referat nafld

15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlemakan hati non alkoholik atau Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan salah satu penyakit yang mulai mendapat perhatian dari penduduk dunia. NAFLD adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya konsumsi alkohol yang berlebih (kurang dari 20 gram per minggu).1 Spektrum kelainan hati yang termasuk dalam NAFLD antara lain steatosis sederhana (perlemakan tanpa inflamasi), lalu steatosis yang disertai inflamasi (non-alcoholic steatohepatitis NASH) dan dapat berkembang menjadi fibrosis, fibrosis tingkat lanjut dan pada akhirnya sirosis.2 NAFLD sangat erat hubungannya dengan obesitas, diabetes dan sindroma metabolik. Pada masa kini prevalensi NAFLD diseluruh dunia terjadi peningkatan dengan pesat, selaras dengan peningkatan prevalensi obesitas, hiperlipidemia dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) di populasi umum. Di negara Barat, NAFLD merupakan masalah kesehatan umum dan penyebab utama penyakit hati. Prevalensi NAFLD di negara Barat pada populasi dewasa sekitar 20-40%. Spektrum NAFLD yang berat, yaitu steatohepatitis (NASH) diperkirakan terdapat pada 2-3% populasi umum, dan meningkat hingga 37% pada obesitas. Demikian juga terjadi peningkatan prevalensi NAFLD pada anak-anak dan remaja, diperkirakan sekitar 3% dan meningkat hingga 53% pada anak yang obesitas. Peningkatan kejadian faktor-faktor resiko utama NAFLD (diabetes, obesitas, dislipidemia dan sindroma metabolik) pada penduduk Asia-Pasifik berperan terhadap peningkatan prevalensi NAFLD di regio tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Irsan Hasan dan dikutip oleh DN Amarapurkar dkk didapatkan bahwa prevalensi NAFLD yang didapat dari studi tunggal pada populasi urban di Indonesia diperkirakan sebesar 30%. Obesitas merupakan faktor yang paling erat berkaitan. Gejala klinik dari NAFLD seringkali tidak khas, dapat tanpa gejala (asimtomatik) atau dengan gejala, diantaranya keluhan pada perut dan gangguan toleransi fisik. Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut mengenai patogenesis, manifestasi klinis, tatalaksana dan pencegahan penyakit perlemakan hati non alkoholik.

Upload: ovienandaa

Post on 14-Feb-2016

96 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

medical

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT NAFLD

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perlemakan hati non alkoholik atau Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)

merupakan salah satu penyakit yang mulai mendapat perhatian dari penduduk dunia. NAFLD

adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa

adanya konsumsi alkohol yang berlebih (kurang dari 20 gram per minggu).1 Spektrum kelainan

hati yang termasuk dalam NAFLD antara lain steatosis sederhana (perlemakan tanpa

inflamasi), lalu steatosis yang disertai inflamasi (non-alcoholic steatohepatitis – NASH) dan

dapat berkembang menjadi fibrosis, fibrosis tingkat lanjut dan pada akhirnya sirosis.2 NAFLD

sangat erat hubungannya dengan obesitas, diabetes dan sindroma metabolik.

Pada masa kini prevalensi NAFLD diseluruh dunia terjadi peningkatan dengan pesat,

selaras dengan peningkatan prevalensi obesitas, hiperlipidemia dan diabetes mellitus tipe 2

(DMT2) di populasi umum. Di negara Barat, NAFLD merupakan masalah kesehatan umum

dan penyebab utama penyakit hati. Prevalensi NAFLD di negara Barat pada populasi dewasa

sekitar 20-40%. Spektrum NAFLD yang berat, yaitu steatohepatitis (NASH) diperkirakan

terdapat pada 2-3% populasi umum, dan meningkat hingga 37% pada obesitas. Demikian juga

terjadi peningkatan prevalensi NAFLD pada anak-anak dan remaja, diperkirakan sekitar 3%

dan meningkat hingga 53% pada anak yang obesitas.

Peningkatan kejadian faktor-faktor resiko utama NAFLD (diabetes, obesitas,

dislipidemia dan sindroma metabolik) pada penduduk Asia-Pasifik berperan terhadap

peningkatan prevalensi NAFLD di regio tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Irsan Hasan dan dikutip oleh DN Amarapurkar dkk didapatkan bahwa prevalensi NAFLD yang

didapat dari studi tunggal pada populasi urban di Indonesia diperkirakan sebesar 30%. Obesitas

merupakan faktor yang paling erat berkaitan. Gejala klinik dari NAFLD seringkali tidak khas,

dapat tanpa gejala (asimtomatik) atau dengan gejala, diantaranya keluhan pada perut dan

gangguan toleransi fisik. Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut mengenai

patogenesis, manifestasi klinis, tatalaksana dan pencegahan penyakit perlemakan hati non

alkoholik.

