prosiding tsa 2015.pdf

306

Upload: hamdan-a-crennata

Post on 21-Feb-2016

181 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding TSA 2015.pdf
Page 2: Prosiding TSA 2015.pdf

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2014, Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan :

12 September 2015 : prosiding. Universitas Katolik Parahyangan : Jurusan Teknik Sipil,

2015

xiv, 299 halaman; 21 x 29,7 cm

ISBN 978–602–71432–2–7

1. Sumber Daya Air – Seminar 1. Judul

Reviewer

1. Doddi Yudianto, Ph.D 2. Olga Catherina Pattipawaej, Ph.D 3. Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc,. PU-SDA 4. Dr. Ir. Ariani Budi Safarina, M.T. 5. Stephen Sanjaya, S.T.

The statements and opinion expressed in the papers are those of the authors themselves and do not necessarily

reflect the opinion of the editors and organizers. Any mention of company or trade name does not imply endorsement

by organizers

ISBN 978–602–71432–2–7

Copyright 2015, Jurusan Teknik Sipil Itenas Bandung

Not to be commercially reproduced by any meants without written permission

Printed in Bandung, Indonesia, September 2015

Penerbit : Jurusan Teknik Sipil Itenas Bandung

Page 3: Prosiding TSA 2015.pdf

Bandung, 12 September 2015 i

PRATAKA

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala ridhoNya Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air dapat kita selenggarakan bersama pada hari Sabtu, 12 September 2015 di Bale Dayang Sumbi (GSG) Institut Teknologi Nasional Bandung. Seminar ini pada dasarnya merupakan kegiatan hasil kerjasama antara 12 instansi yaitu: Jurusan Teknik Sipil Unjani, Program Studi Teknik Sipil Unpar, Program Studi Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air ITB, Jurusan Teknik Sipil Unla, Jurusan Teknik Sipil Itenas, Program Teknik Sipil UK Maranatha, Departemen Teknik Sipil Polban, Pusat Litbang Sumber Daya Air (Pusair), Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) Cabang Jawa Barat, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) Provinsi Jawa Barat, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum dan Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota Bandung.

Sebagaimana kita sadari bahwa permasalahan terkait sumber daya air di wilayah perkotaan yang kian semakin kompleks seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi yang mengakibatkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial-ekonomi perkotaan, penggelontoran saluran, pemeliharaan sungai dan sebagainya. Selain itu seiring dengan pesatnya pertumbuhan teknologi termasuk di bidang informasi dan komunikasi, pengelolaan sumber daya air di kawasan perkotaan juga dihadapkan pada tuntutan layanan yang lebih tinggi tidak hanya secara kuantitas melainkan secara kualitas dan keberlanjutannya.

Untuk itu melalui seminar yang bertemakan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan ini diharapkan dapat menjadi media bagi para akademisi, peneliti, praktisi, pengamat lingkungan, dan masyarakat untuk memperoleh dan bertukar informasi serta pengalaman dalam rangka mendukung tercapainya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Tentu informasi yang disampaikan dalam seminar ini masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan bahwa kegiatan ini dapat memberikan kontribusi pemikiran atau gagasan bagi pengembangan keilmuan dan penyelenggaraan praktis pengelolaan sumber daya air khususnya untuk wilayah perkotaan. Sesuai dengan tema seminar, buku panduan ini telah disusun sedemikian rupa memuat seluruh abstrak dari makalah yang disajikan dalam seminar dengan 4 (empat) sub tema yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, serta pemberdayaan masyarakat dan penguatan hukum dan kelembagaan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya seminar ini. Semoga seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua demi terwujudnya pengelolaan sumber daya air yang lebih baik di kemudian hari.

Bandung, September 2015

PANITIA

Page 4: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

ii Bandung, 12 September 2015

DAFTAR ISI

PRATAKA ....................................................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................... ii

SAMBUTAN KETUA PANITIA ....................................................................................................................................... v

SAMBUTAN REKTOR ITENAS .................................................................................................................................... vi

KEYNOTE SPEECH I (Dr. Ir. Arie Setiadi - Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR)..............................................vii

SEKILAS TENTANG SEMNAS ...................................................................................................................................... x

Latar Belakang .......................................................................................................................................................... x

Tujuan ....................................................................................................................................................................... x

Tema ......................................................................................................................................................................... x

Sub Tema .................................................................................................................................................................. x

Peserta ..................................................................................................................................................................... xi

Sekretariat ................................................................................................................................................................ xi

Tim Reviewer ........................................................................................................................................................... xi

SUSUNAN KEPANITIAAN ........................................................................................................................................... xii

A. Pengarah ........................................................................................................................................................ xii

B. Panitia Pelaksana ........................................................................................................................................... xii

SUSUNAN ACARA SEMINAR .................................................................................................................................... xiv

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................................................... xiv

SUB TEMA 1: KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

IMPLEMENTASI MODEL XINANJIANG YANG BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM ANALISIS NERACA AIR DAS JIANGWAN

(Steven Reinaldo Rusli, Jin Tao Liu, Doddi Yudianto) 1

STUDI EVALUASI KUALITAS AIR SITU GEDE KOTA TANGERANG

(Eka Wardhani, Kancitra Pharmawati, dan Indra) 16

KORELASI ANTARA SUBSIDEN – AIR TANAH – EMISI KARBON LAHAN RAWA GAMBUT

(L. Budi Triadi, Maruddin F. Marpaung) 30

KAJIAN TERHADAP KETEPATAN PEMETAAN KERENTANAN PENCEMARAN AIR TANAH MENGGUNAKAN METODE DRASTIC PADA KONDISI DATA AKIFER TERBATAS

(Elly Kusumawati B) 41

SUB TEMA 2: PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

PEMODELAN PERAMALAN CURAH HUJAN PADA DAS PAMARAYAN DENGAN METODE ESIM

(Stephen Sanjaya, Bambang Adi Riyanto, Andreas Franskie Van Roy) 60

Page 5: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 iii

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDETEKSI KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN KUPANG

(Basori) 68

APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN PADA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DI RSUD LEBONG BENGKULU DALAM RANGKA PEMANFAATAN AIR RE-USE

(Mohammad Imamuddin) 78

STUDI EVALUASI OPTIMASI TURBIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHIDRO DESA PUSAKA JAYA, KABUPATEN CIANJUR

(Steven Sergij Salim, Bambang Adi Riyanto) 93

TANTANGAN DAN PERBAIKAN SISTEM BENDUNG SUNGAI GESEK DALAM PENYEDIAAN AIR BAKU DI PULAU BINTAN

(Slamet Lestari) 100

POLA PERGERAKAN ALIRAN DI MUARA SUNGAI MUSI DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM MIKE-21 FLOW MODEL

(Achmad Syarifudin, Eka Puji Agustini) 111

SUB TEMA 3: PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR DI JAKARTA

(Tri Hardhono, Beny Syahputra) 118

ANALISIS SISTEM CLUSTER SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN PERMUKAAN PADA KAWASAN INDUSTRI

(Obaja Triputera Wijaya, Doddi Yudianto, GUAN Yiqing) 123

SISTEM PENGENDALIAN EROSI UNTUK MEMPERTAHANKAN LAPISAN TANAH SUBUR PADA LAHAN PERTANIAN PRODUKTIF STUDI KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU

(Dede Sumarna, H. Bakhtiar. AB). 132

PENGENDALIAN BANJIR PADA KAWASAN TAMBANG TIMAH DI KABUPATEN BANGKA

(Parindra A. Wardhana, Meru Condro Wiguno, Yudi Wachyudiana) 145

EVALUASI KAPASITAS SALURAN DRAINASE PADA KAWASAN PERMUKIMAN MANDIRI BERWAWASAN PENDIDIKAN

(Sandy Sella Fajar, Doddi Yudianto) 155

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN GEDUNG TERHADAP KINERJA SISTEM DRAINASE KAMPUS

(Arnold Saputra, Doddi Yudianto) 163

EVALUASI KINERJA SISTEM DRAINASE PADA KAWASAN PEMUKIMAN DI BANDUNG TIMUR

(Mesta Saktina, Doddi Yudianto) 176

UPAYA PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI CICADAS KOTA BANDUNG

(Dwi Aryani Semadhi, Winskayati) 188

PENGGUNAAN BIOPORI SEBAGAI ALTERNATIF MENGURANGI GENANGAN BANJIR DAERAH PERKOTAAN

(Achmad Syarifudin, Hendri, Mega Yunanda) 196

Page 6: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

iv Bandung, 12 September 2015

OPTIMASI SISTEM PERKUATAN TANGGUL BANJIR SUNGAI TEMBUKU DALAM MENANGGULANGI POTENSI BANJIR KOTA JAMBI

(Slamet Lestari) 200

PENANGANAN EROSI PANTAI DI DESA PUSAKA JAYA UTARA SAMPAI DENGAN MUARA BUNTU KABUPATEN KARAWANG

(Yati Muliati, Yunus Purwanto, Ahmad Luthfi) 214

SUB TEMA 4: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PENGUATAN HUKUM, DAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DALAM RANGKA PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN LAMONGAN

(Feril Hariati) 225

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR DI KABUPATEN BOGOR

(Widya Nasarita Fitriz, Parindra Ardi Wardhana, Meru Condro Wiguno) 236

EVALUASI TINGKAT KEPEKAAN SISWA TERHADAP PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR

(Anastasia Septya Wardaningrum dan Tidani Sillo Hines Aluhnia Zebua) 248

ANALISIS RISIKO KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA (KPS) PADA PROYEK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHYDRO (PLTMH)

(Ririn Rimawan) 258

PERLINDUNGAN KAWASAN PENYANGGA MATA AIR SEBAGAI UPAYA KONSERVASI MELALUI KKN-PPM

(Restu Wigati, Soelarso) 291

Page 7: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 v

SAMBUTAN KETUA PANITIA

Assalamu‘alaikum. Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua.

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, kami bersyukur pada hari ini Sabtu, 12 September 2015 kita dapat berkumpul pada Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air di Bale Dayang Sumbi (Gedung Serba Guna) Itenas Bandung dalam keadaan sehat wal afiat.

Penyelenggaraan seminar ini merupakan kelanjutan dari rangkaian seminar tahun 2006-2010 atas kerjasama 5 instansi dan seminar 20 September 2014 di Unpar, yang sejak tahun 2014 terlaksana atas kerjasama yang baik antara 12 instansi, yaitu: Jurusan Teknik Sipil Itenas, Jurusan Teknik Sipil Unjani, Program Studi Teknik Sipil Unpar, Program Studi Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air ITB, Jurusan Teknik Sipil UK Maranatha, Jurusan Teknik Sipil Unla, Departemen Teknik Sipil Polban, DPSDA Provinsi Jawa Barat, Puslitbang Sumber Daya Air, HATHI Cabang Jabar, BBWS Citarum dan DBMP Kota Bandung.

―Pengelolaan Terpadu untuk Mendukung Ketahanan Air Berkelanjutan di Kawasan Perkotaan‖ adalah tema seminar yang dipilih atas beberapa pertimbangan antara lain permasalahan ketersediaan, pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan air bagi wilayah perkotaan. Seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi, ketahanan air di kawasan perkotaan merupakan faktor kunci terkait kemampuan masyarakat perkotaan untuk dapat menyediakan akses dalam rangka pemenuhan kebutuhan air sehari-hari yang merupakan hak azasi setiap manusia. Selain itu, air dibutuhkan kawasan perkotaan untuk menopang berbagai aktivitas sosial-ekonomi perkotaan, penggelontoran saluran, pemeliharaan sungai dan sebagainya. Tidak hanya secara kuantitas, pemenuhan kebutuhan air tetap harus menyertakan ketahanan kualitas air sesuai dengan baku mutunya. Dengan memanfaatkan berbagai teknologi pintar atau smart technology yang tersedia, pengelolaan sumber daya air diupayakan untuk dapat diimplementasikan secara lebih efisien dan efektif serta berkelanjutan.

Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, peran serta pemerintah bersama masyarakat menjadi langkah penting untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan air secara terpadu untuk wilayah perkotaan dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air. Tidak terlepas dari itu, perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran kunci untuk mendukung penyelesaian masalah dan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan khususnya untuk wilayah perkotaan.

Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pemakalah yang telah bersedia hadir dan berbagi ilmu sehingga dapat menambah wawasan para peserta seminar.

Akhir kata ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para anggota panitia Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air atas kerjasamanya selama ini dan kesediaannya untuk mencurahkan segenap pikiran, waktu dan sebagian finansialnya dalam mempersiapkan acara ini. Kami mohon maaf jika terjadi kekurangan dalam penyelenggaraan seminar ini. Semoga segala amal baik Ibu, Bapak, dan Saudara sekalian mendapatkan imbalan dari Allah SWT.

Selamat Berseminar dan Terima kasih.

Wabillahi Taufik Walhidayah.

Wassalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Panitia Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2015

Ketua,

Yati Muliati

Page 8: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

vi Bandung, 12 September 2015

SAMBUTAN REKTOR ITENAS

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena berkat rahmat dan anugerahNya maka Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2015 dengan tema Pengelolaan Terpadu untuk Mendukung Ketahanan Air Berkelanjutan di Kawasan Perkotaan dapat dilaksanakan dengan baik. Seminar nasional ini terwujud atas kerjasama antara Institut Teknologi Nasional Bandung (Itenas) dengan konsorsium enam perguruan tinggi Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Kristen Maranatha, Universitas Jenderal Achmad Yani, Politeknik Negeri Bandung (Polban), Universitas Lalangbuana, HATHI cabang Bandung, Pusair, Balai Besar Wilayah Sungai

Citarum, DPSDA Provinsi Jawa Barat dan DBMP kota Bandung. Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air ini dilaksanakan tiap tahun yang merupakan wadah pertukaran ilmu, ide serta pengalaman dalam mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu sumber daya air, sekaligus juga merupakan ajang sambung rasa oleh segenap peserta seminar khususnya anggota HATHI.

Tema Pengelolaan Terpadu untuk Mendukung Ketahanan Air Berkelanjutan di Kawasan Perkotaan sangat relevan dan menarik untuk didiskusikan saat ini, hal ini dikarenakan permasalahan dan tantangan pemenuhan kebutuhan air bersih dan berkualitas secara berkesinambungan dan merata bagi penduduk di kawasan perkotaan makin sulit dan kompleks. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan air bersih dan berkualitas di masa depan khususnya di kawasan perkotaan adalah pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan terus meningkat tajam akibat urbanisasi, ruang terbuka hijau sangat terbatas akibat pengendalian penggunaan lahan dan pembangunan yang belum baik, kebutuhan air terus meningkat sehingga pengambilan air tanah yang tidak terkendali, infrastruktur sistem drainase yang belum tercukupi, menurunnya kualitas air akibat pertumbuhan sampah dan limbah yang cenderung naik, koordinasi lembaga terkait belum optimal, dan presepsi pemangku kepentingan tentang permasalahan utama air yang belum selaras, peran serta masyarakat dalam menjaga lingkungan yang belum baik, serta potensi dampak perubahan iklim yang ekstrim akibat pemanasan global.

Sehubungan dengan itu, air sebagai sumber daya alam strategis perlu dikelola secara baik, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya akan mengganggu pembangunan nasional. Dengan demikian melalui seminar nasional ini, diharapkan dapat menghasilkan pengembangan kebijakan yang dapat dirumuskan dalam mengelola sumber daya air sehingga mampu meningkatkan ketahanan air yang berkelanjutan agar menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Semoga makalah-makalah teknis serta makalah kunci yang disajikan dalam Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air ini mampu memberikan sumbangsih yang besar bagi semua pemangku kepentingan, baik praktisi, perekayasa maupun pengambil kebijakan serta masyarakat. Akhirnya, atas kesempatan dan kepercayaan semua pihak penyelenggara untuk dapat menyelenggarakan Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2015 di Itenas, saya atas nama Institut Teknologi Nasional menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras dan membantu terselenggaranya Seminar Nasional ini. Khususnya kepada panitia yang berkerja keras dan berupaya mensukseskan acara seminar nasional ini serta pencetakan dan penerbitan buku ini.

Bandung, September 2015

Dr. Ir. Imam Aschuri, M.T.

Rektor Itenas

Page 9: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 vii

KEYNOTE SPEECH I

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT pada Seminar Teknik Sumber Daya Air Tahun 2015 Bandung, 12 September 2015

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

Yang saya hormati dan banggakan Bapak dan Ibu para akademisi, peneliti, perekayasa, penggiat dan pemerhati bidang sumber daya air serta hadirin semua.

Merupakan suatu kehormatan dan tantangan besar bagi saya untuk menyampaikan sambutan dalam Seminar Teknik Sumber Daya Air yang diselenggarakan atas kerjasama antara tujuh perguruan tinggi, empat instansi dan HATHI cabang Bandung. Seminar hari ini sangat penting, karena hasil-hasil rangkaian seminar-seminar yang telah dilaksanakan terdahulu oleh kerjasama antar instansi ini, saya yakin telah menjadi rujukan, mendewasakan dan menempa para ahli dan pemerhati kebijakan bidang pengelolaan Sumber Daya Air Indonesia.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat.

Merupakan kepedihan yang sangat mendalam bagi saya sebagai peneliti bidang sumber daya air saat data hasil evaluasi yang masuk menunjukkan bahwa masih banyak saudara-saudara kita di berbagai pulau di Indonesia saat ini menghadapi kekeringan akibat kelangkaan air dan kualitas lingkungan yang makin buruk.

Pengalaman yang saya miliki sebagai peneliti dan pembantu para penentu kebijakan di bidang SDA menunjukan bahwa permasalahan di atas diakibatkan oleh pengelolaan SDA yang belum memadai, dipicu oleh informasi dan pengetahuan yang belum cukup, disiplin dan kepercayaan akan kebijakan di bidang SDA yang rendah serta dampak di antara kita masih bekerja secara sektoral. Rasa tanggungjawab akan kekurangan-kekurangan ini yang mendorong saya berani menghadiri dan berbicara di dalam Seminar ini.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,

Berita tentang tantangan peningkatan kejadian bencana yang dipicu oleh air, isue tentang perubahan iklim global, konflik kepentingan yang makin mendalam di antara para stakeholders karena perubahan pola kebutuhan air yang terus berubah datang dari berbagai penjuru dunia. Terkait dengan hal ini, saya mengajak hadirin semua untuk tidak hanyut dalam keributan tersebut. Namun marilah bersama kita menjadi bagian dari pembuat dan pelaksana aktif solusi permasalahan.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,

Isue utama pengelolaan sumber daya air dari dekade ke dekade selalu berubah. Hal ini menuntut kita untuk selalu belajar dan menyesuaikan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya air.

1. Pada era 1970 an, isue utama dunia adalah ketersediaan air bersih. Untuk merespon isu ini, kebijakan-kebijakan terkait dengan peningkatan kualitas air sangat mengemuka.

2. Pada era 1980-an isue utama bertambah dengan tuntutan akan pembangunan yang berkelanjutan. Pada era ini diperkenalkan program-program peningkatan kualitas lingkungan hidup.

3. Pada era 1990-an isue utama adalah krisis air, sehingga kebijakan yang dilansir untuk merespon hal ini adalah pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi (IWRM).

4. Memperhatikan fenomena perubahan iklim global, isue ketahanan air, pangan dan energi mengemuka pada era 2000-an. Tuntutan Kebijakan untuk merespon isue ini adalah jaminan alokasi air yang terintegrasi dengan kebutuhan air untuk produksi pangan dan energi ( Water, Food and Energy Nexus ).

Page 10: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

viii Bandung, 12 September 2015

Memperhatikan perubahan-perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air tersebut pertanyaan yang timbul adalah apakah kita telah dan siap untuk dengan cepat merespon perubahan-perubahan paradigma tersebut dengan baik.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat.

Agar bisa jadi bagian dari solusi, marilah bersama kita cermati juga prediksi tantangan di berbagai bidang yang harus kita hadapi bersama.

1. Pertumbuhan penduduk Perkotaan

Sekitar setengah dari penduduk dunia pada tahun 2025 akan menghadapi kelangkaan air akibat pertumbuhan penduduk (UN WWDR, 2009).

Pada saat yang sama kebutuhan air akan meningkat 50% pada negara-negara berkembang dan 18 % untuk negara-negara maju.

2. Kelangkaan Pangan dan Keterjangkitan Penyakit.

Penurunan volume air baku akan mempengaruhi produksi pangan (UNDP, 2004)

Kualitas Pengelolaan SDA akan sangat berperan dalam pencapian MDGs, termasuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesehatan masyarakat (UNDP, 2004)

3. Peningkatan Potensi Konflik International terkait air.

Peningkatan persaingan dalam penguasaan akses terhadap sumber-sumber air, seperti sungai dan danau.

Peningkatan konflik bidang alokasi air dan biaaya jasa pengelolaan sumber daya air, baik dalam tatanan antar negara, propinsi dan kabupaten/kota.

4. Penurunan Prosentase Layanan Air Minum bagi Penduduk.

Penurunan tingkat kepercayaan air minum dari PDAM karena kualitas sumber air baku menurun, kualitas prasarana yang tidak terpelihara dengan baik dan transparansi informasi.

Prosentase penduduk yang bisa langsung menerima air dari layanan PDAM sangat rendah. 5. Peningkatan Konsumsi Energi dalam Pengelolaan SDA.

Porsi biaya energi untuk operasi dan pemeliharaan Instalasi Pengolah air meningkat hingga 60~70 % dari biaya total pengolahan air (WIA, 2009)

Kebutuhan energi listrik untuk mengolah dan mendistribusikan air minum akan meningkat hingga lebih dari 50 % dalam 30 tahun ke depan (EPRI, 2002)

Kerusakan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber Daya Air.

Peningkatan kerugian akibat penurunan kinerja infrastruktur.

Peningkatan biaya rehabilitasi untuk peningkatan kinerja infrastruktur.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,

Sebagai landasan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya air perlu juga dipahami beberapa resiko yang lebih luas yang bisa mempengaruhi pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

1. Dari sisi ekonomi, resiko terbesar adalah kekacauan tatanan ekonomi makro. 2. Dalam segi geo-politic perlu dicermati ancaman teroris. 3. Dari sudut pandang tatanan sosial, ancaman datang dari percepatan penyebaran penyakit menular melalui

air. 4. Terkait dengan perkembangan teknologi, maka ancaman terbesar datang dari kegagalan infrastruktur data

dan informasi. 5. Sedangkan dari sisi lingkungan, ancaman serious datang dari kegagalan kita dalam beradaptasi terdadap

perubahan iklim global serta kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.

Page 11: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 ix

Dengan mengetahui ancaman-ancaman tersebut kita bisa menyusun kebijakan-kebijakan serta langkah-langkah pendukung implementasi sesuai dengan kondisi lapangan.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,

Jika tadi kita berbicara tantangan dan permasalahan secara global, pada bagian akhir dari uraian ini, marilah kita secara sekilas melihat kondisi infrastruktur sumber daya air di Indonesia.

Terkait dengan Pengelolaan Sumber Daya Air, kesiapan kita dalam menghadapi permasalahan di atas perlu menjadi perhatian kita bersama. Jumlah air yang dapat dikelola melalui tampungan baru sebesar 15 milyar m3 dari 3,9 triliun m3 potensi air Indonesia atau ± 63,5 m3 per kapita. Angka ini masih jauh dari kebutuhan minimun tampungan air per kapita sebesar 150 m3. Luas lahan sawah irigasi yang didukung oleh reservoir baru 11 % dari luas lahan beririgasi yang dimiliki Indonesia.

Pada kondisi tersebut, kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relatif tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dengan meluasnya lahan kritis dari 13,1 jt Ha pada tahun 1992 menjadi lebih dari 18,5 jt Ha pada saat ini dan meningkatnya sebaran DAS kritis dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 68 DAS pada tahun 2012.

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan perkotaan, rata-rata baru 70,3 % penduduk perkotaan mendapat akses terhadap air minum, 62 % terhadap pengelolaan air limbah dan akses terhadap persampahan 83 %.

Memperhatikan kenyataan tersebut, rasanya kita sepakat bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak dan penuh tantangan.

Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,

Menyikapi tantangan-tantangan di atas dan tuntutan persaingan tenaga ahli di masa mendatang, diharapkan Perguruan Tinggi dan asosiasi profesi seperti HATHI dapat senantiasa membina dan meningkatkan kemampuan teknis anggotanya agar dapat memenuhi kebutuhan dalam penanganan pengelolaan SDA. Untuk itu, saya berkeyakinan bahwa melalui acara pertemuan semacam ini kita dapat saling bertukar pengalaman dan saling menjalin hubungan profesional yang kuat.

Akhir kata saya mengucapkan selamat melaksanakan Seminar Nasional Sumber Daya Air. Semoga apa yang kita lakukan di sini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

Sekian dan Terima Kasih, Wassalaamu‘alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto M.Sc

Page 12: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

x Bandung, 12 September 2015

SEKILAS TENTANG SEMNAS

Latar Belakang

Kawasan perkotaan (urban) adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi sebagai permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi, ketahanan air di kawasan perkotaan merupakan faktor kunci terkait kemampuan masyarakat perkotaan untuk dapat menyediakan akses dalam rangka pemenuhan kebutuhan air sehari-hari yang merupakan hak azasi setiap manusia. Selain itu, air dibutuhkan kawasan perkotaan untuk menopang berbagai aktivitas sosial-ekonomi perkotaan, penggelontoran saluran, pemeliharaan sungai dan sebagainya. Tidak hanya secara kuantitas, pemenuhan kebutuhan air tetap harus menyertakan ketahanan kualitas air sesuai dengan baku mutunya.

Kota Jonggol merupakan salah satu contoh dimana perkembangan sebuah kawasan menjadi terhambat karena kekurangan air. Sebaliknya, Bale Endah sebagai ibukota Kabupaten Bandung terpaksa harus dipindahkan karena setiap musim hujan selalu mengalami bencana banjir. Hingga saat ini, Kota Bandung dan sekitarnya belum sepenuhnya berhasil menyediakan layanan air bersih yang memadai akibat kurangnya pasokan air. Sebagai konsekuensinya, masyarakat dan sebagian industri masih sangat tergantung pada air tanah yang notabene pada akhirnya menyebabkan penurunan muka air tanah dan permukaan tanah, meningkatnya risiko genangan, kerusakan infrastruktur air perpipaan, dan sebagainya. Berkurangnya pasokan air pada musim kemarau dan semakin meningkatnya frekuensi bencana banjir pada musim hujan kini kian semakin parah seiring dengan maraknya alih fungsi kawasan konservasi dan perubahan iklim. Untuk itu, penguatan hukum dan kelembagaan serta peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air mutlak harus dilakukan.

Di samping itu, seiring dengan pesatnya pertumbuhan teknologi termasuk di bidang informasi dan komunikasi, pengelolaan sumber daya air di kawasan perkotaan dihadapkan pada tuntutan layanan yang lebih tinggi. Dengan memanfaatkan berbagai teknologi pintar atau smart technology yang tersedia, pengelolaan sumber daya air diupayakan untuk dapat diimplementasikan secara lebih efisien dan efektif serta berkelanjutan.

Tujuan

1. Sebagai media untuk berbagi pengalaman mengenai berbagai permasalahan dan solusi tentang pengelolaan air di kawasan perkotaan.

2. Sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikiran tentang upaya-upaya pengelolaan air terpadu di kawasan perkotaan untuk mendukung pengembangan keilmuan di bidang teknik sumber daya air sekaligus masukan bagi para pengambil keputusan.

3. Sebagai media yang menyediakan kesempatan bagi para pemangku kepentingan untuk dapat berkolaborasi dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan air di kawasan perkotaan.

Tema

PENGELOLAAN TERPADU UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN AIR BERKELANJUTAN DI KAWASAN PERKOTAAN

Sub Tema

1. Konservasi Sumber Daya Air Upaya mengatasi kelangkaan air perkotaan terutama yang berkaitan dengan keterpaduan pemanfaatan air permukaan dan air tanah, upaya pemanenan air hujan dan pengawetan air, pengendalian kualitas air dan daur ulang air, tapak air, serta peningkatan sanitasi masyarakat.

Page 13: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 xi

2. Pendayagunaan Sumber Daya Air

Peningkatan infrastruktur penyediaan air bersih dan pengolahan limbah terkait isu-isu peremajaan dan pengembangan sistem distribusi air, kebocoran air perpipaan, serta pengembangan dan pengadaan teknologi pengolahan limbah

Keterpaduan teknologi dalam rangka meningkatkan efisiensi pemanfaatan air untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan energi terbarukan

Aplikasi teknologi pintar (smart technology), meliputi: meteran pintar, sistem informasi geografis dan penginderaan jauh, telemetri, dan sistem pengambilan keputusan.

3. Pengendalian Daya Rusak Air

Perencanaan terpadu kawasan perkotaan, meliputi pembangunan dengan dampak minimum, pengendalian banjir perkotaan, pengendalian tata guna lahan, pengelolaan sampah, restorasi sungai di perkotaan

Perencanaan sistem yang adaptif terhadap bencana (sistem peringatan dini, adaptasi terhadap perubahan iklim)

4. Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Hukum dan Kelembagaan

Peningkatan peran masyarakat melalui penguatan kerjasama pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat akademik/peneliti.

Penguatan kelembagaan dan kerangka peraturan/perundangan

Peserta

1. Pemerintahan 2. Konsultan 3. Kontraktor 4. Penelitian, LSM, Pemerhati masalah Keairan, Anggota HATHI 5. Dosen dan Mahasiswa 6. Umum

Sekretariat

Jurusan Teknik Sipil Universitas Jenderal Achmad Yani

Jl. Terusan jenderal Sudirman PO. BOX 148, Cimahi

Telepon : (022) 6641743

Faximile : (022) 6641743

Email : [email protected]

Tim Reviewer

1. Doddi Yudianto, Ph.D 2. Olga Catherina Pattipawaej, Ph.D 3. Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc,. PU-SDA 4. Dr. Ir. Ariani Budi Safarina, M.T. 5. Stephen Sanjaya, S.T.

Page 14: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

xii Bandung, 12 September 2015

SUSUNAN KEPANITIAAN

A. Pengarah

1. Dekan Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani 2. Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional, Bandung 3. Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung 4. Direktur Politeknik Negeri Bandung 5. Dekan Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana 6. Dekan Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha 7. Dekan Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan 8. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air 9. Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia Cabang Bandung 10. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum 11. Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat 12. Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung

B. Panitia Pelaksana

Ketua I : Ir. Yati Muliati, M.T. - Itenas

Ketua II : Ir. Agustin Purwanti, M.T. - Unjani

Ketua III : Ir. Teti Kurniati, M.T, - Pusair

Ketua IV : Prof. Ir. Iwan Kridasantausa, M.Sc, Ph.D - HATHI Cab. Jabar

Ketua V : Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.T. - ITB

Bendahara : Yessi Nirwana, S.T., M.T., Ph.D - Itenas

Sekretaris : Yuyun Fauzi - HATHI Cab. Jabar

Sekretariat : Dian Indrawati, S.T., M.T. - Unjani

Chairunissa, S.T., M.T. - Unjani

Seksi Dana : Ir. Nana Nasuha, Sp1 - DPSDA Prov. Jabar

Lusie Musianty, S.T., MPSDA - DPSDA Prov. Jabar

Gemilang, S.T., MPSDA - DPSDA Prov. Jabar

Dr. Ir. Winskayati, Sp1 - HATHI Cab. Jabar

Seksi Publikasi : Joko Nugroho, Ph.D - ITB

Dhemi Harlan, ST, MT, M.Sc, Ph.D - ITB

Supardi, S.T. - ITB

Ir. Didi Ruswandi, M.T. - DBMP Kota Bandung

Lisa Surya Lestari, S.T. - DBMP Kota Bandung

Drs. Bambang Suryaman - DBMP Kota Bandung

Seksi Perlengkapan : Yedida Yosananto, S.T., M.T. - Itenas

Fransiska Yustiana, S.T., M.T. - Itenas

Page 15: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 xiii

Seksi Acara 1 : Ir. Bambang Adi Riyanto, M. Eng - Unpar

Alpino Sigalingging, S.T., M.T. - Unpar

Obaja Triputera, S.T. - Unpar

Ir. Eko Wahyu Utomo, M.T. - Unla

Ir. Robby Gunawan Yahya, M.T. - Unla

Ir. F. Yiniarti Eka Kumala, Dipl. HE - Pusair

Ririn Rimawan, S.T., M.T. - Pusair

James Zulfan, S.T. - Pusair

Petty Kartina, S.T. - Pusair

Seksi Acara 2 : Ir. Dra. Fauzia Mulyawati, M.T. - Unla

Ig. Sudarsono, S.T., M.T. - Unla

Ir. Salahudin Gozali, Ph.D - Unpar

Steven Reinaldo Rusli, S.T. - Unpar

Ir. Setio Wasito, Sp. M.T. - HATHI Cab. Jabar

Ir. Alvadison - Pusair

Hany Agustiani, S.T., M.T. - Pusair

Slamet Lestari, S.T., M.T. - Pusair

Mirwan Rofiq, S.T. - Pusair

Seksi Konsumsi : Ir. Maria Christine Sutandi, M.T. - UK. Maranatha

Olga Pattipawaej, Ph.D - UK. Maranatha

Ir. Kanjalia Tjandrapuspa, M.T. - UK. Maranatha

Seksi Dokumentasi : Ir. Iin Karnisah, M.T. - Polban

Ir. Asmawar Bakrie, M.T. - Polban

Ir. Achmad Djihad, M.T. - Polban

R. Yayat Yuliana, SE., MM. - BBWS Citarum

Susilowati, S.T., M.T. - BBWS Citarum

Ir. Sudrajat, M.T. - BBWS Citarum

Windy, S.T., MPSDA. - BBWS Citarum

Seksi Makalah/Prosiding : Doddi Yudianto, Ph.D - Unpar

Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc. - Pusair

Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat, M.T. - HATHI Cab. Jabar

Dr. Ir. Ariani Budi Safarina, M.T. - Unjani

Eka Oktarianto, Ph.D - Itenas

Stephen Sanjaya, S.T. - Unpar

Page 16: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

xiv Bandung, 12 September 2015

SUSUNAN ACARA SEMINAR

SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL TEKNIK SUMBER DAYA AIR

PENGELOLAAN TERPADU UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN AIR BERKELANJUTAN DI KAWASAN PERKOTAAN

Institut Teknologi Nasional - Bandung, Sabtu, 12 September 2015

Waktu Acara Penyaji/Pembicara Moderator Notulis

Pembukaan Gedung Serba Guna Itenas

07.30-08.45 Pendaftaran Ulang Panitia

Pembukaan MC

Menyanyikan Lagu Indonesia Raya Panitia

Laporan Ketua Panitia Yati Muliati

Sambutan Rektor Itenas Rektor Itenas

Pembukaan Acara Secara Resmi oleh Rektor Itenas

Rektor Itenas

Pembacaan Doa Yadi Suryadi

08.45-09.45 Pembicara Utama (Keynote Speaker)

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Arie Setiadi Rektor Itenas & Triweko

Kepala BAPPEDA Provinsi Jabar Denny Djuanda

09.45-10.15 Rehat Kopi

Ruangan I Sesi I

Gedung Serba Guna Itenas

10.15-10.30 Korelasi Antara Subsiden-Air Tanah-Emisi Karbon Lahan Rawa Gambut

L. Budi Triadi, Maruddin F. Marpaung

Agustin Purwanti

Mirwan Rofig, Ig. Sudarsono

10.30-10.45 Pola Pergerakkan Aliran di Muara Sungai Musi dengan Menggunakan Program MIKE-21 Flow Model

Achmad Syarifudin, Eka Puji Agustini

Page 17: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 xv

Waktu Acara Penyaji/Pembicara Moderator Notulis

10.45-11.00 Perencanaan Pengendalian Banjir di Jakarta Tri Hardhono, Benny Syahputra

11.00-11.15 Penerapan Sistem Kluster Sebagai Upaya Pengendalian Limpasan Permukaan pada Kawasan Industri

Obaja Triputera Wijaya, Doddi Yudianto, Guan Yiqing

11.15-11.30

Sistem Pengendalian Erosi untuk Mempertahankan Lapisan Tanah Subur pada Lahan Pertanian Produktif Studi Kasus: Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu

Dede Sumarna, H. Bachtiar AB

11.30-11.45 Pengendalian Banjir pada Kawasan Tambang Timah di Kabupaten Bangka

Parindra Ardi Wardhana, Meru Condro Wiguno, Yudi Wachyudiana

11.45-12.15 Tanya Jawab

12.15-13.15 Ishoma

Sesi II Gedung Serba Guna Itenas

13.15-13.30 Upaya Pengendalian Banjir Sungai Cicadas Kota Bandung

Dwi Aryani Semadhi, Winskayati

13.30-13.45 Penggunaan Biopori Sebagai Alternatif Mengurangi Genangan Banjir Daerah Perkotaan

Achmad Syarifudin, Hendri, Mega Yunanda

13.45-14.00 Evaluasi Dampak Pembangunan Gedung Terhadap Kinerja Sistem Drainase Kampus

Arnold Saputra, Doddi Yudianto

14.00-14.15 Optimasi Sistem Perkuatan Tanggul Banjir Sungai Tembuku dalam Menanggulangi Potensi Banjir Kota Jambi

Slamet Lestari

14.15-14.30 Evaluasi Kinerja Sistem Drainase pada Kawasan Permukiman di Bandung Timur

Mesta Saktina, Doddi Yudianto

14.30-14.45 Penanganan Erosi Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara Sampai Dengan Muara Buntu Kabupaten Karawang

Yati Muliati, Yunus Purwanto, Ahmad Luthfi

Page 18: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

xvi Bandung, 12 September 2015

Waktu Acara Penyaji/Pembicara Moderator Notulis

14.45-15.00 Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase pada Kawasan Permukiman Mandiri Berwawasan Pendidikan

Sandy Sella Fajar, Doddi Yudianto

15.00.-15.30 Tanya Jawab

Ruangan II Sesi I

Ruang 12305

10.15-10.30 Pemodelan Peramalan Curah Hujan pada DAS Pamarayan dengan Metode ESIM

Stephen Sanjaya, Bambang Adi Riyanto, Andreas Franskie Van Roy

10.30-10.45 Aplikasi Teknologi Membran pada Instalasi Pengolahan Air Limbah di RSUD Lebong Bengkulu dalam Rangka Pemanfaaatan Air Re-Use

Mohammad Imamuddin

10.45-11.00 Studi Evaluasi Optimasi Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, Kabupaten Cianjur

Steven Sergij Salim, Bambang Adi Riyanto

11.00-11.15 Tantangan dan Perbaikan Sistem Bendung Sungai Gesek dalam Penyediaan Air Baku di Pulau Bintan

Slamet Lestari

11.15-11.30 Studi Evaluasi Kualitas Air Situ Gede Kota Tangerang

Eka Wardhani, Kancitra Pharmawati, Indra

11.30-11.45 Kajian Terhadap Ketepatan Pemetaan Kerentanan Pencemaran Air Tanah Menggunakan Metode Drastic pada Kondisi Data Akifer Terbatas

Elly Kusumawati B.

11.45-12.15 Tanya Jawab

12.15-13.15 Ishoma

Sesi II Ruang 12305

13.15-13.30 Implementasi Model Xinanjiang yang Berbasis Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Neraca Air DAS Jiangwan

Steven Reinaldo Rusli, Jin Tao Liu, Doddi Yudianto

Page 19: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 xvii

Waktu Acara Penyaji/Pembicara Moderator Notulis

13.30-13.45 Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu dalam Rangka Penyediaan Air Bersih Berbasis Masyarakat di Kabupaten Lamongan

Feril Hariati

13.45-14.00 Peran Masyarakat dalam Pengendalian Daya Rusak Air di Kabupaten Bogor

Widya Nasarita Fitri, Parindra Ardi Wardhana, Meru Condro Wiguno

14.00-14.15 Evaluasi Tingkat Kepekaan Siswa Terhadap Pelestarian Sumber Daya Air

Anastasia Septya Wardaningrum, Tidani Sillo Hines Aluhnia Zebua

14.15-14.30 Analisis Risiko Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) pada Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Minihydro (PLTMH)

Ririn Rimawan

14.30-14.45 Pelindungan Kawasan Penyangga Mata Air Sebagai Upaya Konservasi Melalui KKN-PPN

Restu Wigati, Soelarso

14.45-15.15 Tanya Jawab

15.15-15.30 Mobilisasi ke GSG

15.15-15.30 Rehat Kopi

15.15-15.30 Gedung Serba Guna Itenas

15.30-16.30 Informasi Sertifikasi Keahlian HATHI Setio Wasito

Pembagian Lucky Draw Panitia

Kesimpulan Doddi Yudianto

Pembacaan Doa Yadi Suryadi

Penutupan Dekan FTSP Itenas

Page 20: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

xiv Bandung, 12 September 2015

UCAPAN TERIMA KASIH

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum

Gubernur Jawa Barat

Walikota Bandung

Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik (HATHI) Indonesia Pusat

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair)

Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik (HATHI) Indonesia Cabang Jabar

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum

Kepala Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (Dinas PSDA) Prov. Jabar

Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota Bandung

Rektor Universitas Jendral Achmad Yani (Unjani) - Cimahi

Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) - Bandung

Rektor Institut Teknologi Nasional (Itenas) - Bandung

Rektor Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) - Bandung

Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM) - Bandung

Rektor Universitas Langlangbuana (Unla) - Bandung

Direktur Politeknik Negeri Bandung (Polban) - Bandung

Dekan Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani

Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB

Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Itenas

Dekan Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan

Dekan Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana

Dekan Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha

PT. Tamara Overseas Corporindo

PT. Mitraplan Enviratama - Bandung

PT. Mettana – Bandung

PT. Rayakonsult

PT. Nasuma Putra

Page 21: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 1

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

IMPLEMENTASI MODEL XINANJIANG YANG BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM ANALISIS NERACA AIR DAS JIANGWAN

Steven Reinaldo Rusli1,2,*, Jin Tao Liu2, dan Doddi Yudianto2*

1Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 40141, Indonesia 2State Key Laboratory of Hydrology-Water Resources and Hydraulic Engineering, Hohai University, Nanjing, People

Republic of China *[email protected]

Abstrak

Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai objek penelitian, dimana pengembangan instalasi instrumentasi pengukuran hidrologi dilakukan, belum menjadi prioritas di negara berkembang seperti Indonesia. Padahal, kebijakan alokasi DAS penelitian sangat berguna dalam menguji performa model hujan-limpasan. Dengan menggunakan DAS Jiangwan yang merupakan DAS penelitian yang terletak di Provinsi Zhejiang, China, dengan data hidrologi harian tersedia dari tahun 1971 - 1986, studi ini bertujuan untuk menguji kestabilan model Xinanjiang, model hidrologi terdistribusi yang memanfaatkan data sistem informasi geografis sebagai masukan data geospasialnya. Kestabilan yang dimaksud adalah kestabilan parameter model yang dihasilkan, sesuai dengan hipotesa awal berdasarkan tata guna lahan pada DAS yang tidak berubah. Metode yang digunakan berupa metode trial and error dalam kalibrasi parameter yang ada. Hasil analisis menunjukkan kestabilan parameter tercapai, kecuali empat parameter yang sedikit mengalami perubahan yaitu KG, KI, CG, CI dan dua komponen yaitu WUM dan WLM. Seluruh perubahan terjadi pada unsur yang berhubungan dengan proporsi aliran bawah permukaan, yaitu interflow dan aliran air tanah. Tanpa memperhatikan simulasi tahun 1977 yang kualitas datanya tidak memenuhi kriteria keandalan, Nash-Sutcliffe dan relative error yang digunakan sebagai kriteria evaluasi menunjukkan hasil yang memuaskan, dengan nilai rata-rata berturutan 0.59174 dan 0.0479. Hasil ini menunjukkan kontribusi besar yang diberikan oleh aplikasi teknologi pintar dalam simulasi model neraca air.

