representasi budaya dalam novel boenga roos …
TRANSCRIPT
Syihaabul Hudaa, Ahmad Bahtiar, Novi Diah Haryanti, dan Winci Firdaus
45 |
©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
REPRESENTASI BUDAYA DALAM NOVEL BOENGA ROOS DARI TJIKEMBANG
Cultural Representation in Boenga Roos dari Tjikembang Novel
Syihaabul Hudaa1, Ahmad Bahtiar2, Novi Diah Haryanti3, Winci Firdaus4
Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta2,3
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa4
Abstrak
Boenga Roos dari Tjikembang bukan saja menyajikan cerita yang menarik, melainkan juga memuat unsur budaya
di dalamnya. Novel ini ditulis dengan bahasa Melayu dengan mengambil latar beberapa kota di Indonesia. Salah
satunya adalah Bogor, Jawa Barat. Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan budaya yang terdapat di dalam
novel Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay yang merupakan keturunan Tionghoa. Penelitian ini
termasuk ke dalam jenis kualitatif deskriptif karena peneliti memaparkan hasil penelitiannya menggunakan teks
secara deskriptif yang berfokus pada teks dan menelaah secara mendalam representasi budaya di dalam novel
Boenga Roos dari Tjikembang Berdasarkan penelitian yang dilakukan, unsur kebudayaan yang ditemukan dalam
novel Boenga Roos dari Tjikembang adalah kebudayaan Sunda, Jawa, dan Tionghoa.
Kata Kunci: budaya, unsur instrinsik, pendekatan objektif sastra
Abstract
Boenga Roos dari Tjikembang presents not only an exciting story but also cultural elements in it. This novel is
written in Malay and takes place in several cities in Indonesia. One of them is Bogor, West Java. This article aims
to find out what culturecontained in the Boenga Roos dari Tjikembang novel by Kwee Tek Hoay, a Chinese descent.
This research belongs to the descriptive qualitative where the researcher describes the results of research using
descriptive text focusing on text and analyzing the cultural representation of Boenga Roos dari Tjikembang in
depth. Based on the research conducted,, cultural elements found in Boenga Roos dari Tjikembang novel are
Sundanese, Javanese, and Chinese culture.
Keywords: culture, intrinsic elements, objective approach to literature
How to Cite: Hudaa, Syihaabul, dkk. (2021). Representasi Budaya dalam Novel Boenga Roos dari Tjikembang.
Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 10(1), 45-56. Doi: https://doi.org/10.26499/jentera.v10i1.3316
PENDAHULUAN
Novel Boenga Roos dari Tjikembang meski dulu oleh seorang penulis keturunan
Tionghoa adalah novel yang memuat khazanah kesusastraan Indonesia. Novel ini pertama kali
diterbitkan tahun 1930. Pada saat itu, bangsa Indonesia masih menggunakan ejaan van
Ophuijsen. Seperti yang sudah diketahui, ejaan yang menggunakan bahasa Melayu tersebut
telah ada di Indonesia sejak abad VII pertengahan era kerajaan Sriwijaya (Bahtiar et al., 2019).
Naskah diterima: 18 Januari 2021; direvisi: 11 Juni 2021 ; disetujui: 24 Juni 2021 doi: https://doi.org/10.26499/jentera.v10i1.3316
Representasi Budaya dalam Novel…..
| 46 ©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
Kemudian, ejaan yang menggunakan bahasa Melayu tersebut dibukukan oleh van Ophuijsen
tahun 1901 dalam Kitab Logat Melayu. Ejaan van Ophuijsen tersebut digunakan di Indonesia
cukup lama hingga kemudian digantikan oleh ejaan yang dikenal dengan nama Ejaan Soewandi
(1947) (Bahtiar et al., 2019).
Penggunaan bahasa yang masih menggunakan ejaan van Ophuisjen membuat novel ini
tidak relevan dengan generasi milenial yang tidak terbiasa membaca Ejaan Melayu (Ningsih,
Rasyid, & Muliastuti, 2018). Terlebih, adanya gabungan dua huruf yang dibaca menjadi satu
huruf dan menjadi huruf yang berbeda /tj/ dibaca /c/ yang membuat novel ini menjadi tidak
mudah dan mengurangi kenikmatan pembaca yang tidak terbiasa dengan ejaan tersebut.
