referat rop bay

Upload: bayu-agustinus

Post on 12-Oct-2015

54 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ggg

TRANSCRIPT

Referat Retinopati Prematuritas Agustinus Bayu Bhaskoro

Referat Retinopati Prematuritas Agustinus Bayu Bhaskoro

Lembar PengesahanNama: Agustinus Bayu BhaskoroNIM: 406127038Universitas: TarumanagaraFakultas: KedokteranTingkat: Program Pendidikan Profesi DokterBidang Pendidikan: Ilmu Penyakit MataPeriode Kepaniteraan Klinik: 2 Juni 2014 5 juli 2014Judul Referat: Retinopati PrematuritasPembimbing: dr. Irastri Anggraini,Sp M

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal :

Bagian Ilmu Penyakit MataRSUD Kota Semarang

Kepala SMF Penyakit MataPembimbing

( dr.Nanik Sri Mulyani,Sp.M ) (dr. Irastri Anggraini,Sp.M )

KATA PENGANTARPuji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga referat dengan judul Retinopati Prematuritas ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah kota Semarang periode 2 Juni 2014 5 Juli 2014. Selain itu, besar harapan penulis dengan adanya referat ini akan mampu menambah pengetahuan para pembaca sekalian tentang penyakit Retinopati Prematuritas Dalam penulisan referat ini penulis telah mendapat bantuan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:1. Pimpinan beserta staf RSUD Kota Semarang2. dr.Nanik Sri Mulyani ,Sp.M,selaku kepala SMF Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata di RSUD Kota Semarang.3. dr.Irastri Anggraini,Sp.M,selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata di RSUD Kota Semarang.4. Ibu Farida Faisal dan Bapak Puriyono Siswantono selaku staf perawat di Poli Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata di RSUD Kota Semarang5. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota SemarangPenulis menyadari bahwa referat yang disusun ini masih banyak kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat bermanfaat demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata ,penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya bilamana ada kesalahan dalam penyusunan referat ini, juga selama menjalankan kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata di RSUD Kota Semarang

Semarang, Juni 2014 Penulis

DAFTAR ISILembar Pengesahan ............................................................................................................ 1Kata Pengantar .................................................................................................................... 2Daftar Isi ............................................................................................................................. 4Bab I Pendahuluan5Bab II Anatomi Retina6Bab III Retinopati Prematuritas9Bab IV Kesimpulan22Daftar Pustaka23

BAB I PENDAHULUANRetinopati prematuritas (ROP) pertama kali ditemukan oleh Terry pada tahun 1942 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit / gangguan perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur. ROP merupakan penyebab kebutaan tertinggi pada anak-anak di Amerika Serikat dan salah satu penyebab utama kebutaan anak di seluruh dunia. Hal ini dilaporkan pada tahun 1980, dimana sebanyak 7000 anak di Amerika Serikat dinyatakan buta akibat ROP.Era waktu yang signifikan menunjukkan keberadaan penyakit adalah antara tahun 1941-1953, dimana ditemukan epidemi ROP diseluruh dunia. Lebih dari 12,000 bayi diseluruh dunia lahir dengan penyakit ini dan bahkan dibutakan olehnya Stevie Wonder dan aktor Tom Sullivan adalah dua diantara banyak orang yang menderita penyakit ini. Kasus pertama dari epidemi ini terjadi pada Hari Valentin pada tahun 1941, ketika seorang bayi prematur di Boston didiagnosa. Setelah itu banyak ditemukan kasus yang serupa di seluruh dunia, namun penyebabnya tidak diketahui. Pada tahun 1951, dua ahli dari Inggris menyatakan kemungkinan adanya hubungan antara penyakit ini dengan terapi suplemental oksigen. Tapi seorang spesialis anak dari Amerika-lah yang menjalankan studi kontroversial mengenai hal ini. Penelitian tersebut membagi bayi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama mendapatkan terapi oksigen seperti biasa, dan kelompok lain mendapatkan terapi oksigen dengan level yang lebih rendah. Di akhir penelitian, ditemukan bahwa kelompok kedua mengalami progesivitas penyakit yang lebih rendah dari kelompok yang pertama. Maka diambil kesimpulan adanya toksisitas oksigen sebagai salah satu penyebab ROP.1 Berdasarkan penelitian ini, saat itu terapi oksigen pun dikurangi, dan epidemi pun dapat dihentikan.

