resume islam dan pembentukan akhlak mulia
DESCRIPTION
Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam Dosen : Khairil Ikhsan .S, M.Ag.RESUME ISLAM dan PEMBENTUKAN AKHLAK MULIA (Dr. Noor Rachmat, M.Ag)BAB 1 PENDAHULUANDalam buku Incyclopedia of Education (Monroe) pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang berkaitan dengan sejumlah proses dari suatu kelompok social dengan maksud untuk terjaminnya eksistensi dan pertumbuhan kelompok sosial tersebut. Menanamkan, dan membentuk suatu karakter, kebiasTRANSCRIPT
RESUME ISLAM dan PEMBENTUKAN AKHLAK MULIA
(Dr. Noor Rachmat, M.Ag)
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam buku Incyclopedia of Education (Monroe) pendidikan diartikan sebagai suatu
kegiatan yang berkaitan dengan sejumlah proses dari suatu kelompok social dengan maksud
untuk terjaminnya eksistensi dan pertumbuhan kelompok sosial tersebut.
Menanamkan, dan membentuk suatu karakter, kebiasaan dan tabiat baik tidak lepas dari
sebuah proses panjang yang namanya pendidikan. Pendidikan dalam Islam, merupakan suatu
kegiatan yang merupakan bagian dari kegiatan da’wah. Kata da’wah mencakup bermacam-
macam kegiatan antara lain tarbiyah (pendidikan), tabligh, khutbah, doa, yang untuk semua
itu dalam Al-Qur’an dipakai kata-kata “da’awa”. Hal itu berarti da’wah adalah pendidikan,
dan jika ingin meneliti konsep pendidikan menurut islam, haruslah lebih dahulu mempelajari
dengan baik konteks kata-kata da’wah (da’a) yang terdapat dalam ayat-ayat Alqur’an dan
sunnah rasul, serta menganalisa hikmah-hikmmah ibadah ritual yang wajib.
Bertitik tolak dari definisi-definisi tersebut di atas, ada empat hal yang harus diperhatikan
dalam kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: Pertama, transfer nilai, Kedua,
pembaharuan dan perbaikan, Ketiga , pembentukkan kepribadian dan Keempat, terjaminnya
eksistensi suatu nilai.
Jika kata pendidikan itu dihubungkan dengan kata “agama islam” dan hal itu dipakai
menjadi salah satu materi atau parameter ( bahasa di lingkungan sekolah adalah kurikulum)
yang diberikan pada anak didik dalam satu jenjang pendidikan tertentu, maka kurikulum itu
disebut dengan Pendidikan Agama Islam.
Namun harus disadari, bahwa pemberian kuliah Pendidikan Agama Islam di lembaga
pendidikan terakhir mestinya harus mampu memberikan dorongan agar mahasiswa mengikuti
kuliah ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan angka lulus, tetapi diharapkan ia akan
mengembangkan dan membangkitkan semangat, untuk mempelajari Islam dengan sebaik-
baiknya, semasa ia masih di perguruan tinggi, sehingga prinsip life long education dapat
terwujud, maka budaya diskusi harus ditumbuhkembangkan.
Diskusi pertama diarahkan untuk menkaji tentang manusia. Manusia dengan segala
unsure jasad, ruh, nafs, aqal, fikir dan qalb dibahas secara komprehensif pada Bab II. Dalam
mengkaji unsur-unsur manusia tersebut, terlihat bahwa manusia pada dasarnya memerlukan
agama. Jika dipelajari kehidupan umat manusia dari dahulu sampai sekarang dapat diketahui
begitu beragamnya agama yang dianut umat manusia. Tergantung pada masing-masing
individu, agama mana yang akan dipilihnya.
Penulis tidak membuat kajian perbandingan agama dalam buku ini, karena sesuai dengan
judul perkuliahan adalah Pendidikan Agma Islam, maka focus kajian tentunya tentang Islam.
Untuk itu, pada Bab III diuraikan tentang islam sebagai pandangan hidup. Setelah mengenal
Islam lebih dalam, tentunya kajian lanjutan pada Bab IV diarahkan kepada pedoman pokok
beragama yaitu Alqur’an, sunnah Rasul dan ijtihad sebagai sumber ajaran Islam.
Selanjutnya pada Bab V dibahas tentang iman yang harus menjadi pondasi utama bagi
seseorang yang beragama. Dalam Bab ini diulangim kembali kajian tentang iman, ciri-cirinya
dan langkah-langkah pembinaanya. Salah satu ciri seorang itu dinyatakan beriman ialah
ketertibannya menjalankan ibadah. Untuk itu, Bab VI memberikan uraian tentang
rahasia/hikmah dari ibadah yang dikerjakan. Bahasan ini berlanjut dengan kajian tentang
implementasi akhlakul karimah, yang diuraikan secara lebih dalam termasuk kajian tentang
rumah tangga sakinah pada Bab VII.
BAB II
MANUSIA DAN AGAMA
“A person is an individual with unique identity”
(seseorang merupakan pribadi dengan identitas yang unik)
Demikian ungkapan yang dinyatakan oleh Jeffreys NVC dalam bukunya Personal Values
in the Modern World. Sukanto dalam bukunya Nafsiologi yang mengutip ucapan Alexis
Carrel, menyatakan bahwa ilmu tentang manusia merupakan ilmu pengetahuan yang paling
sulit diantara ilmu pengetahuan yang ada.
Unik, karena memang para pakar belum mampu memecahkan rahasia pribadi manusia
secara menyeluruh. Ilmu pengetahuan hanya mampu menyatakan secara sederhana bahwa
manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Jasmani memang dapat dikaji dari ilmu faal,
biologi atau anatomi, karena ia merupakan benda nyata sehingga dapat ditelusuri dengan
diteliti. Tetapi ketika ia mencoba menelusuri yang bersifat rohani, ia terbentur. Maksimal
yang dapat dipelajari hanyalah berdasarkan gejala-gejala yang berwujud pada sikap dan
tingkah laku, yang kemudian disebut dengan ilmu jiwa atau psychology atau ilmu nafs.
Tatkala timbul persoalan lanjutan “apakah perbedaan antara roh dengan jiwa”, “mengapa
manusia dapat berfikir dan binatang tidak, sedangkan keduanya punya hati dan otak”, “kapan
masuk roh ke dalam tubuh seseorang”, ilmu pengetahuan hingga saat ini belum mampu
menjawab dan memecahkan teka-teki atau masalah ini.
Hasil peneliti Alqur’an yang penulis lakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia
terdiri dari unsure-unsur: Jasad, yang diungkapkan dalam Alqur’an pada kurang lebih 6 ayat.
Ruh, yang disebut dalam Alqur’an pada lebih kurang 21 ayat. Nafs, yang dinyatakan dalam
Alqur’an pada kurang lenih 140 ayat. Qalb, yang disebut dalam Alqur’an pada lebih kurang
125 ayat. Fikr, yang dinyatakan dalam Alqur’an dalam bentuk kata kerja pada lebih kurang
17 ayat. Aqal, sama dengan fikr dinyatakan Alqur’an dalam bentuk kata kerja pada kurang
lebih 46 ayat.
A. Jasad
Jasad merupakan bentuk lahiriah manusia, yang dalam Alqur’an dinyatakan
diciptakan dari tanah. Penciptaan dari tanah diungkapkan lebih lanjut melalui proses yang
dimulai dari sari pati makanan, disimpan dalam tubuh sampai sebagiannya menjadi
sperma atau ovum (sel telur), yang keluar dari tulang sulbi (laki-laki) dan tulang depan
(tsaraib) perempuan (at-Thariq:5-7). Sperma dan ovum bersatu dan tergantung dalam
rahim kandungan seorang ibu (alaqah), kemudian menjadi yang dililiti daging dan
kemudian diisi tulang dan dibalut lagi dengan daging. Setelah ia berumur kurang lebih 9
(sembilan) bulan, ia lahir ke bumi dengan dorongan suatu kekuatan ruh ibu, menjadikan
ia seorang anak manusia.
Meskipun wujudnya suatu jasad yang berasala dari sari pati makanan, nilai-nilai
kejiwaan untuk terbentuknya jasad ini harus diperhatikan. Untuk dapat mewujudkan
sperma dan ovum berkualitas tinggi, baik dari segi materinya maupun nilainya. Alqur’an
mengharapkan agar umat manusia selalu memakan makanan yang halalan thayyiban.
