referat pendek

Upload: dokter-zerosix

Post on 07-Jul-2015

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SMF/Lab Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Referat Pendek

Struma Nodusa Toksik

Disusun Oleh Umar Jasalim 06.55363.00306.09

Pembimbing dr. H. A. Latif Choibar C. Sp.PD KEMD FINASIM

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada SMF/Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran - Universitas Mulawarman 2011

LEMBAR PENGESAHAN

Referat Pendek Struma Nodusa Toksik

Dipresentasikan pada tanggal . 2011

Disusun Oleh : Umar Jasalim NIM. 06.55363.00306.09

Pembimbing : dr. H. A. Latif Choibar. C, Sp.PD. KEMD. FINASIM

BAB I Pendahuluan

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Secara klinis strauma dapat di bedakan menjadi strauma toksik (perubahan fungsi fisiologis kelenjar tiroid Hipertiroid) dan strauma non toksik (eutiroid). Strauma toksik sendiri dibagi menjadi struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Kompresi local yang terjadi yang berhubungan dengan perkembangan nodul dan kelenjar mengakibatkan terjadinya dyspnea, serak, dan dysphagia. Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Struma nodular toksik (Plummers disease) pertama sekali dideskripsikan oleh Henry Plummer pada tahun 1913. Struma nodular toksik merupakan penyebab hipertiroid terbanyak kedua setelah Graves disease, dengan perbandingan 40% karena strauma nodular toksik dan 60% karena Graves disease.

Pada area endemik kekurangan iodium, struma nodular toksik terjadi sekitar 40 % dari kasus hipertiroidism, 10 % berbentuk nodul toksik yang solid (mononoduler/adenoma toksik) dan 30% berbentuk multinoduler. Grave disease terjadi sekitar 58 % dari seluruh kasus hipertiroidisme. Di Indonesia data secara nasional masih belum didapatkan, namun data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005 melaporkan struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12%) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %). Struma nodular toksik lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Pada wanita dan pria berusia diatas 40 tahun, rata rata prevalensi nodul yang bisa teraba adalah 5 7 % dan 1 2 %. Kebanyakan pasien struma nodular toksik berusia lebih dari 50 tahun. Thyrotoksikosis sering terjadi pada pasien dengan riwayat struma yang berkepanjangan. Toksisitas terjadi pada pasien dengan perkembangan fungsi yang otonomik. Toksisitas meningkat pada dekade 6 dan 7 dari kehidupan khususnya orang dengan riwayat keluarga mengalami struma nodular toksik.

BAB II PEMBAHASAN Klasifikasi Strauma Berdasarkan Fisiologisnya : a. Eutitiroidisme yaitu suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea. b. Hipotiroidisme yaitu kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid

sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. c. Hipertiroidisme yaitu respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh

metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.

Berdasarkan Klinisnya (American society for Study of Goiter) :

Strauma

Strauma non toksik

Strauma toksik

Strauma non toksik nodusa

Strauma non toksik difusa

Strauma toksik nodusa

Strauma toksik difusa

Pembagian Strauma menjadi toksik dan nontoksik berdasarkan ada tidaknya gejala-gejala gangguan fungsi tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid. Sedangkan Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik) . Sehingga apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik

Penyebab Fungsi otonomik dari kelenjar tiroid berhubungan dengan kekurangan iodium. Berbagai variasi mekanisme telah diimplikasikan, akan tetapi pathogenesis molecular belum begitu jelas y Keadaan yang menjurus pada struma nodular toksik

Defisiensi iodium berdampak pada penurunan kadar T4, yang mencetus hyperplasia sel tiroid untuk mengkompensasi kadar T4 yang rendah. Peningkatan replikasi sel tiroid merupakan factor predisposisi sel tunggal untuk mengalami mutasi somatic dari reseptor TSH. Aktifasi konstitutif dari reseptor TSH bisa membuat factor autokrin yang mempromosikan pertumbuhan yang menghasilkan proliferasi klonal. Sel klon memproduksi nodul yang multiple y Mutasi Somatik dari reseptor TSH dan G protein merubah aktifasi

konstitutif menjadi kaskade cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dari jalur inostol phosphate Mutasi ini terdapat pada fungsi otonomik nodul tiroid, solid sampai pada kelenjar multinodul. Laporan frekuensi mutasi ini bervariasi, sekitar 10 80 %. Insidensi tertinggi dilaporkan pada pasien dengan defisiensi iodium y Polimorphism dari reseptor TSH telah dilakukan penelitian pada pasien

dengan struma nodular toksik. Mutasi ini terdapat pada jalur sel yang lain, indikasi mutasi germline. Salah satunya, D727E memiliki frekuensi lebih besar pada pasien

struma nodular toksik dari orang yang sehat. Ini menunjukkan polymorphism mempunyai hubungan dengan penyakit ini Kehadiran tahap heterozigot dari Varian D727E dari reseptor TSH manusia tidak berhubungan langsung pada struma nodular toksik. Sekitar 10 % dari individu yang sehat memiliki polymorphism y Mediator pertumbuhan yang terlibat diantaranya:

