referat rm
DESCRIPTION
Referat RMTRANSCRIPT
Referat
REFLEX SYMPATHETIC DYSTROPHY
Oleh:
Dadang Ismanaf G 99132001
Hafidz Nur Ichwan G 99132003
Jihan Azhar K. G 99132004
Pratita Komalasari G 99132006
Puspa Damayanti G 99132007
Carko Budiyanto G 0007049
Pembimbing
Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.KFR
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Makalah Referat Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik dengan judul:
REFLEX SYMPATHETIC DYSTROPHY
Oleh:
Dadang Ismanaf G 99132001Hafidz Nur Ichwan G 99132003Jihan Azhar K. G 99132004Pratita Komalasari G 99132006Puspa Damayanti G 99132007Carko Budiyanto G 0007049
Telah disetujui untuk dipresentasikan pada:
Hari Jumat, Tanggal 13Maret 2015
Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.KFR
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan..........................................................................................1
Latar Belakang......................................................................................1
Tujuan...................................................................................................1
Rumusan Masalah.................................................................................2
BAB II Tinjauan Pustaka..................................................................................3
Definisi..................................................................................................3
Epidemiologi.........................................................................................3
Etiologi..................................................................................................4
Patofisiologi..........................................................................................5
Gejala dan Tanda..................................................................................8
Diagnosis...............................................................................................9
Pemeriksaan Penunjang........................................................................8
Farmakoterapi.......................................................................................10
Rehabilitasi Medik................................................................................12
Prognosis...............................................................................................14
BAB III Penutup...............................................................................................15
Daftar Pustaka...................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD) dipakai untuk mengambarkan
sindrom yang dahulu disebut dengan bermacam – macam nama antara lain : acute
bone atrophy, algo (neuro) dystrophy, chronic traumatic edema, Leriche’s post
traumatic pain syndrome, sudeck’s atrophy, traumatic vasospasme, dan shoulder
hand syndrome. Reflex sympathetic dystrophy merupakan gejala yang ditandai
dengan gambaran klinis berupa nyeri berlebihan, kekakuan sendi dan perubahan
jaringan lunak yang menyebabkan kecacatan.1 Reflex sympathetic dystrophy
biasanya timbul setelah cedera ekstremitas atas, akan tetapi tidak ada
hubungannya dengan tingkat keparahan trauma.2 RSD biasanya mempengaruhi
pada salah satu anggota badan, tetapi pada 7% kasus dapat melibatkan lebih dari
satu anggota badan.2 Di Eropa tingkat kejadian RSD adalah 26 / 100.000 orang
pertahun.2 Diagnosis dan pengobatan nyeri pada RSD adalah salah satu masalah
yang paling sulit untuk dihadapi oleh dokter. Pengobatan pada RSD dapat
meliputi program latihan yang tepat, agen blokade α-adrenergik, mood-elevating
drugs, calcium channel blockers, blok daerah intravena, dan blok ganglion
stellata. Terapi tambahan terbaru meliputi electroacupuncture, stimulasi
transkutan listrik saraf, dan biofeedback. Prognosis baik jika terdiagnosis lebih
awal (dalam 2 atau 3 minggu setelah cedera) dan pengobatan dimulai pada tahap
pertama penyakit.3
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dibuatnya referensi artikel ini
adalah:
1. Mengetahui definisi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
2. Mengetahui epidemiologi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
3. Mengetahui etiologi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
2
4. Mengetahui patofisiologi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
5. Mengetahui gejala dan tanda Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
6. Mengetahui diagnosis Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
8. Mengetahui farmakoterapi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
9. Mengetahui rehabilitasi medik Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
10. Mengetahui prognosis pada Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD.
C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
2. Bagaimana epidemiologi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
3. Apa etiologi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
4. Bagaimana patofisiologi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
5. Apa gejala dan tanda Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
6. Bagaimana mendiagnosis Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
7. Apa pemeriksaan penunjang Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
8. Apa farmakoterapi Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
9. Apa rehabilitasi medik pada Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
10. Bagaimana prognosis Reflex Sympathetic Dystrophy/RSD?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD) pertama kali digunakan oleh
Evans pada tahun 1946, tetapi telah diterapkan untuk menggambarkan
berbagai sindrom klinis, seperti sudeck yang atrofi, arthritis traumatis,
causalgia kecil, pasca trauma osteoporosis, sindrom nyeri pasca-trauma,
edema pasca-trauma, pasca trauma angiospasm, shoulder hand syndrome,
yang didefinisikan oleh International Asosiasi untuk Studi Pain sebagai
nyeri terus menerus dalam sebagian ekstremitas atas setelah trauma,
termasuk fraktur tapi tidak melibatkan saraf pusat. Hal ini terkait dengan
perubahan sistem saraf simpatik tapi bukanlah penyakit dari sistem saraf
simpatik.5
RSD merupakan gangguan sistem saraf simpatik yang mengontrol
aliran darah dan kelenjar keringat di tangan dan lengan. Ketika gejala saraf
simpatik ini terlalu aktif, dapat menimbulkan nyeri terbakar yang disertai
pembengkakan dan kekakuan pada daerah yang terkena.4
B. Epidemiologi
- Sandroni melaporkan insiden RSD pada populasi umum di
Olmsted, Amerika Serikat sebesar 5,46/100.000/tahun. Penelitian
yang lebih lengkap dilakukan oleh Mos yang melakukan studi
kohort retrospektif pada populasi umum antara 1996-2005 pada
600.000 orang di Netherland, mendapatkan insiden RSD sebesar
26,2/100.000/tahun. Wanita tiga kali lebih sering dari pada pria,
puncak insiden adalah wanita pasca menopause umur 61-70 tahun.
Laporan ini 4 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan Sandroni,
perbedaan ini diduga karena perbedaan etnik, sosio-ekonomi,
insiden fraktur dan kriteria diagnosis.6
4
C. Etiologi
Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD) biasanya dirasakan setelah
mengalami trauma atau tindakan operasi. Akan tetapi, dapat juga terjadi
pada tangan yang sehat tanpa diketahui penyebabnya.9
Trauma penyebab RSD:9
1. Luka dalam
a. Laserasi
b. Abrasi
c. Pungsi vena
d. Injeksi intramuskular pada saat pengobatan atau obat-obat
terlarang
e. Luka tembak
f. Trauma tumpul dan luka remuk
2. Trauma pada leher atau bahu
3. Carpal tunnel syndrome akut akibat trauma
4. Trauma thorax
5. Keseleo, fraktur, dislokasi
Tindakan operasi yang beresiko tinggi untuk terjadinya RSD :9
1. Carpal tunnel release
2. Cabut gigi
3. Pembedahan
4. Reposisi fraktur (fraktur Colles)
5. Arthroscopy
Gangguan pada lokasi tertentu:8
1. Nerve compression syndrome
2. Artritis
3. Infark jaringan
4. Stenosis tenosynovitis
5
Gangguan sistemik:8
1. Infark Miokard
2. Stroke
3. Pancoast Tumor
4. Kanker pancreas
5. Herpes zooster
Ras
Belum ada penelitian yang secara khusus menunjukkan bahwa RSD
dipengaruhi oleh ras tertentu.7
Sex
Belum ada penelitian yang secara khusus menunjukkan bahwa RSD
dipengaruhi jenis kelamin.7
Usia
1. Pada umumnya pada kisaran usia 30-60 tahun, dengan usia rata-rata 49
tahun
2. RSD dapat terjadi pada usia anak-anak, dan prognosisnya lebih baik
dibandingkan pada usia dewasa.12, 13
D. Patofisiologi
Patogenesis dari RSD tidak dapat diketahui secara pasti. Akan
tetapi ada tiga hal yang penting terhadap kejadian RSD: lesi nyeri yang
menetap, kecenderungan untuk terjadinya RSD, dan reaksi abnormal dari
reflek simpatis. Faktor kecenderungan untuk terjadinya RSD tidak dapat
diketahui, disinyalir ada keterkaitan dengan kecenderungan genetik (tipe
HLA) dan pada beberapa pasien adanya peningkatan aktifitas simpatis
termasuk tangan yang dingin, keringat berlebih, atau adanya riwayat
pingsan.7
Respon simpatis pada orang sehat terhadap cedera adalah dengan
vasokonstriksi yang dirancang untuk mencegah kehilangan darah dan
6
oedema. Respon awal ini hanya bersifat sementara yang kemudian akan
berubah menjadi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler
untuk menunjang perbaikan jaringan.7,9
Gambar 2.1. Mekanisme RSD 25
Akan tetapi pada pasien dengan RSD, respon simpatik ini terus
berlanjut. Alasan untuk melanjutkan respon ini tidak diketahui, tetapi
mungkin ada kaitannya dengan disregulasi pusat impuls nosiseptif.