BAB IIANATOMI RETINA2Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6.5mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrana Bruch, khoroid, dan sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat terbentuk antara khoroid dan sklera, yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi khoroid meluas melewati ora serrata, di bawah pars plana dan pars plikata. Lapisan-lapisan epitel permukaan dalam korpus siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan anterior retina dan epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreous.

Gambar 1. Retina dan pembesaran skematiknyaLapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut: 1. Membrana limitans interna2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus3. Lapisan sel ganglion4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar5. Lapisan inti dalam sel bipolar, amakirn dan sel horizontal6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor8. Membrana limitans eksterna9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut10. Epitelium pigmen retinaRetina mempunyai tebal 0.1mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter 1.5 mm. Definisi alternatif secara histologis adalah bagian retina yang lapisan ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3.5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat fovea, yang secara klinis jelas-jelas merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoroesens. Secara histologis, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan-lapisan parenkim karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan penggeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula, dan penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini menjadi tebal sekali.Retina menerima darah dari dua sumber: khoriokapilaria yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari arteria sentralis retinae, yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya dipendarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidk berlobang, yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigemn retina.

Gambar 2. Skema RetinaRetina adalah jaringan mata yang paling kompleks. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah ransangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan oksipital. Vaskularisasi yang baik akan sangat mendukung fungsi retina yang baik.4Pada masa embriologi, vaskularisasi retina dimulai pada 16 minggu setelah gestasi. Proses vaskularisasi retina berlangsung secara sentrifugal dari nervus opticus, mengikuti gelombang mesenkimal sel spindle dan mencapai ora serata nasalis pada usia gestasi 32 minggu dan ora serata temporalis pada usia gestasi 40-42 minggu atau saat aterm (gambar 3).1

BAB IIIRETINOPATI PREMATURITASDefinisiRetinopati prematuritas adalah suatu retinopati proliferatif yang terdapat pada bayi prematur. ROP seringkali mengalami regresi atau membaik tetapi dapat menyebabkan terjadinya gangguan visual berat atau kebutaan. Retinopati prematuritas secara signifikan dapat mengakibatkan cacat seumur hidup bagi penderitanya. Semakin kecil berat badan dan muda usia neonatus, maka insiden ROP semakin meningkat. Hal ini masih menjadi suatu masalah meskipun dengan adanya kemajuan teknologi yang mencolok pada bidang neonatologi.Selama tahun 1940an dan 1950an, ROP, yang juga dikenal dengan istilah retrolental fibroplasia, merupakan penyebab utama kebutaan pada anak di Amerika Serikat. Pada tahun 1951, Campbell pertama kali mengusulkan bahwa ROP berhubungan dengan terapi oksigen yang diberikan dalam perawatan neonatus, dan teori ini dikonfirmasi kemudian hari oleh Patz.3 Sekarang ini, ditemukan bahwa tidak hanya terapi oksigen saja yang menjadi faktor kausatif dari ROP, namun bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam patogenesis ROP masih belum dapat diketahui.

