reproduksi ulama perempuan dan modernisasi dayah di aceh

49
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Faui!· !Jmaii REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH •!• Abstract Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail Dosen lAIN Ar-Raniry BandaAceh /l.r om if the olde.rt educational Dqyab (boardinl', school) has important role history in the detJelopment rif Lrlamic sciences in Areb. Thro11gh a unique teaching !)'Stem, dc(yalJ has i1u-redibb; adaptilJt! ability; between maintaining tradition and serve the demandr '!f the time.r. This illJtitution has produced JJJel! qualified scholan either male or jemale in ZJaJious disciplineJ·. Df!)!ah has also Jpawmd mm!J' thinken and jighters (mqjahid) in the colonial era. Some of them are: '(gk. Muhammad Dmtd Beureu-eh, Tgk Chiek di Tiro, Tgk Fakinah, Cut ]\{yak Dien, Pomt Baren (all the la.rt three are female), 'l),k C'hiek Pante Kuiu, Tgk .fyiek Pa11te Geulima, Tgk Sheikh Muda Waii ai-KhalicfJ and mm!y other chmismatic scholars itl Aceh. Those are evidence that since its establi.rhment, dqjiah has served a.r a stron,_g religiou.r and cultural ba.rtio11. Dqyah i.r the destination for_youn,_r!, men 1vho want to meudagm{g, J',O lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Faui!· !Jmaii

REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

•!• Abstract

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail Dosen lAIN Ar-Raniry BandaAceh

/l.r om if the olde.rt educational imtitutiom~ Dqyab (boardinl', school) has important role thror~g/Jout history in the detJelopment rif Lrlamic sciences in Areb. Thro11gh a unique teaching !)'Stem, dc(yalJ has i1u-redibb; adaptilJt! ability; balami1~g between maintaining tradition and serve the demandr '!f the time.r. This illJtitution has produced JJJel! qualified scholan either male or jemale in ZJaJious rel~giol!J

disciplineJ·. Df!)!ah has also Jpawmd mm!J' thinken and jighters (mqjahid) in the colonial era. Some of them are: '(gk. Muhammad Dmtd Beureu-eh, Tgk Chiek di Tiro, Tgk Fakinah, Cut ]\{yak Dien, Pomt Baren (all the la.rt three are female), 'l),k C'hiek Pante Kuiu, Tgk .fyiek Pa11te Geulima, Tgk Sheikh Muda Waii ai-KhalicfJ and mm!y other chmismatic scholars itl Aceh.

Those are evidence that since its establi.rhment, dqjiah has served a.r a stron,_g religiou.r and cultural ba.rtio11. Dqyah i.r the destination for_youn,_r!, men 1vho want to meudagm{g, J',O

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Page 2: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduk.ri Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

abroad and to gain sttflicient knowledge. In general, dqyah ha.r at least three jimction.r. First is to tmn.ifcr Lrlamic ..-,·;:'u;re.r t:.r;d "·;:r.ond, /o maintain I:,Ju;;;it: traditions and third, to reproduce religious .rcholar.r. There is a little differmce betJVeeJI dryab itt At-eb and boardit~g schooLr in other areas. Et;en thou._gh it is not generic, h01vever it is not dijficult for female in Aceh to obtain an equal position or place as male. S'm-h iJJue will not be a problem ewn at the most tmditional and toll.fert-'ative boardi1~g .rthool in Ace h.

Although there is a sotiological }act that religious female .rcholars Jtil! occupy a minority position, but it is not nece.r.rarib; meanJ· that_femalc has no opp01tuniry to J!,et the leadenhip position in the djyah. The .rt01y rifTk;g Lainan, a h~J!,IJD' ,.·re.rpeded chati.rmatic religio11J· scholar, provide.r real eJJidmce for this in whidJ tl1e gender equality 1Pithin the Islamic boardil(_f!, school i.r not mere!J' rhetorit~ but has been tmn.rlated into pradia. This small fad implie.r that the str1-1ggle behvem tradition a11d modernity which encountered by Dq_yah ha.r invalidated the domination r!f pallian-hal culfural Ji{gma 1vhich has sunmmded boardi1{!!, .rt-hools fradifiOIIS

Dt!)'ah m we kno1v it fodtry JPas 01iginalb' a learning mltm-e (fl,roup leamin!!) cond11ded at the comers £!!.a mosque. This m!turejint!J' took place in North Aji-ica knoum as zmvjyah 1vhich means the angle or corner. Tbe learni11g tYStem at zmvf)lah --reading, discussing and exami11ing tbe books at the mmm f!J'the mosque-- is still applied up to now deJpite liJill<~ dijferent name.r a11d de.ri,gnatio11.r. Tbis ~y.rtem is better known in T'urkry as "tekke" or "khanaqah". In Egypt, the popular term for this leaming style is "rmvaq" and "Ribat", thi.r learning culture can be found in tbe AlcAzhar lVIo.rque a11d other mo.rques in Cairo. W'hile in lvJalqy.r counll-ies (eJpetialb' Malqysia, Thailand, Bmnei) it i.r common to use the terms prmdo~; (cottage) a11d ".rurau". In .Java, it i.r called 'pesantrm', a11d in Aceh is called dqyah. It is said that the tenn dq_yah come.r from zawjyah JJJhich then pronounced 0 At-elme.re tongue as dqyah or deah

•!• Key words: rel~giouJjemale sdJolarJ, modernization and dq_yah

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQ.RO'

Page 3: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzj Ismail

Pendahuluan

K.ajian tentang ulama, baik yang ada di dunia Islam

maupun di Indonesia, terutama ulama laki-laki telah banyak

dikaji. Meskipun begitu, kajian ulama perempuan yang

dalam fakta historisnya telah menempati posisi yang cukup

signifikan, nampaknya j:vang mendapatkan tempat kajian

yang seimbang. Pola patriarki yang menjadi landasan

kelahiran Islam, di sadari atau tidak, agaknya ikut memberikan

kontribusi atas terbengkalainya ulama perempuan dalam

kajian utama. Terlepas seberapa besar sesungguhnya jumlah

ulama perempuan yang menempati kedudukan yang setara

dengan ulama laki-laki; fakta minimnya penempatan ulama

perempuan sebagai bahan kajian, akan segera mengundang

hipotesa kerja atas kemungkinan fakta ini terkubur bias

jender yang acapkali menyelimuti menempatkan perempuan

dalam bayang-bayang laki-laki.

Dalam kajian gender, indikasi pertama nampaknya

lebih kuat. Di mana reproduksi ulama perempuan nampak­

nya kurang berimbang, terutama sebelum lembaga dayah1

tersentuh arus modernisasi. Pasca modernisasi dayah di

Aceh, secara kuantitatif ulama perempuan mulai memper­

lihatkan bertambahnya kualitas yang berarti. Semakin

terbukanya akses anak perempuan dalam belajar di lembaga

1 Istilah dcryah identik dengan pesantren atau pondok di Jawa, surau di Sumatera Barat atau madrasah di Timur Tengah. Bahkan, di Aceh terdapat istilah lain yang nyaris bermakna sama, yaitu meunaJ·ah dan rangkang. Dayah ditengarai berasala dari kata bahasa Arab, zawjyah yang berarti pondok, ataupun balai yang biasanya terletak di samping masjid. Semua lembaga di atas berfungsi sebagai tempat mempelajari ajaran Islam dan sekaligus tempat tinggal.

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 4: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dcryah di Aceh

Dayah, reproduksi ulama perempuan semakin terbuka

lebar.

Di Indonesia,

penting dalam upaya

warisan intelektual dan

pesantren mempunya1 peranan

mewans1 dan mengembangkan

spiritual.Z Hal ini bisa dipahami,

karena dilihat dari latar belakangnya, pesantren berperan

sebagai lembaga transformasi kultural yang menyelumh

dalam kehidupan masyarakat. Pesantren berdiri sebagai

jawaban terhadap panggilan keagamaan, untuk menegakkan

nilai-nilai agama melalui pendidikan, kegiatan masyarakat

dan praktek ritual. Karena tradisi keilmuan di pesantren

ataupun dayah mengalami dinamika tersendiri yang unik.

Akan tetapi sebagaimana disinggung di atas, dayah atau

pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional

tetap saja menyisakan satu persoalan besar, temtama

berkenaan dengan gender equaii!J khususnya dalam

menjalankan fungsi keilmuannya untuk mereproduksi

ulama perempuan.

Beranjak dari persoalan inilah penelitian 1n1

dilakukan. Harapannya akan dapat memberi gambaran

yang lebih jelas tentang keberadaan lembaga dayah di Aceh,

khususnya dalam penegakan keadilan atau keseimbangan

kesempatan antara anak laki-laki dan perempuan untuk

menjadi ulama.

2 Jamal D Rahman, "Distorsi Khazanah Kultural Pesantren", dalam A. Naufal Ramzy (ed), !Jhm dan Tran.iformaJi SoJial Budqya, Gakarta: Deviri Ganan, 1993), h. 125.

Volume 10, Nomor 02,2011 llSTiQRO'

Page 5: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

Jika menggunakan kategorisasi Azyumardi Azra,

paline; tidak terdapat riga fungsi utama lembaga pendidikan

tradisional Islam seperti pesantren ataupun dayah. Pertama,

transmisi atau tranfer ilmu-ilmu keislaman; kedua,

pemeliharaan tradisi keislaman; dan ketiga, reproduksi

ulama. Maka, permasalahan reproduksi ulama perempuan

dan modernisasi dayah di Aceh dapat dirumuskan sebagai

berikut; apakah reproduksi ulama perempuan di lembaga

Dayah mengalami perkembangan yang sama dengan ulama

laki-laki? Apakah modernisasi Dayah memberi pengaruh

positif terhadap keberadaan ulama perempuan? Bagaimana

mainstrem Dayah dalam pengarusutamaan gender. Penelitian

ini hanya akan menfokuskan: mengapa produksi ulama

perempuan tidak berbanding lurus dengan ulama laki-laki di

lembaga dayah Aceh.

Penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi bagi

pengembangan keilmuan sosial keagamaan, khususnya

dalam kajian jender dan Islam yang terasa masih sangat

terbatas. Signifikansi lain bagi pengembangan kelembagaan

dayah, diharapkan dapat memberi ruang gerak yang lebih

proporsional, terutama dalam membuka akses terhadap

lahirnya ulama perempuan melalui lembaga dayah.

Penelitian ini mengambil lokasi di sejumlah dayah

(pesantren) yang terdapat di wilayah Provinsi Aceh.

Disebabkan keterbatasan waktu, penetapan pilihan dayah

didasarkan pada pilihan sengaja (purposive). Adapun lembaga

dayah yang ditetapkan untuk menjadi subjek penelitian

adalah Dayah Terpadu Jeumala Amal kota Lueng Putu

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Page 6: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

ReprodukJi Ulama Perempuan dan Modemisasi Dqyah di Aceh

Kecamatan Bandar Bam Kabupaten Pidie Jaya, Dayah

Salafi Thaliban Ateuk L11eng Ie Kecamatan Ingin Jaya

Kabupaten Aceh Besar, Dayah Salafi MUDI Mesra Masjid

Raya Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun, dan Dayah

Terpadu Ma 'had Ulumuddin Desa Uteun Kuet Cunda

Kecamatan Muara Dua Kota Lhoekseumawe.

