resume tentang perlindungan konsumen
TRANSCRIPT
Nama : Fajri Fil’ardi
NPM : 110120120030
Mata Kuliah : Hukum Organisasi Perusahaan
RESUME TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Pengertian konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang
membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau
sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud
konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki
dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar
hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan
dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan
cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam
hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang /
jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah
menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan
konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun
diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal
20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat
mengajukan perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21
ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan
Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh
dinas Indag Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen,
dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa
mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan
penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam
soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan
Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa
dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta
Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar,
Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, dan Kota Medan.
3. Definisi Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang
perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-
hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan
harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu
merugikan hak konsumen.
Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat
hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan
mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah
dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah
adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen,
yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat
pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu
meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau
jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya
apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan
berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu,
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan
fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi
yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-
undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan
kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha
adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta
dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan
konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui
penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini
dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku
usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan
penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan
dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan
nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan
terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia
seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia
yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar
1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada
dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-
undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-
undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang, menjadi Undang-undang;
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah;
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing
The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia);
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Hak Cipta sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1987;
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas
kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun
1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup
tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini
karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-
undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang
melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini merupakan paying yang mengintegrasikan dan
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang
jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-
benar kuat.
a. Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas
perlindungan konsumen.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara
keseluruhan.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material
maupun spiritual.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
5. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut
hak- haknya sebagai konsumen.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
6. Hak dan Kewajiban Konsumen
a. Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak
dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting
agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.
Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan
kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-
haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang/jasa.
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen
yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga
kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara
tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan
curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun
1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa
konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak
konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga
diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen,
misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII), bagaimana
konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI).
b. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
• Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
• Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
• Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
• Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
7. Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen
a. prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip
tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng
ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori
bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian
pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang
berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu
adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada
produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan
ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-
bukti, yaitu :
Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai
kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya
kerugian konsumen.
Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas
produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau
digunakan.
Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya
kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan
kerugian konsumen).
Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga
mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda
terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
a. Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan
Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah
suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan
dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena
gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu
adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara
produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan
kelalaian tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada
konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam
mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya
hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen
sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian
konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
b. Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan
Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian
namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap
persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu
hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen.
Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada
kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian
suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.
c. Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan
beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua
dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka
tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang
tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya
hubungan kontrak.
d. Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian
Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya
keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab
berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih
berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju
pembentukan tanggung jawab mutlak.
b. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran
hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas
wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi
adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak
dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau
perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan
teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu
kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual
untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya
memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka
produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan
tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat
beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum
terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
Pembatasan waktu gugatan.
Persyaratan pemberitahuan.
Kemungkinan adanya bantahan.
Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara
horizontal maupun vertikal.
c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability.
Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran.
Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan
ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum
pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan
adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian
yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka
setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat
atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus
mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan
dalam hukum tentang product liability adalah :
Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak,
beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang
memproduksi.
Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran,
berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan
pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus
bertanggung jawab.
RESUME TENTANG MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
1. Pengertian
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian
monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
atau satu kelompok pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa jika
kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus
dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak
sehat dan merugikan kepentingan umum.
2. Asas dan Tujuan
Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
a) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat
b) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil
c) Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
d) Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
3. Kegiatan yang dilarang
a) Monopoli
Monopoli adalah pengadaan barang dagangan tertentu sekurang-
kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau kelompok sehingga
harganya dapat dikendalikan.
b) Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang dan
dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang
pembeli.
c) Penguasaan pasar
Penguasaan pasar merupakan proses, cara, atau perbuatan
menguasai pasar yang berupa:
1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
2. Menghalangi konsumen untuk melakukan hubungan dengan pelaku
usaha pesaing pada pasar bersangkutan
3. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
d) Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan
kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU
Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
a) Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk
mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
b) Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia
perusahaan
c) Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang
ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun
kecepatan waktu yang disyaratkan.
Pasal 1 angka 4 UU No.5 Th.1999 menyebutkan bahwa posisi
dominan merupakan keadaan pelaku usaha yang tidak adanya pesaing
yang berarti di pasar ybs dalam kaitan dengan pangsa pasar yang
dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan , akses pada pasokan, penjualan, dan menyesuaikan pasokan
dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat
dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas
adalah sbb:
1. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
2. Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.
4. Perjanjian yang dilarang
A. Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan
pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi
pasar, maka:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
2. Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi
dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penetapan harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian sbb:
1. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama
2. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
3. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan
harga di bawah harga pasar
4. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan
5. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi
pasar terhadap barang dan atau jasa.
1. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar
negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari
pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat:
1. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain
2. membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap
barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
3. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KPPU adalah sebuah lembaga yang mengawasi pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan
atau persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam UU Nomor 5
Tahun 1999. Tugas dan wewenang KPPU antara lain:
a) Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh
pelaku usaha
b) Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha / tindakan pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
c) Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi
d) Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah
terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
e) Menerima laporan dari masyarakat/pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
f) Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan
usaha/tindakan pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktik
monopoli / persaingan usaha tidak sehat
g) Melakukan penyelidikan/ pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktik monopoli/ persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi sebagai
hasil dari penelitiannya
h) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang
i) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi
panggilan komisi
j) Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
6. Sanksi
A. Sanksi administrasi
Sanksi ini dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian,
pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha,
penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-
rendahnya satu milyar rupiah atau setinggi-tingginya 25 milyar rupiah.
B. Sanksi pidana pokok dan tambahan
Sanksi ini dimungkinkan bila pelaku usaha melanggar integrasi
vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli,
monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham,
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda
minimal 25 milyar rupiah dan setinggi-tingginya seratus milyar rupiah,
sedangkan untuk pelanggaran mengenai penetapan harga, perjanjian
tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap
dikenakan denda minimal lima milyar rupiah dan maksimal 25 milyar
rupiah.
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran berat dikenakan
pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUH Pidana berupa:
1. Pencabutan izin usaha
2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris minimal dua tahun dan maksimal lima tahun
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.