Di samping itu, Seiring masuknya teknologi dan zaman yang terus berubah, novel karya
penulis Indonesia semakin dilupakan. Misalnya saja saat era modern seperti saat ini, posisi
novel sudah tergantikan oleh Netflix, Iflix, Viu, dan situs lainnya yang menyajikan film Korea
(Lee & Yoo, 2011). Padahal, novel berbahasa Melayu menyajikan karya yang berbeda dan
memiliki daya tarik tersendiri. Selain karena keunikan bahasa Melayu yang digunakan pada
zaman itu, juga karena novel tidak lahir dari kekosongan budaya dan pengarang
mengekspresikan budaya tersebut melalui karyanya
Demikian halnya dengan novel Boenga Roos dari Tjikembang. Novel tersebut tidak
hanya menyajikan romantisme tokoh di dalamnya, melainkan ada nilai lain, seperti: budaya,
religiositas, dan sosial. Kendati demikian, novel ini justru dikenal oleh khalayak umum dengan
kisah romantis antara Aij Tjeng, Gwat Nio, dan Marsiti. Cinta yang tulus dan sederhana akan
tetap menyatu, walaupun telah berbeda alam, tetapi cinta itu tetap abadi. Romantisme inilah
yang kerap diidolakan sebagai suatu bentuk cinta dunia-akhirat bagi pemuda-pemudi pada masa
itu (Hogarth, 2013). Namun, di sisi lain, novel Boenga Roos dari Tjikembang ini menarik dikaji.
Dari segi percetakan, novel ini yang paling banyak dicetak ulang dibanding novel-novel
semasanya yang menunjukkan antusiasme pembacanya. Selain itu, novel ini juga telah
mengalami berbagai transformasi, dari cerita bersambung menjadi drama panggung, film, dan
buku. Kendati menggunakan ejaan van Ophuisjen, dalam novel tersebut ditemukan penggunaan
berbagai bahasa seperti Belanda, Sunda, dan Inggris. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
mengkaji representasi budaya yang terkandung di dalam novel Boenga Roos dari Tjikembang.
Penelitian yang membahas tentang representasi budaya di dalam novel pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti. Di antaranya, Hidayah dkk., tahun 2016 yang membahas
tentang budaya Jawa dan Barat serta akulturasi budaya Jawa dan Barat dalam novel Rahvayana
karya Sujiwo Tejo (Hidayah;, Hermoyo, & Yarno;, 2016). Hasil penelitian ini menemukan
Syihaabul Hudaa, Ahmad Bahtiar, Novi Diah Haryanti, dan Winci Firdaus
47 |
©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
representasi budaya Jawa dalam novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo menampilkan berbagai
sikap, adat, ritual sebagai suatu budaya masyarakat Jawa. Misalnya saja seperti upacara
kematian, panggih, dan tedak Siti.
Representasi budaya barat yang terdapat dalam novel ini meliputi sikap individualistik
yang tercermin dalam budaya barat, seperti gaya hidup bebas,cara berpikir, dan bertindak yang
mengutamakan sikap disiplin. Sebaliknya, akulturasi budaya Jawa dan Barat yang ditemukan
di dalam novel ini, di antaranya terjadinya seks bebas, gaya hidup, dan tafsir mimpi yang
berkembang di Jawa dan Barat. Tentu saja kedua budaya tersebut menjadi suatu hal yang
berbeda dan menarik untuk dikaji (Sugiyanto, 2021).
Penelitian lainnya tentang representasi budaya dalam novel dilakukan oleh Maspuroh
tahun 2015 dengan judul “Kajian Bandingan Struktur dan Nilai Budaya Novel Amba dan Novel
Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata (Maspuroh, 2015).” Penelitiannya menemukan novel Amba
merupakan bentuk restorasi, yaitu sebagai ungkapan dari keinginan, kerinduan, dan nostalgia
yang mengingatkan kembali kepada kekuatan wayang pada zaman modern.
Novel Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata merupakan bentuk afirmasi, yang
menetapkan norma sosio-budaya yang ada pada waktu tertentu dan merupakan bentuk
pengukuhan dari cerita pewayangan yang ideal pada masa tertentu. Perbandingan nilai budaya
didapatkan melalui representasi nilai-nilai budaya dalam novel Amba dan novel Perjalanan
Sunyi Bisma Dewabrata yang merujuk pada lima masalah dasar dalam hidup sesuai dengan
nilai budaya yang telah dikemukakan Kluckhohn.
Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya terkait dengan
representasi nilai budaya dalam novel, penelitian ini memiliki perbedaan. Penelitian ini
dilakukan untuk menemukan representasi budaya yang dimunculkan dalam novel melalui teks
yang ada di dalamnya, baik itu melalui teks secara langsung, maupun secara semiotika. Dari
temuan tersebut, peneliti mengidentifikasi representasi budaya yang ada di dalam novel Boenga
Roos dari Tjikembang.