Disregulasi ini dapat dimediasi oleh dynamic range neuron yang luas
dalam sumsum tulang belakang. Hipoksia berkepanjangan disebabkan oleh
7
vasokonstriksi yang menyebabkan nyeri, membangun lengkung refleks
yang meningkatkan respon simpatik dan vasospasme. Hal ini diperparah
oleh respon lokal untuk trauma, dengan pelepasan sejumlah besar mediator
proinflamasi, seperti histamin, serotonin, dan bradikinin yang
menimbulkan bengkak, nyeri, kaku sampai dengan ekstremitas yang tidak
dapat berfungsi. Sehingga sebagian mediasi simpatik pada kejadian ini
disebabkan kemampuan blokade saraf simpatik untuk mengurangi rasa
nyeri dan keluhan lain pada pasien dengan RSD.10,11
Gambar 2.2. Anatomi RSD 26
Sejumlah penelitian melaporkan adanya perubahan fungsi otak
pada pasien dengan RSD. Para peneliti juga telah mendokumentasikan
8
adanya perubahan struktural dalam otak. Pleger et al. melaporkan bahwa
pemeriksaan MRI pada pasien dengan RSD kompleks menunjukkan
perubahan struktur pada area gray matter di korteks dorsomedial
prefrontal, disertai peningkatan densitas gray matter di korteks motorik
kontralateral lesi. Akan tetapi terjadi hal yang sebaliknya pada area white-
matter, yaitu penurunan densitas kapsula interna pada hemisfer cerebri.10
Sebuah penelitian oleh Barad yang menggunakan structural MRI
menemukan bahwa jika dibandingkan dengan kondisi normal, pasien
dengan RSD mengalami penurunan volume gray matter di area yang
mempengaruhi rasa sakit (insula dorsal, korteks orbitofrontal kiri, sebagian
dari korteks cingulata) dan peningkatan volume gray matter di putamen
dorsal bilateral dan hipotalamus kanan. 11
E. Gejala dan Tanda
A. Gejala:
Gambaran klinis dari RSD dapat berupa inflamasi neurogenik,
sensitisasi nosiseptif, disfungsi vasomotor, dan neuroplastisitas
maladaptif. Gejala RSD awalnya bermanifestasi di dekat lokasi dan
biasanya ringan. Gejala yang paling umum adalah sensasi rasa sakit,
termasuk rasa terbakar, tertusuk, teriris, dan berdenyut-denyut.
Perubahan pada kulit, kadang-kadang kulit menjadi panas, merah dan
kering, sedangkan waktu lain mungkin dirasakan dingin, biru, dan
berkeringat. Pasien juga mengalami kejang otot, pembengkakan lokal,
kepekaan terhadap air, sentuhan, dan getaran, peningkatan abnormal
berkeringat, perubahan suhu kulit (biasanya panas tapi kadang-kadang
dingin) dan warna (merah terang atau ungu kemerahan), pelunakan dan
penipisan tulang, nyeri sendi atau kekakuan, dan dapat disertai rasa
sakit ketika bergerak. Gejala-gejala CRPS bervariasi, baik dalam rasa
nyeri maupun durasi. Karena RSD bersifat sistemik, organ lain juga
berpotensi untuk terpengaruh. Rasa sakit dari RSD dirasakan secara
9
terus menerus, dan diakui bahwa hal itu dapat meningkat oleh stress
emosional maupun fisik. 18, 21
Selain rasa sakit kronis, RSD juga dapat menyebabkan berbagai gejala
lainnya, termasuk: 18
a. Perubahan rambut dan kuku
Rambut dan kuku dapat tumbuh lebih lambat atau lebih cepat dari
seharusnya , kuku dapat menjadi rapuh atau berlekuk
b. Kekakuan sendi dan pembengkakan (oedema)
c. Tremor dan kejang otot (dystonia)
d. Osteoporosis di anggota badan yang terkena.
