rangkuman eksekutif rabies
TRANSCRIPT
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Penanggulangan rabies di Bali masih dipandang perlu lebih diperkuat
dan dipercepat (reinforced and accellerated) dengan target yang lebih
tepat sasaran. Pelaksanaannya harus cepat dan serentak. Dengan
pertimbangan bukti ilmiah terbaik serta mengkaji pelajaran dari
pelaksanaan program penanggulangan wabah rabies di Bali sampai Januari
2009, kami merekomendasikan hal-hal mendasar sebagai berikut. Pertama,
Tim Penanggulangan Rabies Bali sebaiknya dipimpin langsung oleh
Gubernur atau Wakil Gubernur Bali dengan tim pengarah dan sekretariat
eksekutif yang professional yang mempunyai otoritas penuh, sumber daya
manusia, dan pendanaan yang memadai. Mempertimbangkan sumber daya yang
tersedia, kami mengusulkan agar tugas sekretariat eksekutif
didelegasikan kepada FKH Universitas Udayana dengan otoritas dari
pemerintah daerah. Tugas sekretariat eksekutif antara lain: (a)
merencanakan program penanggulangan yang dievaluasi setiap hari sesuai
dengan perkembangan (open document); (b) mengkoordinasikan dan
melaksanakan gerakan dinas dan stakeholder teknis, baik dalam lingkup
lokal, nasional, bahkan internasional, termasuk mengikut-sertakan
kalangan wartawan media cetak maupun elektronik; dan (c) menjalin
kerjasama dengan pihak luar yang tidak mengikat. Prinsip kerja tim
adalah berbasis bukti ilmiah terbaik, kolaborasi lokal, nasional, dan
internasional, dukungan teknologi modern, transparansi otoritas
kesehatan, dan akurasi dan kecepatan media massa. Kedua, alternatif
vaksin rabies hewan yang hanya memerlukan injeksi tunggal perlu
dipertimbangkan untuk program penanggulangan rabies di Bali. Jika
rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali, lebih-lebih jika
satwa liar sudah tertular, ragam vaksin rabies yang diberikan bersama
umpan makanan perlu disiapkan. Ketiga, standar internasional penanganan
rabies pada manusia, yaitu pemberian VAR dan SAR secara bersamaan,
harus diupayakan. Persediaan VAR dan SAR harus cukup. Keempat,
Pemerintah Bali harus segera meminta dukungan nasional dan
internasional untuk dukungan sumber daya manusia, vaksin untuk hewan
yang lebih berdaya-guna dan VAR serta SAR.
1. Pendahuluan
Wabah rabies sedang berjangkit di Bali. Provinsi Bali telah dinyatakan
sebagai daerah tertular rabies, secara lokal, nasional, dan bahkan
internasional. Hal ini dinyatakan melalui Peraturan Gubernur No.
88/2008 dan Peraturan Bupati Badung No. 53/2008, Keputusan Menteri
Pertanian No.1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008, serta OIE sejak 18
Desember 2008 (http://www.oie.int/wahis/public.php?
page=single_report&pop=1&reportid=7621).
Respon pemerintah Bali untuk mengendalikan wabah tersebut sudah
dilakukan dengan cukup cepat dan sesuai prosedur baku nasional. Respon
itu didukung penuh oleh berbagai lembaga yang ada di Bali dan pusat
Jakarta. Dukungan internasional juga telah diperoleh. Prosedur baku
dimaksud adalah Kiatvetindo Rabies yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Peternakan, Deptan. Lembaga seperti Balai Besar Veteriner
Denpasar, Balai Karantina Pertanian Klas I Denpasar, Yayasan Yudisthira
Suwarga, Bali Animal Welfare Association (BAWA), Persatuan Dokter Hewan
Indonesia (PDHI) Cabang Bali dan FKH Universitas Udayana telah
memberikan dukungan pemikiran, diagnostik, tenaga vaksinasi,
penyuluhan, eliminasi, serta kegiatan operasional lainnya. Wartawan,
media elektronik dan cetak yang bertugas di Bali juga telah memberikan
kontribusi penting dengan pemberitaan yang cepat dan akurat. Dirjen
Peternakan juga telah memberikan dukungan tenaga untuk membantu proses
pengambilan keputusan dan vaksin rabies untuk anjing, kucing, dan
monyet. Lebih lanjut, Pengurus Besar PDHI juga selalu memberikan
masukan untuk memperbaiki respon lokal serta mengusahakan Vaksin Anti
Rabies (VAR) untuk petugas lapangan pada saat awal penanganan wabah.
Dukungan internasional telah diberikan oleh FAO Roma dengan penugasan
staf untuk monitoring wabah dan masukan berharga untuk respon yang
sesuai. Lembaga ACIAR melalui Project ACIAR AH 2006-166-AusAID juga
telah membantu logistik vaksinasi dan sosialisasi serta piranti
diagnostik rabies yang baku untuk dugaan kasus pada hewan. Bantuan
ACIAR tersebut disalurkan melalui Yayasan INIRADEF.
Walaupun sudah dilakukan dengan cepat, penanggulangan rabies di Bali
masih dipandang perlu lebih diperkuat dan dipercepat (reinforced and
accellerated) dengan target yang lebih tepat sasaran.
Ancaman rabies bagi Bali tidak hanya kematian hewan kesayangan,
kematian orang, tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman
penduduk. Wabah rabies telah menyebabkan kematian ribuan ekor anjing,
karena positif rabies, dicurigai membawa rabies karena menunjukkan
gejala rabies atau telah kontak dekat dengan anjing yang positif rabies
(data yang tepat dipresentasikan oleh Dinas Peternakan Bali).
Pada orang, penyakit rabies telah dikonfirmasi pada setidak-tidaknya
dua orang. Lima orang yang lain tercatat secara resmi sebagai kasus
terduga (suspect) rabies berdasarkan diagnosis klinis dan
epidemiologis. Informasi yang dapat kami kumpulkan, setidak-tidaknya
masih ada tiga kasus kematian yang tidak tercatat sebagai terduga
(suspect) rabies. Data ini dikumpulkan dari sejawat dokter dan dokter
hewan yang berada di daerah Paninsula Bukit. (Data resmi
dipresentasikan dari Dinas Kesehatan Bali).