Page 2: REFERAT NAFLD

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi NAFLD (Non-alcoholic Fatty Liver Diseases)

Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam terminologi penyakit

perlemakan hati, mislanya mengenai pemilihan istilah penyakit perlemakan hati non alkoholik

(NAFLD). Pada umumnya disepakati bahwa steatohepatitis non alkoholik (NASH) merupakan

penyakit perlemakan hati pada tingkat yang lebih berat. Dikatakan sebagai perlemakan hati

apabila kandungan lemak di hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari

seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dilakukan, diagnosis dibuat

berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu ditemukan 5-10% dari keseluruhan

hepatosit.

Menurut pedoman AASLD tahun 2012 definisi NAFLD adalah memerlukan

persyaratan sebagai berikut: (a) ada bukti steatosis dengan pencitraan atau histologi hati dan

(b) tidak ada penyebab sekunder akumulasi lemak pada hati seperti konsumsi alkohol yang

bermakna, penggunaan obat yang steatogenik atau penyakit heriditer. Telah diketahui banyak

kondisi atau penyakit lain yang menyebabkan steatosis tanpa atau dengan hepatitis

(steatohepatitis), selain akibat alkohol dan non-alkoholik. Dikenal 4 golongan penyebab

penyakit tersebut, yaitu: nutrisi, obat-obatan, kelainan metabolik atau genetik, dan penyebab

lain-lain.

Page 3: REFERAT NAFLD

3

2.2. Epidemiologi NAFLD

Beberapa dekade belakangan ini prevalensi NAFLD di seluruh dunia meningkat dengan

pesat. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kasus obesitas dan DM tipe 2. NAFLD

merupakan penyakit hati yang banyak dijumpai di negara-negara industri di Barat, yakni

mengenai 20% - 40% dari populasi umum.1 Belakangan ini prevalensi NAFLD di negara Asia

juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan survei dengan USG hati didapatkan sekitar 5% -

40% prevalensi NAFLD dari populasi umum penduduk Asia.3 Dilaporkan prevalensi NAFLD

pada populasi umum di Korea 18%, di Taiwan 11,5% - 41%, di Singapura diperkirakan sekitar

5%. Prevalensi NAFLD di Cina Timur dan Cina Selatan sebesar 17% dan 15%.4 Studi pada

suatu populasi urban di Indonesia didapatkan prevalensi NAFLD sebanyak 30% dengan faktor

resiko terbesar adalah obesitas. Prevalensi NAFLD sangat bervariasi tergantung dari umur,

jenis kelamin, dan status berat badan. NAFLD dilaporkan pada subjek dari segala usia termasuk

anak-anak, dimana prevalensi steatosisnya pada anak lebih rendah daripada dewasa (13-15%),

tetapi meningkat dengan adanya obesitas (30-80%). Prevalensi NAFLD meningkat sesuai

dengan umur, dengan angka tertinggi pada usia 40-49 tahun. Penelitian sebelum 1990

menunjukkan bahwa NAFLD lebih sering terjadi pada perempuan (53-85%), akan tetapi

penelitian belakangan ini menunjukkan frekuensi yang sama pada laki-laki dan perempuan,

yakni sekitar 50%.

Faktor resistensi insulin (RI), obesitas, diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan sindroma

metabolik (SM). Resistensi insulin (RI) merupakan komponen penting dalam patofisiologi

NAFLD, dan berhubungan dengan prevalensi NAFLD dan NASH terutama di negara Barat.

Resistensi insulin yang disertai hiperinsulinemia merupakan suatu fitur klinis yang khas dari

penyakit DMT2 dan SM. Dengan meningkatnya prevalensi SM di masyarakat/ penduduk suatu

negara, maka tentunya akan disertai meningkatnya prevalensi NAFLD. Pada masa kini

NAFLD dianggap sebagai salah satu manifestasi kelainan hati dari SM. Banyak penelitian

prevalensi NAFLD yang dihubungkan dengan berbagai komponen dari SM. Obesitas, DMT2

dan hiperlipidemia adalah faktor risiko yang sering dijumpai pada penderita NAFLD.

