restrukturisasi sistem produksi usaha peternakan sapi...

51
Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 1 Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dalam Sistem Pembangunan Berkelanjutan (Kasus di Daerah Hulu Sungai Citarum) Dwi Cipto Budinuryanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung Abstract Diary Production System is resource management for sustainable farm based on the principles of management practices, in order to assist the growing human needs while maintaining or improving environmental quality and conserve natural resources. There are four components to consider in the basic principles of Sustainable Development Strategy of equity, participation, diversity, integration, and long-term perspective. Livestock is sustainable resource management that works for the farm business to help a growing human needs while maintaining or improving environmental quality and conserve natural resources. There are four components to consider in the basic principles of Sustainable Development Strategy of equity, participation, diversity, integration, and long-term perspective. The orientation of technological and institutional changes carried out in such a way as to ensure the fulfillment and satisfaction of human needs in a sustainable manner for present and future generations. So the system is environmentally sound farming people have the sense and purpose in the context of food security and environmental sustainability. Management of the Upper Citarum River in an integrated manner should be preceded by the identification of physical and socio-economic problems, identification of institutional and stakeholders, analysis of the role of the parties, formulate strategies, policies, programs and activities of an integrated and systematic monitoring and evaluation systems, effective and efficient. Keywords: sustainable agricultural development strategies, dairy production system A. PENDAHULUAN Dalam rapat koordinasi dengan DPR RI (2010), Menteri Pertanian RI mengungkapkan ada 10 masalah fundamental yang menjadi faktor penghambat pertanian di Indonesia secara umum yaitu meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air. Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta KK < 0,5 Ha) sehingga membuat lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional. Selain itu, keter-batasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha tani, lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi, belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, rendahnya nilai tukar petani (NTP), serta kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian, dan keter-paduan antarsektor. Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut pemerintah membuat langkah-langkah strategis yang dijabarkan dalam tujuh Gema Revitalisasi yang meliputi, revitalisasi lahan, revitalisasi pembenihan dan pembibitan, revitalisasi infrastruktur dan sarana, revitalisasi sumber daya manusia, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan petani, dan revitalisasi teknologi dan industri hilir. Ke sepuluh faktor fundamental tersebut dapat disimpulkan merupakan faktor dominan terhadap ancaman terhadap visi dan misi pembangunan peternakan berkelanjutan. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dikatakan

Upload: lytuong

Post on 02-Feb-2018

235 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 1

Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dalam Sistem Pembangunan Berkelanjutan

(Kasus di Daerah Hulu Sungai Citarum)

Dwi Cipto Budinuryanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung

Abstract

Diary Production System is resource management for sustainable farm based on the principles of management practices, in order to assist the growing human needs while maintaining or improving environmental quality and conserve natural resources. There are four components to consider in the basic principles of Sustainable Development Strategy of equity, participation, diversity, integration, and long-term perspective. Livestock is sustainable resource management that works for the farm business to help a growing human needs while maintaining or improving environmental quality and conserve natural resources. There are four components to consider in the basic principles of Sustainable Development Strategy of equity, participation, diversity, integration, and long-term perspective.

The orientation of technological and institutional changes carried out in such a way as to ensure the fulfillment and satisfaction of human needs in a sustainable manner for present and future generations. So the system is environmentally sound farming people have the sense and purpose in the context of food security and environmental sustainability. Management of the Upper Citarum River in an integrated manner should be preceded by the identification of physical and socio-economic problems, identification of institutional and stakeholders, analysis of the role of the parties, formulate strategies, policies, programs and activities of an integrated and systematic monitoring and evaluation systems, effective and efficient. Keywords: sustainable agricultural development strategies, dairy production system A. PENDAHULUAN

Dalam rapat koordinasi dengan DPR RI (2010), Menteri Pertanian RI mengungkapkan ada 10 masalah fundamental yang menjadi faktor penghambat pertanian di Indonesia secara umum yaitu meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air. Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta KK < 0,5 Ha) sehingga membuat lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional. Selain itu, keter-batasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha tani, lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi, belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, rendahnya nilai tukar petani (NTP), serta kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian, dan keter-paduan antarsektor.

Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut pemerintah membuat langkah-langkah strategis yang dijabarkan dalam tujuh Gema Revitalisasi yang meliputi, revitalisasi lahan, revitalisasi pembenihan dan pembibitan, revitalisasi infrastruktur dan sarana, revitalisasi sumber daya manusia, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan petani, dan revitalisasi teknologi dan industri hilir.

Ke sepuluh faktor fundamental tersebut dapat disimpulkan merupakan faktor dominan terhadap ancaman terhadap visi dan misi pembangunan peternakan berkelanjutan. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dikatakan

Page 2: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 2

(Bab II Pasal 2) tentang Asas dan Tujuan yaitu bahwa : (1) Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau me-lalui integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait. (2) Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.

Azas dan tujuan tersebut perlu digaris bawahi mengingat bahwa substansi dan hakekat pembangunan pertanian berkelanjutan adalah menjadi semangat dan jiwa bagi pemerintah dalam merumuskan visi, misi, renstra, sasaran pembangunan dan program-program yang akan dikembangkan.

Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988), “Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam”. Ciri-ciri pertanian berkelanjutan tersebut meliputi : (a) Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal digunakan secara ramah dan yang dapat diperbaharui. (b) Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dan dapat melestarikan sumber-daya alam dan meminimalisasikan risiko. (c) Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai, dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan, di lapangan dan di masyarakat. (d) Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia, tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat dan (e) Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan ubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa dalam prinsip dasar STRATEGI PEM-BANGUNAN BERKELANJUTAN ada empat komponen yang perlu diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang.

B. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF USAHA PETERNAKAN RAKYAT

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 dimensi peternakan menjadi jauh lebih luas dan komprehensif dibandingkan dengan UU Nomor 6 Tahun 1967. Beberapa terminologi dalam bidang peternakan berubah dan berorientasi pada sistem agribisnis berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Peternakan didefinisikan sebagai: segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan peng-usahaannya.

Page 3: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 3

Definisi di atas tentunya akan berimplikasi pada strategi dan program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Dimensi dan perspektif yang terkandung dalam bab, pasal dan ayat-ayat dalam peraturan perundangan di bidang Peternakan dan kesehatan hewan dengan sendirinya akan berdampak pada strategi pembangunan berkelanjutan khususnya bagaimana merumuskan sistem integrasi antara subsektor peternakan dengan subsektor lainnya, mengingat bahwa input utama untuk proses produksi usaha peternakan sapi rakyat biasanya sangat tergantung pada sektor/subsektor lainnya.

Dalam perspektif sosio-ekonomik usaha peternakan rakyat, sebagian ilmuwan melihat bahwa pengembangan sistem dan usaha agribisnis belum tentu cocok untuk diterapkan di semua kondisi. Pembangunan peternakan tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya peternak. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada peternak kecil, gurem, dan buruh-buruh tani-ternak yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Bahkan lebih dari itu, pakar-pakar agribisnis lebih memikirkan bisnis pertanian/peternakan, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian dan peternakan di Indonesia mestinya berarti pembaruan penataan pertanian dan peternakan yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka.

Paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif. Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.

Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika dikaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan tersebut (Mubyarto dan Awan S, 2003).

C. USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Ada berbagai definisi tentang pembangunan pertanian berkelanjutan, pembangunan peternakan berkelanjutan, peternakan berkelanjutan. Dalam konteks usaha sapi perah rakyat di daerah hulu Sungai Citarum penulis lebih senang menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut dilandasi pemikiran bahwa usaha peternakan sapi perah rakyat di hulu sungai Citarum hanya merupakan bagian atau elemen dari basis agro-ekosistem yang lebih luas.

Dalam kasus usaha peternakan sapi perah rakyat di hulu sungai Citarum, dimana usaha peternak-an tersebut dituding sebagai penyebab masalah kerusakan lingkungan yang paling dominan di daerah DAS Hulu Sungai Citarum. Daerah hulu sungai Citarum yang

Page 4: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 4

dijadikan referensi untuk penulisan artikel juga dibatasi untuk menggambarkan Wilayah hulu Sungai Citarum yang terdiri dari Kecamatan Kertasari, Ibun, Pacet dan Majalaya.

Penulis sangat sependapat bahwa prinsip-prinsip dasar peternakan berkelanjutan dan prinsip-prinsip dasar cara beternak yang baik (good farming practices) memang harus diterapkan sebaik-baiknya. Peternakan berkelanjutan atau pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), untuk proses produksi peternakan dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi peternakan yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.

Peternakan sapi perah berkelanjutan dapat diartikan bahwa usaha peternakan yang berlanjut untuk saat ini, akan tetap ada pada saat yang akan datang dan selamanya. Bermanfaat bagi semua dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Menurut Food and Agriculture Organization (FA0), pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam. Orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan dilakukan sedemikian rupa. Sehingga dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang. Jadi sistem peternakan rakyat yang berwawasan lingkungan memiliki pengertian dan tujuan dalam rangka keamanan pangan dan kelestarian lingkungan.

Berpijak pada pengalaman dalam sektor pertanian. Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.

Hal yang sama diprediksi juga dapat terjadi pada peternak sapi perah rakyat di daerah sekitar Hulu Sungai Citarum. Norma-norma sosial dan budaya akan menjadi masalah jika tidak diper-hatikan. Setidaknya ada lima Lima kriteria untuk mengelola suatu sistem peternakan berke-lanjutan (a) kelayakan ekonomis (economic viability), (b) Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi (ecologically sound and friendly), (c) Diterima secara sosial (Social just), (d) Kepantasan secara budaya (Culturally approciate) dan (e) Pendekatan sistem holistik (system and hollistic approach).

Ilmuwan lain mendeskrepsikan Sistem berkelanjutan berupa suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya alam dengan memepertimbangkan tiga matra atau aspek sebagai berikut: (a) Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanis-menya dikendalikan oleh hukum alam, (b) Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi dan (c) Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya.

Page 5: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 5

65%

11%

1%

12%7%4%

Komposisi Ternak

Induk Dara Betina Muda

Pedet Betina Pedet Jantan Pejantan

Memelihara Sapi Perah63%

Bertani6%

PNS / TNI / POLRI

1%

Swasta / Koperasi

11%

Jasa / Dagang / Buruh

12%

Lain -lain7%

Jenis Pekerjaan

D. RESTRUKTURISASI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DALAM SISTEM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (KASUS DI DAERAH HULU SUNGAI CITARUM) Deskripsi Peternakan Sapi Perah Rakyat di daerah sekitar Hulu Sungai Citarum Basis agroekosistem usaha peternakan sapi perah rakyat di daerah sekitar Hulu Sungai Citarum memang harus dirancang ulang jika konsep pembangunan berkelanjutan akan diterapkan di wilayah tersebut.

Situ Cisanti yang merupakan hulu dari sungai Citarum berada di daerah Goha Pangalengan Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa daerah tersebut merupakan ring utama untuk prioritas pem-bangunan berkelanjutan sedang-kan ring berikutnya di luar daerah utama adalah para peternak yang tergabung dalam rayon 6 (wilayah TPK Cisabuk, Citawa, Kertasari, Lembang Sari dan Lodaya). Lihat Gambar 1.

Gambar 1. Peta Wilayah Penyebaran TPK KPBS Pangalengan

Berdasarkan pengamatan penulis yang pernah beberapa kali (2005-2008) melakukan program pelatihan dan pendampingan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah di beberapa TPK di Pangalengan Timur dimana Hulu Sungai Citarum berada, dan terakhir pada tahun 2008 melakukan sensus peternak dan sapi perah di daerah Pangalengan Timur menunjukkan bahwa peternak sapi perah anggota KPBS Pangalengan di 2 Rayon yang meliputi peternak yang tergabung dalam Rayon 5 yaitu (TPK Cibeureum, Cihawuk, Cikembang, Goha dan Sukapura) adalah yang paling berkepentingan dengan program restrukturisasi usaha dalam sistem pembangunan berkelanjutan.

Hasil sensus oleh Tim Fakultas Peternakan Unpad (2008) tentang karakteristik peternak, produksi susu dan Kepemilikan lahan di ke dua wilayah (Komda) tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2 sebagai berikut.

Gambar 2. Karakteristik Kelompok Peternak dan Populasi ternak di Rayon 5 dan 6.

Page 6: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 6

Tabel 1. Performans TPK, Populasi Ternak dan Produksi Susu (2008)

No Nama TPK Jumlah

Kelompok Jumlah

Peternak Populasi induk Susu disetor

(orang) (ekor) (1000lt/bl)

Rayon -5 38 742 1.772 560,00

1 Cisabuk 6 184 437 123,10

2 Citawa 8 167 384 128,90

3 Kertasari 10 131 326 97,95

5 Lembang Sari 6 132 335 118,97

6 Lodaya 8 128 290 91,14

Rayon -6 29 753 1.568 545,00

1 Cibeureum 6 133 237 79,99

2 Cihawuk 5 90 195 68,38

3 Cikembang 8 190 397 138,57

4 Goha 6 251 568 203,67

5 Sukapura 4 89 171 54,40

Sumber: Sensus Peternak Sapi Perah (Tim Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2008).

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun total KK 63% memelihara sapi perah namun (a) skala kepemilikan peternak sangat rendah dan sangat jauh dari pencapaian BEP, (b) produktivitas ternak tidak terlalu baik, (c) dinamika populasi dan komposisi ternak kurang ideal.

Tabel 2. Kepemilikan Lahan Petani Peternak di Rayon 5 dan 6.

No Nama TPK Total luas

lahan milik Total luas

lahan sewa Perhutani Perkebunan PLN Perorangan

(ha) (ha) (orang) (orang) (orang) (orang)

A Rayon -5 8,10 7,20 165 102 4 23

Cisabuk 3,45 0,90 32 44 4 13

Citawa 1,16 0,00 27 21 0 3

Kertasari 0,28 0,00 26 0 0 0

Lembang Sari 2,41 5,47 51 15 0 2

Lodaya 0,81 0,84 29 22 0 5

B Rayon -6 7,20 8,60 407 7 1 53

Cibeureum 2,22 0,74 84 0 0 7

Cihawuk 2,53 6,68 51 2 0 16

Cikembang 0,84 0,00 97 0 1 8

Goha 1,34 1,07 127 0 0 16

Sukapura 0,24 0,15 48 5 0 6

Dapat disimpulkan bahwa kepemilikan lahan untuk mendukung usaha peternakan sapi perah masih sangat jauh dari ideal sehingga para peternak lebih banyak yang mencari rumput di daerah perhutani, perkebunan dan tanah milik PLN.

Page 7: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 7

36,55

39,50

88,52

57,70

62,04

56,86

25,40

43,87

91,49

82,11

75,18

63,61

Pengetahuan landasan berkoperasi

Pengetahuan hak anggota menjadi pengurus

Pengetahuan kewajiban menabung di …

Pengetahuan kekayaan koperasi

Pengetahuan badan-badan koperasi

Pencapaian Pengetahuan Berkoperasi

Pengetahuan Berkoperasi

Rayon 6 Rayon 5

75,17

67,36

82,01

94,42

72,11

49,79

30,40

26,22

77,68

63,91

64,43

69,14

91,29

87,14

87,71

45,43

53,57

7,86

33,43

60,00

Jarak kandang dari rumah> 5 meter

Lantai kokoh dan mudah dibersihkan

Atap genting

Cukup sinar dan sirkulasi udara

Tempat makan permanen

Tempat minum permanen dan terpisah

Saluran pembuangan air dan kotoran baik …

Ada tempat penampungan kotoran

Ada gudang sapronak

Pencapaian Kondisi Kandang

Perkandangan

Rayon 6 Rayon 5

Gambar 3. Tingkat Pengetahuan Berkoperasi (%)

Gambar 4. Tingkat Pengetahuan dalam Aktivitas Zooteknik (%)

Tabel 3. Aktivitas dan Persepsi dalam bidang Perkandangan dan Peralatan (%) di

Rayon 5 dan 6.

Aktivitas dan Persepsi (%) Perkandangan Rayon 5 Rayon 6

Jarak kandang dari rumah> 5 meter 75.17 64.43

Lantai kokoh dan mudah dibersihkan 67.36 69.14

Atap genting 82.01 91.29

Cukup sinar dan sirkulasi udara 94.42 87.14

Tempat makan permanen 72.11 87.71

Tempat minum permanen dan terpisah 49.79 45.43

Saluran pembuangan air dan kotoran baik dan lancar 30.40 53.57

Ada tempat penampungan kotoran 26.22 7.86

Ada gudang sapronak 77.68 33.43

Pencapaian Kondisi Kandang 63.91 60.00

Page 8: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 8

Aktivitas dan Persepsi (%) Peralatan Rayon 5 Rayon 6

Ember perah 87.55 94.84

Milkcan 98.88 98.99

Teat dipping 6.85 2.15

Alat pemeriksa susu awal 57.48 75.47

Saringan susu 82.38 96.84

Ember air hangat 67.27 51.00

Ember lap kotor 70.35 65.09

Lap ambing 79.30 89.81

Pencapaian Peralatan Pemerahan 68.76 71.77

Pengetahuan zooteknis dan data empiris di atas setidaknya dapat menggambarkan bahwa perkandangan terutama, saluran pembuangan dan atau penampungan kotoran merupakan masalah utama di daerah Rayon 5 dan 6. Secara umum penerapan prinsip-prinsip Good Dairyng Practices harus ditingkatkan.

Data di atas dapat digunakan untuk merancang restrukturisasi usaha sapi perah rakyat berbasis pembangunan berkelanjutan. Misalnya untuk merancang sistem produksi karena idealnya dibuat suatu sistem koloni disesuaikan topografi dan ekosistem kelompok dalam sistem manajemen terpadu.

E. RANCANGBANGUN DAN KONSEP AWAL SISTEM PRODUKSI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DALAM SISTEM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (KASUS DI DAERAH HULU SUNGAI CITARUM)

Penyusunan master plan pengembangan atau rancangbangun usaha peternakan sapi perah rakyat harus memperhatikan berbagai aspek di atas dan bersifat holistik sesuai kaidah-kaidah normatif perencanaan pembangunan berkelanjutan. Penyusunan harus melibatkan partisipasi masyarakat setempat sehingga program yang disusun lebih akomodatif. Disusun dalam jangka panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan dan stimultans. Dalam progran jangka pendek setidaknya terdapat outline plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana pembiayaan. Identifikasi Potensi dan Masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan), antara lain: Potensi SDA, SDM, Kelembagaan, Iklim Usaha, dan sebagainya, terkait dengan sistem yang ingin dikembangkan harus sangat detail (terpadu dan terintegrasi) dan mempertimbangkan aspek sosiologis.

Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak. Serta memanfaatkan pengertian tentang kompleknya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian tersebut maka pembangunan yang bersifat integratif merupakan solusi konsep pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Page 9: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 9

Pembangunan Berkelanjutan

Pertanian

Peternakan

Perkebunan

Kehutanan

Pengelolaan Hulu Sungai Citarum secara terpadu harus diawali dengan identifikasi permasalahan fisik dan sosial ekonomi, Identifikasi kelembagaan dan para pihak, Analisa peran para pihak, menyusun strategi, kebijakan program dan kegiatan terpadu dan Sistem monitoring evaluasi yang sistematis, baik dan benar.

