referat npsle
DESCRIPTION
NPSLETRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus) (SLE)
adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas,
yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan komplek imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan
insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan
pria 5:1 (1). Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa, sendi,
ginjal, komponen hematologik, sistem saraf pusat, sistem retikuloendotelial,
sistem pencernaan, jantung, dan paru (2).
Prevalensi Lupus eritematosus sistemik di Amerika Serikat adalah 15-50
per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang SLE
baru di seluruh dunia. Dapat mengenai semua ras, adapun wanita Afrika-Amerika
mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih serta memiliki
kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dan dengan komplikasi
yang lebih serius. SLE juga umum mengenai wanita hispanik, asia (3). Belum
terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4%
kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam.
Di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total
pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010 (4).
1
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam
malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%14 (4). Gejala pada susunan saraf dapat sangat bervariasi,
dapat berupa neuropati perifer hingga kejang, insiden serebrovaskular, dan
sindrom otak organik. Frekuensi dari keterlibatan neuropsikiatri pada SLE
(NPSLE) dilaporkan berkisar antara 14% hingga 75% (5). NPSLE menurut
Jonsson et al. merupakan penyebab utama dari sekian banyak gangguan
fungsional dan juga berhubungan dengan rasio mortalitas yang tinggi (6). Dalam
studi yang lain oleh Swaak et al. , peningkatan mortalitas terlihat pada pasien
dengan NPSLE, sehingga memastikan NPSLE sebagai manifestasi serius yang
berpotensi dari suatu penyakit (7).
NPSLE merupakan manifestasi yang masih kurang dipahami namun
menjadi manifestasi lupus terbanyak secara angka dan dapat terjadi secara sendiri
dari penyakit sistemik dan tanpa adanya aktivitas serologi. Walaupun dengan
berkembangnya pemahaman tentang lupus, NPSLE tetap menimbulkan tantangan
dalam diagnosis dan terapi. Hal ini diakibatkan karena pendekatan diagnosis yang
belum jelas, terapi yang empiris dan prognosis setelah terjadi kejadian
neuropsikiatri terkadang sulit untuk ditentukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Gejala Klinis
Manifestasi klinis NPSLE sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat
sampai saraf tepi dan dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi
neurologik dan psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis (4). Pada tahun
1999, American College of Rheumatology (ACR) menetapkan klasifikasi untuk
kriteria NPSLE meliputi 19 sindrom neuropsikiatri yang dibagi dalam 2 kategori:
sentral dan perifer (8).
Sistem Saraf Pusat Sistem Saraf Perifer
Acute confusional state
Disfungsi kognitif
Psikosis
Gangguan mood
Gangguan cemas
Nyeri kepala (termasuk migraine dan
hipertensi intracranial ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati (tranverse myelitis)
Gangguan gerak (Chorea)
Sindrom demielinisasi
Kejang
Polineuropati
Pleksopati
Mononeuropati (tunggal/multipleks)
Sindrom Guillain-Barre
Gangguan otonom
Miestania gravis
Neuropati Kranial
3
Meningitis aseptik
Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan
manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsi kognitif dan sakit kepala (9).
Untuk disfungsi kognitif memiliki prevalensi sekitar 15% sampai 66%. Namun
menurut klasifikasi ACR untuk kriteria SLE, hanya kejang dan psikosis yang
merupakan manifestasi NPSLE yang masuk ke komponen neurologi dalam
kriteria SLE (8).
SSP juga merupakan organ yang paling sering terlibat pada SLE (10).
Lupus otak dapat hadir sebagai kejang, psikosis, mielopati, atau stroke pada
pasien dengan SLE. Lamanya keterlibatan SSP dapat bervariasi dari beberapa
menit sampai tahun. Tanda-tanda neurologis serebral dikategorikan ke dalam
fokus, non-spesifik, dan neuropsikiatri (11).