(Surat Al-Baqarah :168, Surat Al-Maidah :88 dan Surat Al-anfal :69). Halal bermakna
suci dan berkualitas dari segi nilai Allah. Jangan sampai ada sari pati makanan yang
kemudian menjadi satu sel sperma atau satu sel curian dari kebon orang, atau berasal dari
bakso yang tidak dibayar atau mungkin berasal dari uang yang seharusnya menjadi hak
orang msikin yang tak disampaikan kepada yang punya hak.
B. Ruh
Ruh adalah daya (sejenis makhluk/ciptaan) yang ditiupkan Allah kepada janin dalam
kandungan (Surat Al-Hijr:29, Surat As-Sajadah :9, Surat Shaad:27) ketika janin berumur
4 bulan 10 hari. Manusia sampai sekarang ini belum mampu mengungkap dan meneliti
secara mendalam tentang ruh. Bahkan ilmu pengetahuan tak mengenalnya. Walaupun
dalam istilah bahasa dikenal adanya istilah ruhani, maka kata ini lebih mengarah pada
aspek kejiwaan, yang dalam Alqur’an disebut nafs. Ketidakberhasilan manusia memilah
mana yang ruh dan mana yang jiwa, member bukti kebenaran pernyataan surat Al-Isra
ayat 85 yang menyatakan Allah memberikan ilmu tentang ruh itu hanya sedikit. Manusia
mampu mendeteksi gejala-gejalanya pada diri manusia, namun tetap mengalami kesulitan
mendeteksi ruh itu sendiri. Dengan segala macam cara dilakukan, tetap mengalami
kegagalan.
Tentang status ruh, surat An-Nahl: ayat 2 dan 102, Surat Al-Mu’min: 15, surat
Maryam: 17, Surat An-naba: 38 dan surat Al-Qadar: 4, memberikan informasi bahwa ruh
itu sederajat dengan malaikat. Malaikat dan ruh itu diturunkan dan diutus Allah sesuai
dengan perintah-Nya dan mereka berdiri sendiri bersaf-saf. Dalam arti kata, malaikat dan
ruh itu setara. Ia mampu mi’raj kepada Allah, sebagaimana juga malaikat mi’raj kepada
Allah dalam 1 hari dengan kadar 50.000 tahun ukuran manusia (surat Al-Ma’arij ayat 4).
Dalam diri manusia ruh berfungsi untuk:
1. Membawa dan menerima wahyu (surat As-Syu’ara ayat 193), dan
2. Menguatkan iman (surat Al-Mujadalah ayat 22).
Dengan adanya ruh tersebut, setiap manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan
yang sama untuk menganalisis Alqur’an dan alam semesta dalam rangka peningkatan
kualitas keimanannya.
C. Nafs
Alqur’an menjelaskan bahwa, nafs terdiri dari 3 jenis, masing-masing diungkapkan
pada surat :
1. Nafs Al-Amarah, (Surat Yusuf ayat 53) yang menyatakan: “Aku tidak bermaksud
membersihkan jiwaku, karena sesungguhnya nafs amarah mendorong kepada
kejahatan, kecuali yang diberi rahmat Tuhanku”. Ungkpan ini secara tegas
memberikan pengertian bahwa nafs amarah itu mendorong kea rah kejahatan.
2. Nafs Al-Lawwamah, (Surat Al-Qiyamah ayat 1-3) yang menyatakan : “Aku
bersumpah dengan hati qiyamah, dan aku bersumpah dengan nafs Al-lawammah,
apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan mengumpulkan tulang
belulangnya?”. Ungkapan ayat-ayat ini tidak memberi petunjuk tentang apa nafs
lawammah ini. Tetapi, jika berbicara penjelasan lanjutan ayat 20-21 berbunyi :
“Sekali-kali tidak, sebenarnya kamu mencintai dunia (ajilah), dan meninggalkan
akhirat”. Dengan penjelasan ini terlihat bahwa yang dimaksud nafs lawammah ini
adalah jiwa yang condong kepada dunia dan tak acuh dengan akhirat.
3. Nafs Al-Muthmainah, (Sut Al-Fajr ayat 27-30) yang menyatakan : “Hai nafs
muthmainah, kembalilah kepadaTuhanmu dengan senang (radhiah) tenang
(mardhiah), masuklah dalam kelompok hambau, dan masuklah ke dalam kebahagiaan
(jannah) bersamaku”. Dari uraian ini terlihat bahwa nafs muthmainah ini adalah jiwa
yang mengarah ke jalan Allah untuk mencari ketenangan dan kesenangan sehingga
hidup berbahagia bersama Allah.
Ilmu pengetahuan merumuskan bahwa manusia sejak lahir membawa tiga insting
yaitu : Pertama, Insting seks yang mengarahkan kepada kepuasan dan kenikmatan, kedua,
Insting property yang mengarahkan kepada kebendaan dan kekuasaan, ketiga, Insting
religi yang mengarahkan kepada kesucian dan kebersihan.
Dari tiga macam bentuk jiwa yang terdapat pada diri manusia itu selalu terjadi
pertarungan kepada ketiganya. Yang satu mendorong manusia untuk cinta dunia dan tak
acuh dengan kehidupan akhirat, sementara yang satu lagi justru mengajak manusia itu
untuk hidup di jalan Allah. Yang terakhir ini merupakan bentuk jiwa yang membuat
hidup senang dan tenang dalam kebahagiaan di jalan Allah.
D. Qalb
Kata Qalb berasal dari qalaba yang berarti membolak-balik. Sebagai kata benda ia
bermakna “jantung”, namun ia lebih popular diterjemahkan sebagai “hati”. Secara
operasional, Alqur’an memberi gambaran bahwa qalb itu terletak dalam shudur, yang
sering diartikan dada. Persoalan lebih lanjut ialah shudur ada persamaan kata dengan
sadar. Dalam otak juga ada yang disebut dengan pusat sadar. Qalb merupakan suatu
dorongan perasaan, ada yang bersifat positif dan ada yang negative. Yang positif member
dorongan ke arah keimanan kepada Allah dan yang negatif member dorongan
pembangkangan pada ajaran-ajaran Allah.
Proses kerjanya disebut juga dengan istilah ‘a’fidah’ ; ‘fuaada’ yang sering diartikan
perasaan. Dari ungkapan surat An-Nahl ayat 78, As-Sajadah ayat 9 dan Al-Mulk;
diungkapkan bahwa perasaan dari qolb itu muncul setelah pendengaran dan penglihatan
berfungsi. Bagi mereka yang tidak menggunakan ketiga alat ini untuk mempelajari ayat-
ayat Allah, baik yang berbentuk Alqur’an maupun alam semesta, surat al-A’raf ayat 179
menyatakan mereka mirip binatang bahkan lebih jelek.
E. Fikir dan Akal
Kata fikir dan akal tidak ditemukan dalam bentuk kata benda, tetapi bentuk yang
ditemukan dalam Alqur’an adalah bentuk kata kerja. Dari sini dapat dipahami bahwa
diinformasikan adalah proses kerjanya, yaitu berfikir dan menggunakan akal. Pusat
sumber berfikir ditemukan oleh penelitian manusia dalam bentuk saraf-saraf yang
terhimpun pada otak. Alqur’an tidak memberikan informasi. Di sisi lain, ilmu
pengetahuan dan penelitian manusia tak mapu menemukan pusat kerja akal. Sehingga
sering terjadi pemahaman bahwa akal sama dengan fikir. Alqur’an menginformasikan
bahwa qolb yang berfungsi membuat manusia berakal (surat Al-Hajj ayat 46).
1. Fikir
Fikir merupakan proses kerja dari otak, dan proses ini terjadi hanya pada manusia.
Perlu dianalisa bahwa binatang pun juga punya otak, tapi ia mampu berfikir. Secara ilmu
pengetahuan, manusia dapat meneliti segi struktur otaknya. Otak bukan hanya alat untuk
berfikir, tetapi ia juga merupakan alat untuk menggerakkan anggota tubuh. Besar kecilnya
otak seseorang, tidak menentukan secara mutlak tinggi rendahnya kepandaian sesorang,
tidak menentukan secara mutlak tinggi rendahnya kepandaian sesorang.
