rangkuman hasil kegiatan - fdcunhas98.files.wordpress.com · pengamatan kondisi ekosistem terumbu...
TRANSCRIPT
1 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
2 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
RANGKUMAN HASIL KEGIATAN
Kabupaten Muna Barat merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang
sebagian wilayahnya berada di wilayah pesisir dan terdiri dari berbagai pulau-pulau kecil
yang tersebar di bagian Selatan dan Utara. Salah satu kepulauan di Kabupaten Muna Barat
yang memiliki potensi tingkat keanekaragaman hayati cukup tinggi yaitu Tiworo Kepulauan
(Tikep). Selat Tiworo ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Konservasi Laut (KKLD)
dengan spesifikasi Kawasan Wisata Laut melalui Keputusan Bupati Muna Nomor Tiworo
Kepulauan yang memiliki ekosistem yang cukup potensial untuk dapat dikembangkan
seperti terumbu karang. Selat Tiworo memiliki pulau-pulau sangat kecil sebanyak 34 buah,
pada tahun 2004, sebagian dari kawasan Selat Tiworo ditetapkan sebagai Kawasan
Konservasi Konservasi Laut (KKLD) dengan spesifikasi Kawasan Wisata Laut melalui
Keputusan Bupati Muna Nomor 157 Tahun 2004 (Sairuddin, 2014).
Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa masyarakat memiliki ketergantungan
terhadap sumberdaya pesisir dan laut dan disamping itu memang perairan laut daerah ini
sangat potensial untuk pengembangan beberapa usaha perikanan. Selat Tiworo serta beberapa
teluk dan selat kecil lainnya telah menjadi fishing ground masyarakat sejak beberapa tahun
silam serta areal budidaya perikanan (rumput laut, teripang, mutiara dan kerapu).
Salah satu tujuan ekspedisi ini yaitu untuk memberikan gambaran ekosistem terumbu
karang di Selat Tiworo, serta menemukan penyebab utama kerusakan ekosistem tersebut
sehingga langkah pengelolaannya dapat dilakukan secara tepat. Dalam kegiatan pengambilan
data tutupan terumbu karang digunakan metode Point Intercept Transec (PIT).
Kerusakan terumbu karang di KKPD Selat Tiworo sebagian besar diakibatkan oleh
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan trawl, bom serta bius hal ini
disebabkan karena status terumbu karang yang open acces, menjadikan area terumbu karang
sebagai target utama dalam melakukan penangkapan. Untuk melindungi kawasan terumbu
karang agar tetap lestari dan berkelanjutan, oleh karena itu diperlukan sebuah strategi dan
kebijakan dalam mengelola terumbu karang yang ada dalam Kawasan Konservasi Perairan
Daerah Selat Tiworo.Kebijakan dan strategi yang diambil harus dapat mengakomodasi semua
kepentingan yang terlibat. Tipe terumbu karang yang ada di KKPD Selat Tiworo adalah
karang tepi (fringing reef) dengan kedalaman terumbu berkisar 10-15 m.
Kondisi terumbu karang KKPD Selat Tiworo masuk dalam kategori “SEDANG”
dengan rata-rata persentase karang hidup sebesar 46 %. Kerusakan yang terjadi lebih
disebabkan oleh alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti trawl dan bom.
Persentase karang hidup KKPD Selat Tiworo cukup bervariasi dari rusak, baik,
sedang dan sangat baik. Persentase karang hidup yang paling rendah terletak di stasiun 1
Pulau Mandike sebesar 18 % termasuk kategori “RUSAK”, sedangkan persentase karang
hidup paling tinggi berada pada stasiun 3 Pulau Indo dengan persentase karang hidup
mencapai 76 % dan masuk dalam kategori “SANGAT BAIK”.
3 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Letak Geografis
Gambar 1.1 Peta administrasi Kab. Muna Barat
Kabupaten Muna Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi
Tenggara hasil pemekaran dari Kabupaten Muna pada pertengahan 2014. Ibukota Kabupaten
Muna Barat terletak di Laworo, Kecamatan Sawerigadi. Kabupaten Muna Barat terdiri atas
11 (sebelas) kecamatan, 5 kelurahan dan 81 desa.
Geologi
Pada umumnya pulau – pulau kecil di KKPD Selat Tiworo adalah pulau pasir
bermangrove yang melingkupi hampir 2/3 atau lebih dari bagian pulau yakni Pulau
Belanbelan Kecil, Belanbelan Besar, Ransaweta, Latoa, Pasipi Bangkawang, Masalokaan,
Maloang, Kayuangin Kecil, Sanggaleang, Simuang, Bangkomalampe, Ponda dan Pulau Tiga.
Sedangkan pulau dengan kondisi mangrove yang sangat tipis meliputi Pulau Katela, Balu,
Maloang Kecil, Bero, Santigi dan Pulau Masaringa dan pulau yang tidak bermangrove adalah
Pulau Lumuna Besar, Indo, Kayuangin, Mandike dan Pulau Tasipi.
