pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/abstrak-sejarah... · diinginkan...
TRANSCRIPT
SEJARAH
PROVINSI JAWA BARAT
Jilid 1
Pemerintah Provinsi Jawa Barat
2011
SEJARAH
PROVINSI JAWA BARAT
Ketua Tim Penulis:
Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M. S.
Anggota:
Dr. Toni Djubiantono, DEA
Prof. Dr. Dadan Wildan, M. Hum.
Dra. Etty Saringendyanti, M. Hum.
Drs. Reiza D. Dienaputra, M. Hum.
Kunto Sofianto, Ph.D.
Drs. Awaludin Nugraha, M. Hum.
Miftahul Falah, S. S., M. Hum.
iii
PRAKATA
Berbagai tumpukan peristiwa yang datang bertubi-tubi melanda persada
tanah air tercinta ini, bisa saja menyebabkan sekian banyak peristiwa yang
memberi arti bagi kehidupan kebangsaan terlewat saja dalam ingatan. Bukankah
dalam tumpukan peristiwa dalam suasana kekinian, masa lalu bisa saja terasa
hanya lewat seketika dalam ingatan, sedangkan masa depan bisa terasa sebagai
mengimbau-imbau dengan berbagai corak janji dan ancaman. Peristiwa dan
bahkan juga perubahan sosial-politik di tanah air yang datang silih berganti dapat
menyebabkan kita lupa pada berbagai sumber kearifan yang terpancar dari
peristiwa yang pernah dialami. Begitulah, dalam arus hasrat reformasi, yang ingin
menciptakan tatanan sosial-politik yang sesuai dengan idaman bangsa, betapa
mudahnya bangsa tergelincir pada pertengkaran yang menjengkelkan. Dalam
kecenderungan seperti ini mestikah diherankan kalau salah satu perdebatan kreatif
yang terjadi pada saat bangsa sedang mengayuh dalam arus kemerdekaan bangsa
yang baru didapatkan, terlupakan begitu saja.
Salah satu perdebatan yang kreatif itu terjadi antara dua tokoh Proklamator
Kemerdekaan Bangsa, Sukarno dan Hatta. Peristiwa ini bermula ketika Presiden
Sukarno, yang telah semakin tidak sabar dengan ketidakstabilan politik, yang
ditandai oleh jatuh bangunnya kabinet dan bahkan juga keresahan berbagai daerah
yang bahkan dinilainya telah mengancam keutuhan negara pada tahun 1950-an.
Dalam suasana ketidakstabilan politik sedang menjadi-jadi dan ketika perjuangan
untuk membawa kembali Irian Barat ke dalam “pangkuan Ibu Pertiwi” sedang
menaik pula Bung Karno pun mengajak bangsa untuk mendapatkan kembali élan
revolusi yang dianggapnya telah memudar. Dalam pidato-pidatonya, bahkan juga
dalam tindakannya, ia menekankan bahwa revolusi Indonesia masih harus terus
berjalan. Revolusi adalah pantulan patriotisme ketika ketika segala hal yang
diinginkan bagi kehidupan sosial dan kenegaraan harus dijalankan dengan tempo
yang serba cepat. Revolusi adalah ketika “penghancuran dan pembangunan”,
herordening, harus dijalankan tanpa henti. Akan tetapi , timbul juga pertanyaan
iv
apakah kembali ke suasana revolusi yang serba-cepat harus berarti mengabaikan
keharusan konstitusional dan segala kepastian?
Ketika itulah Bung Hatta, yang akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil
Presiden, mengecam seruan serba revolusioner yang dianjurkan Presiden Sukarno.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai penerima doctor honoris-causa, di
Universitas Gadjah Mada (Desember 1956) yang juga dihadiri Presiden Sukarno,
Bung Hatta menolak doktrin “revolusi tanpa henti”, sesuatu yang kemudian malah
dirumuskan Bung Karno sebagai “ the summary of many revolutions in one
generation”, dengan mengutip pendapat seorang ilmuwan asing. Dalam pidato
pengukuhan yang sangat bernas dan yang praktis merupakan ikhtisar pemikiran
tentang berbagai masalah kenegaraan itu Bung Hatta antara lain mengatakan
bahwa adalah suatu kekeliruan untuk membangkitkan suasana revolusi ketika roda
pembangunan telah harus dijalankan. Revolusi, katanya, harus berakhir dalam
beberapa minggu atau beberapa bulan saja, sebab revolusi pada dasarnya
membangkitkan suasana – sambil mengutip ucapan Nietzche yang terkenal--
Umwertung aller Werte, pembongkaran segala nilai-nilai. Revolusi, kata Bung
Hatta, harus segera diakhiri dan tahap “konsolidasi yang revolusioner” harus
dimasuki. Maka perdebatan terbuka antara dua sahabat, yang telah mengakhiri
mitos “dwitunggal”, terjadi. Perdebatan itu berlanjut terus, meskipun Bung Hatta
telah menjadi ”warga negara biasa” dan tidak lagi menjawab tantangan Bung
Karno. Sampai saat ia harus mengakhiri jabatannya sebagai Presiden, Bung Karno
hampir-hampir tak pernah lupa membalas dan menyerang balik kritik yang sempat
dilancarkan Bung Hatta, sahabat akrabnya yang sampai akhir hayatnya tetap
dicintainya.
