rabu, 11 januari 2017 utama kelompok radikal gusur peran …gelora45.com/news/sp_20170112_3.pdf ·...

1
3 Suara Pembaruan Rabu, 11 Januari 2017 Utama [JAKARTA] Ancaman radi- kalisme dan ekstremisme yang telah melahirkan sikap dan perilaku intoleran di masya- rakat, diyakini akibat adanya lahan subur persemaian paham-paham tersebut di masyarakat. Kondisi kemis- kinan, kesenjangan dan ketimpangan sosial, serta ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, merupakan lahan subur berkembangnya paham dan gerakan yang dapat mengoyak integrasi dan kebi- nekaan. Hal tersebut terjadi akibat kebijakan pemerintah yang belum mampu mengatasi persoalan-persoalan sosial dan ekonomi yang sensitif di masyarakat. Pada saat yang sama, partai politik (parpol) dan organisasi massa (ormas) keagamaan moderat kurang aspiratif terhadap persoalan yang dihadapi rakyat tersebut. Kondisi tersebut membe- ri ruang bagi kelompok-ke- lompok radikal hadir di tengah-tengah masyarakat. Kelompok ini memanfaatkan situasi untuk menyebarkan paham radikalisme, dan menawarkannya sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut. Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Andreas Hugo Pareira menyatakan, dirinya sepakat, bahwa seca- ra teoretis lahan subur penye- baran radikalisme dan into- leransi adalah karena kondisi Indonesia yang masih diwar- nai kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan. “Semua penyakit itu harus diatasi, agar tidak ada lahan subur persemaian paham yang mengancam keutuhan dan integrasi bangsa,” tandasnya, di Jakarta, Rabu (11/1). Secara teoretis pula, lan- jutnya, bisa dipahami bahwa kelompok gerakan radikal hadir dan menemukan lahan subur, karena ormas keaga- maan moderat yang selama ini eksis kurang menggarap ketiga isu tersebut. “Kelompok radikal yang hadir memberi perhatian pada isu-isu itu, mengundang simpati dari rakyat yang selama ini dilan- da kemiskinan, serta meng- hadapi kesenjangan dan ketidakadilan,” lanjutnya. Kelompok gerakan radikal, menurut Andreas, secara teoretis juga mungkin mene- mukan lahan subur karena parpol dan elite politik, teru- tama di pemerintahan dan di parlemen, baik di pusat dan daerah, kerap gagal merepre- sentasikan aspirasi masyara- kat terkait tiga isu krusial tersebut. “Semua asumsi ini, seca- ra teoretis bisa saja betul. Bahwa kekuatan Islam mayo- ritas maupun parpol kurang responsif terhadap tuntutan dan persoalan yang dirasakan publik,” ujar Andreas. Namun, menurutnya, semua proses tersebut sejati- nya sudah berjalan. “Proses ekonomi, politik, maupun sosial kebudayaan, sudah berjalan normal di alam demokrasi Indonesia,” jelas- nya. Dia menambahkan, per- soalan utama adalah ada upaya delegitimasi politik yang masif untuk menjatuhkan pemerin- tahan yang sah, pemerintah yang terpilih oleh rakyat secara demokratis. Kelompok antipemerintah hanya ingin gembira karena melihat kita jatuh,” ujarnya. Kebijakan yang Bias Secara terpisah, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menilai, selama ini banyak kebijakan pemerintah yang bias mayo- ritas sehingga merugikan kehidupan kaum minoritas. Hal ini disebabkan pemerin- tah belum secara efektif mampu mengelola kebera- gaman dan kemajemukan di masyarakat. “Saya justru memandang tumbuh suburnya radikalisme di Indonesia karena kegagap- an dan kegagalan negara mengelola keberagaman dan kemajemukan menjadi aset dan kekuatan bangsa mulai dari pemerintahan yang dulu sampai sekarang,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/1). Ketika demokrasi dibuka, lanjutnya, elemen-elemen yang berpotensi radikal ber- munculan. “Kita terlalu fokus pada pembangunan ekonomi. Kita bangga dengan angka per- tumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada saat bersamaan, kita mengabaikan pemba- ngunan bangsa,” ungkap dia. Selain kegagalan negara, lanjut Syamsuddin, radikalis- me juga bertumbuh karena faktor penegakan hukum yang masih bermasalah. Menurut dia, berbagai tindakan diskri- minasi dibiarkan oleh negara, sehingga seolah-oleh mem- berikan ruang kelompok radikal bergerak. “Jadi, kalau mau menutup lahan subur radikalisme, penegakan hukum harus tegas. Kelompok radikal dan into- leran harus ditindak dan jangan dibiarkan,” tandas dia. Lebih lanjut, Syamsuddin juga mengakui bahwa radi- kalisme berpotensi muncul di daerah yang mengalami persoalan kemiskinan, kesen- jangan sosial, dan ketidaka- dilan. Namun, hal tersebut tidak otomatis. Pasalnya, gerakan radikalisme juga bisa tumbuh subur di daerah yang ekonominya maju. “Banyak faktor pemicu radikalisme. Bisa karena kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan. Namun, hal tersebut tidak otomatis. Karena, faktor penyelesaian- nya tetap