psikologi kebahagiaan dalam al-qur’an (tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/dr....

95
PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir Tematik atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kebahagiaan) LAPORAN PENELITIAN Disusun oleh: Dr. Muskinul Fuad, M.Ag NIP. 197412262000031001 LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO 2016 1

Upload: vuongtram

Post on 06-May-2018

252 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir Tematik atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kebahagiaan)

LAPORAN PENELITIAN

Disusun oleh:

Dr. Muskinul Fuad, M.Ag NIP. 197412262000031001

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2016

1

Page 2: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian :Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an

(Tafsir Tematik Atas Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang

Kebahagiaan)

Jenis Penelitian : Individual

Bidang Ilmu : Bimbingan dan Konseling Islam

Nama Peneliti : Dr. Muskinul Fuad, M. Ag

Jangka Waktu Penelitian : 4 Bulan

Sumber Dana : DIPA IAIN Purwokerto Tahun 2016

Purwokerto, 1 September 2016 Peneliti

Dr. Muskinul Fuad, M. Ag NIP. 197412262000031001

Mengetahui: Drs. Amat Nuri, M. Pd.I NIP. 196307071992031007

2

Page 3: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala limpahan

nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan bentuk upaya pencarian penulis atas wacana Psikologi Islami

yang berlandaskan nilai-nilai al-Qur’an. Hal ini merupakan bentuk konsen peneliti atas

agenda Islamisasi Psikologi dan Bimbingan Konseling yang semakin menggelinding di

Indonesia.

Akhir kata, penelitian ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan, sehingga

penulis berdo’a semoga ada orang lain yang akan memperbaikinya. Semoga karya ilmiah

yang sederhana ini dapat menjadi amal ibadah bagi penulis dan bagi semua orang yang

telah ikut terlibat di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung.

Purwokerto, 1 September 2016

Penulis

3

Page 4: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………i HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….ii KATA PENGANTAR………………………………………………………………….iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………iv BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………..5

A. Latar Belakang …………………………………………………………5 B. Rumusan Masalah………………………………………………………10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………11 D. Metode Penelitian………………………………………………………12

BAB II. MANUSIA DAN MASALAH KEBAHAGIAAN…………………………14

A. Makna Kebahagiaan……………………………………………………..14 B. Berbagai Pendekatan dalam Kajian Kebahagiaan……………………….23

BAB III. MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN………………………32

A. Istilah Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………………………………32 B. Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………………..34 C. Dimensi dan Tingkatan Kebahagiaan dalam al-Qur’an………………….60

BAB IV. RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN…………………………….67

A. Ajakan Kebahagiaan dalam al-Qur’an………………………………….67 B. Petunjuk agar Memperoleh Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………..70 C. Sebua Perbandingan……………………………………………………..86

BAB V. PENUTUP…………………………………………………………………..89

A. Kesimpulan………………………………………………………………90 B. Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

4

Page 5: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini telah terjadi perubahan paradigma dalam menilai keberhasilan

pembangunan sebuah negara. Apabila selama ini para pakar pembangunan hanya

mengacu pada model Gross National Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto

(PDB), maka sekarang mereka mulai melirik kepada model Gross National

Happiness (GNH) sebagai acuan keberhasilan pembangunan. Model GNP (PDB)

lebih mengukur kemajuan dan sukses pembangunan secara kuantitatif berdasarkan

rata-rata nilai pendapatan per kapita keluarga (rumah tangga) di suatu negara,

sementara model GNH tidak saja mengukur kesuksesan pembangunan secara

materi atau ukuran finansial seperti pendapatan, tetapi mengukur pula efek

psikologis dari pembangunan. 1

Model yang kedua (GNH) pertama kali dicetuskan di Bhutan. Bhutan

merupakan sebuah negara kecil di Asia Selatan yang dikenal pula dengan Druk Yul

(Negeri Naga Guntur). Awalnya, pada tahun 1970-an Raja ke IV Bhutan, Jigme

Singye Wangchuck, memiliki ide untuk mengukur tingkat kebahagiaan bangsanya.

Dalam pemikirannya, konsep pembangunan yang berlanjut adalah sebuah konsepsi

pembangunan yang menggunakan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan

bangsa. 2

1 http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/04/09/230345/kebahagiaan-warga-bisa-jadi-tolak-ukur-sukses-pembangunan

2 Joko Tri Haryanto (2015). Paradigma Baru Pembangunan Nasional, dalam http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/26/376830/paradigma-baru-pembangunan-nasional

5

Page 6: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Dalam model ini faktor non-ekonomi diberikan bobot penting setara

dengan aspek ekonomi sebagaimana sangat ditekankan oleh model PDB. Upaya

penyusunan GHN di Bhutan dimulai sejak 2005, ketika The Centre for Bhutan

Studies (CBS) merumuskan indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan sebuah

bangsa, melalui kajian literatur dan konsultasi dengan berbagai pihak. Survei

pendahuluan dilakukan pada 2006 dan survei pertama kali untu mengukur Indeks

GHN dilakukan pada 2007. Kuesioner yang mencakup 750 variabel (meliputi

variabel obyektif, subyektif, dan terbuka) ditanyakan kepada 950 orang di 12

daerah. Akan tetapi, sedikitnya responden memaksa CBS tidak mengangap hasil

survei tersebut cukup valid untuk ditetapkan secara resmi. Survei berikutnya

dilakukan pada 2010, dalam waktu sembilan bulan, dengan jumlah kuesioner yang

terisi lengkap sebanyak 7000 lembar lebih, dari 20 daerah perkotaan dan pedesaan.

Berdasarkan survei inilah kemudian GNH dijadikan momentum keberpihakan

Bhutan dalam pemenuhan aspek kebahagian hidup kepada masyarakatnya.3

Pergeseran paradigma ini sesungguhnya tidak terlepas dari wacana tentang

apakah uang atau pendapatan betul-betul dapat menciptakan kebahagiaan atau

tidak. Hal ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan ekonom maupun

psikolog. Yang cukup menarik untuk disimak adalah adanya istilah “Paradoks

Easterlin” yang digagas oleh Easterlin (1974). Dalam Paradoks Easterlin

diperkenalkan konsep titik jenuh. Gagasan ini meyakini bahwa pada awalnya,

besarnya penghasilan seseorang memang akan berpengaruh terhadap tingkat

kebahagiaannya. Logikanya, pendapatan yang mencukupi dapat mendukung

keterpenuhan kebutuhan dasar seseorang, sehingga membuatnya cukup untuk

3 Ibid.

6

Page 7: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

mampu meraih kebahagiaan. Pada fase ini pendapatan berbanding lurus dengan

tingkat kebahagiaan. Namun, di suatu titik, relasi tersebut dapat mencapai titik

jenuh. Hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan menurun dan bahkan bisa

hilang sama sekali. Sebagai bukti empiris, Easterlin menemukan bahwa lonjakan

ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa,

selama tiga puluh tahun terakhir ini, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan

kebahagiaan masyarakatnya.4

Pada saat materialisme menjadi panglima, di mana kekayaan, jabatan, dan

ketenaran menjadi dewa yang diagung-agungkan, kematian bunuh diri seorang

aktor hebat peraih Oscar, Robin William, adalah sebuah tragedi kemanusiaan.

Kenyataan yang mengenaskan ini meniscayakan adanya sebuah redefinisi terhadap

ukuran kesuksesan dan kebahagiaan. Dua komponen yang selama ini dianggap

sebagai ukuran utama kesuksesan, yaitu kekayaan dan kekuasaan, perlu dilengkapi

dengan hal-hal yang lebih mendasar lagi. 5

Fakta ini diperkuat dengan laporan sebuah majalah bernama Men’s Health

yang pernah memasang iklan pada situs webnya sebagai berikut: “kami sedang

mencari orang yang hidup sempurna, tetapi tidak bahagia. Jika anda memiliki

pekerjaan besar, rumah besar yang penuh dengan barang mewah, tetapi anda

merasa tidak bahagia, dan sewaktu-waktu, malah menderita, kami ingin

mendengarnya dari Anda”. Setelah iklan ini muncul, majalah ini kemudian

menerima ratusan respon. Kesimpulannya, orang sukses yang tidak bahagia

ternyata saat ini bukan lagi sebagai sebuah anomali (pengecualian), tetapi sesuatu

4 https://yorga.wordpress.com/2015/11/15/gajimu-bahagiamu-sebuah-survey-terhadap-kalangan-profesional-muda-di-indonesia/

5 Yuswohady, Meredefinisi Ukuran Sukses, dalam Kompas, Jum’at, 12 Desember 2014

7

Page 8: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

yang normal atau biasa terjadi. Gejala ini disebut dengan Dysthymia, yang berarti

sebuah perasaan sedih yang kronis dan hilangnya energi kehidupan di tengah-

tengah kehidupan sukses dan tampak bahagia. 6

Gejala lain yang dapat ditangkap dari kehidupan modern adalah apa yang

disebut oleh para psikolog dengan istilah anxiety disorder. Seorang penderita

gejala ini biasanya memiliki ciri-ciri berikut ini: seringkali terganggu dengan detak

jantungnya, gampang terangsang dan tersiksa oeh gangguan yang kecil, memiliki

ketakutan tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, cemas dan putus asa secara terus-

menerus, merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga, sulit mengambil keputusan,

takut pada segala hal, merasa nervous dan tegang terus-menerus, tidak dapat

mengatasi kesulitan yang dihadapinya, dan tertekan. Bersamaan dengan itu,

penderita gejala ini juga mengalami gangguan fisik seperti kesulitan kosentrasi,

keluar keringat dingin, tidak bisa tidur, kelelahan, sesak nafas, kepala pusing, dan

sebagainya.7

Menurut Bastaman, fenomena di atas merupakan sebuah gambaran yang

boleh jadi merepresentasikan sisi suram dari manusia yang hidup di abad ke-21

yang biasa disebut dengan Abad Kecemasan (The Age of Anxiety). Dikatakan

demikian, karena abad ini banyak ditandai oleh adanya krisis multi dimensi;

ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan, yang melanda dan menimbulkan

efek psikologis (kecemasan) pada seluruh masyarakat dunia. Semua krisis tersebut

sejatinya berakar dari krisis identitas yang bersumber dari tidak jelasnya jati diri

sebagai pribadi dan bangsa. Krisis identitas dan hilangnya jati diri dalam tatanan

6 Jalaluddin Rakhmat, (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hal. 25 7 Jalaluddin Rakhmat (1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan, Bandung:

Rosda, hal. 261

8

Page 9: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

psikis berkaitan erat dengan tidak jelasnya nilai-nilai yang dapat dijadikan

pedoman hidup. Akibatnya, banyak manusia mengalami penderitaan, karena gagal

dalam menggapai kehidupan yang bemakna dan berbahagia.8

Dalam bahasa Sayyed Hossein Nasr, manusia modern dikatakan tengah

mengalami apa yang disebut dengan kehampaan spiritual, krisis makna, kehilangan

legitimasi hidup, dan mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri.

Krisis eksistensial ini bermula dari pemberontakan manusia modern terhadap

Tuhan. Mereka telah kehilangan harapan akan kebahagiaan masa depan

sebagaimana dijanjikan oleh renaisans, abad pencerahan, sekulerisme, saintisme,

dan teknologisme.9 Dengan kata lain, manusia modern di abad ke-21 ini dapat

dikatakan telah kehilangan visi spiritualnya. Ia memerlukan insight baru agar dapat

menemukan kembali visi spiritualnya.

Psikologi kontemporer (Barat) dapat dikatakan telah “gagal” menjawab

persoalan manusia modern tersebut. Psikologi, dalam pandangan Seligman,

seorang mantan Ketua Asosiasi Psikologi Amerika (APA), pada dasarnya

merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segala sudut pandang.

Ironisnya, pada 60 tahun terakhir ini psikologi hanya berorientasi pada penyakit

jiwa seperti phobia, stress, trauma, skizofrenia dan masih banyak lagi penyakit

kejiwaan lainnya. Menurutnya, selama 60 tahun terakhir ini, kajian tentang

berbagai penyakit (gangguan) psikologis menyimpulkan bahwa ada 14 macam

penyakit yang berhasil diobati, tetapi tidak sembuh total, dan terdapat dua macam

penyakit lainnya dapat diobati secara total. Fakta ini kemudian menimbulkan

8 H.D.(Bastaman, 1995), Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 56 atau Bastaman, H.D (2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 48

9 Haidar Bagir, (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, hal. 75

9

Page 10: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

pertanyaan: “bagaimana caranya membuat orang menjadi sehat tanpa terhindar dari

penyakit atau gangguan mental?”. Dari pertanyaan inilah kemudian istilah

Psikologi Positif (Psikologi Kebahagiaan) itu muncul. 10

Psikologi Islami, sebagai madzhab psikologi yang mendasarkan pada nilai-

nilai Islam dalam memandang persoalan manusia, memiliki misi yang besar dan

mulia dalam mengantarkan manusia agar dapat menemukan kembali visi

spiritualnya, yaitu menggapai kehidupan yang bermakna menuju kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat.Visi inilah yang akan membuat manusia dapat

menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa bahagia. Hanya saja, saat ini

kajian psikologi Islami belum banyak yang mengarah kepada masalah kebahagiaan

manusia. Berangkat dari kebutuhan tersebut, melalui penelitian ini, penulis

memandang perlu untuk melakukan sebuah konseptualisasi Psikologi Kebahagiaan

dengan cara menggali ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan tema kebahagiaan.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari setting masalah di atas, maka pertanyaan besar yang akan

coba dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep psikologi kebahagiaan

menurut Al-Qur’an. Untuk menjawab pertanyaan utama ini, penulis perlu

menjawab beberapa aspek turunannya, yaitu meliputi makna dan hakikat

kebahagiaan menurut al-Qur’an, dimensi dan tingkatan kebahagiaan menurut al-

Qur’an, dan cara memperoleh kebahagiaan menurut al-Qur’an.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

10 Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016

10

Page 11: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep Psikologi Kebahagiaan

menurut al-Qur’an dengan cara menggali ayat-ayat al-Qur’an secara tematik, yang

mencakup makna kebahagiaan, hakikat kebahagiaan, dimensi dan tingkatan

kebahagiaan, dan petunjuk memperoleh kebahagiaan. Signifikansi penelitian ini

terletak pada kontribusi teoritisnya dalam mengkaji konsep-konsep kebahagiaan

dalam al-Qur’an. Hasil kajian ini kemudian bermuara pada upaya konseptalisasi

sebuah tinjauan psikologi kebahagiaan dalam perspektif al-Qur’an. Karya ini pada

akhirnya diharapkan dapat menjadi sebuah langkah pengembangan terhadap kajian

psikologi Islam dan sekaligus menyempurnakan apa yang telah diwacanakan oleh

para psikolog kebahagiaan yang bercorak humanistik-sekuler.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi para

pendidik, psikolog, konselor, dan agamawan dalam membimbing manusia

(individu) agar dapat menjalani hidup ini dengan penuh bahagia. Materi bimbingan

(dakwah) yang menekankan pada kebahagiaan dan kebermaknaan hidup

tampaknya perlu dijadikan mainstream dalam sebuah kegiatan bimbingan,

konseling, pengajian, training, dan sebagainya. Hal ini sangat relevan dengan

segala problem dan tantangan modernitas (globalisasi) yang kini dihadapi oleh

setiap individu. Hasil kajian ini dapat dijadikan pijakan sebagai sebuah materi

dakwah yang bersifat terapeutik dan sufistik. Model dakwah seperti inilah yang

tampaknya lebih diperlukan oleh masyarakat modern saat ini.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini bercorak kajian literatur. Artinya, sumber datanya berasal dari

bahan-bahan tertulis seputar topik yang dibahas. Penelitian ini menjadikan al-

Qur’an sebagai objek kajian, sehingga sumber rujukan utama dan pertamanya

11

Page 12: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

adalah mushaf al-Qur’an, dengan fokus pada ayat-ayat yang berbicara tentang

kebahagiaan. Sumber lain yang digunakan dalam kajian ini adalah kitab-kitab tafsir

yang penulis anggap representatif. Sebagai dasar-dasar teoritik dan pisau analisis

dalam mengkaji, memaparkan, memilah, memilih, dan menjelaskan makna tersirat

(kontekstual) dalam ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip, penulis perlu melihat buku-

buku yang ditulis para pakar dalam hal yang ada relevansinya dengan tinjauan

kebahagiaan secara psikologis. Adapun sebagai dasar rujukan untuk analisis makna

kata dan term tertentu dari ayat-ayat al-Qur’an, penulis menggunakan beberapa

kitab mu’jam dan kamus, baik yang tersedia secara fisik maupun secara digital.

Secara metodologis, mengingat objek dalam penelitian ini adalah ayat-ayat

al-Qur’an, maka pendekatan yang digunakan di dalamnya adalah ilmu tafsir.

Dalam ilmu tafsir terdapat beberapa corak (metode) penafsiran terhadap ayat-ayat

al-Qur’an, yaitu tahlili, ijmali, maudhu’i, dan muqaran. 11 Dari keempat metode

tafsir ini, yang lebih sesuai untuk digunakan dalam kajian ini adalah metode tafsir

maudhu’i. Tafsir maudhu’i adalah sebuah metode penafsiran dengan cara mencari

jawaban langsung dari al-Qur’an tentang sebuah persoalan (tema) dengan jalan

menginventarisasi semua ayat yang terkait, kemudian menganalisisnya melalui

ilmu-ilmu bantu yang memuat teori-teori yang relevan dengan tema yang dibahas,

dalam hal ini psikologi, untuk melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur’an tentang

tema tersebut. Dengan demikian, metode tematis yang digunakan dalam penelitian

ini adalah bercorak psikologis. Selanjutnya, dengan dasar analisis secara holistik

dan komprehensif tersebut, penulis akan membuat kesimpulan (pesan moral) dari

ayat-ayat Al-Qur’an yang dikaji melalui pendekatan deduktif (istinbath).12

11 Lihat Al-Farmawy (1977), al-Bidayah fi al-Maudhu’I, Kairo 12 Asep Muhiddin (2002). Dakwah dalam Perspektif Al-qur’an, Bandung: Pustaka Setia, hal. 26-27

12

Page 13: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Secara mudahnya, cara kerja tafsir tematik (maudhu’i) dapat dilihat dari

piramida berikut ini:

Langkah-langkah Tafsir Tematik (maudhu’i)

Kesimpulan

Menyusun Kerangka

Identifikasi Ayat yang berhubungan dengan masalah

Penentuan Masalah atau Topik

13

Page 14: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

BAB II MANUSIA DAN MASALAH KEBAHAGIAAN

A. Makna Kebahagiaan

Persoalan kebahagiaan telah lama menjadi tema pembahasan para

sastrawan, agamawan, dan para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

kata bahagia dan derivasinya dijelaskan secara teperinci. Kata “bahagia”, dalam

bentuk kata benda, diartikan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram,

serta bebas dari segala yang menyusahkan. Makna ini dapat dipahami dari

ungkapan “bahagia dunia akhirat” atau “hidup penuh bahagia”. Dalam bentuk kata

benda lainnya, kebahagiaan, diartikan sebagai kesenangan, ketenteraman hidup

(lahir batin), keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir dan batin. Hal ini

dapat dipahami dari kalimat “Kehadiran bayi itu mendatangkan kebahagiaan di

rumah tangganya” atau “Saling pengertian antara suami-isteri akan membawa

kebahagiaan di rumah tangga”. Dalam bentuk kata sifat, berbahagia dapat

diartikan sebagai beruntung. Hal ini dapat dipahami dari kalimat “Saya betul-betul

merasa berbahagia, karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga”.

Dalam bentuk kata kerja, kata membahagiakan berarti menjadikan atau membuat

bahagia. Makna ini dapat dilihat dari kalimat “Ia berusaha keras membahagiakan

keluarganya”. Dapat pula diartikan sebagai “mendatangkan rasa bahagia”, jika

dilihat dari kalimat: “Kehadirannya sangat membahagiakan keluarganya”. Di luar

itu, kata bahagia dapat pula dikaitkan dengan kata “selamat”, misalnya dengan

kata-kata “selamat berbahagia”. Kata bahagia dalam ungkapan ini berarti sejahtera

14

Page 15: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

atau sehat. Jika dikaitkan dengan kata taman (“taman bahagia”), maka dapat berarti

“tempat orang mendapat kebahagiaan”.13

Di luar bahasa Indonesia, kata bahagia dapat dijumpai dalam berbagai

bahasa seperti Inggris (Happiness), Jerman (Gluck), Latin (Felicitas), Yunani

(Eutychia, Eudaimonia), dan Arab (Falah, Sa’adah). Kata ini menunjukkan arti

sebagai berikut: kebahagiaan, keberuntungan, kesenangan, peluang baik, dan

kejadian yang baik. Dalam bahasa Cina (Xing Fu), kebahagiaan terdiri dari

gabungan kata “beruntung” dan “nasib baik”. Setiap orang, dengan berbagai

tingkatan usia dan latar belakang, memiliki gambaran yang berbeda-beda tentang

kebahagiaan.14 Jika ada sepuluh anak ditanya tentang apa itu kebahagiaan?, maka

jawabannya boleh jadi akan sangat berbeda-beda. Ada yang mengidentikkan orang

bahagia dengan orang yang tinggal di rumah besar dan mewah, mobil mengkilap,

pakaian yang indah, makanan yang lezat, memiliki isteri yang cantik, memiliki

tubuh yang indah, dan sebagainya. Ada pula yang menggambarkan kebahagiaan

dengan sebuah ungkapan menarik yang cukup populer di kalangan kaum remaja

dewasa ini, yaitu : “selagi muda foya-foya, tua kaya- raya, mati masuk sorga”.