Perdebatan itu terjadi ketika kedaulatan negara telah didapatkan, setelah
lebih dulu bangsa harus mengalami gejolak revolusi yang keras dan pada saat
negara kesatuan telah kembali berdiri setelah sempat mengalami situasi ketika
Indonesia terdiri atas sekian banyak negara bagian. Pada saat berbagai keharusan
struktural yang dibayangkan ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan
dan kemerdekaan harus dipertahankan dengan “darah dan air mata”, mestikah
suasana revolusi itu dihidupkan kembali?
v
Perdebatan intelektual dan ideologis bisa saja tidak menemukan keputusan
definitif yang menentukan, tetapi revolusi nasional adalah pengalaman sejarah
yang tidak terlupakan. Ketika hasrat kemerdekaan telah menemukan salurannya
dan pada saat semangat patriotisme yang telah ditempa oleh kesadaran
nasionalisme yang kental tidak lagi terbendung, ketika itu revolusi nasional tidak
lagi terelakkan , bahkan dengan begitu saja menampilkan diri sebagai keharusan
sejarah. Ketika itulah, ketika revolusi telah dilancarkan, segala hal harus
dijalankan serba cepat dan serba- revolusioner. Segala keteraturan yang sistematis,
apalagi yang bercorak protokoler menjadi buyar dan tak lagi bisa berbunyi apa-
apa.
Seandainya sejarah revolusi bangsa ingin dikisahkan, rekonstruksi sejarah
seperti apakah yang tampak kalau bukan serangkaian “gerak cepat” yang heroik
dan patriotik? Begitulah segera setelah Proklamasi Kemerdekaan disampaikan
Sukarno-Hatta, “atas nama bangsa Indonesia”, segala hal mengalir begitu saja
seirama dengan semangat revolusi. Sehari setelah Proklamasi, pada tanggal 18
Agustus 1945 dengan begitu saja Sukarno dan Hatta dipilih sebagai Presiden dan
Wakil Presiden dan di hari yang sama rancangan Undang-Undang Dasar, yang
telah dirancang sebulan sebelumnya, diresmikan pula sebagai UUD dari negara
yang merdeka. Jadi dalam masa dua hari saja segala perlengkapan dari suatu
negara telah dipenuhi—pemerintahan, wilayah, dan undang-undang dasar. Hanya
dalam sehari saja beberapa perubahan kecil tetapi fundamental dilakukan terhadap
UUD. Adalah suatu sikap patriotisme yang kental dan rasa persatuan yang
mendalam memungkinkan perubahan itu dilakukan terhadap hasil kompromi yang
sempat melalui perdebatan panjang lebar. Dalam suasana revolusioner ini pula,
pada keesokan harinya, pada tanggal 19 Agustus 1945 pembagian wilayah
administratif Republik Indonesia diumumkan. Dalam pengumuman itu dinyatakan
bahwa secara administratif pemerintahan Republik Indonesia terdiri atas delapan
provinsi. Salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat. Ancaman terhadap negara
yang diproklamirkan akan datang, tetapi secara formal sebuah negara-bangsa
dalam bentuk republik yang demokratis telah terwujud. Maka “terjadilah apa yang
harus terjadi”. Akhirnya setelah melalui “perjuangan dan diplomasi”, yang
vi
meminta korban sekian banyak patriot bangsa ,kedaulatan negarapun mendapat
pengakuan internasional.
Sekarang—sekian puluh tahun kemudian—terasa juga betapa pengorbanan
demi kemerdekaan dengan begitu saja bisa melupakan hasrat untuk mendapatkan
jatah dalam pembagian kekuasaan. Di samping itu tampak dan terasa juga betapa
mendasarnya perubahan pembagian wilayah administratif yang telah terjadi.