Wilayah hulu Sungai Citarum yang terdiri dari Kecamatan Kertasari, Ibun, Pacet dan Majalaya dapat dirancang sebagai wilayah peternakan terpadu dengan lebih memperhatikan subsektor lainnya (pertanian, kehutanan dan perkebunan) di daerah tersebut. Alih fungsi lahan mungkin dapat dirancangulang sehingga lahandapat dimanfaatkan lebih maksimal dan tidak merusak agroekosistem. Lahan yang ditanami pertanian mungkin dapat dikonversi menjadi lahan tempat penanaman pohon berakar keras serta menjadi area kebun rumput untuk pakan ternak.

Hulu sungai Citarum akan berdampak secara langsung pada ekosistem di daerah DAS Citarum Hulu yang mencakup mata air sungai Citarum hingga Saguling dengan luas sekitar 1771 km2. Sebagaimana diketahui bahwa untuk keperluan pengelolaan, DAS Citarum Hulu dibagi ke dalam lima sub-DAS yaitu: Cikapundung, Citarik, Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey.

Identifikasi misi dan sasaran

strategis

Identifikasi Kinerja (impact) dan

Indikator Kinerja

Program/kegiatan dan Aktifitas

Penyiapan perumusan strategi 1. Penyiapan perumusan standar,

norma, pedoman, kriteria, dan prosedur

2. Pengelolaan SDA, Sumberdaya teknologi, komoditas, permodalan,

3. Pembinaan dan pengembangan 4. Pemberian bimbingan teknis,

supervisi dan evaluasi

Sasaran dan Nilai Tambah Lima kriteria untuk mengelola sistem pertanian berkelanjutan: 1. Kelayakan ekonomis 2. Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi 3. Diterima secara sosial 4. Kepantasan secara budaya 5. Pendekatan sistem holistik

Program Unggulan/ arah pengembangan 1. Legislasi yang terkait dgn PB 2. Restrukturisasi lahan 3. Good Dairy Practices 4. Kelembagaan Pendukung 5. Pemanfaatan sumberdaya lokal 6. Keberlanjutan sosioekonomi 7. Pendekatan agroekosistem 8. Penguatan kelompok dll

Analisis SWOT Analisis SIPOC Analisis SMART

Gambar 5. Konsep Rancangbangun Program Restrukturisasi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dalam Sistem Pembangunan Berkelanjutan (Dwi Cipto B, 2010)

Landasan Filosofis 1. Dimensi ontologis 2. Dimensi epistemologis 3. Dimensi axiologis 4. Dimensi retorik 5. Dimensi metodologis

Landasan Yuridis dan Idiil 1. UU No. 18 Tahun 2009 2. UU No. 25/2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

3. Permen Nomor : 06 Tahun 2009

Identifikasi Sumberdaya

Analisis Peluang dan Manfaat

Prioritas

Page 10: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 10

Beberapa tahun yang lalu (2001) Pemda Jawa Barat pernah mencanangkan program Citarum Bergetar (bersih, geulis dan lestari) pada tanggal 15 Agustus 2001 di Gunung Wayang sebagai mata air Sungai Citarum. Aspek-aspek perbaikan dan pengembangan yang menjadi agenda utama dalam program Citarum Bergetar adalah: (a) kebijakan dan hukum, (b) konservasi, (c) pengendalian pencemaran, dan (d) pemberdayaan masyarakat.

Pada tahun 2006, juga ada Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (GERHAN), Penyusunan Karakteristik DAS Citarum (Tahun 2006). Dan terakhir untuk memulihkan dan membangun sungai Citarum secara terpadu, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Asian Development Bank (ADB) serta para pemangku kepentingan (akademisi, LSM, kalangan usaha dan masyarakat) mempersiapkan program pemulihan yang dinamakan Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum. Tujuannya adalah untuk bersama-sama secara partisipatif mengelola dan menangani permasalahan di Wilayah Sungai Citarum.

Namun demikian, pada tahun 2010 ini, seperti dikatakan oleh Huffington Posts, Sungai Citarum merupakan sungai paling berpolusi di Bumi. Sehingga pekerjaan rumah kiranya masih akan sangat panjang. Perlu keterpaduan semua pihak untuk merelalisasikan Pembangunan berkelanjutan khususnya di hulu Sungai Citarum.

Peternak B

Peternak C

Peternak APeternak

A

Peternak B

Peternak C

Peternak D

Peternak E

Peternak F

Peternak D

Peternak E

Peternak F

Sistem Manajemen Terpadu

Peternak Q

Peternak R

Peternak P

Peternak y

Peternak Z

Peternak x

Rambu-rambu Restrukturisasi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat

[Memenuhi Good Dairyng Practices dengan penerapan teknologi yang berbasis sumberdaya dan ekosistem lokal]

Page 11: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 11

Tabel 4. Ciri-Ciri Usaha Peternakan Berdasarkan Identifikasi dan Penerapan Teknologi (Dwi Cipto B, 2008)

No InputTeknologi Usaha Peternakan

Ekstensif Semiintensif Intensif 1. Tatalaksana

Perbibitan dan Teknologi Reproduksi

a. Tidak melakukan pemilihan bibit,

b. Mengandalkan perkawinan secara alam

c. Tidak ada pengukuran efisiensi reproduksi

a. Melakukan pemilihan bibit b. Perkawinan dilakukan

secara alami c. Sudah melakukan

pengukuran Efisiensi reproduksi

a. Manajemen perbibitan dilakukan secara ketat

b. Melakukan input teknologi reproduksi

c. Melakukan pengukuran efisiensi reproduksi

2. Tatalaksana Pemeliharaan

Tidak dikelola sesuai prinsip manajemen agribisnis (perencanaan, pengorganisasian, pelak-sanaan, pengawasan, evaluasi, pengendalian)

Sudah melakukan prinsip-prinsip manajemen agribisnis namun belum efektif dan efisien.

Melakukan prinsip manajemen agribisnis secara efektif dan efisien.

3. Tatalaksana Perkandangan

a. Ternak lebih banyak di luar kandang (diabur)

b. Kandang tidak didesain secara sesuai peruntukan (standar)

a. Ternak lebih banyak dikandangkan

b. Kandang didesain sesuai peruntukan namun belum memenuhi standar

a. Ternak dikandangkan secara terus menerus

b. Kandang didesain secara khusus sesuai standar peruntukan ternak

4. Tatalaksana Pemberian Pakan

a. mengandalkan pakan dari luar (diabur)

b. Jumlah dan kualitas pakan terkonsumsi tidak terukur

c. Efisiensi penggunakan pakan tidak terukur

a. Pakan sudah dikontrol b. Kualitas pakan belum

efektif c. Efisiensi penggunakan

pakan sudah dapat diukur

a. Jumlah dan kualitas pakan terkonsumsi tidak terukur

b. Efisiensi penggunakan pakan diukur dan dievaluasi

5. Tatalaksana Pengendalian Penyakit

a. Tidak ada pola biosekuriti yang jelas

b. Angka morbiditas dan mortalitas tinggi

a. Memiliki program Biosekuriti namun belum efektif

b. Angka morbiditas dan mortalitas masih tinggi

a. Memiliki program Biosekuriti yang baik

b. Angka morbiditas dan mortalitas rendah

6. Penanganan Pasca Panen

a. tidak memiliki standar b. tidak melakukan

pengolahan

a. Memiliki standar b. Proses pengolahanan

belum dilakukan secara efektif

Memiliki standar produksi dan proses pengolahanan dilakukan secara efektif dan efisien (menggunakan standar mutu kualitas pangan (misalnya HACCP dll)

7. Pemasaran hasil

Untuk kebutuhan rumah tangga

Produk sebagian besar dipasarkan

Dikelola menggunakan prinsip-prinsip pemasaran

8. Skala usaha a. merupakan usaha sampingan

b. tidak direncanakan

Merupakan usaha peternakan rakyat namun skala usaha masih rendah

Merupakan industri peternakan (sesuai Kebijakan Pemerintah dan atau Kepmen)

9. Kemitraan Tidak memiliki Memiliki Memiliki mitra yang luas

10. Sistem Audit Tidak dilakukan Tidak dilakukan Dilakukan secara baik sesuai prinsip-prinsip akuntansi.

11. Pengembangan R & D

Tidak memiliki Memiliki tenaga ahli tapi belum mencukupi

Memiliki tenaga ahli yang spesifik sesuai bidangnya

Page 12: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 12

Tabel 5. Matrik Rencana Implementasi Manajemen Pemeliharaan dan Input Teknologi Usaha

Peternakan Sapi Perah di Hulu S. Citarum

No Good Dairyng

Practices

Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat

Kondisi Eksisting (Hulu S. Citarum)

Manajemen Teknologi (Ramah Lingkungan)

Input Teknologi Tepat Guna

1. Tatalaksana Perbibitan dan Teknologi Reproduksi

a. Belum melaksanakan prinsip-prinsip Good Breeding Practices dan atau Reproduksi

b. Pengukuran efisiensi reproduksi belum dilaksanakan denagan baik.

a. Melaksanakan Good Breeding Practices

b. Manajemen perbibitan dilakukan secara ketat

c. Melakukan input teknologi reproduksi

d. Melakukan pengukuran efisiensi reproduksi

Sistem recording, IB dan sinkronisasi estrus. Pola rearing, manajemen calf dan lain-lain.

2. Tatalaksana Pemeliharaan

Tidak dikelola sesuai prinsip baik tentang manajemen agribisnis

Melakukan prinsip manajemen agribisnis secara efektif dan efisien.

Melaksanakan prinsip manajemen agribisnis. (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, pengendalian) yang terukur

3. Tatalaksana Perkandangan

a. Kandang tidak didesain secara sesuai peruntukan (standar)

b. Tidak banyak yang memiliki saluran dan penampungan untuk pembuangan feses

Kandang didesain sesuai peruntukan dan memenuhi standar peruntukan.

a. Kandang koloni b. Disesuaikan dengan basis

ekosistem di setiap TPK c. Memenuhi standar

minimal praktek-praktek baik perkandangan sapi perah.

4. Tatalaksana Pemberian Pakan

a. mengandalkan bahan pakan dari luar

b. Sedikit sekali yang memiliki kebun

c. Jumlah dan kualitas pakan terkonsumsi tidak terukur

d. Efisiensi penggunakan pakan tidak terukur

a. Bahan pakan terkontrol b. Jumlah dan kualitas

pakan terkonsumsi terukur

c. Efisiensi penggunakan pakan diukur dan dievaluasi

a. Pakan disesuaikan dengan basis ekosistem di setiap TPK

b. Kerjasama terpadu (MOU) dengan pihak Perhutani dll

c. Memenuhi praktek-praktek baik pakan ternak.

5. Tatalaksana Pengendalian Penyakit

c. Tidak ada pola biosekuriti yang jelas

d. Prevalensi penyakit tinggi e. Angka morbiditas dan

mortalitas pedet tinggi

a. Memiliki program Biosekuriti yang baik

b. Prevalensi penyakit rendah

c. Angka morbiditas dan mortalitas rendah

a. Menggunakan bahan-bahan lokal

b. Memenuhi praktek-praktek minimal dalam sistem biosekuriti khususnya terkait dengan mastitis

6. Penanganan Pasca Panen

c. tidak memiliki standar d. tidak melakukan

pengolahan

Memiliki standar produksi dan proses penanganan /pengolahanan secara efektif dan efisien

Mendorong penggunaan teknologi madya untuk menjamin pemanfaatan bahan pangan untuk konsumsi sehari-hari.

7. Pemasaran hasil Sangat rendah, susu sebagian besar langsung diserap oleh KPBS Pangalengan

Dikelola menggunakan prinsip-prinsip pemasaran yang berkeadilan

Mendorong penggunaan prinsip2 dasar manajemen agribisnis (kelompok)

8. Skala usaha Merupakan usaha sampingan dan tidak melakukan perencanaan yang sesuai dengan prinsip2 manajemen

Merupakan usaha peternakan rakyat yang menggunakan prinsip2 dasar Good Management Practices.

Meningkatkan skala usaha melalui efisiensi usaha (kelompok)

9. Kemitraan Mitra utama adalah KPBS (bagi anggota koperasi)

Sistem integrasi (Perhutani, Perkebunan dan Kehutanan)

Mengkaji ulang pola kemitraan agar berkeadilan.

10. Sistem Audit Tidak dilakukan Dilakukan secara baik sesuai prinsip-prinsip dasar audit

Melaksanakan prinsip2 dasar sistem audit.

11. Pengembangan R & D

Tidak memiliki Memiliki tenaga ahli yang spesifik sesuai bidangnya

Melaksanakan pelatihan2, pendampingan secara sistematis dan berkelanjutan dalam semua aspek.

Page 13: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 13

Tabel 6. Matrik Rencana Manajemen Pemeliharaan dan Indikator Keberhasilan Usaha Peternakan Sapi Perah

Keterangan: (1) Identifikasi ternak, (2) Kebutuhan luasan lahan/kandang, (3) Kebutuhan kuantitas dan kualitas pakan, (4) Sistem perkawinan, (5) Metode pemerahan, (6) Program pengendalian penyakit.

F. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Rancangbangun restrukturisasi usaha peternakan sapi perah rakyat sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan masih memerlukan pengkajian secara menyeluruh, sistema-tis dan komprehensif.

2. Kebijakan pemerintah harus lebih berorientasi pada penguatan dan pemanfaatan sumberdaya lokal, berorientasi dan memiliki komitmen kuat terhadap masyarakat petani/peternak kecil, memberi perlindungan yang lebih baik terhadap petani peternak rakyat, memiliki transparansi tinggi dan moral kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Transformasi kebijakan pemerintah dalam rancangbangun pembangunan berke-lanjutan belum pernah teruji sehingga harus dikaji dan diteliti secara lebih mendalam khususnya (a) instrumen kelembagaan pendukung, (b) kebijakan makro, mikro, dan orientasi kebijakan, (c) tugas pokok semua komponen, (d) pengembangan riset dan teknologi dan (e) sistem informasi perlu mendapatkan dukungan semua pihak khususnya kalangan pendidikan, peneliti, industri dan masyarakat.

4. Pembangunan berkelanjutan khususnya di daerah hulu sungai Citarum tidak akan dapat di-implementasikan secara baik jika tidak mendapatkan dukungan semua pihak.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

IWRM Project in the Citarum River Basin (2009). Water Resources and Irrigation Directorate – BAPPENAS Citarum Roadmap Coordination and Management Unit.

Mubyarto dan A. Santosa (2003). PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN (KRITIK TERHADAP PARADIGMA AGRIBISNIS). Journal Ekonomi Rakyat. [Artikel - Th. II - No. 3 - Mei 2003]

Peter H and L Haddad (2001). CGIAR RESEARCH AND POVERTY REDUCTION, Paper Prepared for the Technical Advisory Committee of the CGIAR By International Food Policy Research Institute (IFPRI) Washington D.C., USA

Report of the regional workshop on sustainable agricultural development strategies for the least developed countries of the Asian and Pacific Region. 2009

No Jenis Kelamin Manajemen Pemeliharaan Indikator

keberhasilan Praproduksi Produksi Pascaproduksi 1 Betina

Produktivitas ternak, angka morbiditas dan mortalitas, efisiensi ekonomi dan lain-lain.

Pedet (0 - 4 bulan) 1,2,3,6

Pedet (4 – 8 bulan) 1,2,3,6

Dara (8 bulan – 2 th) 1,2,3,4,5,6

Dewasa 1,2,3,4,6

2 Jantan

Pedet 1,2,3,6

Dewasa 1,2,3,4,6 1,2,3,4,6

Page 14: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 14

IDENTIFIKASI EKSTERNALITAS PETERNAKAN SAPI PERAH DI DAERAH

AWAL HULU SUNGAI CITARUM

Muh. Hasan Hasiana

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung

ABSTRAK

Pola penyebaran peternakan sapi perah me miliki karateristik yang spesifik, seperti dukungan lahan pertanian yang terbatas (non land base agriculture), mengandalkan sumber pakan hijauan dari sisa hasil pertanian atau rumput lapangan, secara spasial terkonsentrasi di dataran tinggi-beberapa konsentrasi peternakan berada di kawasan konservasi-membentuk klaster-klaster atau kelompok peternak. Studi ini dilakukan secara deskriptif untuk mengidentifikasi eksternalitas pada peternakan sapi perah di daerah awal hulu sungai Citarum. Berdasarkan sensus verifikasi keanggoataan peternak sapi perah anggota koperasi, dalam kawasan sepanjang 10 km awal hulu Citarum terdapat 5.268 ternak sapi perah dengan 1.563 rumah peternak (rasio pemilikan 3,4 ekor per rumah tangga peternak). Sebagian besar peternak (54%) mengandalkan beternak sapi perah sebagai sumber nafkah utama keluarga selebihnya sebagai cabang usaha. Lahan untuk sumber hijauan merupakan kendala dalam pengembangan usaha ini, secara keseluruhan ketersediaan lahan kebun rumput hanya memenuhi 6% dari kebutuhan hijauan pakan. Peternakan sapi perah rakyat mampu bertahan di daerah ini sekitar tiga dekade, karena sistem produksi dikelola secara kooperatif sebagaimana umumnya diterapkan di negara-negara berkembang. Pola ini (dairy cooperatives) dinilai tidak saja sesuai dengan tuntutan teknis karakteristik komoditas susu, melainkan mampu memfasilitasi dan memberi impact terhadap pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan di daerah sentra produksi. Namun disamping memberikan external benefit, muncul berbagai persoalan lingkungan, khususnya di kawasan daerah hulu Citarum ini, yaitu: pertama, aktivitas penanganan limbah kandang yang menimbulkan pencemaran air baku sungai, dan kedua, eskalasi penyediaan hijauan yang secara kumulatif berpotensi mengganggu ekosistem hutan. Dalam rangka keberlanjutan sektor usaha ini tanpa memberikan dampak negatif terhadap tujuan-tujuan konservasi lingkungan, perlu program pembinaan partisipatif dan disertai inovasi yang mengarah pada tatalaksana beternak sapi perah tanpa buangan (zero waste smallholder dairying, sedangkan di sektor input perlu ruang untuk budidaya hijuan yang dapat dikelola peternak untuk memberikan jaminan terhadap penyediaan pakan hijauan.

Kata kunci: eksternalitas, tanpa buangan, pembinaan partisipatif

LATAR BELAKANG

Setiap aktivitas ekonomi berpotensi untuk memberikan dampak terhadap pihak lain, baik yang bersifat negatif (negatif externalities atau external cost) maupun yang bersifat positif (positif externalities atau external benefit). Konsep externalities1 ini makin relevan dengan munculnya berbagai persoalan penggunaan sumberdaya alam, lingkungan, pembangunan

1Sebuah keputusan atau tindakan pelaku ekonomi yang mempengaruhi welfare pelaku ekonomi lain yang bukan

bagian dari pengambilan keputusan tersebut diistilahkan dengan externality. Konsep externalitas muncul sejak

masa Alfred Marshal (1842-1924). Ia memberikan banyak kontribusi pemikiran dalam pengembangan metode

teori ekonomi modern, diantaranya mengenai surplus konsumen, kesejahteraan masyarakat (welfare), pajak dan

subsidi. Pada Tahun 1920, dipublikasikan The Economic of Welfare ole Pigou (1877-1959) yang banyak mengulas

tentang konsep ini.