Fokus Non-spesifik Neuropsikiatrik
TIA/stroke
Tranverse mielitis
Palsi n.cranial
- Laryngeal palsy
- Penurunan visus
- Ptosis
- Wajah kaku
Neuropati perifer
- Kebas
Sakit kepala
- Vascular
- Muscular
Kejang Kejang
- Tonik/klonik
Organic brain syndrome
Afektif
- Gangguan kepribadian
- Iritabel
- Anger
- Cemas
- Depresi
- Murung
- Hopelessness
4
- Nyeri wajah
- Tinnitus
Gerakan tidak terkontrol
- Korea
- Ataksia serebral
Kebiasaan
- Menangis
- Apatis
- Jarang kontak mata
dengan orang lain
- Tidak berinisiatif
Kognitif
- Kesulitan berpikir,
konsentrasi, atau bicara
- Mudah bingung
Terdapat beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan munculnya
gejala NPSLE. Beberapa faktor resiko itu antara lain : 1.aktivitas SLE atau
kerusakan, berhubungan dengan gangguan kejang dan disfungsi kognitif berat;
2.kejadian gejala yang sebelumnya telah terjadi atau manifestasi NPSLE lain yang
muncul; 3.antibodi antifosfolipid, berhubungan dengan penyakit serebrovaskular
(CVD), gangguan kejang, disfungsi kognitif sedang hingga berat, mielopati, dan
gangguan gerak (12).
Manifestasi spesifik NPSLE (12)
Nyeri kepala
Meskipun nyeri kepala banyak dilaporkan terjadi oleh pasien SLE,
beberapa studi dan meta analisis dari data epidemiologi tidak menemukan
bukti peningkatan prevalensi atau tipe unik dari sakit kepala pada SLE
5
(13). Perhatian diperlukan untuk menyingkirkan meningitis septik atau
aseptik, sinus thrombosis (terutama pada pasien dengan antibodi
antifosfolipid), perdarahan serebral atau subaraknoid. Jika tidak ditemukan
tanda resiko tinggi dari riwayat medis dan pemeriksaan fisik (seperti
demam atau infeksi konkomitan, imunosupresi, adanya antifosfolipid,
penggunaan antikoagulan, tanda neurologis fokal, perubahan status
mental, meningismus dan aktivitas SLE), sakit kepala pada pasien SLE
tidak perlu investigasi lebih lanjut selama evaluasi.
Penyakit serebrovaskular
Stroke iskemik dan/atau TIA meliputi lebih dari 80% kasus CVD, yang
mana vaskulitis CNS jarang. CVD terjadi (50-60%) dalam aktivitas
penyakit yang tinggi; faktor resiko lainnya adalah titer antibodi
antifosfolipid yang sedang hingga tinggi, penyakit katup jantung,
hipertensi sistemik dan usia tua. Pada stroke akut, MRI/DWI dapat
menyingkirkan perdarahan, menilai derajat cedera otak, dan mengetahui
lesi vaskular yang menyebabkan defisit iskemik.
Disfungsi kognitif
Kebanyakan pasien SLE memiliki disfungsi kognitif derajat ringan hingga
sedang, dan disfungsi kognitif berat berkembang hanya pada 3-5% kasus.
Perhatian, memori visual, memori verbal, fungsi eksekutif dan kecepatan
psikomotor adalah bagian yang biasanya terpengaruh. Untuk mendiagnosis
disfungsi kognitif pada SLE, ACR mengajukan tes neuropsikologikal
dengan sensitivitas 80% dan spesifitas 81%. Indikasi untuk MRI otak
6
adalah: umur kurang dari 60 tahun, berkurangnya kemampuan kognitif
secara cepat, trauma kepala, onset baru dari gejala atau tanda neurologi,
dan berkembangnya disfungsi kognitif pada pemakaian terapi
imunosupresif atau antiplatelet/antikoagulasi. Atrofi serebral, jumlah dan
ukuran lesi pada substantia alba, dan infark serebral berhubungan dengan
beratnya disfungsi kognitif.
Kejang
Kejang pada SLE biasanya berbentuk kejang tonik klonik umum (67-88%)
atau kejang parsial (kompleks). Kejang yang hilang timbul (epilepi) jarang
terjadi (12-22%) namun memiliki efek yang signifikan terhadap kecacatan
dan kematian. Abnormalitas EEG (60-70%) didapatkan pada pasien SLE.
MRI dapat mendeteksi kelainan struktural yang berhubungan dengan
kejang dan memperlihatkan kelainan seperti atrofi serebral (40%) dan lesi
substantia alba (50-55%). Pemeriksaan cairan serebrospinal hanya untuk
menyingkirkan ada tidaknya infeksi.
Gangguan Gerak
Chorea (gerakan berulang, involunter dan irregular melibatkan bagian
tubuh yang mana saja) merupakan gangguan gerakan yang tersering pada
SLE, dan berhubungan dengan antibodi antifosfolipid (APS). Pencitraan
otak dilakukan jika terdapat tanda neurologi fokal yang lain atau untuk
menyingkirkan penyebab sekunder dari chorea. Sekitar 55-65% pasien
mengalami episode tunggal chorea yang terjadi beberapa hari hingga
bulanan.