Namun, Jawa Barat adalah satu dari sedikit provinsi yang sampai kini masih
bertahan sebagai suatu kesatuan adminsitratif, betapapun sebagian dari wilayah
administratif yang asli telah juga mengalami perubahan. Meskipun demikian
tanggal 19 Agustus 1945 adalah tanggal kelahiran provinsi yang tak mungkin
terlupakan, betapapun berbagai perubahan telah terjadi dan bahkan harus terjadi.
Kelahiran Provinsi Jawa Barat,yang diumumkan dua hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan , senafas dengan kegairahan nasionalisme yang telah melahirkan
NKRI yang revolusioner. Kelahiran ini adalah juga pantulan yang otentik dari
sejarah pergerakan kebangsaan. Bukankah kegelisahan dan cita-cita nasionalisme
pada masa penjajahan dengan lantang dan keras digaungkan dari Kota Bandung,
yang nantinya menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat, betapapun kota ini selalu
ingin ditonjolkan kekuasaan kolonial sebagai Parijs van Java.
Akan tetapi, bagaimanakah sejarah provinsi yang dilahirkan dalam denyut
revolusi ini bisa direkonstruksi dan dipelajari? Provinsi adalah sebuah kesatuan
administratif, yang sengaja dibuat demi kelancaran dan ketertiban roda
pemerintahan. Sementara itu, sejarah , sebagai usaha rekonstruksi dari dinamika
masyarakat dalam suatu rentangan waktu, tidak bisa dengan begitu saja terkurung
oleh batas-batas keharusan administrasi pemerintahan. Batas teoretis yang bisa
dikenakan pada uraian sejarah, yang ingin menyelusuri perjalanan masyarakat
dalam suatu rintangan waktu, bukannya yang terpaut pada suatu peristiwa yang
khusus—suatu événement, kata orang sana—hanyalah yang bersifat geografis,
yang longgar. Karena itulah ketika hasrat menulis sejarah Provinsi Jawa Barat
telah direncanakan, maka sikap awal dan mendasar yang harus dibuat ialah
sasaran penelitian yang bersifat geografis, yaitu belahan Barat dari Pulau Jawa
atau wilayah yang dikenal sebagai Tatar Sunda..Oleh karena itu, istilah Tatar
Sunda dipergunakan untuk menyebut wilayah yang menjadi obyek penelitian, dari
vii
masa prasejarah hingga lahirnya istilah Provinsi Jawa Barat dan istilah Provinsi
Jawa Barat dipergunakan dari kelahiran provinsi tersebut, 19 Agustus 1945.
Dengan sikap akademis ini maka sejarah Provinsi Jawa Barat bisa saja
dimulai sejak masa prasejarah—suatu zaman yang belum memberikan bukti-bukti
tertulis – sampai masa yang telah menghasilkan bukti-bukti tertulis, meskipun
hanya secercah saja. Ketika inilah kerajaan Tarumanegara, yang membayangkan
suasana kebudayaan Hindu telah berdiri. Selanjutnya sejarah bisa berkisah tentang
Kerajaan Sunda yang pusatnya berpindah-pindah mulai dari Galuh, Kawali hingga
berakhir di Pakuan Pajajaran. Tidak lama kemudian, suasana apa yang pernah
disebut seorang ahli sejarah sosial Belanda, B. Schrieke, sebagai “ the race with
Christianity” terjadi juga di Tatar Sunda. Ketika Demak muncul sebagai Kerajaan
Islam pertama di Jawa, konflik pun membayang-bayangi Kerajaan Sunda yang
beragama Hindu. Pada masa itu pula kekuatan Barat menyentuh bagian barat
Pulau Jawa ini. Pada tahun 1511 Portugis mendarat di Banten.
Pada tahun 1579, Kerajaan Sunda sebagai sebuah kekuatan politik hanya
tinggal dalam kenangan dan pengaruh Islampun masuk melalui dua kerajaan besar
yang muncul kemudian yaitu Cirebon dan Banten. Kaum menak yang menjadi
penerus Kerajaan Sunda, di Sumedanglarang dan Galuh, terpaksa harus bersaing
dengan dua kerajaan besar yang sekaligus juga menjadi penyebar Islam tersebut.
