prospek pengembangan tanaman jarak pagar...
TRANSCRIPT
-
23
PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropa Curcas) PADA BERBAGAI
ORDER TANAH DI PULAU LOMBOK
Novrizal1 dan Suwardji
2
1Mahasiswa dan
2Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Mataram, Jalan Majapahit No. 62 Mataram 83125; Telp. 0370-628143
ABSTRAK
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) sampai saat ini masih belum dibudidayakan secara khusus oleh
masyaraka di Pulau Lombokt. Masyarakat umumnya menjadikan tanaman jarak pagar hanya sebagai pagar pembatas
lahan. Potensi pengembangan tanaman jarak pagar sangat besar bila dibudidayakan di lahan yang ideal untuk
pertumbuhannya. Disamping menghasilkan minyak yang dapat diolah menjadi bahan bakar, seluruh bagian tanamannya juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan obat-obatan. Pada saat ini belum ada kajian untuk menilai kesesuaian
tanaman Jarak Pagar pada berbagai ordo tanah yang ada di Pulau Lombok. Informasi semacam ini sangat penting untuk
mengetahui kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok untuk prospek pengembangan
tanaman ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperiment yang dilakukan di rumah kaca. Ordo tanah yang digunakan yaitu ordo tanah Vertisol diambildari daerah Batujai, ordo tanah Entisol diambil ari daerah
Mataram, ordo tanah Alfisol diambil dari daerah Masbagik, dan ordo tanah Inceptisol diambil dari daerah Kuripan.
Parameter tanah yang diukur meliputi sifat fisik dan kima tana, sedangkan parameter tanaman yang diukur meliputi
wakktu kecambah, tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan ordo tanah vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 29.36 persen, tekstur tanahnya liat berpasir, memiliki pH
netral (6,69), nilai C-Organik rendah (1,38%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,004%),pada ordo tanah Inceptisol
memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34.09 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak
masam (6,26), nilai C-Organik rendah (1,13%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,009%), pada ordo tanah Entisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.18 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak
masam (6,12), nilai C-Organik rendah (1,33%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0051%), pada ordo tanah Alfisol
memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.89 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak
masam (6,25), nilai C-Organik rendah (1,4%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0059%). Dari hasil pengukuran
tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang ordo tanah Alfisol menunjukan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik
dan diikuti oleh ordo tanah Entisol, ordo tanah Inceptisol dan ordo Vertisol. Dalam hal ini ordo tanah Alfisol dan Entisol
merupakan ordo tanah yang paling sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar di Pulau Lombok.
Kata kunci : Jarakpagar (Jatropha curcas), ordo tanah di Pulau Lombok, pengembangan tanaman jarak pagar
PENDAHULUAN
Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti oleh meningkatnya
harga BBM dunia telah berdampak langsung pada rakyat Indonesia. Meningkatnya harga BBM yang
ditetapkan oleh pemerintah pada bulan Oktober tahun 2005 merupakan kenaikan harga BBM yang paling
tinggi yaitu sebesar 108% (Pambudy, 2006). Harga BBM yang sangat tinggi menyebabkan inflasi dan
membuat rakyat Indonesia akan semakin menderita. Terkait hal tersebut sudah saatnya sektor pertanian di
Indonesia berfokus pada pengembangan tanaman yang dapat diproses menjadi bahan bakar alternatif
pengganti BBM yang berasal dari minyak bumi.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah
tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Tanaman ini memiliki potensi yang sangat menjanjikan, disamping
kandungan minyaknya yang mencapai 30 – 50%, hampir seluruh bagian tanamannya juga dapat
dimanfaatkan, diantaranya sebagai insektisida, pupuk, sampai kemungkinan memiliki bahan anti kanker
(Pambudy, 2006). Tanaman Jarak Pagar mulai berbunga setelah berumur 3 – 4 bulan dan pembentukan buah
mulai pada umur 4 – 5 bulan. Secara agronomis, tanaman ini dapat beradaptasi pada lahan maupun
agroklimat di Indonesia, bahkan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering dengan tingkat curah hujan
antara 300 – 1300 mm pertahun maupun pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Irfan, 2005).
Salah satu daerah yang mempunyai lahan kritis yang sangat luas di Indonesia adalah daerah Nusa
Tenggara Barat, dengan luas total lahan kritisnya mencapai 524.000 hektar yang tersebar di Pulau Lombok
dan Pulau Sumbawa. Khusus di Pulau Lombok lahan kritis tersebar di Lombok Barat (92.925,409 ha)
Lombok Tengah (92.225,794 ha), dan Lombok Timur (87.958,754 ha) (Suwardji dan Priyono, 2003).
Berdasarkan data dari peta tanah tinjau NTB (BAPPEDA, 1988) Pulau Lombok juga memiliki
empat ordo tanah yang paling dominan yaitu Entisol, Vertisol, Inceptisol, dan Alfisol. Untuk
mengembangkan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran perlu dinilai tingkat kecocokkan tanah yang ada.
-
24
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan tanaman Jarak Pagar pada berbagai order
tanah di Pulau Lombok yang sampai saat ini belum pernah dilakukan.
Setiap ordo tanah memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda, Pulau Lombok memiliki
empat ordo tanah yang paling dominan yaitu: Ordo Entisol, Ordo Vertisol, Ordo Alfisol, dan Ordo Inceptisol.
Tingkat kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok belum pernah diketahui.
Hal ini penting untuk program pengembangan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran di Pulau Lombok.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kecocokan ordo tanah yang ada di Pulau
Lombok untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Manfaat dari program penelitian ini
adalah (1), Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menanam tanaman
Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang baik, (2) Dapat berguna bagi masyarakat dan instansi yang terkait dalam
mengembangkan dan membudidayakan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) pada berbagai ordo tanah
yang ada di Pulau Lombok.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2007 di Laboratorium Fisika dan
Konservasi Tanah, laboratorium Kimia dan Biologi Tanah, dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas
Mataram. Metode yang digunakan pada program penelitian ini adalah metode eksperiment yang meliputi
pengambilan contoh tanah dan percobaan penanaman tanaman jarak pagar di rumah kaca. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancanagan acak lengkap (RAL), dengan empat perlakuan yaitu: 1) Ordo
Inceptisol, 2) Ordo Entisol, 3) Ordo Vertisol, dan 4) Ordo Alfisol. Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak lima kali, semua pot percobaan akan diletakkan secara acak dan mendapatkan kondisi yang
seragam.
Pengambilan contoh tanah. Dalam penelitian ini contoh tanah yang diambil antara lain; (1) Contoh
tanah agregat utuh yang digunakan untuk analisis struktur tanah, dan (2) Contoh tanah terusik yang
digunakan untuk analisis tekstur, kadar lengas kering angin, kadar lengas kapasitas lapang, pH tanah, C-
organik, dan N-total tanah. Pengambilan contoh tanah agregat utuh dan contoh tanah terusik diambil pada
empat lokasi ordo tanah yang tersebar di Pulau Lombok antara lain: Ordo Vertisol diambil didaerah Batujai,
Ordo Alfisol diambil didaerah Masbagik, Ordo Inceptisol diambil di daerah Kuripan, dan Ordo Entisol
diambil di daerah Mataram pada kedalaman 0 – 20 cm, diambil secara acak sistematis dan contoh tanah
terusik dari masing-masing daerah dikompositkan. Selanjutnya contoh tanah dimasukkan kedalam kantong
plastik, diberi label, dan dipersiapkan untuk keperluan analisis sifat fisika dan kimia tanah.
Persiapan contoh tanah. Contoh tanah yang telah diambil kemudian dikering anginkan selama 1 – 2 minggu.
Selanjutnya di ayak menggunakan ayakan 0,5 mm untuk analisis fisika, kimia tanah, dan untuk penanaman
menggunakan ayakan 2 mm.
Percobaan Rumah Kaca meliputi persiapan Media Tanam. Masing-masing contoh ordo tanah yang
telah diayak menggunakan ayakan 2 mm sebanyak 7 kg akan dimasukkan kedalam pot-pot percobaan yang
berukuran 8 kg. Masing-masing pot pecobaan diulang sebanyak lima kali, kemudian disiram hingga
mencapai kadar lengas kapasitas lapang. Persiapan Benih. Benih jarak pagar yang digunakan dipilih dari biji
yang telah cukup tua yaitu dari buah yang telah masak, biasanya berwarna hitam dan diperoleh dari Dinas
Perkebunan Provinsi NTB. Sebelum ditanam, benih direndam dulu dalam air selama satu malam. Selain
bertujuan untuk meningkatkan kadar air benih agar cepat berkecambah, perendaman juga bertujuan untuk
mengadakan seleksi benih. Sebelum ditanam, benih juga dicelupkan kedalam larutan insektisida 2 cc per satu
liter air. Pencelupan dilakukan setelah benih direndam dalam air, tujuannya untuk mencegah serangan
serangga tanah, seperti rayap atau semut sewaktu benih berada di dalam tanah (Sujatmaka, 1992).
Penanaman. Penanaman dilakukan dengan cara benih dimasukkan kedalam lubang tanam. Setiap
lubang diisi dengan 3 – 5 benih. Hal ini bertujuan untuk menjaga kalau diantara benih ada yang tidak bisa
berkecambah. Penyiraman. Penyiraman dilakukan secara rutin yaitu pada pagi atau sore hari, dan untuk
mengetahui jumlah air yang harus ditambahkan maka dibuat pot sebagai control untuk masing-masing ordo
tanah. Tujuannya untuk mempertahankan keadaan kadar lengas pada kondisi sekitar kapasitas lapang.