7
Acute Confusional State (ACS)
ACS dikarakteristikan dengan onset akut, naik turunnya kesadaran dengan
menurunnya perhatian. Pasien harus di evaluasi secara ketat untuk mencari
menemukan kondisi penyebabnya, terutama infeksi dan kelainan
metabolik. Pemeriksaan cairan serebrospinal direkomendasikan untuk
menyingkirkan infeksi SSP dan EEG dapat membantu diagnosis penyebab
kejang. Pencitraan otak diindikasikan jika pasien memiliki tanda
neurologikal fokal, riwayat trauma atau keganasan, demam, atau
pendekatan diagnosis awal gagal untuk menemukan penyebab dari ACS.
SPECT otak sangat sensitive (93%) dan dapat membantu dalam
memonitor dari respon pengobatan.
Gangguan psikiatrik
Psikosis lupus dikarakteristikan dengan delusi dan halusinasi. Penyakit
psikiatrik yang diinduksi kortikosteroid terjadi pada 10% pasien yang
diobati dengan prednisone 1 mg/kgBB atau lebih dan bermanifestasi
sebagai gangguan mood (93%) daripada psikosis. Antibodi anti-ribosomal-
P telah banyak dihubungkan dengan psikiatrik SLE pada studi prospektif
(14,15), namun sebuah hasil meta analisis melaporkan akurasi diagnosis
yang terbatas (sensitifitas 25-27%, spesifitas 75-80%) (16). MRI otak
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang sedang untuk psikosis lupus dan
dilakukan jika terdapat gejala neurologikal tambahan yang muncul.
SPECT otak memperlihatkan defisit perfusi pada kasus yang berat dan
8
hipoperfusi residual selama masa remisi klinis yang berhubungan dengan
kekambuhan di masa depan.
Mielopati
Mielopati SLE muncul sebagai tranverse myelitis namun mielopati
iskemik/trombotik dapat juga terjadi. Pasien dapat memiliki tanda
disfungsi LMN (flaksid dan hiporefleks) atau disfungsi UMN (spastik dan
hiperefleks); disfungsi UMN banyak dihubungkan dengan neuromyelitis
optica (NMO) dan antifosfolipid. Manifestasi mayor yang lain dari NPSLE
muncul pada sepertiga kasus, dengan neuritis optik menjadi yang
terbanyak (21-48%). MRI tulang belakang dengan kontras berguna untuk
menyingkirkan kompresi tulang belakang dan mendeteksi lesi T2
hiperintese (70-93%). Keterlibatan lebih dari 3 ruas tulang belakang
mengindikasikan mielopati longitudinal. Temuan ini dapat diinvestigasi
lebih lanjut dengan pemeriksan serum antibodi IgG NMO (aquaporin),
yang membantu diagnosis NMO. MRI otak dilakukan ketika gejala
NPSLE yang lain muncul bersamaan. Abnormalitas cairan serebrospinal
dapat terjadi (50-70%) namun tidak spesifik dan pemeriksaan
mikrobiologi penting untuk menyingkirkan mielitis infeksi.
Neuropati kranial
Neuropati kranial melibatkan saraf ke VIII, okulomotor (III,IV,VI) dan
yang jarang seperti saraf ke V dan VII. Kondisi neurologikal lain, seperti
stroke batang otak dan meningitis harus disingkirkan. Neuropati optik
termasuk neuritis optik inflamasi dan neuropati optik iskemik/trombotik.
9
Funduskopi dapat menunjukkan edema optic disc (30-40%) dan
pemeriksaan lapang pandang menunjukkan defek sentral dan arkuata.
Visual-evoked potentials dapat mendeteksi kerusakan nervus optikus
bilateral sebelum muncul secara klinis. Fluoroangiografi harus dilakukan
ketika curiga terjadi vasooklusi retinopati. Mielitis tranversus atau
kelainan kejang dapat memberi kesan penyebab dasar inflamasi, sementara
neuropati optik dengan penurunan lapang pandang berhubungan dengan
antibodi antifosfolipid, menciptakan mekanisme iskemik/trombotik.
Diagnosis dibantu dengan MRI kontras yang menunjukkan pembesaran
nervus optikus pada 60-70% kasus, dan abnormalitas MRI otak juga
terjadi (67%).