LANDASAN TEORI
Representasi Budaya
Representasi merupakan produksi makna melalui bahasa (Hall & Open University.,
1997). Novel ini menampilkan konsep budaya yang unik dan menarik karena pertemuan
berbagai budaya tersaji di dalamnya. Ragam budaya ini membuat terjadinya interaksi yang
melibatkan budaya berbeda (Ridwan, 2016). Misalnya saja interaksi antarbudaya yang terjadi
Representasi Budaya dalam Novel…..
| 48 ©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
di kota besar seperti Jakarta, antara suku Jawa, Sunda, Medan, dan suku lainnya. Dari
komunikasi yang dilakukan secara intensif, muncul kerja sama yang saling menguntungkan
satu sama lain. Samovar et al. (2000) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi ketika
anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain.
Artinya, antara pengirim pesan dan penerima pesan berbeda latar belakang budayanya.
Komunikasi antarbudaya menjadi simbol keberagaman masyarakat multikultural yang
perlu dilestarikan (Barker, 2003). Salah satu contoh bentuk interaksi antarbudaya yang terjadi
di Indonesia dan terdiri atas masyarakat multikultural yaitu Pulau Jawa. Pulau Jawa menjadi
tujuan masyarakat dari berbagai pulau di Indonesia untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Di Pulau Jawa, pelbagai suku yang memiliki karakteristik yang berbeda bertemu dan berbaur
satu sama lain. Adapun kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2004) secara universal memiliki
tujuh unsur, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi
kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian
hidup; dan (7) sistem teknologi dan peralatan.
Tujuh konsep kebudayaan secara universal ini digunakan untuk menganalisis temuan
data dalam penelitian. Dengan menggunakan konsep kebudayaan secara universal ini, data akan
diklasifikasikan dan diuraian secara mendalam.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan di dalam penelitian ini termasuk ke dalam jenis
kualitatif deskriptif. Dalam penelitian kualitatif deskriptif peneliti menjelaskan hasil temuan
penelitian menggunakan teks secara deskriptif (Sugiyono, 2016). Temuan penelitian dibahas
secara detail menggunakan pendekatan studi analisis isi (Moleong, 2017). Pendekatan analisis
isi dipilih agar peneliti fokus pada teks yang ada di dalam suatu bahan kajian (Emzir, 2017).
Dengan melakukan kajian analisis isi, peneliti dapat fokus pada teks dan menelaah secara
mendalam representasi budaya di dalam novel Boenga Roos dari Tjikembang.
PEMBAHASAN
Boenga Roos dari Tjikembang
Boenga Roos dari Tjikembang (Bunga Roos dari Cikembang) merupakan novel karya
Kwee Teek Hoay (1927) yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Novel ini menceritakan
kisah tentang seorang manager perkebunan Aij Tjeng yang harus meninggalkan nyai (Marsiti).
Dari hasil hubungannya, mereka memiliki anak yang bernama Roosminah. Akan tetapi, Aij
Syihaabul Hudaa, Ahmad Bahtiar, Novi Diah Haryanti, dan Winci Firdaus
49 |
©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
Tjeng tidak mengetahui Marsiti sedang hamil saat berpisah dengannya. Roosminah memiliki
kemiripan wajah dengan Lily (anak Aij Tjeng) yang meninggal. Akhirnya, Bian Koen menikah
dengan Roosminah yang memiliki wajah mirip dengan Lily. Takdir seakan mempersatukan
kembali cinta dan kasih layaknya cinta Aij Tjeng dan dan Marsiti di masa lampau.
Kisah cinta Aij Tjeng dan Marsiti yang kandas karena dijodohkan dengan Gwat Nio,
membuat perasaannya sempat tidak karuan. Walaupun Marsiti hanya seorang selir, tetapi Aij
Tjeng menyayangi Marsiti tulus dari dalam hatinya. Perpisahan Aij Tjeng dan Marsiti rupanya
bukanlah perpisahan untuk terakhir kalinya. Hal ini dikarenakan mereka akan berjumpa
kembali dengan kisah cinta yang dilanjutkan oleh keturunan mereka.