Penjarangan. Penjarangan dilakukan pada umur delapan hari setelah tanam (HST). Tujuan dari penjarangan
ini adalah untuk menyeleksi tanaman sehingga mendapatkan tanaman yang seragam. Penyiangan.
Penyiangan dilakukan untuk membersihkan tanaman pengganggu yang tumbuh disekitar tanaman utama
dengan cara manual yaitu mencabut dengan tangan.
Parameter tanah, Parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas tanah meliputi parameter
sifat fisik dan kimia tanah yaitu kadar lengas (kering angin, kapasitas lapang), tekstur tanah, struktur tanah
-
25
(bj tanah, bv tanah), pH tanah, C-organik, dan N-total tanah. Parameter tanaman, waktu Kecambah (hari).
Pengamatan dilakukan pada waktu biji mulai di tanam sampai dengan 7 HST. Tinggi Tanaman (cm).
Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman berumur 93 hari setelah
tanam (hst) dengan menggunakan penggaris dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi tanaman.
Jumlah Daun (helai). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman
berumur 93 HST dengan cara menghitung jumlah daun yang terdapat pada setiap tanaman. Diameter Batang
(cm). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HSTsampai dengan tanaman berumur 93 HST
dengan mengunakan jangka sorong.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengambilana Contoh Tanah
Beberapa ordo tanah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tanah yang digunakan untuk penelitian
No Ordo Tanah Lokasi Penggunaan Lahan
1. Vertisol Batujai/Praya Barat/Loteng Kebun
2. Inceptisol Kuripan/Lobar Tegalan
3. Alfisol Masbagik/Lotim Tegalan
4. Entisol Mataram/Kodya Mataram Kebun
B. Sifat Fisik dan Kimia Berbagai Ordo Tanah
Kadar Lengas Tanah
Kadar lengas tanah menunjukkan jumlah kandungan air didalam tanah. Berdasarkan analisis di
Laboratorium didapatkan hasil kadar lengas yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis kadar lengas kapasitas lapang
No Ordo Tanah Kadar Lengas Kapsitas Lapang (%)
1. Vertisol 29.36
2. Inceptisol 34.09
3. Alfisol 35.89
4. Entisol 35.18
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada ordo tanah Vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang
sebesar 29,36%, untuk tanah Inceptisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34,09% pada tanah
Alfisol memiliki kadar lengas kapasistas lapang sebesar 35,89%, dan pada tanah Entisol memiliki kadar
lengas kapasitas lapang sebesar 35,18%. Pada keadaan ini menunjukkan bahwa pengikatan antara partikel-
partikel tanah cukup kuat yang menyebabkan tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada ke-empat ordo
tanah tersebut. Secara berurutan kadar lengas kapasitas lapang tertinggi pada ordo tanah Alfisol diikuti oleh
ordo tanah Entisol, Inceptisol dan Vertisol. Tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada berbagai ordo
tanah di atas dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman Jarak pagar yang diketahui tidak terlalu
membutuhkan air (Jones dan Miller (1992) dalam Prastiwi dkk., 2006).
Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif halus kasarnya fraksi tanah, karena terdiri dari
berbagi ukuran butir-butir tanah maka dibedakan menjadi tanah bertekstur pasir, debu, dan liat. Hasil analisis
tekstur tanah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis tekstur tanah
No Ordo Tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Harkat
1. Vertisol 57 5 38 Liat Berpasir
2. Entisol 66,5 6,5 27 Lempung Liat Berpasir
3. Inceptisol 63 1,2 25 Lempung Liat Berpasir
4. Alfisol 69,5 2,5 28 Lempung Liat Berpasir
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tanah Vertisol memiliki persen pasir yang lebih dominan yaitu
sebesar 57% dan diikuti oleh persen liat sebesar 38% dan 5% untuk debu, dari jumlah persen pasir, debu dan
-
26
liat tanah Vertisol yang digunakan memiliki kelas tekstur liat berpasir (Suwardji dkk., 2006). Seperti
dijelaskan juga oleh Yasin (2004), tanah Vertisol memiliki kadar liat yang tinggi ( > 35%). Pada tanah
Entisol memiliki 66,5% fraksi pasir, 6,5% fraksi debu dan 27% fraksi liat sehingga menurut Suwardji
(2006), menyatakan tanah ini termasuk dalam kelas lempung liat berpasir yang hampir sama dengan lempung
berliat hanya sedikit lebih kasar karena dominan fraksi pasir. Pada tanah dengan dominan pasir memiliki
ruang pori makro yang lebih banyak dibandingkan pori mikro sehingga jumlah air yang diikat lebih sedikit,
hal ini disebabkan oleh daya ikat antar partikel tanah lemah. Pada tanah Inceptisol memiliki 65% fraksi pasir,
1,2% fraksi debu dan 25% fraksi liat, menurut Suwardji, (2006), tanah ini termasuk dalam kelas tekstur
lempung liat berpasir. bila dibandingkan dengan tanah Entisol tanah Inceptisol telah memiliki horizon meski
masih lemah. Sedangkan pada tanah Alfisol memiliki 69,5% fraksi pasir, 2,5% fraksi debu dan 28% fraksi
pasir, tanah ini tergolong dalam kelas tekstur lempung liat berpasir. Dari ke-empat ordo tanah diatas Alfisol
memiliki kandungan fraksi pasir yang lebih tinggi. Perbedaan jumlah kandungan fraksi pasir, debu dan liat
dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan pada tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Hal ini sesuai
dengan pernyataan Prastiwi dkk., 2006 bahwa untuk pertumbuhan tanaman Jarak Pagar yang terbaik dapat
dijumpai pada tanah-tanah yang ringan atau pada tanah yang mengandung pasir antara 60-90%. Menurut
Okabe dan Somabhi 1989 dalam Prastiwi dkk., 2006 tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada tanah yang
bertekstur lempung berpasir dapat memberikan hasil tertinggi dari pada tanah yang bertekstur lainnya.
Kemasaman (pH) Tanah
Reaksi tanah menunjukkan tingkat keasaman atau kealkalinitas tanah. Berdasarkan analisis pH tanah
didapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis pH tanah
No Ordo Tanah pH H2O Harkat
1. Vertisol 6,69 Netral
2. Entisol 6,12 Agak Masam
3. Inceptisol 6,26 Agak Masam
4. Alfisol 6,25 Agak Masam
Keterangan : Agak Masam = pH 5.6 – 6.5 ; Netral pH 6.5 – 7.5; Agak Alkalis = pH 7.6 8.5; dan Alkalis = pH > 8.5
(Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).
C-Organik
Karbon (C) merupakan unsur utama penyusun bahan organik, sehingga jumlah karbon merupakan
gambaran kandungan bahan organik dalam tanah. Hasil analisis C-Organik disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis C- Organik Tanah
No Ordo Tanah C- Organik (%) Harkat
1. Vertisol 1.38 Rendah
2. Entisol 1.33 Rendah
3. Inceptisol 1.13 Rendah
4. Alfisol 1.4 Rendah
Keterangan : C = Karbon
N total
Jumlah N total didalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman khususnya pada fase
vegetatif. Sumber N total di dalam tanah dapat berasal dari bahan organik sehingga tanaman yang diusahakan
dilokasi pengambilan contoh tanah juga dapat mempengaruhi jumlah N total. Hasil analisis N total tanah
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis N total tanah
No Ordo Tanah N total (%) Harkat
1. Vertisol 0.004 Sangat Rendah
2. Entisol 0.0051 Sangat Rendah
3. Inceptisol 0.009 Sangat Rendah
4. Alfisol 0.0059 Sangat Rendah
-
27
C. Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)
Waktu Kecambah
5.4
5.6
5.8
6
6.2
6.4
6.6
6.8
7
7.2
Vertisol Inceptisol Entisol Afisol
Ordo Tanah
Waktu
Kec
am
ba
h(H
ari
)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
5.4
5.6
5.8
6
6.2
6.4
6.6
6.8
7
7.2
Vertisol Inceptisol Entisol Afisol
Ordo Tanah
Waktu
Kec
am
ba
h(H
ari
)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
Gambar 1. Hasil Pegukuran Waktu Kecambah Tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas) Pada Berbagai Ordo
Tanah di Pulau Lombok.
Berdasarkan grafik di atas waktu kecambah untuk tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Vertisol
rata-rata selama enam hari setelah tanam, hal ini juga terjadi pada ordo tanah Inceptisol dan pada tanah
Alfisol. Sedangkan pada ordo tanah Entisol waktu berkecambah rata-rata lebih lambat yaitu pada hari ke-
tujuh setelah tanam. Dilihat dari hasil diatas maka untuk pembibitan tanaman Jarak Pagar cocok dilakukan
pada ordo tanah Vertisol Incepisol, dan alfisol.
Tinggi Tanaman Jarak Pagar
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Tin
gg
iT
an
am
an
(cm
)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Tin
gg
iT
an
am
an
(cm
)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
Gambar 2. Hasil Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order Tanah di
Pulau Lombok (cm).
Tabel 7. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (cm).
