ref reaksi kusta
DESCRIPTION
kulitTRANSCRIPT
REFLEKSI KASUS
REAKSI KUSTA
Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSD dr. Soebandi Jember
Disusun oleh:
Pulong Wijang Pralampita , S. Ked
NIM 072011101009
Pembimbing :
dr. Gunawan Hostiadi, Sp. KK
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSD dr. Soebandi Jember
Fakultas Kedokteran Universitas Jember
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta (Morbus Hansen) merupakan suatu infeksi granulomatosa kronis
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang terutama menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan
testis. Kusta mengenai susunan saraf tepi sehingga dapat menyebabkan kacacatan.
Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun pada sebagian
kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat
khususnya pada tangan dan kaki.
Kusta adalah satu dari sekian banyak masalah kesehatan di sejumlah negara
berkembang. Kusta sering terjadi di daeranh tropis dan subtropis di Asia, Afrika,
dan Amerika Selatan. Penyebaran secara geografik mungkin berhubungan dengan
standar kehidupan rendah dan kebersihan, iklim yang lebih panas.
Diagnosis dini dan terapi yang tepat adalah kunci keberhasilan untuk
mengendalikan penyakit kusta ini. Kusta dapat mengenai semia umur, namun dua
kelompok umur yang dilaporkan sering terkena kusta yaitu anak – anak umur 10 –
20 th dan dewasa 30 – 60 th.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan episode akut
hipersensitivitas terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan sistem imunologi. Beberapa faktor resiko yang telah diketahui
berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta diantaranya adalah umur saat
didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun, jenis kelamin, tipe kusta MB, indeks bakteri
positif, status nutrisi, lama pengobatan, infiltrasi kulit, lesi di wajah, kelelahan,
stress, laktasi, kehamilan, dan nifas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai
berbagai gejala dan tanda radang akut lesi pasien kusta, yang dapat
dianggap sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian
komplikasi penyakit kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi imunologis
dengan akibat merugikan penderita. Seluruh komplikasi penyakit kusta
yang dimaksud meliputi:
- Komplikasi jaringan akibat invasi masif M. Leprae
- Komplikasi akibat reaksi
- Komplikasi akibat imunitas yang menurun
- Komplikasi akibat kerusakan saraf
- Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta
2.2 Epidemiologi
Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta
mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta
sebanyak 1 kali sedangkan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Pieter A.M
Schreuder (1998), sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe 1
selama masa pengobatan dan 1,6% terjadi setelah penderita release from
treatment. Penelitian R. Bwire dan H. J. S Kusuma (1993), menyatakan
bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan adalah 14,8%,
selama pengobatan 80,5%, dan setelah pengobatan 4,7%.
2.3 Etiologi
Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor
pencetus reaksi kusta sudah diketahui jelas, namun penyebab pasti belum
diketahui. Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode
hipersensitivitas akut terhadat antigen basil yang menimbulkan gangguan
keseimbangan imunitas yang telah ada.
Faktor pencetus:
- Setelah pengobatan kusta yang intensif
- Infeksi rekuren
- Pembedahan
- Stres fisik
- Imunisasi
- Kehamilan
- Saat – saat melahirkan
2.4 Pembagian Reaksi
Ada dua tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkan:
- Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular
- Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
- Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk
reaksi tipe 2 yang lebih berat
Dari segi imunologis terdapat perbedaan yang prinsip antara reaksi tipe 1
dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan ialah imunitas
selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 imunitas humoral. Menurut Ridley
dan Jopling spektrum kusta terdiri dari 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL, dan
LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas
yang stabil, sedangkan lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya
tidak stabil. Disamping tipe – tipe diatas terdapat tipe TTs dan LLs, yang
merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT maupun
LL, sehingga secara klinis sukar atau tidak bisa dibedakan dengan bentuk
TT maupun LL (klinis seperti LL dan TT, tetapi imunitasnya tidak stabil).
Reaksi Tipe 1
Menurut Jopling reaksi lepra tipe 1 merupakan delayed
hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV
menurut Coombs dan Gell. Antigen yang berasal dari basil yang telah
mati (breaking down lep[rosy bacili) akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan tingginya imunitas yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas dan
basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid (terjadi
peningkatan imunitas) atau down grading, apabila menuju kebentuk
lepromatosa (terjadi penurunan imunitas). Pada kenyataannya reaksi
tipe 1 ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering
dijumpai terutama pada kasus – kasus yang mendapat pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai pada kasus –
kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis
reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar,
tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang
lain. Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan berubah menjadi
bentuk BT dan akhirnya ke bentuk TTTs, sedangkan bila terjadi down
grading akan berubah menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.