Representasi Budaya Sunda-Jawa
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, di dalam novel terdapat unsur penunjang
secara intrinsik dan ekstrinsik. Novel bukan saja menyajikan cerita yang menarik untuk dibaca,
melainkan ada pesan yang tersirat dan tersurat yang berfungsi sebagai nasihat. Dalam kajian
ini, peneliti memfokuskan pada representasi budaya yang terdapat di dalam novel ini dan
mengidentifikasinya. Berikut temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
Dalam novel Boenga Roos dari Tjikembang, representasi budaya Sunda muncul melalui
teks yang digunakan tokoh dalam berkomunikasi. Berikut temuan hasil penelitian yang
pertama.
“Tapi maski begitu paman-paman tani musti bekerja giat, aken pacul itu di tanah-tanah yang lembek lantaran ujan….” (Hoay, 1927: 301).
Kalimat di atas menunjukkan adanya latar belakang tanah Priangan (Jawa Barat).
Indonesia adalah negara agraris sehingga bertani merupakan salah satu profesi yang ditekuni
oleh masyarakatnya. Petani dikenal memiliki jiwa yang pantang menyerah dan sikap giat dalam
bekerja. Setiap pagi, masyarakat yang berprofesi sebagai petani sudah bangun pagi dan
menyiapkan alat yang digunakan untuk berangkat ke sawah. Dalam novel, citra petani
direpresentasikan dalam teks ini sebagai seseorang yang giat dalam bekerja demi memenuhi
kebutuhan keluarganya. Masyarakat yang tergolong suku Jawa dan Sunda, dikenal memiliki
pribadi yang gigih dalam bekerja. Kegigihan tersebut membudaya dalam masyarakat.
Temuan berikutnya berkaitan dengan budaya masyarakat Sunda dalam kaitannya
dengan konsep dan sistem organisasi kemasyarakatan. Konsep organisasi kemasyarakatan
dalam budaya Sunda berkaitan dengan perilaku atau kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat.
Representasi Budaya dalam Novel…..
| 50 ©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
“… prampuan yang lagi masak nasi, yang tercampur juga dengan wanginya ikan asin yang digoreng atawa dibakar, hingga menjadi penyambutan yang sanget memuasken hati pada itu kuli-kuli yang pulang karumahnya sasudahnya bekerja keras dan cape antero hari.” (Hoay, 1927: 301).
Menurut Koentjaraningrat, sistem dan organisasi kemasyarakatan merupakan suatu hal
yang mengatur tentang perilaku masyarakat dalam kesehariannya (Koentjaraningrat, 1984).
Memasak nasi liwet merupakan tradisi masyarakat Sunda yang biasa dilakukan ketika
berkumpul bersama keluarga, rekan sejawat, atau pun kunjungan lainnya dalam jumlah besar.
Sampai saat ini, tradisi ngeliwet, memasak ikan asin dengan cara dibakar, masih dilakukan oleh
masyarakat Sunda saat menyambut keluarga mereka yang berkumpul. Selain itu, ngeliwet pun
mulai dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh budaya Sunda. Cita rasa
kebersamaan yang muncul saat menikmati makan bersama, membuat rasa makanan yang
dimakan semakin nikmat.
“…roko kaung….” (Hoay, 1927: 302).
Rokok kawung merupakan salah satu budaya masyarakat yang saat ini dikenal dengan
istilah ngelinting. Tembakau yang digunakan merupakan hasil panen dari perkebunan pribadi
atau membeli dari petani. Rokok kawung biasanya dibungkus menggunakan daun aren yang
dicampur dengan cengkih. Saat dibakar, wangi khas dan bunyi “kretek-kretek” akan muncul
ketika terkena api. Tradisi mengisap rokok ini dilakukan oleh masyarakat Jawa danSunda pada
masa kolonial Belanda. Mereka yang mengisap rokok ini, tentunya bukan dari golongan
masyarakat miskin. Karena rokok zaman dahulu hanya diperuntukkan untuk priyayi.
“Ia berdiri di samping satu meja knap, tangan yang satu pegang tasch kecil, yang sablah lagi memegang payung. Bajunya cita tablo, dan lehernya dilibet satu halsduk.” (Hoay, 1927: 336).
Gaya berpakaian wanita yang menjadi tren saat itu digambarkan melalui kutipan di atas.
pakaian tersebut biasanya digunakan saat mengikuti acara tertentu atau kegiatan berfoto.
Halsduk (syal) menjadi hiasan wajib di leher. Gaya berpakaian wanita yang digambarkan pada
novel tersebut adalah gaya berpakaian tahun 1927. Perempuan pribumi atau pun pendatang
menggunakan gaya berpakaian ini. Gaya berpakaian menurut Koentjaraningrat (1985)
termasuk ke dalam kesenian yang diwariskan secara turun temurun mengikuti perkembangan
budaya. Seni berpakaian bagi masyarakat merupakan identitas dan pembeda antara masyarakat
lokal dengan masyarakat pendatang. Zaman dahulu, kaum pribumi dan masyarakat pendatang
dapat dilihat perbedaannya dengan jelas melalui busana yang digunakan.