Penelitian ini berlangsung efektif selama 6 ( enam)

bulan Guni-November). Penelitian ini bermaksud untuk

mengkaji secara mendalam tentang reproduksi ulama

perempuan di dayah dalam lingkup provinsi Aceh. Seperti

lazimnya penelitian deskriptif, teknik penggumpulan

datanya menggunakan depth interview dan partisipasi terlibat.

Data yang dihimpun, kemudian dianalis secara kritis dan

dideskripsikan secara naratif. 3 Dengan demikian penelitian

ini tidak dimaksudkan untuk membuktikan atau menguji

suatu teori atau hasil penelitian sebelumnya. Melihat dari

sifat data yang clih.L1111pulkan, penelitian ini termasuk

penelitian kualitatif (Qualitative Research).4

3 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 3.

4 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basic of Qualitative Rmarch, Grounded Procedures and Techniques, yang diterjemahkan dengan Dasar­Dasar Penelitian Kualitatif, terj. Muhatrunad Shodiq dan Imam Muttaqin, (Y ogyakarta: Pus taka Pelajar, 2003), cet. I, h. 4. Lihat juga, Sugi.ono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatffdan Rneanh and Development, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 1, 13-15. Noeng Muhajir, Metode Pmelitian Kualitat~(, (Y ogyakarta: Reka Sara sin, 1996), Edisi III, Cet. VII, h. 21, 53, 81 dan 143. Rulam Ahmadi, Memahami Metode Penelitian 10ta!itat[(, (Malang: UNM Press, 2005), cet. I, h. 1.

Volume 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'

Page 7: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

Bentuk penelitian ini adalah qualitative ruean·h,

yaitu pene!.iti.~n yang temuan-temuannya tidak diperoleh

dari prosedur statistik a tau bentuk hitungan lainnya, 5

tetapi temuan diperoleh dari analisis yang mendalam

berdasarkan data yang diperoleh dari studi kepustakaan

dan studi lapangan. Moleong mengatakan bahwa

penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung

pada pengamatan man usia dalam kawasannya sendiri. 6

Data utama yang dianalisis dari penelitian kualitatif

adalah rangkaian kata-kata dan bukan rangkaian angka.

Data ini diperoleh melalui observasi, wawancara,

dokumen, dan lain-lain.? Oleh karena itu, peneliti me­

lakukan observasi langsung ke dayah-dayah, melakukan

wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive

seperti, pimpinan dayah, dewan guru, murid, tokoh­

tokoh masyarakat, para ahli, dan pemerhati pendidikan.

Ditinjau sari masalah yang diteliti, penelitian ini

termasuk penelitian sosiologi pendidikan. Dayah sebagai­

mana diketahui adalah salah satu jenis lembaga pendidikan

Islam tradisional yang kini sedang mengalami proses

pemodernan. Dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, yaitu

hendak menjelaskan bagaimana polititaf will elit dayah

5 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kua/itatif, Terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. I, h. 4.

6 Lexi, /oc.a'.t.hal 3.

7 Metthew B. Miles, Ana/zj·is Data Kualitatif, Qakarta: UI-Press, 1992), h. 15.

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 8: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

terhadap reproduksi ulama perempuan. Dalam konteks ini,

penelitian ini tergolong peneli~an deskriptif-eksolorat:if.

Didasarkan pada tempat dan sumber data penelitian, maka

penelitian ini memadukan penelitian kepustakaan (library

research) dan penelitian lapangan (field rmarch).

Sementara itu jumlah dayah di Aceh sampai talmn

2010 ini berjumlah lebih kurang 350 madrasah. Dari jumlah

terse but, 325 dayah salafi dan 25 dayah modern. 8 Dalam

penelitian ini tidak semua dayah tersebut dijadikan objek

penelitian. Untuk memudahkan penelitian, pemilihan data

dilakukan secara non-random atau dengan cara menetetapkan

(purposive samplin~. Adapun dayah yang dipilih adalah 4

(empat) dayah, yang terdiri dari 2 (dua) dayah salafi dan 2

(dua) dayah modern. Keempat dayah tersebut adalah; (1)

Dayah Terpadu Jeumala Amal kota Lucng Putu Kecamatan

Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya, (2) Dayah Salafi

Thaliban Ateuk Lueng Ie Kecamatan Ingin J aya Kabupatcn

Aceh Besar, (3) Dayah Salafi MUDI Mesra Masjid Raya

Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun, dan (4) Dayah

Terpadu Ma 'had Ulumuddin Desa Uteun Kuet Cunda

Kecamatan Muara Dua Kota Lhoekseumawe. Dipilihnya

keempat dayah ini dengan mempertimbangkan equalitas

antara santri laki-laki dan perempuan, heterogenitas lokasi

atau tempat dayah berada dan keterwakilan wilayah

Provinsi Aceh.

8 Departemen Agama Rl, EMIS MadraJah Kantor Departemen Agama Provinsi Aceh, (Banda Aceh: Depag Aceh, 2009), h. 8.

Volllllle 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'

Page 9: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif !J-mail

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam

penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: studj

dokumenter, digunakan untuk mengumpulkan data

dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Wawancara

mendalam digunakan untuk memperoleh informasi, baik

dari teungku, murid, pemerintah, para ahli dan praktisi

pendidikan, maupun dari pihak lain yang dianggap mampu

memberikan informasi terkait dengan penelitian ini.

Observasi partisipan digunakan untuk melihat langsung

terhadap fenomena di lapangan yang dapat dijadikan

pertimbangan dalam menjelaskan tentang dayah, baik yang

berkaitan dengan kelembagaan, kurikulum, proses

pembelajaran yang dilaksanakan, dan unsur-unsur lain yang

terkait dengan dayah. Focus Group Discussion (FGD),

digunakan untuk memperoleh data secara terfokus melalui

pengumpulan pandangan dari sejumlah nara sumber

penting yang secara objektif mengenal secara dekat tentang

dayah.

Data yang terkumpul melalui studi pustaka dan

dokumenter dianalisis dengan menggunakan content

ana!Jsis, yaitu menganalisis isi bahan bacaan atau

dokumen yang berkaitan dengan dayah. Sedangkan, data

yang didapatkan melalui wawancara mendalam dan

observasi akan dianalisis melalui desmptive ana!Jsis dan

comparative ana!Jsis, yaitu data yang diperoleh dipelajari,

diklasifikasi, dinyatakan, dibandingkan, dan dianalisis

secara mendalam, kemudian diambil kesimpulan.

Semua data yang diperoleh melalui sumber dan

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011 •

Page 10: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

teknik di atas diterjemahkan berdasarkan jenis data masing­

masing. Data clari studi kepustakaan dan dokumentasi abn

dianalisis dengan menggunakan teknik content anafpis.

Sedangkan, data dari studi lapangan dianalisis dengan

menggunakan teknik descriptive anajysis dan comparative

anafpis, yaitu data yang diperoleh selanjutnya dipelajari,

diklasiftkasi, dinyatakan, dibandingkan, ditafsirkan atau

dimaknai secara kritis-komprehensif, dan terakhir

disimpulkan.

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa

kajian tentang lembaga dayah dan ulama yang dihasilkannya

telah banyak menarik perhatian sejumlah ahli. Dalam

lingkup penelitian di Indonesia pada umumnya dan Aceh

khususnya, paling tidak telah menghasilkan puluhan kaqa.

Di antara peneliti tersebut adalah kaqa Safwan Idris

Perkembangan Pendidikan Dqyah; Antara Tradisi dan Pembahaman

di daerah !Jtimewa Aceh. Dalam karya ini Safwan berpendapat

bahwa pendidikan paling orisional di Aceh adalah pendidikan

dayah. Dalam perkembangannya, dayah telah banyak

mencetak para ulama baik dalam sistemnya yang tradisional

maupun yang modern. A. Halim Tosa dalam Dqyah dan

pembaharuan H ukum !J!am di Aceh juga berpandangan bahwa

dayah yang telah mendapat sentuhan modernisasi meniscaya­

kan lahirnya ulama. N amun, penelitian ini tidak memberi

penegasan spesiftk pada jenis ulama yang direproduksi

lembaga dayah di Aceh tersebut. Besar kemungkinan bahwa

nampaknya ulama yang dimaksud adalah ulama laki-laki. Sri

Suyanta dalam karyanya Peran U!ama Aceh Era ReformaJ"i

Volwne 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'

Page 11: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail

mencoba memotret ulama Aceh dan mengatakan bahwa

ul:->.m~ sangat responsif dan memainkan perannya yang

signifikan terhadap perkembangan situasional tertentu di

lingkungannya. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur

Tengah dan Kepulauan NuJantara Abad XVII dan XVIII

berpandangan bahwa tradisi merantau untuk mencari ilmu

agama telah mempertemukan dan membentuk network yang

kuat antara para ulama Indonesia dengan ulama di dunia

Islam. Muhtarom HM, ReprodukJi Ulama di Era Global,·

ReJiJtemi TradiJional !Jlam, menyimpulkan bahwa moderni­

sasi kelembagaan pesantren tidak berpengaruh banyak

terhadap semangat dasar pendidikan di pesantren, yaitu

yatafaqqahu fi al-din dan spirit tradisionalisme Islam yang

begitu mengakar. Azhar M. Nur, IntegraJi Kzm"ku!um dqyah

dan ReprodukJi Ulama menyimpulkan bahwa restrukturisasi

model pembelajaran di dayah telah mereduksi reproduksi

ulama di dayah.

Dari sejumlah penelitian sebelumnya tersebut,

nampaknya belum ada satu penelitian yang mencoba

mengkaji lebih jauh tentang reproduksi ulama perempuan

dan modernisasi dayah di Aceh. Berdasarkan penulusuran

tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan untuk

melihat lebih dalam dan terfokus mengenai adanya

kemungkinan kembali dayah yang telah termodernkan

dapat melahirkan ulama perempuan di lembaga pendidikan

dayah di Aceh pada masa kini. Sebab, kehadiran ulama

perempuan di dalam masyarakat akan sangat membantu

dalam melihat persoalan sosial keagamaan dari kaca mata

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 12: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduk.ri Ulama Pen:mpuan dan Moderni.ra.ri Dqyah di Aceh

gender yang adil dan proporsional.

sosial dan fungsional perspektif kajian gender. Di mana

setiap anggota masyarakat, baik laki-laki mapun perempuan

memainkan perannya menurut kapasitas masing-masing.

Interaksi sosial di antara mereka terkadang berlangsung

paralel dan tidak jarang juga timbul konflik. Relasi sosial

semacam ini memungkinkan kedua jenis kelamin manusia

ini melakul\:an bargaining yang memadai untuk saling

menjaga harmorisasi dan sub-ordinasi sd:-::<ligus.

Secara etimologi, kata 'u!amd merupakan bentuk

jamak dari kata 'd!im (bahasa Arab) yang artinya

mengetahui, mendalami atau mahir. Secara terminologi,

ulama dipahami sebagai seseorang yang mendalami agama

Islam (tqfaqqalm ji a!-din). Seperti ungkapan, "Orang itu jaqih

betul dalam agama, maksudnya seseorang yang memiliki

pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam. Dalam

makna yang terbatas, ulama tidak jarang diidentikkan

dengan keluaran (alumnus) lembaga pendidikan Islam

tradisional, seperti pesantren. Sementara dalam makna yang

lebih modern, ulama dipahami sama dengan sarjana,

intelektual, pemikir, pembaharu, atau mujaddid Islam.