Awal abad ke-17, Mataram –Islam telah tampil sebagai sebuah kekuatan
besar. Kota-kota dagang di pantai Utara telah jatuh ke tangan kesultanan yang
berpusat di pedalaman ini. Dalam gerak ekspansinya wilayah Barat pun berada di
bawah kekuasannya. Pengaruh Mataram selama setengah abad dari tahun 1620-an
hingga 1677 menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang signifikan. Terjadilah
birokratisasi dengan adanya pengangkatan para Bupati di Priangan oleh Sultan
Agung dan pelanjutnya.
Akan tetapi, konflik kekuasaan pun tak terlelakkan juga. Karena pada
tahun 1596 Cornelis de Houtman telah mendarat di Banten. Ketika para pedagang
dan advonturir Belanda mendiktekan VOC konsolidasi kekuatan pun bermula dan
semakin keras. Pada tahun 1677 VOC bahkan berhasil menggeser posisi Sultan
Mataram sebagai atasan para Bupati Priangan. Sejak tahun itu pula apa yang
disebut sebagai Preangerstelsel diberlakukan. Nanti ketika waktunya telah datang,
viii
pada tahun 1830, sistem ini menjadi model bagi Culturstelsel alias “tanam paksa”
dioperasikan. Sistem yang menguntungkan Belanda tetapi selalu diingat sebagai
menyengsarakan rakyat barulah berakhir tahun 1870, ketika sistem eksploitasi
liberal diperkenalkan.
Pada tahun 1799 VOC, yang semakin bangkrut, antara lain karena korupsi
yang merajalela, digantikan oleh Hindia Belanda—maka semua negara kolonial
yang resmi telah berdiri. Sepanjang abad ke-19 pemerintah kolonial ini
melanjutkan proses pasifikasi. Para bupati pun dijadikan ambtenar yang digaji
Belanda. Berkat pendidikan Barat yang diperkenalkan sejak akhir abad ke-19,
perubahan sosial yang deras pun terjadi juga. Menjelang abad ke- 20 kaum
intelektual, termasuk menak intelektual, telah mulai memperlihatkan dirinya. Di
kalangan merekalah bemula pergerakan nasional. Pada gilirannya organisasi
pergerakan dan para founding fathers banyak digodok di Kota Bandung sebagai
kawah candradimuka. Di kalangan merekalah cita-cita kemerdekaan bangsa
dicetuskan
Hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan,
tanggal 19 Agustus 1945 Provinsi Jawa Barat pun dilahirkan. Meskipun istilah
Provinsi West Java sudah ada sejak 1 Januari 1926, tetapi wilayah ini bukanlah
Provinsi Jawa Barat, sebagai bagian dari NKRI. Pembentukan Provincie West
Java yang bersamaan dengan Province Midden Java dan Oost Java itu,
dimaksudkan untuk operasionalisasi UU Otonomi daerah, demi kesejahteraan
negara kolonial. Karena itulah tidak ada provinsi di Indonesia yang mengambil
tanggal Hari Jadi –nya dari peristiwa sebelum proklamasi kemerdekaan, kecuali
DKI Jakarta. Hari Jadi Kota Jakarta (22 Juni 1527) adalah juga tanggal
peringatan ketika Fatahillah ,Sang Pahlawan, berhasil mengalahkan Portugis, yang
ingin menjajah. Jadi adalah juga sebuah tanggal simbolik yang tak bisa dilupakan.
Bukankah Jayakarta berarti “kota kemenangan”? Provinsi DKI adalah juga
perluasan dan penjelmaan dari Kota Jakarta.
Sejarahpun terus mengalir dari awal kemerdekaan hingga melewati Masa
Orde Lama, Orde Baru, dan ditutup oleh Masa Reformasi. Provinsi Jawa Barat
pun ikut mengalami reformasi karena pada tanggal 4 Oktober 2000, wilayah
Banten memisahkan diri menjadi Provinsi Banten. Pemekaran kabupaten dan kota
ix
juga terus berlangsung hingga dekade pertama abad ke-21, seiring dengan
berlakunya UU Otonomi Daerah.
Begitulah sekilas isi Sejarah Provinsi Jawa Barat ini. Isi buku ini tidak
jauh berbeda dari Sejarah Tatar Sunda, yang diterbitkan pada tahun 2003. Buku
ini, sesungguhnya merupakan Edisi Revisi dari buku Sejarah Tatar Sunda itu.
Revisi dilakukan oleh sebagian penulis buku Sejarah Tatar Sunda, baik yang
menyangkut isi, maupun koreksi tata penulisan. Selain itu, juga dilakukan
penambahan data di sana-sini yang dianggap perlu, sedangkan rentangan waktu
sejarah pun dilanjutkan sampai tahun 2010.