Topografi
Kondisi topografi tiap pulau yang masuk ke dalam kawasan cenderung landai dengan
kedalaman berkisar 10-15 m. Tipe terumbu karang yang ada di Selat Tiworo adalah tipe
karang tepi (fringing reef) dengan kemiringan lereng terumbu berkisar 40-500. Terumbu
karang di kawasan Selat Tiworo tersebar rata pada kedalaman 3-10 meter dengan substrat
4 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
dasar perairan adalah pasir. KKPD Selat Tiworo, dibagi dalam 3 (tiga) zona yakni zona
perlindungan (zona inti) dengan luas 9.543,06 ha, zona pemanfaatan (budidaya dan
penangkapan) dengan luas 8.957,71 ha, dan Zona Wisata (Tourism Use Zone) dengan luas
3.080,91 ha.
Kependudukan
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Muna
Tahun 2012, jumlah total penduduk di kawasan KKPD Selat Tiworo mencapai 6.897 jiwa
dengan rincian 3.411 laki – laki dan 3.486 perempuan.
Demografi
Berdasarkan sensus ekonomi kependudukan tahun 2010, jumlah populasi penduduk
Kabupaten Muna Barat adalah sebanyak 83.364 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai
81,5 jiwa/km2. Masyarakat Kabupaten Muna Barat merupakan masyarakat heterogen yang
berpendudukan beragam suku. Suku utama yang mendiami daerah ini adalah Suku Muna,
selain itu di daerah ini dihuni pula oleh penduduk transmigran yang berasal dari Jawa, Bali
dan Maluku.
Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikannya, persentase penduduk dewasa di kawasan KKLD
Selat Tiworo yang tidak pernah sekolah adalah 6,79 %, tidak tamat sekolah dasar 14,12 %,
tamat sekolah dasar 26,72 %, tidak tamat SMP/sederajat 2,16 %, tamat SMP/sedarajat 5,10
%, tidak tamat SMA/sederajat 0,71 %, tamat SMA 2,61 % dan tamat Diploma/S1 0,38 %,
sedangkan sisanya masih sekolah dan datanya tidak tersedia yakni 33,09 %. Dengan
demikian tingkat pendidikan masyarakat dewasa di KKPD Selat Tiworo sangat rendah yakni
didominasi oleh tamatan sekolah dasar kebawah sebesar 35,67 % dan yang memenuhi wajib
belajar 9 tahun hanya 8,8 % (Bappeda Kab. Muna dan Polesterang, 2005). Sedangkan
berdasarkan data survei pra kampanye pride KKLD Selat Tiworo tahun 2012 memperlihatkan
tingkat pendidikan nelayan di lokasi target KKLD Selat Tiworo adalah tidak pernah sekolah
4,7 %, tidak lulus SD 30,6 %, lulus sekolah dasar 47 %, lulus SMP10,4 dan sisanya
bersekolah di SMA dan sekolah SMA. Data ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
nelayan di lokasi desa terget sangat rendah dan bahkan sekitar 5 % buta huruf.
Agama
Masyarakat Kabupaten Muna Barat sebagian besar beragama Islam dan hanya
sebagian kecil beragama Hindu dan Kristen Protestan. Minoritas Hindu dan Kristen
umumnya dapat dijumpai pada unit pemukiman transmigran.
Ekonomi Pendapatan daerah Kabupaten Muna Barat sangat ditunjang oleh bidang perkebunan
dan pertanian yang tersebar merata hampir diseluruh wilayah daerah Kabupaten Muna Barat.
Selain itu, di wilayah Kecamatan Tiworo Kepulauan juga menyumbang pendapatan daerah
dari sektor perikanan yang cukup besar.
5 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Seluruh rangkaian kegiatan “Ekspedisi Dhelpinus 1” dilakukan selama 3 bulan mulai
dari tahap persiapan, survei, analisis data, dan penyusunan laporan hingga penyerahan
laporan. Cakupan wilayah kegiatan pendataan dilakukan dalam Kawasan Konservasi Perairan
Daerah Selat Tiworo dan sekitarnya meliputi 9 pulau yakni Pulau Mandike, P. Bero, P.
Santigi, P. Tiga, P. Tasipi, P. Maloang, Pulau Latoa, P. Balu, P. Ponda dan Pulau Indo.
Terumbu karang tepi tersebar di semua pulau tersebut terkecuali Pulau Balu dan Pulau Ponda
(Kawasan Mangrove) yang dijadikan stasiun pengamatan seperti yang dilihat pada
(gambar3.1) berikut,
Teknik Pengambilan Sampel
Penggunaan metode survei dalam menggambarkan kondisi terumbu karang disajikan
dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri dari data persentase tutupan karang hidup dan
karang mati, jenis/spesies terumbu karang. Pengamatan dilakukan dengan metode Transek
Garis Segmen atau Point Intercept Transect (PIT). Metode PIT, merupakan salah satu
metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung
lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang
cepat.
Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan
persen tutupan karang batuhidup dengan mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point
Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persentutupan (% cover) substrat dasar
Gambar 3.1. Peta lokasi Ekspedisi Delphinus I
6 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan
pita berskala (roll meter).
Analisis Data
Setelah melakukan pengamatan karang dengan metode PIT, dapat dihitung persentase
penutupan karang hidup dengan rumus sederhana sebagai beriku
Perhitungan persentase tutupan karang hidup dengan menjumlahkan persentase kehadiran
Acropora dan non-Acropora. Kondisi penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan
kisaran tingkat persentase penutupan karang (Gomez dan Yap 1988), yaitu :
Rusak, bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%
Sedangbila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%
Baikbila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan
Sangat baikapabila persen tutupan karang batu hidup 75-100%
X 100%
Jumlah tiap komponen
50 (Total Komponen) % tutupan Karang Hidup =
7 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
HASIL KEGIATAN
Pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang dilakukan pada 8 (delapan) pulau
yang ada di KKLD Selat Tiworo, yakni Pulau Mandike, Pulau Bero, Pulau Tiga, Pulau
Santigi, Pulau Latoa, Pulau Tasipi, Pulau Maloang, dan Pulau Indo. Jumlah stasiun
pengamatan kondisi terumbu karang di KKLD Selat Tiworo sebanyak 15 stasiun. Penentuan
stasiun pengamatan menggunakan metode RRA (Rapid Reef Assesment) dengan tujuan
melihat keanekaragaman terumbu karang yang masih dalam kategori baik serta mewakili
keseluruhan lokasi pengamatan pada masing-masing pulau. Untuk pendataan luas tutupan
digunakan metode Point Intersep Transek dengan panjang transek 25 m.
a. Pulau Mandike
Secara administrasi Pulau Mandike masuk dalam wilayah Desa Tiga Kecamatan
Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Bentuknya relatif memanjang dari Timur ke Barat,
pada sisi Barat dan Timur jika terjadi surut terendah maka tedapat hamparan pasir yang
sangat panjang menjorok keluar (spit).
Secara geografis terletak pada 04039’29”- 04039’59” Lintang Selatan dan
122024’33”-122024’19”Bujur Timur dan berbatasan dengan:
- Utara : Pulau Kayuangin
- Timur : Pulau Masaringan
- Barat : Pulau Latoa
- Selatan : Pulau Belan-Belan Kecil
Gambar 4.2.1. Peta Pulau Mandike
8 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
Pengamatan terumbu karang di Pulau Mandike terletak di bagian Barat dan Timur.
Kondisi topografi di ke 2 (dua) stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-10 m dan
kemiringan lereng terumbu 40-500. Tipe terumbu di Pulau Mandike yaitu fringing reef
(karang tepi) yang memanjang dari arah Barat ke Timur.
Karang di Pulau Mandike tersebar rata pada kedalaman 7-10 m, sedangkan 10-15 m
sudah jarang ditemui karang, di kedalaman ini lebih didominasi oleh hamparan pasir yang
cukup luas. Hal ini jugalah yang mungkin menyebabkan faktor cukup keruhnya perairan pada
saat melakukan pendataan. Kondisi perairan pada saat pengamatan sangatlah keruh sehingga
cukup menyulitkan melakukan pendataan karena jarak pandang yang tidak terlalu baik.
Kondisi tutupan komponen karang untuk stasiun 1 masuk dalam kategori “rusak”
dengan total persentase karang hidup hanya sebesar 18 % yang terdiri dari Acropora 10 %
dan Non Acropora 8 %. Persentase karang mati sebesar 24 % yang terdiri dari patahan karang
Gambar 4.2.2. Pulau Mandike
Gambar 4.2.3.Pengambilan data karang dengan metode Point Intercept Transec (PIT) di pulau Mandike
9 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
28%
24% 20%
4%
4% 20%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 2 Pulau Mandike
AC NA DCA DC FS R
Gambar 4.2.4 Persentase kondisi (%) Ekosistem Karang stasiun I Pulau Mandike
Gambar 4.2.5 Persentase kondisi (%) Ekosistem Karang stasiun 2 Pulau Mandike
14 % dan karang yang mati ditumbuhi alga (DCA) 10 %. Persentase terbesar untuk stasiun 1
diwakili oleh Sand (pasir) sebesar 54 %.
Berdasarkan grafik di atas kondisi tutupan komponen karang untuk stasiun 2 masuk
dalam kategori “baik” dengan total persentase karang hidup sebesar 52 % yang terdiri dari
Acropora 28 % dan Non Acropora 24 %. Pada stasiun 2 persentase karang mati lebih tinggi
dibandingkan pada stasiun 1, dimana total persentase karang mati sebesar 44 % yang terdiri
dari dead coral algae 20 %, dead coral (pemutihan karang) 4% serta patahan karang 20 %.