Produksi Endhotelin 1 (ET 1) meningkat pada kelenjar tiroid tikus yang mengalami hyperplasia, ini menunjukkan bahwa produksi ET-1 melinatkan pertumbuhan kelenjar tiroid dan vaskularisasinya. Kontras antara sel tiroid yang normal dengan kanker papilari tiroid, jaringan tiroid pasien dengan struma nodular toksik menunjukkan pewarnaan positif dari struma akan tetapi negative pada sel folikular. Signifikansi dari temuan ini belum jelas, akn tetapi ET-1 merupakan suatu vasokonstriktor, mitogen dari vascular endothelium, sel otot polos dan sel folkular tiroid. Pada sistem invitro menunjukkan stimulasi dari proliferasi sel folikular tiroid dengan insulin-like growth factor, epidermal growth factor dan fibroblast growth factor.

Patofisiologi Struma nodular toksik menampilkan spectrum penyakit mulai dari nodul hiperfungsi tunggal (toksik adenoma) sampai ke nodul hiperfungsi multipel

(multinodular thyroid). Riwayat dari multinodular struma melibatkan suatu variasi pertumbuhan nodul dimana menuju ke perdarahan dan degenerasi, yang diikuti oleh proses penyembuhan dan fibrosis. Proses kalsifikasi juga bisa terjadi di area yang sebelumnya terjadi perdarahan. Beberapa nodul bisa berkembang menjadi fungsi yang otonomik. Hiperaktifitas otonomik terjadi oleh karena adanya mutasi somatik dari reseptor thyrotropin atau hormon TSH pada 20 80 % adenoma toksik dan beberapa nodul dari multinodular struma. Funsi otonomik bisa menjadi toksik pada 10 % pasien. Hipertiroidism terjadi ketika nodul tunggal sebesar 2,5 cm atau lebih. Tanda dan symptom dari struma nodular toksik sama dengan tipe hipertiroid lainnya.

Riwayat Klinis y Thyrotoksik symptoms Kebanyakan pasien dengan struma nodular toksik menunjukkan symptom yang tipikal dengan hipertiroid seperti tidah tahan terhadap udara panas, palpitasi, tremor, kehilangan berat badan, kelaparan dan peningkatan frekuensi pergerakan saluran cerna. Pada pasien yang berusia tua terdapat beberapa gejala atipikal diantaranya Anoreksia dan konstipasi Komplikasi cardiovascular yang mempunyai riwayat atrial fibrilasi, Penyakit jantung kongestif ataupun angina

y Obstructive symptoms Struma yang membesar secara signifikan bisa menyebabkan symptom yang berhubungan dengan oobstruksi mekanik seperti: Dysphagia, dyspnea ataupun stridor Melibatkan saraf laryngeal superior rekuren yang menimbulkan perubahan suara menjadi serak y Asymptomatik Seringkali pasien mengetahui mengalami hipertiroidism ketika skrining rutin. Seringpula didapatkan pada hasil lab menunjukkan penekanan TSH dengan level throxine (T4) yang normal (tirotoksikosis subklinik).

Pemeriksaan Fisik Terdapat pelebaran, fisura palpebral, takikardia, hiperkinesis, banyak berkeringat, kulit lembab, tremor, dan kelemahan otot proksimal. Pembesaran kelenjar thyroid bervariasi. Nodul yang dominan ataupun multiple irregular dengan variasi ukuran biasanya dijumpai. Kelenjar yang kecil dengan multinodul hanya bisa dijumpai dengan USG. Suara serak dan deviasi trakea bisa dijumpai pada pemeriksaan. Obstruksi mekanis bisa menyebabkan terjadinya superior vena cava syndrome berupa penekanan vena di leher dan kepala sehingga menghasilkan Pemberton sign. Stigmata Grave disease seperti eksoftalmus, pretibial myxedema tidak dijumpai.

Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan bila : 1. Abnormalitas fungsi tiroid (kadar plasma free tiroksin meningkat, kadar plasma TSH rendah) atau pada tiroksikosik subklinik ditemukan kadar plasma free T3 dan T4 dalam batas normal, namun kadar TSH rendah. 2. Teraba nodul saat palpasi atau secara USG 3. Gambaran scintigraphy dengan131

I atau

99m

Tc terlihat nodul dengan uptake

meningkat dikelilingi oleh uptake rendah disekitar nodul Diagnosis Banding Diagnosis banding struma nodular toksik diantaranya: - Struma nodular non toksik - Graves disease - Hashimoto disease - Thyroid papillary carcinoma - Thyroiditis subakut

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Tes Fungsi tiroid TSH assay generasi ketiga adalah penilaian awal terbaik dari uji tapis untuk hipertiroid. Pasien dengan struma nodular toksik mengalami peningkatan kadar TSH. Kadar T4 bebas akan meningkat ataupun dalam batas referensi. Peningkatan T4 yang

terisolasi diobservasi pada iodine-induced hyperthyroidism atau adanya agen untuk menghambat perubahan T4 menjadi T3 seperti propanolol, kortikosteroid, agen radiokontras, amiodarone. Beberapa pasien mungkin memiliki kadar T4 bebas yang normal dengan T3 yang meningkat (toksikosis), Ini bisa terjadi pada 5 46 % pasien dengan nodul toksik. Hipertiroid subklinis Beberapa pasien memiliki penekanan kadar TSH dengan nilai T4 dan T3 yang norma

Pemeriksaan pencitraan Nuclear scintigrafi Pemindaian nuclear bisa dilakukan pada pasien dengan hipertiroidism biomolekular. Nuclear medicine bisa dilakukan dengan radioaktif iodine 123 (123 I) atau dengan technetium 99m (99m Tc). Isotop ini dipilih karena memiliki waktu paruh yang pendek dan memiliki paparan radiasi yang kecil pada pasien jika disbanding dengan Natrium iodide 131 (Na131

I).

99m

Tc akan tertahan pada tiroid

akan tetapi tidak mengalami organifikasi. Walaupun tersedia, pemindaian 99m Tc bisa menghasilkan hasil yang salah. Beberapa nodul menunjukkan hasil panas ataupun hangat pada pemindaian 99m Tc dan hasil dingin pada pemindaian 123 I. Maka dari itu123

I lebih dipilih. Pemindaian nuclear menunjukkan determinasi terjadinya

hipertiroid, Pasien dengan Graves disease menunjukkan homogenous diffuse uptake, sedangkan throiditis menunjukkan low uptake. Pada pasien dengan struma nodular

toksik hasil pemindaian menunjukkan patchy uptake. Nilai uptake radioiodine dalam 24 jam rata rata 20 30 %. Pemindaian tiroid sangat berguna untuk membantu mendeterminasi perubahan perubahan pada kelenjar tiroid, dimana mengandung nodul toksis. Ultrasonografi USG adalah prosedur yang sensisitf pada nodul yang tidak teraba pada saat pemeriksaan. USG sangat membantu ketika dikorelasikan dengan pemindaian nuclear untuk mendeterminasikan dengan fungsi nodul. Dominasi nodul dingin bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan BAJAH (Biopsi Aspirasi Jarum Halus) untuk penatalaksanaan definitive dari struma nodular toksik. Teknik ini bisa digunakan untuk mengetahui ukuran dari tiroid nodul. Pencitraan lainnya CT Scan pada leher bisa membantu menentukan apakah ada kelainan pada trakea jika terjadi suatu deviasi yang terjadi akibat suatu struma. Struma multinodular khususnya dengan komponen substernal biasanya merupakan temuan yang tidak sengaja pada radiografi thorax, CT scan atau MRI. Ct-scan dengan menggunakan iodine kontras bisa memicu terjadinya tirotoksikosis pada orang dengan nontoksik yang tersembunyi (Jod-Basedow effect). Prosedur BAJAH BAJAH tidak selalu diindikasikan pada nodul tiroid fungsional otonomik (hot). Risiko terjadinya keganasan sangatlah kecil. Interpretasi dari specimen sangat

sulit, karena tampilannya menyerupai keganasan pada sel folikular dan menimbulkan kerancuan antara lesi jinak dan lesi ganas tanpa pemotongan jaringan untuk melihat adanya vaskularisasi dan invasi kapsular. BAJAH dilakukan jika menunjukkan suatu nodul dingin (cold) yang dominan pada struma multinodular. Nodul yang secara klinis signifikan lebih besar dari 1 cm dengan diameter maksimum berdasarkan pada palpasi dan USG, kecuali pada penningkatan risiko keganasan. NOdul yang tidak teraba bisa dibiopsi dengan bantuan USG.