Page 15: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 15

wilayah, dan persoalan terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Dalam lingkup aktivitas mikro, individu atau privat (unit usaha), nilai imbangan antara biaya dan manfaat, lazim menjadi tolok ukur layak tidaknya sebuah usaha, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar keputusan atau ekspektasi apakah usaha tersebut layak dilanjutkan atau tidak. Namun dalam lingkup yang lebih luas yang melibatkan suatu industri (sekelompok produsen) atau sektor usaha komoditas tertentu, persoalannya menjadi tidak sederhana, karena me-nyangkut kepentingan yang lebih luas pula, seperti penyediaan lapangan usaha, lapangan kerja, penyediaan pangan, kelangsungan usaha industri, pendapatan dan aspek terkait lainnya.

Kontroversi muncul ketika kelompok kepentingan memiliki penilaian sendiri atas imbangan social cost-benefit ini. Sebagaimana halnya aktivitas bertani dan pengelolaan sumberdaya di daerah hulu sungai Citarum, dari sudut pandang para pelakunya mungkin tidak ada hal yang perlu dihiraukan karena sudah merupakan rutinitas pekerjaan mereka, namun bagi anggota masyarakat lain menjadi sebuah external cost atau external benefit2. Apalagi dewasa ini banyak kepentingan dengan keberadaan sungai Citarum, sehingga persoalan sungai Citarum sudah menjadi isu nasional. Air baku citarum telah menjadi sumber vital untuk pengembang-an infrastruktur dan sumber daya kapital bagi berbagai sektor ekonomi (sektor energi listrik, sektor pertanian, industri, dan urban/kependudukan yang jangkauan pemanfaatannya tidak hanya Jawa Barat, namun Ibukota (DKI Jakarta). Di samping itu, dewasa ini pendangkalan di beberapa daerah aliran, yang sumbernya berasal dari material di daerah hulu sungai, berpotensi menimbulkan terjadinya bencana banjir di beberapa titik daerah aliran sungai.

Peternakan sapi perah, khususnya yang berada daerah aliran sungai Citarum Hulu, merupakan salah satu pelaku yang memberi kontribusi terhadap pencemaran sungai Citarum. Meskipun secara kuantitas jumlah peternak sapi perah ini relatif kecil, namun secara geografis aktivitas dan proses pencemaran dari limbah peternakan ini berada di titik awal dari aliran air baku Citarum yang pada awalnya bersih, sekitar 250 meter dari dam Situ Cisanti (Lampiran 2, Pola Aliran Air Baku Sungai di Daerah Hulu Citarum)

Jika mengamati gejala yang bisa kita amati baik dari perubahan sifat air dan kondisi sungai citarum atau aktivitas di daerah paling hulu (secara administratif berada di wilayah Ke-camatan Kertasari Kabupaten Bandung), maka para pelaku yang memberikan kontribusi terhadap kondisi sungai Citarum saat ini sangat kompleks, tidak hanya kalangan peternakan sapi perah yang ada di daerah hulu aliran sungai, namun juga para petani sayur yang meng-olah lahan-lahan di lereng secara intensif, alih fungsi hutan di sekitar lereng, penyempitan areal hutan menyebabkan tingginya aliran air permukaan yang membawa material tanah, penyerobotan daerah aliran sungai menjadi daerah pemukiman, limbah rumah tangga, dan sebagainya. Dengan demikian, pendekatan yang sifatnya parsial tidak akan memberikan solusi terhadap kondisi air sungai citarum, seluruh sektor usaha dan para pelakunya harus mengambil bagian dalam melakukan upaya-upaya pengendalian yang memberikan hasil signifikan terhadap perbaikian air baku sungai Citarum.

Makin ke arah hilir, kondisi mutu air sungai citarum makin buruk, karena secara kuantitas dan variasi sumber pencemaran makin besar dan beragam. Pada penelitian yang dilakukan BPLHD Jawa Barat di tahun 2007, status mutu air Citarum berada pada indeks pencemaran

2 Eksternalitas negatif (negative externality atau juga diistilahkan external cost) terjadi karena ada tindakan yang menimbulkan

suatu biaya ekonomi tetapi yang bersangkutan tidak menanggungnya. Contoh yang sederhana jika sebuah pabrik yang membuang polutan ke sungai, menyebabkan kualitas air menurun. Eksternalitas positif (external benefit) terjadi apabila tindakan seseorang memberikan manfaat namun yang bersangkutan tidak meraup sepenuhnya atas manfaat tersebut. Eksternalitas positif jarang disinggung dalam berbagai studi, namun sebenarnya memiliki peran vital bagi kemakmuran masyarakat. Lahan terbuka yang ditanami pohon tahunan dapat menjadi sumber resapan air dan sumber oksigen yang mungkin bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Page 16: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 16

D, yaitu tercemar berat. Sumber pencemaran air baku sungai Citarum sebagian besar berasal dari limbah domestik (70%), limbah industri (16%), selebihnya adalah pertanian dan pe-ternakan (BPLHD Jawa Barat, dikutip dari Pikiran Rakyat tanggal 28 Januari 2008).

Ketidakpedulian dari kalangan produsen ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik apakah karena rendahnya pemahaman akan dampak yang timbul, karena desakan ekonomi, tidak adanya informasi yang sampai ke kalangan produsen yang jelas mengenai besarnya dampak yang ditimbulkan, rendahnya penegakan aturan, dan sebainya. Namun apapun alasannya, perlu upaya-upaya agar dampak external cost yang muncul diminimalkan, setiap pelaku yang selama ini di indikasikan menjadi kontributor harus diberdayakan agar mampu mengendalikan tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan dampak yang dapat me-rugikan masyarakat luas. Perlu ditumbuhkan kesadaran pelaku produksi (termasuk produsen lain yang terkait dan memperoleh benefit) terhadap eksternalitas atau dampak negatif yang timbul akibat sistem produksi peternakan sapi perah di daerah hulu sungai Citarum.

Adanya informasi dari berbagai studi, kegiatan riset lapangan secara mendalam, introduksi berbagai inovasi, sangat diperlukan dalam rangka merumuskan kebijakan dan menghasilkan berbagai instrumen, termasuk teknologi tetap guna, yang dapat mendorong dan atau mem-beri insentif kalangan peternakan sapi perah untuk melaksanakan upaya mengurangi dampak sistem beternak sapi perah yang terjadi di daerah tersebut.

KONDISI UMUM KAWASAN HULU SUNGAI CITARUM

Secara geografis hulu sungai Citarum berada kawasan lereng Gunung Wayang, berada pada ketinggian 1.500 sampai 1.800 meter dari permukaan laut. Secara administratif kawasan ini termasuk ke dalam wilayah Desa Tarumanagara Kecamatan Kertasari. Sebelum masuk ke aliran sungai, air di daerah hulu ini tertampung di situ Cisanti dengan luas sekitar 12 hektar, kawasan sekitarnya berupa hutan. Pada periode 1998-2005 ini sempat mengalami degradasi fungsi hutan yang hebat karena penebangan liar, dan pada saat ini sudah mulai ada penataan lingkungan dengan membersihkan situ dari tanaman air, dan reboisasi lahan hutan.

Sekitar 250 meter dari situ Cisanti searah dengan aliran air ke hilir sudah dijumpai pemukim-an penduduk, yaitu kampung Goha dan Lembangsari. Di perkampungan ini sebagian penduduknya memelihara sapi perah. Selama limbah peternakan dan sisa-sisa pakan mengalir ke saluran air yang merupakan saluran air baku sungai Citarum (Gambar-1). Kampung Goha yang lokasinya persis dilewati aliran air yang berasal dari situ Cisanti ini merupakan kawasan hunian padat. Kondisi rumah pada umumnya semi permanen, dengan sarana kebersihan rumah tangga seadanya. Diduga limbah rumah tangga di kawasan ini, sebagaimana halnya limbah peternakan, mengalir ke saluran air baku sungai Citarum (Gambar-2). Beberapa kampung disekitarnya seperti Cikembang, Cibeureum, Darangdan, Cihawuk, meskipun tidak langsung dilewati saluran primer, namun lokasi ini berketinggian di atas aliran primer, sehingga polutan cair yang bersumber dari peternakan, pertanian, dan rumah tangga, berpotensi masuk ke aliran sungai Citarum.

SEBARAN PETERNAKAN SAPI PERAH

Peternakan sapi perah di sekitar kawasan hulu sungai Citarum, khususnya di Kecamatan Kertasari merupakan anggota Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), dalam wilayah kerja Rayon 5 dan 6. Kedua rayon ini mencakup sepuluh wilayah pelayanan (TPK), setiap TPK melayani 94 sampai 259 peternak sapi perah. Dari kesepuluh unit pelayanan tersebut, beberapa diantaranya berada di kawasan yang bersinggungan dengan daerah aliran hulu Citarum, mulai dari Selatan (awal aliran hulu) ke Utara (ke arah hilir) adalah TPK Goha,

Page 17: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 17

Lembang Sari, Cibeureum, Cikembang, dan Cihawuk, sampai dengan Sukapura yang secara administratif sudah masuk wilayah Kecamatan Pacet.

Tabel 1. Sebaran Peternak dan Sapi Perah di Wilayah Timur

No Unit Pelayanan Peternak Induk

Replacement dan jantan

(RTP) (ekor) (ekor)

1 Cisabuk II 184 434 426

2 Citawa 186 387 408

3 Kertasari 140 326 344

4 Lodaya 126 335 332

5 Lembang sari 138 290 1152

Rayon-5 774 1772 1120

6 Cihawuk 100 237 275

7 Sukapura 94 195 315

8 Cibeureum 139 397 578

9 Cikembang 197 568 493

10 Goha 259 171 1081

Rayon-6 789 1568 967

Total 1563 3340 1928

Sumber: Sensus Verifikasi Keanggotaan Peternak Anggota KPBS. 2008.

Di kedua rayon ini tercatat populasi sapi sebanyak 5.268 ekor, sekitar 63% diantaranya adalah sapi induk. Dengan peternak sebanyak 1.563 rumah tangga peternak, maka rasio antara populasi dengan peternak 3,37 ekor per rumah tangga peternak. Wilayah TPK Cikembang dan Goha merupakan wilayah dengan populasi ternak terpadat.

SISTEM PRODUKSI PETERNAKAN SAPI PERAH

Produksi merupakan suatu proses transformasi input menjadi output (Doll and Orazem, 1979), produksi pada peternakan sapi perah merupakan suatu proses transformasi pakan (berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi hijauan dan konsentrat), melalui media ternak sapi perah, dengan dukungan sarana kandang dan peralatan, input-input tersebut diorganisasikan oleh tenaga kerja peternak, sehingga dihasilkan output yang berwujud susu (output utama) dan ternak, selain itu dapat dihasilkan manure berasal dari faeces dan urine. Pada saat ini limbah ternak belum banyak dimanfaatkan, penanganan faeces dan urine inilah yang belakangan menyebabkan peternakan sapi perah dipersalahkan sebagai salah satu sumber pencemaran terhadap air baku sungai Citarum.

Output

Banyaknya output dari setiap individu hewan ternak ditentukan oleh banyaknya asupan pakan yang dikonsumsi, faktor genetik, produktivitas ternak (berhubungan dengan umur dan siklus reproduksi), jenis dan mutu nutrisi pakan. Sedangkan banyaknya output yang dihasilkan dalam suatu wilayah, selain ditentukan oleh faktor-faktor individual tersebut di atas, juga akan sangat bergantung kepada populasi hewan yang ada diwilayah tersebut, serta sistem produksi/manajemen (termasuk teknologi) yang diterapkan di tingkat on farm, kelompok peternak maupun koperasi.

Page 18: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 18

Tabel 2. Produksi Susu dan Produktivitas Sapi Perah

No Unit Pelayanan Produksi susu

(liter/bulan) Populasi sapi

perah Produktivitas (liter/induk/hari)

1 Cisabuk 123.101 434 9,30

2 Citawa 128.904 387 10,92

3 Kertasari 97.946 326 9,85

4 Lembang Sari 118.696 335 11,62

5 Lodaya 90.442 290 10,23

Sub total 559.089 1.772 10,34

6 Cibeureum 79.636 237 11,02

7 Cihawuk 67.661 195 11,38

8 Cikembang 138.997 397 11,48

9 Goha 201.012 568 11,60

10 Sukapura 54.016 171 10,36

Sub total 541.322 1.568 11,32

Total 1.100.411 3.340 10,80

Dengan populasi induk sebanyak 3.340 ekor di kesepuluh wilayah unit pelayanan, dihasilkan produksi susu segar dalam sebulan 1,1 juta liter susu, atau dalam sehari sekitar 36,08 ribu liter susu. Produksi sebanyak ini disalurkan ke koperasi dan di pasarkan ke Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai bahan baku susu olahan. Jika harga per liter susu yang telah ditampung dan ditreatment seharga Rp 3.500 per liter (sebelum diangkut ke IPS susu didinginkan sampai mencapai suhu < 4 0C di unit penampungan dan treatment susu milik koperasi), maka produksi susu dari sektor sapi perah di wilayah ini mencapai nilai Rp 3.8 milyar per bulan.

Dari sisi output, peternakan sapi perah ini merupakan para pelaku yang memberikan andil terhadap produk susu yang sangat dibutuhkan sebagai sumber pangan protein hewani, apalagi dalam situasi Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap susu impor. Di beberapa negara Asia, karakteristik dari smallholder dairying3 ini menurut Falvey dan Chantalakhana (2001) selain size usaha kecil, pada umumnya peternak menghasilkan produk susu segar untuk dipasarkan ke kota, memanfaatkan limbah atau sisa hasil pertanian sebagai sumber pakan, telah beradaptasi dengan lingkungan setempat serta mengandalkan pada ketersediaan input-input lokal. Dalam World Animal Review, FAO, Indonesia dipandang sebagai salah satu di antara sejumlah negara di Asia yang membangun industri persusuan-nya dengan menerapkan pola koperasi persusuan (dairy cooperatives). Penerapan pola kebijakan ini dinilai tidak saja sesuai dengan tuntutan teknis karakteristik komoditas susu, melainkan mampu memfasilitasi dan memberi impact terhadap pembangunan perekonomi-an masyarakat pedesaan di daerah sentra produksi (Dhanapala dan Uotila, 1994).

Input Pakan

Selain hewan ternak, input utama usaha ternak sapi perah adalah pakan, biaya pakan ini mengembil bagian 60-70% total biaya produksi, sisanya adalah biaya pengadaan ternak, kandang, peralatan pemeliharaan dan biaya operasional peternak. Pada peternakan rakyat yang sepenuhnya menggunakan sumberdaya tenaga kerja keluarga, sebagian besar, sekitar

3 Istilah Smallholder dairying digunakan oleh Falvey dan Chantalakhana (2001), merujuk pada karakteristik usaha

ternak sapi perah di negara-negara berkembang di daerah tropis di Asia, yang berbeda dengan peternakan sapi perah (dairy farming) di negara-negara maju.

Page 19: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 19

70% waktu produktifnya dialokasikan untuk menyediakan pakan hijauan dengan sistem cut and carry.

Tabel 3. Kebutuhan Pakan di Rayon 5 dan 6 Wilayah Kerja KPBS.

No Unit pelayanan (TPK)

Kebutuhan pakan non hijauan

Konsentrat (ton/bulan)

Ampas ubi kayu (ton/bulan)

1 Cisabuk 81.91 9.92

2 Citawa 98.85 17.26

3 Kertasari 73.30 5.24

4 Lembang Sari 56.61 14.18

5 Lodaya 54.39 11.46

Sub total 365.06 58.06

6 Cibeureum 51.09 13.80

7 Cihawuk 45.72 5.66

8 Cikembang 93.48 9.51

9 Goha 104.87 59.18

10 Sukapura 38.57 13.50

Sub total 333.73 101.65

Total 698.79 159.71 Sumber: Diolah dari data sensus Verifikasi Keanggotaan Peternak Anggota KPBS. 2008

Untuk menyediakan pakan non hijauan bagi sekitar 3.340 ekor sapi perah ditambah 1.049 satuan ternak sapi jantan dan replacement, setiap bulan dibutuhkan 698,8 ton konsentrat dan 159,7 ton ampas ubi kayu. Pakan non hijauan ini harus didatangkan dari luar wilayah, melalui saluran koperasi atau pedagang pemasok.

Pakan hijauan berupa rumput dan limbah sayuran, pada umumnya mengadalkan pada lahan-lahan di wilayah sekitarnya, sebagian besar peternak memanfaatkan lahan-lahan kehutanan dan perkebunan untuk ditanami rumput. Pada awalnya ketersediaan rumput inilah yang menjadi andalan dalam pengembangan sapi perah, meskipun akhir-akhir ini, dengan makin bertambahnya populasi ternak dan program reboisasi, menyebabkan ke-mampuan wilayah untuk menyediakan pakan hijauan makin terbatas. Dampaknya keter-gantungan pada pakan konsentrat dari luar makin tinggi, karena pada saat ini hal ini merupakan satu-satunya cara mensubstitusi pakan hijauan yang makin langka.

Jika merujuk pada keterangan yang diberikan peternak dimana setiap ekor induk diberi rumput berkisar antara 40-50 kg hijauan segar per ekor, maka setiap hari dibutuhkan sekitar 175 ton sampai 210 ton per hari. Kebutuhan hijauan ini ekivalen dengan luas kebun rumput minimal sekitar 630 hektar kebun rumput yang dipelihara secara intensif, dengan asumsi setiap hektar kebun rumput menghasilkan hijauan 100 ton per tahun.

Persoalannya sistem peternakan yang ada sekarang tidak memiliki basis lahan yang memadai untuk mendukung penyediaan pakannya. Untuk memenuhi kebutuhan rumput, para peternak mencoba mendapatkan lahan (dengan cara sewa, kontrak) pihak lain, ter-utama lahan perhutani.

Page 20: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 20

Tabel 4. Luas Lahan Total Kebun Rumput yang Dikelola Peternak

No Nama TPK/Rayon Total Lahan Milik

(hektar) Total Lahan Sewa

(hektar) Total lahan (hektar)

1 Cisabuk 4.32 1.22 5.54

2 Citawa 1.16 - 1.16

3 Kertasari 0.28 - 0.28

4 Lembang Sari 2.54 5.45 7.99

5 Lodaya 1.39 0.84 2.23

Sub total 9.69 7.51 17.20

6 Cibeureum 2.96 0.74 3.69

7 Cihawuk 3.81 6.68 10.48

8 Cikembang 0.94 - 0.94

9 Goha 1.47 1.07 2.54

10 Sukapura 0.60 2.06 2.65

Sub total 9.77 10.54 20.31

Total 19.46 18.05 37.51

Faktor Sosial Ekonomi

Pada saat ini peternakan sapi perah yang berkembang adalah peternakan skala kecil (smallholder dairying), sumberdaya lahan yang dimiliki sangat terbatas, ternak dipelihara secara intensif (dikandangkan), input pakan berupa hijauan sepenuhnya mengadalkan pada sumber-sumber lokal berupa rumput (rumput hasil budidaya maupun rumput lapang) dan sisa-sisa hasil pertanian sayur, sedangkan pakan tambahan berupa biji-bijian dan produk sisa agroindustri didatangkan dari luar. Pengelolaan hampir sepenuhnya mengandalkan pada sumber daya tenaga kerja keluarga. Dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan keluarga sebagian peternak, usaha sapi perah masih sebagai usaha sampingan atau cabang usaha.