pada negara. Selain mencegah kemiskinan, kesen- jangan dan ketidakadilan, juga harus bangun pendidikan kebangsaan dan konsisten menegakkan hukum,” ujarnya. Terkait pendidikan, Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya menilai, salah satu cara men- cegah radikalisme adalah pendidikan, baik yang dila- kukan secara formal maupun pembinaan masyarakat tentang kebangsaan dan nilai-nilai Pancasila. Selama ini, bangsa Indonesia berlindung di balik kesadaran semu tentang kebangsaan dan Pancasila. “Kita terlalu lama berlin- dung di balik kesadaran semu bahwa semua elemen bangsa sudah menerima dan mema- hami nilai-nilai Pancasila. Padahal itu tidak betul,” katanya. Padahal, lanjutnya, belum semua elemen masyarakat menerima dan memahami nilai-nilai Pancasila tersebut. Menurutnya, apa yang terja- di belakangan ini mengungkap kesadaran semu tersebut sehingga diskursus tentang nilai-nilai Pancasila menjadi penting. “Adanya konflik antarumat beragama, pelarangan pem- bangunan rumah ibadah, merupakan bentuk kesadaran semu yang menguak ke pub- lik, dan menjadi bom waktu,” tandas Yunarto. Karena itu, dia berpenda- pat, pendidikan nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan perlu dihidupkan lagi baik melalui pendidikan formal maupun melalui pembinaan masyarakat, termasuk dalam pendidikan agama. “Juga perlu sanksi yang tegas terhadap kelompok-kelompok radikal dan intoleran,” tandas dia. Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Jatim, KH Hasan Muttawakil Alallah, yang juga pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Zainul Hasan Genggong, Kraksaan, Kabupaten Probolinggo menggarisbawahi, bahwa kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan merupakan lahan subur bagi kelompok ormas radikal untuk menanamkan ketidakcintaan terhadap keu- tuhan tanah air, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karenanya, dia mendorong kemakmuran umat, tidak hanya oleh peme- rintah, tetapi juga oleh ormas keagamaan. “Bela negara itu sudah dituangkan dalam Resolusi Jihad yang dicetuskan para pendiri NU, organisasi kema- syarakat Islam terbesar di Indonesia ini. Karenanya, di tengah-tengah semakin gen- carnya propaganda ormas radikal dengan gerakan yang menolak pilar-pilar kebang- saan, justru para generasi muda anggota dan kader NU mesti siap di garda depan membela keutuhan NKRI. Ingat, cinta tanah air, mem- bela negeri dan demi keutuh- an NKRI adalah harga mati karena termasuk jihad fisabi- lillah,” ujarnya. Sekadar Simbol Sedangkan, mantan Wakil Ketua Umum PB NU, KH Asad Said Ali mengingatkan, kehadiran kelompok radikal, jelas-jelas hendak merusak keutuhan NKRI dengan khi- lafah. Oleh sebab itu, ulama NU dari Jatim mendesak pemerintah serius menganti- sipasi potensi perpecahan bangsa melalui isu-isu berbau SARA, khususnya keagama- an, dengan membuat regula- si baru yang lebih tegas melindungi kebinekaan masyarakat Indonesia. “Aturan main baru terka- it kerukunan beragama ini menjadi sangat penting untuk membina kebhinekaan kita,” ujarnya. Menurut dia, model pem- binaan kerukunan beragama dengan cara simbolisasi dan penyelenggaraan forum-forum keagamaan saat ini sudah tidak relevan. Mengingat, pascareformasi, komitmen kebinekaan masyarakat Indonesia menjadi lemah. Sinyalemen itu setidaknya terlihat dari gelombang prak- tik demokrasi yang cenderung kebablasan sehingga memun- culkan politik identitas dan pragmatisme,” tandas dia. Asad menilai, pemben- tukan forum-forum komuni- kasi lintas keagamaan fakta- nya tidak mempan memben- dung pengkotak-kotakan oleh kelompok tertentu. “Ini harus dengan aturan, undang-undang atau peraturan dan kesepakat- an bersama lainnya. Kalau ini negara segera memelopori dengan aturan, NU tentu akan menjaganya dengan visi keadilan dan juga kemasla- hatan bangsa,” tandas dia. Ia juga mengingatkan, bahwa konsep penguatan dan peneguhan dukungan NKRI oleh NU sudah menjadi topik bahasan dalam Pleno PBNU di Yogyakarta, pada 2012. Saat itu telah muncul perintah para kiai agar NU memper- siapkan kaderisasi yang militan guna mengantisipasi krisis ideologi yang bakal mencuat pada kurun 2016- 2017. [MJS/YUS/ARS/A-17] Kelompok Radikal Gusur Peran Parpol dan Ormas Keagamaan ANTARA Bupati Klaten Sri Suhartini terjaring operasi tangkap tangan KPK akhir Desember lalu, karena diduga menerima suap. Budaya korupsi yang masih membelenggu elite parpol, termasuk yang duduk di pemerintahan, mereduksi peran parpol sebagai penyambung lidah aspirasi publik. Kondisi itu memberi ruang bagi kelompok-kelompok intoleran menyebarkan pahamnya, sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. FOTO-FOTO:DOK SP Andreas Hugo Pareira Syamsuddin Haris Yunarto Wijaya Asad Said Ali

