representasi kejawen pada film sang pencerahdigilib.unila.ac.id/24536/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
REPRESENTASI KEJAWEN PADA FILM
SANG PENCERAH
(Skripsi)
Oleh
To’at Maulana
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
ABSTRACT
REPRESENTATION OF “KEJAWEN” IN “SANG PENCERAH” FILM
By
TO’AT MAULANA
Social reality is unattractive if used as film, so that film commercial shouldn’t be
seen as medium representing a social reality.“Sang Pencerah” is a film appointed
from the real story struggle of KH Ahmad Dahlan, founding father of
organization Muhammadiyah. This study aims to discover in this film how
“kejawen” contructed and figures efforts of Ahmad Dahlan enlightened Islam.
Film has a message that want to be delivered through the story of a movie through
scenario, scenes, and dialogue. This study using descriptive qualitative methods
and hermeneutics analysis. Hermeneutics is a surgical instrument researchers to
get the meaning whole of a text. The result of research is representation
“kejawen” constructed through social conditions and without dialogue whereas
figures efforts of Ahmad Dahlan in enlightening doctrine Islam find out in
interaction with Kauman’s dignitary until built Muhammadiyah.
Key words: Film, Sang Pencerah, Hermeneutics.
ABSTRAK
REPRESENTASI KEJAWEN PADA FILM SANG PENCERAH
Oleh
TO’AT MAULANA
Kenyataan sosial tidak menarik jika dijadikan film, sehingga film komersial tidak
boleh dipandang sebagai medium yang mewakili kenyataan sosial dalam
pengertian langsung. Film Sang Pencerah merupakan film yang diangkat dari
kisah nyata perjuangan KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kejawen
dikonstruksi dan bagaimana usaha tokoh Ahmad Dahlan dalam mencerahkan
ajaran Islam pada film tersebut. Film memiliki pesan yang ingin disampaikan
melalui cerita dari sebuah film melalui alur cerita, adegan-adegan, dan dialog.
Film Sang Pencerah disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dirilis tahun 2010
lalu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan
analisis hermeneutika. Hermeneutika merupakan alat bedah peneliti untuk
mendapatkan makna yang utuh dari sebuah teks. Hasil dari penelitian ini adalah
representasi kejawen dibangun melalui kondisi sosial masyarakat dan kebanyakan
tanpa dialog sedangkan usaha-usaha tokoh Ahmad Dahlan dalam mencerahkan
ajaran Islam didapat dari interaksi tokoh ini dengan para pembesar di Desa
Kauman sampai kepada pendirian organisasi Muhammadiyah.
Kata Kunci: Film, Sang Pencerah, Hermeneutika.
REPRESENTASI KEJAWEN PADA FILM
SANG PENCERAH
Oleh
TO’AT MAULANA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Pada
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama To’at Maulana, lahir di Tangerang, Banten
pada 10 Desember 1994, merupakan anak pertama dari empat
bersaudara. Penulis pernah menempuh pendidikan formal di
SD N Tanah Tinggi I Tangerang yang lulus pada tahun 2006.
Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di SMP N 2
Tangerang dan lulus tahun 2009 kemudian melanjutkan studi di SMA N 7
Tangerang yang selesai di tahun 2012.
Pada tahun 2012, dengan bangga penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
melalui jalur SNMPTN Tulis. Semasa menjadi mahasiswa, penulis sempat aktif di
HMJ Ilmu Komunikasi sebagai anggota bidang Research and Development.
Penulis juga pernah cukup aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Forum
Studi Pengembangan Islam. Selagi menempuh pendidikan di bangku kuliah,
pengaplikasian ilmu yang di dapat penulis juga dituangkan dalam Praktik Kerja
Lapangan (PKL) di Rumah Produksi PT. Imaji Bumi Lestari, Jakarta pada periode
Februari-Maret 2015.
“Apakah dalam sejarah orang
mesti jadi pahlawan?”
[Ebiet G. Ade]
“Jika kau bukan anak raja
dan bukan anak Ulama Besar, maka menulislah.”
[Imam Al-Ghazali]
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil‘alamin Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,
yang telah memberikan petunjuk, rahmat, serta hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Representasi Budaya Jawa pada
Film Sang Pencerah” sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dalam meraih
gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas
Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan
menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Allah SWT, karena rahmat serta hidayah-Nya dan juga atas semua
petunjuk dan kemudahan yang di berikan oleh Nya. Dan tak lupa
bersyukur atas kesehatan yang tiada tara, sehingga penulis dilancarkan
dalam segala urusan yang menyangkut skripsi ini.
2. Kedua orang tuaku yang tercinta yang sampai saat ini menemani proses
pendidikanku. Tanpa doa tulus ikhlas dari mereka, sudah tentu penulis
tidak akan selancar ini mengerjakan karya kecil ini.
3. Ibu Dhanik S. S.Sos, M.Comn and Media St., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
4. Ibu Wulan Suciska, S.I.Kom, M.Si selaku Seketaris Jurusan Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
5. Bapak Dr. Abdul Firman Ashaf, S.Ip, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing,
terima kasih atas segala keikhlasannya telah meluangkan waktu serta
kesabarannya dalam membimbing, memberi masukan, nasihat, saran serta
memberi petunjuk langkah-langkah dalam menuntaskan skripsi dengan
baik.
6. Bapak Ibrahim Besar, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembahas, terima kasih
untuk keikhlasan waktu nya untuk memberi saran, memberi masukan yang
baik dan benar, serta memberikan perbaikan yang sangat bermanfaat bagi
penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
7. Ibu Andi Windah, S.I.Kom., M.Comn and Media St., selaku Pembimbing
Akademik penulis, terima kasih penulis haturkan atas keikhlasannya dalam
membimbing proses akademik penulis selama menjalankan perkuliahan.
8. Seluruh dosen, staff, administrasi dan karyawan FISIP Universitas
Lampung, khususnya Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah membantu
penulis demi kelancaran perkuliahan.
9. Segenap punggawa grup “Jengkolan” yang karena satu dan lain hal
penulis tidak bisa menuliskan satu per satu nama mereka, terima kasih atas
waktu dan kesediaan untuk lebih membuka wawasan penulis yang barang
tentu menambah kemampuan penulis akan banyak hal.
10. Seluruh jajaran PPM Darul Hikmah terkhusus akt. 2013 penulis mulai dari
pimpinan Ust. Tri Mulyono, Lc., Abudzar, Aris Setiawan, Dyon Dafrisa,
Hamzah Syah, Kak Ogi Iskandar, Kak Panji Wibowo, Kak Pradiska
Nawang, Rijal Robbani, Akh Sarif Maulana Sardi, dan Sofian Sumilat R.
Terima kasih penulis ucapkan atas pendidikan dua tahun yang tidak
mungkin diabaikan penulis selama menempuh perkuliahan di Universitas
Lampung.
11. Pun terhadap UKMF FSPI penulis berterimakasih yang sangat besar atas
pengalaman yang di dapat penulis terkhusus LMF akt. 2012 untuk mulai
berorganisasi dari pemahaman yang serba kurang hingga untuk
menemukan jati diri dari seorang yang bukan siapa-siapa ini.
12. Terima kasih banyak atas seluruh pengalaman yang di dapat, penulis
ucapkan secara khusus bagi seluruh penghuni grup “Gundul Jarang
Pulang” dengan segala baik-buruk yang ada dalam gugusan yang
terbentuk akan ketidak-tahuan dan kebingungan mengenai banyak hal di
dunia perkampusan. Agar tidak ada gesekan berkepanjangan ditulis
berdasarkan NPM yang tertera di baris absen setiap mata kuliah yang telah
kita hadapi, kepada Afrizal, Agung (Aong) Nugroho, Arief Aji, Dicky
Desmanto, Fajar Adi, Reza, dan Steven (Lae) Siregar. Besar harapan
untuk bisa berkumpul suatu saat nanti meski jarak mengerut dahi.
13. Kepada seluruh barisan nama di lembar absen kelas Mahasiswa Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung akt. 2012, meski tanpa
menyebut satu per satu nama, kalian tetap menjadi teman yang pernah
penulis banggakan sekaligus motivasi bagi penulis untuk lepas dari
segenap beban karya tulis ini. Terima kasih atas kebersamaan kita dan
semoga kita adalah pihak-pihak yang menjadi titik tolak kemajuan tanah
air Bumi Pertiwi.