Rusaknya terumbu karang di ke 2 stasiun Pulau Mandike mungkin lebih disebabkan
karena lokasi pengamatan yang merupakan jalur bagi kapal-kapal nelayan yang sering
10% 8%
2%
10%
1%
7%
54%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Mandike
AC NA SC DCA SP R S
10 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
Gambar 4.2.6 Kondisi eksosistem karang di Pulau Mandike
melintas di area terumbu karang. Jangkar-jangkar kapal yang sedang berlabuh merupakan
salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadi patahan karang, ini dapat kita lihat dengan
besaran persentase patahan karang di 2 stasiun pengamatan (14 % stasiun 1 dan 20 % stasiun
2). Selain itu hasil survei pengamatan yang dilakukan menunjukan bahwa persentase karang
keras yang sudah cukup lama mati dan diselimuti alga (Dead Coral withAlgae-DCA) cukup
tinggi dijumpai pada 2 stasiun pengamatan. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab
matinya karang batu ini dan kemudian terbentuk DCA, salah satunya adalah adanya
sedimentasi yang cukup tinggi yang berasal dari daratan utama dan ini sudah berlangsung
cukup lama.
Secara umum komposisi biotik dari ekosistem terumbu karang di Pulau Mandike
cukup bervariasi. Selain karang keras, juga ditemukan karang lunak (soft coral) 2 %, sponge
2%, serta makroalgae (flesy seawead) 4%. Kondisi terumbu karang pada saat survey
dilakukan tampak seperti Gambar,
a. Pulau Latoa
Pulau Latoa merupakan salah satu pulau yang termasuk dalam kawasan zona inti
pada KKPD Selat Tiworo dengan luas pulau sebesar 605,13 Ha. Luas total zona inti KKPD
selat Tiworo 9.543,06 Ha terdiri dari 5 pulau yakni Pulau Bangkolampe, Pulau Masalokaan,
Pulau Latoa, Pulau Sanggaleang dan Pulau Pasipi.
Pemanfaatan sumberdaya Pulau Latoa masih berupa alur pelayaran laut masyarakat.
Pulau Latoa memiliki ciri fisik utama sebagai Pulau mangrove. Luasan hutan mangrove pada
pulau ini sebesar 490,13 Ha. Pulau Latoa memiliki asosiasimurni antara 3 ekosistem penting
pesisir berupa hutan mangrove , padang lamun dan terumbu karang.
a
d
c
b
11 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
2,0%
34,0%
18,0%
20,0%
10,0%
16,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Latoa
AC NA DCA DC FS R
Gambar 4.3.2 Persentase kondisi (%) Ekosistem karang pada stasiun I Pulau Latoa
Gambar 4.3.1 Peta Pulau Latoa
Berdasarkan metode RRA yang dilakukan di Pulau ini, pengamatan kondisi tutupan
karang di Pulau Latoa terdiri dari 2 stasiun pengamatan. Hasil survey yang dilakukan,untuk
stasiun 1 kondisi terumbu karangnya masuk dalam kategori “sedang” dengan jumlah
persentase karang hidup sebesar 36 % yang terdiri dari acropora 2 %, non acropora 34 %.
Komponen kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Latoa disajikan pada gambar 7 dibawah
ini :
12 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
28,0%
24,0% 20,0%
4,0%
4,0% 20,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 2 Pulau Latoa
AC NA DCA DC FS R
Gambar 4.3.3 Persentase kondisi (%) Ekosistem karang pada stasiun 2 Pulau Latoa
Berdasarkan grafik diatas selain karang mati juga terdapat kematian karang
(bleaching) 20 % dan kematian karang dikarenakan ditumbuhi alga 18 %. Terjadinya
bleaching di suatu perairan disebabkan oleh 2 faktor utama yakni kenaikan suhu air laut yang
cukup ekstrim serta adanya biota pemangsa karang yaitu archanster planci (bintang laut
berduri). Patahan karang (R) juga ditemukan 16 % dan alga 10 %. Patahan karang
diperkirakan dari aktivitas penangkapan oleh nelayan yang biasa melakukan penangkapan
disekitar Pulau Latoa.
Berdasarkan grafik diatas selain karang mati juga terdapat kematian karang
(bleaching) 20 % dan kematian karang dikarenakan ditumbuhi alga 18 %. Terjadinya
bleaching di suatu perairan disebabkan oleh 2 faktor utama yakni kenaikan suhu air laut yang
cukup ekstrim serta adanya biota pemangsa karang yaitu Archantaster planci (bintang laut
berduri). Patahan karang (R) juga ditemukan 16 % dan alga 10 %.Patahan karang
diperkirakan dari aktivitas penangkapan oleh nelayan yang biasa melakukan penangkapan
disekitar Pulau Latoa.
b. Pulau Maloang
Pulau Maloang, pulau yang berukuran 6.17 Ha. Pulau ini merupakan zona wisata
pada KKLD Selat Tiworo. Luasan 3.080,91 Ha zona inti terdiri dari 4 pulau yakni Pulau
Indo, Pulau Masaringan, Pulau Simuang dan Pulau Maloang sendiri. Pulau ini juga memiliki
hutan mangrove dengan luasan 2.79 Ha. Pulau Maloang terbagi dua pulau, yakni Pulau
Maloang Besar dan Pulau Maloang Kecil.