Kalau di Jawa, ulama lebih populcr dengan sebutan 'kiyai',

maka dalam konteks Aceh, ulama disebut dengan "teungku"

atau sering disingkat dengan Tgk. Istilah dqyah identik

dengan peJantren atau pondok di Jawa, Jttrau di Sumatera

Barat atau madraJah di Timur Tengah. Bahkan, di Aceh

terdapat istilah lain yang nyaris bermakna sama, yaitu

Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'

Page 13: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail

meunasah dan rangkang. Dayah ditengarai berasal dari kata

bahasa Arab, zazvi_vah yang berarti pondok, ataupun balai

yang biasanya terletak eli samping masjid. Semua lembaga eli

atas berfungsi sebagai tempat mempelajari ajaran Islam dan

sekaligus tempat tinggal.

Dayah sebagai lembaga dan wahana penelidikan Islam

telah ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,

mentransmisikan ilmu-ilmu keislaman, melanggengkan

pelbagai traelisi dan mereproduksi ulama. Tidak hanya itu,

andil institusi dayah dengan ulama eli dalamnya telah

berperan aktif merespon zaman dengan berbagai pemikiran

dan bahkan keterlibatan langsung dalam setiap permasalah­

an di daerah. Dalam konteks Aceh, kelembagaan dayah

telah melahirkan sejumlah ulama pejuang yang berpengaruh

dan pengayom umat Di antara para ulama itu adalah Tgk

Muhammad Daud Beureueh, Tgk Chiek eli Tiro, Tgk

Fakinah, Cut Nyak Dhien, Pocut Baren (ketiganya

perempuan), Tgk Chiek Pante Kulu, Tgk Syekh Muda Wali

al-Khalidy dan masih banyak ulama kharismatik lainnya eli

Aceh. Hanya saja, dari sederet nama ulama itu, ulama

perempuan boleh elikatakan tidak begitu banyak yang

muncul ke permukaan. Padahal, ulama perempuan terbilang

ada kendati dalam jumlah yang terbatas.

Dayah, Modernisasi, dan Ulama Perempuan

Terma "ulama" paling tidak dalam konteks soslo­

kultural masyarakat Aceh nampaknya belum mengalami

pergeseran karakteristiknya. Sampai sejauh ini, ulama lebih

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 14: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dqyah di Aceh

dikarakterkan sebagai seseorang yang mendalami ilmu

agama Islam .. ( vatajm;r;ahu .ftddin) di lembaga pendidikan

Islam tradisional (dayah atau pesantren), kemudian

mengabdikan ilmu tersebut secara konsisten (ideal) di

tengah-tengah masyarakat sekitar yang sifatnya terbatas.

Akibat dari pengabdian yang tulus ikhlas tersebut,

masyarakat mengakui eksistensi keulamaannya yang

ditandai dengan penghormatan (ta '?im) dati santri dan

masyarakat di sekitarnya. Gezah keulamaannya tampak

mulai dari tampilan pakaiannya yang sederhana, tutur

katanya yang bersahaja, tingkah lakunya yang penuh etika

sampai pada pola hidupnya yang tidak bermewah­

mewahan. Sementara itu, karakteristik ulama yang agak

"ketat" dan nyaris idealis sebagaimana dideskripsikan di

atas hingga kini masih bertahan dan belum berubah. Paling

tidak, kualiflkasi seorang ulama adalah alumnus dayah

semata masih bertahan. Akan tetapi, dari aspek penampilan

keseharian, seperti berpola hidup sederhana tidak lagi

nampak dalam konteks dunia modern sekarang ini. Dalam

konteks ini, terlihat bahwa karakteristik ulama tidak lagi

dilihat dari personiflkasi lahiriyah atau penampilan flsik dan

pola hid up yang dianut seorang ulama.

Sementara itu, seseorang yang mendalami ilmu

agama Islam dari lembaga dayah dan perguruan tinggi

agama sekaligus, kemudian mengaplikasikan pengctahuan

dan pengamalan agamanya di dalam altar kehidupan yang

lebih luas tidak dikategorikan ulama. Namun, lembaga

dayah sebagai basis utama dimana ulama direproduksi

Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'

Page 15: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yat·ob, Muhibuddin, dan Fauif lJ"mail

masih tetap dipertahankan sebagai basis tempat ulama

direproduksi. Kendati setamat dari dayah, seorang kader

( calon) ulama boleh jadi melanjutkan studi ke lembaga

pendidikan lain, hal itu masih mempengaruhi legalitas

keulamaannya. Sejauh ini masyarakat belum bisa menerima

karakteristik ulama yang agak moderat ini. Bahkan, pada

skala yang agak ekstrem, sebagian masyarakat belum dapat

menerima ulama berbasis dayah, tetapi kemudian melompat

jauh ke dalam dunia lain di dunia non-keagamaan. Kendati

ia masih fokus terhadap nilai keagamaan dan sosio-kultural

yang melingkupi alam pikiran dan tradisi dayah.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pimpinan

dayah dapat diketahui bahwa dari segi pelaksanaan

pendidikan, maka dayah ini dapat dikategorikan sebagai

dayah terpadu. Karena memadukan dua sistem sekaligus

dalam proses pendidikan, yaitu antara sistem dayah

(pesantren) yang menekankan santri (siswa) mampu

menguasai literatur klasik (baca: kitab kuning) dengan

sistem madrasah yang identik dengan sekolah umum

berbasis keagamaan. Integrasi dua sistem pendidikan

tersebut berlangsung secara menyatu dalam kurikulum dan

disatukan dalam jam pelajaran dari pagi sampai sore.

Sehingga, kurikulum yang digunakan adalah kolaborasi

antara kurikulum kementrian agama, diknas, dan dayah. Di

sini tidak ada pemisahan jadwal antara jam pelajaran

sekolah dengan jam pelajaran dayah. Uniknya lagi referensi

kitab kuning yang diajarkan tidak bersumber dari satu

mazhab atau aliran tertentu. Maksudnya tidak ada

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Page 16: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dqyah di Aceh

pengkhususan mazhab Syafi'iyyah saja misalnya, sebagaimana

berlaku pada jenis dayah salafi. Dapat dikatakan bahwa

Dayah Jeumala Amal merupakan madrasah plus dayah

dengan sistem berasrama atau mondok (boardiniJ. Untuk

tingkat Aliyah, dibuka dua jurusan; IP A dan IPS. Kelas IP A

merupakan kelas yang paling diminati oleh orang tua murid,

paling tidak dalam empat tahun terakhir. Sebab, sasaran

para santri adalah bisa menembus fakultas kedokteran yang

sangat mereka minati dan menjadi perioritas ketika

mclanjutkan studi ke perguruan tinggi.9

Sebagai sebuah dayah yang bertugas mencetak kader

ulama, untuk saat ini Jeumala Amal membuka dua

tingkatan pendidikan, Tsanawiyah dan Aliyah. Bahkan,

pada level Aliyah, pada tahun-tahun pertama berdirinya

pernah membuka kelas khusus (MAPK) dan sanggup

bcrtahan selama riga tahun. N amun, sa at ini kelas khusus

tersebut telah ditutup karena minat orang tua santri sudah

bcrkurang. Kendati demikian, semangat pimpinan periode

sekarang untuk memajukan dayah hingga mampu menjadi

sebuah perguruan tinggi tidaklah surut sampai sekarang.

Perjuangan sekarang adalah menyiapkan dayah sebagai batu

loncatan cita-cita dan masa depan para santri menuju

perguruan tinggi ternama di Aceh, nasional, dan luar negeri.

Jihad intelektual ini telah membuahkan hasil yang nyata. Di

mana alwnnus dayah mampu lolos diberbagai perguruan

9 \X'awancara dengan Drs. Teungku Anwar Yusuf, MA, Dircktur Dayah J eumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie J aya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor DayahJeumala AmaL

Volume 10, Nomor 02,2011 llSTiQRO'

Page 17: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan 'Fau~ lJmail

tinggi berkualitas setiap tahun. Berdasarkan penuturan salah

seorang unsur pirnpinan, kesulu:esan Dayah J eumala Amal

tidak terlepas dari perhatian pemerintah pusat maupun

pemerintah Aceh dan peran serta, partisipasi, dan

penerimaan aspirasi masyarakat di Kabupaten Pidie Jaya

khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. 10

Menyinggung masalah reproduksi ulama perempuan,

pimpinan Dayah J eumala Amal berujar bahwa pada prinsip­

nya dayah bertanggungjawab dalam mencetak kader ulama,

apakah itu ulama laki-laki maupun perempuan dalam satu

kesempatan yang sama, setara dan equal tanpa membeda­

bedakan. Komitmen dan prinsip kesetaraan gender ini

memang terlihat dalam pelbagai kebijakan yang diterapkan

pi.mpinan dayah di sana. Sebagaimana dikemukakan bahwa

pimpinan dayah tidak membedakan jenis kelarn.in dalam

semua kesempatan untuk studi maupun berkarir di J eumala

Amal. Apakah dari aspek perekrutan santri, penerimaan

tenaga pengajar, staf dan karyawan, sampai pada jajaran

yang menempati organisasi pengurus yayasan. Semuanya

berkompetisi secara fair, Jportif, tanpa membedakan apakah

laki-laki atau perempuan. Pimpinan dayah selalu berupaya

keras dan berpegang kuat pada prinsib keadilan dan

kesetaraan gender. Malah pakaian santri perempuan

menggunakan pakaian perempuan Islam standar biasa, yaitu

sekadar dapat menutup aurat (muka dan telapak tangan

JO Wawancara dengan Drs. Teungku Muhammad Yamin, Wakil Direktur Dayah J eumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie J aya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor Dayah J eumala Amal.

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 18: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reprodllksi Ulama Perempuan dan Moderni.rasi Dt!Jah di Aceh

tetap terbuka). Di dayah ini santri perempuan tidak

dibenarkan memakai cadar yang menutup wajah, dengan

harapan agar sesama mereka dapat saling kenal mengenal

dengan mudah.

Istilah ulama perempuan di kalangan pimpinan

dayah terkesan asing. Mengingat selama ini yang digunakan

hanyalah ulama saja, karena di dalamnya mengandung

pengertian ulama laki-laki dan juga perempuan. Apalagi ada

kesan bahwa penambahan kata "perempuan" pada kata

"ulama" terlalu dipaksakan dengan mengacu pada mainstrem

isu gender ala Barat yang berhembus ke dunia Islam. Kalau

dikatakan ulama perempuan, maka dalam tataran termino­

logi orang Aceh adalah apa yang disebut dengan "teungku

inoeng' atau "umml'. Kedua term ini akrab ditemukan di

lingkungan dayah salafiah (tradisional) - untuk membedakan

dengan dayah terpadu atau modern. Istilah " ummi' sendiri

sebenarnya mengandung pengertian ganda. Pertama, ummi

adalah panggilan terhadap istri pimpinan dayah yang dalam

panggilan sehari-hari sering disebut dengan teungku .ryiek,

atau Abu, Abt?Ja, abon serta waled 11 Kedua, ummi adalah

II Term "ulama" secara sosio-kultural dalam masyarakat Aceh pada umumnya pada awalnya disebut dengan "teungku", "abuya" atau "abu". Tetapi belakangan, term teungku (tgk) mengalami perkembangan dan pergeseran yang lebih variatif. Selain panggilan teungku dan gelar tambahan lainnya seperti teungku syiek, seorang ulama di Aceh sekarang juga bergelar abon, dan waled. Belum diketahui secara persis apa landasan di balik penggunaan gelar "baru" tersebut di kalangan ulama dayah tersebut pada masa belakangan sekarang. Gelar abon mungkin bisa diasumsikan masih dalam satu turunan kata dari "abu". Tetapi kalau "waled" lazimnya dipakai bagi kalangan orang Aceh yang memiliki garis seketurunan dengan "sayid"

Volume 10, Nomor 02, 2011 I TSTiQ.RO'

Page 19: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fau!'(j Ismail

gelar kehonnatan atas keilmuan dan dedikasi t~rhada.p

penG2br1'2n ~eorang ulama percrr.puan dalam menyebarkan

ajaran Islam di tengah masyarakat.