Dari kasus pada anjing dan orang itu jelas bahwa semua kasus rabies
berakhir dengan kematian. Jumlah kasus gigitan anjing ke manusia
memperlihatkan trend yang terus meningkat, terhitung sejak bulan
November 2008. Sampai saat tulisan ini disusun (1 Februari 2009),
jumlah kasus gigitan dan permintaan VAR pada Rabies Center telah
mendekati 500 orang (Data resmi dipresentasikan dari Dinas Kesehatan
Bali). Data ini dapat sebagai refleksi keberhasilan kegiatan
sosialisasi dan komunikasi, informasi, serta edukasi publik. Di
samping itu, meningkatnya jumlah kasus gigitan dapat juga merefleksikan
meningkatnya insidens rabies. Meningkatnya kekhawatiran masyarakat
dapat dipantau dari meningkatnya konsultasi kesehatan setelah mereka
digigit anjing, pada hal banyak dari mereka yang digigit anjing berasal
dari daerah yang masih berstatus bebas rabies. Dengan demikian,
tingginya permintaan VAR dapat juga dipandang sebagai indikator
hilangnya rasa aman masyarakat. Jumlah tersebut diprediksi masih akan
meningkat, setidak-tidaknya sampai dengan akhir bulan Februari 2009.
Insidens rabies, yang pada akhirnya berujung pada gigitan manusia,
sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya cakupan (coverage) vaksinasi di
daerah tertular dan kecepatan untuk mengeliminasi anjing yang telah
terpapar dengan anjing tertular rabies.
Sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional, dampak rabies
dapat sangat luas, ditinjau dari aspek kesehatan, sosial, dan budaya,
sampai pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini dapat terjadi
karena ancaman menurunnya pendapatan penduduk Provinsi Bali akibat
menurunnya jumlah kunjungan wisatawan. Dampak ikutannya bahkan dapat
lebih luas, karena industri pariwisata Bali disokong oleh pasokan
produk-produk dari daerah lain di Indonesia. Pariwisata Bali diyakini
menyumbang pendapatan devisa negara sampai pilihan milyar dolar (data
resmi yang mutakhir tidak diperoleh). Yang pasti, ‘industri tanpa
cerobong asap’ ini menyokong hampir 50% penduduk propinsi Bali.
Pekerja-pekerja pariwisata tidak seluruhnya asli Bali. Sebagian
berasal dari daerah lain di Indonesia, sebagian kecil lagi
berkewarganegaraan asing. Industri pariwisata Bali juga ditunjang oleh
pasokan produk-produk dari daerah lain di Indonesia.
Berbeda dengan ancaman rabies di daerah lain di Indonesia, dan bahkan
dunia, ancaman rabies di Bali sangat spesifik. Hal ini karena kekhasan
sosio-kultural dan bio-geografi Bali. Sebagai daerah padat penduduk,
Bali juga padat hewan pembawa rabies (HPR), anjing, kucing, monyet, dan
bahkan kelelawar. Jika ditelusuri, daerah atau pulau dengan interaksi
yang sangat dekat antara orang-anjing-kucing-monyet-kelelawar seperti
Bali mungkin tidak ada. Beberapa koloni monyet dan kelelawar bahkan
menjadi obyek wisata yang selalu ramai pengunjung.
Populasi anjing di Bali sangat padat. Data akurat tentang populasi
anjing – spesies pembawa rabies utama - memang tidak tersedia. Estimasi
populasi yang tersedia tampaknya kurang tepat diterapkan di Bali. Jika
ratio anjing dan penduduk di Bali yang digunakan berdasarkan pedoman
WHO, yaitu 1 : 16, maka populasi anjing di Bali adalah sekitar 230.000
saja. Dengan ratio tersebut, jumlah anjing per kilometer persegi hanya
sekitar 40 ekor. Sedangkan ratio yang ditemukan oleh Yayasan
Yudistira, LSM yang bergerak dalam pengendalian populasi anjing secara
manusiawi (humane) di Bali, 1 : 6,5 (antara 5 – 8). Dengan demikian
populasi anjing di Bali sekitar 540.000 ekor atau 96 ekor/km2. Jumlah
tersebut termasuk anjing yang dirumahkan (dirantai, dikandangkan, atau
dilepas dalam pagar rumah), anjing dengan pemilik yang dirumahkan dan
dilepas, anjing dengan pemilik yang dilepaskan, dan anjing tanpa
pemilik (mirip feral dog). Proporsi anjing yang benar-benar dirumahkan
tampaknya hanya sekitar 30% saja, atau bahkan kurang. Sisanya
merupakan anjing geladag (stray dog) yang berkeliaran di jalan-jalan,
tempat-tempat umum, tempat upacara adat, tempat sampah, dan semak-
semak.
Dengan kondisi seperti itu, pengendalian rabies merupakan tantangan
yang berat. Akan tetapi, memperhatikan perhatian nasional dan
internasional, serta modal komitmen, kapasitas, dan kerjasama antar
stakeholder yang telah ditunjukkan, pengendalian rabies di Bali
memberikan peluang yang amat besar, sebagai Percontohan Pengendalian
Ancaman Penyakit Menular Bersumber Hewan (Zoonosis) modern bagi daerah
lain di Indonesia serta bagi negara-negara berkembang di dunia.
Dalam keterlibatan kami sebagai pakar dalam Tim Teknis Penanggulangan
Rabies Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, kami mengidentifikasi
beberapa masalah yang sangat kritis bagi keberhasilan penanggulangan
dan pemberantasan rabies di Bali. Masalah-masalah yang hendak disoroti
dalam kertas kerja ini akan diuraikan secara ringkas berikut ini.