13 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
8,0%
24,0%
20,0% 20,0%
10,0%
8,0% 2,0% 8,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Maloang
AC NA DCA DC FS OT R S
Gambar 4.4.1 Peta Pulau Maloang
Gambar 4.4.2 Peersentase kondisi (%) ekosistem karang pada stsiun I Pulau Maloang
Pengamatan terumbu karang di Pulau Maloang terletak di bagian Utara dan barat.
Kondisi topografi di ke 2 (dua) stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-20m dan
kemiringan lereng terumbu 75-800. Berdasarkan metode RRA yang digunakan lokasi ini
dipilih berdasarkan kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas
tutupan karang untuk Pulau Maloang. Kondisi terumbu karang di ke 2 (dua) stasiun disajikan
dalam diagram PIE di bawah ini.
Stasiun 1 Pulau Maloang memiliki persentase luas tutupan karang hidup 32 %, hal ini
mengindikasikan kondisi tutupan karang hidup stasiun 1 Pulau Maloang masuk dalam
kategori “baik”. Persentase karang kategori acropora 8 % dan non acropora 24 %.
Tingginya tutupan karang mati mencapai 40% dengan persentase masing-masing kematian
karang 20 %. Patahan karang 2 %, pasir 8 % dan alga 10 %. Stasiun 1 Pulau Maloang
ditemukan keanekaragaman other 8 % yang terdiri dari anemon laut dan coral mushroom dan
beberapa lilia laut.
14 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
62,0%
10,0%
6,0%
4,0% 18,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 2 Pulau Maloang
AC NA DCA OT R
Gambar 4.4.3 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stsiun 2 Pulau Maloang
Gambar 4.4.4 Kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Maloang
Stasiun 2 Pulau Maloang memiliki luas tutupan karang hidup yang tinggi dibanding
stasiun 1. Karang hidup kategori acropora mendominasi 62 %, non acropora 10 %. Secara
keseluruhan luas tutupan karang hidup stasiun 2 Pulau Maloang 72 %. Persentase karang
hidup stasiun 2 Pulau Maloang masuk dalam kategori “baik”. Ketegori lain yang
teridentifikasi adalah patahan karang 18 %, kematian karang ditumbuhi algae 6 % dan other
4 %.
Tingginya luas tutupan karang hidup stasiun 2 Pulau Maloang dikarenakan nelayan
yang menangkap dilokasi tersebut dibatasi. Lokasi ini sangat diperhatikan dan dijaga oleh
nelayan yang bermukim di Pulau Maloang.
c. Pulau Tasipi
Pulau Tasipi berada pada letak geografis 04037’9.9” (LS) dan 122
020’04.1” (BT).
Pulau ini memiliki 2 dusun dan 153 KK. Kawasan konservasi laut yang berada di Selat
15 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
6,0%
40,0%
2,0%
12,0%
2,0% 6,0%
2,0%
24,0%
6,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Tasipi
AC NA SC DCA DC FS OT R S
Gambar 4.5.1 Peta Pulau Tasipi
Gambar 4.5.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun I Pulau Tasipi
Tiworo salah satunya adalah Pulau Tasipi. Sumber air masyarakat Pulau Tasipi berasal dari
Tondasi dan beberapa sumur.
Pengamatan terumbu karang di Pulau Tasipi terletak di bagian Barat dan Selatan.
Kondisi topografi di ke 2 (dua) stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-20m dan
kemiringan lereng terumbu 45-60o.
Berdasarkan metode RRA yang digunakan lokasi ini dipilih berdasarkan kondisi karang yang
masih relatif baik dan cukup mewakili data luas tutupan karang untuk Pulau Tasipi. Kondisi
terumbu karang di ke 2 (dua) stasiun disajikan dalam diagram PIE di bawah ini.
16 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
4,0%
30,0%
2,0%
4,0% 8,0% 2,0%
50,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 2 Pulau Tasipi
AC NA SC DCA DC OT S
Gambar 4.5.3 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun 2 Pulau Tasipi
Gambar 4.6.1 Peta Pulau Santigi
Stasiun 1 Pulau Tasipi memiliki tutupan karang hidup antara 6 % - 40 %.Lokasi
pengamatan ini masuk dalam kategori “baik”. Kematian karang 2 % dan kematian karang
yang ditumbuhi alga 12 %. Tingginya patahan karang 24 % dikarenakan lokasi ini tidak jauh
dari tempat perahu nelayan dijangkarkan. Pengamatan dilokasi ini juga ditemukan soft coral
2 %, other 2 %, algae dan hamparan pasir masing-masing 6%.
