rehabilitasi sosial terhadap perempuan dalam...
TRANSCRIPT
-
REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PEREMPUAN
DALAM LINGKAR NAPZA DI YAYASAN STIGMA
BINTARO JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Oleh:
Hendri Afriliansyah
1113054100019
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020 M
-
i
ABSTRAK
Hendri Afriliansyah
1113054100019
“REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PEREMPUAN
DALAM LINGKAR NAPZA DI YAYASAN STIGMA
BINTARO, JAKARTA SELATAN”.
Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) banyak
disalahgunakan dan mengakibatkan banyak dampak negatif di
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. dengan proses
rehabilitasi yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan
untuk memungkinkan penyandang masalah kesejahteraan sosial
mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam hidup
bermasyarakat. Dikatakan sebagai proses refungsionalisasi,
karena dalam proses rehabilitasi ini para penyandang masalah
kesejahteraan sosial kehilangan fungsi sosialnya di masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan
bagaimana implementasi dalam proses rehabilitasi sosial terhadap
perempuan dalam lingkar NAPZA di yayasan STIGMA Bintaro
Jakarta Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini memberikan penjelasan mengenai
proses rehabilitasi sosial perempuan korban penyalahgunaan
NAPZA di yayasan STIGMA Jakarta Selatan. Meskipun
perempuan hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan
populasi orang yang menggunakan NAPZA.
Kata Kunci: NAPZA, penyalahgunaan.
-
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillah puji serta syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan hasil
penelitian ini menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Rehabilitasi
Sosial Terhadap Perempuan Dalam Lingkar Napza Di Yayasan
Stigma Bintaro, Jakarta Selatan”. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang amat
banyak kepada berbagai pihak yang telah memberikan
dedikasinya serta membantu penulis dalam bentuk moril maupun
materil untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kepada orang tua penulis, Jumari dan Titin Nurhayati, yang telah
menyelipkan nama anak-anaknya dalam setiap do’a yang telah
dipanjatkan kepada-Nya. Berkat do’a dan ridho-Nya, penulis
mampu menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini.
2. Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D sebagai Dekan, Wakil Dekan Bidang
Akademik. Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman. S.Ag., MSW, Wakil
Dekan Bidang Administrasi Umum Dr. Sihabudin Noor, M.Ag.,
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Drs. Cecep Castrawidjaya,
M.A.
3. Bapak Ahmad Zaky , M.Si, selaku ketua dan Hj. Nunung
Khoiriyah, MA, selaku Sekretaris Program Studi Kesejahteraan
Sosial, Fakultas Dakwah dan ilmu Komunikasi beserta
-
iii
jajarannya. yang secara ikhlas dan sabar senantiasa memberikan
pemahaman, petunjuk dan arahan baik dalam proses penyusunan
skripsi ini, maupun dalam memberikan pemahaman diri kepada
penulis. Dan semoga Allah memberikan Kesehatan dan limpaan
rizki kepada beliau.
4. Kepada dosen pembimbing saya bapak Drs. Helmi Rustandi,
M.Ag yang selalu sabar dan memberikan dukungan dalam
penyusunan skripsi saya.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen beserta staf tata usaha Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu
yang bermanfaat dan sangat bernilai, sehingga penulis mampu
menyelesaikan studi maupun penulisan skripsi.
6. Kepada seluruh pengurus Yayasan Stigma Bintaro, Jakarta
Selatan yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
informasi dalam proses penulisan skripsi, serta seluruh elemen
yang mau direpotkan untuk memberikan data-data serta
dokumentasi untuk kelengkapan penulisan skripsi ini.
7. Kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
KOMFAKDA Cabang Ciputat yang telah mengajarkan dan
memberikan banyak pengalaman dalam kehidupan berdinamika
organisasi sampai kehidupan sehari-hari penulis. Terimakasih
sebesar-besarnya abang, kakak, kolega berjuang, adik.
8. Kepada kawan-kawan sebercandaan Hahahihi 2013, Rumah
Insan Cita HMI, Kosan siapapun itu, Kitakitaajah Madrasah
Aliyah Manaratul Islam 2012, kawan-kawan Fisip USNI
kebayoran Lama, Kawan-kawan DPR, Wapres Bulungan,
Penggiat seni karya apapun itu dan seluruh kolega lain yang tidak
-
iv
disebutkan dan selalu memberikan dukungan, canda tawa,
membuat warna warni kehidupan, serta mengingatkan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Maka dari itu, dengan kerendahan hati dan
ucapan terima kasih, penulis senantiasa menerima kritik dan
saran dari berbagai pihak yang membangun demi mencapai
kesempurnaan.
-
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................. iv
DAFTAR GAMBAR................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................... vii
DAFTAR BAGAN .................................................... viii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................... 2
B. Batasan Masalah .................................................... 5
C. Rumusan Masalah .................................................. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................... 9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................... 10
F. Metode Penelitian ................................................... 12
G.Sistematika Penulisan ............................................. 17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Rehabilitasi ............................................................ 19
B. Jenis Rehabilitasi.................................................... 22
C. NAPZA .................................................................. 29
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Sejarah Yayasan STIGMA ..................................... 34
B. Visi dan Misi .......................................................... 35
C. Maksud dan Tujuan ................................................ 36
D. Struktur Lembaga................................................... 37
G. Pendanaan .............................................................. 38
-
vi
H. Sistem Klien .......................................................... 39
I. Kegiatan Stigma ...................................................... 40
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A.Tahapan Rehabilitasi Sosial .................................... 42
B. Perangkat Rehabilitasi ............................................ 48
C. Proses Rehabilitasi………………………………… 49
BAB V PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Rehabilitasi…………………………. 59
B. Hasil Pelaksanaan Rehabilitasi…………………… 60
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………...….. 61
B. Saran……………………………………………… 62
C. Implikasi………………………………………….. 63
DAFTAR PUSTAKA………………………………. 65
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 informan ..................................................... 16
DAFTAR BAGAN
Bagan 4.1 struktur Yayasan STIGMA………….……. 50
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberitaan terkait penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif,
yang selanjutnya akan disingkat NAPZA, semakin
meningkat mulai dari kalangan bawah hingga atas. Tidak
sedikit dari mereka yang terjerat dalam kasus
penyalahgunaan NAPZA tertangkap dan masuk ke dalam
penjara, padahal seharusnya menurut Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Dari hasil laporantirto.id (Putri, 26 juni 2018 ),
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah “suatu
proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut
diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.”
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan
suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan
pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak
lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Sedangkan
pada pengamalannya justru para pengguna dijatuhi
hukuman penjara, padahal yang mereka butuhkan adalah
-
2
pendampingan dalam rehabilitasi medis maupun sosial
agar terbebas dari adiksi narkotika. Pada
perkembangannya, rehabilitasi terbagi menjadi empat
jenis yaitu: Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Pendidikan,
Rehabilitasi Vokasional dan Rehabilitasi Sosial.
Fungsi rehabilitasi dalam dunia pekerjaan sosial
diartikan sebagai proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan penyandang
masalah kesejahteraan sosial mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dalam hidup bermasyarakat. Dikatakan sebagai
proses refungsionalisasi, karena dalam proses rehabilitasi
ini para penyandang masalah kesejahteraan sosial
kehilangan fungsi sosialnya di masyarakat oleh sebab
masalah yang dihadapinya sehingga mereka kehilangan
fungsi sosialnya.
Rehabilitasi perempuan lebih sulit karena mereka
mudah menyakiti diri ketika sedang sakaw,” terang
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, ketika
mengunjungi Pesantren Rehabilitasi Narkoba Inabah II
Putri Sirnarasa, Ciamis, Jawa Barat, Ahad (26/4).
Maka, diperlukanlah tempat rehabilitasi khusus
pecandu narkoba perempuan dengan teknik dan metode
berbeda. Para mentornya, ujar Mensos, lebih fokus untuk
pendekatan secara psikis.
-
3
“Perempuan perlu tempat dan proses yang khusus
dalam rehabilitasi narkoba, agar mereka lebih mempunyai
masa depan yang lebih baik,” tegasnya. berita
Republika.co.id (2015)
Berikut data statistik beserta data rehabilitasi
perempuan dalam lingkar NAPZA di Yayasan STIGMA
Bintaro Jakarta Selatan: 731 perempuan berusia 18-46
tahun yang secara aktif menyuntikkan NAPZA dalam 12
bulan terakhir, 65% perempuan berusia antara 25-34
tahun, 22% berusia 35 atau lebih dan 14% berusia 24
tahun atau lebih muda. Status pernikahan: 42% berstatus
menikah, 23% memiliki pasangan tetap, 13% lajang, 15%
bercerai, dan 8% janda. Tanggungan: 59% memiliki anak
yang ditanggung dalam rumah tangga atau tanggungan
lain yang beban tanggung jawabnya ada pada mereka.
Tingkat pendidikan tertinggi yang diselesaikan:
18% menyelesaikan pendidikan tinggi (paska sekolah
menengah atas) atau pelatihan kejuruan, 61%
menyelesaikan sekolah menengah umum, 17%
menyelesaikan sekolah menengah pertama, dan 3%
menyelesaikan sekolah dasar. Tempat tinggal: 45%
tinggal dengan orang tua atau kerabat lainnya, 44%
tinggal di tempat kos atau tempat yang disewa lainnya,
11% tinggal di tempat milik mereka sendiri, dan 1%
adalah tuna wisma.
-
4
Pekerjaan: 47% menganggur, 27% bekerja di
sektor informal, 19% memiliki pekerjaan jangka pendek
atau sementara, dan 9% memiliki pekerjaan tetap. Rerata
penghasilan bulanan individu: Rp 4,3 juta (sekitar USD $
330), 56,5% dari perempuan memiliki pendapatan
bulanan di bawah dari rata-rata rata-rata nasional
Indonesia sebesar Rp 3,8 juta (USD $ 280). Sumber
utama dari pendapatan bulanan: 30% tergantung secara
finansial pada pasangan mereka, 18% bergantung pada
keluarga dan kerabat sebagai sumber pendapatan utama
mereka mereka, 37% memperoleh pendapatan mereka
dari pekerjaan tetap/sementara, dan 15% mendapat
sumber utama pendapatan mereka melalui pekerjaan seks
dan transaksi NAPZA (seperti kurir NAPZA, atau dengan
menjual NAPZA).