“…topi kebon, kakinya dilibet puttess, dengan pake kemeja sacara cowboy….” (Hoay, 1927: 336).
Syihaabul Hudaa, Ahmad Bahtiar, Novi Diah Haryanti, dan Winci Firdaus
51 |
©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
Gaya berpakaian pria pribumi (kaya), Tionghoa, atau kalangan terpelajar disebutkan
dalam kutipan di atas. Gaya berpakaian ini tren tahun 1920-an dan digunakan dalam acara
formal atau kegiatan tertentu. Masyarakat yang menggunakan gaya berpakaian model ini,
biasanya memiliki pengetahuan yang lebih daripada masyarakat lainnya. Identitas budaya yang
muncul dari gaya berpakaian model ini adalah kalangan terpelajar, priyayi, dan tuan tanah yang
dianggap memiliki derajat lebih tinggi.
“Apakah kau tida coba suru sinhe khoamia liatin ia punya peji.” (Hoay, 1927: 346).
Khoamia didefinisikan sebagai ramalan. Kalimat ini menunjukkan adanya kepercayaan
terhadap ramalan yang merupakan kebudayaan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa percaya
dengan ramalan dan shio. Bahkan, di antara mereka ada yang sepenuhnya menggantungkan
harapan dari ramalan yang didapatkan. Dalam teori kebudayaan menurut Koentjaraningrat,
sistem religi dan upacara keagamaan masih menjadi kepercayaan yang dianut masyarakat
Indonesia (Koentjaraningrat, 1985b). Kendati ramalan, shio, dan zodiak yang secara teori
belum dapat dipercayai kebenarannya, tetapi sebagian orang memercayainya. Budaya
memercayai ramalan dan hal gaib ini diwariskan turun temurun di Indonesia. Misalnya saja
malam satu suro yang dianggap malam sakral oleh mereka yang memiliki peliharaan gaib.
“Juragan teh ngaronda? Linggih atuh.” (Hoay, 1927: 363).
Ronda masih menjadi budaya yang dilakukan masyarakat Indonesia, bahkan sampai era
modern. Dalam teori kebudayaan, ronda termasuk ke dalam sistem dan organisasi
kemasyarakatan yang ada di masyarakat. Ronda didefinisikan sebagai suatu kegiatan di malam
hari yang bertujuan menjaga kampung sekitar. Zaman dahulu, ronda dilakukan untuk mencegah
perampok di kampung masuk yang biasanya mencuri rumah warga atau hewan ternak. Bahkan,
di beberapa tempat, ronda memiliki mitologi tersendiri, yaitu menjaga perempuan yang sedang
hamil tua atau hendak melahirkan. Mitosnya, saat perempuan sedang hamil tua atau dalam masa
penantian persalinan makhluk gaib berada di sekitarnya.
“…bikin tumpeng dari nasi begana, rujak-rujakan sedia kembang tuju rupa, telor ayam dan laen-
laen keperluan.”(Hoay, 1927: 369).
Nasi tumpeng dalam budaya masyarakat Indonesia biasanya dibuat menyambut upacara
tertentu. Tradisi tumpengan dalam perspektif sistem religi dan upacara keagamaan merupakan
suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sampai saat ini, tradisi tumpengan masih dilakukan
dalam kebudayaan Jawa dan Sunda. Tradisi Nyadren, dalam kebudayaan Jawa misalnya selalu
Representasi Budaya dalam Novel…..
| 52 ©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
menyajikan tumpengan dengan menu pelengkap seperti ayam, telur, dan makanan lainnya. Jika
dalam suatu kegiatan seperti nyadren atau peringatan upacara tertentu tidak ada nasi tumpeng,
ada anggapan yang berkembang mengenai kurangnya keberkahan yang akan diterima oleh
pemilik acara.
“Rumahnya ada dari bilik model panggung seperti biasanya kebanyakan rumah-rumah di Priangan buat di desa itu rumah ada sampe besar dan indah dicat biru langit dan beratep genteng.” (Hoay, 1927: 372).
Gambar 1. Imah Jolopong dan Joglo
Rumah bilik dengan model panggung dikenal dengan istilah Imah Jolopong (Sunda)
dan Joglo (Jawa). Kedua rumah ini merupakan rumah adat khas daerahnya masing-masing.