B. Tanda: 22
a. Rasa tidak biasa di anggota badan yang terkena
b. Merasa anggota badan yang terkena terpisah dari tubuh, atau
dirasakan lebih besar atau lebih kecil dari ukuran seharusnya
c. Sulit tidur (insomnia)
d. Kesulitan bergerak bagian tubuh yang terkena.
F. Diagnosis
Diagnosis Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD) didasarkan pada kriteria
klinis, sampai sekarang belum ada gold standard atau alat diagnostik yang
objektif. Kriteria diagnosis klinisnya adalah sebagai berikut: 23
1. Nyeri
Nyeri difus pada ekstremitas umumnya seperti terbakar, nyeri dalam
spontan (berdenyut, ditekan). Nyeri bertambah hebat bila ekstremitas
pada posisi tergantung. Nyeri dapat dipicu oleh gerakan dan penekanan
pada sendi (deep somatic allodynia).
2. Sensorik
Hipoestesia, allodynia terhadap stimulasi dingin dan mekanik.
10
3. Motorik
Kelemahan, tremor, kaku persendian.
4. Otonom
Hiperhidrosis, edema.
5. Trofik
Atrofi otot, kuku rapuh dan perubahan pertumbuhan rambut.
6. Seringkali terjadi osteoporosis pada lengan yang sakit.
G. Pemeriksaan Penunjang 23
1. Foto radiologi polos
Hasil gambaran radiologis akan didapatkan gambaran osteoporosis
pada RSD.
2. Test sensoris kuantitatif
Mengukur intensitas stimulus dibutuhkan untuk memproduksi sensasi
seperti sentuhan, vibrasi, hangat, dingin dan panas serta dingin,
ambang batas nyeri. Tes ini berguna untuk membantu mendeteksi
abnormalitas sensoris terkait hiperestesia, hiperagesia, allodynia, dan
perubahan suhu terkait nyeri neuropatik.
3. Termografi
Pemeriksaan ini menggunakan termometer infra merah (akurasi
±0,1ºC) untuk mendeteksi perubahan suhu kutaneus pada dua
ektremitas. Perbedaan 1°C pada kedua ekstremitas menunjukkan hasil
yang signifikan. Ekstremitas yang terkena bisa jadi lebih hangat atau
lebih dingin daripada ekstremitas lainnya.
H. Farmakoterapi 24
1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
11
Belum banyak diteliti untuk pengobatan RSD, tetapi pengalaman klinik
menunjukkan bahwa OAINS dapat mengontrol nyeri ringan sampai
sedang.
2. Antidepresan Trisiklik
Digunakan sebagai terapi tambahan nyeri neuropatik. Mekanismenya
dengan menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin pada sinaps.
Antidepresan juga bermanfaat dalam mencegah kekambuhan.
Imipramin dapat ditoleransi dengan baik dan memberikan hasil paling
memuaskan dalam menghilangkan gejala nyeri, manifestasi motorik,
dan otonomik.
3. Antikonvulsan
Golongan inhibitor Na dan K channel secara bermakna dapat
menghilangkan nyeri tajam dan parastesia pada dosis rendah.
Contohnya : karbamazepin, klonasepam, fenitoin, sodium valproat, dan
lamotrigin. Gabapentin juga efektif untuk terapi RSD. Obat golongan
ini juga bermanfaat pada nyeri pasca simpatektomi (simpatalgia).
4. Opioid oral.
Penggunaannya masih kontroversi. Digunakan terutama bila obat-
obatan lain tidak memberikan hasil yang memadai. Biasanya dipakai
opioid long acting seperti : morphin, oxycodon, dan methadon.
