
gagal organ
- Perlu pertimbangan distribusi difrensial air, garam dan protein plasma.
- Volume cairan pengganti yang diperlukan di tentukan oleh ruang distribusi
- Tergantung kadar koloid dan Na+ cairan pengganti. 4
Untuk resusitasi awal larutan elektrolit isotonis masih digunakan, jenis cairan ini
mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler
dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya kedalam ruang interstisial
8
dan intraseluler. Larutan ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis
pilihan kedua, walaupun NaCl merupakan pengganti yang baik, namun cairan ini
memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkhloremik, kemungkinan ini
bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik. Perubahan langsung yang dapat
diamati pada hemodilusi adalah anemia dan hipoalbunemia yang banyak dikaitkan
dengan penyebab edem. Hal ini terjadi karna kadar eritrosit dan hemoglobinnya serta
albumin menurun karna ‘’diencerkan’’. Plasma ekspender / substitusi seperti HAES,
Gelatin dan dekstran dapat mempercepat naiknya tekanan darah, karna molekul dan
air yang dibawanya tinggal lama di intra vaskuler.4
Resusitasi Menggunakan Kombinasi Kristaloid dan Koloid
Secara umum resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi keruang interstisil,
sedang koloid yang bersifat hiperonkotik cendrung menimbulkan ekspansi ke volume
intravascular dengan ‘’meminjam’’ cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik
akan mengisi ruang intravaskular tanpa mengurangi volume interstisil.
Secara fisiologis kristaloid akan menyebabkan edem dibanding koloid. Pada
keadaan permiabilitas yang meninggkat, koloid ada kemungkinan akan merembes
kedalam ruang interstisil dan akan meningkatkan tekanan onkotik plasma. Keadaan
ini akan menghambat kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi. Kelebihan
kristaloid dalam respon metabolik adalah meningkatkan pengiriman oksigen ke
jaringan (DO2) dan konsumsi O2 ( VO2 ) serta menurunkan laktat serum. Parameter-
parameter tersebut merupakan indikator untuk mengetahui prognosis pasien. ²
Ketika menggunakan cairan kombinasi, kristaloid hipertonik dapat menarik air
dari ruang interseluler dan komponen koloid akan memperpanjang efek
menguntungkan cairan ini. Cairan salin hipertonis dextran 40 (HSD) akan
mengekspansi plasma 3-4 kali dari volume yang diberikan. Kristaloid akan
mengekspansi volume plasma kurang dari 30%. Namun beberapa penelitian
memperlihatkan akan terjadi lebih banyak perdarahan pada kelompok ini
9
Dalam menangani penderita dengan perdarahan kita harus menguasai beberapa
langkah yang harus kita kerjakan:
a) Pemeriksaan fisisk
Pemeriksaan fisik diarahkan kepada doagnosis cedera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari ABCDE
b) Akses pambuluh darah
Harus segara mendapat akses ke system pembuluh darah. Tempat terbaik untuk jalur
IV orang dewasa adalah pembuluh darah lengan bawah.kalau keadaan tidak
memungkinkan, bisa di gunakan pembuluh darah central. Atau biasa dengan vena
seksi pada vana sephana di kaki. Akses vena central juga dapat diprtimbangkan,
tetapi harus dipertimbangkan juga komplikasi dari penempatan akses vena central.3,7
c) Terapi awal cairan
d) Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ
e) Respon penderita terhadap resusitasi cairan awal
f) Transfusi darah
Pemberian transfusi darah Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap
pemberian cairan. Respon terhadap bolus cairan awal akan memberikan informasi
tipe dan jumlah cairan tambahan yang diprlukan. Kadar Hb tidak dapat digunakan
sebagai parameter diperlukannya transfusi. Transport O2 dan kunsumsi O2 harus juga
dipertimbangkan. Efek hipovolemi harus dipisahkan dari anemi.
