referat anestesi sepsis final

47
REFERAT ILMU ANESTESI _______________________________________ ______ SEPSIS Pembimbing: dr. Asep Hendradiana, Sp.An, KIC, M.Kes Disusun oleh: Glory T. Lobo (07120090049) Nesa Kusuma (07120090094) Nathasia Suryawijaya (07120100046) Febby Andri (07120100058)

Upload: matthew-kevin-hendrianto

Post on 07-Dec-2015

72 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

REFERAT ILMU ANESTESI

_____________________________________________

SEPSIS

Pembimbing:

dr. Asep Hendradiana, Sp.An, KIC, M.Kes

Disusun oleh:

Glory T. Lobo (07120090049)

Nesa Kusuma (07120090094)

Nathasia Suryawijaya (07120100046)

Febby Andri (07120100058)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 25 AGUSTUS 2014-20 SEPTEMBER 2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................3

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................4

2.1 Definisi...................................................................................................................................4

2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................8

2.3 Faktor Risiko........................................................................................................................12

2.4 Etiologi.................................................................................................................................12

2.5 Patofisiologi.........................................................................................................................13

2.6 Tahap Perkembangan Sepsis................................................................................................17

2.7 Diagnosis 4............................................................................................................................18

2.8 Tatalaksana 4........................................................................................................................20

2.9 Prognosis..............................................................................................................................29

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................30

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................31

2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yaitu “‘‘σηψις ´ ’’ yang berarti dekomposisi atau

pembusukkan dan kata tersebut telah digunakan sejak sebelum Hippocrates. Akan tetapi, kata

sepsis yang telah digunakan lebih dari 2700 tahun belum menjelaskan patofisiologi sepsis secara

mendalam.1

Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit infeksi seperti bakteri dan

virus. Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama seperti serangan jantung

atau stroke karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga

dibutuhkan penanganan kegawat daruratan segera.2 Hal tersebut yang menjadikan sepsis sebagai

penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU). Selain itu, berdasarkan

epidemiologinya sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya

dengan insiden diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan

sebesar 9% tiap tahunnya. Penelitian epidemiologi sepsis di Amerika Serikat menyatakan insiden

sepsis sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur

(0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun).2,3

Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur. Pada dewasa, sepsis umumnya terdapat

pada orang yang mengalami immunocompromised, yang disebabkan karena adanya penyakit

kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas sepsis di negara yang sudah berkembang menurun

hingga 9%, namun tingkat mortalitas pada negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia,

masih tinggi yaitu 50-70% dan apabila berlanjut pada syok sepsis dan disfungsi organ multiple,

angka mortalitasnya dapat mencapai 80%. 3,4

Langkah utama yang penting dalam penanganan sepsis adalah identifikasi dini.

Seringkali istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) diartikan sama dengan sepsis

pada keadaan klinis. Padahal apabila diartikan, SIRS dapat timbul sebagai hasil dari non-infeksi,

sedangkan sepsis digunakan untuk inflamasi sistemik yang muncul dari infeksi.5

Oleh karena hal tersebut, sangatlah penting untuk dapat memahami sepsis dan syok

sepsis secara keseluruhan, mulai dari definisi, penyebab, diagnosis, hingga penatalaksanaannya.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012, sepsis diartikan sebagai adanya infeksi yang

disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi sistemik. Sepsis juga merupakan komplikasi

infeksi yang berpotensi mengancam nyawa. Sepsis terjadi ketika bahan kimia (sitokin) yang

berfungsi untuk melawan infeksi dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga memicu respon

inflamasi seluruh tubuh. Inflamasi tersebut dapat menyebabkan perubahan homeostasis

dalam tubuh sehingga destruksi akan melebihi proteksi dalam tubuh. Hal tersebut dapat

merusak beberapa sistem organ yang pada akhirnya menyebabkan kegagagalan organ. 6

Kegagalan pada organ tubuh yang terjadi tersebut akan berlanjut menjadi komplikasi yang

berujung pada sepsis berat. Sepsis berat merupakan keadaan sepsis yang diikuti dengan

gangguan fungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi jaringan. Sedangkan sepsis dengan

hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90mmHg atau rata-rata tekanan arteri (Mean

Arterial Pressure) <70 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40mmHg. Perkembangan

dari Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure (MODS/MOF) akan menyebabkan

suatu keadaan yang dinamakan syok septik. Syok septik didefinisikan sebagai suatu keadaan

kegagalan sirkulasi akut yang ditandai dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan

resusitasi cairan yang cukup ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh

konsentrasi laktat yang >4mg/dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain. 4

Beberapa definisi yang berhubungan dengan sepsis: 7

Kolonisasi Adanya mikroorganisme pada suatu lokasi

tubuh, namun belum membahayakan bagi

host.

