referat pneumonia feri
TRANSCRIPT
REFERAT
PNEUMONIA
Diajukan kepada :
dr. Endang Widiastuti, Sp.PD
Disusun oleh :
FERI SULISTYA
2006 031 0008
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RS JOGJAFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA2011
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PNEUMONIA
Dipresentasikan :
TANGGAL : 6 Agustus 2011
TEMPAT : RS JOGJA
Mengetahui,Pembimbing
Dr. Endang Widiastuti, Sp.PD
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru. Pneumonia dapat
disebabkan berbagai spesies bakteri, mikoplasma, klamidia, riketsia, virus, fungi
dan parasit. Pneumonia bukan penyakit tunggal melainkan sekelompok infeksi
spesifik yang masing-masing dengan epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis
dan perjalanan klinis yang berlainan. Identifikasi mikroorganisme yang menjadi
penyebabnya sangat penting karena sifat infeksi tersebut yang serius dan pasien
umumnya memerlukan terapi antimikroba yang harus segera diberikan sebelum
kepastian mikroorganisme penyebabnya ditentukan melalui hasil pemeriksaan
laboratorium. Etiologi mikroba yang spesifik masih membingungkan pada sekitar
sepertiga pasien, misalnya jika tidak terdapat sputum untuk pemeriksaan, hasil
kultur darahnya steril dan tidak terdapat cairan pleura. Pilihan awal terapi
antimikroba seringkali dilakukan secara empiris berdasarkan keadaan ketika
infeksi tersebut didapat, gambaran klinis, corak abnormalitas pada hasil foto
toraks, hasil pewarnaan sputum atau cairan tubuh yang terinfeksi lainnya dan
pengetahuan mengenai pola kerentanan pasien terhadap berbagai preparat
antimikroba. Setelah mikroorganisme penyebabnya diketahui, terapi antimikroba
yang khusus dapat dipilih.1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari referat ini adalah agar kita khususnya penyusun dapat
lebih memahami tentang Pneumonia, patofisiologi, klinis dan terapinya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. ISNBA
dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk pneumonia.
Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan
manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai perluasan bronkieaktasis yang
terinfeksi.
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumomitis atau reaksi inflamasi
berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat yang berlangsung dalam jangka waktu
yang bervariasi. Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh
proses infeksi akut yang merupakan penyebab yang tersering, sedangkan istilah
pneumolitis sering dipakai untuk proses non infeksi. Bila proses infeksi teratasi,
terjadi resolusi dan biasanya struktur paru normal kembali. Namun pada
pneumonia nekrotikans yang disebabkan antara lain oleh staphylococcus atau
kuman Gram negatif terbentuk jaringan parut atau fibrosis.
Secara klinis, dagnosis pneumonia didasarkan atas tanda-tanda kelainan
fisis dan adanya gambaran konsolidasi pada foto dada. Namun diagnosis lengkap
4
haruslah mencakup diagnosis etiologi dan anatomi. Pendekatan diagnosis ini
harus didasarkan kepada pengertian natogenesis penyakit hingga diagnosis yang
dibuat mencakup bentuk manifestasi, bertanya proses penyakit dan etiologi
pnumonia. Cara ini akan mengarahkan dengan baik kepada terapi empiris dan
pemilihan anti biotic yang paling sesuai terhadap mikroorganisme penyebabnya.
Pneumonia komunitas (PK) adalah infeksi akut pada parenkim paru pada
individu yang tidak dirawat di rumah sakit atau tinggal di fasilitas perawatan
jangka panjang sebelum timbulnya gejala. Pneumonia nosokomial (PN) adalah
pneumonia yang terjadi > 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit baik di
ruang rawat umum ataupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator.
Pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) adalah
pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru
praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran nafas yang terjadi di
masyarakat (pneumonia komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit (pneumonia
nosokomial/PN). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah
akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Pneumonia
nosokomial di ICU lebih sering daripada diruangan umum yaitu 42%: 13% dan
sebagian besar yaitu sejumlah 47 terjadi pada pasien yang menggunakan alat
Bantu mekanik. Kelompok pasien ini merupakan bagian terbesar dari pasien yang
meninggal di ICU akibat PN.
5
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang yang lanjut usia dan
sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi
pada pasien dengan penyakit yang lain seperti diabetes mellitus (DM), payah
jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf
kronik dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain adalah kebiasaan
merokok, pasca infeksi virus, diabetes mellitus, imunodefisiensi, kelainan atau
kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan
invasive seperti infus, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator. Perlu di
teliti juga factor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya panti jompo,
pengguanaan antibiotic, dan obat suntik IV.