Dengan adanya peningkatan prevalensi obesitas di Amerika Serikat dan hubungan

antara obesitas dengan NAFLD, maka prevalensi NAFLD diperkirakan juga meningkat. Data

dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 1999-2002,

menunjukkan peningkatan proporsi penduduk Amerika Serikat yang overweight (BMI > 25)

menjadi 65%, dan obese (BMI>30) menjadi 30.1%. Suatu penelitian di negara maju terhadap

populasi umum dengan obesitas didapatkan 60% dengan perlemakan hati sederhana, 20-25%

NASH, dan 2-3% sirosis. Disebutkan pula perlemakan hati didapatkan pada 70% penderita

DM tipe 2 dan pada 60% penderita dislipidemia.7 Amarapurkar dkk. (2007) melaporkan

ringkasan prevalensi NAFLD pada populasi dewasa dan populasi dengan risiko tinggi di

beberapa negara di kawasan Asia Pasifik.3 (tabel 3). Sebagian besar penderita dengan faktor

risiko RI, obesitas dan SM terjadi perlemakan hati sederhana, akan tetapi hanya sebagian kecil

penderita yang berkembang menjadi NASH dan sirosis. Disamping faktor-faktor risiko

tersebut diatas, diduga ada faktor lain pada seseorang yang memacu atau menyebabkan

penyakit berkembang menjadi NASH. Disamping faktor-faktor risiko tersebut diatas, diduga

ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perkembangan atau keparahan NAFLD. Faktor

lingkungan, faktor kepekaan seseorang dan atau faktor genetik tampaknya termasuk faktor

yang mempengaruhi keparahan NAFLD. Tabel 3. Prevalensi NAFLD pada populasi umum dan

kelompok resiko tinggi di negara-negara kawasan Asia-Pasifik.

Page 4: REFERAT NAFLD

4

2.3. Faktor Risiko NAFLD

Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis NAFLD.

Faktor risiko yang telah diketahui adalah obesitas, hiperglikemia dan hipertrigliseridemia

merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan NAFLD pada penderita dewasa dan anak.

Walaupun sebagian besar kasus terjadi pada penderita yang berusia 50-60 tahun, namun saat

ini ditemukan kecendrungan peningkatan kasus pada anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh El-Karaksy HM dkk di Mesir pada tahun 2011

didapatkan bahwa data antropometri seperti IMT, ketebalan lipatan kulit subskapula,

perbandingan lingkaran perut dengan paha, gambaran ekogenisitas hati melalui pemeriksaan

USG dan pemerik-saan laboratorium seperti resistensi insulin dan dislipidemia merupakan

prediktor NASH. Penyebab NAFLD diantaranya:

1. Primer, yaitu sindrom metabolik

2. Sekunder :

a. Nutrisional, seperti total parenteral nutrition, kehilangan berat badan yang cepat, kelaparan,

pembedahan bypass pada saluran cerna.

b. Obat-obatan, seperti glukokorti-koid, estrogen, tamoxifen, meto-treksat, zidovudin,

amiodaron, tetrasiklin intravena, didadosin, kokain, perhexilen, hiper-vitaminosis A, diltiazem.

c. Toksin, seperti toksin jamur (Amanita phalloides, lepiota), bahan petrokimia, fosfor, toksin

Bacillus cereus.

d. Metabolik, seperti lipodistrofi, disbetalipoproteinemia, penyakit Weber-Christian, penyakit

Wolman dan sindrom Reye.

e. Lain-lain, seperti inflammatory bowel disease, HIV, divertikulosis usus halus dengan

pertumbuhan bakteri.

Beberapa faktor dalam berkembangnya keparahan NAFLD yang dipengaruhi faktor

lingkungan dan kepekaan seseorang atau faktor genetik antara lain dari steatosis menjadi

steatohepatisis, stress oksidatif, ‘cytokine milieu’, besaran respon imun, dan atau keparahan

fibrosis. Faktor lingkungan antara lain: dietetik (asupan lemak berlebihan, kekurangan asupan

anti-oksidan), aktifitas fisik (exercise), dan kemungkinan pertumbuhan bakteri usus berlebihan,

dianggap berperan dalam patogenesis NAFLD. Beberapa penelitian pada kelompok keluarga

(family clustering) dan variasi inter-etnis tentang kepekaan seseorang menunjukkan bahwa

Page 5: REFERAT NAFLD

5

faktor genetik berperan penting dalam menentukan risiko perkembangan memberatnya

NAFLD.