Sisinya terbuat dari bilik, bagian atasnya menggunakan genting yang terbuat dari tanah liat.
Rumah adat termasuk ke dalam kesenian yang dimiliki oleh masyarakat yang dipengaruhi oleh
budaya turun temurun. Struktur bangunannya dibuat seragam mengikuti kebiasaan yang ada
sehingga terlihat kekompakan dalam membangun suatu desa. Tradisi membangun rumah di
daerah yang dahulu menjadi ciri khas suatu daerah, kini berkembang di wilayah perkotaan.
Rumah adat tertentu memberikan citra yang berbeda untuk pemiliknya. Selain itu, keunikan ini
memberikan konsep seni yang tinggi di lingkungan masyarakat multikultural.
“Di samping rumah ada mengalir satu solokan aer sawah yang jato ka satu empangan….” (Hoay, 1927: 372).
Memelihara ikan bagi masyarakat Sunda yang tinggal di dekat sumber air
merupakancara terbaik mengoptimalkan hunian. Ikan menjadi lebih sehat di air yang mengalir
dan mudah dalam mendapatkan makanan. Dalam unsur universal budaya, memelihara ikan
merupakan sistem teknologi dan peralatan. Masyarakat membuat jalur air yang mengalir dari
pegunungan, kemudian ditambahkan pipa yang masuk ke dalam rumah masyarakat. Dengan
adanya air dari gunung, mereka tidak perlu khawatir kekurangan air bersih.
“Di sablah blakang ada kaliatan satu lumbung padi dan dua kendang buat kambing dan domba.” (Hoay, 1927: 373).
Syihaabul Hudaa, Ahmad Bahtiar, Novi Diah Haryanti, dan Winci Firdaus
53 |
©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
Memiliki lumbung padi dan kandang kambing/domba yang terletak di sebelah atau di
sekitar rumah merupakan tradisi budaya masyarakat Jawa. Di Jawa khususnya Jawa Tengah,
Jawa Timur, beternak dan menyimpan hasil panen berupa padi di samping rumah sudah menjadi
budaya yang diturunkan secara turun-temurun. Dalam tradisi masyarakat Jawa, memelihara
hewan ternak di depan rumah dianggap kurang baik. Oleh karena itu, kebanyakan dari
masyarakat yang memiliki hewan ternak biasanya memelihara hewan ternak mereka di sebelah
rumah atau pun di belakang rumah.
“…silahken itu ‘Juragan Tanah’ dan ‘Juragan Istri’ naek di atas tepas dan duduki di korsi, sedeng si tuan rumah bersila di atas tiker.” (Hoay, 1927: 373.
Dalam budaya masyarakat Jawa/Sunda dikenal adanya perbedaan status sosial.Kutipan
di atas menunjukkan bahwa pemilik rumah sudah biasa menyediakan tempat yang lebih tinggi
kepada orang yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi. Walaupun orang tersebut merupakan
tamu, tetapi memiliki derajat yang dianggap lebih tinggi, pemilik rumah akan duduk di bawah
sambil bersila. Sampai saat ini, budaya seperti ini masih terjadi di masyarakat. Misalnya saja
ketika ada kunjungan dari orang yang dianggap penting, seperti: tokoh masyarakat, ulama, atau
pun pemiliki tanah, maka tuan rumah yang dikunjungi akan menyilakan tamunya duduk di atas.
Sebaliknya, pemilik rumah akan duduk di bawah sambil menatap ke bawah sebagai bentuk
tingkatan yang berbeda.
“…Rosminah sekarang ada berdandan rapih, pake baju batik puti dengan kembang borduur puti sabagi yang banyak dipake para prampuan Tionghoa, dengen sarung “Tiga Nagri”….” (Hoay, 1927: 374).
Gaya berpakaian Roos merupakan budaya masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia
tahun 1900-an. Selain digunakan perempuan Tionghoa, gaya berpakaian menggunakan batik
dengan kembang, di bawahnya menggunakan sarung juga banyak dipakai perempuan asing
(Eropa) yang ada di Indonesia. Sarung Tiga Nagri merupakan sarung batik khas Jawa yang
dibuat dengan motif bunga. Gaya berpakaian ini termasuk ke dalam unsur seni di dalam suatu
kebudayaan. Penggunaan gaya berpakaian menunjukkan identitas penggunanya yang dapat
dikatakan kaum terpandang atau kaum biasa. Selain menunjukkan identitas, gaya berpakaian
dalam era modern menjadi citra budaya suatu bangsa.