No Ordo
Tanah
Hari Setelah Tanam (HST)
39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
1 Vertisol 34,8 a 41,8 a 45,7 b 50,6 b 54,6 bc 58,4 b 63,4 b 66 b 67,8 b 70,8 b
2 Entisol 38 a 45,8 a 53 a 56 a 58,4 b 61,8 b 64,4 b 65,8 b 67 b 68,8 b
3 Inceptisol 29,7 b 34,8 b 42,6 b 47,8 b 51,4 c 58,6 b 64,6 b 68,8 b 71,6 b 75,8 ab
4 Alfisol 34,8 a 43,4 a 51,8 a 60,2 a 67,2 a 72,2 a 75,2 a 77,8 a 79 a 79,8 a
BNT 5 % 3,63 3,70 4,66 4,99 5,65 7,51 7,54 7,13 7,25 7,24
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran tinggi tanaman Jarak Pagar di atas, pada awal
pertumbuhan yaitu pada umur 9 – 33 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ke-
empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Setelah umur tanaman mencapai 39 dan 45 hari
-
28
setelah tanam tinggi tanaman pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah
Inceptisol yang secara statistik tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan
Vertisol lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Jarak pagar yang ditanam pada ordo tanah Inceptisol.
Pada umur tanaman 51 dan 57 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Alfisol dan
Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol yang secara statistik tinggi tanaman Jarak
Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol lebih tinggi dari pada tanaman Jarak Pagar yang
ditanam pada ordo tanah Vertisol dan Inceptisol.. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ke-empat ordo
tanah menunjukan tinggi tanaman yang berbeda nyata, yang secara statistik ordo tanah Alfisol lebih tinggi
dan diikuti berturut-turut oleh tanaman yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol dan Inceptisol. Pada
umur tanaman 69, 75 81 dan 87 hari setelah tanam ketinggian tanaman pada ordo tanah Alfisol berbada nyata
dengan ordo Inceptisol, Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 93 hari setelah tanam ketinggian tanaman
Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Entisol,
namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam
menunjukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada tinggi tanaman Jarak Pagar.
Jumlah Daun
0
10
20
30
40
50
60
70
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Ju
mla
hD
au
n(H
ela
i)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
0
10
20
30
40
50
60
70
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Ju
mla
hD
au
n(H
ela
i)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
Gambar 3. Hasil Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order
Tanah di Pulau Lombok
Tabel 8. Hasil Sidik Ragam Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai).
No Ordo Tanah Hari Setelah Tanam (HST)
15 33 39 45 51 57 63
1 Vertisol 4 a 15,4 ab 22,4 a 27,6 a 32,2 ab 36,2 b 40,2 b
2 Entisol 3,26 ab 16,4 a 23 a 30,6 a 36 a 40,4 ab 43,2 b
3 Inceptisol 3,2 b 10,6 b 12,4 b 15,6 b 22 b 29,4 b 34,8 b
4 Alfisol 4 a 13 ab 19,4 a 26,6 a 39,2 a 50 a 54,8 a
BNT 5 % 0,47 3,96 5,84 8,73 10,27 11,2 11,55
Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam perhitungan jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada umur
9 hari setelah tanam, tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan
perbedaan yang nyata. Setelah umur 15 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah
Vertisol dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan
ordo tanah Entisol. Pada umur 21 – 27 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ke-empat
ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur tanaman 33 hari setelah tanam jumlah daun
tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol,
namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan ordo tanah Alfisol. Pada umur tanaman 39
dan 45 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol,
dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam jumlah
daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata dengan ordo
tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur 57 hari setelah
tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol, dan
-
29
ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur
tanaman 63 – 93 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol
berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Vertisol, dan Entisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam
menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada jumlah daun tanaman Jarak
Pagar.
Diameter Batang
Tabel 9. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai).
No Ordo
Tanah
Hari Setelah Tanam (HST)
33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
1 Vertisol 1.03 a 1.28 a 1.44 a 1.63 ab 1.77 ab 1.9 bc 2.1 b 2.26 b 2.4 b 2.53 b 2.65 b
2 Entisol 1.07 a 1.32 a 1.49 a 1.74 a 1.9 ab 2.1 ab 2.25 ab 2.42 ab 2.6 ab 2.74 ab 2.87 b
3 Inceptisol 0.88 b 1.08 b 1.27 b 1.46 b 1.67 b 1.8 c 1.97 b 2.25 b 2.4 b 2.55 b 2.68 b
4 Alfisol 1.07 a 1.33 a 1.53 a 1.81 a 1.99 a 2.22 a 2.4 a 2.6 a 2.8 a 2.92 a 3.1 a
BNT 5 % 0.11 0.12 0.16 0.18 0.19 0.2 0.24 0.24 0.22 0.22 0.19
Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Dia
me
ter
Ba
tan
g(c
m)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Dia
me
ter
Ba
tan
g(c
m)
Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
Gambar 4. Hasil Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order
Tanah di Pulau Lombok
Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar pada
awal pertumbuhan yaitu pada umur 9 – 27 hari setelah tanam diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di
tanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur 33, 39 dan 45 hari
setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol,
dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam ukuran
diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata
dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur
tanaman 57 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah
Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah
Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar
yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak
terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur tanaman 69, 75, 81, dan 87 hari setelah tanam
ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan
ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur
tanaman 93 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah
Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan Vertisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik
ragam menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada ukuran diameter batang
tanaman Jarak Pagar.
D. Hubungan Karakteristik Tanah dengan Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jarak Pagar
Tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman. Sifat dan karakteristik dari tanah sangat menentukan
baik atau tidaknya pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Menurut Prihandana, (2006) menyatakan
bahwa tanaman Jarak Pagar dapat tumbuh pada lahan marjinal yang miskin hara, namun mempunyai
drainase dan airase yang baik. Produksi optimal akan diperoleh pada lahan yang subur, dan untuk
-
30
pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak pagar terbaik pada tanah yang mengandung pasir 60 – 90 persen.
Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah, ordo tanah Alfisol menunjukan jumlah kandungan fraksi pasir yang
lebih tinggi yaitu sebesar 69.5 %. Ketersediaan air tidak terlalu memberikan pengaruh yang berarti bagi
pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar, Tapi jumlah dari kandungan fraksi pasir pada tiap-tiap ordo
tanah dapat menentukan tinggkat kecepatan pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Berdasarkan hasil
pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman Jarak Pagar, ordo tanah Alfisol rata-
rata menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan
Vertisol. Dilihat dari sifat ordo Vertisol yang dapat menyimpan air dalam jumlah yang lebih besar bila
dibandingkan dengan ordo tanah Alfisol, Entisol dan ordo tanah Inceptisol maka ordo tanah Vertisol sesuai
untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar yang termasuk dalam golongan klas kesesuaian S-2 (sesuai) yang
hanya memiliki hambatan ketersediaan air yang besar akibat pengikatan antar partikel tanah yang kuat,
sedang untuk ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol sangat sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak
pagar karena tidak terdapat hambatan dalam pengembangan tanaman jarak Pagar. Namun ordo tanah Vertisol
dapat termasuk dalam golongan klas kesesuaian lahan S-1 (sangat sesuai) apabila hambatan ketersedian air
dapat diatasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pengukuran tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun tanaman Jarak
Pagar, ordo tanah Alfisol menunjukan hasil yang lebih baik dari tiga ordo lainnya yaitu ordo tanah Entisol,
Inceptisol dan Vertisol. Tanaman Jarak Pagar sesuai ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol
karena tidak memiliki faktor pembatas untuk pengembngan tanaman Jarak Pagar dibandingkan pada ordo
tanah Vertisol yang memiliki faktor pembatas berupa ketersediaan air yang cukup besar. Tanaman Jarak
Pagar tumbuh dengan baik pada ordo tanah yang banyak mengandung fraksi pasir, dari hasil analisis tanah
ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol memiliki kandungan pasir lebih banyak bila dibandingkan dengan
ordo tanah Vertisol. Dari pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan di sarankan kepada instansi dan petani
di Pulau Lombok untuk mengembangkan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) secara besar-basaran pada
ordo tanah Alfisol, selanjutnya diikuti oleh ordo tanah entisol, dan Inceptisol.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), (1989). Peta Tanah Tinjau Pulau Lombok.
BAPPEDA Propinsi NTB.
Hardjowigeno. S., (2003). Ilmu Tanah. Akademi Presindo. Jakarta
Irfan, (2005). Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas) Sebagai Sumber Bahan Alternatif Biofuel.
http;//www.iptek.net.id/ind/img/050260504/005 jarak pagar.1.jpg
Pambudy.M.N., (2006). Bahan Bakar Alternatif, Tarik Investor Kompas:21(3).34 h.
Prastiwi. N., Siti. S., Zaenal. M., Irmia. N., Djoko. P., Hadi. S., (2006). Budidaya Jarak Pagar Sebagai Bahan
Baku Bahan Bakar Nabati (Biodisel). Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Sujatmaka, (1992). Prospek Pasar dan Budidaya Jarak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suwardji, dan Joko.P., (2003) Inventarisasi Luas Lahan Kritis Propinsi Nusa Tenggarara Barat. Mataram.
Yasin, (2004). Pengantar Klasifikasi Tanah. Bahan Ajar MK Klasifikasi Tanah. Fakultas Pertanian. Unram.
Mataram.