Oleh karena itu, dalam proses pengembalian
fungsi sosial korban penyalahgunaan NAPZA diperlukan
peran serta dari banyak pihak seperti dari pekerja sosial,
psikiater, psikolog, terapis, keluarga, masyarakat dan
pihak lainnya agar di masa yang akan datang tidak
kembali lagi pada kasus penyalahgunaan NAPZA. Di sisi
lain, para korban penyalahgunaan NAPZA harus
menghilangkan labelling yang berkembang di masyarakat
terhadap dirinya secara berkesinambungan, agar di masa
yang akan datang tidak memunculkan masalah baru
terhadap diri mereka. Contoh masalah yang akan muncul
-
5
jika hal tersebut tidak dihilangkan adalah korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut akan berubah menjadi
pribadi yang tertutup, tidak percaya diri, bahkan yang
terburuk ia akan kembali menyalahgunakan NAPZA
tersebut.
Permasalahan NAPZA merupakan permasalahan
serius yang memerlukan penanganan secara sinergis baik
secara jasmani dan rohani. Untuk itu, jauhkan lingkungan
dari penyalahgunaan NAPZA, lindungi keluarga dan
masyarakat lingkungan sekitar kita dari ancaman
penyalahgunaan NAPZA agar jauh dari keburukan yang
nantinya akan menjadi suatu penyesalan. Dalam Al-Quran
surat Al-Maidah ayat 90-91 menjelaskan sebagai berikut;
ْن َعَمِل الشَّْيَطاِن يَاأَيَُّها الَِّذيَن آَمنُوا إِنََّما اْلَخْمُر َواْلَمْيِسُر َواْْلَنَصاُب َواْْلَْزََلُم ِرْجٌس م ِ
إِنََّما يُِريدُ الشَّْيَطاُن أَن يُوقَِع بَْينَكُمُ اْلعَدَاَوةَ َواْلبَْغَضاَء فِي (90).فَاْجتَنِبُوهُ لَعَلَّكُْم تُْفِلُحوَن
نتَُهوَن ََلةِِۖ فََهْل أَنتُم مُّ ِ َوَعِن الصَّ (91)اْلَخْمِر َواْلَمْيِسِر َويَُصدَّكُْم َعن ِذْكِر َّللاَّ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib
dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah : 90)
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
-
6
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (Q.S. Al-Maidah : 91)
Telah jelas dalam surat Al-quran di atas
mengingatkan kita untuk menjauhi perbuatan yang tidak
bermanfaat untuk diri sendiri, karena sekali saja mencoba
dan terjerumus terlalu dalam maka akan sulit terlepas dari
pengaruh jahat salah satunya adalah masalah
penyalahgunaan NAPZA ini. Maka dari itu, sangat
diperlukan bantuan sebuah wadah untuk bisa menjadi
tempat dalam mengembalikan fungsi sosial korban
penyalahguaan NAPZA dalam hal ini yaitu perempuan
yang menyalahgunaan NAPZA. Peneliti memilih lembaga
dalam tugas akhir ini berkenaan dengan rehabalitiasi
terhadap perempuan dalam lingkar NAPZA di yayasan
STIGMA Jakarta selatan yang berfokus pada rehabilitasi
sosial korban penyalahgunaan NAPZA dengan bantuan
pekerja sosial yang profesional dan telah menempuh jalur
pendidikan ilmu kesejahteraan sosial dalam menangani
kasus-kasus yang berkaitan dengan rehabilitasi sosial
korban penyalahgunaan NAPZA dan orang dengan
HIV/AIDS (ODHA).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik
untuk membahas bagaimana proses rehabilitasi sosial pada
perempuan korban penyalahgunaan NAPZA. Kemudiaan
pada akhirnya hasil dari pelaksanaan rehabilitasi sosial ini
untuk para korban penyalahgunaan NAPZA yaitu, dapat
-
7
diterima kembali oleh masyarakat dan mereka dapat
kembali dalam menjalankan fungsi sosialnya. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk meneliti tentang.
“REHABILITASI SOSIAL TERHADAP
PEREMPUAN DALAM LINGKAR NAPZA DI
YAYASAN STIGMA BINTARO, JAKARTA
SELATAN”.
B. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang diatas dan guna
mempermudah dalam proses penulisan skripsi ini, maka
penulis perlu membatasi masalah agar skripsi ini lebih
terarah. Masalah akan dibatasi pada penilitian ini yaitu
dengan judul “Rehabilitasi sosial terhadap perempuan
dalam lingkar NAPZA di Yayasan STIGMA Bintaro
Jakarta Selatan.”
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah di
jabarkan diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses rehabilitasi sosial terhadap
perempuan dalam lingkar NAPZA di Yayasan
STIGMA Bintaro Jakarta Selatan?
-
8
D. Tujuan Penelitian
Melihat pembatasan dan perumusan masalah
diatas, selanjutnya terdapat pula tujuan dalam sebuah
penelitian. Adapun tujuan dalam penilitian ini yaitu untuk:
1. Mengetahui proses rehabilitasi sosial terhadap
perempuan dalam lingkar NAPZA di Yayasan
STIGMA Bintaro Jakarta Selatan.
2. Mengetahui bagaimana usaha dan tujuan dari program
yang ada di yayasan STIGMA Bintaro Jakarta Selatan
dalam melaksanakan kepedulian terhadap perempuan
dalam lingkar NAPZA melalui proses Rehabilitasi
sosial.
3. Sebagai prasyarat kelulusan dari Universitas.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
diantaranya:
a. Manfaat secara Akademik,
Dapat dijadikan sebagai informasi dan referensi
tentang Rehabilitasi sosial terhadap perempuan
dalam lingkar NAPZA untuk Mahasiswa
Kesejahteraan Sosial Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.
b. Manfaat secara Praktis,
Diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan praktik
pekerjaan sosial bagi mahasiswa atau pekerja
sosial untuk mengetahui proses Rehabilitasi sosial
terhadap perempuan dalam lingkar NAPZA.
-
9
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan tinjauan atas
kepustakaan (literature) yang berkaitan dengan topik
pembahasan penelitian yang dilakukan pada penelitian
skripsi ini. Tinjauan pustaka digunakan sebagai acuan
untuk membantu dan mengetahui dengan jelas penelitian
yang akan dilakukan untuk penelitian skripsi ini. Adapun
tinjauan pustaka yang peneliti gunakan dalam penelitian
skripsi ini yaitu dari referensi beberepa skripsi milik
orang lain.
1. Nama : Roudhottul Firdha
NIM : 1112054100036
Judul :Rehabilitasi Sosial untuk
penyalahguna NAPZA di Yayasan
Karya Kita Tangerang Selatan.
Program Studi : Kesejahteraan Sosial
Fakultas : Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini menjelaskan terkait dengan proses
rehabilitasi sosial di Yayasan Karya Kita melalui
-
10
beberapa fase, mulai dari fase rawat inap sampai
dengan fase rawat jalan. Kegiatan yang dilakukan
selama rawat inap dan rawat jalan tidak jauh berbeda
klien tetap dapat bimbingan konseling individu, terapi
kelompok, mendapatkan kelompok dukungan , dan
kelompok bantu diri, juga dapat kegiatan vokasional.
2. Nama : Taufiq
NIM : 1113052000016
Judul : Peran Rehabilitasi Berbasis
Masyarakat (RBM) Cirebon
Dalam Mengurangi Perilaku
Agresif Residen Korban
Penyalahgunaan NAPZA Melalui
Konseling Keluarga.
Program Studi : Bimbingan Dan Penyuluhan Islam
Fakultas : Ilmu Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif
Hidyatullah Jakarta.
Penelitian ini menjelaskan bahwa proses
konseling keluarga yang dilakukan di lembaga ini ada 3
(tiga) tahap yaitu ; pertama menjalin hubungan baik
antara konselor, residen, dan keluarga. Kedua,
terjadinya eksplorasi kondisi residen, identifikasi
masalah dan penyebabnya serta penetapan alternatif
pemecahan. Ketiga, memberikan kesimpulan dan
-
11
mengevaluasi proses konseling keluarga. Adapun peran
konseling keluarga ada 3 (tiga) yaitu: pertama peran
preventif yang merupakan upaya pencegahan melalui
seminar dan sosialisasi. Kedua, peran kuratif yang
merupakan upaya menolong dan mengobati sesuatu hal
yang telah terjadi. Ketiga, peran represif yang
merupakan upaya menekan atau menahan.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini dilakukan di
YAYASAN STIGMA yang berada di Bintaro, Jakarta
Selatan. Dalam penelitian ini diharapkan untuk
mengetahui dan memahami bagaimana proses
Rehabilitasi terhadap perempuan dalam lingkar
NAPZA di Yayasan STIGMA Bintaro Jakarta Selatan.
Dalam hal ini peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif, dimana dalam metode
pendekatan kualitatif ini berusaha memahami dan
menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah
laku dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti
sendiri ( Usman Dan Akbar, 2003 : 166 ). Sedangkan
menurut Bogdad dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J.
Moleong ( 2001 : 3 ), bahwasanya pendekatan
kualitatif adalah “prosedur” sebuah penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
-
12
2. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis
menggunakan metode deskriptif, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mardalis (2002), bahwa penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan, memaparkan, mencatat,
menganalisa, dan menginterpretasikan kondisi yang
sekarang terjadi atau ada.
Berdasarkan pemaknaan diatas, maka dalam
penelitian ini penulis berusaha untuk menggambarkan
dan menganalisis terkait dengan implementasi nilai-
nilai pekerja sosial dalam proses rehabilitasi sosial
terhadap perempuan dalam lingkar NAPZA di
Yayasan STIGMA Bintaro Jakarta Selatan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam menemukan data data yang absah
secara objektif, maka dalam penelitian ini penulis
menggunakan teknik pengumpulan data dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan
keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra
mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit.
Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang
untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
-
13
kerja panca indra mata serta dibantu dengan panca
indra lainnya.( BurhanBungin, 2011 : 118 ).