14. Teruntuk Sutradara Film Sang Pencerah, Mas Hanung Bramantyo yang
sudah bersedia membalas email penulis sebagai data penguat. Juga kepada
Mba Tasya yang sudah penuh sabar menghubungkan penulis dengan
kreator film kenamaan di negeri ini, sekali lagi terima kasih.
Semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, tentu tidak
akan penulis dapat membalasnya. Semoga Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang membalas semua kebaikan yang telah kalian beri.
Bandar Lampung, November 2016
Penulis,
To’at Maulana
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu .................................................................................... 7
B. Landasan Teori ............................................................................................. 13
C. Kerangka Pikir .............................................................................................. 23
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian .............................................................................................. 24
B. Fokus Penelitian ........................................................................................... 26
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 26
D. Teknik Analisis Data .................................................................................... 27
E. Prosedur Pengolahan Data ............................................................................ 28
BAB IV GAMBARAN UMUM
A. Sinopsis Film Sang Pencerah ....................................................................... 29
B. Kredit Film Sang Pencerah ........................................................................... 31
C. Sutradara Film Sang Pencerah ...................................................................... 32
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................................. 34
1. Pemahaman Film Sang Pencerah Keseluruhan ........................................ 34
1.1. Identifikasi Karakter Penokohan, Latar Tempat dan Latar Waktu .... 34
1.2. Penelusuran Alur ................................................................................ 37
2. Pemahaman Bagian Film Sang Pencerah ................................................. 42
2.1. Representasi Kejawen pada Film Sang Pencerah ....................... 43
2.2. Usaha-usaha KH Ahmad Dahlan dalam Pencerahan Ajaran Islam
pada Film Sang Pencerah ...................................................................
52
B. Pembahasan .................................................................................................. 67
1. Representasi Kejawen pada Film Sang Pencerah .................................... 72
2. Usaha-usaha KH Ahmad Dahlan dalam Pencerahan Ajaran Islam pada
Film Sang Pencerah .................................................................................
74
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................................. 79
B. Saran ............................................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................ 11
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir ..................................................................... 23
Gambar 2. Hanung Bramantyo ......................................................................... 32
Gambar 3. Masjid Gede sebagai latar tempat film Sang Pencerah ................... 35
Gambar 4. KH Ahmad Dahlan .......................................................................... 35
Gambar 5. Kyai Cholil Kamaludiningrat .......................................................... 36
Gambar 6. Kyai Muhammad Noor .................................................................... 36
Gambar 7. Nyai Walidah ................................................................................... 37
Gambar 8. Ahmad Dahlan muda mencuri sesajen ............................................ 38
Gambar 9. Ahmad Dahlan menjadi Khatib Jumat Masjid Besar ...................... 39
Gambar 10. Ahmad Dahlan mencari arah kiblat ............................................... 40
Gambar 11. Pembentukkan Muhammadiyah .................................................... 41
Gambar 12. Scene 1 .......................................................................................... 43
Gambar 13. Scene 2 .......................................................................................... 46
Gambar 14. Scene 3 .......................................................................................... 49
Gambar 15. Scene 1 .......................................................................................... 52
Gambar 16. Scene 2 .......................................................................................... 54
Gambar 17. Scene 3 .......................................................................................... 56
Gambar 18. Scene 4 .......................................................................................... 59
Gambar 19. Scene 5 .......................................................................................... 62
Gambar 20. Scene 6 .......................................................................................... 65
Gambar 21. Bagan Pola 1 .................................................................................. 74
Gambar 22. Bagan Pola 2 .................................................................................. 77
Gambar 23. Bagan Model ................................................................................. 78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Film merupakan salah satu bentuk media massa, yaitu bentuk dari komunikasi
yang menggunakan saluran media dalam menghubungkan komunikator dengan
komunikan secara massal dan serentak serta bersifat heterogen (Ardianto, 2004 :
9-11).
Film juga merupakan bentuk dari karya seni yang diproduksi secara kreatif
sehingga memiliki nilai estetika atau keindahan. Dalam sebuah film sering kali
menekankan suasana tertentu yang menggambarkan keadaan sosial masyarakat
karena film memiliki fungsi dan sifat mekanik, rekreatif, edukatif dan persuasif
(Ardianto, 2004 : 134).
Tidak jarang sebuah film mengangkat tema sejarah atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masa lalu. Peristiwa tersebut diproses dan dimodifikasi sehingga
terdapat unsur ketertarikan bagi penontonnya namun tidak sampai mengubah
esensi dari sejarah tersebut. Dalam usaha menyajikan ulang sebuah peristiwa
2
tentunya akan merepresentasikan budaya dari peristiwa itu berasal, yaitu identitas
budaya di dalam sebuah teks sejarah yang dikonstruksikan ke dalam sebuah film.
Untuk memahami sebuah film, penonton perlu memposisikan dirinya dalam
situasi asli yang dikonstruksi film sehingga dapat mengetahui makna dari sebuah
peristiwa lebih mendalam dan lebih luas dari sekedar apa yang ditampilkan oleh
film. Setidaknya penonton sudah memiliki pengetahuan tentang budaya yang
ditampilkan film, pengetahuan tersebut merupakan mediasi dan proses mengolah
pesan dalam film “agar dipahami” maksud dari ceritanya (Palmer, 2005 : 15).
Budaya sendiri dihasilkan karena adanya masyarakat, E.B. Taylor mendefinisikan
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan dari anggota masyarakat (Suwarno, 2013 : 47). Karena
agama (kepercayaan) masuk ke dalam salah satu unsur kebudayaan, agama juga
akan mempengaruhi kebudayaan masyarakat yang menganutnya (Haryanto, 2015
: 26). Termasuk agama yang masuk ke tanah Jawa tentu akan mempengaruhi
budaya Jawa itu sendiri.
Kejawen sudah lahir seiring dengan adanya masyarakat Jawa itu sendiri,
berkembang dengan sifatnya yang terbuka dan tertutup pada bagian-bagian
tertentu. Soemardjan menilai, rendahnya tingkat pendidikan di masyarakat Jawa
dinilai sangat membantu dalam proses asimilasi orang-orang dari luar yang
membawakan suatu ajaran tertentu kepada masyarakat Jawa (Soemardjan, 1991 :
40; Afdillah, 2010 : 1).
3
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan sehingga
mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Selain karena hubungan dagang,
agama Islam juga di sebarkan melalui seni pertunjukkan. Kesenian wayang kulit
dipertunjukkan kepada setiap kalangan dalam masyarakat oleh Sunan Kalijaga
dengan memuat ajaran-ajaran Islam. Hal tersebut membuat ajaran Islam mudah
diterima (Aizid, 2015 : 54). Di lain hal, masyarakat Jawa sangat bangga dengan
budaya dan nilai-nilai leluhur. Hal ini yang menjadi salah satu faktor sifat tertutup
atau jumud dari masyarakat akan budaya yang datang dari luar Jawa.
Karena sifat jumud ini, budaya atau ajaran apa pun yang datang ke tanah Jawa
tidak bisa sepenuhnya menghapus ciri khas kejawen meskipun kejawen tersebut
dinilai negatif bagi ajaran yang telah dianut masyarakat Jawa. Termasuk ajaran
agama Islam yang saat ini memiliki jumlah penganut terbesar dalam masyarakat
Jawa, ajaran yang dibawakan Wali Songo tersebut berbaur dengan budaya
setempat.
Sifat antipati masyarakat Jawa meningkat dengan datangnya bangsa penjajah
Eropa, terlebih dengan dibuatnya sistem kasta oleh bangsa Eropa untuk membeda-
bedakan ras dan derajat mereka dengan masyarakat pribumi. Pendidikan ajaran
Islam ikut terkena dampak dari sikap jumud ini, masyarakat Islam Jawa yang
belum “selesai” belajar Islam dari para Wali karena memang strategi dakwah
Islam khususnya oleh Sunan Kalijogo yang pertama adalah mengislamkan
masyarakat Jawa terlebih dahulu. Sikap jumud tersebut membuat kejawen yang
mistis dari pemahaman animisme-dinamisme yang tidak sesuai syariat Islam tetap
mengakar kuat.