Kata Kunci: Model Xinanjiang, Sistem Informasi Grafis, DAS Jiangwan

LATAR BELAKANG Dewasa ini, ketersediaan informasi peramalan debit yang akurat menjadi sangat penting dilihat dari sisi hidrologi, terutama mempertimbangkan aplikasinya dalam berbagai kebutuhan – seperti perencanaan sumber daya air pada tatanan lokal, regional dan nasional, kebijakan pengambilan air, perencanaan suplai air untuk publik, perkiraan dilusi polutan air, navigasi, perencanaan pembangkit listrik tenaga air, perencanaan daerah irigasi, pengelolaan sumber daya air pada musim kering dan sebagainya (World Meterological Organization, 2009). Mengacu pada penggunaannya yang sangat luas dan fungsional, perkembangan dari model hujan – limpasan, atau biasa disebut juga model neraca air terjadi dengan sangat cepat, terutama pada Negara-negara berkembang seperti Negara Republik Rakyat Cina (RRC).

Model Xinanjiang, dikembangkan oleh Zhao, et al. (1980) dari Negara RRC sudah terbukti memberikan hasil yang lebih konsisten dibandingkan model neraca air lain, seperti model Pitman dari Afrika Selatan, model NAM dari Eropa, model Sacramento dari Amerika Serikat dan model SMAR dari Irlandia (Gan, et al. 1997), dikarenakan kapabilitas model Xinanjiang untuk memperhitungkan ketidakseragaman distribusi spasial dari DAS yang berkontribusi terhadap volume limpasan. Meskipun pada umumnya model Xinanjiang memiliki 15 buah parameter, berbagai modifikasi yang dimasukkan ke dalam model telah menghasilkan sejumlah parameter tambahan, dengan tujuan memberikan hasil yang lebih maksimal. Terkait dengan parameter model, Cheng, et al. (2002) menyebutkan, keberhasilan aplikasi model neraca

Page 22: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

2 Bandung, 12 September 2015

air sangat bergantung kepada kualitas proses kalibrasi parameter. Maka itu, penentuan parameter model memiliki peran yang sangat penting dalam mensimulasikan proses siklus hidrologi suatu DAS.

Namun, fenomena ‗equifinality‘ dilihat sebagai salah satu problematika dalam kalibrasi model hujan – limpasan. ‗Equifinality‘ adalah kejadian di mana model hujan – limpasan memberikan hasil evaluasi simulasi yang sama dengan parameter yang berbeda, yang mengindikasikan ketidakstabilan model tersebut. Untuk menghindari kejadian tersebut, dikembangkan batasan nilai untuk masing-masing parameter model berdasarkan pengalaman aplikasi penggunaan model, sebagai contoh batasan nilai parameter HBV96 yang disarankan oleh Lidén dan Harlin, (2000). Hasil studi ini diharapkan memberikan evaluasi terhadap stabilitas parameter model Xinanjiang. Dengan menggunakan DAS Jiangwan, yang relatif tidak berubah dari segi tata guna lahan dan karakteristik hidrologi, kecenderungan masing-masing parameter akan diamati, dan diharapkan bahwa fluktuasi parameter yang dihasilkan seminimum mungkin.

METODOLOGI STUDI

Model Xinanjiang

Secara konsep, struktur model Xinanjiang terdiri dari empat tahap utama; perhitungan evapotranspirasi (konsep tiga lapisan kelembaban tanah), generasi limpasan, (konsep repletion of storage), pemisahan limpasan (konsep limpasan Horton) dan penelusuran limpasan (metode Muskingum), dengan total 15 buah parameter yang terdistribusi terhadap masing-masing tahapan analisis yang ada. Gambar 1 dan Tabel 1 di bawah memberikan gambaran skematis mengenai proses analisis dan parameter.

Tabel 1. Deskripsi masing-masing Parameter Model Xinanjiang

Parameter Deskripsi

K Rasio antara potensi evapotranspirasi dan evapotranspirasi aktual UM Batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan atas LM Batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan bawah C Koefisien evapotranspirasi untuk lapisan dalam

WM Rata-rata kapasitas penyimpanan air tertekan seluruh DAS B Kontribusi berpangkat dari kurva distribusi spasial kapasitas penyimpanan air tertekan IM Proporsi daerah kedap air terhadap total luasan DAS SM Kapasitas penyimpanan air bebas Ex Kontribusi berpangkat dari kurva distribusi spasial kapasitas penyimpanan air bebas KI Koefisien kontribusi air bebas ke aliran interflow KG Koefisien kontribusi air bebas ke aliran air tanah CS Parameter penelusuran limpasan permukaan CI Konstanta tampungan interflow CG Konstanta tampungan air tanah L Parameter penelusuran

Gambar 1. Struktur Model Xinanjiang

Page 23: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 3

Secara teknis, analisis spasial dalam studi ini didasarkan pada data fisik yang didapat dari data Digital Elevation Model (DEM) yang biasa dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Arch-GIS. Setelah proses pembagian DAS menjadi pias-pias yang lebih kecil, analisis dilakukan di dalam setiap pias, kemudian dilanjutkan dengan penelusuran limpasan untuk memberikan pengaruh ketelitian dan akurasi hasil simulasi yang menjadi kelebihan yang ditawarkan oleh model hidrologi yang terdistribusi.

Pada tahapan perhitungan evapotranspirasi, konsep tiga lapisan kelembaban tanah (lapisan atas, bawah dan dalam) diterapkan, dengan batasan pada lapisan atas dan bawah (UM dan LM) yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Modifikasi terhadap perhitungan evapotranspirasi Xinanjiang sudah dilakukan beberapa peneliti, seperti penggunaan metode MODIS-LAI oleh Li, et al. (2009). Namun, dalam studi ini, perhitungan yang dilakukan menggunakan formula seperti ditunjukkan persamaan di bawah ini, sesuai dengan formula Xinanjiang.

(1)

(2)

(3)

Keterangan: EU : tinggi evapotranspirasi pada lapisan atas (mm) EL : tinggi evapotranspirasi pada lapisan bawah (mm) ED : tinggi evapotranspirasi pada lapisan dalam (mm) UM, LM : batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan atas dan bawah (mm)

Kesitimewaan utama yang menjadi ciri khas dari model Xinanjiang adalah konsep repletion of storage, yang berarti pada satu daerah tertentu, limpasan baru akan dihasilkan setelah kelembaban tanah sudah mencapai titik maksimum. Untuk memperhitungkan ketidakseragaman spasial dari kondisi tanah yang ada, disusunlah kurva parabolik seperti ditunjukkan oleh Gambar 2. Dewasa ini, terutama melihat perkembangan yang begitu cepat di bidang teknologi spasial seperti sistem informasi geografis, banyak modifikasi untuk memasukkan variasi spasial ke dalam model hidrologi, salah satunya model Xinanjiang. Salah satu contohnya adalah penggunaan kurva parabolik ganda oleh Jayawardena, et al. (1999).

Gambar 2. Kurva Parabolik Distribusi Kelembaban Tanah

Area terarsir (R) menunjukkan limpasan yang dihasilkan pada suatu kondisi yang dimulai setelah kondisi AU, dan kapasitas penyimpanan kelembaban tanah terbatas pada MM. Dengan berbagai kondisi yang ada, jumlah limpasan yang dihasilkan dihitung berdasarkan rumus-rumus yang terhubung di bawah ini.

(4)

(5)

Jika , maka

Jika tidak,

Page 24: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

4 Bandung, 12 September 2015

(6)

Keterangan: R : tinggi limpasan (mm) f/F : proporsi dari luasan DAS yang menghasilkan limpasan WM, B, IM : parameter model MM : batas maksimum kapasitas penyimpanan kelengasan tanah P : tinggi presipitasi (mm) AU : batas kondisi di mana limpasan mulai dihasilkan (mm)

Setelah limpasan sudah dihasilkan, konsep yang sama digunakan untuk memisahkan limpasan permukaan, aliran antara dan aliran air tanah. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

(7)

(8)

(9)

Jika , maka

Jika tidak,

(10)

Keterangan: f/FR : proporsi dari limpasan yang menghasilkan limpasan permukaan SM, Ex : parameter model MS : batas maksimum kapasitas penyimpanan air bebas BU : batas kondisi di mana limpasan permukaan mulai dihasilkan (mm)

Proses penelusuran banjir dibagi menjadi dua bagian, pada permukaan DAS dan pada bagian saluran. Peta digital dari DAS terkait awalnya dibagi-bagi terlebih dahulu menjadi pias-pias kecil, kemudian perhitungan dilakukan di masing-masing pias sebelum ditelusuri menjadi satu, seperti studi yang sebelumnya dilakukan oleh Liu, et al., (2006). Perhitungan dilakukan dengan persamaan kinematic wave.

(11)

(12)

(13)

(14)

Kriteria Evaluasi

Proses kalibrasi model dilakukan secara manual dengan menngiterasi nilai parameter model hingga mendapatkan kecocokan terbaik yang mungkin didapatkan antara debit yang dihasilkan melalui perhitungan dan pencatatan, baik dilihat secara kasat mata ataupun secara kuantitatif. Dalam melakukan proses ini, fungsi tujuan yang digunakan untuk menilai hasil kalibrasinya adalah Nash-Sutcliffe dan relative error, yang dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini:

(15)

(16)

Mengkombinasikan dua fungsi tujuan tersebut, diharapkan bahwa nilai parameter evaluasi Nash-Sutcliffe yang dihasilkan mendekati satu, sedangkan sebaliknya, nilai relative error mendekati nol. Nilai satu pada evaluasi Nash-Sutcliffe menunjukkan simulasi yang berhasil dalam mengestimasi debit rata-rata, sedangkan nilai nol pada relative error menunjukkan deviasi nol antara hasil simulasi dan pencatatan.

Page 25: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 5

Pembahasan Debit Tinggi dan Rendah

Pada studi ini, terdapat tambahan pembahasan hasil simulasi untuk memastikan kualitas dari proses kalibrasi model, yaitu pembahasan mengenai debit tinggi dan debit rendah. Kecocokan model untuk mengestimasi debit tinggi dievaluasi dengan menghitung rasio antara deviasi dengan debit pencatatan tertinggi setiap tahunnya. Sedangkan untuk debit rendah, evaluasi dilakukan dengan membandingkan kurva durasi yang terbentuk dari hasil simulasi dan pencatatan. Metode Weibull digunakan sebagai bantuan untuk mengkonstruksi kurva durasi, dengan persamaan sebagai berikut:

(17)

Lokasi Studi

DAS yang diamati pada studi ini bernama DAS Jiangwan, terletak di Provinsi Zhejiang, Negara Republik Rakyat China. Sejak tahun 1957, DAS Jiangwan telah ditetapkan sebagai DAS yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian. Secara geografis, titik keluar DAS Jiangwater terletak pada koordinat 119050‘ BT dan 30035‘ LU (Liu, et al., 2012), dengan bentuk DAS ditunjukkan pada gambar 3 dibawah. Luas DAS Jiangwan dapat dikategorikan sebagai DAS kecil (20.9 km2). Namun, melihat kapabilitas model Xinanjiang untuk memperhitungkan variasi spasial ke dalam analisisnya, maka analisis pada studi ini menggunakan konsep model hidrologi yang terdistribusi.

DAS Jiangwan, yang terletak di daerah sub-tropis dengan kelembab yang tinggi, memiliki potensi evapotranspirasi yang tinggi pula. Temperatur rata-rata tahunan DAS Jiangwan tercata berada pada suhu 14.60C dengan jumlah penyinaran cahaya matahari selama 1579 jam per tahun dan kecepatan angin rata-rata sekitar 1.5 m/s. Dengan kondisi iklim seperti disebutkan di atas, rata-rata tinggi evapotranspirasi tahunan yang terjadi di DAS Jiangwan berkisar pada nilai 805 mm.

Tutupan lahan pada DAS Jiangwan secara umum didominasi oleh hutam bambu yang menutupi sekitar 90% lahan, di mana sisanya ditutupi oleh persawahan, perkebunan the dan penanaman berbagai jenis tumbuhan lainnya. Beberapa pemukiman kecil dapat ditemukan dalam bentuk desa-desa. Dilihat dari susunan tanah dan batuannya, didapati bahwa lapisan tanah di DAS Jiangwan memiliki kapasitas penyimpanan air yang cukup tinggi. Hal yang menjadi penting untuk diamati adalah kondisi geologi DAS Jiangwan yang sebelumnya telah diteliti oleh Le, et al. (2014). Lapisan dan horizon tanah DAS Jiangwan memiliki banyak patahan yang memudahkan terjadinya aliran air dari permukaan menuju ke lapisan ke bawah permukaan. Seperti yang sebelumnya sudah disebutkan, kondisi geologi suatu DAS sangat berpengaruh terhadap penentuan parameter model hidrologi (Zhao, et al. 1980; Troch, et al. 2002).

Data hidro-meteorologi DAS Jiangwan dicatat oleh Biro Statistik Hidrologi pemerintah Provinsi Zhejjang, dan terlebih dahulu melalui proses validasi kualitas pencatatan data sesuai standar yang ada sebelum dapat digunakan oleh publik (Liu, et al., 2012). Walaupun secara umum, data yang tersedia cukup memadai, namun beberapa data yang hilang masih terlihat, terutama pada pencatatan sebelum tahun 1970. Karena Xinanjiang membutuhkan data kontinyu untuk analisisnya, maka simulasi yang dimasukkan dalam studi ini dimulai dari tahun 1970 hingga tahun 1986. Selain data pencatatan debit, terdapat juga pencatatan hujan harian dari 10 stasiun hujan dengan penyebaran lokasi yang dapat dilihat juga pada Gambar 3. Beberapa hujan yang cukup besar dapat dilihat pada pencatatan, seperti hujan pada tanggal 13 Juni 1984 (hujan tertinggi dengan tinggi 209.8 mm), yang kemudian berkontribusi pada debit tertinggi yang tercatat pada hari esoknya (14 Juni 1984) dengan nilai 30.5 m3/s.

Page 26: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

6 Bandung, 12 September 2015

Gambar 3. DAS Jiangwan

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

Curah Hujan Wilayah

Analisis curah hujan wilayah untuk menentukan satu nilai hujan yang dapat mewakili DAS Jiangwan dilakukan dengan menganalisis luas pengaruh masing-masing stasiun hujan yang ada. Dari hasil analisis, didapat bahwa stasiun yang memberikan pengaruh terbesar adalah stasiun Jiangwan dengan bobot pengaruh 20%, kemudian stasiun He Mu Qiao (15%), Gao Wu Cun (13%), Fan Wu Li (13%), Fo Tang (12%), Gao Wu Ling (8%), Ge Ling 7%), Li Jiao Wu (5%), Tao Shu Ling (4%) dan Yang Shan (3%).

Kalibrasi Parameter

Seperti sudah diketahui bahwa karakteristik hidrologi DAS Jiangwan di permukaan secara relatif tidak berubah karena terbatasnya campur tangan manusia terhadap tata guna lahan yang ada, diharapkan bahwa kalibrasi parameter model Xinanjiang memberikan hasil yang stabil, direfeleksikan oleh nilai parameter model yang cenderung konstan. Namun, karaketeristik geologi yang ada memberikan toleransi pada perubahan nilai parameter yang berkaitan dengan kondisi di bawah permukaan tanah. Kalibrasi manual dilakukan dengan variasi temporal tahunan, dan hasilnya dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini dengan garis merah adalah hasil simulasi dan garis biru sebagai pencatatan debit kontinyu.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

6101

106

111

116

121

126

131

136

141

146

151

156

161

166

171

176

181

186

191

196

201

206

211

216

221

226

231

236

241

246

251

256

261

266

271

276

281

286

291

296

301

306

311

316

321

326

331

336

341

346

351

356

361

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1971

Observed Runoff Simulated Runoff

Page 27: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 7

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

6101

106

111

116

121

126

131

136

141

146

151

156

161

166

171

176

181

186

191

196

201

206

211

216

221

226

231

236

241

246

251

256

261

266

271

276

281

286

291

296

301

306

311

316

321

326

331

336

341

346

351

356

361

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1972

Observed Runoff Simulated Runoff

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1973

Observed Runoff Simulated Runoff

0

5

10

15

20

25

30

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1974

Observed Runoff Simulated Runoff

0

1

2

3

4

5

6

7

8

1 611

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

10

11

06

11

11

16

12

11

26

13

11

36

14

11

46

15

11

56

16

11

66

17

11

76

18

11

86

19

11

96

20

12

06

21

12

16

22

12

26

23

12

36

24

12

46

25

12

56

26

12

66

27

12

76

28

12

86

29

12

96

30

13

06

31

13

16

32

13

26

33

13

36

34

13

46

35

13

56

36

1

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1975

Observed Runoff Simulated Runoff

Page 28: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

8 Bandung, 12 September 2015

0

2

4

6

8

10

12

14

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

6101

106

111

116

121

126

131

136

141

146

151

156

161

166

171

176

181

186

191

196

201

206

211

216

221

226

231

236

241

246

251

256

261

266

271

276

281

286

291

296

301

306

311

316

321

326

331

336

341

346

351

356

361

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1976

Observed Runoff Simulated Runoff

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1977

Observed Runoff Simulated Runoff

0

2

4

6

8

10

12

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1978

Observed Runoff Simulated Runoff

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1979

Observed Runoff Simulated Runoff

Page 29: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 9

0

2

4

6

8

10

12

14

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1980

Observed Runoff Simulated Runoff

0

2

4

6

8

10

12

14

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1981

Observed Runoff Simulated Runoff

0

1

2

3

4

5

6

7

8

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

6101

10

6111

11

6121

12

6131

13

6141

14

6151

15

61

61

16

61

71

17

61

81

18

61

91

19

62

01

206

21

1216

22

1226

23

1236

24

1246

25

1256

26

1266

27

12

76

28

12

86

29

12

96

30

13

06

311

31

6321

32

6331

33

6341

34

6351

35

6361

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1982

Observed Runoff Simulated Runoff

0

5

10

15

20

25

30

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1983

Observed Runoff Simulated Runoff

Page 30: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

10 Bandung, 12 September 2015

Gambar 4. Hasil Simulasi dari Kalibrasi Manual Tahunan

Secara kasat mata, simulasi model Xinanjiang memberikan hasil yang sangat baik karena hanya terdapat sedikit perbedaan antara debit simulasi dan pencatatan, terutama dari pola naik turunnya debit. Secara umum, besaran nilai debit yang dihasilkan pun cukup baik. Penilaian secara kuantitatif dengan evaluasi Nash-Sutcliffe dan relative error memberikan nilai seperti dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Nilai Evaluasi Simulasi

Tahun Nash-Sutcliffe Relative Error

1971 0.83502 0.09863 1972 0.77686 0.01239 1973 0.56944 0.02668 1974 0.81488 0.06438 1975 0.81997 0.00430 1976 0.35591 0.00118 1977 -1.38926 0.29617

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1984

Observed Runoff Simulated Runoff

0

5

10

15

20

25

30

35

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1985

Observed Runoff Simulated Runoff

0

2

4

6

8

10

12

14

1 61

11

62

12

63

13

64

14

65

15

66

16

67

17

68

18

69

19

61

01

10

61

11

11

6121

126

131

13

61

41

14

61

51

15

61

61

16

6171

176

181

18

61

91

19

62

01

20

62

11

21

6221

226

231

23

62

41

24

62

51

25

62

61

26

6271

276

281

28

62

91

29

63

01

30

63

11

316

321

326

331

33

63

41

34

63

51

35

63

61

DIS

CH

AR

GE

(M

3/S

)

DAY

1986

Observed Runoff Simulated Runoff

Page 31: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 11

1978 0.71592 0.06203 1979 0.58711 0.7721 1980 0.21890 0.02512 1981 0.54429 0.06014 1982 0.77485 0.05583 1983 0.69214 0.02576 1984 0.62114 0.05549 1985 0.16006 0.08827 1986 0.38969 0.06111

Secara umum, hasil dari evaluasi yang ada menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama dari nilai relative error. Terlepas dari hasil yang kurang memuaskan di tahun 1977, nilai Nash-Sutcliffe berkisar pada nilai 0.59174 dan relative error berkisar pada nilai 0.04790. Pada beberapa tahun seperti 1973, 1976, 1979, 1980, 1981, 1985 dan 1986, nilai Nash-Sutcliffe berada di bawah 0.60, namun nilai relative error mengkompensasi dengan hasil yang sangat memuaskan. Di seluruh tahun selain 1977, nilai relative error selalu kurang dari 0.1, yang menunjukkan hasil simulasi yang sangat baik. Hanya pada tahun 1977, nilai dari Nash-Sutcliffe dan relative error berturut-turut adalah -1.38926 dan 0.29617. Secara visual, hasil tersebut dikarenakan kegagalan model Xinanjiang untuk mensimulasi respon dari DAS terhadap hujan yang ada. Pola aliran yang didapat cukup berbeda dengan hasil pencatatan, dan terutama kegagalan model dalam mensimulasi debit tinggi memberikan pengaruh yang cukup besar. Simpulan dari proses kalibrasi manual tahunan ini, simulasi menggunakan model Xinanjiang dapat diterima dan dapat diandalkan untuk diaplikasikan sesuai kebutuhan hidrologi.

Pembahasan Nilai Parameter Terkalibrasi

Pada bagian ini, pembahasan mengenai hasil kalibrasi parameter model dievaluasi. Tentu saja, mendapatkan parameter model pada suat DAS tidak berarti bahwa pemahaman mengenai karakteristik DAS secara menyeluruh telah didapatkan; pembahasan dan pengertian mengenai arti dari nilai-nilai parameter menjadi lebih penting daripada hanya menampilkan suatu angka. Pada Tabel 3 dapat dilihat kompilasi dari nilai parameter tiap-tiap tahun berdasarkan proses kalibrasi parameter yang sudah dilakukan.

Dari Tabel 3 di bawah, dapat dilihat bahwa secara relatif, mayoritas nilai parameter yang digunakan untuk mendapatkan simulasi yang terbaik tidak banyak berubah, yang juga menunjukkan stabilitas parameter model Xinanjiang dalam memodelkan fenomena hidrologi di DAS Jiangwan. Parameter yang tidak berubah adalah parameter yang berhubungan dengan evapotranspirasi (K dan C), penghasilan limpasan (B, WM, IM), pemisahan limpasan (SM, Ex) dan parameter penelusuran aliran (CS dan L). Namun, terdapat juga beberapa parameter yang nilainya berubah, yaitu KG, KI, CG dan CI; di mana semua parameter tersebut berhubungan dengan aliran di bawah permukaan. Terlebih lagi, terdapat dua komponen yang juga berubah nilainya yaitu WUM dan WLM, dan perubahan yang ada terjadi hanya pada periode antara tahun 1975 dan 1978.

Tabel 3. Kompilasi Nilai Parameter Model Xinanjiang

Tahun K C B WM WUM WLM IM SM Ex KG KI CG CI CS L

1971 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1972 0.98 0.2 0.1 130 20 80 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1973 0.98 0.2 0.1 130 20 80 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1974 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1975 0.98 0.2 0.1 130 34 66 0 5 1.2 0.25 0.25 0.25 0.35 0.5 0.6 1976 0.98 0.2 0.1 130 35 65 0 5 1.2 0.20 0.20 0.40 0.40 0.5 0.6 1977 0.98 0.2 0.1 130 90 10 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1978 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1979 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1980 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6

Page 32: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

12 Bandung, 12 September 2015

1981 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1982 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1983 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1984 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1985 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6 1986 0.98 0.2 0.1 130 60 40 0 5 1.2 0.05 0.05 0.45 0.45 0.5 0.6

Gambar 5. Perubahan Komponen dan Parameter Model Xinanjiang

Perubahan yang terjadi pada komponen WUM dan WLM dari tahun ke tahun sebenarnya mendukung fakta yang ada mengenai perubahan empat parameter lainnya; dan kesemuanya berhubungan dengan aliran antara dan aliran air tanah. Melihat penyebaran parameter dan perubahannya, maka disimpulkan bahwa simulasi model Xinanjiang pada bagian presipitasi, infiltrasi, evapotranspirasi dan limpasan permukaan sudah stabil pada model Xinanjiang yang diterapkan di DAS Jiangwan. Namun, pola pengaliran di bawah permukaan memberikan parameter yang cukup berfluktuasi, yang didukung oleh kondisi geologi DAS Jiangwan seperti sebelumnya diteliti oleh Le, et al. (2014). Patahan-patahan yang ditemukan pada pengamatan lapangan akan menyebabkan terjadinya kehilangan air permukaan ke lapisan bawah permukaan. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbuahan parameter dan komponen yang ada. Terlebih lagi, perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan; perubahan hanya terjadi di tahun-tahun tertentu, dengan kapasitas total maksimum yang tetap.

Pembahasan Debit Tinggi dan Debit Rendah

Terkait dengan peramalan debit, maka hal penting yang menjadi latar belakang diperlukannya informasi tersebut adalah pengelolaan bencana terutama menghadapi banjir (debit tinggi) dan kekeringan (debit rendah). Maka dari itu, bagian ini secara khusus membahas kemampuan model Xinanjiang untuk mengestimasi baik debit tinggi ataupun debit rendah yang terjadi di DAS Jiangwan. Gambar 6 di bawah menunjukkan nilai debit tertinggi tahunan hasil simulasi (garis biru) dan hasil pengamatan (garis merah). Tabel 4 di bawahnya memberikan informasi kuantitatif evaluasi debit tinggi. Hal yang sama dilakukan untuk debit rendah, dengan Gambar 7 menampilkan hasil plotting debit andal dengan tingkat keandalan 50% hingga 75%, dan hasilnya secara kuantitatif dapat dilihat di Tabel 5.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985

Co

mp

onen

t V

alue

Year

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.50

1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985

Par

amet

er V

alue

Year

Page 33: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 13

Gambar 6. Debit Tertinggi Tahunan Hasil Simulasi vs Pengamatan

Tabel 4 . Debit Tertinggi Tahunan Hasil Simulasi vs Pengamatan

Tahun Debit Simulasi (m3/s) Debit Pengamatan (m3/s) Penyimpangan

1971 19.09 14.5 31.03% 1972 7.55 9 16.67% 1973 16.2 15.5 4.52% 1974 18.97 25.5 25.88% 1975 7.02 6.11 14.75% 1976 12.31 5.73 115.79% 1977 18.92 17.1 10.53% 1978 6 9.93 39.39% 1979 9.15 7.19 28.17% 1980 12.57 10.6 17.92% 1981 12.44 9.28 34.78% 1982 6.16 6.9 11.59% 1983 17.17 25.2 32.14% 1984 43.41 30.5 42.30% 1985 32.72 21.1 54.98% 1986 13.19 8.78 50.57%

Gambar 7. Kurva Durasi Debit Hasil Simulasi vs Pengamatan

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988

Flo

w (

m3

/s)

Year

0.00

0.02

0.04

0.06

0.08

0.10

0.12

0.14

0.16

Q50 Q55 Q60 Q65 Q70 Q75 Q80 Q85 Q90 Q95

Flo

w (

m3

/s)

Flow Probability

Duration Curve

Observed Flow Xinanjiang Simulation

Page 34: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

14 Bandung, 12 September 2015

Tabel 5. Debit Andal Hasil Simulasi vs Pengamatan

Debit Simulasi (m3/s) Debit Pengamatan (m3/s) Penyimpangan

Q50 0.13 0.15 13.33% Q55 0.11 0.11 0.00% Q60 0.09 0.09 0.00% Q65 0.08 0.07 14.29% Q70 0.07 0.05 40.00%

KESIMPULAN Pada studi ini, stabilitas model Xinanjiang dalam melakukan simulasi aliran air di DAS Jiangwan yang secara relatif tidak berubah diamati. Selain itu, sebagai pengamatan tambahan, hubungan antara karakteristik geologi dengan parameter model Xinanjiang juga diamati. Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut, maka beberapa kesimpulan dapat ditarik sebagai berikut:

Dengan menggunakan model Xinanjiang untuk melakukan analisis hidrologi terkait model hubungan hujan – limpasan di DAS Jiangwan didapatkan hasil yang memuaskan, baik secara kasat mata ataupun secara kuantitatif. Hasil evaluasi terbaik adalah nilai Nash-Sutcliffe pada nilai 0.83502 (tahun 1971) dan relative error pada nilai 0.00118 (tahun 1976).

Simulasi terburuk yang didapatkan ada pada tahun 1977, dengan nilai Nash-Sutcliffe dan relative error berturut-turut -1.38925 dan 0.29617. Namun, kalibrasi yang dilakukan secara manual tidak dapat memberikan hasil yang lebih optimum lagi. Secara visual, respon limpasan terhadap hujan sudah terlihat baik, namun hasil simulasi menunjukkan nilai yang terlambau tinggi.

Dari seluruh hasil kalibrasi dan simulasi, secara umum parameter model Xinanjiang ditemui stabil, sesuai dengan karakteristik hidrologi di DAS Jiangwan. Parameter yang tidak berubah adalah parameter evapotranspirasi (K dan C), parameter penghasilan limpasan (B, WM, IM), parameter pemisahan limpasan (SM, Ex) dan parameter penelusuran (CS dan L).

Terdapat 4 parameter dan 2 komponen yang berubah selama periode kalibrasi, yaitu KG, KI, CG, CI WUM dan WLM. Dari pengamatan perubahan nilai tersebut, dapat dilihat bahwa perubahan parameter yang ada sesuai dengan kondisi DAS Jiangwan, di mana kondisi geologi DAS Jiangwan menyebabkan adanya aliran dari limpasan permukaan menuju lapisan bawah.

Perubahan WUM dan WLM mendukung perubahan parameter KG, KI, CG dan CI yang terjadi. Baik diperhatikan juga bahwa total kapasitas penyimpanan air (WM) tidak berubah, komponen WUM dan WLM terkait satu dengan lainnya dengan jumlah yang konsisten. Hal tersebut mengindikasikan variasi yang terjadi di bawah permukaan tanah, di saat aliran akhir menuju sungai utama tetap sama.

Menimbang informasi geologi DAS Jiangwan yang memiliki beberapa patahan di bawah lapisan permukaan tanah, hasil studi ini memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi DAS yang sesungguhnya. Dapat disimpulkan bahwa model Xinanjiang tidak hanya stabil untuk digunakan, tetapi juga dapat menggambarkan keadaan DAS Jiangwan dengan baik.

Debit tinggi tahunan yang dihasilkan melalui simulasi memberikan penyimpangan yang cukup berarti ketika dibandingkan dengan debit tinggi pencatatan, dengan rata-rata penyimpangan sebesar 39.05%. Penyimpangan terbesar ditemukan pada tahun 1976 dengan debit hasil simulasi dan pencatatan berturut-turut adalah 12.30 m3/s dan 5.74 m3/s. Sebaliknya, hasil memuaskan terdapat pada simulasi tahun 1973 dengan debit simulasi dan pencatatan berturut-turut adalah 16.20 m3/s dan 15.50 m3/s.

Debit rendah dari hasil kurva durasi mengindikasikan kemampuan model Xinanjiang dalam menggambarkan keadaan yang terjadi. Karena tipe sungai pada DAS Jiangwan diketahui adalah sungai tipe ephemeral, yaitu sungai yang mengalir hanya pada musim basah, hasil simulasi yang ada

Page 35: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 15

hanya dilakukan hingga debit dengan keandalan 70%. Penyimpangan hamper 0% ditemukan pada debit dengan keandalan berkisar antara 55% hingga 60%.

UCAPAN TERIMA KASIH Studi ini didukung oleh National Natural Science Foundation of China (grants 41271040), dan Special Fund of State Key Laboratory of Hydrology-Water Resources and Hydraulic Engineering (No. 20145028012).

REFERENSI

Bronster, A., Niehoff, D., Burger, G. (2002). ―Effects of Climate and Land Use Change on Storm Runoff Generation: Present Knowledge and Modeling Capabilities‖. Hydrological Processes. 16, 509-529. DOI: 10.1002/hyp.326Hu, T. and Desai, J.P. (2004) Soft-Tissue Material Properties under Large Deformation: Strain Rate Effect. Proceedings of the 26th Annual International Conference of the IEEE EMBS, San Francisco, 1-5 September 2004, 2758-2761.

Cheng, C.T., Ou, C.P., Chau, K.W. (2002). ―Combining a Fuzzy Optimal Model with A Generic Algorithm to Solve Multi-Objective Rainfall-Runoff Model Calibration‖. Journal of Hydrology 268 (2002) 72-86

Gan, T.Y., Dlamini, E.M., Biftu, G.F. (1997). ―Effects of Model Complexity and Structure, Data Quality and Objective Functions on Hydrologic Modelling‖. Journal of Hydrology 192 (1997) 81-103

Jayawardena, A.W., Zhou, M.C. (2000). ―A Modified Spatial Soil Moisture Storage Capacity Distribution Curve for the Xinanjiang Model‖. Journal of Hydrology 227 (2000) 93-113

Kuok, K.K., Chan, C.P. (2012). ―Particle Swarm Optimization for Calibrating and Optimizing Xinanjiang Model Parameters‖. International Journal of Advanced Computer Science and Applications, Vol. 3, No. 9, 2012

Li, H.X., Zhang, Y.Q., Francis, H.S.C. and Xu, S.G. (2009). ―Predicting Runoff in Ungauged Catchments by Using Xinanjiang Model with MODIS Leaf Area Index‖. Journal of Hydrology 370, 155-162

Liden, R. And Harlin, J. (2000),‖Analysis of Conceptual Rainfall-Runoff Modelling Performance in Different Climates‖, Journal of Hydrology, 238, 231-247

Liu, J.T., Chen, X., Zhang, J.B., and Flury, M. (2009). ―Coupling the Xinanjiang Model to a Kinematic Flow Model Based On Digital Drainage Networks for Flood Forecasting‖. Wiley InterScience DOI: 10.1002/hyp.7255

Liu, J.T., Chen, X., Wu, J.C., Zhang, X.N., Feng, D.Z. and Xu, C.-Y. (2012). ―Grid Parameterization of a Conceptual, Distributed Hydrological Model through Integration of a Sub-Grid Topographic Index: Necessity and Practicability‖. Hydrological Sciences Journal, 57 (2), 282–297

Manfreda, S., Fiorentino, M. (2008). ―A Stochastic Approach for the Description of the Water Balance Dynamics in a River Basin‖. Hydrology and Earth System Sciences. 12, 1189-1200

Troch, P., van Loon, E., Hilberts, A. (2002). ―Analytical Solutions to a Hillslope Storage Kinematic Wave Equation for Sub-Surface Flow‖. Advances in Water Resources 25(6). DOI: 10.1016/S0309-1708(02)00017-9

World Meteorological Organization. (2009). ―Manual on Low-Flow Estimation and Prediction‖. Operational Hydrology Report No. 50. WMO-No. 1029. Koblenz, German.

Zhao, R.J., Zuang, Y.L., Fang, L.R., Liu, X.R., Zhang, Q.S. (1980). ―The Xinanjiang Model‖. Proceedings of the Oxford Symposium, IAHS – AISH Publ. no. 129

Page 36: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

16 Bandung, 12 September 2015

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

STUDI EVALUASI KUALITAS AIR SITU GEDE KOTA TANGERANG

Eka Wardhani*, Kancitra Pharmawati, dan Indra

Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Itenas

*[email protected]

Abstrak

Situ Gede merupakan salah satu situ yang berada di Kota Tangerang, Propinsi Banten. Situ ini berfungsi sebagai pengendali banjir dan juga pemasok cadangan air tanah. Seperti kebanyakan situ lainnya yang berada di Kota Tangerang, Situ Gede mengalami kerusakan berupa penurunan kualitas air, penyusutan luasan lahan dan pendangkalan yang meningkatnya aktivitas penduduk di sekitar areal sempadan situ. Langkahawal untuk melakukan konservasi situ adalah dengan melakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat kerusakan dan penyebab terjadinya pencemaran dan kerusakan pada situ ini dengan cara melakukan kaian terhadap morfologi, kualitas air, tata air, pertumbuhan gulma dan kondisi bantaran situ. Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat mengetahui akar masalah penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran terhadap situ sehingga dapat ditentukan langkah pengelolaan yang tepat untuk dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengelolaan dan pelestarian dari situ. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif berdasarkan data primer yang diperoleh melalui pengukuran dan observasi lapangan yang didukung oleh data sekunder yang berasal dari instansi terkait di Kota Tangerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Situ Gede sudah tidak memenuhi baku mutu PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air karena terdapat lima parameter yang tidak memenuhi baku mutu tersebut yaitu: Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion (Methylene Blue Active Subtance /MBAS) dengan Indeks Pencemaran (IP) mengalami penurunan dari tercemar ringan pada tahun 2009 menjadi tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. serta terjadi penyusutan luas situ dari 6,8 Ha tahun 2009 menjadi 5,4 Ha. Kondisi bantaran situ pun telah mengalami perubahan saat ini Situ Gede berada dalam penguasaan Perumahan Modern Land yang menyebabkan kondisi situ lebih terawat dibanding sebelumnya.

Kata Kunci: Evaluasi, Kerusakan, Situ Gede, Tangerang

LATAR BELAKANG Keberadaan situ sangat penting dan dibutuhkan bagi keberlangsungan tersedianya cadangan air pada musim kemarau dan sebagai kawasan resapan air sehingga diharapkan dapat meningkatkan cadangan air tanah serta mengendalikan banjir pada musim penghujan. Situ juga dapat berfungsi sebagai sumber mata pencaharian dan sebagai objek wisata bagi masyarakat. Mengingat pentingnya keberadaan situ, maka harus dilakukan upaya konservasi agar situ bisa berfungsi dengan optimal.

Jumlah situ yang berada di Kota Tangerang semula sebanyak 9 situ, saat ini yang tersisa hanya 6 buah situ, 3 situ yang telah hilang yaitu Situ Plawad, Situ Kompeni dan Situ Kambing. Ketiga situ itu telah menjadi tanah lapang dan dijadikan kawasan pemukiman penduduk. Kondisi situ yang ada telah mengalami penurunan fungsi dan menyusut misalnya Situ Cipondoh yang semula luasnya 142 Ha, saat ini telah menjadi 119,43 Ha. Demikian juga situ yang lainnya yaitu Situ Bulakan luas semula 30 hektar, menjadi 21,90 Ha, Situ Cangkring luas semula 6 Ha menjadi 5,17 Ha, Situ Gede/Besar yang luas`semula 6,8 Ha turun menjadi 5,06 Ha. Dua buah situ lainnya, yaitu Situ Bojong dan Situ Kunciran yang semula luasnya masing-masing 6 Ha dan 3 Ha, turun drastis menjadi masing-masing 0,6 Ha dan 0,3 Ha. Ini artinya hanya tinggal 10 % dari luas semula (SLH Kota Tangerang, 2011).

Page 37: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 17

Enam situ yang ada di Kota Tangerang selain mengalami penyusutan luas juga telah mengalami degradasi akibat dari penyempitan luasan/badan air situ, pendangkalan, serta alih fungsi lahan. Kondisi ini berdampak pada tidak optimalnya fungsi situ sebagai pengendali banjir, yang antara lain ditunjukan dari semakin meluasnya lokasi, tinggi dan lamanya genangan banjir yang terjadi di Kota Tangerang (SLH Kota Tangerang, 2009). Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya upaya penanganan yang serius maka kemungkinan besar Kota Tangerang akan mengalami krisis sumberdaya air dan ancaman banjir yang tak terkendali dimasa yang akan datang.

Situ Gede atau yang biasa disebut Situ Besar yang merupakan lokasi studi berada di Kelurahan Cikokol, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang merupakan salah satu situ prioritas untuk diperbaiki kondisinya. Situ ini berada di tengah kota dan merupakan situ dengan luasan sebesar 5,4 Ha. Saat ini Situ Gede berfungsi sebagai buangan limbah dari rumah tangga (pemukiman), penampungan air, budidaya ikan dan kolam pemancingan.

Penelitian ini dilakukan dengan maksud melakukan evaluasi mengenai kualitas air Situ Gede yang bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air situ terkini, mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kualitas air, mengevaluasi status mutu perairan dan tingkat kerusakannya, serta memberikan rekomendasi upaya pengelolaan dan pelestarian sebagai masukan bagi pihak yang berwenang dalam mengambil kebijakan dalam upaya pelestarian daripada Situ Gede.

Penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup sebagai berikut:

1. Data primer merupakan data yang diberoleh melalui observasi serta pengukuran lapangan mengenai kualitas air di Situ Gede yaitu: kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), pH, Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Fosfat, Nitrit, Bakteri Coliform;

2. Data sekunder yang diteliti meliputi: nama situ, alamat/wilayah administrasi, kelembagaan situ, foto, peta, jumlah penduduk sekitar situ, jenis pemanfaatan perairan situ, tipe pembentukan dan kepemilikan, fungsi situ, luas dan kedalaman situ, kondisi tata air (kondisi air, sumber air, inlet dan outlet), kondisi pencemaran, kondisi penggunaan lahan sekitar situ, situ (pendangkalan/sedimentasi, eutrofikasi, konversi lahan, kualitas air), keberadaan flora dan fauna, permasalahan serta penilaian kondisi situ (berdasarkan kriterian kerusakan situ)

METODOLOGI STUDI Penelitian ini dimulai dengan melakukan studi literatur yaitu pengumpulan teori atau pustaka yang berkaitan dengan penelitian seperti: pengertian situ, fungsi dan potensi situ, ekosistem perairan situ, klasifikasi situ, pencemaran perairan situ, eutrofikasi situ, dan gulma air yang diperoleh dari text book, karya ilmiah, dan browsing melalui media internet.

Setelah melakukan studi literatur selanjutnya dilakukan pengumpulan data sekunder berupa: nama situ, alamat/wilayah administrasi, kelembagaan situ, foto, peta, jumlah penduduk sekitar situ, jenis pemanfaatan perairan situ, tipe pembentukan dan kepemilikan, fungsi situ, luas dan kedalaman situ, kondisi tata air (kondisi air, sumber air, inlet dan outlet), kondisi pencemaran, kondisi penggunaan lahan sekitar situ, situ (pendangkalan/sedimentasi, eutrofikasi, konversi lahan, kualitas air), keberadaan flora dan fauna, permasalahan serta penilaian kondisi situ (berdasarkan kriterian kerusakan situ) sedangkan data primer yang dibutuhkan adalah kualitas air situ dan kondisi pertumbuhan gulma air.

Langkah untuk mengetahui kualitas air dari Situ Gede ini, yaitu dengan melakukan kegiatan sampling kualitas air yang dilaksanakan pada tanggal 22 Nopember 2011 terhadap lima titik sampling seperti yang disajikan pada Gambar 1. Penentuan lokasi titik sampling, pengawetan sampel, serta metode pengukuran parameter kualitas air sesuai baku mutu Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Lokasi 5 (lima) titik sampling yaitu: Titik 1 berada di dekat Apartemen Modern dengan posisi S 06°11'95.6", E. 106° 38' 26,2" Titik 2 dekat Mall Metropolis dengan posisi S 06°11'87.4" , E. 106° 38' 16,9", Titik 3

Page 38: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

18 Bandung, 12 September 2015

berada dekat STMIK Raharja yang terletak pada posisi LS. 06° 11‘ 73,6‖ BT. 106° 38‘03,3‖, Titik berada dekat Restoran Telaga Modern yang terletak pada posisi LS. 06° 11‘ 93,5‖ BT. 106° 38‘19,8, dan Titik 6 berada pada bagian Tengah Situ Gede yang terletak pada posisi S. 06° 12‘ 014‖ E. 106° 38‘ 24,5‖, penentuan titik sampling berdasarkan lokasi pengukuran rutin oleh BPLH Kota Tangerang.

Parameter air yang dianalisis merupakan parameter yang dianggap mewakili atau menggambarkan kondisi kualitas air Situ Gede, diantaranya adalah; suhu, kekeruhan, derajat keasaman (pH), residu tersuspensi (TSS), oksigen terlarut (DO), Chemical oxygen demand (COD), Biological oxygen demand (BOD), Nitrit (NO2

-), Ortofosfat (PO4-), Bakteri Coli dan Colifecal. Adapun titik pengambilan sampel

ditentukan dengan cara melihat bagian dari situ yang banyak ditempati penduduk atau pada bagian yang paling banyak menerima pencemar yang berasal dari luar situ seperti pemukiman, pertanian dan hotel, serta lokasi kegiatan keramba jaring apung (Purposive Sampling). Penentuan titik-titik pengambilan contoh air di situ dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel air diduga sebagai aliran limbah dari berbagai kegiatan aktivitas penduduk yang mengalir ke perairan situ.