Timbul pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) karena
ketidakstabilan imunologis. Disebut juga sebagai reaksi upgrading atau
reaksi reversal bila kenaikan imunitas seluler yang cepat. Gejala klinis:
lesi dikulit makula eritematous, menebal, teraba panas, dan nyeri
tekan. Bila berat dapat membengkak sampai pecah. Gejala sistemik
jarang dijumpai. Gejala syaraf biasanya menonjol berupa keradangan
syaraf yang mendadak, pada satu atau beberapa syaraf tepi (yang
paling sering n. Ulnaris dan n. Medianus) dengan gejala nyeri yang
hebat atau adanya gangguan fungsi.
Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat di
golongkan sebagai berikut:
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
KulitLesi kulit yang telah ada
menjadi lebih eritematosa
Lesi yang telah ada
menjadi eritematosa.
Timbul lesi baru yang
kadang – kadang disertai
panas dan malaise
Saraf
Membesar, tidak nyeri
fungsi tidak terganggu.
Berlangsung kurang dari 6
minggu.
Membesar, nyeri, fungsi
terganggu. Berlangsung
lebih dari 6 minggu.
Kulit dan saraf bersama -
sama
Lesi yang telah ada
menjadi lebih eritematosa,
nyeri pada saraf.
Berlangsung kurang dari 6
minggu.
Lesi kulit yang eritematosa
disertai ulserasi atau
edema pada tangan/kaki.
Saraf membesar, nyeri,
dan fungsi terganggu.
Berlangsung sampai 6
minggu atau lebih.
Reaksi Tipe 2
Reaksi lepra tipe 2 ini deikenal dengan nama eritema nodosum
leprosum (ENL). ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang
telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk kompleks Ag-Ab.
Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi
ENL. Jadi ANL merupakan reaksi humoral yang merupakan
manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada bentuk LL
dan LLs dan kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai gejala
sistemik. Baik reaksi tipe 1 atau 2 ada hubungannya dengan pemberian
pengobatan antikusta, hanya saja reaksi kusta tipe 2 tidak lazim terjadi
dalam 6 bulan pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir
pengobatan karena basil telah menjadi granular. Tidak terlihat
gambaran perubahan lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1.
Reaksi lepra tipe 2 terjadi pada 50% tipe LL dan 25% tipe BL. Reaksi
ini dapat terjadi sebelum, selama, ataupun setelah pengobatan. Gejala
terutama pada kulit berupa ENL yaitu adanya nodul kemerahan yang
nyeri, pada perabaan dapat superfisial ataupun dalam. Pada reaksi tipe
2 berat, lesi ENL menjadi [vesik[uler atau bula dan pecah, disebut
sebagai eritema nekrotikans. Dapat juga menyerang mata
(iridosiklitis), testis (orkitis), ginjal (nefritis), sendi (artritis),
limpadenik, dan neuritis. Gejala sistemik berupa malaise, panas badan,
sakit kepala, dan kelemahan otot.
Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut:
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit
Nodus sedikit dapat
berulserasi
Demam ringan, malaise
Nodus banyak, nyeri,
berulserasi
Demam tinggi, malaise
Saraf
Saraf membesar
Tidak nyeri
Fungsi tidak terganggu
Saraf membesar
Nyeri
Fungsi terganggu
Mata Lunak, tidak nyeriNyeri, penurunan visus
dan merah sekitar limbus
Testis Lunak, nyeri, membesar
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama
ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga
dijumpai di negeri lain dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis
dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk
tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian
meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa,
disertai purpura dan bula, kemudian dengan cepat menjadi nekrosis
dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.
Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada
semua penderita.
Karakteristik reaksi kusta:
Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Tipe kusta Kebanyakan tipe borderline (BB, BT, BL)
dapat terjadi pada kusta subpolar (LLs) dan
pada kusta tuberkuloid yang diterapi.
Kebanyakan lepromatous (LL), kadang –
kadang borderline – lepromatous (BL)
Onset Reaksi upgrading biasanya muncul selama 6
bulan pertama dari terapi kusta pada pasien
BT dan BB, tetapi dapat lebih lama pada
pasien BL.