PatofisiologiRetinopati prematuritas terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah, usia gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat ( misalnya respiratory distress syndrome {RDS}, displasia bronkopulmoner {BPD}, sepsis) merupakan faktor-faktor yang terkait. Meskipun baru-baru ini didapatkan adanya faktor lain yang terkait, namun tingkat keparahan penyakit-penyakit tersebut tetap menjadi penanda utama dari adanya penyakit berat. Bayi yang lebih kecil, lebih tidak sehat, dan lebih immatur memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menderita penyakit serius. Vaskularisasi retina mulai berkembang pada usia gestasi kurang lebih 16 minggu. Pembuluh retina tumbuh keluar dari optic disc sebagai perpanjangan dari sel spindel mesenkimal. Sementara sel-sel spindel mesenkimal ini mensuplai sebagian besar aliran darah, terjadilah proliferasi endotelial dan pembentukan kapiler-kapiler. Kapiler-kapiler baru ini akan membentuk pembuluh retina yang matur. Pembuluh darah choroid (yang terbentuk pada usia gestasi 6 minggu) mensuplai retina avaskular yang tersisa. Bagian nasal dari retina akan tervaskularisasi secara menyeluruh sampai ke ora serrata pada usia gestasi 32 minggu. Sedangkan bagian temporal yang lebih besar biasanya telah tervaskularisasi seluruhnya pada usia gestasi 40-42 minggu (aterm).Kelahiran bayi prematur mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal. Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular, sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner.4 Ashton menjelaskan akan adanya dua fase pada proses terjadinya ROP. Fase pertama, fase hiperoksik, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler yang irreversibel. Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal sebagai stadium I dari retinopati prematuritas.

Gambar 4. ROP Stadium ISeiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan retina yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang normal.Segera setelah itu, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui difusi dari kapiler-kapiler yang berada pada lapisan choroid. Retina terus tumbuh semakin tebal dan akhirnya melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring waktu, terjadilah hipoksia retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pembuluh darah yang berlebihan; keadaan hypoxia-vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP stadium II.

Gambar 5. ROP Stadium IIPertanyaan yang paling mencolok pada patofisiologi ROP adalah mengapa penyakit ini mengalami progresi pada sebagian bayi prematur meskipun telah mendapat intervensi yang ketat dan tepat waktu, sementara, sebagian lainnya yang memiliki karakteristik klinis yang sama dapat mengalami regresi. Csak et al memperkirakan bahwa mungkin perbedaan genetik dapat menjelaskan fenomena ini.5 Meskipun terdapat banyak faktor kausatif, seperti berat badan lahir rendah, usia gestasi muda, dan terapi oksigen suplemental yang berhubungan dengan ROP, beberapa bukti secara tidak langsung menghubungkan adanya komponen genetik pada patogenesis ROP.

Epidemiologi6Frekuensi. Retinopati prematuritas memiliki prevalensi di seluruh dunia dan beberapa penelitian secara rinci telah melaporkan mengengai insidens dan faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit tersebut. Penelitian di Korea melaporkan insidensi 20.7% (88 dari 425 bayi prematur) dan melaporkan bahwa usia gestasi 28 minggu dan berat lahir 1000 gr adalah faktor risiko yang paling signifikan. Penelitian lainnya dari Singapura melaporkan insidensi 29.2% (165 dari 564 bayi dengan BBLASR). Usai median dari onset ROP adalah 35 minggu ( range 31-40 minggu) usia postmenstrual. Mortalitas dan morbiditas. Rata-rata, setiap tahunnya, 500-700 anak mengalami kebutaan akibat ROP di Amerika Serikat. Setiap tahun, 2100 bayi akan mengalami gejala sisa sikatrisial, termasuk miopia, strabismus, kebutaan, dan ablasio retina. Praktisnya, terdapat kurang-lebih 20% dari semua bayi prematur yang mengalami suatu bentuk strabismus dan kelainan refraksi pada usia 3 tahun. Hal inilah mengapa bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu atau berat kurang dari 1500 gr harus melakukan kontrol kesehatan mata setiap 6 bulan, terlepas dari ada atau tidaknya ROP.Ras. Ditemukan bahwa ras kulit hitam tampaknya menderita ROP yang lebih ringan dibanding ras Kaukasian.Seks. Insidens sedikit lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki.Usia. ROP adalah penyakit bayi prematur. Semua bayi yang memiliki berat lahir kurang dari 1500 gr dan usia gestasi kurang dari 32 minggu memiliki risiko untuk menderita ROP. Maka dibuat semacam screening protocol sesuai dengan usia gestasi. Bayi yang lahir pada usia gestasi 23-24 minggu, harus menjalani pemeriksaan mata pertama pada usia gestasi 27-28 minggu Bayi yang lahir pada usia gestasi 25-28 minggu , harus menjalani pemeriksaan mata pertama pada usia kehidupan 4-5 minggu Bayi yang lahir pada usia gestasi 29 minggu, pemeriksaan mata pertama dilakukan sebelum bayi tersebut dipulangkan.