Upload: hoangthien

Post on 12-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3Sua ra Pem ba ru an Rabu, 11 Januari 2017 Utama

[JAKARTA] Ancaman radi-kalisme dan ekstremisme yang telah melahirkan sikap dan perilaku intoleran di masya-rakat, diyakini akibat adanya lahan subur persemaian paham-paham tersebut di masyarakat. Kondisi kemis-kinan, kesenjangan dan ketimpangan sosial, serta ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, merupakan lahan subur berkembangnya paham dan gerakan yang dapat mengoyak integrasi dan kebi-nekaan.

Hal tersebut terjadi akibat kebijakan pemerintah yang belum mampu mengatasi persoalan-persoalan sosial dan ekonomi yang sensitif di masyarakat. Pada saat yang sama, partai politik (parpol) dan organisasi massa (ormas) keagamaan moderat kurang aspiratif terhadap persoalan yang dihadapi rakyat tersebut.

Kondisi tersebut membe-ri ruang bagi kelompok-ke-lompok radikal hadir di tengah-tengah masyarakat. Kelompok ini memanfaatkan situasi untuk menyebarkan paham radikalisme, dan menawarkannya sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut.

K e t u a D P P P a r t a i Demokra s i I ndones i a Perjuangan (PDI-P), Andreas Hugo Pareira menyatakan, dirinya sepakat, bahwa seca-ra teoretis lahan subur penye-baran radikalisme dan into-leransi adalah karena kondisi Indonesia yang masih diwar-nai kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan. “Semua penyakit itu harus diatasi, agar tidak ada lahan subur persemaian paham yang mengancam keutuhan dan integrasi bangsa,” tandasnya, di Jakarta, Rabu (11/1).

Secara teoretis pula, lan-jutnya, bisa dipahami bahwa kelompok gerakan radikal hadir dan menemukan lahan subur, karena ormas keaga-maan moderat yang selama ini eksis kurang menggarap ketiga isu tersebut. “Kelompok radikal yang hadir memberi perhatian pada isu-isu itu, mengundang simpati dari rakyat yang selama ini dilan-da kemiskinan, serta meng-hadapi kesenjangan dan ketidakadilan,” lanjutnya.