Reaksi downgrading terjadi spontan pada
pasien yang tidak diterapi atau pasien yang
putus obat. Pada saat dilakukan terapi, dapat
terjadi reaksi upgrading.
ENL kebanyakan terjadi setelah
dilakukan terapi kusta, 1 – 2 tahun
setelah dilakukan kemoterapi. Dapat
terjadi pada kasus tanpa terapi yang
lama.
Penyebab Berhubungan dengan perubahan imunitas
selular, reaksi upgrading berhubungan
dengan peningkatan secara tiba – tiba
imunitas selular; reaksi down grading
berhubunhan dengan penurunan secara tiba
– tiba imunitas selular.`
Sindrom kompleks imun akibat
pengendapan komplek Ag-Ab pada
tissue spaces dan pada pembuluh darah
serta pembuluh limfa
Gambaran
klinik
Reaksi Upgrading: beberapa atau semua lesi
kusta menunjukkan tanda – tanda
peradangan akut (nyeri, tenderness, eritema,
dan edema). Terlihat seperti erisipelas.
Ulserasi dan nekrosis dapat terjadi pada
kasus berat. Dapat muncul lesi baru.
Reaksi down grading: lesi kusta tampak
lebih buruk dan progres mengarah ke
lepromatous, sering muncul lesi baru.
Lesi kusta yang ada tidak menampakkan
gejala yang mengganggu. Nodul atau
plaque lunak berwarna pink yang tiba –
tiba muncul. Dapat menjadi vesicular,
pustular, bulosa, gangrenous, dan break
down (eritema nodosum necrotican).
Gejala
sistemik
Tidak biasa muncul, kecuali apabila semua
gejala muncul
Demam, malaise, pasien terlihat toxic
Gejala
penyerta
Pembengkakan yang cepat dari satu atau
beberapa saraf dengan perlunakan dan nyeri
pada tempat saraf yang membengkak; edema
pada tangan, tungkai, atau wajah dapat
timbul; dapat terjadi abces pada saraf.
Sering terjadi pembengkakan pada
tangan, kaki ataupun wajah. Paralisis
dapat muncul akan tetapi pada reaksi tipe
2 kerusakan sarah tidak mengancam
secara cepat seperti pada reaksi tipe 1.
Gejala yang sering menyertai: iritis,
Claw hand, drop foot, facial palsy dapat
muncul secara tiba – tiba. Apabila tidak
diterapi dengan adekuat maka lesi akan
permanen.
iridocycilitis, epistaksis, nyeri otot, nyeri
tulang (sering muncul pada tibia), nerve
pain, joint pain, limfadenitis, epididymo-
orchitis, proteinuria.
Special
features
Reaksi yang sangat berat pada lesi
tuberkuloid dapat mengalami nekrosis dan
ulserasi yang dalam
Fenomena lucio adalah reaksi khas dan
beart dari reaksi tipe 2 pada kasus yang
tidak diterapi. Gejala : purpuric patches
yang nyeri dan lunak yang dapat menjadi
necrotic dan ulserasi (dengan atau tanpa
bula) dan meninggalkan scar. Dapat
menyebabkan multiple necrotizing
vasculitis
Histologi Reaksi upgrading: peningkatan limfosit,
ephiteloid cells dan giant cells. Jumlah basil
menurun.
Reaksi down grading: defence cell (limfosit,
ephiteloid cells dan giant cells) digantikan
oleh makrofag. Jumlah basil meningkat.
Lesi ENL mengandung PMN dalam
jumlah yang besar. Dapat ditemukan
basil dan kebanyakan granular dan
fragmenteg. ENL dapat menunjukkan
tanda vaskulitis.
2.5 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan reaksi kusta terutama ditujukan untuk:
a. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi
paralisis atau kontraktur
b. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila
mengenai mata
c. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas
d. Mengatasi rasa nyeri
Prinsip penatalaksanaan reaksi kusta:
- Pemberian obat anti reaksi
- Istirahat atau imobilisasi
- Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
- Obat anti kusta diteruskan
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat
antikusta dosis penuh harus tetap diberikan:
Untuk membunuh kuman agar penyakitnya tidak meluas
Untuk mencegah timbulnya resistensi
Dengan menghentikan obat – obat antikusta saat pengobatan reaksi,
kadang – kadang justru akan menimbulkan reaksi pada waktu obat
antikusta tersebut diberikan kembali
Reaksi ringan
Nonmedikamentosa
Istirahat, imobilisasi, berobat jalan
Medikamentosa
o Aspirin
Masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengatasi
nyeri dan sebagai antiradang. Dosis yang dianjurkan antara 600
– 1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari.
o Klorokuin
Kombinasi klorokuin dan apirin dikatakan lebih baik kasiatnya
debandingkan dengan pemberian tunggal.