Berdasarkan persepsi peternak, dari sebanyak 1.471 responden, menyatakan sebanyak 54% peternakan sapi perah merupakan sumber mata pencaharian utama. Rata-rata pendapatan kotor dari penjualan susu (gross income) sekitar Rp 74.000 per hari, sedangkan pendapatan setelah dikurangi biaya pakan (income over feed cost) rata-rata mencapai Rp 44.000 per peternak per hari.

Ketertinggalan negara-negara berkembang, negara tropis khsusnya, dalam pengembangan industri persusuan, menurut Van den Berg (1990), tidak semata-mata faktor iklim, namun juga dipengaruhi faktor lain. Ada sejumlah perbedaan antara negara yang sedang berkembang dan negara maju dalam kaitannya dengan pengembangan industri persusuan, di antaranya adalah: infrastruktur, standar hidup peternak dan konsumen, kondisi dan situasi industri persusuan yang mencakup persoalan pengorganisasian, kebijakan pemerintah dan peraturan, serta aspek tradisi dan sosial. Perbedaan lain yang juga penting, dan pada umumnya melanda negara-negara berkembang adalah petani yang pada umumnya miskin, rendahnya tingkat pendidikan, dan tekanan populasi penduduk.

EKSTERNALITAS DALAM AGRIBISNIS SAPI PERAH Dari seluruh rangkaian aktivitas agribisnis yang berpotensi menimbulkan dampak negatif (external cost) terhadap pihak lain adalah tata laksana pemeliharaan khususnya aktivitas yang terkait dengan penanganan limbah ternak. Hampir seluruh peternak tidak melakukan

Page 21: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 21

upaya-upaya penanganan dan perlakuan secara biologi. Limbah ternak (berupa faeces, urine, air sisa pencucian ternak atau lantai kandang, dan sisa sisa pakan, pada umumnya dibuang, kalaupun dimanfaatkan tidak melalui proses komposting, melainkan langsung ditebar di lahan kebun yang dekat dengan kandang.

Beberapa peternakan yang dekat dengan saluran air, pada umumnya memanfaatkan saluran air ini sebagai tempat pembuangan limbah kandang. Topografi kawasan sebelah Timur Gunung Wayang merupakan daerah berbukit, terdapat enam konsetrasi peternakan atau wilayah tempat pelayanan (TPK) di kawasan ini. Aliran sungai citarum barada di daerah terendah, sehingga seluruh aliran air permukaan mengarah ke sungai citarum. Sehingga setiap air limbah di wilayah ini yang sudah tercemar akan terbawa arus mengarah ke sungai Citarum (Lampiran-2).

Tabel 5. Identitikasi Sektor terkena Dampak (External Cost) Keberadaan Peternakan Sapi Perah

Sub sistem Aktivitas Habitat terkena dampak

Pelaku (pihak ketiga) dan aktivitas yang terkena dampak (external cost)

Penyediaan Input

1. Pengambilan rumput sistem cut and carry

1. Hutan

Perhutani, Masyarakat luas yang menerima manfaat dari keberadaan hutan.

2. Pembukaan kebun rumput di lahan hutan

Budidaya

1. Pemeliharaan (feeding, pemerahan, kesehatan hewan, sanitasi kandang),

1. Air baku sungai 2. Tanah

Rumah tangga sekitar DAS, Masyarkat luas yang memanfaatka air sungai dan air tanah untuk keperluan air bersih

2. Penanganan Limbah peternakan

Pengolahan dan Pemasaran

1. Transportasi collecting dan distribusi susu

1. Infrastruktur jalan Masyarakat pengguna jalan

2. Pembuangan susu rusak

1. Air baku sungai 2. Tanah

Rumah tangga sekitar DAS, Masyarkat luas yang memanfaatka air sungai dan air tanah untuk keperluan air bersih

Aktivitas lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, adalah aktivitas berkaitan dengan penyediaan pakan hijauan. Sebagai mana Tabel 3, lahan kebun rumput yang dapat disediakan oleh peternak hanya 37,51 hektar, semetara luas kebun rumput minimal ekivalen 630 hektar kebun rumput yang dipelihara secara intensif, dengan asumsi setiap hektar kebun rumput menghasilkan hijauan 100 ton per tahun. Berarti lahan kebun rumput yang tersedia hanya sekitar 6 persen dari lahan yang diperlukan. Berarti selebihnya peternak menyediakan hijauan dari sumber-sumber lain (non kebun rumput), diantaranya sisa hasil pertanian dan rumput lapang. Oleh karena lahan disekitar kawasan berupa lahan-lahan hutan (selain lahan perkebunan dan pertanian hortikultura), maka dikhawatirkan mereka mencari sumber hijauan di area hutan. Jika eskalasi pengambilan rumput dikawasan hutan terjadi dalam jumlah besar, maka sulit untuk mengontrol tingkat kerusakan yang terjadi di dalam hutan. Dampaknya upaya pengawasan dari pihak otorita pengelola hutan harus makin intensif.

Page 22: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 22

Penerapan Kebijakan

Ekstekrnalitas pada peternakan sapi perah di kawasan ini terindikasi sebagai salah satu bidang usaha yang menimbulkan dampak merugikan pihak lain, sejauh ini tidak ada kompensasi dari kalangan pelaku atas kerugian tersebut. Habitat atau sumberdaya lokal yang terkena dampak ini adalah air baku sungai Citarum dan Hutan. Kedua habitat ini memiliki fungsi ekonomi vital karena di daerah hilir sunga Citarum menjadi pemasok bendungan pembangkit energi listrik, irigasi, dan air rumah tangga, sementara hutan di kawasan ini memiliki fungsi konservasi dan peresapan air untuk menjamin ketesediaan air baku sungai Citarum.

Kebijakan Ekonomi Secara ekonomi, dampak eksternal menyebabkan harga yang terbentuk pada mekanisme pasar tidak mencerminkan biaya dan manfaat yang sebenarnya dari usaha ini, dengan kata lain, secara sosial pasar tidak bekerja optimum. Kondisi demikian akan terus berlangsung karena dua persoalan:

Pertama, kalangan produsen tidak membayar eksternal cost sebagai kompensasi atas dampak yang ditimbulkan tersebut (internalisasi external cost ke dalam mekanisme pasar) karena untuk mengatasi dampak lingkungan cukup mahal dan produsen tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Kedua, karena banyak pelaku pencemaran/perusakah lingkungan air baku sungai dan hutan, dan banyak pihak yang terkena dampak atas kerusakan aset tersebut, dengan demikian tidak ada kejelasan siapa dan berapa besar dampak yang ditimbulkan dan siapa yang berhak menerima kerugian akibat pencemaran tersebut. Tanpa ada hak kepemilikan yang jelas atas aset yang tercemar/rusak, tidak ada dasar untuk melegitimasi besarnya biaya kompensasi atau manfaat yang diterima.

Pendekatan secara ekonomi, dalam kasus dimana aset yang tercemar diasumsikan sebagai milik masyarakat luas (common property), maka negara yang mengatur dengan kebijakan transfer payment berupa subsidi dan pajak. Mereka yang berhak atas aset-aset tersebut, dan terkena dampak yang merugikan maka mereka diberi subsidi, dan sebaliknya apabila ada pihak yang mengabil manfaat dari kerusakan lingkungan mereka harus membayar pajak sebagai kompensasi atas kerusakan yang mereka timbulkan.

Pada kondisi sosial ekonomi peternakan sapi perah rakyat, khususnya di daerah yang dikaji, adanya tambahan biaya untuk membayar pajak lingkungan pada saat ini akan menjadi beban usaha mereka. Disamping itu kerusakan lingkungan sungai Citarum merupakan perbuatan kolektif dari hulu sampai hilir. Ada pelaku-pelaku lain di luar sektor usaha peternakan sapi perah, seperti sektor rumah tangga, pertanian, industri yang juga turut memberi kontribusi terhadap kerusakan lingkungan, bagaimana dan berapa besar beban yang harus mereka tanggung. Sejauh ini masih sulit membuat kalkulasi berapa nilai yang harus ditanggung oleh pelaku atau atas kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan.

Kebijakan Regulasi sektor Produksi Alternatif lain yang dapat diterapkan berangkat sudut pandang teknis, dimana jika ada upaya-upaya teknis sehingga tidak ada pencemaran yang ditimbulkan dari peternakan sapi perah, maka peternak tidak lagi dinggap sebagai pelaku pencemaran dan objek pajak lingkungan. Persoalannya regulasi apa dan teknologi seperti apa yang dapat diintroduksi dan benar-benar efektif mengatasi pencemaran.

Regulasi pada dasarnya harus berfungsi preventif, artinya disadari atau tidak disadari oleh kalangan peternak, dengan dipatuhinya aturan tersebut akan mengatasi masalah pen-

Page 23: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 23

cemaran. Namun demikian, regulasi belum memberikan solusi apabila peternak tidak me-miliki pilihan untuk mempertahankan kelangsungan usaha mereka. Contohnya regulasi berkaitan dengan jarak minimal kandang dengan saluran air baku sungai, pembatasan densitas ternak di wilayah tertentu. Penerapan regulasi demikian untuk saat ini terhadap aktivitas yang sudah berjalan harus disertai dengan opsi-opsi atau kompensasi yang dapat diterima dari sudut usaha peternak, jika tidak ada akan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi, menyangkut lapangan usaha dan pendapatan keluarga petani peternak.

Kebijakan bagi Peternak Kecil

Bagi kelompok masyarakat tertentu dan kebijakan pemerintah persoalan lingkungan sudah menjadi semacam ideologi, kita memahami benar jika lingkungan di sekitar kita rusak akan menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Di pihak lain ada masyarakat marjinal yang tidak memiliki banyak pilihan, mereka menggunakan sumber-daya disekitarnya tanpa mempeduli-kan dampak lingkungan yang ditimbulkannya.

Berbagai kebijakan untuk mendukung peternakan sapi perah yang sebagian besar merupa-kan peternakan kecil (smallholder) di kawasan tropis di Asia tidak dapat semata-mata hanya mengandalkan pada satu pemodelan, mengingat sifatnya yang kompleks dan berhubungan dengan kehidupan petani kecil. Pemodelan didalam sistem produksi selain harus teruji secara ilmiah (teoritis maupun empiris) juga memerlukan pertimbangan berbagai veriabel yang berpengaruh terhadap bekerjanya sistem pertanian rakyat, diantaranya perlu memper-timbangkan potensi dan pemanfaatan sumberdaya pakan (feeding system), sistem produksi pakan (Production system for fooder), insentif untuk berkembang (Stimuli for develompent), penerapan teknologi tepat guna, serta pengembangan sistem peternakan terpadu (Falvey and Chantalakhana, 2001).

Pengembangan peternakan kecil di masa yang akan datang akan bergantung pada pen-didikan SDM peternak secara berkesinambungan, serta berbagai penelitian untuk pengem-bangan mereka. Penelitian harus dapat menjawab persoalan yang berkaitan dengan sistem yang terpadu dan peran dari petani kecil, dengan memusatkan kajian pada berbagai variabel di atas. Kajian yang bersifat sosial sangat diperlukan bagi pengembangan peternakan kecil, berbeda dengan sistem pe-ternakan sapi perah di negara-negara maju dimana pengembang-annya sangat didasarkan pada teknik-teknik yang saintifik.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Ada eksternalitas dari keberadaan Aktivitas Peternakan Sapi Perah di daerah hulu Sungai Citarum, Sungai dan Hutan merupakan dua biota di kawasan ini yang terkena dampak (external cost) dampak keberadaan peternakan sapi perah.

2. Terjadinya pencemaran air baku sungai berhubungan dengan populasi dan konsentrasi ternak sapi perah di wilayah hulu Citarum, pencemaran diperparah dengan faktor lokasi sejumlah kandang yang berada di jalur saluran air baku sungai Citarum, serta perilaku beternak yang tidak melakukan upaya panangan-an limbah, dan

3. Terutama keterbatasan pemilikan lahan menjadi salah satu kendala dalam menata sistem perkandangan dan instalasi sarana penanganan limbah di setiap lokasi pe-ternakan.

Upaya mengeliminasi externalitas yang berdampak negatif, harus dimulai dari sumber pelaku yang menimbulkan dampak tersebut. Dalam hal mengeliminasi pen-cemaran dari usaha sapi perah, harus dilakukan di tingkat peternak sapi perah secara

Page 24: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 24

partisipatif dengan menerapkan penanganan limbah dengan prinsip zero waste smallholder dairying.

Ditengah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki peternak (lahan, modal, penge-tahuan, teknologi), maka dukungan dan keterlibatan berbagai pihak (pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya) untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi peternak untuk bersedia dan melaksanakan cara-cara beternak yang tidak merugikan lingkungan.

Daftar Bacaan

Cheeke, P.R., 2004. Contemporary Issues in Animal Agriculture. 3rd Edition. Pearson Prentice Hall.

Goodwin, N. R. and Tietenberg. 2008. The Encyclopedia of Earth: Externality, Global Development and Environment Inst.

Dhanapala, S.B and M. Uotila. 1994. Dairy Development through Cooperative Structure. Experiences in Dairy Development, World Animal Review. FAO.

Doll, J.P. and Orazem, F. 1984. Production Economics. Theory With Applications. 2nd Edition. John Wiley and Sons.

Falvey, L. and Chantalakhana. 2001. Supporting Smallholder Dairying in Asia. Asia Pacific Development Journal. Vol. VIII-2. p. 91.

Fakultas Peternakan UNPAD. 2008. Sensus Verifikasi Keanggotaan Peternak Sapi Perah. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dengan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS).

GKSI Jawa Barat, 2004. Perkembangan Populasi Sapi KUD dan Koperasi Susu. Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Jawa Barat. Bandung.

GKSI, 1996. Strategi GKSI dalam Meningkatkan Fungsi Koperasi Persusuan menghadapi Pasar yang Kompetitif. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, bekerja sama dengan Australian Centre for International Agricultural Research. Bogor.

Hadiana, H. 2007. Dampak Faktor Eksternal Kawasan terhadap Efisiensi Usaha Ternak Sapi Perah. Universitas Padjadjaran.

Hadiana, H., Firman, A., Sudrajat.A., Djamaludin, A.V. 2006. Studi Analisis Biaya Produksi Susu Segar. Kerjasama GKSI Jawa Barat, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Barat dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Kay, R.D. 1986. Farm Management, Planning, Control and Implementation. 2nd Edition. McGraw Hill.

Kusmayadi, T. 2001. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi pada Usaha Ternak Sapi Perah di Kabupaten Garut. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran.

Miller, R.L. 1982. Intermediate Microeconomics. Theory, Issues, Applications. Second Edition. McGraw Hill International Book Company.

Pikiran Rakyat. 30 Desember 2009. Kondisi Citarum Makin Parah.

Snodgrass, M M and Wallace L T. 1982. Agriculture, Economics, and Resource Management. 2nd Edition. Prentice Hall of India. New Delhi.

Van den Berg, JCT. 1990. Strategy for Dairy Development in the Tropics and Subtropics. Pudoc Wageningen.

Page 25: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 25

Page 26: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 26

Page 27: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 27

Lampiran 3. Mata Pencaharian Utama Peternak Sapi Perah. Tahun 2008.

No Nama TPK/Rayon

Beternak sapi

perah

Tani Sayur /Palawija

PNS/ABRI /Polri

Swasta Jasa/Dagang

/buruh Lain-

nya t.a Total

1 Cisabuk 82 4 4 31 13 17 31 182

2 Citawa 31 11 0 14 30 14 66 166

3 Kertasari 42 7 3 28 20 3 27 130

4 Lembang Sari 41 21 0 23 29 4 11 129

5 Lodaya 25 2 7 36 15 11 30 126

Sub total 221 45 14 132 107 49 165 733

6 Cibeureum 104 8 0 0 2 7 8 129

7 Cihawuk 76 4 0 0 3 2 3 88

8 Cikembang 141 2 2 4 11 5 24 189

9 Goha 177 5 3 2 21 16 21 245

10 Sukapura 68 7 0 0 4 5 3 87

Sub total 566 26 5 6 41 35 59 738

Total 787 71 19 138 148 84 224 1,471

Persen 54% 5% 1% 9% 10% 6% 15% 100%

Page 28: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 28

OPTIMALISASI PAKAN LOKAL DALAM MENDUKUNG PETERNAKAN SAPI PERAH DI CITARUM HULU

Oleh

U Hidayat Tanuwiria Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak

Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

A. Pendahuluan

Meningkatnya intensitas pembangunan berdampak terhadap ketersediaan lahan untuk pengembang-an peternakan. Terjadi pergeseran fungsi tataguna lahan kering dimana lahan budidaya pertanian secara lambat laun tergeser oleh desakan kawasan pemukiman dan industri. Di antara lahan budidayapun terjadi persaingan penggunaan lahan dimana lahan budidaya tanaman pangan sangat mendominasi lahan budidaya ternak. Dengan demikian tataguna lahan untuk peternakan lebih mengarah kepada penggunaan lahan kelas III ke atas atau lahan marjinal.

Berkaitan dengan pembangunan subsektor peternakan dimana usaha ternak dipandang sebagai industri biologis, maka idealnya peternakan harus berbasis pada lahan sebagai ekologis pendukung pakan dan lingkungan budidaya. Kenyataan di lapangan, pengadaan pakan pada sebagian besar peternakan seperti sapi perah berskala kecil lebih mengandalkan pada pemanfaatan aneka limbah pertanian. Dengan demikian perlu kajian tentang formulasi pakan berbasis limbah pertanian untuk meningkatkan produksi.

Sapi perah FH dan turunannya secara genetik memiliki potensi produksi yang cukup tinggi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa rataan produksi susu harian setiap ekor sapi bervariasi antara 10 dan 15 liter, jauh di bawah potensi genetiknya. Rendahnya produksi susu diantaranya diduga oleh ketidak cukupan pasokan nutrien atau sering berubahnya jenis pakan yang diberikan. Kualitas dan kuantitas produksi susu sangat erat kaitannya dengan kecukupan nutrien yang bersumber dari hijauan sebagai pakan utama dan konsentrat sebagai makanan pelengkap yang berkesinambungan. Kadar lemak susu dipengaruhi oleh kandungan serat pakan, sedangkan kadar bahan kering (TS) susu sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrien seperti protein, karbohidrat, mineral, vitamin dan energi ransum.

Pangalengan merupakan daerah penghasil susu utama di Jawa Barat, populasi sapi perahnya mencapai 16.390 ekor yang tersebar di dalam enam rayon atau 31 TPK. Total produksi susu harian sebanyak 112.791 liter/hari atau 115,5 ton susu/hari (data tahun 2008). Untuk mencukupi kebutuhan pakan sapi diperlukan hijauan berupa rumput sebanyak 491,7 ton/hari dan konsentrat sekitar 77 ton/hari. Umumnya peternak mendapatkan pakan hijauan berasal dari lahan kehutanan, perkebunan atau lahan milik PLN sehingga dapat dipastikan waktu yang tercurah untuk pengadaan pakan hijauan lebih banyak daripada waktu untuk mengelola sistem perkandangan seperti menjaga sanitasi kandang dan lingkungannya.

