referat - demam tifoid (1)

Upload: intan

Post on 05-Jul-2018

358 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    1/21

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

    Periode 26 Oktober s/d 2 Januari 2015

    RSUD KOJA, Jakarta

    Referat

    DEMAM TIFOID

    Oleh:

    Krisantus Desiderius Jebada112014152

    Pembimbing :dr. Afaf, Sp. A

    Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl . Terusan A rju na No.6 Kebo n Jeru k, Jakarta Barat . Telp. 021-56942061

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    2/21

    Demam Tifoid 2 | H a l a m a n

    DEMAM TIFOID

    Pendahuluan. Salmonelosis adalah penyakit yang umum dan tersebar luas serta merupakan

    salah satu masalah utama yang mengenai jutaan orang dan memiliki angka mortalitas yang

    masih cukup tinggi. Salmonelosis merupakan suatu food-borne diseasis , menyerang saluran

    cerna baik manusia maupun hewan berdarah panas atau dingin. 1

    Salmonela secara umum dibagi menjadi dua kelompok berbeda yaitu typhoidal salmonella

    dan Nontyphoid salmonella (NTS). Thypoid salmonella atau demam tifoid disebabkan oleh

    Salmonella enterica serovar Typhi. Berbeda dengan salmonella typhi yang menyebabkan

    kelainan sistemik, NTS hanya menyebabkan inflamasi lokal pada saluran cerna yang kemudian

    menimbulkan infiltrasi leukosit ke dalam lumen dan menyebabkan diare. Selain itu perbedaan

    lainnya adalah bahwa NTS memiliki waktu onset yang cepat dan durasinya singkat sedangkan

    salmonella typhi memiliki waktu inkubasi dan periode sakit yang lebih lama, dimana

    manifestasi sistemiknya lebih dominan dan hanya sebagian anak yang datang dengan keluhan

    diare. Hal ini disebabkan karena NTS tidak mampu melewati mekanisme defensif pada saluran

    cerna dibandingkan dengan salmonella typhi. 1

    Enteric fever atau lebih umum dikenal sebagai demam tifoid masih merupakan penyakitendemis di banyak negara berkembang.

    Etiologi. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serovoar Typhi (S. Typhi), suatu

    bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif

    anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)

    yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai

    makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dandinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang

    berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik. Penyakit ini mirip dengan S.

    Paratyphi tetapi memiliki manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan S.

    Patatyphi. 1-3

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    3/21

    Demam Tifoid 3 | H a l a m a n

    Gambar 1: Nomenklatur salmonela. Sumber: Kliegman, Stanton, St. Geme, Schor Behrman [editor]. Nelson textbook of pediatrics.

    19 th Ed. 2011.

    Meskipun S, Typhi memiliki beberapa kemiripan secara genetik dengan E. Coli atau S.

    Typhimurium (95%), tetapi bakteri ini memiliki beberapa bagian gen yang bersifat patogenik

    dan diduga hal ini didapatkan dari selama evolusi S. Typhi. Salah satu produk gen patogenik

    yang banyak dikenal adalah kapsul polisakarida Vi yang menentukan virulensi bakteri ini

    dengan menghambat mekanisme bakterisidal dari sistem imun penderita yang terkena. 1

    Epidemiologi. Diperkirakan lebih dari 21,7 juta kasus terjadi dan menyebabkan lebih dari

    200.000 kematian setiap tahunnya, dan daerah Asia memiliki porsi terbesar dari penyakit ini.

    Sebagai tambahan 5,4 juta kasus disebabkan oleh paratyphoid juga terjadi setiap tahunnya. 1

    Di negara maju, insidens penyakit ini kurang dari

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    4/21

    Demam Tifoid 4 | H a l a m a n

    Transmisi yang paling sering dari S. Typhi adalah melalui makanan atau minuman yang telah

    terkontaminasi bakteri yang berasal dari feses penderita atau karier. 1-4

    Patogenesis. S. Typhi dapat menyebabkan penyakit jika dosis yang masuk ke dlaam

    pencernaan sekitar 10 5-10 9 bakteri dengan masa inkubasinya 4 sampai 14 hari, tergantung

    dari banyaknya bakteri yang masuk. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks

    mengikuti ingesti organisme, yaitu: (1) penempelan dan invasi sel- sel M Peyer’s patch, (2)

    bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus

    mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri

    bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar

    cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen

    intestinal. 2

    Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan

    menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria.

    Bakteri kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang

    disebut Peyer’s patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe

    mesenterika hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan

    retikuloendotelial (hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi

    enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan

    keluarnya elektrolit dan air ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke

    sirkulasi sistemik (bakteremia II) dan menginvasi organ lain, baik intra maupun

    ekstraintestinal. 2

    Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh. Bakteri Salmonella typhi bersama

    makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung

    dengan suasana asam (pH

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    5/21

    Demam Tifoid 5 | H a l a m a n

    dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam

    folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. 2

    Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh

    jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar

    dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara

    ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh

    Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari

    ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau

    penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi organism di empedu dapat menginvasi ulang

    dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. 2

    Peran Endotoksin. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut

    terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

    pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di

    dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk

    memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan

    nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada

    darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. Proinflamatory tersebut adalah IL-6, IL-1B

    dan TNF-a yang berasal dari sel yang terinfeksi. 2

    Respons Imunologik. Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik

    di tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme

    imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi

    tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan

    jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier

    memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji

    hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap

    harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu. 2

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    6/21

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    7/21

    Demam Tifoid 7 | H a l a m a n

    4) Stadium evolusi: demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup lama.

    Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih ada dalam

    jumlah minimal (menjadi karier kronis).

    Gambar 3: Manifestasi klinis demam tifoid. Sumber: Kliegman, Stanton, St. Geme, Schor Behrman [editor]. Nelson textbook of pediatrics.

    19 th Ed. 2011.

    Gejala klinis yang muncul pada demam tifoid berbeda-beda tergantung usia penderita. Tetapi

    tidak ada pembagian yang jelas mengenai gejala ini karena manifestasi klinis yang berbeda

    pada usia yang sama didaerah yang berbeda. Misalnya dari studi yang dilakukan di Amerika

    Selatan dan Afrika menunjukkan manifestasi klinis yang ringan dari demam tifoid jika

    mengenai anak dengan usia yang lebih muda. Tetapi hal ini berbeda dengan angka insiden

    yang terjadi di Asia dimana anak dengan usia kurang dari 5 tahun memiliki peluang yang lebih

    besar untuk terjadinya komplikasi berat dan merupakan populasi terbanyak yang

    membutuhkan perawatan di rumah sakit dibandingkan kelompok usia lainnya. 2

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    8/21

    Demam Tifoid 8 | H a l a m a n

    Demam tifoid biasanya bermanifestasi sebagai demam yang tinggi, dengan gejala tambahan

    yang bervariasi seperti mialgia, nyeri abdomen, hepatosplenomegali serta anoreksia. Pada

    anak-anak diare dapat terjadi pada stadium awal penyakit ini dan kemudian diikuti dengan

    konstipasi.

    Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus

    demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai

    dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai

    titik tertinggi pda akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada

    minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti

    kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien

    demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari

    dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid

    dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut dan delirium atau

    obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.2

    Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,

    anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang

    berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan

    dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai

    akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid

    sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul

    episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi

    dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku

    bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan

    splenomegali. 2

    Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm sering

    kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih,

    tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10

    dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardia

    relatif jarang dijumpai pada anak. 2

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    9/21

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    10/21

    Demam Tifoid 10 | H a l a m a n

    Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG,

    syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik

    dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase

    yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase,maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada

    penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan

    fenomena pembawa kuman (karier).

    Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat

    sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit

    demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat

    bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang

    buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat

    ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder

    oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi

    intravascular diseminata, hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi

    sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah

    dan persendian.

    Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih

    jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah

    penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium

    konvalesens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam

    pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid

    sebelumnya dan lebih singkat.

    Pemeriksaan Fisik. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.

    Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian

    tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai

    daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    11/21

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    12/21

    Demam Tifoid 12 | H a l a m a n

    yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan

    volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.

    Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

    mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.

    Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada

    bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi

    hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih

    sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

    direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan

    media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi

    yang dapat tumbuh pada media tersebut. 2

    Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

    penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari

    penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.

    Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika

    dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang

    dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga

    minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.

    Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling

    tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama

    perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama

    bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur

    darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam

    praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu

    yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak

    digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian

    pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir

    sama dengan kultur sumsum tulang. 2

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    13/21

    Demam Tifoid 13 | H a l a m a n

    Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan,

    adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume

    spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

    Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

    adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

    canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

    metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

    Serologi Salmonella typhi . Salmonela dapat digolongkan berdasarkan antigen somatic (O)

    dan antigen flagel (H) dan kemudian dibagi ke dalam berapa serotipe dalam fase 1 atau 2.

    Beberapa salmonella memiliki antigen envelope yang disebut Vi (virulensi). Salmonela yang

    menyebabkan demam tifoid dan paratifoid memiliki beberapa komposisi antigen yang dapat

    dilihat pada tabel di bawah ini. 1

    Gambar 4: Antigen Sallmonela typhi. Sumber: WHO. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhiod

    fever. 2003.

    Antigen spesifik O pada demam tifoid dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

    Gambar 5: Antigen Spesifik O Sallmonela typhi. Sumber: WHO. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhiod

    fever. 2003.

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    14/21

    Demam Tifoid 14 | H a l a m a n

    Antigen H spesifik pada penyebab demam tifoid dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

    Gambar 6: Antigen Spesifik H Sallmonela typhi. Sumber: WHO. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhiod

    fever. 2003.