4
Dalam penyebaran Islam di Jawa juga dipengaruhi oleh ajaran Syekh Siti Jenar
sebagaimana dijelaskan di awal film Sang Pencerah yang menempatkan raja
sebagai perwujudan Tuhan di dunia. Belum siapnya pemahaman masyarakat Jawa
akan ajaran Syekh Siti Jenar membuat mereka menyalahartikan maksud dari
ajaran tersebut. Ditambah lagi sikap jumud yang statis terhadap perubahan zaman
ada di masyarakat Jawa. Hal ini mendorong lahirnya tokoh yang berusaha
memurnikan ajaran Islam di tanah Jawa, salah satunya KH Ahmad Dahlan.
Salah satu usaha KH Ahmad Dahlan yang memiliki pemikiran progresif dengan
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk memberikan pendidikan Islam
secara menyeluruh dan benar menurut KH Ahmad Dahlan di masyarakat Jawa,
karakternya yang mengadopsi sistem pendidikan yang cenderung kebarat-baratan
banyak ditanggapi secara miring oleh tokoh-tokoh masyarakat yang ada saat itu.
Peristiwa tersebut coba ditampilkan kembali melalui film Sang Pencerah.
Sang Pencerah adalah film drama tahun 2010 yang disutradarai oleh Hanung
Bramantyo berdasarkan kisah nyata tentang pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad
Dahlan. Film ini dibintangi oleh Lukman Sardi sebagai KH. Ahmad Dahlan, Ihsan
Idol sebagai Ahmad Dahlan Muda, dan Zaskia Adya Mecca sebagai Nyai Ahmad
Dahlan.
Film ini menjadikan sejarah sebagai pelajaran pada masa kini tentang toleransi,
koeksistensi, kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang.
Sang Pencerah mengungkapkan sosok Ahmad Dahlan dari sisi yang tidak banyak
diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, lelaki tegas
5
pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Ia
memperkenalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional.
Karena masyarakat Islam di Jawa pada awal abad ke-20 dianggap mengalami
kemunduran dalam hal pemahaman Islam yang juga dikarenakan pemerintah
Hindia Belanda yang menghalangi perkembangan pendidikan Islam (Arlen et al,
2014 : 2), dan orang Jawa bangga dengan budaya leluhur yang dianggap memiliki
kekuatan tertentu (mistik) (Marzuqi, 2014 : 5-6). Hal itu banyak dilirik oleh para
produser film sebagai fenomena yang menarik untuk diangkat ke dalam film
membuat film Sang Pencerah menarik untuk diteliti (Parameswari, 2011 : 12).
Adapun kisah perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam memurnikan ajaran Islam di
masyarakat Jawa dalam film tersebut adalah fenomena sejarah yang sangat
penting bagi Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti memutuskan untuk melakukan
penelitian lebih mendalam untuk mengetahui dan memahami representasi kejawen
serta usaha KH Ahmad Dahlan dalam pencerahan ajaran Islam pada film Sang
Pencerah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana representasi kejawen pada film Sang Pencerah?
2. Bagaimana usaha tokoh KH Ahmad Dahlan dalam melakukan pencerahan
ajaran Islam pada film Sang Pencerah?
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui representasi kejawen pada film Sang Pencerah.
2. Mengetahui usaha tokoh KH Ahmad Dahlan dalam melakukan pencerahan
ajaran Islam pada film Sang Pencerah.
D. Kegunaan Penelitian
Beberapa kegunaan penelitian ini antara lain:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa yang
mencoba mengkaji representasi kejawen pada film Sang Pencerah.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai representasi kejawen yang
ada pada film Sang Pencerah. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi
para kreator film dalam merepresentasikan kejawen bagi karyanya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu sebagai tolak
ukur dan acuan untuk menyelesaikannya. Penelitian terdahulu memudahkan
penulis dalam menentukan langkah-langkah yang sistematis utnuk menyusun
penelitian dari segi teori maupun konsep. Tinjauan pustaka harus mengemukakan
hasil penelitian lain yang relevan dalam pendekatan permasalahan penelitian.
Penelitian pertama yang berjudul Representasi Budaya Mistis di dalam Film
Kuntilanak oleh Parameswari, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Surabaya yang menggunakan metode analisis
semiotika Roland Barthes mengatakan bahwa produser maupun sutradara film
saat ini melihat banyak fenomena dilingkup mereka, dimana masyarakat kita tidak
bisa lepas dari hal-hal berbau mistis karena hal itu sudah menjadi corak
kebudayaan di Nusantara sejak zaman animisme-dinamisme. Selain itu, nilai
konsumtif masyarakat atas film horor atau berbau mistis masih sangat tinggi dan
semuanya dikaitkan dengan faktor kepercayaan dan kebudayaan masyarakat.
8
Kelebihan dari peneltian ini adalah penelitian ini menjelaskan bagaimana
masyarakat Indonesia gemar mengkonsumsi hal-hal berbau mistis, selain itu
penelitian ini mengungkap simbol-simbol yang mampu membawa kesan horor
dan nilai yang dipahami masyarakat. Namun penelitian ini memandang bahwa
praktek-praktek budaya yang dianggap keramat dalam masyarakat sebagai hal
yang menyimpang yang jauh melenceng dari norma Ketuhanan, tanpa
mempertimbangkan latar belakang masyarakat yang menerima pola pemikiran
tersebut.
Penelitian yang penulis lakukan sama-sama menggunakan film sebagai subyek
penelitian, hanya saja lebih memandang budaya yang diangkat dalam film yaitu
kejawen yang menghiasi kehidupan masyarakat Jawa beberapa diakibatkan karena
sifat jumud masyarakatnya.
Kemudian penelitian oleh Defti Arlen, Sudjarwo, dan Risma Margaretha Sinaga
yang berjudul Pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam Bidang Sosial dan Pendidikan
dari Jurusan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
yang menganalisis data menggunakan Critical Analysis Discourse menyatakan
bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari sentuhan ajaran
agama, khususnya Islam yang dibuktikan dengan banyaknya sekolah-sekolah
bernuansa Islami. Namun perkembangan agama Islam di tanah Jawa belum
dikatakan berhasil di awal abad ke-20 meskipun agama Islam sudah lama masuk
dan banyak dianut oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Islam Jawa pada saat itu
bisa dikatakan gelap dengan nilai-nilai Islam yang juga disebabkan oleh
pemerintahan Hindia Belanda yang menghalangi perkembangan agama Islam.
Penelitian ini juga menyebutkan alam animisme masih kuat di lingkungan
9
masyarakat seperti terlihat dalam ritual selamatan dan penggunaan kitab Al-
Qur’an sebagai jimat. Hal-hal tersebut melatarbelakangi lahirnya tokoh-tokoh
pemikir Islam yang membawa perubahan dalam ajaran Islam di tanah Jawa dan
salah satunya adalah KH Ahmad Dahlan.
Penelitian ini menganalisis pemikiran KH Ahmad Dahlan merupakan hasil dari
interaksinya dengan kaum intelek di Timur Tengah dengan sangat mendalam dan
menjelaskan inovasi yang digerakkan oleh pimpinan Muhammadiyah tersebut
dalam bidang sosial dan pendidikan, hanya saja penelitian ini tidak menjelaskan
bagaimana sulitnya perjuangan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi
pergerakan Islam, Muhammadiyah.
Penelitian yang penulis lakukan juga menganalisis pemikiran KH Ahmad Dahlan,
bedanya penelitian ini menganalisis dari film yang dikonstruksi ulang mengenai
pemikiran KH Ahmad Dahlan dan perjuangannya yang lebih komprehensif.
Dalam penelitian yang berjudul Akulturasi Islam dan Budaya Jawa oleh Moh.