-
31
POTENSI PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA PADA
BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK
Muhammad Sarjan
Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UniversitasMataram
Jl. Pendidikan Mataram-Lombok-NTB
ABSTRAK
Hama merupakan salah satu masalah yang penting diperhatikan dalam usaha produksi tanaman secara umum
karena hama mampu menurunkan produksi secara signifikan baik kualitatif maupun kuantitatif. Demikian juga halnya pada tanaman sayuran yang sebagaian besar produknya dikonsumsi dalam keadaan segar, masih mengandalkan
insektisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama. Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang
sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan terhadap mahluk
hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Oleh karena itu harus dicari cara alternatif yang lebih aman dalam pengendalian hama antara lain dengan mengusahakan budidaya pertanioan organik yang pada prinsipnya menminimalkan input
produksi seperti pupuk dan pestisida dari senyawa kimia sintetis. Salah satu komponen dalam budidaya organik adalah
pemanfaatan pestisida non-kimiawi sintetis baik berupa insektisida hayati maupun nabati untuk mengendaliklan hama.
Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha
pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan
mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan
bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik.
Kata kunci: Insektisida nabati, sayuran organik
PENDAHULUAN
Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis, terutama
pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di
satu pihak dengan digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu
tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti
berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder,
terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan
(Prijono, 1994). Sedangkan di lain pihak tanpa pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang
diakibatkan OPT (Kardinan, 2001).
Untuk mengatasi masalah tersebut dan menciptakan tanaman holtikultura terutama sayuran yang
ramah lingkungan untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi maka penerapan usaha tani berbasis
organik (pertanian organik) merupakan keharusan (Anonim,2004). Saat ini petani menerapkan budidaya
sayuran organik sebagai respon terhadap semakin perlunya kesehatan konsumen dan produsen, dan juga
sebagai upaya untuk membuat pertanian yang berwawasan lingkungan (Riza dan Tahjadi, 2001).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi menyebabkan
bertambahnya permintaan sayuran, dan jenis sayurannya pun semakin bervariasi. Oleh karena itu diperlukan
upaya peningkatan produksi tanaman sayuran antara lain dengan cara mengembangkan pertanian organik
yang diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasaran, karena pertanian
organik selain mempunyai biaya produksi rendah, juga hasil panen umumnya mengandung residu bahan
kimia yang relatif rendah, sehingga hasilnya digemari oleh masyarakat. Saat ini banyak konsumen yang
menuntut kualitas produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi, sehingga pengembangan pertanian organik
ke depan mempunyai prospek yang bagus, jika dikelola dengan baik, dan menerapkan prinsip-prinsip
pertanian berkelanjutan (Sustainable Agricultural Development) (Anonim, 2004).
Beberapa tindakan pengendalian yang dapat digunakan untuk mecegah serangan hama pada
tanaman sayuran antara lain dengan teknik bercocok tanam (rotasi tanaman, sanitasi), penggunaan varietas
yang tahan, pengendalian hayati dengan memanfaatkan predator dan parasitoid, pengendalian dengan
menggunakan pestisida botani dari ekstrak tumbuhan serta pengendalian secara kimia dengan menggunakan
insektisida. Budidaya sayuran organik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada berupa pestisida
hayati dan botani serta pengunaan pupuk organik diharapkan dapat menekan populasi dan intensitas serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ekosistem sayuran organik. Sementara ini sudah banyak
dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan
-
32
hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha pengembangan
sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan
mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan
dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem
budidaya sayuran organik.
POTENSI TUMBUHAN TROPIS SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI
Sebagai daerah trofis, Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak
jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida
botani dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Dilaporkan bahwa lebih dari 1500 jenis tumbuhan dapat
berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge & Ahmed, 1988). Di Filipina, tidak kurang dari 100 jenis
tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus, 1987). Laporan dari berbagai
propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat
BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan
penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah
Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman, 1995), namun
hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh
banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai
sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss)
dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia
tanaman ini banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur). Ekstrak biji tanaman
mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman ini memiliki aktivitas
insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan (Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh
terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial
dengan formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al.
1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat
sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida.
Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang akhir-akhir ini
banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia
Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik. Di Indonesia tumbuhan dapat ditemui
tumbuh di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Philipina, Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993)
berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan,
pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan
benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu
desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi
dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A.
duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang
disebutkan terakhir tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia
selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat
perkembangan.
Beberapa spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang disebutkan di atas umum dijumpai di
Indonesia. Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona squamosa) dan nona seberang (A. glabra) mempunyai
aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana & Prijono, 1994; Prijono et al.,
1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A.
deliciosa dan Polyalthia littoralis efektif terhadap serangga gudang Callosobruchus chinensis. Senyawa aktif
utama dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin yang termasuk golongan asetogenin
(Mitsui et al., 1991). Di samping itu mungkin masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang belum dilaporkan
berpotensi sebagai pestisida nabati yang perlu dieksplorasi dan diujicoba.
-
33
HASIL UJI COBA DAN IMPLEMENTASI INSEKTISIDA NABATI PADA BUDIDAYA SAYURAN
ORGANIK
Penggunaan pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif
terhadap komponen ekosistem lainnya seperti terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta
pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan. Alternatif lain untuk pengendalian hama yaitu
dengan memanfaatkan senyawa beracun yang terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida
nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit
sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenolik (Anonim,
1994).
Efektivitas suatu bahan-bahan alami yang digunakan sebagai insektisida nabati sangat tergantung
dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang
berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat racunnya
tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut (Grainge and Ahmed 1987
cit Wasiati 2003). Menurut Sarjan dan Astam (1997), penggunaan insektisida non kimiawi sintetis nimba
(Azadirachta indica) dan Bt memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai agen pengendali hama ulat kubis
Plutella xylostella yang dalam prakteknya hampir sama dengan insektisida kimia Sumithion 50 EC mampu
menekan intensitas serangan sekitar 80%.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tumbuhan dan tanaman yang berpotensi sebagai pestisida yang
aman bagi lingkungan. Namun sampai saat ini pemanfaatan belum dilakukan secara maksimal dan di bawah
ini hasil penelitian yang telah dilakukan pada budidaya sayuran organik Saat ini setidaknya terdapat lebih
dari 2,000 jenis tanaman yang telah dikenal memiliki kemampuan sebagai pestisida. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) di Bogor memiliki koleksi puluhan jenis tanaman yang dapat dipakai
sebagai insektisida. Penelitian tentang tanaman-tanaman beracun botani di Indonesia dimulai sejak
didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh Belanda pada tahun 1888. Sementara itu, penelitian
tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.), bunga krisan liar (Pyrethrum), dan bengkuang sebagai
pestisida botani dimulai sejak tahun 1950 an di Bogor (Novizan, 2002).
Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensi insektisida nabati adalah Meliaceae,
Annonaceae, Asteraceae, dan Rutaceae (Arnoson et al., 1993 ; Isman, 1995 dalam Sarjan 2005). Potensi
insektisida nabati yang berasal dari famili Meliaceae terutama ekstrak biji memiliki aktifitas penghambat
makan dan penghambat perkembangan yang kuat terhadap serangga, seperti nimba memiliki senyawa
azadirachtin yang bersifat racun perut. Selain dari famuli Meliaceae, tanaman dari famili Annonaceae yang
potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber insektisida nabati adalah srikaya. Senyawa aktif utama yang
terkandung dalam srikaya adalah squamosin yang termasuk senyawa asetogenin, yang memiliki efek kontak
cukup baik terhadap serangga (Djoko, 1994).
Seperti dilaporkan oleh Sarjan (2004) menyakan bahwa penggunaan insektisida non kimia sintetis
dari nimba, dan srikaya mempunyai kemampuan untuk menekan populasi Spodoptera litura F. dan
melestarikan populasi musuh alami berupa predator pada tanaman kedelai. Selain mampu menekan populasi
S. litura, insektisida non kimia sintetis nimba memiliki potensi yang cukup tinggi yaitu mampu menekan
intensitas serangan yang hampir sama dengan insektisida kimia. Sedangkan insektisida non kimia sintetis dari
srikaya memiliki kemampuan yang paling rendah dalam mengendalikan hama ulat kubis Plutella xylostella
(Sarjan dan Wiresyamsi, 1997).
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana keberadaan hama pengisap daun, Thrips
parvispinus dan Myzus persicae pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rata- rata populasi Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang
diperlakukan secara konvensional yaitu 137,59 ekor/tanaman untuk nimfa, dan 41,01 ekor/tanaman untuk
imago dibandingkan dengan kondisi organik berturut-turut sebesar 74,89% dan 23,05%. Sedangkan intensitas
serangan kedua hama pengisap daun tersebut tidak berbeda antara tanaman tomat yang dibudidayakan secara
organik dibandingkan dengan konvensional. Tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik berproduksi
lebih tinggi yaitu 125 kw/ha dari pada tanaman secara konvensional sebesar 120 kw/ ha.
-
34
Tabel 1. Uji Statistik T-Test Untuk Populasi dan Intensitas Serangan Hama Pengisap Daun Tomat yang
Diperlakukan Secara Konvensional dan Organik.