2.3 PATOGENESIS
Pengertian epidemiologi dan patogenesis serta perkembangan antibiotik
memberikan sumbangan yang besar pada pengelolaan penyakit paru. Patogenesisi
pneumonia mencakup interaksi antara mikroorgaisme (MO) penyebab yang
masuk melalui berbagai jalan, dengan daya tahan tubuh pasien. Proses pneumonia
terutama dapat mengenai interstisium atau alveoli. Terlibatnya seluruh lobus
disebut pneumonia lobaris. Bila proses terbatas pada alveoli kemudian menyebar
secara berdekatan dengan ke bronkus, disebut bronkopneumonia.
Bakteri penyebab bila terhisap ke paru perifer melalui saluran napas
menyebabkan reaksi jaringan berupa edema, yang mempermudah proliferasi dan
6
penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu
terjadinya sebukan sel PMN (polimorfonuklear), fibrin, eritrosit, cairan edema dan
kuman di alveoli. Proses ini termasuk dalam stadium hepatisasi merah.,
sedangkan stadium hepatisasi kelabu adalah kelanjutan proses infeksi berupa
deposisi fibrin ke permukaan pleura. Ditemukan pula fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan proses fagositosis yang cepat, dilanjutkan stadium resolusi dengan
peningkatan jumlah sel makrofag di alveoli, degenerasi sel dan menipisnya fibrin,
serta menghilangnya kuman dan debris.
Proses kerusakan yang terjadi dapat dibatasi dengan pemberian antibiotik
sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang tidak terkena dapat
diselamatkan
2.4 ETIOLOGI
ISNBA dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, tersering
disebabkan oleh bakteri. Kuman penyebab pneumonia yang tersering dijumpai
berbeda jenisnya di suatu negara, dan antara satu daerah dengan daerah lain pada
satu negara, di luar RS dan di dalam RS, antara RS besar/tersier dengan RS yang
lebih kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik epidemiologi kuman di suatu
tempat.
Diketahui berbagai pathogen yang cenderung dijumpai pada factor resiko
tertentu misalnya H. influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pd lansia,
gram (-) pd pasien rumah jompo, PPOK, penyakit jantung,pasca terapi AB
7
spektrum luas. Ps. aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid (>10
mg/hari), malnutrisi dan imunosupresi disertai lekopeni.
Pada PK rawat jalan jenis patogen tdk diketahui 40% kasus, dilaporkan
adanya Str. Pneumoniae 9-20%, M. pneumoniae 13-37%, Chlamydia
pneumoniae 17%. Pada PK rawat inap di luar ICU , 20-70% tdk diketahui, Str.
Pneumoniae 20-60%, H. influenza 3-10%, dan S. aureus, gram (-) enterik, M.
pneumonia, C. pneumoniae legionella dan virus sp 10%. Patogen pada PK rawat
inap ICU , 50-60% tdk diketahui, 33% Str. Pneumoniae. Rumah jompo, S. aureus
resisten methisilin, gram (-), M. tuberculosis, virus tertentu, dan influenza.
PN juga tersering disebabkan oleh bakteri. Kuman penyebabnya sering
berbeda jenisnya antara ruangan biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU)
tergantung pada 3 faktor : tingkat berat sakit, ada risiko utk jenis patogen tertentu,
dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
PN bacterial dapat dibagi atas PN awitan awal dalam waktu kurang dari 3
hari yang kumannya sering pula di dapat di luar RS, biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae (5-10%), M. Catarrhalis (<5%) dan H. Influenzae, PN
awitan lanjut bila lebih dari 3 hari, sering disebabkan oleh kuman Gram negatif
aerob sebesar 60%, berupa P. aeruginosa, Enterobacter spp. K. pneumoniae,
Seratia spp; S. aereus (20-25%). Kelompok kedua biasanya merupakan kuman
yang resisten terhadap antibiotik. Kuman anaerob dapat menjadi penyebab pada
kedua kelompok (35%).
8
Patogen Faktor Risiko
Staphylococcus aureus Koma,cedera kepala,influenza,pemakaian obat IV,DM,gagal ginjal
Methicilin resisten S. aureus Pernah dapat AB, ventilator > 2 hari, lama dirawat di ICU, terapi steroid/AB
Ps. Aeruginosa Kelainan struktur paru (bronkiektasis,kistik fibrosis), malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai operasi abdomen
Acinobacter spp. Antibiotik sebelum onset pneumonia dan ventilasi mekanik
Tabel 1. Faktor risiko utama untuk pathogen pada PN
Pada waktu akhir-akhir ini sejumlah kuman baru/oportunis telah
menimbulkan infeksi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang rendah, isalnya
Legionella, Chlamydia trachomatis, M. atypical, berbagai jenis jamur (C.
albicans, Aspergilus fumigatus) dan virus.