Berdasarkan gambar 9, stasiun 2 Pulau Tasipi memiliki luas tutupan karang yang
masuk dalam ketegori “baik”.karang hidup non acropora 30% merupakan persentase
tertinggi karang hidup bila dibandingkan dengan acropora yang hanya 4%. Hamparan pasir
50 % mendominasi stasiun 2 Pulau Tasipi. Kematian karang berkisar 4 % - 8 %. Keberadaan
soft coral 2% menambah keragaman hayati bawah laut Pulau Tasipi dan serta other 2 %.
d. Pulau Santigi
Pengamatan terumbu karang di Pulau Santigi terletak di bagian Barat. Kondisi
topografi di stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-15m dan kemiringan lereng terumbu
17 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
42,0%
12,0%
6,0%
8,0%
32,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Santigi
AC NA DCA DC R
Gambar 4.6.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun I Pulau Santigi
40-50o. Berdasarkan metode RRA yang digunakan, lokasi ini dipilih berdasarkan kondisi
karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas tutupan karang untuk Pulau
Santigi. Kondisi terumbu karang di stasiun disajikan dalam diagram PIE di bawah ini.
Hasil pengamatan yang dilakukan dilapangan, kondisi tutupan ekosistem terumbu karang di
Pulau Santigi dikategorikan “baik” jumlah persentase karang hidup sebesar 54 % yang terdiri
dari 42 % acropora dengan karang yang paling dominan yaitu dari acropora bercabang, non
acropora 12 %. Sedangkan persentase karang mati sebesar 46 % terdiri dari DCA 6 %, rubble
32 % dan pemutihan karang 8 %.
Tingginya persentase patahan karang di lokasi pengamatan mengindikasikan bahwa
di lokasi ini telah banyak mendapatkan tekanan oleh aktivitas manusia. Pengunaan bom serta
alat tangkap seperti trawl dan pukat dapat menyebabkan karang mengalami patahan. Selain
itu adanya bleaching di lokasi pengamatan mengindikasikan telah terjadi peningkatan suhu
yang cukup tinggi, sehingga karang tidak dapat lagi mentolerir suhu air laut.
e. Pulau Tiga
Pengamatan terumbu karang di Pulau Tiga terletak di bagian Barat dan Timur.
Kondisi topografi di ke 2 stasiun cukup landai dengan kedalaman 15-20m dan kemiringan
lereng terumbu 40-50o. Berdasarkan metode RRA yang digunakan, lokasi ini dipilih
berdasarkan kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas tutupan
karang untuk Pulau Tiga. Kondisi terumbu karang di stasiun disajikan dalam diagram PIE di
bawah ini.
18 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
Gambar 4.7.1 Peta Pulau Tiga
Gambar 4.7.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun 1 dan 2 Pulau Tiga
42,0%
2,0%
30,0%
4,0%22,0%
Persentase Kondisi (%)Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Tiga
AC NA DCA DC R
Hasil pengamatan yang dilakukan, untuk stasiun 1 dan 2 kondisi karangnya masuk
dalam kategori “baik” dengan komponen penyusunnya acropora 42 %, non acropora 2 %
(stasiun 1), dan untuk stasiun 2 acropora 16 %, non acropora 34 % (gambar 10). Sedangkan
persentase karang mati di 2 stasiun pengamatan juga cukup tinggi yakni 50-56 % . Persentase
dead coral algae merupakan yang terbesar tingkat kerusakannya sebesar 18-30 %, kemudian
patahan karang 16-22 % dan pemutihan karang 4-16 %. Lebih jelas kondisi terumbu karang
masing-masing stasiun disajikan pada gambar 10 sebagai berikut :
Tingginya persentase karang mati yang ditumbuhi alga dan patahan karang di pulau
ini mengindikasikan bahwa terumbu karang di pulau ini mengalami tekanan kerusakan yang
cukup parah. Menurut kepala desa setempat salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan
terumbu karang di Pulau Tiga adalah penggunaan alat tangkap trawl yang dilakukan oleh
nelayan dari daerah lain. Penggunaan trawl yang sistem kerjanya menyapu dan mengeruk
dasar perairan dan dilakukan di area terumbu karang dapat menyebabkan kerusakan yang
sangat parah.