Alqur’an maupun hadists tidak menerangkan bagaimana terjadinya proses berfikir itu.
Menyelidiki proses berfikir merupakan tugas manusia dengan bekal ilmu pengetahuan
yang diberikan Allah kepadanya.
Pola berfikir ilmiah dalam islam berbeda dengan pola berfikir ilmiah yang
diungkapkan oleh Djamaludin Kafie. Surat Ar-Rahman ayat 2 dan 4 menginformasikan
bahwa ilmu itu ada dua macam, yaitu Alqur’an dan Al-Bayyan. Dengan dalil ini, maka
pola berfikir ilmiah dalam islam itu adalah beranjak dari konseptual (Alqur’an)
bandingkan dengan realita factual (Al-Bayyan) serta teori-teori dari para saintis dan uji
kebenarannya (validitas) kembali dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul.
2. Akal
Sebagian para ahli menyamakan akal dengan fikir dan ada pula yang menyamakannya
dengan intelegensi. Gazalba menyatakan bahwa akal itu ialah penggunaan fikir dan rasa
secara serempak. Sementara Sukanto menyatakan bahwa akal itu lebih berakar pada hati
daripada otak sebagai tempat tinggal lalu lintas berfikir, sedang akal mengikat konsep
fikir yang ada dalam hati. Dalam Alqur’an, kata ini tidak dijumpai dalam bentuk kata
benda (isim), tetapi umumnya digunakan kata kerja (fi’il).
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa rumusan, yaitu : pertama, masalah yang
dikaji adalah tentang akal dalam hubungannya dengan manusia, hubungannya dengan
Tuhan, hubungannya dengan kehidupan akhirat, hubungannya dengan masalah kerasulan,
hubungannya dengan materi Alqur’an, hubungannya dengan masalah penciptaan manusia
dan sikap hidup, hubungannya dengan kemasyarakatan, hubungannya dalam
pengendalian kekayaan dan penataan alam.
Kedua, masalah fikir yang berhubungan dengan proses penciptaan alam, berhubungan
dengan kebendaan, hubungannya dengan manusia dan kehidupan, dan hubungannya
dengan kerasulan Muhammad SAW.
BAB III
ISLAM SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
A. Islam Sebagai Suatu Organisasi Kehidupan
Snouck Horgronje dalam sarannya kepada pemerintah Hindia Belanda yang kemudian
menjadi pegangan pokok bagi pemerintah Hindia Belanda dalam politiknya menjajah
Indonesia waktu itu (awal abad XX) mengemukakan :
1. Islam sebagai kegiatan keagamaan berbentuk ibadah ritual perlu didukung dengan
baik.
2. Islam sebagai kegiatan dan kekuatan politik, berarti ancaman bagi kekuasaan Belanda
di Indonesia.
3. Islam sebagai kegiatan social, dapat dibiarkan saja.
Teori Snouck Horgronje tersebut telah dipraktekkan di Aceh dan ternyata berhasil
menaklukkan dan melumpuhkan kekuatan suku bangsa Aceh, mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk menerapkan pola itu dalam memerintah dan mengendalikan daerah
jajahannya di Indonesia. Tidak sedikit pula kritik-kritik yang dilontarkan penjajah
terhadap pendapat Snouck itu. Namun, meskipun bertolak dari suatu asumsi yang salah
tetapi jika dijalankan dengan konsisten, asumsi yang salah satu itu dapat menciptakan
realitasnya sendiri.
Agama bukan bagian dari kebudayaan seperti yang dianalisis oleh orang-orang
sekuler. Agama harus diletakkan sebagai sumber daya kreatif dan sublimatif (luhur) bagi
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan di Indonesia, khususnya pada penganut
agama Islam. Sebagai seorang muslim, Islam harus merupakan aspek dari suatu
kebudayaan, yang memberikan etos spiritual yang amat besar pengaruhnya bagi
perkembangan kebudayaan. Agama harus ditempatkan sebagai factor pendorong
(motivasi faktor) bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
B. Kematangan dan Kebahagiaan Hidup dalam Islam
Mengimani Allah dalam ajaran Islam, dapat memecahkan masalah keragu-raguan.
Ajaran tentang iman kepada Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, tanpa adanya
oknum-oknum ataupun ikutan lain yang menempel padanya, akan mampu menghadapi
tantangan-tantangan yang diberikan oleh proses kebudayaan dan proses perkembangan
ilmu pengetahuan.
Islam memerintahkan umatnya untuk beriman kepada hari akhir dan beriman kepada
qdha dan qadar baik dan buruk. Beriman kepada hari akhir, dimana pada hari itu segala
sesuatu perbuatan yang baik dan yang buruk dari manusi akan diperhitungkan secara
teliti. Dengan demikian, terwujudnya suatu system pengawasan yang sangat ketat sekali.
“Siapa yang berbuat baik walaupun sebesar zarrah, dia akan melihat hasil kebaikan itu.
Dan siapa yang berbuat jahat walaupun sebesar zarrah dia pun akan melihat hasilnya”
(Surat Al-Zalzalah : 7-8).
Dengan janji yang demikian itu, makam seseorang muslim tidak perlu bersikap apatis
dalam hidupnya, jika melihat adanya kepincangan atau ketimpangan dalam kehidupan
sekarang ini. Dia pun tidak boleh terbawa oleh gelombang kepincangan hidup itu.
C. Hidup Berilmu dan Berusaha
Menuntut ilmu dalam islam, mempunyai tujuan ganda. Di satu segi bertujuan untuk
menciptakan manusia untuk beriman, di segi lain bertujuan untuk memperbaiki umat. Jika
ilmu dipergunakan untuk menganalisa kejadian alam beserta isinya, akan membawa
kesadaran pada keagungan dan kebesaran penciptanya. Jika ilmu dipergunakan untuk
mengolah alam beserta isinya akan berfaedah untuk kesejahteraan umat manusia di dunia.
Kedua-duanya akan berakhir untuk mencapai tujuan kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda : “Siapa yang ingi keduniaan, haruslah dengan
ilmu; siapa yang ingin akhirat haruslah dengan ilmu; dan siapa yang ingin kedua-duanya,
haruslah dengan ilmu”.
Dengan demikian, sebagai landasan untuk menjadi manusia yang berilmu dan
beriman, diperlukan persyaratan : = rajin membaca = banyak berfikir dan menganalisa =
banyak mengadakan riset dan percobaan latihan dan pengamatan.
Tekanan lebih lanjut untuk menyuruh manusia berfikir dan menganalisa, tertera dalam
Alqur’an yang berbunyi : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih
berganti siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi kaum ulul albab, yaitu orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan
mereka memikirkan tentang langit dan bumi, seraya berkata “Ya Tuhan kami, tiadalah
engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksaan neraka” (surat Ali-Imran: 190-191).
Ilmu menurut Islam, bukan berarti hanya sekedar pengetahuan yang menyangkut
masalah kehidupan materi semata, tetapi menyangkut keseluruhan segi kehidupan, baik
material, spiritual, intelektual, religius, kultural, individu dan social yang sifatnya
mencakup semua segi kehidupan manusia. Cara memperoleh ilmu itu ialah : Pertama,
melalui usaha penyelidikan rasional berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Atau
dengan kata lain IPTEK. Kedua, melalui hidayah yang diberikan Allah pada manusia.
Ilmu yang pertama diperoleh dari pengalaman dan pemikiran, sedangkan ilmu yang kedua
diperoleh berdasarkan ketaatan pada Allah SWT.
D. Hidup Bersih, Rapi, Disiplin dan Sabar
Sejak awal kelahiran Islam, wahyu kedua dan ketiga memberikan tuntutan umat
Muhammad SAW untuk mengenal kebersihan, disiplin dengan waktu dan sabar, serta
bertolong-tolongan dalam kebaikan. Wahyu kedua yang berbunyi “watsiyabakaa fa
thahhir” (pakaian sucimu bersihkan) memberikan gambaran betapa persyaratan untuk
menjadi seorang muslim itu dikehendaki agar selalu menjaga kebersihan. Pengertian
pakaian bukan hanya sebatas pada pakaian jasmani saja, tetapi juga pakaian rohani (alam
pikiran). Dengan demikian, kebersihan dalam Islam menyangkut segala sesuatu yang
dipergunakan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan
lingkungan. Hubungan timbal balik antara jasmani dan rohani tidak dapat dipisahkan,
jasmani adalah pakaian rohani dan rohani adalah pakaian jasmani. Oleh karenanya, kedua
unsur itu harus disucibersihkan.