2.5 GAMBARAN KLINIS DAN KLASIFIKASI
Gambaran klinis pneumonia bervariasi berdasarkan faktor-faktor infeksi
yang berperan pada pasien. Karena itu perlu dibuat klasifikasi pneumonia.
Terdapat berbagai klasifiksai pneumonia, namun yang terbaik adalah klasifiksai
klinis yang mengarahkan kepada diagnosis dan terapi secara empiris dengan
mempertimbangkan faktor-faktor terjadinya infeksi yaitu faktor lingkungan
pasien, keadaan imunitas pasien, dan mikroorganisme. Klasifikasi bisa
berdasarkan kepada 1, 2 atau 3 faktor di atas, atau mengaitkannya dengan data-
data klinis, epidemiologis, dan pemeriksaan penunjang.
9
2.5.1 Klasifikasi Etiologi
Dibagi atas
1. Bakterial : Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, L. pneumophilia,
Klebsiella, Pseudomonas, E. coli, Mycoplsama, Chlamydia, dll.
2. Nonbakterial : tuberculosis, virus, fungi dan parasit.
Pembagian pneumonia ini tidak mempertimbangkan gambaran
klinisnya. Cara ini bermanfaat dari aspek patologi-anatomi, namun kurang
bermanfaat secara klinis karena kuman penyebab datang PN belum diketahui pada
saat pasien datang dan memerlukan terapi
2.5.2 Klasifikasi Klinis
1. Klasifikasi tradisional, meninjau ciri radiologis dan gejala klinis. Dibagi
atas :
a. Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia
lobaris yang klasik antara lain berupa awitan yang akut dengan gambaran
radiologis berupa opasitas lobus atau lobularis, dan disebabkan kuman
yang tipikal terutama S. pneumoniae, Klebsiella pneumoniae atau H.
influenzae.
b. Pneumonia atipikal, ditandai oleh gangguan respirasi yang
meningkatkan lambat dengan gambaran inflirat paru bilateral yang difus.
Biasanya disebabkan organisme yang atipikal dan termasuk Mycoplasma
10
pneumoniae, virus, Legionella pneumophila, Chlamydia psittaci dan
Coxiella burnetti. Di negara Bara mikroorganisme Mikoplsama adalah
prototype penyebab pneumonia atipikal, disamping menyebabkan penyakit
saluran napas atas dan penyakit di luar paru antara lain pada kulit, susunan
saraf pusat, darah jantung dan sendi-sendi. Mikoplasma menjadi penyebab
pada 15-20% pneumonia, bahkan mencapai 60% pada usia sekolah dan
dewasa muda. Dapat juga terjadi infeksi pada usia di atas 60 tahun.
Klasifikasi ini praktis tidak digunakan lagi karena disadari bahwa
gambaran klinis radiologis, atau Laboraturium dari berbagai pneumonia saling
tumpang tindih dan pada klasidikasi ini tidak tercakup pneumonia yang
gambarannya tidak khas.
2.5.3. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan dan pejamu
Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia komunitas Sporadis atau endemic; muda atau
orang tua.
Pneumonia nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia rekurens Terdapat dasar penyakit paru
kronik
Pneumonia aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transpalansi, onkologi,
AIDS
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan dan pejamu
11
Klasifikasi ini adalah yang lazim kini dipakai dan dengan cara ini dapat
diperkirakan etiologi pneumonia secara empirik.
1. Pneumonia bakerial (sindrom klinis pneumonia bacterial) diketahui
bahwa kuman kelompok bacteria tertentu memberikan gambaran klinis
pneumonia yang akut dengan konsolidasi paru, dapat berupa:
a. Pneumonia bacterial tipe tipikal yang terutama mengenai
parenkim paru dalam bronkopneumonia dan pneumonia lobar.
b. Pneumonia bacterial tipe campuran (mixed type) dengan
prosentasi klinis atipikal yaitu perjalanan penyakit yang lebih ringan
(insidious) dan jarang disertai konsolidasi paru. Biasanya pada pasien
dengan penyakit kronik.