    TEST FELIX-WIDAL. Tes ini bertujuan untuk mengukur level aglutinasi antibodi terhadap

    antigen O dan H. Biasanya antibodi O muncul pada hari 6-8 dan antibodi H muncul pada hari

    ke 10-12 setelah onset penyakit. Pemeriksaan ini membutuhkan 1 ml darah pasien. Prinsip uji

    Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah

    mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang

    ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

    masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Beberapa penelitian

    pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan

    sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Kelemahan uji Widal

    yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil

    membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil

    uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid

    (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya

    masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai

    standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan

    titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis sepertiIndonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Hasil

    negatif palsu juga dapat terjadi karena pemberian antibiotik yang cepat sehingga

    menurunkan respons antibodi pasien. Dilain pihak, antigen O dan H dari S. Typhi memiliki

    kesamaan dengan antigen dari golongan salmonela serotipe yang lain, selain itu epitopnya

    bereaksi silang dengan beberapa Enterobacteriacae dan menyebabkan positif palsu.

    Menentukan nilai cut-off pada pemeriksaan ini cukup sulit karena perbedaan tingkat

    endemisitas antara satu daerah dengan daerah yang lain. Peningkatan titer minimal empat

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    15/21

    Demam Tifoid 15 | H a l a m a n

    kali dari titer antibodi pada fase akut jika dibandingkan titer antibodi pada fase konvalesens

    memiliki nilai diagnostik yang penting. 3

    PEMERIKSAAN SEROLOGI TERBARU. Dibutuhkan pemeriksaan yang lebih cepat dan lebih

    reliabel untuk mendiagnosis demam tifoid sebagai aternatif test Widal. Beberapa

    pemeriksaan tersebut adalah: 3

    IDL Tubex® yang dipasarkan oleh sebuah perusahaan dari Swedia, yang bekerja

    dengan mendeteksi antibodi IgM O9 hanya dalam beberapa menit.

    Typhidot® yang dikembangkan di Malaysia untuk mendeteksi antibodi spesifik IgM

    dan IgG terhadap 50 Kd antigen dari S. Typhi. Test ini membutuhkan waktu

    pemeriksaan kurang lebih 3 jam.

    Typhidot-M® yang bertujuan hanya memeriksa antibodi IgM, yang dipstiknya

    dikembangkan di Belanda.

    TEST TUBEX. Merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat

    (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

    sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar

    spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalamdiagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi

    antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,

    dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,

    terutama di negara berkembang.

    Diagnosis. Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang

    diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukanberbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan

    metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan

    mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang

    klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui

    isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi

    Salmonella typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    16/21

    Demam Tifoid 16 | H a l a m a n

    yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan specimen

    yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif

    didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam

    praktik sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yangdiambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

    Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap

    antigen somatik (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di

    Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide

    agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai

    ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan

    tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O

    aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang t erjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis

    demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau

    infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman

    Salmonella typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang

    dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat

    timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukt biakan darah positif.

    Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibody

    Salmonella typhi dalam serum, antigen terhadap Salmonella typhi dalam darah, serum dan

    urin bahkan DNA Salmonella typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain reaction telah

    digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. typhi secara spesifik pada darah pasien

    dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif

    dibandingkan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang

    baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum

    disepakati adanya pemerksaan yang dapt menggantikan uji serologi Widal.

    Diagnosa Banding. Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang

    secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis

    dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme

    intraseluler seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    17/21

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    18/21

    Demam Tifoid 18 | H a l a m a n

    diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukosit

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    19/21

    Demam Tifoid 19 | H a l a m a n

    selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari

    dalam 3 dosis per oral selama 30 hari.

    Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid

    serangan pertama.

    Indikasi Rawat. Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.

    Cairan dan Kalori

    - Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan

    kalori diberikan melalui sonde lambung.

    -

    Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhandengan kadar natrium rendah.

    - Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.

    - Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.

    - Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan O2.

    - Pelihara keadaan nutrisi.

    - Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.

    Antipiretik, diberikan apabila demam >39 o C, kecuali pada pasien dengan riwayatkejang demam dapat diberikan lebih awal.

    Diet

    - Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.

    - Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat

    dengan kalori cukup.

    - Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna

    dan perforasi usus.

    Prognosis. Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

    kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik

    yang adekuat, angka mortalitas 10%,

    biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya

    komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,

    endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    20/21

    Demam Tifoid 20 | H a l a m a n

    Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah

    infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan

    meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.

    Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasiumum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama

    pada individu dengan skistosomiasis. 2

    Pencegahan. Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,

    maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka

    konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oC untuk

    beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.

    Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57 oC beberapa menit dan secara merata juga dapat

    mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah

    tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah

    serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu

    menekan angka kejadian demam tifoid. 2

    Vaksin Demam Tifoid. Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,

    yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi.

    Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB

    vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun

    vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal

    pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidupyang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari,

    memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2

    tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik

    dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi

    diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun. 2

  • 8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)

    21/21

    Demam Tifoid 21 | H a l a m a n

    Referensi

    1. Bhutta AZ. Enteric fever. In: Kliegman RM, Stanton BF, Joseph W, Schor NF, Behrman RE.Nelson textbook of pediatrics. Ed 19. Philadelphia: WB Saunders; 2011.

    2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Ed2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015: 338-45.

    3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta: MediaAesculapius; 2014: 74-5.

    4. Diagnosis of typhoid fever. Dalam: Background document: The diagnosis, treatment andprevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003: 7-18.

    5. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedomanpelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter AnakIndonesia; 2009: 47-9.