2.4. Patogenesis NAFLD

Patogenesis NAFLD masih belum diketahui dengan jelas sampai sekarang. Day CP dan

James OFW pada tahun 1999 (dikutip oleh Das SK dkk pada tahun 2006) mengusulkan

hipotesis ‘beberapa pukulan’ dalam patogenesis NASH dimana hipotesis ‘2 pukulan’ (two hit

theory) merupakan hipotesis yang banyak digunakan.18 Hipotesis tersebut adalah:

1. ‘Pukulan pertama’, yaitu resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan sintesis asam lemak, peningkatan asam lemak yang dikirim ke hati, sedikit

penghan-curan asam lemak dan sedikit

trigliserida yang dilepaskan dari hati. Akibatnya terjadi akumulasi trigliserida di hepatosit.

2. ‘Pukulan kedua’, yaitu stres oksidatif dan sitokin. Stres oksidatif dapat menyebabkan

terjadinya peroksidasi lipid yang akan mengaktifkan sel stelata di hati serta kematian hepatosit.

Hipotesis yang umum diterima adalah ‘two hit theory’ yang dikemukakan oleh Day dan

James pada tahun 1998.7,18 ‘Hit’ pertama adalah terbentuknya perlemakan hati atau steatosis,

kemudian terjadi peningkatan sensitifitas hati terhadap ‘hit’ kedua, dimana terjadi inflamasi

dan kerusakan sel hati, yang selanjutnya terjadi fibrosis hati. ‘First Hit’ pada jaringan hati

adalah penumpukan lemak di hepatosit yang disebabkan oleh beberapa keadaan seperti

dislipidemia, diabetes dan obesitas. Dalam keadaan normal, asam lemak bebas masuk kehati

melalui sirkulasi darah, kemudian dalam hati akan dimetabolisir lebih lanjut seperti re-

esterifikasi menjadi trigliserid atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya

lemak dalam tubuh yang berlebih, misalkan peningkatan jaringan lemak tubuh, khususnya

obesitas sentral akan meningkatkan penglepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk

dalam hepatosit. Hal ini akan diikuti peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini

terfokus pada mitokondria sel hati sehingga akhirnya terjadi kerusakan mitokondria. Proses

tersebut merupakan ‘Second Hit’. Peningkatan stress oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena

resistensi insulin, serta terjadi berbagai peningkatan antara lain: kadar endotoksin dihati,

aktifitas un-copling protein mitokondria, aktifitas sitokrom P-450 2E1, cadangan besi.

Disamping itu juga terjadi penurunan aktifitas dari anti-oksidan. Karena stress oksidatif yang

terjadi melebihi kemampuan perlawanan dari anti-oksidan, maka terjadi aktifasi sel stelata dan

sitokin pro-inflamasi yang akan berlanjut dengan inflamasi yang progresif, pembengkakan sel

hati dan kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis.

Page 6: REFERAT NAFLD

6

2.5. Perjalanan Alamiah NAFLD

Perjalanan alamiah NAFLD dimulai dari perlemakan hati sederhana (steatosis),

kemudian berkembang menjadi steatohepatitis (NASH), selanjutnya terjadi peningkatan

peradangan dan fibrosis, dan dapat menjadi sirosis hati. Dikarenakan belum ada studi

prospektif jangka panjang, maka perjalanan alamiah NAFLD yang sebenarnya masih belum

diketahui dengan jelas. Pada pantauan biopsi hati serial pada penderita NAFLD, pada sebagian

kasus terlihat jelas perkembangannya mulai steatosis menuju steatohepatitis, sampai akhirnya

menjadi sirosis hati.7 Pada studi dengan pantauan biopsy hati secara serial selama 3.5 tahun

sampai 11 tahun terhadap 257 penderita PPHNA, didapatkan 28% kasus mengalami kerusakan

hati progresif, 59% kasus tidak terjadi perubahan, dan 19% kasus membaik.7 Peneliti lain

mendapatkan hasil biopsi pada 37% kasus berkembang menjadi fibrosis, 34% kasus tidak

berubah, 29% terjadi perbaikan. Suatu studi tentang probabilitas kesintasan (survival

probability) terhadap 30 penderita NAFLD dibandingkan kontrol yang sesuai umur dan jenis

kelamin, didapatkan kesintasan yang lebih pendek 5-10 tahun pada kelompok NAFLD. Studi

terbaru terhadap 30 penderita NAFLD yang dipantau selama lebih 10 tahun, didapatkan

kesintasan 5 tahun 67% dan kesintasan 10 tahun 59%.7 Banyak faktor yang diduga berperan

dalam mortalitas penderita NAFLD, seperti komplikasinya dan ko-morbiditasnya dari obesitas

dan DM, serta faktor kondisi hatinya. Dari berbagai studi prognosis mortalitas jangka panjang

pada penderita NAFLD, hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) dibandingkan populasi

kontrol yang seimbang, terdapat peningkatan angka kematian pada penderita NAFLD. (b)

penyebab kematian terbanyak pada NAFLD adalah berhubungan dengan penyakit

kardiovaskuler, dan (c) pada penderita NASH (bukan NAFL) terdapat peningkatan kematian

yang berhubungan dengan penyakit hati.