Tanpa berpretensi buku ini sebagai buku sejarah yang lengkap dan
sempurna, kami berharap semoga buku ini bisa juga memenuhi kebutuhan
masyarakat luas yang membutuhkan informasi sejarah yang bisa
dipertanggungjawabkan secara akademis dan etis.
Dalam kesempatan ini kami, sebagai editor, ingin mengucapkan terima
kasih kepada para penulis, yang sejak awal telah bersedia untuk bekerja keras
dengan penuh dedikasi. Meskipun sebagian penulis dari edisi pertama tidak lagi
ikut terus dalam penulisan tahap akhir hingga menjadi buku, jasa mereka
senantiasa dikenang dan dihargai. Bagaimanapun juga buku ini ditulis
berdasarkan buku Sejarah Tatar Sunda.
Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan khusus kepada Bapak
Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan Lc., yang sejak awal mendukung
sepenuhnya usaha penerbitan buku ini. Semoga dukungan ini dijadikan amal
jariyah oleh Allah SWT. Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu
dalam prakata ini. Mereka telah banyak membantu Tim Penulis,selama penelitian,
penulisan hingga penerbitan buku ini.
Akhirnya, kami berharap semoga khalayak pembaca dapat memberikan
saran, masukan, kritikan atas buku ini. Ibarat pepatah lama , “tak ada gading yang
tak retak”, buku ini pun pasti juga mengandung kelemahan, baik dari segi isi,
maupun cara penyampaian.
x
Prof.Dr. Nina Herlina Lubis, M. S
SAMBUTAN GUBERNUR JAWA BARAT
DAFTAR ISI
Hlm.
PRAKATA ………………………………………………………………….. iii
SAMBUTAN GUBERNUR JAWA BARAT ……………………………… xiii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xiv
DAFTAR FOTO …………………………………………………………... xvii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xx
BAB I : MASA PRASEJARAH ……….. ……………………………… 1
A. Mitos dan Sejarah …………………………………………………. 1
B. Zaman Es ………………………………………………………….. 3
C. Fosil Binatang dan Manusia Purba .................................................... 5
D. Budaya Prasejarah ............................................................................. 14
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan ............................... 16
2. Masa Bercocok Tanam .................................................................. 23
a. Alat-Alat Neolotik .................................................................... 25
xi
b. Budaya Megalitik .................................................................... 29
c. Tradisi Gerabah ....................................................................... 34
d. Perhiasan .................................................................................. 37
3. Masa Perundagian ………………………………………………. 37
BAB II : KERAJAAN KUNO …………………………………………….. 46
A. Pendahuluan ……………………………………………………….. 46
B. Zaman Pra-Tarumanagara …………………………………………. 51
C. Kerajaan Tarumanagara ………………………………………….... 54
1. Kehidupan Masyarakat …………………………………………. 63
2. Agama …………………………………………………………... 68
D. Kerajaan Sunda ……………………………………………………. 71
1. Struktur Kerajaan dan Birokrasi ………………………………… 100
2. Kehidupan Masyarakat …………………………………………. 102
3. Perekonomian dan Perdagangan ………………………………… 103
4. Agama dan Budaya ……………………………………………… 108
a. Agama ………………………………………………………… 108
b. Budaya ………………………………………………………. 113
c. Peninggalan Arkeologis …………………………………….... 118
A. Percandian ………………………………………………... 119
B. Bangunan Suci Tradisi Megalitik ………………………… 145
BAB III : ISLAM, KESULTANAN, DAN KABUPATEN …………….. 176
A. Masuk dan Penyebaran Islam di Tatar Sunda .................................. 176
B. Kesultanan Cirebon .......................................................................... 188
1. Cirebon Pusat Islamisasi Tatar Sunda ........................................... 188
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesultanan Cirebon ................. 193
C. Kesultanan Banten ............................................................................ 223