Kelompok gerakan radikal, menurut Andreas, secara teoretis juga mungkin mene-mukan lahan subur karena parpol dan elite politik, teru-tama di pemerintahan dan di parlemen, baik di pusat dan daerah, kerap gagal merepre-sentasikan aspirasi masyara-kat terkait tiga isu krusial tersebut.

“Semua asumsi ini, seca-

ra teoretis bisa saja betul. Bahwa kekuatan Islam mayo-ritas maupun parpol kurang responsif terhadap tuntutan dan persoalan yang dirasakan publik,” ujar Andreas.

Namun, menurutnya, semua proses tersebut sejati-nya sudah berjalan. “Proses ekonomi, politik, maupun sosial kebudayaan, sudah berjalan normal di alam demokrasi Indonesia,” jelas-nya.

Dia menambahkan, per-soalan utama adalah ada upaya delegitimasi politik yang masif untuk menjatuhkan pemerin-tahan yang sah, pemerintah yang terpilih oleh rakyat secara demokratis. Kelompok antipemerintah hanya ingin gembira karena melihat kita jatuh,” ujarnya.

Kebijakan yang BiasSecara terpisah, peneliti

senior Lembaga I lmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menilai, selama ini banyak kebijakan pemerintah yang bias mayo-ritas sehingga merugikan kehidupan kaum minoritas. Hal ini disebabkan pemerin-tah belum secara efektif mampu mengelola kebera-gaman dan kemajemukan di masyarakat.

“Saya justru memandang tumbuh suburnya radikalisme di Indonesia karena kegagap-an dan kegagalan negara mengelola keberagaman dan kemajemukan menjadi aset dan kekuatan bangsa mulai dari pemerintahan yang dulu sampai sekarang,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/1).

Ketika demokrasi dibuka, lanjutnya, elemen-elemen yang berpotensi radikal ber-munculan.

“Kita terlalu fokus pada pembangunan ekonomi. Kita bangga dengan angka per-tumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada saat bersamaan, kita mengabaikan pemba-ngunan bangsa,” ungkap dia.

Selain kegagalan negara, lanjut Syamsuddin, radikalis-me juga bertumbuh karena faktor penegakan hukum yang masih bermasalah. Menurut

dia, berbagai tindakan diskri-minasi dibiarkan oleh negara, sehingga seolah-oleh mem-berikan ruang kelompok radikal bergerak.

“Jadi, kalau mau menutup lahan subur radikalisme, penegakan hukum harus tegas. Kelompok radikal dan into-leran harus ditindak dan jangan dibiarkan,” tandas dia.

Lebih lanjut, Syamsuddin juga mengakui bahwa radi-kalisme berpotensi muncul di daerah yang mengalami persoalan kemiskinan, kesen-jangan sosial, dan ketidaka-dilan. Namun, hal tersebut tidak otomatis. Pasalnya, gerakan radikalisme juga bisa tumbuh subur di daerah yang

ekonominya maju.“Banyak faktor pemicu

radikalisme. Bisa karena kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan. Namun, hal tersebut tidak otomatis. Karena, faktor penyelesaian-nya tetap pada negara. Selain mencegah kemiskinan, kesen-jangan dan ketidakadilan, juga harus bangun pendidikan kebangsaan dan konsisten menegakkan hukum,” ujarnya.

Terkait pendidikan, Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya menilai, salah satu cara men-cegah radikalisme adalah pendidikan, baik yang dila-kukan secara formal maupun pembinaan masyarakat tentang

kebangsaan dan nilai-nilai Pancasila. Selama ini, bangsa Indonesia berlindung di balik kesadaran semu tentang kebangsaan dan Pancasila.

“Kita terlalu lama berlin-dung di balik kesadaran semu bahwa semua elemen bangsa sudah menerima dan mema-hami nilai-nilai Pancasila. Padahal itu tidak betul,” katanya.

Padahal, lanjutnya, belum semua elemen masyarakat menerima dan memahami nilai-nilai Pancasila tersebut. Menurutnya, apa yang terja-di belakangan ini mengungkap kesadaran semu tersebut sehingga diskursus tentang nilai-nilai Pancasila menjadi penting.