Gangguan sistem saraf perifer
Termasuk didalamnya adalah polineuropati (2-3%), mononeuropati, acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (Sindrom Guillain-
Barre), myasthenia gravis, plexopati dan munculnya sensasi seperti nyeri,
kelemahan otot, atau atrofi. Keterlibatan SSP harus disingkirkan dengan
neuroimaging ketika tanda neurologikal, kesulitan berjalan, gangguan
visual atau berkemih, meningkatnya reflex tendon dan/atau otot muncul.
Pemeriksaan konduksi saraf dan elektromiografi dapat mengidentifikasi
mononeuropati, membedakan mononeuropati multiple dengan
polineuropati dan membedakan aksonal dari demyelinasi neuropati.
Analisa CSF berguna pada inflammatory demyelinating
polyradiculoneurophaty. Jika metode elektrodiagnostik normal, neuropati
10
serat kecil dapat didiagnosis dengan cara biopsi kulit yang
memperlihatkan hilangnya serat saraf pada intraepidermal.
2. Kriteria Diagnosis
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE
menjadi penting (4).
11
Keterangan:a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (4).
Penegakkan diagnosis NPSLE dapat dilakukan setelah menyingkirkan
diagnosis lain karena NPSLE merupakan diagnosis eklsusi. Diagnosis NPSLE
didasarkan pada penilaian klinis serta adanya antibodi dalam serum dan CSF.
Penilaian klinis dapat menggunakan kriteria ACR, jika tiga atau lebih kriteria
12
ACR untuk SLE ditemukan ditambah dengan satu kriteria NPSLE maka dapat
didiagnosis NPSLE, namun individu dengan kriteria NPSLE tetapi tidak masuk ke
dalam kriteria SLE dapat disebut “possible” NPSLE (17). Diagnosis lupus
serebral tidak dapat disimpulkan dari radiologis, karena vaskulitis jarang terlihat
pada gambaran radiologis (11). Tidak ada pemeriksaan atau gejala khusus yang
dapat membedakan NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan
47% penderita dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI
konvensional. Namun demikian MRI ini diperlukan untuk menyingkirkan
penyebab lain NPSLE. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization Transfer
Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi secara
kuantitatif. Alat ini lebih sensitif dari MRI konvensional dalam mendeteksi
NPSLE primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada pasien dengan riwayat
NPSLE tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan (4). Single photon
emission computed tomography (SPECT) sangat sensitif dan dapat memberikan
analisis semikuantitatif aliran darah regional dan metabolisme otak (9). Temuan
pada CT-scan dapat menunjukkan infark serebral (11).
13
Berikut ini adalah bagan penegakkan dan penatalaksanaan NPSLE (4).
3. Terapi
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan
strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini
seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari
dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli
reumatologi (4). Pilar pengobatan terdiri atas edukasi dan konseling, program
rehabilitasi, serta pengobatan medikamentosa (OAINS, antimalaria,
kortikosteroid, imunosupresan/sitotoksik, terapi tambahan lain).
A. Edukasi dan konseling (4):
Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
Tipe dari penyakit SLE dan gejala klinis dari masing-masing.
14
Tegakkan diagnosis NPSLE: eksklusi penyebab lainIdentifikasi/terapi faktor-faktor pemicu: hipertensi, infeksi, gangguan metabolismeTerapi simptomatik- anti konvulsan- psikotropik- ansiolitik- antidepresanImunosupresan- kortikosteroid- azatriopin- siklofosfamid- deplesi sel B- mikofenolat mofetilAntikoagulan- heparin- warfarin
Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa
nyeri.
Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan
sebagainya.
B. Program rehabilitasi
Modalitas �fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan
otot (4).
C. Pengobatan medikamentosa
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
SLE. Meski dihubungkan dengan banyak laporan efek samping (dislipidemia,
diabetes, hipertensi, osteoporosis, dll), kortikosteroid tetap obat yang digunakan
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Golongan glukokortikoid (prednisone,
metilprednisolone) merupakan salah satu dari tiga obat yang disetujui FDA untuk
pengobatan NPSLE. Glukokortikoid secara luas digunakan dalam pengelolaan
kejang, sakit kepala, chorea, tranverse myelitis dan manifestasi SSP lain pada
15
SLE. Dosis yang diberikan merupakan dosis sangat tinggi (0,5-1 gram
metilprednisolon) diberikan selama tiga hari berturut-turut dan diberikan dengan
terapi pulse karena NPSLE merupakan krisis akut yang berat sama seperti
vaskulitis luas dan nefritis lupus. Setelah diberikan metilprednisolon intravena
selama 3 hari berturut-turut maka dilanjutkan dengan prednisone oral dosis tinggi
40-60 mg/hari (1 mg/kgBB) selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara
bertahap (4,8).