Marzuqi dari Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Kalijaga
Yogyakarta, dengan menggunakan teori perubahan kebudayaan J.H. Steward
pendekatan ekologi yang mempelajari pengaruh timbal-balik dari ligkungan alam
terhadap kehidupan makhluk-makhluk di suatu tempat menyatakan bahwa orang
Jawa selalu mengacu pada budaya leluhur dalam menjalani hidupnya. Leluhur
dianggap memiliki kekuatan tertentu, kepercayaan terhadap roh-roh nenek
moyang tersebut berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Kelemahan dari penelitian ini adalah subyek hanya sebatas laku kejawen di
padepokan Gunung Lanang di Desa Sundutan Kecamatan Temon Kabupaten
10
Kulon Progo, hanya saja penelitian ini menjadi lebih fokus dan mendalam pada
“Laku Spiritual” Kadang sehingga dapat mengetahui sejarah munculnya
pemahaman yang dianut dan mengetahui tahap laku spiritual yang memiliki
prinsip dasar Tantularisme.
Penelitian ini terfokus kepada hasil dari akulturasi budaya antara agama Islam dan
budaya Jawa sedangkan penelitian yang dibuat penulis lebih kepada alasan kenapa
fenomena itu terjadi.
11
Tabel 1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Penulis Teori Metode Hasil
1. Representasi Budaya
Mistis di dalam Film
Kuntilanak
Parameswari P.
Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas
Pembangunan Nasional
“Veteran” Surabaya 2011
Semiotika Roland
Barthes
Kualitatif Nilai konsumtif masyarakat akan film
bergenre horor masih tinggi dan hal itu
dikaitkan dengan faktor kepercayaan dan
kebudayaan masyarakat. penelitian ini
juga melihat praktek-praktek non-
keagamaan yang berkembangan di
masyarakat melenceng dari norma
Ketuhanan
2. Pemikiran KH Ahmad
Dahlan dalam Bidang
Sosial dan Pendidikan
Defti Arlen, Sudjarwo,
dan Risma Margaretha
Sinaga
Jurusan IPS Fakultas
Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas
Lampung 2014
Analisis Critical
Analysis Discourse
Kualitatif Pemikiran KH Ahmad Dahlan banyak
dipengaruhi kaum intelek Timur Tengah,
gerakan nyata dari pemikiran tersebut
diantaranya berupa didirikannya
organisasi Muhammadiyah, mengubah
arah kiblat, dan menyerukan murid-
muridnya untuk mengasihi anak yatim.
Sistem pendidikan yang dibentuk oleh
KH Ahmad Dahlan mengkolaborasikan
12
sistem pendidikan sekuler dan
pendidikan agama.
3. Akulturasi Islam dan
Budaya Jawa
Moh. Marzuqi
Jurusan Perbandingan
Agama Fakultas
Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2009
Teori Perubahan
Kebudayaan dengan
pendekatan ekologi
Kualitatif-
Deskriptif
“Laku Spiritual” Kadang di Padepokan
Gunung Lanang di Desa Sundutan
Kecamatan Temon Kabupaten Kulon
Progo diprakasai oleh Bapak Suwarsono
yang melakukan perjalanan ritual pada
tahun 1989 ke beberapa petilasan.
Menurut pendirinya, situs Gunung
Lanang merupakan tempat yang strategis
untuk mendapat petunjuk dari Allah.
Prinsip dasar dari laku spiritual ini adalah
Tantularisme yang berasal dari ajaran
Empu Tantular zaman Majapahit.
Padepokan Gunung Lanang memiliki
moto Ati Suci, Niat Suci, dan Batin Suci.
13
B. Landasan Teori
Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media
komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan
saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dengan komunikan secara
massal, tersebar, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek
tertentu. Film dan televisi memiliki kemiripan, tetapi dalam proses penyampaian
pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda (Tan dan Wright,
dalam Vera, 2014 : 91).
Sebagaimana media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela
masyarakat di mana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang
berlaku pada masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga
berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh
masyarakat, bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun (Mulyana, 2004 : 107).
Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial sosial media
komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau
tanpa suara dan dapat dipertunjukan (UU No.23 Pasal 1 Tahun 2009 tentang
Perfilman). Film adalah media komunikasi yang bersifat audiovisual, karakter
film sebagai media audio visual dapat dijadikan alat edukasi yang terasa lebih
menarik. Seperti film yang bertemakan sejarah misalnya, selain memuat unsur
hiburan juga secara langsung membawa kita untuk membaca suatu interpretasi
sejarah berikut fakta-fakta sosial yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain,
14
menikmati suatu film bertemakan sejarah serasa membaca suatu analisa peristiwa
sejarah yang komprehensif.1
Film sejarah juga sering mengangkat tema keagamaan yang masuk dalam budaya
masyarakat, seperti agama Islam yang banyak dianut masyarakat Indonesia
mendominasi latar cerita dari sebuah film yang merepresentasikan budayanya.
Representasi merupakan usaha menyajikan ulang dari pemaknaan suatau tanda,
baik orang maupun peristiwa. Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah
produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana
identitas budaya disajikan di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di
dalam proses produksi berdasarkan masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai
budaya yang direpresentasikan tadi. Cerita di dalam film merupakan konstruksi
dari pembuatnya dan penonton memproduksi makna. Representasi di sini harus
lebih dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas. Dalam usaha
menyajikan ulang ini tentunya sampai kapan juga tidak akan pernah menyajikan
dirinya sebagai realitas yang aslinya. Film sebagai representasi budaya hanyalah
sebagai second hand reality. Ariel Heryanto menyebutkan bahwa film komersial
tidak boleh dipandang sebagai medium yang mewakili kenyataan sosial secara
faktual dalam pengertian langsung, karena kenyataan sosial di film sesungguhnya
kurang menarik untuk dijadikan film terutama bagi penonton sebagai konsumen
film (Heryanto, 2015 : 77).
Melalui sajiannya yang selektif dan menekankan pada tema-tema tertentu, film
menciptakan kesan-kesan kepada khalayaknya mengenai topik-topik yang
1 Endiarto Wijaya menjelaskan bahwa edukasi sejarah melalui film akan lebih mudah diterima
dibanding membaca buku-buku sejarah itu sendiri, ia menulis dukungannya terhadap film-film bertemakan sejarah pada akun kompasiana
15
ditonjolkan dan memiliki makna dengan cara tertentu. Film menyediakan “definisi
situasi” yang dipercayai sebagai kenyataan, film sebagai media massa
memperteguh norma dan perilaku yang ada seperti yang ingin dikonstruksikan
sang produser film (Melvin DeFleur, dalam Mulyana, 2004 : 108). Untuk
memahami film, diperlukan kerangka referensi yang sudah diketahui oleh
penonton. Jika penonton tidak mengetahui akan latar belakang situasi yang
dikonstruksi film, maka maksud dari film tidak akan sampai. Apa yang dipahami
seseorang membentuk dirinya sendiri ke dalam kesatuan sistematik yang
membentuk bagian-bagian dan memiliki makna dalam keseluruhannya.
Dalam mendapatkan pemahaman dari film, dapat menggunakan kajian
hermeneutika. Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, hermeios dan
kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan
pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Tepatnya, Hermes diasosiasikan
dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam
bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia (Palmer, 2005 : 15).
Martin Heidegger, yang melihat filsafat itu sendiri sebagai “interpretasi,” secara
eksplisit menghubungkan filsafat sebagai hermeneutika dengan Hermes (Palmer,
2005 : 15). Hermeneutika mengidentifikasi interpretasi dengan kategori
“pemahaman” dan mendefnisikan pemahaman sebagai pemahaman maksud
pembicaraan dari sudut pandang arah semula dalam situasi asli wacana (Ricoeur,
2012 : 58).
Mediasi dan proses membawa pesan yang diasosiasikan dengan Hermes ini
terkandung dalam tiga makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam
16
penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk dari hermeneuein,
yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah
situasi; (3) menerjemahkan, seperti transliterasi bahasa asing (Palmer, 2005 : 15-
16). Hermeneutika akan mengambil peran mengupas tentang makna tersembunyi
dalam teks, dialog dan adegan pada film, karena setiap interpretasi adalah usaha
untuk memahami makna-makna secara mendalam dalam film sebagai sebuah teks
atau wacana. Dalam tutur bahasa pada sebuah film terkandung berbagai makna.
Pemaknaan inilah yang akan membawa kita pada proses komunikasi berikut
dengan menggunakan hermeneutika sebagai tahap untuk mengetahui makna yang
mendalam di dalam film (Palmer, 2005 : 16).