Uraian Organik Konvensional F. hitung F. tabel t.hitung t. tabel ket
Populasi Hama (ekor/ 8tanaman)
Imago Myzus persicae 0,65 0,53 2,086815 1,860811 0,67818 2,006646 NS
Imago Thrips parvispinus 23,05 41,01 2,694896 1,860811 2,408404 2,010635 S
Nimfa Thrips parvispinus 74,89 1376,59 2,636344 1,860811 2,27959 2,010635 S
Intensitas serangan (%/8 tanaman)
Myzus persicae 0,05 0,04 1,3682203 1,860611 0,6760154 2,001717 NS
Thrips parvispinus 3,01 3,69 1,060862 1,860811 1,747459 2,001717 NS
Sumber : Data Primer diolah
Besarnya populasi dan intensitas serangan serta pola fluktuasi hama Myzus persicae pada kondisi
organik dan konvensional hampir sama pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan
konvensional. Rata- rata populasi dan intensitas serangan Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada
tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional dibandingkan dengan kondisi organik.
Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangan pada kedua kondisi tanaman tomat yang
dibudidayakan secara konvensional dan organik adalah sama yaitu mulai meningkat sejak tanaman berumur
22 hari setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur tanaman antara 32 dan 37 hari setelah tanam
untuk Thrips parvispinus dan 42 hari setelah tanam untuk Myzus persicae. Perlakuan secara organik dapat
menghasilkan tomat lebih tinggi dari pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 125
kw/ ha untuk organik dan 120 kw/ ha untuk konvensional.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
7 12 17 22 27 32 37 42 47 52
umur tanaman
po
pu
las
i
konvensional organik
0,00%
0,02%
0,04%
0,06%
0,08%
0,10%
0,12%
0,14%
7 12 17 22 27 32 37 42 47 52
umur tanaman
inte
nsit
as s
era
ng
an
konvensional organik
A B
Gambar 1. Fluktuasi populasi imago (A) dan Intensitas Serangan (B) Myzus persicae yang menyerang tanaman
tomat pada dua sistem budidaya yang berbeda.
Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi dan intensitas
serangan hama Thrips parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara organik maupun
secara konvensional . Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan juga hampir
sama yaitu menncapai puncakya pada saat tanaman berumur 87 – 97 hari. Namun berdasarkan hasil yang
dicapai menunjukkan bahwa produksi cabe pada kondisi organik lebih tinggi dibandingkan dengan
konvensional yaitu , tanaman cabai merah yang dibudidayakan secara organik mampu menghasilkan buah
dua kali lipat dibandingkan dengan hasil budidaya secara konvensional, sehinga budidaya cabai merah secara
organik mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
Tabel 2. Data hasil analisis rata-rata populasi dan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai
merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.
No. Analisis Pengamatan
Populasi Intensitas Serangan
1 F hitung 1,617566 1,386460
2 F tabel 1,860811 1,860812
3 T hitung 1,347937 1,618329
4 T tabel 2,001716 2,001716
Keterangan NS NS
-
35
0
5
10
15
7 17 27 37 47 57 67 77 87 97
umur tanaman
po
pu
lasi
konvensional organik
Gambar 2. Perkembangan populasi hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara
konvensional dan organik.
0.00%
1.00%
2.00%
3.00%
4.00%
5.00%
7 17 27 37 47 57 67 77 87 97
umur tanaman
intens
itas s
era
nga
n
konvensional organik
Gambar 3. Perkembangan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang
diperlakukan secara konvensional dan organik.
Perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang
sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman mengahsilkan tunas-tunas muda
dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan
insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun
demikian terlihat bahwa hasil cabe merah yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada
konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah secara organik mempunyai prospek untuk
dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama pengisdap daun, maupun untuk tujuan
peningkatan produksi.
Pada tanaman kubis, untuk mengetahui fluktuasi intensitas serangan ulat S. litura pada kondisi yang
berbeda yaitu pada sisitem budidaya organik dan konvensional telah dilakukan penelitian yang menunjukan
bahwa tidak terdapat berbedaan intensitas serangan ulat S. litura pada tanaman kubis yang dibudidayakan
secara organik dan konvensional dengan pola fluktuasi yang berbeda. Intensitas serangan S. litura mencapai
puncaknya pada umur tanaman 27 hari setelah tanam pada kondisi organik , sedangkan pada kondisi
konvensinal pada 42 hari setelah tanam.
Tabel 3. Uji statistik t-test intensitas serangan ulat Spodoptera litura pada tanaman kubis yang diperlakukan
secara organik.dan konvensional
Parameter Organik Konvensional F. hitung F. tabel t. hitung t. tabel ket
Intensitas serangan 2,561 2,900 2,207 3,179 - 0,642 2,101 NS
Sumber : Data Primer Diolah
-
36
Rata-rata intensitas serangan hama Spodoptera litura tidak berbeda pada tanaman kubis yang
dibudidayakan secara organik maupun konvensional . Pola fluktuasi intensitas serangan hama Spodoptera
litura cendrung berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun
konvensional.Intensitas serangan hama Spodoptera litura mencapai puncaknya lebih awal pada tanaman
kubis yang dibudidayakan secara organik yaitu pada umur tanaman 35 hari, sedangkan pada kondisi
konvensional pada saat tanaman berumur 56 hari setelah tanam.
0
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pengamatan ke-
Inte
ns
ita
sse
ran
ga
n(%
)
0
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pengamatan ke-
Inte
ns
ita
sse
ran
ga
n(%
)
Keterangan :
: Konvensional
: Organik
Gambar 4. Perkembangan Intensitas Hama S. litura pada Tanaman Kubis yang dibudidayakan secara
Konvensional dan Organik dari Pengamatan ke-1 -ke-10.
PENUTUP
Produksi pestisida nabati secara masal untuk keperluan komersial masih menghadapi beberapa
kendala, diantaranya ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak mencukupi. Rendahnya kandungan
metobolik sekunder dalam tanaman, sehingga diperlukan pasokan bahan baku yang sangat besar. Jika untuk
keperluan sendiri, kebutuhan bahan baku cukup melimpah dan sangat murah. Oleh karena itu perlu
menggalakkan dan mengembangkan teknik ekstraksi sederhana yang dapat dilakukan oleh petani untuk
mengendalikan hama secara individu dan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
sosialisasi baik melalui penyuluhan maupun pelatihan dan demplot sebagai upaya untuk menyebarkan
informasi tentang potensi suatu bahan ekstrak tumbuhan sebagai pestisida nabati. Demikian juga dari pihak
pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pemanfaatan pestisida nabati untuk
keperluan pengendalian hama, terutama pada sistem pertanian organik. Dari beberapa laporan menyatakan
bahwa sebenarnya efektivitas pestisida nabati tidak kalah dibandingkan pestisida kimia sintetis, namun
karena petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sebagai cara yang ampuh dengan alasan
antara lain mudah didapat, cepat bekerja membunuh hama sasaran serta relatif murah (subsidi), maka
pemanfaatan insektisida nabati masih sangat terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian pada sayuran organik (Cabe, tomat dan kubis) dapat disimpulkan
bahwa rata-rata populasi dan intensitas serangan hama hama penting pada tanaman tersebut relatif sama
pada tanaman yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Demikian juga dengan perkembangan
populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan
mencapai puncaknya pada saat fase tanaman menghasilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian
tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi
sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa
hasil cabe merah maupun tomat yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh
karena itu budidaya cabae merah ,tomat dan kubis secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan
baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama maupun untuk tujuan peningkatan produksi.
-
37
Dengan mengetahui pola perkembangan hama pada tanaman, maka hasil penelitian ini diharapkan
akan berguna untuk kegiatan monitoring hama dalam rangka penerapan pengelolaan hama secara terpadu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman dalam upaya pengelolaan hama
sayuran organik ( cabe, tomat dan kubis), terutama program monitoring untuk menentukan saat yang tepat
dalam pengendalian hama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Buku Pedoman Non Kimia. Departemen Pertanian. Jakarta. 13 h.
Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman,
M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in
Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo,
H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press.
Basana, I.R., D. Prijono. 1994. Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four Species of Annona
(Annonaceae) against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:
Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60.
Kardinan, A. dan Ruhnayat, A., 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
7-9 h.
Kardinan,A., 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. 2 h.
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Parnata, A.S., 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 h.
Prijono, D., dan Hasan E., 1993. Pengaruh Ekstrak Nimba Terhadap Perkembangan dan Mortalitas
Croccidolonia binotalis. Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida
Nabati. Bogor 1 – 2 Desember 1993.
________1994. Pedoman Praktikum Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Riza,V. dan Tahjadi, 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia. Jakarta. 63 h.