Observasi dilakukan dengan memperoleh dan
mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan
langsung ke lapangan terhadap kegiatan atau aktifitas
suatu lembaga. Penelitian dilakukan dengan cara
mengumpulkan data-data di lapangan dan juga data-
data yang sudah tersedia di lembaga.
b. Wawancara
Wawancara mendalam secara umum adalah
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara
dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang
relatif lama.( BurhanBungin, 2011 : 118 ).
Wawancara dilakukan dengan tanya jawab
secara lisan antara peneliti dengan objek penelitian
secara langsung. Dalam hal ini peneliti melakukan
wawancara dengan Direktur Umum, Kepala Bagian
Rehabilitasi , Pekerja Sosial dan seorang Klien.
c. Studi Dokumentasi
Studi Dokumentasi adalah salah satu metode
pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi
penelitian sosial. Pada intinya studi dokumentasi
-
14
adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis.( BurhanBungin, 2011 : 118 ).
Peneliti mengumpulkan, membaca dan
mempelajari berbagai bentuk data, baik data yang
tersimpan dan tertulis, atau dokumentasi-dokumentasi
yang sudah di publikasikan di Yayasan
STIGMABintaro Jakarta Selatan.
4. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai pada januari
sampai desember 2019. Adapun tempat penelitian ini
berlangsung adalah di Yayasan STIGMA yang
beralamat di Jl. Anggrek VI No.5, Rt 08/ RW 012,
Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 12330.
5. Subjek dan Informan
Sesuai dengan karakteristik penelitian
kualitatif, informan dipilih secara sengaja, dan
berdasarkan kebutuhan dari peneliti. Subjek penelitian
ini adalah Rehabilitasi sosial terhadap perempuan
dalam lingkar NAPZA melalui program yang ada di
Yayasan STIGMA Bintaro Jakarta Selatan.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini
adalah Pekerja Sosial yang merupakan pihak utama
yang peneliti teliti, selain itu ada juga Direktur Umum
Yayasan Stigma yang merupakan penentu kebijakan
dalam yayasan dan Kepala Bidang Rehabilitasi yang
-
15
merupakan penanggung jawab atas semua kegiatan
rehabilitasi. Secara rinci informan yang akan menjadi
sumber data adalah sebagai berikut:
a. Direktur Umum Yayasan STIGMA.
1) Suwanto.
b. Kepala Bagian Rehabilitasi.
1) Sugeng
c. Pekerja Sosial
1) “A” . Hasil rekomendasi dari Bapak Sugeng
karena beliau menilai “I” sangat mengerti akan
tugas dan fungsi pekerja sosial.
d. 1) Klien “I”, hasil rekomendasi dari Bapak
Sugeng karena beliau menilai “I” merupakan
klien yang sangat kooperatif dan dapat
diwawancara sebagai sumber data.
Tabel. 1.1
Data Informan
Informan Jumlah
Direktur Umum Yayasan STIGMA 1 Orang
Kepala Bagian Rehabilitasi Sosial 1 Orang
Pekerja Sosial 1 Orang
Klien 1 Orang
6. Pedoman Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu
pada Teknik Penulisan Karya Ilmiah (Makalah,
-
16
Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang terdapat pada
Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta 2018-2019.
7. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi
ini, maka penulisan skripsi akan dibagi menjadi
beberapa bab yang didalamnya terdapat sub-bab. Agar
lebih sistematis dan terarah, akan dibagi sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang
masalah yang menjadi dasar dalam penulisan skripsi
ini. Selanjutnya terdapat pembatasan dan perumusan
masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Kajian Pustaka, dimana didalamnya
membahas tentang proses rehabilitasi NAPZA,
khususnya terkait dengan proses rehabilitasi terhadap
perempuan dalam lingkar NAPZA.
BAB III Profil Yayasan STIGMA, terdiri dari
sejarah, struktur lembaga, program kerja, dan
sebagainya .
BAB IV Temuan dan Analisis, dalam bab ini
diuraikan tentang proses rehabilitasi terhadap
perempuan dalam lingkar NAPZA di Yayasan
STIGMA Bintaro Jakarta Selatan.
-
17
BAB V pembahasan, pada bab ini, peneliti
akan menuangkan uraian yang mengaitkan latar
belakang, teori, dan rumusan teori dari penelitian
program di Yayasan STIGMA Bintaro Jakarta
Selatan.
BAB VI Kesimpulan, Implikasi dan Saran,
dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan terhadap
hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya untuk
memuat masukan atau saran-saran yang membangun.
-
18
BAB II
A. Rehabilitasi
1. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah sebuah kegiatan ataupun
proses untuk membantu para penderita yang
mempunyai penyakit serius atau cacat yang
memerlukan pengobatan medis untuk mencapai
kemampuan fisik psikologis, dan sosial yang
maksimal.
Menurut Peraturan Kementerian Sosial Nomor 26
Tahun 2018 tentang Rehabilitasi Sosial dan
Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan
dengan Hukum pada Bab I Pasal 1 yaitu Rehabilitasi
Sosial adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan seseorang
mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat. (Permensos No. 26
Tahun 2018)
Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu baik fisik maupun, mental,
maupun sosial agar mantan pecandu narkotika dapat
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat.(A.Kadarmata 2010, 43).
Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009,
pasal 1 poin 17 menyatakan bahwa proses rehabilitasi
sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara
terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas
-
19
pecandu narkotika dapat kembali melaksakan fungsi
sosialnya dalam kehidupan masyarakat.(Wresniworo
2010, 105)
Upaya rehabilitasi sosial untuk mantan pecandu
narkoba dilakuka untuk mengembalikan fungsi sosial
seseorang yang berubah atau rusak akibat dampak
buruk narkoba. Program rehabilitasi meliputi
pengobatan fisik dan psikis dari mantan pecandu
tersebut. Pada pengobatan fisik mantan pecandu akan
diberi obat-obatan medis untuk mengurangi dampak
buruk dari narkoba. Serta akan biasakan pola hidup
sehat untuk mengembalikan kesehatannya. Secara
psikis mantan pecandu narkoba akan ditanamkan
harapan dan kemauan yang kuat untuk terlepas dari
jerat narkoba.
Pada dasarnya rehabilitasi merupakan upaya
mengembalikan fungsi sosial seseorang dengan
menanamkan harapan yang kuat. Rehabilitasi sosial
juga meripakan upaya peningkatan diri, baik terhadap
keluarga, komunitas maupun pekerjaannya. Dengan
demikian, rehabilitasi sosial merupakan pelayanan
sosial yang utuh dan terpadu, agar seseorang dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam
hidup bermasyarakat.
Perawatan pemulihan baik dalam tahap intensif
maupun non-intensif memiliki beberapa komponen
-
20
sebagai berikut: (Komisi Penanggulangan AIDS
2013, 19-40).
1. Skrining
Adalah pemeriksaan kondisi fisik dan psikis.
Skrining bertujuan untuk memeriksa sejauh mana
mantan pecandu narkoba memenuhi kriteria
inklusi.
2. Assesmen
Adalah proses yang dimulai sejak klien masuk
dalam program hingga selesai dalam program.
Berjuan memperoleh gambaran masalah klien dan
menjadi landasan untuk membangun rencana
terapi bersama klien. Proses ini membutuhkan
kerja sama yang baik antara konselor dan klien.
Beberapa dari assesmen adalah peningkatan
kesadaran klien, identifikasi, mendorong ke
perubahan yang positif.
3. Penyusunan rencana terapi
Assesmen yang baik merupakan dasar rencana
terapi. Perencanaan terapi merupakan kerangka
untuk pelaksanaan terapi dan layanan berdasarkan
kebutuha klien yang diketahui dari proses
assesmen. Perencanaan terapi dilakukan oleh
klien, konselor, dan kadang keluarga klien.
Perencanaan terapi buasanya bersifat fleksibel,
individual, realistis dengan tujuan yang dicapai.
-
21
4. Konseling
Pada dasarnya konseling adalah upaya
pemberdayaan,dimana konselor bertugas untuk
memfasilitasi klien untuk memahami dirinya dan
masalahnya, bersama klien menyusun rencana
untuk perubahan dan memecahkan masalah, serta
mendukung klien dalam perubahannya. Sasaran
utama konseling adalah membenarkan cara
pandang klien yang keliru tentang adiksi narkoba,
konsep diri, pola hubungan dengan tokoh otoritas
(orang tua), pola hubungan yang sehat dengan
pasangan (jika mempunyai pasangan). Untuk dapat
mecapai sasaran tersebut seorang konselor
memerlukan: teori, riset, dan literatur berdasarkan
bukti; pedekatan terhadap klien; mengoptimalkan
peran konselor. Selain itu konselor juga
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
seperti: komunikasi non-verbal yang mencakup
sikap, kontak mata, gestur, dan lainnya;
mendengarkan dengan aktif masalah klien dan
menyimpulkannya; menanyakan pertanyaan
terbuka dan probing; menunjukan empati.
2. Jenis Rehabilitasi
Dalam praktiknya, rehabilitasi mempertemukan
berbagai disiplin ilmu mulai dari medis, psikologis,
sosial, bahkan pendidikan multidisipliner yang
menghasilkan proses rehabilitasi yang saling terkait
-
22
dan mendukung upaya pengembalian fungsi sosial,
sehingga individu dapat menjalankan perannya sesuai
dengan tuntutan lingkungannya. Pada
perkembangannya, rehabilitasi terbagi menjadi empat
jenis rehabilitasi sebagai berikut:
a. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis merupakan upaya
menyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien
melalui layanan-layanan kesehatan, baik itu dilakukan
oleh seorang dokter dalam praktek pribadinyamaupun
di rumah sakit umum. Biasanya di rumah sakit umum
dilengkapi dengan layanan psikologis yang dilakukan
oleh psikolog, dan layanan sosial atau sosial medis
yang dilakukan oleh pekerja sosial medis. Pada setting
rumah sakit yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi
medis, layanan psikologis dan pekerja sosial
merupakan layanan penunjang.
b. Rehabilitasi Pendidikan
Rehabilitasi pendidikan merupakan upaya
pengembangan potensi intelektual klien penyandang
cacat yang dilaksanakan pada setting sekolah luar
biasa (SLB), misalnya di indonesia SLB A untuk
penyandang tuna netra, SLB B untuk penyandang tuna
rungu dan tuna wicara, SLB C untuk penyandang tuna
laras, dan SLB D untuk penyandang cacat tubuh.