Presentasi Klinis7Anamnesis. Pada tahun 1984, 23 Oftalmologis dari 11 negara membentuk International Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam zona-zona pada retina (1, 2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12), dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5). Dalam anamnesis dari bayi prematur, harus mencakup hal-hal berikut ini : Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr Faktor risiko lainnya yang mungkin ( misalnya terapi oksigen, hipoksemia, hipercarbia, dan penyakit penyerta lainnya)Pemeriksaan Fisik. ROP dikategorisasikan dalam zona-zona, dengan stadium yang menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Semakin kecil dan semakin muda usia bayi saat lahir, semakin besar kemungkinan penyakit ini mengenai zona sentral dengan stadium lanjut.Pembagian zona. Zona 1 Zona 1 adalah yang paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus. Area ini memanjang dua kali jarak dari saraf optik ke makula dalam bentuk lingkaran. ROP yang terletak pada zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap kondisi yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat. Zona 1 tidak mengikuti aturan ICROP. Area ini sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat cepat, kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan penyakit ini bukanlah ditemukannya neovaskularisasi (seperti pada zona lainnya, menurut ICROP) tetapi dengan ditemukan adanya pembuluh darah yang mengalami peningkatan dilatasi. Vaskularisasi retina tampak meningkat mungkin akibat meningkatnya shunting ateriovena.

Gambar 6. Zona I ROP Zona 2 Zona 2 adalah area melingkar yang mengelilingi zona 1 dengan nasal ora serrata sebagai batas nasal. ROP pada zona 2 dapat berkembang dengan cepat namun biasanya didahului dengan tanda bahaya (warning sign) yang memperkirakan terjadinya perburukan dalam 1-2 minggu. Tanda bahaya tersebut antara lain : (1) tampak vaskularisasi yang meningkat pada ridge (percabangan vaskular meningkat); biasanya merupakan tanda bahwa penyakit ini mulai agresif. (2) Dilatasi vaskular yang meningkat. (3) tampak tanda hot dog pada ridge; merupakan penebalan vaskular pada ridge; hal ini biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1) dan merupakan indikator prognosis yang buruk.

Gambar 7. Zona II ROP

Zona 3 Zona 3 adalah bentuk bulan sabit yang tidak dicakup zona 2 pada bagian temporal. Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini mengalami vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap beberapa minggu. Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis demarkasi dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan pada balita dan dapat dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Tidak ditemukan adanya penyakit sequelae dari zona ini.

Gambar 8. Zona III ROP

Stadium Stadium 0Bentuk yang paling ringan dari ROP. Merupakan vaskularisasi retina yang imatur. Tidak tampak adanya demarkasi retina yang jelas antara retina yang tervaskularisasi dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat ditentukan perkiraan perbatasan pada pemeriksaan. Pada zona 1, mungkin ditemukan vitreous yang berkabut, dengan saraf optik sebagai satu-satunya landmark. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang setiap minggu. Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai. Stadium 1Ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan avaskular pada retina. Garis ini tidak memiliki ketebalan. Pada zona 1, tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama kali pada nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pembuluh retina tampak halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap minggu. Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu Pada zona 3, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu

Gambar 9. Demarcation line Stadium 2Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular retina. Pada zona 1, apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini merupakan tanda bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh, penyakit dapat dipertimbangkan telah memburuk dan harus ditatalaksana dalam 72 jam. Pada zona 2, apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi pembesaran ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular.

Gambar 10. Ridge

Stadium 3Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal (neovaskularisasi) pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga vitreous. Pada zona 1, apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan terapi. Pada zona 2, prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan penyakit plus. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular.