Sarjan, M., 2004a. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Era
Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
_______, 2004b. Potensi Insektisida Non Kimia Sintetik Dalam Konservasi Predator Ulat Grayak
(Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kedelai. Agroteksos. Majalah Ilmiah Pertanian (Agronomi,
dan Sosial Ekonomi) Volume 13 No 4. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
________, dan Astam Wiresyamsi, 1997. Laporan Penelitian Potensi Insektisida Non Kimiawi Sintetis
Sebagai Pengendali Ulat Kubis Plutella xylostella. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
________, 2006a. Intensitas Serangan Ulat Spodoptera litura pada Tanaman Kubis yang Dibudidayakan
Secara Organik dan Konvensional ( Jurnal HAPETE, Vol 3:1. April 2006)
________, 2006 b. Pengelolaan hama Pengisap daun Thrips parvispinus Karny Pada Tanaman cabe Yang
dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional (Jurnal Penenltian Universitas Mataram, Edisi A:
Sains dan Teknologi. Vol 2:10. Agustus 2006)
________, 2007. Perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura Hbn) pada tanaman tomat yang
dibudidayakan secara organik dan konvensional. (Jurnal PARTNER Politeknik Pertanian Kupang
NTT tahun 14.No periode januari 2007)
-
38
IDENTIFIKASI PENERAPAN TEKNOLOGI JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
DI PROPINSI SULAWESI SELATAN
Bahtiar dan A. Tenrirawe
Balitsereal Maros – Sulawesi Selatan
ABSTRACT
Identification to maize production systems on rainfed lowland in South Sulawesi. The study aimed to explore
the potency of rainfed lowland and its utilization, and maize production systems on it land. In relation with that purpose, a survey was conducted to farmers and other information sources related to maize development. Data and information
were collected through individual and group interview based on questionaire prepared. In two regencies surveyed,
rainfed lowland availabeled was large enough but was not utilized maximally yet, due to many factors. On regions were
maize areas not developed (Pangkep), maize production could be increased through extensification. Technology applied in maize production systems in these regencies were still modestly, even though technology information such as hybrid
seeds had been known. Technology production needed to be disseminated to increase maize production including open-
pollinate maize varieties, high quality seeds, land preparation, plantation, irrigation, fertilizer and fertilization, pest
control, and harvesting. Besides it, post harvest technologies and marketing channels also need to be informed. In these region production inputs were difficult to obtain and their prices were expensive. On region where maize areas
developed (Takalar), maize production could be increased through increase planting intensity, cropping pattern
adjustment, besides extensification. Maize production technology applied in these region were quite advance but
improvement were still needed. Fertilizers applied were excessive, irrigation not efficient, and cropping pattern needed to be adjusted. In several places, high quality open-pollinated seed were required. Production inputs were availabled but
their prices were still expensive.
Key Words : Identification, rainfed lowland, maize production systems.
PENDAHULUAN
Indonesia pada masa datang dihadapkan kepada masalah persediaan jagung, seiring dengan
meningkatnya permintaan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun bahan baku pakan ternak dan industri
pengolahan makanan (Damardjati et al., 2005). Hal ini tampak pada peningkatan jumlah impor jagung dalam
kurun waktu 1997-2001 yang mencapai 0,96 juta ton dan diperkirakan meningkat menjadi 1,80 juta ton pada
tahun 2005 (Subandi dan Hermanto, 2002).
Selama sepuluh tahun terakhir komoditas jagung memperlihatkan peningkatan produksi yang lebih
tinggi dibanding dengan produksi tanaman pangan lainnya. Dari sudut pandang agribisnis kecenderungan
tersebut menunjukkan tanaman jagung memberikan pendapatan memadai kepada semua yang terkait dalam
pengembangan jagung, khususnya petani sebagai produsen.
Program penciptaan teknologi budidaya jagung hendaknya mengacu kepada kebutuhan pengguna
atau user oriented (Badan Litbang Pertanian, 1994). Dalam hubungan dengan arahan tersebut Balitsereal
memerlukan informasi dasar tentang sistem produksi jagung, oleh karena itu, mulai tahun anggaran 2005
dilakukan studi tentang karakterisasi sistem produksi pada berbagai tipe lahan potensil untuk jagung
(Balitsereal, 2004). Salah satu tipe lahan yang sangat sesuai untuk pertanaman jagung adalah lahan sawah
tadah hujan. Pada tahun 1991 luas pertanaman jagung di Indonesia mencapai 3,0 juta hektar dan sekitar 10%
luas areal tersebut berada pada lahan sawah tadah hujan (Sudjana dan Setiyono, 1993). Jika kisaran tersebut
digunakan untuk melihat luas panen pertanaman jagung pada tahun 2004 yang sudah mencapai 3,3 juta
hektar (Deptan, 2004) maka terdapat sekitar 300 ribu hektar pertanaman jagung pada lahan sawah tadah
hujan. Angka tersebut dinilai masih sangat kecil jika dibandingkan dengan luas lahan tersedia. Potensi
lahan sawah tadah hujan di Indonesia mencapai 2,15 juta ha, dan 1,37 juta ha (63,73 %) diantaranya berada
di luar pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, 244.902 ha (17,85 %) berada di Provinsi Sulawesi Selatan (BPS,
2003). Pada lahan sawah tadah hujan, jagung dapat ditanam sebelum dan sesudah padi. Jagung kedua lebih
sering berhasil walaupun tidak jarang mengalami ancaman kekeringan (Subandi dan Manwan, 1990).
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi jagung pada lahan sawah
tadah hujan dan faktor-faktro yang mempengaruhinya dalam rangka pengembangan jagung dimasa datang.
-
39
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan survei. Survei pada tingkat petani
dilakukan secara intensif dengan berpedoman kepada kata-kata kunci yang telah disiapkan sebelumnya. Di
laksanakan pada 2 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Takalar dan Pangkep. Kabupaten Takalar
mewakili daerah sentra produksi yang sudah maju penerapan teknologi budidayanya, sedang Kabupaten
Pangkep mewakili daerah yang potensil lahannya tetapi belum berkembang perjagungannya. Secara rinci
lokasi yang dipilih pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi Penelitian Identifikasi Penerapan Teknologi Jagung, Sulsel, 2005
Kabupaten Kecamatan Desa
Takalar Galessong Utara Pa‟rasangan Beru
Pangkep Mandalle Sigeri
Labakkang
Coppotompong Manggalung
Parenreng
Penentuan Responden
Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok responden, yaitu: (1) Petani yang telah menanam jagung.
Penentuannya dilakukan secara purposif sampling pada setiap kabupaten. Untuk mendapatkan responden
yang representatif, dilakukan kordinasi dengan Petugas Lapangan dan Pemerintah Desa, (2) Tokoh
masyarakat yang terdiri atas aparat desa, tokoh-tokoh adat, ketua-ketua kelompok tani, pedagang saprodi dan
pedagang hasil pertanian, Petugas Pertanian Lapangan (PPL), dan staf Dinas Pertanian Kabupaten setempat.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data disesuaikan dengan jenis responden. Untuk petani jagung, metode yang
digunakan adalah wawancara perorangan untuk menggali cara petani menanam jagung mulai dari persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan sampai kepada panen dan prosesing, serta alokasi hasil. Selain itu,
pemilikan asset dan modal yang digunakan juga digali jumlah dan sumbernya. Wawancara menggunakan
daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mewawancarai petani yang menananm jagung.
Wawancara dilakukan baik di rumah petani, di lahan usahatani petani ataupun di pos ronda. Untuk
menghindari informasi yang bias, wawancara diusahakan sedemikian rupa agar petani dalam keadaan siap
memberikan informasi yang diperlukan.
Untuk responden tokoh masyarakat, pengumpulan data dilakukan dengan diskusi kelompok guna
mendapatkan informasi umum seperti, varietas jagung yang beredar, ketersediaan saprodi terutama pupuk
dan benih, insektisida dan herbisida, harga hasil jagung, dan tanggapan petani terhadap tanaman jagung
dalam meningkatkan pendapatannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan dan tantangannya
untuk pengembangan jagung ke depan.
Selain data primer tersebut, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui kegiatan studi
literatur ke dinas-dinas pemerintah terkait untuk mendapatkan gambaran umum mengenai perkembangan dan
rencana pengembangan jagung.
Analisisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua model yaitu, untuk data kuantitatif
analisisnya diarahkan kepada biaya dan pendapatan usahatani, sedang data kualitatif dianalisa secara
deskriptif dengan penekanan kepada budidaya tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
a. Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan
Potensi lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian cukup luas, namum belum seluruhnya
dimanfaatkan untuk pertanaman jagung karena berbagai faktor, antara lain: animo masyarakat yang rendah
terhadap jagung. Misalnya di Pangkep petani masih trauma dengan pengalaman pahit menanam jagung
kuning yang tidak ada pasarnya. Padahal sesungguhnya secara fisik teknis jagung lebih menguntungkan
-
40
dibanding dengan padi musim gadu. Oleh karena itu, petani di Pangkep masih lebih tertarik menanam
kacang tanah setelah padi rendengan.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah tadah hujan hanya dimanfaatkan
satu kali padi setahun (Tabel 2). Hal ini memberi gambaran bahwa lahan tersebut mempunyai peluang untuk
penanaman jagung setelah padi.
Tabel 2. Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian.
Kabupaten Potensi lahan sawah tadah
hujan (ha)1) Luas penanaman padi (ha)
Ditanami 1 kali Ditanami 2 kali
Takalar
Pangkep
8.357
6.993
6.682
5.794
1.675
1.199
Sulsel 244.902 209.545 35.357
Sumber : BPS tahun 2003.
b. Potensi dan ketersediaan tenaga kerja pertanian
Data sumberdaya manusia menunjukkan bahwa penduduk yang berprofesi sebagai petani telah
mengenal cara bercocok tanam jagung dengan tingkat penerapan teknologi budidaya yang sangat beragam,
mulai dari yang membudidayakan seadanya/sampingan sampai kepada yang maju. Diantaranya bahkan ada
yang menjadikan jagung sebagai komoditi utamanya pada lahan sawah tadah hujan menggerser padi. Jumlah
penduduk yang berprofesi sebagai petani rata-rata di atas 50% dari jumlah penduduk yang mempunyai
pekerjaan tetap, kecuali di Kabupaten Gowa yang hanya 44,7% (Tabel 3).