Kesucian dan kebersihan itu akan berlanjut menuju perbuatan ihsan, yang dalam arti
bahasa bermakna “berbuat tepat”, sedangkan menurut istilah dalam Islam, berbuat ihsan
itu bermakna “apabila seseorang itu berbuat sesuatu, ia seolah-olah melihat Allah, atau
sekurang-kurangnya menyadari bahwa Allah selau melihat apa yang dikerjakannya”.
Ketertiban shalat dan kebersihan serta kesucian diri sebelum shalat, mendorong
seorang muslim itu selalu disiplin dengan waktu. Janjinya sebagai seorang muslim
dengan kalimat syahadat yang diucapkannya akan ditepati dengan sebaik-baiknya.
Kalimat syahadat pertama merupakan janji kepada Allah, sedang kalimat syahadat kedua
merupakan janji kepada Rasul atau utusan Allah. Ketepatan janji kepada Allah dibuktikan
dengan sikap dan perilaku serta perbuatannya sehari-hari yang selalu dalam garis-garis
yang dibenarkan Allah dan Rasul-Nya.
Selain kebersihan dan kedisiplinan, Islam menekankan umatnya agar hidup sabar.
Kesabaran merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat. Shaum (puasa)
merupakan ibadah ritual yang berfungsi membina manusia hidup sabar, mampu menahan
segala macam hawa nafsu, termasuk nafsu marah atau sakit hati pada orang lain. Dengan
demikian komplikasi pada dirinya dan kericuhan dalam keluaraga dan masyarakat akan
dapat terhindar.
E. Hidup Berkeluarga dan Bermasyarakat
“Nikah adalah sunnahku, siapa yang tidak mengikuti sunnahku, bukan umatku”.
Bertitik tolak dari hadits itu, maka pernikahan dalam Islam merupakan salah satu ajaran
pokok. Hal ini berarti bahwa melaksanakan pernikahan atau perkawinan dalam Islam
merupakan perwujudan dalam rangka memenuhi tuntutan Allah, buka sekedar
pemenuhan kebutuhan seksual semata. Saling kenal antara kedua calon suami sitri berikut
sanak saudara beserta keluarganya, adalah merupakan anjuran, dengan pembatasan bahwa
pergaulan perkenalan itu tidak boleh berduaan saja di tempat yang sepi. Syarat utama
yang dikehendaki Islam adalah mencari pasangan hidup dan pertimbangan utamanya
ialah kesamaan agama. Kemudian baru menyusul faktor keturunan, kecantikan dan
kekayaan. Masalah cinta adalah masalah kedua. Agama tidak boleh dikorbankan dengan
alasan cinta.
Individu yang berakhlak, membawa lingkungan keluarga yang berakhlak pula.
Keluarga yang berakhlak mulia membawa lingkungan masyarakat yang berakhlak mulia
pula. Jika ini dapat terwujud, maka akan tercipta pula suatu negara yang penduduknya
berakhlak tinggi dan bertakwa. Dalam hidup bermasyarakat, diperlukan pemimpin-
pemimpin. Dalam konsep Islam manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka
bumi. Dengan dasar itu, setiap individu dibekali dengan sifat-sifat kekhalifahan.
BAB IV
AL-QUR’AN, SUNNAH RASUL, IJTIHAD
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. Sistematika Sumber Ajaran Islam
Berpedoman pada surat An-Nisa ayat 59, para ahli sepakat bahwa sumber ajaran
Islam yang utama ialah : Alqur’an dan Al-Hadits. Kesepakatan ini diperkokoh dengan
hadits nabi Muhammad SAW yang menyatakan : “Aku tinggalkan pada kalian dua
pedoman hidup, yang siapa berpegang kepadanya selamatlah dia. Pedoman itu ialah
Kitabullah dan Sunnahku”. Dalam kesempatan lain, ketika Muaz bin Jabal akan
berangkat ke Yaman sebagai Duta, nabi bertanya kepada Muaz : “Hai Muaz, jika
umatnya bertanya padamu tentang sesuatu masalah, dalil apa yang engkau gunakan?
Muaz menjawab : “Dengan alqur’an”. Nabi bertanya : “Jika tidak terdapat dalam
Alqur’an bagaimana?”. Muaz menjawab : “Dengan sunahmu”. Nabi bertanya lagi : “Jika
tak ada dalam sunahku?”. Muaz menjawab : “Dengan ijtihadku”. Berpedoman pada
sunnah Rasul ini, maka ahli hukum Islam (ahli fiqih) menambah sumber ajaran Islam
yang ketiga yaitu ijtihad atau hasil ijtihad.
Namun memsuki abad XIV Masehi, gejala kemunduran mulai tampak. Hal ini
disebabkan sumber utama Alqur’an dan Sunnah mulai kurang mendapat analisis,
sementara ijtihadnya lebih menonjol. Suasana itu membuat para ahli fiqih periode
berikutnya berfikir ulang tentang penggunaan ijtihad. Persyaratan ijtihad dipersulit,
sehingga orang tidak berani lagi untuk berijtihad. Dikukuhkanlah sebagai sumber ajaran
Islam berikutnya. Selain Alqur’an dan Sunnah Rasul, yaitu :
1. Ijma ulama, yaitu kesepakatan para ulama tentang suatu masalah.
2. Qiyas, yaitu dalil yang diambil berdasarkan kasus yang hamper sama mirip dengan
asbabun nuzul (kasus yang menyebabkan turunnya ayat Alqur’an) atau asbabun
wurud (kasus yang menyebabkan keluarnya sunnah Rasul).
Selain sumber yang empat itu, ada sumber lain yang tidak menjadi kesepakatan
ulama, seperti istihsan yaitu mengambil dalil dari berbagai macam ide pemecahan yang
ada lalu dipilih yang terbaik. Disamping itu ada maslahat mursalah yaitu mengambil dalil
dengan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
B. Ayat-Ayat Qot’iy dan Zhanny
1. Ayat-ayat Alqur’an dari Segi Sumbernya
Ayat-ayat Alqu’an bila ditinjaudari segi diwahyukan kepada Rasul SAW yang
kemudian disampaikan kepada umatnya semuanya adalah pasti (qat’i). artinya dapat
dipastikan bahwa setiap ayat yang dibaca adalah hakikat nash Alqur’an yang
diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan disampaikan oleh Rasul SAW kepada
umatnya tanpa ada perubahan atau penggantian. Ketika turun kepadanya sebuah
surat, atau satu ayat kemudian disampaikan kepada para sahabatnya, dibacakan
kepada mereka, dan dituliskan wahyunya. Bahkan diantara sahabatnya ada yang
menulisnya untuk dirinya sendiri. Diantara mereka banyak yang menghafal dan
membacanya setiap waktu. Pada waktu Rasul SAW wafat, ayat Alqur’an telah
ditadwinkan (dibukukan) menurut kebiasaan pentadwinan orang Arab. Ayat-ayat
tersebut juga telah dihafal oleh sebagian besar umat Islam.
Penulisannya dihimpun satu sama lain menurut urutan yang pernah dibacakan
oleh Rasul SAW kepadanya dan kepada para sahabat pada masa hidupnya. Himpunan
ini, termasuk apa yang dihafal oleh para Huffazh, menjadi tempat kembali umat Islam
dalam menerima Alqur’an. Pemeliharaan himpunan ini telah dilakukan oleh Abu
Bakar pada masa hidupnya dan pada masa Umar, himpunan ini ditulis ulang menjadi
empat copy sedangkan kitab aslinya ditinggalkan kepada anak perempuannya yaitu
Hafshah ummil mu’minin.