Di sisi inilah hermeneutika berperan penting untuk menafsirkan makna dan pesan
yang dikonstuksi dalam sebuah film menurut pandangan peneliti film. Teks dalam
film sendiri tidak hanya terbatas pada apa yang ditayangkan, tetapi selalu
berkaitan dengan konteks. Teks pada hermeneutika dibentuk dari tiga unsur yakni
teks atau wacana itu sendiri, penulisnya atau dalam film adalah si pembuat film
yaitu sutradara, dan konteks di sekitar teks. Hal ini berarti film sebagai teks
memiliki muatan pesan yang bersifat temporal dan terbatasi budaya yang
menyelimuti sang sutradara sebagai penulis film (Ricoeur, 2012 : 32).
Budaya sang penulis lahir dari lingkungannya, mulai dari lingkungan keluarga
sampai lingkungan yang masih diketahui oleh penulis teks. Dari latar belakang
penulis itulah hermeneutika lahir sebagai metode penafsiran, hermeneutika hadir
karena kekeliruan konsepsi sejarah, pemahaman, bahasa dan status ideologis suatu
karya (Palmer, 2005 : 288). Budaya sendiri dihasilkan karena adanya masyarakat,
E.B. Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
17
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari anggota masyarakat
(Suwarno, 2013 : 47). Karena agama (kepercayaan) masuk ke dalam salah satu
unsur kebudayaan, agama juga akan mempengaruhi kebudayaan masyarakat yang
menganutnya (Haryanto, 2015 : 26). Hal itu juga disebabkan karena agama
membawa ajaran untuk dipatuhi oleh orang yang mengimaninya.
Di Indonesia, agama merupakan elemen ideologis yang kuat dalam masyarakat
(Haryanto, 2015 : 234). Mulai dari kepercayaan tradisional berupa pemujaan
terhadap roh-roh leluhur, hingga sistem kepercayaan yang masuk dari luar ikut
mempengaruhi peradaban masyarakat Indonesia. Khususnya di Pulau Jawa,
agama Hindu dan Budha mengawali kedatangannya menggerus kepercayaan
tradisional. Karena dianggap tidak menentang sistem kerajaan yang sudah ada,
agama Hindu dan Budha mudah diterima oleh raja dan diikuti masyarakat
dibawah kekuasaan raja.
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan sehingga
mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Selain karena hubungan dagang,
agama Islam juga di sebarkan melalui seni pertunjukkan. Kesenian wayang kulit
dipertunjukkan kepada setiap kalangan dalam masyarakat oleh Sunan Kalijaga
dengan memuat ajaran-ajaran Islam. Hal tersebut membuat ajaran Islam mudah
diterima (Aizid, 2015 : 54). Namun karena masyarakat Jawa pada saat itu masih
menjalankan ritual-ritual animisme-dinamisme, membuat masyarakat yang sudah
menerima Islam menjalankan ritual tersebut dengan nuansa Islami.
18
Menurut Soemardjan, rendahnya tingkat pendidikan di masyarakat Jawa dinilai
sangat membantu dalam proses asimilasi orang-orang dari luar yang
membawakan suatu ajaran tertentu kepada masyarakat Jawa (Soemardjan, 1991 :
40; Afdillah, 2010 : 1). Dengan diterimanya Islam sebagai agama rakyat, terjadi
perubahan mendasar dalam sistem pendidikan dan budaya intelektual. Pendidikan
tidak lagi dinikmati hanya sekedar kalangan elit politik saja, tradisi intelektual
Islam terfokus pada pesantren yang mengambil sistem pendidikan di Timur
Tengah. Sistem pengajaran pesantren berkembang yang dipimpin oleh kyai-kyai
yang sangan dihormati masyarakat dan murid-muridnya, bahkan mereka
dipandang sebagai wali yang memiliki kemampuan supranatural (Anshori, 2014 :
66).
Interaksi budaya antara budaya pesantren dan budaya Jawa melahirkan orang
muslim Jawa yang melaksanakan ajaran Islam dengan tetap mempertahankan
tradisi Jawa (Anshori, 2014 : 67). Ajaran leluhur masyarakat Jawa sebagai
pedoman sudah lahir seiring dengan adanya masyarakat Jawa itu sendiri, dan
berkembang dengan dipengaruhi oleh budaya-budaya yang datang dari luar pun
tidak bisa menghapus keaslian budaya Jawa. Di Indonesia, umat Islam banyak
mengadopsi pendekatan sinkretis dalam praktik keagamaan selama berabad-abad
(Heryanto, 2015 : 112).
Syekh Siti Jenar banyak digadang-gadang sebagai pencetus dari ajaran kejawen, ia
mengajarkan tarekat ganjil yang campur aduk dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir
dan ilmu kanuragan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren yang dipimpin
olehnya. Syekh Siti Jenar melakukan perubahan kultural dan struktural dalam
tatanan sosial di Jawa, diantaranya dengan membentuk komunitas sosial yang
19
disebut masyarakat, merancang sistem pendidikan secara rasional yang disebut
dengan pondok pesantren, dan melakukan pendekatan persuasif kepada
masyarakat yang baru memeluk Islam dengan tetap mempertahankan istilah teknis
agama lama (Anshori, 2014 : 114-115).
Kekuatan istimewa tersebut adalah kemampuan budaya Jawa untuk tetap
bertahan, meski dibanjiri oleh gelombang kebudayaan yang datang dari luar.
Meski terus diguyur oleh para pendatang yang diikuti budayanya, budaya Jawa
tetap bisa mempertahankan keasliannya (Aizid, 2015 : 22; Hefner, 2001 : 38-39).
Orang Jawa sangat bangga dengan kebudayaan mereka, bahkan kebanggan
tersebut telah mendarah daging sehingga mengarahkan mereka kepada sikap
jumud dari ciri khas “Jawa”-nya untuk mentolerir budaya asing. Sikap akomodir
tersebut dikarenakan budaya-budaya baru tidak dianggap sebagai suatu ancaman,
tetapi sebagai untuk memperkaya khazanah budaya Jawa itu sendiri (Afdillah,
2010 : 1). Hal ini ditampilkan dalam film Sang pencerah yang mengangkat tema
keagamaan, kesan jumud yang berpegang teguh pada tradisi dijadikan setting
sosial yang melatarbelakangi inisiatif tokoh KH Ahmad Dahlan.
Kebudayaan Jawa kuno yang animistis dan dinamistis tidak bisa hilang begitu saja
(Afdillah, 2010 : 2-5). Dalam film Sang Pencerah sebagai media komunikasi
selayaknya menjadi karya atau produk yang komprehensif. Seluruh elemen di
dalamnya adalah hasil kalkulasi dan kolaborasi teknis dan estetik.2 Pencerahan
kembali ajaran Islam banyak diperjuangkan oleh banyak tokoh, salah satunya oleh
2 Triyanto Hapsoro menyatakan dalam pembuatan film sejarah diperlukan riset yang spesifik
hingga detail ‘keseharian filmnya’ dan subyektifitas kreator menjadi poin penting. Dikutip dari artikel yang berjudul ‘Apa yang Ditinggalkan Film Sejarah untuk Sejarah Film?’ di akun Kompasiana
20
KH Ahmad Dahlan yang usai menempuh pendidikan di Timur Tengah. Gerakan
Muhammadiyah yang ia dirikan pada tanggal 18 November 1912
memperjuangkan pencerahan agama Islam dalam bidang sosial dan pendidikan
dalam masyarakat Jawa.
Pencerahan Islam yang dibawakan tokoh Ahmad Dahlan merupakan hasil dari
pendidikannya di Timur Tengah yang berlangsung dan dibarengi dengan
keberangkatan ibadah Hajinya. Ahmad Dahlan menerapkan pemikiran Sayid
Jamaludin Al-Afghani yang dikenal sebagai pemimpin pergerakan politik
daripada sebagai pemikir reformis dan modernis dalam sejarah Islam abad 19.
Sedangkan muridnya, Muhammad Abduh lebih menitik beratkan sisi pendidikan
Islam sebagai upaya akan solidnya sebuah pergerakan. Muhammad Abduh dan
gurunya sempat di usir ke Perancis karena mengusik ketenangan penguasa Mesir
sehingga mereka berusaha menyalurkan pemikiran mereka melalui tulisan di
majalah yang mereka dirikan bernama ‘Urwatul Wusqa.