Infeksi Suatu proses patologis yang disebabkan oleh

invasi dari jaringan normal steril atau cairan

atau rongga tubuh oleh mikroorganisme

4

pathogen yang berpotensi.

Bakteremia Adanya bakteri hidup dalam darah, yang

mungkin sementara, dan dapat berlanjut pada

viremia, fungemia, dan parasitemia.

Systemic inflammatory response syndrome

(SIRS)

Respon tubuh non spesifik terhadap kondisi

yang menyebabkan inflamasi yang berupa

infeksi, luka bakar, pancreatitis akut, trauma,

atau yang lainnya. Setidaknya terdapat dua

poin dari berikut:

- Temperature >38.0C atau <36C

- Laju nadi >90 kali per menit

- Laju nafas >20 kali per menit atau

PaCo2<32 mmHg

- Jumlah sel darah putih >12.000/mm3

atau <4.000/mm3 atau >10% sel

imatur.

Sepsis SIRS yang disertai dengan sumber infeksi

yang dapat berasal dari bakteri, virus, atau

parasit.

Hipotensi Tekanan sistolik <90 mmHg atau kurang dari

40 mmHg dari tekanan baseline.

Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ

atau hipoperfusi jaringan (dengan

karakteristik oligouria, gangguan status

mental, dan/atau laktat asidosis), atau

hipotensi arteri.

Syok sepsis Sepsis yang disertai dengan kegagalan

sirkulasi, ditandai dengan hipotensi yang

5

menetap meskipun telah dilakukan resusitasi

cairan.

Multiple organ dysfunction syndrome

(MODS)

Perubahan fungsi organ pada pasien sakit

berat sehingga homeostatis tidak dapat

dipertahankan walaupun dengan intervensi.

Gambar 1: BMJ.2007

Berikut merupakan kriteria diagnosis untuk sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012: 4

1. Variable umum

- Demam (>38.3C)

- Hipotermia ( <36C)

- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai normal sesuai usia

6

- Takipneu

- Gangguan status mental

- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)

- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa disertai dengan

diabetes

2. Variable inflamasi

- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)

- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)

- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur

- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal sesuai usia

- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal sesuai usia

3. Variable hemodinamik

- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressur menurun >40

mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di bawah normal sesuai usia)

4. Variable disfungsi organ

- Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)

- Oligouria akut (output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah

pemberian resusitasi cairan yang adekuat)

- Kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60)

- Ileus (tidak adanya bising usus)

- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 µL L)

- Hiperbilirubinemia (total plasma bilirubin >4mg/dL atau 70 µmol/L)

5. Variable perfusi jaringan

- Hiperlaktatemia (>1mmol/L)

- Penurunan capillary refill atau mottling

Sedangkan kriteria diagnosis untuk sepsis berat adalah sebagai berikut: 4

1. Sepsis dengan hipotensi

2. Laktat di atas batas atas nilai normal

7

3. Output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah pemberian

resusitasi cairan yang adekuat

4. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa disertai dengan pneumonia sebagai

sumber infeksi

5. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 disertai dengan pneumonia sebagai sumber

infeksi

6. Kreatinin >2,0 mg/dL (178,8 µmol/L)

7. Bilirubin >2mg/dL (34,2 µmol/L)

8. Jumlah platelet <100.000 µL

9. Koagulopati (INR>1,5)

Diagram hubungan infeksi, SIRS, dan sepsis

2.2 Epidemiologi

Banyak studi epidemiologi terhadap 6 juta orang menunjukkan bahwa insiden terjadinya

sepsis adalah 3 orang per 1000 populasi per tahunnya atau sekitar 750.000 kasus per tahun di

Amerika Serikat. Tingkat rawat inap akibat sepsis yang berat 2 kali lipat selama dekade terakhir,

dan dengan angka kematian saat ini 30%. Perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa angka

kematian berdasarkan populasi disesuaikan dengan peningkatan umur.8

Banyak pathogen yang dapat menyebabkan sepsis yaitu dengan bermultiplikasi dalam

pembuluh darah. Sepsis dapat muncul akibat integritas pertahanan host, baik fisik maupun