1. Banten Pusat Kekuasaan dan Niaga Antarbangsa ........................ 223
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesultanan Banten ................... 229
3. Konflik Banten dengan Kompeni (VOC) …………………….... 242
D. Pembentukan Kabupaten-kabupaten di Priangan hingga Jatuh
ke Tangan VOC ……………………………………………………. 262
BAB IV : PERKEMBANGAN AWAL KEKUASAAN EROPA ……… 286
A. Kedatangan Orang-orang Eropa ……………………………......... 286
B. Perluasan Kekuasaan Orang Eropa ……………………………….. 292
1. Jatuhnya Jayakarta ke Tangan VOC ……………………………. 293
2. Pengaruh VOC di Banten dan Cirebon …………………………. 297
xii
3. Perkembangan Awal Preangerstelsel ……………………………. 305
C. Reaksi terhadap Perluasan Kekuasaan Eropa ……………………… 313
D. Kehidupan Perekonomian …………………………………………. 328
1. Pertanian dan Perdagangan ……………………………………… 328
2. Kebijakan VOC di Bidang Ekonomi ……………………………. 333
a. Penanaman Wajib Komoditas Perdagangan ………………… 333
b. Penanaman Wajib Kopi ………………………………………. 341
E. Kehidupan Sosial Budaya …………………………………………. 350
1. Demografi dan Struktur Sosial …………………………………. 350
2. Kehidupan Keagamaan dan Kepercayaan ……………………… 360
3. Bahasa, Tulisan, dan Kesusastraan ……………………………… 364
BAB V : EKSPLOITASI KOLONIAL, GERAKAN SOSIAL,
DAN PERUBAHAN MASYARAKAT ………………………. 375
A. Perubahan Politik dan Sistem Pemerintahan ………………………. 375
1. Banten …………………………………………………………... 383
2. Priangan ………………………………………………………… 388
3. Cirebon ………………………………………………………….. 395
B. Kehidupan Perekonomian …………………………………………. 397
1. Sistem Liberal, Undang-Undang Agraria, dan Perkebunan …….. 397
2. Reorganisasi Priangan ………………………………………….. 406
C. Gerakan Sosial …………………………………………………….. 409
1. Gerakan Rakyat Cirebon (1805-1818) …………………………. 409
2. Gerakan Raksa Praja (1842) ……………………………………. 430
3. Gerakan Nyi Aciah (1870-1871) ………………………………… 448
4. Gerakan Perlawanan di Tanah Partikelir ……………………….. 451
5. Gerakan di Cikandi Udik (1845) ……………………………….. 453
6. Gerakan di Ciomas (1886) ……………………………………… 456
7. Gerakan Kiyai Hasan Maulani dari Lengkong (1842) ………….. 460
8. Gerakan di Cilegon (1888) ……………………………………… 468
9. Gerakan Haji Hasan Cimareme 1919 …………………………… 484
D. Kehidupan Sosial Budaya ………………………………………… 488
1. Agama, Akulturasi, Transportasi, dan Kependudukan …………. 488
2. Kesenian ………………………………………………………… 498
3. Status Sosial Kaum Wanita ……………………………………... 502
xiii
DAFTAR FOTO
Hlm.
Foto 1 : Batu Nangtung di Kampung Selareuma Sumedang ……………… 32
Foto 2 : Prasasti Ciaruteun ………………………………………………… 56
Foto 3 : Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah) ……………………………… 57
Foto 4 : Prasasti Pasir Koleangkak ………………………………………… 58
Foto 5 : Prasasti Tugu ………………………………………………………. 60
Foto 6 : Prasasti Cidanghiang ……………………………………………… 61
Foto 7 : Prasasti Pasir Awi ………………………………………………… 61
Foto 8 : Prasasti Kawali …………………………………………………… 79
Foto 9 : Prasasti Batu Tulis sekitar Tahun 1920 …………………………… 83
Foto 10 : Naskah Perjanjian Kerajaan Sunda dengan Portugis ...................... 98
Foto 11 : Candi Jiwa, Batujaya, Karawang ………………………………… 122
Foto 12 : Aneka Manik-Manik ……………………………………………… 123
Foto 13 : Candi Blandongan ………………………………………………… 124
Foto 14 : Votive Tablet ................................................................................... 125
Foto 15 : Arca Wisnu Cibuaya ....................................................................... 127
Foto 16 : Candi Lemah Duwur Lanang .......................................................... 128
Foto 17 : Fragmen Arca Raksasa dan Batu Bergores ………………………. 129
Foto 18 : Candi Bojongmenje Setelah Rekonstruksi ………………………. 132
Foto 19 : Yoni di Reruntuhan Candi di Indihiang ………………………….. 136
Foto 20 : Candi Rajagwesi, Banjar, Ciamis ………………………………... 136
Foto 21 : Altar-Altar Candi Pananjung, Pangandaran ……………………… 139
Foto 22 : Arca Nadi (Kiri) dan Yoni (Kanan) di Pananjung (Pangandaran) .. 141