Para filosof sendiri berbeda pendapat dalam mendefinisikan kebahagiaan.

Ada yang menggambarkan sebagaimana anak-anak di atas dan ada pula yang

melihat kebahagiaan jauh di atas itu. Menurut Aristoteles, manusia mampu melihat

kebahagiaan jauh di atas kesenangan-kesenangan fisik. Sebagian filosof lain,

misalnya kaum Hedonis dan Utilitarian, menetapkan kebahagiaan sebagai landasan

moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur sejauh mana tindakan itu membawa

orang pada kebahagiaan (lebih tepatnya kesenangan). Ada pula filosof yang

13 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5

14 Rakhmat (2008), Meraih…….hal .31

15

Page 16: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

mengatakan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak berkaitan sama sekali dengan

kebahagiaan, karena boleh jadi ada tindakan yang membuat pelakunya bahagia

(senang), tetapi tidak bermoral, misalnya korupsi. Menurut kelompok ini,

perbuatan baik adalah tuntutan etis untuk menjalankan kewajiban, walaupun

membuat pelakunya menderita . 15

Bahkan, ada pula filosof yang menyatakan bahwa bahagia adalah sesuatu

yang tidak jelas (tidak ada batasnya). Bahagia dianggap khayalan belaka yang

tidak rasiona. Bukan hal yang aneh jika banyak orang ingin bahagia, tetapi tidak

mengetahui batasan bahagia itu sendiri, tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari

dalam hidup ini, atau mereka bingung ke mana dan bagaimana mencari

kebahagiaan. Mereka terpesona dengan masa yang telah lewat. Mereka ingin

kebahagiaan masa lalu hadir kembali, sebagaimana yang pernah mereka rasakan

bersama orangtua atau keluarga mereka dulu. Sementara dunia yang mereka hadapi

saat ini tampak semakin suram, banyak masalah, penuh krisis, dan tidak menentu.

Seolah mereka ingin lari dari realitas bahwa dalam hidup ini banyak kesulitan,

permasalahan, dan beban yang semakin berat.16

Demikianlah sebagian makna kebahagiaan yang telah dirumuskan para

filosof (sufi) yang boleh jadi masih berupa konsep yang abstrak. Untuk itu, tugas

para psikolog adalah bagaimana mengkongkritkan hal yang abstrak ini. Jika ada

seorang klien datang ke psikolog dan berkata: “Hari ini saya merasa bahagia”,

maka sang psikolog tentu akan bertanya lebih lanjut: “Mengapa anda merasa

bahagia?”. Salah satu jawaban yang mungkin akan diberikan seseorang adalah:

15 Ibid., hal. 46 16 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj.

Oleh Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, hal. 182

16

Page 17: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

“Karena saya merasa puas dengan apa yang terjadi dengan hidup saya”.17

Demikian halnya dengan kehidupan seseorang, apakah bermakna atau tidak dapat

dinilai dari model pertanyaan dan jawaban di atas.

Dialog di atas mengindikasikan bahwa kebahagiaan hidup seseorang dapat

dinilai secara obyektif (objective happiness) dan subyektif (subjective happiness).

Secara obyektif, kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan menggunakan standar

yang merujuk pada aturan agama atau pembuktian tertentu. Jalaluddin Rakhmat

mencontohkan, misalnya ada seseorang bernama Fulan. Ia menghabiskan waktu

mudanya untuk berfoya-foya, termasuk dengan melakukan segala tindakan dosa.

Ia tidak pernah mengalami sakit. Ia mengaku sangat bahagia. Benarkah ia bahagia?

Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak bahagia, karena pada hari akhirat kelak,

jika ia tidak segera bertaubat, akan masuk neraka. Dalam bahasa Tasawuf, si Fulan

ini dikatakan sedang mengalami apa yang disebut dengan istidraj. Artinya ia

sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat (kesenangan) untuk melihat apakah

ia sadar atau tidak dengan nikmat yang didapatkannya. Menurut ukuran

(pembuktian) rasional, ia juga tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia pasti akan

kehilangan harta, kesehatan, dan kesenangannya. Secara subyektif, kita dapat

mengukur kebahagiaan seseorang dengan bertanya kepadanya dengan singkat

apakah ia bahagia atau tidak.18

Pada dasarnya, setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan dalam

hidupnya. Akan tetapi, kebahagiaan ini tidak akan terjadi begitu saja, namun

merupakan akibat sampingan dari keberhasilannya dalam memenuhi keinginannya

untuk hidup bermakna (will to meaning). Artinya, makna hidup adalah gerbang

menuju kebahagiaan. Mereka yang berhasil mencapainya akan mengalami hidup

17 Rakhmat, Meraih……hal. 48 18 Ibid.,hal 52

17

Page 18: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

yang bermakna dan dirinya akan memperoleh kebahagiaan. Sebaliknya mereka

yang tidak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan,

kehampaan hidup, merasakan hidup yang tidak bermakna, dan akhirnya tidak

bahagia.19

Gangguan atau karakter kepribadian yang mungkin dimiliki seseorang

tergantung pada mampu (berhasil) atau tidaknya ia dalam menghayati hidupnya.

Ketidakberhasilan menemukan makna hidup biasanya akan menimbulkan

penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, bosan, dan merasa

tidak berarti. Jika hal ini berlarut-larut akan mengakibatkan gangguan neurosis

(noogenic neurosis) serta mengembangkan karakter totaliter dan konformis.

Berkaitan dengan penghayatan hidup tanpa makna ini, seorang Logoterapis akan

berpandangan bahwa kurang berfungsinya naluri dan intuisi, serta memudarnya

nilai tradisi dan agama pada orang-orang modern merupakan faktor yang

mendorong terjadinya hal itu.20

Berbeda dengan penghayatan hidup tanpa makna, mereka yang menghayati

hidup bermakna menunjukkan corak kepribadian penuh semangat dan bergairah

dalam menjalani kehidupannya. Pribadi yang hidupnya bermakna inilah yang

dianggap sebagai gambaran kepribadian ideal menurut Logoterapi. Makna hidup

adalah hal-hal yang dianggap sangat penting, berharga, dan memberikan nilai

khusus bagi seseorang, sehingga layak untuk dijadikan tujuan dalam kehidupan.

Jika hal ini berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang dapat merasakan

kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.

19 Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 67 20 Ajit K Das (1998), Frankl and the Realm of Meaning, Journal of Humanistic Education and

Development. Falls Church: Jun 1998. Vol. 36, online: http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1372942081&sid=17&Fmt=3&clientId=83698&RQT=309&VName=PQD

18

Page 19: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri, dalam setiap keadaan

yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, dalam kebahagiaan dan

penderitaan. Ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning in sufferring) dan

“hikmah di balik musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam

penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Apabila hasrat ini

terpenuhi, maka seseorang akan mengalami atau merasakan kehidupan yang

berguna, berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya, jika hasrat ini tidak

terpenuhi, seseorang akan merasakan kehidupan yang tidak bermakna

(meaningles). Pengertian tentang makna hidup menunjukkan bahwa dalam hidup

terkandung pula tujuan hidup atau hal-hal yang perlu dicapai. Mengingat antara

makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka keduanya dapat

disamakan.21

Menurut Viktor Frankl, seorang pendiri Logoterapi, terdapat tiga bidang

kegiatan yang secara potensial dapat menjadi sumber makna hidup. Artinya

kegiatan itu mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang dapat

menemukan makna hidup di dalamnya. Ketiga hal tersebut adalah Creative Values

(nilai-nilai kreatif), Eksperiental Values (nilai-nilai penghayatan), dan Attitudinal

Values (nilai-nilai bersikap). Creative Values (nilai-nilai kreatif) meliputi kegiatan

berkarya seperti bekerja, menciptakan sesuatu, melaksanakan tugas, dan hal-hal

lain yang bermanfaat bagi umat manusia. Eksperiental Values (nilai-nilai

penghayatan) meliputi keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran,

kebajikan, keindahan, keimanan, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan

Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap) meliputi sikap menerima terhadap sesuatu

(kejadian atau musibah) yang tidak dapat dielakkan lagi, dengan penuh ketabahan,

21 Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 92

19

Page 20: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

kesabaran, dan keberanian. Kejadian itu bisa berupa sakit yang tidak kunjung

sembuh, kematian, dan sebagainya.

Terlepas dari definisi dan orientasi yang berbeda-beda di kalangan para

pemikir tersebut, ada beberapa poin penting yang perlu dicatat tentang prinsip

kebahagiaan, yaitu:

1. Kebahagiaan adalah tujuan dan dambaan hidup setiap manusia di muka bumi

ini. Di tengah hiruk pikuk kegiatan manusia di dunia, ada “sesuatu” yang terus

di cari oleh manusia. Jika ia mendapatkan hal ini, maka ia akan seperti

mendapatkan seluruh isi dunia. Sebaliknya, jika manusia tidak memilikinya,

meskipun mungkin memiliki “segalanya”, maka ia seperti tidak memiliki apa-

apa. 22

2. Kebahagiaan adalah subyek primordial, bahkan perenial. Ia merupakan sifat

alamiah atau fitrah manusia. 23

3. Kebahagiaan lebih bersifat spiritual atau ruhaniah daripada material

(kebendaan). Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual, maka

segala tindakan dan aktifitas kehidupannya akan bermotivasikan atau berujung

pada hal-hal yang bersifat spiritual.24 Kebahagiaan merupakan pengalaman

eksistensial manusia.25

1. Kebahagiaan adalah keinginan manusia yang terakhir. Kebaikan (nilai)

lainnya dikejar demi meraih kebahagiaan.26 Kebahagiaan diraih tidak untuk

tujuan lainnya, kecuali kalau disebut istilah “ridlo Allah”.

22 Erbe Sentanu (2008), Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta : Elex Media Komputindo, hal. 23

23 Ibid 24 Priatno H. Martokoesoemo (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan, hal 36 25 Murtadha Muthahhari (2007). Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama, Bandung : Mizan,

hal 102 26 Rakhmat (2008), Meraih……, hal.82

20

Page 21: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

2. Kebahagiaan ada yang bersifat hakiki, ultimate, dan berjangka panjang (di

akhirat), serta ada pula yang bersifat praktis, periferal, dan berjangka

pendek (di dunia saja). Yang dicari manusia adalah kebahagiaan yang

hakiki, sejati, dan tak tergoyahkan. Yang dicari manusia bukan sekedar

kesenangan atau kenyamanan-kenyamanan hidup . 27

3. Kebahagiaan dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu sebagai episode dan

sikap. Sebagai episode, kebahagiaan adalah kumpulan kejadian (keadaan)

yang memuaskan seseorang, sehingga ia ingin melanjutkan hidupnya.

Episode bahagia adalah kepuasan yang berasal dari apa dimiliki dan apa

yang dilakukan seseorang. Orang bahagia karena memiliki kendaraan,

rumah, uang (kekayaan material) atau hubungan baik, pengetahuan,

kehormatan (kekayaan non material). Orang juga akan merasa bahagia

karena bisa makan enak, menonton, berwisata (tindakan fisik) atau berpikir,

merenung, mengapresiasi keindahan alam (tindakan intelektual). Sebagai

sikap, kebahagiaan adalah makna rangkaian episode itu dari segi

keseluruhan hidup manusia. Jika kebahagiaan hanya dilihat dari beberapa

episode, tidak selalu tampak bahagia. Jika manusia dapat menilai seluruh

episode tersebut dari seluruh hidupnya dengan perasaan rela, maka ia akan

bahagia. 28

4. Kebahagiaan tidak mesti dicapai dengan menuruti segala keinginan yang

dimiliki manusia. Seseorang dapat saja berbahagia justru dengan

mengorbankan beberapa keinginan tertentu demi memilih keinginan yang

lain yang lebih penting. Misalnya, orang yang memiliki uang puluhan atau

ratusan juta akan berbahagia ketika ia mampu memilih untuk misalnya

27 Sentanu, Quantum Ikhlas…….hal 51 28 Rakhmat (2008), Meraih……, hal.93

21

Page 22: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

tidak kawin lagi, tidak membeli mobil lagi, tidak berfoya-foya, tidak

membeli vila, dan sebagainya, tetapi ia lebih memilih untuk mengurus

anak-anak jalanan, anak yatim, dan sebagainya. Kata filosof, manusia

bergerak dari keinginan tahap pertama (first-order wants), menuju

keinginan yang mengatur (regulative wants), dan akhirnya sampai kepada

keinginan yang meliputi keseluruhan hidup (overall wants). 29

5. Kebahagiaan adalah kehidupan yang baik dan harus diraih seumur hidup.

Hidup seseorang tidak dapat dinilai bahagia atau tidak sampai ia meninggal

dunia (dalam bahasa Inggris: happy ending atau Arab: khusnul khotimah).

6. Kebahagiaan dapat dipahami secara obyektif dan subyektif. Secara

obyektif, pernyataan seseorang bahwa ia bahagia itu benar atau tidak dapat

diukur (dinilai) dengan sebuah standar. Standar ini dapat merujuk pada

aturan agama, sebagaimana dilakukan oleh Al-Ghazali dan Thomas

Aquinas, atau pada pembuktian yang menunjukkan bahwa pengakuan

kebahagiaan seseorang itu salah. Contohnya, si Jono memiliki uang banyak.

Ia banyak menghabiskan waktu untuk berpesta- pora (berfoya-foya). Ia

tidak pernah sakit dan mengaku sangat bahagia. Benarkah pernyataan si

Jono ini?. Menurut ukuran agama, Jono sesungguhnya tidak bahagia,

karena jika ia kemudian tidak segera menyadari kekeliruannya (bertobat)

dan mati, maka ia akan masuk neraka. Menurut ukuran rasional, ia juga

tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia akan kehilangan hartanya,

kesehatannya, dan kesenangannya. Secara subyektif, ilmuwan dapat

mengukur kebahagiaan seseorang dengan cara menanyakan secara

29 Ibid., hal. 97

22

Page 23: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

langsung kepada yang bersangkutan tentang perasaan-perasaannya, sedih

atau bahagia.30

7. Kebahagiaan adalah masalah proses. Artinya, upaya meraih kebahagiaan

adalah proses yang terus menerus untuk mengumpulkan semua kebaikan,

misalnya: kekayaan, kehormatan, kepandaian, kecantikan, persahabatan,

dan sebagainya, dalam rangka menyempurnakan fitrah kemanusiaan dan

memperkaya kehidupan.31

B. Berbagai Pendekatan dalam Kajian Kebahagiaan

Studi mengenai konsep kebahagiaan telah banyak dilakukan melalui

berbagai perspektif. Masing-masing perspektif menyediakan berbagai penjelasan

yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri.

Perbedaan perspektif ini pada akhirnya akan memunculkan hasil yang berbeda pula

mengenai bagaimana kebahagiaan itu bisa dicapai. Para peneliti seringkali

menemukan kesulitan untuk merumuskan konsep mengenai kebahagiaan. Kata

”kebahagiaan” ini memiliki makna yang beragam. Seringkali makna dari

”kebahagiaan” (happiness) disamakan dengan ”baik” (the good) ataupun ”hidup

yang bagus” (the good life).

Namun demikian, beberapa peneliti mencoba untuk memaknai apa yang

sebenarnya dimaksud dengan kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan konsep yang

luas, seperti emosi positif atau pengalaman yang menyenangkan, rendahnya mood

yang negatif, dan memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Seseorang dikatakan

memiliki kebahagiaan yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup

mereka, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif.

Selain itu, kebahagiaan juga dapat timbul karena adanya keberhasilan individu

30 Ibid, hal 108 31 Ibid

23

Page 24: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

dalam mencapai apa yang menjadi dambaannya, dapat mengolah kekuatan dan

keutamaan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat merasakan

sebuah keadaan yang menyenangkan.

Kebahagiaan paling tidak memiliki empat komponen utama, yaitu kepuasan

dalam hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya

perasaan yang positif, seperti mood dan emosi yang menyenangkan, dan ketiadaan

perasaan negatif, tidak mood, dan emosi yang tidak menyenangkan. Keempat

komponen utama ini, yaitu kepuasan hidup, kepuasan ranah kehidupan, perasaan

positif, dan tidak adanya perasaan negatif, memiliki korelasi antara satu dengan

yang lainnya. Namun, setiap komponen menyediakan informasi unik mengenai

kualitas subyektif kehidupan seseorang. Perasaan positif dan negatif termasuk ke

dalam komponen afektif, sementara kepuasan hidup dan domain kepuasan

termasuk kedalam komponen kognitif. Keempat komponen utama ini kemudian

dijelaskan ke dalam beberapa elemen khusus. Perasaan positif meliputi

kegembiraan, keriangaan hati, kesenangan, kebahagiaan hati, kebanggaan, dan

afeksi. Sedangkan perasaan negatif meliputi munculnya perasaan bersalah, malu,

kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi, dan rasa iri.

Kepuasan ini pun dikategorikan melalui kepuasan hidup saat ini, kepuasan hidup

pada masa lalu, dan kepuasan akan masa depan. Kepuasan ranah kehidupan

muncul terhadap pekerjaan, keluarga, waktu, kesehatan, keuangan, dirinya sendiri,

dan kelompoknya.32

Veenhoven mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseluruhan evaluasi

mengenai hidup termasuk semua kriteria yang berada di dalam pemikiran individu,

seperti bagaimana rasanya hidup yang baik, sejauh mana hidup sudah mencapai

32 Rusdiyanti, Psikologi Positif……………….

24

Page 25: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

ekspektasi, bagaimana hidup yang menyenangkan dapat dicapai, dan sebagainya.

Selain itu, kebahagiaan juga dapat dikatakan sebagai pengalaman positif,

kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala tingkah laku manusia.

Kebahagiaan sendiri sering disamakan dengan istilah subjective well-being (SWB).

Istilah subjective well-being merupakan istilah ilmiah dari happiness

(kebahagiaan). Istilah ini lebih dipilih untuk digunakan oleh ilmuwan karena istilah

happiness telah diperdebatkan definisinya selama berabad-abad. Para ahli

mengartikan SWB sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan

berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk didalamnya mengenai kepuasan (baik

secara umum, maupun pada aspek spesifik), afeksi yang menyenangkan, dan

rendahnya tingkat afeksi yang tidak menyenangkan .

Hal tersebut akhirnya dijadikan sebagai komponenkomponen spesifik yang

dapat menentukan tingkat SWB seseorang. Komponen-komponen tersebut antara

lain: emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup

secara global, dan aspek-aspek kepuasan. Namun demikian ada pakar yang

memberikan kritik bahwa untuk menilai tingkat subjective well-being tidak cukup

dengan melihat masing-masing komponen. Dibutuhkan penilaian global mengenai

keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat perasaan, kepuasan

hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran

bahwa kebanyakan orang dapat menilai dirinya sebagai orang yang bahagia atau

tidak. Tidak hanya itu, kebanyakan orang juga dapat menilai orang lain sebagai

orang yang bahagia atau tidak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah istilah

mengenai kebahagiaan yang tidak sekedar menilai kebahagiaan seseorang dari

25

Page 26: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

komponen-komponen subjective well-being. Para psikolog menyebutnya sebagai

subjective happiness. 33

Menurut Seligman, ada tiga cara yang dapat membuat orang bahagia,

yaitu: have a pleasant life, have a good life, dan have a meaningfull life.

Bagaimana caranya untuk dapat menimbulkan tiga hal tersebut dalam hidup setiap

manusia?. Psikologi positif mencari cara agar bagaimana manusia dapat hidup

dalam level-level atas rentang kebahagiaan, supaya terhindar dari berbagai macam

penyakit mental. Mencari sisi kekuatan dalam diri manusia untuk dapat

membackup kelemahan mereka. Di bawah ini adalah beberapa kajian dalam

psikologi positif secara global, sebagaimana ditulis oleh Rusdiyanti. 34

Pertama, gratitute. Aspek ini merupakan kemampuan untuk mensyukuri

hal-hal kecil yang diberikan Sang Pencipta. Sebagian orang lupa untuk melakukan

hal kecil seperti ini dan lebih banyak mengeluh jika menghadapi kenyataan yang

tidak sesuai dengan harapan atau rencana. Tidak jarang pula, manusia sering lupa

bersyukur jika sudah mendapat nikmat yang besar. Hal ini sesuai dengan

peringatan Allah dalam QS. Ibrahim: 7 berikut ini: “Sesungguhnya jika kamu

bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu”.