Di antara rayon-rayon yang tergabung dalam koperasi (KPBS), rayon 5 (TPK Cibeureum, Cihawuk, Cikembang, Goha dan Sukapura) dan rayon 6 (TPK Cisabuk, Citawa, Kertasari, Lembang Sari dan Lodaya) merupakan kelompok peternak yang sebagian besar pengadaan pakan hijauannya meng-gantungkan pada lahan kehutanan. Sebagian besar peternak yang masuk ke dalam Rayon lima terletak di wilayah tepian sungai Citarum hulu, terutama kelompok peternak cibeureum. Hal yang sama kelompok peternak sapi perah yang berada di desa Taruma Jaya hampir 50% nya mendirikan kandang persis di samping sungai Citarum. Pada tahun 2009 kedua lokasi peternakan tersebut dituding sebagai pencermar lingkungan, karena semua limbah (manur dan kotoran sapi) langsung dibuang ke sungai Citarum. Hal yang mendasar terjadinya kegiatan membuang kotoran langsung ke sungai diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu minimnya waktu yang tercurah

Page 29: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 29

dalam menangani sanitasi kandang akibat sebagian besar waktu digunakan untuk mencari rumput ke areal perhutani atau perkebunan; lahan kandang yang sempit sehingga tidak ada ruang untuk pengolahan limbah; kualitas pakan yang diberikan pada sapi kurang memadai atau memiliki kecernaan rendah sehingga akan banyak terbuang melalui ekskreta; minimnya penge-tahuan peternak dalam mengelola atau mendaur-ulang kotoran sapi menjadi pupuk atau gas bio.

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan restrukturisasi sistem peternakan tertutama pe-ternakan yang berdiri di atas bantaran sungai Citarum hulu melalui relokasi atau menata ulang lokasi peternakan sapi perah dengan menerapkan zero waste. Dalam hal ini sistem peternakan sapi harus terkait dengan agroekosistem, dimana penyediaan pakan hijauan berasal dari kebun rumput yang kuantitas dan kualitas hijauannya terjamin sepanjang tahun. Kuantitas dan kualitas hijauan dapat terjamin melalui pola pemeliharaan dan pemupukan teratur. Kotoran ternak merupakan sumber pupuk yang murah dan tersedia sepanjang waktu selama peternakan itu ada.

B. Permasalahan

Permasalahan limbah ternak hampir seluruhnya terjadi di daerah yang rawan terhadap pen-cemaran limbah ternak yaitu daerah pemukiman. Secara umum limbah yang dihasilkan oleh usaha peternakan sapi perah adalah manure yang berasal dari pakan sisa yang tidak termakan, feses dan urine. Limbah cair karena volumenya yang sangat besar sedangkan kandungan bahan pencemarnya rendah maka praktis seluruhnya dibuang ke selokan dan sungai. Walaupun peluang untuk mengembangkan usaha sapi perah sangat besar, tetapi permasalahan yang ada cukup banyak dan permasalahan ini termasuk kepada permasalahan klasik yang dari waktu ke waktu belum terpecahkan dengan baik.

Permasalahan lain yang krusial dalam usaha peternakan sapi perah adalah pengadaan hijauan pakan. Ketersediaan hijauan yang berhubungan dengan ketidaktersediaan lahan untuk menanam hijauan pakan. Pengadaan pakan terutama hijauan pakan merupakan suatu hambatan atau masalah utama dalam peningkatan kualitas manajemen sapi perah, karena berdampak pada skala kepemilikan sapi perah, kualitas susu, kesehatan ternak, efisiensi usaha dan sanitasi lingkungan.

Sapi perah menghasilkan manure perhari sebanyak 7-8% dari bobot badan, dan mengandung unsur N 0,56%, P 0,23% dan K 0,44% (Schmidt et al. 1988). Nennich et al (2005) melaporkan bahwa setiap kondisi fisiologis sapi perah menghasilkan manure dengan unsur N, P dan K yang berbeda-beda seperti sapi perah laktasi berbobot badan 625kg dan konsumsi BK ransum 25kg, menghasilkan total manure perhari 75,2kg atau 9,7kg BK dengan kandungan N, P dan K masing-masing 0,491kg, 0,074kg dan 0,223kg. Jumlah manure yang dihasilkan adalah sekitar 38,8% dari BK ransum yang dikonsumsi. Pada sapi perah yang sedang kering kandang berbobot badan 755kg dan konsumsi BK ransum 10,4kg, menghasilkan total manure 38,6kg atau 4,5kg BK dengan kandungan N nya 0,228kg. Jumlah manure yang dihasilkan adalah 43,3% dari BK ransum yang dikonsumsi. Pada sapi dara berbobot badan 437kg dan konsumsi BK ransum 8,3kg, dihasilkan manure sebanyak 24,5kg/hari atau 3,74kg BK dengan kandungan N dan P masing-masing 0,117kg dan 0,020kg. Jumlah manure yang dihasilkan adalah 45,06% dari BK ransum yang dikonsumsi. Sapi anak yang berbobot badan 153kg menghasilkan manure sebanyak 12,4kg atau 1,37kg BK dengan kandungan N dan P masing-masing 0,063kg dan 0,008kg. Jumlah manure yang dihasilkan adalah 40,3% dari BK ransum yang dikonsumsi.

Manure yang dihasilkan oleh setiap ekor sapi perah memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif apabila manure tersebut diolah untuk dimanfaatkan menjadi pupuk organik atau sumber energi melalui proses gas bio. Berdampak negatif apabila manure tersebut langsung dibuang ke lingkungan.

Page 30: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 30

C. Upaya Menekan Jumlah Manure yang Dihasilkan Ternak melalui Optimalisasi Pemanfaatan Hijauan Pakan dalam Sistem Usaha Sapi Perah

Jumlah manure (feses, urine dan sisa pakan) yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah berhubungan dengan kualitas pakan yang diberikan kepada ternak tersebut. Kualitas pakan yang baik yang dicerminkan oleh nilai nutrien dan kecernaan berkorelasi negatif dengan jumlah manure yang dihasilkan. Pakan yang memiliki kecernaan rendah akan diperoleh manure yang tinggi, hal tesebut disebabkan oleh banyak bagian pakan yang tidak termakan dan bagian pakan yang termakanpun akan banyak dikeluarkan melalui feses karena sulit dicerna oleh alat pencernaan.

Dilihat dari proses metabolisme nutrien di dalam alat pencernaan sapi, pakan yang dikonsumsi ternak akan mengalami pencernaan mekanik di mulut, pencernaan fermentatif di lambung (rumen) dan pencernaan enzimatis (hidrolisis) di pascarumen dan usus halus. Oleh karena itu untuk menghasilkan produktivitas ternak yang tinggi maka pakan yang diberikan harus memiliki kualitas yang baik sehingga akan dicerna secara mekanik, fermentativ dan hidrolitik di dalam alat pencernaan ternak.

Secara garis besar, strategi mengoptimumkan proses pencernaan pakan di dalam alat pen-cernaan sapi untuk menghasilkan produksi yang maksimum dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Tujuan utamanya adalah mendapatkan nutrien pakan yang mampu dikonversi menjadi produk ternak secara maksimum atau meminimumkan nutrien pakan yang keluar dalam bentuk feses. Strategi yang dilakukan adalah perbaikan pakan pra-rumen (pakan sebelum dimakan oleh ternak), perbaikan pencernaan pakan di dalam rumen melalui perbaikan ekosistem rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen sehingga proses pencernaan pakan di rumen berjalan maksimum, dan perbaikan proses pencernaan pascarumen atau pencernaan di usus halus. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

Cara pertama adalah penyediaan pakan yang berkualitas. Hijauan pakan yang diberikan pada ternak harus berasal dari rumput yang dipanen pada waktu yang tepat, umumnya rumput budidaya akan menyediakan nutrien yang maksimum ketika dipanen saat menjelang berbunga dan apabila dipanen setelah berbunga maka protein yang terkandung dalam batang dan daun menurun sedangkan lignin meningkat.

Semakin tua tanaman akan semakin rendah kualitas nutriennya yang ditandai oleh menurunnya kecernaan karena kadar ligninnya meningkat. Tanaman yang mulai berbunga umumnya sudah tua dan mempunyai kualitas nutrisi yang mulai menurun. Hijauan yang relatif cepat berbunga umumnya mempunyai kualitas nutrisi yang rendah. Proporsi daun/batang, pada umumnya bagian daun memiliki kualitas nutrisi yang lebih baik daripada komponen batang/ranting tanaman. Daun umumnya memiliki kandungan serat yang rendah, terutama pada tanaman yang dipotong pada umuir muda. Campuran hijauan yang proporsi daunnya lebih tinggi umumnya memiliki kualitas nutrisi yang tinggi pula. Keadaan Batang yang kaku dan tidak lentur, menunjukkan tanaman tersebut kadar ligninnya tinggi dan kecernaannya rendah. Hijauan yang baik mempunyai batang yang relatif gemuk, mengkilap, dan bila ditekan/dipijat akan mengeluarkan cairan.

Bahan Kering ransum yang tidak dapat dicerna merupakan pembatas utama dalam jumlah asupan BK oleh ruminansia, sedangkan pakan yang memiliki kecernaan yang baik menyebabkan konsumsi BK meningkat. Kapasitas rumen dapat pula menjadi pembatas konsumsi BK ransum. Terdapat hubungan antara ketersediaan nutrien dengan volume konsumsi pakan pada ruminansia. Terjadi korelasi positif antara kandungan energi tersedia dengan jumlah ransum yang dikonsumsi pada hijauan berkualitas rendah sampai sedang, dan terjadi korelasi negatif dengan hijauan berkualitas baik atau ransum yang proporsi konsentrat butirannya lebih tinggi. Apabila ransum yang kecernaannya tinggi dikonsumsi, maka konsumsi energi meningkat. Konsumsi BK ransum akan menurun apabila ransum yang diberikan tinggi konsentratnya.

Page 31: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 31

Cara kedua adalah mengolah pakan yang berkualitas rendah. Penggunaan limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, daun singkong dan lain sebagainya, dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan serat. Dalam kondisi tertentu bahan baku tersebut dapat diperkaya dengan perlakuan mekanik, kimiawi maupun biologis untuk meningkatkan kualitas (feed enrichment). Beberapa bahan pakan yang bersumber pada limbah biasanya mengandung anti-nutrisi yang berbahaya bagi ternak. Pengolahan pakan secara fisik lebih difokuskan pada memperluas ukuran partikel pakan melalui pencacahan atau penggilingan. Tujuan dari memperluas ukuran partikel pakan adalah agar proses pentetrasi mikroba rumen ke dalam partikel pakan dan kontak enzim pencernaan dengan pakan menjadi lebih luas sehingga nilai kecernaan menjadi meningkat. Pengolahan secara kimiawi ditujukan untuk memutus ikatan lignoselulosa dan lignoselulosa yang terdapat dalam hijauan pakan. Dengan terputusnya ikatan lignoselulosa atau lignohemiselulosa maka kecernaan pakan tersebut menjadi meningkat. Penggunaan bahan kimia dalam pengolahan pakan serat haruslah mempertimbangkan keamanan lingkungan, disarankan pengolahan dengan alkali urea melalui proses amoniasi.

Cara ketiga adalah memperbaiki ekosistem rumen melalui pemberian mikroba hidup dari luar rumen (directly feed microbial). Ekosistem rumen dioptimumkan kinerjanya melalui pemberian probiotik. Beberapa probiotik yang sudah teruji dalam meningkatkan kinerja sistem rumen adalah probiotik yang mengandung konsorsium mikroba seperti yeast Saccharomeces cereviseae, Aspergillus oryzae dan jamur Neurospora sp. Jenis probiotik untuk ternak ruminansia seperti sapi banyak beredar di pasaran.

Cara keempat adalah mengoptimumkan pemanfaatan produk metabolit di dalam rumen. Proses pencernaan bahan organik terutama protein pakan di dalam rumen akan diperoleh produk metabolit berupa NH3. Dalam hal ini pakan-pakan yang tinggi kadar proteinnya perlu diupayakan dirombak oleh mikroba rumen dalam kecepatan sesuai dengan dengan kebutuhan NH3 untuk pertumbuhan mikroba. Dengan kata lain pakan yang tinggi NPN dapat dioptimumkan melalui pemberian Zeolit atau bahan yang mempunyai sifat absorption dan cation exchanger, hal tersebut dalam mengupayakan pelepasan NH3 secara perlahan (slow release urea)

D. Kajian Empiris Pemanfaatan Lahan Hutan dan Limbah Pertanian

Pada musim kemarau, peternak mengalami kesulitan dalam pengadaan rumput atau pakan sumber serat yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan hijauan pakan ternak (HPT) di kawasan pegunungan, hutan tanaman industri, pinggir jalan dan lahan kosong. Program tersebut sejalan dengan pencegahan dan mengurangi longsor dan banjir.

Silvopastora merupakan salah satu kegiatan yang ada dalam agroforestry yang mengintegrasikan antara tegakan pohon, tanaman pakan, dan ternak dalam suatu kegiatan yang terstruktur dan menggambarkan berbagai interaksi (Clason dan sharrow, 2000). Suatu design sistem yang baik akan memberikan kepuasan yang memenuhi tiga kriteria yaitu produktivitas, keberlanjutan dan kemampuan beradaptasi. Agar tidak terjadi gangguan ternak terhadap tegakan pohon, sistem penanaman rumput diarahkan ada perkebunan rumput (grass estate) yang ditumpangsarikandi bawah tegakan pohon hutan, atau dikenal dengan sebutan emulated silvopastora system, yaitu sistem silvopastora yang tidak ada komponen ternak yang digembala secara langsung. Dalam mengembangan pola ini perlu dibuat kerja sama antara Perhutani, pemerintah daerah, koperasi dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Perhutani sebagai penyedia lahan, Pemda sebagai penyedia modal kerja, koperasi sebagai pihak yang akan membeli hijauan pakan dan LMDH sebagai pengelola silvopastora.

Peternakan sapi perah rakyat yang berkembang di daerah budidaya hortikultur, sering me-manfaatkan limbah wortel (Daucus carota) sebagai pakan tambahan terutama saat panen raya wortel. Ketersediaan daun wortel segar per hektar sekitar 25 ton/panen, demikian halnya bagian

Page 32: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 32

umbi wortel sisa sortir umumnya sering dimanfaatkan sebagai pakan (Herlianti, 2008). Daun wortel mengandung protein kasar 14,84%, serat kasar 20,9% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 43,1%, sedangkan umbi wortel mengandung protein kasar 7,0%, serat kasar 5,1% dan

BeTN 72,3%. Keunggulan lain dari limbah wortel adalah umbi wortel banyak mengandung caroten. Dengan demikian limbah wortel cukup potensial sebagai pakan alternatif. Hasil kajian pemanfaatan limbah wortel sebagai komponen ransum sapi perah di KPGS Cikajang, kabupaten Garut tahun 2007.

Tabel 1. Konsumsi Bahan Kering (BK) Ransum, Produksi dan Kualitas Susu Sapi yang Mendapat Perlakuan yang Berbeda

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

1 Konsumsi BKransum kg/hari 26,47a 27,70

a 26,65

a 24,77

b

2 Prod.susu, kg/hari 15,92±3,16 15,26±3,61 16,48±4,12 16,11±3,33 3 Efisiensi Rasum, % 55,30

ab 53,19

b 57,99

ab 61,51

a

4 Kadar BK, % 11,27±0,26 12,01±0,54 11,77±0,55 11,88±0,16 5 Kadar lemak, % 3,37±0,16 3,83±0,35 3,71±0,47 3,66±0,07 6 Kadar BKTL, % 7,89±0,27 8,18±0,36 8,06±0,29 8,21±0,13 7 Kadar Protein, % 2,99±0,11 3,12±0,13 3,08±0,10 3,09±0,08 8 Kadar Laktosa, % 4,27±0,16 4,42±0,19 4,31±0,19 4,43±0,08

Keterangan : R0 = 66% Rumput + 34% konsentrat, R1 = 60% Rumput + 40% konsentrat R2 = 33% Rumput + 33% daun wortel + 34% konsentrat, R3 = 33% Rumput + 16,5% daun wortel + 16,5% umbi wortel + 34% konsentrat Nilai Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan perbedaa pada taraf 5% (Uji Jarak Berganda Duncan)

Penggunaan sumberdaya pakan alternatif lainnya adalah Kaliandra (Calliandra calothyrsus) yaitu tanaman legum pencegah erosi diduga akan mampu menjadi pakan andalan dalam jangka panjang. Tanaman tersebut banyak tumbuh di hampir sebagian besar daerah pegunungan sebagai hasil gerakan reboisasi pada tahun 70-an sampai saat ini pemanfaatannya sebagai pakan ternak belum optimum. Kaliandra adalah leguminosa pohon yang banyak dimanfaatkan sebagai pengendali erosi dan tanaman naungan. Kandungan nutrisi daun Kaliandra cukup potensial sebagai pakan terutama sebagai pakan sumber protein yaitu mengandung 20-25 persen. Faktor pembatas pemanfaatannya adalah tanin, namun tidak berpengaruh bila pemberiannya sekitar 30-40% dalam ransum. Hasil kajian pemanfaatan daun kaliandra sebagai komponen ransum sapi perah di KSU Tandangsari, Tanjungsari Kabupaten Sumedang pada tahun 2006.

Tabel 2. Performans Produksi Sapi Perah yang Diberi Daun Kaliandra

Perlakuan

R1 R2 R3 R4

---------------------------- kg/ekor/hari --------------------------- Perubahan BB - 0,60 - 0,70 -0,50 - 0,58 Konsumsi BK 29,10 30,46 28,37 28,47 Konversi Ransum 2,75 2,36 2,16 2,29 Prod.Susu 10,49 ± 3,15 11,70±2,62 12,54±1,30 12,21±2,22 Prod.4%FCM 11,18±2,83 13,26±2,59 13,13±1,12 12,47±2,70 Lemak 0,46±0,10 0,46±0,10 0,53±0,047 0,52±0,12 BK 1,31±0,36 1,52±0,30 1,55±0,14 1,49±0,31 BKTL 0,85±0,25 0,96±0,21 1,01±0,11 0,96±0,19 Protein 0,32±0,09 0,36±0,08 0,38±0,04 0,37±0,07 laktosa 0,45±0,14 0,55±0,11 0,56±0,09 0,51±0,10

Keterangan : R1 = Hijauan dan konsentrat KSU. R2 = Hijauan + (90% konsentrat + 10% daun kering Kaliandra). R3 = Hijauan + (80%

konsentrat + 20% daun kering Kaliandra). R4 = Hijauan + (70% konsentrat + 30% daun kering Kaliandra).