2. Identifikasi Masalah
1. Sistem pengendalian insiden rabies yang terintegrasi lintas
sektoral/instansi/ agensi belum berjalan dengan baik.
a. Berbagai stakeholders yang memiliki kepentingan tinggi dalam
pemberantasan rabies di Bali belum terlibat, misalnya kalangan
pariwisata, pedagang/peternak anjing, dan lain-lain.
b. Kalangan wartawan masih menyampaikan berita secara parsial.
c. Mekanisme untuk penyaluran bantuan sumber daya, peralatan, dan dana
dari luar sumber-sumber resmi belum tersedia.
d. Penanggulangan rabies masih dianggap tugas pemerintah saja,
sehingga peran serta masyarakat desa masih dirasakan kurang, serta
inisiatif selalu berasal dari dinas terkait saja.
e. Vaksinasi massal lewat pos vaksinasi di Balai Banjar di daerah
Bukit kurang memberi hasil optimal karena informasi tidak sampai kepada
sebagian masyarakat. Hal ini berdampak pada rendahnya cakupan vaksinasi
dan siklus penularan rabies antar anjing masih dapat berlangsung.
f. Dana yang tersedia relatif kurang memadai serta pencairannya
lambat, sehingga tidak dapat diperuntukkan untuk status krisis.
g. Fase emergensi penyakit rabies berbeda dengan bencana alam pada
umumnya. Fase ini diperkirakan akan berlangsung 6 – 12 bulan. Dengan
rentang waktu yang panjang tersebut, ‘kerelaan’ relawan sulit
dipertahankan.
2. Eliminasi anjing di Bukit tidak mudah dilakukan karena hambatan
geografis serta protes dari kalangan penggiat kesejahteraan hewan
(kesrawan). Protes keras penggunaan racun strychnine, sebagai satu-
satunya pilihan yang ada untuk eliminasi massal. Eliminasi yang sesuai
dengan azas kesrawan (humane killing) dengan menjaring, bius umum dan
etanasi hanya bagus di atas kertas tapi di lapangan sulit dilaksanakan,
sangat lambat.
3. Penggunaan vaksin rabies yang harus dibooster setelah 3 bulan
(rabivet) sangat melelahkan, sedangkan pilihan lain tersedia di pasar
yang menimbulkan durasi kekebalan 1 - 3 tahun.
4. Kesiapsiagaan rabies pada orang dengan hanya pemberian VAR tanpa
Serum Anti Rabies (SAR) atau rabies immunoglobulin (RIG), serta
berdasarkan informasi jumlah VAR yang tersedia masih sangat terbatas.
5. Mekanisme pengendalian rabies melalui penutupan wilayah dan
pengawasan check-points belum berjalan sebagaimana mestinya
6. Sosialisasi penanggulangan rabies masih bersifat insidental dan
responsif dan tidak dilakukan secara sistematis dan direncanakan dengan
baik
7. Secara geografis, kami menduga bahwa siklus rabies masih tetap
berlangsung di daerah Semenanjung Bukit (8 desa, terutama di Unggasan),
diduga karena rendahnya cakupan vaksinasi dan segera perlu diambil
langkah-langkah pengendalian yang lebih intensif.
3. Pembahasan
3.1 Virus dan Epidemiologi Rabies
Penyakit rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh Rhabdovirus yang
menular terutama melalui gigitan hewan pembawa dan dapat menyerang
semua hewan berdarah panas dan manusia, serta menyebabkan kerusakan
system syaraf pusat yang selalu fatal. Rabies masih merupakan salah
satu penyakit zoonosis yang tetap menghantui ketentraman masyarakat di
Indonesia. Informasi dari Direktoral Jendral Peternakan yang dikutip
oleh Susetya et al. (2008) rabies sangat sulit dikendalikan dan
sekarang telah bersifat endemis di beberapa wilayah di Indonesia
seperti Sumatra, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Hal
tersebut terjadi sebagai akibat dari sulitnya mengimplementasikan
program penanggulangan rabies, beberapa diantaranya berkaitan dengan
kondisi geografi dan faktor sosial budaya.
Anjing tampaknya menjadi vektor utama virus rabies di Bali. Sekalipun
peluang sebagai pembawa dan penyebar rabies jauh lebih kecil, vektor
yang lain seperti kucing, monyet, dan kelelawar harus dimasukkan
sebagai factor risiko. Anjing merupakan host dan vektor utama virus
rabies di seluruh dunia (Wandeler et al. 1993). Hal ini terutama di
wilayah ekuatorial di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Rabies memang
pernah dilaporkan ditularkan oleh kucing, tetapi hewan ini tampaknya
kurang dominan sebagai karier rabies, karena bio-ekologi yang tidak
seluas anjing, serta hewan ini memperolah rabies dari anjing.
Sedangkan monyet, meskipun mungkin saja terjadi, tetapi laporan rabies
pada kera yang hidup alami tidak ada sama sekali. Karnivora lain yang
dilaporkan sebagai pembawa rabies (sylvatic rabies) adalah srigala,
rakun, koyot, jakal, dan mongus di Benoa Antartika, Amerika Utara,
Eropa, serta beberapa Negara di Afrika, dan Asia relatif jarang di
Bali. Peran kelelawar di Bali juga perlu dimonitor. Sepanjang data
yang tersedia, kelelawar yang ada di Bali termasuk pemakan buah.
Kelelawar pemakan insekta dan pengisap darah yang dilaporkan sebagai
pembawa rabies di Amerika Utara dan Selatan, serta di Australia tidak
ada di sini.
Berdasarkan data sementara, virus rabies diduga masuk ke Kecamatan
Kuta Selatan awal 2008. Saat ini sedang dilakukan penelusuran (tracing)
proses pemasukan virus rabies tersebut. Sampai saat ini, penyebaran
rabies terlokalisir di Desa Unggasan, Jimbaran dan Kedonganan, akan
tetapi kasus positif yang diduga disebarkan oleh anjing penderita yang
berkelana telah ditemukan di Kuta Utara dan Denpasar Selatan.
Pendekatan molekuler akan dapat mengetahui jenis virus rabies yang
mewabah di Bali. Virus rabies termasuk dalam keluarga Rhaddoviridae,
yaitu virus-virus yang mempunyai genom RNA berpolaritas negative serta
tidak bersegmen dalam orde Mononegavirales (Rose dan Whitt 2001).
Bersama-sama dengan virus Lagos bat, European bat, Australian bat,
Mokola, Duvenhage, Obodhaing, dan Kotonkan, virus Rabies (RABV)
dikelompokkan dalam Genus Lyssavirus (Mattos et al. 2001). Penggolongan
ini didasarkan pada reaksi serologi uji netralisasi silang antar virus.
