refer at
DESCRIPTION
referat pioderma wordTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. IMPETIGO KRUSTOSA
DEFINISI
Impetigo krustosa adalah pioderma superfisialis yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus. (Hamzah, 2011)
EPIDEMIOLOGI
Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong relatif sering.
Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5 tahun dengan rasio yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika, impetigo merupakan 10% dari
penyakit kulit anak yang menjadi penyakit infeksi kulit bakteri utama dan penyakit
kulit peringkat tiga terbesar pada anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak
sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.
(Anonymous, 2013)
Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab, seperti
Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan predominan, dengan puncak
insiden di akhir musim panas. Anak-anak prasekolah dan sekolah paling sering
terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
(Anonymous, 2013)
ETIOLOGI
Biasanya Streptococcus β-Hemolyticus dan Staphylococcus aureus. (Hamzah, 2011)
GEJALA KLINIS
Impetigo krustosa, terutama terdapat pada neonatus dan anak yang lebih besar,
ditandai oleh pembentukan vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm)
yang cepat berubah menjadi bula (gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm) yang
lunak. Impetigo ini tidak disertai gejala umum. Tempat predileksi di muka, yakni di
sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Pada permulaan bula berisi cairan kuning yang kemudian berubah menjadi cairan
kuning pekat dan keruh. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat
memecah sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal
berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi di bawahnya. Sering
krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah. Atap dari bula pecah dan
meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk
pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan
basah. (Hamzah, 2011)
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai
dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal atau tersebar,
seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak
atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
(Hamzah, 2011)
Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang
sekali disertai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang. Bentuk impetigo bulosa
yang luas dan berat ialah pemfigus neonatorum (penyakit Ritter) yang sering disertai
demam. (Hamzah, 2011)
GAMBAR 1. Tampak bercak eritematosa berukuran numuler berbatas tegas sampai
tidak tegas tertutup krusta warna kuning kecoklatan dan terdapat erosi regio manus
dextra digiti IV dan V.
PEMERIKSAAN KULIT
Lokalisasi: daerah yang terpajan, terutama wajah (sekitar hidung dan mulut),
tangan, leher dan ekstrimitas.
Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa miliar sampai lentikular, difus,
anular, sirsinar; vesikel dan bula lentikular difus; pustula miliar sampai lentikular;
krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk impetigo krustosa adalah (Hamzah, 2011):
Ektima: ulkus superficial dengan krusta berwarna kuning diatasnya.
Pemfigus: biasanya bula berdinding tebal, dikelilingi oleh daerah eritematosa
dan keadaan umum buruk.
Impetigenisasi: menunjukkan pula gejala-gejala penyakit primer dengan gejala
konstitusi berupa demam dan malaise.
Tinea sirsinata: jika lepuh pecah, bagian tepi masih menunjukkan adanya lepuh,
tetapi bagian tengah menyembuh.
PENGOBATAN
Terapi lokal:
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada wajah dan
penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini dapat sebagai profilaksis
terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan aktivitas disekolah atau
tempat lainnya. Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari.
(Anonymous, 2013)
o Mupirocin
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari
Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu menghambat
sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-tRNA sintetase
sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif seperti Staphylococcus
dan sebagian besar Streptococcus. Salap mupirocin 2% diindikasikan untuk
pengobatan impetigo yang disebabkan Staphylococcus dan Streptococcus
pyogenes.
o Asam Fusidat
Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium coccineum.
Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis protein. Salap atau
krim asam fusidat 2% aktif melawan kuman gram positif dan telah teruji sama
efektif dengan mupirocin topikal.
o Bacitracin
Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari Strain
Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat sintesis
dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan membran lipid
pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif seperti Staphylococcus
dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri
superfisial kulit seperti impetigo.
o Retapamulin
Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan dengan
subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil transferase. Salap
Retapamulin 1% telah diterima oleh Food and Drug Administraion (FDA)
pada tahun 2007 sebagai terapi impetigo pada remaja dan anak-anak diatas 9
bulan dan telah menunjukkan aktivitasnya melawan kuman yang resisten
terhadap beberapa obat seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin,
azitromisin
Terapi sistemik:
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila terdapat lesi yang
luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik. (Anonymous, 2013)
a. Pilihan Pertama (Golongan ß Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
o Amoksisilin+ Asam klavulanat
Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.
Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)
o Sefaleksin
Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10 hari.
o Kloksasilin
Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.
b. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
o Eritromisin
Dosis 30-50mg/kgBB/hari.
o Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk hari
ke-2 sampai hari ke-4.
PENCEGAHAN
Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun
dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap
pendek dan bersih
Jauhkan diri dan orang dengan impetigo
Orang yang kontak dengan orang yang terkena impetigo segera mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir.
Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang
lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau
pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.
KOMPLIKASI
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak
diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi streptokokus terjadi pada 1-5%
pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan
antibiotik. Gejala berupa bengkak dan tekanan darah tinggi, pada sepertiga terdapat
urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun
gejala-gejala tadi muncul. (Harahap, 2000)
Komplikasi yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-
paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, staphylococcal scalded skin syndrome, radang
pembuluh limfe atau kelenjar getah bening. (Harahap, 2000)
PROGNOSIS
Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya impetigo
krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati
impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru.
(Anonymous, 2013)
B. IMPETIGO BULOSA
DEFINISI
Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama berupa lepuh-
lepuh berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak hipopion.
(G, John, 2007)
EPIDEMIOLOGI
Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai usia
2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup
kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di
Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan
1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Impetigo nonbullous atau impetigo krustosa meliputi
kira-kira 70 persen dari semua kasus impetigo. Di Belanda, insidensi impetigo
meningkat dari 16,5 (1987) menjadi 20,6 (2001) per 1000 penduduk. Kebanyakan
kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-negara yang
berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong lemah atau
miskin. (G, John, 2007)
ETIOLOGI
Impetigo bulosa disebabkan oleh toksin epidermolitik yang dihasilkan pada titik
infeksi, dimana paling sering oleh Staphylococcus faga grup II (Staphylococcus
aureus). Toksin menyebabkan pembelahan intraepidermal dibawah atau didaerah
stratum granulosum. (G, John, 2007)
Impetigo bulosa menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada tempat dengan
higiene yang buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk. Faktor predisposisi
antara lain kontak langsung dengan pasien impetigo, kontak tidak langsung melalui
handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo, cuaca panas maupun kondisi
lingkungan yang lembab, kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit,
pasien dengan dermatitis. (G, John, 2007)
PATOFISIOLOGI
Impetigo bulosa (impetigo staphylococcal) disebabkan oleh Staphylococcus
aureus yang menghasilkan racun eksfoliatif serta mengandung protease serin yang
berkerja pada desmoglein 1, yaitu suatu ikan peptide penting yang terikat pada
molekul yang menahan sel epidermal secara bersamaan. Proses ini memungkinkan
bakteri Staphylococcus aureus untuk menyebar dibawah stratum korneum dan
kemudian mengeluarkan toksin yang akan menyebabkan epidermis terpisah dari
stratum granulosum. Lesi yang besar kemudian terbentuk pada bagian epidermis
dengan sebukan neutrofil dan sering terjadi migrasi bakteri pada rongga bulosa.
Sekitar 30% dari populasi bakteri ini berkoloni di daerah nares anterior. Bakteri dapat
menyebar dari hidung ke kulit yang normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo
yang muncul 7-14 hari kemudian.Mekanisme terbentuknya lesi dapat menjelaskan
bagaimana tubuh mampu menahan masuknya benda asing melalui permukaan
epidermis. Pada impetigo bulosa pecahnya bula dapat terjadi secara cepat
menyababkan erosi dangkal dan krusta kuning. (G, John, 2007)
GAMBARAN KLINIS
Impetigo bulosa paling sering terjadi pada bayi dan anak-anak tetapi terdapat
kemungkinan untuk terjadi pada orang dewasa. Bakteri umumnya menginfeksi bagian
wajah tetapi juga memungkinkan menginfeksi permukaan tubuh lainnya. Terdapat
beberapa lesi yang terlokalisasi pada suatu area. Tempat predileksi tersering pada
impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan
miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung
berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan
kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih
yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan
gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian
tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla
yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh. (G, John, 2007)
Gambar 2. Tampak bula diskret dengan dasar eritem
PEMERIKSAAN KULIT
Lokalisasi: ketiak, dada, punggung, dan ekstrimitas atas dan bawah.