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel

Sampel air diambil dengan menggunakan botol kaca yang sudah dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu. Parameter DO, pH dan suhu langsung diukur ditempat dengan menggunakan alat masing masing DO meter, pH meter, dan Thermometer. Sedangkan parameter yang harus diukur di laboratorium di awetkan dengan cara didinginkan dengan menggunakan es batu dan disimpan dalam kotak pendingin (Cooler Box). Khusus untuk parameter COD sampel air sebelumnya ditambahkan asam H2SO4 sehingga pH menjadi 2 lalu disimpan dalam kotak pendingin. Tabel 1 menjabarkan metoda pengujian kualitas air di laboratorium Teknik Lingkungan Itenas.

Data mengenai kedalaman dan luasan situ diperoleh dari instansi terkait di Kota Tangerang yaitu Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cisadane-Ciliwung serta Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Tangerang, sedangkan luasan tutupan gulma air diperoleh adalah dengan cara melihat persentase penutupan gulma terhadap luasan situ.

Page 39: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 19

Tabel 1. Metoda Pengujian Kualitas Air

Parameter Satuan Baku Mutu Acuan Pengawetan Metoda Uji

FISIKA

Suhu (in situ) oC Deviasi 3 SNI 06-

6989.3:2009 In situ Thermometri

Kekeruhan NTU 5 SNI 06-

6989.:2009 Dinginkan

2oC Turbidimetri

TSS mg/L 50 SNI 06-6989.13-

2004 Dinginkan

2oC Gravimetri

pH (in situ) 6--9 SNI 06-

6989.8:2009 In situ Potensiometri

KIMIA ANORGANIK

DO (in situ) mg/L 4 SNI 06-

6989.4:2009 In situ Potensiometri

BOD5 mg/L 3 SNI

6989.72:2009 Dinginkan

2oC Titrimetri

COD mg/L 25 SNI

6989.2:2009 Dinginkan

2oC Titrimetri

Fosfat mg/L 0,2 SM 4500 - P.D Dinginkan

2oC Fotometri

Nitrit mg/L 0,06 SNI 06-6989.9-

2004 Dinginkan

2oC Fotometri

MIKROBIOLOGI

Coliform jumlah/100mL 5000 SM 9221 B Dinginkan 2oC

Pengenceran/tabung fermentasi

E.Coli jumlah/100mL 1000 SM 9221 E Dinginkan 2oC

Pengenceran/tabung fermentasi

Metode penilaian kerusakan ekosistem situ ini menggunakan acuan kriteria penilaian kualitas situ berdasarkan data ekosistem situ antara lain: morfologi situ, kualitas air situ, tata air situ, pertumbuhan gulma air, dan kondisi bantaran situ. Penilaian status mutu air menggunakan metoda Indeks Pencemaran (IP) air yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.115 Tahun 2003. Metoda IP ini berfungsi untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu badan air. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar.

Perhitungan Metode Indeks Pencemaran Air menggunakan rumusan seperti yang dijelaskan pada uraian berikut:

1. Pilih parameter–parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik

Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang

Hitung harga Cij/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan

Untuk parameter yang jika nilai konsentrasinya menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO. Maka:

Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, nilai Cim merupakan nilai DO jenuh).

Nilai Cij/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Cij/Lij hasil perhitungan, yaitu :

Jika nilai baku Lij memiliki rentang, maka :

ijim

iim

baruijiLC

CCLC

pengukuran hasil

Page 40: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

20 Bandung, 12 September 2015

Untuk C1/L1j ≤ rata – rata

Untuk C1/L1j > rata – rata

Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan niali acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. maka tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan

Cara mengatasi kesulitan no.e yaitu:

a. Jika (C1/L1j)hasil pengukuran < 1,0 maka gunakan nilai (C1/L1j)hasil pengukuran

b. Jika C1/L1j)hasil pengukuran > 1,0 maka gunakan nilai (C1/L1j)baru , dimana:

c. (C1/L1j)baru = 1,0 + P.Log (C1/L1j)hasil pengukuran

Tentukan nilai rata – rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij

Tentukan harga PIj

Tabel 2. Evaluasi Nilai PI

Nilai PI Status Mutu Air

0 ≤ PIj ≤ 1,0 memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < PIj ≤ 5,0 cemar ringan

5,0 < PIj ≤ 10 cemar sedang

PIj > 10 cemar berat

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Situ Rawa Besar (Situ Gede), mempunyai luas 5,4 Ha, berada di Kelurahan Kelapa Dua, Cikokol, Sukasari, Kota Tangerang. Berdasarkan pengamatan makro pada tanggal 22 November 2011 kondisi situ pada saat dilakukan observasi yaitu: situ terawat, bersih, tumbuhan Eceng gondok dan sampah selalu dibersihkan. Terdapat khusus lokasi pemancingan yang dikelola oleh perseorangan, daerah pemancingan tersebut dipisahkan oleh jaring yang membelah situ. Situ terbagi dua, Situ Gede ukuran lebih luas dan Situ yang masuk ke wilayah perumahan Modernland. Ketika dilakukan pemantauan fauna yang berada di situ tersebut banyak terdapat ikan khususnya ikan Mujair, Patin, Gabus, Bawal, Ikan Mas, dan sapu-sapu selain itu banyak juga Keong Mas. Di daerah sempadan banyak ditumbuhi oleh vegetasi Sengon/Albisiah.

Di tepi situ terpampang papan nama, Pemerintah Provinsi Banten, Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman, tertulis Undang-undang No. 7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air Pasal 21, Ayat 1. Selain itu Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, juga Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993, tentang garis Sempadan Sungai, daerah manfaat sungai, daerah pengusaan sungai dan bekas sungai. Situ Gede tidak memiliki status kepemilikan lahan yang jelas. Secara yuridis pengelolaan Situ Gede merupakan wewenang dari pemerintah Kota Tangerang, akan tetapi pemilik Kawasan Modernland mengaku memiliki wewenang terhadap lahan dan pengelolaan daripada situ ini. Sekarang Situ Gede dikelola dan digarap oleh penggarap liar yang tidak memiliki status resmi atas kepemilikan situ ini. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan dari situ ini merupakan masalah bagi aparat pemerintah daerah yang seharusnya memiliki wewenang terhadap upaya pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian daripada Situ Gede.

ratarataijimumij

ratarataiji

baruijiLL

LCLC

min

ratarataijmaksimumij

ratarataiji

baruijiLL

LCLC

2

22

RijiMiji

j

LCLCPI

Page 41: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 21

Morfologi Situ

Morfologi situ adalah bentuk fisik dari situ yang terdiri dari luasan dan kedalaman dari situ. Situ Gede berdasarkan data pada tahun 2005 memiliki luas 6,8 ha dengan rata-rata kedalaman 1 meter pada pinggir situ dan yang paling dalam berada di tengah situ yaitu hingga 3 meter. Namun pengukuran pada tahun 2009 telah terjadi penyusutan luasan situ sebesar 25% dari luas awalnya, hingga saat ini luasan situ gede hanya sebesar 5,4 ha dengan kedalaman rata-rata sekitar 60 cm pada pinggiran situ hingga 2 meter pada bagian tengah (SLH Kota Tangerang, 2011). Penyusutan luasan Situ Gede diakibatkan oleh pembangunan yang terjadi di sekitar areal bantaran situ. Sedangkan pendangkalan diakibatkan oleh sampah dan limbah rumah tangga yang masuk ke dalam situ selain itu terjadi pula sedimentasi akibat air hujan yang masuk membawa sedimen yang berasal dari bantaran situ. Penyusutan luasan situ ini berdampak buruk bagi wilayah sekitar situ, dengan menyusutnya luasan situ maka akan mengurangi kemampuan penampungan volume air sehingga dapat menyebabkan meluapnya air ke areal sempadan situ pada musim penghujan.

Kondisi Bantaran Situ Gede

Bantaran situ adalah suatu area yang berkontribusi dalam pergerakan air yang masuk ke dalam situ, sehingga area tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk rupa permukaan lahan dari area sekitar situ. Area sebelah selatan dari Situ Gede lebih tinggi daripada sebelah utara, sehingga pergerakan air adalah dari selatan ke Utara. Letak Situ Gede berada di tengah Kota Tangerang dengan tutupan lahan yang tinggi diapit oleh Perumahan, Pertokoan, Jalan Raya, Mall, Pabrik dan Sarana Pendidikan seperti yang terlihat pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Hal ini akan mempengaruhi debit limpasan air hujan yang mengalir, akibatnya adalah debit limpasan air hujan akan menjadi tidak terkendali dan meluap ke areal sempadan situ sehingga dapat menyebabkan banjir. Hal ini tentu saja akan menyebabkan masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar bantaran situ. Situ Gede berada diantara tiga kelurahan yaitu Kelurahan Cikokol, Kelurahan Kelapa Indah dan Kelurahan Babakan. Kondisi tutupan lahan yang berada di tiga kelurahan tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi Tutupan Lahan Kelurahan Sekitar Bantaran Situ Gede

Kelurahan Kondisi Tutupan Lahan

Cikokol Pabrik PT.Kumatex, Jalan Raya Cikokol, Terminal Cikokol, Pasar Cikokol, Carefour

Kelapa Indah Metropolis Town Square, Kawasan Modernland, Perumahan Pulau Putri, STMIK Raharja.

Babakan Perumahan Babakan, Perumahan Babakan Bintang.

Gambar 2. Lokasi Situ Gede Yang Diapit Oleh Mall

Page 42: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

22 Bandung, 12 September 2015

Gambar 3. Lokasi Situ Gede Yang Diapit Oleh Pabrik

Gambar 4. Lokasi Situ Gede Yang Diapit Oleh Sarana Pendidikan

Tata Air Situ Gede

Situ Gede merupakan situ alami dengan sumber air utama berasal dari mata air bawah tanah yang berasal dari bagian Timur situ tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 6. Sumber air Situ Gede lainnya berasal dari limpasan air hujan, air tanah dan air buangan yang berasal dari aktivitas domestik sekitar bantaran situ seperti yang disajikan pada Gambar 7. Di sebelah utara situ terdapat saluran kecil yang berfungsi untuk mengalirkan air situ keluar menuju saluran utama Sungai Cisadane pada saat musim penghujan dimana volume air meningkat. Saluran ini dilengkapi dengan pintu air 3 x 5 meter yang hanya dibuka pada saat debit air tinggi seperti disajikan pada Gambar 8.

Gambar 5. Lokasi Mata Air Bawah Tanah Situ Gede

Page 43: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 23

Gambar 6. Saluran Masuk/Inlet Limbah Rumah Tangga Ke Situ Gede

Gambar 7. Saluran Keluar/Outlet Situ Gede

Kualitas Air Situ

Pengukuran kualitas air yang telah dilakukan pada tanggal 22 Nopember 2011 terhadap 5 (lima) titik sampling yaitu: Titik 1 berada di dekat Apartemen Modern dengan posisi S 06°11'95.6", E. 106° 38' 26,2" Titik 2 dekat Mall Metropolis dengan posisi S 06°11'87.4" , E. 106° 38' 16,9", Titik 3 berada dekat STMIK Raharja yang terletak pada posisi LS. 06° 11‘ 73,6‖ BT. 106° 38‘03,3‖, Titik berada dekat Restoran Telaga Modern yang terletak pada posisi LS. 06° 11‘ 93,5‖ BT. 106° 38‘19,8, dan Titik 6 berada pada bagian Tengah Situ Gede yang terletak pada posisi S 06° 12‘ 014‖ E. 106° 38‘ 24,5‖. Penentuan titik sampling berdasarkan lokasi pengukuran rutin oleh BPLH Kota Tangerang.

Berdasarkan data hasil pengukuran terhadap lima titik tersebut dari 32 parameter yang dianalisis terdapat lima parameter yang melebihi baku mutu PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air golongan II peruntukan air baku air minum. Parameter yang melebihi baku mutu tersebut: Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion (Methylene Blue Active Subtance /MBAS).

COD, BOD5, dan DO

Parameter COD dalam air menyatakan jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang susah didegradasi. Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organik dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam, diperkirakan 95%-100% bahan organik dapat dioksidasi. Seperti pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (UNESCO,WHO/UNEP, 1992). Berdasarkan hasil pengukuran COD di Situ Gede seperti yang disajikan pada Gambar 9 di lima titik pengamatan tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 25 mg/L.

Page 44: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

24 Bandung, 12 September 2015

Gambar 8. Konsentrasi COD di Situ Gede Kota Tangerang

Tingginya nilai BOD5 dan COD mengindikasikan bahwa perairan Situ Gede ini sudah tercemar oleh limbah bahan organik. Limbah organik ini kemungkinan berasal dari kegiatan disekitar bantaran situ yang membuang limbahnya ke situ seperti kegiatan perkantoran,budiidaya perikanan dan limbah yang berasal dari rumah tangga yang masuk kebadan air mengkontribusi tingginya nilai BOD5 dan COD tersebut.

Gambar 9. Konsentrasi BOD5 di Situ Gede Kota Tangerang

BOD5 adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk mendegradasi materi buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air secara biokimia. Semakin besar kadar BOD5 dalam air merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar, sebagai contoh adalah kadar maksimum BOD5 yang diperkenankan untuk kepentingan air minum dan menopang kehidupan organisme akuatik adalah 3,0–6,0 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992). Berdasarkan Gambar 12 nilai BOD5 jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu 3 mg/L, dimana nilai BOD tertinggi terdapat pada titik Tengah yaitu sebesar 10 mg/L.

Page 45: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 25

Gambar 10. Konsentrasi DO di Situ Gede Kota Tangerang

Kandungan Oksigen Terlarut (DO) di empat titik pantau telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu lebih besar dari 4 mg/L hanya di titik tengah danau yang konsentrasi DO tidak memenuhi baku mutu yaitu sebesar 3,6 mg/L lebih kecil dari baku mutu yang ditetapkan.Tanpa adanya oksigen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organik dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada suhu dan tekanan atmosfir. Suhu dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25o C dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985).

Total Fosfat dan Surfaktan

Fosfat terdapat dalam air alam sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam situ melalui drainase dan aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki situ melaui air buangan penduduk dan industri yang menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti industri pencucian, industri logam dan sebagainya.

Gambar 11. Konsentrasi Fosfat Total di Situ Gede Kota Tangerang

Page 46: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

26 Bandung, 12 September 2015

Fosfatorganis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan. Fosfat organis dapat pula terjadi dari ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis karena baik bakteri maupun tanaman menyerap fosfat untuk pertumbuhannya. Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem perairan.

Berdasarkan hasil pengukuran kandungan Total Fosfat diseluruh lokasi pemantauan tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Kandungan fosfat yang tinggi di badan air menyebabkan nutrisi perairan menjadi subur dan memicu terjadinya algae blooming dan Eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Berdasarkan pengamatan di lapangan kandungan Fosfat yang tinggi di Situ Gede berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), industri, detergen, pupuk pertanian, dan dari limbah manusia, karena Situ Gede berada di tengah-tengah pemukiman.

Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik. Ia memiliki rantai kimia yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Sesuai namanya, surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan air untuk mengangkat kotoran (emulsifier, bahan pengemulsi). Pada mulanya surfaktan hanya digunakan sebagai bahan utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain. Dengan makin luasnya pemakaian surfaktan sebagai bahan utama pembersih maka risiko bagi kesehatan dan lingkungan pun makin rentan.

Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi Surfaktan anion MBAS di semua titik pemantauan tidak sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan sebesar 0,2 mg/L seperti yang disajikan pada Gambar 13. Konsentrasi Total Fosfat dan Surfaktan yang tidak memenuhi baku mutu menunjukkan bahwa Situ Gede telah menerima pencemaran limbah domestik yang cukup besar

Gambar 12. Konsentrasi Surfaktan Anion (MBAS) di Situ Gede Kota Tangerang

Perhitungan Indeks Pencemaran

Indeks Pencemaran Air (Water Pollution Index) digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar (KEPMEN LH 115, 2003).

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran Air Situ Gede terhadap lima titik pengujian sampel air, maka perairan Situ Gede masuk kedalam kategori Tercemar Sedang untuk baku mutu air Golongan II

Page 47: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 27

berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran seperti disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4 bahwa terjadi penurunan status kualitas air Situ Gede pada tahun 2011 dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya pada tahun 2009 dimana kategori pencemaran Situ Gede berada dalam kategori tercemar ringan dengan rentang nilai 3,13-4,46, sedangkan pada pengukuran tahun 2011 indeks pencemarannya adalah tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. Hal ini tentu saja menandakan bahwa dibandingkan dengan tahun 2009 Situ Gede mengalami penurunan kualitas sehingga harus dilakukan upaya perlindungan dari pencemaran air terhadap situ ini.

Tabel 4. Perbandingan Indeks Pencemaran Tahun 2011 dan 2009

(Sumber: Hasil Analisa Tahun 2011 *) Pengolahan Data SLH Kota Tangerang Tahun 2009)

Titik Sampling 2011 2009*

Indeks Pencemaran Status Pencemaran Indeks Pencemaran Status Pencemaran

1 6,45 Tercemar Sedang 3,13 Tercemar Ringan 2 6,32 Tercemar Sedang 4,17 Tercemar Ringan 3 6,01 Tercemar Sedang 4,46 Tercemar Ringan

4 6,96 Tercemar Sedang 3.02 Tercemar Ringan

5 7,45 Tercemar Sedang 3.55 Tercemar Ringan

Berdasarkan hasil analisa tahun 2011 indeks pencemar tertinggi berada di titik pemantauan 5 yaitu di tengah Situ Gede sedangkan terendah berada di titik pemantauan 3 yaitu di dekat STMIK Raharja.

Gambar 13. Perbandingan Indeks Pencemaran di Situ Gede Tahun 2009 dan Tahun 2011

Pertumbuhan Gulma Air Situ Gede

Perairan Situ Gede terbilang cukup bersih dari gangguan gulma air, tidak seperti situ yang lainnya yang terdapat di Kota Tangerang. Sedikitnya hanya ditemukan tanaman kangkung liar (Ipomoea aquatica) tumbuh di pinggir perairan situ sebelah barat. Terdapat beberapa tanaman enceng gondok yang terlihat di sekitar keramba jaring apung milik warga setempat akan tetapi jumlahnya tidak banyak. Warga yang

0

2

4

6

8

Ind

eks

2011 6.45 6.32 6.01 6.96 5.45

2009 3.13 4.14 4.46 3.02 3.55

SP

Apartemen

Mall

Metropolis

STMIK

Raharja

RM Telaga

ModernTengah

Page 48: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

28 Bandung, 12 September 2015

mengurus situ ini terlihat cukup merawat situ ini dari gangguan gulma air. Tanaman enceng gondok (Eichornia crassipes) yang terlihat tumbuh dibersihkan secara manual oleh pengelola pada waktu tertentu. Oleh karena itu jika dilihat secara kasat mata persentase penutupan gulma terhadap badan air Situ Gede dapat dikatakan kurang dari 15 % seperti yang disajikan pada Gambar 15.

Gambar 14. Gulma Perairan Situ Gede

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Kualitas air Situ Gede di Kota Tangerang berdasarkan hasil penelitian sudah tidak memenuhi baku mutu PP No 82 Tahun 2001 karena terdapat lima parameter yang melebihi baku mutu PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air golongan II peruntukan air baku air minum. Parameter yang melebihi baku mutu tersebut: Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion (Methylene Blue Active Subtance /MBAS) dengan Indeks Pencemaran (IP) mengalami penurunan dari tercemar ringan pada tahun 2009 menjadi tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. serta terjadi penyusutan luas situ dari 6,8 Ha tahun 2009 menjadi 5,4 Ha. Perubahan kualitas air situ tersebut disebabkan karena meningkatnya jumlah pencemar yang masuk ke Situ Gede yang berasal dari aktivitas di sempadan situ berupa pemukiman, perkantoran, dan industri. Perubahan kualitas air ini harus menjadi perhatian mengingat jika terus dibiarkan akan menyebabkan proses pendangkalan situ akan terus terjadi.

Rekomendasi

Penelitian akan lebih baik dan sempurna jika dilakukan pengamatan bathimetri dan perhitungan laju sedimentasi untuk mengetahui penyusutan luasan situ yang lebih tepat.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada BPLH Kota tangerang yang telah mendukung penelitian ini beserta kepada semua pihak yang telah membantu selesainya tulisan ini.

REFERENSI

Anonim 2009., Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Tangerang Tahun 2009., Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Tangerang, Indonesia.

Anonim 2001., Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001,‖ Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air‖. Pemerintah Republik Indonesia.

Page 49: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 29

Anonim 2003. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003,‖ Pedoman Penentuan Status Mutu Air‖, Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, Indonesia.

Anonim 2005., Dinas Pengairan. Metode Pengambilan Sampel Air Permukaan SNI 6989.57. 2008. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum

Anonim 2009., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau waduk. Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Anonim. 2012. Potensi Air Tawar. Diakses tanggal 8 Oktober 2012 dari http://id.wikipedia.org

Carlson RE., & Simpson, J. 2013. A Coordinator‘s Guide to Volunteer Lake Monitoring Methods. North American Lake Management Society

Departemen Sumberdaya Air. 2012. Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Gunatilaka W.M.P, Wijayeratne S.C. 2009. A Study of Water Quality of Bolgoda Northlake. Vidyodaya Journal of Science Vol.14(2):113-133. Srilanka: Srilanka Journals Online

Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Disertasi. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wijana, I.N. 2008. Penentuan Kualitas Air Danau Batur Melalui IndeksPencemaran Biologis. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains Humaniora Vol.10(2): 236-241

Wikipedia. Situ Gede. http://id.wikipedia.org/wiki/Situ Gede (diakses tanggal 07 Mei 2014)

Page 50: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

30 Bandung, 12 September 2015

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

KORELASI ANTARA SUBSIDEN – AIR TANAH – EMISI KARBON LAHAN RAWA GAMBUT

L. Budi Triadi*, Maruddin F. Marpaung

Balai Rawa – Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Jalan Gatot Subroto No. 6, Banjarmasin. Telpon/Fax: (0511) 3256623

*Email: [email protected]

Abstrak

Dalam beberapa dekade terakhir ini hutan di lahan gambut mulai dieksploitasi melalui deforestrasi, didrainase dan dikeringkan untuk pengembangan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian dan penebangan kayu. Sebagai akibat dari drainase yang berlebihan terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai menipis melalui proses subsiden. Drainase mengubah suasana anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik menghasilkan emisi CO2. Dalam tulisan ini dilakukan analisis hubungan antara parameter subsiden – air tanah – emisi karbon dengan metode GIS yang bertujuan untuk mendapatkan korelasi dari ketiga parameter tersebut dan mendapatkan gambaran dari kondisi eksisting serta kondisi setelah terjadi kenaikan muka air tanah akibat intervensi hidraulik (canal blocking) dengan mengambil studi kasus di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya emisi karbon untuk kandungan karbon 50 % pada musim kemarau sebesar 3,2375 Mton dan pada musim hujan sebesar 2,1338 Mton, selanjutnya untuk kandungan karbon 55 % pada musim kemarau sebesar 3,5612 Mton dan musim hujan 2,3472 Mton. Sementara itu diperoleh subsidence rate tanpa perlakuan apapun pada musim kemarau besarnya 3,71 cm/tahun dan pada musim hujan sebesar 2,95 cm/tahun. Sedangkan subsidence rate setelah adanya canal blocking pada musim kemarau sebesar 2,61 cm/ tahun dan pada musim hujan sebesar 2,23 cm/tahun. Simpulan utama dari penelitian ini adalah besaran emisi karbon dan subsiden gambut akan semakin kecil bila muka air tanah semakin tinggi. Sementara manfaat yang diperoleh adalah kerusakan lahan gambut dapat dikurangi dengan menaikkan muka air tanah melalui pengaturan tata air.

Kata Kunci : Gambut, Subsiden, Air Tanah, Emisi Karbon

LATAR BELAKANG Kubah gambut umumnya terbentuk dari penumpukan bahan organik selama ribuan tahun diantara dua sungai utama. Dalam kondisi alami, air tanah mendekati permukaan sehingga lingkungan kubah gambut secara alami dalam kondisi anaerobic. Dalam kondisi anaerobik proses dekomposisi bahan organic sangat terbatas, dan demikian pula emisi CO2 sangat terbatas. Dalam beberapa dekade terakhir ini hutan di lahan gambut mulai dieksploitasi melalui deforestrasi, didrainase dan dikeringkan untuk pengembangan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian dan penebangan kayu. Sebagai akibat dari drainase yang berlebihan terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai menipis melalui proses subsiden. Drainase mengubah suasana anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik menghasilkan emisi CO2. Apabila drainase dilanjutkan dengan memperdalam saluran mengakibatkan proses subsiden, kekeringan dan bahaya kebakaran, serta emisi karbon akan semakin meningkat. Demikian juga fungsi lahan gambut sebagai penahan air akan semakin berkurang yang akan meningkatkan bahaya banjir pada muara sungai. Dalam jangka waktu beberapa puluh tahun seluruh kubah gambut akan hilang, dan seluruh karbon dari lahan gambut teremisi ke atmosfer.

Page 51: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 31

Lokasi penelitian adalah Desa Sei Ahas, Blok A, Eks lahan PLG, Propinsi Kalimantan Tengah dengan luasan area sebesar ± 28,6 km2 or 28.600 hektar. Desa Sei Ahas terletak sejauh ± 160 km (mengikuti alur sungai Kapuas) dari muara sungai Kapuas. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lihat Gambar 1. Sei Ahas terletak di tepi sungai Kapuas dan merupakan areal gambut dangkal dengan kedalaman ± 3 meter. Areal ini dipilih karena merupakan batas dari gambut dalam sehingga dengan mengendalikan muka air tanah di areal ini

berarti juga mengendalikan muka air tanah dilahan gambut dalam. Di samping itu kawasan ini merupakan kawasan budidaya terbatas yang diupayakan oleh pemerintah sebagai kawasan yang diijinkan untuk dibudidayakan secara terbatas dengan tanaman yang sesuai dengan lahan gambut dangkal.

Gambar 1. Lokasi Studi Sei Ahas, Kalimantan Tengah

(Sumber, KFCP-2009)

Masalah yang dihadapi di kawasan ini adalah lahan gambut yang telah mengalami degradasi akibat pembuatan saluran-saluran besar dan rapat sehingga mengakibatkan drainase berlebih pada periode Proyek Lahan Gambut sejuta hektar (lihat Gambar 2). Saat ini permukaan gambut telah mengalami penurunan seiring dengan turunnya permukaan air tanah, akibatnya kerap terjadi banjir dan genangan pada musim hujan dan lahan menjadi tidak produktif.

Gambar 2. Lahan Gambut Sei Ahas yang Terdegradasi

Analisis korelasi antar parameter penurunan gambut – kedalaman air tanah – emisi karbon ini mempunyai sasaran untuk mendapatkan korelasi dari ketiga parameter tersebut di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah dengan tujuan untuk memperoleh mendapatkan gambaran dari kondisi eksisting dan kondisi setelah terjadi kenaikan muka air tanah akibat intervensi hidraulik (canal blocking) yang dilakukan. Dengan demikian sekaligus memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dan para pemangku kepentingan

Page 52: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

32 Bandung, 12 September 2015

yang lain perihal besaran emisi karbon yang dapat ditekan sehubungan dengan rencana pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 % pada tahun 2020 dari BAU (business as usual).

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah GIS (Global Information System) dengan perangkat lunak Arc GIS 9.3. serta penggunaan rumus dasar empiris linear yang menghubungkan antara tingkat penurunan permukaan lahan gambut dengan tinggi muka air tanah rata-rata baik untuk lahan hutan alami dan lahan perkebunan Akasia (Hooijer et al., 2012a).

Penelitian ini dibatasi pada gambut dangkal dengan kedalaman ± 3 meter di kawasan budi daya terbatas. Subsiden dan emisi karbon dihitung berdaarkan metode empiris dan beberpa asumsi sebagai berikut : Kondisi lahan adalah hutan alami dan perkebunan akasia ; Bulk Density didasarkan pada nilai yang berlaku umum atau standar; nilai oksidasi diambil berdasarkan ketentuan umum, yaitu 90 % ; nilai kandungan karbon di gambut dangkal juga diambil dari ketentuan yang berlaku umum, yaitu 50% dan 55% (Dommain et al. 2011, Page et al. 2011b, Warren et al. 2012, Couwenberg, J., and Hooijer, A. 2013); kenaikan muka air tanah akibat pembangunan canal blocking diambil 50 %; batas dranase dianggap mempunyai kemiringan 20 cm/km.

STUDI PUSTAKA Dari studi pustaka diperoleh hubungan antara kedalaman air tanah dan emisi karbon, CO2 yaitu: pertama adalah studi pemantauan emisi gas CO2 dalam hubungannya dengan kedalaman air (Murayama and Bakar, 1996; Jauhiainen et al., 2004; Melling et al., 2005; Ali dkk, 2006). Yang kedua adalah pemantauan jangka panjang penurunan gambut di lahan gambut yang kering dikombinasikan dengan kandungan karbon gambut dan pengukuran bobot isi (bulk density) untuk memisahkan kontribusi pemadatan dari tingkat penurunan total yang sisanya disebabkan oleh emisi CO2 (W. Osten et al., 1997; W Osten and Ritzema, 2001). Analisis ini menghasilkan hubungan regresi sebagai berikut di Gambar 3:

Gambar 3. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah di lahan gambut dan emisi CO2 yang disebabkan oleh dekomposisi gambut

Selanjutnya hubungan antara kehilangan karbon dan muka air tanah rerata pada lahan gambut tropis, setelah drainase lebih dari 5 tahun disajikan pada Gambar 4 (Hooijer et al., 2012a), dimana hubungan Florida Everglades dihitung dari data Stephens and Speir (1969), yang juga digunakan dalam perhitungan Wösten and Ritzema (2001). Hubungan yang diperoleh Hooijer et al. (2006, 2010) dan Couwenberg et al. (2010) sebagian didasarkan pada sumber literatur yang berbeda. Hubungan yang didapatkan oleh Jauhiainen et al. (2012) didasarkan pada pengukuran CO2 flux harian di lahan perkebunan Akasia yang sama yang dilakukan oleh Hooijer et al (2012a).

Page 53: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 33

Gambar 4. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah rerata di lahan gambut dan kehilangan CO2

Simpanan karbon di lahan gambut akan stabil jika lahan gambut tidak dikeringkan melalui proses drainase. Dalam hal ini, mengendalikan air tanah adalah kunci utama agar karbon tidak dilepaskan ke udara.

Selain itu, laju penurunan/subsiden pada lahan gambut mempunyai hubungan regresi linier dengan kedalaman muka air tanah rerata. Hubungan antara keduanya pada lahan perkebunan Akasia setelah drainase 6 tahun atau lebih disajikan pada Gambar 5. Semakin rendah muka air tanah akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat penurunan tanah (Hooijer et al., 2012b). Menurut penelitian oleh Hooijer et al. (2012a), pada kedalaman air tanah rerata 0,7 m, "perkebunan akasia" dan "hutan alam" memiliki laju subsiden yang sama (Gambar 5) dan garis linear "perkebunan akasia" dapat digunakan untuk lahan gambut alami yang terdrainase. Nilai rerata ini, saat ini merupakan ketentuan yang relatif cukup baik untuk mengelola perkebunan di Indonesia (Hooijer et al., 2012b)

Gambar 5. Hubungan antara Subsiden dan Kedalaman Muka Air Tanah Rerata

Gambar 4 di atas juga menunjukkan dampak dari penggunaan lahan terhadap laju subsiden, diman laju subsiden lahan pertanian lebih tinggi dari pada hutan alami. Tidak seluruh volume gambut akan teroksidasi, sebagian besar gambut akan tersimpan sebagai karbon pada gambut yang terendam air tanah atau gambut yang berada di bawah batas drainase dengan kemiringan 20 cm/km dari muka air di sungai (Hooijer, et al, 2012b).

Page 54: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

34 Bandung, 12 September 2015

METODOLOGI STUDI

Perhitungan volume gambut

Data awal yang digunakan adalah peta elevasi (peta yang dihasilkan dari LIDAR pengindraan dengan menggunakan teknologi laser) lokasi studi Sei Ahas yang sudah dilengkapi dengan layout saluran dengan detail elevasi permukaan lahan dan elevasi air pada saluran. Peta ini ditampilkan dalam bentuk raster dengan resolusi 10 m (KFCP, processed by Deltares) sebagai layer pertama dalam pemodelan yang menggunakan perangkat lunak Arc GIS 9.3.

Data kedua yang digunakan adalah data sebaran kedalaman gambut ( CKPP, 2005-2010, KFCP, 2014, Balai Rawa-Puslitbang SDA, 2012) yang diperoleh dari pengukuran lapangan (bor tangan) dan selanjutnya dimodelkan dalam bentuk shape file (format titik coklat pada Gambar 6) pada lokasi yang sama. Peta kedalaman gambut ini kemudian dikonversi menjadi peta kontur sebaran ketebalan gambut (data raster). Tahap selanjutnya peta elevasi dikombinasikan dengan peta kontur sebaran kedalaman gambut dengan cara interpolasi data raster dengan menggunakan raster calculation (peta elevasi dikurangi dengan peta sebaran kedalaman data gambut) untuk menghasilkan peta elevasi dasar gambut (lihat Gambar 6). Peta elevasi kemudian dikurangkan dengan peta elevasi dasar gambut, untuk menentukan ketebalan gambut. Volume gambut diperoleh setelah ketebalan gambut dikalikan resolusi raster sebesar 10 x 10.

Selanjutnya peta elevasi di atas dikurangkan dengan peta elevasi permukaan air tanah, sehingga diperoleh ketebalan gambut yang dapat terkosidasi (gambut yang berada di atas permukaan air tanah). Permukaan air tanah pada lahan gambut sangat bervariasi, pada musim hujan lebih tinggi dibanding dengan musim kering. Selain itu, kondisi tinggi muka air saluran juga berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah. Dalam penelitian ini digunakan tinggi muka air tanah rerata berdasarkan pengukuran lapangan (tahun 2012 dan 2013) yang dibagi dalam 2 (dua) musim yaitu musim kemarau (44 cm) dan musim hujan (29 cm ) untuk menentukan hubungan antara tinggi muka air tanah dengan tingkat penurunan permukaan lahan gambut. Kemudian ketebalan gambut yang dapat teroksidasi dikalikan dengan resolusi 10 m x 10 m sehingga diperoleh jumlah volume gambut yang dapat teriksodasi. Volume gambut yang dapat teroksidasi ini selanjutnya dikali dengan nilai persen oksidasi, yaitu diambil 90% (Hooijer et al., 2012) untuk memisahkan dari nilai kompaksi (murni teroksidasi).

Simpanan karbon

Volume gambut kering diperoleh dengan mengalikan volume gambut yang murni teroksidasi ini dengan nilai Bulk Density. Perhitungan jumlah simpanan karbon yang ada dari total berat kering gambut dapat diketahui dengan mengalikan peta volume gambut yang murni dapat teroksidasi dengan faktor 50% dan faktor 55% kandungan karbon (Hooijer et al., 2012a).

Emisi karbon

Selanjutnya simpanan karbon dapat diubah menjadi emisi CO2 ekivalen dengan mengalikan angka simpanan karbon dengan faktor 3,66.

Page 55: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 35

Interpolasi dari Point Shape File menjadi Peta Kontur Ketabalan Gambut

Data Point Shape File Sebaran

Ketebalan Gambut

Peta Kontur Ketebalan Gambut

Peta Elevasi Sei. Ahas (PETA LIDAR)

Peta Elevasi Dasar Gambut (Peat Bottom Map)

Raster Calculation (Peta LIDAR – Peta Kontur Ketebalan Gambut)

Gambar 6. Proses Analisa untuk memperoleh Peta Elevasi Dasar Gambut

Penurunan gambut dan laju emisi karbon

Skenario dari perhitungan kecepatan penurunan gambut, waktu penurunan gambut dan laju emisi karbon dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kondisi tidak ada canal blocking;

2. Kondisi ada canal blocking

Selanjutnya metode perhitungan yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut:

Kecepatan penurunan gambut (subsidence rate) (Hooijer et al., 2012a):

(1)

Dimana: WD = Water Depth average (WD) sebesar 44 cm (musim kemarau) dan 29 cm (musim hujan)

Selanjutnya waktu penurunan gambut yang dibutuhkan diketahui dari ketebalan gambut rerata pada ketinggian muka air tanah tertentu dibagi dengan nilai subsidence rate:

(2)

Sementara itu laju emisi karbon dapat dihitung dengan cara membagi emisi karbon dengan waktu penurunan gambut, sebagai berikut:

(3)

Pada kondisi ada canal blocking, diambil nilai WD yang tereduksi sebesar 50%, yaitu 22 cm pada musim kemarau dan 14.5 cm pada musim hujan.

Page 56: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

36 Bandung, 12 September 2015

HIPOTESIS

Besaran dan durasi subsiden serta jumlah emisi karbon bergantung pada kedalaman muka air tanah. Semakin tinggi elevasi air tanah maka akan semakin berkurang besar dan durasi subsiden serta semakin rendah pula besarnya emisi. Oleh karena itu, dengan dibangunnya canal blocking, maka muka air saluran dan muka air tanah akan naik, sehingga dengan demikian gambut menjadi basah dan subsiden serta emisi karbon akan berkurang.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis diperoleh hasil bahwa besaran emisi karbon bergantung pada kedalaman muka air tanah atau ketebalan gambut di atas muka air tanah (gambut kering). Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, hubungan ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kedalaman Muka Air Tanah dan Emisi Karbon di Kawasan Sei Ahas

Keterangan

Volume Gambut Kering (m3)

90% Volume Gambut Kering (m3)

Kandungan Karbon Emisi Karbon

(Mton)

50 % 55 % 50 % 55 %

Muka Air Tanah Musim Kemarau

17.732.000 15.958.800 884.553 973.008 3,2375 3,5612

Muka Air Tanah Musim Hujan

11.687.000 10.518.300 583.001 641.301 2,1338 2,3472

Dari hasil komputasi emisi karbon, terlihat bahwa besaran emisi karbon akan semakin kecil bila muka air tanah semakin tinggi karena volume gambut kering semakin kecil. Pada Tabel 1 terlihat di musim hujan emisi karbon lebih kecil dari pada musim kemarau, demikian pula volume gambut kering di musim hujan juga lebih kecil dari pada musim kemarau. Volume gambut kering adalah volume gambut di atas muka air tanah (MAT), dimana gambut yang terendam air tidak mengalami oksidasi sehingga tidak menghasilkan emisi. Ketinggian muka air tanah sangat bergantung pada musim dan jenis intervensi hidraulik yang diterapkan pada lahan tersebut. Intervensi hidraulik seperti misalnya pembangunan bendung atau canal blocking akan mempercepat dan mempertinggi kenaikan muka air tanah.

Nilai 90 % volume gambut kering pada Tabel 1 di atas menunjukkan volume yang mengalami emisi, dimana 10% adalah volume yang terkompaksi. Sementara itu pada Tabel 1 di atas disajikan 2 (dua) buah nilai kandungan karbon pada tanah gambut, yaitu dalam penelitian ini diasumsikan sebesar 50% dan 55%. Jumlah emisi karbon selain ditentukan oleh ketinggian muka air tanah juga bergantung pada besarnya kandungan karbon yang ada, dimana besar kandungan bergantung antara lain pada jenis dan kematangan gambut. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan karbon yang lebih besar akan memberikan emisi karbon yang besar pula pada kedalaman muka air tanah yang sama.

Selanjutnya korelasi antara kedalaman muka air tanah, laju subsiden dan kecepatan serta waktu penurunan gambut disajikan pada Tabel 2.

Page 57: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 37

Tabel 2. Laju Subsidensi, Kecepatan dan Waktu Penurunan Gambut sebelum dan sesudah ada Canal Blocking

URAIAN

KONDISI EKSISTING CANAL BLOCKING

LAJU / KECEPATAN PENURUNAN

GAMBUT (cm/Tahun)

WAKTU PENURUNAN

GAMBUT (Tahun)

LAJU / KECEPATAN PENURUNAN

GAMBUT (cm/Tahun)

WAKTU PENURUNAN

GAMBUT (Tahun)

Volume Gambut Keseluruhan

3.49 54 2.50 75

Volume Gambut di atas Muka Air Tanah

(Musim Kemarau) 3.71 11 2.61 16

Volume Gambut di atas Muka Air Tanah

(Musim hujan) 2.95 9 2.23 13

Dari hasil komputasi diperoleh laju/kecepatan penurunan gambut keseluruhan untuk kondisi sebelum ada canal blocking (eksisting) sebesar 3,49 cm/tahun, lebih cepat bila dibandingkan dengan laju/kecepatan penurunan setelah ada intervensi hidraulik, yaitu bangunan canal blocking, sebesar 2,50 cm/tahun. Sementara itu waktu penurunan gambut juga untuk kondisi eksisting sebesar 54 tahun, lebih singkat bila dibandingkan dengan waktu penurunan setelah ada intervensi hidraulik, yaitu 75 tahun. Demikian pula untuk gambut di atas muka air tanah musim kemarau dan musim hujan mempunyai perilaku yang sama seperti di atas. Berkurangnya laju penurunan gambut setelah ada canal blocking membuktikan bahwa kenaikan muka air tanah akan mengurangi laju/kecepatan penurunan.

Pada Tabel 1 di atas telah terbukti bahwa kenaikan muka air tanah juga menurunkan besaran emisi karbon, dengan demikian kenaikan muka air tanah berdampak ganda, yaitu mengurangi laju penurunan gambut dan sekaligus mengurangi emisi karbon. Dengan demikian upaya untuk meninggikan muka air tanah memang diperlukan untuk mengatasi masalah subsiden dan emisi karbon. Adanya canal blocking, secara langsung meninggikan muka air permukaan di saluran tetapi secara tidak langsung juga meninggikan muka air tanah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ilustrasi sebagaimana disajikan pada Gambar 7 dan 8.

KONDISI SEBELUM CANAL BLOCKING (EKSISTING)

Gambar 7. Dampak dari Drainase dan Penurunan MAT terhadap Emisi Karbon

Emisi Karbon akibat Dekomposisi Gambut

Gambut Kering

Drainase

Page 58: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

38 Bandung, 12 September 2015

KONDISI SETELAH CANAL BLOCKING (INTERVENSI HIDRAULIK)

Gambar 8. Dampak dari kenaikan MAT akibat pembangunan Canal Blocking

Kecepatan dan waktu penurunan gambut berjalan seiring, semakin besar kecepatan maka semakin cepat pula waktu penurunan gambut dan berlaku pula sebaliknya, semakin lambat kecepatan maka semakin lama pula waktu penurunannya. Kondisi ini bergantung pada ketinggian muka air tanah yang dalam Tabel 2 dinyatakan sebagai volume gambut kering (di atas muka air tanah). Semakin tinggi muka air tanah atau semakin kecil volume gambut kering yang dapat teroksidasi dan memproduksi emisi karbon maka semakin lambat laju/kecepatan penurunan gambut dan semakin pendek waktu penurunannya. Dengan adanya canal blocking maka laju penurunan gambut turun sebesar: (1 – (2,50/3,49)) * 100% = 28,5% bila dibandingkan dengan kondisi eksisting. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan emisi karbon dapat tertahan sekitar 14% - 15% per tahun dengan asumsi kandungan karbon sebesar 50% dan 55%.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan khusus, dapat disimpulkan bahwa ketinggian muka air tanah sangat penting untuk mengurangi penurunan gambut dan untuk mengurangi jumlah emisi karbon di lahan gambut. Penurunan gambut dan emisi karbon akan lebih besar dengan terjadinya penurunan muka air tanah karena gambut yang tidak terendam oleh air akan mengalami oksidasi sehingga menghasilkan emisi karbon. Ketinggian muka air tanah sangat bergantung pada musim dan intervensi hidraulik yang dilakukan pada lahan gambut.

Penelitian ini membuktikan bahwa dengan membangun canal blocking, laju subsidensi dan besaran emisi karbon (pada perkebunan Akasia), lebih kecil dibandingkan tanpa bentuk intervensi apapun (kondisi eksisting).