2. Pneumonia non bacterial.
Dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan oleh Mycoplasma,
Chlamydia pneumoniae atau Legionella. Kemudian istilah sindrom pneumonia
atipikal dipakai untuk merangkum pula bentuk lain dengan ciri-ciri gambaran
klinis yang beraneka ragam dan gambaran radiologis yang menyimpang dari
normal, refrakter terhadap terapi antibiotik stadar, lambat dalam
penyembuhannya, dan mempunyai tendesi untuk kambuh, yaitu yang disebabkan
oleh mikobakterium, jamur, virus atau mikroorganisme lain, dan penyakit
peradangan paru yang bukan infeksi, termasuk tumor. Pada PK yang terjadi
pada orang sehat (primer) atau usia muda terutama dijumpai pneumonia tipikal
12
atau antipikal, tetapi pada PK dengan penyakit paru kronik atau kelainan dasar
(sekunder) dan pada PN terutama di jumpai tip campuran.
2.5.4 Manifestasi Klinik
Secara umum dapat dibagi menjadi:
a. manifestasi nonspesifik infeksi ini dan toksisitas berupa demam, sakit kepala,
iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal.
b. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu, akspektorasi
sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih, dan sianosis. Penderita
pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut
tertekuk karena nyeri.
c. Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara
napas melemah, dan ronki.
d. Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, suara
napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub, nyeri dada karena iritasi
pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah dan berubah menjadi nyeri
tumpul), kaku kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa inflamasi) bila
terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen (kadang terjadi bila iritasi
mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan bawah).
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis klinis pneumonia bergantung kepada penemuankelainan fisis
atau bukti radiologis yang menunjukkan konsuidasi. Klasifikasi diagnosis klinis
pada masa kini dilengkapi faktor patogenesis yang berperan (lingkungan, pejamu,
13
kuan penyebab). Diagnosis dan terapi pneumonia atau ISNBA umumna dapat
ditegakkan berdasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis
yang diteliti dan pemeriksaan penunjang.
2.6.1 Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktro infeksi :
a. Evalusai faktor pasien/presdiposisi: PPOK (H. influenzae),
penyakit kronik (kuman ganda), kejang/tidak sadar 9aspirasi Gram
negatif), anaerob), penuunan imunitas (kuman Gram negatif),
Pneumocystic carinil, CMV, Legionella, jamur, Mycobacterium),
kecanduan obat bius (Staphylococcus)
b. Bedakan lokasi infeksi : PK (Stretococcus pneumoniae, H,
inflenszae, M. pneumoniae); rumah jompo, Pn, (Staphylococcus aereus;
Gram negatif.
c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M, pneumoniae), dewasa
(S, pneumoniae)
d. Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S.
pneumoniae); perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).
2.6.2 Pemeriksaan fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis.
Perhatikan gejala klinis yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas kuman
dan tingkat berat penyakit:
14
a. Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae,
Streptococcus spp. Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia,
malaise, batuk kering dan nonproduktif. Awitan lebih insidious dan ringan pada
orang tua/imunitas menurun akibat kuman yang kurang patogen/oportunistik,
misalnya; Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anero, jamur.
b. Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berua
demam, sesak napas, tanda-tanda Konsulidasi paru (perkusi paru yang peka, ronki
nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada PK primer berupa
bronkopneumonia, pneumonia lobaris atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk
yang tidak khas dijumapi pada PK sekunder ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk
manifestasi lain infeksi paru seperti efusi pleura,
pneumotoraks/hidropneumotoraks. Pada pasien PN atau dengan gangguan imun
dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia.
c. Warna, konsistensi, dan jumlah spuum penting untuk diperhatikan.
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
2.6.3.1 Pemeriksaan radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air
bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae;
bronkopneumonia (Segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus, virus atau
mikoplasma; dan pneumonia interstisial (interstitial disease) oleh virus dan
mikoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apical lobus bawah atau interior
lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada
15
pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa di mana saja. Infiltrat di lobus atas sering
ditimbulkan Klebsiella, tuberculosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat
terjadi atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat akibat
Staphylococcus atau bakteriemia.
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air fluid level sugestif untuk abses
paru, infeki anaerob, Gram negatif atau amiloidosis. Efosi pleura dengan
pneumonia sering ditimbulkan S. pneumoniae. Dapat juga oleh kuman anaerob, S.
pyogenes, E.coli dan Staphylociccus (pada anak). Kadang-kadang oleh K.
pneumoniae, P. pseudomallei. Pembentukan kista terdapat pada pneumonia
nekrotikans/ supurativa, abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan dan
fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman, S. Aereus, K.
pneumoniae dan kuman-kuman anaerob (Streptococus anaerob, Bacteroides,
Fusobacterium). Ulangan foto perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi sekunder/tambahan, efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau
pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto
dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu.
2.6.3.2 Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi yang berat sehingga tidak terjadi
respons leukosit, oran gtua atau lemah. Leukopenia menunjukkan depresi
imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatif atau S. aereus
pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin
terganggu.