Adakalanya istri seorang ulama Qaki-laki) diB~l1ggil"

umml' karena memiliki kapasitas rangkap, yaitu. kan;na ia

alim dan menjadi salah seorang tenaga pengajar pa.ra santri

di dayah tempat suaminya memimpin. Akan tetapi, kuafitas

rangkap semacam ini relatif jarang ditemui di lingkungan

dayah. Sebab, kebanyakan istri ulama hanya , berp()sisi

sebagai seorang istri biasa dan tidak terlibat, dalam

kepengurusan dan kegiatan pendidikan di dayah. B()leh j~di

hal ini disebabkan kapabilitas latar belakang pendidikan

seorang istri tidak mencapai tara£ tertentu yang memadai

untuk mampu mengajar di dayah, ataupun harrihatin

kultural di lingkungan dayah yang menghambatnya unttlk

terlibat langsung dalam kegiatan belajar-mengajardidhyah. ·

J adi, ada kesan umum dalam masyarakat Aceh pada

umumnya bahwa gelar ulama hanyalah diperoleh oleh ·,

seseorang yang alim tentang ilmu keislaman dan ia lulusan

dari lembaga pendidikan Islam tradisionl yang. bernama

dayah. Selebihnya, bukanlah atau tidak berhak disebut

ulama, semisal alumnus perguruan tinggi agama Islam

sekalipun. Sebab, masyarakat Aceh sudah terlanjur meng­

klaim dan mengakui bahwa yang namanya ularha adalah

(keturunan Nabi Muhammad SAW). Sejauh ini, belum ada temuan penelitian yane melatarbelakangi penamaan gelar bam b~gi seorang ulama dayah di Aceh dimaksud, apakah disebabkan alasan sosiol9gis, politis a tau kultural saja. · · ·

ISTiQ.RO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Page 20: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reprodnksi Ulama Perempuan dan Modernisa.ri Dt!Jah di Aceh

alumnus dayah. Di luar lembaga dayah tidak mendapat

pengakuan sah .dari masyara~at. Menurut pandangan salah

seorang teungku12 (tepatnya pengurus Dayah Jeumala Amal),

hal tersebut kemungkinannya disebabkan pergesekan kuat

dualisme sistem pendidikan, dikotomi pendidikan agama

dan umwn, penyelenggaraan pendidikan dua atap. Bahkan,

asumsi destruktif yang lebih jauh adalah lembaga pendidikan

agama yang sifatnya formal atau di bawah kendali pemerintah,

seperti madrasah maupun sekolah agama juga dianggap

bukan lembaga pendidikan agama (Islam). Bagi kalangan

komunitas dayah sendiri berkembang k1aim bahwa dayah

adalah satu-satunya lembaga pendidikan agama.

Ironisnya lagi, alumnus dayah yang tidak konsisten

berada di jalur pendidikan dayah, seperti mengembangkan

almamater atau mendirikan dayah lain, kemudian ia beralih

ke jalur pendidikan non-dayah (sekolah, madrasah atau

perguruan tinggi agama) atau bekerja dalam profesi lain,

seperti beralih ke jalur PNS baik birokras~ guru, pengusaha

atau politisi, yang dalam anggapan elit dayah cenderung ke

arah "duniawi", maka mereka ini tetap saja tidak mendapat

pengakuan lagi sebagai ulama, disebabkan "pengkhianatan"

tersebut. Jadi, gelar ulama secara terbatas dan ketat hanya

diberikan kepada mereka yang secara istiqamah mendedikasi­

kan hidup secara sejati hanya untuk mengabdi di jalur

pendidikan dayah. Buktinya banyak alumnus dayah

12 Wawancara dengan Drs. Teungku Hamdani AR, guru MA Dayah Jeumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor Dewan Guru Dayah Jeumala Amal.

Volwne 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'

Page 21: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

ttadisional tertua dan memiliki nama besar, pengaruh, dan

alumnusnya yang rliken~l . )vl'l.~ oleh masyarakat Aceh

maupun bertaraf nasional, tetapi mereka tetap saja tidak

mendapat pengakuan sebagai ulama. Dikarenakan setelah

menamatkan pendidikan di dayah, mereka melanjutkan

studi ke perguruan tinggi baik agama maupun umum.

Padahal, kapasitas keulamaan dan intelektualitas

mereka relatif di atas kemampuan seseorang yang diakui

sebagai ulama. Tctapi sekali lagi, ia tetap tidak mendapat

keabsahan sebagai seorang yang mendapat panggilan

ulama. Di an tara mereka misalnya adalah T eungku Drs.

Tannizi Dahmi (Dosen Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuludin

lAIN Ar-Raniry Banda Aceh, alumnus Dayah MUDI

Labuhan Haji pimpinan Abuya syekh Muda Waly al­

Khalidy di Aceh Selatan), Tgk Drs Idrus Ahmad, Dosen

Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin lAIN Ar-Raniry

BaHda Aceh, alumnus Dayah MUDI Masjid Raya Sama­

langa Bireun), dan sederet dosen lain di lAIN Ar-Raniry

yang alumnus di beberapa dayah terkenal di Aceh. Namun

sayang, mereka sampai hari ini belum memperoleh apresiasi

masyarakat sebagai seseorang yang dipanggil ulama. Mereka

tetap saja disebut dengan sebutan profesi yang dijalani kini,

yaitu sebagai seorang "ulama-intelektual" yang bersarang di

kampus, bukan di dayah. Kendati mereka mendedikasikan

diri di jalur dakwah dan pendidikan agama Islam. Hal ini

sebagaimana diungkapkan oleh Tgk Muhammad Idris (50

tahun), salah seorang staf pengajar di Dayah Jeumala

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 22: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

R.eproduksi U/ama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

Amal. 13

Kalau dcn:.il:L:~ yang tcrj:;.d.i eli kal.angan sesama

ulama laki-laki, dapat dibayangkan bagaimana apresiasi

kalangan elit ulama laki-laki dayah di Aceh terhadap

pencitraan ulama perempuan. Seorang ummi atau teungku

Inoeng, sebenarnya adalah ah.unnus dayah juga. Hal ini

menandakan bahwa iklim akademis di dayah memberikan

kesempatan dan peluang yang sama dengan calon ulama

laki-laki (santri laki-laki) untuk meretas jalan menjadi

seorang kader ulama. Namun, kendala terbesar yang

dihadapi santri perempuan untuk melejit menjadi seorang

ulama adalah dirinya sendiri, bukan sistem pendidikan di

dayah. Menurut pimpinan dayah lainnya mengatakan bahwa

tidak mudah dan boleh dikatakan sangat jarang seorang

santri perempuan mampu bertahan dalam studinya di dayah

sampai tamat dan akhirnya mendapat legalitas keulamaan

dari ulama besar di dayahnya. Bahkan, relatif terbatas bagi

seorang santri perempuan mampu mencapai dan duduk di

dayah kelas atas (semisal kelas VII, VIII dan IX) misalnya.

Kebanyakan mereka harus kembali kepada keluarga

di tengah jalan (kelas pertengahan) atau menjelang akhir

studi (kelas tinggi). Hal tersebut lebih disebabkan faktor

psikologis menyangkut usia subur atau produktif seorang

perempuan untuk saatnya berkeluarga, faktor sosiologis di

mana masyarakat akan mencibir hila ada seorang

l3 \V'awancara dengan Drs. Teungku Muhammad Idris, staf pengajar Dayah Jeumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor Dewan Gum Dayah J eumaL'l Amal.

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 23: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Y acob, Muhibuddin, dan Fau:{j [Jmail

perempuan yang berlama-lama membujang (belum nikah),

maupun faktor biologis di mana ia harus menjadi seorang

istri bagi suaminya dan melahirkan anak-anak mereka.

Dalam posisi semacam ini, seorang perempuan alumnus

dayah menjadi sangat sulit mengorbit dirinya untuk menjadi

ulama sekaliber kaum laki-laki yang relatif tidak mengalami

hambatan-hambatan serupa. Kalau ini yang dialami oleh

kebanyakan santri perempuan di lembaga dayah, di mana

kesempatan belajar agama guna menyiapkan diri menjadi

seorang ilmuan muslim (ulama) tidak semudah yang dijalani

santri laki-laki, maka bagaimana mungkin ia memiliki waktu

dan kesempatan maksimal untuk menguasru ilmu

pengetahuan sebagai prasayarat dalam mengantar dirinya ke

gerbang keulamaan.

Oleh karena itu, walaupun di satu sisi dayah dalam

kapasitas akademisnya sebagai salah satu lembaga tempat

mendidik, menyiapkan dan mengkader (memproduksi) para

ulama, tetapi di sisi lain tidak dengan serta merta alumnus

dayah dengan kompetensi keilmuan dan keulamaannya

yang kuat akan mendapatkan kehonnatan sebagai ulama.

Sebab, ulama pada satu sisi adalah wujud kapasitas

keilmuan seseorang alumnus di lembaga dayah, sementara

di sisi lain ia masih harus mendapat pengakuan sosial dari

masyarakat. Tanpa pengakuan itu, maka keilmuannya yang

dalam ifaqih ji al-din) tidak berarti sama sekali untuk

mengantarkannya pada satu maqdm yang bernama "ulama".

Itulah sebabnya, mengapa banyak santri perempuan yang

studi di dayah, tetapi belum mampu melahirkan ulama

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 24: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

&produksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

perempuan. Sebaliknya, tidak terhitung siswa perempuan

yang helajar di lembaga pendidikan modern mampu meraih

gelar akademis non-dayah, baik di strata satu (S1), strata

dua (S2) maupun di strata riga (S3). Salah satu alasannya

adalah bahwa gelar tersebut ridak harus mendapat

pengabsahan masyarakat, legalitas keilmuannya cukup

diberikan oleh lembaga pendidikan bersangkutan.

Simpulannya, peluang bagi perempuan ridak

dibatasi oleh sistem pendidikan manapun, baik tradisional

maupun modern. Tetapi faktor perempuan itu sendiri yang

belum siap bergerak ke posisi dan peran yang setara dengan

kaum laki-laki, khususnya di ranah elit keagamaan semacam

ulama. Hambatan biologis, psikologis, dan peran domestik

dan kultural itulah yang selama ini menghalangi kaum

perempuan meraih posisi klimaks di domain publik

terutama di dunia pendidikan baik agama maupun umum.

Ulama adalah gelar akademis lembaga pendidikan dayah,

tetapi sekaligus gelar sosiologis yang tidak semua alumnus

dayah mampu memperolehnya. Ulama perempuan adalah

istilah baru yang masih dirasa asing dan dianggap tabu serta

dicurigai kerika digunakan dalam ungkapan sehari-hari.