19 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
Gambar 4.7.3 kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Tiga
Gambar 4.8.1 Peta Pulau Bero
f. Pulau Bero
Pengamatan terumbu karang di Pulau Santigi terletak di bagian Barat. Kondisi
topografi di stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-15m dan kemiringan lereng terumbu
40-50o. Berdasarkan metode RRA yang digunakan, lokasi ini dipilih berdasarkan kondisi
karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas tutupan karang untuk Pulau
Santigi. Kondisi terumbu karang di stasiun disajikan dalam diagram PIE di bawah ini :
20 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
54,0%
12,0%
16,0%
4,0% 8,0%
6,0%
Persentase Kondisi (%) Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Bero
AC NA DCA DC SI R
Gambar 4.8.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun I Pulau Bero
Gambar 4.8.3 kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Bero
Berdasarkan grafik diatas, kondisi tutupan karang di lokasi pengamatan masih sangat
bagus dengan persentase karang hidup mencapai 66 % dengan komponen biotik penyusunnya
acropora 54 % yang didominasi oleh karang bercabang dari spesies Acropora formosa dan
non acropora 12 %. Dengan persentase karang hidup yang 66 % maka untuk lokasi ini
kategori tutupan karangnya masuk dalam kategori “baik”.
Selain persentase karang hidup, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di
lapangan juga dijumpai beberapa karang mati yang ditumbuhi alga (DCA) 16 %, bleaching 4
% dan patahan karang 6 %.Sedangkan untuk komponen abiotik diwakili oleh pasir halus
sebesar 8 %.
Faktor adanya patahan karang yang hanya sebesar 6 % mengindikasikan di lokasi ini
penggunaan bahan peledak sangat kurang dilakukan. Kematian karang di lokasi ini lebih
disebabkan oleh proses sedimentasi yang berlangsung cukup lama sehingga menyebabkan
kematian karang yang ditumbuhi alga, hal ini disebabkan karena tidak adanya penghalang
seperti ekosistem padang lamun yang dapat berfungsi sebagai penghalang dan penyaring
sedimen yang akan masuk ke laut.
21 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
Gambar 4.9.1 Peta Pulau Indo
g. Pulau Indo
Berdasarkan metode awal yang digunakan yaitu RRA untuk Pulau Indo jumlah
stasiun pengamatan sebanyak 3 stasiun.Terumbu karang di Pulau ini tersebar rata
mengelilingi pulau dengan kedalaman terumbu karangnya 7-10 m. Sama halnya dengan
pulau-pulau lain yang ada di KKPD Selat Tiworo, kondisi topogrofi Pulau Indo juga relatif
dangkal.Kondisi terumbu karang di Pulau ini cukup bervariasi dari rusak, sedang dan sangat
baik.Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan metode PIT pada 3 stasiun diperoleh nilai
tutupan karang dan komponen terumbu karang lainnya. Kondisi terumbu karang yang
“sangat bagus” dengan tutupan karang hidup 76 % tercatat dari stasiun 3 yang terletak di
sebelah Utara Pulau Indo tepatnya pada zona rataan terumbu kedalaman 5 m. Sementara
kondisi terumbu karang yang tergolong “sedang” dengan persentase tutupan karang hidup 36
% dapat dilihat pada stasiun 1. Kondisi terumbu karang dengan kategori “rusak” atau
tutupan karang (< 25 %) terdapat di stasiun 2 dengan persentase karang hidup hanya 24 %.
Dalam kondisi rusak terumbu karang didominasi oleh tutupan rubble (R) dan karang mati
(DCA).
Terumbu karang Pulau Indo umumnya didominasi oleh tutupan karang mati tertutupi
alga (DCA) dan rubble (R). Komponen DCA terbesar terdapat di stasiun 2 dan 3 dengan
jumlah persentase kerusakan 40-50 %. Hal ini sebagai refleksi dari karang mati dalam bentuk
utuh dalam waktu yang sudah lama. Selain itu lokasi Pulau ini cukup dekat dengan pelabuhan
barang serta daratan utama sehingga memungkinkan mendapatkan pasokan dan buangan
limbah secara terus menerus. Komponen patahan karang yang terdapat di 3 stasiun bisa jadi
disebabkan oleh aktifitas manusia di area terumbu karang, hal ini dikarenakan Pulau Indo
merupakan tempat destinasi wisata bagi masyarakat Kabupaten Muna Barat. Masyarakat
yang tidak tahu akan fungsi dan peran terumbu karang melakukan kerusakan baik itu
disengaja (menginjak karang pada saat melakukan snorkeling) maupun tidak disengaja.
Selain itu pulau ini juga sering dijadikan sebagai tempat persinggahan oleh nelayan. Jangkar
kapal nelayan yang berlabuh di pulau merupakan salah satu faktor terjadinya patahan karang.
Berikut kondisi tutupan karang Pulau Indo di 3 stasiun pengamatan yang disajikan dalam
diagram dibawah ini :
22 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
14,0%
62,0%
4,0%
6,0%4,0% 4,0% 6,0%
Persentase Kondisi (%)Ekosistem Karang
Stasiun 3 Pulau Indo
AC NA SC DCA SP R S
Gambar 4.9.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun 1,2 dan 3 di Pulau Indo
Gambar 4.9.3 Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Indo
Keanekaragaman biota di Pulau Indo cukup bervariasi dari hasil survei yang
dilakukan di 3 stasiun pengamatan terdapat beberapa komponen biotik seperti soft coral,
sponge, ascidian, kima serta beberapa jenis anemon.