Tabel 3. Potensi sumberdaya manusia di wilayah penelitian.
Kabupaten Jumlah
penduduk (org)
Jumlah usia
produktif (org)
Yang sudah
bekerja (org)
Jumlah petani
(org)
Persentase petani
(%)
Takalar
Pangkep
241.973
279.887
129.249
191.698
106.571
92.161
56.074
52.963
52,6
57,5
Sumber: BPS (2004) Kabupaten Takalar dan Pangkep
c. Perkembangan komoditas jagung
Perkembangan komoditas jagung lebih menonjol di kabupaten sentra produksi yang telah
mengadopsi penggunaan benih jagung hibrida (Kabupaten Takalar). Tingkat produksi yang dicapai selama
lima tahun menunjukkan angka yang lebih besar dibanding dengan pada daerah yang belum maju (Kabupaten
Pangkep). Pada tahun 2003-2004, tingkat produksi di Takalar, 83.850 ton, sedang produksi yang dicapai di
Kabupaten Pangkep masih sangat rendah, yaitu: hanya 704 ton. Penyebabnya adalah tingkat produktivitas
yang lebih tinggi pada daerah maju, yaitu 4,9-5,3 t/ha, sementara pada daerah belum maju hanya 3,2-3,4 t/ha
(Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan luas pertanaman jagung di wilayah penelitian.
Kabupaten Tahun Pertumbuhan
(%) 99/00 00/01 01/02 02/03 03/04
Takalar : Luas tanam (ha)
Produksi (t) Produktivitas (t/ha)
Pangkep : Luas tanam (ha)
Produksi (t)
Produktivitas (t/ha)
6.483
32.079 4,95
707
2.436
3,45
6.457
32.214 4,99
310
1.006
3,25
4.920
24.095 5,06
229
762
3,33
5.547
27.325 4,93
227
757
3,33
15.916
83.580 5,25
210
704
3,35
43,87
48,62 1,53
-22,66
-22,65
-0,68
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Takalar (tahun 2000-2004) dan Pangkep adalah tahun 1999 - 2003.
Lima tahun yang lalu jagung pernah dikembangkan secara luas di Kabupaten Pangkep dan mampu
menghasilkan biji kering yang memadai, namun tidak dapat diserap oleh pasar sehingga petani trauma dan
tidak lagi tertarik menanam jagung. Hal tersebut nampak dalam perubahan pertanaman dari tahun 1999 ke
tahun 2000 drastis menurun, yaitu lebih dari 50% akibat pengalaman buruk tersebut. Kondisi itu
menyebabkan pertumbuhan produksi minus yang rata-rata selama tahun 1999 sampai 2003 adalah menurun
sebesar 23%.
-
41
d. Ketersediaan Sarana Produksi
Kesan petani terhadap ketersediaan sarana produksi dapat dilihat dari banyak faktor antara lain:
sumber, ketersediaan, kemudahan mendapatkan, dan keterjangkauan harga. Petani di Takalar yang
menggunakan benih hibrida menyatakan bahwa ketersediaan dan kualitas benih yang ditanam baik, mudah
didapatkan; tetapi harganya yang terasa mahal, yaitu berada pada kisaran Rp.23.000-Rp.32.000/kg tergantung
jenis dan cara bayar. Pioneer lebih mahal dibanding dengan BISI dan di bayar tunai lebih murah dibanding
dengan yarnen (Tabel 5).
Petani dikabupaten Pangkep masih menggunakan jagung komposit, selain merasakan kualitas
jelek, juga memperolehnya sulit karena tidak diketahui dimana sumbernya. Biasanya benih varietas
komposit berasal dari petugas pertanian (PPL), yang kualitasnya jelek dan tersedianya terlambat, sehingga
menambah kesan jelek terhadap citra varietas jagung komposit. Fakta ini perlu menjadi perhatian khusus
kalau ingin berusaha mengembangkan varietas komposit di tingkat petani. Upaya yang sangat mungkin
dilakukan adalah bekerjasama dengan Dinas Pertanian memperbanyak penangkaran.
Tabel 5. Ketersediaan sarana produksi jagung di wilayah penelitian, 2005
Uraian Ketersediaan sarana produksi pada tingkat petani
Benih Herbisida Urea SP36 KCl ZA
Takalar- - Persentase petani (%) 100,0 50,0 100,0 28,6 5,0 0 - Sumber Kios Kios Kios Kios Kios - - Ketrsediaan Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia - - Jumlah Kebutuhan (kg,l/ha) 15,8 1,5 290,00 50 36,0 - - Kemudahan Memperoleh Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah - - Harga (Rp/kg, l) 23.000 45.000 1.200 1.800 2.000 - - Cara Pembayaran Tunai Tunia Tunai Tunai Tunai -
Pangkep
- Persentase petani (%) 100 100 100 0,0 0 0 - Sumber PPL Pasar Kios - - - - Ketrsediaan Sulit Tersedia Tersedia - - - - Jumlah Kebutuhan(kg,l/ha) 20,6 1,0 228 - - - - Kemudahan Memperoleh Sulit Mudah Mudah - - - - Harga (Rp/kg,l) 7.000 45.000 1.200 - - - - Cara Pembayaran Tunai Tunai Tunai - - -
Sarana produksi lainnya seperti pupuk dan herbisida dinilai petani sudah tersedia cukup baik, karena
pada tingkat kelompokpun sudah ada yang melayani kebutuhan petani, sehingga petani merasakan selalu
tersedia, mudah memperolehnya, dan kualitasnya baik, hanya saja harganya terasa mahal. Jika dibayar tunai
harga urea misalnya hanya Rp.55.000-65.000/sak, sedang kalau dibayar setelah panen (yarnen) harganya
meningkat mencapai Rp.70.000-Rp.80.000/sak.
2. Identitas Responden
Identitas petani perlu diketahui dalam hubungannya dengan penerapan inovasi teknologi. Faktor-
faktor demografi yang banyak menentukan adalah umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, dan
ketersediaan tenaga keluarga. Semua faktor demografi tersebut di wilayah penelitian mendukung penerapan
teknologi. Umur petani masih dalam batasan usia produktif yang biasanya sangat respon dengan inovasi
baru, pendidikan rata-rata tammat SD, bahkan beberapa diantaranya telah melanjutkan ke SLTP (Tabel 6).
Tabel 6. Identitas Petani Responden di Wilayah Penelitian, 2005
Uraian Identitas Responden Kabupaten
Takalar Pangkep
Umur (thn)
Pendidikan (thn)
Pekerjaan pokok
Pengalaman bertani jagung (thn) Jumlah anggora keluarga (org)
Jumlah yang aktif membantu (org)
40,6
7,1
Tani
14,9 3,6
1,5
44,6
6,8
Tani
6,3 3,7
1,7
Sumber: Data primer setelah diolah, 2005
-
42
3. Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Jagung
a. Kabupaten Takalar
Luas lahan sawah tadah hujan di Takalar mencapai 7.395 ha. Lahan yang banyak dimanfaatkan
untuk pertanaman jagung adalah di Kecamatan Galessong Utara. Pemanfaatannya cukup intensif, yaitu
mencapai Indeks Pertanaman (IP) 300% dengan penanaman padi yang diikuti jagung dua kali dalam setahun
(Gambar 1).
Gambar 1. Pola curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah tadah
hujan di Kecamatan Galesong Utara, 2005
Teknologi yang diterapkan dalam budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan adalah
menggunakan benih jagung hibrida, menggunakan pupuk urea yang banyak, memanfaatkan air tanah dengan
pompa jika tanaman jagung memerlukan irigasi, menggunakan herbisida dalam persiapan lahan (Tabel 7).
Tabel 7. Keragaan penerapan Teknologi Budidaya Jagung pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Kecamatan
Galesong Utara, Takalar, 2005
Uraian Jagung hibrida Jagung Manis
Periode Tanam April – Desember Juni – Oktober
Pengolahan Traktor 2 kali, sewa Rp.700.000/ha Herbisida Gramoxone 1,5 l/ha
Varietas Bisi-2, P21, P11, P7 Jagung manis
Jarak tanam 70cmx20cm, 1biji/lubang atau
70cmx40cm, 2 biji/lubang
60cm x 40 cm, 3 biji/lubang
Pemupukan 2 kali pada umur 10 hst 200 kg urea/ha, pada
umur 30-35 hst 300 kg urea, ditugal
1 kali pada umur 10 hst dengan
urea saja 200 kg/ha ditugal
Penyiangan Cangkul atau herbisda Gramoxon jika rumput
banyak
Manual cangkul 1 kali pada
umur 30 hst
Pengairan Curah hujan dan dibantu pompa dari sumur
bor, kedalaman 4-6m
Diairi 2 kali saja sudah dapat dipanen
Pengendalian
hama/penyakit
Belalang, dikendalikan dengan Regent Belalang, serangan ringan, dibiarkan
Panen dan
prosessing
Tebang, kupas klobot, angkut kerumah
(Rp.2000/karung pupuk), pipil, jemur 2 hari,
jual
Petik dan jual ke penjual jagung rebus atau ke
pasar terdekat
Produksi 4-5 t/ha biji kering 300.000 – 500.000 tongkol/ha
Harga jual Rp.1.100/kg ditempat petani oleh pedagang
desa. Rp.1.200/kg jika diantar.