2.6. Manifestasi Klinis NAFLD

Pada populasi umum sebagian besar penderita NAFLD bersifat tanpa gejala dan tanda

penyakit hati (asimtomatik). Beberapa pasien melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan

tidak enak pada perut seperti mengganjal di perut bagian kanan atas. Pada kebanyakan pasien,

hepatomegali merupakan satu- satunya kelainan fisik yang didapatkan.

Dalam klinik, NAFLD dicurigai atau ditemukan secara kebetulan pada waktu penderita

melakukan pemeriksaan rutin laboratorium, uji kesehatan umum (general medical check-up)

atau pemeriksaan pada penyakit atau kondisi tertentu seperti hipertensi, diabetes, penyakit

kardiovaskuler, atau obesitas. Pada sebagian penderita NAFLD, terdapat keluhan seperti sakit

kepala, rasa lelah/ mudah capai dan perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas.

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang paling sering didapatkan adalah obesitas. Pada beberapa

studi ‘cross sectional’ didapatkan sebanyak 30 - 100% penderita dengan obesitas. Pada awal

pemeriksaan didapatkan hepatomegali pada sekitar 50% kasus NAFLD. Pada pemeriksaan

laborat kadang didapatkan peningkatan kadar transaminase darah yakni AST dan atau AST.

Pada umumnya dengan rasio antara AST : ALT adalah <1.8,18 Jika rasio AST : ALT berubah

menjadi >1, hal ini menunjukkan fibrosis yang berlebih dan penyakit yang lebih progresif.

Gamma Glutamyl Transferase (GGT) umumnya abnormal (>35 U/L) dan alkaline fosfatase

(AP) dapat meningkat hingga dua kali harga normal (ULN = 125 U/L). Kadar feritin meningkat

pada 20-50 % kasus sebagai respon fase akut.18,20

Autoantibodi teridentifikasi pada 23-36% kasus NAFLD dan berhubungan dengan fibrosis

yang lebih lanjut.

Page 7: REFERAT NAFLD

7

2.7. Diagnosis NAFLD

Diagnosis NAFLD ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium, pencitraan hati dan biosi hati. Pada pasien NAFLD umumnya

asimtomatik, namun lebih dari setengah pasien dengan perlemakan hati atau NASH mengeluh

keletihan, malaise, atau ketidaknyamanan abdominal bagian atas. Pada pasien dengan sirosis

karena NASH yang progresif dapat berkembang menjadi asites, edema, dan jaundice. Tidak

lupa juga harus ditanyakan faktor risiko NAFLD seperti diabetes melitus, dislipidemia,

penyakit hepatitis B dan C.

2.7.1. Pemeriksaan Laboratorium

Perlu diketahui bahwa pemeriksaan laboratorium tidak dapat secara akurat

membedakan steatosis dengan steatohepatitis, dan NAFLD dengan dengan perlemakan hati

alkoholik.7 Peningkatan kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase

(ALT), ataupun keduanya biasa terdapat pada penderita NAFLD, dengan peningkatan kurang

4 kali batas normal.7,8 Derajat peningkatan kadar aminotransferase tidak dapat digunakan

sebagai faktor prediksi. Meskipun dalam beberapa kasus kadar ALT lebih tinggi daripada kadar

AST, kadar AST mungkin dapat lebih tinggi daripada kadar ALT terutama bila ada sirosis. The

Dallas Heart Study dan Dyonisos Nutrition and Liver Study melaporkan 30 dan 25 % dari

orang dewasa di Amerika dan Italia mengidap NAFLD. Dalam studi Bellentani ini, 79 dan 55%

pasien dengan NAFLD mempunyai kadar aminotransferase yang normal. Hal ini menunjukkan

bahwa enzim hati bukan penanda yang baik untuk diagnosis NAFLD. Pemeriksaan

laboratorium lengkap pada penderita NAFLD adalah meliputi aspartate aminotransferase

(AST), alanine aminotransferase (ALT), gamma glutamyl transpeptidase (GGT), albumin,

bilirubin, international normalized ratio (INR), dan platelet. Pemeriksaan albumin, bilirubin,

dan INR dapat menunjukkan kadar abnormal pada penderita NAFLD yang berat – berhubungan

dengan sirosis hepatis, tetapi tidak dapat diandalkan untuk membedakan tahap awal penyakit.