Kedua, forgiveness. Hal ini merupakan kemampuan untuk melepaskan

pikiran dan hati dari semua masa lalu yang menyakitkan atau semua perasaan

bersalah. Memaafkan tidak hanya berarti memaafkan orang telah berbuat salah,

tetapi memaafkan diri sendiri juga merupakan tindakan yang memerlukan

keberanian yang sangat besar agar tidak berorientasi pada masa lalu dan menata

masa depan. Fungsi dari memaafkan ini sebagai intropeksi bahwasanya tidak ada

33 Lihat Martin Seligmen dalam www.authentichappiness.com 34 Rusdiyanti, Psikologi Positif ………

26

Page 27: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

yang sempurna. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, pernah disakiti dan

menyakiti. Manusia sering meminta kesabaran kepada Allah, namun doanya

dijawab oleh Allah dengan adanya sikap dan perlakuan orang lain yang tidak ia

sukai. Atas kejadian ini, ia harusnya dapat memahami apa maksud Allah dan

kemudian berusaha memaafkan, supaya perasaan benci tidak berkembang menjadi

dendam.

Ketiga,well being. Hal ini adalah kondisi dimana seorang individu memiliki

sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan

sendiri, dapat mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur

lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan

membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan

mengembangkan diri.

Huffington menawarkan empat elemen kesuksesan, yaitu: kesehatan

lahiriah-batiniah (well-being), ketakjuban (wonder), kearifan (wisdom), dan sikap

memberi (giving). Dalam ukuran baru ini, sukses harus berbanding lurus dengan

kebahagiaan. Sukses haruslah sebangun dengan kebermaknaan hidup. Jadi,

persoalan setiap manusia adalah bagaimana menemukan kebahagiaan hidup yang

sesungguhnya dengan mengisinya dengan hal-hal yang bermakna.35

Semua yang ditawarkan para pengusung Psikologi Positif di atas

sesungguhnya sebuah resep untuk setiap manusia agar dapat mengubah pola pikir

yang terlalu berfokus pada hal ektrinsik, misalnya harta, jabatan, popularitas dan

lain sebagainya, menuju pola pikir yang lebih berfokus pada diri sendiri

(intrinsik), misalnya terkait dengan tujuan, makna, prinsip, dan kebahagiaan hidup.

35 Yuswohady, Ibid.

27

Page 28: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Intinya, manusia diajak untuk lebih memfokuskan pada kebermaknaan dan

kebahagiaan hidupnya.

Di kalangan para pemikir dan peminat kajian Psikologi Islam sendiri

terdapat beberapa studi yang mencoba mengkaji masalah kebahagiaan dilihat dari

perspektif Islam, antara lain sebagi berikut.

Pertama, Imam al-Ghazali: Kimiyau as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).

Menurut al-Ghazali, manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan.

Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi tujuan yang mulia. Meski bukan

bagian dari Yang Kekal, manusia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan

membumi, ruhnya mulia dan bersifat ilahi. Melalui tempaan zuhud, manusia dapat

menyucikan dirinya dari nafsu jasmani, mencapai tingkatan tertinggi, meraih sifat-

sifat malakut, dan tidak menjadi budak nafsu. Ia temukan surganya dalam

perenungan tentang keindahan abadi dan tidak lagi memperdulikan kenikmatan

badani. Kimia ruhani yang mampu menghasilkan perubahan seperti ini, layaknya

kimia yang mengubah logam biasa menjadi emas, tak mudah ditemukan. Kitab ini

ditulis untuk menjelaskan kimia ruhani tersebut beserta metode operasinya. Dalam

kitab ini al-Ghazali menawarkan beberapa cara untuk menggapai kebahagiaan.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kimia Kebahagiaan adalah berpaling dari

dunia untuk menghadap kepada Allah. Kimia Kebahagiaan terdiri atas empat

elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan

tentang dunia sebagaimana adanya, dan pengetahuan tentang akhirat sebagaimana

adanya.36

Kedua, Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir

Kebahagiaan (2010). Dalam kedua buku ini, penulis berusaha memotivasi para

36 Al-Ghazali (2001). Kimiyau as- Sa’adah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, terj. Oleh: Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Zaman, hal. 5

28

Page 29: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

pembacanya untuk melihat kebahagiaan dalam berbagai perspektif, baik agama

(Islam), filsafat, maupun psikologis. Dalam karya yang pertama, penulis banyak

menyimpulkan pokok-pokok pemikiran Martin Seligman sebagai bapak Psikologi

Positif (Kebahagiaan). Dalam karya yang kedua, meskipun berjudul “tafsir”,

penulis tidak menyajikan secara lengkap dan komprehensif bagaimana al-Qur’an

memandang persoalan kebahagiaan. Ia hanya menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an)

mengajak umatnya untuk senantiasa memilih hidup berbahagia. Namun demikian,

kedua buku inilah yang telah menginspirasi penulis untuk melakukan kajian lebih

lanjut bagaimana sesungguhnya konsep psikologi kebahagiaan menurut al-

Qur’an.37

Ketiga, Anhar: Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran

Tasauf Hamka (2011). Dalam karya ini, Anhar banyak menyajikan pikiran Hamka

terkait dengan tema kebahagiaan secara sufistik. Ia menyimpulkan bahwa, menurut

Hamka, kebahagiaan sejati diperoleh dengan membersihkan, memurnikan, dan

mempertajam akal. Jika akal semakin sempurna, indah, dan murni, maka semakin

sempurna pula kebahagiaan yang diperoleh. Puncak tertinggi yang dialami akal

adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), yaitu mengenal Allah dengan “sempurna”.

Capaian seperti ini adalah capaian paling indah dan paling berseri. Tahap puncak

inilah yang dimaksud Hamka sebagai kebahagiaan sejati.38

Keempat, Muhammad Thohir: Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar

Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan

Lebih Bahagia. Buku ini mengajak pembaca bukan saja untuk tahu dan memahami

cara meraih kebahagiaan hakiki melalui jiwa yang sehat, tetapi juga membahas

37 Lihat Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir Kebahagiaan (2010) 38 Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka, On Line

https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-hamka/, diakses 10 januari 2016

29

Page 30: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

hubungan ilmu kedokteran, psikologi, dan Islam sebagai sumber dari berbagai

ilmu. Selain itu, penulis buku ini berusaha menuntun pembaca untuk menapaki

kehidupan yang indah, bersyukur, dan menyadari bahwa Allah telah mengajarkan

cara menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.39

Kelima, M. Sambas Wiradisuria: The Road to Happiness: Menggapai

Kebahagiaan. Buku ini berisi renungan pribadi penulisnya dalam menjalani

kehidupan dan menggapai kebahagiaan. Menurut penulis, cara menggapai

kebahagiaan adalah dengan membaca al-Qur’an sebaik-baiknya, meresapinya

dalam hati, mempelajari maknanya, melaksanakannya dalam kehidupan nyata, dan

menyampaikannya kepada orang lain. Pendekatan ini semacam ini agaknya

memang jarang dipraktekkan oleh umat Islam dewasa ini. Umat Islam masih

cenderung dibudayakan dengan menikmati lagu dan suara pembaca al-Qur’an,

bukan pada bagaimana memahami inti pesannya dan melaksanakannya dalam

kehidupan. Hal lain yang diprihatinan penulis dalam buku ini adalah kentalnya

orientasi ibadah pada ketentuan fiqhiyyah dan kurangnya penekanan pada rasa

cinta dan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang menjadi konsen

penulis dalam mengantarkan para pembaca agar dapat menemukan kebahagiaan

hidup, yaitu denga cara mendalami ajaran Islam untuk muhasabah, mensyukuri

anugerah, dan meraih ridla-Nya, terutama pada bab sayap-sayap ma’rifatullah.40

Keenam, ‘Aidh al-Qarni: La Tahzan: Jangan Bersedih. Buku ini

merupakan buku motivasi terlaris di Timur Tengah. Dengan dilatarbelakangi oleh

hadirnya buku-buku ala Chicken Soup di dunia Barat yang sekuler, buku ini

membawa perspektif berbeda yang mengambil insiprasi sumber-sumber keislaman

39 Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati, hal. 18-19

40 M. Sambas Wiradisuria (2011). The Road to Happiness: Menggapai Kebahagiaan. Depok: Khazanah Mimbar Plus. Hal. xxvii

30

Page 31: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

dalam mengkaji masalah-masalah psikologis-aktual yang dihadapai manusia di

jaman modern ini dan menawarkan pendekatan psiko-spiritual dalam membantu

mereka menemukan kebahagiaan. Dengan bahasa yang mengalir dan lugas, penulis

buku ini seakan-akan keluar dari pakem buku-buku Arab-Klasik meskipun

membahas tema yang sama. Dengan mengutip syair- syair Arab dan kata-kata bijak

para ulama terkenal, buku ini menjadi oase baru dalam mewarnai tulisan-tulisan

yang bergenre self help islami.41

Dengan melihat berbagai karya di atas, penulis termotivasi untuk ikut

berpartisipasi dalam diskursus ini dengan melakukan kajian psikologi kebahagiaan

dalam perspektif al-Qur’an. Melalui upaya ilmiah ini penulis berharap dapat

mengisi ruang kosong yang belum banyak dikaji oleh para pengusung psikologi

positif (kebahagiaan), yaitu dalam dimensi normatif-religius, serta

mengembangkan lebih dalam dan komprehensif terhadap apa yang telah diinisiasi

oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Meraih Kebahagiaan” dan “Tafsir

Kebahagiaan”.

41Aidh al-Qarni (2005) La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press, hal vii.

31

Page 32: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

BAB III MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN

A. Istilah Kebahagiaan dalam al-Qur’an

Di dalam Kamus al-Munawwir ditemukan beberapa istilah Bahasa Arab

terkait dengan tema kebahagiaan. Di antaranya adalah kata فرحا - فرح, yang berarti

bahagia, senang, gembira, riang, girang, dan suka cita; مبسوط , yang berarti bahagia

dan senang; سعد - یسعد , yang berarti bahagia atau beruntung; سعید , yang bahagia,

diberkati, atau beruntung; yang berarti , فالح ,yang berarti berbahagialah ,طوبى ل

sukses, kemakmuran, kemenangan, dan kejayaan; dan افلح , yang berarti sukses,

berhasil, atau beruntung.P41F

42

Di dalam al-Qur’an sendiri, istilah dan makna kebahagiaan di antaranya

dapat ditangkap dari berbagai bentuk kata (kalimat) berikut ini: 43

:yaitu terdapat dalam QS. as-Syams: 9, al-A’la ,(sungguh berbahagia) قد افلح .1

14, Thaha: 64, dan al-Mu’minun: 1.

-yaitu terdapat dalam QS. al ,(orang-orang yang berbahagia/beruntung) مفلحون .2

Baqarah: 5, 189; ali Imran: 104, 130, 200; al-Maidah: 35, 90, 100; al-An’am:

21,135; al-A’raf: 8, 69,157; al-Anfaal: 45; at-Taubah: 88; Yunus: 17,69,77,23;

an-Nahl: 116; al Kahfi:20; Thaha: 69; al-Hajj: 77, al-Mu’minun: 102, 117; an-

Nur: 31, 51; al-Qashash: 67,82; ar-Ruum: 38; Luqman: 5; al-Mujadalah: 22;

al-Hasyr:9; al-Jum’ah: 10; dan at-Taghabun: 16.

yaitu terdapat dalam QS. Ar-Ra’du: 29 ,(berbahagia) طوبى .3

42 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5

43 Diringkas dari al-Wasi’ Ensiklopedi al-Qur’an ver. 1.0.0 dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5

32

Page 33: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

.yaitu terdapat dalam QS. an-Nahl: 97 ,(kehidupan yang baik) حیاة طیبة .4

.yaitu terdapat dalam QS. Huud: 105, 108 ,(yang berbahagia) سعید ,سعدوا .5

:yaitu terdapat dalam QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du ,(kebaikan, yang baik) حسنة .6

6,22; an-Nahl: 30,41,122,125; an-Naml: 46,89; al-Qashash: 54, 84; al-Ahzab:

21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan al-Mumtahanah: 4,6.

فرح .7 (senang), yaitu terdapat dalam QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am:

44; at-Taubah: 50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10; ar-Ra’du: 26,36; al-

Mu’minun: 53; an-Naml: 36; al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir:

75,83; asy-Syuuraa: 48; dan al-Hadiid: 23.

-yaitu terdapat dalam QS. al-A’raf: 96; Huud: 48, 73; an ,(keberkahan) بركة .8

Nahl: 127; dan adz-Dzariyaat: 39.

,yaitu terdapat dalam QS. al-Maidah: 16; al-An’am: 125 ,(keselamatan) سالم .9

127; al-A’raf: 46; at-Taubah: 74; Yunus:10, 25; Huud: 48,69; ar-Ra’du: 24;

Ibrahim: 23; Al-Hijr: 46, 52; an-Nahl: 32, Maryam: 33,47,62; Thaha: 47; al-

Anbiyaa: 69; al-Furqaan: 63,75; an-Naml: 59; al-Qashash: 55; al-Ahzab: 44;

Yaasiin: 58; as-Shaffat: 79, 109, 120, 130; az-Zumar: 22, 73; az-Zuhruf: 89;

al-Hujuurat: 17; Qaaf: 34; adz-Dzaariyyat: 25; al-Waaqi’ah: 91; al-Hasyr: 23;

as-Shaff: 7; dan al-Qadr: 5.

yaitu terdapat dalam QS. al-Baqarah; 248 ,(ketenangan/ketenteraman) سكینة .10

dan al-Fath: 4, 18.

;yaitu terdapat dalam QS. Ali Imran: 126; al-Maidah: 113 ,(yang tenang) مطمئنة .11

al-Anfaal: 10; ar-Ra’du: 28; an-Nahl: 112; dan al-Fajr: 27.

:yaitu terdapat dalam QS. Al-An’am: 125; an-Nahl: 106; Thaha ,(lapang) شرح .12

25; az-Zumar: 22, dan asy-Syarh: 1.

33

Page 34: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

:yaitu terdapat dalam QS. an-Nisa: 13, 73; al-Maidah ,(keberuntungan) فوز .13

119; al-An’am: 16; at-Taubah: 72, 89, 100, 111; Yunus: 64; al-Ahzab: 71, ash-

Shaffat: 60; al-Ghaafir: 9; ad-Dukhan: 57; al-Fath: 5; al-Hadid: 12, ash-Shaff:

12; at-Taghabun: 9, dan al-Buruj: 11.

Di luar kata-kata di atas, makna bahagia dapat dipahami secara harfiah dari

kata al-insan (manusia) itu sendiri yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali..

Menurut Quraish Shihab, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Alaq: 3, 5 dan QS.

al-‘Ashr: 2, kata al-insan berasal dari akar kata yang berarti “jinak”, “harmonis”,

“gerak/dinamis“, “lupa”, dan “merasa bahagia/senang”. Ketiga arti ini

menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia: ia bergerak dan

dinamis, memiliki sifat lupa dan dapat melupakan kesalahan-kesalahan orang lain,

atau merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya, bahkan idealnya

selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-

makhluk lainnya. 44 Hal ini juga berarti bahwa manusia berpotensi untuk selalu

merasa senang, bahagia, dan membahagiakan orang lain. Itulah misi hidup manusia

di muka bumi ini.

B. Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an

1. Kehidupan yang baik ( حیاة طیبة )

Makna ini dapat dilihat dalam dua ayat berikut ini:

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS. an-Nahl: 97).

44 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, hal. 87 dan 475

34

Page 35: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra: 70). “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS. ar-Ra’du, 13: 29).

Dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab menjelaskan bahwa ungkapan

“kehidupan yang baik” di atas mengisyaratkan bahwa seseorang dapat

memperoleh kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang berbeda dengan

kebanyakan orang. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kehidupan

yang baik itu bukan berarti kehidupan mewah yang luput dari ujian, tetapi ia

adalah kehidupan yg diliputi rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam

menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, orang

yang memiliki kehidupan yang baik tidak merasakan takut yang mencekam

atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa

pilihan Allah adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran

yang menanti. Seorang yang durhaka, meskipun kaya, dia tidak akan pernah

merasa puas, selalu ingin menambah kekayaannya, sehingga selalu merasa

miskin dan diliputi kegelisahan, rasa takut tentang masa depan dan

lingkungannya. Dia tidak menikmati kehidupan yang baik. Kehidupan yg

baik juga dapat dipahami sebagai kehidupan di surga kelak, alam barzakh,

atau kehidupan yg diwarnai oleh qona’ah, yaitu rasa puas atas sesuatu (rizki)

yang halal.45

Dalam Tafsir al-Azhar, HAMKA menyatakan bahwa kehidupan yang baik

adalah anugerah Allah yang dijanjikan kepada orang yang beriman dan

45 M. Quraish Shihab (2004), Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati ,Vol 7

35

Page 36: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

beramal shalih di dunia ini. Ibnu Katsir mengartikan kehidupan yang baik

dengan ketenteraman jiwa, meskipun banyak menghadapi gangguan. Bagi

Ibnu Abbas, kehidupan yang baik adalah mendapatkan rizki yang halal lagi

baik dalam hidup di dunia ini. Menurut Ali bin Abi Thalib, kehidupan yang

baik adalah rasa tenang dan sabar menimpa berapapun dan apapun yang

diberikan Allah, dan tidak merasa gelisah. Sementara, Ali bin Abi Thalhah

dan Ibnu Abbas memaknai kehidupan yang baik dengan as-sa’adah atau rasa

bahagia. Satu riwayat dari ad-Dahhaak menyatakan bahwa kehidupan yang

baik ialah rizki yang halal, kelezatan dan kepuasan beribadah kepada Allah

dalam hidup, dan lapang dada. Menurut Ja’far as-Shadiq, kehidupan yang

baik adalah tumbuhnya ma’rifah atau pengenalan terhadap Allah di dalam

Jiwa. 46

Selanjutnya, HAMKA juga meriwayatkan bahwa menurut al-

Mahayami, kehidupan yang baik adalah ketika seorang mukmin merasa

berbahagia dengan amalnya di dunia ini, lebih daripada kesenangan orang

yang berharta dan berpangkat dengan harta dan pangkatnya, dan kebahagiaan

perasaannya itu tidak ditumbangkan oleh kesulitan hidupnya. Hal itu terjadi

karena yang bersangkutan merasa ridho menerima pembagian yang diberikan

Allah kepadanya, sehingga harta benda tidak terlalu dipentingkannya.

Sebaliknya, orang kafir, meskipun banyak harta, dia tidak pernah merasa

bahagia, malah tambah rakus dan takut bila hartanya akan habis. Sementara

itu, orang yang diberikan kehidupan yang baik di dunia ini akan juga diberi

46 Lihat Prof. Dr. HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar Jilid 5. Singapura: Pustaka Nasional.

36

Page 37: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

ganjaran yang lebih baik di akhirat. Menurut al-Qasimi, kehidupan yang baik

adalah rasa sejuk (tenteram) dalam dada karena puas dan yakin, merasakan

manisnya iman, ingin menemui apa yang telah dijanjikan Allah dan ridha

menerima ketentuan (qadha) dari Tuhan. Selanjutnya, jiwanya dapat

melepaskan diri dari apa yang telah memperbudaknya selama ini, merasa

tenteram dengan satu Tuhan yang disembah, serta mengambil cahaya (nur)

dari rahasia wujud yang berdiri padanya, dan lain-lain kelebihan yang telah

ditentukan pada tempatnya masing-masing. Itulah kehidupan yang baik di

dunia, adapun kehidupan keakhirat akan lebih baik dan sempurna

ganjarannya.47

Kata HAMKA, semua penafsiran di atas tidak berlawanan, tetapi

saling melengkapi, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:

قد افلح من ھدي لالسالم وكان عیشھ كفافا وقنع بھ

“Sungguh bahagia orang yang telah ditunjukkan kepada Islam (menjdai muslim), mendapat rezeki sekedar cukup, dan menerima dengan senang apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Umar).

Intinya, kata Hamka, sesunggnya segala amal saleh yang dikerjakan

oleh manusia yang bersumber dari rasa iman tidaklah sepadan dengan pahala

dan ganjaran yang akan kita terima di akhirat kelak. Sesungguhnya, amal

yang dikerjakan manusia sangatlah sedikit, tetapi ganjaran yang ia terima

berlipat ganda. Umur manusia terbatas, sementara balasan terhadap amal

manusia tidak pernah habis dan selalu kekal.48

47 Ibid, 48 Ibid.

37

Page 38: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Itulah makna kebahagiaan dalam arti kehidupan yang baik yang merupakan

naluri spiritual yang khas manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Isra:

70. Artinya, pada dasarnya bahagia adalah fitrah bagi manusia. Bahagia sudah

seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, karena menurut fitrahnya, manusia

diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk

yang paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya.