Oleh karena glukokortikoid berpotensi menimbulkan efek samping pada
penggunaan yang lama seperti dislipidemia, diabetes, hipertensi, penyakit
kardiovaskular, osteoporosis, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan
bahkan dapat berefek pada fungsi kognitif dan gejala psikiatrik maka dilakukan
pengurangan dosis kortikosteroid (8). Sebagai panduan, untuk tapering dosis
prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg
setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis
antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu
bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah
untuk mengontrol aktivitas penyakit (0,125 mg/kgBB/hari). Dapat juga diberikan
kortikosteroid sparing agent untuk memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid
dan juga berfungsi mengontrol penyakit dasarnya, obat-obat ini termasuk ke
dalam golongan imunosupresan/sitotoksik seperti azatioprin, mikofenolat mofetil,
siklofosfamid dan metotrexate (4).
16
b. Imunosupresan
Imunosupresan berfungsi untuk memudahkan menurunkan dosis KS,
mengontrol penyakit dasarnya, dan mengurangi efek samping kortikosteroid.
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/sitotoksik yang biasa digunakan
pada SLE, yaitu siklofosfamid, azatioprin, metotrexate, siklosporin, mikofenolat
mofetil (4).
Siklofosfamid adalah obat imunosupresif dan sitotoksik alkilating agent
yang digunakan pada penyakit SLE dan kelainan autoimun lain. Manifestasi
NPSLE berat, terutama yang melibatkan SSP seperti penyakit serebrovaskular
oleh karena inflamasi dan tranverse myelitis, dapat diobati dengan siklofosfamid.
Siklofosfamid dapat diberikan bulanan secara intravena (500-1000 mg/m2) untuk
induksi selama 6 bulan diikuti dengan dosis pemeliharaan (1/4 dosis awal) selama
2 tahun. Efek samping utama dari siklofosfamid adalah mudahnya terkena infeksi
oportunistik, sistitis hemoragik karena acrolein (racun metabolik), meningkatnya
resiko keganasan (NHL, leukemia, karsinoma sel transisional dari kandung
kemih) dan kegagalan testis serta ovarium. Oleh karena toksisitasnya,
siklofosfamid digunakan dalam durasi yang singkat dengan dosis yang rendah jika
memungkinkan dan tidak diteruskan ke terapi pemeliharaan (8).
Azatioprin, metotreksat, dan Micofenolat mofetil (MMF) adalah
antimetabolit yang menghambat sintesis purin dan/atau pirimidin. Azatioprin
adalah prodrug yang cepat dan hampir sepenuhnya dikonversi ke 6-mercaptopurin
(6-MP) dan methylnitroimidazole. Metabolisme lebih lanjut dari 6-MP
menghambat beberapa enzim sintesis purin. Metotreksat dan derivat
17
polyglutamate menekan respon inflamasi melalui pelepasan adenosin, menekan
respon kekebalan tubuh dengan menginduksi apoptosis limfosit T teraktivasi dan
menghambat sintesis purin dan pirimidin. MMF adalah prodrug asam
mycophenolic (MPA) dan penghambat inosin-5'-monofosfat dehidrogenase. MPA
menghabiskan nukleotida guanosin dalam limfosit T dan B dan menghambat
proliferasi, sehingga menekan sel-sel mediator respon imun dan pembentukan
antibodi. MPA juga menghambat ekspresi molekul adhesi dan perekrutan sel-sel
kekebalan (limfosit dan monosit) ke tempat peradangan (8).
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan
paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan
imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik
(4).
c. Antikoagulan
Terapi antikoagulan dan/atau antiplatelet direkomendasikan untuk NPSLE
yang berhubungan antibodi antifosfolipid, terutama pada CVD trombotik.
Antikoagulan lebih dapat digunakan daripada antiplatelet dalam pencegahan
sekunder dari stroke/TIA pada antibodi antifosfolipid sindrom (APS). Terapi ini
juga digunakan pada nyeri kepala refrakter, neuropati optik iskemik dan chorea,
dan terapi imunosupresif pada mielopati refrakter (8,12).
d. Antimalaria
Obat antimalaria, khususnya hidroksikloroquin, memiliki sifat
imunomodulator yang dicurigai juga memberikan efek penurun lipid dan
antiplatelet, sehingga mencegah kejadian tromboemboli. Hidroksikloroquin dapat
18
digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan penyakit
dan juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Hidroksikloroquin dianggap
paling aman dari antimalaria dan dapat dilanjutkan selama kehamilan. Dosis awal
200 mg per hari dengan dosis pemeliharaan 200-400mg setiap hari. Efek samping
utama meliputi retinopati dapat diubah dengan induksi hemolisis glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (8). Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1
tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata
setiap 6-12 bulan (4).