Penatalaksanaan Terapi Medis Terapi optimal pada penatalaksanaan struma nodular toksik masih merupakan suatu controversial. Pasien dengan nodul dengan fungsional otonomik ditatalaksana dengan radioaktif iodine ataupun pembedahan. Pasien dengan hipertiroidsm subklinis harus dimonitor dengan ketat. Na131I, di Amerika Serikat dan Eropa radioaktif iodine merupakan penatalaksanaan pilihan pada struma nodular toksik. Mengenai dosis optimal masih merupakan suatu perdebatan. Pasien dengan struma nodular toksik mempunyai uptake yang lebih sedikit dari pasien dengan Graves disease. Maka dari itu lebih memerlukan dosis yang lebih besar. Radioiodine terapi dengan dosis tunggal menunjukkan keberhasilan sekitar 85 100 % pada pasien dengan struma nodular toksik. Terapi radioiodine bisa mengecilkan ukuran struma hingga 40 %. Kegagalan terapi inisial dengan radioaktif iodine mempunyai hubungan dengan peningkatan

ukuran struma dan peninggian kadar T3 dan T4 yang bebas, yang menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan dosis Na131I. Korelasi positif terjadi antara dosis radiasi pada tiroid dan penurunan volume tiroid. Pada pasien dengan uptake kurang dari 20 %, tatalaksana awal dengan lithium , PTU dan TSH recombinan bisa meningkatkan kefektifan uptake iodine. Komplikasi yang bisa timbul diantaranya hipotiroidsm, symptom throtoksik ringan, eksaserbasi dari CHF dan atrial fibrilasi pada pasien dengan usia tua, tiroid storm.

Farmakoterapi Obat antitiroid dan beta bloker digunakan untuk pengobatan jangka pendek struma nodular toksik. Hal ini sangat penting pada untuk persiapan melakukan radioiodine dan pembedahan. Pasien dengan penyakit subklinis dengan risiko komplikasi yang tinggi diberikan methimazole dosis rendah (5 15 mg / hari) atau beta bloker dan dimonitor perubahan symptom atau progrefisitas penyakit yang diperlukan untuk terapi definitif. Thiamide (PTU dan methimazole) adalah terapi untuk mencapai euthiroidsm sebagai langkah awal dari terapi definitive radioiodine dan pembedahan. Direkomendasikan untuk menghentikan obat antitiroid sedikitnya 4 hari sebelum terapi radioiodine untuk memaksimalisasi efek radioiodine. Obat antitiroid diberikan 2 8 minggu sebelum terapi radioiodine untuk mencegah risiko terjadinya tiroid storm. Obat antitiroid dan beta bloker ini memiliki efek samping berupa gatal gatal,

demam, dan gangguan saluran cerna. PTU memiliki efek samping yang serius yaitu kerusakan hati, maka dari itu PTU digunakan sebagai terapi garis kedua kecuali pada pasien dengan alergi dan intoleransi pada metimazole. Beta- adrenergic reseptor antagonis digunakan untuk mengatasi symptom dari tirotoksikosis. Propanolol (non selective beta bloker) bisa menurunkan heart rate mengkontrol tremor, menurunkan keringat berlebihan, dan mengatasi kecemasa. Propanolol juga diketahui bisa menurunkan konversi T4 menjadi T3. Pasien dengan asthma, beta 1 selektif antagonis seperti atenolol atau metoprolol merupakan pilihan yang aman. Pada pasien dengan kontraindikasi beta bloker menggunakan Ca channel blocker bisa membantu mengontrol heart rate.

Pembedahan Terapi pembedahan dilakukan pada individu muda, dan pasien dengan 1 nodul besar atau lebih dengan symptom obstruktif, pasien dengan dominan nonfungsi, pasien dengan kehamilan, pasien dengan kegagalan terapi radioiodine. Subtotal thyroidectomi mendapatkan kesembuhan hipotiroid yang cepat pada 90 % pasien dan dengan cepat menghilangkan symptom kompresi. Komplikasi

pembedahan yang timbul diantaranya terjadinya hipotiroidsm (15 25 %), permanen vocal cord paralysis (2,3%), permanen hypoparatiroidsm (0,5 %), temporary hypoparatiroidsm (2,5 %) dan perdarahan pascaoperasi yang signifikan (1,4 %). Komplikasi lainya seperti tracheostomy, infeksi luka, myocard infark, atrial fibrillation, dan stroke.