8

imunologi, yang kalah terhadap pathogen dan menyebabkan penetrasi secara langsung dari

pathogen menuju pembuluh darah dan menimbulkan fase sepsis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Greg S.Martin,dkk, untuk kategori jenis

kelamin dalam populasi Amerika Serikat mengungkapkan bahwa setiap tahun jenis kelamin pria

lebih mungkin untuk memiliki sepsis daripada wanita.9

GAMBAR 2: EPIDEMIOLOGI MENURUT JENIS KELAMIN

Selain itu kriteria berdasarkan ras, ras kulit putih memiliki tingkat terendah untuk terkena

sepsis selama masa studi, dengan dua orang kulit hitam dan kulit putih kelompok lain yang

memiliki resiko sama tinggi dibandingkan dengan kulit putih.9

9

GAMBAR 3 : EPIDEMIOLOGI MENURUT RAS

Dari 1979 – 1987, bakteri gram negatif merupakan organisme yang dominan

menyebabkan sepsis, sedangkan bakteri gram positif dilaporkan paling sering pada setiap tahun

berikutnya. Diantara organisme dilaporkan yang telah menyebabkan sepsis pada tahun 2000,

dimana bakteri gram positif menyumbang 52.1% kasus, bakteri gram negatif untuk 37.6%,

infeksi polymicrobial untuk 4.7%, bakteri anaerob untuk 1.0%, dan jamur untuk 4.6%.

Organisme tertentu yang menyebabkan sepsi tercatat di 51% dari semua catatan yang dilaporkan

selama periode 22 tahun. Perubahan yang relatif besar diamati pada kejadian infeksi bakteri gram

positif yang meningkat dengan rata-rata 26.3% per tahun. Dilain hal, jumlah kasus sepsis yang

disebabkan oleh organisme jamur meningkat 207%, dari 5.231 kasus pada tahun 1979 menjadi

16.042 kasus pada tahun 2000.9

10

GAMBAR 4: EPIDEMIOLOGI MENURUT ORGANISME PENYEBAB

Tingkat kematian untuk seluruh kelompok menurun selama periode 22 tahun dimana

rata-rata 27.8% selama subperiod pertama menjadi 17.9% selama subperiod terakhir. Meskipun

tingkat kelangsungan hidup membaik, namun meningkatnya insiden sepsis hampir tiga kali lipat

dari jumlah kematian di rumah sakit yang berhubungan dengan sepsis, dari 43.579 kematian

(21.9 per 100.000 penduduk) pada tahun 1979 menjadi 120.491 kematian (43.9 per 100.000

penduduk) pada tahun 2000. Kematian tetap statis untuk penyebab bakteri gram positif,

sedangkan kematian yang terkait dengan bakteri gram negatif menurun dengan rata-rata 2.9%

per tahun. Tingkat kematian tidak berbeda secara signifikan berdasarkan jenis kelamin dimana

pria 22.0% dan wanita 21.8%.

Proporsi pasien dengan sepsis yang mengalami kegagalan organ, dimana sebagai penanda

keganasan penyakit, meningkat dari waktu ke waktu, dari 19.1% dalam 11 tahun pertama

menjadi 30.2% pada tahun kemudian. Kegagalan organ memiliki efek kumulatif pada kematian

dimana sekitar 15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal, sedangkan 70% pasien dengan tiga

atau lebih organ yang gagal (diklasifikasikan memiliki sepsis berat dan syok sepsis) meninggal. 9

Penyebab utama dari sumber infeksi pasien sepsis adalah berasal dari paru-paru, saluran

penceranaan, dan saluran kencing. Sejak tahun 1987, bakteri gram positif menjadi penyebab

yang paling sering dalam perkembangan sepsis. 6 Organ-organ yang paling sering mengalami

11

kegagalan pada pasien dengan sepsis adalah paru-paru pada 18% pasien dan ginjal pada 15%

pasien. Yang tidak terlalu sering adalah gagal jantung sekitar 7%, kegagalan hematologi 6%,

kegagalan metabolik 4%, dan kegagalan neurologis 2%.9

GAMBAR 5 : EPIDEMIOLOGI MENURUT TINGKAT KEMATIAN DI RUMAH

SAKIT PADA PASIEN DENGAN SEPSIS

2.3 Faktor Risiko

Orang yang sangat muda dan orang tua

Orang yang mengkonsumsi obat imunosupresif

Orang dengan pengobatan kemoterapi atau radiasi

Orang dengan limpa yang telah diambil dalam pembedahan

Orang yang memakai steroid jangka panjang

Orang dengan diabetes yang berlangsung lama, AIDS, atau sirosis

Orang yang memiliki luka bakar yang sangat besar atau luka berat

12

2.4 Etiologi

Mayoritas kasus sepsis disebabkan oleh infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh infeksi

jamur, dan sangat sedikit yang disebabkan oleh penyebab lain dari infeksi atau agen yang

dapat menyebabkan SIRS. Para agen infeksius, biasanya bakteri, mulai menginfeksi hampir

semua lokasi organ atau alat implan (misalnya, kulit, paru-paru, saluran pencernaan, tempat

operasi, kateter intravena, dll). Para agen menginfeksi atau racun mereka (atau keduanya)

kemudian menyebar secara langsung atau tidak langsung ke dalam aliran darah. Hal ini

memungkinkan mereka untuk menyebar ke hampir semua sistem organ lainnya. Kriteria

SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen

melalui darah ini.