19
e. Terapi Simptomatis
Manifestasi NPSLE, seperti kejang dan sakit kepala, juga harus diobati
dengan kombinasi terapi simptomatis dan terapi imunomodulating. Kejang
dikelola dengan antikonvulsan standar. Meskipun obat-obat ini dapat
menyebabkan drug-induced lupus, mereka tidak muncul untuk mengubah
penyakit idiopatik. NSAID menekan peradangan akut ringan mengurangi
manifestasi muskuloskeletal, kelelahan dan demam. NSAID dapat meringankan
migrain yang sering terjadi pada pasien dengan SLE. Namun, penggunaan NSAID
kronis juga dapat memperburuk sakit kepala. Mereka dapat diberikan sendiri atau
diberikan dalam kombinasi dengan glukokortikoid, yang memungkinkan
penurunan dosis glukokortikoid. Ada banyak pilihan ketika memilih NSAID dan
efektivitasnya bervariasi, oleh karena itu dosis harus tergantung dari individu.
Efek samping NSAID termasuk nonsteroid nefropati, perdarahan GI, dan
meningitis aseptik yang diinduksi ibuprofen. Obat psikotropika (antidepresan,
anxiolytics, dan antipsikotik atipikal) dapat memiliki peran penting ajuvan pada
pasien SLE dengan gangguan afektif atau psikosis. Tidak ada pengobatan standar
pada lupus psikosis. Perawatan untuk psikosis akut mencakup kombinasi obat
antipsikotik sebagai pengobatan simptomatik dan glukokortikoid untuk
mengontrol aktivitas penyakit yang mendasari. Steroid-induced psikosis dapat
dilihat pada pasien yang sudah melakukan pengobatan ini. Hubungan sementara
antara inisiasi glukortikoid dan peristiwa kejiwaan, dan resolusi gejala kejiwaan
setelah pengurangan dari glukortikoid adalah fitur klinis utama dalam diagnosis
steroid-induced psikosis. Terapi farmakologis bertujuan untuk peningkatan
20
kognitif belum diteliti di NPSLE. Namun, penggunaan rutin aspirin pada pasien
SLE lebih tua dengan diabetes dikaitkan dengan peningkatan fungsi kognitif
dalam studi SALUD. Di samping itu, penggunaan glukokortikoid konsisten, yang
mungkin menjadi pengganti dari penyakit yang lebih aktif atau berat, terkait
dengan penurunan fungsi kognitif (8).
f. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup
(4,8) :
- Intravena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5
hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemolitik,
nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang
refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus
sereberitis. Plasmapheresis diberikan 4-6 kali selama 1-2 minggu. Pertukaran
plasma didasarkan pada penghapusan secara cepat autoantibodi patogen yang
beredar, imunoglobulin, kompleks imun dan racun. Pasien SLE yang diobati
dengan plasmaferesis berulang menghasilkan perbaikan klinis yang signifikan.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect
pada SLE ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
21
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik, telah terbukti efektif dalam
pengobatan SLE refraktori dalam laporan kasus termasuk dengan myelitis dan
SSP vaskulitis, dan pada SLE yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini belum
tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
22
BAB III
PENUTUP
NPSLE merupakan manifestasi neuropsikiatri yang muncul pada penyakit
SLE. Angka kejadian yang masih tinggi dan masih berkembangnya studi terhadap
NPSLE menimbulkan tantangan tersendiri dalam diagnosis dan terapinya. Gejala
yang muncul beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan dari
gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan psikiatrik yang
berat seperti stroke dan psikosis. Untuk diagnosis dilakukan setelah
menyingkirkan diagnosis lain dan didasarkan pada kriteria ACR untuk SLE serta
adanya sindrom neuropsikiatri yang muncul, sentral ataupun perifer. Terapi
NPSLE merupakan gabungan dari beberapa modalitas terapi, seperti penggunaan
kortikosteroid (prednisone, metilprednisolon), imunosupresan (siklofosfamid,
azatioprin, mikofenolat mofetil, metotreksat), antikoagulan/antiplatelet,
antimalaria (hidroksikloroquin), terapi simptomatis, dan terapi pendukung lain.
23