Kabir Helminski, seorang sufi penerus tradisi Jalaluddin Rumi, menulis

tentang manusia sempurna dalam bukunya, The Knowing Heart: A Sufi Path of

Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna adalah refleksi dari

sifat-sifat Tuhan yang sebagian tercermin dalam 99 nama Allah (al-Asma’ul

Husna). Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang memerlukan

hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian

kebahagiaan yang sesungguhnya.49

2. Kebaikan ( حسنة )

Kebahagiaan dalam arti kebaikan atau yang baik ( dapat dipahami ( حسنة

dari QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du: 6,22; an-Nahl: 30,41,122; an-Naml: 46,89; al-

Qashash: 54, 84; al-Ahzab: 21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan

al-Mumtahanah: 4,6. Sebagai sampel, berikut ini adalah redaksi dari ayat yang

mengandung kata kebaikan ( حسنة ):

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dianiaya, pasti Kami akan menempatkan mereka di dunia pada tempat yang baik dan pasti pahala akhirat besar, jika mereka mengetahui. Mereka adalah orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal”(QS. an-Nahl: 41-42)

49 Erbe Sentanu, (2008). Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elex Media Komputindo. hal. 26

38

Page 39: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Menurut Quraish Shihab, kata حسنة pada ayat di atas menyifati sesuatu yang

tidak disebut, yaitu tempat atau situasi. Para ulama berbeda pendapat dalam

memahami maksud dari kata ini. Ada yang berpendapat bahwa kata ini bermakna

Kota Madinah, ada pula yang memahaminya dalam arti rejeki, kemenangan, atau

nama harum lainnya. Makna-makna ini sebenarnya dapat digabung. Fakta sejarah

membuktikan bahwa tidak lama setelah Nabi Saw. dan para sahabat beliau

berhijrah ke Madinah, tercipta di sana suatu masyarakat islami yang aman,

sejahtera, dan dapat meraih kemenangan menghadapi lawan-lawan mereka.

Dengan berhijrah ke Madinah, lahirlah masyarakat Madani dan peradaban baru

yang mengubah wajah kemanusiaan.P49F

50

Selanjutnya, masih dalam surat yang sama Allah berfirman: “Dan kami

beri dia di dunia ini kebaikan, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-

orang yang shaleh” (QS an-Nahl: 122). HAMKA menjelaskan tentang kandungan

ayat ini dengan melihat anugerah (kebahagiaan) yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim

AS. Maksudnya adalah bahwa kebaikan dunia yang telah nyata diterima oleh

beliau adalah ketika beliau nyaris tidak mengharapkan lagi akan mendapatkan

keturunan (putera), karena usianya yang telah menua, maka kemudian beliau

memiliki putera (Ismail) pada usia 86 tahun. Kemudian pada usia 100 tahun beliau

memiliki anak kedua (Ishaq) dari isteri beliau yang diduga mandul, yaitu Sarah.

Kedua putera inilah yang kemudian menurunkan bangsa-bangsa besar. Selain itu,

HAMKA melihat dari rizki yang diperoleh Ibrahim yang berlipat ganda di hari

tuanya. Sudah menjadi hal yang lumrah (umum) bahwa keturunan dan harta benda

adalah lambang kebaikan dunia dan kemegahannya. Sungguh sebuah keniscayaan,

jika orang yang telah berjuang demi Allah, sebagaimana Ibrahim yang telah

50 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Surat an-Nahl……hal. 232-233

39

Page 40: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

mendapat gelar “Khalilullah”, akan mendapatkan tempat yang layak pula di

akhirat, bersama orang-orang shalih lain, yaitu para Nabi, Rasul, dan para

pengikutnya yang setia.51

Kata hasanah, yang berarti kebaikan dapat ditemukan pula dalam QS. ar-

Ra’du: 6 sebagai berikut:

“Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan (yang luas) bagi manusia sealipun mereka dzalim, dan sesunggunya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksa-Nya.

Al-Maraghi menjelaskan makna hasanah dalam ayat di atas sebagai

balasan bagi orang yang beriman, yaitu berupa kemenangan dan keberuntungan di

dunia serta pahala di akhirat. Dalam konteks ayat di atas, kata hasanah ( (حسنة

merupakan lawan dari kata sayyiah ( yang berarti azab yang diancamkan (سیئة

kepada orang-orang kafir. Janji ini sesungguhnya telah disampaikan oleh Nabi

Saw. kepada kaum kafir agar mereka mau beriman, tetapi yang terjadi adalah

justru mereka minta (menantang) kepada Nabi untuk disegerakan azab buat

mereka. P51F

52

Sementara, dalam menjelaskan makna hasanah (kebaikan) dalam QS. at-

Taubah ayat 50, al-Maraghi mengartikannya sebagai sesuatu yang apabila tercapai

akan menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, kemenangan, dan

sebagainya. Intinya, kata al-Maraghi, kebaikan adalah segala hal yang membuat

manusia gembira, seperti kemenangan dan rampasan perang yang didapatkan oleh

umat Islam waktu Perang Badar. Hasanah dalam ayat ini dapat dipahami secara

51 HAMKA, Tafsir Al-Azhar….hal. 3984-3985 52 Ahmad Mustafa al-Maraghi (1994) Tafsir al-Maraghi , Semarang: Toha Putra, hal. 127

40

Page 41: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

berpasangan dengan mushibah yang dapat diartikan sebagai kesusahan, kekalahan,

atau tercerai-berainya tentara umat Islam waktu Perang Uhud.53

Berangkat dari berbagai penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

makna hasanah adalah segala kebaikan yang menimbulkan rasa bahagia, yang

didapatkan manusia di dunia; berupa kemenangan, rizki, kejayaan, kesuksesan,

anak, harta benda, dan sebagainya, dan di akhirat sebagai balasan yang lebih kekal

yang sifatnya lebih ruhani. Kebaikan dunia dan akhirat inilah yang akan

didapatkan bagi orang-orang yang beriman dan berjuang di jalan Allah.

3. Bahagia atau beruntung ( فالح , سعادة , dan فوز )

Makna سعادة dapat disimpulkan dari redaksi kalimat yang terdapat dalam

dua ayat berikut ini:

“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara melainkan dengan seijin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia” (QS. Huud: 105) “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surge mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhan-Mu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya” (QS. Huud: 108)

Istilah kebahagiaan ( dalam dua ayat di atas dapat dipahami (سعادة

dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata celaka (sengsara).

Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya,

kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam

antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan

kesusahan atau kesenangan, bahagia atau sengsara. Manusia akan selalu

berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan,

termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menangis. Tangisan adalah tanda

53 Ibid, hal. 227

41

Page 42: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti

kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan. Orang yang bahagia biasanya

menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya,

orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh

tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tahu jalan

hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah,

atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil. Orang yang

bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang

menghadapi persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, di dalam

jiwanya tertanam akidah yang kuat, dan sadar bahwa segala sesuatu telah

diatur oleh Allah Swt. Orang bahagia adalah orang yang merasa aman,

tenang, dan punya kekuatan untuk menjalani kehidupan, sebagaimana firman

Allah di bawah ini: 54

“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Sementara itu, makna kebahagiaan dalam arti فالح didapatkan dari beberapa

ayat dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut:

a. Dalam bentuk redaksi …. sebagaimana ,(…sungguh berbahagia) قد افلح

terdapat dalam: QS. as-Syams: 9, al-A’la: 14, Thaha: 64, dan al-

Mu’minun: 1,

b. Dalam bentuk redaksi ھم المفلحون atau من المفلحین (….merekalah orang-

orang yang berbahagia), sebagaimana terdapat dalam: QS. al-Baqarah:

5, Ali ‘Imran: 104; al-A’raf: 8, 157; at-Taubah: 88; al-Hajj: 77; an-Nuur:

54 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj. Oleh Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, hal. 171-181

42

Page 43: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

51; al-Qashash: 67; ar-Ruum: 38; Luqman: 5; al-Mujadalah: 22; al-

Hasyr: 9; dan at-Taghabun: 16.

c. Dalam bentuk redaksi لعلكم تفلحون….. (….agar kalian berbahagia)

sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah: 189; Ali Imran: 130, 200;

al-Maidah: 35, 90, 100; al-A’raf: 69, al-Anfaal: 45, an-Nur: 31; al-

Jum’ah: 10.

d. Dalam bentuk redaksi tidak) .…الیفلحون atau لن تفلحون ,ال یفلح ...

berbahagia….), sebagaimana terdapat dalam QS. al-An’am: 21, 135;

Yunus: 17, 69, 77; an-Nahl: 116; al Kahfi: 20; Thaha: 69; al-Mu’minun:

117; al-Qashash: 82

Menurut Quraish Shihab, kata aflaha terambil dari kata falah yang

diartikan sebagai ”memperoleh yang dikehendaki”. Kata ini sering

diterjemahkan dengan “beruntung”, “berbahagia”, memperoleh kemenangan,

dan sejenisnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, kata aflaha ditemukan

dalam al-Qur’an sebanyak empat kali, salah satunya adalah QS.Thaha: 64,

yang merupakan ucapan Fir’aun ketika akan terjadi pertandingan sihir antara

Nabi Musa dan ahli-ahli sihirnya: 55

“Pasti memperoleh keberuntungan (kebahagiaan) siapa yg hari ini

lebih tinggi sihirnya” (QS. Thaha: 64).

Selain itu, lanjut Quraish, kata aflaha merupakan penegasan Allah

Swt. yang ditemukan pada surat al-a’la ayat 14, as-Syams ayat 9, dan al-

mu’minun ayat 1. Dalam al-Mu’minun ayat 1-9, dikemukakan sifat-sifat

orang-orang mukmin yang akan meraih al-falah (kemenangan). Sifat-sifat

tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman)

55 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim…… hal. 430

43

Page 44: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka),

sebagaimana ada di QS. Al-A’la. Upaya-upaya itu meliputi khusyu dalam

shalat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, menjaga

kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan

memelihara waktu shalat. Dalam QS. Al-a’raf 157 ditegaskan pula bahwa

orang-orang yang beriman kepada Nabi Saw., memuliakan, dan membela

beliau, termasuk orang-orang yang beruntung. Selain itu ditegaskan pula

dalam QS. Al-Qashahsh 67: “Adapun orang-orang yang bertaubat dan

beriman, serta mengerjakan amal saleh, maka semoga dia termasuk yang

beruntung”. Jadi, mengamalkan sifat (pekerjaan) di atas akan mengantarkan

seseorang memperoleh keberuntungan sekaligus menjadikan jiwanya suci dan

bersih. 56

Di sisi lain, ditemukan pula lima sifat atau perbuatan yang secara

tegas dinyatakan Qur’an sebagai faktor yang tidak akan membawa

keberuntungan (kebahagiaan), yaitu: penganiayaan (QS. 6: 21), kriminalitas

(QS. 10: 17), sihir (QS. 10: 77), kekufuran (QS. 23: 117), dan kebohongan

dengan mengatasnamakan Allah (QS. 10: 69). Penegasan al-Qur’an yang

berbicara tentang orang yang memperoleh keberuntungan cenderung dituntut

untuk melakukan sifat (pekerjaan) yang tidak ringan. Maka, sangat tidak

tepat jika tazakka dalam QS. Al-A’la 14-15 ditasirkan dengan sekedar zakat

fitrah dan Shalat ‘Id sebagaimana dipahami oleh sebagian mufassir. 57

Makna kebahagiaan dalam arti فوز (keberuntungan) di antaranya dapat

digali dari ayat berikut ini: “Sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu

adalah keberuntungan yang besar “ (QS. ad-Dukhaan: 57). Ayat ini adalah sebuah

56 Ibid, hal. 431 57 Ibid

44

Page 45: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

rangkaian dari ayat-ayat sebelumnya yang menggambarkan keberuntungan besar

orang bertaqwa di akhirat yang selamat dari azab Allah dan banyak mendapat

kenikmatan di surga. Kenikmatan itu misalnya berupa tinggal di taman-taman dan

mata air, mengenakan pakaian dari sutera yang halus, dan duduk saling berhadapan

di tempat mereka sambil bergembira. Mereka juga dikawinkan dengan bidadari

yang bermata jeli, sehingga semakin lengkaplah kenikmatan tersebut. Mereka di

surga juga memiliki istana dan dapat meminta apapun yang mereka inginkan. Di

dalam surga mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman dan

kenikmatan itu tidak akan ada habisnya, karena tidak ada kematian di akhirat,

sebab mereka telah merasakan kematian di dunia. Itu adalah merupakan kebalikan

dari keyakinan orang musyrikin yang mengatakan bahwa “tidak ada kematian

selain kematian di dunia ini dan kami sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. Mereka

lupa bahwa di belakang kematian dunia ada surga dan neraka.58

Dengan melihat berbagai penafsiran di atas, maka makna kebahagiaan

dalam arti falah, sa’adah, dan fauz lebih bersifat umum, meliputi

kesenangan, kegembiraan, dan keberuntungan yang didapatkan oleh orang-

orang yang beriman, bertaqwa, beramal saleh, serta mengikuti petunjuk Allah

dengan cara mengikuti para rasul-Nya. Kebahagiaan ini berdimensi fisik,

psikis, dan spiritual, baik di dunia maupun di akhirat.

4. Ketenangan ( سكینة ) dan ketenteraman ( طمئننة )

Kebahagiaan dalam arti ketenteraman dan ketenangan dapat digali dari dua

lafadz di atas sebagaimana tersebar dalam ayat-ayat al-Qur’an. Lafadz سكینة

terdapat dalam QS. al-Baqarah; 248; at-Taubah: 26, 40; al-Fath: 4,5,18, dan 26,

sementara lafadz طمئننة terdapat dalam QS. Ali Imran: 126; al-Maidah: 113; al-

58 Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an. Terj. Oleh As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani. hal. 281

45

Page 46: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Anfaal: 10; ar-Ra’du: 28; an-Nahl: 112; dan al-Fajr: 27. Dalam ayat-ayat ini

digambarkan kondisi jiwa yang tenang (tenteram).

Dua istilah di atas, yaitu ketenangan (sakinah) dan ketenteraman

(thuma’ninah), sering dipertukarkan penggunaannya. Akan tetapi, menurut Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah, dua istilah ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:

a. Sakinah merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai

dengan hilangnya rasa takut, sedangkan thuma’ninah merupakan

pengaruh yang timbul dari adanya sakinah. Ringkasnya, thuma’ninah

merupakan puncak dari sakinah.

b. Keberuntungan yang diperoleh karena sakinah seperti seseorang yang

berhadapan musuh. Artinya, ketika musuhnya sudah lari, maka hati yang

bersangkutan menjadi tenang. Sedangkan thuma’ninah seperti orang

yang masuk ke dalam benteng yang pintunya terbuka, sehingga dia

merasa aman dari musuh.

c. Thuma’ninah sifatnya lebih umum, karena ditunjang oleh ilmu,

pemberitaannya, keyakinan, dan dan keberuntungan. Sebagai contoh

misalnya, hati menjadi thuma’ninah karena bacaan al-Qur’an. Hal ini

terjadi karena ada rasa iman kepa al-Qur’an, mengetahuinya, dan

mendapat petunjuknya. Sementara, sakinah merupaka keteguhan hati

yang dapat mengusir rasa takut dan hilangnya kecemasan, seperti

keadaan pasukan Allah yang dapat membunuh musuh.59

Secara sufistik, sakinah (ketenangan) termasuk tempat persinggahan

pemberian dan bukan pencarian atau usaha. Artinya, sakinah adalah ketenangan

yang diturunkan Allah ke dalam hati hamba-Nya ketika mengalami keguncangan

59 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (2006). Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. Terj. Oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, hal. 345

46

Page 47: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu, dia tidak lagi

merasakannya, karena ketakutan itu sudah disingkirkan, sehingga menambah

keyakinan, keimanan, dan keteguhan hatinya. Hal ini dapat dipahami saat Allah

mengabarkan ketenangan yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan kepada

orang-orang mukmin (para sahabat) ketika mereka mengalami kecemasan dan

kegelisahan, seperti saat hijrah, yaitu ketika beliau dan Abu Bakar bersembunyi di

dalam gua, sementara musuh ada di atas kepala. Apabila di antara mereka berdua

ada yang melihat ke bawah, tentu para musuh akan melihat mereka. Begitu pula

pada saat perang Hunain, karena pasukan muslim melarikan diri akibat

mendapatkan serangan musuh. Sebagian di antara mereka tidak memperdulikan

nasib sebagian yang lain. Begitu pula saat perjanjian Hudaibiyah, ketika hati

mereka dirasuki perasaan cemas dan gelisah atas sikap orang-orang kafir, yang

memaksakan syarat-syarat perjanjian yang harus diterima kaum muslimin.60

Menurut Sayyid Quthb, ketika menafsirkan QS al-Fath: 5, sakinah

merupakan istilah yang mengungkapkan, menggambarkan, dan menaungi. Apabila

sakinah diturunkan Allah ke dalam hati manusia, terjadilah ketenteraman,

ketenangan, keyakinan, kepercayaan, kekokohan, keteguhan, kepasrahan, dan

keridhoan. Dalam pembukaan surat ini Allah menurunkan berita kebahagiaan

untuk Rasulullah, yaitu berupa kemenangan yang nyata, ampunan yang

menyeluruh kenkmatan yang sempurna, hidayah yang kokoh, dan pertolongan

yang kuat. Akan tetapi, dalam ayat kelima ini Allah selanjutnya juga menjelaskan

nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kaum mukminin berupa kemenangan,

60 Ibid. hal. 341

47

Page 48: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

sentuhan ketenteraman dalam hati mereka, dan nikmat lainnya yang tersimpan

untuk mereka di akhirat.61

Menurut Ibnu Taimiyyah, sakinah dapat dibedakan dalam tiga derajat.

Derajat pertama, yaitu sakinah kekhusyu’an saat melaksanakan pengabdian,

berupa memenuhi hak, mengagungkan, dan menghadirkan hati di hadapan Allah. 62

Sakinah model ini berarti ketenangan, kewibawaan, dan kekhusyu’an yang

diperoleh pelakunya karena berbuat kebajikan. Allah berfirman:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk

hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun

(kepada mereka)?” (QS. al-Hadid: 16)

Karena iman mengharuskan munculnya kekhusyu’an atau mengajak kepada

kekhusyu’an, maka Allah menyeru orang-orang yang beriman dari kedudukan

iman kepada kebajikan. Dengan kata lain, Allah berfirman: “Belumkah tiba

saatnya bagi mereka untuk mencapai kebajikan dengan iman?” Untuk

mewujudkannya hal ini orang yang beriman memerlukan kekhusu’an saat mereka

mengingat apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud memenuhi

hak dalam derajat ini adalah memenuhi hak pengabdian kepada Allah Swt., yaitu

saat seseorang memiliki rasa pengagungan dan hadirnya hati saat menyaksikan

Allah yang disembah, seakan-akan ia dapat melihat-Nya.

Derajat yang kedua, yaitu sakinah saat bermuamalah, dengan menghisab

diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah. Derajat inilah

yang biasa dimiliki oleh para sufi dan yang menjadi ciri mereka dalam

bermuamalah dengan Allah dan makhluk, yang diperoleh dengan tiga hal, yaitu

menghisab diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah.

61 Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an…..hal. 385 62 Sebagaimana disarikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibid.

48

Page 49: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Menghisab diri adalah senantiasa menghitung diri dan bertanya terhadap diri

sendiri tentang kekurangan setiap amal yang dilakukannya di hadapan Allah,

sebagai bahan perbaikan. Lemah lembut terhadap makhluk adalah tidak

memperlakukan mereka, khususnya manusia, dengan kaku dan keras, karena hal

ini akan membuat mereka lari menghindar, merusak hati dan hubungan dengan

Allah, dan membuang waktu. Sebaliknya, seorang mukmin yang memiliki sakinah

akan dapat berinteraksi dengan manusia secara lemah lembut.

Derajat sakinah yang ketiga adalah sakinah yang menguatkan keridhaan

terhadap bagian dirinya, mencegah dari omong kosong dan menempatkan orang

yang memilikinya pada batasan ubudiyah. Sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam

hati para nabi, wali, dan orang yang terpilih dari hamba-hamba Allah. Orang yang

memiliki sakinah jenis ini merasa ridha kepada bagian dirinya dan tidak menoleh

ke bagian orang lain. Orang yang memiliki sakinah tidak akan berkata bohong,

karena dusta hanya muncul dari hati yang tidak memiliki sakinah. Ini adalah

anugerah yang paling agung yang dikaruniakan Allah hanya kepada para Rasul dan

orang-orang mukmin sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.63

Tentang thuma’ninah, dengan merujuk pada QS. al-Fajr: 27-30, Ibnu

Qayyim mengartikannya sebagai ketenteraman hati terhadap sesuatu, tidak cemas

dan gelisah. Di dalam atsar disebutkan bahwa “Kejujuran merupakan ketenteraman

dan kebohongan merupakan kebimbangan”. Allah menjadikan thuma’ninah di

dalam hati orang-orang beriman dan di dalam jiwa mereka, kemudian memberikan

kabar gembira, bahwa yang masuk sorga adalah orang-orang yang memiliki jiwa

yang tenteram (thuma’ninah). Ayat yang berbunyi: “Hai jiwa yang tenteram,

kembalilah kepada Tuhanmu”, merupakan dalil bahwa jiwa itu tidak kembali

63 Ibid, hal 343-344

49

Page 50: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

kepada Allah kecuali jika dalam keadaan thuma’ninah. Orang yang beriman

dianjurkan untuk membaca do’a ulama salaf, sebagai berikut: “Ya Allah

anugerahkanlah kepadaku jiwa yang thuma’ninah kepada-Mu”.