Dosis: 3 kali 150 mg/hari
Efektoksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa:
ruam pada kulit, fotosensitisasi serta gangguang
gastrointestinal, pengelihatan dan pendengaran.
o Antimon
Stibophen berisi 8,5 mg antimon per ml.
Dosis : 2-3 ml diberikan secara selang seling, dosis total tidal
melebihi 30 ml. Digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan
untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang.
Kini jarang dipakai karena kurang efektif dan lebih toksik
daripada kortikosteroid, talidomid, dan klofasimin
o Talidomid
Obat tersebut digunakan untuk mengatasi reaksi tipe 2 agar
dapat melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid.
Dosis: mula – mula diberikan 400mg/hari sampai reaksinya
tercapai, kemudian berangsur – angsur diturunkan sampai
50mg/hari. Tidak dianjurkan diberikan pada wanita usia subur.
Reaksi berat
Segera rujuk ke rumat sakit untuk perawatan. Untuk reaksi tipe 1 segera
diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan
klofazimin, talidomid, dan kortikosteroid sendiri – sendiri atau kombinasi.
Mengenai dosis, cara maupun lama pengobatan reaksi kusta sangat
nervariasi, sehingga belum ada dosis baku.
Cara pemberian kortikosteroid:
- Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
- Gunakan prednison atau prednisolon
- Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
- Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
- Dosis steroid dapat dimulai antara 30 – 80 mg prednison/hari dan
diturunkan 5 – 10 mg/2 minggu, sebagai berikut:
o 2 mgg I : 30mg/hr
o 2 mgg II : 20mg/hr
o 2 mgg III : 15mg/hr
o 2 mgg IV : 10mg/hr
o 2 mgg V : 5mg/hr
Fenomena lucio
Rifampisin merupakan obat utama bagi pasien fenomena lucio yang belum
pernah mendapat pengobatan anti kusta. Pemberian kortikosteroid seperti
pada pengobatan ENL. Talidomid dan klofazimin tidak efektif.
BAB III
REFLEKSI KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. A
Umur : 43 thn
Jenis kelamin : laki-laki
Status : Menikah
Alamat : Jl. Mawar I Sukorambi
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
3.2 Anamnesis
- Keluhan Utama
Timbul bentol-bentol kemerahan dan nyeri di wajah, punggung,
lengan dan tungkai
- Riwayat Penyakit Sekarang
± 1 bln yg lalu pasien mengeluhkan timbul bercak meninggi
kemerahan, timbulnya mendadak. Awalnya timbul seukuran uang
logam sekitar 5 buah, kemudian bertambah banyak sampai ke tungkai.
Bercak kemerahan pd kulit berubah menjadi benjolan kemerahan yg
kemudian mjd gelembung berisi cairan yg kemudian pecah menjadi
kerak menebal, terasa nyeri dan didahului keluhan demam, badan
terasa sakit semua. Pasien telah mengkonsultasikan keluhannya ini
pada dokter puskesmas dan mendapat obat oral berwarna biru, putih
dan kuning tapi belum ada perbaikan.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Dua tahun yang lalu terdapat bercak putih yang mati di daerah pipi
kanan dan kiri, kemudian pasien berobat ke puskesmas dan mendapat
obat yang harus diminum tiap hari selama 12 bulan, obat yang
diberikan berwarna putih, cokelat, dan merah cokelat. Pasien telah
menyelesaikan pengobatan ini 1 bulan yang lalu.