Teknik serologi memperlukan fasilitas dengan faktor keamanan tinggi.
Akhir-akhir ini, dengan kemajuan teknik molekuler, klasifikasi virus
didasarkan pada sekuens cDNA suatu isolat (Bourhy et al. 1993; Sugiyama
dan Ito 2007; Susetya et al. 2008).
Kemungkinan sumber virus rabies di Bali adalah dari wilayah-wilayah
endemik rabies di Indonesia. Penyakit rabies telah dilaporkan sejak
abad 19 di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.
1096/1999 (Balai Karantina Pertanian Denpasar, 2008), daerah yang
termasuk bebas di Indonesia adalah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur (Kecuali Pulau Flores), Maluku, Irian Jaya, Kalimantan
Barat, Pulau Madura, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Status
bebas dengan vaksinasi dilakukan di tiga daerah yang disebut terakhir
itu. Dari data tersebut, daerah-daerah endemik rabies di Indonesia
adalah Pulau Sumatra, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores.
Filogeografis virus rabies di Indonesia dan Asia merupakan data dasar
yang penting untuk pendugaan asal virus yang mewabah di Bali. Susetya
et al. (2008) memetakan hubungan genetik virus rabies di Indonesia dan
menyimpulkan bahwa tiga kelompok genetik besar, yaitu ID1, ID2, dan
ID3. ID1 adalah virus-virus yang bersirkulasi di Sumatra, ID2 di Jawa,
dan ID3 di Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Peneliti-peneliti tersebut
juga membuktikan dengan jelas bahwa asal virus rabies yang mewabah di
Flores adalah Sulawesi (Susetya et al. 2008). Temuan ini sejalan
dengan data epidemiologi bahwa wabah di Flores terjadi akibat pemasukan
anjing dari Pulau Buton, Sulawesi. Dalam wilayah geografis yang lebih
luas, Susetya et al. (2008) dan Sugiyama dan Ito (2007) menunjukkan
bahwa virus rabies Indonesia berkerabat dekat dengan virus yang
ditemukan di Filipina dan China. Klaster itu berada terpisah dengan
virus yang ditemukan di Malaysia, Cina Selatan, Asia Tengah, Timur
Tengah, Eropa, dan Afrika. Informasi genetik isolat-isolat virus
rabies dapat diunduh dari jaringan internet, dan sangat bermanfaat
untuk mengetahui asal virus yang mewabah di Bali. Informasi ini pada
akhirnya sangat berharga dalam mengguting penyebaran di masa yang akan
datang.
3.2 Patogenesis Rabies
Virus rabies menginfeksi hewan dan manusia melalui gigitan hewan
pembawa. Virus tidak dapat masuk kedalam tubuh melalui kulit yang
sehat. Dari data yang tersedia, 99.8% rabies pada manusia berasal dari
gigitan hewan. Penularan yang tanpa melalui gigitan dilaporkan pernah
terjadi akibat inhalasi udara yang kaya virus rabies, cakaran hewan,
penjilatan hewan, transplantasi kornea dari donor terinfeksi (de Mattos
et al. 2001). Perkembangan penyakit tergantung pada lokasi dan
kehebatan luka gigitan, konsentrasi virus dalam gigitan, spesies hewan
pembawa, dan galur virus. Mortalitas tertinggi cenderung terjadi pada
orang yang tergigit di daerah kepala atau muka (40%-80%), mortalitas
menengah pada mereka yang digigit di tangan (15%-40%), dan terkecil
jika digigit pada kaki (5%-10%).
Masa inkubasi rabies pada hewan dan manusia sangat bervariasi. Masa
itu umumnya antara 1 – 2 bulan. Akan tetapi, variasinya sangat lebar,
dari sangat cepat (1 minggu) sampai beberapa tahun. Masa inkubasi
tergantung pada jarak relatif gigitan dengan system syaraf pusat,
kehebatan luka dan dalamnya gigitan, strain dan dosis virus, umur, dan
status kekebalan.
Patogenesis virus rabies merupakan pengetahuan penting untuk
penanganan dan pencegahan kasus pada hewan dan orang. Untuk maksud
tersebut, anatomi serabut dan sel syaraf ditampilkam pada Gambar 1.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa sel neuron berhubungan dengan organ
atau jaringan melalui akson sebagai serabut syaraf yang terbungkus
myelin. Serabut-serabut syaraf bergabung membentuk bundel serabut
syaraf. Selubung myelin dibentuk oleh sel-sel Schwan sepanjang serabut
syaraf yang bertindak sebagai ‘insulator’ rangsangan. Diantara sel-sel
Schwan terdapat nodus-nodus Ranvier.
Gambar 1. (Dihilangkan)
Anatomi Neuron dengan akson (atas kiri), serabut syaraf (atas kanan),
dan selubung myelin yang dibentuk oleh sel-sel Schwan dengan Ranvier
Nodus (bawah).
Sumber: www.southalabama.
edu/alliedhealth/biomedical/311Anatomy/Chapter12.ppt
Dari semua literatur, para peneliti satu kata, bahwa jaringan target
virus rabies adalah jaringan syaraf di system syaraf pusat. Tropisme
pada neuron merupakan gambaran utama pada infeksi alami, dengan
replikasi virus sangat eksklusif di neuron (Mattos et al. 2001). Akan
tetapi, mekanisme virus dari tempat gigitan sampai di otak terdapat
berbagai pandangan yang masing-masing didukung oleh bukti ilmiah yang
kuat. Virus tersebut mencapai jaringan otak secara neurogenik, yaitu
malalui serabut syaraf. Bukti virus menyebar secara hematogenik tidak
ada sama sekali. Dengan asumsi bahwa semua publikasi tentang
patogenesis rabies didukung bukti ilmiah yang kuat, dapat disimpulkan
bahwa setelah gigitan hewan pembawa virus dapat langsung menuju serabut
syaraf (Baer 1975 dikutip oleh de Mattos et al. 2001), dapat juga
menginfeksi myosit, dan bertahan di tempat gigitan selama beberapa jam
atau bahkan minggu. Di samping myosit, virus dapat juga bertahan pada
tempat gigitan pada sel yang lain. Virus rabies dilaporkan persisten
pada monosit.