Gambar 11. Extraretinal fibrovascular proliferation

Stadium 4Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge. Retina tertarik ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular. Stadium 4A : tidak mengenai fovea Stadium 4B : mengenai fovea

Gambar 12. Stadium 4B

Stadium 5Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong (funnel). Stadium 5A : corong terbuka Stadium 5B : corong tertutup

Prosedur Pemeriksaan7Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan oftalmoskopi binokular indirek. Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan depresi skleral. Instrumen yang digunakan adalah spekulum Sauer (untuk menjaga mata tetap dalam keadaan terbuka), depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata), dan lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat). Bagian pertama dari pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis retina, bila ada. Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan pada kutub posterior, untuk mengidentifikasi adanya penyakit plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya penyakit zona 1. Apabila pembuluh nasal tidak terletak pada nasal ora serrata, temuan ini dinyatakan masih berada pada zona 2. Apabila pembuluh nasal telah mencapai nasal ora serrata, maka mata berada pada zona 3.

Penatalaksanaan7Terapi MedisTerapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Saat ini, belum ada standar terapi medis yang baku untuk ROP. Penelitian terus dilakukan untuk memeriksa potensi penggunaan obat antineovaskularisasi intravitreal, seperti bevacizumab (Avastin). Obat-obatan ini sudah pernah berhasil digunakan pada pasien dengan penyakit neovaskularisasi bentuk yang lain, seperti retinopati diabetik. Terapi terapi lainnya yang pernah dicoba dapat berupa mempertahankan level insulinlike growth factor (IGF-1) dan omega-3-polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dalam kadar normal pada retina yang sedang berkembang, seperti diusulkan oleh Chen and Smith.Meskipun terapi oksigen telah dinyatakan sebagai faktor penyebab utama ROP, banyak ahli percaya bahwa memaksimalkan saturasi oksigen pada penderita ROP dapat merangsang regresi dari penyakit ini. Namun, sebuah studi multisenter yang dikenal sebagai STOP-ROP (Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold Retinopathy Of Prematurity), menemukan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang terjadi dengan mempertahankan saturasi oksigen diatas 95%. Namun, saturasi oksigen yang lebih tinggi juga tidak memperparah penyakit itu sendiri.Terapi Bedaha. Terapi bedah ablatif (Ablative surgery) Dilakukan apabila terdapat tanda kegawatan (threshold disease) Terapi ablatif saat ini terdiri dari krioterapi atau terapi laser untuk menghancurkan area retina yang avaskular Biasanya dilakukan pada usia gestasi 37-40 minggu Apabila ROP terus memburuk, mungkin dibutuhkan lebih dari satu tindakanb. Krioterapi Krioterapi merupakan terapi utama ROP sejak era 1970an. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat stress prosedur yang cukup tinggi, maka mungkin dibutuhkan bantuan ventilator setelah prosedur ini selesai. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom konjunctiva, laserasi konjunctiva, dan bradikardia. Pada studi prospektif random ditemukan bahwa dengan krioterapi menghasilkan reduksi retinal detachment hingga 50% dibandingkan dengan mata yang tidak diterapi dengan krioterapi.c. Terapi Bedah Laser Saat ini, terapi laser lebih disukai daripada krioterapi karena dipertimbangkan lebih efektif untuk mengobati penyakit pada zona 1 dan juga menghasilkan reaksi inflamasi yang lebih ringan. Fotokoagulasi dengan laser tampaknya menghasilkan outcome yang kurang-lebih sama dengan krioterapi dalam masa 7 tahun setelah terapi. Sebagai tambahan, dalam data-data mengenai ketajaman visus dan kelainan refraksi, terapi laser tampaknya lebih menguntungkan dibandingkan krioterapi, dan juga telah dibuktikan bahwa terapi laser lebih mudah dilakukan dan lebih bisa ditoleransi oleh bayi. Namun, krioterapi masih merupakan terapi pilihan apabila penglihatan retina terbatas oleh opasitas medianya.