“Kenapa begitu? Ia toch sudah cukup umur aken menika. Bukan satu adat kabiasaan dari orang desa aken sekep gadisnya sampai begini besar?” (Hoay, 1927: 374.
Salah satu budaya Sunda yang tersirat di dalam kutipan di atas adalah mengawinkan
Representasi Budaya dalam Novel…..
| 54 ©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
anak perempuan meski masih berusia dini apabila sudah ada yang tertarik meminangnya. Anak
perempuan yang sudah masuk usia gadis tabu dibiarkan tinggal di dalam rumah dan
disembunyikan dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat Sunda menganggap bahwa anak
gadis mereka jika sudah ada yang ingin meminang, maka segera dinikahkan. Biasanya, anak-
anak usia 14—18 tahun sudah dianggap pantas untuk menikah sehingga mereka tidak akan
tinggal bersama orang tuanya lagi. Pandangan ini muncul berdasarkan asas kepercayaan yang
dianut di masyarakat. Mereka yang menikah dan memiliki anak akan bertambah berkah
hidupnya. Selain itu, adanya anak di usia muda membuat mereka terbantu pekerjaannya kelak
saat tua tiba.
“Hamba sesalin kenapa ia pergi ka kburun ibunya sendirian zonder ada perlu apa-apa.” (Hoay, 1927: 377).
Ziarah makam menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Tradisi ziarah kubur masih ada
sampai saat ini, baik dalam masyarakat sukuJawa (nyekar) maupun Sunda (nyekar, kuningan).
Sistem religi dan upacara keagamaan dalam unsur kebudayaan membuat suatu tradisi yang
diwariskan turun-temurun dan tidak dapat dihilangkan. Salah satunya adalah nyekar yang biasa
dilakukan menjelang Ramadan tiba. Biasanya, masyarakat yang mengunjungi makam
membacakan doa dan menaburkan kembang serta air melati. Akan tetapi, perkembangan zaman
mengubah persepsi masyarakat. Sebagian masyarakat modern tidak lagi melakukan tradisi ini
karena mereka menganggap cukup mengirimkan doa kepada arwah yang telah tiada.
“Suara muziek dan gamelan yang dibunyiken aken sambut tetamu-tetamu….” (Hoay, 1927: 408).
Musik gamelan merupakan tradisi budaya masyarakat Jawa dan Sunda. Penggunaan alat
musik ini biasanya digunakan dalam acara tertentu seperti: pernikahan, pewayangan, dan
pementasan tertentu. Sebagai suatu bentuk kesenian, musik dan gamelan menjadi pengiring
tamu. Biasanya penggunaan musik ini dalam era saat ini tidak mengenal acara tertentu. Bahkan,
penggunaan musik ini sering kali dipertunjukkan kepada pemelajar asing (BIPA) yang sedang
mempelajari budaya Indonesia.
Secara keseluruhan hasil temuan penelitian yang sudah dibahas oleh peneliti disajikan
secara konkret melalui diagram di bawah ini:
Syihaabul Hudaa, Ahmad Bahtiar, Novi Diah Haryanti, dan Winci Firdaus
55 |
©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
Gambar 2. Representasi Temuan Budaya
Dari pembahasan yang diuraikan di atas, ditemukan bahwa dalam novel Boenga Roos
dari Tjikembang terdapat nilai budaya Sunda, Jawa, dan Tionghoa di dalamnya. Budaya Sunda
dalam novel ini ditemukan sebanyak 14 kutipan yang diperoleh dari dialog di dalam novel.
Kemudian, budaya Jawa sebanyak 12 kutipan yang diperoleh dari dialog di dalam novel, dan 4
representasi budaya Tionghoa. Angka tersebut kemudian disajikan dalam bentuk diagram
berupa persentase budaya Sunda sebesar 47%, Jawa sebesar 40%, Tionghoa 13% yang di
dalamnya terdapat konsep sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.
Dengan demikian, Kwee Tek Hoay yang merupakan pengarang berlatar belakang Tionghoa
tidak meninggalkan jati dirinya dan tidak juga mengabaikan budaya tempat tinggalnya.