Produk replikasi lokal atau kontaminan langsung dari air liur hewan
pembawa memasuki serabut syaraf pada ujung serabut syaraf yang tidak
bermyelin. Tentang mekanisme transport pada serabut syaraf juga tidak
ada kesamaan pendapat. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa transport
pada serabut syaraf dalam bentuk RNP, sementara yang lain dalam bentuk
partikel virus yang utuh. Keduanya dapat saja terjadi. Akan tetapi,
memperhatikan bukti bahwa partikel virus yang ‘menyembul’ (budding)
pada Nodus Ranvier, teori yang lebih akurat tampaknya adalah infeksi
dan penularan antar sel-sel Schwan. Hal ini lebih mudah dapat
diterangkan berdasarkan landasan teori bahwa virus menular antar sel
melalui reseptor permukaan. Ini hanya dapat terjadi pada partikel
virus yang lengkap. Fakta bahwa virus rabies menjalar ke system syaraf
pusat dengan kecepatan 3 mm/jam juga mendukung teori tersebut.
Sedangkan penyebaran di sumsum tulang belakang dan susunan syaraf pusat
dapat saja terjadi bersama cairan serebrospinal.
Setelah memperbanyak diri di otak, virus selanjutnya menjalar secara
sentrifugal menuju berbagai organ. Penjalaran juga melalui serabut
syaraf. Penjalaran ke kelenjar ludah sebenarnya merupakan stadium akhir
infeksi, akan tetapi stadium ini menjadi sangat kritis karena sangat
penting dalam penularan antar hewan dan dari hewan ke manusia. Di
kelenjar ludah, virus memperbanyak diri pada sel-sel acinar dan
dikeluarkan bersama aliran ludah. Disamping kelenjar dan air ludah,
virus dapat juga ditemukan di selaput lendir mulut dan hidung, lidah,
kulit, folikel rambut, retina, dan kornea (Murphy 1985; Murphy et al.
1973).
3.3 Penanganan rabies pada hewan
Standar internasional penanganan rabies yang ditularkan oleh anjing
dan kucing dilakukan oleh lembaga yang professional dan didukung public
dengan cara (1) eliminasi dan pengendalian anjing dan kucing jalanan
(stray animal), (2) pengawasan lalu lintas hewan kesayangan, (3)
tindakan penutupan wilayah dan karantina, (4) vaksinasi anjing dan
kucing, (5) diagnosis dan surveilans yang sensitive dan akurat, (6)
monitoring program penanggulangan, dan (7) edukasi publik (Fenner et
al. 2003). Khusus untuk Bali, proteksi satwa liar yang bernilai
religious seperti monyet dan kelelawar harus juga diprioritaskan.
Vaksin rabies hewan yang diproduksi dengan teknologi biakan sel dalam
bentuk inaktif maupun virus yang diatenuasikan telah terbukti berdaya-
guna baik dan aman (Fenner et al. 2003). Akan tetapi, sesuai dengan
rekomendasi produsen vaksin rabies di Indonesia, yaitu Pusat
Veterinaria Farma (PUSVETMA), vaksin yang digunakan saat ini harus
diulang setelah tiga bulan dan selanjutnya setiap tahun untuk
memperoleh kekebalan yang berlangsung lama. Dari pengalaman melakukan
vaksinsi massal di Badung dan Denpasar, prosedur seperti itu
menyebabkan program vaksinasi ini menjadi boros waktu dan tenaga. Dari
berbagai informasi yang tersedia, vaksin rabies hewan yang hanya
memerlukan injeksi tunggal untuk menghasilkan kekebalan yang lama
sebenarnya tersedia di pasar. Alternatif ini perlu dipertimbangkan
untuk program penanggulangan rabies di Bali.
Di samping vaksin yang harus diberikan melalui suntikan, vaksin yang
dapat diberikan melalui umpan makanan juga sudah tersedia dan dicobakan
dengan hasil baik. Vaksin jenis ini telah dicobakan pada satwa liar di
Swiss dan Jerman (WHOCCFSR 1991), Kanada, dan Amerika Serikat (Aubert
et al. 1994; Lawson et al. 1992; Rosatte et al. 1993) Vaksin itu semula
mengandung virus yang dilemahkan. Belakangan ini telah dikembangkan
vaksin rekombinan dengan virus cacar (Brochier et al. 1991) dan telah
terbukti dapat dipakai pada satwa liar (Fearneyhough et al. 1998).
Jika rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali, lebih-lebih jika
satwa liar sudah tertular, ragam vaksin rabies modern itu perlu
disiapkan.
3.3 Penanganan Rabies pada Orang
Rabies pada orang hampir 100% dapat dicegah baik pada orang yang belum
tergigit (pre-eksposur) maupun pada orang yang telah tergigit (post-
eksposur). Sekalipun demikian, rabies masih menjadi penyakit global
yang selalu berakhir dengan kematian, dengan hanya beberapa
perkecualian (Alvarez et al. 1994). Lebih dari 4 juta orang diberikan
profilaksis antirabies setiap tahun. Walaupun dapat dicegah, lebih dari
50.000 orang meninggal karena rabies, terutama gigitan anjing tertular
(Meslin et al. 1994).
Pencegahan sebelum terpapar (pre-eksposur) diberikan pada mereka yang
berisiko terpapar virus rabies. Kelompok orang yang termasuk memerlukan
vaksinasi rabies sebelum terpapar antara lain peneliti rabies di
laborarotium, pekerja pabrik bahan biologi anti-rabies, pekerja
diagnostik rabies di lab, pengendali populasi hewan di daerah tertular,
dan pekerja yang sering menangani monyet dan kelelawar (Manning et al.
2008). Pencegahan rabies pada semua penduduk suatu daerah tertular
berat secara teoritis dapat dilakukan, tetapi secara ekonomis tidak
bisa dilakukan. Vaksin rabies masal untuk orang tidak pernah dilakukan.
Penanganan pre-eksposur meliputi dua tahap yaitu tahap primer dan
booster. Tahap primer dilakukan dengan penyuntikan vaksin secara intra-
muskuler dengan banyak ulangan sesuai dengan rekomendasi produsen
vaksin dan kebijakan suatu negara. Di Amerika Serikat dilakukan
sebanyak 3 kali, yaitu hari 0, yaitu saat vaksinasi pertama dan diulang
7 dan 21 atau 28 hari berikutnya. Tahap booster dilakukan dengan satu
kali vaksinasi dalam waktu dua tahun (Manning et al. 2008).