Profesi yang dominan pada setting sekolah luar biasa
ini adalah guru sekolah luar biasa, adapun profesi
-
23
dokter, psikolog, dan pekerja sosial adalah sebagai
profesi penunjang.
c. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional merupakan upaya
memberikan bekal keterampilan kerja bagi klien,
sehingga dapat mandiri secara ekonomi di masyarakat,
pada setting ini, diperlukan tenaga-tenaga yang
menguasai keterampilan kekaryaan khusus. Pekerja
sosial pada setiing ini, diharapkan menguasai
keterampilan kekaryaantersebut disamping
keterampilan dan keahliannya dibidang psikososial.
d. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang
bertujuan untuk mengintegrasikan seseorang yang
mengalami masalah sosial ke dalam kehidupan
masyarakat dimana dia berada. Pengintegrasian
tersebut dilakukan melalui upaya peningkatan
penyesuaian diri, baik terhadap keluarga, komunitas
maupun pekerjaannya. Dengan demikian, rehabilitasi
sosial merupakan pelayanan sosial yang utuh dan
terpadu, agar seseorang dapat melaksanakan fungsi
sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat.
Pada jenis rehabilitasi sosial ini, profesi pekerja sosial
memegang peran utama. Profesi-profesi lain berperan
sesuai dengan kebutuhan yaitu sebagai penunjang.
Rehabilitasi sosial merupakan suatu upaya yang
dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan
-
24
kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melakukan fungsi sosialnya kembali
secara wajar. Rehabilitasi sosial dilaksanakan secara
persuasif, motivatif, dan kohersif baik dalam keluarga,
masyarakat maupun panti sosial. Dalam
pelaksanaannya, rehabilitasi sosial diberikan pada para
penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam
bentuk; pemberian motivasi dan diagnosis
psikososial,perawatan dan pengasuhan, pelatihan
vokasional dan pembinaan, bimbingan mental spiritual,
bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling
psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan
asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan
lanjut, dan rujukan.
Rehabilitasi sosial dapat dilakukan dalam lembaga
seperti panti sosial maupun diluar lembaga (luar
panti/berbasis masyarakat). Sasaran rehabilitasi sosial
adalah mereka yang mengalami hambatan dalam
melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik seperti
para penyandang cacat, anak nakal, anak bermasalah
sosial (anak terlantar, anak putus sekolah, anak jalanan,
dan anak berhadapan dengan hukum), korban
penyalahgunaan narkotika, wanita tuna susila (WTS),
serta penderita HIV/AIDS atau ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS).
Proses rehabilitasi sosial terutama dalam panti
harus melalui pendaftaran (registrasi), kontrak layanan
-
25
(intake), pengungkapan dan pemahaman masalah
(assesment), menyusun rencana pemecahan masalah
(planning), pemecahan masalah (intervensi), evaluasi,
terminasi, dan pembinaan lanjut. Rehabilitasi sosial di
dalam panti tersebut menggunakan pendekatan praktik
pekerjaan sosial.
Pelayanan rehabilitasi sosial dalam pelayanan
kesejahteraan sosial memiliki peranan yang cukup
penting, karena proses rehabilitasi sosial bertujuan
untuk memulihkan kemampuan-kemampuan seseorang
sehingga dapat kembali berfungsi sosial secara optimal
dan dapat memberikan kontribusi yang besar dan
cukup berarti dalam mewujudkan pembangunan sosial.
Tujuan rehabilitasi sosial itu sendiri yaitu untuk
memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta
fungsi sosial seseorang sehingga dapat hidup, tumbuh,
dan berkembang secara wajar di masyarakat serta
menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif,
dan berkualitas, berakhlak mulia serta menghilangkan
label (stigma) negatif masyarakat terhadap seseorang
yang menghambat tumbuh kembang untuk
berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat.
Fungsi rehabilitasi dalam dunia pekerjaan sosial
diartikan sebagai proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan penyandang
masalah kesejahteraan sosial mampu melakanakan
fungsi sosialnya dalam hidup bermasyarakat.
-
26
Dikatakan sebagai proses refungsionalisasi, karena
dalam proses rehabilitasi ini para penyandang masalah
kesejahteraan sosial kehilangan fungsi sosialnya di
masyarakat oleh sebab masalah yang dihadapinya
sehingga mereka kehilangan fungsi sosialnya.
3. Perangkat Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan kepada
kondisi yang semula, agar dapat mencapai tujuan
tersebut, rehabilitasi memerlukan serangkaian
perangkat sebagai penunjang berlangsungnya proses
rehabilitasi yang integratif dan komprehensif.
Perangkat tersebut meliputi sarana dan prasarana yang
menunjang proses rehabilitasi, yaitu:
a. Program Rehabilitasi
Program rehabilitasi mencakup pelaksanaan
prosedur rehabilitasi yang terencana, teroganisir, dan
sistematis. Umumnya program rehabilitasi menjadi
bagian dan sebuah kegiatan organisasional lembaga,
baik lembaga yang dikelola pemerintah maupun
lembaga non pemerintah. Jangkauan program dapat
meliputi lingkup lokal, regional, bahkan nasional.
Keterkaitan dan kerjasama antar lembaga-lembaga
menyelenggarakan program rehabilitasi merupakan
hal penting mencapai tujuan rehabilitasi itu sendiri.
Dimana tujuan dan fokus rehabilitasi akan tergantung
pada kebijakan lembaga dan dapat bervariasi pada
lembaga lainnya. Seperti pada lembaga yang
-
27
menyelenggarakan program rehabilitasi bagi pecandu
narkotika yang mengkhususkan pada program
rehabilitasinya saja.
b. Pelayanan
Pelayanan dalam proses rehabilitasi meliputi
aktivitas-aktivitas khusus yang dapat memberikan
manfaat dan sesuai dengan kebutuhan klien.
penyelenggaraan pelayanan terhadap klien
mengintegrasikan berbagai pendekatan, disiplin ilmu
dan tenaga-tenaga profesional untuk mencapai tujuan
dari proses rehabilitasi tersebut.
c. Sumber Daya Manusia (SDM)
Proses rehabilitasi tidak mungkin berjalan tanpa
adanya sumber daya manusia sebagai pelaksana
proses tersebut. Pelaksana rehabilitasi melibatkan
tenaga-tenaga profesional dari berbagai latar belakang
pendidikan dan keterampilan-keterampilan khusus,
seperti dokter, pekerja sosial, psikolog, konselor,
terapis, tenaga pendidikan, pengajar vokasional, dan
lain sebagainya. Sumber daya manusia memegang
peranan utama dalam pelaksanaan rehabilitasi.
d. Fasilitas Penunjang Rehabilitasi
Fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan
rehabilitasi meliputi fasilitas tempat sebagai wadah
pelaksanaan rehabilitasi, seperti Instalasi Rehabilitasi
Medis (IRM) pada rumah sakit, panti sosial binaan
pemerintah, dan lembaga sosial yang
-
28
menyelenggarakan program dan layanan rehabilitasi.
Selain tempat pelaksanaan, fasilitas penunjang lainnya
adalah peralatan rehabilitasi. Jenis dan jumlah
peralatan tersebut tergantung pada program, dan
layanan rehabilitasi yang diselenggarakan.
B. NAPZA
1. Pengertian Narkoba
Narkoba (Kamus BNN, 2016) adalah singkatan
dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif
lainnya. Ada tiga unsur yang tergolong sebagai
narkoba yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan
adiktif lainnya.
a. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Contoh narkotika ini
adalah heroin, kokain, dan ganja.
b. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah
maupun sintetis, bukan narkotika, berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitaas mental perilaku. Perubahan khas ini
-
29
misalnya bersifat bersemangat, gembira, berkhayal
tinggi, percaya diri besar, dan mempunyai energi tak
terbatas. Dampak dari pemakaian zat ini adalah
timbulnya kecenderungan orang untuk bergerak atau
berjoget lebih lama. Sebagai contoh adalah ekstasi dan
shabu-shabu (A.Kadarmanta, 2010 : 41).
c. Bahan Adiktif Lain
Bahan adiktif lain adalah bahan lain yang tak
masuk dalam kategori narkotika maupun psikotropika.
Penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan.
Unsur paling penting pada zat adiktif ini adalah karena
zat tersebut membuat pemakainya ketergantungan.
Contoh zat adiktif ini adalah minuman beralkohol,
nikotin pada tembakau, cafein pada kopi dan jamur
tahi sapi. Sering juga dikenal dengan NAPZA
(Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya).(A.Kadarmanta, 2010: 43)
2. Jenis Narkoba
a. Candu
Candu adalah zat yang dihasilkan dari
tanaman berbunga papaver somniverum L, yang
berisi berbagai macam zat kimia aktif. Beberapa
diantaranya mempunyai khasiat untuk pengobatan,
tetapi sebagian lagi mengandung zat yang
mempunyai daya kecanduan sangat besar,
sehingga merugikan kesehatan. Narkoba yang
-
30
termasuk dalam golongan ini merupakan produk
olahan dari zat opiad itu. Misalnya heroin, kokain,
morfin, dll. Jika penggunaan zat opiad itu tidak
dilakukan dibawah pengawasan ketat oleh tenaga
medis, maka dikategorikan sebagai bentuk
penyalahgunaan.( A.Kadamanta, 2010 : 43 )
b. Heroin
Heroin adalah zat yang dihasilkan oleh
pohon candu, yang mempunyai daya adiktif
sebesar 30 kali candu kasar. Heroin merupakan
narkoba jenis opiad yang paling banyak
disalahgunakan. Nama lain heroin adalah putaw,
bahasa slang untuk putih, karena heroin berwarna
putih kecoklatan. Putaw memberi efek senang
sesaat karena zat aktif putaw sebenarnya secara
alamiah juga ada di dalam otak manusia. Zat aktif
itu mempengaruhi paling sedikit tiga reseptor
(mulut kecil) yang sangat penting dalam mencapai
kesenangan. Zat-zat tersebut dikenal dengan nama
enkaplalin dan endomorphine. Ketika seseorang
berhenti menggunakan putaw, maka kemampuan
alamiah zat untuk mencapai kesenangan akan
terhenti. Akibatnya, untuk mendapat kesenangan,
orang tersebut selalu tergantung sumber dari luar
yaitu putaw tersebut.
c. Depresan
-
31
Depresan adalah zat yang menekan
susunan syaraf pusat dengan akibat rasa tenang
dan mengantuk. Jadi fungsi depresan berlawanan
dengan stimulant. Di dalam depresan ini termasuk
kelompok obat penenang dan minuman
beralkohol.