Ketika Utsman menjadi khalifah, himpunan Alqur’an diambil dari Hafshah dan
dinaskahkan dengan perantara Zaid bin Tsabit. Dengan dibantu beberapa tokoh besar
Muhajirin dan Ansor, naskah ditulis menjadi beberapa naskah dan dikirim ke berbagai
kota umat Islam. Dengan demikian Abu Bakar telah memelihara hasil pentadwinan
ayat Alqur’an sehingga tidak sedikitpun ada yang hilang. Sedangkan Utsman
menyatukan umat Islam pada suatu himpunan dari hasil pentadwinan tersebut dan
menyebarluaskan pada umat Islam, sehingga mereka tidak saling berselisih tentang
lafal dan bacaannya. Umat Islam melakukan penukialan (pemindahan Alqur’an
dengan bentuk tulisan dari Mushaf yang telah dibukukan; atau dengan cara menerima
secara langsung dari Huffazh (penghafal Alqur’an) dari generasi silih berganti dalam
bebrapa abad. Meluasnya Islam ke wilayah non-Arab , terjadi salah satu pada kaum
non-Arab. Ali bin Abi Thalib membentuk tim untuk memberi tanda baca.
2. Ayat-ayat Alqur’an Ditinjau dar Segi Penunjukannya (dalalah)
Ayat-ayat Alqur’an apabila ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukum-hukum yang
dikandungnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ayat-ayat yang qoth’i dalalahnya atau yang muhkam dalalahnya.
b. Ayat-ayat yang Zhoni dalalahnya atau mustasyabih.
Adanya dua macam dalalah tersebut dijelaskan Allah dalam surat Ali-Imran ayat
7. Ayat-ayat Qoth’I dalalahnya ialah ayat yang menunjukkan pada makna yang bisa
dipahami secara tertentu, tida ada kemungkinan menerima ta’wil dan tidak ada
kemungkinan menerima ta’wil dan tidak ada tempat bagi pemahaman arti yang selain
itu, seperti firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 12 : “Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak.
Ayat tersebut penunjukannya pasti, artinya bagian suami dalam keadaan tidak
punya anak adalah seperdua, tidak lebih dan tida kurang. Serta seperti firman-Nya
dalam soal menindak laki-laki dan perempuan yang berzina dalam surat An-Nur ayat
2. Perempuan yang berzina dan laki-lak yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang
dari keduanya seratus kali dera.
Penjelasan yang bersifat Zhonni umumnya berlaku bidang muamalat dalam arti
luas yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan
masyarakat. Karena kehidupan masyarakat selalu berkembang, maka penerapan
hukum akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah kaidah : “Perubahan hukum
berdasarkan perubahan waktu dan tempat” dan berlaku pula daya reformulasi bila
keadaan menghendaki misalnya poligami pada suatu waktu dan tempat dinyatakan
boleh bahkan harus serta pada suatu waktu dan tempat lain dapat dinyatakan
terlarang. Dalam hal ini diketahui bahwa masalah qath’i dan Zhonni bermuara pada
sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama (mujma alyh) sehingga
tidak mungkin lagi timbul makna yang lain kecuali makna yang telah disepakati.
C. Kualitas Sunnah Rasul atau Hadists
Di kalangan umat Islam, kata Sunnah Rasul kurang popular disbanding dengan
hadist, padahal nabi menyebutkan kata “Sunnahku”. Bicara konsep bahasa, keduanya
mempunyai pengertian yang sama. Sunnah Rasul ialah apa yang diperbuat, atau
dikatakan atau sikap yang ditunjukkan oleh Rasul tentang sesuatu hal atau masalah.
Sunnah ini dapat kita kenal melalui ucapan para sahabat yang dicatat oleh generasi
tabi’it tabi’in yang dipelopori oleh Bukhari dan Muslim. Sedangkan hadist ialah
ucapan para sahabat tentang apa yang diperbuat atau dikatakan Rasul tentang sesuatu
hal atau masalah. Hadist ini juga dikenal melalui catatan yang diangkat oleh para
tabi’it tabi’in.
Perbedaannya terletak pada rangkaian peristiwa untuk menilai apakah ungkapan
tentang apa yang diperbuat, dikatakan, atau sikap Rasul itu sunnah atau hadist dapat
dianalisa dari apakah pada ungkapan itu ada rantaian peristiwa atau ungkapan lepas.
Jika ada rangkaian peristiwanya (yang dalam istilah ilmu hadist diebut asbabul
wurud), maka ungkapan itu merupakan kalimat lepas maka ia disebut hadist. Oleh
karena itu sunnah Rasul lebih banyak dapat diikuti dari buku-buku tentang kisah
kehidupan Rasul. Sedang hadist dapat dipelajari dari kitab-kitab hadist yang telah
disusun oleh para ulama hadist yang dipelopori oleh Bukhari dan Muslim. Namun
harus dicermati bahwa dalam kitab-kitab itu juga ada ungkapan tentang Rasul yang
bersifat ungkapan lepas dan yang ada untaian peristiwanya. Disinilah diperlukan
ketelitian dan kejelian. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sunnah Rasul
lebih tinggi kualitasnya disbanding maqbul dan mardud. Yang dimaksud dengan
maqbul menurut bahasa adalah “yang diterima”, yang dimaksud dengan mardud
menurut bahasa adalah “yang ditolak atau yang tidak diterima”.
Dengan demikian hadist maqbul adalah hadist yang dapat diterima atau pada
dasarnya dapat dijadikan hujjah (sumber hukum) atau dalil, yakni dapat dijadikan
pedoman dan panduan pengalaman syariat, dapat dijadikan alat istibbath (penetapan)
bayan (penjelasan) terhadap Alqur’an. Sedangkan hadist mardud adalah hadist yang
ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah.
1. Hadist mutawatir ialah hadis yang didasarkan pada kesaksian panca indera, biasa
melalui perbuatan atau melaui ucapan atau bahkan pertimbangan sahabat tentang
Rasul, yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka itu dusta.
2. Hadist ahad yaitu hadist yang para perawinya tidak sampai pada jumlah perawi
hadist mutawatir tidak memenuhi persyaratan mutawatir dan tidak mencapai derajat
mutawatir. Hadist ahad terbagi menjadi :
a. Hadist Shahih, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang adil sempurna
ingatan sanadnya bersambung tidak ber’ilat dan tidak janggal.
b. Hadist Hasan, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seseorang yang adil tidak
begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya tidak terdapat illat serta
kejanggalan.
c. Hadist Dhaif, yaitu hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadist shahih dan hadist hasan.
D. Fungsi Sunnah Rasul dalam Syari’ah Islam
Alqur’an adalah sumber ajaran yang pertama dan As-Sunnah adalah sumber yang
kedua setelah Alqur’an.
Dari pendapat para ulama tentang fungsi hadist sebagai dasar hukum Islam dan fungsi
hadist sebagai penjelasan dan interpretasi terhadap Alqur’an, dapat dirumuskan
beberapa fungsi sebagai berikut :
a. Memperkuat apa yang diterngkan Alqur’an misalnya hadist Nabi SAW tentang
melihat bulan untuk berpuasa ramadhan :
Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya (HR.Bukhari Muslim). Hadist ini menguatkan firman allah SWT.
“Maka barang siapa mempersaksikan daripada kamu akan bulan hendaklah ia
berpuasa”(surat Al-Baqarah ayat 185).
b. Menerangkan apa yang tidak mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya)
misalnya Nabi SAW : “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”
(H.R. Bukhari Muslim).
c. Menggantikan suatu hukum atau memperjelas.
Tetapkanlah atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu, bapa dan karib
kerabat secara mar’fu (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Tentang hal di atas, Nabi menyatakan “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Jika
ayat tersebut menyuruh berwasiat kepada orang tua padahal orang tua itu
termasuk ahli waris, maka hadist yang menyatakan “tak ada wasiat bagi ahli
waris”, member makna bahwa dalam wasiat yang ditinggalkan pada orang tua
atau kerabat itu tidak mengatur bagian tambahan atau pengurangan hak orang
tersebut. Di sisi lain, ayat ini memerintahkan member wasiat tanpa batas.
d. Memberikan keterangan secara luas pada sesuatu yang diterangkan secara ringkas
oleh Alqur’an.
e. Mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam Alqur’an seperti
mengharamkan pernikahan mereka yang sesusuan, mengingatkan hadist : Haram
lantaran radha (sesusuan) apa yang haram lantaran nasab (keturunan) (H.R.Ahmad
dan Abu Daud).
f. Mengkhususkan sesuatu dari umum ayat misalnya : “Diharamkan bagi kamu
memakan bangkai , darah, dan daging babi (surat Al-Maidah ayat 3). Dalam hal
ini ada hadist yang mengecualikannya yaitu : “Dihalalkan bagi kamu dua macam
bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan
belalang. Sedang dua macam darah adalah hati dan limpa” (HR. Ibnu Majah dan
Hakim).