Untuk orang yang terpapar dan belum pernah divaksinasi sebelumnya,
standar internasional merekomendasikan pemberian rabies immunoglobulin
(RIG) atau serum anti rabies (SAR) secara bersamaan dengan pemberian
vaksin anti-rabies (VAR). Sedangkan bagi mereka yang telah pernah
divaksin, rekomendasinya adalah pemberian VAR saja (Manning et al.
2008). Perlakuan pasca tergigit atau terpapat (post-eksposure) meliputi
pembersihan dan eksplorasi luka gigitan dengan sabun dan air yang
berlebihan serta irigasi luka dengan yodium. Pemberian SAR atau RIG
dilakukan dengan infiltrasi disekeliling luka gigitan dengan dosis 20
IU/kg berat badan. Pada mereka yang belum pernah divaksinasi, VAR
diberikan pada bagian tubuh yang berjauhan dengan tempat pemberian SAR
atau RIG. Di Amerika Serikat, rekomendasi VAR pada orang yang belum
pernah divaksinasi adalah lima kali, yaitu hari ke-0, 3, 7, 14, dan
28. Sedangkan VAR untuk orang yang pernah divaksin hanya dua kali
yaitu hari ke-0 dan 3 (Manning et al. 2008).
Vaksin untuk rabies orang yang direkomendasikan diseluruh dunia saat
ini adalah vaksin yang diproduksi dari biakan sel. Vaksin tersebut
terbukti lebih baik dengan efek samping yang minimum (Strady et al.
1998).
4. Rekomendasi Penanggulangan Rabies di Bali
4.1 Sistem Penanggulangan Rabies
Dengan dasar ilmiah seperti itu, pengendalian rabies pada anjing harus
dilakukan dengan cepat dan serentak. Semakin lama waktu yang
dibutuhkan, semakin besar peluang virus rabies akan bersirkulasi pada
hewan-hewan pembawa liar seperti monyet dan kelelawar. Dengan kondisi
bio-geografis Bali, yaitu mudahnya interaksi orang-anjing-kucing-monyet-
kelelawar, hewan-hewan liar seperti monyet dan kelelawar dapat saja
tertular. Jika hal itu sampai terjadi, ancaman pada orang dan
pariwisata akan semakin besar.
Dengan pertimbangan itu juga, berbagai stakeholders mempunyai
kepentingan yang tinggi untuk penanggulangan dan pembebasan Bali dari
rabies. Stakehoder tersebut meliputi instansi dan perusahanaan
peternakan, kesehatan ternak, kesehatan hewan kesayangan, pariwisata,
karantina, sosial, dan bahkan adat-budaya. Yang disebut terakhir juga
dimasukkan karena pembunuhan anjing akan dianggap sebagai bertentangan
dengan tata-nilai, penggunaan anjing untuk sarana upakara tertentu,
serta lokasi-lokasi dimana terdapat koloni monyet dan kelelawar
merupakan tempat-tempat suci penting bagi orang Hindu Bali seperti
Uluwatu, Sangeh, Goa Lawah, dan lain-lain.
Bahwa faktor kecepatan dan keserantakan merupakan kunci utama
penanggulangan rabies, dan dengan kepentingan stakeholder yang luas,
organisasi penanggulangan rabies harus mempunyai otoritas yang tinggi,
dilakukan oleh personil yang professional, dan didukung pendanaan yang
kuat. Karena lingkup penaggulangan rabies di Bali juga menjadi
kepentingan nasional dan internasional, kerjasama nasional dan
internasional harus operasional. Tim Koordinasi yang digariskan secara
nasional diyakini tidak akan optimal. Dari pengetahuan kami, Surat
Keputusan Tim Kordinasi Propinsi Bali bahkan belum ditanda-tangani.
Untuk pelibatan masyarakat desa, suatu tim terlatih di tingkat desa
harus juga dibentuk. Tim itu menjadi simpul-simpul penanggulangan
rabies. Pelibatan semua stakeholder sampai masyarakat desa akan
mendorong proses dukungan semua pihak (buy-in) pada program
penanggulangan. Dengan demikian, upaya penanggulangan rabies dilakukan
secara cepat dan serentak.
Mencermati lingkup penanggulangan rabies seperti itu, Tim
Penanggulangan Rabies Bali diusulkan dipimpin langsung oleh Gubernur
atau Wakil Gubernur Bali. Didalamnya terdapat tim pengarah (steering
group) yang terdiri dari dinas-dinas dan stakeholder terkait.
Operasional tim dilakukan sekretariat eksekutif. Tim eksekutif terdiri
dari orang professional dari masing-masing lembaga terkait dan/atau
pihak luar (outsourcing) yang ditugaskan merencanakan program
penanggulangan yang dievaluasi setiap hari sesuai dengan perkembangan
(open document), mengkoordinasikan, serta melaksanakan gerakan dinas
dan stakeholder teknis, baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan
internasional. Tim teknis tersebut diberikan tugas dan wewenang untuk
bekerjasama dengan pihak luar yang tidak mengikat. Dalam menyalurkan
bantuan-bantuan luar, tim dapat bekerjasama dengan lembaga lain yang
berbadan hukum dan mempunyai mekanisme akuntabilitas public yang baik.
Dengan pertimbangan, bahwa pemberantasan rabies harus dilakukan dengan
dasar ilmiah yang kuat, tidak ada kepentingan lain selain keamanan
masyarakat, serta melibatkan sumber daya manusia yang banyak,
Universitas Udayana dengan FKH sebagai ujung tombak dapat mengambil
peran sebagai tim teknis tersebut dengan mengikut-sertakan tenaga ahli
yang ada di Bali. Tim tersebut harus diberikan otoritas yang penuh
dari Gubernur Bali. Jika otoritas dan dana tidak menjadi kendala, 1000
orang dapat digerakkan serentak untuk pendataan, pemantauan, dan
pembasmian anjing liar yang kemungkinan besar membawa virus rabies di
Bukit Jimbaran-Pecatu. Melihat perkembangan kasus, virus rabies masih
menunjukkan aktivitas paling tinggi di daerah itu.