Dayah, karenanya tidak menjamin mengantarkan seorang

santri untuk meraih titel ulama. Dayah dalam kapasitasnya

sebagai institusi pendidikan keagamaan bertugas mendidik

dan menyiapkan kader ( calon) ulama, bukan mencetak

ulama. Masyarakatlah akhirnya yang berhak memberi label

seorang :1 bmnus dayah apakah ia berhak diberi gelar ulama

atau sebatas gelar keagamaan biasa, sebatas teungku atau

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 25: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Y acob, Muhibuddin, dan Fa~~if Ismail

malah ustadz (guru agama). Atau apakah mungkin

reproduksi ulama pada umumnya dan ulama perempuan

khususnya lebih bersifat alamiah ketimbang rekayasa

sosiologis? Diperlukan penelitian lebih jauh dan serius lagi

tentunya.

Modernisasi dayah di Aceh pada prinsipnya tidak

secara signifikan mereproduksi ulama perempuan. Moderni­

sasi dayah baru pada aspek hardware, berupa formalisasi

struktur kelembagaan, organisasi kepengurusan, birokratisasi

administrasi, integrasi kurikulum dan sistem pelaksanaan.

Modernisasi dayah belum bersentuhan dengan aspek

Jojtware, seperti perubahan mindJet (pola pikir) ke arah yang

lebih maju, kekinian, dan kemodernan dengan menanggalkan

kebiasaan tradisional yang kurang membangun; sikap keter­

bukaan terhadap dunia luar, baru atau asing, profesionalitas,

akuntabilitas, kapabilitas, transparansi dalam pengelolaan

institusi, managemen organisasi, kebijakan yang berpihak

kepada prinsip keadilan gender, serta masih tumbuhnya

ideologi patriarkhi terutama di tataran elit pemimpin dayah

atau tokoh utama (senior) di lingkungan dayah. Sampai

dengan sekarang ini budaya mensubordinatkan kaum

perempuan dalam mendapatkan peran strategis tertentu,

seperti memimpin dayah (top leader) atau peran lebih rendah

di bawahnya masih dirasakan berlangsung dan diakui

realitasnya masih eksis di lingkungan elit ulama laki-laki di

dayah.

Selain itu, dilihat dari tipologi dayah sendiri; apakah

itu dayah salafiah (tradisional) yang masih murni mengkaji

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 26: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi U lama Perempuan dan ModerniJ·asi Dqyah di Aceh

kitab kuning tanpa terintegrasi dengan kurikulum

pendidikan modern maupun dayah terpadu atau moclern,

dalam konteks reproduksi ulama perempuan, ternyata

keduanya tidak berbeda dalam mencetak kader ulama

perempuan. Kedua model lembaga dayah ini memberikan

kesempatan yang sama kepada santri perempuan maupun

laki-laki untuk studi di dayah. Bahkan, tidak jarang dayah

salafi membuka lembaga sub-dayah (dayah muslimah) di

lingkungan dayah yang secara khusus mengelompokkan

(memisahkan) santri perempuan untuk dididik sebagai

kader ulama. Pemisahan kedua jenis kelamin ini tentunya

harus dilihat dari kacamata positif, di mana pemisahan itu

bertujuan untuk memberikan kesempatan dan memfokus­

kan santri perempuan dalam belajar. Pengelompokan

semacam ini juga bisa berlangsung di dayah terpadu atau

modern, seperti Dayah Jeumala Amal, Dayah Modern

Bustunul Ulum Langsa, di mana santri laki-laki dan

perempuan terpisah lokasi mondok dan kelas belajar. Tidak

heran jika di dayah salafi semisal Dayah MUDI Masjid Raya

Samalangan Kabupaten Bireun membuka kelas khusus

(dayah putri) di Desa Tanjungan K.ecamatan Jangka Buya

Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Uniknya, dayah putri

itu dipimpin langsung oleh seorang ulama perempuan,

alumnus Dayah MUDI Samalanga.

Temuan yang nyaris sama Juga ketika melakukan

obse1vasi dan wawancara dengan unsur pin1pinan Dayah

Ma 'had Ulum al-Diniyyah al-Islamiyah (MUD I) Masjid

Raya (11esra) Samalangan K.abupaten Bireun. Pimpinan

II Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 27: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif !Jmail

dayah ini sendiri adalah Teungku Hasanul Bashry atau lebih

populer dengan sebutan "Waled Nn". Dalam penelitian ke

lokasi ini diperoleh gambaran bahwa dayah MUD I Mesra

ini bersifat salafi. Di sini tidak terlihat adanya lembaga

pendidikan formal di dalamnya, baik berbentuk madrasah

ataupun sekolah agama. pendidikan di sini murni berbasis

dayah yang hanya mengkaji literatur kitab kuning

bermazhab Syafi'iyyah semata. Akan tetapi, proses

pendidikan menganut sistem kelas atau berjenjang. Sistem

pengajaran (belajar-mengajar) menggunakan pola f:Ja/aqah di

mana guru memegang otoritas keilmuan, sementara santri

mendengar dan mengikuti pengetahuan yang ditransfer baik

oleh teungku ryiek (teungku abi) maupun dari kalangan santri

senior (kaka kelas). Penjenjangan santri diatur sedemikian

rupa layaknya pendidikan formal, seperti kelas I sampai

dengan kelas VIII. Biasanya kelas I sampai dengan kelas III

setara dengan tingkat Tsanawiyah, dan kelas IV sampai

dengan kelas VII setara dengan tingka t Ali yah. N amun,

dalam penerimaan santri tidak ada pembatasan umur, latar

belakang pendidikan sebelumnya dan dari kelas sosial mana

saja. Umumnya yang melamar menjadi santri di sana adalah

lulusan Tsanawiyah atau SLTP. Tetapi, ada juga alumnus

diploma dan sarjana yang meneruskan studinya sebagai

santri dayah kembali setelah sebelumnya pernah mondok

di sana.14

14 Data diperoleh melalui wawancara dengan Tgk Marzuki, MA, staf pengajar di dayah dan juga wakil kepala ST AI Al-Aziziyah.

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Page 28: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

&produkJi Ulama Perempuan dan ModerniJ·aJi Dt!)lah di Aceh

Dalam perkembangannya sistem pengaJaran di

Dayah MUD I Mesra telab. mengalami . peruhahan dan

beberapa penyesuaian. Di antaranya dalam hal pemberian

ijazah bagi santti yang telah lulus masing-masing tingkat

seperti Tsanawiyah dan Aliyah. Selain itu, adaptasi terhadap

tuntutan kemajuan zaman dalam bentuk lain adalah

menyesuaikan sistem kelas di dayah dengan sistem kelas di

luar pendidikan dayah. Seperti kelas I sampai kelas IV,

dianggap setingkat MA. Santti yang lulus kelas IV diberi

ijazah setaraf dengan ijazah MA. Sedangkan kelas V, VI,

VII dan VIII dianggap setingkat dengan diploma (D III),

sehingga setelah lulus dari kelas ini santri diberikan ijazah

setaraf dengan ijazah D III (diploma), atau dalam

terminologi dayah level ini disebut dengan "Ma 'had 'A!j'

(dqyah mmryang). Regulasi semacam ini bertujuan untuk

menyiapkan dan memberi kesempatan seluas-luasnya

kepada alumni dayah untuk berkecimpung dan mengisi

pelbagai aspek pembangunan.ts

Modernisasi yang agak lebih berani dilakukan oleh

pimpinan dayah ini adalah mendirikan sebuah perguruan

tinggi atau Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al-Aziziyah

di lingkungan dayah. STAI al-Aziziyah merupakan

terobosan besar bagi sebuah dayah salafi. Mahasiswa di

perguruan tinggi ini sebagian adalah alumnus dayah sendiri

dan sebagian lagi adalah anggota masyarakat di luar

lS Data ini terungkap dalam wawancara dengan Tgk Muntasir, MA, menantu dari Tgk Hasanul Bashry, pimpinan dayah. Ia juga salah seorang pengurus dayah merangkap Kepala STAI Al-Aziziyah.

Volume 10, Nomor 02, 2011 I lSTiQRO'

Page 29: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif !Jmail

lingkungan dayah. Sementara itu jumlah santri laki-laki dan

perempuan disebutkan nyaris berimbang, yaitu 2/3 laki-lald

dan 1/3 perempuan dengan ruang bela jar yang terpisah.

Jumlah santri laki-laki saat ini sebanyak 1.022 orang dan

santri perempuan sebanyak 1.008 orang.16 Rata-rata santri

perempuan mampu bertahan di kelas yang paling tinggi,

yaitu sampai kelas V setelah menjadi santri selama 8 sampai

10 tahun lamanya. Tetapi ada juga, namun jumlahnya tidak

seberapa, santri perempuan yang sanggup bertahan selama

waktu 20 tahun. Dan bahkan, diakui bahwa alumnus dayah

dari kalangan santri perempuan tidak sedikit yang diakui

masyarakat di daerahnya sebagai ulama perempuan.

Dalam konteks inilah, keberadaan STAI al-Aziziyah

diharapkan berperan sebagai · alternatif santri perempuan

dalam memilih studi mereka setelah "menyerah" menjadi

santri abadi di dayah. Jika tidak mampu bertahan lebih lama

di dayah, maka mereka dapat melanjutkan studi di

perguruan tinggi yang eksis di lingkungan dayah tanpa

harus kuliah di perguruan tinggi lain yang berada jauh di ibu

kota provinsi. Kendati demikian, unsur pemimpin dayah

tidak menghalangi santri mereka hila mana mencari

perguruan tinggi lain selain STAI al-Aziziyah sebagai

pilihan dalam melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi

setamat dari pendidikan di dayah. Ulama yang umumnya

berjenis kelamin laki-laki dan kini memimpin sejumlah

dayah lainnya di Aceh merupakan alumnus Dayah MUDI

16 Data dokumentasi Profli Dayah MUDI Mesra Samalanga,Kabupaten Bireun Provinsi Aceh, 2010.

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 30: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempnan dan Modernisa.ri Dqyah di Aceh

Mesra ini. Dari sekian ulama tersebut, terdapatlah beberapa

nama ulama perempuan seperti Tgk Husna di Aceh Barat

Daya dan Tgk Cut Mala di Padang Tiji Kabupaten Pidie.17

Ada kekhasan tersendiri dari mahasiswa STAI al­

Aziziyah, yaitu para mahasiswinya kebanyakan mengenakan

cadar (penutup wajah). Menurut keterangan Tgk Muntasir,

pembiasaan penggunaan cadar di kalangan mahasiswi

berawal sejak mereka berstatus santri di dayah. Kemudian,

setelah selesai studi di dayah dan kemudian melanjutkan

studi ke STAI kebiasaan tersebut terns berlanjut. Sehingga

sekarang ini, tidak hanya santri dayah yang mengenakan

cadar, mahasiswi pun menggalakkan pemakaian cadar

dalam kegiatan belajar di kampus dan dayah. Tgk Muntasir

lebih jauh mengatakan bahwa sebenarnya penggunaan

cadar di kalangan san tri dayah dan mahasiswa pada awalnya

hanyalah pilihan pribadi semata. Tidak ada aturan tertentu

di dayah yang mewajibkan santri perempuan untuk

bercadar, semuanya atas pilihan sendiri tanpa pemaksaan

dari pimpinan dayah. Tetapi lama-kelamaan, jumlah santri

perempuan dan mahasiswi semakin ramai (membudaya)

yang mengenakan cadar. Melihat perkembangan tersebut,

pimpinan STAI melihat bahwa perlu adanya keseragaman

atribut (pakaian) di kalangan mahasiswi STAI. Supaya

mereka mudah dikenal manakala berada di luar kampus saat

jam-jam kuliah berlangsung, maka akhirnya pimpinan

mengambil inisiatif menetapkan pemakaian cadar kepada

17 Dok-umentasi data statistik alumnus Dayah MUDI Mesra Samalanga, 2010.

Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'