5. Simpatolitik Oral
Klonidin, prazosin, propanolol, fenoksibensamin. Klonidin (alpha-2
agonist) dapat juga diberikan per injeksi pada ruang epidural atau
transdermal. Prazosin (alpha-1 antagonis selektif), fenoksibensamin
(non-spesific alpha adrenergik antagonis), dan propanolol (inhibitor
beta adrenergic). Seluruh golongan obat-obat ini harus dititrasi pelan-
pelan dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sampai pasien
mengalami hipotensi ortostatik ringan. Bila belum terjadi hipotensi
ortostatik berarti dosisnya masih kurang cukup.
6. Kortikosteroid Dosis Tinggi
12
Pada permulaan terapi dengan kortikosteroid (misalnya prednison
dengan dosis tinggi 60 mg/hari selama 5-7 hari). Steroid harus
dihentikan bila setelah 5 hari terapi tidak ada respon, tetapi diteruskan
selama 21 hari bila hasilnya efektif. Disarankan untuk mencoba steroid
dosis tinggi (equivalen prednison 60 mg/hari selama 5 hari) paling
tidak sekali pada setiap pasien RSD.
7. Pelemas Otot
Dipergunakan untuk mengurangi spasme otot. Contoh: baclofen dan
tizanidine.
I. Rehabilitasi Medik
Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan RSD biasanya nyeri
dan sering dikaitkan dengan disfungsi ekstremitas serta tekanan
psikologis. Bagi mereka yang sakitnya berlanjut, gejala psikologis
(kecemasan, depresi), dan kurang tidur cenderung didapatkan. Oleh karena
itu, perlu pendekatan yang disesuaikan dengan pasien. Tujuan dari
intervensi dan pengobatan farmakologis adalah untuk mengatasi rasa sakit
sehingga pasien dapat melakukan program rehabilitasi dan mulai
melakukan mobilisasi sedini mungkin. 15, 16
1. Terapi Fisik
Merupakan terapi terbaik untuk sebagian besar pasien, dimana
pasien diarahkan secara bertahap untuk meningkatkan aktivitas
setiap minggu. Terapi diarahkan pada terapi fisik, gerakan, dan
stimulasi dari daerah yang terkena. Salah satu kesulitan pada terapi
fisik adalah penyesuaian terapi untuk orang yang berbeda. 17
2. Terapi Psikologi
Penelitian menunjukkan bahwa Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) jangka panjang dapat mengurangi seluruh gejala nyeri. CBT
merupakan salah satu pendekatan psikoterapi yang paling banyak
13
diterapkan dan telah terbukti efektif dalam mengatasi berbagai
gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Dasar dari CBT yaitu
bahwa gangguan emosional berasal dari penyimpangan (distorsi)
dalam berpikir. Perubahan pola-pola berpikir dilakukan selama
proses terapi. Terapi ini juga dapat dilakukan pada pasien pola
berpikir yang maladaptive (disfungsi kognitif) dan gangguan
perilaku. Dengan memahami dan merubah pola tersebut, pasien
diharapkan mampu melakukan perubahan cara berpikirnya dan
mampu mengendalikan gejala-gejala dari gangguan yang dialami. 17
3. Contrast Bath
Selain dengan latihan, dapat dilakukan juga contrast bath. Contrast
bath dilakukan dengan cara membasahi bagian yang terkena lesi
dengan air hangat (100 ° F, 43 ° C) dan dingin (65 ° F, 18 ° C)
beberapa menit. Modalitas ini dapat diajarkan kepada pasien
sehingga pasien dapat melakukan sendiri di rumah. 16
4. Transcutaneous Electro Nerve Stimulation (TENS)
Electrotherapy merupakan terapi dengan menggunakan
impuls listrik untuk menstimulasi saraf motorik ataupun untuk
memblok saraf sensorik. Salah satu jenis electrotherapy yang
sering dipergunakan untuk pengobatan adalah Transcutaneous
Electro Nerve Stimulation (TENS). TENS menggunakan listrik
bertegangan rendah yang disuplai dar alat portable yang
menggunakan baterai. Dua elektroda pada alat ini dihubungkan
pada bagian yang nyeri sehingga bagian tersebut dialiri impuls
listrik yang akan menjalar pada serabut saraf untuk mengurangi
kepekaan terhadap rangsang nyeri. Alat ini sering digunakan untuk
mengatasi nyeri pada tendonitis dan bursitis. 20