Page 33: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 33

Tabel 3. Nilai Income Over Feed Cost pada Usaha Sapi Perah yang diberi Daun Kaliandra

Uraian

Level daun Kaliandra dalam Konsentrat

R1 R2 R3 R4

-------------------------Rp/ekor/hari---------------------

Penerimaan Susu 19.475,15 21.723,73 23.290,72 22.668,57

Bonus TPC 304,09 339,20 363,66 353,95

Bonus TS 419,43 467,86 501,60 244,10

Total Penerimaan 20.198,66 22.530,78 24.155,98 23.266,62

Biaya Pakan 13.175,00 13.061,56 12.948,13 12.834,69

IOFC 7.023,66 9.469,21 11.207,86 10.431,93

E. Beberapa Hasil Penelitian tentang Pengolahan Pakan dan Penambahan Suplemen pada

Sapi Perah

1. Silase limbah daun/tanaman jagung sebagai pengganti rumput lapang terhadap produksi susu sapi perah. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan produksi susu dari 7,8 liter/hari pada sapi kontrol menjadi 9,3 liter/hari pada sapi yang diberi perlakuan. Dengan kata lain penggantian rumput oleh silase limbah daun/tanaman jagung menaikkan produksi susu sebesar 19% dan efisiensi penggunaan pakan sebesar 29% (Winugroho dan Widiawati, 2007).

2. Peningkatan mutu onggok melalui fermentasi sebagai bahan baku pakan sapi perah. Hasilnya bahwa penggantian konsentrat oleh Casapro sebanyak 20% dalam ransum meningkatkan produksi susu yaitu 14,47 ± 1,53 dibanding 10,56 ± 0,95 liter/hari (Supriyati dkk., 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa onggok yang difermentasi mempunyai nilai nutrien lebih tinggi daripada konsentrat

3. Pengaruh medicated block terhadap perbaikan kondisi tubuh dan produksi susu. Hasilnya bahwa pemberian medicated block berbahan baku temu ireng mampu meningkatkan produksi susu 4% FCM sebesar 22,3% (Kurniawati dan Suharyono, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa temu ireng memiliki kemampuan dalam meningkatkan aktivitas bakteri rumen sehingga kinerja mikrob rumen mendegradasi pakan menjadi lebih intensif.

4. Pengaruh suplemen Zn-organik, Cu-organik dan tepung kunyit dalam ransum terhadap daya tahan dan jumlah bakteri susu sapi perah. Hasilnya bahwa sapi perah yang diberi ransum mengandung Zn-organik, Cu-organik dan tepung kunyit menghasilkan susu yang memiliki daya tahan lebih baik yang ditandai dengan uji reduktase (13,63 vs 8,75 jam) dan jumlah bakteri Staph. Aureus paling rendah (1,07 vs 3,63 x105 CFU/ml) (Tanuwiria, dkk. 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa mineral Zn organik, Cu-organik dan kunyit secara bersama-sama memperbaiki sistem kekebalan tubuh terutama dalam melawan bakteri penyebab mastitis.

5. Evaluasi penggunaan probiotik bakteri selulolitik dalam meningkatkan kualitas susu sapi. Hasilnya bahwa pemberian probiotik bakteri selulolitik ke dalam ransum sapi perah berpengaruh meningkatkan produksi susu sebesar 5,9% (18,2 vs 17,2 liter/hari) (Listiari Hendraningsih, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa probiotik bakteri selulolitik yang ditambahkan ke dalam ransum berhasil meningkatkan laju degradasi serat di dalam ransum, sehingga kecernaan bahan organik menjadi meningkat dan sehingga asupan protein mikrobial ke pascarumen ikut meningkat. Dampak lanjutnya produksi susu meningkat

6. Manfaat kaliandra pada usahaternak sapi perah dalam meningkatkan produksi susu. Hasilnya bahwa penggantian 20% konsentrat oleh daun Kaliandra kering meningkatkan produksi susu menjadi 12,54 kg/ekor/hari dari asalnya 10,49 kg/ekor/hari (Tanuwiria, dkk. 2007). Hal

Page 34: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 34

tersebut menunjukkan bahwa kualitas daun Kaliandra yang dikeringkan secara naungan mengandung nutrien lebih baik dari konsentrat produksi KUD.

7. Suplemen Zn-lisinat, Zn-Cu-proteinat, dan kompleks Ca-minyak ikan dalam ransum berbasis limbah industriagro untuk meningkatkan produksi susu pada sapi perah. Hasilnya menunjuk-kan bahwa penambahan suplemen Zn-Cu-proteinat meningkatkan produksi susu sebesar 27% dari kontrol (12,27 kg vs 9,63 kg) dan produksi 4% FCM (11,46 kg vs 9,04 kg). Penambahan kompleks Ca-minyak ikan dalam ransum sapi laktasi cenderung menurunkan kadar lemak susu, akan tetapi produksi lemak secara keseluruhan relatif lebih tinggi dibandingkan kontrol. (Tanuwiria, 2004)

8. Penggunaan hidrolisat bulu ayam dan sorgum serta suplemen kromium organik untuk m-ningkatkan produksi susu pada sapi perah. Hasilnya menunjukkan bahwa ransum yang mengandung hidrolisat bulu ayam, sorgum dan Cr-organik mampu meningkatkan produksi susu (24,8 vs 21,0 kg/hari) (Anis Muhtiani, 2002)

F. Kesimpulan

Upaya mengurangi jumlah manure yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah dilakukan dengan pemberian ransum yang memiliki kecernaan tinggi. Kecernaan ransum dapat ditingkatkan melalui empat cara yaitu pemberian hijauan berkualitas, pengolahan pakan secara fisik, kimia dan biologis, perbaikan ekosistem rumen dengan pemberian probiotik dan perbaikan pemanfaatan produk metabolit di dalam rumen.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 1997. Pengenalan Jenis Tanaman Makanan Ternak untuk Sapi Perah. Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan GKSI-CCA Kanada. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Anis Muhtiani. 2002. Penggunaan Hidrolisat Bulu Ayam Dan Sorgum Serta Suplemen Kromium Organik Untuk Meningkatkan Produksi Susu Pada Sapi Perah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Clason, T.R., and S.H. Sharrow. 2000. Silvopastoral Practices. In H.E. Garrett et al. (ed) North American Agroforestry: An integrated science and practice. ASA, CSSA, and SSSA, Madison, WI. 119-147

Cullison, A.E. 1978. Feed and Feeding. Prentice-Hall of India Private Limited. New Delhi

Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah State University, Logan Utah

Kurniawati, A dan Suharyono. 2007. Pengaruh Medicated Block terhadap Perbaikan Kondisi Tubuh dan Produksi Susu. Proseding LokakaryaSapi Perah. Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul Indonesia yang Adaptif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Daya Saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 77-81

Liener, I.E. 1980. Toxic Constituents of Plant Foodstuffs. Academic Press. New York

Listiari Hendraningsih. 2007. Evaluasi Penggunaan Probiotik Bakteri Selulolitik dalam Meningkatkan Kualitas Susu Sapi. Proseding Seminar Nasional AINI VI. Kearifan Lokal dalam Penyedia serta Pengembangan Pakan dan Ternak di Era Globalisasi. Univ. Gadjah Mada, Jogjakarta. 302-308

McIllroy. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradya Paramita. Jakarta

Page 35: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 35

National Research Council (NRC). 1988. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. National Academy Press. Washington, DC.

Reksohadiprodjo, S. 1981. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak. Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta

Schmidt, G.H., L.D. Van Vleck, and M.F. Hutjens. 1988. Principle of dairy science. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. 428-435

Supriyati, I.P. Kompyang, Gunawan, Budiman, A Sobari, dan Maolana, 2007. Peningkatan Mutu Onggok me-lalui Fermentasi sebagai Bahan Baku Pakan Sapi Perah. Proseding Lokakarya Sapi Perah. Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul Indonesia yang Adaptif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Daya Saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 66-70

Sutardi, T. 1983. Pengelolaan Tatalaksana Makanan dan Kesehatan Sapi Perah. Ceramah Ilmiah. Per-himpunan dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Jawa Barat II. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Tanuwiria, U.H., E. Harlia, D Tasripin, N.R. Manikam dan P Indraswari . 2007. Pengaruh Suplemen Zn-Organik, Cu-Organik dan Tepung Kunyit dalam Ransum terhadap Daya Tahan dan Jumlah Bakteri Susu Sapi Perah. Proseding Lokakarya Sapi Perah. Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul Indonesia yang Adaptif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Daya Saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe-ternakan, Bogor. 81-88

Tanuwiria, U. H. A. Rohana, Mansyur dan L. Budimulyati. 2009. Perbaikan Efisiensi Ransum Sapi Perah yang Diberi Hasil Samping Wortel sebagai Pengganti Rumput Lapangan. Bull. Ilmu Peternakan dan Perikanan. XII (2) : 82-92

Tanuwiria, U.H., W. Djaja, S. Kuswaryan dan L Khaerani. 2009. Manfaat Kaliandra pada Usahaternak Sapi Perah dalam Meningkatkan Produksi Susu. Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Ungaran-Semarang, 13-14 November 2007.

Tanuwiria, U.H. 2004. Suplemen Zn-lisinat, Zn-Cu-proteinat, dan Kompleks Ca-Minyak Ikan dalam Ransum Berbasis Limbah Industriagro untuk Meningkatkan Produksi Susu pada Sapi Perah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Winugroho, M dan Y. Widiawati. 2007. Silase Limbah Daun/Tanaman Jagung sebagai Pengganti Rumput Lapang terhadap Produksi Susu Sapi Perah di Pondok Rangon. Proseding Lokakarya Sapi Perah. Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul Indonesia yang Adaptif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Daya Saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 61-65

Page 36: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 36

Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Perah Ramah Lingkungan di DAS Citarum Hulu*)

oleh :

Didin S. Tasripin dan Enni Sukraeni Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS utama di Jawa Barat dan bersifat strategis karena menjadi penyangga ibu kota Jakarta, luasnya mencapai 6.614 kilometer persegi atau 22% luas wilayah Jawa Barat. Sungai Citarum merupakan sungai lintas Kabupaten/Kota dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 300 km, memiliki berbagai pemanfaatan untuk menunjang kebutuhan air di Provinsi Jawa Barat, juga menunjang kebutuhan air baku di DKI Jakarta yang diambil dari Saluran Tarum Barat untuk diolah PDAM DKI Jakarta. Sungai Citarum bersumber dari Gunung Wayang (Situ Cisanti) di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung yang mengalir melalui daerah Majalaya. Selanjutnya sungai ini mengalir ke bagian tengah Provinsi Jawa Barat dari selatan ke arah utara dan akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Muara Gembong dengan melewati Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Citarum adalah DAS utama di jawa barat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. DAS Citarum telah rusak akibat penggundulan lahan serta pencemaran industri dan rumah tangga, yang berdampak terhadap banjir, kekeringan dan dapat terhambatnya pasokan listrik di Jawa-Bali (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur). Luas lahan yang perlu direhabilitasi dalam kawasan hutan pada DAS Citarum Hulu saat ini mencapai 1.197,78 hektar, sedangkan pada kawasan non hutan pada wilayah tangkapan (catchment area) seluas 22.326,12 hektar.

Beberapa permasalahan lain adalah kualitas air yang semakin menurun, kekeruhan air semakin meningkat hingga mengganggu instalasi pengolah air. Kadar kimia (BOD, COD, Zn, dll) meningkat, akibat tercemar limbah permukiman, industri dan pertanian. Sungai menjadi tempat pembuangan air, akibat dari pengelolaan limbah padat belum tertata dengan baik.

Kadar erosi semakin tinggi mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air. Terjadi tanah longsor, tanggul-tebing sungai longsor, dasar sungai tergerus, kerusakan bangunan pengendali/ pengatur aliran air. Citarum dominan identik akan genangan banjir, sampah, limbah industri dan limbah domestik. Berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik, erosi, limbah peternakan, dan pola pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Pola pemanfaatan lahan menimbulkan tingginya erosi dan air larian, perilaku masyarakat, baik Industri ataupun rumah tangga menyebabkan buruknya kualitas air, areal genangan banjir semakin meluas ke permukiman, industri dan infrastruktur jalan, serta setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan uatma banjir.

Sumber polutan utama berdasarkan parameter BOD di Citarum Hulu tahun 2001 adalah limbah domestik (44,33-54%), industri (42,33%), peternakan (10,35-35,39%), dan pertanian (2,99-10,26%). Berdasarkan hal tersebut, peternakan menduduki urutan ke tiga dalam mencemari sungai Citarum. Hal ini dapat dipahami karena pada umumnya peternakan sapi perah di hulu sungai citarum (terutama wilayah TPK Goha) terletak di tepian sungai dan beberapa peternak sapi perah membuang langsung limbah kotoran sapi ke badan air sungai. Di daerah tersebut, beban pencemaran ditunjukan langsung melalui perubahan warna air anak sungai menjadi warna feses sapi (kehijauan). Hal ini berarti air anak sungai tersebut memiliki kandungan bahan padat terlarut dan tersuspensi yang tinggi.

Page 37: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 37

Kondisi polutan utama di Citarum Hulu (Daerah Wangisagara tahun 2006) berdasarkan parameter BOD (Biology Oxygen Demand) 3,4 mg/l (baku mutu 2 mg/l), COD (Chemical Oxygen Demand) 7,3 mg/l (baku mutu 10 mg/l), Nitrit 0,03 mg/l (baku mutu 0,5 mg/l), TDS (total dissloved suspention) 108,8 mg/l (baku mutu 1000 mg/l), Kekeruhan 221,5 NTU, dan amoniak 0,05 mg/l (baku mutu 0,5 mg/l) (Data primer, 2006) dan PJT II (2005). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat pencemaran di wilayah DAS Citarum Hulu pada daerah sebelum Citarum Majalaya masih berada pada ambang baku mutu kecuali BOD diatas baku mutu. Sedangkan hasil pemeriksaan di DAS Citarum hulu Majalaya menunjukkan BOD 5,09 mg/l (baku mutu 2 mg/l), COD 26,01 mg/l (baku mutu 10 mg/l), Nitrit 0,03 mg/l (baku mutu 0,5 mg/l), TDS (total dissloved suspention) 228,5 mg/l (baku mutu 1000 mg/l), Kekeruhan 3526,5 NTU, dan amoniak 0,04 mg/l (baku mutu 0,5 mg/l) lebih tinggi terutama kandungan TDS, Kekeruhan, amoniak, BOD dan COD.

Peternak sapi perah di Pangalengan tersebar di beberapa daerah, terbagi menjadi 6 Rayon dan Rayon yang berdekatan langsung dengan DAS Citaru hulu adalah Rayon 5 dan Rayon 6. Populasi sapi perah di bantaran sungai Citarum hulu tidak terlalu banyak yaitu Rayon 6 sebanyak 15,47% dan Rayon 5 sebanyak 16,67% dari total populasi sapi perah KPBS Pangalengan (16.390 ekor), tetapi karena debit anak sungai tersebut kecil maka beban pencemaran menjadi tinggi dan anak sungai tersebut dinilai tercemar berat.

KONDISI PETERNAKAN SAPI PERAH DI DAS CITARUM HULU

Sapi perah yang dipelihara anggota KPBS Pangalengan berdasarkan data Sensus Verifikasi Keanggotaan dan Kepemilikan Sapi Perah KPBS (2008) tercatat sebanyak 16.390 ekor. Jumlah sapi induk produktif mencapai 9.831 ekor atau sekitar 60%. Sapi dara dan pedet betina masing-masing adalah 15% dan 11% dari populasi. Sebaran populasi sapi perah hampir merata setiap Rayonnya, berkisar antara 2.432 hingga 2.985 ekor. Populasi induk sapi perah di Rayon 6 yang berada paling dekat dengan DAS Citarum hulu (Cibeureum, Cihawuk Cikembang, Sukapura dan Goha) sebanyak 1.568 ekor maka kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari sebanyak 50.178 kg feces per hari (feces yang dihasilkan dari 8% bobot badan 400 kg). Kotoran/feces sapi mengandung sejumlah nutrisi yang tidak diserat tubuh ternak sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organik. Peternak biasanya menumpuk kotoran ternaknya sebelum dibuang atau dibawa ke kebun, tetapi ada pula yang langsung mengalirkannya ke bantaran selokan/sungai sehingga mengakibatkan polusi air dan tanah karena kotoran mengandung C : N ratio rendah yang menimbulkan bau menyengat.

Wilayah Goha merupakan daerah yang langsung berada pada aliran hulu sungai Citarum berasal dari Situ Cisanti. Peternakan sapi perah di TPK Goha persis berada pada bantaran DAS Citarum Hulu, populasi sapi perah berjumlah 947 ekor terdiri dari sapi induk 568 ekor, sapi dara 129 ekor, betina muda 27 ekor, pedet betina 98 ekor, pedet jantan 89 ekor, dan jantan 36 ekor, feces yang dihasilkan sebanyak 23.104 kg. Di daerah ini kecenderungan feces sapi langsung dibuang pada bantaran sungai sehingga air menjadi berwarna hijau. Dari sebanyak 4.647 peternak, hanya sebagian kecil atau sebanyak 1.206 peternak (26%) yang memiliki atau menguasai kebun rumput untuk penyediaan hijauan, selebihnya, atau sebagian besar (74%), mengandalkan sepenuhnya kebutuhan hijauan dari sumber-sumber lain yang dianggap sebagai communal asset (rumput lapang), atau dengan cara membeli hijauan sisa hasil pertanian. Peternak yang menggarap kebun rumput sekitar 54% mengandalkan lahan sewa, lahan yang di sewa adalah lahan-lahan HGU yang selama ini hak penggunaannya dimiliki Perhutani, Perkebunan, dan PLN selebihnya memilki lahan kebun rumput sendiri. Peternak yang banyak memiliki akses terhadap lahan-lahan HGU ini terutama dijumpai di wilayah TPK Warnasari, Pulosari, dan Kebon Jambu. Total luas lahan kebun rumput ini, baik milik sendiri maupun sewa, seluas 320 hektar. Limbah kotoran sapi pada beberapa Rayon tidak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik karena peternak tidak mempunyai lahan rumput, selain itu bila kotoran sapi dibuat pupuk organik sulit menjual karena pertanian lebih memilih pupuk organik berasal dadri kotoran ayam dengan alasan kualitasnya lebih babik.

Page 38: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 38

Konsentrat yang diberikan berasal dari KPBS Pangalengan dan tambahan ampas tahu, jumlah konsentrat yang dibutuhkan sebanyak 11.969 kg per hari dan ampas tahu 4.060 kg perhari (Rayon 5) dan 10.941 kg per hari dan ampas tahu 2.761 kg per hari (Rayon 6). Ampas tahu yang terlalu lama disimpan atau tidak dimakan menjadi basi karena tidak tahan lama dan biasanya dibuang bersama kotoran. Ampas tahu tersebut mengandung mikroorganisme penyebab basi akibatnya bantaran sungai DAS Citarum bertambah tercemar bakteri pembusuk dari ampas tahu. Tampilan produksi susu sapi di daerah Rayon 5 sejumlah 18.637 liter per hari dan Rayon 6 18.044 liter per hari, rataan kisaran antara 9,30–11,60 liter per hari per ekor, kondisi produksi masih normal pada wilayah Indonesia walaupun sebenarnya masih jauh dari harapan rataan produksi susu ideal (rataan 15 liter per hari per ekor). Kondisi tersebut masih bisa ditingkatkan dengan manajemen pemeliharaan terutama pemberikan pakan dan kenyamanan sapi dalam kandang serta manajemen kesehatan ternak terutama pencegahan manajemen kesehatan ambing.