Sementara itu, sebagai kesimpulan umum, dapat disimpulkan bahwa meskipun penelitian ini dan penelitian yang

dilakukan oleh Hooijer, et al, 2012 berbeda lokus dan waktu penelitian, kedua penelitian memiliki topik dan pendekatan yang sama .

Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa mengendalikan muka air tanah lebih jauh perlu dilakukan untuk mengurangi degradasi lahan gambut yang sudah dibuka dan telah terdegradasi. Pembangunan canal blocking adalah cara yang sangat efektif untuk menaikan muka air tanah sehingga penurunan gambut dan emisi karbon dapat dikurangi.

Rekomendasi

Pemulihan atau tindakan mitigasi terhadap lahan gambut yang terdegradasi cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu disarankan perlunya perlidungan, konservasi dan pengelolaan lahan gambut secara terpadu dari semua pemangku kepentingan untuk melindungi lahan gambut dari kerusakan. Tindakan pencegahan jauh lebih baik dari pada pemulihan.

Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada seluruh petugas lapangan Balai Rawa – Puslitbang SDA Banjarmasin yang telah memberikan kontribusinya dalam pengumpulan data primer dan sekaligus mengolah data menjadi data siap pakai serta dalam pembuatan dan penyusunan tabel dan gambar sehingga makalah ini selesai dibuat. Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan pula kepada Parlinggoman Simanungkalit selaku Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Balai Rawa yang telah

Emisi berkurang akibat kenaikan MAT

Canal Blocking

Gambut

MAT naik

Page 59: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 39

memberikan masukkannya dan kepada Dedi Junarsah selaku Kepala Balai Rawa yang telah memberikan dukungan penuh.

REFERENSI

Ali, M., Taylor, D., and Inubushi, K., 2006. Effects of environmental vari- ations on CO2 flux from a tropical peatland in eastern Sumatra, Wetlands, 26, 612–618.

Balai Rawa – Puslitbang SDA, 2012. Laporan Akhir Penelitian Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Daerah Rawa.Bandung

Budi Triadi1, Alosja Hooijer2, Ronald Vernimmen3, Surya Dharma, 2013. Hydraulic Intervention Impact of Subsidence And Carbon Emission in Peatland as a Disaster Mitigation effort, International Seminar of HATHI, 6 – 8 September, Yogyakarta.

The Central Kalimantan Peatland Project, 2005 – 2010. Impact of Oil Palm Plantations on Peatland Conversion in Sarawak 2005 – 2010, Alll CKPP Materials, Current Publications | Search.

CKPP, 2005 – 2010. Impact of Oil Palm Plantations on Peatland Conversion in Sarawak 2005 – 2010, Alll CKPP Materials, Current Publications | Search.

Couwenberg, J., and Hooijer, A., 2013. Towards robust subsidence-based soil carbon emission factors fro peat soils in south-east Asia, with special reference to oil palm plantations, Mires and Peat, Volume 12 (2013), Article 01, 1-13. ISSN 1819-745X.

Dommain, R., Couwenberg, J. and Joosten, H, 2011. Development and carbon sequestration of tropical peat domes in south-east Asia: links to post-glacial sea-level changes and Holocene climate variability. Quaternary Science Reviews, 30, 999-1010.

Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, A..A., Lu, X.X., Idris, A., Anshari, G., 2012a. Subsidence and Carbon Loss in Drained Tropical Peatlands, Biogeosciences, 9, 1053 – 1071, 2012, doi : 10.5.5194/bg-9-1053-2012.

Hooijer, S. Page, J. G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and Future CO2 emissions From Drained Peatlands in Southeast Asia

Hooijer, A.1, Triadi, B.2, Karyanto, O.3, Page, S.4, Van der Vat, M.1 and Erkens, G.1 , 2012b. The impact of subsidence: can peatland drainage be sustainable in the long term, ICWF Paper.

Jauhiainen, J., Jaya, A., Inoue, T., Heikkinen, J., Martikainen, P. and Vasander, H., 2004. Carbon Balance in Managed Tropical Peat in Central Kalimantan. In: Päivänen, J. (ed.) Proceedings of the 12th International Peat Congress, Tampere 6 - 11.6.2004. pp. 653-659.

Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2009. Strategic Peatland Rehabilitation Plan for Block A (North-West) in the Ex-Mega Rice Project Area, Project No : IFCI-C0011, Central Kalimantan.

Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2014. Carbon Emissions from Drained and Degraded Peatland in Indonesia and Emission Factors for Measurement, Reporting and Verification (MRV) of Peatland Greenhouse Gas Emissions. Scientific Paper : A Summary of KFCP Research Result for Practitioners.

Melling, L., Hatano, R., and Goh, K. J., 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia, Tellus B, 57, 1–11.

Murayama, S. and Bakar, Z. A.,1996. Decomposition of tropical peat soils, estimation of in situ decomposition by measurement of CO2 flux, JARQ-JPN. Agr. Res. Q., 30, 153–158.

Page, S.E., Rieley, J.O. and Banks, C.J., 2011b. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17, 798-818.

Page 60: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

40 Bandung, 12 September 2015

Warren, M.W., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Anshari, G., Hergoualc‘h, K., Kurnianto, S., Purbopuspito, J., Gusmayanti, E., Afifudin, M., Rahajoe, J., Alhamd, L., Limin, S. and Iswandi, A. 2012. A cost-efficient method to assess carbon stocks in tropical peat soils. Biogeosciences, 9, 4477-4485.

Wösten, J. H. M. and Ritzema, H. P., 2001. Land and water management options for peatland development in Sarawak, Malaysia, International Peat Journal, 11, 59–66, 2001.

Page 61: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 41

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

KAJIAN TERHADAP KETEPATAN PEMETAAN KERENTANAN PENCEMARAN AIR TANAH MENGGUNAKAN METODE DRASTIC PADA KONDISI DATA

AKIFER TERBATAS

Elly Kusumawati B.

Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Krida Wacana [email protected]

ABSTRAK

Informasi penting dalam startegi konservasi air tanah adalah tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran. Untuk ini pendekatan Index &amp; Overlay, metode DRASTIC yang berdasarkan factor hidrogeologi dapat digunakan. Metode yang berasal dari Amerika ini, memerlukan data cukup intensif sehingga perlu diuji kemungkinannya untuk bias akibat kendala data yang terbatas yang merupakan kondisi umum di Indonesia. Pengujian dilakukan dengan membandingkan distribusi kerentanan pencemaran antara hasil DRASTIC dengan simulasi komputer. Simulasi dikerjakan dengan bantuan software GMS (Groundwater Modelling System) yang membagi kelas distribusi berdasarkan kecepatan dan arah aliran air tanah serta penyebaran partikel pencemar. Selanjutnya hasil simulasi diujitingkat sensitivitasnya untuk mencari parameter yang sensitif. Wilayah studi yang digunakan dalam pengujian ini adalah Jakarta dan sekitarnya. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa distribusi kelaskerentanan dipengaruhi oleh besaran kecepatan dan arah vektor kecepatan. Perbandingan peta kerentanan Metode DRASTIC dengan simulasi menunjukkan hasil yang sudah mendekati. Selanjutnya hasil analisis sensitivitas terhadap parameter K dan constant head menunjukkan bahwa kedua parameterini tidak sensitif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa DRASTIC dapat digunakan dalam kondisi keterbatasan data karena ketidakakuratan parameter akifer tidak akan mengakibatkan penyimpangan informasi yang berarti.

Kata Kunci: konservasi air tanah, kerentanan air tanah, metode DRASTIC, Groundwater Modelling System.

LATAR BELAKANG Dalam upaya menjaga keberlanjutan sumber daya alam, diperlukan suatu strategi pengembangan wilayah yang bertujuan menata ruang kegiatan manusia. Strategi ini mencakup perencanaan ruang yang akan dikembangkan untuk aktivitas manusia dan ruang yang harus dikonservasi untuk menjaga proses keseimbangan alam.

Berbagai macam informasi diperlukan untuk menyusun strategi konservasi air tanah yang tepat, salah satunya informasi mengenai tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran. Tingkat kerentanan menunjukkan seberapa mudah pencemar mencapai air tanah, makin tinggi kerentanannya, makin mudah air tanah tercemari. Tingkat kerentanan ditentukan oleh kondisi hidrogeologi setempat yang umumnya bervariasi sehingga akan membentuk tingkat kerentanan yang bervariasi pula.

Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan air tanah antara lain Pendekatan Index & Overlay, Simulasi Komputer, dan Analisis Statistik. Salah satu metoda dengan pendekatan Index & Overlay yang sering digunakan adalah Metoda DRASTIC. Dalam metoda yang telah distandarisasi oleh EPA (Environmental Protection Agency) ini, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan air tanah diinterpretasikan melalui pemberian skor dan klasifikasi untuk memperoleh indeks, ranking atau kelas kerentanan. Metoda ini membutuhkan banyak data masukan untuk menghasilkan keluaran yang akurat.

Page 62: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

42 Bandung, 12 September 2015

Di negara maju yang ketersediaan datanya lengkap, penggunaan metoda DRASTIC memberikan hasil yang memuaskan. Namun di Indonesia dimana ketersediaan datanya tidak lengkap, belum diketahui apakah metoda ini dapat digunakan. Akan tetapi di India, dimana kondisi ketersediaan data serupa dengan Indonesia, metoda ini telah memberikan hasil yang memuaskan (Shamsuddin Shahid ; A Study of Groundwater Pollution Vulnerability Using DRASTIC/GIS, West Bengal, India ; Journal Environmental Hydrology Volume 8, 2000). Dengan demikian metoda DRASTIC perlu diuji tingkat implementasinya terhadap keterbatasan data yang ada dilihat dari sisi seberapa jauh informasinya dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan.

Pengujian dilakukan dengan membandingkan distribusi kerentanan pencemaran antara hasil DRASTIC dengan simulasi komputer. Simulasi dikerjakan dengan bantuan software GMS (Groundwater Modelling System) yang membagi kelas distribusi berdasarkan kecepatan dan arah aliran air tanah serta penyebaran partikel pencemar. Selanjutnya hasil simulasi diuji tingkat sensitivitasnya untuk mencari parameter yang sensitif dalam pembuatan peta kerentanan pencemaran. Data masukan dari parameter yang sensitif harus akurat agar DRASTIC dapat diimplementasikan dengan benar.

TUJUAN PENELITIAN

Menguji tingkat implemetansi DRASTIC terhadap keterbatasan data yang ada di Indonesia sehingga dapat diketahui tingkat keyakinan informasinya untuk pengambilan keputusan.

KAJIAN PUSTAKA

Pemodelan Air Tanah

Dalam usaha memahami sistem air tanah diperlukan suatu model yang mendekati sistem riil. Tujuan utama dari pemodelan adalah memahami perilaku sistem saat ini dan memperkirakan pola perilakunya di masa yang akan datang. Model air tanah telah diterapkan untuk 4 permasalahan pokok yaitu aliran air tanah, transport zat terlarut, aliran termal, dan deformasi akifer. Seluruh model diawali dengan penyelesaian persamaan dasar aliran air tanah sehingga diperoleh distribusi hydraulic head dari akifer. Model transport zat terlarut diperoleh dengan menambahkan persamaan perubahan konsentrasi kimia ke dalam model aliran. Model aliran termal diperoleh dengan menerapkan persamaan transfer termal pada akifer. Model deformasi akifer diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan aliran dengan persamaan lain yang menggambarkan perubahan struktur fisik dari akifer yang diikuti dengan perubahan hydraulic head.

Model merupakan representasi dari sistem riil, model konseptual dikembangkan untuk mempelajari sistem aliran air tanah. Meski model konseptual jauh lebih sederhana dibanding sistem riil, namun model ini sangat membantu dalam memahami perilaku aliran. Model konseptual bersifat statis, hanya menggambarkan kondisi sistem saat ini. Untuk dapat memprediksi perilaku sistem di masa datang diperlukan model dinamis yang dapat dimanipulasi. Ada beberapa macam model dinamis, antara lain model fisik dengan skala tertentu, model analog dan model matematik.

Model fisik dan model analog memerlukan biaya sangat mahal dan waktu penelitian yang cukup lama sebaliknya model matematik jauh lebih murah, cepat dan akurat. Oleh karena itu, model ini banyak dikembangkan oleh para ahli. Solusi model matematik dikembangkan dari persamaan dasar aliran air tanah, termal, dan transport massa. Model matematik aliran air tanah yang paling sederhana adalah Hukum Darcy. Untuk menerapkan Hukum Darcy diperlukan model konseptual dan data karakteristik fisik dari sistem akifer, medan potensial, dan karakteristik fluida. Ada 2 macam model matematik yaitu model analitis dan model numerik. Hukum Darcy merupakan salah satu contoh dari model analitis yang memerlukan masukan berupa kondisi awal dan kondisi batas pada lokasi studi. Kondisi ini harus sederhana sehingga persamaan aliran dapat diselesaikan dengan kalkulus. Model analitis aliran telah dikembangkan untuk mensimulasi aliran, termal dan transport massa menuju sumur bor atau sungai.

Model numerik dikembangkan untuk mengakomodir variasi parameter hidrogeologi pada lokasi studi atau komplektivitas kondisi batas. Solusinya diperoleh dengan mengubah persamaan aliran, termal dan transport massa ke dalam bentuk aljabar dan selanjutnya disusun dalam bentuk matriks untuk

Page 63: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 43

diselesaikan dengan bantuan komputer. Persamaan dalam bentuk aljabar merupakan pendekatan numerik sehingga hasilnya juga merupakan pendekatan.

Program GMS yang digunakan dalam studi ini merupakan model numerik.

Transformasi model konseptual menjadi model matematik memerlukan beberapa data masukan untuk dapat menyelesaikan persamaan yang ada. Seluruh model diawali dengan model aliran air tanah. Data mengenai konfigurasi fisik akifer seperti lokasi akifer, bentang lokasi, dan ketebalan akifer dan kondisi batas, karakteristik hidraulik akifer seperti variasi transmitivitas T atau permeabilitas dan koefisien storage Ss, hydraulic head, laju pengisian air tanah dan debit sungai diperlukan untuk dapat menyelesaikan persamaan aliran air tanah. Dari simulasi ini diperoleh data keluaran berupa arah dan kecepatan fluida.

Selain data konfigurasi fisik akifer, data mengenai kondisi batas juga diperlukan untuk dapat menyelesaikan persamaan aliran air tanah. Ada 2 tipe dasar kondisi batas, yaitu Dirichlet dan Neumann. Pada tipe Dirichlet nilai hydraulic head di sekeliling area studi diketahui, sedangkan pada kondisi Neumann yang diketahui adalah nilai fluksnya. Kadangkala kondisi batas yang diketahui campuran antara nilai hydraulic head di sebagian lokasi dan nilai fluksnya di bagian lain.

Metoda DRASTIC

DRASTIC merupakan salah satu metoda yang dikembangkan untuk menilai potensi pencemaran air tanah berdasarkan informasi dasar yang tersedia, yaitu hidrogeologi. Karakteristik hidrogeologi merupakan gambaran kombinasi dari faktor geologi dan hidrologi yang mempengaruhi dan membentuk aliran air tanah yang masuk dan keluar di suatu area.

Asumsi dasar yang digunakan dalam metoda DRASTIC:

1. Sumber pencemar berasal dari permukaan tanah

2. Pencemar masuk ke akifer melalui proses infiltrasi (pengisian air tanah oleh hujan)

3. Penyebaran pencemar dalam akifer mengikuti pola aliran air tanah

4. Area yang dievaluasi oleh drastic harus ≥ 40,47 ha (100 acre)

5. Diterapkan untuk akifer bebas dan tertekan, namun tidak dapat diaplikasikan secara langsung pada akifer semi- tertekan atau leaky aquifer.

Tujuh parameter hidrogeologi yang dianggap paling berpengaruh terhadap kerentanan air tanah adalah

D — Depth to Water

R — (Net) Recharge

A — Aquifer Media

S — Soil Media

T — Topography (Slope)

I — Impact of the Vadose Zone Media

C — Conductivity (Hydraulic) of the Aquifer

Ketujuh parameter inilah yang merupakan singkatan dari nama DRASTIC. Penjelasan pengaruh dari masing-masing parameter tehadap kerentanan air tanah adalah sebagai berikut:

a. Depth to Water

Parameter ini menggambarkan jarak yang harus ditempuh pencemar untuk mencapai akifer dan menentukan waktu kontak antara pencemar dengan lingkungan sekitar yang berperan dalam proses oksidasi. Semakin jauh jarak muka air tanah dari permukaan, makin besar waktu tempuh yang diperlukan pencemar untuk mencapai akifer sehingga kesempatan beratenuasi makin besar. Keberadaan lapisan

Page 64: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

44 Bandung, 12 September 2015

kedap air juga menghambat pergerakan pencemar. Pengelompokan range dari parameter ini dibuat atas dasar perubahan jarak yang menimbulkan peningkatan konsentrasi pencemar.

b. Net Recharge

Sumber pengisian air tanah berasal dari infiltrasi hujan melalui permukaan tanah dan perkolasi ke dalam muka air tanah. Net recharge adalah jumlah air per satuan luas yang mengisi akifer. Proses ini mengendalikan mobilitas vertikal dan horisontal pencemar ke dalam air tanah serta mempengaruhi jumlah air yang tersedia untuk proses dispersi dan dilusi pada lapisan tak jenuh dan lapisan jenuh. Dengan demikian proses pengisian air tanah merupakan sarana utama pembentukan lindi dan mobilitas pencemar, baik padat atau cair, menuju muka air tanah. Makin tinggi laju pengisian air tanah, makin besar potensi pencemarannya.

c. Aquifer Media

Akifer adalah lapisan yang terletak dibawah permukaan tanah yang memiliki kandungan air cukup tinggi sehingga dapat dieksplorasi. Sedangkan pengertian aquifer media merujuk pada jenis tanah/batuan penyusun akifer. Kandungan air pada akifer terletak pada pori yang terbentuk dari susunan butir tanah/batuan dan rekahan atau patahan. Makin besar ukuran butir atau makin banyak rekahan/patahan di media akifer, permeabilitasnya makin tinggi sehingga kapasitas atenuasi media akifer makin rendah. Media akifer mempengaruhi pola aliran yang mengontrol arah pergerakan pencemar.

d. Soil Media

Soil media (media tanah) merupakan bagian teratas dari lapisan tak jenuh dengan ciri khas memiliki aktivitas biologi yang tinggi. Pada metoda ini, media tanah didefinisikan memiliki kedalaman ≤ 6 feet (1,8 m) dari permukaan tanah dan masih dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Laju infiltrasi yang merupakan sumber pengisian air tanah dan pergerakan vertikal kontaminan dipengaruhi oleh jenis tanah. Tanah dengan tekstur halus seperti silt atau clay memiliki permeabilitas rendah sehingga menghambat proses migrasi kontaminan. Ketebalan lapisan tanah juga mempengaruhi proses degradasi kontaminan. Secara umum, potensi pencemaran pada tanah dipengaruhi oleh keberadaan lapisan clay. Makin kecil potensi kembang/susut lapisan clay dan makin kecil ukuran butirnya, makin kecil pula potensi pencemarannya.

e. Topography (Kemiringan lahan)

Data mengenai kemiringan lahan diperoleh dari data topografi. Kemiringan lahan merupakan faktor yang mengontrol arah aliran air permukaan yang merupakan sumber infiltrasi. Makin curam kemiringannya makin rendah laju infiltrasi sehingga potensi pencemaran air tanah makin kecil. Bentuk gradien, arah aliran dan muka air tanah, secara tak langsung mengikuti topografi permukaan, makin besar kemiringan lahan makin besar kecepatan alirannya.

f. Impact of Vadose Zone

Lapisan tak jenuh (vadose zone) adalah lapisan di atas muka air tanah yang tak jenuh air. Jenis tanah penyusun lapisan tak jenuh menentukan karakterisitik atenuasi. Proses-proses degradasi kontaminan seperti biodegradasi, filtrasi, reaksi kimia terjadi pada lapisan ini. Semakin jauh dari permukaan tanah proses biodegradasi dan volatilasi makin jarang terjadi. Media ini juga mengontrol panjang alur dan rute yang mempengaruhi waktu untuk proses atenuasi.

g. Hydraulic Conductivity

Hydraulic conductivity menggambarkan kemampuan material akifer untuk melalukan air. Perbedaan nilai hydraulic conductivity pada suatu akifer akan menimbulkan gradien hidraulik sehingga mengakibatkan terjadinya aliran air tanah. Aliran inilah yang menjadi media bagi pergerakan kontaminan. Nilai hydraulic conductivity diperoleh dari hasil pumping test. Informasi secara lengkap dapat diperoleh dari laporan hidrogeologi. Jika data ini tidak tersedia nilai hydraulic conductivity dapat diestimasi dari buku referensi.

Page 65: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 45

Penilaian DRASTIC menggunakan sistem ranking. Sistem ini memiliki 3 hal pokok yaitu bobot, range dan peringkat.

1. Bobot

Tiap parameter DRASTIC diberi bobot sesuai dengan tingkat relevansinya terhadap potensi pencemaran. Rentang nilainya berkisar dari 1-5 (Tabel 1). Parameter yang paling signifikan diberi bobot 5 dan yang paling kecil tingkat signifikansinya diberi bobot 1.

2. Range

Tiap-tiap parameter DRASTIC dibagi ke dalam range yang dikelompokkan menurut signifikansi jenis media terhadap potensi pencemaran (Tabel 2 sampai 8).

3. Peringkat

Tiap range dari parameter DRASTIC diberi nilai peringkat dari angka 1-10 (Tabel 2 sampai 8). Parameter D,R,S,T,C memiliki satu nilai peringkat pada tiap range. Sedangkan tiap range dari parameter A dan I memiliki rentang nilai peringkat dan typical rating. Rentang peringkat digunakan jika informasi parameter secara detail diketahui dan sebaliknya untuk typical rating.

Tabel 1. Bobot dari masing-masing parameter DRASTIC

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Parameter Bobot

Depth of groundwater 5

Recharge Rate 4

Aquifer Media 3

Soil Media 2

Topography 1

Impact of Vadose Zone 5

Hydraulic Conductivity 3

Tabel 2. Range dan peringkat depth of groundwater

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Depth to Groundwater

Range Peringkat

(feet) (meter)

0-5 0 - 1,5 10

5-15 1,5 - 4,6 9

15-30 4,6 – 9,1 7

30-50 9,1 – 15,2 5

50-75 15,2 – 22,9 3

75-100 22,9 – 30,5 2

>100 >30,5 1

Page 66: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

46 Bandung, 12 September 2015

Tabel 3. Range dan peringkat recharge rate

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Recharge Rate

Range Peringkat

(inches/year) (mm/tahun)

0-2 0 - 50,8 1

2-4 50,8 - 101,6 3

4-7 101,6 - 177,8 6

7-10 177,8 - 254 8

>10 >254 9

Tabel 4. Range dan peringkat aquifer media

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Tabel 5. Range dan peringkat soil media

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Soil Media

Range Peringkat

thin/absent 10

gravel 10

sand 9

shrinking and/or aggregated clay 7

sandy loam 6

loam 5

silty loam 4

clay loam 3

nonshrinking&nonaggregated 1

Aquifer Media

Range Peringkat Typical Rating

massive shale 1-3 2

metamorphic/igneous 2-5 3

weathered metamorphic/igneous 3-5 4

glacial till 4-6 5

bedded sandstone, limestone,shale sequences 5-9 6

massive sandstone 4-9 6

massive limestone 4-9 6

sand&gravel 4-9 8

Basalt 2-10 9

karst limestone 9-10 10

Page 67: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 47

Tabel 6. Range dan peringkat topography

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Tabel 7. Range dan peringkat impact of vadose zone

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Impact of Vadose Zone

Range Peringkat Typical Rating

confining layer 1 1

silt/clay 2-6 3

Shale 2-5 3

Limestone 2-7 6

Sandstone 4-8 6

bedded limestone,sandstone shale, sand&gravel with siginificant silt&clay

4-8 6

metamorphic/igneous 2-8 4

sand&gravel 6-9 8

Basalt 2-10 9

karst limestone 8-10 10

Tabel 8. Range dan peringkat hydraulic conductivity

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Setelah masing-masing parameter dikelompokkan ke dalam range, diberi bobot dan peringkat, DRASTIC index dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

DRDW + RRRW + ARAW + SRSW + TRTW + IRIW + CRCW = Potensi Pencemaran (2-93)

Dimana: R = peringkat W= bobot

Topography (% slope)

Range Peringkat

0-2 10

2-6 9

6-12 5

12-18 3

>18 1

Hydraulic Conductivity

Range Peringkat

(gpd/ft2) (m/hari)

1-100 0,04 - 4,08 1

100-300 4,08 – 12,23 2

300-700 12,23 – 28,55 4

700-1000 28,55 – 40,78 6

1000-2000 40,78 – 81,56 8

>2000 > 81,56 10

Page 68: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

48 Bandung, 12 September 2015

Setelah DRASTIC indeks dihitung, dapat diidentifikasi tingkat kerentanan suatu area terhadap pencemaran.Makin tinggi nilai indeksnya makin rentan terhadap pencemaran.

Korelasi Parameter Drastic Dengan Parameter Simulasi Model Aliran Jenuh

Dalam simulasi komputer, ketujuh parameter DRASTIC diwakili oleh parameter hidraulik akifer yang korelasinya sebagai berikut:

Tabel 9. Korelasi parameter DRASTIC dengan parameter akifer

(Sumber: Aller, et al., 1987)

Parameter DRASTIC Parameter Simulasi Model

Depth of groundwater Ketebalan akifer

Recharge rate Laju pengisian air tanah

Aquifer media Nilai K (hydraulic conductivity)

Soil media Laju pengisian air tanah

Impact of vadose zone Laju pengisian air tanah

Topography Koordinat dan elevasi permukaan

Hydraulic conductivity Nilai K

Sensitivitas Parameter

Model numerik menyederhanakan komplektivitas sistem akifer di lapangan agar simulasi dapat diproses dengan lebih mudah. Dengan penyederhanaan ini ada kemungkinan bahwa data masukan tidak presisi dengan kondisi lapangan sehingga mempengaruhi data keluaran. Untuk mengetahui seberapa jauh perubahan data keluaran akibat perubahan data masukan dilakukan analisis sentivitas.

Kegunaan lain dari analisis sensitivitas adalah untuk menentukan arah aktivitas pengumpulan data di masa yang akan datang. Data yang sensitif memerlukan pengamatan yang lebih detail, sebaliknya untuk data yang tidak sensitif. Jika ditemukan data yang tidak sensitif terhadap variasi perubahan data masukan, pemodel harus dapat menjelaskan alasan ketidaksensitifan ini.

Gambar 1. Variasi perubahan hydraulic head sebagai hasil perubahan parameter model Sumber : User’s Manual for GMS-Sensitivity Analysis

Page 69: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 49

METODOLOGI PENELITIAN Pemberian skor pada tiap parameter DRASTIC harus tepat sehingga memberikan hasil yang benar. Pemilihan skor yang tidak tepat akan mempengaruhi hasil keseluruhan. Dengan demikian hasil DRASTIC perlu dicek dengan hasil simulasi numerik agar pemilihan skornya tepat.

Setelah hasil DRASTIC benar, ingin diketahui sejauh mana perbedaan distribusi kelas kerentanan DRASTIC dengan hasil simulasi, apa penyebabnya, serta parameter hidraulik akifer yang sensitif terhadap penilaian kerentanan pencemaran. Data dari parameter yang sensitif harus akurat sehingga dapat memberikan hasil DRASTIC tepat.

Secara skematis metoda penelitian yang dilakukan untuk mencapai tujuan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Skema metoda penelitian

MULAI

Pengumpulan Data

Menguji sensitivitas

parameter dari

model simulasi

Simulasi migrasi pencemar

pada beberapa titik sumber

pencemar dengan bantuan

program GMS

Penilaian kerentanan

dengan parameter

DRASTIC lengkap

Bandingkan

apakah hasil

penilaian DRASTIC

cocok dengan hasil

simulasi?

Periksa penerapan

DRASTIC

Simpulkan bahwa data dari

parameter sensitif harus akurat

Simpulkan penyebab

perbedaan yang terjadi

Buat kesimpulan secara menyeluruh

SELESAI

TidakYa

Periksa sejauh mana

perbedaan distribusi kelas

kerentanan yang terjadi

Page 70: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

50 Bandung, 12 September 2015

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

METODA DRASTIC

Depth to Groundwater

Akifer yang dikaji pada studi ini terletak pada zona II dengan kedalaman 40 – 100 m. Jarak akifer ini cukup jauh dengan permukaan tanah sehingga memperpanjang waktu tempuh pencemar untuk mencapai akifer. Menurut DRASTIC kondisi ini diberi peringkat nilai 1 karena potensi pencemarannya kecil.

Aquifer Media

Jenis media akifer pada sebagian besar wilayah studi didominasi oleh pasir, namun sedikit di bagian selatan tanah pasir bercampur lanau. Media pasir lebih permeabel dibanding pasir sisipan lempung, sehingga kemampuannya meloloskan air dan pencemar lebih besar. Dengan demikian untuk penilaian DRASTIC media pasir diberi peringkat 8 dan pasir lanau 6.

Soil Media

Jenis tanah permukaan di wilayah studi dikelompokkan menjadi 2 bagian, di wilayah utara clay loam dengan peringkat DRASTIC 3 dan wilayah selatan sandy loam dengan peringkat 4 (Gambar 2). Tanah clay loam memiliki permeabilitas yang lebih kecil dibanding sandy loam sehingga memberikan proteksi pencemaran yang lebih baik.

Gambar 3. Peta jenis tanah permukaan/penutup di wilayah studi

(Sumber: Hasil olahan dari peta geologi dan plotting data litologi)

Impact of Vadose Zone

Istilah vadose zone pada DRASTIC untuk tinjauan akifer tertekan tidak sepenuhnya berarti zona tak jenuh air. Awalnya metoda DRASTIC dikembangkan untuk mengkaji akifer bebas saja sehingga yang dimaksud dengan vadose zone memang benar-benar lapisan tak jenuh air di atas akifer bebas. Namun setelah metoda ini dikembangkan untuk akifer tertekan, istilah tersebut tidak diubah, hanya pemahamannya bergeser menjadi lapisan kedap air yang berada di atas akifer tertekan yang menjadi filter bagi pencemar. Jenis tanah vadose zone pada wilayah studi didominasi oleh lempung sisipan pasir. Jenis tanah lempung menjadi filter pencemar yang baik, dengan demikian untuk penilaian DRASTIC masing-masing diberi nilai 3.

Recharge Rate

Akifer yang ditinjau adalah jenis akifer tertekan yang terletak dibawah akifer bebas dan lapisan kedap air. Infiltrasi akifer ini berasal dari aliran vertikal dari lapisan di atasnya. Di samping itu pengisian secara horisontal juga terjadi dari recharge area di wilayah utara ke discharge area di wilayah selatan. Laju infiltrasi pada akifer tertekan jauh lebih kecil dibanding infiltrasi pada akifer bebas. Dengan demikian pada penilaian DRASTIC diberi nilai 1. Kegiatan pemompaan /bangunan resapan mempengaruhi percepatan

Clay loam

Sandy loam

Page 71: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 51

gerak pencemar menuju akifer. Pemompaan akan menghambat kecepatan sebaliknya peresapan akan mempercepat pergerakan pencemar menuju akifer. Kedua faktor tersebut tidak diperhitungkan pada studi ini, karena informasi mengenai laju pemompaan dan peresapan tidak diperoleh.

Topography

Data kemiringan lahan (topography) diperoleh dari peta tematik kemiringan lahan. Kemiringan lahan di wilayah studi landai hanya berkisar 0 – 0,5% (Gambar 3). Menurut DRASTIC permukaan lahan yang landai memperlambat kecepatan aliran permukaan dan mempertinggi laju infiltrasi sehingga meningkatkan potensi masuknya sumber pencemar dari permukaan. Mengacu pada Tabel 6 pada kajian pustaka, DRASTIC memberikan peringkat 10 untuk kondisi ini.

Gambar 4. Peta kemiringan lereng di wilayah Jabotabek dan sekitarnya

(Sumber: Hasil olahan dari peta kemiringan lereng)

Hydraulic Conductivity (K)

Data K diperoleh dari peta tematik K. Nilai K diturunkan dari data transmitivitas rata-rata yang diperoleh dari pengujian pumping test di lapangan. Nilai parameter K pada wilayah studi berkisar antara 0,6 – 2,3 m/hari (Gambar 4). Menurut DRASTIC range K ini diberi peringkat 1 karena berpotensi rendah dalam melalukan air berikut pencemar.

Gambar 5. Peta tematik konduktivitas hidraulik

(Sumber: Hasil olahan dari laporan B. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, 1986)

Kh = 1,1 m/hari

Kh = 1,1 m/hari

Kh = 2,3 m/hari

Kh = 1,7 m/hari

Kh = 0,6 m/hari

Kh = 0,6 m/hari

Wilayah Studi

Page 72: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

52 Bandung, 12 September 2015

Sebagai rangkuman hasil penilaian peringkat pada masing-masing parameter DRASTIC dapat diTabelkan sebagai berikut:

Tabel 10. Hasil penilaian peringkat untuk masing-masing parameter DRASTIC

Parameter DRASTIC Peringkat Bobot Potensi Pencemaran

Depth to groundwater 1 5 sangat rendah

Recharge rate 1 4 rendah

Aquifer media 6,8 3 sangat tinggi, tinggi

Soil media 3,4 2 rendah

Topography 10 1 sangat tinggi

Impact of vadose zone 3 5 rendah

Hydraulic conductivity 1 3 sangat rendah

Cat: (peringkat DRASTIC) = (potensi pencemaran) 1-2 = sangat rendah, 3-4 = rendah, 5-6 = sedang, 7-8 = tinggi, 9-10 = sangat tinggi

Secara keseluruhan akifer di wilayah studi yang memiliki produktivitas tinggi cukup rentan terhadap pencemaran. Tingkat potensi pencemaran dapat dilihat dari hasil penilaian peringkat parameter DRASTIC pada Tabel 10 di atas.

Gambar 6. Peta kerentanan air tanah berdasarkan DRASTIC Index

Tabel 11. Perhitungan DRASTIC Index di Tiap Kelas Kerentanan

D R A S T I C Total

Bobot 5 4 3 2 1 5 3

ZONA 1 Peringkat 1 1 8 3 10 3 1

Skor 5 4 24 6 10 15 3 67

ZONA 2 Peringkat 1 1 8 3 10 3 1

Skor 5 4 24 6 10 15 3 67

ZONA 3 Peringkat 1 1 8 4 10 3 1

Skor 5 4 24 8 10 15 3 69

ZONA 4 Peringkat 1 1 8 4 10 3 1

Skor 5 4 24 8 10 15 3 69

ZONA 5 Peringkat 1 1 8 4 10 3 1

Skor 5 4 24 8 10 15 3 69

ZONA 6 Peringkat 1 1 6 4 10 3 1

Skor 5 4 18 8 10 15 3 63

Catatan : skor = bobot x peringkat

Page 73: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 53

Simulasi Migrasi Pencemar Dengan Software Gms (Groundwater Modelling System)

Berdasarkan peta kontur head dengan interval 10 m (Gambar 6) yang diperoleh dari hasil simulasi aliran dengan GMS Modflow menunjukkan bahwa head di wilayah selatan lebih tinggi dibanding wilayah utara, dengan demikian aliran air tanah akan mengalir dari wilayah selatan (Depok) ke wilayah utara (Jakarta). Kondisi di lapangan memang benar demikian mengingat arah aliran dari daerah resapan (recharge area) di wilayah utara ke daerah pelepasan (discharge area) di wilayah utara. Arah vektor kecepatan yang nampak pada Gambar 8 juga menunjukkan hal yang serupa dimana arah aliran menjauhi lapisan batuan (no flow boundary) di batas studi bagian selatan dan bergerak menuju utara. Aliran yang terjadi di no flow boundary berasal dari air permukaan yaitu sungai-sungai yang hulunya di Bogor bukan berasal dari aliran air tanah di luar batas wilayah studi.

Pada kontur head yang intervalnya lebih rapat (Gambar 7) nampak bahwa bentuk kontur mengikuti punggung sungai.

Pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa distribusi kecepatan aliran di bagian utara dan sebagian wilayah di dekat no flow boundary lebih rendah dibanding di bagian tengah. Hal ini disebabkan karena kontur head di wilayah utara tidak rapat sehingga kemiringan hidrauliknya kecil meskipun nilai K-nya cukup besar. Di wilayah yang mendekati no flow boundary terjadi sebaliknya, meskipun kemiringan hidrauliknya lebih besar (kontur head rapat) namun nilai K-nya nol karena merupakan lapisan kedap air. Di bagian tengah wilayah studi, distribusi kecepatan di sekitar punggung sungai lebih rendah dibanding sekelilingnya karena elevasi sungai yang lebih rendah dibanding elevasi permukaan.

Gambar 7. Kontur head dengan interval 10 m

Gambar 8. Kontur head dengan interval 1 m

dalam satuan 1000 m

Page 74: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

54 Bandung, 12 September 2015

Gambar 9. Arah vektor kecepatan aliran di wilayah studi

Gambar 10. Distribusi kecepatan aliran di wilayah studi dalam satuan 103 m/hari

Hasil analisis terhadap penyebaran partikel pencemar menunjukkan bahwa tingkat kerentanan tidak hanya dipengaruhi oleh besar kecepatan namun juga arah vektor kecepatannya. Jadi meskipun nilai kecepatannya sama namun kemiringan vektornya lebih curam maka akan lebih jauh menghantarkan partikel pencemar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 yang merupakan penggabungan peta distribusi kecepatan dengan arah vektor kecepatan (Gambar 8 dan 9). Pada gambar tersebut disimulasikan beberapa partikel pencemar pada lokasi yang distribusi kecepatannya sama, namun arah vektornya berbeda. Terlihat bahwa jarak tempuh partikel B lebih panjang dibanding partikel A, karena kemiringan vektor kecepatannya lebih besar. Begitu pula dengan partikel C dan D.

Jadi secara garis besar pengelompokan kelas kerentanan berdasarkan simulasi, dapat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu kerentanan tinggi di wilayah tengah dan kerentanan rendah di wilayah utara dan selatan. Secara detail dengan memperhatikan arah vektor, hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah barat dan timur memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibanding wilayah tengah meskipun kelas distribusi kecepatannya yang sama.

Catatan :

anak panah dalam gambar ini hanya menunjukkan arah vektor kecepatan

aliran

(Kecepatan aliran dalam 1000 m/hari)

Page 75: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 55

Gambar 11. Distribusi kecepatan dan arah vektor aliran

Analisis Sensitivitas

Perubahan data masukan K dan constant head akan mengakibatkan perubahan data keluaran head di seluruh wilayah studi. Untuk mengukur tingkat sensitivitasnya dibuat grafik yang menyatakan hubungan data keluaran awal (Hmean) dengan selisih perubahan data keluaran terhadap keluaran awal (∆h) (Gambar 11 dan 12). Hasil analisis grafik menunjukkan bahwa kedua parameter tidak sensitif. Pada perubahan constant head ± 1 m, ∆h-nya juga ± 1m bahkan banyak yang mendekati nol. ∆h pada wilayah utara (dekat laut) dan selatan (dekat no flow boundary) lebih sensitif dibanding tengah. Hal ini terjadi karena di utara constant head-nya kecil dan di selatan nilai K-nya kecil (0,6 m/hari), sehingga sedikit gangguan akan mengakibatkan perubahan head yang besar. Pada perubahan nilai K satu ordo lebih tinggi dan satu ordo lebih rendah, hampir semua ∆h-nya mendekati nol. Meskipun kedua parameter ini tidak sensitif, namun jika dibandingkan parameter constant head lebih sensitif dibanding parameter K.

Pada kenyataan di lapangan, ketidakuratan data parameter akifer tidak akan berpengaruh besar terhadap head keluarannya, namun sangat sensitif terhadap data besarnya debit pemompaan/pengimbuhan.

Gambar 12. Grafik analisis sensitivitas terhadap constant head - (elevasi muka air sungai rata-rata dikurangi 1m)

constant headmean -1m

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Hmean (m)

B

D

Kerentanan Rendah

Kerentanan Tinggi

A

(Kecepatan aliran dalam 1000 m/hari)

C

Page 76: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

56 Bandung, 12 September 2015

Gambar 13. Grafik analisis sensitivitas terhadap constant head+ (elevasi muka air sungai rata-rata ditambah 1m)

Gambar 14. Grafik analisis sensitivitas terhadap K+

Gambar 15. Grafik analisis sensitivitas terhadap K-

Perbandingan Peta Kerentanan Metoda Drastic Dengan Hasil Simulasi

Secara garis besar, kelas kerentanan menurut hasil simulasi dapat dikelompokkan berdasarkan distribusi kecepatannya. Hasil analisis menunjukkan wilayah studi terbagi menjadi 3 wilayah kerentanan yaitu kerentanan rendah di utara dan selatan dan kerentanan tinggi di wilayah tengah (Gambar 10).

Dari analisis sensitivitas diperoleh hasil bahwa parameter K dan constant head tidak sensitif. Simpangan data masukan kecil sekali pengaruhnya terhadap data keluaran. Meski demikian penentuan nilai constant head perlu lebih akurat dibanding K karena sebagaimana terlihat pada Gambar 11, constant head lebih sensitif terutama di wilayah yang Hmean-nya ekstrim (sangat besar atau sangat kecil).

Menurut Metoda DRASTIC pengelompokkan kelas kerentanan di wilayah studi terbagi atas 3. DRASTIC indeks menunjukkan kerentanan tertinggi berada di bagian tengah wilayah studi, di bagian utara lebih rendah dan bagian selatan (mendekati batas wilayah studi) paling rendah. Pada wilayah penelitian dalam studi ini parameter yang mempengaruhi distribusi kerentanan adalah aquifer media (A), soil media (S), dan hydraulic conductivity (C).

constant headmean +1m

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Hmean (m)

10 * Kh

0.E+00

1.E-01

2.E-01

3.E-01

4.E-01

5.E-01

6.E-01

7.E-01

8.E-01

9.E-01

1.E+00

-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Hmean (m)

1/10 * Kh

-3.E-06

-3.E-06

-2.E-06

-2.E-06

-1.E-06

-5.E-07

0.E+00

5.E-07

-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Hmean (m)

∆h

Page 77: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 57

Dengan demikian pengelompokkan kelas kerentanan menurut DRASTIC dan hasil simulasi sudah mendekati (Gambar 13). Namun tentu saja pengelompokkan dari hasil simulasi lebih detail, karena data parameter akifernya juga lebih detail sedangkan DRASTIC hanya memanfaatkan informasi hidrogeologi secara global. Berdasarkan analisis sensitivitas, tidak ditemukan parameter data masukan yang sensitif. Dengan demikian informasi hidrogeologi yang tidak mendetail masih dapat digunakan oleh DRASTIC untuk membuat peta kerentanan pencemaran air tanah karena tidak akan mengakibatkan penyimpangan informasi yang berarti.