14
Selain TENS, shortwave diathermy juga dipergunakan
dalam praktek fisioterapi. Alat ini menggunakan arus listrik
frekuensi tinggi untuk meningkatkan suhu pada kulit. Bagian-
bagian tubuh yang besar seperti punggung dan pinggang dapat
diterapi dengan shortwave diathermy, karena penetrasi suhu dapat
lebih dalam daripada metode terapi panas non-electric. 20
Untuk RSD kronis, pengobatan harus terdiri dari terapi
medis, psikologis, terapi fisik dan terapi okupasi. Rasa nyeri saat
menjalani terapi dapat ditangani dengan farmakoterapi untuk
mengurangi nyeri. Dalam pengaturan program tersebut, pasien juga
mungkin memerlukan obat untuk menangani gangguan tidur,
kecemasan, atau depresi. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan
fungsi seoptimal mungkin. 14
J. Prognosis
Sampai saat ini pengobatan RSD masih sulit dan angka
keberhasilannya kurang dari 50% kasus. Secara umum, keberhasilan terapi
tergantung dari: 19
1. Diagnosis dini
2. Identifikasi dan menghindari faktor pencetus
3. Respon dari farmakoterapi
4. Fisioterapi
15
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Reflex Sympathetic Dystrophy merupakan nyeri terus menerus dalam sebagian ekstremitas setelah trauma, termasuk fraktur tapi tidak melibatkan saraf pusat. Wanita tiga kali lebih sering dari pada pria, namun belum ada penelitian yang secara khusus menunjukkan bahwa RSD dipengaruhi jenis kelamin maupun ras. Diagnosis didasarkan pada kriteria klinis dikarenakan sampai sekarang belum ada gold standard atau alat diagnostik yang objektif. Farmakoterapi terutama digunakan untuk mengurangi nyeri sebelum dilakukan rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang dilakukan adalah terapi fisik, psikologi, contrast bath, dan Transcutaneous Electro Nerve Stimulation (TENS). Sampai saat ini pengobatan RSD masih sulit dan angka keberhasilannya kurang dari 50% kasus. Prognosisnya bergantung pada diagnosis dini, identifikasi dan menghindari faktor pencetus, respon dari farmakoterapi, serta fisioterapi.
B. SARAN
1. Selama fase terapi, lengan anda mungkin akan ditempatkan dalam sling
untuk jangka waktu singkat untuk memungkinkan penyembuhan awal.
Jika kondisi memungkinkan, dokter akan melepas sling dan kemudian
latihan penggunaan lengan dapat segera dilakukan.
2. Dokter akan memberikan program rehabilitasi yang mencakup latihan
untuk mengembalikan fungsi gerak bahu dan kekuatan lengan. Biasanya
akan memerlukan waktu 2 bulan hingga 1 tahun agar rasa sakit hilang.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Chenicheri Balakrishnan MD, Lisa M Bradt RN, David Rankin MD, Thomas A Pane MD. 2004. Reflex sympathetic dystrophy syndrome associated with burns of the upper extremity. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3792767/pdf/cjps-12-037.pdf
2. Royal College of Physicians.2012.Complex regional pain syndrome in adults UK guidelines for diagnosis, referral and management in primary and secondary care. https://www.rcplondon.ac.uk/sites/default/files/documents/complex-regional-pain-full-guideline.pdf
3. Harris Gellman, MD, and David Nichols,MD.1997.Reflex Sympathetic Dystrophy in the Upper Extremity. http://www.orthochirurg.com/resources/journals/JAAOS/RSD%20in%20the%20upper%20extremity.pdf 1997
4. Orthopedic Associates. Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD) Defined. https://www.oaph.com/patient-resources/education/reflex-sympathetic-dystrophy-rsd-defined
5. Edward Carden, M.D., FRCP(C).Reflex Sympathetic Dystrophy Complex Regional Pain Syndrome (CRPS). http://www.forgrace.org/documents/carden-nonphysician.pdf
6. Sandroni P, Benrud-Larson LM, McClelland RL, Low PA.2003. Complex regional pain syndrome type I: incidence and prevalence in Olmsted country. Pain: 103: 199-207.