16
2.6.3.3 Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
aspirasi, jarum transtokoral, torakkosentesis, bronkoskopi, atau biopsy. Untuk
tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test
dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang disertai PMN yang
kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan
pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.
2.6.3.4 Pemeriksaan khusus
Titer antibody terhadap virus, legionela, dan mikoplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah
dilakukan untuk menilai tingkat hiposia dan kebutuhan oksigen.
2.7 INDIKASI RAWAT INAP PNEUMONIA KOMUNITAS
Pada pneumonia komunitas, terdapat stratifikasi untuk perawatan di rumah
sakit. Salah satu metode yang digunakan adalah Pneumonia Severity Indeks (PSI).
Skor Pneumonia Severity IndexKarakteristik Penderita SkorFaktor demografi
Usia: laki-lakiperempuan
Perawatan di rumah Penyakit penyerta
KeganasanPenyakit hatiGagal jantung kongestifPenyakit serebrovaskularPenyakit ginjal
Umur (tahun)Umur (tahun) – 10+10
+30+20+10+10+10
Pemeriksaan fisik
17
Perubahan status mental Frekuensi nafas ≥30x/menit TD sistolik <90 mmHg Suhu tubuh <35oC atau ≥40oC Frekuensi nadi ≥125x/menit
+20+20+20+15+15
Hasil laboratorium/radiologi Analisis gas darah arteri: pH 7,35 BUN ≥30 mg/dL Natrium <130 mEq/liter Glukosa ≥250 mg/dL Ht <30% PO2 <60 mmHg atau SaO2 <90% Efusi pleura
+30+20+20+10+10+10+10
Tabel 3. Skor Pneumonia Severity Index
Stratifikasi Risiko Berdasarkan Total Skor PSIRisiko Kelas
Skor PSI Mortalitas Keterangan
I (ringan) Lihat algoritma 0,1% Tidak perlu dirawat di rumah sakit
II (ringan) ≤70 0,6% Tidak perlu dirawat di rumah sakit
III (ringan) 71-90 0,9% Tidak perlu dirawat di rumah sakit atau rawat dalam waktu singkat
IV (sedang) 91-130 9,3% Perlu dirawat di rumah sakit
V (berat) >130 27% Perlu dirawat di rumah sakit
Tabel 3. Stratifikasi Risiko Berdasarkan Total Skor PSI
Indikasi rawat inap di rumah sakit adalah bila Skor PSI > 70, dan pneumonia
pada penderita NAPZA, akan tetapi bila skor PORT < 70, penderita tetap di
rawat inap bila:
1. Frekuensi nafas > 30x/mnt
2. Pa)2/ FiO2 kurang dari 250
18
3. Foto thoraks menunjukkan kelainan bilateral atau lebih dari 2 lobus
4. Tekanan sistolik < 90 mmHg
5. Tekanan diastolik < 60 mmHg
Selain menggunakan skor Pneumonia Severity Indeks (PSI), ada juga yang
menggunakan skor CURB-65. Kriteria nya meliputi : Confusion (waktu, tempat,
orang), BUN level > 20 mg/dl, Respiration rate > 30 kali per menit, Blood
Pressure systolic >90 mm/Hg or diastolic <60mm/Hg dan Umur ≥ 65 tahun.
Pasien diindikasikan untuk di rawat inap apabila skor CURB-65 >2.
Pasien berindikasi untuk di rawat di ICU menggunakan criteria dari
American Thorasic Society adalah bila bila pasien PK sakit berat terdapat 1 dari 2
kriteria mayor, atau 2 dari kriteria minor.
1. Kriteria mayor : butuh ventilator dan syok septik
2. Kriteria minor : tensi sistolik < 90 mmHg, mengenai multilobar, PaO2/
FI O2 ratio > 250, Confusion (waktu, tempat, orang), BUN level > 20
mg/dl, Respiration rate > 30 kali per menit, lekopenia, trombositopenia,
hipotermia.
2.8 KRITERIA DIAGNOSIS PNEUMONIA NOSOKOMIAL
Pada penderita pneumonia nosokomial, criteria diagnostic yang digunakan
menurut CDC adalah sebagai berikut :
1. Ronki atau dullness pada perkusi torak. Ditambah salat satu :
a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya
19
b. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal,
biopsi atau sapuan bronkus.
2. Gambaran radiologis berupa infitrat baru yg progresif, konsolidasi,
kavitasi, atau efusi pleura, dan salah satu dari :
a. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi
b. Titer antibodi tunggal yg diagnostik (IgM) atau peningkatan 4x
titer IgG dari kuman.
c. Bukti histopatologis kuman
3. Pasien sama atau <12 thn dgn 2 dari gejala-gejala :
apneu,takipneu,bradikardia,wheezing,ronki,atau batuk disertai salah satu
dari :
a. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria
no.2 di atas.