(a)

(b)

Gambar 16. Hasil perbandingan peta kerentanan pencemaran air tanah (a) hasil DRASTIC (b) hasil simulasi komputer

Kerentanan rendah

Kerentanan rendah

Kerentanan tinggi

Kerentanan rendah, DI = 67

Kerentanan rendah, DI = 67

Kerentanan tinggi, DI = 69

Kerentanan tinggi, DI = 69

Kerentanan tinggi, DI = 69

Kerentanan rendah, DI = 63

B

A

C

D

(Kecepatan aliran dalam 1000 m/hari)

Page 78: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

58 Bandung, 12 September 2015

KESIMPULAN dan SARAN Berdasarkan hasil analisis pembuatan peta kerentanan pencemaran air tanah dengan metoda DRASTIC dan simulasi dapat disimpulkan bahwa :

1. Dasar pengelompokan kelas kerentanan dengan simulasi adalah distribusi kecepatan dan arah vektor kecepatan

2. informasi parameter DRASTIC sebagai dasar pembobotan dalam pembuatan peta kerentanan pencemaran air tanah dapat menggunakan informasi umum maupun kajian-kajian studi yang lebih detail

3. hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa simpangan data parameter akifer tidak berpengaruh besar terhadap perubahan data keluaran

4. perbandingan peta kerentanan hasil simulasi dengan DRASTIC tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan

5. penilaian DRASTIC dapat menggunakan data hidrogeologi yang umum karena ketidakakuratan data parameter akifer tidak akan mengakibatkan penyimpangan informasi yang berarti

Saran

Untuk memperoleh peta kerentanan pencemaran air tanah dengan metoda DRASTIC yang lebih akurat diperlukan skala peta tematik dari masing-masing parameter DRASTIC yang cukup besar. Dengan demikian informasi hidrogeologi yang terekam akan lebih detail. Pengujian ini hanya mengasumsikan bahwa pergerakan partikel pencemar dipengaruhi oleh proses adveksi saja. Pada kenyataannya, proses dispersi dan biodegradasi juga ikut mempengaruhi migrasi pencemar. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai hal tersebut. Selain itu kegiatan eksplorasi air tanah (pemompaan dan pengimbuhan) yang berperan dalam proses menghambat / mempercepat migrasi pencemar juga belum diperhitungkan, karena informasi data mengenai kegiatan tersebut tidak diperoleh. Jika kegiatan tersebut hendak diperhitungkan, parameter recharge pada DRASTIC perlu dijustifikasi. Kegiatan pengimbuhan mempercepat proses recharge sehingga meningkatkan potensi pencemaran dengan demikian peringkat DRASTIC-nya perlu dinaikkan. Sebaliknya proses pemompaan memperlambat aliran air tanah secara vertikal sehingga mengurangi potensi pencemaran, untuk itu peringkat DRASTIC-nya dapat diturunkan.

REFERENSI

PT. Luhung Media Sarana Kreasi, Pemetaan Geologi Lingkungan dan Tata Guna Air Tanah Kawasan Jabodetabek-Punjur, Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasaran Wilayah, 2002

Abdurrahman Asseggaf, Hidrodinamika Air Tanah Alamiah Cekungan Jakarta, Tesis Magister, 1998

Elang Erlangga, Bernt Soefner, Joachim Zaepke, Evaluation of DEG-Well Files 1874-1984, Aquifer Parameters and Piezometric Heads, Groundwater Properties, Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 102 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)

A. Djaeni, G. Koehler, B. Soefner, Piezometric Heads of the Confined Aquifer System, Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 103 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)

Haryadi Tirtomihardjo, River Water Levels in the Jakarta Basin Area, Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 114 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)

G. Schmidt, Haryadi Tirtomihardjo, G. Koehler, Groundwater Modelling of Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 116 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)

B. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, Final Report of Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 117 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1986)

Page 79: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 59

Freeze, Allan R., Cherry, John A., Groundwater (New Jersey : Prentice Hall, 1979)

Fetter, C.W., Applied Hydrogeology (Ohio : Merril Publishing Company, 1988)

Linda Aller, et al., DRASTIC : A Standarized System for Evaluating Groundwater Pollution Potential Using Hydrogeologic Settings (Oklahoma : U.S. Environmental Protection Agency, 1987)

Sahid, Shamsuddin (2000), ―A Study of Groundwater Pollution Vulnerability Using DRASTIC/GIS, West Bengal, India‖. Journal of Environmental Hydrology Volume 8

http:// www.hydroweb.com

Fatta, D, et al., ―Numerical Simulation of Flow and Contaminant Migration at a Municipal Landfill‖. Journal of Environmental Hydrology Volume 8

http:// www.hydroweb.com

Prahasta, Eddy, Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView (Bandung : Informatika, 2005)

Budiyanto, Eko, Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS (Yogyakarta : Andi, 2002)

Environmental Modelling Research Laboratory, Groundwater Modelling System Tutorials (Brigham Young University, 2004)

Pollock, David W., User‘s Guide for Modpath/Modpath Plot, Version 3: A particle tracking post processing package for Modflow, the US Geological Survey Finite Difference Groundwater Flow Model, (Virginia : US Geological Survey, 1994)

Harbaugh, Arlen W., et al., Modflow-2000, The US Geological Survey Modular Groundwater Model – User Guide to Modularization Concepts and The Groundwater Flow Process (Virginia : US Geological Survey, 2000)

Page 80: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

60 Bandung, 12 September 2015

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

PEMODELAN PERAMALAN CURAH HUJAN PADA DAS PAMARAYAN DENGAN METODE ESIM

Stephen Sanjaya1*, Bambang Adi Riyanto1, dan Andreas Franskie Van Roy1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan

*[email protected]

Abstrak

Hujan sebagai salah satu komponen hidrologi memiliki sifat stokastik dan sulit diprediksi, namun secara bersamaan memegang peranan penting dalam penentuan alokasi kebutuhan air. Dalam sebuah sistem sungai, alokasi kebutuhan air umumnya direncanakan untuk pelayanan air baku di wilayah perkotaan atau irigasi untuk wilayah pedesaan. Atas dasar pelayanan tersebut maka diperlukan perencanaan yang baik dalam menentukan alokasi kebutuhan air. Salah satu metode untuk mendapatkan prediksi data penentuan alokasi kebutuhan air adalah dengan cara meramalkan curah hujan. Dalam proses peramalan, penelitian ini menggunakan Evolutionary Support Vector Machine Inference Model (ESIM), yang merupakan kombinasi dari Support Vector Machine (SVM) dan fast messy Genetic Algorithm (fmGA), dengan data histori curah hujan bulanan DAS Pamarayan sebagai objek studi. Dengan membandingkan 2 skenario yang berbeda dengan metode peramalan yang sama, akan diramalkan curah hujan bulanan selama 1 tahun kedepan untuk 3 stasiun curah hujan pilihan, yang mewakili wilayah DAS hulu, tengah dan hilir di dalam DAS Pamarayan. Kedua skenario ini hanya dibedakan atas penggunaan peramalan datanya, data curah hujan bulanan hasil peramalan untuk skenario 1, sedangkan data curah hujan bulanan hasil observasi untuk skenario 2. Dari hasil peramalan tersebut, penggunaan data hasil pengamatan memberikan nilai RMSE rata-rata yang lebih kecil untuk ketiga stasiun, sebesar 80,20% terhadap curah hujan rata-rata bulanan tahun 2003. Secara grafis, penggunaan data hasil observasi memberikan pola fluktuasi grafik yang lebih baik daripada penggunaan hasil peramalan itu sendiri. Merujuk pada besar persen penyimpangan yang terjadi maka metode ESIM tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal sehingga penelitian lebih lanjut terhadap penyebab besarnya penyimpangan yang terjadi patut dilakukan untuk menghasilkan peramalan yang lebih baik.

Kata Kunci: ESIM, SVM, fmGA, DAS Pamarayan, Curah Hujan Bulanan

LATAR BELAKANG Dalam siklus hidrologi, hujan merupakan salah satu komponen dasar yang paling banyak memberikan kontribusi besar dalam kuantitas air yang berada di muka bumi ini. Hujan juga memiliki peranan besar dalam kondisi suatu badan tangkapan air, seperti sungai, waduk, atau danau. Karakteristik yang dimiliki oleh hujan adalah sifatnya yang acak atau stokastik, dan sulit untuk diprediksi. Namun pada kenyataannya, peranannya dalam menentukan kuantitias air sangatlah penting, karena hal tersebut akan mempengaruhi sistem penggunaan air yang ada di sungai. Sistem tersebut berhubungan erat dengan alokasi kebutuhan air yang perlu direncanakan untuk kepentingan bersama. Kebutuhan pelayanan air baku, di Indonesia, sangatlah dipengaruhi oleh kondisi kuantitas air yang berada di sungai. Sebagai contoh, kebutuhan air baku di daerah pedesaan akan sangat mempengaruhi pengaturan sistem air dalam irigasi, sedangkan di daerah perkotaan, kebutuhan air baku sangatlah penting untuk pembagian sistem air untuk kebutuhan sehari-hari, seperti air minum. Oleh sebab itu mengetahui dan memiliki perencanaan pelayanan air baku sangatlah penting, karena merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia.

Page 81: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 61

Gambar 1. Siklus Hidrologi

(Sumber: www.riholtz.com)

Atas dasar kebutuhan pelayanan tersebutlah, penerapan sistem perencanaan alokasi kebutuhan air dapat dilakukan dengan memberikan kejelasan mengenai jumlah air yang dapat dimanfaatkan, dalam hal ini air hujan. Permasalahan tersebut dapat dijawab dengan mengestimasi atau melakukan prediksi terhadap kondisi air hujan yang ada. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi air hujan adalah membuat model peramalan. Melalui model peramalan inilah nilai estimasi dari curah hujan dapat diketahui, dan digunakan apabila tingkat akurasinya dapat diandalkan. Metode ini telah digunakan untuk penerapan banjir yang datang di suatu daerah, dan mengurangi resiko bencana yang dihadapi. Dengan kata lain, permasalahan kelebihan atau kekurangan air dapat diatasi dengan mudah, apabila nilai estimasi yang digunakan mampu memberikan estimasi yang akurat.

Gambar 2. Peta Lokasi Stasiun Hujan dan Poligon Thiessen

(Sumber: Sanjaya, 2015)

Page 82: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

62 Bandung, 12 September 2015

Permasalahan tersebut telah muncul di banyak daerah di Indonesia, salah satunya kebutuhan pelayanan air yang ada di daerah Banten, yaitu Bendung Pamarayan. Bendung ini merupakan salah satu bendung yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan kebutuhan air di Banten. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan didaerah Bendung Pamarayan. Namun, oleh karena keterbatasan data yang ada, dipilihlah 3 stasiun curah hujan di DAS Pamarayan yang mampun memberikan kontribusi terhadap model yang akan dibuat, yaitu dibagian DAS hulu, DAS tengah dan DAS hilir. DAS tersebut masing-masing diwakilii oleh Stasiun Curah Hujan Pamarayan, Cimarga dan Bojongmanik.

METODOLOGI STUDI

Evolutionary Support Vector Machine Inference Model

ESIM sebagai sebuah perkembangan ilmu pengetahuan terkini yang berkaitan dengan Artificial Inteligence, yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri secara dinamis dengan pemberian data. Dengan kata lain, ESIM merupakan alat pembelajaran yang mampu memperbaiki diri dengan kombinasi dari Support Vector Machine (SVM) dengan alat bantu fast messy Genetic Algorithm (fmGA). SVM sebagai metode dasar akan berusaha membentuk sebuah model black box yang prosesnya sulit untuk dijelaskan, oleh sebabnya kadang kala hasil akhir yang ada memiliki dasar yang kurang begitu kuat dan jelas. Sama halnya dengan metode statistikal lainnya, seperti AR atau MA, SVM juga memiliki nilai parameter yang harus diberikan sesuai dengan pembentukan model yang ada. Penentuan parameter itulah yang menjadi tantangan tersendiri untuk dapat digunakan oleh model, sehingga disinilah fungsi fmGA terhadap SVM, yaitu mengoptimalisasikan nilai parameter yang digunakan oleh model. Ada batasan parameter yang perlu dipatuhi dalam penggunaan metode ini yang tersaji dalam tabel 1.

Tabel 1. Daftar Konfigurasi Parameter pada Metode ESIM

(Sumber: Sanjaya, 2015)

Metode Parameter Rentang Nilai

SVMs C 0 – 200 γ 0.0001 – 1

fmGA probability of cut 0.6 probability of splice 1.0 probability of mutation 0.001 era 1 – 2

Secara garis besar, berdasarkan studi mengenai SVM oleh Anton (2003), SVM memiliki karakteristik tertentu, antara lain:

1. Secara prinsip, SVM adalah linear classifier

2. Pattern Recognition dilakukan dengan mentransformasikan data pada input-space ke ruang yang berdimensi lebih tinggi dan optimasi dilakukan pada ruang vector yang baru tersebut.

3. Menerapkan strategi Structural Risk Minimization (SRM)

4. Prinsip kerja SVM, pada dasarnya hanya mampu menangani klasifikasi dua kelas.

Dalam penggunaannya, seperti yang telah dijelaskan bahwa SVM merupakan sebuah metode pembelajaran, sehingga dibutuhkan sebuah set data sebagai acuan yang mampu merepresentasikan model yang terbentuk, yang kedepannya disebut sebagai training data. Berdasarkan karakteristiknya, SVM merupakan usaha mencari hyperplane terbaik untuk memisahkan dua buah kelas (classifier) pada input space dengan menggunakan dot product atau yang lebih sering disebut sebagai fungsi kernel. Dalam penentuan fungsi itu sendiri, akan sangat menentukan akurasi dari model yang dihasilkan. Namun dalam pemilihan fungsi tersebut, fungsi kernel yang paling sering digunakan dan dianggap mampu memetakan data yang paling baik adalah RBF atau Radial Basis Function, sehingga dalam penelitian ini digunakan fungsi RBF sebagai fungsi kernel.

Page 83: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 63

Sebagai alat optimasi, fmGA mampu memberikan solusi yang lebih efisien untuk permasalahan permutasi skala besar, dan didasarkan pada pendekatan akan fleksibilitas dalam kemungkinan proses hibridisasi dengan metode lain dalam mendapatkan solusi yang lebih baik, dalam hal ini SVM. Menggunakan konsep gen dalam kromosom, fmGA mampu menyelesaikan permutasi dari kombinasi antara posisi (allele locus) dengan nilai (allele value) yang kurang baik atau berlebihan dengan susunan yang berbeda dan yang paling optimum yang dapat diberikan.

Root Mean Square Error

Dalam menentukan perbandingan hasil peramalan setiap skenario, alat bantu yang digunakan untuk menghitung penyimpangan yang terjadi terhadap data sesungguhnya dilapangan adalah RMSE. RMSE merupakan rata-rata jumlah penyimpangan absolut yang terjadi pada kedua data secara keseluruhan, yang diformulasikan kedalam persamaan berikut.

n

ba

RMSE

n

t

tt

1

2)(

(1)

Keterangan: at: data sesungguhnya pada urutan ke-t bt: data hasil peramalan pada urutan ke-t n: jumlah data

Metode Penelitian

Secara garis besar, sebelum data dapat digunakan, dibutuhkan sebuah proses agar SVM dapat membaca dan mempelajari data yang digunakan berupa proses normalisasi. Normalisasi juga memiliki tujuan agar dalam pembuatan model yang ada, nilai penyimpangan yang dihasilkan akan memberikan ruang 10% dari data terendah dan tertinggi dalam proses peramalan. Setelah itu, proses penyusunan data juga sangat berpengaruh terhadap model yang akan disusun, dari jenis variabel yang berkaitan dengan data utama. Dalam pelaksanaan analisis yang ada, penelitian ini menggunakan data 3 bulan sebelumnya terhadap variabel utama yang akan diramalkan. Selain itu, pada proses penyusunan data, sangatlah penting untuk memberikan ruang untuk validasi data terhadap model. Sehingga proses pembagian data menjadi 80 dan 20 persen untuk data training dan data testing menjadi bagian yang krusial. Setelah pembagian ini siap, akan dilakukan penentuan nilai C dan gamma sebagai parameter model. Pada akhrinya proses peramalan dapat dilakukan apabila model telah siap digunakan. Susunan pelaksanaan model disajikan dalam gambar berikut.

Gambar 3. Proses Analisis Pemodelan

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Seperti yang telah dijelaskan bahwa, perbandingan akan dibuat dengan pembeda 2 skenario. Dengan tujuan membandingkan hasil ada, skenario 1 menggunakan hasil ramalan untuk diramalkan kembali sebagai pembaharuan data dalam proses peramalan kedepannya. Sedangkan skenario 2 menggunakan hasil observasi lapangan sebagai pembaharuan data untuk proses yang sama. Skenario 1 didasarkan pada peramalan yang dilakukan selama setahun untuk sebuah objek studi, yang akan dibandingkan penyimpangannya terhadap data asli, terhadap proses peramalan skenario 2 yang didasarkan pada data yang sesungguhnya. Sedangkan untuk segala jenis variabel yang ada dibuat sama, demikian disajikan pada tabel 2.

Page 84: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

64 Bandung, 12 September 2015

Tabel 2. Jenis Variabel untuk Setiap Skenario

(Sumber: Sanjaya, 2015)

Variabel Skenario 1 Skenario 2

Metode Linear linear

Parameter C dan γ C dan γ

Fungsi Kernel RBF RBF

Data Tambahan Hasil Ramalan Hasil Observasi

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

Hasil Studi

Berdasarkan seluruh proses analisis yang telah dilakukan, hingga tahap akhir, berikut nilai evaluasi penyimpangan rata-rata yang terjadi pada kedua skenario untuk seluruh stasiun curah hujan.

Tabel 3. Nilai Evaluasi Rata-rata untuk Kedua Skenario

(Sumber: Sanjaya, 2015)

Stasiun Curah Hujan

Rata-rata Curah Hujan

Bulanan Tahun 2003

RMSE (mm)

Skenario 1 Deviasi (%) Skenario 2 Deviasi (%)

Pamarayan 165,00 142,18 86,17 142,41 86,31 Cimarga 167,50 126,68 75,63 128,41 76,66

Bojongmanik 110,46 142,14 128,68 85,74 77,62

Rata-rata - 137,00 96,83 118,85 80,20

Maksimum - 142,18 128,68 142,41 86,31

Apabila ditinjau dari stasiun curah hujan pilihan, pada skenario 1, nilai evaluasi penyimpangan terkecil jatuh kepada Stasiun Cimarga, sebesar 126,68 mm, sedangkan pada skenario 2 adalah Stasiun Bojongmanik, yaitu 85,74 mm. Namun secara rerata keseluruhan stasiun curah hujan yang ada, nilai skenario 2 memberikan nilai kesalahan yang lebih kecil dibandingkan skenario 1. Peninjauan yang dilakukan pada perbandingan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2003 terhadap setiap skenario, menunjukkan bahwa penyimpangan terkecil yang terjadi pada skenario 1 juga pada Stasiun Cimarga, dengan persentasi sebesar 75,63%, sedangkan terhadap skenario 2 nilai deviasi terkecil jatuh kepada Stasiun Cimarga juga sebesar 76,66%. Dengan kata lain, pada kedua skenario, Stasiun Cimarga merupakan stasiun dengan penyimpangan peramalan yang lebih baik dibandingkan dengan stasiun lainnya.

Pembahasan

Secara garis besar, peramalan dengan skenario 1 memberikan hasil yang kurang memuaskan karena reliabilitas tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk peramalan berikutnya. Namun dengan demikian skenario 2 juga tidak memberikan hasil peramalan yang memuaskan mengingat nilai persentasi yang diberikan melebih batas 5-10% yang dapat diandalkan. Oleh sebab itu, SVM kurang memberikan hasil yang memuaskan terhadap DAS Pamarayan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa pertimbangan bahwa penggunaan varibel pendukung berupa data yang sama, mengingat bahwa variabel bebas yang digunakan juga merupakan variabel utama. Pada kasus ini, variabel bebas yang dapat digunakan sebagai fakto pendukung hujan adalah faktor iklim, seperti suhu, kelembaban, dan lama penyinaran matahari.

Berdasarkan stasiun curah hujan yang ada, pola grafik yang paling baik dihasilkan adalah Stasiun Curah Hujan Bojongmanik skenario 2 dibandingkan dengan stasiun curah hujan lainnya. Sedangkan yang lainnya belum mampu memberikan hasil peramalan yang sesuai dengan data observasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh penggunaan data (training data) belum mampu merepresentasikan model peramalan.

Page 85: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 65

Oleh sebab itu, untuk penelitian lebih lanjut jumlah data yang mempengaruhi peramalan juga perlu diteliti terlebih dahulu, atau yang lebih sering disebut sebagai analisis sensitivitas. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi peramalan yang akan dihasilkan, sehingga data yang digunakan mampu merepresentasikan model untuk peramalan.

Selain itu, mengingat bahwa metode ini merupakan metode black box, perlu diperhatikan juga kualitas data yang digunakan untuk model peramalan, baik dari konsistensi, kecenderungan, dan stabilitasnya. Apabila data yang digunakan memiliki ketiga permasalahan tersebut, perbaikan data untuk model dapat dilakukan dengan smoothing data.

Gambar 4. Grafik Hasil Peramalan Stasiun Curah Hujan Pamarayan

(Sumber: Sanjaya, 2015)

Gambar 5. Grafik Hasil Peramalan Stasiun Curah Hujan Cimarga

(Sumber: Sanjaya, 2015)

Gambar 6. Grafik Hasil Peramalan Stasiun Curah Hujan Bojongmanik

Page 86: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

66 Bandung, 12 September 2015

(Sumber: Sanjaya, 2015)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Simpulan yang dapat diberikan, berdasarkan hasil studi dan pembahasan adalah sebagai berikut:

1. Dengan evaluasi metode RMSE, hasil peramalan skenario 2 dianggap lebih baik dengan nilai deviasi yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil peramalan skenario 1, yaitu sebesar 118,85 mm dan 137,00 mm secara berurutan.

2. Sedangkan untuk stasiun curah hujan pilihan, Pos Pencatat Curah Hujan Bojonmanik memliliki hasil peramalan yang lebih baik dari kedua stasiun lainnya, dengan penyimpangan yang terjadi sebesar 85,74 mm pada skenario 2.

3. Pola pergerakan grafik yang ditunjukkan berdasarkan perbandingan kedua skenario menunjukan, hasil peramalan skenario 2 lebih baik daripada skenario 1.

4. Merujuk pada kedua hasil peramalan dan perbandingannya terhadap curah hujan pada tahun 2003, metode ESIM dirasa kurang memberikan hasil yang memuaskan, karena persentase deviasinya terhadap nilai hasil observasi lapangan mencapai lebih dari 10%.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisa dan simpulan yang telah ditarik, ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk studi lebih lanjut, antara lain:

1. ESIM sebagai metode black-box akan sangat dipengaruhi oleh kualitas data, sehingga dalam peramalan curah hujan, apabila data yang belum diperoleh dianggap kurang baik, dapat dilakukan perbaikan kualitas data terlebih dahulu, seperti smoothing data.

2. Dalam penelitian ini, data curah hujan yang digunakan untuk peramalan curah hujan itu sendiri, sedangkan pada kenyataannya bahwa hujan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti suhu, kelembaban, dan arah angin. Dengan demikian, untuk penelitian lebih lanjut, data iklim dapat diikutsertakan dan dianalisis pengaruhnya terhadap curah hujan untuk peramalan curah hujan itu sendiri.

3. Penggunaan data sebagai training data harus mampu mengindikasikan serta merepresentasikan data secara baik, sehingga penentuan analisis sensitivitas sebelum proses peramalan dilakukan menjadi factor penting dalam menjaga efektivitas peramalan.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, berkat seluruh kerja keras dan doa, makalah ini mampu diikutsertakan seminar TSDA 2015. Selain itu juga kepada rekan-rekan yang mendukung selama penelitian ini berlangsung.

REFERENSI

Adhikari, Ratnadio and R.K. Agrawal, An Introductory Study on Time Series Modelling and Forecasting, Master thesis.

Cheng, Min-Yuan and Yu-Wei Wu. 2008. Evolutionary Support Vector Machine Inference System for Construction Management. Elsevier: Automation in Construction

Mansell, M G. 2003. Rural and Urban Hydrology. Thomas Telford Ltd, Heron Quay, London

Page 87: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 67

Nugroho, Anto Satriyo et al. 2003. Support Vector Machine: Teori dan Aplikasinya dalam Bioinformatika. www.ilmukomputer.com

Prasetya, Herry dan Fitri Lukiastuti. 2009. Manajemen Operasi. Medpress, Yogyakarta

Roy, Andreas F.V. 2010. Evolutionary Fuzzy Desicion Model for Construction Management using Weighted Support Vector Machine. PhD Dissertaion, The National Taiwan University of Science and Technology, Taiwan

Page 88: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

68 Bandung, 12 September 2015

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDETEKSI KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN KUPANG

Basori

Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kekeringan lahan terjadi ketika suatu lahan mengalami kekurangan air yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah curah hujan. Dampak kekeringan di Indonesia dapat terlihat di lahan pertanian. Salah satu daerah yang selalu mengalami bencana kekeringan adalah Kabupaten Kupang. Bencana kekeringan di Kabupaten Kupang rutin terjadi dikarenakan kurangnya data peta yang menyediakan informasi daerah potensi kekeringan, hal ini dapat menjadi salah satu factor penghambat dalam perencanaan penyelesaian masalah kekeringan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan kekeringan lahan secara actual untuk mengetahui kondisi kekeringan lahan di Kabupaten Kupang. Penginderaan jauh dapat digunakan untuk pemantauan kekeringan lahan secara actual dengan menggunakaan indeks kekeringan. Pada penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan model TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) untuk memantau kekeringan lahan. Indeks TVDI dapat memberikan informasi kondisi ketersediaan lengas lahan di permukaan Bumi. Indeks TVDI dihitung berdasarkan suhu permukaan lahan dan indeks vegetasi. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan model TVDI dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan suhu permukaan lahan dari data Landsat 8 bulan November tahun 2014 di wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari model TVDI tersebut diperoleh daerah dengan nilai TVDI 0 – 0.2 (basah), 0.2-0.4 (agak basah), 0.4 – 0.6 (normal), 0.6 – 0.8 (agak kering), dan lebih dari 0.8 (kering) memiliki luas secara berturut – turut 92,021 km2, 1124,546 km2, 3514,166 km2, 1608,646 km2, dan 40,563 km2.

Kata Kunci: Kekeringan, Landsat, NDVI, TVDI

LATAR BELAKANG Kekeringan lahan dapat dijelaskan sebagai suatu periode di mana terjadi kekurangan air yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah curah hujan. Kekeringan merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan terjadi berulang. Sebanyak 10 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami gagal tanam akibat kekeringan. Kabupaten Kupang termasuk salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kekeringan. Di Kupang pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada lahan sehingga pemantauan kekeringan lahan secara aktual sangat penting dilakukan. (Emmy, F. 2007)

Salah satu komponen penting dari strategi kekeringan nasional adalah sistem pemantauan kekeringan secara komprehensif yang dapat memberi peringatan pada awal dan berakhirnya kekeringan, menentukan tingkat keparahan, dan menyebar-luaskan informasi pada berbagai sektor terutama sektor pertanian, air bersih, energi, dan kesehatan. Pemantauan kekeringan dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan suatu indeks kekeringan.(Hatmoko, W. 2012)

Salah satu indeks kekeringan untuk memantau kekeringan lahan adalah Temperature – Vegetation Dryness Index (TVDI). Indeks kekeringan TVDI dapat diformulasikan berdasarkan parameter indeks vegetasi dan suhu permukaan. Indeks vegetasi merupakan indicator yang baik untuk mengetahui tingkat kehijauan dan kondisi suatu vegetasi. Suhu permukaan (land surface temperature) merupakan indicator untuk mengetahui besarnya panas yang dikeluarkan oleh suatu permukaan berkaitan dengan proses

Page 89: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 69

evaporasi dan transpirasi. Indeks kekeringan TVDI memanfaatkan kombinasi dari indeks vegetasi dan suhu permukaan untuk mencerminkan kondisi kekeringan di suatu lahan. (Hung and Yosuoka dalam Parwati, 2008).

Seiring dengan kemajuan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG), informasi spasial suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih cepat. Teknologi penginderaan jauh daoat digunakan untuk mendapatkan kondisi kekeringan suatu lahan di daerah tertentu. Salah satu data penginderaan jauh yang mampu secara spektral menghasilkan parameter indeks vegetasi dan suhu permukaan adalah data citra satelit Landsat 8. Citra satelit landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 meter serta dapat memantau kondisi lahan setiap hari. Oleh karena itu model TVDI dengan menggunakan data Landsat 8 perlu dibangun untuk dapat memantau kekeringan lahan di Kabupaten Kupang sehingga strategi penanganan kekeringan ke depan dapat disusun dengan baik.

Kajian Pustaka

Indeks Vegetasi (Normalized Difference Vegetation Index)

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara reflektan merah dan inframerah dekat untuk menggambarkan vegetasi di permukaan. Reflektan merah mengalami penurunan terhadap perkembangan tanaman karena penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis. Sedangkan reflektan inframerah dekat akan meningkat terhadap perkembangan tanaman karenan proses pemantulan. Satu band tidak dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sederhana maupun pengamatan vegetasi secara global. Masalah ini telah dapat diselesaikan dengan melakukan kombinasi dua atau lebih band ke dalam persamaan yang disebut Indeks Vegetasi.

Indeks vegetasi merupakan pengukuran secara empiris dari aktifitas vegetasi. Tujuan utamanya adalah untuk membuat persamaan dari pengukuran secara presisi dari variasi spasial atau temporal dari vegetasi. Perbandingan sederhana (SR) merupakan indeks pertama yang digunakan yang terbentuk dengan membagi inframerah dekat dengan band merah.

(1)

Keterangan: SR = Simple Ratio Band 5 = band near infrared for Landsat 8 Band 4 = band red for Landsat 8

Untuk area vegetasi yang padat, jumlah dari reflektan merah yang diterima sangat kecil dan rasio akan meningkat tanpa batas. Untuk menormalisasi rasio ini dari -1 ke +1 digunakan indeks vegetasi NDVI dengan membagi perbedaan antara Infra merah dekat dan merah dengan jumlah infra merah dekat dan merah.

(2)

Keterangan: NDVI = Normalized Difference Vegetation Index Band 5 = band near infrared for Landsat 8 Band 4 = band red for Landsat 8

NDVI memiliki kelebihan dalam mengurangi gangguan tertentu dengan hubungan band dan pengaruhnya dikaitkan dengan variasi tidak langsung, awan dan bayangan awan, matahari dan sudutnya dan topografi. (Huete, A., Justice, C. dan Leeuwen, W.1999)

Secara aritmatis teknik normalisasi semacam ini digunakan untuk mendapatkan angka rasio yang tidak bersatuan (indeks) yang bernilai antara -1 hingga +1. Oleh karena spektrum inframerah dekat berkarakteristik high reflectance dan spektrum merah berkarakteristik minimum reflectance (penyerapan maksimum) oleh daun tumbuhan, maka nilai NDVI vegetasi akan selalu positif dan berbanding lurus dengan biomassa daun per satuan luas. (Saptarini, 2001)

Page 90: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

70 Bandung, 12 September 2015

Land Surface Temperature (LST)

LST dapat diperoleh dari citra satelit dengan melakukan perhitungan – perhitungan tertentu. LST merupakan salah satu parameter yang dibutuhkan untuk indeks kekeringan TVDI. Tahapan untuk mendapatkan nilai LST sebagai berikut:

Konversi Digital Number (DN) ke Top of Atmosfer Radiance

Persamaan yang digunakan untuk konversi DN ke TOA Radiance adalah sebagai berikut:

(3)

Dimana: Lλ = Top of Atmosfer Radiance ML = Band Specific Multiplicative factor from the metadata (Radiance_MULT_Band_X, dimana x adalah nomor band) AL = Band specific additive rescaling factor from the metadata (Radiance_Add_Band_X, dimana X adalah nomor band) Qcal= Digital Number

Koreksi atmosfer

Persamaan untuk koreksi atmosfer adalah sebagai berikut:

(4)

Di mana: CVR2 = koreksi atmosfer dari nilai radiance CVR1 = Top of atmosfer radiance atau Lλ L↑ = upwelling radiance L↓ = downwelling radiance = transmittance ε = emissivity

Data upwelling dan downwelling serta transmittance didapatkan dari website http://atmcorr.gsfc.nasa.gov/ dengan mengisi parameter – parameter informasi jam, tanggal, bulan, tahun perekaman data dan juga pusat koordinat lintang dan bujur dari citra yang digunakan.

Konversi Radian TOA terkoreksi ke suhu Kelvin

Persamaan yang digunakan untuk untuk konversi ke suhu kelvin adalah sebagai berikut:

2

( 1

)

(5)

Dimana:

T = suhu dalam kelvin

K1, K2 = band specific thermal convertion constant from the metadata

CVR2 = Radian TOA terkoreksi

Konversi suhu kelvin ke celcius

Untuk mendapatkan nilai dalam satuan celcius maka perlu dilakukan konversi menggunakan persamaan berikut:

Page 91: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 71

(6)

Dimana:

= suhu dalam celcius

= suhu dalam kelvin

Temperature Vegetation Dryess Index (TVDI)

TVDI merupakan salah satu indeks kekeringan berdasarkan kepekaan spektrum cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared) terhadap perilaku vegetasi dan kondisi stres vegetasi yang berkaitan dengan kekurangan air. Pada suatu lahan, umumnya indeks vegetasi NDVI (Normalyzed Difference Vegetation Index) akan meningkat seiring dengan menurunnya suhu permukaan (LST). Hal ini berkaitan dengan kemampuan vegetasi untuk mengatur suhunya melalui perpindahan panas laten yaitu perpindahan panas melalui evapotranspirasi. Radiasi yang diserap dan jumlah air yang tersedia di suatu permukaan lahan merupakan dua unsur utama yang mengatur suhu permukaan. Pada saat ketersediaan air menjadi minim baik di lahan yang bervegetasi maupun tidak, maka suhu permukaan akan meningkat.

Gambar 1. Hubungan LST dan NDVI

(Sumber: Parwati et al, 2008)

Kemiringan grafik pada hubungan antara LST dan NDVI berkaitan dengan laju evapotrans-pirasi, resistansi stomata vegetasi, dan kondisi lengas tanah. TVDI bernilai 1 berindikasi ketersediaan air yang terbatas (batas kering), sedangkan TDVI bernilai 0 berindikasi terjaminnya ketersediaan air. Jika permukaan lahan basah, maka suhu permukaannya rendah. Namun seiring dengan mengeringnya permukaan maka suhu permukaan akan meningkat. Pada permukaan lahan yang mempunyai tingkat NDVI tinggi, perubahan suhu permukaan (LST) tidak begitu nyata karena vegetasi mampu untuk mengatur air. Hubungan antara LST dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu permukaan maka indeks vegetasinya menurun (Daruati, D. 2012). Persamaan untuk indeks kekeringan TVDI adalah sebagai berikut:

(7)

Dimana LST merupakan suhu permukaan yang diamati pada suatu pixel citra. LST min merupakan suhu permukaan minimum untuk nilai NDVI tertentu sedangkan LST max merupakan suhu permukaan maksimum untuk nilai NDVI tertentu.

Page 92: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

72 Bandung, 12 September 2015

Hasil dari persamaan TVDI tersebut kemudian dilakukan klasifikasi untuk mengelompokkan nilai TVDI ke dalam kelas tertentu.

Tabel 1. Tingkat Kekeringan Berdasarkan TVDI

(Sumber: Parwati et al, 2008)

Tingkat Kekeringan TVDI

Basah 0 < TVDI ≤ 0.2

Agak Basah 0.2 < TVDI ≤ 0.4

Normal 0.4 < TVDI ≤ 0.6

Agak Kering 0.6 < TVDI ≤ 0.8

Kering 0.8 < TVDI ≤ 1

METODOLOGI STUDI Pemetaan kekeringan lahan menggunakan perhitungan Temperature Vegetation Drynes Index (TVDI) yang didasarkan pada hubungan antara suhu permukaan (LST) dan indeks kekeringan (NDVI). Indeks tersebut dikaitkan dengan kelembaban tanah dan diperoleh hanya berdasarkan input dari informasi satelit penginderaan jauh. Data NDVI dan LST diintegrasikan untuk mendapatkan nilai maksimum dan minimum pada setiap nilai NDVI. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik di Kabupaten Kupang. Hasil dari pengambilan sampel selanjutnya akan diplot ke dalam grafik dan dianalisa secara statistik (regresi linier) untuk memperoleh model TVDI. Kemudian dilakukan klasifikasi tigkat kekeringan berdasarkan nilai TVDI. Diagram alir pengolahan data sebagai berikut:

Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Data

DATA LANDSAT 8 DATA LANDSAT 8

NDVI LST

Training Sample Area di

Kupang

Menghitung LST minimum dan maksimum untuk setiap nilai NDVI pada setiap pixel

Analisa regresi antara LST min dan NDVI LST max dan NDVI

Perhitungan Nilai TVDI

Klasifikasi TVDI

Peta Kekeringan Lahan

Page 93: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 73

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Hasil Penghitungan NDVI

Nilai spektral hasil perhitungan NDVI di Kabupaten Kupang berkisar antara -0,856 sampai dengan 0,820. Nilai NDVI yang tinggi menunjukkan vegetasi yang lebih rapat. Nilai spektral tersebut dikelaskan berdasarkan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.12/Menhut-Ii/2012 dalam Dzulfikar et all, 2013 mengenai kelas kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral transformasi NDVI.

Gambar 3. Hasil pengolahan NDVI citra satelit landsat 8

Pada gambar 3 ditunjukkan hasil pengolahan citra Landsat 8 menggunakan indeks vegetasi NDVI. Dari hasil tersebut, perlu dilakukan klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI tersebut. Hasil klasifikasi NDVI ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Klasifikasi NDVI

Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diperoleh informasi mengenai kondisi kerapatan vegetasi di Kabupaten Kupang. Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kupang memiliki vegetasi dengan kerapatan tinggi. Luasan dari hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Luas Klasifikasi NDVI

No Interval Nilai Klasifikasi Luas (Km²)

1 -1 s/d -0.03 Lahan tidak bervegetasi 32,734

2 -0.03 s/d 0.15 Vegetasi sangat rendah 187,253

3 0.15 s/d 0.25 Vegetasi rendah 515,734

4 0.25 s/d 0.35 Vegetasi sedang 1791,198

5 0.35 s/d 1 Vegetasi tinggi 3972,977

Page 94: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

74 Bandung, 12 September 2015

Hasil Pengolahan Land Surface Temperature

Hasil pengolahan LST di Kupang berkisar antara 2,6540C sampai dengan 60,0420C. Nilai tersebut sangat beragam pada tiap – tiap piksel citra. Oleh karena itu dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan nilai yang lebih homogen.

Gambar 5. Hasil Pengolahan LST

Pada gambar 5 ditunjukkan hasil pengolahan citra Landsat 8 untuk Land Surface Temperature. Dari hasil tersebut, perlu dilakukan klasifikasi berdasarkan nilai LST tersebut. Hasil klasifikasi LST terdapat di gambar 6.

Gambar 6. Klasifikasi LST

Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diperoleh informasi mengenai kondisi suhu permukaan di Kabupaten Kupang. Luasan dari hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Page 95: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 75

Tabel 3. Luas Klasifikasi LST

No Interval Nilai Luas (Km²)

1 0 – 10 8,724

2 10 – 20 40,513

3 20 – 30 388,044

4 30 – 40 3230,088

5 40 - 50 2645,488

6 50 - 60 111,957

Model TVDI

Untuk mendapatkan nilai TVDI, diperlukan perhitungan LST minimum dan LST maksimum untuk setiap nilai NDVI pada setiap pixel citra satelit.

Gambar 7. Persebaran Sampel

Pada gambar 7 menunjukkan persebaran sampel yang digunakan untuk mendapatkan persamaan TVDI berdasarkan data LST dan NDVI. Dari data – data tersebut dilakukan analisa regresi untuk mendapatkan persamaan LST minimum dan LST maksimum terhadap nilai NDVI. Perhitungan TVDI dilakukan dengan memanfaatkan hubungan antara NDVI dan LST untuk menentukan indeks kekeringan.

Gambar 8. Korelasi NDVI dan LST

y = -40.856x + 55.224 Persamaan Garis Batas Kering

y = 4.2611x + 17.161 Persamaan Garis Batas Basah

0

10

20

30

40

50

60

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

LST

NDVI

LST_MAX LST_MIN Linear (LST_MAX) Linear (LST_MIN)

Page 96: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

76 Bandung, 12 September 2015

Gambar 8 menunjukkan bahwa persamaan LST maksimum = -40,856*NDVI + 55,224, sedangkan LST minimum = 4,2611*NDVI + 17,161. Dari hasil tersebut dapat diperoleh persamaan model TVDI sebagai berikut:

Hasil dari persamaan tersebut kemudian diekstraksi untuk mendapatkan peta kekeringan di Kabupaten Kupang.

Gambar 9. Peta Kekeringan Model TVDI

Dari peta kekeringan tersebut dapat diperoleh kondisi kekeringan di Kabupaten Kupang, hal ini dapat dijadikan sebagai data untuk pengelolaan dan pengembangan Sumber Daya Air di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Dari peta tersebut juga diperoleh luasan area kekeringan sebagai berikut.

Tabel 4. Luas Klasifikasi TVDI

KELAS LUAS (KM2)

BASAH AGAK BASAH

NORMAL AGAK KERING

KERING

92,021 1124,546 3514,166 1608,646

40,563

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Model TVDI yang diperoleh berdasarkan integrasi antara parameter indeks vegetasi (NDVI) dan suhu permukaan lahan (LST) dari data Landsat 8 untuk Kabupaten Kupang telah menghasilkan rumus TVDI sebagai berikut : TVDI = (LST – (4,2611*NDVI+17,161))/(-45,1171*NDVI+38,063).

Page 97: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 77

Dari persamaan tersebut didapatkan persebaran indeks kekeringan dengan kelas basah, agak basah, normal, agak kering, dan kering secara berurutan memiliki luasan 92,021 km2, 1124,546 km2, 3514,166 km2, 1608,646 km2, dan 40,563 km2.

Rekomendasi

Verifikasi dan validasi model TVDI perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya untuk mengetahui tingkat akurasi model TVDI.

DAFTAR PUSTAKA

Daruati, D. 2012. Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi Jawa Barat. Thesis Magister Ilmu Geografi Universitas Indonesia

Emmy, F. 2007. Ribuan Orang di NTT Terancam kelaparan Akibat Kekeringan. <URL:http://news.detik.com/read/2007/02/15/152530/742708/10/ribuan-orang-di-ntt-terancam-kelaparan-akibat-kekeringan> [diakses pada tanggal 27 Juni 2015]

Hatmoko, W. 2012. Indeks Kekeringan Hidrologi untuk Alokasi Air di Indonesia. MHI Bandung

Huete, A., Justice, C. dan Leeuwen, W.1999. Modis Vegetation Index (Mod 13) Algorithm Theoretical Basis Document. <URL:http://modis.gsfc.nasa.gov/ > [diakses pada tanggal 15 Juni 2015]

Ibrahimi, A.A dan Handayani, H.H. 2013. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Memetakan Kekeringan Lahan dengan Metode Temperature Dryness Index (TVDI) (Studi Kasus: TN Bromo Tengger Semeru). Jurnal Teknik POMITS Vol X, No. X, (Jun, 2013) ISSN: 2301-9271

Jamil, D. H., Tjahjono, H., Parman, S., 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Geo image (Spatial – Ecological – Regional) 2, 2013, ISSN: 2252-6285

Parwati dan Suwarsono, 2008. Model Indeks TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) untuk Mendeteksi Kekeringan Lahan Berdasarkan Data Modis-Terra. Jurnal Penginderaan Jauh Vol.5, 2008: 35 – 44.

Saptarini, D. 2001. Analisis Penggunaan Greenness Index – Tasseled Cap Transformation dalam Penentuan Kondisi Mangrove Menggunakan Data Inderaja (Landsat TM). Prosiding Seminar Nasional Pusat SIG dan Penginderaan Jauh LP-ITS

Page 98: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

78 Bandung, 12 September 2015

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN PADA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DI RSUD LEBONG BENGKULU DALAM RANGKA PEMANFAATAN

AIR RE-USE

Mohammad Imamuddin

Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta.

email : [email protected]

Abstrak

Rumah Sakit Umum Daerah Lebong adalah salah satu rumah sakit pemerintah yang ada di Provinsi Bengkulu, didirikan sebagai Rumah sakit type D dan memiliki ruang rawat inap sebanyak 100 tempat tidur. Seiring tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, RSUD yang semula bertype D ingin meningkatkan akreditasi menjadi Rumah Sakit Type C dengan kapasitas rawat inap mencapai 200 tempat tidur. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, RSUD Lebong harus mempunyai fasilitas pengelohan

limbah sendiri. Pengolahan limbah itu sendiri diperlukan untuk menghindari pencemaran air tanah yang dikhawatirkan akan berdampak pada tidak dapat digunakannya air tanah untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Pengolahan limbah cair rumah sakit yang umum digunakan saat ini adalah menggunakan cara tradisional yang mempunyai beberapa kelemahan, yaitu waktu pengolahan yang lama, kualitas effluent yang tidak stabil dan dibutuhkan lahan yang luas untuk proses pengendapan. Untuk itu perlu dikembangkan proses pengolahan alternatif untuk mengatasi kelemahan yang ada pada proses pengolahan secara konvensional. Salah satunya dengan system Membran yaitu proses pengolahan biologis menggunakan jasa mikroba pendegrasi limbah cair. Membran disini untuk memisahkan padatan biomassa dengan cairan, sehingga effluent yang dihasilkan bebas dari biomassa. Untuk mewujudkan hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Membrane pada Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sehingga air yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk kebutuhan air bersih.