Ide-ide pembaruan yang dicanangkan Muhammad Abduh diantaranya seperti
penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia Islam, pembukuan pintu
ijtihad sebagai dasar dalam mengintrepetasikan kembali ajaran Islam, serta
modernisasi sistem pendidikan Islam di Al-Azhar. Berbeda dengan Sayid
Jamaludin Al-Afghani yang berkelut di bidang politik, Muhammad Abduh lebih
menekankan kepada menyadarkan kembali pada kemampuan dan kebebasan
pemikiran rasional manusia di kalangan umat Islam.
Sikap Ahmad Dahlan banyak diilhami pemikiran tokoh-tokoh tersebut yang
membuatnya terbuka terhadap perkembangan yang dibawa termasuk dari bangsa
21
barat. Lahirnya Muhammadiyah didorong dari umat Islam yang tidak memegang
teguh tuntunan Al-Quran dan Sunah Nabi sehingga agama Islam tidak
memancarkan sinar kemurniannya lagi (Arlen et al, 2014 : 2-3). Film menjadi
salah satu media massa yang efektif dalam menyampaikan pesan karena
kelebihannya lewat gambaran secara visual maupun audiovisual.
Di dalam memproduksi film ada beberapa teknik pengambilan gambar yang lazim
digunakan dalam produksi film, diantaranya :
1. Full shot adalah teknik pengambilan gambar dengan batasan subyek seluruh
tubuh. Tujuanya adalah untuk menunjukan hubungan sosial di mana subyek
utama berinteraksi dengan subyek lain, interaksi tersebut menimbulkan
aktivitas sosial tertentu.
2. Long shot adalah teknik pengambilan gambar dengan batasan latar atau setting
dan karakter. Tujujannya adalah memberikan lingkup dan jarak, maksudnya
audience diajak oleh sang cameraman untuk melihat keseluruhan obyek dan
sekitarnya.
3. Close Up adalah teknik pengambilan gambar pada jarak dekat. Tujuannya
adalah untuk memberikan detail pada sebuah ekspresi wajah.
4. Medium shot adalah teknik pengambilan gambarnya mulai dari bagian
pinggang ke atas. Maknanya adalah hubungan umum, yaitu audience atau
penonton diajak untuk sekedar mengenal obyek dengan menggambarkan
suasan dari tujuan kameramen.
5. Zoom in, maknanya untuk observasi atau fokus, maksdunya penonton
diarahkan dan dipusatkan pada obyek utama. Unsur lain disekeliling subyek
berfungsi sebagai pelengkap makna.
22
6. Low Angle adalah dimana kamera ditempatkan lebih rendah dari objek dan
melihatnya dari bawah keatas objek berada dan menunjukkan sebuah
superioritas seseorang dan menggambarkan keadaan seseorang atau
penampilan seseorang.
7. Point of View adalah teknik pengambilan gambar yang menghasilkan arah
pandang objek dalam frame (Fachruddin, 2012 : 147-164).
Penelitian ini menggunakan pendekatan Hermeneutika sebagai alat untuk
membedah makna film Sang Pencerah. Hermeneutika menjadi sebuah analisis
sekaligus teori yang digunakan untuk mengungkap representasi kejawen dan
perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam pencerahan ajaran Islam pada film Sang
Pencerah. Lewat hermeneutika, teks tak lagi dianggap sekedar tulisan yang terdiri
dari susunan aksara, melainkan apa saja. Oleh sebab itu, dari kacamata
hermeneutika kekinian, film adalah teks.
Selain itu, teori interaksi simbolik George Harbert Mead digunakan sebagai teori
pendukung guna lebih mengarahkan penelitian terhadap penggunaan simbol-
simbol dalam film yang memiliki makna dan keterkaitan simbol-simbol tersebut.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (body
language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (kata-kata, suara, dll)
yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat
dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang
sangat penting (a significant symbol). Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol
yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut.
23
C. Kerangka Pikir
Film memiliki fungsi sebagai media informasi dan edukasi, salah satu nilai yang
dapat dibawa oleh film adalah penggambaran mengenai sebuah budaya sebagai
latar atau setting film. Dalam pembentukan kesan latar tersebut tentunya akan
membawa hasil pemikiran dari cerita yang ingin ditampilkan sehingga
terbentuklah representasi budaya.
Representasi budaya disampaikan lewat pesan-pesan yang disampaikan dengan
dialog, komposisi gambar, sudut pandang kamera, serta konteks cerita yang
dibawa film. Untuk menafsirkan pesan-pesan tersebut dalam film, peneliti
menggunakan metode analisis hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutik
merupakan sebuah teori yang mampu membantu peneliti menemukan dan
memahami makna yang terkandung dalam suatu film melalui proses penafsiran.
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir
Hermeneutika
1. Pemahaman Keseluruhan
2. Pemahaman Perbagian Penafsiran Makna
Representasi Kejawen Unsur-Unsur Film
Sang Pencerah:
Visual
Dialog
Latar/properti
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi deskriptif-kualitatif, yaitu suatu bentuk
penelitian yang ditujukan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang ada.
Fenomena tersebut bisa berupa bentuk, aktivitas, karakter dan sebagainya.
Tipe penelitian deskriptif merupakan penggambaran pengalaman dan pemahaman
berdasarkan hasil pemaknaan berbagai bentuk pengalaman sesuai dengan
karakteristik sasaran penelitian. Salah satu alasan peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat
digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik
fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara
memuaskan (Solatun, 2007 : 11-13). Selain itu, pendekatan kualitatif merupakan
pendekatan yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan
masalah pada penelitian ini.
Penelitian ini juga menggunakan peradigma interpretatif, yang memandang
realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks, dinamis, penuh
25
makna dan hubungan gejala interaktif (reciprocal). Mereka yang menggunakan
pendekatan ini sering disebut humanistic scholarship. Metode ini berupaya
menciptakan interpretasi. Pendekatan interpretatif memandang metode
pengalaman ilmiah tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan “misteri” pengalaman
manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian
(Ricoeur, 2012 : 53-55).
Hermeneutika adalah ilmu atau keahlian mengintrepertasi pesan. Pada penelitian
ini penulis mencoba menetapkan cara kerja Lingkaran Hermeneutik untuk
mendapatkan pemahaman yang optimal.
Untuk dapat memahami satu bagian dari teks yang diinterpretasi, penafsir harus
memahami teks secara keseluruhan supaya dapat menempatkan bagian teks
tersebut ke dalam konteksnya. Namun untuk memahami keseluruhan isi teks tentu
saja dibutuhkan pemahaman dari seluruh bagian-bagiannya. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Ast dan Schleilermacher mengenai psinsip lingkaran
hermeneutika. Ast dan Schleilermacher berpendapat bahwa keseluruhan lingkaran
hermeneutika itu memperoleh maknanya dari bagain-bagian teks dan bagain-
bagian teks tersebut hanya dapat dipahami dengan mengacu kepada keseluruhan
teks. Sejalan dengan pemikiran Dilthey mengatakan “makna” adalah apa yang
diperoleh dari pemahaman keseluruhan dan bagian-bagian lingkaran hermeneutika
tersebut (Palmer, 2005: 133). Makna merupakan sesuatu yang bersifat historis, ia
merupakan suatu hubungan keseluruhan teks kepada bagian-bagian teks.
26
Adapun proses analisis di atas juga tidak terlepas dari fokus penelitian ini yaitu
representasi kejawen dan usaha KH Ahmad Dahlan mencerahkan ajaran Islam
pada film.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini pada film Sang Pencerah yang digunakan peneliti secara
keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti. Unit analisis yang dikenal
sebagai unit produksi, yakni mise en scene yang terkait dengan segala sesuatu
yang tampil di kamera, baik penampilan pemain film, suara, dan desain produksi
(lokasi, properti, dan kostum), serta sinematografi yang berdasarkan teknik-teknik
perfilman yang berkaitan dengan penempatan kamera dalam film.