Penyebab bakteri umum sepsis adalah basil gram negatif (misalnya, E. coli, P.

aeruginosa, E. corrodens, dan Haemophilus influenzae pada neonatus). Bakteri lain juga

menyebabkan sepsis adalah S. aureus, Streptococcus spesies, spesies Enterococcus dan

Neisseria; Namun, ada sejumlah besar genera bakteri yang telah diketahui menyebabkan

sepsis. Spesies Candida adalah beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis.

Secara umum, seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga tindakan pencegahan

seperti mencuci tangan, sarung tangan steril, masker, dan cakupan pakaian harus

dipertimbangkan tergantung pada sumber infeksi pasien.

Infeksi yang berhubungan dengan sepsis meliputi:

Pneumonia

Appendisitis

Peritonitis

Infeksi kandung kemih, uretra atau ginjal (infeksi saluran kemih)

Infeksi kantong empedu (kolesistitis) atau saluran empedu (kolangitis)

Infeksi kulit, seperti selulitis

Infeksi pasca-bedah

Infeksi pada otak dan sistem saraf, seperti meningitis atau ensefalitis

Flu (dalam beberapa kasus)

13

2.5 Patofisiologi

Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada

bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam

plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh

hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam

sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein,

kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP

sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi

sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase

C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.

Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like

receptor-2 (TLR2).10

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid

(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif

menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen

dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II

dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi

sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.10,12

14

GAMBAR 6. SKEMA INFEKSI – SEPSIS

Peran sitokin pada sepsis

Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan

invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang

berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil,

monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma

seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal.

Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin

antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai

hormon.10,11

Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting

adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai

antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel

meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek

prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic

growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1,

15

IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder

seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF),

peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti

histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem

komplemen.13 Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi

pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi anti-inflamasi.14

Peran komplemen pada sepsis

Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons

imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi.

Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik.

Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan

berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan

adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin,

peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan.11

Peran NO pada sepsis

NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular.

Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan

hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena

dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan

menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan

renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor.10,11

Peran netrofil pada sepsis

Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan

pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi

umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. Walaupun

netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan

protease oleh netrofil dipercaya bertanggung jawab terhadap kerusakan organ. Terdapat 2

studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah

16

komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil

pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif .13

Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang

menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan

vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi

perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas

kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai

edema.Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi

jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin

kuman Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan

fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF).

Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi

endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi,

dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor

humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori-protein,

translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang

diberikan.13

17

GAMBAR 7. SKEMA GANGGUAN HEMODINAMIK PADA PASIEN SEPSIS11

2.6 Tahap Perkembangan Sepsis

Infeksi

Proses patologi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogenik ke jaringan

tubuh yang normalnya steril.

18

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)

Respons peradangan sistemik terhadap beragam serangan klinis yang berat.

Respons ini berupa dua atau lebih dari kondisi-kondisi berikut:

o Suhu tubuh >38°C atau <36°C

o Denyut nadi >90 kali/menit

o Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2<4,3 kPa (<32 Torr) / 32 mm HG

o Jumlah leukosit >12.000 sel/mm3, <4.000 sel/mm3, atau >10% sel neutrofil

batang

Sepsis

Sindrom klinis ditandai dengan adanya infeksi dan respon inflamasi sistemik, yang

bermanifestasi dalam dua atau lebih kondisi-kondisi seperti yang ditemukan pada

SIRS sebagai akibat infeksi.

Sepsis berat

Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ.

Syok septik

Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi cairan yang adekuat telah

diberikan, disertai adanya kelainan perfusi.

Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)

Adanya perubahan fungsi organ pada pasien yang sakit akut di mana homeostasis

tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.

2.7 Diagnosis 4

Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi mengenai faktor

resiko potensial terjadinya infeksi, berhubunagn dengan patogen spesifik pada area jaringan

tertentu.7 Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum pasien, tanda-tanda vital. Gambaran

klasik sepsis berat adalah pasien hipermetabolik dengan temperatur tinggi, takikardia,

takipnea, sirkulasi vasodilatasi hiperdinamik, tekanan diastolik rendah, dan suara ‘pistol

19

shot’ pada arteri femoralis. Oliguria umum ditemukan dan pasien dapat terlihat gelisah,

pusing, atau mengantuk. Leukositosis biasanya terkadi dan urea dapat meningkat tanpa

diikuti kenaikan kadar kreatinin plasma, yang menunjukkan katabolisme protein yang besar.