Kata Kunci: rumah sakit, air limbah, teknologi membran

Pendahuluan

Latar Belakang

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu didirikan sebagai Rumah sakit type D. Seiring tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, RSUD yang semula bertype D ingin meningkatkan akreditasi menjadi Rumah Sakit Type C, RSUD Lebong merupakan salah satu Rumah Sakit di Provinsi Bengkulu yang belum memiliki fasilitas kesehatan yang cukup memadai. RSUD Lebong beralamat di Jl. Muara Aman- Curup Desa Muning Kecamatan Lebong Sakti Kabupaten Lebong. RSUD Lebong melayani rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan laboratorium, gawat darurat, yang dilengkapi tenaga medis dan perawat

Sebagai sarana pelayanan kesehatan umum, tempat berkumpulnya orang sakit dan sehat, sangat potensial terjadi penularan penyakit, pencemaran lingkungan, serta gangguan kesehatan. Untuk meminimalkan dampak tersebut perlu dilakukan kegiatan pengelolaan kesehatan lingkungan Rumah Sakit sesuai dengan persyaratan perundang–undangan kesehatan dan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan rumah sakit tidak hanya dilakukan dalam rangka memenuhi peraturan, tetapi juga untuk

Page 99: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 79

meningkatkan kualitas higenitas rumah sakit dan keamanan pengunjung maupun pasien dari potensi terkontaminasi bahan berbahaya dan penyebaran bibit penyakit;

Pengelolaan limbah di rumah sakit saat ini telah bergeser menjadi masalah strategis dalam pengelolaan sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang mengelola limbahnya dengan mengabaikan standarisasi pengelolaan, akan menghadapi persoalan baik teknis, prosedural dan sistem yang berdampak pada persoalan hukum lingkungan, baik terkait dengan pelanggaran peraturan perundangan maupun tuntutan masyarakat akan potensi pencemaran lingkungan. Untuk itu, dimasa mendatang pengelolaan limbah harus ditangani dengan prinsip-prinsip teknis dan administrasi yang benar, agar keluaran pengelolaan limbah akan menggambarkan model rumah sakit yang ramah lingkungan (green hospital);

Untuk mewujudkan model rumah sakit yang ramah lingkungan tersebut, maka limbah yang dihasilkan secara terus menerus harus dikelola dengan pendekatan manajemen strategis. Dengan pendekatan strategis ini, maka rumah sakit dapat memproteksi resiko limbah dan memperkecil paparannya dengan pendekatan teknis, sistem dan manajemen dengan berbasis pada pelaksanaan yang memenuhi standar, efisiensi dan menjamin perlindungan dampak lingkungan hidup dan dampak kesehatan masyarakat;

Kompleksnya permasalahan lingkungan di rumah sakit memerlukan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan perbaikan berkelanjutan atas pengelolaan lingkungan rumah sakit harus dilaksanakan secara konsisten;

Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan Rumah Sakit dari pencemaran limbah yang dihasilkannya maka rumah sakit harus mempunyai fasilitas pengelolaan limbah sendiri yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;

Dalam rangka mendukung upaya-upaya tersebut diatas, Jajaran Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu memandang perlu menindakanjuti dengan membangun instalasi pengolah air limbah (IPAL) dengan memanfaatkan teknologi membran sebagai langkah awal dalam mendukung upaya pengendalian pencemaran dan dan daya rusak air.

Maksud dan Tujuan

Maksud dan Tujuan dari penelitian ini adalah termanfaatkannya air setelah pengelolaan air limbah dengan menggunakan teknologi membran guna meminimalkan daya rusak air di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu.

Metodologi

Metodologi pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1. Survai lapangan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu.

2. Melakukan observasi lapangan dan perencanaan penentuan pengambilan data-data sekunder. Selain itu juga dilakukan analisis sistem pengolahan air limbah.

3. Pengumpulan data, dengan target mendapatkan data-data sebagai berikut:

a. Peta lokasi. b. Peta pengelolaan air. c. Jumlah pemakaian air. d. Peta penyebaran sumber limbah.

4. Pengolahan data dan analisis, yaitu dengan melakukan pengolahan data sekunder dan data primer dengan bantuan perangkat lunak basis data dan statistik kemudian hasilnya dianalisa.

Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Diperolehnya data tentang sebaran sumber buangan limbah.

Page 100: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

80 Bandung, 12 September 2015

2. Diperolehnya gambaran tentang rencana penghematan pemakaian air bersih.

3. Diperoleh satu desain perencanaan pengelolaan limbah.

4. Mendapatkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh jika melakukan pengolahan air limbah dengan memanfaatkan teknologi membran

KAJIAN PUSTAKA Rumah sakit yang meliputi kegiatan rawat jalan, rawat inap, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi, pathologi, kedokteran nuklir serta kamar operasi/bersalin dan lain-lain, tentunya menghasilkan limbah yang bila dibiarkan akan mengganggu kesehatan dan lingkungan sekitarnya. Ada pelbagai macam pembagian jenis limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit antara lainnya :

1. Limbah Non-medis :

Limbah ini mempunyai karakteristik seperti limbah yang dihasilkan oleh lingkungan rumah tinggal dan lingkungan hidup masyarakat pada umumnya. Limbah non-medis ini bisanya berasal dari kegiatan pelayanan administrasi umum/medis, poliklinik (out patient department), dapur, loundry dan gudang dari suatu rumah sakit.

2. Limbah Medis :

Limbah ini mempunyai karakteristik seperti yang dihasilkan industri farmasi, dll atau seperti limbah medis di rumah sakit pada umumnya, limbah ini bisa berasal dari antara lain; kamar operasi/bersalin, pathologi, laboratorium, rotgen (x-ray) dan lain-lain. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ini berpotensi untuk menghasilkan bahan/zat-zat yang mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun).

Limbah yang dihasikan oleh rumah sakit dapat dipisahkan, menurut sumber dari setiap fungsi kegiatan yang dilakukan dalam rumah sakit.

a. Limbah dari pelayan Unit Rawat Jalan, Administrasi .

Kegiatan pemeriksaan, poliklinik, laboratorium, X-Ray, administrasi menghasilkan jenis limbah.

Limbah padat/kering: Seperti spuit/jarum suntik, perban, kapas, plester

Limbah cair : Seperti faeces, urine, dan cairan lainnya. Sumber limbah dari klosed,

wastafel, orinoar

b. Limbah dari pelayanan Unit Rawat Inap .

Kegiatan pemeriksaan, dan perawatan pasien di kamar / bangsal menghasilkan limbah,

Limbah padat : Seperti spuit/jarum suntik, perban, kapas, plester, Sisa makanan, anatomi

tubuh, darah dll

Limbah cair : Seperti facces, urine, darah, dahak, dan cairan Sumber limbah dari

klosed,wastafet,spoel hok dll

c. Limbah dari pelayanan Dapur/Kitchen .

Kegiatan penerimaan barang, pengolahan dan memasak bahan makanan serta minuman, limbah yang dihasilkan:

Limbah padat : Seperti sisa bahan makanan, bungkusan plastik/kertas

Limbah cair : Seperti bekas cucian beras, sayuran, daging dan Ikan serta minyak, lemak /

grease. Sumber limbah dari bak kontrol atau penangkap lemak.

Page 101: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 81

d. Limbah dari aktifitas/kegiatan Laundry.

Kegiatan pembersihan/mencuci pakaiaan, menjahit, menyeterika dan desinfectan dan menghasilakan limbah,

Limbah padat : Seperti kain-kain bekas, benang , deterjen/sabu, baju pasien, masker, baju

dokter operasi

Limbah cair : Merupakan hasil cucian dari pakaian yang mengandung deterjen/ sabun dan zat desinfectan. Sumber limbah dari tempat cuci/ bak penampunga air

e. Limbah kegiatan dari Laratorium, Radiologi/X-Ray dan Farmasi :

Kegiatan pemeriksaan dan penelitian (infections) serta foto rongen dari penyakit pasien RS maupun dari luar, limbah yang dihasilkan,

Limbah padat : Seperti spuit, botol-botol percobaan, tabung gelas, botol obat – obatan bekas

Limbah Cair : Cairan yang mengadung zat kimia, dan organ tubuh. Sumber limbah dari

wastafel / Spoel Hok dan bak cuci foto Rongen dan bak penampungan

khusus.

f. Limbah dari kegiatan Operasi/Bersalin :

Kegiatan pemeriksaan, diaknosa/pembiasan, operasi dan melahirkan, limbah yang dihasilkan :

Limbah padat : Seperti spuit / jarum suntik, kapas, perban, plester, Sisa makanan, organ

tubuh

Limbah cair : Darah, abses, ketuban, urine, air cucian Sumber limbah dari Spoel hok,

wastafel dan bak

Semua hasil limbah yang ada dalam gedung rumah sakit seperti yang disebutkan diatas perlu ditangani dengan seksama, karena limbah yang dihasilkan termasuk limbah yang kompleks dan rumit serta berpotensi untuk mencemari lingkungan maupun air tanah disekitarnya, karena mengandung bahan senyawa polutan. Penanganan limbah cair, antara lain :

a. Limbah padat kering (Rubbish) :

Yang mengandung bahan B.3 limbah ini berasal dari Laboratorium, Operasi, Bersalin, Rongen/X-Ray berupa spuit/ jarum suntik, kemasan obat, perban, kapas, plester dll ini dimasukkan kedalam incenerator, yang merupakan alat pemanasan / pembakaran dengan bahan bakar solar yang

temperaturnya 1.000 C dan diberi corong asap tinggi agar cukup aman untuk lingkungan sekitarnya.

b. Limbah padat basah (Garbage) :

Limbah yang banyak mengandung air dan berasal dari gedung dapur (kitchen) dan Laundry (cuci), rawat inap. Hasil limbah ini dimasukkan atau dibuang kedalam tempat pembuangan yang disediakan oleh rumah sakit dan kemudian dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). (Proses dan cara kerja diatas ad 1 dan ad 2 tidak dibahas lebih lanjut)

c. Limbah cair :

Merupakan air limbah yang dihasilkan dari semua kegiatan dalam rumah sakit dan memungkinkan mengandung migro-organisme, bahan kimia beracun dan bahan organik. Hasil limbah cair ini sebelum dialirkan ke Unit Pengolahan Limbah cair (UPL) harus terlebih dahulu melalui Pretreatment (pengolahan pendahuluan).

Page 102: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

82 Bandung, 12 September 2015

Agar limbah cair yang akan diolah tidak mengandung bahan-bahan yang mengganggu proses pertumbuhan bakteri pendegradasian limbah cair dalam UPL nanti, seperti lemak (grease) dari dapur, bahan kimia dari laboratorium, zat Pb dari Rongen/X-Ray deterjen dari laundry dll. Sehingga beban pencemar (polutan) sudah dapat dikurangi dengan pretreatment, limbah cair yang sudah melewati pretreatment bergabung dalam sistem sewerage menuju ke UPL untuk dikelolah lebih lanjut.

1. Jenis/definisi

Air Kotor: Air limpasan septic tank yang berasal dari buangan WC/ kamar mandi

Air Bekas: Air buangan dari washtafel, tempat wudlu atau tempat tempat lain selain kamar mandi

Air Limbah: Pada Rumah Sakit air limbah dapat berupa limbah cair infeksius (limbah klinis) dan limbah padat infeksius.

Limbah cair rumah sakit adalah seluruh limbah cair (air buangan sisa aktivitas dan tinja) yang berasal dari kegiatan rumah sakit dan seluruh fasilitas penunjangnya. Pada dasarnya air kotor dan air bekas dapat disalurkan langsung ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Dengan meningkatnya kegiatan akan meningkat pula kapasitas air limbah / air kotor yang dihasilkan.

2. Asal limbah:

Toilet/spoel hook dan wastafel, Closet, Urinoir, Cuci film, Tempat cuci di Laundry, Tempat pemandian di Kamar jenasah, Radiologi–Laboratorium, CSSD (Sterilisasi), Ruang Bedah / operasi.

Limbah padat berasal dari : laboratorium, ruang bedah, ruang operasi, limbah padat infeksius rumah sakit seperti : kain kasa, botol infus, anatomi tubuh, darah, baju operasi, baju pasien, masker, jarum suntik bekas (khusus jarum suntk harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum masuk incinerator).

3. Kapasitas Instalasi Air Limbah, Dihitung dari jumlah tempat tidur dan potensi limbah dari asal limbah rumah sakit.

Kapasitas limbah padat : dihitung dari banyaknya limbah yang dihasilkan rata-rata di tempat penyimpanan sementara limbah per hari nya.

4. Identifikasi data kualitas air limbah sebelum diolah 5. Kualitas mutu limbah cair ;

Output enfluent sesuai Kep Men KLH No : kep 58 / MENLH/12/1995 untuk baku mutu limbah cair bagi kegiatan Rumah Sakit, yaitu:

Suhu : < 30° C

BOD5 : < 30 mg/l

COD : < 80 mg/l

TSS : < 80 mg/l

NH3 bebas : 0,1 mg/l

PO4 : 2 mg/l

Mikrobiologik : 10.00/100ml

PH : 6 – 9

6. Karakteristik Air Limbah : Untuk mengetahui komposisi dari air limbah, maka perlu diketahui analisis sifat-sifat air limbah .

Page 103: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 83

1. Sifat Fisik Air Limbah :

Merupakan penentuan derajat kekotaran air limbah sangat dipengaruhi oleh adanya sifat fisik yang mudah terlihat, jadi sifat fisik air limbah adalah zat padat yang dikandung oleh air limbah yang mempunyai efek estetika, kejernian, bau dan warna serta temperaturnya.

2. Sifat Kimia Air Limbah dan Limbah Padat :

Sifat kimia air limbah adalah kandungan bahan kimia dalam air limbah dan sering merugikan lingkungan dan Bahan kimia yang sering terdapat antara lain :

a. Bahan organik: mengandung Protein, Karbohidrat dan lemak serta Deterjen/Sulfactant dan Fonol.

b. Bahan anorganik: mengandung Klorida, Sulfur, Zat beracun/ logam berat, Metan, Netrogen, Fosfor dan Gas.

c. Limbah Padat: mengandung Mercury, Timbal, Sulfur, Amonia

3. Sifat Biologis Air Limbah dan Limbah Padat : Sifat biologis air limbah adalah kandungan bahteri patogen yang ada dalam air limbah dan digunakan untuk keperluan pengukuran kwalitas air serta penaksiran tingkat kekotoran air limbah.

Sifat biologis limbah padat adalah kandungan bakteri atau kuman yang terdapat dlaam limbah anatomi tubuh atau dari limbah padat organik lainnya

7. Teknologi Membran

Membran ialah sebuah penghalang selektif antara dua fasa. Membran memiliki ketebalan yang berbeda - beda, ada yang tebal dan ada juga yang tipis serta ada yang homogen dan ada juga ada heterogen. Ditinjau dari bahannya membran terdiri dari bahan alami dan bahan sintetis. Bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam misalnya pulp dan kapas, sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia, misalnya polimer.

Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul, menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Larutan yang mengandung komponen yang tertahan disebut konsentrat dan larutan yang mengalir disebut permeat. Filtrasi dengan menggunakan membran selain berfungsi sebagai sarana pemisahan juga berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan yang dilewatkan pada membran tersebut.

Struktur Membran Berdasarkan jenis pemisahan dan strukturnya, membran dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu:

1. Porous membrane. Pemisahan berdasarkan atas ukuran partikel dari zat-zat yang akan dipisahkan. Hanya partikel dengan ukuran tertentu yang dapat melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan. Berdasarkan klasifikasi dari IUPAC, pori dapat dikelompokkan menjadi macropores (>50nm), mesopores (2-50nm), dan micropores (<2nm). Porous membrane digunakan pada microfiltration dan ultrafiltration.

2. Non-porous membrane. Dapat digunakan untuk memisahkan molekul dengan ukuran yang sama, baik gas maupun cairan. Pada non-porous membrane, tidak terdapat pori seperti halnya porous membrane. Perpindahan molekul terjadi melalui mekanisme difusi. Jadi, molekul terlarut di dalam membran, baru kemudian berdifusi melewati membran tersebut.

3. Carrier membrane. Pada carriers membrane, perpindahan terjadi dengan bantuan carrier molecule yang mentransportasikan komponen yang diinginkan untuk melewati membran.

Page 104: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

84 Bandung, 12 September 2015

Carrier molecule memiliki afinitas yang spesifik terhadap salah satu komponen sehingga pemisahan dengan selektifitas yang tinggi dapat dicapai.

Beberapa keunggulan teknologi membran:

1. Pemisahan dapat dilakukan secara continue

2. Konsumsi energi umumnya relatif rendah

3. Proses membran dapat dengan mudah digabungkan dengan proses pemisahan lainnya (hybrid processing)

4. Pemisahan dapat dilakukan dengan kondisi operasi yang dapat diatur

5. Mudah dalam scale up

6. Tidak memerlukan bahan tambahan

7. Pemakaiannya mudah diadaptasikan karena material penyusun membran yang bervariasi

Kekurangan teknologi ini antara lain adalah fluks dan selektivitas, karena pada proses pemisahan menggunakan membran umumnya fenomena yang terjadi adalah fluks berbanding terbalik dengan selektivitas. Semakin tinggi fluks sering kali berakibat menurunnya selektivitas, dan sebaliknya. Sedangkan yang diinginkan dalam proses pemisahan berbasis membran adalah mempertinggi fluks dan selektivitas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja membran antara lain:

1. Ukuran molekul

2. Bentuk molekul

3. Bahan membrane

4. Karakteristik larutan

5. Parameter operasional (tekanan, suhu, konsentrasi, pH, ion strength, polarisasi)

Teknologi membran dalam pengolahan air dan limbah merupakan proses pemisahan secara fisika yang memisahkan komponen yang lebih besar dari yang lebih kecil. Berbagai jenis proses membran dikategorikan berdasarkan driving force, jenis dan konfigurasi membran dan kemampuan penyisihannya. Proses membran dipergunakan dalam sistem pengolahan air minum dan air buangan seperti dalam proses desalinasi, pelunakan, penyisihan bahan organik, penyisihan warna, partikel dan lain-lain. Proses membran telah ada sejak 25 tahun yang lalu dan saat ini proses tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat.

Proses membran dapat diklasifikasikan berdasarkan driving force untuk menyokong proses pengolahan air. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi membrane adalah:

1. Tekanan

2. Daya listrik

3. Suhu

4. Gradien konsentrasi

5. Kombinasi lebih dari satu driving force

Proses membran dengan menggunakan tekanan dan tenaga listrik hanya tersedia secara komersial dan telah umum dipergunakan untuk proses pengolahan air minum dan buangan. Proses membran yang paling umum adalah proses yang dijalankan dengan tekanan, dimana tekanan di dalam dan di luar membran berbeda.

Page 105: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 85

Berdasarkan ukuran pori membrane, membran dapat dibagi menjadi empat tipe:

1. FESF (RO)

2. Nanofiltration (NF)

3. Ultrafiltration (UF)

4. Microfiltration (MF)

Reverse osmosis merupakan proses filtrasi yang paling baik, yang dapat menyisihkan partikel-partikel berukuran 1Ao sampai 10Ao, demikian pula dengan ultrafiltrasi yang mampu menyisihkan partikel berukuran 10Ao sampai 1000Ao. Virus influenza dapat disisihkan oleh alat ini. Mikrofiltrasi dapat juga menyisihkan bakteri, pseudomonas dan bakteri-bakteri lainnya. Dalam proses filtrasi membran ini, terhadap air yang akan diolah harus dilakukan pengolahan pendahuluan supaya partikel-partikel yang berukuran besar tidak ikut masuk, sehingga tidak mengganggu kinerja alat yang nantinya akan merusak membran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEBUTUHAN AIR

Berdasarkan hasil survai lapangan dan dilanjutkan diskusi dengan pihak rumah sakit, diperoleh keterangan tentang pemakaian air di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu. Air ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 200 kamar tempat tidur dan jumlah tenaga kerja sebanyak 20 orang dengan asumsi penggunaan air sebanyak 500 liter per hari. Untuk memenuhi kebutuhan air tersebut, maka digunakan satu sumber air, yaitu dari air tanah dalam. Dari hasil diskusi, diketahui pemakaian air rata-rata per hari adalah sekitar 110 m3/hari.

JUMLAH AIR LIMBAH

Pada umumnya, untuk menentukan jumlah limbah yang dihasilkan didasarkan dari pemakaian air yang berpotensi menjadi limbah. Untuk keperluan domestik pada umumnya jumlah limbahnya sebesar 80 – 90% dari pemakaian air yang berpotensi menjadi limbah. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah limbah yang dihasilkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu sebesar 90 % x 110 m3/hari yaitu 99 m3/hari.

Perkiraan jumlah limbah ini akan digunakan sebagai dasar disain IPAL yang direncanakan.

Sumber limbah yang ada dari kamar mandi (grey water), laundry, dapur, dan dari overflow septik tank (black water), air bekas wudludan lain-lain menyebar di seluruh area rumah sakit. Saat ini semua limbah tersebut diresapkan ke dalam tanah, dan kalau dibiarkan dalam jangka waktu lama suatu ketika akan mencemari air tanah yang saat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit. Jika hal ini terjadi, maka air tanah tersebut tidak dapat lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan air rumah sakit yang memerlukan air dengan kualitas tinggi. Untuk menghindari hal ini, maka diperlukan sistem penghematan pemakaian air dan system pengolahan air limbah yang dapat menghilangkan polutan yang ada sehingga lingkungan tetap terjaga dengan baik. IPAL yang dilengkapi dengan re-use ini ternyata dapat menjawab dan menyelesaikan kedua persoalan tersebut sekaligus, dimana sistem IPAL akan mendegradasi polutan yang ada sehingga akan menjaga lingkungan dari bahaya pencemaran dan sistem re-use akan mensuplay air untuk kebutuhan lain sehingga akan terjadi penghematan pemakaian air.

SISTEM PENGUMPULAN AIR LIMBAH

Karena di rumah sakit hanya tersedia satu calon lokasi IPAL yang sesuai, maka pengolahan limbah rumah sakit ini akan menggunakan sistem terpusat. Untuk itu diperlukan satu sistem yang dapat menyalurkan semua limbah yang ada menuju lokasi IPAL. Karena area rumah sakit yang sangat luas (± 2 Ha) dan datar serta sumber limbah saat ini berada di tengah-tengah taman yang sudah tertata rapi, maka diperlukan suatu sistem yang tidak sederhana. Agar sistem dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan rencana yang diinginkan serta tidak mengganggu secara estitika dan keindahan, maka diperlukan

Page 106: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

86 Bandung, 12 September 2015

perencanaan jaringan yang tepat sesuai dengan tempat tersebut. Ada dua alternatif sistem pengumpulan limbah yang dapat dikerjakan serta jenis dan sumber limbah yang akan diolah di IPAL ini

nanti. Gambar 1 menunjukkan system pengumpulan limbah dari sumbernya.

Gambar 1. Denah Eksisting, Rencana Lokasi IPAL dan Permipaan

TEKNOLOGI IPAL YANG DIGUNAKAN

Dalam menentukan teknologi proses pengolahan air limbah Rumah Sakit, didasarkan atas beberapa kriteria antara lain:

a. Efisiensi pengolahan dapat mencapai standar Baku Mutu Lingkungan, b. Pengelolaannya harus mudah, c. Lahan yang diperlukan tidak terlalu besar, d. Konsumsi energi sedapat mungkin rendah, e. Biaya operasinya rendah, f. Lumpur yang dihasilkan sedapat mungkin kecil, g. Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar, h. Dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik, i. Perawatannya mudah dan sederhana.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas untuk pengolahan air limbah Rumah Sakit yang tepat digunakan adalah kombinasi proses biofilter anaerob-aerob. Skema proses biofilter anaerob-aerob seperti diperlihatkan di bawah ini.

Gambar 2. Layout IPAL

Page 107: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 87

URAIAN SISTEM IPAL DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI MEMBRAN

1. PROSES PENGOLAHAN LIMBAH DI IPAL Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakam salah satu bagian dari kegiatan Rumah Sakit dalam upaya mewujudkan lingkungan Rumah Sakit yang bersih dan sehat, Oleh karena itu dibutuhkan suatu penanganan serius dan khusus dalam mengelolah hasil limbah yang dihasilkan oleh kegiatan Rumah Sakit. Limbah cair Rumah Sakit yang sudah melewati proses pengolahan pendahuluan (Pretreatment) bergabung dalam sistem sewerage menuju Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL) terdapat beberapa tahap pengolahan, yaitu:

a. Grit Chamber: Dari manhole terakhir dari sistem sewerage air limbah mengalir ke Grit Chamber, yang berfungsi:

Mengendapkan padatan padatan dari limbah cair (influen )

Perbedaan berat jenis menyebabkan limbah cair dan sampah yang terbawah saja yang mengalir ke screen kasar.

Secara periodik dilakukan pengurasan dan dibuang ke pembuangan sampah.

b. Screen Kasar dan Halus :

Limbah cair dari Grit Chamber akan mengalir ke Screen Kasar, dan limbah dari Screen Kasar ke Screen Halus.

Menyaring sampah yang terbawah (daun, sayuran, plastik dsb). Screen Kasar menyaring sampah dengan ukuran > 15 mm dan Screen Halus menyaring sampah dengan ukuran > 8 mm.

Tiap hart harus diambil sampahnya dan dibuang ke pembuangan sampan c. Comminutor ( Penggiling/penghancur) :

Air limbah yang lewat dari Screen Halus masih mengandung bahan-bahan organik kasar yang berukuran > 1 – 6 mm. Menghancurkan bahan-bahan organik kasaryang berukuran > 1- 6 mm secara mekanik. Dalam keadaan off, lubang comminutor mampu dilewati aliran limbah cair (rotaring cutting teeth), motor penggerak ini dilengkapi. Dengan exhaust fan serta penutup dan berada 200c m dari penghancur sehingga terhindar dari rendaman air saat darurat banjir dan terkena hujan.

d. NetraLisasi: Air limbah yang mengandung padatan berukuran < 1- 6 mm akan mengalir ke dalam bak Netralisasi. Disini pH dinetralkan hingga mencapai pH = 7,0 karena pH dari air limbah influen bervariasi antara < 7,0 (asam)Atau > 7,0 (basa). Dalam proses netralisasi ini menggunakan beberapa peralatan antara lain

1) pH Controller dan Sensor: alat ini menera pH yang ada pada limbah cair dan sekaligusmengontrol kerja dari Dozing Pump (2) Apabila pH

2) Terbaca < 7,0 maka Dozing PumpAlkali ( Na OH ) Caustic soda. Akan bekerja sampai stop pada pH = 7,0 juga bila Ph terbaca > 7,0 maka Dozing Pump asam ( H2SO4 ) asam alkali akan berkerja sampai stop pada pH = 7,0

3) Dozing Pump: adalah pompa kimia yang akan mendosis larutan asam sulfat (acid) atau larutan caustic soda (alkali) secara tepat dan bekerja berdasarkan input dari pH Controller (1).

4) Mixer dan Tangki Kimia: mixer adalah pengaduk bahan kimia (asamsulfat atau caustic soda) di dalam tangki kimia. Blade dan Shaftnya dari stainless steel.Tangki kimia terbuat dari bahan polyethylene (PE) yang tahan terhadap larutan asamsulfat dan caustic soda.

e. Ekualisasi: Limbah yang telah netral pH nya dialirkan dalam bak ekualisasi unuk menampung limbah pada saat-saat peak hour dan memberikan kualitas limbah cair yang homogen Terdapat 4 ruangan bak ekualisasi yang harus dibersihkan tiap minggu dan endapan kotoran yang terbentuk secara manual dan selanjutnya dibuang ke pembuanan sampah atau dibakar dalam incinerator.

Page 108: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

88 Bandung, 12 September 2015

Submersible Pump (Pompa Proses) air Umbah yang sudah homogen dan pH netral ditransfer kedalam Splitter Tank (D4) secara kontinyu dengan pompa celup yang dilengkapi dengan WLC (water level controller) dan chek valve.

Splitter Tank (Tangki pembagi) dari Splitter Tank limbah cair akan dibagikan ketempat Reaktor Anaerobik secara merata untuk selanjut nya diproses secara biologis tanpa menggunakan oksigen (anaerobik).

f. Membran Bio Reaktor Sistem Membran Bio Reaktor dimana limbah cair dialirkan dan difiltrasi dengan menggunakan membran, dimana dibagi melalui tahapan:

Dalam reaktor ini limbah cair dari bak ekualisasi akan mengalami proses biologis secara aerobik beban polutan mengalami degradasi selama 4-6jam. Dalam proses ini akan terjadi penurunan beban polutan :

BOD 5: (70-80) %

COD: (65 - 75) %

TSS: (65-75) %

Aliran limbah cair dari bawah ke atas melalui pipa didalam reaktor. Kecepatan aliran limbah cair diatur oleh valve butterfly yang ada pada tanki pembagi.

Bakteri aerobik tumbuh dan berkembang dalam media bakteri yang ada didalam tanki reaktor. Gas metana dan volatile yang terjadi dalam tanki raeaktor akan dibuang ke udara lewat pipa gas.

Lumpur bakteri yang terjadi dikeluarkan setiap 30 - 35 hari sekali (lumpur sudah berwarna hitam) denganmembuka kran /velve Ø 6" yang berada didasar tanki reaktor dan dialirkan ke penirisan lumpur. Lumpur/sludge yangterjadi sedikit karena sebagian besar COC ( 55-65 )% aerasi menjadi gas. Dalam sistem ini dilengkapi dengan diffuser yang dapat mendistribusikan oksigen dalam butiran-butiran halus kelimbah cair. Oksigen (02) yang didistribusikan disIPALai oleh ROOTS BLOWER. DalamprosesAerobik initerdapat beberapa alat antara lain :

Roots Blower : adalah Blower dengan type Roots yang mensIPALay Oksigen, udara yang disIPALay sudah melalui proses filtrasi dan kompresi Disediakan 2 unit Blower (1 running dan 1 standby) yang diproses paralel dan dilengkapi dengan check valve.

Diffuser: adalah alat pendistribusi Oksigen menjadi butiran - butiran halus dalam limbah cair sehingga oksigen terlarut dalamair limbah. Untuk itu digunakan bakteri Aerob dalam proses filtrasi fisiologis dalam mendekomposisi limbah cair. Lumpur bakteri yang terjadi dalam tanki Aerobik dikeluarkan tiap bulan (lumpur sudah berwarna hitam) dengan membuka kran/valve Ø 6 ―yang berada dibawah dasar tanki Aerobik dan dialirkan kepenirisan lumpur.

Vacuum Flat Membrane : Dengan kemampuan filtrasi sampai 1.1 – 0.01 micron, sehingga mampu menyaring zat terlarut dalam air.

g. Klorinasi: Sebelum limbah cair yang sudah diolah (efluen) dibuang ke riol/sungai, maka harus melewari proses desinfeksi dengan klorin. Larutan klorin yang digunakan dapat berupa NaOCl atau CaOH2 (kaporit) dengan konsentrasi 10%. Larutan klorin didosiskan + 5 ppm. Dengan alat dozing pump yang dikontrol oleh ORP controller agar residu klorin yang ada pada efluen stabil + ppm alat ini setiap minggu dibersihkan agar pembacaan dan pengontrolan dosis tepat

h. Sludge Drying Bed (Penirisan Lumpur): Sludge/lumpur yang dihasilkan dari tanki Reaktor (Anaerobik/ Aerobik) Lumpur inimengandung kotoran dan sel bakteri yang telah mati, dibuang setiap 30-35 hari sekali dengan jalan membuka valve lumpur. Kemudian lumpur ini ditiriskan diatas lapisan pasir dan kerikil yang ada pada bak sludge drying bed, dapat dikumpulkan untuk digunakan sebagai pupuk tanaman/bunga.

Page 109: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 89

i. Fish Pool ( Kolam Ikan ): Sebagian besar air limah dariefluen sebelumdibuang dilewatkan pada bak klorinasi dan sebagian kecil dialirkan ke kolam ikan untuk menguji kadar polutan yang masih tersisa pada efluen.

j. Manhole Terakhir Manhole terakhir (diberi warna merah) dan merupakan influen dari IPAL ini sangat berguna untuk mengontrol dan menjaga kondisi limbah cair yang diolah dalam IPAL, apakah terjadi carry over dan grease/minyakterhadap bahan bahan organik dalam limbah cair.

k. Ruang Kontrol Seluruh peralatan yang dipergunakan dalam IPAL dikendalikan dalam ruang kontrol dengan sebuah panel. Dua buah Blower ditempatkan didalam ruang kontrol ini dan dilengkapi dengan peredam suara, fres air ventilasi dan exhaust air ventilasi, serta semua instrumen IPAL seperti : PH controller, ORP controller dan Flowmeter dipasang dalam satu box panel untu memudahkan pengontrolan.

l. Pompa Drainase Dalam keadaan hujan, pompa drainase yang berada pada platform reaktor akan memompa air hujan keluar selokan secara otomatis, karena dilengkapi dengan WLC (water level control).

m. Outlet hasil pengolahan IPAL harus memenuhi baku mutu : Output enfluent/mutu limbah cair sesuai Keputusan Menteri KLH No : kep 58 / MENLH/12/1995 untuk baku mutu limbah cair bagi kegiatan Rumah Sakit, yaitu:

Suhu : < 30° C

BOD5 : < 30 mg/l

COD : < 80 mg/l

TSS : < 80 mg/l

NH3 bebas : 0,1 mg/l

PO4 : 2 mg/l

Mikrobiologik : 10.00/100ml Dalam test commissioning di RSUD Lebong Bengkulu, menghasilkan seluruhnya dibawah ambang baku mutu yang telah ditetapkan Keputusan Menteri KLH No: kep 58 / MENLH/12/1995.

2. PENGOLAHAN SECARA FILTRASI

Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan padatan tersuspensi dari dalam air yang diolah. Pada penerapannya filtrasi digunakan untuk menghilangkan sisa padatan tersuspensi yang tidak terendapkan pada proses sedimentasi. Pada pengolahan air buangan, filtrasi dilakukan setelah pengolahan kimia-fisika atau pengolahan biologi. Ada dua jenis proses penyaringan yang umum digunakan, yaitu penyaringan lambat dan penyaringan cepat. Penyaringan lambat adalah penyaringan dengan memanfaatkan energi potensial air itu sendiri, artinya hanya melalui gaya gravitasi. Penyaringan ini dilakukan secara terbuka dengan tekanan atmosferik. Sedangkan penyaringan cepat adalah penyaringan dengan menggunakan tekanan yang melebihi tekanan atmosfir, biasanya dengan menggunakan pompa, seperti yang akan diterapkan di system re-use rumah sakit ini. Berdasarkan jenis media filter yang digunakan, penyaringan dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu filter media granular (butiran) dan filter permukaan. Pada jenis media granular, media yang paling baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: Ukuran butiran membentuk pori-pori yang cukup besar agar partikel besar dapat tertahan dalam media, sementara butiran tersebut juga dapat membentuk pori yang cukup halus, sehingga dapat menahan suspensi. Butiran media bertingkat, sehingga lebih efektif pada saat proses pencucian balik (backwash). Saringan mempunyai kedalaman yang dapat memberikan kesempatan aliran mengalir cukup panjang.

Sejauh ini media yang paling baik adalah pasir yang ukuran butirannya hampir seragam dengan ukuran antara 0,6 hingga 0,8 mm. Laju operasi untuk penyaringan ditentukan oleh kualitas air baku dan media filter. Pada umumnya laju penyaringan pada saringan pasir cepat adalah 82,4 liter per

Page 110: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

90 Bandung, 12 September 2015

menit/m2. Sistem yang ada pada saat ini dapat menaikkan aliran hingga 206 liter per menit/m2. Unggun saringan yang terdiri dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada diatas media pasir yang lebih halus (berat jenis 2,6). Susunan media dari atas ke bawah kasarhalus, akan memudahkan aliran air. Flok yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan unggun.

a. PENGOLAHAN SECARA ADSORPSI

Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara dua fase. Pada umumnya zat terlarut terkumpul pada interface. Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan materi dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di industri, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent polar akan menarik air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total luas permukaan umumnya antara 500 – 1500 m2/gr. Berat jenis kering lebih kurang 500 kg/m3.

b. BIAYA OPERASIONAL LISTRIK

Biaya operasional dari instalasi pengolahan limbah dan sistem penggunaan air kembali ini terdiri dari biaya listrik untuk pompa dan blower, biaya perawatan peralatan dan mesin dan biaya tenaga operator. Secara rinci jumlah biaya operasional IPAL tersebut adalah:

Tabel 1. Kebutuhan Daya Listrik perhari

Biaya peralatan sebesar Rp. 600.000 dengan tenaga operator sebesar Rp. 1.250.000 per orang diperlukan sebanyak 2 orang. Sehingga kebutuhan anggaran operasional perhari yaitu:

Tabel 2. Kebutuhan Operasional Perhari

No Jenis Biaya Jumlah Unit Satuan Total Biaya Per Hari

1 Total Biaya Listrik 137.05 Rp. 500 per KwH

Rp. 68.525,-

2 Biaya Perawatan Rp. 20.000,-

3 Biaya Tenaga Kerja 2 Orang Rp. 1.250.000 Rp. 83.333,-

Jumlah Rp. 171.858,-

Dari total biaya operasional IPAL ini dapat dihitung juga besarnya biaya operasional untuk pengolahan limbah setiap meter kubiknya, yaitu sebagai berikut:

- Jumlah air limbah per hari = 99 m3

- Biaya pengolahan air limbah = Rp.171.858 / 99 m3, atau = Rp 1.735 / m3 limbah

Effisiensi yang diperoleh dari sistem reuse ini diperoleh dari besarnya nilai rupiah dari jumlah air yang dapat dihemat karena digantikan oleh air olahan IPAL ini. Secara rinci jumlah effisiensi yang diperoleh adalah sebagai berikut:

= (Jumlah air yang di re-use x Harga air) – Biaya Operasional IPAL = (99 m3/hari x Rp.22.000/m3) - Rp.171.858,- /hari = Rp. 2.178.000 - Rp. 171.858,- / hari = Rp. 2.006.142 / hari.

No Peralatan Listrik (watt) Jam Operasi Jumlah KwH per Hari

1 Inlete Pompa 800 24 19.2

2 Pompa Sirkulasi 400 24 9.6

3 Sludge Return Pump 400 6 2.4

4 Unit pensupply udara (Blower Unit)

4400 24 105.6

5 Chemichal dosing pump 42 6 0.25

Jumlah 137.05

Page 111: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 91

= Rp. 60.184.260,- / bulan. = Rp. 722.211.120 /tahun.

c. CALON LOKASI IPAL

IPAL dengan teknologi membrane Rumah Sakit dengan kapasitas 99 m3/hari rencananya akan ditempatkan di ujung lahan kosong. Saat ini lokasi tersebut merupakan areal yang terendah secara gravitasi dan belum termanfaatkan dengan luas area yang dapat digunakan seluas 8 x 15 m. Secara foto lokasi tersebut ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Lokasi IPAL

Gambar 4. IPAL yang sudah terbangun

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:

a. Rencana pengelolaan limbah dengan teknologi Membran dan dilanjutkan dengan penggunaan air kembali akan dapat digunakan sebagai solusi permasalahan bahaya pencemaran lingkungan dan menghindari terjadinya defisit air bersih.

b. Teknologi membrane dapat menghemat pemakaian air bersih, tanpa mengurangi jumlah pemakaian air. Program ini dapat menghemat pemakaian air sampai dengan 50%.

c. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh oleh rumah sakit jika gerakan ―Green Hospital‖ (upaya pemanfaatan kembali air dengan teknologi membrane) ini dilakukan.

Page 112: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

92 Bandung, 12 September 2015

DAFTAR PUSTAKA

Adriaens, P., Kohler, HP.E, Kohler-Staub, D., and Focht, D.D. (1989). Bacterial dehalogenation 0f Chlorobenzoates and coculture biodegradation of 4,4-dichlorobiphenyl. Appl. Environ. Microbiol. 5:887-892.

BPPT, (2002). Laporan akhir kegiatan “Pengkajian Teknologi Pengolahan Air Limbah Industri Kecil Pelapisan Logam”. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL) – BPPT.

Chaney, R.L. 1980. Health Risks Assosiated with Toxic Metals in Minicipal Sludge, pp. 59-73. In G. Bitton, B.L Risk of land Application. Proc. Ann Arbor Science Publisher, Inc.Michigan.

Forstner, W. 1978. Metal Pollution in the Aquatic Environment. Applied Science Publisher Ltd.

Overcash, M.R. (1981). Decomposition of Toxic and Nontoxic Organic Compounds in Soils. Ann Arbor Science Publishers Inc./The Butterworth Group, Michigan USA.

Raka, I G., Zen, M.T., Soemarwoto, O., Djajadiningrat, S.T., and Saidi, Z. (1999). Paradigma Produksi Bersih: mendamaikan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Penerbit Nuansa, Bandung, Indonesia

Setiyono (2002). Sistem Pengelolaan Limbah B-3 di Indonesia. Kelompok Teknologi Air Bersih dan Limbah Cair, Pusat pengkajain dan Penerapan teknologi Lingkungan (P3TL), Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan, Badan Pengkajain dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Setiyono (2009). Disain Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Dan Re-Use Air Di Lingkungan Perhotelan. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajain dan Penerapan Teknologi (BPPT). JAI Vol 5. No. 2 2009

Sommers, L.E. 1980. Toxic Metals in Agricultural Crops, pp. 105-131. In G. Bitton, B.L. Damron, G. T. Edds and J.M. Davidson; ed. Sludge: Health isk of Land Application. Proc. Ann. Arbor Science Publisher, Inc. Michingan.

Stoewsand, G. S. 1986. Trace Metal Problems with Industrial Waste Materials Applied to Vegetable Producing Soils, pp. 423-439. In H.D. Graham, ed. The Safety of Foods, 2nd Edition. AVI Publishing Company; Inc. Wesport, Connecticut.

Suffet, I.H. (1977). Fate of Pollutants in the Air and Water Environments. Volume 8, Part 1, ―Mechanism of interaction between environments and mathematical modeling and the physical fate of pollutants. Advances in Environmental Science and Technology. John Wiley & Sons, A Wiley-Interscience Publications, New York, USA.