Tindak Lanjut7 Dasar pemeriksaan untuk menindaklanjuti pasien dengan retinopati prematuritas (ROP) adalah dari hasil pemeriksaan awal. Semakin immatur vaskularisasi retina atau semakin serius kondisi penyakitnya, semakin pendek masa interval follow-up lanjutan yang harus dijalani oleh pasien tersebut sehingga perkembangan sekecil apapun mengenai progresi penyakit dapat segera diketahui. Setelah intervensi bedah, oftalmologis harus melakukan pemeriksaan setiap 1-2 minggu untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan. Pasien yang dimonitor ini harus menjalani pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur. Banyak pasien yang kehilangan penglihatannya akibat monitor yang tidak tepat waku dan tidak sesuai. Pada pasien yang tidak ditatalaksana, ablasio retina biasanya terjadi pada usia postmensrual 38-42 minggu.Selain itu, 20% dari bayi-bayi prematur menderita strabismus dan kelainan refraksi, karena itu penting untuk melakukan pemeriksaan oftalmologis setiap 6 bulan hingga bayi berusia 3 tahun. Dan juga, 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita galukoma dikemudian hari, maka pemeriksaan oftalmologis harus dilakukan setiap tahun.

Prevensi7Satu-satunya pencegahan yang benar-benar bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur. Dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir, semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam masa antenatal memiliki efek protektif terhadap tingkap keparahan ROP. Selain itu, penelitian lain juga menyatakan bahwa terapi suplemental oksigen dengan target saturasi 83-93% dapat menurunkan insidens ROP yang mencapai threshold.Komplikasi7Komplikasi jangka panjang dari ROP antara lain adalah miopia, ambliopia, strabismus, nistagmus, katarak, ruptur retina, dan ablasio retina. Vanderveen et al meneliti bahwa strabismus pada penyakit ini dapat membaik pada usia 9 bulan. Prognosis7Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Pada pasien yang tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik dibandingkan pasien dengan penyakit pada zona 1 posterior atau stadium III, IV, dan V.

BAB IVKESIMPULANRetinopati prematuritas adalah suatu retinopati proliferatif yang terdapat pada bayi prematur. Semakin kecil berat badan dan muda usia neonatus, maka insiden ROP semakin meningkat. Sekarang ini, ditemukan bahwa tidak hanya terapi oksigen saja yang menjadi faktor kausatif dari ROP, namun bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam patogenesis ROP masih belum dapat diketahui. Kelahiran bayi prematur mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular. Seiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan retina yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang normal. Untuk kepentingan tatalaksana, maka dibentuklah International Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam zona-zona pada retina (1, 2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12), dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5). Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan oftalmoskopi binokular indirek. Tatalaksana ROP adalah terapi bedah, yaitu Terapi bedah ablatif (Ablative surgery), Krioterapi, dan Terapi Bedah Laser. Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Prognosis ROP ditentukan berdasarkan stadium, pada pasien yang tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik dibandingkan pasien dengan penyakit pada zona 1 posterior atau stadium III, IV, dan V.

DAFTAR PUSTAKA

1. Silverman, William (1980). Retrolental Fibroplasia: A Modern Parable. Grune & Stratton, Inc. (cited June 5,2010). Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Retinopathy_of_prematurity2. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta : Penerbit Widya Medika; 19963. Campbell K. Intensive oxygen therapy as a possible cause for retrolental fibroplasia. A clinical approach. Med J Austr. 1951;2:48-50. Cited June 5, 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis4. Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of retinal development. Arch Dis Child. Oct 1988;63(10 Spec No):1151-67. [Medline].5. Csak K, Szabo V, Szabo A, et al. Pathogenesis and genetic basis for retinopathy of prematurity. Front Biosci. Jan 1 2006;11:908-20. [Medline].6. Fielder AR, Shaw DE, Robinson J, et al. Natural history of retinopathy of prematurity: a prospective study. Eye. 1992;6 (Pt 3):233-42. [Medline].7. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. November 3, 2008. Cited June 5, 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis

Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Periode 2 juni 5 Juli 2014 23