Jenis penenang atau obat tidur yang
termasuk psikotropika antara lain obat penenang
dan obat tidur. Dua obat itu banyak digunakan
dokter untuk mengobati berbagai gejala. Tetapi
karena ada potensi penyalahgunaan, maka
penggunaannya diatur dalam undang-undang.
Obat jenis ini yang banyak disalahgunakan adalah
kelompok benzodiazepine seperti rohipnol,
megadon, dan sebagainya.
d. Stimulan
Stimulan adalah zat yang bila digunakan
menimbulkan stimulus atau rangsangan yang
bersifat bersemangat, gembira, berkhayal tinggi,
percaya diri besar, dan mempunyai energi tak
terbatas. Contoh narkoba yang masuk kelompok
ini adalah shabu-shabu, ekstasi, dll.
e. Pil Ekstasi
Pil ekstasi berbentuk tablet dengan
berbagai bentuk, nama dan logo. Cara
pembuatannya di laboratorium gelap sehingga
tergantung peralatan yang dipakai. Pil ekstasi
-
32
dikonsumsi dengan cara ditelan. Tidak lama
setelah menggunakan stimulan terjadi perubahan
persepsi sehingga hati jadi gembira berlebihan,
keinginan bergerak dalam musik, gerakan
berlebih, dan lainnya. Efek ini dapat berlangsung
selama beberapa jam.
f. Inhalan
Inhalan adalah zat yang mudah menguap
seperti campuran cat, lem, dan sejenisnya.
Penyalahgunaan inhalan adalah dengan cara
menghirup uap dari zat-zat tersebut, dikenal
dengan istilah “ngelem”.
-
33
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Sejarah Yayasan STIGMA
Yayasan STIGMA adalah sebuah kelompok
independen yang sebagian besar pengurusnya adalah
mantan pecandu, ODHA (orang dengan HIV AIDS), baik
itu yang sudah berhenti (recovering addict), IDU’s
(Pengguna jarum suntik– current user), methadone
treatment dan dibantu oleh relawan dari berbagai
kalangan seperti Mahasiswa, Siswa SMA, Psikolog,
Psikiater, Dokter, Konsultan, Ahli Hukum dll.
Berdiri pada Juni 2001, awalnya dari sebuah
kelompok dukungan kecil yang beranggotakan pecandu
yang sedang menjalani masa pemulihan di RSKO (Rumah
Sakit Ketergantungan Obat) yang pada saat itu sudah
selesai detoksifikasi. Yayasan STIGMA mengadakan
diskusi ringan, support group, dll. Kegiatan berupa
diskusi, sesi, berbagi harapan, dan dukungan, dll.
Kegiatan ini berhasil dilakukan berkat ide dan fasilitas
Riza Sarasvita Pramudyo dan Isrizal Hasan serta
didukung oleh RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan
Obat). Pada akhirnya disepakat untuk membentuk sebuah
kelompok independen yang bernama STIGMA dan
menjadi sah secara hukum menjadi sebuah lembaga pada
bulan September tahun 2004.
-
34
Nama STIGMA muncul dipilih sebagai nama
kelompok independen tersebut karena para pecandu
dengan segala label yang menempel di diri pecandu
narkoba secara abstrak dan berkonotasi negatif,
berkeinginan untuk mengubah stigma masyarakat kepada
pecandu. Tidak selamanya pecandu akan terus “berwarna”
hitam. Para mantan pecandu dan pecandu, berhak untuk
mendapatkan persamaan kesempatan, dukungan dan tidak
melulu stigma itu menjadi penghalang bagi kami untuk
terus melangkah maju.
Yayasan STIGMA telah menghubungi 1056
pengguna narkoba jarum suntik di daerah Jakarta Selatan
dan Jakarta Barat saja sejak Oktober 2004 sampai 13
kecamatan, 68 kabupaten, 2 polisi resort, 10 polisi sektor,
64 puskesmas, Komisi Penanggulangan AIDS Jakarta
Selatan, Komisi Penaggulangan AIDS Nasional, Klinik
Metadon, Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Badan
Narkotika Provinsi, dan lain lain. stigmafoundation.com
Yayasan STIGMA kini berlokasi di di jalan Anggrek
VI No. 5, RT.8/12, Bintaro Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
B. Visi dan Misi
Visi
Komunitas pecandu yang produktif dan berdaya serta
menurunnya prevalensi HIV/AIDS dikalangan pecandu.
Misi
- Melakukan upaya-upaya pencegahan HIV/AIDS di
komunitas pecandu.
-
35
- Memberikan dukungan kepada pecandu HIV + dan
ODHA.
- Melakukan upaya-upaya pemberdayaan terhadap
pecandu.
- Menanamkan nilai-nilai positif kepada pecandu.
C. Maksud dan Tujuan
- Memberdayakan teman-teman Recovering Addict
guna mendapatkan persamaan kesempatan.
- Mengubah stigma dan diskriminasi dikalangan ODHA
pecandu.
- Mengumpulkan informasi terbaru mengenai gangguan
yang berhubungan dengan zat dan HIV/AIDS.
- Saling bertukar ide dan pengalaman diantara teman-
teman sebaya.
- Mengembangkan persahabatan atau hubungan
diantara teman-teman sesama pecandu.
- Memberikan dukungan pada teman-teman pecandu
dan berpartisipasi di dalam kegiatan yang diadakan
dengan harapan mampu membawa pada kehidupan
yang lebih baik.
- Membantu mengubah pandangan hidup pecandu
terhadap masalah adiksinya.
- Memberikan informasi guna mencegah penyebaran
HIV/AIDS dikalangan IDU’s.
-
36
D. Struktur Lembaga
Badan Pengurus Harian
Pembina : Inang Winarso, Bongky
Ketua : Suwanto
Sekretaris : Herru Pribadi
Bendahara : Irwansyah
Pembina
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Penjangkau Lapangan Konselor
-
37
E. Pendanaan
Dalam menjalankan kegiatan dan program yang
ada, tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Yayasan STIGMA merupakan suatu lembaga independen
yang tidak memiliki sumber dana yang pasti. Mereka
bergantung pada donatur-donatur yang telah
menandatangani kontrak kerjasama dengan Yayasan
STIGMA. Sejak lembaga ini berdiri, banyak sekali
donatur-donatur dari lembaga lain baik dalam maupun
luar negeri yang mendanai berjalannya Yayasan
STIGMA. Donasi yang diterima tersebut tidak hanya
berbentuk uang namun juga berbentuk barang atau hal
lain. Diantara sekian banyak donatur yang mendanai
berjalannya lembaga ini, berikut beberapa donatur tetap
semenjak tahun 2004 hingga sekarang:
- Kementerian Sosial Republik Indonesia
- KPAN
- USAID (Amerika)
- AUSID (Australia)
- HIVOS (Belanda)
- Global Fund
- OSF
- Dll
F. Sistem Klien
Yayasan STIGMA sendiri bergerak dalam
rehabilitasi dan resosialisasi pecandu narkoba dan ODHA
(Orang dengan HIV/AIDS). Sebagai lembaga rehabilitasi,
-
38
tentu saja memerlukan klien untuk ditangani. Oleh sebab
itu, berikut adalah beberapa cara dalam mendapatkan
klien untuk ditangani.
1. Pecandu/ODHA yang datang sendiri dengan
kesadaran sendiri ingin segera di rehabilitasi di
STIGMA.
2. Pecandu/ODHA yang datang dan di antar oleh
keluarga/sanak saudara agar segera di
rehabilitasi di STIGMA.
3. Pihak Kepolisian (bekerja sama dengan
polsek/polres setempat), membawa pecandu
yang tertangkap tangan menyalahgunakan
narkoba dan dibawa agar segera mendapatkan
rehabilitasi.
Dalam proses rehabilitasi, klien dapat menjalani
rawat inap selama 6 bulan di lembaga dan mengikuti
seluruh program yang telah disediakan dan dapat juga
menjalani rawat jalan yang tidak harus berada di lembaga
namun harus selalu melakukan kontrol 1 minggu sekali.
G. Pekerja Sosial
Sebagai sebuah lembaga rehabilitasi, sudah
semestinya memerlukan bantuan pekerja sosial dalam
menangani klien yang sedang di rehabilitasi. Di lembaga
ini pekerja sosial secara khusus menangani klien yang
menjalani rawat inap selama 6 bulan dan pekerja sosial
yang berada di lembaga ini tidak tetap namun bersifat
kontrak. Dan untuk mendapatkan seorang atau lebih
-
39
pekerja sosial, lembaga ini mengajukan surat permohonan
kepada Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan
melampirkan SK Kemensos.
Saat peneliti melakukan penelitian, Pekerja Sosial
yang bekerja di Yayasan STIGMA hanya tersisa 2 orang
saja, karena permohonan pekerja sosial yang diajukan
oleh yayasan kepada KEMENSOS RI belum
mendapatkan jawaban.
H. Kegiatan STIGMA
1. Hotline Service seputar Narkoba, dunia adiksi dan
HIV/AIDS setiap Senin-Jum’at jam 11.00 - 16.00
WIB.
2. Kelompok Dukungan untuk Pecandu, Pecandu yang
HIV+, Perempuan Pecandu dan Pasangan Pecandu.
3. Outreach (penjangkauan ke pecandu jarum suntik).
4. NSEP (pertukaran jarum suntik)
5. Sosialisasi program STIGMA ke Stakeholder.
6. Distribusi media KIE (adiksi, HIV/AIDS, VCT,
Hepatitis, Infeksi menular Seksual, dll).
7. Mobile VCT (tes HIV dengan konseling dan sukarela)
di STIGMA setiap hari Rabu jam 12.00 - 16.00 WIB
bekerja sama dengan Yayasan Mitra Indonesia.