Akan tetapi semua pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan yang sama.

2.7.2. Pencitraan

Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD adalah

ultrasonografi (USG), computerized tomography (CT) dan magnetic resonance imaging

(MRI). Untuk diagnosis NAFLD, pemeriksaan USG hati adalah pilihan pencitraan yang umum

dan paling banyak digunakan dalam praktek klinik dan penelitian di masyarakat. Hal ini

dikarenakan mudah dikerjakan, biaya relatif murah, tidak invasive, banyak tersedia dan

mempunyai nilai akurasi yang baik. Untuk mendeteksi steatosis, pemeriksaan USG

mempunyai sensitivitas sebesar 89% dan spesifisitas 93%.7 Pada pemeriksaan USG,

perlemakan hati memberikan gambaran peningkatan ekogenik difus yang disebut ‘bright liver’

dengan atenuasi posterior dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal. Pada umumnya

perlemakan hati bersifat difus, tetapi pada beberapa kasus dapat bersifat setempat (localized)

yang mengenai sebagian parenkhim hati. Berdasarkan penilaian gambaran ekogenitas hati dan

pembuluh darah intrahepatik, secara USG perlemakan hati dapat dibedakan dalam 3 derajat,

yakni derajat ringan, derajat sedang dan derajat berat.

Page 8: REFERAT NAFLD

8

Pada pemeriksaan CT-scan non-kontras, perlemakan hati tampak hipodens dan tampak

lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik terlihat yang relatif cerah, dan dapat terjadi

kesalahan diagnosis apabila pemeriksaan CT-scan dengan injeksi kontras. Ketiga teknik

pencitraan di atas (USG, CT-scan dan MRI) terbukti memiliki sensivitas yang baik untuk

mendeteksi perlemakan hati lebih dari 30%.7 Akan tetapi tidak ada metode pencitraan ini yang

dapat membedakan antara steatosis sederhana dan NASH atau menunjukkan tahap fibrosis.

2.7.3. Biopsi Hati

Hasil histopatologi dari biopsi hati merupakan ‘gold standart’ untuk diagnosis NAFLD.

Biopsi hati adalah satu-satunya metoda diagnosis NAFLD yang dapat membedakan berbagai

derajat NAFLD dari steatosis sederhana, steatohepatitis, dengan dan tanpa fibrosis dan sirosis.

Hasil biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan antara NAFLD dengan penyakit

Page 9: REFERAT NAFLD

9

perlemakan hati alkoholik karena keduanya memiliki gambaran histologi yang sama. Peranan

biopsi hati pada NAFLD:

1. Menyingkirkan penyebab penyakit hati yang lain

2. Membedakan steatosis dengan NASH

3. Memperkirakan prognosis berdasarkan derajat fibrosis yang ditemukan

4. Menentukan progresivitas fibrosis dari waktu ke waktu

Gambaran histologis NASH adalah:

1. Steatosis. Terdapat 2 jenis steatosis, yaitu mikrovesikuler (sitoplasma hepatosit diisi

oleh lemak namun tidak merubah letak inti sel dan tetap berada di tengah sel) dan

makrovesikuler (sitoplasma diisi oleh lemak dan inti sel telah bergeser ke pinggir).

2. Steatohepatitis, ditandai dengan adanya steatosis makrovesikuler, ballooning hepatosit,

dan inflamasi merata pada lobus. Selain itu juga dapat ditemukan badan Mallory di

dalam ballooning hepatosit.

Page 10: REFERAT NAFLD

10

3. Steatohepatitis dengan fibrosis, diawali di periseluler dan selanjutnya membentuk jembatan

jaringan fibrosis.

4. Sirosis, ditandai dengan terbentuknya nodul pada jaringan hati yang dikelilingi oleh

jaringan parut.

Page 11: REFERAT NAFLD

11

Algoritme dalam menegakkan diagnosis NAFLD

2.8. Penatalaksanaan NAFLD

Sampai saat ini belum ada suatu konsensus mengenai tatalaksana NAFLD pada anak.