Namun tidak semua kasus memiliki gambaran-gambaran tersebut. Suhu tubuh dapat normal,

tinggi, atau rendah. Hipotensi, vasokonstriksi, dan sianosis perifer (‘cold shock’) dapat

ditemukan pada pasien septik yang hipovolemik atau memang sudah memiliki disfungsi

miokard, atau terlambat dirujuk dan tanpa resusitasi awal.

1. Darah lengkap

Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim dijumpai, leukopenia bisa

saja terjadi. Seringkali laju endap darah meningkat. Kadar laktat darah umumnya

meningkat seperti halnya kadar gula darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada

pasien dengan disfungsi liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus, miokardium,

dan koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain dapat

berhubungan dengan sumber infeksi mula-mula. Pengambilan level laktat harus dalam

3 jam.

2. Kultur

Sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan terapi antimikrobial dan proes pengambilan

sebaikanya tidak menjadi penyebab penundaan pemberian terapi antibiotik.

Pengambilan kultur sebelum antimikrobial berguna untuk konfirmasi infeksi dan

mengetahui patogen penyebab. Pengambilan kultur darah harus selesai dalam 3 jam.

Untuk mengoptimalisasi identifikasi organisme penyebab, direkomendasikan untuk

mengambil sedikitnya 2 set kultur darah (botol aerob dan anaerob), dengan satu

diambil decara perkutaneus dan satu diambil vascular access device, jika device <48

jam digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan waktu jika diambil dari tempat yang

berbeda.

Kultur dapat dari urin, cerebrospinal fluid, luka, sekret pernafasan dan cairan tubuh

lain yang mungkin menjadi penyebab infeksi.

3. Gram stain

Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk menentukan adanya sel inflamatori.

4. Biomarker

20

level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk menentukan patern akut

inflamasi dari sepsis.

5.Polymerase chain reaction, mass spectroscopy, microarray diharapkan dapat menjadi cara

identifikasi patogen yang lebih cepat.

6.CT-guided needle aspiration

2.8 Tatalaksana 4

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang sesuai,

mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan.7

Diperlukan puta terapi suportif, seperti bila terjadi respons imun maladaptifhost terhadap

infeksi dapat diberikan vasopresor dan inotropik,  terapi suportif terhadap kegagalan organ,

21

gangguan koagulasi dan terapi imunologi. Skrining sumber infeksi menjadi esensial dalam

penanganan pasien sepsis, diperlukan ketelitian dalam menduga mikroorganisme patogen

yang menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat),

sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik.

1. Resusitasi

Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi. Selama 6 jam

pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-induced hypoperfusion adalah:

a) CVP 8–12 mm Hg

Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians ventrikular yang

menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi, target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-

15 mmHg.

b) MAP ≥ 65 mm Hg

c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr

d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous oxygen

saturation (SvO2) 70% or 65%,

Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level laktat

meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.

Terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila

diperlukan. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% atau mixed

venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi cairan, transfusi PRC

untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20

μg/kg/menit).

Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian cairan inisial kristaloid, minumun 30

ml/kg untuk dewasa dan tambahan albumin pada pasien yang membutuhkan cukup banyak

kristaloid untuk mempertahankan cukup MAP. Sebaiknya menghindari hetactarh, karena

koloid buatan tidak terbukti menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal

akut.

  

2. Skrining untuk sepsis dan perkembangan keadaan

22

Skrining rutin perlu dilakukan pada pasien dengan sakit berat pada severe sepsis untuk

mendapatkan terapi lebih awal. Mengurangi waktu untuk diagnosis sepsis berat menjadi

komponen penting untuk menurunkan angka kematian akibat disfungsi multiorgan.

3. Terapi antimikroba

Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis

berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur diambil.7 Penundaan terapi

antimikroba berhubungan dengan peningkatan mortalitas.8Terapi empirik inisial berupa

satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau

virus dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba

empiris tergantung pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan

antibiotik sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen

berdasarkan komunitas dan rumah sakit.

Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif, diikuti

gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok toksik, dan

patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien tertentu. Iinisial kombinasi untuk

pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien dengan sulit untuk

disembuhkan,

Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan mengenani

virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus aureus dan resistensi

spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk gram negatif bacilli di beberapa

komunitas dan seting kesehatan.

- terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,

amfoterisin B).

- Pemilihan terapi antibiotik definit tergantung pada tipe patogen,

karakteristik pasien, dan regimen terapi rumahsakit. Karena pasien

dengan sepsis berat atau syok septik punya latar yang sedikit untuk

menentukan terapi, maka terapi pilihan inisial harus spektrum luas

untuk dapat melawan patogen luas. Setelah patogen kausatif

diidentifikasi, baru dilakukan de-eskalasi dengan memakan agen

antimikroba yang sesuai patogen tersebut, lebih aman, dan biaya yang

23

paling efektif. Dapat juga digunakan antimikroba kombinasi setelah tes

susceptibilitas dilakukan,

Penggunaan antimikroba harus di cek setiap hari efeknya untuk mencegah

perkembangan resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya.