Efloresensi/sifat-sifatnya: tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar
hingga lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan, kadang-
kadang hipopion. (Siregar, 2005)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari penyakit,
pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk memberikan gambaran terapi terhadap
obat-obatan yang sensitif dan menyingkirkan kemungkinan diagnosa banding.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain (G, John, 2007):
1. Kultur bakteri dan sensitivitas antibiotik, dapat digunakan dalam menentukan
terapi antibiotik yang sensitif untuk mengeradikasi bakteri penyebab infeksi.
2. Pengecatan gram, digunakan untuk melihat bakteri penyebab infeksi, apabila
ditemukan bakteri gram positif dengan bentuk coccus (bulat) dab berkelompok
dapat menunjukkan adanya Staphylococcus aureus.
3. Pengecatan KOH, digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
jamur.
4. Pengecatan tzank atau biakan virus, digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi herpes simpleks.
DIAGNOSIS
Diagnosis impetigo bulosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan
gambaran klinis dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan
dengan terapi standar, biopsi jarang dilakukan. Biasanya diagnosa dari impetigo dapat
dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut
masih dipertanyakan, pemeriksaan mikroskopis dapat membantu dalam penegakan
diagnosis (G, John, 2007).
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari impetigo bulosa, antara lain (G, John, 2007):
1. Erythema multifome vesikel atau bula berasal dari sebagian plak merah
dengan diameter 1-5 cm pada permukaan dari tungkai bagian ekstensor.
2. Lupus erythematous penyebaran dari vesikobula yang telah pecah dan
kadang disertai dengan gatal cenderung terjadi pada tubuh dan ekstremitas atas
bagian proksimal.
3. Herpes simpleks virus vesikel bergerombol dengan dasar eritema yang
apabila ruptur menyebabkan erosi dengan bagian yang tertutup krusta, biasanya
terjadi pada daerah mulut dan genital.
4. Varisela vesikel berdinding tipis dengan dasar eritema, dimana penyebaran
dimulai dari badan kemudian meyebar ke wajah dan ekstremitas.
5. Sindrom Steven-Johnson penyakit vesikobulosa yang menyerang kulit,
mulut, mata, dan genitalia. Ulserasi stomatitis dengan krusta hemoragis
merupakan gambaran yang khas.
6. Luka bakar termal diikuti dengan riwayat paparan trauma panas.
PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa (G, John, 2007):
Antibiotik Dosis dan Durasi Terapi
Topikal
Mupirocin 2% ointment Oleskan pada lesi 3 kali sehari selama 3 -5 hari
Oral
Amoxicilin/clavulanate
Cefuroxime
Cephalexin
Dicloxacillin
Dewasa: 250-500 mg 2 kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/KgBB per hari dibagi dalam 2 dosis
Dewasa: 250-500 mg 2 kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/KgBB per hari dibagi dalam 2 dosis
Dewasa: 250-500 mg 4 kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/KgBB per hari dibagi dalam 2-4 dosis
Dewasa: 250-500 mg 4 kali sehari selama 10 hari
Erythromicin
Anak: 90 mg/KgBB per hari dibagi dalam 2-4 dosis
Dewasa: 250-500 mg 4 kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/KgBB per hari dibagi dalam 2-4 dosis
2. Terapi non-medikamentosa (G, John, 2007):
Mencegah untuk menggaruk daerah lesi. Dapat dengan menutup daerah yang
lecet dengan perban dan memotong kuku penderita.
Lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh
Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik
untuk mencegah penyebaran lokal.
Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada lesi
yang basah.
Menjaga hyegenitas dengan mandi.