Prinsip utamanya adalah menurunkan berat badan dan melindungi hepatosit. Oleh karena itu

terdapat 5 hal yang direkomendasikan kepada penderita, yaitu:

1. Kurangi berat badan (jika penderita mengalami overweight atau obesitas)

2. Konsumsi diet yang sehat dan seimbang

3. Tingkatkan aktivitas fisik dengan berolahraga

4. Hindari pemakaian alkohol

5. Hindari pemakaian obat yang berlebihan

a. Pengaturan diet dan olahraga

Intervensi terhadap gaya hidup dengan tujuan mengurangi berat badan merupakan

terapi lini pertama bagi steatohepatitis non alkoholis. Target penurunan berat badan adalah

untuk mengoreksi resitensi insulin dan obesitas sentral. Penurunan berat badan secara bertahap

terbukti dapat memperbaiki konsentrasi AST dan ALT serta gambaran histopatologi hati pada

pasien dengan steatohepatitis non alkoholik. Perlu diperhatikan bahwa penurunan berat badan

yang bolak- balik naik turun (sindrom yo-yo) justru memicu progresi penyakit hati. Hal ini

terjadi akibat meningkatnya aliran asam lemak bebas ke hati sehingga peroksidasi lemak pun

Page 12: REFERAT NAFLD

12

meningkat. Sebaliknya penurunan berat badan yang bertahap ternyata tidak mudah dilakukan

dan seringkali sulit dipertahankan.

Latihan jasmani dan pengaturan diet menjadi inti terapi dalam usaha mengurangi berat

badan. Aktivitas fisik hendaknya berupa latihan bersifat aerobik paling sedikit 30 menit sehari.

Esensi pengaturan diet tidak bebeda dengan diet pada diabetes: mengurangi asupan lemak total

menjadi <30% dari total asupan energi, mengurangi asupan lemak jenuh, mengganti dengan

karbohidrat kompleks yang mengandung setidaknya 15gr serat kaya akan buah dan sayuran.

b. Antioksidan

Berdasarkan patogenesisnya, terapi antioksidan berpotensi untuk mencegah terjadinya progresi

steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis. Antioksidan yang pernah diteliti sebagai

alternatif terapi pasien perlemakan hati non alkoholik antara lain vitamin E dan vitamin C yang

dapat memperbaiki inflamasi dan fibrosis, selain itu dapat diberikan betain, N-asetilsistein

Pemberian vitamin E 300-1200 IU/hari selama 2-4 bulan dapat memperbaiki kadar ALT dan

resistensi insulin anak dengan NASH,

c. Terapi Farmakologis

Antidiabetik dan Insulin sensitisizers

Metformin meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan produksi glukosa

hati. Pada penelitian yang telah dilakukan, didapatkan perbaikan konsentrasi SGPT,

peningkatan sensitivitas insulin, dan penurunan volume hati pada pasien yang mendapatkan

terpai metformin.

Tiazolidindion adalah obat antidiabetik yang bekerja untuk memperbaiki sensitivitas

insulin pada jaringan adiposa. Terdapat 3 jenis obat golongan ini yakni troglizaton, obat

ininmenunjukan perubahan konsentrasi enzim menjadi nomal namun tidak terdapat perbaikan

histopatologis pada pasiendengan steatohepatitis non alkoholik. Kedua, rosiglitazon

didapatkan konsentrasi enzim- enzim hati (AST, fosfatase alkali dan g-glutamil transpeptidase)

membaik secara bermakna seperti juga sensitivitas insulin. Biopsi hati yang dilakukan pasca

terapi menunjukkan adanya perbaikan derajat fibrosis sentrilobular. Obat ketiga yakni

pioglitazon, dalam studi dilaporkan adanya perbaikan pada aminotransferase, derajat steatosis

dan nekroinflamasi.

d. Asam ursodeoksikolat (Hepatoprotektor)

Asam ursodeoksikolat adalah asam empedu yang memiliki efek imunomodulator,

pengaturan lipiddan efek sitoproteksi. Pemberian dengan dosis 10-12,5 mg/kg/hari selama 12

bulan pada anak yang menderita NASH dapat mengurangi kadar enzim hati serta memperbaiki

derajat steatosis. Berdasarkan penelitian lain didapatkan bahwa pemberian asam

ursodeoksikolat yang dikombinasikan dengan vitamin E dapat memperbaiki kadar ALT serum

dan gambaran histologis hati.

e. Tindakan pembedahan

Tindakan pembedahan Bariatric dapat memperbaiki NAFLD pada sebagian besar

kasus. Selain itu Silverman EM dkk pada tahun 1995 (dikutip oleh Das SK pada tahun 2006)

melaporkan bahwa tindakan gastric bypass atau gastroplasti yang dilakukan pada penderita

obes secara signifikan dapat mengurangi steatosis. Nadler EP dkk pada tahun 2009 (dikutip

Page 13: REFERAT NAFLD

13

oleh Pacifico L dkk pada tahun 2011) melaporkan adanya perbaikan fungsi hati 1-2 tahun

setelah pembedahan.