Follow up Setelah memulai pemberian PTU atau methimazole pada pasien dengan struma nodular toksik, lakukan penilaian T4 bebas dan index T4 bebas pada minggu ke 4 6. Kadar TSH meningkat dengan lambat dikarenakan adanya supresi oleh peningkatan level hormone tiroid dan memerlukan waktu beberapa bulan untuk normal. Ablasi radioiodine memerlukan waktu 10 minggu untuk mencapai respon klinis. Pasien memerlukan tatalaksana dengan obat antitiroid dan beta bloker dalam periode tersebut. Cek evaluasi biokimia dari fungsi tiroid sekitar 4 minggu setelah terapi inisial. Pasien dengan total tirodectomy memulai levotiroksin pada saat itu juga, kecuali adanya tanda klinis hipertiroid. Evaluasi fungsi tiroid 4 6 setelah pembedahan. Monitor pasien dengan hipertiroid subklinis dengan evaluasi biokimia setiap 6 bulan.

Prognosis Kebanyakan pasien yang diobati memiliki prognosis yang baik. Prognosis yang jelek berhubungan dengan hipertiroidsm yang tidak terobati. Pasien harusnya mengetahui jika hipertiroid tidak diobati maka akan menimbulkan osteoporosis, arrhythmia, gagal jantung, koma, dan kematian. Ablasi dari Na131 I menghasilkan

hipertiroid yang kontiniu dan membutuhkan terapi ulang dan pembedahan untuk mengangkat kelenjar tiroid.

BAB III KESIMPULAN

Strauma Nodular toksik adalah penyebab hipertiroid tebanyak kedua setelah graves disease. Penyakit tiorid ini erat kaitannya denan defisiensi yodium. Pravelensi menigkat pada kelompok usia lanjut dan lebih banyak pada wanita. Gambaran klinik yang khas adalah adannya nodul dan strauma disertai gejala dan tanda tirotoksikosis yang bersifat oligosymptomatic. Penanganan penyakit gold standar adalah dengan radioterapi dan pembedahan.

REFERENSI 1. Lado-Abeal J, Palos-Paz F, Perez-Guerra O, et al. Prevalence of mutations in TSHR, GNAS, PRKAR1A and RAS genes in a large series of toksik thyroid adenomas from Galicia, an iodine deficient area in NW Spain. Eur J Endocrinol. Aug 11 2008 2. Abraham-Nordling M, Trring O, Lantz M, et al. Incidence of hyperthyroidism in Stockholm, Sweden, 2003-2005. Eur J Endocrinol. Jun 2008;158(6):823-7. 3. Basaria S, Salvatori R. Images in clinical medicine. Pemberton's sign. N Engl J Med. Mar 25 2004;350(13):1338. 4. Gabriel EM, Bergert ER, Grant CS, et al. Germline polymorphism of codon 727 of human thyroid-stimulating hormone receptor is associated with toksik multinodular goiter. J Clin Endocrinol Metab. Sep 1999;84(9):3328-35. 5. Muhlberg T, Herrmann K, Joba W, et al. Lack of association of nonautoimmune hyperfunctioning thyroid disorders and a germline polymorphism of codon 727 of the human thyrotropin receptor in a European Caucasian population. J Clin Endocrinol Metab. Aug 2000;85(8):2640-3. 6. American Association of Clinical Endocrinologists and Associazione Medici Endocrinologi medical guidelines for clinical practice for the diagnosis and management of thyroid nodules. Endocr Pract. Jan-Feb 2006;12(1):63-102 7. Cerci C, Cerci SS, Eroglu E, et al. Thyroid cancer in toksik and non-toksik multinodular goiter. J Postgrad Med. Jul-Sep 2007;53(3):157-60. 8. van Soestbergen MJ, van der Vijver JC, Graafland AD. Recurrence of hyperthyroidism in multinodular goiter after long-term drug therapy: a comparison with Graves' disease. J Endocrinol Invest. Dec 1992;15(11):797-800. 9. Allahabadia A, Daykin J, Sheppard MC, et al. Radioiodine treatment of hyperthyroidism-prognostic factors for outcome. J Clin Endocrinol Metab. Aug 2001;86(8):3611-7. 10. Djokomulyanto, Prof. DR. dr. R. 2009. Tiroidologi Klinik. Semarang : Badan Penerbit Univ. Diponegoro. 11. Ingbar, Sidney H. 1986. Werners The Thyroid Fundamental amd Clinical Text. Philadelpia : Lippincot