7. Kemler MA, van de Vusse AC, van den Berg-Loonen EM, et al. HLA-DQ1 associated with reflex sympathetic dystrophy. Neurology. Oct 12 1999;53(6):1350-1. [Medline].
8. Sebastin SJ. Complex regional pain syndrome. Indian J Plast Surg. May 2011;44(2):298-307. [Medline].[Full Text].
9. Coderre TJ, Bennett GJ. A hypothesis for the cause of complex regional pain syndrome-type I (reflex sympathetic dystrophy): pain due to deep-tissue microvascular pathology. Pain Med. Aug 2010;11(8):1224-38. [Medline].
10. Pleger B, Draganski B, Schwenkreis P, Lenz M, Nicolas V, Maier C, et al. Complex regional pain syndrome type I affects brain structure in
17
prefrontal and motor cortex. PLoS One. 2014;9(1):e85372. [Medline]. [Full Text].
11. Barad MJ, Ueno T, Younger J, Chatterjee N, Mackey S. Complex regional pain syndrome is associated with structural abnormalities in pain-related regions of the human brain. J Pain. Feb 2014;15(2):197-203.[Medline].
12. Cimaz R, Matucci-Cerinic M, Zulian F, Falcini F. Reflex sympathetic dystrophy in children. J Child Neurol. Jun 1999;14(6):363-7. [Medline].
13. Badri T, Ben Jennet S, Fenniche S, Benmously R, Mokhtar I, Hammami H. Reflex sympathetic dystrophy syndrome in a child. Acta Dermatovenerol Alp Panonica Adriat. Jun 2011;20(2):77-9. [Medline].
14. Audette JF, Bailey A. Physiatric treatment of pain. In Ballantyne JC, ed. The Massachusetts General Hospital Handbook of Pain Management, 3rd ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006:236-247.
15. Bruehl S, Harden RN, Galer BS et al. External validation of IASP diagnostic criteria for complex regional painsyndrome and proposed research diagnostic criteria. International Association for the Study of Pain. Pain1999;81(1–2):147–54.
16. Carlson LK, Watson HK. Treatment of refl ex sympathetic dystrophyusing the stress-loading program. J Hand Ther 1988;5: 149-154.
17. Daly AE, Bialocerkowski AE (2009). "Does evidence support physiotherapy management of adult Complex Regional Pain Syndrome Type One? A systematic review". European Journal of Pain 13 (4): 339–53.
18. Marinus J, Moseley GL, Birklein F, et al. (2011). "Clinical features and pathophysiology of complex regional pain syndrome".Lancet Neurology 10 (7): 637–48.
19. McCabe CS. Functional Strategies of Restoration of Complex Regional Pain Syndrome In: Douglas MJ (ed).IASP Program Comitee. Pain 2005 An Update review. Seattle ; IASP Press 2005: 317-326.
20. Novita Intan Arovah. (2010). Dasar-dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. Yogyakarta: Pendidikan Kedokteran di FakultasKedokteran Universitas Gadjah Mada
21. Eberle T, Doganci B, Krämer HH, et al. (2009). "Warm and cold complex regional pain syndromes: differences beyond skin temperature?". Neurology 72 (6): 505–12.
18
22. Veldman PH, Reynen HM, Arntz IE, Goris RJ (October 1993). "Signs and symptoms of reflex sympathetic dystrophy: prospective study of 829 patients". Lancet 342 (8878): 1012–6
23. Teadsdall, Smith, Koman. 2004. Complex regional pain syndrome (reflex synthetic dystrophy). Clinics in Sports Medicine.
24. Luc, Jasmin. Complex regional pain syndrome. Departments of Anatomy & Neurological Surgery, University of California, San Francisco, CA. MHA, Medical Director, A.D.A.M., Inc. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/complexregionalpainsyndrome.html
25. Anatomy Body Gallery .Autonomic Nervous System Diagram http://anatomybodygallery.com/peripheral-nervous-system/5399/autonomic-nervous-system-diagram-3
26. Frank M. Painter, D.C.. Paresthesias:A Practical Diagnostic Approach http://www.chiro.org/ChiroZine/FULL/Paresthesias.shtml