----------- (1977). Fate of Pollutants in the Air and Water Environments. Volume 8. Part 2, ―Chemical and biological fate of pollutants in the environment‖. Advances in Environmnetal Science and Technology. John Wiley & Sons, A Wiley-Interscience Publications, New York,

Page 113: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 93

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

STUDI EVALUASI OPTIMASI TURBIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHIDRO DESA PUSAKA JAYA, KABUPATEN CIANJUR

Steven Sergij Salim1* dan Bambang Adi Riyanto1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan

*[email protected]

Abstrak

Minihidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil, yang memiliki syarat dasar adanya air mengalir atau debit (Q) dan perbedaan tinggi energi potensial atau biasa juga disebut perbedaan head (ΔH). Desa Pusaka Jaya dan sekitarnya yang berada di selatan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia, mempunyai potensi energi yang dapat dimanfaatkan, berupa aliran air di Sungai Cibuni. Potensi air yang mengalir di Sungai Cibuni akan dimanfaatkan untuk menjadi sumber daya utama bagi pembangkit listrik tenaga air dengan cara membangun PLTM Desa Pusaka Jaya. PLTM Desa Pusaka Jaya didesain dengan dua buah turbin dengan debit desain 3,5 m3/s setiap turbin dan diasumsikan turbin bekerja pada rentang 40% debit desain sampai dengan 110% debit desain. Studi bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap desain Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, terutama terhadap debit desain dan jumlah turbin PLTM, sehingga melalui studi ini akan didapatkan desain PLTM yang menghasilkan nilai keuntungan maksimum. Penelitian ini berlokasi pada DAS PLTM Desa Pusaka Jaya dengan luas 161,75 km2, dikarenakan data pencatatan debit yang tersedia pada Sungai Cibuni ada pada posisi AWLR Tanggeung dengan luas DAS 296,69 km2 dengan periode pencatatan pada tahun 2003 sampai tahun 2012, maka perlu dilakukan koreksi terhadap faktor tinggi hujan rata-rata dari setiap DAS yang didapatkan dari analisis curah hujan wilayah dengan menggunakan data pencatatan curah hujan pada stasiun Cibuni, Rancabali dan Citambur dengan periode pencatatan 1996-2008 dan koreksi terhadap luas DAS, sehingga mendapatkan nilai debit operasional pada posisi intake PLTM. Pemilihan desain turbin mempertimbangkan analisis finansial dengan menggunakan metode NPV dan analisis pemanfaatan potensi air secara maksimum. Pada kondisi awal, yaitu simulasi dengan 2 buah turbin dengan kapasitas debit 3,5 m3/s memiliki nilai keuntungan sebesar 108.953.917.001 Rupiah dengan persentase volume air yang tidak termanfaatkan sebesar 13,13% . Hasil analisis terhadap berbagai kondisi simulasi menunjukkan bahwa simulasi dengan 2 buah turbin dengan kapasitas debit 3,99 m3/s memiliki nilai keuntungan paling besar, yaitu sebesar 120.354.814.375 Rupiah dan memanfaatkan potensi air paling maksimal yang ditunjukkan dari persentase volume air yang tidak termanfaatkan dengan nilai paling kecil, yaitu sebesar 10,49%. Berdasarkan analisis tersebut dapat direkomendasikan desain dengan 2 buah turbin dengan kapasitas debit desain 3,99 m3/s setiap turbin sebagai desain rencana pada PLTM Desa Pusaka Jaya.

Kata kunci: DAS Cibuni, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro, Pola Operasi Turbin

LATAR BELAKANG Tingginya tingkat pembangunan di Indonesia, berbanding lurus dengan tingginya tingkat kebutuhan terhadap energi listrik. Berdasarkan data statistik PLN pada tahun 2012, sebagian besar penyediaan daya listrik di Indonesia mengandalkan sumber daya alam berupa fosil fuel yang tidak dapat diperbaharui, sehingga dibutuhkan suatu solusi terhadap kebutuhan energi listrik di masa depan. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut, adalah dengan memanfaatkan potensi air yang tersedia pada suatu aliran sungai dengan membangun suatu Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM). Keuntungan utama dari pembuatan PLTM adalah dapat diaplikasikan pada desa-desa terpencil, dimana untuk

Page 114: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

94 Bandung, 12 September 2015

pengembangan pembangkit listrik dengan berbahan bakar fosil biasanya tidak ekonomis, walaupun penyediaan energi listrik harus tetap dilakukan untuk kepentingan investasi sosial.

Sehubungan dengan uraian di atas, Desa Pusaka Jaya dan sekitarnya yang berada di bagian selatan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia memiliki potensi air yang dapat dimanfaatkan berupa aliran Sungai Cibuni. Potensi air yang mengalir di Sungai Cibuni direncanakan akan dimanfaatkan dengan mengembangkan PLTM Desa Pusaka Jaya.

PLTM Desa Pusaka Jaya memiliki tipe pengembangan berupa run-off river dan memiliki desain rencana dengan menggunakan 2 buah turbin, dengan kapasitas masing-masing sebesar 3,5 m3/s berjenis horizontal francis, dengan tinggi jatuh bersih sebesar 152,4 m. Berdasarkan studi yang telah dilakukan Barrero, dapat disimpulkan bahwa untuk turbin Francis memiliki rentang operasional antara 40% debit desain sampai dengan 110% debit desain. Pada pengembangan PLTM Desa Pusaka Jaya, perlu dilakukan optimasi terhadap besaran debit desain turbin dan jumlah turbin pada desain rencana, sehingga dari hasil optimasi tersebut akan didapatkan keuntungan maksimum dari pengembangan PLTM Desa Pusaka Jaya.

Optimasi terhadap turbin PLTM Desa Pusaka Jaya akan mengakibatkan perubahan beberapa kompenen pada desain rencana PLTM Desa Pusaka Jaya, diantaranya diameter pipa pesat dan luas power house, sehingga akan memberikan beberapa perubahan biaya pada PLTM. Beberapa komponen lain akan dianggap tidak berubah jika dilakukan optimasi terhadap turbin, diantaranya konstruksi bangunan peninggi muka air, saluran pembawa, kolam penenang dan saluran buang.

METODOLOGI STUDI Dalam melakukan analisis optimasi turbin perlu diketahui besaran debit secara runut waktu pada posisi bangunan pengambil PLTM Desa Pusaka Jaya. Pada studi ini, data debit yang tersedia berada pada posisi sebelah hilir lokasi PLTM pada pos duga air otomatis Tanggeung dengan luas DAS 296,96 km2, sedangkan luas DAS PLTM Desa Pusaka Jaya adalah sebesar 161,75 km2, sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap faktor luas DAS dan terhadap faktor tinggi curah hujan wilayah.

Berdasarkan nilai debit secara runut waktu pada posisi bangunan pengambil PLTM Desa Pusaka Jaya, dapat dilakukan analisis kurva durasi, yang akan menentukan berbagai kondisi simulasi dengan berbagai debit desain turbin yang berbeda dari masing-masing simulasi.

Hasil analisis pola operasi dari berbagai kondisi simulasi, akan menghasilkan tingkat efisiensi rata-rata dan daya rata-rata yang berbeda, sehingga perlu dilakukan evaluasi pemanfaatan potensi air dan analisis nilai ekonomi, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimum.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis curah hujan wilayah dan luas DAS dari pos duga air otomatis Tanggeung dan luas DAS dari PLTM Desa Pusaka Jaya, didapatkan faktor koreksi untuk nilai debit akibat luas DAS sebesar 0,98 dan faktor koreksi akibat curah hujan wilayah adalah sebesar 0,54, sehingga faktor koreksi total adalah sebesar 0,52.

Dari debit runut waktu terkoreksi tersebut kemudian dilakukan analisis kurva durasi dengan hasil sebagai pada Gambar 2.

Page 115: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 95

Gambar 1. Kurva Durasi DAS Cibuni Titik Outlet Bendung PLTM

Nilai berbagai tingkat keandalan debit pada DAS Cibuni dengan titik outlet bendung PLTM dipaparkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Berbagai Nilai Debit Berdasarkan Tingkat Keandalan

Pada setiap tingkat keandalan dilakukan simulasi dengan membedakan jumlah turbin, yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan tingkat pemanfaatan sumber air yang tersedia pada posisi intake PLTM, pada tahap analisis awal disimpulkan bahwa debit tingkat keandalan 50% sampai dengan 80% tidak memberikan hasil yang memuaskan, sehingga tidak dilakukan analisis lebih lanjut. Berbagai kombinasi turbin dan debit desain dari setiap tingkat keandalan debit dipaparkan pada Tabel 2.

Pada studi ini tidak dipertimbangkan jenis turbin lain, sehingga dilakukan asumsi bahwa semua turbin yang digunakan berjenis Horizontal Francis seperti pada desain awal. Dikarenakan tidak ada perubahan posisi bangunan pengambilan dan power house, maka untuk semua di simulasi tidak ada perubahan tinggi jatuh air, yaitu tetap sebesar 152,4 m.

Tabel 2. Kombinasi Debit Desain Turbin Berdasarkan Tingkat Keandalan Debit

Debit Andalan (m3/s)

Jumlah Turbin Debit Desain Turbin

(m3/s)

7,98 2 3

3,99 2,66

6,8 1 2 3

6,8 3,4

2,26

6,16 2 3

3,08 2,05

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Deb

it (

m3 /

s)

Persentase (%)

Kurva Durasi DAS PLTM Desa Pusaka Jaya

Tingkat Keandalan (%)

Debit (m3/s)

20 7,98 30 6,8 40 6,16 50 5,57 60 4,88 70 4,41 80 3,98

Page 116: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

96 Bandung, 12 September 2015

Untuk berbagai kombinasi debit desain di atas, dilakukan simulasi pembangkitan energi dengan debit runut waktu selama 10 tahun dengan metode seperti dipaparkan pada Gambar 2. Pada studi ini metode perencanaan pola operasi turbin didasarkan kepada ketersediaan debit harian pada daerah aliran sungai bendung PLTM Desa Pusaka Jaya. Ketersediaan debit harian akan dibandingkan dengan debit operasional turbin rencana yang telah direncanakan pada tahap analisis debit rencana turbin. Prinsip dari perencanaan pola operasi turbin adalah dengan melakukan variasi terhadap batas operasional dari debit desain turbin, jumlah turbin dan daya pembangkitan turbin masing-masing. Analisis pola operasi turbin dengan menggunakan metode yang sudah dijabarkan sebelumnya dilakukan dengan bantuan program Microsoft Office Excel.

Gambar 2. Diagram Alir Perhitungan Pola Operasi Turbin

Untuk mendapatkan kombinasi jumlah turbin, penggunaan potensi air secara optimal dan menghasilkan energi listrik maksimal, dilakukan 8 simulasi dengan penggunaan jumlah turbin dan debit desain seperti disajikan pada Tabel 3.

Page 117: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 97

Tabel 3. Kondisi Batas Dalam Berbagai Simulasi

Simulasi Debit Desain

Turbin 1 (m3/s) Debit Desain

Turbin 2 (m3/s) Debit Desain

Turbin 3 (m3/s) Batas Operasional

Turbin

1 3,5 3,5 0 0,4 < Qd < 1,1 2 3,99 3,99 0 0,4 < Qd < 1,1 3 2,66 2,66 2,66 0,4 < Qd < 1,1 4 6,8 0 0 0,4 < Qd < 1,1 5 3,4 3,4 0 0,4 < Qd < 1,1 6 2,26 2,26 2,26 0,4 < Qd < 1,1 7 3,08 3,08 0 0,4 < Qd < 1,1 8 2,05 2,05 2,05 0,4 < Qd < 1,1

Simulasi satu merupakan Simulasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam analisis pola operasi turbin, hal ini disebabkan pada Simulasi satu merupakan kondisi yang menjadi rencana awal dalam perencanaan PLTM Desa Pusaka Jaya.

Nilai efisiensi rata-rata, daya rata-rata yang dihasilkan dan persentase waktu turbin menyala dipaparkan dalam Tabel 4

Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Simulasi

Simulasi Efisiensi

Rata-Rata (%)

Daya Rata-Rata (kW)

Turbin 1 Aktif (%)

Turbin 2 Aktif (%)

Turbin 3 Aktif (%)

1 82,11 6587,09 99,78 54,34 0 2 81,33 6787,93 98,82 43,22 0 3 82,32 6008,31 100 79,55 29,15 4 76,82 6610,31 93,35 0 0 5 82,27 6534,79 100 56,94 0 6 82,60 5537,69 100 89,19 45,11 7 82,35 6319,39 100 65,23 0 8 82,76 5209,70 100 92,44 53,13

Berdasarkan hasil seluruh simulasi, simulasi 2 dan simulasi 4 memiliki daya rata-rata yang lebih besar jika dibandingkan dengan simulasi 1 atau simulasi pada kondisi desain rencana, selain itu berdasarkan hasil dari setiap simulasi dapat dilihat bahwa simulasi 7 memiliki persentase waktu aktif turbin lebih besar dibandingkan simulasi lain, sehingga layak untuk dianalisis lebih lanjut.

Terhadap setiap simulasi yang memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan, dilakukan evaluasi pemanfaatan potensi air. Untuk mengetahui pemanfaatan potensi air secara maksimum, dapat dilakukan dengan cara membandingkan persentase volume yang tidak termanfaatkan dari masing-masing simulasi terhadap volume air total selama 10 tahun pada Sungai Cibuni. Nilai volume yang tidak termanfaatkan dari masing masing simulasi dipaparkan pada Tabel 5

Tabel 5. Nilai Volume Air Yang Tidak Termanfaatkan Dari Masing-Masing Simulasi

Simulasi Persentase Volume Tidak Termanfaatkan

(%)

1 13,13 2 10,49 4 12,99 7 16,69

Terilhat dari Tabel 5 bahwa simulasi 2 berhasil memanfaatkan potensi air lebih besar jika dibandingkan dengan simulasi yang lain. Berdasarkan evaluasi pemanfaatan potensi air, perlu dilakukan analisis ekonomi dengan menggunakan metode NPV, sehingga akan diketahui nilai keuntungan maksimum dari

Page 118: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

98 Bandung, 12 September 2015

simulasi yang telah dilakukan. Dalam analisis ekonomi ini perlu diketahui sumber pengeluaran dan sumber pemasukan dan perbedaan dari masing-masing simulasi.

Dari setiap simulasi, perbedaan sumber pengeluaran diakibatkan oleh perubahan diameter pipa pesat, luas power house dan kapasitas serta jumlah turbin, sedangkan perbedaan sumber pemasukan diakibatkan oleh harga jual listrik yang dihasilkan. Untuk sumber biaya lain seperti bendung, saluran pembawa dan saluran pembuang, diasumsikan tidak mengalami perubahan dari setiap simulasi. Jumlah pemasukan dan pengeluaran dari masing-masing simulasi dipaparkan pada Tabel 6

Tabel 6. Pemasukan dan Pengeluaran Pada Berbagai Simulasi

Simulasi Harga Jual Listrik /

Tahun (Rupiah) Investasi Awal (Rupiah)

Biaya Operasional / Tahun (Rupiah)

1 41.177.366.318 119.144.811.451 16.980.787.544 2 42.432.859.232 119.579.320.227 16.980.787.544 4 40.850.450.893 110.171.262.188 16.980.787.544 7 39.503.901.309 118.745.952.538 16.980.787.544

Dengan diambil nilai suku bunga sebesar 10%, maka nilai biaya operasional dan harga jual listrik diubah menjadi nilai saat ini, yang dipaparkan pada Tabel 7, berdasarkan nilai tersebut dapat dihitung present worth dari setiap simulasi yang dipaparkan pada Tabel 8.

Tabel 7. Present Value Harga Jual Listrik dan Biaya Operasional

Simulasi Present Value Harga Jual Listrik

(Rupiah) Present Value Biaya Operasional

(Rupiah)

1 388.174.914.550 16.980.787.544 2 400.010.320.701 16.980.787.544 4 385.093.115.523 16.980.787.544 7 372.399.327.253 16.980.787.544

Berdasarkan hasil analisis nilai present worth, dapat disimpulkan bahwa simulasi 2 dengan desain 2 buah turbin dengan debit desain masing-masing sebesar 3,99 m3/s akan memberikan hasil keuntungan maksimum, yaitu sebesar 120.354.814.375 Rupiah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

PLTM Desa Pusaka Jaya memiliki desain rencana dengan menggunakan 2 turbin dan memiliki debit desain 3,5 m3/s untuk setiap turbin, dengan simulasi pada kondisi desain rencana, didapatkan hasil analisis NPV yaitu nilai keuntungan sebesar 108.953.917.001 Rupiah.

Berdasarkan evaluasi pemanfaatan potensi air, memberikan nilai persentase volume yang tidak termanfaatkan sebesar 13,13%. Berdasarkan analisis secara finansial dengan menggunakan metode NPV dan evaluasi pemanfaatan potensi air, Simulasi 2 dengan desain dua turbin dan memiliki debit desain masing-masing turbin sebesar 3,99 m3/s akan memberikan nilai keuntungan maksimal yaitu sebesar 120.354.814.375 Rupiah dan memanfaatkan potensi air secara maksimum jika dibandingkan dengan simulasi lain, yaitu dengan memberikan persentase volume yang tidak termanfaatkan paling kecil, yaitu sebesar 10,49%.

Rekomendasi

Perlunya kajian lebih lanjut mengenai pengaruh besaran kecepatan spesifik turbin dalam menentukan pola operasi turbin. Besaran kecepatan spesifik pada setiap jenis turbin akan mempengaruhi besarnya rentang debit operasional pada setiap turbin dan untuk perkembangan studi selanjutnya, disarankan mempertimbangkan variasi jenis turbin sehingga akan menghasilkan hasil optimasi turbin yang lebih optimum.

Page 119: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 99

Dalam melakukan analisis finansial dalam studi selanjutnya, sebaiknya mempertimbangkan aspek yang lebih mendetail seperti aspek penggunaan generator dan luas kolam penenang, sehingga memberikan hasil analisis ekonomi yang lebih akurat.

REFERENSI

Barrero, J.M.B., et al (t.t). Comparison in the Application of the Exploitation by Optimal Head Model to Hydroelectric Power Stations in Run-Of-The-River Systems Equipped With Different Types of Turbines. University of La Rioja Department of Mechanical Engineering, Logrono, Spain.

Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2009). Pedoman Studi Kelayakan PLTMH. IMIDAP-P-020-2008, Jakarta, Indonesia

European Small Hydropower Association (2004). Guide on How to Develop a Small Hydropower Plant. ESHA, Europe

Fritz, J.J. (1984). Small and Mini Hydropower Systems McGraw-Hill, New York, N.Y.

Inversin, A.R. (1986). Micro- Hydropower Source Book, A Practical Guide to Design and Implementation in

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Nomor: 03 Tahun 2015, Jakarta, Indonesia

Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero). (2012). Statistik PLN 2012. No. Publikasi: 02501.130722, Jakarta, Indonesia

Wibisono, A., Juwono, P.T., dan Wicaksono, P.H. Studi Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Sungai Soko Desa Olung Siron Kecamatan Tanah Siang Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah. In Press

Salim, S.S. (2015). Studi Evaluasi Optimasi Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, Kabutpaten Cianjur. Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil, Bandung

http://www.gilkes.com/Turbine-Selection, diakses tanggal 27 Mei 2015

Page 120: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

100 Bandung, 12 September 2015

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

TANTANGAN DAN PERBAIKAN SISTEM BENDUNG SUNGAI GESEK DALAM PENYEDIAAN AIR BAKU DI PULAU BINTAN

Slamet Lestari1

1Puslitbang Sumber Daya Air

*[email protected]

Abstrak

Telah dilakukan penelitian berkaitan dengan permasalahan dan alternatif perbaikan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan Bendung Sungai Gesek, sebagai salah satu upaya penyediaan air baku di Pulau Bintang. Lokasi penelitian berada di sekitar Bendung Sungai Gesek, tepatnya di sekitar Desa Toa Paya, Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kepulauan Riau. Evaluasi dilakukan berdasarkan data pengukuran topografi sungai, data desain sistem bendung, dan data debit banjir. Analisis dilakukan dengan cara evaluasi sistem yang ada di lokasi penelitian dan analisis fungsi layanan bendung yang harus dipenuhi sesuai dengan rencana awal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dijumpai adanya kinerja bendung yang terganggu akibat adanya limpasan air laut yang masuk ke daerah tampung air. Agar fungsi bendung tetap terjaga sesuai rencana awal, diperlukan perbaikan sistem bendung berupa peninggian mercu bendung dan penyesuaian sistem pintu pelimpah banjir yang ada, sebesar 0,75 m, dan harus diikuti dengan penyesuaian operasional sistem bendung / pelimpah saat banjir maupun saat air laut pasang.

Kata Kunci: Penyediaan Air Baku, Bendung, Sungai Gesek, Pulau Bintan

LATAR BELAKANG Dalam mendukung upaya pemerintah dalam penyediaan air baku di Pulau Bintan secara umum, telah dilakukan pembangunan bendung di Sungai Gesek. Pembuatan bendung di Sungai Gesek tersebut dilakukan untuk menahan muka air sekaligus menampung air dari Sungai gesek dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air baku di Pulau Bintan.

Sistem bangunan air yang ada di sekitar bendung di Sungai Gesek ini meliputi 3 bagian, yaitu sistem pelimpah bendung, sistem pelimpah gorong-gorong, dan sistem intake PDAM. Sistem pelimpah bendung dan sistem pelimpah gorong-gorong disiapkan sebagai sarana pelimpasan kelebihan air pada saat musim penghujan, sedangkan sistem intake PDAM digunakan sebagai sarana pengambilan air dari daerah tampungan untuk diolah menjadi air baku.

Dengan mempertimbangkan potensi banjir yang terjadi dan kapasitas tampungan air baku, muka air di daerah tampungan dipertahankan pada elevasi El. +12,50, sehingga elevasi atas pelimpah bendung dibangunan sama dengan elevasi dasar pelimpah gorong-gorong, yaitu El. +12,50 (Laporan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011). Namun pada perkembangannya saat air laut pasang, mercu bendung terlimpasi oleh air laut. Kondisi ini membuat kinerja bangunan bendung tersebut tidak optimal, dan ketersediaan air baku menjadi terganggu akibat tercampur dengan air laut.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran hasil evaluasi efektivitas sistem yang telah dibangun dan alternatif penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah masuknya / melimpasnya air laut di Bendung Sungai Gesek.

Page 121: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 101

Tujuan yang akan dicapai adalah didapatkannya gambaran / acuan dalam pengelolaan sungai secara umum, terutama dalam pengelolaan bendung yang berbatasan dengan laut di bagian hilirnya agar didapatkan fungsi bangunan sesuai rencana desain.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang telah dilakukan adalah di sekitar Bendung Sungai Gesek, Desa Toa Paya, Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kepulauan Riau.

METODOLOGI STUDI Tahapan dan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :

1. Pengumpulan data lapangan, dilakukan dengan cara kunjungan langsung lapangan, wawancara dengan pihak-pihak terkait, dan pengumpulan data sekunder (data topografi dan sistem pembendungan, data debit banjir, dan data teknis eksisting Bendung - Pelimpah Sungai Gesek).

2. Analisis masalah dan evaluasi alternatif penanggulangan, dilakukan dengan pemodelan / perhitungan matematis.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

Data Topografi dan Sistem Pembendungan Sungai

Data topografi Sungai Gesek yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera IV pada tahun 2011. Data pengukuran yang telah dilakukan meliputi areal panjang dan lebar total ± 2 km x ± 2 km. Dari areal pengukuran tersebut ± 1,2 km di daerah genangan pembendungan, dan ± 0,8 km merupakan topografi Sungai Gesek di hilir bendung. Gambaran data topografi Sungai Gesek di sekitar Bendung Sungai Gesek hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan dari data yang ada, sistem pembendungan dalam penyediaan air baku tersebut, terbagai dalam 2 sistem, yaitu sistem pembendungan dengan bangunan Bendung Sungai Gesek, dan pengaturan operasional muka air dengan pembuatan sistem pelimpah. Kedua sistem pembendungan tersebut dilakukan untuk mempertahankan elevasi retensi air tampungan dan sekaligus meminimalkan dampak back water / banjir pada musim penghujan.

Bangunan bendung dibangun di hilir jalan yang ada, sedangkan bangunan pelimpah dibangun melintang jalan. Gambaran sistem bendung dan pelimpah yang telah dibangun ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Kondisi Topografi Sungai Gesek

Page 122: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

102 Bandung, 12 September 2015

Gambar 2. Sistem Bendung dan Pelimpah Sungai Gesek

Data Debit Banjir Sungai Gesek

Data debit sungai yang digunakan dalam penelitian ini adalah data debit banjir dari periode ulang 2 tahunan sampai periode ulang 100 tahunan berdasarkan hasil studi Pekerjaan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, Tahun 2011. Besaran debit banjir Sungai Gesek periode ulangan 2 tahunan sampai 100 tahunan dapat dilihat pada Tabel 1. Dari pengukuran yang telah dilakukan, pada musim kemarau dan saat pasang muka air laut, terjadi limpasan air pasang laut sampai di atas mercu bendung dengan kedalaman mencapai ± 0,6 m.

Tabel 1. Data Debit Banjir Sungai Gesek

Sumber: Laporan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011

Q banjir kala ulang Q

(m3/s) H

(m)

100 66.038 7.960 50 62.020 7.244 25 56.455 6.292 10 50.267 5.286 5 44.702 4.433

Data Teknis Eksisting Bendung-Pelimpah Sungai Gesek

Berdasarkan data desain bendung eksisting didapatkan data teknis Bendung Sungai Gesek sebagai berikut:

1. Elevasi mercu bendung, El. +12,50.

2. Lebar efektif bendung, b = 28 m.

3. Bendung dilengkapi dengan 2 buah pintu bilas, dengan lebar masing-masing 1,5 m.

4. Tipe ruang olak adalah tipe datar dengan panjang ruang olak 9 m.

Gambar tata letak dan potongan bendung dapat dilihat dari Gambar 3 sampai Gambar 5.

Page 123: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 103

Gambar 3. Tata Letak Bendung Sungai Gesek

Gambar 4. Potongan Memanjang Bendung Sungai Gesek

Gambar 5. Potongan Melintang Bendung Sungai Gesek

G

IPX = 450.801,68

Y = 107.759,31

R2,00

1,29

5,84 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,23

0,50

R0,50

22,18 0,50

4,29 R

1,00

18,21

X = 450.636,07

Y = 107.857,08

X = 450.803,01

Y = 107.853,75

IP

X = 450.770,66

Y = 107.770,36

0,30

R0,80

2,80

R0,80

7,70

+14.89

+13.50

R1,75

IP

X = 450.762,88Y = 107.824,86

R1,

75

IPX = 450.683,49

Y = 107.826,44

36.00

68.60

55,05

7,01

79,40

27,54

R5,00

IP

X = 450.743,88

Y = 107.919,87Z = + 11.81

0,50

R1,50

2,50

R1,72

13,86

1,29

22,27

5,20

R9,00

97,83

0,5519,15

2,36

2.50

39,35

4,30

X = 450.783,22

Y = 107919,08

Z = + 12.13

8,50

20,00

72,95

R1,00

2,43

4,30

A

A

B

IP

X = 450.586,11

Y = 107.841,63

C

C

D

D

E

E

F

F

11

22

3344

G7

7

6

6

88

H

H

+15.00

+15.00

+15.00

+15.00

IP

X = 450.796,31

Y = 107.870,14

R6,00

R1,000,50

150,

71

0,50

0,70R1,0

0 R1,00

R1,00R1,00

0,500,50

3,11 3,11

0,30

R0,803,1

6

0,50

0,60

1,85

0,30

4,00

4,60

4,00

4,60

13,75

R1,

50

4,60

4,50

0,50

+17,911

107.834,543

450.787,223

BM.08

=X

=

=

Y

Z

+13,810

107.880,431

450.710,619

BM.01

=X

=

=

Y

Z

+13,618

107.904,792

450.703,084

BM.02

=X

=

=

Y

Z

+14.89

+14.89

+10.00 +10.60

+10.

50

+15.00

+15.00

+14.89

+10.60

0,504,29

R1,00

0,50

IP

X = 450.616,33

Y = 107.874,03

0,50

R1,00

24,78

30.00

R0,

50

6,36 R0,50

4,29

2,00

0,50

R0,50

0,50

0,50

4,29

R0,50

R0,50

1,50

1,50

1,00

1,63

0,350,80

AS BENDUNG GESEK

X = 450.710,41

Y = 107.855,60

R1,

00

7,07

0,50

5,93 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 4,75

Siar Dilatasi

28,0

0

1,00

0,50

0,50

0,50

0,50

0,50

5,50

5,50

5,50

5,50

5,50

5,50

0,30

0,30

0,30

0,30

0,30

0,30

0,30

0,30

4,30

4,30

4,30

4,30

Page 124: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

104 Bandung, 12 September 2015

Sistem pelimpah dibangun berupa gorong-gorong melintasi / menyeberang jalan yang ada untuk menambah kapasitas limpasan sistem bendung pada saat banjir. Data teknik sistem pelimpah yang ada secara umum adalah sebagai berikut :

Sistem pelimpah berada di sebelah kanan lokasi Bendung Sungai Gesek.

Sistem pelimpah terdiri dari 6 buah gorong-gorong dari beton bertulang dengan dimensi masing-masing 2,1 m x 4 m.

Elevasi dasar pelimpah sama dengan elevasi mercu Bendung Sungai Gesek, yaitu El. +12,50.

Gambar tata letak dan detail dimensi sistem pelimpah yang ada di lapangan dapat dilihat dari Gambar 6 sampai Gambar 8.

Gambar 6. Tata Letak Sistem Pelimpah Eksisting

Gambar 7. Potongan Memanjang Sistem Pelimpah (Gorong-Gorong)

Page 125: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 105

Gambar 8. Potongan Melintang Sistem Pelimpah (Gorong-Gorong)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Analisis Sistem Pembendungan dan Pelimpahan

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap sistem yang dibangun terkait pembuatan Bendung Sungai Gesek ini, didapatkan gambaran sistem pembendungan sebagai berikut :

Bendung didesain dan telah mempertimbangkan kondisi optimum untuk tampungan air baku dan pengendalian banjir. Dimensi dan elevasi mercu bendung serta pelimpah, telah dilakukan analisa / studi dengan mempertimbangkan potensi genangan banjir saat musim penghujan dan volume air optimum yang didapatkan ditampung pada saat musim kemarau (Laporan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011).

Sistem bendung yang telah dibangun belum mempertimbangkan adanya air laut pasang. Hal ini terlihat adanya limpasang air laut pasang sampai di atas mercu bendung.

Tinggi limpasan yang terekam (0,6 m) di atas mercu dianggap sebagai tinggi muka air laut maksimum yang mungkin terjadi (Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan Bendung Sungai Gesek, 2014).

Analisis Sistem Alternatif Penanggulangan

Konsep Dasar Penanggulangan

Konsep dasar penanggulangan yang dapat dilakukan dalam analisis ini mencakup beberapa hal sebagai berikut :

Mengingat dimensi dan elevasi sistem bendung serta pelimpah telah mempertimbangkan optimasi kinerja sistem bendung, maka konsep penanggulangan yang akan dilakukan sedapat mungkin tidak merubah dimensi dan elevasi operasional bendung serta pelimpah.

Untuk mengatasi kemungkinan limpasan akibat pasang air laut (0,6 m), asumsi peninggian sistem yang dapat dilakukan adalah sebesar (0,75 m).

Memperhatikan sistem bendung dan pelimpah yang ada, potensi pelimpasan dapat terjadi melalui atas mercu dan sistem pelimpah. Sehingga kedua bagian ini menjadi kunci utama yang harus ditinggikan untuk menanggulangi potensi limpasan air laut tersebut.

Alternatif Perbaikan Sistem

Seperti disampaikan pada pembahasan sebelumnya, 2 bagian utama yaitu sistem bendung dan pelimpah beserta bangunan pelengkapnya perlu dilakukan peninggian.

Page 126: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

106 Bandung, 12 September 2015

1. Perbaikan sistem bendung

Perbaikan sistem bendung dan bangunan pelengkapnya yang dapat diliakukan antara lain :

Menambah / meninggikan elevasi mercu bendung sebesar 0,75 m yang dilengkapi sistem angkur untuk mengikat lapisan beton lama dengan lapisan beton baru pada mercu bendung.

Manambah tinggi daun pintu bilas sebesar 0,75 m mengikuti peninggian pada mercu bendung yang akan dilakukan.

Menambah tinggi tembok pangkal dan tanggul banjir sebesar 0,75 m. Hal ini dilakukan agar terpenuhi persyaratan tinggi jagaan terhadap tembok pangkal terkait dengan peninggian elevasi mercu bendung.

Alternatif perbaikan sistem bendung dan bangunan pelengkapnya ini dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Gambar 9. Peninggian Mercu Bendung

Gambar 10. Peninggian Sistem Pintu Bilas

Page 127: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 107

2. Perbaikan sistem pelimpah

Perbaikan sistem pelimpah yang dapat diliakukan antara lain :

Menambah sistem pintu di hilir sistem pelimpah gorong-gorong. Sistem pintu ini akan diturunkan sampai dengan elevasi El. +12,50 (sama dengan elevasi awal mercu bendung) untuk kondisi normal (sedang tidak pasang), dan akan dinaikkan setinggi 0,75 m pada saat air laut pasang. Jadi pada saat kondisi normal elevasi muka air sama seperti kondisi eksisting (El. +12,50).

Menambah sistem sekat balok di udik gorong-gorong. Sistem sekat balok dapat ditutup jika akan dilakukan perawatan / perbaikan pada pintu yang ada di hilir gorong-gorong.

Gambaran alternatif perbaikan sistem pelimpah ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Alternatif Perbaikan Sistem Pelimpah

Hal utama yang harus diperhatikan dalam skema alternatif perbaikan sistem ini adalah sebagai berikut :

Untuk kondisi normal, mempertahankan elevasi muka air pada elevasi El. +12,50 (seperti kondisi eksisting), dengan membuka pintu yang dipasang di hilir pelimpah gorong-gorong.

Untuk kondisi pasang air laut, pintu air di hilir pelimpah gorong-gorong dinaikkan setinggi 0,75 m.

Dengan pola operasi sistem seperti tersebut di atas, secara umum kinerja sistem bangunan tidak berubah dari rencana awal (baik untuk kepentingan tampungan air maupun untuk optimasi banjir), dan dapat mengatasi kemungkinan limpasan air laut pasang. Perbandingan antara skema desain awal dan alternatif perbaikan terhadap sistem bendung dan pelimpah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Kinerja Sistem Bendung-Pelimpah Kondisi Awal dan Kondisi Perbaikan

Kondisi Eksisting Kondisi Perbaikan

Elevasi mercu bendung dan pelimpah El. +12,50 untuk meminimalkan potensi banjir (back water)

Mempertahankan elevasi muka air pada El. +12,50 dengan mengatur bukaan pintu pada pelimpah

gorong-gorong (kapasitas limpasan banjir masih cukup)

Mempertahankan elevasi El. +12,50 untuk tampungan air baku

Mempertahankan elevasi muka air pada El. +12,50 dengan mengatur bukaan pintu pada pelimpah

gorong-gorong (tidak mengurangi volume tampungan awal)

Terjadi limpasan air laut pasang Menaikkan pintu setinggi 0,75 m pada saat air laut pasang (air laut tidak limpas ke daerah tampungan)

Page 128: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

108 Bandung, 12 September 2015

3. Analisis stabilitas sistem bendung

Penambahan tinggi bendung akan mempengahuri besaran gaya dan stabilitas yang terjadi pada bendung. Dua stabilitas utama yang ditinjau adalah stabilitas geser dan stabilitas terhadap potensi guling. Nilai stabilitas tersebut diperhitungkan terhadap potensi gaya-gaya maksimum yang meliputi : gaya hidrostatis, berat sendiri, dan gaya gempa. Skematisasi perhitungan struktur dalam perhitungan stabilitas tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.

Dari hasil perhitungan didapatkan hasil perhitungan secara seperti disampaikan dari Tabel 3 sampai Tabel 5, dengan angka kemanan geser dan guling sebagai berikut :

kNRvPt 99.232)3/2tan(.

Tanpa tekanan pasif :

64,1/ RhPtSF

Keamanan guling

39.2G

T

M

MSF

Gambar 12. Skematisasi Bangunan dalam Perhitungan Stabilitas

Page 129: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 109

Tabel 3. Hasil Analisis Hidrostatis Sistem Bendung Sungai Gesek

Tabel 4. Hasil Analisis Gaya akibat Berat Sendiri

Untuk Muka Air Kering, H = 3.25 m

Gaya Hor Lengan Momen Gaya Ver Lengan Momen

Vertikal Hor 1/3 Hor Lw (KN) (m) (KN.m) (KN) (m) (KN.m)

0 0.00 0.00 2.15 2.15 23.11 3.32 76.66

0 - 1 2.00 43.00 1.60 68.80

1 2.00 0.45 4.15 3.70 15.48 1.27 19.61

1 - 2 0.50 0.17 18.30 13.12 240.14

2 2.17 0.49 4.15 3.66 0.09 13.20 1.24

2 - 3 1.00 -24.35 1.10 -26.78

3 3.17 0.72 3.15 2.43 -6.13 0.93 -5.72

3 - 4 1.75 0.58 40.30 11.50 463.29

4 3.75 0.85 3.15 2.30 1.15 11.79 13.59

4 - 5 1.00 23.03 1.10 25.33

5 4.75 1.07 4.15 3.08 3.87 0.93 3.61

5 - 6 0.50 0.17 15.20 10.37 157.60

6 4.92 1.11 4.15 3.04 0.09 10.45 0.98

6 - 7 1.00 -1.81 1.10 -2.00

7 5.92 1.34 3.15 1.81 -6.13 0.93 -5.72

7 - 8 2.50 0.83 40.64 8.87 360.46

8 6.75 1.52 3.15 1.63 2.35 9.29 21.85

8 - 9 1.00 16.26 1.10 17.88

9 7.75 1.75 4.15 2.40 3.87 0.93 3.61

9 - 10 0.50 0.17 11.81 7.37 87.04

10 7.92 1.79 4.15 2.36 0.09 7.45 0.70

10 - 11 1.00 -1.14 1.10 -1.25

11 8.92 2.01 3.15 1.14 -6.13 0.93 -5.72

11 - 12 2.75 0.92 25.55 5.75 146.79

12 9.83 2.22 3.15 0.93 2.85 6.20 17.66

12 - 13 0.50 4.65 1.35 6.27

13 10.33 2.33 3.65 1.32 0.97 1.27 1.23

13 - 14 2.30 0.77 26.29 3.22 84.65

14 11.10 2.51 3.65 1.14 1.99 3.60 7.18

14 - 15 1.10 12.57 0.55 6.92

15 12.20 2.76 4.75 1.99 4.68 0.37 1.72

15 - 16 2.07 0.69 38.06 1.04 39.39

16 12.89 2.91 4.75 1.84 1.61 1.38 2.23

16 - 17 1.50

17 14.39 3.25 3.25 0.00 -13.79 0.50 -6.90

92.02 177.55 226.39 1,644.79

Titik LinePanjang Rembesan

DH H P = H - DH

Luas Gaya Lengan x Momen Lengan y Momen Gaya Gempa Momen Gempa

(m2) (KN) (m) (KN.m) (m) (KN.m) (KN) (KN.m)

G0 15.68 156.75 9.50 1488.34 3.55 556.46 7.52 26.71

G1 4.13 99.00 9.50 940.01 2.35 232.65 4.75 11.17

G2 4.13 90.75 9.50 861.67 1.85 167.89 4.36 8.06

G3 0.50 11.00 13.62 149.82 1.10 12.10 0.53 0.58

G4 0.25 5.50 13.20 72.62 1.27 6.97 0.26 0.33

G5 0.50 11.00 10.87 119.57 1.10 12.10 0.53 0.58

G6 0.50 11.00 7.37 81.07 1.10 12.10 0.53 0.58

G7 4.9613 109.15 4.10 447.87 2.65 289.24 5.24 13.88

G8 1.525 33.55 3.60 120.61 1.35 45.29 1.61 2.17

G9 3.105 68.31 1.04 70.70 0.75 51.23 3.28 2.46

596.01 4,352.28 2.33 1,386.03 28.61 66.53

G

Page 130: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

110 Bandung, 12 September 2015

Tabel 5. Besaran Gaya-Gaya yang Terjadi pada Sistem Bendung

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, dapat disampaikan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Sistem penyediaan air baku di Sungai Gesek mempunyai 2 buah sistem pengoperasian, yaitu Sistem Bendung Sungai Gesek dan Sistem Pelimpah Sungai Gesek.

2. Dua fungsi utama terkait pembangunan sistem Bendung Sungai Gesek dan sistem Pelimpah Sungai Gesek, adalah sebagai sarana tampungan air baku, dan mempertimbangkan potensi genangan banjir saat musim penghujan.

3. Sistem bendung secara umum telah berfungsi dengan baik, namun pada musim kemarau dan saat air laut pasang, mercu bendung terlimpasi oleh pasang air laut, sehingga fungsi penyediaan air baku menjadi terganggu.

4. Alternatif penanggulangan yang dapat dilakukan terbagi dalam 2 bagian, yaitu peninggian elevasi mercu bendung beserta bangunan pelengkapnya, dan perbaikan sistem pelimpah gorong-gorong, serta diikuti dengan pola operasional baik saat banjir maupun saat muka air laut pasang.

5. Peninggian elevasi mercu dengan melapis beton bertulang sebesar 0,75 m, diikuti dengan penambahan tinggi daun pintu bilas setinggi 0,75 m.

6. Untuk perbaikan sistem pelimpah gorong-gorong dilakukan dengan pemasangan pintu pengatur di hilir gorong-gorong yang dilengkapi dengan sekat balok tepat di udik gorong-gorong.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, khususnya kepada yang terhormal : Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera IV beserta jajarannya, Ibu Yiniarti, dan tenaga ahlli sampai teknisi di lingkungan Balai BHGK Puslitbang SDA.

REFERENSI

Balai Wilayah Sungai Sumatera IV, Pekerjaan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011, Batam.

DHI Water & Environment, MIKE 11 A Modelling System for Rivers and Chanels User Guide, June 2002.

Eka Kumala, Yiniarti. 2015. Bahan Angkutan Sedimen. Program Magister PSDA ITB, Bandung.

Petersen, M. 1986. River Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Puslitbang SDA, Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan Bendung Sungai Gesek, Agustus 2014.

No. Vertikal (kN)Horisontal (kN)Momen (kN.m)

1 226.39 92.02 1,822.34

2 -596.01 - -4,352.28

3 - 28.61 66.53

4 - 21.12 56.32

-369.61 141.74 -2,407.09

Gaya

Hidrostatis

Berat Sendiri

Gaya Gempa

Tekanan Tanah

Page 131: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 111

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

POLA PERGERAKAN ALIRAN DI MUARA SUNGAI MUSI DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM MIKE-21 FLOW MODEL

Achmad Syarifudin1*, Eka Puji Agustini2

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Bina Darma

2Program Studi Ilmu Komputer, Universitas Bina Darma

*[email protected]

Abstrak

Sungai Musi merupakan sungai terbesar dengan panjang lebih dari 750 kilometer dan lebar rata-rata 540 meter dimana lebar maksimum 1.350 meter berada di sekitar Pulau Kemaro. Pada dasarnya, sedimentasi yang terjadi di Sungai Musi memang termasuk sedimentasi tingkat tinggi disebabkan adanya pertemuan arus antara Sungai Musi dan arus laut di selat Bangka. Kondisi pendangkalan sungai Musi kian parah karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan. Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5 juta meter³. Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari Pelabuhan Boom Baru hingga selat Bangka terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat rawan, karena pendangkalan mencapai 4 meter. Lokasi yang cukup rawan itu yakni di Pulau Payung bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi yang mengalami pendangkalan paling parah antara lain di ambang luar, muara selat Jaran dan perairan bagian Selatan Pulau Payung serta sedimentasi alur mencapai 7 km, sehingga kapal yang melintasi alur Sungai Musi harus berpedoman pada pasang surut air yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan model perangkat lunak MIKE-21 Flow Model dan hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah pola pergerakan aliran antara lain arah dan kecepatan arus serta model hidrodinamika kedalaman sungai mulai dari pada ambang luar Sungai Musi sampai dengan Sungai Musi yang terpengaruh air pasang surut.

Kata kunci: Sungai Musi, MIKE-21 FM, pergerakan aliran

LATAR BELAKANG Sungai Musi yang merupakan sungai terbesar dengan panjang 750 kilometer dan lebar rata-rata 540 meter (lebar terpanjang 1.350 meter) berada di sekitar Pulau Kemaro dan (lebar terpendek 250 meter) berlokasi di sekitar Jembatan Musi II. Sungai Musi memiliki dua pulau yaitu Kembaro (Kemaro) dan Kerto. Ketiga sungai besar lainnya adalah Sungai Komering dengan lebar rata-rata 236 meter, Sungai Ogan dengan lebar rata-rata 211 meter dan Sungai Keramasan dengan lebar rata-rata 103 meter (Dinas PU BM & PSDA kota Palembang, 2012).