Level procalcitonin dan biomarker lain dapat membantu untuk

diskontinuitas penggunaan antimikroba empirik pada pasien yang klinis sepsis

namun tidak ada cukup bukti infeksi.

Penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti

karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses

inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan

gagal multi organ. Patogen bakteri yang resisten terhadap beberapa obat seperti

Acinetobacter dan Pseudomonas spp.

- Pada pasien infeksi berat yang berhubungan dengan gagal pernafasan

dan syok septik, kombinasi terapi dengan spektrum beta laktam dan

aminoglikosida atau fluoroquinolon disarankan uuntuk P. Aeruginosa.

- Kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk pasien dengan syok septik

dari infeksi bakteri Steptococcus pneumoniae.

Terapi kombinasi empiris ini sebaiknya tidka diberikan lebih dari 3-5 hari. De-

eskalasi menggunakansingle-agent terapi yang tepat setelah ada profil patogen

yang kemungkinan menginfeksi teridentifikasi. Terkecuali, pada monoterapi

aminoglikosida, khususnya pada P. Aeruginosa karena untuk mencegah

endocarditis, maka prolong terapi harus dilakukan.

Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10 hari. Penentuhan meneruskan,

menurunkan, atau menghentukan terapi intimikrobial tergantuk pada informasi

klinis pasien.

Terapi antiviral diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis

berat atau syok septik dengan penyebab virus.

24

- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi

untuk komplikasi

- terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan zanamivir)

untuk H1N1 virus, influenza A(H3N2), influenza B.

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data

mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa

terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui

Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni

Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen (Pseudomonas

aureginosa, Enterokokus)

4. Kontrol Sumber13

Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai pertimbangan untuk

mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis atau dieksklusi sesegera mungkin dan

intervensi harus dilakukan pada kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis

ditegakkan. Misalnya infeksi jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis)

5. Pencegahan Infeksi13

Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus diketahui dan

diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kasus pneumonia yang terkait ventilator.

Hal ini harus menjadi perhatian pada pelayanan kesehatan secara efektif.

Glukonat klorhexidin chlorhexidine gluconate (CHG) oral dapat digunakan sebagai

dekontaminasi orofaring untuk mengurangi resiko pneumonia yang terkait ventilator pada

pasien dengan sepsis berat di ICU.

Peencegahan lain meliputi penanganan perawatan selama di ICU, pengguunaan kateter,

managemen jakan nafas, pengangkatan kepala di kasur, suction.

25

6. Terapi suportif

a. Oksigenasi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan

kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

b. Terapi cairan

Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi pada sepsis

berat dan syok septik.Oksigenasi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan

kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan pada sepsis

berat dan syok septik.

Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis ketika

pasien membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.

Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan hipoperfusi

jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai minimal 30 ml/kg dari

kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan jumlah cairan yang lebih banyak

mungkin dibutuhkan oleh beberapa pasien.

c. Vasopresor

Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata (MAP) 65

mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama vasopressor. Epinefrin

(ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi dari norepinefrin) digunakan

ketika agen tambahan dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah yang memadahi.

Vasopresin 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin dengan tujuan

untuk menaikkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin. Dopamin dapat

menjadi alternative vasopressor selain norepinefrin hanya pada pasien tertentu.

Misalnya pada pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut

atau relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan pada pengobatan syok septik

kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang berhubungan dengan aritmia yang

serius, curah jantung diketahui akan tinggi atau tekanan darah akan secara

persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat ketika kombinasi obat inotropic

26

atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah telah gagal untuk mencapai target

MAP. Dopamin dosis rendah seharusnya tidak digunakan untuk proteksi renal.

d. Terapi Inotropik

Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit diberikan atau

ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam keadaan disfungsi

miokardial sebagaimana disebabkan karena peningkatan tekanan pengisian

jantung dan curah jantung yang rendah atau gejala hipoperfusi yang terus

menerus, meskipun mencapai volume intravascular secara adekuat dan MAP

yang cukup.

e. Kortikosteroid

Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati pasien

dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi vasopressor dapat

menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal tersebut tidak tercapai,

direkomendasikan untuk memakai hidrokortison saja dengan dosis 200mg per

hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes stimulasi ACTH untuk

mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik yang seharusnya menerima

hidrokortison. Pasien dalam terapi hidrokortison diturunkan dosisnya jika

vasopressor tidak lagi digunakan. Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi

sepsis tanpa syok.

f. Pemberian produk darah

Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan jika tidak ada keadaan khusus,

seperti iskemia miokardial, hipoksemia yang berat, perdarahan akut, atau

penyakit jantung iskemik, direkomendasikan bahwa transfusi sel darah merah

hanya dilakukan ketika konsentrasi Hb menurun hingga <7 g/dl dan untuk

mencapai target Hb 7-9 g/dl pada orang dewasa. Tidak dianjurkan untuk

menggunakan eritropoietin sebagai terapi spesifik dari anemia terkait sepsis. FFP

tidak diberikan untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan pada kondisi tidak

perdarahan atau prosedur invasif terencana.