Foto 23 : Arca Nadi dari Candi Ronggeng …………………………………. 143
Foto 24 : Situs Susukan, Kec. Ciawigebang, Kuningan ……………………. 144
Foto 25 : Situs Ciarca, Kuningan …………………………………………… 145
Foto 26 : Situs Megalitik Lebak Cibedug, Lebak, Banten ……………….... 146
Foto 27 : Teras Teratas Bangunan Teras Berundak Gunung Tampomas,
Cimalaka, Sumedang ……………………………………………… 148
Foto 28 : Sandung, Bangunan Teras Berundak Gunung Tampomas,
Cimalaka, Sumedang …………………………………………….. 149
Foto 29 : Lingga pada Makam Lembu Agung, Darmaraja, Sumedang …….. 150
Foto 30 : Lingga pada Makam Prabu Haji Putih, Darmaraja, Sumedang ….. 151
Foto 31 : Batu Pangcalikan (Altar) di Situs Karangkamulyan ……………... 152
Foto 32 : Lambang Peribadatan ……………………………………………. 154
Foto 33 : Pangcalikan Ki Ajar Sukaresi ……………………………………. 155
Foto 34 : Batu Pangeunteungan di Astana Gede Kawali, Ciamis ………….. 156
xiv
Foto 35 : Bangunan Teras Berundak (Kiri) dan Batu Bergurat (Kanan)
di Situs Candi Batu Lawang …………………………………….. 160
Foto 36 : Batu Tegak dan Ritual Mandi di Situ Sanghyang Majalengka …... 161
Foto 37 : Batu Bergores di dalam dan di luar Bangunan Kuta Kalambu …... 164
Foto 38 : Patilasan Eyang Haji Sukma Sejati Jaya Sampurna ……………… 165
Foto 39 : Mulut dan Bagian Dalam Gua Sanghyang ……………………….. 166
Foto 40 : Areal Pesawahan di Majalengka …………………………………. 329
Foto 41 : Lokasi Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan,
sekitar Tahun 1910 ………………………………………………. 361
Foto 42 : Beragam Masjid Agung di Kabupaten sekitar Tahun 1880-an …… 362
Foto 43 : Aksara Sunda Kuno (Ragam Aksara Ngalegena) yang Digunakan
dalam Berbagai Prasasti dan Naskah …………………………….. 367
Foto 44 : Aksara Cacarakan sebagai Modifikasi Aksara Carakan Jawa ……. 368
Foto 45 : Grote Postweg di Beberapa Wilayah Jawa Barat,
Sekitar Tahun 1880-an …………………………………………... 378
Foto 46 : Makam Bagus Jabin di Kabupaten Karawang …………………… 423
Foto 47 : Bekas Rumah K. H. Hasan Maulani di Kuningan ………………. 465
Foto 48 : Gardu Tua yang Dijadikan sebagai Pangkalan H. Wasid
dalam Gerakan Sosial di Cilegon Tahun 1888 ………………….. 473
Foto 49 : Sidang KasusGerakan Sosial di Cilegon Tahun 1888 …………… 483
Foto 50 : Kompleks Pesantren Asyrofuddin, Sumedang ………………….. 491
Foto 51 : Pacuan Kuda di Sumedang (Kanan) dan Promosi Balap Kuda
di Tasikmalaya (Kiri) pada Awal Abad Ke-20 …………………… 494
Foto 52 : Ronggeng dari Batavia sekitar Tahun 1870 …………………….. 500
Foto 53 : Pagelaran Tari Serimpi di Bandung Tahun 1863 ………………… 500
Foto 54 : Seni Musik (Kiri) dan Wayang Golek Bendo (Kanan)
di Sumedang ……………………………………………………… 501
Foto 55 : Pagelaran Wayang Orang di Ciamis …………………………….. 502
xv
DAFTAR GAMBAR
Hlm.
Gambar 1 : Jembatan Daratan (Paparan Sunda dan Paparan Sahul)………. 5
Gambar 2 : Jalur Migrasi dari Daratan Asia ke Kawasan Nusantara............ 6
Gambar 3 : Fosil Gigi Manusia Purba dari Penggalian Cisanca,
Tambaksari, Ciamis .................................................................... 7
Gambar 4 : Stratigrafi Daerah Cisanca, Tambaksari, Ciamis……………… 8
Gambar 5 : Fisiografi Pulau Jawa …………………………………………. 15
Gambar 6 : Artefak Obsidian dari Penggalian Cisanca,
Tambaksari, Ciamis ................................................................. 19
Gambar 7 : Data Persebaran Alat Batu Neolitik (Obsidian)
di Dataran Tinggi Bandung........................................................ 28
Gambar 8 : Lukisan Batavia Sekitar Tahun 1733 ………………………… 297
Gambar 9 : Situasi Pelabuhan Banten sekitar Abad Ke-17 ………………. 300
Gambar 10 : Jalur Grote Postweg di Jawa Barat, 1882-1992 ………………. 377
Gambar 11 : Peta Afdeeling Krawang Tahun sekitar 1853 ………………… 383
Gambar 12 : Peta Keresidenan Priangan sekitar Tahun 1854 ……………… 393
Gambar 13 : Peta Keresidenan Cirebon sekitar Tahun 1857 ………………. 397
Gambar 14 : Peta Pembangunan Jalur Kereta Api
di Tatar Sunda, 1882-1922 ……………………………………. 495
xvi
DAFTAR TABEL
Hlm.