Fokus penelitian pada penelitian ini adalah representasi kejawen dan usaha KH
Ahmad Dahlan mencerahkan ajaran Islam yang ditampilkan pada film Sang
Pencerah berupa cuplikan gambar, percakapan, ajaran-ajaran yang ditekankan
dalam film dengan cara pengulangan atau pun pesan yang diarahkan pada cerita.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut :
1. Dokumentasi
Peneliti akan mengumpulkan gambar-gambar yang dianggap mengandung
unsur-unsur kejawen.
27
2. Studi Pustaka
Riset Kepustakaan (library research), digunakan untuk mengumpulkan data
dalam memperkuat penelitian ini melalui sumber dokumen, buku, artikel,
surat kabar maupun internet.
3. Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk mengungkap keterangan dari informan,
baik langsung maupun melalui media komunikasi seperti e-mail. Informan
dipilih secara purposive (disengaja), berdasarkan kebutuhan informasi yang
hendak diketahui peneliti. Hanung Bramantyo dipilih sebagai informan
karena dialah sang sutrada film Sang Pencerah yang menentukan bagaimana
film tersebut dikonstruksi. Sebelum wawancara dimulai, peneliti
menceritakan terlebih dahulu pokok bahasan penelitian, kemudian informan
dibiarkan bercerita tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses menorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar yang meliputi:
1. Menonton dan mengamati film Sang Pencerah dengan mencari tahu unsur
budaya di dalamnya.
2. Reduksi data, yaitu suatu usaha untuk menggolongkan, menentukan dan
membuang data yang dianggap tidak sesuai dengan fokus penelitian.
3. Intrepretasi data, yaitu memaparkan fenomena yang ada pada film Sang
Pencerah sehingga penulis dapat menarik kesimpulan terhadap objek yang
ingin diteliti.
28
E. Prosedur Pengolahan Data
Adapun penggunaan tahapan pengolahan data adalah dengan meninjau kembali
beberapa penelitian terdahulu tentang film yang menggunakan metode
hermeneutika sebagai proses interpretasi. Secara konkret, prosedur pengolahan
data pada film ini dengan beberapa tahap sebagai berikut:
1. Menonton dan Menganalisis Film
Suatu makna dalam teks dapat timbul ketika makna tersebut dibaca. Melalui
proses pengulangan baca maka penafsir akan semakin memahami konteks cerita
yang didapat sehingga memperoleh tahap pemahaman awal.
2. Memahami makna keseluruhan cerita dengan analisis naratif:
a. Menafsirkan film.
b. Identifikasi karakter penokohan, latar, tempat, dan waktu.
c. Penelusuran alur.
3. Memahami bagian-bagiannya yang berdasar pada studi film, yaitu lebih
membahas pada konteks penggunaan teknik-teknik sinematografi dalam
mendapatkan makna yang diinginkan pembuat film. Unsur-unsur film dan
latar belakang sutradara menjadi pertimbangan makna pada setiap scene pada
film.
4. Menyusun kesimpulan pemahaman berdasarkan poin 1 sampai 3. Dimulai dari
totalitas atau bagian yang dianggap penting, yang mengacu pada fokus
masalah, yaitu tentang adanya representasi kejawen dan usaha KH Ahmad
Dahlan dalam mencerahkan ajaran Islam (Rahmawati, 2014 : 36-37).
BAB IV
GAMBARAN UMUM
A. Sinopsis Film Sang Pencerah
Film Sang Pencerah yang disutradarai Hanung Bramantyo
Film Sang Pencerah disutradarai oleh Hanung Bramantyo dirilis pada tahun 2010
berkisah tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam melakukan pemurnian
ajaran Islam di tanah Jawa. Setting utama film yang berada di Desa Kauman
Jogjakarta pada tahun 1867-1912 ini menceritakan berdirinya organisasi
pergerakan Islam Muhammadiyah.
Darwis muda yang diperankan oleh Ihsan Taroreh mengganti namanya menjadi
Ahmad Dahlan yang diperankan oleh Lukman Sardi setelah kepulangannya dari
30
ibadah haji ke tanah suci. Ahmad Dahlan melihat ketidaksesuaiannya ajaran Islam
yang ada di kampungnya dengan apa yang ia pelajari selama di tanah suci
Mekkah. Ajaran Islam yang dipahami masyarakat Jawa saat itu banyak
dipengaruhi oleh ajaran Syekh Siti Jenar yang menempatkan Raja sebagai
perwakilan Tuhan, serta ritual-ritual keagamaan yang tidak sesuai dengan apa
yang Ahmad Dahlan pahami sehingga ia berusaha untuk melakukan pemurnian
ajaran melalui pendidikan dan sosial.
Puncak dari perjuangan tersebut menciptakan pro dan kontra dari berbagai elemen
masyarakat Kauman, Slamet Raharjo yang memerankan tokoh Kyai Penghulu
Kamaludiningrat yang dikenal sebagai kalangan konservatif bahkan sampai
mengarahkan massa untuk merobohkan Langgar milik Ahmad Dahlan karena
dianggap menebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman masyarakat
kebanyakan. Tuduhan Kyai Kafir dari masyarakat pun sampai ke telinga Ahmad
Dahlan karena menjalin hubungan dengan organisasi Boedi Oetomo yang
dibangun oleh keturunan para priyayi yang tidak mau tunduk pada Belanda,
namun hal itu tetap meneguhkan hati sang istri yang diperankan oleh Zaskia Adya
Mecca dan didukung oleh para pengikut Ahmad Dahlan.
Dukungan dari keluarga dekat mengembalikan tekat Ahmad Dahlan yang sudah
mencoba hijrah dari Kauman, metode berbeda pun dijalankan oleh Ahmad Dahlan
dengan membuka Madrasah yang diisi oleh anak-anak sekitar Kauman yang
miskin dan tidak mendapat pendidikan. Hingga sampailah pada pendirian
organisasi Muhammadiyah yang berusaha menghimpun masyarakat dalam
mendapatkan pendidikan yang tepat sesuai denga ajaran Islam menurut Ahmad
Dahlan.
31
Film Sang Pencerah dapat menjadi referensi bagi toleransi, keterbukaan pemikiran
dan pembaruan dalam ajaran Islam. Karena Islam adalah risalah untuk semua
zaman dan generasi, bukan risalah yang terbatas oleh masa tertentu dimana
implementasinya berakhir seiring berakhirnya zaman tersebut. Islam adalah
risalah yang syumul (universal), yang berbicara kepada seluruh ummat, suku,
bangsa dan status sosial.
B. Kredit Film Sang Pencerah
Sutradara Hanung Bramantyo
Penata skrip Hanung Bramantyo
Pemeran Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan
Zaskia A Mecca sebagai Istri Ahmad Dahlan
Slamet Rahardjo sebagai Kyai Penghulu
Giring Nidji sebagai Sudja
Ihsan Taroreh sebagai Ahmad Dahlan muda
Ricky Perdana sebagai Sangidu
Mario Irwinsyah sebagai Fahrudin
Dennis Adhiswara sebagai Hisyam
Abdurrahman Arif sebagai Dirjo
Ikranagara sebagai Ayah Ahmad Dahlan
Yati Surachman sebagai Ibu Ahmad Dahlan
Sudjiwo Tedjo sebagai Ayah Siti Walidah
Agus Kuncoro Adi sebagai Kyai Muhammad Noor
Pangky Suwito sebagai Dr Wahidin Sudirohusodo
Dewi Irawan sebagai Nyai Fadil
32
Produser Raam Punjabi
Line Producer Talita Amilia
Fajar Nugros
Prod Eksekutif Gobind Punjabi
Hanung Bramantyo
Wicky V Olindo
Penata Kamera Faozan Rizal
Penata Rias Jerry Octavianus
Busana Retno Ratih Damayanti
Penata Artistik Allan Sebastian
Penata Musik Tya Subiakto
Penata Suara Satrio Budiono
Perekam Suara Trisno
Penata Gambar Wawan I Wibowo
Produksi Multivision Plus Pictures
C. Sutradara Film Sang Pencerah
Gambar 2. Hanung Bramantyo
33
Hanung Bramantyo lahir di Yogyakarta, 1 Oktober 1975, dikenal sebagai seorang
sutradara muda dengan sejumlah karya berprestasi. Film-film yang di sutradarai
Hanung di antaranya, Lentera Merah (2006), Jomblo (2006), Sayekti dan Hanafi
(TV) (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Brownies (2004), When ... (2003),
Gelas-gelas Berdenting (2001) dan Topeng Kekasih (2000).