Sebagaimana sakinah, thuma’ninah oleh Ibnu Qayyim dibedakan menjadi

tiga tingkatan, yaitu: 64

a. Thuma’ninah hati karena menyebut asma Allah Swt. Ini merupakan

thuma’ninah-nya orang yang takut yang beralih ke harapan, dari

kegelisahan ke hokum, dan dari cobaan ke pahala. Sifat thuma’ninah

jenis ini bisa dipahami dari rasa tenang yang muncul karena menyebut

nama Allah dan membaca kitab-Nya dan rasa tenteram yang dimiliki

oleh hati seorang hamba yang merasa takut akan siksa-Nya, kemudian

beralih ke rasa harap akan kasih sayang-Nya. Demikian halnya dengan

rasa tenteram seseorang karena mengikuti hukum-hukum agama yaitu

dengan mengikuti jalan yang lurus serta huku takdir, di mana Allah telah

berkehendak akan seperti apa dan bagaimana nasib seorang hamba

dengan takdir dan kekuasaan-Nya, atau rasa tenteram seorang hamba

yang awalnya gelisah karena mendapat berbagai cobaan dari Allah,

tetapi kemudian menjadi tenang karena yakin akan pahala atau pengganti

yang dijanjikan oleh Allah Swt.

b. Thuma’ninah ruh saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat

merindukan janji, dan saat berpisah untuk berkumpul kembali. Ruh

menjadi thuma’ninah jika melihat tujuannya dan tidak ingin menengok

ke belakang. Ruh akan merindukan apa yang dijanjikan kepadanya. Ia

menjadi tenang dan tenteram karena yakin akan mendapatkan apa yang

64 Lihat Ibnu Qayyaim, Madarijussalikin….. hal. 345-346

50

Page 51: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

dijanjikan kepadanya. Ruh juga menjadi thuma’ninah jika ia berpisah

denga hal-hal yang menjadi kebiasaannya, seperti orang yang lapar lalu

mendapatkan makanan, yang membuatnya menjadi tenteram.

c. Thuma’ninah karena menyaksikan kasih sayang Allah, kebersamaan

menuju kekekalan, dan kedudukan menuju cahaya azali. Derajat ini

terkait dengan kefanaan dan kekekalan yang akan dialami oleh Ruh.

Orang yang sampai kepada kesaksian kebersamaan dengan Allah akan

merasa tenteram karena kasih sayang Allah. Ia juga tenteram karena

yakin akan segala ketetapan Allah yang bersifat azali.

Berangkat dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kebahagiaan dalam arti sakinah (tenang) dan thuma’ninah (tenteram) adalah segala

balasan, anugerah, dan nikmat dari Allah yang lebih bernuansa psikologis

(emosi/perasaan), ruhaniyah (spiritual), dan ukhrowi, dari pada sekedar

kebahagiaan yang bersifat material, jasadiyah, dan duniawi. Setiap muslim akan

berusaha menggapai kebahagian jenis ini, karena merupakan puncak kebahagiaan

atau kebahagiaan yang sesungguhnya.

5. Kelapangan dan kegembiraan ( شرح dan فرح )

Makna kebahagiaan dalam kata شرح - نشرح (lapang, melapangkan) dapat

digali dari QS. al-Insyirah: 1. Menurut Quraish Shihab, kata ini berarti memperluas

atau melapangkan, baik secara material maupun immaterial. Apabila kata ini

dikaitkan dengan sesuatu yang material, maka ia berarti ‘memotong’ atau

‘membedah’, sedangkan jika dikaitkan dengan sesuatu yang non material, maka ia

berarti ‘membuka’, ‘memberi pemahaman’, atau ‘menganugerahkan ketenangan’.

Dengan memperhatikan konteks QS. al-Insyirah dan ayat-ayat lainnya, misanya

QS. az-Zumar: 22, al-An’am: 125, al-Hajj: 46, dan sebagainya, maka kata شرح

51

Page 52: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

lebih tepat dipahami kaitannya dengan sesuatu yang immaterial. Makna

kelapangan dalam dalam ayat-ayat di atas lebih tepat dipahami sebagai kelapangan

dada yang dapat menghasilkan kemampuan menerima dan menemukan kebenaran,

hikmah dan kebijaksanaan, dan kesanggupan menampung bahkan memaafkan

kesalahan orang lain. 65

Makna kebahagiaan dalam bentuk kata فرح dapat ditemukan dalam

beberapa tempat, yaitu: QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am: 44; at-Taubah:

50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10; ar-Ra’du: 26,36; al-Mu’minun: 53; an-Naml: 36;

al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir: 75,83; asy-Syuuraa: 48; dan al-

Hadiid: 23. Kata ini, terutama dalam konteks QS Ghafir: 75 ( تفرحون ) , menurut ar-

Raghib al-Ashfahani, digunakan dalam arti keceriaan dan kegembiraan hati akibat

adanya kelezatan duniawi yang pada umumnya berupa kelezatan yang bersifat

jasmaniah. Sedang kata تمرحون berarti kegembiraan yang luar biasa. Pada

dasarnya, menurut Quraish Shihab, kegembiraan dan keceriaan tidaklah dilarang

agama, sehingga dalam ayat ini ada kata بغیر الحق (tanpa hak) , karena bisa saja

ada kegembiraan yang dibenarkan agama. Adapun تمرحون biasanya digunakan

dalam makna kegembiraan dalam hal kemaksiatan, sehingga kata بغیر الحق tidak

perlu digunakan.P65F

66

Berangkat dari penafsiran di atas, dengan melihat isyarat dari ayat-ayat

yang lain yang menggunakan kata fariha, maka dapat disimpulkan bahwa makna

kebahagiaan dalam kata ini bukanlah kebahagiaan yang obyektif dan pasti, tetapi

merupakan kebahagiaan bersifat yang relatif, subyektif, dan dan belum tentu

dibenarkan oleh agama. Artinya, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. at-Taubah:

65 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim……..hal.. 441-443 66 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 12……..hal.. 359

52

Page 53: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

81, bisa saja ada orang (di jaman Nabi) yang merasa gembira tidak ikut berjuang

(berjihad) di bawah pimpinan Rasulullah atau melalaikan kewajiban agama.

Gembira model ini oleh HAMKA di katakan sebagai kegembiraan orang munafik

yang tidak sesuai dengan agama. 67 Dalam konteks sekarang, apabila banyak

dijumpai orang yang tidak beriman, tidak menjalankan ajara agama, atau

melanggar aturan-aturan, atau bermaksiat kepada Allah, tetapi mereka merasa

bahagia, gembira, senang, dan tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa perilakunya

akan membawa kesengsaraan di kemuadian hari. Maka, kebahagiaan yang

semacam ini bukanlah kebahagiaan yang diperintahkan (dimaksud) oleh al-Qur’an

untuk digapai oleh manusia. Sebaliknya, kebahagiaan yang seperti ini pada

dasarnya adalah kesengsaraan.

6. Keberkahan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian ( بركة dan سالم )

Kebahagiaan dalam arti keberkahan dapat dipahami dari QS. al-A’raf: 96;

Huud: 48, 73; an-Nahl: 127; dan adz-Dzariyaat: 39. Kata barakah, sebagaimana

yang terkandung dalam QS. al-A’raf: 96, oleh Quraish Shihab diartikan sebagai

aneka kebajikan ruhani dan jasmani, sesuatu yang mantap, kebajikan yang

melimpah beraneka ragam dan bersinambung. Kolam dalam Bahasa Arab dinamai

birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap di dalamnya

dan tidak tercecer ke mana-mana. Ayat ini mengandung makna bahwa keberkahan

Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material

dan tidak pula dibatasi atau bahkan diukur. Teks ayat ini dan ayat-ayat lain yang

berbicara keberkahan Ilahi di atas memberi kesan bahwa keberkahan tersebut

merupakan curahan dari berbagai sumber, dari langit dan bumi melalui segala

penjurunya. Dari sini bisa dipahami bahwa segala penambahan yang tidak terukur

67 HAMKA,Tafsir al-Azhar Jilid 4…… hal. 3058

53

Page 54: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

oleh indera disebut dengan berkah. Secara rinci makna barakah dapat dipahami

pula dari makna yang terkandung dalam QS. al-An’am: 92.68

Adanya keberkahan pada sesuatu berarti terdapat kebaikan yang menyertai

sesuatu tersebut. Misalnya, jika ada berkah dalam waktu yang diberikan Allah

kepada seseorang, maka akan banyak kebaikan yang terlaksana dalam waktu itu,

meskipun dalam waktu tersebut umumnya tidak banyak aktivitas yang dilakukan

olehnya. Keberkahan makanan adalah cukupnya makanan yang sedikit untuk

mengenyangkan orang banyak, meskipun pada umumnya makanan yang sedikit itu

tidak dapat dimakan oleh orang yang banyak. Dari kedua contoh ini, terlihat bahwa

keberkahan berbeda sesuai dengan fungsi sesuatu yang diberkahi. Keberkahan

pada makanan misalnya adalah dalam fungsinya mengenyangkan, menimbulkan

kesehatan, menolak penyakit, mendorong aktivitas positif, dan sebagainya. Hal ini

dapat terjadi bukan dengan sendirinya secara otomatis, tetapi karena ada karena

karunia Allah Swt. Karunia di sini bukan menafikkan adanya hukum sebab akibat

yang telah ditetapkan Allah, tetapi maksudnya bahwa Allah menganugerahkan

kepada siapa yang akan diberi keberkahan kemampuan untuk menggunakan dan

memanfaatkan huku-hukum tersebut seefisien dan semaksimal mungkin sehingga

keberkahan tersebut hadir. Dalam hal keberkahan makanan misalnya, Allah Swt.

menganugerahkan kemampuan kepada manusia yang akan diberi keberkahan

makanan berupa aneka sebab yang ada sehingga kondisi badannya sesuai dengan

makanan yang tersedia, misalnya kondisi makanan itu pun sesuai, sehingga tidak

kadaluarsa, hilang, atau dicuri orang. Intinya, keberkahan di sini bukan berarti

68 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5……, hal.185

54

Page 55: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

campur tangan Allah dalam bentuk membatalkan sebab-sebab yang dibutuhkan

untu lahirnya sesuatu.69

Terkait dengan tema kebahagiaan, dengan memperhatikan beberapa

penafsiran di atas, maka dapat dipahami bahwa salah satu indikator kebahagiaan

seorang manusia adalah bahwa apabila ia mampu mengisi hidupnya dengan

berbagai aktifitas kebaikan baik yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat,

maupun umat manusia secara umum. Aktivitas kebaikan di sini adalah segala sifat

dan amal perbuatan yang dapat dinikmati manfaatnya oleh banyak orang,

bermakna, dan membahagiakan dirinya. Itulah makna hidup yang berkah. Orang

yang bahagia adalah orang yang hidupnya berkah.

Kebahagiaan dalam arti salam (selamat, damai, atau sejahtera) dapat

dipahami sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apapun bentuknya,

lahir maupun batin. Sehingga, seseorang yang hidup dalam salam akan terbebas

dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Kata ini terulang di dalam

al-Qur’an sebanyak 42 kali dengan beberapa maksud di bawah ini: 70

a. Sebagai ucapan salam yang bertujuan untuk mendo’akan sebagaimana

tercantum dalam QS. adz-Dzariyat: 25 yang menceritakan kedatangan

malaikat kepada Nabi Ibrahim As.

b. Keadaan atau sifat sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-

Maidah: 16 yang menggambarkan keadaan atau sifat jalan yang

ditelusuri oleh orang-orang yang beriman.

c. Menggambarkan sikap mencari selamat dan damai, seperti firman Allah

dalam QS. al-Furqan: 63 yang memuji hamba-hamba-Nya yang selalu

69 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 4……., hal 189 70 Ibid, hal. 727-728

55

Page 56: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

berusaha untuk mencari kedamaian saat menghadapi orang-orang “jahil”

di sekitarnya.

d. Sebagai sifat Allah Swt., sebagaimana tersurat dalam QS. al-Hasyr: 23.

Menurut Quraish Shihab, dalam konteks QS al-Qadr: 4, jika kata salam

dipahami sebagai do’a, maka ayat ini menginformasikan bahwa para malaikat itu

mendo’akan setiap orang yang menemuinya pada malam lailat al-qadr supaya

terbebas dari segala kekurangan lahir batin. Jika kata salam dipahami sebagai

keadaan, sifat, atau sikap, maka malam lailat al-qadr dipahami sebagai malam

yang penuh kedamaian yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang

menjumpainya, atau dapat pula dimaknai bahwa sikap para malaikat yang turun

pada malam ini adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang merasa

berbahagia mencari dan mendapatkannya.

Dalam ayat yang lain yang berbicara tentang makna salam, terdapat

beberapa ayat yang menggambarkan ucapan salam yang ditujukan kepada para

penghuni sorga kelak, yaitu di antaranya QS. Yunus: 10 dan ar-Ra’d: 24, atau

istilah dar as-salam (negeri yang penuh kedamaian) yang menggambarkan kondisi

kehidupan sorga, yaitu antara lain dalam QS. al-An’am: 125-127 dan Yunus: 25.

Kata salam, jika disifatkan kepada sesuatu maka berubah menjadi salim.

Kata ini sesungghnya memiliki akar yang sama dengan kata Islam, yang berasal

dari kata kerja salima, yang sama-sama bermakna selamat. Dalam al-Qur’an, yaitu

surat asy-Syu’ara: 89 dan surat al-Shaffat: 84, kata salim digandengkan dengan

kata qalb (hati). Secara bahasa, qalb salim bermakna hati yang selamat dari

penyakit atau kerusakan apapun. Adapun pengertian khususnya adalah hati yang

tidak mengenal selain Islam. Untuk memiliki hati yang selamat, manusia harus

menerapkan seluruh akhlak mu’min yang terkandung dalam al-Qur’an. Pada hari

56

Page 57: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

akhir nanti tidak ada yang bermanfaat kecuali manusia yang datang denga

membawa hati yang selamat. Artinya, hati orang yang kafir tidak mungkin sampai

ke pantai kedamaian dan keselamatan di hari itu. Oleh karena itu, hati yang selamat

harus bersih dari kekafiran, kesyirikan, keraguan, dan kebimbangan. Hati yang

penuh kekakfiran, betapapun pemiliknya berbuat baik dan humanis, tetap tidak

dapat menjadi hati yang selamat.71

Jika dikatakan oleh seseotang yang kafir bahwa: “ Hatiku bersih karena aku

sangat mencintai manusia dan selalu berusaha menolong mereka”, maka ini adalah

pernyataan yang kosong, karena hatinya berisi kekafiran dan pengingkaran.

Hatinya bukanlah hati yang selamat dan bersih, sebab ia mengingkari Pemilik dan

Penguasa alam. Mencintai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu

yang penting dan baik. Akan tetapi, nilai-nilai kemanusiaan tesebut harus terlebih

dahulu dipahami secara benar, kemudian pemahaman ini harus berkesinambungan

dan tidak terputus. Pemahaman semacam ini terkait dengan dengan iman. Tanpa

iman, segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kemuliaan hanyalah dusta,

sementara, dan tidak bernilai.72

Ringkas kata, hati yang selamat adalah tema yang sangat penting, karena al-

Qur’an memposisikan hal ini sebagai ganti dari harta dan anak-anak, sebagaimana

diisyaratkan dalam QS. asy-Syu’ara: 88-89. Nasib seorang manusia di akhirat

tergantung pada jawabannya atas pertanyaan berikut: Apakah ia hidup dalam

keadaan diridhai ?, Apakah ia mati dalam keadaan diridhai ?, Mampukah ia

dibangkitkan dalam keadaan yang diridhai ?, Mampukah ia menuju jalan

Muhammad ?, Dapatkah ia sampai ke Telaga Kautsar? Apakah Rasulullah Saw.

71 Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia . Jakarta: Republika, hal 257

72 Ibid, hal 259

57

Page 58: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

dapat melihatmu dari kejauhan dan mengenalimu? Rasulullah menegaskan bahwa

pada Hari Kiamat beliau akan mengenali umatnya dan dapat membedakan mereka

di antara seluruh umat. Ketika ditanya bagaimana hal itu terjadi, beliau menjawab,

“Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kalian mendatangiku

dengan wajah yang bersinar terang karena bekas wudlu” (HR. Bukhori dan

Muslim). Itulah salah salah satu manifestasi dan gambaran hati yang selamat. 73

Terlepas dari perbedaan makna ini, Ibnu Qayyim menyatakan pendapatnya

seputar kedamaian dan ketenteraman hati. Ia berkata bahwa Hati yang damai dan

tenteram akan mengantarkan pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan

kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat menuju amanat, riya’ kepada

ikhlas, lemah menjadi teguh, dan dari sombong menjadi tahu diri. 74 Inilah tanda

jiwa yang telah mencapai derajat kedamaian, sebuah puncak kebahagiaan manusia.

7. Limpahan Karunia (الفیض )

Selain makna kebahagiaan di atas, makna kebahagiaan dapat dipahami

pula dari kata الفیض (limpahan atau curahan karunia). Kata ini terdapat dalam

beerapa ayat al-Qur’an, misalnya QS. al-Baqarah: 199, 245, al-Maidah: 83, al-

A’raf: 50, at-Taubah: 92, Yunus: 61, Ibrahim: 4, Shad: 26, al-Ahqaf: 8, dan al-

Hadid: 11. Salah satu di antara yang dapat dibahas di sini adalah:

“ Dan penghuni neraka menyeru penghuni surge: “limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni sura) menjawab: “sesuangguhnya Allah telah mengharamkan keduanya atas orang-orang kafir” (QS. al-A’raf: 50)

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-faidh hanya diperuntukkan untuk

para penghuni surga. Menurut Fethullah Gulen, istilah “limpahan karunia” (الفیض )

dapat dimaknai dengan kebahagiaan atau kenikmatan. Al-Faidh dalam kehidupan

73Ibid., hal. 262 74 Ibid, hal 728-729

58

Page 59: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

duniawi adalah limpahan karunia Ilahi yang berkaitan dengan kehidupan hati dan

spiritual manusia. Adapun di akhirat, الفیض adalah kedudukan dan kemuliaan yang

diraih manusia, seperti masuk sorga, meraih ridha Allah, dan kehormatan melihat

keindahan-Nya. Kandungan makna dari istilah ini begitu sangat luas dan mustahil

bagi manusia untuk menjangkaunya secara tepat. Bisa saja terjadi bahwa berbagai

limpahan karunia mendatangi manusia dari semua sisi, sedangkan ia sendiri tidak

mengetahui dan merasakannya. Demikian pula, ketidakmampuan manusia

mengetahui dan merasakannya termasuk karunia Allah Swt. atasnya., karena

karunia terbaik-Nya adalah karunia yang tidak kita rasakan.P74F

75

Dari sisi ini, lanjut Gulen, dapat dikatakan bahwa terdapat limpahan

karunia Ilahi dan keberkatan pada semua ibadah yang dikerjakan manusia untuk

Allah Swt. Betapa tidak terbayang sama sekali bahwa ada manusia yang menuju

pintu-Nya lalu kembali dengan tangan kosong. Akan tetapi, manusia tidak boleh

mengaitkan ibadahnya dengan limpahan karunia Ilahi atau kenikmatan yang

didapatnya. Terkadang, shalat dilakukan saat seorang hamba sedang dalam kondisi

spiritual yang sedang lemah, yaitu saat jiwa dan hatinya sempit. Secara lahiriah,

shalat seperti ini dapat dikatakan payah, namun bisa saja shalatnya termasuk

shalatnya yang paling baik atau paling diterima, karena ia melakukan shalat dalam

kondisi lepas dari semua perasaan seraya tetap tidak lupa untuk menunjukkan

penghambaannya kepada Allah Swt. Ia senantiasa tetap berdiri di pintu-Nya dan

tidak pernah meninggalkannya, karena ia yakin bahwa Allah akan mengabulkan

segala doanya. Dengan kata lain, kondisi di mana seorang hamba tidak menerima

limpahan karunia Ilahi tidak membuat keikhlasannya lenyap. Inilah sebuah

penghambaan yang tulus dan murni.

75 Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin ……hal. 406-408

59

Page 60: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Dari sisi yang berbeda, Gulen menulis bahwa pencapaian kedudukan

spiritual tidak boleh menjadi tujuan ibadah seorang hamba. Junaid al-Baghdadi

berkomentar tentang orang-orang yang mengerjakan kewajiban ibadah demi

mendapatkan surga. Menurutnya, ibadah yang seperti ini adalah ibadah para hamba

surga, padahal surga tidak layak menjadi tujuan ibadah. Ibadah dikerjakan, karena

Allah memerintahkannya, atau dalam rangka meraih ridha-Nya. Artinya, sebab

hakiki ibadah adaah perintah Allah. Jadi, manusia mengerjakan berbagai kewajiban

ibadah karena Allah memerintahkannya kepada mereka. Jika ada di antara mereka

melakukan shalat kepada Allah, karena takut kepada neraka, maka orang itu adalah

hamba neraka. Bagimana mungkin ia dapat menjdi hamba Allah Swt.? Manusia

harus tetap melaksanakan shalat meskipun dalam kondisi iman (spiritual) yang

sedang menurun, yaitu ketika tidak mendapatkan limpahan karunia Ilahi. Tangisan

dan rintihan manusia, di samping menjadi sarana untuk mendapatkan limpahan

karunia Allah dan keberkahan, juga dapat menjadi sarana ujian dan cobaan.