PROGNOSIS
Pada umumnya baik.
C. FOLIKULITIS
DEFINISI
Folikulitis adalah peradangan folikel rambut. Terdapat 2 tipe: superficial dan
profunda.(Siregar, 2005)
EPIDEMIOLOGI
Dapat terjadi di semua umur, lebih sering dijumpai pada anak-anak. Frekuensi
pria dan wanita sama. (Siregar, 2005)
ETIOLOGI
Biasanya disebabkan oleh Stafilokok (koagulase positif). (Siregar, 2005)
GAMBARAN KLINIS
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: rasa gatal
dan rasa terbakar pada daerah rambut. Berupa macula eritematosa disertai papula
atau pustule yang ditembus oleh rambut. Pertumbuhan rambut sendiri tidak
terganggu. Kadang-kadang penyakit ini ditimbulkan oleh discharge (secret) dari
luka dan abses. (Siregar, 2005)
Gambar 3. Tampak perdangan pada folikel rambut berupa papul diskret dengan dasar
eritem
PEMERIKSAAN KULIT
- Lokalisasi: daerah berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstrimitas.
- Efloresensi/sifat-sifatnya: berupa makula eritematosa, papula, pustul, dan
krusta miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut.
(Siregar, 2005)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan bakteriologis dari secret lesi (dengan pewarnaan Gram). (Siregar,
2005)
DIAGNOSIS BANDING
Akne vulgaris: terutama di wajah, punggung.
Impetigo bockhart: daerah yang terkena adalah ekstrimitas, dengan dasar
eritematosa dan tampak pustul miliar
PENATALAKSANAAN
Menjaga kebersihan umum terutama kulit; makanan tinggi protein dan tinggi
kalori. Antibiotik sistemik jika luas: Eritromisin 3x250 mg selama 7-14 hari; atau
Penisilin 600.000-1,5juta IU intramuskular selama 7-14 hari. Antibiotik topikal,
misalnya Kemicetin 2%; jika eksudasi kompres PK 1/5.000. Obat-obat antibiotik
yang masih sensitif dapat dicoba. (Siregar, 2005)
PROGNOSIS
Baik
D. FURUNKEL
DEFINISI
Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Jika lebih dari satu disebut
furunkolosis. (Siregar, 2005)
EPIDEMIOLOGI
Biasanya didapatkan pada orang dewasa laki-laki. Furunkel dapat mengenai
semua bagian tubuh tetapi biasanya didapatkan pada kulit kepala, daerah barbae,
peha. dan bagian-bagian tubuh yang banyak terjadinya friksi, misalnya aksila dan
bokong. (Siregar, 2005)
ETIOLOGI
Biasanya, penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri staphylococci. (Siregar,
2005)
GAMBARAN KLINIS
Furunkel dimulai dengan nodul folikulocentric yang keras, lunak, merah
(Kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut, di tengahnya terdapat
pustule) pada daerah yang terdapat bulu (hair-bearing) dan biasanya menjadi
besar serta dirasakan nyeri. Biasanya akan menghilang sendiri dalam masa 7-10
hari tanpa meninggalkan skar (tidak menjadi merah dan tidak nyeri). Apabila
terjadinya ruptur, pus dan sel-sel nekrotik akan keluar. Furunkel pada daerah
bokong bisa ditemukan dalam bentuk lesi yang soliter atau lesi yang multipel.
(Siregar, 2005)
Gambar 4. Tampak peradangan pada folikel rambut dan sekitarnya berupa pustul
PEMERIKSAAN KULIT
Lokalisasi: sering pada bagian tubuh yang berambut dan mudah terkena iritasi,
gesekan atau; atau pada daerah yang lembab seperti ketiak, bokong,
punggung, leher, dan wajah.