Harus diakui bahwa wartawan media cetak dan elektronik telah
berkontribusi besar dalam capaian penanggulangan rabies di Bali selama
ini. Hanya saja, liputan media sering dikeluhkan oleh beberapa sumber
pers sebagai parsial. Di masa yang akan datang, wartawan media harus
secara terencana diajak bergabung dalam tim penanggulangan. Data yang
mutakhir dan akurat harus disediakan dan terbuka untuk disampaikan
kepada publik. Dengan demikian, tim bekerja secara transparan,
akuntabel, akurat, dan tepat sasaran. Keterbukaan yang dilandasi
program penanggulangan yang dilakukan dengan dasar ilmiah yang kuat
serta dilakukan oleh tim yang professional diyakini akan dapat
memenangkan ‘rasa aman’ publik lokal, nasional dan internasional.
Dengan demikian, industri pariwisata akan tetap berjalan seperti
biasanya.
4.2 Eliminasi
Penertiban anjing liar dan anjing yang kontak dengan pembawa rabies
harus dilakukan. Dasar ilmiahnya kuat dan sederhana. Jika ada anjing
yang positif rabies, ia mungkin telah sempat menggigit puluhan anjing
yang lain yang kontak dengannya. Masing-masing anjing yang tergigit
itu dapat menggigit masing-masing puluhan anjing yang lain lagi.
Demikian seterusnya, sehingga sebagian besar anjing liar atau yang
diliarkan di desa tertular kemungkinan telah membawa virus. Letupan
kasus gigitan tinggal menunggu waktu. Bahwa anjing-anjing itu masih
tampak sehat, karena masa inkubasi penyakit dari sejak digigit sampai
keluar tanda-tanda rabies dapat beragam, dari cepat, sekitar 1-2
minggu, sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ludah anjing yang
belum sakit itu bahkan sudah penuh virus yang siap ditularkan, beberapa
hari menjelang munculnya tanda klinis.
Untuk daerah bebas, penertiban anjing liar juga harus dilakukan. Ini
untuk antisipasi penyebaran rabies dari daerah tertular. Anjing asing
yang tiba-tiba ada di sekitar kita, apalagi yang menunjukkan beberapa
gejala yang disebut dimuka, harus dicurigai sebagai anjing rabies. Ia
mungkin merupakan limpahan (spill-over) dari daerah tertular yang dapat
berkelana jauh. Jika populasi anjing liar sudah sehat, rantai
penyebaran rabies putus dengan sendirinya.
Untuk pengaturan pemeliharaan anjing sudah saatnya perlu disediakan
perangkat hukum berupa Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah.
4.3 Vaksinasi
Seperti telah dipaparkan diatas, prosedur vaksinasi yang dilakukan
sekarang ini menyebabkan program vaksinasi ini menjadi boros waktu dan
tenaga. Dari berbagai informasi yang tersedia, vaksin rabies hewan
yang hanya memerlukan injeksi tunggal untuk menghasilkan kekebalan yang
lama sebenarnya tersedia di pasar. Altenatif ini perlu dipertimbangkan
untuk program penanggulangan rabies di Bali.
Disamping vaksin yang harus diberikan melalui suntikan, vaksin yang
dapat diberikan melalui umpan makanan juga sudah tersedia dan dicobakan
dengan hasil baik. Vaksin jenis ini telah di cobakan pad satwa liar di
Swiss dan Jerman (WHOCCFSR 1991), Kanada, dan Amerika Serikat (Aubert
et al. 1994; Lawson et al. 1992; Rosatte et al. 1993) Vaksin itu semula
mengandung virus yang dilemahkan. Belakangan ini telah dikembangkan
vaksin rekombinan dengan virus cacar (Brochier et al. 1991) dan telah
terbukti dapat dipakai pada satwa liar (Fearneyhough et al. 1998).
Jika rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali karena kesulitan
untuk mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi karena kesulitan untuk
memvaksinasi anjing-anjing yang sulit dipegang, lebih-lebih jika satwa
liar sudah tertular, ragam vaksin rabies modern itu perlu disiapkan.
4.4 Kesiapsiagaan Rabies Pada Manusia
Standar internasional penanganan orang yang terpapar virus rabies atau
tergigit anjing tersangka adalah pemberian vaksin anti-rabies (VAR)
bersamaan dengan pemberian serum anti rabies (SAR) atau disebut juga
rabies immunoglobulin (RIG). VAR akan memicu produksi antibodi atau
zat kebal dalam tubuh pasien. Jika virus masih berkembang di tempat
gigitan, antibodi itu akan membunuh virus sebelum berangkat ke otak.
Karena itu, VAR sebaiknya diberikan sesegera mungkin, 1-2 hari setelah
gigitan. Kalaupun agak telat, misalnya 1-2 minggu setelah gigitan, VAR
mungkin akan menolong, sehingga harus dilakukan juga. Jika pernah
tergigit selama tahun 2008 sampai 2009, walaupun terlambat, penanganan
dapat masih membantu. Ini terutama berlaku jika virus masih berada di
sekitar tempat gigitan dan belum menjalar menuju otak.
SAR mengandung antibodi yang sudah siap pakai. Jika segera diberikan
di sekitar luka bekas gigitan, serum itu langsung bekerja mencegah
virus rabies berkembang lebih lanjut. SAR dapat mencegah pasien yang
terlambat ditangani. Pemberian gabungan VAR dan SAR akan menyempurnakan
pencegahan rabies. SAR langsung membunuh virus, sedangkan VAR akan
menginduksi zat kebal dan akan bekerja jika masih ada virus yang
berkembang dalam tubuh pasien. Pasien tergigit yang sudah pernah
divaksin cukup diberi VAR saja. Vaksin akan memicu produksi zat kebal
yang cukup dalam waktu yang singkat.