23 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
c
b
b
b
a
b
f
b
d
b
e
b
Gambar 4.9.4 Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Indo
.
24 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
KESIMPULAN
SIMPULAN
1) Tipe terumbu karang yang ada di KKPD Selat Tiworo adalah karang tepi (fringing reef)
dengan kedalaman terumbu berkisar 10-15 m.
2) Kondisi terumbu karang KKPD Selat Tiworo masuk dalam kategori “SEDANG” dengan
rata-rata persentase karang hidup sebesar 46 %. Kerusakan yang terjadi lebih disebabkan
oleh alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti trawl dan bom.
3) Persentase karang hidup KKPD Selat Tiworo cukup bervariasi dari rusak, baik, sedang
dan sangat baik. Persentase karang hidup yang paling rendah terletak di stasiun 1 Pulau
Mandike sebesar 18 % termasuk kategori “RUSAK”, sedangkan persentase karang hidup
paling tinggi berada pada stasiun 3 Pulau Indo dengan persentase karang hidup mencapai
76 % dan masuk dalam kategori “SANGAT BAIK”.
Kerusakan terumbu karang di KKPD Selat Tiworo sebagian besar diakibatkan oleh
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan trawl, bom serta bius hal ini
disebabkan karena status terumbu karang yang open acces, menjadikan area terumbu karang
sebagai target utama dalam melakukan penangkapan. Untuk melindungi kawasan terumbu
karang agar tetap lestari dan berkelanjutan, oleh karena itu diperlukan sebuah strategi dan
kebijakan dalam mengelola terumbu karang yang ada dalam Kawasan Konservasi Perairan
Daerah Selat Tiworo.Kebijakan dan strategi yang diambil harus dapat mengakomodasi semua
kepentingan yang terlibat.
REKOMENDASI UNTUK IMPLEMENTASI DAN KEBIJAKAN
Menyimak hasil dari kegiatan “Ekspedisi Dhelpinus I” dengan kajian penelitianKondisi
Biofisik Ekosistem Perairan Laut Pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Selat Tiworo,
serta hasil wawancara dengan masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Muna Barat,
beberapa rekomendasi implementasi dari kebijakan yang bisa diusulkan dalam laporan ini,
yakni :
1) Memberikan bimbingan teknis dan manajemen usaha dan permodalan serta
meningkatkan peluang berusaha kepada nelayan melalui program kemitraan antara
pemerintah, swasta, dan stakeholders lainnya. Strategi ini dimaksudkan agar
masyarakat tidak menggantungkan hidupnya secara terus menerus pada ekosistem
dan sumberdaya yang terdapat pada terumbu karang.
2) Melakukan monitoring terumbu karang yang dilakukan dua kali dalam setahun (tiap
enam bulan)mengingat perubahan degrasasi terumbu karang demikian cepat
dibanding prosesperbaikannya.
3) Untuk mendukung pelaksanaan monitoring sebaiknya dilakukan pemasangan transek
permanen agar lokasi penarikan transek tidak berubah-ubah dan informasi data
mengenai kondisi karang yang masuk tidak berbeda-beda.
4) Pelaksanaan monitoring terumbu karang dilakukan oleh tenaga terdidik
danspesialisasi dan bekerjasama dengan lembaga penelitian dan atau
universitassehingga menghasilkan output data yang bisa dipercaya dan bermanfaat
gunasebagai dasar bagi pengelolaan KKPD Selat Tiworo.
25 Humas FDC UNHAS [email protected] Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)
5) Pengelolaan sumberdaya alam KKPD Selat Tiworo harus berbasis datadan kajian
saintifik dan social behavior agar tidak terjadi mismanagement.
6) Untuk menghindari kejadian kerusakan terumbu karang yang lebih lanjut akibat
ulahmanusia (nelayan perusak), KKPD Selat Tiworo harus diperkuat olehsistem
pengawasan (monitoring dan surveilance) yang ketat. Untuk itu, dibutuhkan tenaga
pengawas yang tangguh yang berasaldari orang-orang lokal berbasis kelautan dan
perikanan yang terlatih. Pengawasanharus didukung oleh peralatan dan bahan yang
memadai seperti speed boat,peralatan radio komunikasi dan Bahan Bakar Minyak
(BBM) yang cukup.
7) Melakukan rehabilitasi secepatnya terhadap ekosistem yang telah rusak di KKPD
Selat Tiworo agar fungsi ekologi dari ekosistem tersebut dapat berjalan dengan
optimal dan berkesinambungan.
8) Membuat alur pelayaran untuk jalur kapal-kapal nelayan agar tidak melintas di area
kawasan terumbu karang.