Page 31: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yat'ob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

semua mahasiswi tanpa kecuali. Sementara kepada santri

neremt'uan di d~,;r~h tidak diberlakukan aturan tersebut. L L

Santri perempuan masih diberikan kebebasan dalam hal

penggunaan pakaian selama belajar di dayah.18

Sementara itu, jumlah santri MUDI Mesra Samalang

sekarang berkisar 1.300 orang santri, dan 1/3 dari jumlah

tersebut mengikuti kuliah di STAI. Ketika ditanyakan apa

yang menyebabkan kebanyakan santri perempuan yang

diharapkan sebagai kader ulama perempuan jarang mampu

bertahan sebagaimana santri laki-laki, Tgk Muntasir (35

tahun) dan Tgk Marzuki (30 tahun) berargumen bahwa hal

itu lebih disebabkan faktor pertimbangan usia, pernikahan,

peran domestik yang mengikat, faktor kultural, dan ada juga

santri seruor perempuan yang menganut dan

mempraktikkan amalan thariqah dan lainnya. Dari keadaan

inilah muncul satu istilah keprihatianan terhadap kaderisasi

ulama perempuan di dayah, seperti ungkapan; "teungku inong

diet, yang le inong teungku''. Maksudnya adalah ulama

perempuan jumlahnya sangat terbatas, adapun yang banyak

ditemui adalah para istri ulama Qaki-laki).

Dalam komunitas dayah berlaku sistem hirarkhi,

yang cenderung menyamai sistem feodalistik. Terdapat

strata sosial yang nampak menyolok antar elit di sana.

Teungku Abi atau ulama syiek (ulama senior) dan

keluarganya yang memimpin dayah telah menjadikan dayah

18 \Vawancara dengan Tgk Muntasis saat melakukan observasi ke lokasi kampus al-Aziziyah MUDI Mesra Samalanga, Senin 29 November 2010.

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 32: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

' '

Reproduksi Ulama Perempuan dan ModetniJasi Dt!Jah di Aceh

·· sebagi.i sebuah kerajaan kecil. Ia menjadikan lembaga dayah

sebagai episentrum (pusat kekuasaan) di mana .~akyatnya

adalah seluruh komunitas dayah (guru, santri dan

karyawan). Dalam interaksi top-down seperti ini, posisi santri

perempuan malah lebih rendah. Di samping belajar sebagai

tugas utama, mereka juga kerap digunakan sebagai pekerja

yang ikut membantu rumah tangga, ladang pertanian, dan

ternak peliharaan keluarga pimpinan dayah. Pekerjaan itu

dianggap sebagai pengabdian pencari ilmu (murid) kepada

guru (teungku) mereka. Dalam aspek ini, santri laki-laki

juga mendapatkan tugas tambahan yang tida:k berbeda

dengan santri perempuan. Pada satu sisi hubungan

kekerabatan antara santri dengan keluarga ulama cukup

membantu psikologis dan bahkan mungkin kebutuhan

pembiyaan santri selama studi di dayah. Tetapi di sisi lain,

secara tida:k langsung telah menempatkan ulama dan

keluarganya sebagai b01jttis baru dalam struktur sosial di

dayah. Namun argumentasi seperti ini sulit diakui secara

terbuka oleh para elit dayah.

Ketika ditanyakan bagaimana dayah memperlakukan

santri perempuan dan apakah ada kebijakan tertentu

terhadap santri perempuan dalam sistem pendidikan di

dayah? Salah seorang unsur pimpinan dayah19 mengata:kan

bahwa tida:k ada perla:kuan yang berbeda atau diskriminatif

antara santri laki-laki dan perempuan. Kepada mereka

diberi fasilitas dan kesempatan yang tidak berbeda

19 Wawancara dengan Tgk Muntasir, MA, Senin 29 November 2010 di ruang kantor Dayah MUDI Mesra Samalanga Kabupaten BirenAceh.

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 33: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan f'(mif Ismail

sepanjang hal tersebut layak dan tepat. Santri perempuan

atau kader (santri perempuan senior) ulama yangdianggap

memiliki kompetensi mengajar diberikan kesempatan untuk

mengajar di kelas yang lebih rendah guna melati.h mereka

dalam mentransfer ilmu. Dalam aspek lain, seperti pada

wilayah kepemimpinan, maka sistem dan ideologi konven­

sional di dayah tetap masih dianut dan dipertahankan. yaitu,

perempuan tidak boleh menjadi pemimpin di dayah. Jadi,

kepengurusan dayah dianggap sebagai wilayah publik yang

didominasi ulama laki-laki, sehingga kurang etis kalau

diemban oleh seorang perempuan.

J adi, sebenarnya sis tern pendidikan di dayah dapat

dikatakan sudah lebih baik dan terbuka dengan

memberikan peluang yang sama terhadap semua santri baik

laki-laki maupun perempuan - tanpa diskriminasi gender -

untuk menggembleng diri mereka sebagai bakal ulama

kelak. Bahkan, dalam aspek tertentu seperti ketekunan,

konsentrasi dalam belajar, kedisiplinan, kesungguhan,

mentalitas atau kesiapan diri untuk mengeksplorasi ilmu

pengetahuan, santri perempuan berada di atas rata-rata

dibandingkan dengan santri laki-laki. Langkah awal santri

perempuan terlihat lebih serius dan fokus untuk belajar,

menuntut ilmu di dayah. Pada umumnya, sejak berada di

kelas rendah hingga pertengahan, intelektualitas mereka

nampak lebih menonjol. Tetapi kemudian, manakala berada

di kelas atas, santri perempuan mulai kehilangan spirit dan

konsentrasi untuk bertahan lebih lama di dayah.

Mencermati fenomena ini dapat dikatakan bahwa santri

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 34: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

&produksi Ulama Perempuan dan Modernisa.ri Dqyah di Aceh

perempuan memiliki start awal yang baik, tetapi ftnish-nya

telah kepayahan. Ada. saja ar.al rintangan yang meneancam

bakal keulamaan kaum perempuan patah di tengah jalan

jihad di dayah .. Mungkin dengan alasan inilah reproduksi

ulama perempuan belum berbanding lurus dengan ulama

laki-laki.

Dilihat dari sistem pendidikan yang dijalankan,

dayah Ulumuddin bisa dikatakan identik dengan dayah

terpadu lainnya. Dari aspek kepengurusan, dayah ini berada

di bawah Yayasan Ma 'had Ulumuddin. Saat ini pimpinan

dayah dipercayakan kepada "syekh", panggilan akrab

Teungku Haji Syama 'un Risyad, Lc. Beliau adalah alumnus

Ummul Qura Makkah dan dari sanalah ia mendapat gelar

"syekh" sebagai sebuah gelar kehormatan (martabat) yang

disandangnya sekarang. Kurikulum pendidikan yang

digunakan dayah mengacu pada riga kurikulum, yaitu

kurikulum madrasah (kemenag), kurikulum sekolah (diknas)

dan dayah salafiyah. Jadi, sistem pendidikannya merupakan

integrasi antara sistem sekolah atau madrasah dan dayah.

Kurikulum tersebut terintegrasi dalam proses pembelajaran

yang berlangsung dari pagi sampai dengan sore hari. Santri

belajar di komplek dayah dalam sistem kelas sebagaimana

belajar di sekolah atau madrasah. Hal yang sama juga

terlihat pada pakaian yang dikenakan santri. Bedanya, saat

jam pelajaran ilmu keagamaan, maka buku rujukan yang

digunakan adalah kitab kuning dengan berbagai mazhab.

Di dayah ini, terdapat riga jenjang pendidikan;

masing-masing SD/MIN, SLTP/MTs dan SMK. Keriga

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 35: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

jenjang pendidikan ini berada di komplek dayah~rttpatnya

di Desa Uteunkot Cunda Muara Dua Kota LhoekseU.mawe

Provinsi Aceh. Lokasi dayah terletak tidak jauh,:(sekitac/3

km) dari jantung kota petro dolar minyak dan ga-s ~t~.~cM.r

ini. Keberlangsungan sekolah-sekolah itu di d<\:\::t;ffi.,.,:}Q~fll~i

lingkungan dayah tidak terlepas dari kepercayaan m.~~~~-k.~t

dan pemerintah kota administratif Lhoekseumaw!f.•·Jj(ju~ga

syekh sendiri adalah salah seorang tokoh ) ~~ma; •. -_9-i

Lhoekseumawe dan Kabupaten Aceh Utara pa¢~ 1umill?il-­nya. SMK sendiri adalah sekolah filial dari SM~;_4 .:K<?Hl­Lhoekseumawe. Dari sejumlah siswa sekolah y~l'lK:~&fl-1 .·~ dayah, sebagian (sekitar 100 orang, 55 perempua~. ?al) ,48 laki-laki) kecil menjadi santri dan mondok ~4L d~y~l'l·

Menurut keterangan Tgk Kafrawi, sekretaris day~J;l,i.G9~~!,1 : l:• ," · ·, •··' lc,r ;, _, -~ " .•

STAIN Malikus shalih Lhoekseumawe, dan mahasiswa ,-·:_ ~ :1.: Cl · ~~ .:~ J >C

pascasarjana lAIN Sumatera Utara Medan me,ngata~an

bahwa siswa yang mondok di dayah adalah sis:va 'yang

berasal bukan dari masyarakat sekitar dayah.20

(', ..

Salah satu keunikan dayah Ulumudcli,n , dengan

dayah terpadu lainnya adalah membekali santri •··· de,n,ga.n

ketrampilan tangan (life ski!~ melalui dibukany4 · sel5:olah

menengah kejuruan (SMK) dengan dua jurusat;l, _ IT,p.an

Kriya Kayu. . , .

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahw.a dayah

Ulumuddin berada di bawah yayasan Ma 'had U~umuddi!t,

'/ '

20 Wawancara dengan Tgk Kafrawi, di ruang pimpipan.l,)_aya,l] Ulumuddin Uteunkot Cunda Lhoekseumawe, Selasa 30 Novep1ber 2010.

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 36: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

&prodllksi Ulama Perempuan da1t Modenzisa.ri Dqyah di Aceh

Kebijakan pimpinan yayasan dalam pengelolan dua sistem

yang berbeda ini .adal_ah de_ngan cara mt>n:_1beri mandat

kepada masing-masing pengurus untuk menangani bidang­

nya. · Di mana ada pihak yang ditunjuk untuk mengelola

pendidikan dayah (sekretaris dayah) dan ada pihak yang

mengurus sekolah (direktur pendidikan).Pengaturan seperti

ini memudahkan pengontrolan oleh pimpinan yayasan

terhadap keberlangsungan pendidikan di dayah. Walaupun

dalam praktiknya tidak ada pemisahan kelembagaan antara

dayah dan sekolah, namun yao.g dimaksudkan adalah

mengelola masing-masing kurikulum yang diberlakukan.