Sepanjang pengetahuan kami, standar nasional penanganan rabies di
Indonesia hanya VAR saja. Sedangkan SAR diberikan secara selektif,
misalnya untuk luka gigitan di atas bahu (leher, muka, kepala). Sebagai
daerah tujuan wisata internasional, standar internasional hendaknya
diterapkan di Bali, yaitu SAR dan VAR. Biaya harus diusahakan. Jika hal
itu dilakukan, keselamatan korban gigitan lebih terjamin. Dari
literatur disebutkan bahwa kegagalan penanganan gigitan dengan SAR dan
VAR adalah 1/250 orang, atau 0,4%. Artinya dari 250 orang yang
tergigit anjing penderita rabies, setelah diberikan SAR dan VAR yang
lengkap, hanya 1 orang yang menjadi sakit rabies. Yang lain selamat.
Dengan pertimbangan itu, pemberian VAR dan SAR harus diupayakan di
Bali. Sebagai daerah yang menjadi perhatian internasional, standar
baku internasional harus diterapkan. Disamping itu, VAR dan SAR harus
tersedia cukup.
4.5 Kerjasama Nasional dan Internasional
Dalam penanganan penyakit modern, kerjasama nasional dan internasional
adalah hal yang jamak dan bahkan harus didorong. Pengalaman berharga
dari wabah penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) di Hong
Kong, Singapura, dan Kanada, wabah hebat dapat ditanggulangi dengan
segera. Strategi yang disebut-sebut sebagai ‘maha-karya’ pengendalian
wabah modern itu mempunyai cirri-ciri 1) kolaborasi lokal, nasional,
dan internasional; (2) dukungan teknologi modern; 3) transparansi
otoritas kesehatan; dan 4) akurasi dan kecepatan media massa (Klempner
dan Shapiro 2004; Weinstein 2004).
Terkait dengan hal tersebut, jika keadaan wabah rabies sudah di luar
batas kemampuan daerah, disarankan pemerintah Bali harus segera meminta
dukungan nasional dan internasional. Dukungan sumber daya manusia,
vaksin untuk hewan yang lebih berdaya-guna dan VAR serta SAR untuk
manusia sebaiknya diusahakan tersedia dalam jumlah yang mencukupi.
Berita bahwa persediaan VAR habis dan SAR tidak tersedia, sebagai
contoh, akan sangat mempengaruhi rasa aman masyarakat. Sebagai bagian
dari komunitas internasional, keadaan seperti itu secara langsung dan
tidak langsung dapat mempengaruhi keinginan calon wisatawan berkunjung
ke Bali, yang diawali dengan travel advisory, travel warning dan
berlanjut menjadi travel ban.
5. Penutup
Penanggulangan rabies di Bali masih dipandang perlu lebih diperkuat
dan dipercepat (reinforced and accelerated) dengan target yang lebih
tepat sasaran. Dengan pertimbangan bukti ilmiah terbaik serta mengkaji
pelajaran dari pelaksanaan program penanggulangan wabah rabies di Bali
sampai Januari 2009, kami merekomendasikan hal-hal mendasar sebagai
berikut:
1. Tim Penanggulangan Rabies Bali diusulkan dipimpin langsung oleh
Gubernur atau Wakil Gubernur Bali dengan tim pengarah dan secretariat
eksekutif yang professional yang diberi otoritas penuh, sumber daya
manusia, dan pendanaan yang memadai. Tugas secretariat eksekutif antara
lain:
a. merencanakan program penanggulangan yang dievaluasi setiap hari
sesuai dengan perkembangan (open document)
b. mengkoordinasikan dan melaksanakan gerakan dinas dan stakeholder
teknis, baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan internasional,
termasuk mengikut-sertakan kalangan wartawan media cetak maupun
elektronik
c. Menjalin kerjasama dengan pihak luar yang tidak mengikat
2. Prinsip kerja tim adalah
a. Berbasis bukti ilmiah terbaik
b. kolaborasi lokal, nasional, dan internasional
c. dukungan teknologi modern
d. transparansi otoritas kesehatan
e. akurasi dan kecepatan media massa
3. Alternatif vaksin rabies hewan yang hanya memerlukan injeksi
tunggal perlu dipertimbangkan untuk program penanggulangan rabies di
Bali. Jika rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali karena
kesulitan untuk mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi, lebih-lebih
jika satwa liar sudah tertular, ragam vaksin rabies yang diberikan
bersama umpan makanan perlu disiapkan.
4. Standar internasional penanganan rabies pada manusia, yaitu
pemberian VAR dan SAR secara bersamaan, harus diupayakan. Persediaan
VAR dan SAR harus cukup.
5. Pemerintah Bali harus segera meminta dukungan nasional dan
internasional untuk dukungan sumber daya manusia, vaksin untuk hewan
yang lebih berdaya-guna dan VAR serta SAR.
Kiranya pemikiran ini dapat dipertimbangkan secara bijak oleh para
pengambil kebijakan di Bali, selagi rabies belum menyebar secara luas
di Bali yang akan membutuhkan biaya sangat besar untuk
mengendalikannya. Mudah-mudahan tidak terjadi “takut meketel payu
mekebyos”
Daftar Acuan (akan dilengkapi)
1. Dirjen Peternakan, 2006. Kiatvetindo Rabies. Jakarta.
2. De Mattos CA, de Mattos CC, dan Rupprecht CE. 2001. Rhabdovirus.
Dalam Dalam Knipe DMK et al. Editor. Field Virology. Lippincott,
Philadelphia. Hal: 1245-77.
3. Keputusan Menteri Pertanian No.1637.1/2008
4. Peraturan Gubernur Bali No.88/2008
5. Peraturan Bupati Badung No. 53/2008
6. OIE (2008). OIE Rabies, Indonesia. (http://www.oie.int/wahis/public.
php?page=single_report&pop= 1&reportid=7621).
7. Rose, JK dan Whitt, MA. 2001. Rhabdoviridae: The Viruses and Their
Replication. Dalam Knipe DMK et al. Editor. Field Virology. Lippincott,
Philadelphia. Hal: 1221-44.
8. Sugiyama M, Ito N, 2007. Control of rabies: Epidemiology of rabies
in Asia and development of new generation vaccines for rabies.
Comparative Immunology Microbiology & Infectious Diseases 30: 273-286.
9. Susetya H, Sugiyama M, Inagaki A, Ito N, Mudiarto G, dan Minamoto
N, 2008. Molecular epidemiology of rabies in Indonesia. Virus Research
135: 144-9.