- Riwayat Pengobatan
Pengobatan selama 12 bulan
- Riwayat Keluarga
Disangkal
- Riwayat Alergi
Disangkal
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 76 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37,6 oC
Status generalis :
Kepala :
Mata : Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
Telinga : Tidak ada sekret
Hidung : Tidak ada sekret
Mulut : Tidak sianosis
Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB
Thorax
Cor : S1S2 tunggal
Pulmo : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) N
Perkusi : Timpani
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-)
Extremitas : HKM (+) edema (-)
Status Dermatologis :
Effloresensi
Regio facialis : plak yang eritematus dan berkrusta, batas jelas,
nyeri
Regio thorakalis, regio ekstremitas superior,inferior dekstra et
sinistra: ditemukan nodul-nodul yang eritematus, batas jelas,
konsistensi padat dan perabaan hangat serta nyeri, terdapat krusta.
Reg. Coli posterior: terdapat bula
Reg. Thorakalis posterior: nekrosis
Pemeriksaan sensoris rasa raba dengan ujung kapas:
Pasien tidak dapat merasakan pada reg maxila S, sementara untuk
Reg Maxila D, Reg. Thorakalis, ekstremitas superior et inferior
masih dapat merasakan.
Pemeriksaan sensoris dengan ujung bolpoin:
Pada lesi di Reg. Facialis, Reg. Thorakalis, ekstremitas superior et
inferior masih dapat merasakan nyeri.
Tidak ditemukan pembesaran saraf tepi
Pemeriksaan motorik N. Facialis
Pasien diminta untuk memjamkan mata à pasien dapat menutup
mata dengan rapat (tidak terdapat lagofthalmus)
Gloves anastesi (-) dan stocking anastesi (+)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bakterioskopisà BTA
Biopsi kulit à histopatologis
3.5 Resume
Pasien laki-laki berusia 49 tahun, datang dengan keluhan timbul bentol-
bentol kemerahan dan nyeri di wajah, punggung,lengan dan tungkai. 2
bulan yg lalu pasien mengeluhkan timbul bercak meninggi kemerahan,
timbulnya mendadak. Awalnya timbul seukuran uang logam sekitar 5
buah, kemudian bertambah banyak sampai ke tungkai. Bercak kemerahan
pada kulit berubah menjadi benjolan kemerahan yang kemudian menjadi
gelembung berisi cairan yang kemudian pecah menjadi kerak yang
menebal, terasa nyeri dan didahului keluhan demam. Pasien telah
mengkonsultasikan keluhannya ini pada dokter puskesmas dan mendapat
obat oral berwarna biru, putih dan kuning tapi belum ada perbaikan.
Regio facialis : plak yang eritematus dan berkrusta, batas jelas, nyeri.
Regio thorakalis, regio ekstremitas superior,inferior dekstra et sinistra:
ditemukan nodul-nodul yang eritematus, batas jelas, konsistensi padat dan
perabaan hangat serta nyeri. Pemeriksaan sensoris rasa raba dengan ujung
kapas: Pasien tidak dapat merasakan pada reg maxila S, sementara untuk
Reg Maxila D, Reg. Thorakalis, ekstremitas superior et inferior masih
dapat merasakan. Pemeriksaan sensoris dengan ujung bolpoin: Pada lesi
di Reg. Facialis, Reg. Thorakalis, ekstremitas superior et inferior masih
dapat merasakan nyeri. Tidak ditemukan pembesaran saraf tepi.
Pemeriksaan motorik N. Facialis: Pasien diminta untuk memjamkan mata
à pasien dapat menutup mata dengan rapat (tidak terdapat lagofthalmus).
Gloves anastesi (-) dan stocking anastesi (+)
3.6 Diagnosis
Reaksi kusta tipe 2 berat
3.7 Diagnosis Banding
Eritema nodosum
3.8 Penatalaksanaan
Nonmedika mentosa:
- Edukasi pasien:
o Informasi penyakit pasien
o Pengobatan membutuhkan waktu yang lama
- Diet bebas
- Bed rest
Medikamentosa:
- Prednison 30 mg/hari (2 mgg I)
- Paracetamol 3x500 mg
- Asam mefenamat 3x500mg
- Antibiotik: cefadroksil 2x500mg
3.9 Prognosis
Dubia
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, R.S. 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Martodiharjo, S., dan Susanto, R. S. D. 2003. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI
Listyawan, M. Y., Agusni, I., dan Martodiharjo, S. 2005. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. RSUD dr. Soetomo
Surabaya.
Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller A. S., Leffell, D.
J. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Seventh Edition. The Mc
GrawHill Company.
Thangaraj, R. H., dan Yawalkar, S. J. 1986. Leprosy for Medical Pratitioners an
Paramedical Workers. Switzerland: Ciba-Geigy