4. Pasien sama atau < 12 thn yg menunjukkan infiltrat baru atau progresif,
kavitasi, konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak ditambah salah satu
dari kriteria no.3 di atas.
2.9 TERAPI
2.9.1 Terapi pada Pneumonia Komunitas
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
20
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat
sebagai berikut.
2.9.1.1 Pengobatan Penderita Rawat Jalan
1. Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik dalam 3 bulan
sebelumnya. Antibiotik yang digunakan adalah :
- Macrolide (azithromycin, clarithromycin, atau erythromycin)
- Doksisiklin
2. Kehadiran penyulit, seperti penyakit jantung kronis, paru-paru, liver,
penyakit ginjal; diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan; asplenia,
kondisi immunosuppressing atau penggunaan obat immunosuppressing,
penggunaan antimikroba dalam 3 bulan sebelumnya (dalam hal ini
merupakan alternatif dari kelas yang berbeda harus dipilih), atau resiko
lainnya:
a. Fluorokuinolon respiratory (moksifloksasin, gemiifloxacin atau
levofloksasin
b. B-laktam ditambah sebuah makrolida (amoksisilin dosis tinggi
[misalnya, 1 g 3 kali sehari] atau amoksisilin klavulanat-[2 g 2 kali sehari]
lebih disukai; alternatif termasuk cef triaxone, cefpodoxime, dan
21
cefuroxime [500 mg 2 kali sehari]; doksisiklin adalah alternatif untuk
makrolida tersebut.)
3. Di daerah dengan tingkat infeksi tinggi (125%) dengan tingkat resistensi
makrolide terhadap S.pneumoniae tinggi (MIC, 16 mg / mL),
pertimbangkan penggunaan agen alternatif yang tercantum dalam
rekomendasi diatas di atas untuk setiap pasien, termasuk mereka yang
tanpa komorbiditas .
2.9.1.1 Pengobatan Penderita Rawat Inap non ICU
Rejimen berikut direkomendasikan untuk Rawat inap non ICU:
a. Sebuah fluorokuinolon respiratory
b.Sebuah b-laktam plus makrolida (pilihan b-laktam termasuk agen
sefotaksim, ceftriaxone, dan ampisilin; ertapenem untuk pasien yang
dipilih; Dengan doksisiklin sebagai alternatif makrolida ,fluorokuinolon
respiratory harus digunakan untuk pasien yang alergi penisilin )
2.9.1.1 Pengobatan Penderita Rawat Inap ICU
Sebuah b-laktam (sefotaksim, ceftriaxone, atau ampisilin-sulbactam) plus
azitromisin atau sebuah fluoroquinolone (Untuk pasien alergi penisilin,
fluoroquinolone pernapasan dan aztreonam direkomendasikan.)
2.9.1.1 Pengobatan Penderita keadaan khusus
Regimen yang dianjurkan standar rutin terapi empiris harus mencakup 3
patogen yang paling umum yang menyebabkan pneumonia komunitas parah,
22
semua patogen atipikal, dan sebagian besar spesies Enterobacteriaceae. Treatment
MRSA atau infeksi P.aeruginosa adalah alasan utama untuk memodifikasi empiris
standar rejimen. Berikut ini adalah tambahan atau modifikasi terhadap rejimen
empiris dasar yang dianjurkan jika patogen ditas diduga.
1. Untuk infeksi Pseudomonas, gunakan antipneumococcal, suatu anti
pseudomonas b-laktam (piperasilin-tazobactam, cefepime, imipenem, atau
meropenem) ditambah siprofloksasin atau levofloksasin baik (750 mg
dosis)
atau b-laktam ditambah aminoglikosida dan azitromisin, atau b-laktam
diatas ditambah aminoglikosida dan anti pneumokokus fluorokuinolon.
(Untuk pasien alergi penisilin, pengganti aztreonam untuk b laktam
diatas.)
2. Untuk infeksi CA-MRSA, tambahkan vankomisin atau linezolid. Jangan
Gunakan daptomycin untuk pneumonia
2.9.1.1 Pengobatan langsung patogen penyebab
Setelah etiologi CAP telah diidentifikasi pada dasar metode mikrobiologis
dapat diandalkan, antimikroba terapi harus diarahkan pada patogen itu.