Representasi budaya disampaikan penulis dengan detail melalui teks yang terdapat di dalamnya
secara eksplisitsehingga pembaca dapat memahami pesan budaya yang disampaikan.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dalam novel Boenga Roos dari Tjikembang
ditemukan nilai budaya Sunda, Jawa, dan Tionghoa. Penulisnya yang memiliki latar belakang
Tionghoa memadukan unsur budaya secara ekspresif melalui novel ini. Kultur budaya tempat
penulis tinggal memengaruhi imajinasi penulis dalam menuliskan karyanya. Tokoh-tokoh yang
ada di dalamnya pun merepresentasikan nilai kearifan lokal masyarakat Jawa, Sunda, dan
Tionghoa (berasal dari penulis). Perpaduan ini membuat novel kaya akan kebudayaan Jawa,
Sunda, tetapi tidak menghilangkan identitas penulisnya yang memiliki darah Tionghoa.
Sebagai suatu bahan bacaan sastra, novel Boenga Roos dari Tjikembang memiliki nilai
budaya yang diimplementasikan melalui teks di dalamnya. Pembaca dapat menemukan ada
40% budaya Jawa, 47% budaya Sunda, dan 13% budaya Tionghoa.
47%
40%
13%
Representasi Budaya
Sunda Jawa Tionghoa
Representasi Budaya dalam Novel…..
| 56 ©2021, Jentera, 10 (1), 45—56
DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar, A., Erowati, R., & Haryanti, N. D. (2019). Revolusi dalam Dua Novel Indonesia :
Sebuah Bandingan. Buletin Al-Turas. https://doi.org/10.15408/bat.v25i2.10228
Bahtiar, A., Nuryani, & Hudaa, S. (2019). Khazanah Bahasa: Memaknai Bahasa Indonesia
dengan Baik dan Benar (1st ed.). Bogor: In Media. Retrieved from
http://penerbitinmedia.co.id/search/?q=khazanah bahasa
Barker, C. (2003). Agency and the politics of identity. Cultural Studies: Theory and
Practice(2nd Edition), pp. 233–245.
Emzir. (2017). Metodologi penelitian pendidikan kuantitatif & kualitatif. In Metodologi
penelitian pendidikan kuantitatif & kualitatif.
Hall, S., & Open University. (1997). Representation : cultural representations and signifying
practices. Sage in association with the Open University.
Hidayah;, N., Hermoyo, R. P., & Yarno; (2016). Representasi budaya jawa dan barat dalam
novel rahvayana karya sujiwo tejo. Jurnal STILISTIKA.
Hoay, K. T. (1927). Boenga Roos dari Tjikembang. Hindia-Belanda: Panorama.
Hogarth, H. K. K. (2013). The Korean wave: An Asian reaction to western-dominated
globalization. Perspectives on Global Development and Technology.
https://doi.org/10.1163/15691497-12341247
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (1985a). Javanese culture. Oxford University Press.
Koentjaraningrat, K. (1985b). Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, K. (2004). Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. repository.um-
palembang.ac.id. Retrieved from http://repository.um-palembang.ac.id/id/eprint/8986
Lee, T. H., & Yoo, J. K. (2011). A study on flow experience structures: Enhancement or death,
prospects for the korean wave. Journal of Travel and Tourism Marketing.
https://doi.org/10.1080/10548408.2011.571578
Maspuroh, U. (2015). KAJIAN BANDINGAN STRUKTUR DAN NILAI BUDAYA NOVEL
AMBA DAN NOVEL PERJALANAN SUNYI BISMA DEWABRATA. Riksa
Bahasa: Urnal Bahasa, Sastra, Dan Pembelajarannya.
Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). In PT. Remaja Rosda
Karya.
Ningsih, S. A., Rasyid, Y., & Muliastuti, L. (2018). Analisis Kebutuhan Materi Ajar Membaca
BIPA A1 dengan Pendekatan Deduktif di SD D’Royal Moroco. PEMBELAJAR: Jurnal
Ilmu Pendidikan, Keguruan, Dan Pembelajaran.
https://doi.org/10.26858/pembelajar.v2i2.5974
Ridwan, A. (2016). Komunikasi Antarbudaya Mengubah Persepsi dan Sikap dalam
Meningkatkan Kreatifitas Manusia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Samovar, Larry, Porter, R. E., & Stefani, L. A. (2000). Communication Between Cultures. New
York: Wadsworth Publishing Company.
Sugiyanto, B. A. W. (2021). Hibriditas Budaya Jawa dan Budaya Barat di Museum Keraton
Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Multimedia Dan Komunikasi. Retrieved from
http://ojs.mmtc.ac.id/index.php/jimk/article/view/107
Sugiyono. (2016). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Timomor, Rachmi. (2020). 11 Contoh Rumah Adat di Indonesia dengan Desain Unik.
[https://www.99.co/id/panduan/contoh-rumah-adat]. 99.co.