Pada pasien dengan sepsis berat, diberikan profilaksis platelet jika jumlahnya

<10.000/mm3 (10x109/L) pada kondisi tidak ada perdarahan. Disarankan untuk

transfusi trombosit profilaksis jika jumlahnya <20.000/mm3 (20x109/L) jika

27

pasien memiliki resiko perdarahan yang signifikan. Jumlah trombosit yang lebih

tinggi (≥50.000/mm3) disarankan pada perdarahan aktif, pembedahan, atau

prosedur invasif.

g. Imunoglobulin

Tidak menggunakanimunoglobulinintravenapada pasien dewasa dengan sepsis

berat atau syok septik

h. Selenium

Tidak menggunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.

i. Kontrol gula darah

Pendekatan menurut protocol dalam manajemen glukosa darah pada pasien sepsis

berat di ICU memerlukan insulin jika hasil tes gula darah dua kali berturut turut

≤180 mg/dl. Protokol ini mengharuskan target gula darah mencapai ≤180mg/dl

daripada ≤110 mg/dl.

Nilai glukosa darah dimonitor setiap 1-2 jam hingga nilai glukosa dan pemberian

insulin stabil dan kemudian setiap 4 jam.

j. Renal Replacement Therapy

Terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan hemodialisis intermiten adalah

setara dengan pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut. Dapat terus

melakukan terapi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam pasien sepsis yang

tidak stabil hemodinamiknya.

k. Bikarbonat

Tidak menggunakan sodium bikarbonat untuk tujuan memeperbaiki

hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien dengan

hipoperfusi yang menyebabkan asidemia laktat dengan pH ≥7,15.

l. Profilaksis DVT (Deep Vein Thrombosis)

Pasien dengan sepsis berat menerima farmacoprofilaksis harian terhadap

tromboemboli vena (VTE). Hal ini harus dilakukan dengan low molecular

weight heparin (LMWH) secara subkutan. Jika nilai creatinine clearance adalah

<30 mL / menit, dapat menggunakan dalteparin atau bentuk lain dari LMWH

yang memiliki tingkat metabolisme ginjal rendah atau UFH.

28

Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi farmakologis dan

perangkat kompresi penumatik intermiten jika memungkinkan.

Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk digunakannya heparin

(misalnya, trombositopenia, koagulopati yang parah, perdarahan aktif, perdarahan

intraserebral baru-baru ini) tidak menerima farmakofilaksis, tetapi menerima

pengobatan profilaksis mekanik, seperti stoking kompresi atau perangkat

kompresi intermiten , kecuali kontraindikasi. Ketika resiko menurun,

farmakofilaksis dapat dimulai.

m. Profilaksis stress ulcer

Dapat menggunakan H2 blocker atau PPI pada pasien dengan sepsis berat atau

syok septik yang memiliki faktor resiko perdarahan. Ketika profilaksis ini

digunakan, PPI lebih dipilih daripada H2RA. Pasien tanpa faktor resiko tidak

memerlukan profilaksis.

n. Nutrisi

Berikan makanan oral atau enteral yang dapat ditoleransi daripada puasa total

atau provisi dari hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama setelah diagnosis

sepsis berat/syok sepsis ditegakkan. Makanan tinggi kalori harus dihindari dalam

minggu pertama tetapi lebih direkomendasikan untuk dosis rendah (hingga 500

kal/hari) sesuai toleransi. Pemberian glukosa intravena dan nutrisi enteral lebih

baik daripada hanya TPN (Total Parenteral Nutrition) atau nutrisi parenteral

dengan konjungsi dengan makanan enteral pada 7 hari pertama setelah

didiagnosis sepsis berat atau syok septik.

Gunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi yang tidak spesifik daripada

nutrisi dengan suplemen imunomodulasi pada pasien dengan sepsis berat.