Direktur sekolah mengurus kurikulum sekolah, demikian

juga dengan sekretaris dayah. Akan tetapi, dalam pelaksanaan

pendiclikan, kedua kurikulum itu berlangsung secara

bersamaan dalam sistem persekolahan. Aspek pendiclikan

dayah yang dimaksudkan di dayah ini adalah penggunaan

kitab kuning Syafi'iyah sebagai literatur dalam pengkajian

ilmu keagamaan. Literatur itupun dalam penggunaannya

diatur menurut kemampuan siswa. Misalnya, siswa tingkat

Tsanawiyah digunakan kitab klasik standar biasa, sementara

tingkat Aliyah dinaikkan rujukan kitab yang lebih tinggi.

Sedangkan, siswa SMK hanya dipakai kitab kuning yang

level kesulitannya relatif mudah.

Salah satu keunikan lain dari dayah ini adalah

penyebutan "ustaz' kcpada para teungku dan guru yang

bertugas sebagai tenaga pengajar baik di sekolah maupun di

dayah. Sebutan ini agak ganjil dalam lingkungan dayah di

Aceh yang selama ini berkembang pada masyarakat

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 37: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhzbuddin, dan Faui} Ismail

perkotaan di pulau Jawa. Istilah Ustaz tidak khas Aceh dan

dayah, ap::'.br;i dayah tradisional. Padahal, kata ini berasal

dari bahasa Arab juga, sama dengan kata "abii", "abi",

"abun" atau "waled" yang kerap digunakan oleh ulama di

Aceh dewasa ini. Adapun yang berbeda dan khas Aceh

mungkin hanya sebutan teungku (tgk).21 Anehnya, di

kalangan santri dan siswa dayah Ulumuddin lebih populer

sebutan Ustaz. Dan, pihak pengelola dayah sampai kini

2t Term "teungku atau disingkat Tgk adalah sebutan sehari­hari kepada semua orang Aceh secara umum tanpa melihat unsur keulamaannya. Tgk juga menjadi sebutan khusus kepada orang yang berwawasan agam dalam masyarakat Aceh. Dengan kata lain, Tgk adalah panggilan penghormatan kepada ilmuan agama Islam khususnya alumnus dayah. Sehingga sebutan lain terhadap seorang ulama adalah teungku baik untuk ulama laki-laki (teungku agam) maupun perempuan (teungku inong). Istilah Tgk, Abu dan Abi lebih merata digunakan masyarakat Aceh ketimbang istilah Abon dan Waled yang baru akhir-akh.ir ini saja ramai digunakan. Di samping itu, sebutan teungku lebih berkesan merakyat dan low profile dibandingkan istilah lain yang agak berkesan elitis dan feodalistik Teungku atau ulama tradisional di Aceh pada umumnya hidup merakyat dengan pola hidup sederhana. Sementara sekarang ini, khususnya setelah lebih insten didekati atas kepentingan politik pemerintah, kehidupan mereka jauh berubah ke arah model kehidupan mewah. Di samping mengelola dayah dengan bantuan tetap pemerintah, mereka sekeluarga juga memiliki usaha komersil lainnya, apakah di sektor pertanian, perdagangan, properti, jasa (makelar) dan lain sebagainya. Lazimnya juga, ulama di Aceh sering disebut daerah asalnya di belakang namanya. Dan penyebutan nama kampungnya lebih terkenal ketimbang namnya sendiri. Terkadang masyarakat tidak pernah mengetahui siapa nama ulama dimaksud. Tetapi kalau disebut nama kampung ulama itu maka masyarakat langsung mengenalnya. Katakanlah seperti Tgk Usman, beliau lebih dikenal dengan panggilan abu di Kuta Krueng. " abii" adalah sebutan keulamaannya, sedangkan "Kuta Kmen~( nama kampung tempat tinggalnya. Jadi, ia jarang dipanggil dengan Tgk atau Abu Usman, melainkan dengan panggilan sebagaimana disebutkan di atas.

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 38: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempuan dan Modenrisa.ri Dqyah di Aceh

belum . mempersoalkan sebutan dimak,sud. Menurut

pengakuan Tgk Kafrawi bahwa populernya sebutan Ustaz,

dik:arenakan dayah ini pernah. didatangi tim relawan. dari

Jakarta dan sempat menetap lama di dayah. Di mana

mereka,memperkenf[lkan diri dengan s~butan Ustaz di awal

nama mereka, s,ehingga semua santri pun. memanggil

mereka U staz. Berawal dari peristiwa itulah hingga sampai

kini sebutan Ustaz untuk dewan guru melekat kuat hingga

sekarang.

Menyinggung soal santri perempuan, Tgk Kafrawi

tidak melihat adanya ketimpangan gender dipraktikkan di

dayah ini. Penilaian terhadap kapasitas tenaga pengajar

tidak didasarkan pada jenis kelamin tertentu. Demikian

juga pandangan dan pemberlakuan terhadap santri bukan

didasarkan pada jenis kelamin tertentu. Pihak dayah

sangat menjunjung tinggi prinsip kesetaraan kesempatan

dan peran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, di

antara tenaga pengajar, 50% dari mereka adalah

perempuan walaupun bukan sudah pada level ulama

perempuan. Salah satu di antara mereka adalah Tgk

Suryani Lc, MA, yang juga istri dari Tgk Taqiyuddin,

seorang arkhiolog dari daerah itu. Tgk suryani ini nyaris

boleh dikatakan mendekati figur seorang ulama

perempuan yang ada di Dayah Ulumuddin 1n1.

Menyangkut soal pakaian santri dan ustadzah yang

menggunakan cadar, hal itu merupakan pilihan sendiri,

bukan paksaan atau kewajiban dari kebijakan peraturan

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 39: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

dayah. Sebab, jumlah santri perempuan yang bercadar

hanya seb::1gian b:cil dan jut:!!ahnya sangat terbatas.

Sementara santri perempuan dan ustadzah sebagian besar

lainnya tetap mengenakan pakaian muslimah biasa yang

standar digunakan seperti berjilbab, baju berlengan

panjang, dan mengenakan rok panjang yang menutupi

keseluruhan kaki.

Dayah Thaliban Desa Ateuk Lueng Ie Aceh Besar

1n1 dipimpin oleh seorang ulama perempuan yang

bernama Teungku Lailan binti Haji 45 tahun. Beliau

adalah satu-satunya ulama perempuan yang ditemui

dalam penelitian ini dan sekaligus memimpin sebuah

dayah. Tgk Lailan adalah alumnus Dayah Labuhan Haji

Aceh Selatan pimpinan Abuya Syekh Muda Waly al­

Khalidy yang kesohor keseluruh Aceh itu. Anak-anak

dari Abuya ini di antaranya Prof Dr Tgk Muhibuddin

Waly, Tgk Jamaluddin Waly yang putrinya bersuamikan

Ustaz Arifin Ilham, punggawa zikir akbar dan istighasah

di Jakarta, dan Tgk Amran Waly. Dati dayah inilah

sebagian besar ulama terkenal lainnya diproduksi dan

bahkan sebagian besar dari alumnus di sana memimpin

sejumlah dayah yang tersebar di seluruh Aceh sekarang

ini. Tgk Lailan sebelum ke Dayah Labuhan Haji Aceh

Selatan, ia lama "meudagang" (nyantri) di Dayah

( salafiah) Lueng Ie Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh,

waktu itu di bawah pimpinan Tgk Zakariya yang sehari-

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 40: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

dengan cara ikut bersama-sama bekerja di ladang, sawah

milik pimpin:m <1ay::~ h tanpa !n.enerima b::~.yaran. Lagi pula

bilik-bilik (kamar) tempat tinggal santri dibangun sendiri

oleh masing-masing santri dengan swadaya sendiri.

Inisiatif ini sangat membantu pengurus dayah menekan

angka pembiayaan dayah. Bahkan, fasilitas lain seperti

balai tempat santri belajar, mushalla tempat shalat dan

sarana-prasarana lain dibangun secara bergotong royong.

Sesekali para orang tua santri yang berkemampuan lebih

mengantar infaq, shadaqah dan zakat malnya ke dayah

tempat anak-anak mereka mondok. Seperti gambaran

inilah Tgk Lailan bisa bertahan di Dayah selama puluhan

tahun. Ia kembali ke kampung halamannya setelah

mendapat selembar "ijazah" dari Abuya. Tgk Lailan

adalah salah satu santri perempuan yang beruntung di

sana. Ia berhasil mendapatkan suatu mandat dari

gurunya. Ia mendapatkan semacam sertifikasi untuk

membuka dayah dan mentransmisikan alam keilmuan

dayah labuhan haji kepada masyarakat luas. Dalam

bahasa Tgk Lailan, ia mendapatkan "kasyaf' (tingkapan)

dari sang Abuya.

Saat mencoba menceritakan perjalanan "kariernya"

yang sulit selama belajar di dayah, air matanya tidak

tertahankan keluar membasahi pipinya yang semakin

menua. Dalam kemiskinan yang nyaris membuatnya

menyerah, ia menanam tekad untuk bersabar, tidak

menyerah dan kembali ke kampung halamannya.

" Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'

Page 41: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif [Jmail

Pertimbangannya waktu itu hanyalah satu, ia teringat

r::tda pes an c-urunya, A bon di Lueng T e, bahwa ia adalah

duta kaumnya (perempuan), pengharapan masyarakatnya

kelak untuk membebaskan mereka dari kebodohan. Atas

pertimbangan itulah, ia merasa malu hila amanah gurunya

disia-siakan begitu saja. Suatu ketika ia hampir saja

menyerah dan merasa batas kesabarannya di dayah telah

di ambang batas. Saat itu musim penceklik dan kekeringan

melanda kawasan kampung sekitar dayah. Kebetulan

orang tua Tgk Lailan pun tidak pernah mengirim bekal

untuk kebutuhan hidup anaknya selama belajar di dayah.

Ketika itulah ia menyerahkan diri secara bulat kepada

Tuhan atas segala keterbatasan dan kelemahannya.

Keadaan yang telah terbiasa itu membuatnya memilih

jalan tasawwuf. Melalui kegiatan thariqah yang merekomen

dasikan pola hidup zuhud inilah ia seakan menemukan

hakikat hidup yang sebenarnya. Kepedihan dan kepahitan

hidup yang dialaminya puluhan tahun memberi bekas

yang mendalam dalam kehidupannya yang sekarang.

Ia sangat mudah tersentuh batinnya (peduli)

ketika melihat kemiskinan orang lain di sekitarnya. Dari

sinilah ketika peristiwa nasional musibah gempa bumi

dan tsunami melanda Aceh, Minggu 26 Desember 2004,

dayah Thaliban pimpinannya menjadi tempat penampung­

an para korban yang terluka dan kehilangan harta benda.

h prihatin melihat orang-orang yang sedang dalam

penderitaan dan trauma berat. Dengan segala kemampuan

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011

Page 42: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Rcproduksi U lama Perempuan dan Modernisa.ri Dqyah di Aceh

tenaga fisiknya yang mulai melemah, harta benda yang

tidak te.rb lu ban yak hasil pemberhn masyarakat, denz~n

itulah ia membantu para korban. Ia memasak makanan,

memberikan pakaian dan tempat tinggal sementara di

dayahnya yang sederhana dan sempit itu. Bahkan, sikap

fllantropis tersebut masih tetap dipraktikkannya kepada

siapa saja yang datang ke "markasnya" itu.