Ada empat alasan utama untuk melakukan transfusi darah dan komponen
darah dalam trauma adalah :
1. Perbaikan transport oksigen
2. Mengembalikan jumlah eritrosit
3. Koreksi perdarahan yang diakibatkan oleh disfungsi trombosit
4. Koreksi perdarahan yang diakibatkan difisiensi faktor perdarahan
10
Transfusi masif
Transfusi masif adalah transfusi yang sedikitnya memakai satu unit darah atau
sepuluh unit darah selama periode 24 jam. Tingkat survival transfusi masif adalah
50%. Cross-matching parsial dan uncross matched blood penting untuk
dipertimbangkan sesuai dngan tipe trauma. Sekitar satu dari 800 memiliki antibody
serum yang tidak diharapkan selama cross-match dan hanya satu dari 2500 memiliki
antibody yang dapat menyebabkan hemolisis. Jika untuk beberapa alasan, lebih dari 4
unit tipe O Rh negative PRC telah diberikan, maka lebih baik menggantinya dengan
tipe darah yang spesifik, oleh karna titer anti A dan anti B yang tinggi dapat
menyebabkan hemolisis.
Autotranfusi
Darah yang tercecer dari luka ruang dalam badan atau dari drain dapat
berguna pada keadaan trauma. Darah dapat secara langsung diantikoagulasi dan
diberikan kembali kepada pasien menggunakan filter makroagregrate . metode lain
adalah dengan menggunakan cell-saver dan washed RBCs. Beberapa komplikasi
dapat terjadi dan biasanya terlihat dengan autotransfusi yang lebih dari 1500ml darah
Pertimbangan Dalam Melakukan Transfusi
1. lebih baik darah yang telah dilakukan cross-matched. Namun proses ini
memerlukan waktu, hanya diberikan pada penderita yang cepat menjadi stabil
dengan resusitasi awal.
2. Jenis darah spesifik bias didapatkan hampir disemua bank darah. Darah tipe
spesifik dipilih untuk penderita yang responnya sementara atau singkat, proses
cross-matching harus tetap di selesaikan.
3. Bila darah tipe spesifik tidak ada, maka packed cell tipe O dianjurkan untuk
penderita dengan perdarahan exsanguinating.
11
Tetapi untuk kesemuanya ini kita harus hati-hati dalam melakukan transfuse.
Transfuse berarti memasukkan ‘’protein asing’’ kedalam system sirkulasi. Meskipun
sudah melalui cross-matching dan screening antibody reaksi hipersensitif masih biasa
terjadi.
g) Penilaian kembali respon penderita dan menghindari komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah penggantian cairan yang tidak adekuat.
Terapi yang segera dan tepat untuk memulihkaan perfusi organ akan memperkecil
kejadian yang tidak dikehandaki. Kalau penderita tidak memberi respon terhadap
terapi, perlu pertimbangan adanya:
- tamponade jantung
- pneumothorak tekanan
- kehilangan cairan yang tidak diketahui
- distensi akut lambung
- syok neurogenik
- infark miocard
Kunci untuk mengenal semua masalah ini adalah evaluasi yang terus-
menerus, khususnya kalau penderita menyimpang dari pola yang diharapkan.2,7
Evaluasi Resusitasi Cairan
Umum
Pulihnya tekanan darah kenormal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda
positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali kenormal. Namun
pengamatan tersebut tidak memberi informasi tentang perfusi organ. Parbaikan
pada status sistim saraf central dan peredaran darah kulit adalah bukti penting
mengenai peningkatan perfusi.
Produksi urine
Dalam batas tertentu urin bias digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin
12
sekitar 0,5 ml / kg / jam pada dewasa, 1ml / kg / jam pada anak-anak, dan 2 ml /
kg/jam untuk bayi (dibawah umur 1 tahun )
Keseimbangan asam basa
Asidosis yang persisten biasanya akibat resusitasi yang tidak adekuat/ kehilangan
darah terus menerus. Deficit basa yang diperoleh dari BGA dapat berguna untuk
memperkirakan beratnya deficit perfusi yang akut.