Sebagian besar peternak menempatkan sapi perahnya di dalam kandang dengan posisi saling bertolak belakang (tail to tail), tetapi ada juga yang saling berhadapan. Lantai kandang dibuat dari semen. Kemiringanya lantai tidak mengikuti patokan 2-5 %, tetapi dibuat asal tidak terlalu miring bahkan ada lantai yang rata. Kekasaran lantai dibuat tidak beraturan bukan mengikuti arah bak pakan. Ada pula yang sudah memakai alas lantai (bedding) matras karet, namun ada juga yang menggunakan alas lantai jerami padi dan serbuk gergaji serta menggunakan lantai kayu. Lantai kandang beralaskan beton hanya terdapat 368 peternak atau 65,71% dari 560 peternak dan sisanya menggunakan lantai kandang beralaskan kayu. Lantai kayu selain mudah didapat dan harganya relatif lebih murah juga dapat juga menjaga kebersihan dan memberi kehangatan pada ternak karena air dan air kencing kencing sapi akan langsung kelantai melalui celah pada kayu dan badan sapi pada waktu tidur tidak menyentuh lantai. Akan tetapi lantai kayu sering mengakibatkan luka pada sapi akibat pijakan yang licin sehingga sapi sering jatuh.

Aktivitas dan persepsi peternak di wilayah Rayon 5 dan Rayon 6 menyangkut kegiatan pemeliharaan relatif cukup baik, tetapi kenyataan penerapannya terkendala faktor teknis, non teknis dan sosial masyarakat peternak itu sendiri. Paling rendah aktivitas dan persepsi peternak adalah saluran pembuangan air dan penampungan kotoran, terutama di wilayah Rayon 6 karena peternak menganggap membuang kotoran ke bantaran sungai menjadi hal yang biasa dan memudahkan pekerjaan. Hal tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga untuk merubah perilaku perlu waktu, sarana dan prasarana serta kesabaran. Saluran pembuangan air dan kotoran yang sesuai dengan harapan yaitu terdapatnya saluran pembuangan air dan kotorann mengalir lancar, hanya terdapat 330 peternak (58,93%) dari 560 peternak di wilayah Rayon 5 dan Rayon 6 dan sisanya 230 peternak membiarkannya pada tempat-tempat tertentu dan salurannya tidak lancar akibatnya kandang menjadi basah dan lembab. Kondisi seperti ini akan menimbulkan penyakit baik pada keluarga peternak ataupun pada sapi peliharaanya, ada pula kotoran sapi yang ada di kandang oleh para peternak dikumpulkan terlebih dahulu di dekat kandang lalu apabila sudah cukup peternak tersebut mengangkutnya dan dikumpulkan pada suatu tempat (ada yang disimpan dekat rumahnya dan ada juga yang disimpan dikebun). Kotoran kandang ditempatkan pada penampungan khusus sehingga dapat diolah menjadi pupuk. Kotoran ditimbun agar mengalami proses fermentasi (1-2 minggu) telah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Pada beberapa daerah terutama di desa Cibeureum TPK Goha letak kandang sapi perah ditempatkan persis dibantaran hulu sungai citarum sehingga kotoran langsung dibuang ke sungai akibatnya air sungai menjadi hijau, sampai saat ini belum memanfaatkan kotoran menjadi sumber penghasilan. Informasi yang diperoleh peternak di bantaran sungai Citarum Hulu wilayah TPK Goha bahwa peternak menempati lahan milik kehutanan tanpa ijin dari pihak manajemen kehutanan sehingga status lahan menjadi tidak jelas.

Aktivitas dan persepsi terhadap tatalaksana pemeliharaan relatif cukup baik, mulai dari ember perah, milkcan, saringan susu, ember dan lap air hangat, tetapi sangat rendah (6,85% pada Rayon 5. dan 2,15% pada Rayon 6.) pada akhir pemerahan melakukan pencelupan puting. Peternak tidak

Page 39: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 39

melakukan pencelupan puting karena memerlukan biaya serta tidak banyak merasakan manfaatnya. Tingkat mastitis, terutama mastitis subklinis menjadi tinggi yang pada akhirnya produksi susu majdi berkurang. Kegiatan manajemen pasca panen terutama teat dipping perlu disosialisakan penggunakan herbal air daun sirih 150 ppm (Mastinigrum, 2009) dan suplement kunyit, Zn organik dan Cu organik 2 % dari konsentrat yang digunakan (Tasripin dkk. 2005) sebagai bahan pencelupan puting dan pakan suplemen untuk mengatasi mastitis dan harganya murah.

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI PERAH DI DAS CITARUM HULU

Agribisnis peternakan sapi perah merupakan unsur diversifikasi usaha tani yang masih diminati masyarakat, persoalan mendesak yang patut dikaji secara utuh adalah bagaimana menata kembali kegiatan peternakan sapi perah sehingga mampu menampilkan kinerja yang lebih efisien, bernilai tambah dan berdayasaing dan ramah lingkungan. Sebagai tuntutan dan tantangan bagi semua pihak yang terkait tidak ada cara lain adalah sistem agribisnis berwawasan lingkungan pada kawasan/ kelompok usaha peternakan terpadu yang memudahkan dalam manajemen usaha peternakan yang terkait oleh pemantapan sistem praproduksi, proses produksi dan pasca produksi di dalam suatu sistem agribisnis yang didukung kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh.

Pengintegrasian berintikan terhadap penciptaan rangsangan produktif yang berorientasi pada nilai tambah dan tuntutan pasar. Keikutsertaan peternak untuk menghasilkan produk yang kompetitif di pasaran, membutuhkan perubahan sikap. Oleh karena itu, kegiatan usaha agribisnis melalui kawasan usaha peternakan sapi perah perlu dikembangkan secara spesifik, dan tertuju pada peningkatan ketrampilan dan kualitas sumber daya peternak untuk melaksanakan budidaya pe-ternakan tangguh dalam satuan-satuan produksi yang layak, efisien, responsif dan tangguh terhadap perubahan permintaan pasar. Pengintegrisasian agribisnis lebih efektif dalam wadah kelompok/ koloni peternak sapi perah yang mempunyai kesamaan persepsi dan pandangan untuk memecahkan masalah bersama. Begitu pula relokasi peternak sapi perah dari bantaran DAS Sungai Citarum Hulu dilakukan dengan konsep kelompok peternak yang mempunyai kesamaan dan memperhatikan aspek-aspek teknik (good dairy practice) dan sosial. Penerapan aspek teknis didukung pula SOP (Standart Operating Procedure) serta penerapan sangsi dan penghargaan. Selain itu, usaha tani ternak sapi perah perlu ditunjang oleh dinamika kelompok tani ternak sebagai wadah bagi pe-ngembangan sumber daya peternak dalam aktivitas yang jelas dan didasarkan pada pembinaan zooteknis yang terarah dan berkesinambungan. Keterampilan teknis budi daya yang terdiri atas penyempurnaan pakan, manajemen/pemeliharaan dan perkandangan, pengendalian penyakit dan pemasaran mutlak harus diaplikasikan berdasar SOP agar dicapai taraf diversifikasi dan intensifikasi yang lebih efisien dan efektif. Cara-cara pemberian pakan yang efektif, sistem pemerahan yang tepat dan sistem perkandangan yang dapat mengendalikan sapi peliharaannya serta nyaman, pengendalian penyakit ditekankan pada cara-cara pencegahan penyakit dan pengobatan awal guna mengatasi penyakit yang muncul.

Prinsip memaksimalkan produksi ternak sapi perah dalam lahan minimum melalui pemanfaatan agribisnis sapi perah sebagai penghasil susu, didukung oleh potensi kualitas hijauan pakan yang ada (rumput, limbah pertanian dan leguminosa), serta manajemen pemberikan pakan (pencacahan hijauan) yang cukup efektif meningkatkan efisiensi ransum dan income over feed cost (Suwardi, 2005) serta sisa pakan meningkatkan produksi kompos dan kadar N kompos, menurunkan kadar P dan meningkatkan kadar K. Pakan konsentrat melalui penerapan iptek (bioteknologi probiotik) yang tepat akan diperoleh efisiensi produksi dan kadar polutan limbah sapi perah dibawah baku mutu limbah cair maksimum yang diijinkan (Hidayatullah, dkk., 2005). Sekalipun tanah usaha tani secara fisik tidak digunakan langsung oleh ternak, namun hasil ikutan/limbah usaha tani merupakan sumber potensial bagi penyediaan pakan ternak, terlebih lagi bilamana pola pertanaman dapat diatur sedemikian rupa sehingga hasil ikutannya benar-benar dapat menunjang kebutuhan pakan ternak. Sebaliknya, ternak sapi perah sebagai usaha penunjang usaha tani akan mampu memberikan

Page 40: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 40

sumbangan sebagai pengendali kesuburan tanah melalui pupuk organik dari limbah kotoran dan urine sapi perah (pupuk cair).

Optimalisasi kinerja Koperasi melalui pemberdayaan peternak sapi perah ditekankan pada anggota yang memiliki sapi perah dalam jumlah rasional secara ekonomi dan mampu memberikan konstribusi secara material maupun manajerial dalam proporsi yang memadai, serta memanfaatkan jasa-jasa pelayanan koperasi secara konsekuen, mengikuti berbagai program pendidikan anggota yang mengarah pada peningkatan kesadaran berkoperasi, peningkatan pengetahuan teknis, ketrampilan bisnis serta ketrampilan berorganisasi

Tabel. !. Kegiatan Agribisnis Sapi Perah

No Kegiatan Pelaksanaan Sumber

1. Good Dairy Practices 1. SOP (Standard Operating Procedure)

2. Pelatihan dan penyuluhan 3. Aplikasi praktis :Teat dipping,

pencacahan rumput, herbal dan mineral organik, probiotik

Tim Sensus Fapet Unpad Mastiningrum, 2009 Suardi, 2005 Tasripin, 2005

2. Penanganan Limbah sapi perah (pupuk organik)

1. Sarana dan prasarana 2. Organisasi Pelaksana 3. Jalur tata niaga pupuk organik

Suwardi, 2005 Willyan Djaya, 2009 Hidayatullah dkk., 2005

3. Biogas Sarana dan prasarana

4. Relokasi Peternakan sapi perah yang berada di bantaran Citarum hulu (TPK Goha)

1. Lokasi yang strategis 2. Aspek sosial & ekonomis 3. Status hukum 4. Kelompok Tani Ternak

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Perberdayaan peternakan Sapi Perah di DAS Citarum Hulu perlu penanganan lebih terencana melalui Good Dairy Practices yang diterapkan dalam wadah Kelompok tani ternak dengan SOP (Standart Operating Procedure) sehingga dapat diterapkan sangsi dan penghargaan.

2. Relokasi peternak sapi perah dari bantaran DAS Sungai Citarum Hulu dilakukan dengan konsep kelompok peterna” yang mempunyai kesamaan dan memperhatikan aspek-aspek teknik (good dairy practice), sosial dan hukum.

3. Pencemaran DAS Citarum Hulu dari pencemaran kotoran sapi diantisipasi melalui manajemen teknis pemeliharaan, perkandangan, manajemen limbah dan pendekatan aspek sosial dan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Agung B. Supangat dan Paimin. 2007. Study on the Role of Reservoirs as Naturally Water Quality Controller. Forum Geografi, 21: 2: 123 - 134

Hidayatullah, Gunawan, Kooswardhono M., dan Erliza. 2005. Pengelolaan Limbah Cair Usaha Peternakan Sapi Perah Melalui Penerapan Konsep Produksi Bersih. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 8:124-131.

Page 41: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 41

Suwardi, N. Willyan D. Budimulyati. 2005. Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dan Pengendalian Lingkungan Melalui Pencacahan Rumput di Peternakan Rakyat. Program Hibah Kompetisi A3. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Sensus Verifikasi Keanggotaan dan Kepemilikan Sapi Perah KPBS. 2008.

Tasripin, D. Moch. Makin. U. Hidayat T dan E. Herlia. 2005. Minimalisasi Mastitis Subklinis pada Usaha Sapi Perah Skala Kecil Aanggota KPGS Melalui Manajemen Pemerahan dan Pemberian Ransum Berimbuhan Mineral Zn, Cu proteinat dan Kunyit. Program Hibah Kompetisi A3. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Mastiningrum, A. 2009. Pengaruh Pencelupan puting menggunkan air Sirih pada Sapi Penderita Mastitis subklinis. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung

Page 42: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 42

Page 43: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 43

MODEL PENGEMBANGAN DESA MANDIRI ENERGI BERBASIS BIOGAS LIMBAH PETERNAKAN

Cecep Firmansyah, Sri Rahayu, Andre R. Daud, dan Sondi Kuswaryan Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Kajiterap ini dilaksanakan di Kampung Belenung Desa Mekarsari Kecamatan Agrabinta Kabupaten Cianjur. Tujuan kajiterap ini adalah menganalisis penerapan model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi (DME) berbasis biogas limbah peternakan di desa-desa yang berbeda, dan menganalisis faktor-faktor lain yang dapat diadopsi untuk penyempurnaan model dalam mengembangkan DME, sehingga tercipta model applicable untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan energi di perdesaan. Metode yang digunakan adalah participatory based action research yang bersifat kontraktual, konsultatif, kolaboratif dan collegiate. Hasil kajiterap menunjukkan bahwa: (a) Model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi, telah berhasil mengolah dan memanfaatkan limbah peternakan menjadi biogas sebagai bahan bakar kompor dan telah dikonversi menjadi listrik untuk penerangan, (b) Model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi berbasis biogas limbah peternakan melalui rekayasa sosial dapat diterapkan di desa-desa yang berbeda, dan (c) Penguatan finansial kelompok dan anggotanya dalam bentuk diversifikasi usaha merupakan salah satu faktor yang perlu diadopsi dan dimasukkan dalam model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi.

Kata Kunci : model pembinaan, DME, biogas

ABSTRACT

This action research was held at the Belenung-Mekarsari Village, Agrabinta District district, Cianjur Regency. The purpose is to analyze the development of Energy Self Sufficiency Village (DME) coaching model, based on farm waste biogas in different villages, and analyze other factors that can be adopted to improve the model in developing DME, so as to create a model applicable to solve problems environment and energy in rural areas. The method used is based participatory action research that are contractual, consultative, collaborative and collegiate. The results showed that: (a) the initiation of development of DME management coaching model, has succeed to utilize farm waste (dung) into biogas as fuel for stoves and have been converted into electricity for lighting, (b) the succeed of social engineering process by LiBEC team ,can be applied in different villages, (c) strengthening the financial aspect of particular group and its members in the form of diversification, is one of the factors that need to be adopted and integrated into the model.

Keywords: coaching model, DME, biogas

Page 44: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 44

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia mengalami krisis energi. Suplai minyak bumi menurun dari 43,52 % pada tahun 2000 menjadi 37,01 % pada tahun 2008 (Tanto, Y. 2010).. Kejadian ini secara signifikan meningkatkan anggran pengeluaran energi rumah tangga, bahkan barang konsumsi pun mengalami kenaikan harga yang melebihi proporsi kenaikan harga bahan bakar minyak yang berakibat semakin melemahnya daya beli masyarakat.

Kebutuhan energi primer pada tahun 2008 sebagian besar dipenuhi energi fosil 78,96%, sedangkan energi baru terbarukan hanya menyumbang 21,04% (Tanto, Y. 2010). Rendahnya pasokan energi baru terbarukan salah satunya disebabkan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya lokal, dan kuatnya budaya masyarakat pengguna energi minyak tanah dan kayu bakar.

Energi baru terbarukan salah satunya berasal dari biogas limbah peternakan. Program pengem-bangan biogas telah dilakukan sejak tahun 1978, namun tidak berkembang, sehubungan energi dari minyak tanah tersedia dan murah, serta kayu bakar melimpah-ruah dibandingkan di negara lain. Pengembangan biogas di Negara China dan India dinilai berhasil yang diindikasikan oleh peningkatan jumlah rumah tangga pengguna biogas mencapai angka 10-15 juta rumah tangga.

Memasyarakatkan energi alternatif biogas limbah peternakan membutuhkan suatu langkah yang mampu melibatkan dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Mengatasi persoalan pemasalan biogas, Fakultas Peternakan Unpad melakukan fungsi pengabdian kepada masyarakat, melalui program Livestock Bioenergy Conversion (LiBEC) menciptakan dan mengembangkan sebuah Model Pembinaan Manajemen Pengembangan DME berbasis biogas limbah peternakan. Model ini telah diterapkan di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang, Kampung Cihurang Desa Cijayana Kecamatan Mekarbakti Kabupaten Garut dan Desa Cimahi Kecamatan Caringin Kabupaten Garut. Implementasi model telah membuahkan hasil berupa pertambahan jumlah masyarakat (peternak dan non peternak) pengguna biogas, dan berprestasi di tingkat nasional. Mempertimbangkan permasalahan, dan menilai model yang dikembangkan LiBEC sangat besar manfaatnya, maka dipandang perlu model tersebut terus diuji melalui sebuah kaji terap, sehingga menjadi sebuah model pengembangan DME berbasis biogas limbah peternakan yang applicable.

Perumusan Masalah

a. Apakah model pembinaan manajemen pengembangan DME berbasis biogas limbah peternakan melalui rekayasa sosial dapat diterapkan di desa-desa yang berbeda.

b. Apakah terdapat faktor-faktor lain yang dapat diadopsi untuk penyempurnaan model dalam mengembangkan desa mandiri energi, sehingga tercipta model yang applicable dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh eksistensi peternakan dan mengatasi permasalahan energi di perdesaan.

Tujuan dan Manfaat

a) Menganalisis apakah model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi berbasis biogas limbah peternakan melalui rekayasa sosial dapat diterapkan di desa-desa yang berbeda.

b) Menganalisi faktor-faktor lain yang dapat diadopsi untuk penyempurnaan model dalam mengembangkan desa mandiri energi, sehingga tercipta model yang applicable dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh eksistensi peternakan dan mengatasi permasalahan energi di perdesaan.

.