8. Konseling HIV/AIDS, adiksi, umum setiap Senin –
Jum’at jam 13.00 – 16.00 WIB di STIGMA.
9. Layanan informasi mengenai rujukan methadone,
detoksifikasi, rehabilitasi, rumah sakit, ARV,
pengobatan ke Puskesmas, dll.
-
40
Alamat Yayasan Stigma
Jalan Anggrek VI No. 5, RT.8/12, Bintaro
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Telepon: (021) 73889624
Website: www.stigmafoundation.com
http://www.stigmafoundation.com/
-
41
BAB IV
TEMUAN LAPANGAN
Berdasarkan data dan hasil temuan lapangan,
penulis menemukan bahwa dalam proses rehabilitasi
sosial terhadap perempuan dalam lingkar NAPZA yang
terjadi di Yayasan STIGMA.. .
A. Rehabilitasi
Fungsi rehabilitasi dalam dunia pekerjaan sosial
diartikan sebagai proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan penyandang
masalah kesejahteraan sosial mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dalam hidup bermasyarakat. Dikatakan sebagai
proses refungsionalisasi, karena dalam proses rehabilitasi
ini para penyandang masalah kesejahteraan sosial
kehilangan fungsi sosialnya di masyarakat oleh sebab
masalah yang dihadapinya sehingga mereka kehilangan
fungsi sosialnya.
a. `Jenis Rehabilitasi
a) Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis merupakan upaya
menyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien
melalui layanan-layanan kesehatan, baik itu
dilakukan oleh seorang dokter dalam praktik
pribadinya maupun di rumah sakit umum. Biasanya
di rumah sakit umum dilengkapi dengan layanan
psikologis yang dilakukan oleh psikolog, dan layanan
-
42
sosial atau sosial medis yang dilakukan oleh pekerja
sosial medis. Pada setting rumah sakit yang
melaksanakan kegiatan rehabilitasi medis, layanan
psikologis dan pekerja sosial merupakan layanan
penunjang.
b) Rehabilitasi Pendidikan
Rehabilitasi pendidikan merupakan upaya
pengembangan potensi intelektual klien, biasanya
lebih banyak digunakan pada klien penyandang cacat
yang dilaksanakan pada setting sekolah luar biasa
(SLB). Misalnya di Indonesia, SLB A untuk
penyandang tuna netra, SLB B untuk penyandang tuna
rungu dan tuna wicara, SLB C untuk penyandang tuna
laras, dan SLB D untuk penyandang cacat tubuh.
Profesi yang dominan pada setting sekolah luar biasa
ini adalah guru sekolah luar biasa, adapun profesi
dokter, psikolog, dan pekerja sosial adalah sebagai
profesi penunjang.
c) Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional merupakan upaya
memberikan bekal keterampilan kerja bagi klien,
sehingga dapat mandiri secara ekonomi di masyarakat,
pada setting ini, diperlukan tenaga-tenaga yang
menguasai keterampilan kekaryaan khusus. Pekerja
sosial pada setting ini diharapkan menguasai
keterampilan kekaryaan tersebut disamping
keterampilan dan keahliannya dibidang psikososial.
-
43
d) Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang
bertujuan untuk mengintegrasikan seseorang yang
mengalami masalah sosial ke dalam kehidupan
masyarakat dimana dia berada. Pengintegrasian
tersebut dilakukan melalui upaya peningkatan
penyesuaian diri, baik terhadap keluarga, komunitas
maupun pekerjaannya. Dengan demikian, rehabilitasi
sosial merupakan pelayanan sosial yang utuh dan
terpadu, agar seseorang dapat melaksanakan fungsi
sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat.
Pada jenis rehabilitasi sosial ini, profesi pekerja sosial
memegang peran utama. Profesi-profesi lain berperan
sesuai dengan kebutuhan yaitu sebagai penunjang.
Rehabilitasi sosial merupakan suatu upaya yang
dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan
kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melakukan fungsi sosialnya kembali
secara wajar. Rehabilitasi sosial dilaksanakan secara
persuasif, motivatif, dan kohesif baik dalam keluarga,
masyarakat maupun panti sosial. Dalam
pelaksanaannya, rehabilitasi sosial diberikan kepada
para penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam
bentuk pemberian motivasi dan diagnosis psikososial,
perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan
pembinaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan
fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial,
-
44
pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial,
bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan
rujukan.
Rehabilitasi sosial dapat dilakukan dalam lembaga
seperti panti sosial maupun diluar lembaga (luar
panti/berbasis masyarakat). Sasaran rehabilitasi sosial
adalah mereka yang mengalami hambatan dalam
melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik seperti
para penyandang cacat, anak nakal, anak bermasalah
sosial (anak terlantar, anak putus sekolah, anak
jalanan, dan anak berhadapan dengan hukum), korban
penyalahgunaan narkotika/NAPZA, wanita tuna susila
(WTS), serta penderita HIV/AIDS atau ODHA (Orang
dengan HIV/AIDS).
Proses rehabilitasi sosial terutama dalam panti
harus melalui pendaftaran (registrasi), kontrak layanan
(intake), pengungkapan dan pemahaman masalah
(assesment), menyusun rencana pemecahan masalah
(planning), pemecahan masalah (intervensi), evaluasi,
terminasi, dan pembinaan lanjut. Rehabilitasi sosial di
dalam panti tersebut menggunakan pendekatan praktik
pekerjaan sosial.
Pelayanan rehabilitasi sosial dalam pelayanan
kesejahteraan sosial memiliki peranan yang cukup
penting, karena proses rehabilitasi sosial bertujuan
untuk memulihkan kemampuan-kemampuan
seseorang sehingga dapat kembali berfungsi sosial
-
45
secara optimal dan dapat memberikan kontribusi yang
besar dan cukup berarti dalam mewujudkan
pembangunan sosial.
Tujuan rehabilitasi sosial itu sendiri yaitu untuk
memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial
serta fungsi sosial seseorang sehingga dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang secara wajar di masyarakat.
Sehingga pada akhirnya akan menjadi sumber daya
manusia yang berguna, produktif, dan berkualitas,
berakhlak mulia serta menghilangkan label (stigma)
negatif masyarakat terhadap seseorang yang nantinya
akan menghambat tumbuh kembang seseorang itu
dalam berpartisipasi di lingkungan masyarakat
maupun di kehidupannya.
B. Perangkat Rehabilitasi
a. Perangkat Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan kepada
kondisi yang semula, agar dapat mencapai tujuan
tersebut, rehabilitasi memerlukan serangkaian
perangkat sebagai penunjang berlangsungnya proses
rehabilitasi yang integratif dan komprehensif.
Perangkat tersebut meliputi sarana dan prasarana yang
menunjang proses rehabilitasi, yaitu:
a) Program Rehabilitasi
Program rehabilitasi mencakup pelaksanaan
prosedur rehabilitasi yang terencana,
-
46
teroganisir, dan sistematis. Umumnya
program rehabilitasi menjadi bagian dan
sebuah kegiatan organisasional lembaga,
baik lembaga yang dikelola pemerintah
maupun lembaga non pemerintah. Jangkauan
program dapat meliputi lingkup lokal,
regional, bahkan nasional. Keterkaitan dan
kerjasama antar lembaga-lembaga
menyelenggarakan program rehabilitasi
merupakan hal penting mencapai tujuan
rehabilitasi itu sendiri. Dimana tujuan dan
fokus rehabilitasi akan tergantung pada
kebijakan lembaga dan dapat bervariasi pada
lembaga lainnya. Seperti pada lembaga yang
menyelenggarakan program rehabilitasi bagi
pecandu narkotika yang mengkhususkan
pada program rehabilitasinya saja.
b) Pelayanan
Pelayanan dalam proses rehabilitasi
meliputi aktivitas-aktivitas khusus yang
dapat memberikan manfaat dan sesuai
dengan kebutuhan klien. penyelenggaraan
pelayanan terhadap klien mengintegrasikan
berbagai pendekatan, disiplin ilmu dan
tenaga-tenaga profesional untuk mencapai
tujuan dari proses rehabilitasi tersebut.
-
47
c) Sumber Daya Manusia (SDM)
Proses rehabilitasi tidak mungkin berjalan
tanpa adanya sumber daya manusia sebagai
pelaksana proses tersebut. Pelaksana
rehabilitasi melibatkan tenaga-tenaga
profesional dari berbagai latar belakang
pendidikan dan keterampilan-keterampilan
khusus, seperti dokter, pekerja sosial,
psikolog, konselor, terapis, tenaga
pendidikan, pengajar vokasional, dan lain
sebagainya. Sumber daya manusia
memegang peranan utama dalam
pelaksanaan rehabilitasi.
d) Fasilitas Penunjang Rehabilitasi
Fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan
rehabilitasi meliputi fasilitas tempat sebagai
wadah pelaksanaan rehabilitasi, seperti
Instalasi Rehabilitasi Medis (IRM) pada
rumah sakit, panti sosial binaan pemerintah,
dan lembaga sosial yang menyelenggarakan
program dan layanan rehabilitasi. Selain
tempat pelaksanaan, fasilitas penunjang
lainnya adalah peralatan rehabilitasi. Jenis
dan jumlah peralatan tersebut tergantung
pada program, dan layanan rehabilitasi yang
diselenggarakan.
-
48
C. Proses Rehabilitasi
a. Pendaftaran (registrasi)
b. Kontrak layanan (intake)
c. Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment)
d. Menyusun rencana pemecahan masalah (planning)
e. Pemecahan masalah (intervensi)
f. Evaluasi
g. Terminasi
h. Pembinaan lanjut
D. Proses Rehabilitasi Sosial Sosial tehadap Perempuan
dalam Lingkar NAPZA di Yayasan STIGMA Bintaro,
Jakarta Selatan
Yayasan STIGMA adalah sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang merupakan lembaga
non pemerintahan atau Non-Government Organization
(NGO) yang bernaung dibawah kementerian sosial.
Dalam proses rehabilitasi sosialnya, Yayasan STIGMA
memiliki 2 acuan untuk melakukan rehabilitasi, yaitu
program rehabilitasi sosial Kementerian Sosial Republik
Indonesia dan juga Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis
Masyarakat (PABM) dari Komisi Penanggulangan Aids
(KPA).