Tabel 1 : Daftar Bupati dan Penguasa Lokal Lainnya di Priangan
Sejak Tahun 1684-1703 ………………………………………… 310
Tabel 2 : Tabel 2: Jenis Bea Cukai dan Pajak di Pelabuhan Banten
Abad Ke-17 ……………………………………………………… 332
Tabel 3 : Jumlah Komoditas Perdagangan yang Wajib Diserahkan
Kepada VOC di Daerah Priangan pada Tahun 1695 …………… 335
Tabel 4 : Jumlah Produksi Komoditas Perdagangan di Luar Kopi Untuk
Daerah Priangan serta Batavia dan Sekitarnya (1796 – 1800) …. 336
Tabel 5 : Jumlah Produksi Komoditas Perdagangan Daerah
Kesultanan Cirebon pada Akhir Abad Ke-18 …………………. 337
Tabel 6 : Jumlah Produksi Kopi Untuk Daerah Priangan dan Batavia
serta Daerah Sekitarnya Tahun 1711-1800 ……………………. 346
Tabel 7 : Jumlah Penduduk Pribumi dan Desa Awal Tahun 1890-an ……. 497
1
BAB I
MASA PRASEJARAH
A. Mitos dan Sejarah
Provinsi Jawa Barat adalah nama wilayah administrasi pemerintahan, yang
pada waktu kelahirannya tanggal 19 Agustus 1945 meliputi Provinsi Banten,
Provinsi DKI, dan Provinsi Jawa Barat sekarang. Sejarah wilayah ini, yang akan
dipaparkan dalam dua jilid, bukan hanya meliputi sejarah wilayah Provinsi Jawa
Barat sekarang namun juga meliputi sejarah ketiga wilayah tersebut yang pada
masa sebelum lahirnya Provinsi Jawa Barat dapat kita sebut sebagai Tatar Sunda
atau Tatar Pasundan.
Tatar Sunda adalah wilayah di Pulau Jawa bagian barat yang keindahan
alamnya tidak akan terlupakan, terutama di daerah yang dikenal dengan Priangan
atau Parahyangan. Gunung-gunung yang membiru dari kejauhan, diseling lembah-
lembah yang dibelah aliran sungai yang menambah kesuburan tanah yang telah
diberkati oleh keindahan ini. Parahyangan seakan-akan mewakili romantisme
kolonial tentang Mooie Indie. " Tanah Hindia yang Indah". Begitulah dulu, ketika
kekuatiran akan transformasi tanah indah yang menjadi gersang, dan kerap
diterjang banjir dan longsor belum dirasakan. Kita menyadari kini bahwa
keindahan Tatar Sunda mungkin sedang terancam, sungai-sungainya mungkin tak
pula lagi sebening dulu, meski gunung-gunungnya masih tegak berdiri dengan
anggun.
Bagaimanakah gerangan awal kejadian Tatar Sunda ini? Dalam
menghadapi hal seperti ini maka jawaban terhadap pertanyaan mengenai asal usul
itu sangat bergantung pada ada atau tidaknya tradisi lisan yang hidup di kalangan
masyarakat. Bagaimanakah masyarakat setempatmenerangkan asal usul Tatar
Sunda? Ada kalanya memang tradisi lisan itu bisa dipastikan sebagai salinan dari
ingatan kolektif. Meskipun dalam perjalanan zaman perubahan dari corak ingatan
kolektif bisa saja terjadi. Perubahan itu hanya mungkin “terhenti” jika seandainya
pada waktu tertentu ingatan kolektif yang telah menjadi tradisi lisan dituliskan.
Begitulah bisa juga dikatakan bahwa sejarah, sebagai uraian dari peristiwa yang
sesungguhnya terjadi telah bersembunyi di belakang mitologisasi peristiwa yang