23
2.9.1 Terapi pada Pneumonia Nosokomial
SUSPEK PN,PBV, PPK
Bahan kultur SNBB & bakteriologik
Dimulai terapi empirik AB berdasarkan algoritmebagan a dan pola patogen lokal
Hari ke2-3 : evaluasi klinis dan data lab (suhu,lekosit,foto torak,oksigenasi,sputumpurulent,perubahan hemodinamik & f.organ)
24
Gambar 1 : strategi tatalaksana suspek PN, PBV,atau PPK
Terapi empirik awal untuk pneumonia nosokomial
Patogen Potensial Antibiotika yang disarankan
S. PneumoniaH. Influenza
CeftriaxoneAtau
Gram (-) sensitif antibiotik :Escherichia coli K.pneumoniae Enterobacter spp. Serratia marcescens
Levofloksasin, moksifloksasin atau ciproflokasasinAtau Ampisilin/ sulbaktamAtau Ertapenem
Patogen Potensial Antibiotika yang disarankan
Patogen seperti tabel di atas dan patogen resisten AB jamak :
Ps. Aeruginosa K. pneumoniaw Acinobacter spp Methicillin sensitif aureus
Sefalosporin antipseudomonas (cefeime, ceftazidime) atauCarbepenem antipseudomonas (imipenem atau meropenem) Atau
Gram (-) sensitif antibiotik :Escherichia coli
K.pneumoniae Enterobacter spp. Proteus spp. Serratia marcescens
B-laktam/B- laktamase inh (piperasilin- tazobaktam)PlusKuinolon antipseudomonas(Ciprofloksasin atau levofloksasin)Atau Aminoglikosida (amikasin, gentamisin, tobramisin) Plus
Perbaikan klinis dalam 48-72jam
tidak
ya
Kultur (-)
Kultur (+)
Kultur (-)
Kultur (+)
Cari patogenLain?Komplikasi,D/lain lokasiInfeksi lain
Sesuaikan AB,Cari patogen Lain, komplikasi,D/lain, lokasiInfeksi lain
Pikirkan stopAB
TingkatkanAB terapi7-8 hari,Evaluasi ulang
25
methicillin resisten Staph. Aureus
Legionella (jika dicurigai)
Linezolid atau vankomisin
Makrolid (azithromisin) atau flyuoroqunolon
Tabel 5. Terapi empirik awal untuk pneumonia nosokomial
DOSIS INTRAVENA AWAL ANTIBIOTIKA UTK EMPIRIK TERAPI PADA PNEUMONIA NOSOKOMIAL
Suspek Patogen Antibiotik yang disarankanSefalosporin antipseudomonas
Cefepime Ceftazidime
1-2 gram tiap 8-12 jam2 gram tiap 8 jam
Carbapenem : Imipenem Meropenem
0,5 gr tiap 6 jam / 1 gr tiap 12 jam1 gram tiap 8 jam
B- laktam / B- laktamase inh : Piperasilin –
tazobaktam4,5 gram tiap 6 jam
Aminoglikosida : Gentamisin Toramisin Amikasin
7 mg/kg/hari7 mg/kg/hari20 mg/kg/hari
Kuinolon antipseudomonas Levofloksasin Ciprofloksasin
750 mg/ hari400 gram/ 8 jam
Vankomisin 15 mg/ kg/ 12 jam
Linezolid 600 mg/ 12 jam
Tabel 6. Dosis intravena awal antibiotic yang diberikan
26
2.9.2 Terapi Suportif Umum
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-
96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang
kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran
untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk
melancarkanekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk
melancarkan pernapasan.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila
terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan
baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi
untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.
Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator
pada pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan
27
pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu
dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2
menjadi 50% atau lebih rendah.
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress,
dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup
yang didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari
pembentukan CO2 yang berlebihan.
2.9.3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi
biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral
harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan
antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv
yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama,
potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama
atau berbeda, potensi lebih rendah).
Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah
stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat menelan obat-obatan, dan
28
memiliki saluran pencernaan berfungsi normal. Pasien harus dilepas sesegera
mungkin ketika klinis sudah stabil, tidak memiliki masalah medis aktif lainnya,
dan memiliki lingkungan yang aman untuk perawatan lanjutan.Kriteria untuk
Pneumonia komunitas terkait stabilitas klinis adalah :
1. Temp ≤ 37,8 C,
2. Denyut jantung ≤ 100 denyut / menit,
3. Respirasi rate≤ 24 napas / menit
4. Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg
5. Saturasi O2 arteri ≥ 90% atau pO2 ≥ 60 mmHg pada
ruang udara,
6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral,
7. Normal satatus mental
2.10 KOMPLIKASI
Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus,
terutama pada infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negatif
sebesar 60%, Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman
anaerob 35%. Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya
transudat dan steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan
cairan eksudat.
Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau
bakteriemia berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia,
29
anemia pada infeksi kronik, peningguan ureum dan enzim hati. Kadang-kadang
terjadi peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis
intrahepatik.
Hipoksemia akibat gangguan difusi.
Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung
lebih dari 4-6 minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-)
seperti Pseudomonas aeruginosa.
Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-
anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic
fibrosis atau hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans.
2.11 PENCEGAHAN
2.11.1 Pneumonia Komunitas
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan
pnemukokus terhadap orang dengan risiko tinggi, misalnya pasien dengan
gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal
dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk penghuni rumah
jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia di atas 65 tahun.
2.11.2 Pneumonia Nosokomial
Pencegahan PN berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi
dnegan cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Perlu dilakukan terapi
agresif terhadap penyakit pasien yang akut atau dasar. Pada pasien dengan gagal
organ multipel (multiple organ failuere), skor Apache-II yang tinggi dan penyakit
30
dasar yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat
berbagai faktor terjadinya PN. Dari berbagai resiko tersebut beberapa faktor
penting tidak bisa dikoreksi seperti terlihat pada tabel 5. Beberapa faktor dapat
dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, seperti terlihat pada tabel 6, yaitu
antara lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal
atau pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid.
2.11.3 Nutrisi Enteral
Penilaian status nutrisi yang tepat dan pembatasan pemakaian cara
pemberian nutrisi enteral dapat mengurangi resiko PN. Pelaksanaan pemberian
nutrisi enteral secara dini dapat membantu pemeliharaan epitel pencernaan dan
mencegah terjadinya translokasi kuman, dengan peningkatan risiko distensi
gaster, kolonisasi, aspirasi dan PN. Posisi pasien setengah duduk dapat
menurunkan risiko aspirasi.
2.13 PROGNOSIS
2.13 .1 Pneumonia Komunitas
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak
ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia,
penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia
pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada
orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya gangguan imunologis, sirosis
hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau kanker. Adanya leukopenia, ikterus,
terkenanya 3 atau lebih lobus dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda
31
prognosis yang buruk. Kuman gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih
jelek.
Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu
perawatan di RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat
berobat jalan kecuali:
1. Bila terdapat penyakit paru kronik
2. PN Meliputi banyak lobi
3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang
tinggi yaitu:
a. Usia > 60 tahun.
b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi
napas > 30 x/m, tekanan diastolik < 60 mmHg bingung.
c. Hasil pemeriksaan setelah perwatan: tensi < 60 mmHg, leukosit
abnormal (<4.000 atau > 30.00/mm3), Urea N meningkat, pO2= turun, dan
albumin serum rendah (< 3,5 g%).
2.13 .2 Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial di Amerika Serikat merupakan urutan ke-2
penyebab kematian yang diakibatkan infeksinosokomial. Pneumonia nosokomial
merupakan penyebab kematian utama oleh infeksi pada pasien yang berusia tua,
pascaoperatif, dan yang menjalani ventilasi mekanis.
32
BAB III
PENUTUP
Pneumonia merupakan bentuk utama ISNBA yang menimbulkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. Pneumonia
dapat terjadi secara primer atau merupakan tahapan lanjutan manifestasi ISNBA
lainnya misalnya sebagai peruasan bronkiektasis yang terinfeksi.
Pneumonia dapat berupa pneumonia komunitas yang terjadi di
masyarakat dan pneumonia nosokomial yang terjadi di rumah sakit. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian di antara pasien terutama yang terinfeksi di ICU.
Berbagai aspek penyakit ini perlu dipahami untuk dapat mengatasinya dengan
baik. Terapi empirik perlu segera diberikan dengan pemilihan antibiotik yang
tepat dan selanjutnya dilakukan penyesuaian pemberian AB untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, hingga biaya obat dapat ditekan seoptimal mungkin dengan
risiko angka mortalitas yang sekecil-kecilnya. Tindakan pencegahan perlu diambil
untuk mengurangi angka morbiditas penyakit, khususnya dengan mengurangi
faktor risiko untuk terjadinya pneumonia tersebut.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001;
163: 1730-54.
2. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir
Crit.Care Med 2005; 171: 388-416.
3. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM;
2007.
4. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ.
Practice guidelines for management community-acquiredd pneumonia in
adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-82
5. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S27
6. Mylotte JM, Nursing home-associated pneumonia, Clin Geriatr Med
2007;23:553
7. Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia,
2007;132:1348
8. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia
inpatient and outpatient, Chest 2007;131;1205
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.2003
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial.2003
34