Terjual 80 % dari hasil dengan harga 250-300/
tongkol, sisanya untuk keluarga
Sumber: Hasil wawancara dengan petani di Desa Pa‟rasangan Beru, Takalar, 2005.
0
100
200
300
400
500
Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
C.hujan (mm/bln)
0
5
10
15
20H.Hujan (hari/bln)
C.hujan
H.hujan
Padi JagungJagung II/
Jagung
Manis
0
100
200
300
400
500
Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
C.hujan (mm/bln)
0
5
10
15
20H.Hujan (hari/bln)
C.hujan
H.hujan
Padi JagungJagung II/
Jagung
Manis
-
43
b. Kabupaten Pangkep
Untuk merespon permintaan pasar terhadap jagung yang terus meningkat, pemerintah Kabupaten
Pangkep dalam tahun 2006, memprogramkan pengembangan jagung seluas 5000 hektar yang tersebar pada 9
kecamatan, tetapi paling luas adalah di Kecamatan Sigeri dan Mandalle yaitu masing-masing 500 dan 825
ha (Diperta Pangkep 2004).
Preferensi petani terhadap pengembangan jagung ke depan agak beragam tergantung dari
pengalaman mereka. Petani yang ikut dalam penanaman jagung komposit tahun 2004 yang lalu terkesan
jelek karena dua alasan pokok yaitu : (1) benih terlambat datang dan daya tumbuhnyapun rendah (45%)
sehingga banyak petani menanam dua kali dan itu pun kurang berhasil, (2) kesulitan air menjelang
pembungaan (bulan Agustus), karena pada saat itu hujan sudah minim sementara air saluran irigasi juga
sudah terbatas, bahkan sebagian petani mengatakan air sungai ketika itu kadar garamnya sudah tinggi akibat
air permukaan di laut naik dan mengalir masuk ke tambak-tambak nelayan. Meskipun demikian, sebagian
besar petani masih sangat optimis dapat mengembangkan jagung setelah padi asal saja dipenuhi tiga syarat
yaitu: tersedia benih yang baik, ada sumber air untuk mengairi saat pembungaan, dan ada jaminan pasar.
Pola pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di Pangkep adalah penanaman padi rendengan pada
bulan Nopember dan tanam palawija pada bulan Mei/Juni Gambar 2.
Gambar 2. Rata-rata curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah
tadah hujan di Kecamatan Mandalle, 2005
Beberapa permasalahan penanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan setelah padi rendengan
antara lain: (1) Curah hujan sering berlangsung lama sehingga di bulan Juni pun masih sering ada hujan lebat
dan banjir terutama pada sawah-sawah yang tidak baik pembuangannya seperti di Desa Manggalung, (2)
Penanaman yang tertunda sampai akhir Juni dikhawatirkan mengalami kekeringan pada periode pembungaan
di bulan September, (3) Pemilik lahan enggan mengijinkan lahannya ditanami jagung karena batang jagung
sulit dibersihkan dan membahayakan bagi buruh tanam pada penanaman padi berikutnya, sementara buruh
tanam sangat terbatas di daerah ini, (4) Penanaman jagung yang tidak serempak pada satu kawasan/hamparan
menjadi ancaman terhadap ternak sapi yang pada priode tersebut sapi masih dilepas liar pada lahan sawah
tadah hujan.
Teknologi budidaya jagung yang diterapkan pada lahan sawah tadah hujan tersebut dinilai cukup
memadai terutama dalam persiapan lahan yang telah memperhitungkan faktor efisiensi, sedang
pemupukannya dan penggunaan varietas masih perlu diperbaiki (Tabel 8).
0
200
400
600
800
1000
Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
C.h
uja
n (
mm
/bln
)
0
5
10
15
20
25
H.H
uja
n (
hari/b
ln)
C.hujan
H.hujan
Padi Rendengan Jagung
0
200
400
600
800
1000
Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
C.h
uja
n (
mm
/bln
)
0
5
10
15
20
25
H.H
uja
n (
hari/b
ln)
C.hujan
H.hujan
Padi Rendengan Jagung
-
44
Tabel 8. Keragaan penerapan teknologi budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Mandalle,
Pangkep, 2005
Uraian Keterangan
Periode Tanam Mei/Juni - Agustus/September
Penyiapan lahan TOT Basmillang diberikan 1 hari sebelum tanam, atau Round Up diaplikasikan minggu
sebelum tanam atau olah sempurna dengan bajak atau traktor
Varietas Lokal, Lamuru tahun 2004, dulu ada jagung kuning (Bisma)
Perlakuan benih Ada sebagian kecil petani yang merendam dengan karbon batrei 1 batrei/2 kg benih untuk
menghindari semut. Penggunaan Saromil/Ridomil belum umum dilakukan
Jarak tanam 75-100 cmx 25-30cm, 1-2 biji/lubang dilakukan oleh anggota keluarga.
Pemupukan Hanya menggunakan Urea dan ZA dengan dosis 2 sak urea dan 1 sak ZA/ha. Alasan
menggunakan ZA adalah cepat kelihatan pengaruhnya. Diantaranya ada yang sudah
mencoba pupuk tersebut dilarutkan kemudian disiramkan ke pangkal tanaman pada umur
10-15 hari.
Penyiangan Manual dengan cangkul atau herbisda Gramoxone jika rumput banyak. Menggunakan
handsprayer yang dilengkapi dengan pembatas di nonselnya
Pengairan Mengandalkan curah hujan, sebagian petani tetap memanfaatkan pompa dari sumur bor,
kedalamannya 4-6 m
Pengendalian hama Belum ada hama yang berat serangannya. Hama yang sering muncul adalah penggerek
tongkol yang nampak gejala serangannya pada rambut tongkol.
Panen dan prosessing Kupas klobot, petik, angkut kerumah, pipil dengan alat tradisionil (pisau atau lempengan
besi, tancapan paku/besi pada kayu) dilakukan oleh anggota keluarga.
Produksi 0 - 3 t/ha biji kering.
Harga jual Rp.700/kg, Harga yang diinginkan petani Rp.1.500/kg.
Sumber : Hasil wawancara kelompok dengan petani di Coppo Tompong, Parenreng, dan Manggalung, Kecamatan
Mandalle, Pangkep, 2005
Berdasarkan fakta tersebut, perlu upaya pembuatan drainase yang baik untuk mempercepat
penanaman jagung, dan teknologi pengolahan tanah untuk lahan sawah yang dapat menghancurkan
bongkahan tungkul akar jagung, atau perlu diperkenalkan sistem penanaman padi secara tabela, serta
perlunya dibangun kesepakatan untuk penanganan ternak dengan memanfaatkan teknologi integrasi tanaman
pangan dan ternak.
Produksi jagung pada periode pertanaman tersebut sangat baik kualitasnya karena panen
berlangsung pada saat musim kemarau, sehingga petani memungkinkan mendapatkan harga yang lebih baik.
Apalagi dalam periode tersebut tidak ada pasokan jagung dari sentra produksi bagian selatan Sulawesi
Selatan. Oleh karena itu, Kabupaten Pangkep mempunyai peluang yang sangat besar untuk dijadikan sentra
produksi benih jagung komposit mendukung Celebes Corn Belt yang permintaannya besar dan
berkesinambungan.
KESIMPULAN
1. Perluasan areal tanam tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan masih terbuka luas di Kabupaten Pangkep. Sedang di Takalar, perluasan areal tanam dapat ditempuh dengan mengatur pola tanam dari
padi-padi-jagung menjadi padi – jagung – jagung. Hal ini sangat memungkinkan karena telah terbukti
jagung dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding padi gadu yang sering kekeringan pada
akhir pertumbuhannya.
2. Ketersediaan sarana produksi berupa benih, pupuk dan herbisida dinilai cukup baik, terutama di wilayah yang sudah maju, sedang di wilayah yang belum maju ketersediaan masih perlu terus diupayakan agar
dapat dengan mudah terakses petani
3. Keragaman penerapan teknologi budiaya jagung sangat nampak terutama di daerah yang belum maju perjagungannya (Pangkep)
4. Teknologi yang diperlukan petani pada daerah belum maju adalah penangkaran untuk penyediaan benih komposit, sedang pada daerah maju adalah penentuan dosis pemupukan yang efisien dan penyiapan lahan
termasuk sistem drainase untuk menetapkan pola tanam yang tepat.
-
45
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian., 1994. Renstra Badan Litbang Pertanian Tahun 2005-2009.
Balitsereal. 2004. Rencana Strategis Balai Penelitian Tanaman Serealia 2005-2009 (Belum dipublikasikan).
BPS. 2003. Luas lahan menurut penggunaannya di Indonesia. Survei Pertanian. Badan Pusat Statistik-
Jakarta
BPS Kabupaten Pangkep. 2004. Kabupaten Pangkep dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Pangkep, Pangkep
BPS Kabupaten Takalar, 2004. Kabupaten Takalar dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar.
Takalar.
Damardjati, Subandi. I.K.Kariasa, Zubachtirodin, dan Sania Saenong, 2005. Prospek dan arah pengembangan
agribisnis jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta,
51 halaman.
Deptan, 2004. Statistik Pertanian. Departemen Perta