Efloresensi/sifat-sifatnya: mula-mula berupa makula eritematosa lentikular
numular setempat, kemudian menjadi nodula lentikular numular berbentuk
kerucut. (Siregar, 2005)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis furunkel ialah pewarnaan Gram, kultur
bakteri,sensitivitas antibiotik dan dermapatologi. Pada pemeriksaan histologik
furunkel didapatkan ,dermis dan lapisan lemak subkutan menjadi inflamasi
polimorfik yang padat. (Siregar, 2005)
DIAGNOSIS BANDING
Sporotrikosis: kelainan jamur sistemik, menimbulkan benjolan-benjolan yang
berjejer sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan kenyal dan nyeri.
Blastomikosis: benjolan multiple dengan beberapa pustule, daerah sekitarnya
melunak.
Skrofuloderma: biasanya berbentuk lonjong, livid dan ditemukan jembatan-
jembatan kulit (skin bridges).
PENATALAKSANAAN
Higiene kulit harus ditingkatkan.
Jika masih berupa infiltrat, topikal dapat diberikan kompres salep iktiol 5%
atau salep antibiotik.
Antibiotik sistemik: eritromisin 4x250 mg atau penisilin masih merupakan
obat terpilih atau antibiotic berspektrum luas memberi hasil yang baik.
Jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, selanjutnya dikompres atau diberi
salep kloramfenikol 2%.
Usaha menghilangkan factor penyebab seperti obesitas, DM, hipertensi.
PROGNOSIS
Baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang
baik bila rekurensi. (Siregar, 2005)
KOMPLIKASI
Furunkulosis bisa terjadi penyebaran bakteri dan rekurens. Jika terdapat lesi yang
berdekatan dengan daerah hidung dan mulut, bisa terjadi penyebaran ke sinus
cavernosum melalui vena angularis emissary. Apabila terdapat invasi furunkel ke
aliran darah,menyebabkan metastatik ke tulang dan mengakibatkan osteomyelitis,
akut endokarditis,abses otak. (Siregar, 2005)
E. KARBUNKEL
DEFINISI
Karbunkel adalah infeksi bakteri pada sekelompok folikel rambut dan jaringan
sekitarnya yang berdekatan. Karbunkel terbentuk dari gabungan beberapa
furunkel yang berkelompok dan dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal dari
jaringan subkutan yang padat. Karbunkel merupakan nodul inflamasi pada daerah
folikel rambut yang lebih luas dan dasarnya lebih dalam daripada furunkel.
(Johnson, 2008)
EPIDEMIOLOGI
Karbunkel memiliki prevalensi yang kecil. Umumnya terjadi pada anak-anak,
remaja sampai dewasa muda3. Berdasarkan statistik Departemen Kesehatan
Inggris, pada tahun 2002 dan 2003 terdapat sekitar 0,19% atau 24.525 penderita
yang berobat ke Rumah Sakit Inggris dengan diagnosa furunkel abses kutaneus
dan karbunkel. Dari 24.525 pasien tersebut terdapat 90% yang memerlukan rawat
inap. 54% dari pasien yang berobat tersebut adalah laki-laki dan 46% pasien
adalah perempuan. Usia rata-rata dari pasien yang berobat adalah 37 tahun. 72%
berusia 15-59 tahun dan 6% berusia diatas 75 tahun. (Johnson, 2008)
ETIOLOGI
Karbunkel disebabkan infeksi bakteri, umumnya stafilokokus (Stafilokokus
aureus). Bakteri S.aureus berbentuk bulat (coccus), memiliki diameter 0,5 – 1,5
µm, memiliki susunan bergerombol seperti anggur, tidak memiliki kapsul,
nonmotil, katalase positif dan pada pewarnaan gram tampak berwarna ungu.
(Johnson, 2008)
PATOGENESIS
Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus. yang merupakan flora
residen pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan saluran
hidung. Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau
paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan iritasi pada kulit.
Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan kulit. Respon primer host
terhadap infeksi S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman
tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi
oleh komponen bakteri seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokin
TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang dikeluarkan oleh
sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebut menimbulkan inflamasi
dan pada akhirnya membentuk pus yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan sel
kulit yang mati. (Johnson, 2008)
GAMBARAN KLINIS
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: keluhan
berupa nyeri pada daerah lesi dan malaise. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil,
dalam waktu singkat membesar menjadi nodus-nodus eritematosa berbentuk
kerucut. Kemudian pada tempat rambut keluar tampak bintik putih sebagai mata
bisul, nodus-nodus tadi akan melunak menjadi abses yang akan memecah melalui
lokus minoris resistensie yaitu muara folikel. (Johnson, 2008)
Gambar 5. Karbunkel
PEMERIKSAAN KULIT
- Lokalisasi : tengkuk, punggung dan bokong.
- Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa kemudian menjadi nodula
lentikular hingga nummular, regional, bentuk teratur dan tampak fistula
mengeluarkan secret putih. (Siregar, 2005)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Karbunkel biasanya menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan histologis dari
karbunkel menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak di dermis dan
lemak subkutan. Pada karbunkel, abses multipel yang dipisahkan oleh trabekula
jaringan ikat menyusup dermis dan melewati sepanjang pinggir folikel rambut,
mencapai permukaan melalui lubang pada epidermis yang terkikis. (Johnson,
2008)
DIAGNOSIS
Anamnesis: Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukuran
nodul tersebut meningkat dalam beberapa hari dan dapat mencapai diameter 3-10
cm atau bahkan lebih. Beberapa pasien mengeluh demam dan malaise (Johnson,
2008)
Pemeriksaan fisik: Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus.
Supurasi terjadi setelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran
keluar yang multipel (multiple follicular orifices). Karbunkel yang pecah dan
kering kemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian
tengah dan sembuh perlahan dengan granulasi. (Johnson, 2008)
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang dikonfirmasi
dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri. Pewarnaan gram S.aureus akan
menunjukkan sekelompok kokus berwarna ungu (gram positif) bergerombol
seperti anggur, tidak bergerak. Kultur pada medium agar MSA (Manitot Salt
Agar) selektif untuk S.aureus. Bakteri ini dapat mefermentasikan manitol
sehingga terjadi perubahan medium agar dari warna merah menjadi kuning. Pada
kultur S. aureus pada agar darah menghasilkan koloni bakteri yang lebar (6-8
mm), permukaan halus, sedikit cembung, dan warna kuning keemasan. Uji
sensitivitas antibiotik diperlukan untuk penggunaan antibiotik secara tepat.
(Johnson, 2008)
DIAGNOSIS BANDING
Kista Epidermal
Diagnosa banding yang paling utama dari karbunkel adalah kista epidermal
yang mengalami inflamasi. Kista epidermal yang mengalami inflamasi dapat
dengan tiba-tiba menjadi merah, nyeri tekan dan ukurannya bertambah dalam
satu atau beberapa hari sehingga dapat menjadi diagnosa banding karbunkel.
Diagnosa banding ini dapat disingkirkan berdasarkan terdapatnya riwayat kista
sebelumnya pada tempat yang sama, terdapatnya orificium kista yang terlihat
jelas dan penekanan lesi tersebut akan mengeluarkan masa seperti keju yang
berbau tidak sedap sedangkan pada karbunkel mengeluarkan material purulen.
(Johnson, 2008)
Hidradenitis Suppurativa
Hidradenitis suppurativa (apokrinitis) sering membuat salah diagnosis
karbunkel. Berbeda dengan karbunkel, penyakit ini ditandai oleh abses steril
dan sering berulang. Selain itu, daerah predileksinya berbeda dengan
karbunkel yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah payudara. Adanya
jaringan parut yang lama, adanya saluran sinus serta kultur bakteri yang
negatif memastikan diagnosis penyakit ini dan juga membedakannya dengan
karbunkel. (Johnson, 2008)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan karbunkel meliputi pembedahan untuk mengeluarkan pus,
pemberian antibiotic sistemik dan terapi adjuvans (Johnson, 2008):
Pembedahan
Terapi adekuat dari karbunkel adalah insisi dan drainase pus. Persetujuan
tindakan medis diperlukan sebelum melakukan tindakan. Selanjutnya semua
perlengkapan operasi disiapkan. Pertama disinfeksi area karbunkel dan sekitarnya
didisinfeksi dan dibatasi dengan duk steril.. Anastesi lokal yang umumnya
digunakan adalah lidokain 1%.. Scalpel dipegang menggunakan ibu jari dan jari
telunjuk untuk membuat initial entry. insisi dilakukan langsung ke pusat abses.