E. Urgensi Ijtihad
Ijtihad adalah usaha yang bersungguh-sungguh dalam mempergunakan daya fikir
untuk memahami ayat Alqur’an dan Sunnah yang penunjukkan maupun kebeneran
materinya zhanni serta memecahkan permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah.
1. Ruang Lingkup Ijtihad
Ijtihad dapat digunakan dalam dua hal yaitu :
a. Dalam masalah yang sudah diatur oleh nash, tetapi dalilnya atau penunjukkan
dalilnya bersifat zhanni yaitu mengandung unsur keraguan dan kesamaran, baik
berkaitan dengan arah sumbernya ataupun makna dan tujuannya maka dalam hal
ini terdapat ruang untuk berijtihad.
b. Dalam masalah yang tidak ada ketentuannya sama sekali. Untuk hari ini para
ulama menetapkan suatu ketentuan baru yang tidak bertentangan dengan
ketentuan ayat yang sudah ada, karena memang ayatnya belum ada.
2. Metode Ijtihad
Adapun macam-macam metode ijtihad antara lain :
a. Menetapkan hukum yang sama sekali tidak disebut dalam ayat dengan
pertimbangan demi kepentingan hidup manusia, menarik manfaat dan menghindar
mudarat.
b. Menetapkan sesuatu demi kebaikan yang lebih. Atau sering disebut dengan
metode istihsan, umpama :memindahkan tanah waqaf yang terkena rencana jalan.
c. Menggunakan dalil yang ada sampai terdapat dalil yang mengubahnya atau sering
juga disebut dengan metode istishab.
d. Menggunakan kebiasaan yang berlaku (adat istiadat) dalam suatu masyarakat
sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam. Metode ini disebut metode ‘urf.
3. Langkah-Langkah dalam Berijtihad
Tanpa memperhatikan ilmu tafsir dan teori ilmu, ijtihad yang dihasilkan akan
keliru. Untuk itu perlu diperhatikan langkah-langkah berikut :
1) Orang yang berijtihad harus bertakwa dalam arti bertuhan Allah SWT dan
beriman pada Alqur’an dengan mencontohkan sunnah Rasul.
2) Dalam berijtihad harus memerhatikan bahwa Alqur’an tersusun secara
sistematika.
3) Dalam menganalisis kebenaran suatu gagasan harus didasarkan pada data yang
konkrit.
4) Pengertian yang didasarkan atas bahasa, metodologi, sistematika serta analitika
harus dicocokkan dengan pola atau contoh yang pernah dipraktekkan Nabi
Muhammad SAW.
4. Perbedaan Pendapat Hasil Ijtihad
Islam bukan saja mentolerir perbedaan hasil ijtihad tetapi menegaskan bahwa
perbedaan hasil ijtihad akan membawa kelapangan atau rahmat bagi umat
sebagaimana sabda Rasul SAW : “Perbedaan pendapat di kalangan umat akan
membawa rahmat”. Beberapa sebab yang menimbulkan perbedaan hasil ijtihad :
1) Pengertian Kata (Lafazh ayat/hadist)
2) Kaidah ushul Fiqih
3) Status Hadist
4) Ketentuan Hukum Ayat Bersifat ta’abbudi (ubudiyah) atau ta’aqquli (masuk akal)
5) Qiyas
5. Reorientasi Ijtihad
Adapun bentuk ijtihad yang diperlukan sekarang adalah :
a. Ijtihad Selektif, yaitu memilih salah satu pendapat yang diyakini paling kuat dari
pendapat-pendapat yang ada. Cara melakukan ijtihad ini adalah mengadakan studi
komparatifdiantara pendapat-pendapat yang ada, dengan memilih dalil-dalil
ijtihad yang dijadikan dasar pendapat tersebut.
b. Ijtihad Kreatif, yaitu menetapkan ketentuan baru terhadap suatu masalah dimana
ketentuan tersebut belum pernah dikemukakan ulama terdahulu, baik masalah
baru atau lama.
BAB V
IMAN SEBAGAI FONDASI HIDUP UMAT ISLAM
A. Pengertian Iman dan Proses Terbentuknya
Kata iman adalah bentuk masdar (kata dasar). Bentuk fi’il atau kata kerjanya:
“aamana” (bentuk telah) dan “yu’minu” bentuk mudhari yang berarti sedang atau akan.
Dengan demikian menurut etimologi bahasa dan teori kata tersebut berart keadaan
tentang sikap seseorang. Aamana berarti tealah beriman dan Yu’minu berarti sedang
beriman. Sedangkan sebutan mu’min adalah orang yang beriman.
Dilandasi pendirian bahwa hati seseorang hanya Allah yang mengetahuinya, maka
beriman atau tidaknya seseorang yang telah mengetahui hanyalah Allah. Akibat dari
pengertian seperti ini maka apabila seseorang telah mengucap dua kalimat syahadat telah
dinyatakan sebagai orang yang beriman dan seseorang yang di dalam tanda pengenalnya
telah mencantumkan beragma Islam maka dianggap telah beriman. Jika diperhatikan surat
Al-Baqarah ayat 165 menyatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah ialah
orang yang asyaddu hubbanilah (yang amat cinta kepada Allah). Ayat tersebut
menjelaskan bahwa iman identik dengan hub (cinta).
Mengimani Allah berarti cinta dan rindu untuk hidup dengan ajaran Allah. Apa yang
diharapkan Allah telah menjadi kemauannya. Hadist nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah
mengemukakan bahwa “Iman adalah ikatan antara kalbu, ucapan dan perilaku”. Dengan
istilah lain iman adalah kesatuan, keselarasan, keserasian, keseimbangan antara isi hati
dengan ucapan dan perbuatan.
B. Ciri-Ciri dan Konsekwensi Mukmin
Jika iman diartikan percaya maka ciri-ciri orang yang beriman tidak ada seorangpun
yang mengatahuinya, kecuali hanya Allah saja. Tetapi pengertian iman yang benar
meliputi aspek kalbu, ucapan, dan perilaku, maka ciri-ciri orang yang beriman dapat
diketahui dan diteliti. Ciri-ciri yang prinsip dapat disebut antara lain :
a. Jika disebut nama Allah bergetar hatinya untuk mendekatkan diri pada-Nya. Ia akan
berusaha agar nama Allah itu tidak lepas dari ingatannya sehingga untuk setiap
apapun yang dikerjakannya selalu dengan motivasi “lillahi ta’ala” (karena perintah
Allah) dan jika dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an bergejolak hatinya untuk
melaksanakan (surat Al-Anfal ayat 21).
b. Tawakal, yaitu senatiasa berusaha keras bagaimana hsilnya diserahkan kepada Allah.
Orang yang tawakal adalah orang yang menyandarkan segala aktivitasnya atas
perintah Allah. Dalam bekerja keras itu, ia sudah harus mempelajari hasilnya.
Andaikata ia gagal memperoleh hasil yang diperhitungkan semula ia tidak akan
berputus asa karena ia sadar sepenuhnya bahwa kewajibannya adalah bekerja keras,
diiringi doa (surat Ali-Imran ayat 120, surat Al-Maidah ayat 12, surat Al-Anfal ayat 2,
surat At-Taubah ayat 52, surat Ibrahim ayat 11, surat Al-Mujadalah ayat 10 dan surat
At-Taghabun ayat 13).
c. Tertib mengerjakan shalat dengan khusyu dan menjaga waktu pelaksanaannya (surat
Al-Anfal ayat 3 dan surat Al-Mukminun ayat 2 dan 7). Betapapun sibuknya ia
bekerja, jika dating waktu shalat maka ia akan segera melaksanakannya.
d. Selalu menafkahkan sebagian dari setiap rezeki yang diterima dalam rangka
menyucikan rezeki yang diperolehnya itu (surat Al-Anfal ayat 3, surat Al-Mukminun
ayat 4).
e. Menghindarkan kata-kata yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (surat Al-
Mukminun ayat 3 dan 5).
f. Memelihara amanah dan menepati janji (surat Al-Mukminun ayat 6 dan surat Al-
Maidah ayat 1).
g. Berijtihad selalu di jalan Allah dan suka menolong (surat Al-Anfal ayat 74). Yang
dimaksud berijtihad di jalan Allah ialah mengerjakan sesuatu yang bermanfaat baik
untuk dirinya maupun lingkungannya secara bersungguh-sungguh dengan motivasi.
h. Tidak meninggalkan satu pertemuan sebelum meminta izin pada pihak
penyelenggaraan (surat An-Nur ayat 62).