Alhasil, manusia tidak dapat menetapkan penilaiannya secara pasti di hadapan

Allah.76

C. Dimensi dan Tingkatan Kebahagiaan dalam al-Qur’an

1. Kebahagiaan dunia dan akhirat

Dengan melihat istilah yang digunakan Qur’an, kebahagiaan terbagi

menjadi kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Salah satu do’a yang

sangat populer di kalangan umat Islam yang selalu diajarkan dan dibaca

adalah berbunyi: ربنا اتنافى الدنیا حسنة وفى اال خرة حسنة وقنا عذاب النا ر (”Ya Tuhan

kami berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan

76 Ibid

60

Page 61: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

(kebahagiaan) di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”). Do’a ini

mengajarkan kepada setiap pengamalnya (pembacanya) untuk senantiasa

mengingat pentingnya hidup sukses (bahagia) di dunia dan akhirat.

Kebahagiaan dunia bersifat jangka pendek (sementara), sedangkan

kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan jangka panjang (abadi). Dalam

bentuk kata sifat, Ar-Raghib al-Asfahany membagi kebahagiaan menjadi

duniawi dan ukhrawi. Duniawi misalnya mencakup usia yang panjang,

kekayaan, dan kemuliaan, sedangkan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa

kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan dan

pengetahuan tanpa kebodohan. 77

QS. adh-Dhuha: 4 menyatakan bahwa ”Dan sesungguhnya yang akhir

itu lebih baik bagi kamu daripada permulaan”. Ayat ini sering ditafsirkan

dengan pernyataan bahwa sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik

daripada akhirat. Dunia berasal dari kata danaa yang artinya sesuatu yang

dekat. Dunia adalah kehidupan yang sebentar dan sesaat. Artinya, bahwa

apapun yang terjadi di dunia ini sifatnya sebentar. Dia hanyalah permainan

dan panggung sawindara. Demikian jika melihat isyarat dalam QS. al-

’Ankabut: 64 yang berbunyi: ” Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan

senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang

sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.

Faktanya, tidak sedikit manusia yang tertipu oleh gemerlap dunia.

Mereka memfokuskan perhatiannya (hidupnya) kepada materi sebagai

tumpuan. Sebagaimana dikutip oleh Aam Amiruddin, Ibnu Abbas

meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

77 Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbah….., hal.

61

Page 62: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

”Andaikata manusia memiliki dua lembah harta, tentu ia menginginkan yang ketiga, dan tidak ada yang dapat mngenyangkan perutnya kecuali tanah (kematian). Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau bertaubat”.78 Supaya tidak tertipu dengan dunia, manusia harus menjadikan dunia

ini sebagai alat yang dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan akhirat. Ia

boleh menikmati dunia, tetapi tetap harus berada pada koridor kebenaran atau

rambu-rambu Allah. Dunia sesunngguhnya adalah tempat beramal, berkarya,

berprestasi, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan ketakwaaan, dalam rangka

keselamatan dan kebahagiaan akhirat. Itulah pandangan hidup seorang

muslim.

2. Kebahagiaan Fisik dan Non-Fisik

Kebahagiaan dunia yang dialami oleh manusia sesungguhnya meliputi

berbagai kenikmatan fisikal, material, psikologis, sosial, dan spiritual, sementara

kebahagiaan yang ada di akhirat, karena belum dialami, lebih tepat dikatakan

hanya bersifat spiritual. Kenikmatan yang bersifat fisikal-material misalnya

kenikmatan yang diperoleh karena pemenuhan kebutuhan makan, minum, sandang,

dan papan, termasuk seksual. Kenikmatan seksual dapat dikategorikan pula sebagai

kenikmatan psikologis, jika diliputi perasaan cinta, kasih, dan sayang. Hal ini dapat

dipahami dari QS. ar-Ruum: 21. Termasuk ke dalam kenikmatan (kebahagiaan)

yang bersifat psikologis yaitu kenikmatan yang didapatkan karena aktivitas

membaca, berpikir, dan merenung. Termasuk ke dalam kenikmatan secara

psikologis-spiritual misalnya kenikmatan saat melaksanakan beribadah, berdo’a,

dzikir, dan sedekah. Termasuk dalam kenikmatan spiritual (ruhani) adalah

keislaman dan keimanan seseorang.

78 HR. Bukhari. Juz IV, hal. 119. Lihat Aam Amiruddin (2008). Tafsir al-Qur’an Kontemporer, Juz Amma Jilid 1. Bandung: Khazanah Intelektual, hal. 292

62

Page 63: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Para psikolog (ahli kesehatan mental) yang tidak sekuler sepakat bahwa

kebahagiaan manusia minimal harus dilandasi empat pilar pokok, yaitu:79

Pertama, fisik yang sehat, bebas dari penyakit, serta berfungsinyaa seluruh

organ tubuh dengan baik, sehingga dikenal adanya ungkapan bahwa akal yang

sehat terletak pada tubuh yang sehat”. Artinya terdapat hubungan timbal balik

antara kesehatan jiwa dan kesehatan fisik. Dari sini dipahami bahwa kebahagiaan

seseorang di antaranya ditentukan oleh bagaimana dia mngembangkan potensi

fisiknya dan menjaganya dari berbagai gangguan, menjaga pola makan,

berolahraga, istirahat yang cukup, dan beraktivitas secara seimbang.

Kedua, rasa percaya diri yang baik serta berupaya mengarahkan diri pada

aktivitas yang positif dan kontruktif, memelihara diri dari berbagai penyimpangan,

memenuhi kebutuhan secara proporsional, sadar akan tanggungjawab diri,

meningkatkan kualitas hidup, baik secara material maupun non material. Dalam

konteks ini, kebahagiaan terletak pada aktivitas, kesungguhan, dan kegigihan,

bukan pada kemalasan dan banyaknya waktu luang. Orang yang ingin bahagia

harus memiliki kegiatan (aktivitas) yang positif, bermakna, dan bermanfaat, serta

menjauhkan diri dari aktivitas yang negatif. Ia juga memiliki target hidup tertentu

yang benar dan bermakna, bukan sibuk dengan kesenangan yang menyimpang, dan

tidak terjebak pada orientasi kehidupan dunia yang semu.

Ketiga, kecintaan terhadap orang lain dan motivasi yang kuat untuk

membahagiakan mereka. Kebahagiaan yang sesungguhnya bukan terletak pada

pementingan diri (egoisme), tetapi justru dengan melakukan kebaikan kepada

orang lain. Seseorang yang memiliki karakteristik pribadi seprti ini berpegang

teguh pada nilai-nilai pengorbanan, mengutamakan orang lain (itsar),

79 Lihat Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, hal. 287

63

Page 64: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

mengembangkan kasih sayang dan penghargaan dengan sesama manusia. Seorang

psikolog bernama William Glesser mengatakan bahwa rasa cinta kepada orang lain

merupakan inti kebahagiaan. Hal ini senada dengan pendapat Abdul Aziz al-Qushi,

yang menyatakan bahwa kebahagiaan seorang individu akan selalu terkait dengan

seberapa luas cakupan masyarakat yang dibahagiakannya. Seorang yang bahagia

dapat dipastikan memiliki kepribadian yang kuat, kematangan sosial, kestabilan

emosional, dan perilakunya tidak bertentangan dengan orang banyak.

Keempat, keimanan. Artinya, orang yang bahagia adalah yang beragama

dan taat menjalankan ajaran-ajarannya, karena agama menjadikan manusia lebih

bernilai dan memuaskan. Bagi seorang muslim, iman adalah penggerak utama

dalam kehidupan. Dengan keimanan dan kepasrahan total kepada Allah Swt.,

seorang muslim akan menggapai kebahagiaan yang sessungguhnya. Ia tidak pernah

merasa gelisah, guncang, atau panik, karena ia yakin bahwa Allah telah mengatur

segala urusannya.Kecintaan dan ketaatan kepada Allah secara sempurna akan

membimbing hidup seorang muslim agar selalu berada pada jalan yang benar.

3. Kebahagiaan semu dan sejati.

Mengacu pada poin satu dan dunia, kebahagiaan dapat dibedakan menjadi

kebahagiaan yang semu, artifisial, atau instrumental dan kebahagiaan yang bersifat

ultimate (pokok), sejati, inti, atau yang sebenarnya. Hal ini merupakan bahasan

lanjutan dari pembagian kebahagiaan dunia dan akhirat. Kenikmatan (kebahagiaan)

yang diarasakan di dunia ini pada dasarnya merupakan kebahagiaan yang bersifat

periferal jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkan oleh manusia di

alam akhirat yang bersifat abadi. Demikian isyarat yang dapat dipahami dari

QS. al-’Ankabut: 64 yang berbunyi: ” Dan tidaklah kehidupan dunia ini

64

Page 65: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah

yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.

Alam dunia hanyalah salah satu terminal yang manusia lewati. Banyak ayat

dan hadits yang menerangkan hakikat tersebut. Manusia datang dari alam arwah ke

rahim ibu. Dari rahim ibu menuju kehidupan dunia. Setelah melawati masa kanak-

kanak, remaja, dewasa, dan lansia, ia pindah ke alam kubur dan alam barzakh. Dari

sana ia menuju kebangkitan. Dari kebangkitan menuju kehidupan abadi. Manusia

melewati seluruh tahapan tersebut. Ia berada dalam kehidupan dunia ini hanya

beberapa saat saja, jika dibandingkan keberadaannya di akhirat.80 Hal ini

menegaskan bahwa kehidupan ini sesungguhnya seperti fatamorgana (semu)

dilihat dari waktu berlangsungnya. Rasulullah menggambarkan kehidupan dunia

seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian ia melanjutkan

perjalannya.81

Dunia dalam pandangan ahli hakikat adalah tumpukan kotoran dan

kepalsuan seperti tumpukan sampah. Di dunia ini Allah mencampur kebaikan

dengan kejahatan, keindahan dengan keburukan. Di dunia ini banyak hal yang

harus dijauhi dan hindari oleh setiap manusia. Ia diminta untuk dapat memilih yang

baik dan indah di tengah tumpukan sampah tersebut. Ia harus dapat menemukan

permata di balik kotoran yang bernama dunia. Dunia ini tidak memberi kepada

seseorang sepotong kue manis kecuali disertai dengan sejumlah tamparan. Inilah

sisi permainan dan tipuan yang disambut oleh para penghamba dunia, padahal

inilah sisi buruk dunia yang harus dihindari oleh manusia. Di satu sisi, seorang

manusia-muslim punya misi untuk bisa membangun keseimbangan antara dunia

80 Fethullah Gulen, Islam….. Hal. 299 81 Mengacu pada hadits: “Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanya seperti seorang

musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian pergi meninggalkannya” (HR .Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)

65

Page 66: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

yang fana dan akhirat yang kekal. Rasulullah tidak meninggalkan dunia dan tidak

memisahkan diri dari manusia, namun pada saat yang sama beliau memisahkan diri

dari manusia. Beliau bersabda:

”Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan buruk mereka mendapatkan pahala lebih besar daripada mukmin yang bergaul denga manusia dan tidak sabar atas tindakan buruk mereka”(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah tidak pernah memikirkan dunia, meskipun dunia telah

mendatangi beliau dan berada di bawah kaki beliau. Beliau tidak pernah berpikir

untuk bersenang-senang dengan dunia. Beliau meninggalkan dunia sebagaimana

beliau datang ke dunia. Ketika datang ke dunia, beliau dibungkus sehelai kain dan

ketika meninggalkan dunia, beliau juga dibungkus sehelai kain. Sepanjang

hidupnya yang mulia, beliau berusaha membangun peradaban yang seimbang dan

mendirikan dunia yang imbang di dunia dan di akhirat. Beliau telah menyerahkan

diri kepada Allah Swt, sehingga beliau hidup dengan tenang seraya berusaha

mendapatkan ridha Allah Swt. dan menyelamatkan umat manusia. Kesucian jiwa

beliau tidak ternodai oleh nafsu dan kenikmatan dunia.82 Itulah posisi muslim ideal

di tengah kehidupan dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang sesungguhnya atau yang

sejati adalah keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seorang muslim.

82 Ibid. hal 306-307

66

Page 67: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

BAB IV RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN

A. Ajakan Kebahagiaan dalam al-Qur’an

Al-Qur’an senantiasa mengajak manusia untuk dapat menggapai

kebahagiaan. Hal ini dapat dipahami dari khitab (perintah/ajakan) yang terkandung

dalam berbagai ayat di bawah ini:

1. Perintah Allah untuk mencari Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Dalam QS. al-Qashash: 77 Allah berfirman:

“ Dan carilah- pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu- negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan” Pesan ayat di atas dipahami secara berbeda oleh para ulama. Ada yang

memahaminya secara tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa pesan ayat ini

adalah anjuran untuk meninggalkan kenikmatan (kesenangan) duniawi dengan

membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, dan pakaian.

Ada pula yang memahaminya sebagai tuntunan untuk menyeimbangkan

kepentingan (kebahagiaan) dunia dan akhirat. Penganut pendapat ini tidak jarang

mengemukakan riwayat yang menyatakan bahwa”Bekerjalah untuk duniawi

seakan-akan engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk untuk akhiratmu

seakan-akan engkau akan mati besok. Atas beberapa pandangan ini Quraish Shihab

memberi beberapa catatan penting agar umat Islam tidak terjerumus dalam

kekeliruan sebagai berikut: 83

Pertama, dalam pandangan al-Qur’an, hidup (kebahagiaan) duniawi dan

ukhrowi adalah satu kesatuan. Artinya, dunia adalah tempat menananm dan akhirat

83 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 10……., hal 407

67

Page 68: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

adalah tempat memanen. Apa yang ditanam manusia di bumi (dunia) ini akan

memperoleh buahnya di akhirat. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dan amal

akhirat. Apabila hal ini mau digunakan, maka perkataan yang paling tepat adalah

bahwa “semua amal dapat menjadi amal dunia, meskipun berupa shalat dan

sedekah, jika dilakukan secara tidak tulus (niatnya)”. Sebaliknya, “semua amal

dapat menjadi amal akhirat jika disertai dengan keimanan dan ketulusan untuk

mendekatkan diri kepada Allah, meskipun amal itu berupa pemenuhan naluri

seksual. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Melalui kemaluan kamu (hubungan

seksual) terdapat sedekah” (HR. Muslim).

Kedua, ayat di atas menekankan pentingnya untuk mengarahkan pandangan

(orientasi hidup) kepada akhirat sebagai tujuan dan menjadikan dunia sebagai

sarana mencapai tujuan. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ayat di atas: fii

maa aataaka Allah…, sehingga semakin banyak yang diperoleh secara halal dalam

kehidupan ini, maka semakin terbuka kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan

akhirat, selama itu diperoleh da digunakan sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Hal

ini juga berarti bahwa ayat ini menggarisbawahi petingnya dunia, tetapi bukan

karena sebagai tujuan, namun sebagai sarana (alat) untuk mencapai tujuan.

Ketiga, ayat di atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika

berbicara kebahagiaan akhirat, bahkan menekankannya dengan perintah untuk

bersungguh-sungguh dan sekuat tenaga dalam berupaya meraihnya. Sementara,

perintah menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif, yaitu “jangan

lupakan’. Ini memberi kesan adanya perbedaan di antara keduanya dan ini harus

diakui bahwa keduanya memang berbeda. Allah berulang kali menekankan hakikat

ini dalam berbagai ayat, misalnya QS. at-Taubah: 38: “ Apakah kamu puas dengan

kehidupan dunia (di banding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”.

68

Page 69: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Dari sini, Quraish Shihab sekali lagi ingin menekankan bahwa dalam

pandangan al-Qur’an, kehidupan dunia tidaklah seimbang dengan kehidupan

akhirat. Oleh karena itu, manusia semestinya lebih mengorientasikan hidupanya

kepada akhirat, sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanyalah sarana

yang dapat mengantar kepada kehidupan akhirat. Jika ayat ini dipadukan dengan

kandungan QS Hud: 61, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa manusia

sesungguhnya diajak untuk mencari kebahagiaan akhirat dengan cara membangun,

mengembangkan, memakmurkan, dan memanfaatkan bumi atau mengisi kehidupan

dunia ini dengan secara sebaik-baiknya. Artinya kebahagiaan akhirat diperoleh

dengan menggapai kebahagiaan dunia.

2. Perintah al-Qur’an kepada manusia (orang beriman) untuk bertaqwa supaya mereka berbahagia

Hal ini terkandung dalam QS. al-Baqarah: 189:”………..bertaqwalah

kalian semua agar kalian berbahagia”. Di samping ayat ini, terdapat pula ayat-

ayat yang berakhir dengan kata la’allakum tuflihuun, yaitu: QS. 3:130, 3:200, 5:35,

5:90, 5:100, 7:69, 8:45, 22:77, 24:31, 62:10. Melalui ayat- ayat ini, Al Qur’an

menegaskan bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar manusia dapat hidup

bahagia. Di samping itu, Al Qur’an juga merinci perbuatan yang dapat membawa

manusia kepada kebahagiaan. Dalam lafal adzan terdapat dua kata yang selalu

beriringan: hayya ala al-shalaah (mari kita tunaikan sholat) dan hayya ala al-

falaah (mari meraih kebahagiaan)

Selain ayat-ayat di atas, Al Qur’an sering menyebut istilah aflaha untuk

menggambarkan kebahagiaan. Pada empat ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. 20:64, 23:1,

87:14, 91:9, kata aflaha selalu diawali dengan kata qad, sehingga berbunyi qad

aflaha. Kamus-kamus Arab merinci makna aflaha sebagai berikut : kemakmuran,

keberhasilan, keberuntngan, kegembiraan, kesenangan, pencapaian apa yang

69

Page 70: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

diinginkan (dicari), ketenangan, keselamatan, dan kesejahteraan. Intinya manusia

merindukan segala sesuatu yang dengannya manusia berada dalam keadaan

bahagia atau baik; terus-menerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman,

kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus-

menerus, dan keberlanjutan. Semua makna ini sesungguhnya merupakan

komponen-komponen dari kebahagiaan.84 Komponen-komponen kebahagiaan ini

tidak akan berarti apa-apa (menjadi sia-sia) jika tidak digandengkan dengan sikap

bertaqwa. Artinya kebahagiaan, atau lebih tepatnya kesuksesan atau kesenangan

yang ada di dunia bisa saja diperoleh oleh orang-orang yang tidak bertaqwa, tetapi

hal ini ibarat angka 0 (nol) yang berjajar, yang tidak ada artinya jika tanpa ada

angka satu. Angka satu ini adalah ketaqwaan. Dengan ketakwaan, maka seorang

muslim diharapkan akan dapat memperoleh kebahagiaan yang sejati atau hakiki.

3. Allah mengajak manusia kepada Daar as-Salam (Negeri Kedamaian)

Hal ini diisyaratkan dalam QS. Yunus: 25 sebagai berikut: “Allah mengajak

kepada negeri kedamaian dan membimbing siapapun yang dikehendaki-Nya ke

jalan yang lurus”. Ayat ini tidak salah jika dipahami bahwa Allah sesungguhnya

mengajak setiap manusia untuk menuju kebahagiaan dalam arti suasana yang

penuh kedamaian. Inilah misi Islam yang dibawa oleh para Nabi di muka bumi ini.

Semua manusia diajak untuk berislam, karena di dalam Islam akan ditemukan

suasana kedamaian, baik di muka bumi maupun di akhirat kelak.

Dari sudut pendekatan etimologis, menurut Nurcholish Madjid, kata Daar

as-Salam sangat kuat keterkaitannya dengan ajaran tentang Islam. Sebagai

mashdar dari kata aslama, perkataan islam memiliki arti “mencari kedamaian”,

“berdamai”, dan dari semua makna ini dihasilkan pengertian “tunduk”,

84 Rakhmat (2010), Tafsir…….hal.

70

Page 71: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

“menyerah”, dan “pasrah”. Maka agama yang benar disebut “Islam” karena

mengajarkan sikap berdamai dan mencari kedamaian melalui sikap menyerah,

pasrah, dan tunduk-patuh kepada Allah secara tulus. Sikap ini bukanlah hanya

pilihan hidup yang benar untuk manusia, sebagai makhluk yang bebas memilih

karena memiliki akal-pikiran, tetapi merupakan pola wujud seluruh alam raya

beserta isinya. Oleh karena itu, apabila manusia diajak untuk berislam, yaitu

memilih sikap hidup tunduk, menyerah, dan pasrah kepada Allah, maka hal itu

tidak lain agar manusia dapat mengikuti pola hidup yang sama dengan pola wujud

alam raya. Yang dihasilkan oleh sikap ini tidak saja kedamaian dengan Tuhan, diri

sendiri, dan sesama manusia, tetapi juga dengan sesama makhluk di alam raya ini.