Selain itu, Ia juga mengarahkan film Tingkling Glass, yang kemudian berhasil
meraih Juara III Bronze 11th Cairo International Film Festival (CIFF) Category
TV Program di Mesir. Karya spektakuler Hanung ditunjukkan lewat film Ayat-
ayat Cinta (2008), sebuah film religi yang diangkat dari novel sukses karya
Habiburrahman El Shirazy dengan judul yang sama. Hanung sendiri pernah kuliah
di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia namun tidak diselesaikannya.
Berikutnya pindah mempelajari dunia film di Jurusan Film Fakultas Film dan
Televisi Institut Kesenian Jakarta.1
1 http://profil.merdeka.com/indonesia/h/hanung-bramantyo/ diakses tanggal 4 April 2016
78
78
Gambar 23. Bagan Model
Film Sang Pencerah
Usaha Pencerahan Ajaran
Islam oleh Ahmad Dahlan
Metode Pendidikan Berdialog dengan
Pemuka Agama
Pendirian
Muhammadiyah
Jumud
Islam Kejawen
Takhayul Mistis
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap representasi kejawen dan
usaha-usaha KH Ahmad Dahlan pada film Sang Pencerah, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Representasi kejawen pada film Sang Pencerah lebih banyak ditampilkan
dalam membangun kondisi sosial sebagai latar film sehingga sebagian besar
tanpa dialog. Representasi kejawen dibangun dari pemikiran-pemikiran
masyarakat Kauman yang jumud dan terpengaruh ajaran Syekh Siti Jenar.
Sisi jumud tersebut ada dikarenakan sikap masyarakat Jawa yang bangga
dengan budaya leluhur yang disampaikan dalam forum kelompok kecil
berupa keluarga. Namun di sisi lain masih ada keterbukaan dari masyarakat
Jawa untuk budaya-budaya dan ajaran-ajaran yang masuk ditanah Jawa yang
masih bisa ditolerir, hanya saja budaya asing tersebut tidak bisa menghapus
keberadaan kejawen sama sekali. Representasi kejawen yang menanamkan
nilai-nilai luhur juga diperlihatkan dengan dialog antara Ahmad Dahlan
80
dengan beberapa masyarakat Kauman yang sedang berkonsultasi mengenai
masalah yang sedanga dihadapinya.
2. Usaha-usaha pencerahan ajaran Islam oleh KH Ahmad Dahlan berawal dari
pemahamannya yang memiliki sudut pandang berbeda dari tokoh masyarakat
lainnya yang bersifat koservatif dan jumud, pemikiran Ahmad Dahlan lebih
terbuka terhadap perkembangan zaman. Usaha-usaha KH Ahmad Dahlan
dalam pencerahan ajaran Islam pada film Sang Pencerah juga dikarenakan
kegundahan Ahmad Dahlan melihat masyarakat Kauman yang terus
mempertahankan ritual-ritual mistis yang dianggapnya melenceng dari ajaran
Islam itu sendiri. KH Ahmad Dahlan berinovasi dalam metode pengajarannya
kepada murid-muridnya dengan menggunakan alat musik sebagai media
perumpamaan. Selain itu hasil dari pengalaman mengajarnya di sekolah
sekuler adalah penggunaan alat-alat belajar yang mendukung proses
pengajaran di kelas yang dibuat di salah satu ruangan di rumahnya. Usaha
paling nyata dari pemikiran KH Ahmad Dahlan adalah dengan membentuk
organisasi Islam Muhammadiyah.
Penelitian ini hanya terfokus pada mencari tahu bagaimana representasi kejawen
dan usaha pencerahan ajaran Islam oleh Ahmad Dahlan ditampilkan dalam film.
Peneliti sadar bahwa banyak kekurangan yang dimiliki penelitian ini, salah
satunya dalam membuat transkripsi dialog sebagai data yang diamati. Peneliti
tidak mampu menuliskan dialog secara utuh terutama pada bagian pengutipan
ayat-ayat Al-Qur’an, hal ini dikarenakan ketidakmampuan peneliti dalam bidang
tersebut.
81
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memiliki saran sebagai berikut:
1. Kepada pihak produksi film diharapkan bisa memberikan edukasi
pemahaman budaya bangsa dengan tidak memberikan nilai negatif akan
budaya tersebut agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya
film yang telah diproduksi.
2. Penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang ingin
membahas film Sang Pencerah lebih mendalam ataupun dengan sudut
pandang yang berbeda karena penelitian ini juga masih terdapat banyak
kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aizid, Rizem. Islam Abangan dan Kehidupannya. Yogyakarta: Dipta.
Anshori, M. Afif. 2014. Tasawuf Syaikh Siti Jenar dalam Kepustakaan Jawa.
Yogyakarta: Idea Sejahtera.
Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Fachruddin, Andi. 2012. Dasar-dasar Produksi Televisi: Produksi Berita,
Feature, Laporan Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing. Jakarta:
Kencana.
Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya
Kontemporer. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2012. Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran, dan
Metodologinya. Jogjakarta: IRCiSoD.
Soemardjan, Selo. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Solatun, dan Deddy Mulyana (Eds.). 2007. Metode Penelitian Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suwarno. 2013. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandar Lampung: Universitas
Lampung.
Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Skripsi:
Rahmawati, Elsa Puji. 2014. Potret Etika Komunikasi dalam Keluarga (Analisis
Hermeneutika terhadap Film “I Not Stupid Too 2”) Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
Internet:
Afdillah, Muhammad, “Agami Jawi”, Agami Jawi : sejarah, ajaran, dan
perkembangannya, http://digilib.uinsby.ac.id/1148/9/Daftar%20
Pustaka.pdf, diakses tanggal 7 November 2015.
Anonim, “Profil”, Merdeka.com, http://profil.merdeka.com/indonesia/h/hanung-
bramantyo/, diakses tanggal 4 April 2016
Anonim, “Sang Pencerah”, Wikipedia, https://id.wikipedia.org
/wiki/Sang_Pencerah, diakses tanggal 10 November 2015.
Anonim, “Tedhak Siten”, Wacana Nusantara, http://www.wacananusantara.org
/tedhak-siten-sebuah-ajaran-adiluhung-bagi-awal-perjalanan-anak-
tercinta/, diakses tanggal 28 Maret 2016
Arlen, Defti, Sudjarwo, Risma Margaretha Sinaga, “Pemikiran KH. Ahmad
Dahlan dalam Bidang Sosial dan Pendidikan”, Jurnal Studi Sosial,
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JSS/article/view/7710, diakses
tanggal 24 November 2015.
Hapsoro, Triyanto, “Apa yang ditinggalkan Film Sejarah untuk Sejarah Film?”,
Kompasiana, http://www.kompasiana.com/triyantogenthong/apa-yang-
ditinggalkan-film-sejarah-untuk-sejarah-film_
552b872b6ea83413088b4576, diakses pada 1 Januari 2016.
Marzuqi, Moh., ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, digital library UIN Sunan
Kalijaga, http://digilib.uin-suka.ac.id/3415/1/BAB%20I,V.pdf, diakses
tanggal 18 November 2015.
Noviana, “Filosofi Kemben dan Jarik”, Kartini, http://majalahkartini.co.id/mode-
kecantikan/mode/ayopakaikebaya-filosofi-kemben-dan-jarik, diakses
tanggal 1 April 2016.
Parameswari, “Representasi Budaya Mistis dalam Film Kuntilanak”, UPN JATIM
Institutional Repository, http://eprints.upnjatim.ac.id/2171/1/Binder1.pdf,
diakses tanggal 18 November 2015.
Setianto, Yearry Panji, “Film dan Representasi Budaya”, Yearry Panji Setianto,
https://yearrypanji.wordpress.com/2009/01/03/film-dan-representasi-
budaya, diakses tanggal 11 November 2015.
Wijaya, Endiarto, “Film Indonesia dan Pembelajaran Sejarah”, Kompasiana,
http://www.kompasiana.com/wijaya/film-indonesia-dan-pembelajaran-
sejarah_54fdd7d7a33311361c50fc5b, diakses tanggal 1 Januari 2016.