C. Pembinaan Iman
Kata pembinaan iman menurut etimologi berasal dari kata-kata bana yang berarti
membangun, sedangkan kata-kata binaan seperti pembangunan. Apabila iman diartika
sebagai pandangan dan sikap hidup maka pembinaan iman berarti membina manusia
seutuhnya. Beberapa langkah yang paling cocok yaitu pembukukan diri (internalisasi)
yang dapat dicapai melalui 4 langkah yaitu :
1. Studi Sebagai Suatu Pembinaan Alam Fikiran
Alam fikiran adalah merupakan suatu system yang senantiasa membuka berbagai
kemungkinan masuknya berbagai pengaruh. Suatu sikap yang telah terbentuk di
dalam diri seseorang apabila tidak mendapat pembinaan yang terus menerus akan
terjadi erosi sikap yang akhirnya pudar dan bergeser. Studi yang dapat diharapkan
dalam rangka pembinaan iman adalah studi yang dilandasi dengan motivasi Bismillah
yaitu berharap dapat hidup menurut ketentuan Allah bukan dengan motivasi lain.
2. Shalat sebagai Pembukuan Diri Menjadi Mukmin
Shalat menurut bahasa adalah doa atau harapan, yang dimaksud dengan shalat
menurut istilah adalah suatu harapan agar dapat hidup menurut ketentuan Allah yaitu
menjadi seorang mukmin dengan cara yang telah diatur sedemikian rupa seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah.
Shalat maktubah yang lazim dikenal dengan shalat lima waktu disamping
berfungsi sebagai pembinaan kepribadian secara individual juga berfungsi sebagai
pembinaan kepribadian berkelompok baik keluarga maupun masyarakat terbatas yaitu
dilakukan dengan shalat berjamaah.
3. Puasa (shaum) Sebagai Bukti Seorang Itu Telah Menjadi Mukmin
Surat Al-Baqarah ayat 183 menyeru orang-orang yang beriman untuk
mengerjakan puasa ramadhan dengan harapan agar orang yang beriman itu lebih cepat
mencapai tingkat takwa.
Dengan mengerjakan puasa, diri dibendung dari perbuatan yang dilarang agama,
mata dijaga, ucapan-ucapan mulut dipelihara, jangan sampai menyinggung perasaan
orang lain. Jika semua itu dilakukan karena kesadran yang penuh maka nyata tingkat-
tingkat mencapai takwa itu secara langsung dapat dilalui selama bulan puasa.
4. Haji Sebagai Pembinaan Hubungan Internasional
Haji adalah merupakan rukun Islam yang kelima. Terhadap mereka yang mampu
dituntut melaksanakannya. Haji mempunyai banyak fungsi dimana paling pokok yang
selama ini kurang disadari adalah untuk membina hubungan antar bangsadi seluruh
penjuru dunia.
BAB VI
HIKMAH IBADAH
A. Prinsip-Prinsip Ibadah
1. Ada Perintah dan Ketentuan
Dalam melakukan ibadah kepada Allah manusia tidak mempunyai kekuasaan
menentukan bahkan sebaliknya manusia sangat terikat terhadap ketentuan-ketentuan
yang diberikan Allah dan Rasuul-Nya.Untuk ibadah shalat, puasa, zakat dan haji
dengan jelas terdapat perintah dan ketentuan dalam Alqur’an.
2. Meniadakan Kesukaran
Keseluruhan ibadah dalam syariat Islam tidak ada yang menyukarkan dan
memberatkan mukallaf atau orang yang dikenai kewajiban apalagi yang tidak
mungkin dilaksanakan. Semua ibadah berada dalam batas kewajaran dan sejalan
dengan kadar kesanggupan manusia. Prinsip kedua ini diterangkan Allah dalam
Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 185 : “Allah mengehendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
3. Tidak Banyak yang Dibebankan
Prinsip yang ketiga ini berhubungan dengan prinsip kedua di atas, karena apabila
banyak yang dibebankan tentu akan berakibat timbulnya kesukaran. Yang dimaksud
dengan prinsip tidak banyak yang dibebankan adalah bahwa pembebanan dalam
syari’at Islam jika dibandingkan dengan waktu dan keadaan, sesungguhnya tidak
dapat dikatakan banyak. Yang mendasari prinsip ini adalah firman Allah surat Al-
Maidah ayat 101 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Alqur’an itu sedang diturunkan niscaya
akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
B. Penggolongan Ibadah
Penggolongan ibadah ditentukan berdasarkan titik pandang yang digunakan untuk
menilainya. Secara umum ibadah dalam Islam dikelompokkan menjadi :
1) Ibadah ammah atau ibadah qhairu (non ritual) yaitu semua perbuatan positif yang
dilakukan dengan niat baik dan semata-mata mencari keridhaan Allah.
2) Ibadah Khasshah atau ibadah mahdkkah (ritual) yaitu segala kegiatan yang
ketentuannya telah ditetapkan nash Alqur’an dan As-Sunnah.
Ditinjau dari segi pelaksanaannya ibadah dalam Islam dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1) Ibadah jamaniah Ruhiyah yaitu ibadah yang dalam pelaksanaannya memerlukan
kegiatan fisik disertai jiwa yang tulus dan ikhlas kepada Allah.
2) Ibadah Jasmaniah Ruhiyah Maaliyah yaitu ibadah yang pelaksanaannya memerlukan
kekuatan fisik dan mental yang membaja dan materi. Contohnya adalah haji dalam
Islam hanya diwajibkan pada orang yang mempunyai kemampuan (istithah).
Ditinjau dari segi kepentingan ibadah dalam ajaran Islam dibedakan menjadi dua
kelompok :
1) Ibadah fardy yaitu ibadaah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang
melakukan saja dan tidak hubungannya dengan orang lain. Contohnya : shalat dan
shaum merupakan ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah.
2) Ibadah Ijtima’I yaitu ibadah yang manfaatnya disamping dirasakan oleh orang yang
melakukan juga dapat dirasakan oleh orang lain. Contohnya adalah ibadah zakat.
Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya ibadah dalam Islam, dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu :
1) Ibadah Muqawat yaitu ibadah yang waktu pelaksanaannya dengan waktu-waktu yang
telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya. Apabila dilaksanakan diluar waktunya maka
nilainya menjadi tidak ada atau menjadi tidak sah. Misalnya ibadah shalat, setiap
shalat mempunyai waktu tertentu artinya setiap shalat harus dilaksanakan pada
waktunya masing-masing.
2) Ibadah Ghairu Muqawat (waktu) yaitu ibadah yang waktu pelaksanannya tidak
tergantung dengan waktu-waktu tertentu artinya selama diizinkan Allah maka hal itu
dapat dilakukan. Misalnya untuk bertasbih dan zikir kepada Allah hal itu dapat
dilakukan kapan saja.
Dilihat dari segi status hukumnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Ibadah wajib yaitu ibadah yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.
Apabila tidak dikerjakan yang bersangkutan akan mendapat dosa misalnya shalat,
puasa dan zakat.
2. Ibadah sunnah yaitu ibadah yang sebaiknya dilaksanakan. Apabila dilaksanakan yang
bersangkutan mendapat pahala dan apabila tidak dilaksanakan yang bersangkutan
tidak mendapat dosa misalnya shalat rawatib dan shalat dhuha.