Menetapkan tujuan pelayanan:

1. Mendiskusikan tujuan pelayanan dan prognosis dengan pasien dan keluarganya.

2. Memasukkan tujuan perawatan ke pengobatan dan perencanaan end-life care,

memanfaatkan prinsip-prinsip perawatan paliatifbila sesuai

3. Tujuan perawatan sedini mungkin ditentukan, tetapi tidak lebih dari 72 jam sejak

masuk ICU

29

2.9 Prognosis

Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang

rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang

buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6

jam dari diagnosis dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik

decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan

multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

30

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sepsis adalah infeksi yang disertai dengan manifestasi klinis sistemik, seperti

hipertermia/hipotermia, takikardia, takipneu, hipoksia jaringan, proteinuria,

leukositosis/leukopenia, hiperglikemia (terutama pada penderita diabetes melitus). Tahap

perkembangan sepsis diawali dengan SIRS yang kemudian berlanjut pada sepsis, kemudian

sepsis akan menyebabkan kerusakan organ sehingga mengakibatkan sepsis berat dan pada

akhirnya terjadi syok sepsis yang akan mengancam nyawa. Sepsis telah menjadi penyebab

kematian

Sepsis dapat disebabkan baik karena virus, jamur, bakteri (gram positif dan negative),

maupun parasit, akan tetapi penyebab tersering adalah karena bakteri. Baik bakteri gram negative

maupun positif akan menyerang kekebalan tubuh dari dan mengakibatkan reaksi inflamasi pada

seluruh tubuh. Banyak factor-faktor yang berperan dalam melawan invasi dari kuman yang

masuk ke dalam tubuh, diantaranya sitokin (TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin

proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi), komplemen (C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin)),

NO, dan neutrofil (aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh mediator

kemotaktik).

Diperlukan penanganan yang cepat dan tepat dalam menangani kasus sepsis untuk

mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan organ secara ireversibel. Tatalaksana terhadap

sepsis mencakup resusitasi dini (target dalam 6 jam pertama resusitasi yaitu CVP 8-12 mmHg,

MAP ≥65 mmHg, urin output ≥0,5 cc/kg/jam, saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2)

atau mixed venous oxygen saturation (SvO2) 70% or 65%, dan bagi pasien dengan

hiperlaktatemia, ditargetkan untuk menormalisir kadar laktat), skrining untuk sepsis dan

perkembangan keadaan, terapi antimikroba, kontrol sumber, pencegahan infeksi, dan terapi

suportif yang mencakup oksigenisasi, terapi cairan, vasopresor, terapi inotropik, kortikosteroid,

pemberian produk darah, kontrol gula darah, renal replacement therapy, profilaksis DVT,

profilaksis stress ulcer, dan pemberian nutrisi yang seimbang.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Robert MS, Halstead ES, et al. Definitions, Epidemiology and Pathophysiology. The

Open Inflammation Journal, 2011.

2. Indonesian Research Partnership on Infectious Disease : Sepsis study. Diakses online

pada tanggal 2 September 2014 : http://www.ina-respond.net/sepsis-study/

3. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al; SCCM/ESICM/ACCP/ATS/ SIS: 2001

International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250–1256.

4. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A et al. Surviving sepsis campaign: international

guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Intensive Care Med, 2012.

5. Connor EO., Venkatesh B., Lipman J., Mashongonyika C., Hall J. Procalcitonin in

Critical Illness. Crit Care Res, 2001, 3:236–43.

6. Kaplan LJ. Systemic Inflammatory Response Syndrome. Diakses online pada tanggal 1

September 2014: http://emedicine.medscape.com/article/168943-overview#a0156

7. Batista RS, Gomes AP, et al. Sepsis: an update. Rev Bras Ter Intensiva, 2011; 23(2):207-

216.

8. M. Moss, KE Hodgin. The epidemiology of Sepsis. United States. Division of Pulmonary

Sciences and Critical Care Medicine, Department of Medicine, University of Colorado

Denver and Health Sciences Center. 2008.

9. Martin, Greg S, M.D David,dkk. The Epidemiology of Sepsis in the United States from

1979 through 2000. United States. NEJM. 2013

10. Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.

11. Ron Daniels. Tim Nutbeam. ABC of Sepsis.2010. UK : Wiley Blackwell – BMJ books.

12. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future

treatment. BMJ 2003;325:262-266. Available at: http://www.bmj.com

13. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan

Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta. 2003; h. S15-18.

14. Hotckins RS, Karl I. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med.

2003;348 (2): 138-150.

15. Jerry R. Balentine, DO, FACEP. Sepsis (Blood Infection). Diakses online pada tanggal 2

September 2014: http://www.emedicinehealth.com/sepsisblood_infection/page3_em.htm

32

16. Ferrer R, Artigas A, Suarez D, et al; Edusepsis Study Group: Effectiveness of treatments

for severe sepsis: A prospective, multicenter, observational study. Am J Respir Crit Care

Med 2009; 180:861–866

33