-
49
Gambar 4.1 Alur Rehabilitasi
a. Proses penerimaan
- Pengguna diantar oleh pihak keluarga atau
datang sendiri untuk di rehabilitasi.
Datang sendiri atau di antar oleh
keluarga
Tes Urine
Rawat inap
Rujukan dari pihak yang
berwajib polsek, lapas
Rawat jalan
Monitoring
-
50
- Rujukan dari polsek setempat yang telah
bekerja sama dengan yayasan stigma.
Setelah klien diterima untuk menjalankan
proses rehabilitasi sosial, klien akan menjalani tes
urine, kemudian akan ditentukan program
selanjutnya untuk klien tersebut, apakah akan
mengikuti program rawat inap atau rawat jalan.
Penetuan tersebut didasarkan sesuai dengan
tingkat adiksi klien. Menurut Kepala Bidang
Rehabilitasi, Bapak Sugeng, penanganan Klien
adiksi di Yayasan STIGMA disesuaikan
berdasarkan tingkat adiksi yang di derita oleh
klien. Seperti pada kutipan sebagai berikut,
“iya kita lihat dari tingkat keparahan
kecanduan klien, dari keluarga apakah mau
mengikuti rawat inap atau engga. Kan kita
juga ga memaksa. Kita juga ada surat
pernyataan/persetujuan, jadi kalo keluarga
ga setuju ya ga bisa di rawat inap disini.”
Dari wawancara tersebut dapat diketahui
bahwa tidak semua klien itu dapat menjalani
program rawat inap, karena penentuan tersebut
akan disesuaikan dengan tingkat kecanduan yang
dimiliki klien. Tingkat adiksi klien dapat
ditentukan dengan cara mengetahui sudah berapa
lama klien menggunakan NAPZA dan seberapa
sering ia menggunakan NAPZA tersebut. Namun,
-
51
semua kembali lagi kepada klien dan keluarga
apakah setuju atau tidak menjalani rawat inap
selama 3 bulan di Yayasan STIGMA. Jika klien
dan keluarga setuju menjalani program rawat inap
tersebut, maka klien akan menjalani program
rehabilitasi selama tiga bulan di Yayasan
STIGMA. Tidak sampai disitu saja, setelah klien
selesai menjalani rawat inap, ia masih harus
menjalani program rawat jalan selama tiga bulan.
Hal tersebut dilakukan selain untuk mengetahui
bagaimana perkembangan klien setelah selesai
menjalani proses rehabilitasi dan juga untuk
memudahkan dalam proses monitoring klien.
Proses monitoring perkembangan kondisi klien
dengan cara masih diharuskannya klien untuk
datang kembali ke Yayasan STIGMA satu minggu
sekali untuk diberikan pembekalan dan
controlling.
“nah kita itu ada 2, ada yang seminggu dua
kali, ada juga yang seminggu sekali. Kalo
program rehab ngikutin dari PABM itu
seminggu sekali kalo dari kemensos itu 2
minggu sekali. Kalo yang 2 minggu sekali
itu palingan terapi kelompok/terapi sosial.”
Dalam menjalankan program rehabilitasi,
Yayasan STIGMA memiliki dua acuan, yang
pertama adalah program rehabilitasi yang
mengacu pada Kementerian Sosial RI dan yang
-
52
kedua adalah sesuai dengan Pedoman Pemulihan
Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) yang
diterbitkan oleh KPA. Kedua acuan program
rehabilitasi tersebut tidak terlalu berbeda, yang
membedakannya adalah yang pertama pada pola
penanganannya saja, yang kedua yaitu program
rehabilitasi dari dua lembaga tersebut hanya
berbeda waktu dalam melakukan terapi
kelompok/terapi sosial yang dilakukan selama
proses rehabilitasi. Dimana dalam Pedoman
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat yang
diterbitkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS,
mengharuskan melakukan terapi sosial/terapi
kelompok dengan durasi satu minggu satu kali,
sedangkan program rehabilitasi yang diberikan
oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia
mengharuskan dilakukannya terapi sosial/terapi
kelompok selama dua minggu satu kali.
“kalo itu kita setiap bulannya mengadakan
homevisit dan controlling, dan setelah
selesai rehab kita juga ga mungkin dilepas
gitu aja nanti takutnya dia balik make
lagi.”
Program rawat jalan dilakukan selama tiga
bulan dan setiap 1 minggu sekali diwajibkan
datang ke Yayasan STIGMA untuk kontrol dan
klien harus mengikuti pemberian materi tentang
bahaya narkoba dan HIV/AIDS. Kemudian sesuai
-
53
dengan hasil wawancara diatas, selama tiga bulan
tersebut, pihak yayasan STIGMA juga melakukan
controlling dan home visit ke lingkungan klien
setiap satu bulan sekali. Karena walaupun klien
sudah menjalani proses rawat inap di Yayasan
STIGMA, hal tersebut tidak menjamin bahwa
klien itu benar-benar sudah berhenti menggunakan
NAPZA. Oleh karena itu semua kembali lagi
kepada diri klien untuk mengolah dirinya agar
berhenti dari NAPZA juga perlu adanya dukungan
dari lingkungan klien untuk membuat klien bisa
tetap dalam kondisi stabil. Jika keinginan klien
untuk berhenti masih mudah goyah, maka
kemungkinan besar klien akan kembali lagi
menggunakan NAPZA, bisa juga jika di
lingkungan klien masih banyak yang
menggunakan NAPZA maka kemungkinan besar
klien akan kembali lagi menggunakan NAPZA
tersebut.
“Tapi mayoritas itu tergantung sama klien
lagi, gimana mereka, cara mereka supaya
ga balik lagi menggunakan narkoba. Kalo
dari dalam diri mereka masih ada
keinginan buat make, ya kemungkinan
besar mereka bakalan balik lagi. Jadi
tergantung gimana lingkungan mereka
sih.”
Klien yang sudah menjalani program
rehabilitasi tidak dapat dikatakan bersih dari
-
54
NAPZA. Karena mereka masih memiliki potensi
untuk kembali menggunakan NAPZA. Semua itu
tidak terlepas dari bagaimana dukungan
lingkungan klien setelah klien selesai menjalani
program rehabilitasi. Jika klien kembali pada
lingkungan yang masih banyak menggunakan
NAPZA, kemungkinan besar ia akan kembali
menggunakan NAPZA tersebut. Namun pada
akhirnya itu semua kembali lagi kepada diri klien,
apakah ia masih ingin kembali terjerumus kedalam
lingkaran NAPZA lagi atau tidak, juga apakah
klien tersebut sudah memiliki bekal yang cukup
agar tidak kembali menggunakan NAPZA. Bekal
yang dimaksud seperti, bekal ilmu tentang bahaya
NAPZA, serta bekal norma-norma masyarakat
bahwa NAPZA itu adalah barang haram yang
dilarang untuk disalahgunakan dan jika melanggar
maka akan mendapatkan hukuman sesuai Undang-
undang yang berlaku.
Selama menjalani proses rehabilitasi di
Yayasan STIGMA, klien didampingi oleh pekerja
sosial. Pekerja sosial itu sendiri melakukan
konseling setiap seminggu sekali terhadap klien
dengan menggunakan pendekatan individual.
Selain itu, pekerja sosial juga membantu
mensosialisasi seputar NAPZA kepada masyarakat
-
55
disekitar lingkungan yang terdapat banyak
pengguna NAPZA (hotspot). Pekerja sosial
melakukan sosialisasi terhadap tokoh-tokoh
masyarakat yang ada, supaya jika ada pecandu
agar segera dibawa ke Yayasan Stigma dan tentu
juga pekerja sosial melakukan penyuluhan tentang
bahaya NAPZA serta HIV/AIDS tersebut.
Kemudian setelah klien masuk di lembaga, akan
pekerja sosial akan memberikan terapi sosial dan
terapi kelompok kepada klien selama klien
menjalani rawat inap.
Sesuai dengan hasil wawancara tersebut,
selama menjalani program rawat inap, klien harus
membayar biaya selama ia disana untuk dapat
terus menjalankan proses rehabilitasi yang ada.
Karena Yayasan Stigma adalah LSM yang
membutuhkan dana untuk menjalankan kegiatan
dan program-programnya serta memerlukan biaya
untuk menghidupi klien selama di rawat inap.
Namun biaya tersebut dibebankan sesuai dengan
kemampuan ekonomi keluarga klien, jika klien
berasal dari keluarga yang mampu maka akan
dibebankan biaya sepenuhnya, namun jika klien
berasal dari keluarga yang kurang mampu maka
seluruh beban biaya tersebut bisa digratiskan. Jadi,
kembali lagi dengan kemampuan keluarga klien,
-
56
apakah keluarga klien mampu membayar atau
tidak. Jika klien berasal dari keluarga yang tidak
mampu, maka keluarga klien bisa melampirkan
surat keterangan tidak mampu dari RT atau
pejabat yang berwenang agar dibebaskan dari
biaya rehabilitasi.
Selain menjalani rehabilitasi, klien juga
diberikan keterampilan-keterampilan kerja atau
keterampilan vokasional seperti program kegiatan
bidang otomotif, sablon, teknik komputer dan lain
sebagainya. Maksud dari pemberian keterampilan
tersebut adalah agar setelah klien selesai menjalani
rehabilitasi, klien mendapatkan keterampilan yang
dapat digunakan sebagai bekal yang bermanfaat
nantinya untuk ia menjalankan kehidupannya di
masyarakat dan juga agar klien dapat memperbaiki
stigma masyarakat terkait label bahwa ex-
pengguna NAPZA adalah sampah masyarakat.
Setidaknya klien sebagai ex-pengguna dapat
menunjukkan pada masyarakat bahwa ia telah
berubah dan mampu berkontribusi di tengah-
tengah masyarakat, misalnya klien yang telah
selesai menjalani proses rehabilitasi dapat
melanjutkan hidupnya dengan membuka usaha
sesuai dengan kelas keterampilan yang ia ikuti
selama menjalani rehabilitasi. Tidak sedikit klien
-
57
yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi
ingin kembali ke Yayasan STIGMA untuk
melanjutkan pelatihan-pelatihan keterampilan
tersebut. Yayasan STIGMA bahkan dengan
senang hati membuka pintu lebar-lebar untuk para
klien yang ingin meneruskan pelatihan
keterampilan tersebut.