Transplantasi hati merupakan terapi pilihan apabila telah terjadi sirosis yang disertai

dengan komplikasi seperti gagal hati. Hasil transplantasi hati pada penderita ini biasanya cukup

baik walaupun ada laporan mengenai timbulnya kembali NASH pada penderita tersebut.

2.9. Komplikasi

Pada pasien dengan perlemakan hati non alkoholik, steatohepatitis dapat berkembang

menjadi sirosis dengan komplikasi. Diabetes yang tidak terkontrol dan hipertrigliseridemia

juga memperburuk fibrosis dan memiliki risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler. Tahapan

akhir dari NASH seringkali tidak dikenali dan menyebabkan sirosis kriptogenik. Fibrosis

yang progresif seringkali tertutupi oleh steatosis yang stabil atau bahkan membaik. Sirosis

tersebut meningkatkan risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler.

2.10. Prognosis

Steatosis dapat reversible dengan penurunan berat badan, pembatasa konsumsi alkohol

atau keduanya.steatohepatitis dapat progresif menjadi fibrosis hati dan sirosis. Pasien dengan

perlemakan hati memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi sirosis dan meningkatkan

mortalitas seiring dengan tingkat keparahan seatosis pada biopsi. Fibrosis dan sirosis

ditemukan pada 15-50% pasien dengan NASH.

Page 14: REFERAT NAFLD

14

BAB III

KESIMPULAN

Perlemakan hati non alkoholik atau Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)

merupakan kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya konsumsi alkohol yang berlebih

(kurang dari 20 gram per minggu). Spektrum kelainan hati yang termasuk dalam NAFLD

antara lain steatosis sederhana (perlemakan tanpa inflamasi), lalu steatosis yang disertai

inflamasi (non-alcoholic steatohepatitis – NASH) dan dapat berkembang menjadi fibrosis,

fibrosis tingkat lanjut dan pada akhirnya sirosis. Penyakit perlemakan hati non alkoholik adalah

diagnosis klinikopato-logis yang ditandai secara histologis dengan adanya penumpukan lemak

di hepatosit dimana penyebab lain dari penyakit hati telah disingkirkan. Obesitas, DM tipe 2,

jenis kelamin perempuan dan hiperlipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan

dengan NAFLD.

Diagnosis NAFLD ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang, berupa laboratorium, radiologi dan biopsi hati. Biopsi hati merupakan

pemeriksaan baku emas namun jarang dilakukan karena biayanya mahal dan dapat

menimbulkan komplikasi.

Prinsip utama dalam tatalaksana adalah menurunkan berat badan dan melindungi

hepatosit. Tatalaksana yang diberikan adalah pengaturan diet dan olahraga, pemberian

antioksidan, insulin sensitisizers, asam ursodeoksikolat dan tindakan pembedahan.

Page 15: REFERAT NAFLD

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan, Irsan. 2009. Perlemakan Hati Non Alkoholik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid I Edisi V. Jakarta Pusat. Interna Publishing.

2. Klarisa, Cindya. 2014. Perlemakan Hati, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-4.

Jakarta Pusat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Loomba R, Sirlin CB, Schwimmer JB, Lavine JE. Advances in pediatric nonalcoholic

fatty liver disease. Hepatology 2009; 50(4): 1282-93.

4. Mamun AM, Sheikh FA. Non-alcoholic Fatty Liver Disease A Review. Journal of

Gastroenterology and Hepatology Research, 2013.

5. Sen A, Kumar J, Misra RP, Uddin M, Shukla PC. Lipid Profile Of Patient Having Non-

Alcoholic Fatty Liver Disease As Per Ultrasound Findings In North Indian Population:

A Retrospective Observational Study. J Med Allied Sci. 2013;3(2):59–62.

6. Tetri BAN, Clark JM, Bass NM, Natta MLV, UnalpArida A, Tonascia J, Zein CO,

Brunt EM, et al. Clinical, Laboratory And Histological Association In Adults With

Nonalcoholic Fatty Liver Disease. American Association For The Study Of Liver

Disease. 2010;52(3).

7. Yusri Dianne Jurnalis, Delfican, Yorva Sayoeti, Penyakit Perlemakan Hati Non

Alkoholik Pada Anak. Majalah Kedokteran Andalas No.2. Vol.36. Juli-Desember 2012.