Insisi dibuat searah dengan skin-tension line. Insisi dilebarkan untuk membuat
ruang yang cukup memadai sehingga semua pus dapat keluar. Hal ini dapat
mencegah terjadinya rekurensi. Pengambilan pus utuk kultur dapat menggunakan
hapusan atau spuit ke dalam ruang abses. Setelah pus mengalir spontan. klem
yang berujung bengkok untuk membuka seluruh ruang abses. Klem dimasukkan
ke dalam ruang abses ke dalam sampai menyentuh jaringan yang sehat, kemudian
ujung klem dibuka dan digerakkan melingkar untuk mengeksplorasi memisahkan
jaringan sehat dan ruang abses. Selanjutnya dilakukan irigasi menggunakan spuit
tanpa jarum dengan normal saline sampai cairan irigasi yang keluar dari ruang
abses jernih. Wound-packing material ukuran seperempat atau setengan inchi
dimasukkan dalam ruang abses. Kemudian tutup luka dengan kasa steril dan
plester. Penderita follow-up setelah 2-3 hari, jika tidak ada pus, wound-packing
material di ambil.
Gambar 6. Insisi dan Drainase Abses.
Antibiotik Sistemik
Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib diberikan
pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik diberikan selama
empat sampai tujuh hari. (Johnson, 2008)
Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus (MRSA)
dapat diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain adalah
tetrasiklin, namun obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan untuk
golongan penicilinase-resistant penicillin adalah dicloxacilin Pada penderita yang
alergi terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin. Pada orang yang alegi
terhadap β-lactam antibiotic dapat diberikan vancomisin. (Johnson, 2008)
Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi
berkurang. Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk mencegah autoinokulasi.
Pasien dengan karbunkel yang berulang memerlukan evaluasi dan penanganan
lebih komplek. (Johnson, 2008)
KOMPLIKASI
Invasi bakteri kedalam aliran darah biasanya terjadi kapan saja, tidak dapat
ditentukan. Prevalensi infeksi metastasis selama bakteremia diperkirakan
sekitar 30% dan menyebabkan komplikasi endokarditis, osteomyelitis, septic
arthritis, perinephric abses, meningitis dan sepsis. Manipulasi pada lesi dapat
memfasilitasi penyebaran infeksi melalui aliran darah. (Johnson, 2008)
Endokarditis merupakan akibat tersering dari bakteremia akibat S.aureus.
Insidensi endokarditis disebabkan S.aureus meningkat selama 20 tahun
terakhir dan sekarang menjadi penyebab utama endokarditis di seluruh dunia,
terhitung sekitar 25-30% kasus. Komplikasi berat seperti sepsis, memberikan
tanda dan gejala awal menggigil, demam, gelisah, takikardi dan takipnea.
(Johnson, 2008)
Komplikasi lainnya yang jarang yaitu trombosis sinus kavernosus. Lesi pada
bibir dan hidung juga dapat menyebabkan bakteremia melalui vena-vena
emisaria wajah dan sudut bibir yang menuju sinus kavernosus. (Johnson,
2008)
PROGNOSIS
Umumnya pasien mengalami resolusi, setelah mendapatkan terapi insisi dan
drainase pus serta antibiotic sistemik. Beberapa pasien mengalami komplikasi
bakteremia dan bermetastasis ke organ lain. Beberapa pasien mengalami
rekurensi, terutama pada penderita dengan penurunan kekebalan tubuh. (Johnson,
2008)
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.p.57-59.
Anonymous. Impetigo krustosa. Edisi 2010. Diunduh dari
http://www.docstoc.com/docs/51628802/Impetigo-Krustosa-Referat. 31 Maret 2013.
Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Edisi ke-1. Jakarta:Hipokrates; 2000. P.49.
Cole, C. dan John G. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Academy
of Family Physician 2007. 75:859-64,868
Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. 2008.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw Hill
Medical