-
58
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis mencoba membahas hasil temuan
yang dirangkum pada bab 4 melalui tahapan observasi dengan
judul REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PEREMPUAN
DALAM LINGKAR NAPZA DI YAYASAN STIGMA
BINTARO JAKARTA SELATAN dengan berlandaskan teori
yang digunakan pada bab II.
Supaya pembahasan tidak meluas, penulis membatasi
masalah hanya pada proses rehabilitasi pada perempuan di
Lingkar NAPZA Yayasan Stigma Bintaro Jakarta Selatan. Sesuai
dengan program dari yayasan terkait rehabilitasi kepada
perempuan di dalam rehabilitasi, yaitu program rehabilitasi
sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia dan juga Pedoman
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) dari Komisi
Penanggulangan Aids (KPA).
Pertama proses penerimaan, klien diterima untuk
menjalankan proses rehabilitasi sosial, klien akan menjalani tes
urine, kemudian akan ditentukan program selanjutnya dengan
penanganan Klien adiksi di Yayasan STIGMA disesuaikan
berdasarkan tingkat adiksi yang di derita oleh klien lalu klien
ditentukan di rawat inap atau tidaknya disesuaikan dengan tingkat
kecanduan yang dimiliki klien. Tingkat adiksi klien dapat
ditentukan dengan cara mengetahui sudah berapa lama klien
-
59
menggunakan NAPZA dan seberapa sering ia menggunakan
NAPZA
Kedua, ketika klien sudah ditentukan perlu rawat inap
sesuai dengan hasil tes maka program rawat jalan dilakukan
selama tiga bulan dan setiap 1 minggu sekali diwajibkan datang
ke Yayasan STIGMA untuk kontrol dan klien harus mengikuti
pemberian materi tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS.
Ketiga, pekerja sosial melakukan konseling setiap
seminggu sekali terhadap klien dengan menggunakan pendekatan
individual. Selain itu, pekerja sosial juga membantu
mensosialisasi seputar NAPZA kepada masyarakat disekitar
lingkungan yang terdapat banyak pengguna NAPZA (hotspot).
Pekerja sosial melakukan sosialisasi terhadap tokoh-tokoh
masyarakat yang ada, supaya jika ada pecandu agar segera
dibawa ke Yayasan Stigma dan tentu juga pekerja sosial
melakukan penyuluhan tentang bahaya NAPZA serta HIV/AIDS
tersebut.
Terakhir, setelah selesai menjalani proses rehabilitasi
klien yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi dapat
melanjutkan hidupnya dengan membuka usaha sesuai dengan
kelas keterampilan yang ia ikuti selama menjalani rehabilitasi.
-
60
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah diabarkan pada BAB
sebelumnya maka penulis beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses rehabilitasi terhadap perempuan dalam lingkar
NAPZA di yayasan STIGMA Bintaro, Jakarta Selatan
berjalan untuk mengembalikan keberfungsian sosial klien
rehabilitasi khususnya perempuan dalam lingkar NAPZA
agar mereka dapat diterima kembali dalam kehidupan
bermasyarakat tanpa ada stigma negatif terhadap
perempuan dalam lingkar NAPZA, serta mengembalikan
kepercayaan diri klien rehabilitasi NAPZA untuk
menjalani kehidupan selanjutnya sebagai manusia yang
bermanfaat.
2. Faktor penghambat yang ditemukan dalam upaya proses
rehabilitasi NAPZAdi yayasan STIGMA adalah:
pengaruh zat adiksi klien yang sudah parah, motivasi
klien untuk sembuh naik turun atau tidak stabil, klien
yang pendiam, dan pendapat klien yang suka berubah-
ubah (klien suka berbohong), serta adanya pelecehan
seksual yang dialami klien sehingga klien mengalami
trauma yang teramat dalam sehingga menjadi penghambat
untuk menjalankan proses rehabilitasi.
-
61
B. Implikasi
Dari hasil penelitian tentang proses rehabilitasi
perempuan dalam lingkar NAPZA memberikan gambaran
kepada masyarakat umum, khususnya praktisi pekerja
sosial dalam melakukan proses rehabilitasi sosial yang
baik dan benar.
C. Saran
1. Akademis
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa
sedikit kesulitan dalam mencari referensi tentang
proses rehabilitasi terhadap perempuan dalam lingkar
NAPZA. Penulis berharap Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat memberikan pengetahuan yang lebih mengenai
proses rehabilitasi perempuan dalam lingkar NAPZA.
Karena tidak sedikit yang masih merasa buta akan
prosses rehabilitasi perempuan dalam lingkar
NAPZA. Dan untuk bekerja secara profesional
sebagai pekerja sosial diperlukan pemahaman tentang
bagaimana penerapan proses rehabilitasi dalam
lingkar NAPZA agar jauh lebih memperhatikan lagi
-
62
terhadap yang lebih rentan menjadi korban kejahatan
akibat dari penyalahgunaan NAPZA.
2. praktis
Sebagai lembaga non pemerintahan yang
memberikan pelayanan rehabilitasi bagi korban
penyalahgunaan NAPZA, diharapkan Yayasan
STIGMA bisa memilih untuk mempekerjakan pekerja
sosial profesional. Karena selama ini, pekerja sosial
yang bekerja di Yayasan STIGMA selain dari seleksi
pihak yayasan, pekerja sosial yang ada juga
merupakan para pekerja sosial hasil rekomendasi dari
Kementerian Sosial Republik Indonesia yang
kebanyakan baru saja menyelesaikan studi tentang
ilmu pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang
masih minim dalam hal pengalaman bekerja pada
setting lembaga rehabilitasi korban penyalahguna
NAPZA terutama terhadap perempuan dalam lingkar
NAPZA.
3. Saran untuk peneliti selanjutnya
-
63
Penelitian ini berhasil menemukan bahwa
proses rehabilitasi terhadap perempuan dalam lingkar
NAPZA masih belum banyak pemerhati dan
terlaksana dengan baik pada pekerja sosial yang
bekerja di Yayasan STIGMA yang merupakan Non
Government Organisation (NGO), sehingga penulis
merasa pentingnya peneliti selanjutnya untuk
melakukan penelitian tentang proses rehabilitasi
terhadap perempuan dalam lingkar NAPZA di
lembaga-lembaga pemerintahan agar kemudian dapat
digunakan sebagai pembanding dan pelengkap skripsi-
skripsi yang sudah ada.
-
64
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Kadarmanta, A. 2010. Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa.
Jakarta: PT Forum Media Utama.
Wresniwiro, M, 1999, Masalah Narkotika Psikotropika dan
Obat-obat berbahaya, Jakarta, Yayasan Mitra Bintibmas.
Kadarmanta, A. 2010. Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa.
Jakarta: PT Forum Media Utama.
Sumber Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 35 Tahnun 2009 tentang Narkotika.
Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2018 tentang
Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang
Berhadapan dengan Hukum
Sumber Berita:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/27/nnfskl-
pecandu-narkoba-wanita-perlu-tempat-rehabilitasi-khusus
www.stigmafoundation.com
Sumber Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Bapak Suwanto Direktur
STIGMA/Konselor, Jakarta 19 Agustus 2020.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/27/nnfskl-pecandu-narkoba-wanita-perlu-tempat-rehabilitasi-khusushttps://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/27/nnfskl-pecandu-narkoba-wanita-perlu-tempat-rehabilitasi-khusushttp://www.stigmafoundation.com/
-
Lampiran
TRANSKIP WAWANCARA
Narasumber : Suwanto
Jabatan : Direktur STIGMA/konselor
Waktu : Senin, 19 agustus 2019, 13.30 s/d 14.00
1) Program dan kegiatan apa yang ada di Yayasan
STIGMA?
Programnya itu banyak, pertama ada penjangkauan;
penjangkauan itu isinya meliputi Diskusi Interaktif
Kelompok (DIK), pendampingan pada pengguna jarum
suntik (penasun) buat memutus rantai penularan
HIV/AIDS, ada juga Mobile Censeling Test (CVT) dan
program rehabilitasi dari KPA dan kemensos. Kegiatan
rehabilitasi ada yang rawat inap sama rawat jalan.
2) Tahapan rehabilitasinya gimana bang?
Assessment, tes urin, konseling, pendekatan personal.
3) Siapa aja yang terlibat pada waktu kegiatan
konseling?
Dari tahap assessment klien udah didampingin sama
konselor, cuma berdua aja, klien sama konselornya.
4) Waktu awal konseling gimana interaksi yang
dilakukan konselor?
Basa-basi dulu, nanti pelan-pelan akrab. Perkenalan,
saling tau satu sama lain dulu ya. Kenapa bisa jadi
pecandu? Masalahnya apa? Gitu gitu ya.
5) Terus gimana supaya klien terbuka dan percaya sama
konselor?
-
Ya setelah basa-basi sediki-dikit kalo udah sering ngobrol
atau ketemu bisa akrab jadi terbuka sama kita ya. Setelah
tau dia sukanya ngobrolin apa gitu yang dasar dasar aja
kaya udah makan belom? Jangan nanya yang terlalu
dalem dulu, nanti kan ngerasa kenal akrab. Buat suasana
kalo dia itu temen kita, tapi tetep ada batesan kalo kita
konseling. Konselor kan juga mantan pecandu ya. Jadi
minimal tau lah ya. Kita dulu senasib, pernah di tahapan
yang sama deh.
6) Rehabilitasi itu biasanya berapa lama bang?
Rawat inap 3 bulan sisanya rawat jalan. Keseluruhannya 6
bulan. Rawat jalan ketemu seminggu sekali selama 3
bulan. Konseling seminggu sekali selama 3 bulan setelah
itu tes urin.
7) Seberapa sulitnya proses rehabilitasi terhadap
perempuan bang?
Kalo untuk perempuan agak sulit terbuka, karena kuatnya
tata nilai patriarkis yang membuat perempuan tidak
memiliki kuasa. dan lebih sering nangis, karena mereka
selalu ingat masa ketika dia rela untuk mendapatkan
barang/NAPZA. Sebisa mungkin kita harus berusaha
extra buat gali permasalahan yang mereka hadapi, kadang