D. Tujuan dan Hikmah Ibadah
Islam adalah agama Rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena
itu diperlukan manusia yang bertakwa atau patuh pada segenap perintah dan larangan
Allah. Mereka itu tidak lain adalah manusia yang bersih hatinya dan baik akhlaknya.
Manusia seperti inilah yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, sehingga Islam
sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dan dirasakan. Pada hakekatnya hal itu
merupakan tujuan agama Islam. Ibadah sebagai suatu kewajiban bertujuan untuk
membina rohani dan akhlak manusia. Ibadah dalam Islam merupakan wasilah atau
perantara dan sama sekali bukan ghayah atau tujuan. Oleh karena itu Islam rahbanah dan
bukan pula agama yang mengajarkan untuk berlebih-lebihan mengerjakan ibadah.
Adapun tujuan ibadah secara rinci adalah :
1. Untuk Membina Rohani
Ibadah yang terdapat dalam syari’at Islam yaitu shalat, puasa, zakat dan haji selain
untuk menyatakan ketakwaan kepada Allah juga bertujuan untuk menjadikan rohani
manusia senantiasa tidak lupa pada Allah bahkan supaya senantiasa dekat dengan
Allah.
2. Untuk Membina Akhlak
Akhlak atau budi pekerti luhur merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat, bahkan ia merupakan faktor penentu kebaikan dan
ketentraman suatu masyarakat. Oleh karena itu tidak heran jika hal itu banyak
disinggung Allah dalam Alqur’an. Selain itu Rasulullah sendiri menyatakan bahwa
diutusnya beliau ke dunia adalah untuk menyempurnakan pedoman ajaran akhlak.
Rasulullah pernah mengatakan bahwa Allah telah menetapkan Islam sebagai
agamamu, maka hiasilah agama itu dengan akhlak mulia dan hati yang pemurah.
3. Memelihara Keseimbangan Unsur Rohani dan Jasmani
Islam mengajarkan bahwa manusia yang berunsur jasmani dan rohani yang hidup
di dunia menuju akhirat, masing-masing unsure harus memperoleh tempat yang
seimbang. Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 201 mengajarkan agar manusia mohon
kepada Tuhan untuk diberi kebaikan hidup di dunnia dan kebaikan hidup akhirat serta
dipelihara dari siksa neraka.
BAB VII
IMPLEMENTASI AKHLAK AL-KARIMAH
1. Akhlak Terhadap Allah SWT
Allah adalah pencipta dan pemelihara alam semesta dengan segala isinya. Allah telah
menciptakan segenap isi ala mini untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh sebab itu
kewajiban manusia kepada Allah ialah berbuat baik antara lain :
a. Mengimani Allah SWT dengan sepenuh jiwa setulus hati
b. Menjauhi larangan Allah
c. Melaksanakan perintah Allah
d. Mensyukuri nikmat Allah
e. Bertawakal kepada Allah
2. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW
Berakhlak baik terhadap Rasulullah antara lain :
a. Meyakini dengan tidak meragukan sedikitpun kerasulannya (surat Al-Fath ayat 29,
Al-Ahzab ayat 40)
b. Membaca shalawat dan salam bagi Rasul (surat Al-Ahzab ayat 56)
c. Mencontoh dan mengamalkan keteladanan beliau dalam berbagai aspek kehidupan.
d. Berziarah ke makam beliau di Madinah adalah perbuatan terhormat sebagai salah satu
wujud rasa cinta kepada Rasul.
e. Memberi gelar-gelar sebutan yang baik dan mulia kepada Rasul seperti Habibullah,
Ulilamri, dsb.
3. Kepribadian Muslim
Pertama-tama Islam menuntun etika dasar tersebut antara lain :
a. Menghindarkan kata-kata yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (surat Al-
Mukminuun ayat 3, 5).
b. Dalam melaksanakan tugas kesehariannya dilandasi motivasi lillahi ta’ala seorang
mukmin selalu bersifat waspada (surat An-Nisa ayat 71) dan teliti agar tidak timbul
fitnah akibat perbuatannya (surat Al-Anfal ayat 25) dan penyesalan (surat An-Nisa
ayat 94).
c. Dalam memelihara kesehatn dirinya ia akan memilih makanan yang bergizi dari
rezeki yang diberikan Allah (surat Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 90-91).
d. Untuk meningkatkan kualitas seorang mukmin disamping selalu membiasakan tobat
sering mengembara.
4. Akhlak dalam Berkeluarga
Setiap pribadi berkeluarga. Untuk itu Islam member pula tuntunan etika berkeluarga.
Sudah menjadi hukum alam (sunnahtullah) bahwa manusia merupakan makhluk social
atau suka hidup bersama/bermasyarakat. Supaya bangunan kokoh diperlukan cara
pembinaan dan penjagaan untuk keluarga yang paling baik ialah menurut tata cara yang
ditentukan Pencipta manusia itu, yaitu Allah SWT yang telah dituangkan dalam Kitab
yang bernama Alqur’an.
5. Akhlak dalam Bermasyarakat dan Berbangsa
Keluarga-keluarga pasti hidup berkelompok dan lama-lama mengukuhkan diri sebagai
suatu bangsa. Jika seseorang yang melaksanakan shalat akan mampu menghayati
shalatnya dengan baik tentunya ia berkeinginan agar dapat melakukan ibadah dengan
tenang. Untuk itu diperlukan suasana lingkungan hidup rukun, baik antara umat yang
berbeda agama maupun rukun dalam umat yang seagama.
6. Akhlak terhadap Lingkungan
Sebagai umat manusia yang ditempatkan hidupnya di bumi ia akan hidup tenang jika
ia mampu memelihara ekosistem yang telah ditata oleh Pencipta ala mini sejak awal
sebelum manusia diciptakan.
7. Akhlak menghadapi alam nyata
Manusia merupakan bagian dari segala hal yang ada di lingkungan hidup. Antara
manusia dengan segala zat, unsure dan keadaan yang ada dalam lingkungan hidup
mempunyai hubungan timbale balik yang membentuk ekosistem. Hubungan timbal balik
antara manusia dan ekosistem berada dalam suatu keseimbangan.
8. Akhlak menghadapi alam gaib
Lingkungan hidup di akhirat ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan seseorang
sewaktu ia berada dalam lingkungan hidup di dunia. Agar ia mendapat lingkungan hidup
yang baik di akhirat nanti, seseorang itu harus menjaga bukan saja pengaruh kerusakan
alam oleh situasi kehidupan yang nyata tetapi juga harus menjaga diri dari pengaruh
negative yang muncul dari makhluk gaib, yang dalam agama disebut syaitan.
BAB VII
PENUTUP
Islam sebagai suatu agama yang bersumber dari wahyu Allah disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW membawa suatu perubahan yang cukup besar, baik dalam system aqidah
maupun system kehidupan pribadi dan social. System yang disampaikannya berpangkal dari
wahyu Allah dan berujung pada kesesuaian dengan wahyu Allah itu pula.
Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, sesuai dengan pesannya tongkat komando yang
tadi dipegangnya, tidak dialihkan kemanapun dalam bentuk penerusan tongkat komando pada
perorangan. Tetapi dialihkan dalam wujud prinsip ajaran yang harus kokoh menjadi norma
bagi siapa pun yang berpegang teguh dengan tongkat komando itu. Tongkat itu berwujud
Alqur’an dan sunnah Rasul.
Sebagai kunci menghadapi permasalahan-permasalahn hidup, terdapat tiga landasan
pokok yang harus diperhatikan umat Islam :
1. Alqur’an dan Sunnah Rasul
2. Hidayah Allah yang dapat diperoleh dengan mempelajari Alqur’an
3. Ilmu yang menyangkut dua bidang yaitu : ayat-ayat Allah yang diungkapkan dalam
Alqur’an (ilmu ilahiyah) dan ayat-ayat yang diungkapkan dalam alam semesta yang
diciptakan-Nya (ilmu alamiyah).
Keseimbangan ketiga aspek ini sangat diperlukan pada setiap pribadi muslim, khususnya
muslim intelektual. Jika ini dapat diwujudkan, maka gerakan modernism seperti yang telah
dimulai oleh umat Islam pada awal kelahiran Islam itu akan terus berlanjut dan tidak akan
terisolir dengan gerakan perubahan social dan modernisasi yang terjadi pada setiap fase
kehidupan umat Islam.