Tujuan akhir resusitasi
Kontrol terhadap perdarahan, pengembalian kembali volume darah yang
bersirkulasi dan memberikan oksigenasi yang adekuat pada tingkat seluler masih
merupakan perhatian utama bagi pasien trauma. Tidak ada tujuan akhir tunggal yang
dapat mencukupi dan harus dipertimbangkan bersamaan dengan tanda vital yang lain.
Tekanan darah dan denyut jantung merupakan indicator yang buruk bagi tingkat
keparahan syok dan tidak berkoresponden baik dengan indeks jantung, walaupun
parameter ini tercantum dalam ATLS. Sangat sulit untuk memantau volume darah,
indeks jantung, dan DO2 sebelum dan selama pemberian sejumlah besar cairan pada
unit gawat darurat ataupun pada OK.
Bagaimana kita mengetahui bahwa pasien ini telah mendapat resusitasi yang
mencukupi? Blood pressure, hart rate, output urine, kesadaran, oksimetri, dan
kapnogram dapat diepergunakan. Namun demikian tidak mengggambarkan pada
tingkat seluler. Monitoring yang lebih agresif telah terbukti dapat memperbaiki
mortalitas terutama pada pasien usia lanjut seperti CVP, tekanan oklusi arteri
pulmonal dan pemantauan BGA, namun beberapa penelitian telah memperlihatkan
indeks jantung, DO2, dan kunsumsi O2, sebagai tujuan akhir pemantauan yang lebih
baik pada kasus trauma. Waktu pemantauan tampaknya lebih penting. Hal ini
mungkin dikarenakan pasien tidak bisa dibiarkan dalam keadaan defisit oksigen yang
terlalu lama hingga ireversibel.
13
Variabel yang tekait dengan tingkat perfusi seperti kandungan oksigen A-V,
pH vena campuran, base excess arteri dapat juga memperkirakan survival dan
kecukupan resusitasi. Hal tersebut dapat memberikan indikasi defisit O2 dalam tubuh.
Ringkat mirtalitas meningkat seiring tingkat asidosis pada saat masuk dan 24 jam
selanjutnya. Kadar laktat dapat dinoemalkan dalam 24 jam, terdapat kemungkinan
survival 100%, dan 75% jika normalisasi mkan waktu 48 jam. Tonometer gaster
memberikan pemeriksaan indicator pengembalian aliran darah splanknikus.
Pemantauan O2 jaringan merupakan indicator lain yang baik. Aliran darah otot skelet
menurun pada keadaan awal syok dan dapat dipulihkan selama reusitasi, membuat
tekanan O2 parsial merupakan indikator yang sensitif terhadap adanya aliran darah
yang rendah. Jaringan subkutan merupakan area sensitif lainnya dimana konsumsi O2
dapat dideteksi.
Masalah terbaru dalam resusitasi
Pemberian cairan sebelum dirawat di rumah sakit merupakan kesimbangan antara
keuntungan fisiologis pembrian volume intravena dan waktu yang diperlukan untuk
membuka akses IV serta konsekuensi atas kenaikan tekanan darah serta dilusi factor
koagulasi. Pada perdarahan yang tidak terkontrol, survival optimal dapat dicapai
dengan membiarkan tekanan darah tetap rendah selam hemostasis bedah dapat
dicapai, teknik ini dikenal dengan “ hipovolemia yang disengaja atau resusitasi
hipotensif “ dan disarankan tekanan sistolik sebesar 70-80 mmHg. Namun demikian
hal ini tidak cocok dilakukan pada pasien dengan trauma kepala. Cairan kristaloid dan
koloid data digunakan namun, koloid sebaiknya digunakan ketika TD di bawah 50
mmHg. Resusitasi agresif dengan kristalod mungkin dapat meningkatkan tekanan
pulsa pada waktu terjadi penurunan viskositas darah dan pembekuan yang terkait
dengan trauma vaskuler hanya sedikit waktu yang tersisa untuk stabilisasi.