Inilah maksud ayat yang sering dikutip yaitu QS. Ali Imran: 83-85. 85

B. Petunjuk agar Memperoleh Kebahagiaan

Secara umum, sesuai dengan makna harfiah dan definisi Islam yang

dikemukakan para ulama, maka barang siapa berislam maka sesungguhnya ia

diajak untuk mendapatkan petunjuk untuk memperolah kebahagiaan, kedamaian,

kesejahteraan dan keselamatan. Manusia yang mengikuti petunjuk Allah dijamin

tidak akan diliputi kekhawatiran dan kesedihan (QS. al-Baqarah: 38). Islam

merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup para pemeluknya di

dunia dan akhirat kelak. Ia memiliki satu sendi utama yang esensial, yaitu

berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya dalam segala aspek

kehidupan manusia.86

85 Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat, hal. 217-218

86 M. Quraish Shihab (1995). Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan, hal.33

71

Page 72: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Hubungan Islam dan kebahagiaan, dalam arti kelapangan, dapat digali dari

QS. al-An’am: 125. Islam dalam ayat ini dapat dipahami sebagai penyerahan diri

secara penuh kepada Allah Swt dan ia menghasilkan nur (cahaya) kepada

pemeluknya untuk dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang utama dan

yang tidak utama, yang baik dan yang tidak. Menurut hadits yang diriwayatkan

oleh Abdullah bin Mas’ud, tanda-tanda masuknya cahaya tersebut ke dalam hati

seseorang tercermin dalam sikapnya menjauhkan diri dari dunia, dalam arti tidak

menjadikan kehidupan dunia yang memperdaya sebagai tumpuan perhatian, tetapi

cenderung untuk menjadikan kehidupan akhirat yang abadi sebagai orientasi hidup,

mempersiapkan diri menghadapi kematian, sebelum terlambat.

Itulah visi spiritual Islam yang selalu ditegaskan Allah dalam berbagai ayat

al-Qur’an. Pesan utama Islam adalah mengajak manusia ke jalan Allah demi

meraih kebahagiaan yang sejati. Secara kategoris Islam meliputi aspek akidah,

ibadah, dan akhlak, atau dalam bahasa lain Islam berarti iman, islam, dan ihsan.

Barang siapa menerapkan Islam dengan segala dimensinya, maka niscaya ia akan

menggapai kebahagiaan. Namun demikian, di bawah ini perlu diketengahkan

beberapa contoh petunjuk (resep) al-Qur’an tentang hal-hal spesifik yang akan

mendatangkan kebahagiaan pada manusia.

1. Beriman dan beramal saleh

Ayat-ayat Qur’an yang berbicara tentang dua kata ini (iman dan amal saleh)

tidak sedikit jumlahnya, misalnya QS. al-’Ashr: 1-3, al-Qashash: 67, at-Tin: 6, dan

an-Nahl: 97, dan QS. Yunus: 9. Dengan melihat hubungan antara iman, amal

saleh, dan kehidupan yang baik dalam ayat-ayat ini, maka selanjutnya dapat

dipahami apa dan bagaimana sesungguhnya kehidupan yang baik itu menurut

al-Qur’an. Hidup yang baik adalah hidup yang didalamnya seseorang dapat

72

Page 73: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

memelihara iman dan mengisinya dengan amal saleh. Jalaluddin Rakhmat

mencontohkan bahwa walaupun seseorang hidup di rumah yang sederhana,

tetapi ia dapat mempertahankan imannya di tengah guncangan dan godaan

hidup, maka al-Qur’an menganggap bahwa itu adalah kehidupan yang baik.

Misalnya, ada orang yang taat beragama, rajin pergi ke masjid, dan rajin

shalat malam, kemudian Allah memberikan nikmat yang besar, misalnya

jabatan dan kekayaan, atau diberi kesibukan yang menyibukkan dirinya

sehingga ia tidak sempat lagi pergi ke masjid dan tidak sempat lagi

melakukan shalat malam. Bahkan, ia tidak tahan lagi memelihara iman yang

ada di dalam hatinya. Menurut al-Qur’an, kehidupan yang seperti itu adalah

kehidupan yang paling merugikan, karena, meskipun hidupnya gemerlapan,

ia telah kehilangan iman sama sekali. 87

Tentang keterkaitan iman dan amal saleh, dalam memahami QS.

Yunus: 9-10, Quraish Shihab menulis bahwa sesungguhnya orang-orang yang

beriman dan membuktikan kebenaran iman mereka dengan mengerjakan

amal-amal saleh, sebagaimana dituntunkan oleh agama, maka Tuhan

Pemelihara dan Pembimbing mereka selalu member petunjuk secara terus

menerus kepada mereka menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrowi, karena

iman mereka yang telah bersemai dalam jiwa mereka dan mendorong mereka

agar selalu mawas diri dan inga,t bahwa di tempat tinggal mereka kelak di

negeri akhirat akan mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh

kenikmatan yang tiada tara.88

87 Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-‘Ashr: 1-3. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat (2003), Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda, hal. 279

88 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 6……., hal. 27

73

Page 74: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Jadi, hidup yang baik menurut Islam adalah hidup yang sanggup

mempertahankan iman dan sanggup mengisinya dengan amal saleh. Orang

yang saleh adalah bukan orang yang paling panjang sujudnya, bukan orang

yang paling sering naik haji, tetapi orang yang paling bermanfaatnya kepada

orang lain. Ilmunya bisa dinikmati oleh banyak orang, sedekah harta yang

diberikannya terus mengalir meskipun dirinya telah meninggal dunia, dan

anak yang dibinanya tumbuh menjadi anak shaleh yang mendo’akannya.89

Khusus tentang iman kepada Allah, dalam arti mengenal, mengakui,

mempercayai, meyakini, dan mengesakan-Nya, al-Qur’an menjadikannya sebagai

sumber dari segala sumber kebahagiaan bagi umat manusia. Hal ini karena kata

iman memiliki keterkaitan dengan adanya rasa aman dan ketenteraman dalam hati

seorang muslim. Jadi, orang yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi hidupnya

diliputi rasa khawatir dan kegalauan, maka yang bersangkutan layak untuk

dipertanyakan keimanannya. Dalam QS. Fushshilat: 30 Allah berfirman:

”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ’Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa bersedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”

Ayat di atas sangat terkait dengan ayat- ayat berikut: ”Tidak ada

ketakutan dan kecemasan bagi mereka” (QS. al-Baqarah: 38) dan ”Janganlah

kamu cemas (sedih), sesungguhnya Allah bersama kita”. Dalam ayat-ayat ini

terdapat korelasi antara rasa takut (khawatir) dan sedih. Artinya, seseorang

dapat saja merasa takut dengan masa yang akan datang, misalnya soal rezeki,

jodoh, datangnya kematian, atau yang lainnya, sehingga kemudian menjadi

bersedih hati. Dalam ayat di atas Allah menjelaskan tentang orang-orang yang

89 Ibid.

74

Page 75: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

tidak bersedih karena ditimpa bencana, sehingga Allah menurunkan malaikat

untuk menghibur mereka, menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan di akhirat

kelak, sebagaimana diuraikan dalam QS. Fushshilat: 30 di atas. Dari rangkaian

ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah menjamin bahwa orang-orang

beriman tidak akan merasa takut dan tidak pula bersedih dan Allah

memantapkan jiwa mereka dengan perkataan yang pasti di dunia dan akhirat,

sehingga mereka tidak cemas dan sedih.90

Terkait dengan ini, sangat menarik apabila fenomena kehidupan

masyarakat Barat (modern) ditelisik secara mendalam. Mereka adalah

masyarakat yang saat ini boleh dikatakan terdepan dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Harta dan uang telah menjadi ukuran kebahagiaan, sehingga

semuanya berlomba mengejar harta, mobil dengan berbagai merek, rumah, dan

lainnya. Siklus kehidupan mereka berputar sedemikian rupa selama 24 jam

sehari. Pada pagi hari ribuan manusia bangun dari peraduannya, kemudian

berangkat menuju tempat kerja masing-masing, ada yang di kantor, kampus,

atau pabrik, dengan mengendarai mobil, naik kereta, motor, dan sebagainya.

Mereka bekerja dengan disiplin, profesional, dan saling bekerja sama dalam

mencari keuntungan, sebagai sebuah team-work dalam sebuah perusahaan atau

lembaga bisnis. Pada sore harinya mereka kembali ke rumah masing-masing,

kemudian membaca koran, mendengarkan radio, membuka gadget, menonton

televisi, main play station, nonton film di bioskop atau di rumah mereka

sendiri, serta tempat hiburan lainnya. Setelah larut malam mereka pergi tidur

dan beristirahat. Esoknya mereka bangun kembali dan menjalani rutinitas

sebagaimana biasanya. Begitulah ritme kehidupan manusia modern di jaman ini.

90 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan ……., hal. 204.

75

Page 76: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Semuanya berusaha menikmati kehidupan tanpa berpikir atau bertanya tentang

arti hidup. Semua telah diatur sedemikian rupa semenjak seseorang terlahir dari

perut ibunya sampai akhirnya meninggal dunia. 91

Dalam budaya modern, setiap orang umumnya bekerja selama lima hari

perpekan dengan jam kerja delapan jam perhari. Dia bertanggungjawab dalam

sebuah pekerjaan yang telah ditentukan, duduk di alat produksi dan

memperhatika jalannya alat tersebut. Dia bergabung dalam sebuah tim untuk

menghasilkan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak tahu, karena ia hanya ditugasi

untuk mengawasi saja. Sore atau malam hari dia kembali pulang dengan rasa

lelah, walaupun tidak melakukan sesuatu yang berat atau menguras tenaga.

Hasil dari semua itu adalah bahwa kemajuan industri hanya melahirkan

orang-orang yang cemas dalam segala hal dan cenderung individualis. Padahal,

kehidupan modern telah menawarkan kepada mereka beraneka macam jaminan

seperti asuransi jiwa, pendidikan, keluarga, rumah, mobil, pekerjaan,

kebakaran, kesehatan, dan jaminan hari tua. Setiap orang memiliki rasa cemas

yang tidak beralasan, cemas dengan masa depan, khawatir di PHK. Jaminan

ekonomi ternyata tidak otomatis melahirkan ketenangan jiwa. Kehidupan

manusia modern yang gersang, teralienasi, tidak bisa menyesuaikan diri, bosan,

dan hampa telah menyebabkan adanya jiwa-jiwa manusia yang kerdil. Saat

mereka ditimpa musibah, maka mereka tidak akan mampu bersabar menanggng

beban berat yang dihadapi, bahkan lebih memilih lari dari permasalahan,

misalnya mengkonsumsi minuman keras, narkoba, bunuh diri, dan sebagainya.

Mereka tidak mengenal dan menyadari bahwa mereka membutuhkan

keimanan kepada Allah Swt. Mereka hidup secara sekuler, materialistik, dan

91 Ibid.

76

Page 77: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

ateistik, sehingga hidup mereka hanya diorientasikan sampai mati saja.

Terpenuhinya kebutuhan materi seperti makan, minun, tidur, dan seks tidaklah

membuat seseorang menjadi bahagia, karena di luar itu ia membutuhkan

sesuatu, yaitu pemenuhan kebutuhan jiwa. Atas problem masyarakat modern

seperti ini, al-Qur’an selalu relevan untuk dijadikan pijakan dan resep untuk

menghilangkan kesedihan dan kecemasan, untuk menggapai kebahagiaan. Salah

satu yang perlu dicatat adalah bahwa keimanan yang kokoh kepada Allah

merupakan fondasi (dasar) untuk meraih ketenangan jiwa, sementara jauh dari

jalan-Nya akan menyebabkan kecemasan dalam jiwa. Setiap orang beriman

dianjurkan oleh Allah untuk kembali kepada Allah, meminta pertolongan

kepada-Nya, dengan disertai sikap sabar. Dengan sikap sabar dalam

menghadapi bencana dan kesusahan, maka ia akan mendapat pahala dari Allah

Swt., sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Baqarah: 155-157 sebagai berikut:

”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ’Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendaptkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Keimanan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis,

sehingga mengantarnya hidup tenang, bahagia, dan dapat berkonsentrasi dalam

pekerjaannya. Oleh sebab itu, keimanan kepada Allah Swt. Selalu ditekankan

dalam segala hal, termasuk dalam upaya memperoleh rizki. Beberapa ayat al-

Qur’an menyatakan bahwa Allah adalah Penjamin Rizki manusia, misalnya

dapat dilihat dari QS. Huud: 6 berikut ini: ”Tidak ada satu binatang melatapun

di dunia ini kecuali Allah yang menjamin rezeki-Nya”. Hal ini bukan berarti

bahwa manusia diajak untuk menanti kedatangan rezeki tanpa berusaha, tetapi

77

Page 78: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

bertujuan agar manusia yang beriman untuk selalu percaya diri,

mengembangkan cinta kasih, serta ketenangan batin apabila rezeki yang

diharapkan beum kunjung tiba.92

Keimanan kepada Allah, kata Sayyid Quthub dalam memahami QS. al-

A’raf: 96, adalah bukti kegiatan fitrah manusia dan berfungsinya dengan baik

alat-alatnya. Ia adalah bukti kebenaran pengetahuan manusia, serta dinamisme

organ-organnya. Ia menghasilkan kelapangan dalam bidang rasa menyangkut

hakikat wujud, dan semua itu adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses

dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah Swt. Adalah pendorong yang

sangat kuat. Ia menghimpun semua potensi manusia dan mengarahkannya ke

satu tujuan seraya memberinya kebebasan untuk meraih dukungan kekuatan

Allah, dan melakukan aktivitas sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu membangun

dunia ini dan memakmurkannya, membendung kerusakan dan penganiayaan,

serta meningkatkan dan mngembangkan kualitas hidup. Semua ini merupakan

faktor-faktor utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan

kepada Allah membebaskan manusia dari ketundukan terhadap hawa nafsu dan

penghambaan diri kepada manusia. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa hanya

manusia yang bebas dan hanya tunduk kepada Allah sematalah yang mampu

menjadi khalifah di bumi, yaitu sebuah kekhalifahan yang lurus, sinambung,

dan terus meningkat, jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi hamba-

hamba hawa nafsu dan manusia lainnya. 93

2. Bertaqwa

92 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5……, hal.182-183 93 Ibid

78

Page 79: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Selain pentingnya keterkaitan antara iman dan amal saleh dan kehidupan

yang baik (kebahagiaan), sebagaimana telah diuraikan di atas, kebahagiaan

dalam arti keberkahan sangat terkait pula dengan ketakwaan. Hal ini dapat

dipahami dari isyarat yang ada dalam QS. al-A’raf: 96.

Dalam memahami ayat ini, Quraish Shihab menyatakan bahwa

ketakwaan penduduk sebuah negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam

kebajikan dan tolong menolong, dalam mengelola bumi serta menikamtinya

secara bersama-sama. Semakin kuat kerja sama dan semakin tenang jiwa di

antara mereka, makan semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini.

Sebaliknya, mempersekutukan Allah menjadikan perhatian tertuju kepada

sekian sumber yang berbeda-beda dan hal ini mengakibatkan jiwa tidak tenang

(bahagia), sehingga berujung pada tidak konsentrasinya manusia dalam

berusaha dan bekerja. Di sisi lain, kedurhakaan mengakibatkan kekacauan dan

permusuhan, sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju kepada upaya meraih

kesejahteraan, tetapi mengarah kepada upaya membentengi diri dari ancaman

sesama. Demikianah. Allah melimpahkan keberkahan bagi yang beriman dan

bertaqwa, serta menghalanginya bagi yang kafir dan durhaka.94

Menurut Sayyid Quthub, ketakwaan kepada Allah adalah kesadaran

yang bertanggungjawab yang memelihara manusia dari kecerobohan,

ketidakadilan, dan keangkuhan. Ia merupakan pendorong gerak dan hidup. Ia

yang mengarahkan kegiatan manusia dengan hati-hati, sehingga tidak bertindak

sewenang-wenang, tidak ceroboh, dan tidak melampaui batas kegiatan yang

bermanfaat. Dalam konteks hubungan antara keimanan, ketakwaan, dan

keberkahan (kebahagiaan), Sayyid Quthub, sebagaimana dikutip oleh Quraish

94 Ibid.

79

Page 80: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Shihab, berkomentar tentang ayat ini dan ayat sebelumnya, bahwa di hadapan

teks ini kita berhenti menghadapi salah satu hakikat keagamaan, sekaligus

merupakan hakikat kehidupan umat manusia dan hakikat alam raya. Kita

berhenti di hadapan satu faktor dari sekian faktor yang mempengaruhi sejarah

umat manusia, kendati hal ini diabaikan oleh filsafat manusia secara total. 95

Thabathaba’i, kutip Qurais Shihab, dalam memahami QS. al-A’raf: 96 di

atas mengatakan bahwa alam raya dengan segala bagiannya yang rinci, saling

berkaitan antara satu dengan yang lainnya bagaikan satu badan yang saling

terkait, dalam rasa sakit atau sehatnya. Demikian pula dalam pelaksanaan

kegiatan dan kewajibannya. Semua saling mempengaruhi dan akhirnya

bermuara kembali kepada Allah Swt. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi

dengan baik, maka akan nampak dampak negatifnya pada bagian yang lainnya.

Itulah sunnatullah yang berlaku di alam raya ini. Demikian halnya dengan

kehidupan manusia.

Manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang telah ditetapkan Allah

bagi ”hukum kebahagiannya” akan berdampak pada kehidupan manusia lainnya

dan juga alam semesta ini. Penyimpangan yang dilakukannya akan

mengakibatkan kondisi lingkungan di alam raya ini terganggu, termasuk

manusia yang tinggal di dalamnya. Apabila hal ini terjadi, maka akan lahir krisis

dalam kehidupan bermasyarakat serta gangguan dalam interaksi sosial mereka,

seprti krisis moral, ketiadaan kasih sayang, kekejaman, bahkan lebih dari itu

bisa pula berakibat pada terjadinya musibah dan bencana alam, seperti

”keengganan langit menurunkan hujan atau bumi dalam menumbuhkan

tetumbuhan”, banjir dan airbah, gempa bumi dan benana alam lainnya.

95 Ibid

80

Page 81: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Semua itu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah untuk memperingatkan

manusia agar mereka kembali ke jalan yang lurus. Apabila manusia enggan

kembali ke jalan yang lurus, maka di sanalah hati mereka dikunci dan ketika itu

mereka menduga bahwa kehidupan manusia adalah hanya kehidupan material

yang penuh dengan krisis, dan bahwa misi kehidupan mereka di dunia ini

hanyalah untuk menguasai dan menundukkan alam ini. Manusia yang ini

memiliki prinsip (pandangan) hidup seperti ini hanya sibuk untuk selalu

berusaha kuat dengan tenaga dan pikirannya untuk menciptakan ilmu dan

teknologi yang dapat menghindarkan diri mereka dari bencana alam. Mereka

menduga bahwa ilmu dan teknologinya akan dapat mengalahkan-Nya.96

Paradigma seperti inilah yang sampai hari ini dimiliki oleh manusia

berperadaban Barat-Modern yang saat ini sedang menguasai kehidupan umat

manusia.

3. Berdzikir dan berdo’a

Ayat al-Qur’an yang sering dikutip untuk menjelaskan keterkaitan dzikir

dan kebahagiaan (ketenteraman) adalah QS. ar-Ra’d: 28, yang berbunyi:

الذین امنواوتطمئن قلوبھم بذكر هللا االبذكرهللا تطمئن القلوب

”Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan

mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati

menjadi tenteram” .

Menurut Murtadha Muthahhari, lafadz ’alaa dalam ayat di atas, yang

arti asalnya adalah tidakkah, merupakan huruf tanbih (kata tanya yang

berfungsi mengingatkan) yang digunakan untuk memberi ketegasan.

Dzikrillah adalah jar-majrur yang berkaitan dengan lafadz tathmainnul-qulub

96 Ibid, hal. 185

81

Page 82: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

(hati menjadi tenteram) yang disebut pertama. Dengan demikian,

didahulukannya kalimat tathmainnu menunjukkan pengertian pembatasan.

Artinya, pengertiannya terbatas pada al itu saja. Maka, ayat di atas

mengandung arti bahwa yang dapat memberikan ketenteraman kepada

manusia adalah mengingat Allah, dan bahwa mencapai sesuatu yang

didinginkan belum tentu mendatangkan ketenteraman (kebahagiaan) hakiki.