Para kaum ibu yang belajar agama (nyantri) pada

hari-hari tertentu (biasanya Senin dan Kamis) yang

datang dari desa sekitar yang jauh, ia ladeni sebagaimana

saudaranya sendiri. Tgk Lailan menyediakan mereka

makan siang dengan lauk yang sederhana yang saat itu ia

miliki. Sehingga, kaum ibu yang belajar agama kepadanya

terfokus konsentrasi pada materi pengajian dan dapat

beribadah dengan tenang. Mereka tidak perlu lagi

memikirkan makan siang dengan pulang ke rumah mereka

yang jauh. Silaturrahmi yang dibangunnya ini semakin

mendapat simpati masyarakat luas dan Pemerintah Aceh

untuk membantu sejumlah fasilitas dayah, seperti satu

unit asrama santri, satu unit bangunan mushalla dan satu

unit bangunan dayah telah dibangun di dayah ini.

Sementara, beberapa gedung tua yang lain merupakan

hasil kerjasama patungan yang dilakukan secara

bergotong royong oleh masyarakat setempat dan santri.

Adapun materi pengajian yang diajarkan kepada

kaum ibu yang datang ke dayah antara lain adalah fiqih,

Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'

Page 43: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yamb, Muhibuddin, dan Fauif Ismail

aqidah (tauhid) dan tasawuf serta ilmu tajwid Al-Qur'an.

Dalam bichng fiqi.~, materi pcngajian yang banyak

diminati dan menjadi pesanan khusus adalah aspek

ibadah amaliah (jar(lu a 'in) sehari-hari, seperti shalat,

zakat, puasa, dan haji. Dalam materi tauhid biasanya

pengajian berpusat pada masalah rna 'rifat kepada Allah,

malaikat, kitab suci, shirah para Nabi dan, pengetahuan

tentang hari akhir. Sedangkan, materi pengajian tasawuf

cenderung kepada pendekatan pengamalan zikir, do' a,

dan praktik thariqah, seperti tawajjuh dan suluk. Menurut

pengakuan Tgk Lailan, setiap seminggu sekali majlis

pengajiannya disinggahi dan diisi oleh anak gurunya di

Labuhan Haji, yaitu Abuya Prof Dr. Muhibuddin Waly

yang secara khusus membimbing santri dalam pengamalan

thariqah (Naqsyabandiyah). Abuya juga merupakan salah

seorang pengungsi korban tsunami yang sempat berlin­

dung di dayah Tgk Lailan. Kesederhanaan, keperdulian,

kezuhud~ dan sikap istiqamahnya yang kokoh pada

doktrin sufi · yang dianut oleh satu-satunya ulama

perempuan ini membuat masyarakat di kabupaten Aceh

Besar dan Pidie menobatkannya sebagai teungku Inoeng

(ulama perempuan), sumber rujukan mereka dalam ilmu

keislaman.

Keulaman Tgk Lailan telah bergema kemana­

mana. Ia dipanggil ke sejumlah tempat untuk mendidik

masyarakat yang membutuhkan keilmuannya. Sehingga,

tiada hari yang dilewatinya tanpa menyampaikan ilmu.

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 44: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dqyah di Aceh

Dari tujuh hari dalam seminggu, empat hari untuk melayani

masyarakat di luar dayah, riga hari yang tersisa ia menyem

patkan diri menerima _ masyarakat untuk belajar di

"istananya" yang sederhana itu. Pengabdian yang tidak

kunjung berakhir itu memberi satu konsekuensi dalam

hidupnya yang nyaris mendekati usia setengah abad itu.

Sampai dengan penelitian ini dilakukan, Tgk Lailan binti

Haji belum juga mengamalkan salah satu sunnah Rasulullah

SAW. Ia belum - atau juga tidak lagi - menikah dan

berkeluarga layaknya perempuan normal lain. Saat ini ia

menetap di komplek dayah binaannya bersama sejumlah

santri perempuan dan keluarga besarnya dalam satu lokasi

yang sama.

Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'

Page 45: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Ya~vb, Muhibuddin, dan fauzj !Jmail

DAFTAR PUSTAKA

Agusni Yahya, 2005, Doktrin !J!am dan Studi Kawasan; Potret

Keberagamaan Maryarakat Aceh, Banda Aceh: Ar­

Raniry Press.

Alfian, Teuku Ibrahim, 1975, The Ulama in Acehnese Socie!J: A

Preliminary Obseroation, Banda Aceh: Pusat Latihan Ilmu

Sosial Aceh.

Ali Hasjmy, 1997, Ulama Aceh,· Ml!fahid Pejuang Kemerdekaan

dan Pembangun T amadun Bangsa, Jakarta: Bulang

Bin tang.

-------, 1983, Kebudqyaan Aceh dalam S ejarah, Jakarta: Beuna.

Auni, Luthfi, dkk., 2004, (ed.) Eksiklopedi Pemikiran

Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press.

Azra, Azyumardi, 2007, "Pendidikan Pesantren dan

Tantangan Global: Perspektif Sosio-Historis",

Jurnal Mihrab, Vol. 2, No. 2, Depag: PD Pontren.

-------, 1999, Pendidzkan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju

Milenium Baru, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Baihaqi AK.., 1983, "Ulama dan Madrasah Aceh", dalam

Agama dan Perubahan S osial, Jakarta: Rajawali.

C. Snouck Hurgronje, 1996, Aceh: Rakyat dan Adat­

Istiadatf!Ja, Jakarta: INIS.

ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 46: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyab di Aceh

Danielle Crittende, 2002, Wanita Salah Langkah; Menggugat

Mitos Kebebasan Wanita Modern, terj. Sofia Mansor,

Bandung: Qanita.

Fajran Zain dan Saiful Mahdi (ed), 2008, Timang,· Aa:h '

Perempuan Kmtaraan, Banda Aceh: Aceh lnstitut.

George Makdisi, 1981, The Rise of College: lnJtitute of uarning

in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh

University Press.

Haedari, Amin dan Bani£: Abdullah, (ed.), 2004, .Masa Depan

Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan

Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press.

----------, 2006, Tranformasi Pesantrerr.. Pengembangan AJpek

Pendidikan, Keagamaan dan S osial, Jakarta: LeKDiS &

Media Nusantara.

Halim Tosa, A., 1989, Dqyah dan Pembaharuan Hukum Islam di

Aceh, Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Pengabdian

Masyarakat lAIN Ar-Raniry.

Hasbi Amiruddin, M., 2003, Ulama Dayah: Pengawa!

Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadia

Foundation.

Horikoshi, Hiroko, 1987, Kiai dan Oerubahan S osial.

Jakarta: P3M.

Indra, Hash~ 2003, Pesantren dan TransformaJi SosiaL· Studi atas

Pemikiran KH. Abdu!!ah Sycifi'ie dalam Bidang

Pendidikan, Jakarta: Padamadani.

Volume 10, Nomor 02, 2011 I lSTiQRO'

Page 47: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif [Jmail

Iskandar, 1998, "Profil Ulama Tradisional", Laporan

Penelitian, Banda Aceh: Pusat penelitian Ilmu Sosial

dan Budaya Unsyiah.

Ismuha, 1983, "Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah"

dalam Agama dan Perubahan S osial, Jakarta: Rajawali.

Jamal D Rahman, 1993, "Distorsi Khazanah Kultural

Pesantren", dalam A. Naufal Ramzy (ed), Islam dan

T ran.iformasi S osial Budqya, Jakarta: Deviri Ganan.

James T. Siegel, 1969, The Rope ofGod, London: University

of California Press.

Kuntowijoyo, 1999, Budqya & Ma.ryarakat, Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya,.

Masdar F. Mas'udi, 1997, Islam dan Hak-Hak Reproduksi

Perempuan, Bandung: Mizan.

Muslim Zainuddin, dkk., 2006, Agama dan Perubahan S osial

Dalam Era Reformasi di Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry

Press.

M Hasbi Amiruddin, 2003, Ulama Dqyah; Pengawal Agama

Ma.ryarakat Aceh, Lhoekseumawe: Nadia

Foundation.

2008, Menatap Masa Depan Dqyah di At"Ch, Banda

Aceh: Y ayasan Pena.

-------, 2009, Program Pengembangan DC(Yah di Aceh, Makalah

M. Nasir Budiman, Integrasi Sistem Pendidikan dalam Konteks

Dqyah di Prov. NAD (Studi Evaluasi Implementasi dan

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011

Page 48: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh

Kebfjakan Dqyah), makalah disampaikan pada

Muktamar VI Persatuan Dayah I.nshafuddin, 23-26

Muharram 1425 H/15-18 Maret 2004 di Banda

Ace h.

Muhtarom, 2005, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi:

ReJistansi Tradisional hlam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Paulo Freire dalam bukunya, 1978, Pedagogy of the OppreJJed.,

Penguin Books.

Qardhawi, Yusuf, 1980, Pendidikan !Jlam dan Madrasah

Hasan Al-Banna. Terj. Bustami A. Ghani dan

Zainal A. Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.

Qodri Azizy, A., 2003, Pendidikan Untuk Membangun Etika

S osiaL· Mendidik Anak Mas a Depan Pandai dan

Berta bat. Jakarta: Sinar Ilmu.

Razali Abdullah, 2009Ulama Aceh Penasehat Sultan,

Lhoeksemawe: Taman Seni Budaya Meuligo Pase.

Sahal Mahfudh, 1994, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LI<iS.

Soraya Devi dkk, 2004, Politik dan Pencerahan Peradaban,

Banda Aceh: Ar-Raniry Press.

Suyanta, Sri, 2004, "Peran Ulama Aceh di Era Reformasi",

Disertasi,Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Tim Penulis, 2007, Pengembangan Ulama Dqyah Dalam

Perpsektif Ulama Dqyah, Banda Aceh: lAIN Ar­

Raniry Press.

Volume 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'

Page 49: REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH

Fakhn·M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi1smail

Tri Qurnat:i, 2007, Budrrya Be!qjar dan Ketrampilan BerbahaJa

Arab di D(lwzh Aceh BeJar. Banda Aceh: Ar-Raniry

Press.

Yacob, Ismail, "Kontribusi Dayah Dalam Pembinaan

Sosial, Budaya dan Ekonomi Terhadap Perwujudan

Masyarakat yang Adil dan Bermartabat", Makalah,

disampaikan pada muktamar IV Persatuan Dayah

Inshafuddin, 15-18 Maret 2004 di Banda Aceh.

Yusny Saby, Opini Pub!ik terhadap Drryah: Pandangan terhadap

EkJiJtemi Drryah dalam Memqjukan Dinamika

Maryarakat, makalah disampaikan pada Muktamar

VI Persatuan Dayah Inshafuddin, 23-26 Muharram

1425 H/15-18 Maret 2004 di Banda Aceh.

1995, "Islam and Social Change: The Role of

'Ulama' in Achenese Society", Dimrtation, Amerika:

Temple University

1998, "Pesantren Unggul dan Calon Ulama:

Tantangan Dalam Menghadapi Era Globalisasi"

Sinar Danma!am, No. 222, Banda Aceh: lAIN Ar­

Raniry dan Unsyiah.

Zaitunah Subhan, 1999, Taftir Kebendan; Studi BiaJ Gender da!am a!Qur'an, Y ogyakarta: LkiS.

lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011