Beberapa hemodilusi dapat menjadi faktor untuk peningkatan mortalitas oleh
karna peningkatan kardiak output menandakan peningkatan SV dan kebutuhan O2
miokard dimana seluruh pasien trauma mungkin tidak dapat memenuhinya. Jadi
14
normotensi bukan merupakan tujuan akhir yang ideal. Tingkat kematian lebih tinggi
pada pasien yang menjalani resusitasi segera akan membalikkan keadaan
vasokonstriksi, dan dapat membuang terombus jika diberikan dalam jumlah besar,
mendilusi factor koagulasi dan merubah viskositas oleh karna resistensi yang rendah.
Sehingga pemilihan waktu dan jumlah pemberian menjadi penting untuk
dipertimbangkan. Resiko potensi untuk memicu perdarahan dari pembuluh darah
besar sebelum control bedah dapat dikurangi dengan menghindari jumlah pemberian
yang terlalu cepat dan terlalu awal, trauma penetrasi mudah untuk diteliti , namun
terauma tumpul lebih sulit Cairan hipertonis terbukti sangat berguna di sini, mungkin
dikarnakan lebih banyak cairan yang berada pada intravasculer di banding dari dua
kelompok cairan yang lain. Sirkuit ekstracorporal akan mempertahamkan sirkuit
tubuh sementara tetap mengisolasi trauma vaskuler selama operasi.
Seiring dengan kemajuan abad, resusitasi masih merupakan bidang yang masih
butuh penelitian lebih lanjut, untuk mengetahuitujuan resusitasi dan membuat
interfensi ketika diindikasikan untuk membuat peningkatan outcome. ²
15
RINGKASAN
1. Penguasaan dasar fisiologis dan hemodinamik merupakan pendekatan paling
tepat dalam menentukan sikap untuk menangani pasien syok haemoragik
2. Pada perdarahan tejadi kehilangan volume darah akut sehingga terjadi
perubahan-perubahan hemodinamik seperti vasokonstriksi perifer, takikardia
dan kekuatan kontraktilitas miokard yang meningkat, hipoperfusiyang
menyebabkan metabolisme anarob dan asidosis.
3. Klasifikasi perdarahan harus diketahui dengan baik.
4. Resusitasi perdarahan tidak hanya pemilihan cairan yang tepat namun juga
berapa banyak kepada siapa dan kapan diberikan.
5. Empat alasan untuk melakukan transfuse darah dan produk darah dalam
trauma a. perbaikan transport oksigen. b. pengembalian jumlah eritrosit. c.
koreksi perdarahan yang disebabkan disfungsi trombosit. d. koreksi
perdarahan yang diakibatkan difisiensi factor perdarahan.
6. Monitoring diperlukan secara terus menerus selama tujuan dari resusitasi
belum tercapai.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sunatrio. Terapi cairan pada syok hipofolemik. Dalam: resusitasi cairan. Jakarta, 2000: 1-42
2. Mary konula. Fluid and blood therapy in trauma. Departemen of anaesthesia, Christian
medical college hospital, vellore. Januari 2009
3. Ery laksana. Terapi cairan dan nutrisi parenteral. Smf/bagian anestesi dan terapi intensif
RSUP dr.kariadi/fak.kedokteran univ.diponegoro semarang. Oktober 2007
4. Raharjo E. Shock hipovolemik. Dalam : symposium “2nd Fundamental course on fluid
therapy”. Mercure hotel Jakarta: PT widatra bakti, 2003 : 1-8
5. Pfister WK. the trauma victim. In : post anesthetic care. Norwalk, California: Appleton &
lange, 1990 : 239-249
6. Wikinsin Douglas A, skinner markus W. pengelolaan jalan nafas. Dalam primary trauma care
versi bahasa Indonesia. WFSA-ISDAI.2009: 5-9
7. Primary trauma care manual versi bahasa Indonesia. WFSA-IDSAI. 2009.
17