Page 45: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 45

B. METODE

Model pengembangan DME menggunakan pendekatan participatory based action research yang merupakan proses kolaborasi antara peneliti di perguruan tinggi dan masyarakat peternakan (Bentley, J.W. 1994). Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan pengetahuan praktis masyarakat peternakan (indigenous knowledge) dengan teknologi yang akan diterapkan. Metode ini bersifat kontraktual, konsultatif, kolaboratif dan saling memperkuat (collegiate). Pelaksanaan metode mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Pemilihan Wilayah Calon DME

Calon Wilayah DME adalah adalah level kecamatan yang didalamnya terdiri atas beberapa desa. Wilayah calon DME ditentukan secara purposive dengan pertimbangan (1) merupakan basis pengembangan sapi perah, (2) Potensi limbah peternakan secara eksisting belum dipergunakan, dan (3) Limbah peternakan menjadi sumber konflik sosial antara peternak dan non peternak.

b. Pemilihan Calon DME

Tahap ini merupakan tahap pemilihan desa tertentu berdasarkan Analisis Potensi yang meliputi : (1) potensi peternakan, (2) limbah peternakan, (3) - Sosial & Ekonomi masyarakat, dan (4) potensi konfliksosial sebagai dampak eksistensi usaha peternakan. Pemilihan calon DME menghasilkan beberapa alternatif desa yang akan dijadikan DME.

c. Identifikasi Tipologi Wilayah: Tahapan berikutnya melakukan identifikasi tipologi wilayah dengan menggunakan metode RRA (rapid rural appraisal).

d. Diseminasi informasi: Diseminasi informasi dan sosialisasi teknologi pengolahan limbah melalui FGD (forum group discussion) yang diikuti oleh para pemuka masyarakat. Tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi mengenai teknologi dan kendala yang mungkin timbul.

e. Sosialisasi Kegiatan: Sosialisasi kegiatan dilakukan terhadap peternak dan non peternak oleh para tokoh masyarakat tujuan untuk memperkuat pemahaman mengenai simpul-simpul yang menentukan keberhasilan adopsi teknologi.

f. Pemilihan Kelompok: Pemilihan kelompok dilakukan segera setelah sosialisasi dilangsungkan dengan melakukan analisis potensi : (1) potensi peternakan, (2) limbah peternakan, (3) Sosial & Ekonomi masyarakat, dan (4) potensi konfliksosial sebagai dampak eksistensi usaha peternakan. Kelompok terpilih merupakan inti (nucleus) pengembangan biogas didesa terpilih.

g. Pelatihan : Materi pelatihan adalah tentang teknologi biogas dari aspek tekno-sosio-ekonomi.

h. Demonstrasi Plot: Membangun percontohan instalasi biogas limbah peternakan skala rumah tangga pada anggota kelompok terpilih yang mengikuti pelatihan dan yang dinilai akan menjadi key persons untuk kesuksesan pelaksanaan pengembangan DME.

i. Replikasi Dalam Kelompok: Proses pembelajaran melalui demplot memberikan keyakinan pada anggota kelompok terpilih, sehingga replikasi instalasi biogas dapat dilaksanakan. Besaran nilai instalasi biogas yang dibangun pada tahapan demplot bukan merupakan hibah, melainkan sebagai modal awal bagi kelompok untuk mereplikasi instalasi biogas melalui pola kredit bergulir.

j. Inkubasi: Kegiatan ini terdiri atas monitoring, pelatihan manajemen pengelolaan keuangan, dan evaluasi.

Page 46: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 46

Gambar 1. Model Pembinaan Manajemen Pengembangan DME Berbasis Biogas Limbah Peternakan

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

K ondisi Umum

Kecamatan Agrabinta termasuk daerah pantai dengan luas wilayah 200,67 km2 yang terbagi ke dalam 21 desa/kelurahan. Jumlah penduduk 37.004 jiwa dengan kepadatan penduduk 184 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk menggantungkan penghasilan pada bidang pertanian terutama terhadap potensi sumberdaya lokal.

Pemanfaatan lahan di kecamatan Agrabinta 9,58% dipergunakan untuk lahan sawah dan lahan kering 90,42%. Sekitar 40,43% dari total lahan kering digunakan untuk ladang dan kebun. Luas dan tataguna lahan di kecamatan ini sangat mendukung terhadap penyediaan hijauan makanan ternak, sehingga densitas ekonomi ternak ruminansia tahun 2006 sebesar 448 ST/1000 jiwa penduduk (ruminansia besar 360 ST/1000 orang penduduk, densitas ekonomi sapi potong sebesar 347 ST/1000

Page 47: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 47

orang). Populasi sapi potong sampai Oktober 2009 mencapai 17.000 ekor, dan ternak domba 63.000 ekor. Diperkirakan jumlah kotoran ternak dalam sehari minimal 340 ton. Kapasitas maksimal produksi limbah peternakan apabila dimanfaatkan untuk biogas, maka dalam setahun akan menghasilkan biogas setara dengan 15,5 juta liter minyak tanah.

Berdasarkan hasil analisis terhadap informasi, data dan persepsi dari kegiatan survey dan pertemuan dengan pemuka masyarakat melalui metode RRA, maka ditetapkan kampung Belenung di Desa Mekarsari Kecamatan Agrabinta sebagai lokasi kegiatan. Status lahan kampung Belenung merupakan bagian dari lahan otorita TNI-AU yang total keseluruhannya berjumlah 304 ha. Jumlah penduduk di kampung ini ada 161 orang yang terbagi dalam 45 KK. Jumlah peternak 36 orang dengan populasi sapi potong 185 ekor dan skala pemilikan sapi berkisar 4-7 ekor/peternak. Pertimbangan lainnya adalah bahwa kampung tersebut merupakan daerah terpencil yang memiliki potensi limbah peternakan yang relatif banyak. dan merupakan daerah tidak terjangkau oleh layanan listrik PT. PLN Persero.

Tingkat pendidikan orang tua di wilayah ini rata-rata SD sedangkan anak-anak sampai tingkat SMP. Masyarakat di desa hidup dengan hubungan sosial yang cukup kuat, dan hampir semua mengenali satu sama lainnya. Mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani khususnya sawah tadah hujan dengan waktu panen 1 kali per tahun, selebihnya lahan ditanami palawija (kacang tanah) dengan hasil yang belum optimal. Lahan disewa dari pihak TNI-AU Rp. 80.000/panen, dengan rata-rata luas penguasaan lahan sekitar 4.000 m2 per petani. Produksi padi biasanya diperuntukan bagi konsumsi sendiri, dan baru dijual bila ada kelebihan padi pada saat menjelang panen berikutnya.

Pemeliharaan ternak sapi potong dilakukan secara ekstensif yang digembalakan di pesisir pantai kawasan teritori TNI AU yang berjarak sekitar 3-4 km dari pemukiman. Umumnya ternak tidak dibawa pulang kerumah melainkan di tambatkan di lokasi khusus (berupa tanah pangonan) yang jaraknya sekitar 2 km dari pemukiman. Atas kondisi tersebut, collecting limbah ternak untuk kebutuhan biogas dibawa dan diangkut dari pangonan/ pesisir pantai secara bergiliran menggunakan sepeda motor.

Hasil yang Dicapai

Jumlah kotoran sapi di kampung ini setiap harinya bisa mencapai 2.775 ton yang dihasilkan dari 185 ekor sapi, sehingga potensi biogas di Belenung cukup besar. Menurut United Nations (1984) dalam dalam Widodo, T.W dan A. Asari (2009) setiap kilogram kotoran sapi dapat menghasilkan biogas 0.023–0.040 m3 lebih tinggi dari produksi gas kotoran manusia yang hanya 0.020–0.028 m3/kg kotoran.

Lokasi terpilih memiliki kesesuaian ditinjau dari tipologinya. Suhu udara di wilayah tersebut relatif panas berkisar antara 27–33 oC sama seperti daerah pantai lainnya. Suhu udara seperti ini memberikan dukungan kepada terciptanya suhu panas pada ruang biodigester, sehingga aktifitas mikroorganisme didalam biodigester dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan biogas secara maksimal. Suhu optimal untuk biodigester didalam memproduksi biogas berkisar antara 30-55 oC (Kuswaryan, S., 2008).

Tahapan diseminasi informasi dan sosialisai kegiatan mendapat respon yang baik dari tokoh masyarakat, pemuka agama, bahkan pimpinan pesantren, serta masyarakat peternak dan non peternak. Berbagai hal yang menyangkut kegiatan ini diinformasikan kepada masyarakat termasuk melakukan pencerahan mengenai teknologi biogas. Kegiatan sosialisasi dilakukan dalam bentuk pertemuan formal, dan non formal.

Mereka menyambut baik langkah inisiasi pembentukan DME, dan telah terjadi persamaan persepsi mengenai implementasi model DME dan teknologi yang diintroduksikan, antara lain: (a) Teknologi biogas sesuai untuk penyediaan energi alternatif dan solusi bagi penyediaan listrik, (b) Pengelolaan dan pemanfaatan limbah peternakan merupakan salah satu langkah untuk mengurangi polusi akibat dari limbah peternakan yang tidak diolah, (c) Biogas yang dihasilkan tidak bertentangan dengan

Page 48: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 48

keyakinan dan religi yang mereka anut, dan (e) Mereka bersedia memelihara, memanfaatkan dan mengembangkan instalasi biogas secara mandiri.

Implementasi demplot instalasi biogas di kampung Belenung sebanyak 4 unit dan genset, serta instalasi listrik untuk 45 rumah. Penetapan lokasi demplot didiskusikan diantara anggota kelompok dengan pertimbangan tersedia lahan yang cukup, dekat dengan sumber air, dan dalam waktu dekat tidak ada rencana pemanfaatan lahan untuk kepentingan lain. Kegiatan pemasangan instalasi biogas dilakukan secara bersama-sama oleh tim dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dinilai cukup tinggi mulai dari penggalian tanah untuk digester, pemasangan, dan pembangunan pelindung instalasi.

Sosialisasi dilakukan lebih intensif terhadap masyarakat Kampung Belenung yang akan dijadikan kelompok sasaran utama kegiatan ini. Materi yang disampaikan meliputi konsep dasar dan tatacara pembuatan biogas, pemeliharaan dan pemanfaatan biogas yang dihasilkan, serta lebih difokuskan pada bagaimana mengkonversi biogas manjadi listrik. Kegiatan pelatihan dilakukan di lokasi kegiatan (lokasi demplot). Antusiasme masyarakat cukup tinggi apabila dinilai dari jumlah dan materi yang mereka tanyakan. Materi praktek yang disampaikan meliputi cara pembuatan instalasi biogas, pemeliharaan dan pemanfaatannya, serta dilanjutkan dengan demplot. Tujuan praktikum ini adalah untuk memberikan keterampilan agar mereka mampu membuat sendiri instalasi biogas, mampu merawat dan memanfaatkannya secara optimal, sehingga pasca kegiatan tidak tergantung lagi pada pihak lain.

Kondisi Masyarakat Pasca Demplot

Secara sosial untuk sementara telah terjadi perubahan image masyarakat terhadap biogas, yang semula negatif menjadi positif yang ditunjukkan oleh partisipasinya dalam memelihara dan memanfaatkannya. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan sikap ibu-ibu rumah tangga yang tadinya tidak merespon menjadi merespon dan ikut serta hampir pada seluruh kegiatan, setelah kotoran sapi dan biogas terbukti dapat menjadi listrik dan dapat menerangi rumah dan pekarangannya pada malam hari.

Beberapa rumah tangga yang semula kegiatan masak memasaknya menggunakan minyak tanah, kayu bakar dan gas elpiji beralih menggunakan energi biogas. Mereka berpendapat bahwa penggunaan biogas dapat mengurangi biaya harian rumah tangga,, dan mengurangi waktu mencari kayu bakar. Sebanyak 45 rumah tangga pasca demplot telah menggunakan listrik dari biogas limbah peternakan sapi potong, serta bangunan ibadah juga memanfaatkan listrik biogas disamping listrik dari tenaga energi surya. Keberhasilan kegiatan ini dapat dilihat dari indikator keberhasilannya (Tabel 1).

Tabel 1. Capaian Indikator Keberhasilan Kaji Terap

No. Indikator Base Line (Sebelum kegiatan)

Rencana Pencapaian

setelah kegiatan

Pencapaian setelah

kegiatan

1 Pengetahuan tentang teknologi biogas Tidak tahu Tahu Tahu

2 Minat menghadiri kegiatan sosialisasi dari kalangan peternak

Tidak ada Ada Ada

3 Minat menghadiri kegiatan sosialisasi dari kalangan non peternak

Tidak ada Ada Ada

4 Jumlah kelompok calon DME Tidak ada Ada Ada

5 Keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pelatihan Tidak ada Ada Ada

6 Antusiasme masyarakat terhadap kegiatan pelatihan dengan mengajukan pertanyaan

Tidak ada Ada Ada

7 Jumlah masyarakat yang mampu merakit sendiri instalasi biogas setelah mengikuti pelatihan (orang)

0 > 10 5

Page 49: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 49

No. Indikator Base Line (Sebelum kegiatan)

Rencana Pencapaian

setelah kegiatan

Pencapaian setelah

kegiatan

8 Jumlah instalasi biogas terpasang (unit) 0 4 4

9 Jumlah Genset pembangkit listrik terpasang (unit) 0 4 4

10 Replikasi instalasi biogas di kelompok (unit/ 2bulan) 0 > 1 1

11 Instalasi biogas yang sudah terpasang, dipelihara dengan baik.

Tidak Ya Ya

12 Genset yang sudah terpasang dipelihara dengan baik Tidak Ya Ya

13 Instalasi Biogas yang sudah terpasang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari

Tidak Ya Ya

14 Genset yang sudah terpasang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari

Tidak Ya Ya

15 Konflik sosial antara peternak dengan non peternak Ada* Tidak ada Tidak ada

16 Faktor-faktor perlakuan lain yang harus masuk dalam model

Tidak ada Ada Ada

Keterangan: kondisi eksiting menunjukkan tidak ada konflik sosial

Perbaikan dan penyempurnaan kegiatan dilakukan sesuai dengan feedback yang diperoleh pada setiap tahapan kegiatan. Pola pemeliharaan ternak, pengadopsian teknologi dan bentuk kelembagaan pendukung yang telah berfungsi di Desa Mekarsari akan dibakukan untuk menjadi model dasar pemberdayaan masyarakat melalui pengolahan dan pemanfaatan limbah ternak sebagai sumber energi. Menurut Musthofa C. (2007) intervensi dan rekayasa sosial pada hakekatnya merubah sikap dan perilaku, serta meubah status sosial. Perubahan sikap dan perilaku kelompok sasaran pada penerapan model pembinaan manajemen pengembangan DME berupa respon masyarakat, di mana masyarakat telah mulai mengolah dan memanfaatkan limbah peternakan menjadi biogas sebagai bahan bakar kompor dan telah dikonversi menjadi listrik untuk penerangan.

Dampak Demplot Bagi Masyarakat Sekitar

Keberhasilan demplot yang sudah berjalan lebih dari 3 bulan berdampak positif baik bagi warga sekitar kampung, bahkan sampai ke luar desa. Kampung yang awalnya sangat terisolir kini menjadi kampung yang banyak dikunjungi masyarakat. Bahkan murid-murid sekolah khususnya dari SMK untuk menyaksikan dan sekaligus belajar mengenai teknologi pemanfaatan limbah ternak menjadi energi alternatif. Walaupun teknologinya sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ada keinginan bagi warga di kampung lain untuk dapat memanfaatkan limbah ternak sebagaimana yang sudah mereka saksikan. Ada dampak positif dari demplot yang sudah dilaksanakan,yakni keinginan warga dari kampung yang berdekatan untuk diikutsertakan dalam kegiatan pemanfaatan energi biogas, yaitu dari kampung Cijambe dan Kampung Rancatutut Desa Mekarwangi (masing-masing 88 KK dan 50 KK), Desa Sinar Laut (55 KK) dengan populasi sapi potong masing-masing 177 ekor, 154 ekor dan 79 ekor

Keberlanjutan Program

Kelompok sasaran secara internal memilki kekuatan dalam bentuk respon yang sangat tinggi dan berkeinginan mengembangkan biogas, di sisi lain memiliki kelemahan finansial. Berdasarkan hal itu, teridentifikasi faktor yang harus dimasukkan kedalam model adalah sebuah upaya untuk menjamin keberlanjutan program membutuhkan adanya langkah-langkah yang mampu meningkatkan pendapatan kelompok sasaran. Hal ini sama dengan hasil kaji terap Firmansyah, C. (2010), bahwa kedalam model tersebut harus dimaukkan faktor berupa penguatan dalam bentuk deversifikasi usaha/ pendapatan. Upaya tersebut salah satunya adalah melalui sebuah program pengutan berupa pembukaan usaha baru. Hasil observasi, diskusi dan potensi sumberdaya lokal, maka usaha baru

Page 50: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 50

yang paling cocok adalah usahaternak domba dan usaha lebah madu melalui pola bagi hasil. Kedua usaha baru itu merupakan bagian dari usaha kelompok itu sendiri.

Berdasar pada uraian di atas, maka rencana keberlanjutan program akan dilakukan melalui penguatan kelompok dengan membuka usahaternak domba dan lebah madu. Keuangan kelompok dikelola oleh LKM kelompok itu sendiri, yang memberikan prioritas untuk kepentingan replikasi instalasi biogas. Sistem pembayaran instalasi biogas dilaksanakan dengan sistem kredit, arisan, ataupun ”perelek” yang dijalankan oleh LKM. Keterbatasan finansial masyarakat dalam replikasi instalasi biogas dapat dilakukan melalui pembiayaan yang disediakan oleh LKM. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijono, W.W. (2005) yang menyatakan bahwa LKM kenyataannya mampu memberikan berbagai pembiayaan untuk UKM, sehingga menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi, telah berhasil mengolah dan memanfaatkan limbah peternakan menjadi biogas sebagai bahan bakar kompor dan telah dikonversi menjadi listrik untuk penerangan.

b. Model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi berbasis biogas limbah peternakan melalui rekayasa sosial dapat diterapkan di desa-desa yang berbeda.

c. Penguatan finansial kelompok dan anggotanya dalam bentuk diversifikasi usaha merupakan salah satu faktor yang perlu diadopsi dan dimasukkan dalam model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi.

Saran

Model pembinaan manajemen pengembangan desa mandiri energi ini telah membawa manfaat yang begitu besar bagi kelompok sasaran dalam dalam bentuk penghematan finansial dan secara makro dapat mengurangi subsidi BBM dan listrik, mengurangi polusi terhadap lingkungan, meningkatkan upaya konservasi tanah, maka model ini selayaknya diadopsi pemerintah dan masyarakat.

Ucapan Terima Kasih

Terima Kasih kepada Civitas Akaemika Fakultas Peternakan Unpad, LPPM Unpad, dan CSR-PLN DJBB, yang telah mendukung terlaksananya rangkaian Kajiterap untuk menciptakan penciptaan ”Model Menajemen Pengembangan Desa Mandiri Energi”, yang telah dilakukan di Desa Haurngombong Sumedang,

DAFTAR PUSTAKA

Bentley, J.W. (1994) Facts, Fantasies, and failures of farmer Participatory reaserch, in Agriculture and Human Value, Spring-Summer.

FAO. 1992. Biogas processes for sustainable development. FAO Agricultural Services Bulletin No 95. Rome.

Firmansyah, C., Sri Rahayu, Andre R. Daud, dan Sondi Kuswaryan, 2010 Model Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Limbah Peternakan. Fakultas Peternakan Unpad, LPPM Unpad

Kuswaryan, S., 2008. Diseminasi Inovasi Biogas Limbah peternakan sebagai Sumber Energi Alternatif Rumah tangga di Perdesaan. Tim LiBEC Fakultas Peternakan UNPAD.

Page 51: Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi …blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2010/11/Makalah-dwi-Cipto-B.pdf · Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan

Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2 | 51

Musthofa, C. 2007. Planning of Community Development/ Rekayasa Perubahan Sosial (RPS). Program S1 Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel.

Tanto, Y. 2010. Clean Development Mechanism (CDM) dan Kaitannya Bagi Pengelolaan Energi dan Lingkungan Hidup Dalam Konteks Perubahan Iklim di Indonesia. SEMINAR NASIONAL LINGKUNGAN HIDUP. Surabaya, 2 Oktober 2010. Jurusan Teknik Elektro, Universitas Kristen Petra.

Widodo, T.W dan A. Asari, 2009. Teori dan Konstruksi Instalasi Biogas Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. http://www.ceem.unsw.edu.au: 31/03/10.

Wijono, W.W. (2005) Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Rantai Kemiskinan. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan. Edisi Khusus. Jakarta.

[email protected]