Ketenteraman yang diperoleh hanyalah ketenteraman temporal, yang dapat ia

rasakan selama ia menganggap dirinya telah mencapai tujuan hakiki. Akan

tetapi, setelah meneiliti secara cermat dengan fitrahnya, ia baru tahu bahwa

apa yang dierolehnya itu bukanlah tujuan hakiki. Akibatnya, ia pun mengalami

kejenuhan. Satu-satunya hakikat, yang jika sesorang memperolehnya, ia tidak

akan mengalami kejenuhan adalah Allah, yaitu ketika ia sampai pada hakikat

”bertemu” dengan Allah dan mencapai tauhid.97

Selain dengan berdzikir, Rasulullah juga mengajarkan kepada umatnya

beberapa do’a yang berisi permohonan kepada Allah untuk diberi

kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan, kesehatan, kesejahteraan, dan terbebas

dari segala kesusahan, kesedihan, dan segala permasalahn hidup, sebagaimana

di bawah ini:

a. اني اعوذ بك من الھم والحزن والعجز والكسل والجبن والبخل اللھم

وضلع الدین وغلبة الرجال

”Ya Allah ssesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan

dan keesedihan, kondisi lemah (tidak berdaya) dan kemalasan, perasaan

takut dan sifat bakhil, serta utang yang berat dan penindasan orang lain

(HR. Bukhari).

97 Murtadha Muthahhari (2008). Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jati Diri Manusia, Jakarta: Lentera, 266-267.

82

Page 83: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

b. ربنا اتنا فى الدنیا حسنة وفى اال خرة حسنة وقنا عذاب النا ر ”Ya Tuhan

kami berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan

(kebahagiaan) di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”.

c. اللھم عافني فى بدني اللھم عافني فى سمعي اللھم عافني فى بصري

” Ya Allah, berikan kesejahteraan kepadaku di badanku, berikan

kesehatan di pendengaranku, dan berikan kesehatan di penglihatanku”

Terkait dengan do’a dan dzikir, ada sebuah bacaan populer di kalangan

sebagian besar umat Islam yang diyakini sangat bermanfaat untuk kebahagiaan

manusia, yaitu shalawat. Menurut Rima Olivia, shalawat bisa mendatangkan

perubahan mood bagi para pengamalnya. Pembacaannya secara repetitif

(berulang-ulang) membuat jeda dengan tekanan pikiran yang dialami

seseorang, sehingga ia tidak terkuasai mood. Dalam mood yang lebih mampu

dikendalikan, kesejahteraan emosi (emotional well-being) lebih mudah

tercapai. Kesejahteraan emosi adalah kemampuan untuk memahami nilai

emosinya dan menggunakannya untuk melangkah pada tahap kehidupan

berikutnya dalam arah yang lebih positif. Kesejahteraan emosi melibatkan

pula pengenalan dan peralihan dari ”membenahi yang salah atau kelemahan”

untuk fokus pada bertindak berdasarkan kekuatan, lebih mampu menguasai

emosi, memiliki kapasitas lebih besar untuk menikmati hidup dan fokus pada

prioritas pribadi yang penting. Menurut para pelaku (pengamal) shalawat,

beberapa manfaat psikologis yang nyata yang dirasakan adalah meliputi

kebahagiaan, ketenangan, jalan keluar, mampu mengatasi masalah, menjadi

lebih kreatif, lebih damai, dan menjadi lebih spiritual. 98

98 Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan meningkatkan kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka.Hal. 24-25

83

Page 84: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

4. Tazkiyyah (penyucian diri)

Untuk menggapai kebahagiaan, Allah menegaskan pentingnya langkah

tazkiyyah (penyucian diri) yang perlu dilakukan oleh setiap manusia.

Seabagaimana telah diungkapkan sebelunya, hal ini dapat dipahami dari

kandungan makna qad aflaha dan tazakkaa atau zakkaa QS. asy-Syams: 9-10,

dan al-A’la: 14, dan terkait pula dengan al-Mu’minun: 1-11. Qurais Shihab

menjelaskan bahwa tazakkaa lebih tepat dipahami sebagai perbuatan

menyucikan diri (tazkiyah), atau yang lebih tepat lagi adalah penyucian diri

dan peningkatan diri, bukan zakat fitrah sebagaimana dipahami oleh sebagian

ulama. Dalam memahami QS. asy-Syams: 9-10 di atas, al-Biqa’i menulis

bahwa penyucian adalah upaya yang sungguh-sungguh manusia agar matahari

kalbunya tidak mengalami gerhana, dan bulannya pun tidak demikian. Ia harus

berusaha agar siangnya tidak keruh dan tidak pula malamnya. Cara untuk

meraih hal ini adalah dengan memperhatikan hal-hal spiritual yang serupa

dengan hal-hal yang secara material digunakan Allah untuk bersumpah dalam

ayat-ayat sebelumnya. Hal spiritual yang serupa dengan matahari adalah

tuntunan kenabian. Artinya, semua yang berkaitan dengan kenabian adalah

cahaya benderang serta kesucian yang mantap. Dhuha, yaitu cahaya matahari

saat sepenggalahan naik adalah risalah kenabian itu, bulannya adalah

kewaliannya. Siang adalah ’irfan (pengetahuan suci), malamnya adalah

ketiadaan ketenangan akibat terabaikannya dzikir dan tidak adanya perhatian

terhadap tuntutnan Ilahi serta berpalingnya diri dari menerima tuntunan

kenabian dan kewalian Allah Swt. Kewalian yang dimaksud adalah tuntunan

para ulama yang mengamalkan tuntunan Allah, karena merekalah pada

84

Page 85: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

hakikatnya wali-wali Allah., karena kalau bukan mereka, siapa lagi?. Inilah

makna tazkiyah dalam ayat ini. 99

Dalam tinjauan psikologis, ayat ini dan ayat sebelumnya daam QS. as-

Syams di atas, sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa manusia yang telah

memiliki potensi (fitrah) kebaikan dan keburukan masih dituntut untuk dapat

meningkatkan kualitas jiwanya, menyucikan, serta mengembangkan potensi

kebaikan, dalam rangka mengalahkan potensi keburukan yang ada dalam

dirinya. Inilah orang yang akan bahagia (bernutung). 100Sebaliknya, orang

yang mengabaikan, menyesatkan, dan melemahkan potensi baik, dan malah

menumbuhkan potensi yang buruk, maka ia termasuk golongan yang rugi atau

celaka.

5. Lain-lain.

Di luar beberapa hal di atas, terdapat bebeerapa hal lain dalam al-

Qur’an yang terkait dengan perolehan kebahagiaan. Banyaknya ayat-ayat al-

Qur’an yang berbicara tentang kebahagiaan tampaknya mengindikasikan

bahwa tema ini sesuai dengan sifat dasar manusia yang senantiasa mencari dan

mendambakannya. Itulah yang sesungguhnya juga menjadi tujuan hidup

manusia. Setiap orang ingin selalu bahagia atau dapat meraih kebahagiaan.

Apapun aktivitas dan kesibukan manusia pada dasarnya akan bermuara pada

pencapaian kebahagiaan. Kebahagiaan di sini tentu saja seharusnya bukan

sekedar kesenangan atau kepuasan lahiriah yang bersifat jangka pendek dan

sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersifat batiniah, ruhaniah, hakiki, lestari, dan

jangka panjang (dunia-akhirat). Kebahagiaan seperti ini sesungguhnya dapat

dirasakan oleh setiap orang, tanpa pandang bulu. Siapa pun kita, baik yang

99 Quraish Shihab, Tafsir al_Mishbah…Vol 15., hal. 301 100Rif’at Syauqi Nawawi (2014), Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah, Hal 29

85

Page 86: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

kaya maupun yang miskin, hendaknya dapat merasakan kebahagiaan yang

sejati. Termasuk halnya dalam hal beragama, beriman dan menjalankan ajaran

agama, sesungguhnya juga dalam rangka menggapai kebahagiaan.

Bukankah setiap hari, paling tidak sebanyak 10 kali, umat muslim

diseluruh dunia selalu diajak oleh muadzin di seluruh dunia dengan ucapan

Hayya alal falaah…..yang artinya “ marilah meraih kebahagaiaan. Panggilan

suara muazzin ini sudah cukup menjadi bukti bahwa agama Islam memanggil

umatnya setiap saat untuk meraih kebahagiaan.101 Demikian pula, jika

seorang muslim membaca Al-Qur’an, maka akan banyak ia temukan ayat-ayat

yang diakhiri dengan kata-kata la’allakum tuflihuuna, yang artinya “supaya

kalian berbahagia”, misalnya dalam surat Al Baqarah, ayat 189, Allah

berfirman :”….Bertaqwalah kepada Allah agar kalian berbahagia”.

Kemudian dalam surat Al-Maidah, ayat 35 Allah juga berfirman : “Wahai

orang-orang beriman! Bertaqwalah kepada Allah. Carilah jalan untuk

mendekatkan diri kepada-Nya. Berjuanglah di jalan Allah agar kalian

berbahagia. Begitu pula halnya dengan firman Allah dalam Q.S Al-Hajj ayat

77: “ Wahai orang-orang beriman ! Ruku’lah dan sujudlah. Beribadahlah

kepada Tuhanmu, serta berbuatlah kebaikan agar kalian berbahagia”.

Contoh-contoh ayat di atas dan ayat-ayat lain menunjukkan bahwa

tujuan akhir dari semua perintah Allah pada dasarnya adalah agar kita manusia

dapat meraih kebahagiaan. Al Qur’an juga menunjukkan kepada kita

perbuatan-perbuatan apa saja yang bisa membawa kita menuju kebahagiaan.

Kita melakukan ibadah shalat, puasa, berzakat, bersedekah, berhaji, berzikir,

bertaubat, dan sebagainya, adalah dalam rangka mencapai kebahagiaan. Jadi

101 Rakhmat (2008). Tafsir Kebahagiaan……hal 7

86

Page 87: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

semua ibadah yang kita lakukan pada hakikatnya bukan untuk Allah, tetapi

untuk kepentingan kita sendiri, demi kebahagiaan manusia sendiri. Demikian

pula mengapa Allah menyuruh manusia untuk menjauhi larangan-larangan-

Nya; seperti minum-minuman keras, narkoba, berjudi, berzina, memfitnah,

korupsi, dan sebagainya, maka itu semua sebenarnya bertujuan agar mereka

bisa hidup berbahagia, tidak sengsara pada akhirnya.

Ibnu Sa’di merangkum berbagai aspek dalam ajaran Islam yang dapat

dijadikan “petunjuk operasional” bagi setiap muslim agar hidupnya sukss dan

bahagia. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesuksesan

hidup manusia bersandar pada prinsip-prinsip berikut ini: 102

1. Faktor terpenting dan paling utama yang menentukan kebahagiaan

dan kesuksesan manusia adalah iman kepada Allah SWT dan amal

saleh, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 97.

2. Berbuat baik kepada sesama makhluk, baik dengan perkataan

maupun tindakan. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa orang

yang bahagia cenderung akan berbuat baik. Manusia diajak terlebih

dahulu untuk berbahagia, kemudian diajak untuk mempertahankan

kebahagiaan itu dengan berbuat baik . Artinya, manusia hanya dapat

membahagiakan orang lain, jika kita telah berhasil membahagiakan

diri.

3. Menekuni satu pekerjaan tertentu atau ilmu tertentu yang

bermanfaat, membiasakan diri untuk melakukan hal-hal yang

102 Lihat Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2008), Al-‘Aadat al-‘Asyru li asy-Syakhsiyah an-Najihah, terj. oleh : Fathurozi, Jakarta : Maghfirah Pustaka, hal. 65

87

Page 88: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

bermanfaat, dan berusaha mewujudkan kebahagiaan dan kesuksesan

yang diinginkan.

4. Memusatkan konsentrasi pada pekerjaan yang dilakukan hari ini dan

tidak terganggu dengan hal-hal yang akan dilakukan pada masa

yang akan datang, serta membersihkan pikiran dari kesedihan atas

perbuatan yang dilakukan pada masa lalu.

5. Memperbanyak dzikir kepada Allah, sesuai firman Allah dalam Q.S.

Ar-Ra’du ayat 28: “ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati

mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan

mengingat Allah hati ini menjadi tenteram”

6. Selalu mengingat seluruh nikmat yang telah dikaruniakan Allah baik

yang tampak maupun tidak.

7. Berusaha menghilangkan faktor-faktor yang dapat mendatangkan

kesedihan dan berusaha mengambil tindakan yang akan

mendatangkan kebahagiaan.

8. Berusaha meningkatkan kekuatan hati dan menjauhkannya dari

khayalan atau angan-angan yang disebabkan oleh pikiran yang

kotor.

9. Memprioritaskan pekerjaan yang terpenting dan bermanfaat.

C. Sebuah Perbandingan

Yang dimaksud dengan perbandingan di sini adalah perbandingan antara

perspektif Psikologi Barat dan Psikologi Islam (Qur’ani) tentang kabahagiaan. Para

psikolog dan filosof tampaknya masih terus berbeda pendapat seputar esensi

kebahagiaan dan metode untuk memperolehnya. Artinya, tinjauan yang

88

Page 89: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

dikemukakan oleh para psikolog kontemporer sangat bersifat subyektif, relatif, dan

cenderung mendekati masalah kebahagiaan manusia secara spekulatif. Sedangkan

al-Qur’an membahas masalah kebahagiaaan manusia tidak hanya secara subyektif,

tetapi juga secara obyektif. Artinya betul-betul memberi pilihan-pilihan terhadap

manusia secara jelas dan tidak membiarkan mereka terombang-ambing dalam

mengarungi kehidupan.

Dalam kajian psikologi modern, pembahasan tentang bagaimana metode

mencapai kebahagiaan lebih mendapatkan perhatian daripada upaya memahami

esensi kebahagiaan itu sendiri. Sementara, al-Qur’an menunjukkan kepada para

pembacanya tentang esensi kebahagiaan, tingkatan kebahagiaan, mengajak mereka

untuk memilih bahagia, sifat-sifat orang yang bahagia, dan bagaimana caranya

untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidup.

Adanya perbedaan sudut pandang di atas, maka hal ini semakin

mempertegas bahwa psikologi yang berakar nilai-nilai sekularisme di Barat,

meskipun memasukkan nilai spiritualitas dalam diskursus kebahagiaan manusia

tidaklah memberikan sebuah panduan hidup yang relatif mantap kepada manusia

dalam menggapai kebahagiaan hidupnya. Di sinilah letak kebutuhan kajian-kajian

psikologis yang berlandaskan nilai-nilai Qur’ani menempati relevansinya. Qur’an

tidak hanya mengkaji aspek-aspek psikolgis manusia secara ”apa adanya”, tetapi

juga ”bagaimana seharusnya”. Qur’an mendampingi manusia untuk menapaki

setiap relung-relung kehidupannya, dari dunia sampai akhirat.

89

Page 90: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan memperhatikan beberapa pandangan al-Qur’an tentang makna,

tingkatan, ajakan, dan petunjuk menuju kebahagiaan yang telah diuraikan secara

panjang lebar, maka dapat disimpulkan beberapa prinsip penting yang harus digaris

bawahi berikut ini:

1. Tema kebahagiaan sesungguhnya selalu relevan dengan sifat dasar manusia

yang senantiasa mencari dan mendambakan hidup yang bahagia. Hal ini karena

setiap manusia pada dasarnya ingin selalu bahagia atau dapat meraih

kebahagiaan. Apapun aktivitas dan kesibukan manusia, pada dasarnya akan

bermuara pada pencapaian kebahagiaan. Kebahagiaan di sini tentu saja

seharusnya bukan sekedar kesenangan atau kepuasan lahiriah yang bersifat

jangka pendek dan sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersifat batiniah, ruhaniah,

hakiki, lestari, dan jangka panjang (dunia-akhirat). Kebahagiaan seperti ini

sesungguhnya dapat dirasakan oleh setiap orang, tanpa pandang bulu. Siapa pun

manusia, baik yang kaya maupun yang miskin, hendaknya dapat merasakan

kebahagiaan yang sejati. Dengan beragama, beriman dan bertakwa,

sesungguhnya manusia diajak untuk menempuh jalan kebahagiaan.

2. Kebahagiaan sesungguhnya bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri dan

bukan dari luar. Pencapaian kebahagiaan bukan dengan mengejar-ngejar

kenikmatan materi (duniawi) yang posisnya jauh di bawah kenikmatan ruhani

(spiritual). Kenikmatan ruhanilah yang dapat menumbuhkan ketenangan,

kelapangan, dan kedamaian dalam hidup.

90

Page 91: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

3. Islam adalah sumber kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di

akhirat. Hal ini karena Islam merupakan jalan hidup terbaik dan agama yang

memperhatikan keseimbangan internal dan eksternal manusia. Islam juga

mengajak kepada pengembangan fisik, jiwa, dan ruh sekaligus dan mengatur

semua aspek kehidupan manusia, yang berlandaskan konsep tauhid.

4. Kebahagiaan tidak dapat ditunggu atau terjadi secara kebetulan, tetapi hal itu

merupakan buah dari usaha yang kuat dan terus-menerus dalam

mengembangkan seluruh aspek manusia, yaitu fisik, psikis, dan ruh, serta

membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.

5. Kajan ini semakin mempertegas bahwa psikologi yang berakar nilai-nilai

sekularisme di Barat, meskipun memasukkan nilai spiritualitas dalam wacana

kebahagiaan manusia tidaklah memberikan sebuah panduan hidup yang relatif

mantap kepada manusia dalam menggapai kebahagiaan hidupnya. Di sinilah

letak kebutuhan kajian-kajian psikologis yang berlandaskan nilai-nilai Qur’ani

menempati relevansinya.

B. Rekomendasi

Apa yang dihasilkan kajian ini tampaknya masih perlu disempurnakan, dengan

sumber-sumber yang lebih luas dan berbobot. Meskipun Al-Qur’an banyak

menawarkan berbagai tinjauan tentang masalah kebahagiaan manusia, bukan berarti

bahwa itu sudah taken for granted bagi manusia awam, sebagaimana buku-buku

bergenre self help. Artinya, masih diperlukan pemahaman dan kajian yang

mendalam tentang ayat-ayat nafsani (psikologis), khususnya tema kebahagiaan, yang

kemudian disusun dalam bentuk buku motivasi atau apapun namanya, yang

bermanfaat buat masyarakat muslim awam dalam menjalani kehidupannya. Semoga

91

Page 92: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

kajian ini menjadi salah satu inspirasi buat para peminat kajian psikologi Islami

dalam mengkaji persoalan-persoalan psikologis dalam perspektif al-Qur’an,

92

Page 93: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

DAFTAR PUSTAKA

Aam Amiruddin (2008). Tafsir al-Qur’an Kontemporer, Juz Amma Jilid 1. Bandung: Khazanah Intelektual

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, dalam

Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5

Aidh al-Qarni (2005) La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press Al-Wasi’ Ensiklopedi al-Qur’an ver. 1.0.0 dalam Maktabah Al- Kubra: Media

Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5 Al-Farmawy (1977). al-Bidayah fi al-Maudhu’I, Kairo Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim (2006). Madarijus Salikin: Pendakian Menuju

Allah. Terj. Oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar Al-Ghazali (2001). Kimiyau as- Sa’adah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan

Abadi, terj. Oleh: Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Zaman

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa (1994) Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra Al-Qu’ayyid, Ibrahim Hamd (2008), Al-‘Aadat al-‘Asyru li asy-Syakhsiyah an-

Najihah, terj. oleh : Fathurozi, Jakarta : Maghfirah Pustaka

Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka. dalam https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-hamka/

Asep Muhiddin (2002). Dakwah dalam Perspektif Al-qur’an, Bandung:

Pustaka Setia Bagir, Haidar (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan Bastaman, H.D. & Fuat N.S. : 1995, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju

Psikologi Islami, Yogyakarta : Pustaka Pelajar ---------------------(2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna

Hidup dan Meraih Hidup Bermakna , Jakarta : Rajawali Pers. Gulen, M. Fethullah (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin Menjawab

Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia . Jakarta: Republika HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar. Singapura: Pustaka Nasional.

93

Page 94: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/04/09/230345/kebahagiaan-warga-bisa-jadi-tolak-ukur-sukses-pembangunan

https://yorga.wordpress.com/2015/11/15/gajimu-bahagiamu-sebuah-survey-

terhadap-kalangan-profesional-muda-di-indonesia/ Joko Tri Haryanto dalam

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/26/376830/paradigma-baru-pembangunan-nasional

Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Maktabah Al- Kubra: Media

Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5 Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki

Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati

Martin Seligmen dalam www.authentichappiness.com Martokoesoemo, Priatno H. (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan Muthahhari, Murtadha (2007), Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama,

Bandung : Mizan ------------(2008), Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri Manusia,

Jakarta : Penerbit Lentera Nawawi, Rif’at Syauqi (2014), Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan

Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat Rakhmat, Jalaluddin (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung : Simbiosa

Rekatama Media ---------- (2010), Tafsir Kebahagiaan, Bandung: Serambi ---------- (2003), Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda

----------(1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan,

Bandung; Rosda Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan

meningkatkan kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka

Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016

Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani

94

Page 95: PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu

Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an. Terj. Oleh As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani.

Shihab, M. Quraish (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-

surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah.

------------(2004), Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-

Qur’an, Jakarta: Lentera Hati -------------(1995). Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan

Sentanu, Erbe (2008), Quantum Ikhlas : Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati,

Jakarta : Elex Media Komputindo Wiradisuria. M. Sambas (2011). The Road to Happiness: Menggapai

Kebahagiaan. Depok: Khazanah Mimbar Plus

Yuswohady, Meredefinisi Ukuran Sukses, dalam Kompas, Jum’at, 12 Desember 2014

95