“Adanya konflik antarumat beragama, pelarangan pem-bangunan rumah ibadah, merupakan bentuk kesadaran semu yang menguak ke pub-lik, dan menjadi bom waktu,” tandas Yunarto.

Karena itu, dia berpenda-pat, pendidikan nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan perlu dihidupkan lagi baik melalui pendidikan formal maupun melalui pembinaan masyarakat, termasuk dalam pendidikan agama. “Juga perlu sanksi yang tegas terhadap kelompok-kelompok radikal dan intoleran,” tandas dia.

Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Jatim, KH Hasan Muttawakil Alallah, yang juga pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Zainul Hasan Genggong, Kraksaan, Kabupaten Probolinggo menggarisbawahi, bahwa kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan merupakan lahan subur bagi kelompok ormas radikal untuk menanamkan ketidakcintaan terhadap keu-tuhan tanah air, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karenanya, dia mendorong kemakmuran umat, tidak hanya oleh peme-rintah, tetapi juga oleh ormas keagamaan.

“Bela negara itu sudah dituangkan dalam Resolusi Jihad yang dicetuskan para pendiri NU, organisasi kema-

syarakat Islam terbesar di Indonesia ini. Karenanya, di tengah-tengah semakin gen-carnya propaganda ormas radikal dengan gerakan yang menolak pilar-pilar kebang-saan, justru para generasi muda anggota dan kader NU mesti siap di garda depan membela keutuhan NKRI. Ingat, cinta tanah air, mem-bela negeri dan demi keutuh-an NKRI adalah harga mati karena termasuk jihad fisabi-lillah,” ujarnya.

Sekadar SimbolSedangkan, mantan Wakil

Ketua Umum PB NU, KH Asad Said Ali mengingatkan, kehadiran kelompok radikal, jelas-jelas hendak merusak keutuhan NKRI dengan khi-lafah. Oleh sebab itu, ulama NU dari Jatim mendesak pemerintah serius menganti-sipasi potensi perpecahan bangsa melalui isu-isu berbau SARA, khususnya keagama-an, dengan membuat regula-si baru yang lebih tegas melindungi kebinekaan masyarakat Indonesia.

“Aturan main baru terka-it kerukunan beragama ini menjadi sangat penting untuk membina kebhinekaan kita,” ujarnya.

Menurut dia, model pem-binaan kerukunan beragama dengan cara simbolisasi dan penyelenggaraan forum-forum keagamaan saat ini sudah tidak relevan. Mengingat, pascareformasi, komitmen kebinekaan masyarakat Indonesia menjadi lemah. Sinyalemen itu setidaknya terlihat dari gelombang prak-tik demokrasi yang cenderung kebablasan sehingga memun-culkan politik identitas dan pragmatisme,” tandas dia.

Asad menilai, pemben-tukan forum-forum komuni-kasi lintas keagamaan fakta-nya tidak mempan memben-dung pengkotak-kotakan oleh kelompok tertentu. “Ini harus dengan aturan, undang-undang atau peraturan dan kesepakat-an bersama lainnya. Kalau ini negara segera memelopori dengan aturan, NU tentu akan menjaganya dengan visi keadilan dan juga kemasla-hatan bangsa,” tandas dia.

Ia juga mengingatkan, bahwa konsep penguatan dan peneguhan dukungan NKRI oleh NU sudah menjadi topik bahasan dalam Pleno PBNU di Yogyakarta, pada 2012. Saat itu telah muncul perintah para kiai agar NU memper-siapkan kaderisasi yang militan guna mengantisipasi krisis ideologi yang bakal mencuat pada kurun 2016-2017.[MJS/YUS/ARS/A-17]

Kelompok Radikal Gusur Peran Parpol dan Ormas Keagamaan

antara

Bupati Klaten Sri Suhartini terjaring operasi tangkap tangan KPK akhir Desember lalu, karena diduga menerima suap. Budaya korupsi yang masih membelenggu elite parpol, termasuk yang duduk di pemerintahan, mereduksi peran parpol sebagai penyambung lidah aspirasi publik. Kondisi itu memberi ruang bagi kelompok-kelompok intoleran menyebarkan pahamnya, sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat.

foto-foto:DoK sP

Andreas Hugo Pareira Syamsuddin Haris Yunarto Wijaya Asad Said Ali