Sungai Musi tak hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar saja . tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan besar yang terletak di sepanjang aliran sungai Musi. Mereka menggunakan sungai Musi untuk mengirimkan produk-produk dan mendatangkan bahan baku melalui kapal. Sehingga banyak kapal-kapal besar dan bahkan sangat besar yang mondar-mandir di sungai Musi ini. Beberapa perusahaan yang terdapat di sepanjang sungai Musi adalah PT. Pertamina, PT. Pupuk Sriwijaya (PUSRI), Wilmar Group dan Pelabuhan Boom Baru, dan Pelabuhan Kapal Ferry di 35 ilir. Peranan sungai Musi yang sangat vital dalam kehidupan sehingga di sebut urat nadi kota Palembang saat ini mulai di hantui berbagai masalah, salah satu permasalahannya yaitu terjadinya pendangkalan sungai yang terus meningkat setiap tahunnya. Tentu hal ini sangat merugikan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, apalagi saat ini Provinsi Sumatera Selatan sedang gencar-gencarnya menarik minat investor untuk menanam modal dalam bernagai sektor bisnis di Sumatera Selatan. Pada dasarnya, sedimentasi yang

Page 132: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

112 Bandung, 12 September 2015

terjadi di sungai Musi memang termasuk sedimentasi tingkat tinggi disebabkan adanya pertemuan arus angtara sungai Musi dan arus laut di selat Bangka.

Kondisi pendangkalan sungai Musi kian parah karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan. Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5 juta meter³. Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari Pelabuhan Boombaru hingga selat Bangka terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat rawan, karena pendangkalan mencapai 4 meter. Lokasi yang cukup rawan itu yakni di Pulau Payung bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi yang mengalami pendangkalan paling parah antara lain di ambang luar, muara selat jaran dan perairan bagian Selatan Pulau paying serta panjang sedimentasi itu bisa mencapai 7 km. sehingga Kapal-kapal yang melintasi sungai Musi harus berpedoman pada pasang surut Air Sungai Musi.

METODOLOGI STUDI Penelitian ini akan dilaksanakan dengan pemodelan dan simulasi pola arus serta transpor sedimen di perairan Selat Bangka pada posisi 2.07º – 2.38º LS dan 104.85º – 105.17º BT. Lokasi penelitian seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

(Sumber: BPSDA, 2010)

Pergerakkan sedimen di sungai dapat diselesaikan berdasar persamaan sedimen menurut Exner adalah:

x

Qs

t

p B

.).1( (1)

dimana : B : lebar saluran. η : elevasi saluran. Λp : perositas lapisan aktif. t : waktu. x : jarak. Qs : jumlah pergerakkan sedimen

ALAT DAN BAHAN Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain seperti pada Tabel 1. berikut

Tabel 1. Daftar alat yang digunakan dalam penelitian

No. Nama Alat Banyaknya Kegunaan

1 Alat Tulis 2 buah Alat bantu menulis hasil pencatatan data 2 Komputer (RAM 2

GB) 1 unit Melakukan pemodelan secara umum\

3 Printer 1 unit Menampilkan tulisan dalam bentuk laporan

Page 133: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 113

4 Software MIKE-21 Model, MS-Excel,

1 buah Untuk melakukan pemodelan dan pengolahan data

5 Dongle (lisensi program)

1 buah Untuk mengaktifkan software MIKE-21 Flow Model

6 Laptop dan Printer 1 buah Membantu dalam pembuatan laporan

Data yang digunakan dalam analisis seperti pada Tabel 2 berdasarkan jenis, sifat, sumber dan satuan dari data.

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan

No Jenis data Sifat Data

Sumber Satuan P S

1 Pasang surut Lapangan m

2 Batimetri Bakorsurtanal/Pelindo m

3 Arah dan kecepatan arus Lapangan ( o ) dan m/s

4 Debit Sungai Lapangan m3/s

5 Arah dan kecepatan angin BMG ( o ) dan m/s

6 Sedimen dasar Lapangan mm atau

7 Konsentrasi sedimen

tersuspensi (TSS) Lapangan mg/l

8 Debit sedimen dari sungai Lapangan gr/s

Keterangan : P = Primer; S= Sekunder

Simulasi Program MIKE-21 FM

MIKE-21 Hydrodynamic Module (HD Module) adalah model matematika untuk menghitung perilaku hidrodinamika air terhadap berbagai macam fungsi gaya, misalnya kondisi angin tertentu dan muka air yang sudah ditentukan di open model boundary. HD Module mensimulasi perbedaan muka air dan arus dalam menghadapi berbagai fungsi gaya di danau, estuari, dan pantai.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Input model 1. Batimetri model

Gambar 2. Batimetri model global untuk daerah selat Bangka

Page 134: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

114 Bandung, 12 September 2015

2. Mesh grid model Hidrodinamika Selat Bangka

Gambar 3. Mesh Grid Model

3. Boundary conditions

Gambar 4. Boundary Condition

4. Syarat Batas Utara:

Gambar 5. North water level

Page 135: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 115

Gambar 6. South Water Level

5. Output model untuk hidrodinamika

Gambar 7. Model hidrodinamika arah kecepatan air sungai

Gambar 8. Model hidrodinamika elevasi permukaan aliran sungai

Page 136: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

116 Bandung, 12 September 2015

Gambar 9. Model hidrodinamika total kedalaman aliran sungai

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari hasil analisis dari penelitian ini dapat disimpulkan program MIKE-21 FM dapat digunakan untuk mensimulasi pergerakkan aliran di Sungai Musi dimana :

1. Arah kecepatan terbesar terjadi pada muara sungai Musi yaitu berkisar antara 300-350 derajat,

2. Elevasi permukaan ambang luar sungai Musi berkisar antara 0,20 m – 0,40 m, hal ini akan berdampak terhadap daerah bebas bagi kapal untuk melakukan pergerakkan secara baik dan aman,

3. Kedalaman air total terjadi sebesar 15 – 30 m sehingga berpengaruh terhadap alur pergerakkan kapal yang masuk ke sungai Musi secara keseluruhan.

Rekomendasi

Hasil penelitian ini baru tahap model pergerakan arus, hidrodinamika kedalaman aliran dan elevasi permukaan aliran. Oleh karena itu diperlukan data pengukuran pasang surut untuk daerah di luar sungai musi pada suatu periode tertentu sebagai verifikasi model sediment transport.

Juga perlu dilakukan kajian yang lebih detail tentang korelasi pergerakkan sedimen serta gerakkan kapal terhadap banyaknya sedimen di sungai Musi.

UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Wilayah Sungai VIII, Ir. Bistok Simanjuntak, Dipl. HE dan Ir. H. Hendri, M.Si serta Prof. Ir. H. Bochari Rachman, M.Sc, Rektor Universitas Bina Darma Palembang, Prof. Dr. H. Zainuddin Ismail, MM, Wakil Rektor I dan Dr. Sunda Ariana, MM, M.Pd, Wakil Rektor II Universitas Bina Darma Palembang yang berkenan memberikan izin serta bantuan kepada penulis terutama dalam penyiapan data sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Page 137: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 117

REFERENSI

Hartoyo Suprianto, Sumarjo Gatot Irianto, Robiyanto H. Susanto, and FX BartSchult. Suryadi, 2006, Potential and constrains of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra. Case study in a pilot area Telang I. In proceedings of the 9th Inter- Regional Confrence on water environment. Enviro water, Concept for Water management and multifunctional land uses in lowlands, Delft, the Netherlands.

Harinaldi, 2005, Principles of Statistics for Engineering and Science, Erland Jakarta, Indonesia

Indarto, 2010, Hydrology, Basic Theory and Application Model Example Hydrology, PT. Earth Literacy, Jakarta, Indonesia Joint Working Group, Ministry of Public Works and Rijkwaterstaat., 2005. Technical Guidelines On Tidal Lowland Development. Volume II: Water Management.

Munir, S, 2010, Role of sediment transport in operation and maintenance of supply and demand based irrigation canals, PhD Thesis UNESCO-IHE, Delft, The Netherlands

Paudel, 2010,Role of sediment in the design and management of irrigation canals, Sunsari Morang Irrigation Scheme, Nepal, Ph.D Thesis, UNESCO-IHE, Delft, The Netherlands

Schultz, B and Vries, W.S., 1993. 15th Congress on Irrigation and Drainage: Water Management in the Next Century: Q.45 R.17: Some Typical Aspects of Maintenance Drainage Systems in Flat Areas. The Hague

Schultz, E. 1993. Land and Water Development: Finding a balance between implementation, management and sustainability. IHE Delft. Netherlands

Schultz, B, Zimmer, D, and Vlotman, W.F., 2007. Drainage under Increasing and Changing Requirements. The Journal of the International Commission on Irrigation and Drainage. John Wiley and Sons Ltd

Supriyanto, H., 2004. Where do We Stand on Swamplands Development. Regional Teaching Seminar on Tidal Lowlands

Supriyanto, H, Irianto, S.G, Susanto, R.H, Suryadi, F.X, Schultz, B., 2006. Potentials and Constraints of Water Management Measures for Tidal Lowlands in South Sumatera. Case Study in a Pilot Area in Telang I. In Proceedings 9th Inter-Regional Conference on Environment-Water. Delft.The Netherlands

Suryadi, F.X, October 1996. Soil and Water Management Strategies for Tidal Lowlands in Indonesia. Netherlands, A.A. Balkema, Rotterdam. The Netherlands

Suryadi, F.X, 2004. Pengembangan Daerah Rawa Pasang Surut di Sumatera Selatan, Pengalaman Pengembangan Daerah Rawa dan O&P Telang I.Land and Water Management Tidal Lowlands

Suryadi, F.X, 2007. Lecture Notes. Unsteady Flow. Unesco IHE. The Netherlands

Warga Dalam, Djajamurni, 2008, policy development and management of swamp (now and in the future), Papers in the Workshop on the Strengthening of Tidal Lowland Development (STLD), Jakarta. Indonesia

Page 138: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

118 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR DI JAKARTA

Tri Hardhono1; Beny Syahputra1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Islam Sultan Agung 2Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Sultan Agung

[email protected]

Abstrak

Jakarta, dimana lebih dari 40% wilayahnya berada dibawah permukaa air laut rata-rata (low-land), sehingga debit banjir sulit untuk mengalir secara gravitasi ke laut, inilah factor yang menyebabkan setiap tahun Jakarta selalu mengalami banjir. Selain itu terlalu banyak kendaraan yang melintas dan kurangnya fasilitas jalan hal ini menyebabkan Jakarta mengalami kemacetan. Metode yang dipakai menggunakan filosofi pengendalian banjir berbasis siklus hidrologi dari suatu sistim sungai, dimana pada masing-masing dari collecting, transporting & dispersal sub-sub sistim akan ditangani dengan kaidah-kaidah yang berlaku yaitu watershed management, river engineering and coastal and river engineering, dan untuk low-land diperlukan pengaliran gravitasi dan kombinasi sistim polder & pemompaan, sekaligus penataan areal muara dengan sistim reklamasi yang postif. Sehingga untuk maksud tersebut dasar sungai-sungai yang ada di Jakarta harus dinaikkan agar dicapai elevasi dasar sungai yang mampu mengalir ke laut secara gravitasi. Kemacetan lalu-lintas diusulkan dengan membuat sub-way yang akan dibangun dibawah dasar sungai yang dinaikkan sebagaimana usulan tersebut diatas, dan dipakai untuk dilalui kendaraan atau KRL. Cara tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu-lintas di Jakarta.

Kata kunci: banjir , macet, reklamasi,

PENDAHULUAN Ada 3 (tiga) masalah besar yang terjadi di Jakarta, pertama adalah banjir, dimana lebih dari 30% wilayah Jakarta berada dibawah permukaan air laut rata-rata Sea Normal Water Level (SNWL) atau yang dikenal sebagai low-land, sehingga debit banjir sulit untuk mengalir secara gravitasi ke laut. Inilah faktor yang menyebabkan Jakarta selalu mengalami banjir setiap tahun.

Kedua adalah macet, dimana faktor penyebabnya adalah terlalu banyaknya kendaraan yang melintas di kota Jakarta dan kurangnya fasilitas jalan sehingga Jakarta mengalami kemacetan lalu-lintas yang cukup parah.

Ketiga adalah reklamasi pantai untuk pengembangan real-estate yang belum mempertimbangkan aspek pengendalian banjir, sehingga tanpa disadari oleh pihak terkait bahwa dimulut muara sungai inilah debit banjir Jakarta ―tersumbat‖ oleh perilaku reklamasi pantai

Ketiga masalah tersebut diatas akan dibahas dan diusulkan sebagai program penanganan banjir, kemacetan serta reklamasi pantai secara terpadu untuk kota Jakarta.

METODOLOGI STUDI Metode yang dipakai menggunakan pendekatan filosofi pengendalian banjir dan kemacetan lalu lintas adalah berbasis siklus hidrologi dari suatu sistim sungai, dimana pada masing-masing dari collecting, transporting & dispersal sub-sub sistim akan ditangani dengan kaidah-kaidah yang berlaku yaitu watershed management, river engineering and coastal and river engineering, dan untuk low-land diperlukan pengaliran gravitasi dan kombinasi sistim polder & pemompaan, sekaligus penataan areal muara dengan sistim reklamasi yang postif.

Page 139: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 119

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

1. Penyebab banjir di Jakarta (akibat “banjir kiriman” & “banjir lokal “)

Banjir akan dibedakan menjadi ―banjir kriman‖ yaitu banjir yang terjadi pada suatu sistim sungai dan ―banjir lokal‖ yaitu banjir akibat curah hujan lokal pada kawasan yang relatif datar atau perkotaan.

Pemecahan masalah ―banjir kiriman‖ perlu dilakukan dengans menggunakan filosofi pengendalian banjir berbasis siklus-hidrologi dari suatu sistim sungai, maksudnya adalah curah hujan yang turun ke bumi sebagai run-off dan mengalir sebagai debit banjir yang membawa serta kandungan sedimen melalui sistim sungai atau “river systems‖ yang terdiri dari “collecting sub system”, “transporting sub-system” dan “dispersal sub system”. Pada setiap sub-system mempunyai kaidah pemecahan banjir yang berbeda yaitu masing-masing digunakan kaidah: “watershed management”, “river engineering” & “ coastal and river engineering”.

―Banjir lokal‖ seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa run-off terkumpul dan menggenang pada suatu areal tertentu sebagai genangan banjir local hal ini disebabkan karena kecilnya energi pengaliran untuk mengalir secara gravitasi.Solusi banjir lokal akan dilakukan langkah kombinasi: mengalirkan genangan banjir kesuatu waduk-waduk lapangan dan memberikan energi pengaliran dengan pemompaan untuk dibuang langsung ke laut atau melalui sistim sungai yang ada.

2. Existensi Kali Ciliwung (bercabang & menyebar di areal hilir) Kali Ciliwung sebagai sungai utama di Kota Jakarta,mengalir dari hulu ke hilir dengan bercabang layaknya kipas, fenomena ini menunjukan bahwa dataran rendah Kota Jakarta sesungguhnya terbentuk dari endapan alluvial dengan sistim drainase alam yang menyebar di dataran Jakarta.Terjadi ―land-subsidence” dengan existensi “low-land‖ adalah penegasan terjadinya proses konsolidasi jangka panjang atas Kota Jakarta. Sebaran cabang Kali Ciliwung yang dalam usulan ini selain sebagai solusi pengendalian banjir juga akan dipakai sebagai “lines of proposal sub-way”.

3. Penanganan banjir saat ini Sejauh pengamatan kami pengendalian banjir telah dilakukan dengan normalisasi dan penambahan kapasitas transporting debit banjir dengan membuat Kanal Banjir Barat & Timur dll.Akan tetapi secara konseptual belum ada tindakan ―pembongkaran akumulasi sedimen muara sungai‖ yang dilakukan oleh pihak terkait.Hal ini menunjukan bahwa penanganan banjir di Jakarta masih belum terancang dengan konsep berdasarkan filosofi yang seharusnya.

Prinsip Pengendalian Banjir Dan Proposal Solusi

1. Berbasis siklus hidrologi Pengendalian banjir berbasis siklus hidrologi bermakna bahwa siklus perjalanan air dari laut akan kembali lagi ke laut, maka besaran pengaliran run-off pada suatu sistim sungai akan dilakukan analisis tentang besaran ―design discharge‖ guna menentukan desain dimensi alur sungai dan juga ―analysis sediment discharge‖ sebagai acuan sejauh mana pemeliharaan alur sungai harus diperhitungkan. Debit banjir dan debit kandungan sedimen akan mengalir melalui alur pengaliran sungai kembali ke laut.

Debit banjir dari hasil analisis diatas harus bisa tertampung oleh alur sungai dari hulu ke hilir termasuk pada bagian dispersal sub-system, sebagai alur normal pengaliran debit banjir. Dalam hal pengaliran debit banjir ini terjadi degradasi alur pengaliran atau dimensi profil sunga yang diakibatkan oleh pengendapan sedimen di sepanjang alur sungai dan sebagian besar di mulut muara sungai.Dengan demikian dari siklus hidrologi perlu diperhatikan hal-hal tersebut diatas.

2. Pengendalian banjir mengacu pada “river-systems” secara utuh Sering terlupakan bahwa semboyan kerja dari Direktorat Jenderal Pengairan pada saat mengemban tugas berdasarkan UU No.11 tahun 1974 adalah: ―One River – One Plan – One Management‖ makna dari ―one river‖ adalah ―one river systems‖ yang terdiri dari: 1. Collecting sub-system,(areal pengumpul air) 2.Transporting sub-system (jaringan pengangkutan air) dan 3. Dispersal sub-system (bagian menumpahkan air kembali ke laut), ketiganya adalah merupakan satu kesatuan utuh.. Dalam konteks ini

Page 140: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

120 Bandung, 12 September 2015

perencanaan pengendalian banjir harus mengacu pada sistim ini menggunakan solusi sesuai dengan kaidah penanganan banjir untuk masing-masing sub-sistim. 3. Perancangan pengendalian banjir setiap penggal “river sub-systems” Difinisi banjir dapat disebutkan adalah suatu keadaan dimana permukaan air seteempat lebih tinggi dari muka air dalam keadaan normal, yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Pengendalian banjir di areal “collecting sub-system‖ atau di areal ―catchment area” akan dilakukan dengan kaidah ―watershed management‖ dimana hasil akhir yang diharapkan adalah rendahnya koeffisien run-off dan kecilnya erosi dan sedimentasi. Realisasi jenis penanganan pekerjaan ini adalah dapat berupa ―greening programme”, “terassering”, “reforrestation‖, dan lainnya.

Pengendalian banjir pada bagian ―transporting sub-system‖ atau pada jaringan sungai akan dilakukan dengan menggunakan kaidah ―flood control engineering‖ yang pada prinsipnya akan dapat dilakukan dengan kaidah “river improvement‖ atau normalisasi profil sungai sesuai dengan kapasitas desain debit banir yang direncanakan dan ―discharges control‖ atau pengendalian massa air dari debit banjir yang dapat direncanakan dengan “discharge distributions‖, ―retarding basin”, retension basin‖, dan lainnya.

Pengendalian banjir pada areal ―dispersal sub-system‖, sedimen merupakan endapan yang terbawa dari catchment area, yang juga merupakan material pembentuk delta, mengendap di mulut muara sungai ini akan dibongkar dilakukan dengan tujuan membuat agar arel mulut muara sungai terbebas dari ―discharges sediment blocking‖ dan bebas dari pengaruh ―littoral sedimentations”. Kaidah yang digunakan adalah kombinasi dari “flood control engineering dan coastal engineering‖. Upaya ini diwujudkan dengan mengeruk sedimen yang ada di mulut muara sungai dengan cara ―dredging” maupun ―floating back-hoe‖ dan lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan dimensi normal alur di muara.sungai..Material hasil pengerukan inilah yang bisa digunakan untuk material pengurukan reklamasi.Tindakan lain yang diperlukan adalah dengan membuat bangunan penangkal proses sedimentasi di mulut muara sungai yang disebabkan oleh penyebaran sediment laut oleh gerak gelombang, dengan bangunan berupa Jetty, break-water, cribs, dan lainnya.

4. Perancangan banjir di areal low-land Banjir yang terjadi di areal “low-land‖ terutama disebabkan karena curah hujan lokal akan berdampak terjadinya genangan banjir di berbagai tempat. Hal ini terutama disebabkan karena tidak mempunyai lagi energy-head atas massa air dimaksud untuk bisa mengalir secara gravitasi kepermukaan yang lebih rendah. Sehingga dengan demikian ada 2 (dua) permassalahan yang akan menjadi focus penanganan banjir yaitu mengumpulkan seluruh genangan yang ada ke suatu tempat yang memungkinkan atau yang areal rendah (secara gravitasi) dalam suatu waduk lapangan atau polder dan dari waduk lapangan dibuang dengan jalan dipompa (kalau memungkinkan) langsung ke laut atau melalui sistim drainase yang tersdia untuk diteruskan menuju ke laut, dengan kapasitas pompa sesuai dengan debit pengaliran yang dibutuhkan.

5. Fenomena banjir Jakarta dan proposal solusi pengendalian banjir Jakarta Banjir yang terjadi di Jakarta dapat dibedakan menjadi 2 jenis: 1. Diakibatkan oleh luapan banjir kiriman (yang tidak tertampung oleh kapasitas sungai yang ada) karena berbagai sebab, antara lain penyempitan alur oleh hunian liar di bantaran sungai, pengendapan sedimen, penumpukan sampah dan lainnya dan yang paling utama harus dikatakan bahwa alur drainase atau alur sungai belum normal sebagaimana yang seharusnya secara teknis untuk suatu sistim-sungai. 2. Diakibatkan karena keadaan Kota Jakarta sebagai “low-land” (terutama di Kota bawah) maka terjadinya genangan banjir local atau banjir sulit untuk segera hilang, menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan.

Proposal solusi pengendalian banjir Jakarta, dibuat dengan mengacu pada kaidah-kaidah sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas, dalam bentuk:

a. Proposal pengendalian banjir kiriman, dilakukan dengan normalisasi sungai untuk seluruh sistim-sungai (pada seluruh ―transporting sub-system‖ dan ―dispersal sub-system‖).

b. Khusus untuk areal “low-land” dimana sebagian dari ―transporting sub-system‖ juga mengalami “subsidenced‖ akibat proses ―long period consolidation” maka sistim sungai pada bagian yang

Page 141: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 121

mengalami penurunan ini perlu dinormalkan dengan jalan mengangkat dasar sungai yang bersangkutan dengan maksud agar bisa didapatkan kemiringan graviatsi dasar sungai tersebut. Hal ini akan dilakukan dengan suatu perencanaan dan perancangan yang komperhensip secara bersama-sama oleh stake holder terkait.

c. Sedangkan untuk proposal solusi banjir lokal, sifatnya hanya melengkapi dari apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah setempat, yaitu merancang kembali sistim-jaringan drainase lokal yang akan bermuara ke waduk-waduk lapangan atau “collecting storages‖ yang disesuaikan dengan kebutuhan pematusan genangan, untuk selanjutnya dari waduk-waduk lapangan atau ―collecting storages” tersebut air dipompa dan dibuang langsung ke laut atau dibuang masuk ke main-drainage system (transporting sub-system) terdekat.

d. Sasaran penting dari proposal ini adalah: dengan ―mengangkat dasar sungai‖ ke suatu elevasi yang bisa mendapatkan potensi aliran sungai secara gravitasi,dengan cakupan disepanjang atau diseluruh jaringan Kali Ciliwung diareal ―low-land‖ kota Jakarta, maka akan mendapatkan ―space under the Ciliwung rivers‖ yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan ―tunnel for sub-ways”. Penekananan dari solusi ini adalah upaya pengendalian banjir yang sekaligus mendapatkan space ―GRATIS‖ hal ini disebabkan karena digunakan lahan exs sungai sehingga tidak dibutuhkan pembebasan lahan serta tidak ada masalah sosial (konflik dengan warga) sebagaimana yang biasa terjadi pada proses pembebasan lahan.Penekanan solusi lain adalah terkait dengan diperolehnya alur transportasi darat guna ―MENGURANGI KEPADATAN LALU-LINTAS PERMUKAAN‖ di Jakarta.

Dampak Ikutan Pengendalian Banjir Jakarta 1. Terdapat “space under the Ciliwung rivers” Tidak bisa bisa dipungkiri bahwa dengan penanganan banjir sebagaimana diuraikan diatas akan bisa juga untuk dimanfaatkan guna kepentingan lain yaitu ―alternative mengatasi kemacetan lalu-lintas‖ dan sekaligus menata kembali ―proses reklamasi pantai Jakarta‖. Points ini didapatkan dari ―pengangkatan elevasi dasar sungai‖ sehingga menghasilkan ―space under the Ciliwung rivers‖ yang bisa dimanfaatkan sebagai ―sub-ways‖ dan ―Proses pengerukan muara sungai‖ untuk tujuan ―normalisasi alur sungai‖ di dispersal area, dengan material hasil pengerukannya akan bisa dipakai untuk pengurugan (reklamasi). Sebagaimana telah disinggung diatas maka ―tunnel sub-way” yang akan bisa dibangun dibawah dasar sungai (yang ―diangkat‖ agar bergravitasi) akan bisa dipakai untuk KRL maupun MRT adalah proposal yang mungkin dapat diimplementasikan oleh Pemerintah dengan mengingat akan pentingnya sarana transportasi serta keterbatastasan lahan yang tersedia, maka proposal ini bisa menjadi alternative solusi. “Space under the Ciliwung rivers” akan dirancang untuk bisa dipakai sebagai ―tunnel sub-ways” lengkap berbagai fasilitas penunjangnya, dan dibangun dengan konstruksi “concrete tunnel”(dengan persyaratan teknis yang berlaku) dan dimensi maximum selebar dasar Kali Ciliwung (yang tersedia gratis), namun masih dimungkinkan untuk dioptimalkan sebagai proyeksi kebutuhan jangka panjang termasuk untuk fasilitas “stations & sub-ways facilities‖ dengan upaya-upaya teknis terkait dengan kemungkinan penambahan pembebasan lahan yang bisa diperoleh.

Keterlibatan semua unsure “stake holders‖ dalam perencanaan dan perancangan sub-way ini adalah mutlak diperlukan, sehingga semua aspek persyaratan: teknis, konstruksi, suplai material, alat berat, adminstratif, hukum keamanan, kesehatan, dampak sosial, lingkungan, RTRW Kota Jakarta dan lainnya semua akan menjadi bahan pertimbangan dalam perencanan dan perancangan..

2. Hasil pengerukan sedimen di “dispersal area” bisa dipakai untuk reklamasi pantai Sebagaimana telah diuraikan diatas terfokus dengan tujuan membuat agar areal mulut muara sungai terbebas dari ―discharges sediment blocking‖ dan bebas dari pengaruh ―littoral sedimentations.

Langkah nyata yang dilakukan adalah dengan mengeruk sedimen yang ada di mulut muara sungai dengan cara ―dredging” maupun ―floating back-hoe‖, dengan tujuan untuk mendapatkan dimensi normal alur di muara.sungai serta membuat bangunan penangkal proses sedimentasi di mulut muara sungai yang disebabkan oleh penyebaran sediment laut oleh gerak gelombang, dengan wujud bangunan berupa Jetty, break-water, cribs, dan lainnya. Material hasil pengerukan akan bisa digunakan sebagai material pengurukan lahan reklamasi.

Page 142: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

122 Bandung, 12 September 2015

Semua langkah-langkah yang telah diuraikan sebagaimana tersebut diatas merupakan keharusan untuk dilakukan bagi pengembangan di areal pantai. Menjadi pertanyaan adalah apakah saat ini sudah ada pengembang yang melakukan hal tersebut diatas? Apalagi sudah menjadi kenyataan dilapangan di Teluk Jakarta bahwa reklamasi dilakukan dengan ―melupakan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok‖ yang seharusnya perlu dilindungi dari ancaman sedimentasi.Hal ini ditandai dengan semakin dekatnya areal reklamasi dengan kolam Pelabuhan, dimana pada saat nanti sedimen pantai akan semakin terdorong ke areal Parking Ships.atau mulut kolam Pelabuhan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

1. Banjir kiriman maupun banjir lokal akan dapat diatasi

2. Kemacetan lalu-lintas akan dapat dikurangi

3. Reklamasi pantai dan pengembangan real estate di areal pantai akan dapat ditata ulang dengan program yang lebih bersinergi untuk tujuan pengendalian banjir dan reklamasi.

Rekomendasi

1. Di Era Pemerintahan yang sekarang ini dikenal sangat responsip terhadap inovasi pembangunan dan pembenahan Jakarta agar lebih baik, maka seyogyanya sumbang saran konsep ini bisa dikaji lebih detail, untuk setidaknya menjadi bahan acuan menangani banjir dan kemacetan Jakarta.

2. Penyempurnaan konsep demi hasil yang lebih baik tentu akan sangat membantu terwujutnya Ibukota RI – Jakarta yang bebas dari banir dan macet adalah menjadi kewajiban kita semua.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu dalam penelitian dan pembuatan makalah ini, terutama kepada civitas akademika Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Page 143: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 123

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

ANALISIS SISTEM CLUSTER SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN PERMUKAAN PADA KAWASAN INDUSTRI

Obaja Triputera Wijaya1*, Doddi Yudianto1, dan GUAN Yiqing*

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia 2Collage of Hydrology and Water Resources Engineering, Hohai University, Nanjing, China

*[email protected]

Abstrak

Penerapan dari sistem drainase berkelanjutan mengharuskan sebuah sistem drainase mampu mengontrol peningkatan dari limpasan akibat dari sebuah pembangunan. Tak hanya itu, sistem drainase berkelanjutan juga harus mampu untuk melakukan konservasi air, salah satu contohnya adalah penyediaan air baku. Sebuah daerah industri di Tangerang, dengan luas seluas 2400 ha direncanakan untuk menjadi sebuah daerah industri dengan menggunakan sistem cluster. Sistem cluster yang dimaksud adalah sistem dari penanganan banjir dilakukan dengan menyediakan kolam detensi dimasing-masing cluster yang mana luasan dari cluster tersebut sangat bervariasi. Akibat dari pembangunan tersebut, volume limpasan bertambah sebesar 83.25% untuk periode ulang 10 tahun. Dengan mengambil luas lahan sebesar 4.65 ha atau 4,65% dari 100 ha untuk dijadikan kolam detensi, sistem drainase mampu mengontrol limpasan untuk periode ulang 5 tahun. Dengan meningkatkan luas lahan untuk kolam detensi sebesar per 1%, sistem drainase mampu mengontrol limpasan untuk periode ulang 10, 25, 50, dan 100 tahun.

Kata Kunci: Sistem Drainase Berkelanjutan, Sistem Cluster, Kolam Detensi, HEC-HMS

LATAR BELAKANG Seiring dengan perkembangan keilmuan yang ada, konsep dari sistem drainase berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan ataupun kebutuhan di masa sekarang. Pada mulanya, sistem drainase dimaksudkan untuk mengalirkan secepat-cepatnya kelebihan dari limpasan permukaan keluar dari sebuah kawasan, sistem ini sering juga disebut sebagai konsep ―lama‖. Akibat dari perkembangan dan pembangunan yang sangat pesat, konsep lama ini tak lagi menjadi sebuah solusi yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada sekarang. Oleh karena itu terjadilah pergeseran dari konsep yang lama menjadi sebuah konsep paradigma yang baru (Triweko, 1993).Pada konsep paradigma yang baru ini, kelebihan limpasan tidak harus segera dibuang keluar dari kawasan tetapi harus bisa dimanfaatkan terlebih dahulu.

Sistem drainase yang berkelanjutan merupakan sebua konsep yang baru atau pendekatan untuk mengatur sistem drainase sedemikian rupa sehingga sistem tersebut berkelanjutan. Konsep ini merupakan turunan dari konsep paradigma yang baru, yang mana banyak digunakan oleh beberapa negara dengan berbagai nama ataupun pendekatan yang berbeda. Seperti halnya di Amerika Serikat, pendekatan ini disebut sebagai Low Impact Development (LID). Konsep dari LID sendiri adalah sebuah pendekatan untuk mengontrol dampak dari sebuah pengembangan lahan, khususnya dampak dari peningkatan limpasan permukaan, dengan berbagai cara yang ramah lingkungan sehingga kondisi sebelum pembangunan tereduksi paling tidak mendekati kondisi sebelum terjadi pembangunan (Hunter, 2009; Mahmmod et.al, 2010).

Secara praktis, banyak cara dalam menerapkan konsep ini dalam sebuah kawasan pengembangan, salah satunya dengan menampung sementara kelebihan limpasan permukaan disebuah bangunan yang disebut sebagai kolam retensi atau kolam detensi sesuai dengan kebutuhan (Wanielista, 1978; Pazwash, 2011). Sebagai salah satu negara berkembang terbesar di dunia, Indonesia akan direncanakan untuk

Page 144: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

124 Bandung, 12 September 2015

berkembang ke sektor industri (www.mmmindustri.com), yang itu artinya akan ada perubahan tata guna lahan secara masif. Penggunaan kolam retensi ataupun kolam detensi merupakan salah satu solusi pengendalian limpasan permukaan yang cukup sering digunakan di Indonesia (Bita Engineering, 2013; Wijaya, 2013; Millenium, 2014), namun nyatanya dalam upaya penerapan dari kolam retensi maupun detensi ini tidaklah gampang. Isu terbesar di Indonesia dalam pengembangan sebuah kawasan adalah isu pembebasan lahan. Kerap kali isu ini menyebabkan pelaksanaan sistem drainase menjadi tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Seperti contoh pada sebuah kawasan industri di daerah Bekasi mengalami kerugian akibat banjir yang disebabkan oleh sistem drainase yang ada tidak mampu menanggung beban limpasan. Sistem drainase semula direncanakan berdasarkan master plan rencana, namun dikarenakan adanya masalah pembebasan lahan, master plan tersebut berubah dan mengakibatkan sistem drainase yang telah dibangun menjadi tidak efektif.

Pada penilitan ini akan dilakukan penerapan sistem cluster pada sebuah kawasan industri berlokasi di kota Bekasi dengan luas 2400 ha. Kawasan akan direncanakan menjadi daerah yang datar dengan kemiringan rata-rata lahan 0,0005 m/m. kawasan ini juga berada di bawah muka air banjir sungai yang berbatasan langsung dengan kawasan disebelah utara, oleh karena itu berdasarkan master plan yang ada sistem drainase direncanakan menjadi semi-polder. Seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini, kawasan industri ini akan direncanakan menggunakan sistem cluster. Maksud dari sistem cluster ini adalah pengendalian limpasan permukaan akan dikendalikan terlebih dahulu di masing-masing cluster dengan menggunakan kolam detensi dan jika ada pengembangan lahan yang baru harus ada luasan lahan yang dikorbankan untuk dimanfaatkan sebagai kolam detensi.

Gambar 1. Lokasi studi

METODOLOGI STUDI Studi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak HEC-HMS 3.5 untuk mengubah hujan menjadi limpasan menggunakan metode hidrograf satuan sintetis Soil Conservation Service (SCS). Metode SCS ini sendiri mampu melakukan analisis hidrograf secara hipotetis terhadap perubahan lahan, oleh karena itu metode ini sangat sering dipergunakan, khususnya di Indonesia. Konsep dasar dari SCS adalah, debit diekspresikan sebagai rasio antara debit –debit puncak dan waktu-waktu puncak dari hidrograf satuannya (Chow, 1988). Nilai dari debit puncak dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan di bawah ini.

p

pT

CAQ

(1)

pr

p tt

T

2 (2)

Dimana:

Page 145: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 125

Qp : Debit puncak (m3/s) C : Konstanta (2,08 untuk satuan SI) A : Luas daerah (km2) Tp : Waktu puncak (menit) trr : Waktu hujan efektif (menit) tp : Waktu keterlambatan (menit)

Gambar 2. Ilustrasi UHS-SCS

Ada dua parameter yang digunakan dalam mengubah hujan menjadi limpasan menggunakan metode SCS, Curve Number (CN) dan waktu konsentrasi (tc). Dalam penelitian ini, rumus yang digunakan untuk menghitung waktu konsentrasi menggunakan rumus dari Natural Resources Conservation Service (NRCS). Rumus ini cocok untuk area yang memiliki luas kurang dari 800 ha dan mempunyai parameter salah satunya adalah CN, sehingga dengan menggunakan rumus ini dapat meninjau dampak dari perubahan tata guna lahan (SCS, 1986). Rumus NRCS ini sesuai dengan lokasi studi dikarenakan pada lokasi studi ini akan ada perubahan tata guna lahan dari sawah menjadi kawasan industri, selain itu juga masing-masing cluster direncanakanakan seluas kurang lebih 1 km2. Seperti yang dapat dilihat di bawah, rumus dari NRCS adalah:

5.0

7.08.0

1900

9)/1000(

S

CNLTc

(3)

)102.2103.4104.3108.6(1 382743 CNCNCNpM (4)

Dimana : Tc : waktu konsentrasi (menit) L : panjang lahan (m) S : kemiringan lahan (m/m) M : faktor koreksi untuk daerah kedap air p : persen daerah tertutup (%)

Berdasarkan ketentuan desain drainase di Indonesia, untuk daerah industri, sistem drainase harus mampu menangani sampai dengan periode ulang 5-10 tahun (Suripin, 2004). Berdasarkan dari studi sebelumnya (Wijaya, 2015) hujan di daerah kawasan tersebut mengikuti distribusi Log Pearson III dengan periode ulang 5 tahun sebesar 127,9 mm dan 151,7 mm untuk periode ulang 10 tahun. Dikarenakan tidak tersedianya data hujan durasi pendek, maka distribusi hujan diasumsikan menggunakan distribusi mononobe, seperti gambar di bawah ini.

Page 146: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

126 Bandung, 12 September 2015

69

18 13

63

16 11 9

55

14 10 8 7 6

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1 2 3 4 5 6

Dis

trib

usi

(%

)

Jam ke-

3 Hours

4 Hours

6 Hours

Gambar 3. Distribusi hujan Mononobe

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Dalam menggunakan HEC-HMS, perlu ada beberapa data dan model yang harus disiapkan terlebih dahulu. Terdapat 4 buah model yang harus disiapkan secara terpisah sehingga model HEC-HMS dapat digunakan. Salah satu model yang harus dibuat terlebih dahulu adalah basin model, seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah. Terdapat dua basin model yang dibuat, yaitu kondisi untuk sebelum pembangunan dan sesudah pembangunan.

Gambar 4. Basin model untuk dua kondisi

Setelah membangun model fisik dari kawasan, tentunya dibutuhkan data masukkan sehingga model dapat digunakan. Seperti yang dapat dilihat dari tabel di bawah, terdapat beberapa parameter untuk basin model. Kebutuhan atau volume kolam yang harus disediakan, berdasarkan konsep dari LID, adalah selisih dari hidrograf sebelum terbangun dan hidrograf setelah terbangun. Menuruti Pazwash (2011), dari nilai yang telah didapatkan dengan menggunakan metode tersebut, volume kolam harus dikalikan dengan 1,5-1,75 dikarenakan routing yang dilakukan untuk kolam diasumsikan mengikuti hubungan yang linear (Pazwash, 2011). Oleh karena itu volume dari kolam harus diperbesar untuk mengantisipasi jika terjadi gelombang di dalam kolam.

Page 147: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 127

Tabel 1. Parameter untuk basin model

Seksi

Total Area

CN Panjang Impervious Faktor (M)

Slope Tc Tc

Terkoreksi Lag time

(m2) Composite (meter) (%) (m/m) (min) Tc (min) min

A1 16,64 85,77 600,00 70,00 0,63 0,0008 23,33 14,65 8,79

A2 70,98 88,00 1440,00 70,00 0,66 0,0008 43,28 28,74 17,25

A3 95,23 84,85 1440,00 60,00 0,67 0,0005 61,45 41,12 24,67

A4 69,02 77,07 1534,26 60,00 0,59 0,0007 70,75 41,98 25,19

A5 11,09 49,00 1300,00 0,00 1,00 0,0025 69,29 69,29 41,58

A6 73,00 61,00 1500,00 20,00 0,85 0,0005 128,24 109,40 65,64

B1 32,07 92,00 1300,00 80,00 0,70 0,0005 43,69 30,72 18,43

B2 100,00 88,00 2000,00 70,00 0,66 0,0005 72,66 48,26 28,96

B3 100,00 88,00 2000,00 70,00 0,66 0,0005 72,66 48,26 28,96

B4 85,51 83,54 1700,00 60,00 0,65 0,0005 74,88 48,92 29,35

B5 66,54 65,63 1000,00 40,00 0,70 0,0005 82,30 57,80 34,68

B6 99,27 79,82 1800,00 50,00 0,68 0,0004 104,61 71,08 42,65

C1 32,07 92,00 1300,00 80,00 0,70 0,0005 43,69 30,72 18,43

C2 100,00 88,00 2000,00 70,00 0,66 0,0005 72,66 48,26 28,96

C3 100,00 88,00 2000,00 70,00 0,66 0,0005 72,66 48,26 28,96

C4 100,00 88,00 2000,00 70,00 0,66 0,0005 72,66 48,26 28,96

C5 100,00 88,00 2000,00 70,00 0,66 0,0005 72,66 48,26 28,96

C6 74,80 81,84 2400,00 70,00 0,57 0,0004 123,48 70,87 42,52

D1 100,00 77,40 1200,00 80,00 0,46 0,0005 68,80 31,71 19,03

D2 100,00 90,00 1700,00 80,00 0,66 0,0005 58,95 38,77 23,26

D3 100,00 90,00 1700,00 80,00 0,66 0,0005 58,95 38,77 23,26

D4 100,00 82,86 1700,00 60,00 0,65 0,0005 76,60 49,46 29,68

E1 97,64 79,40 2000,00 85,00 0,45 0,0005 97,46 43,83 26,30

E2 100,00 81,80 2000,00 85,00 0,48 0,0005 90,32 43,54 26,12

E3 100,00 81,80 2000,00 85,00 0,48 0,0005 90,32 43,54 26,12

E4 103,95 85,02 1750,00 80,00 0,56 0,0005 72,82 40,91 24,54

F1 16,52 70,00 925,00 80,00 0,41 0,0005 68,87 28,39 17,04

F2 35,49 70,00 1000,00 80,00 0,41 0,0005 73,31 30,22 18,13

F3 16,43 70,00 1000,00 80,00 0,41 0,0005 73,31 30,22 18,13

GOLF 95,70 61,00 2165,00 0,00 1,00 0,0001 384,61 384,61 230,76

Up Stream

255,00 61,00 5000,00 0,00 1,00 0,0003 450,52 450,52 270,31

Total Area

2400,00 61,00 - 0,00 1,00 - 557,24 557,24 334,34

Berdasarkan hasil analisis, untuk periode ulang 10 tahun limpasan permukaan meningkat untuk kondisi setelah terbangun sebesar 1.115.776 m3. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun limpasan permukaan meningkat sebesar 991.018 m3. Membandingkan hasil dari beberapa periode ulang yang ada, untuk periode ulang yang semakin besar, persen peningkatan limpasan semakin menurun. Seperti yang dapat dilihat pada grafik di bawah, untuk periode ulang 5 tahun limpasan permukaannya meningkat sebesar 105,69% dan period ulang 10 tahun limpasan permukaan meningkat sebesar 83,25% dari kondisi sebelum terbangun.

Page 148: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

128 Bandung, 12 September 2015

Gambar 5. Persentase peningkatan limpasan permukaan

0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00

100.00110.00120.00130.00140.00150.00160.00

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

De

bit

(m

3/s

)

Waktu (jam)

Setelah Pembangunan 3 jam Setelah Pembangunan 4 jam

Setelah Pembangunan 6 jam Sebelum Pembangunan 3 jam

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 5 10 15 20 25 30 35

De

bit

(m

3/s

)

Waktu (jam)

Sebelum Pembangunan 10 tahun

Setelah Pembangunan 10 tahun

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 5 10 15 20 25 30 35

De

bit

(m3/s

)

Waktu (jam)

Sebelum Pembangunan 25 tahun

Setelah Pembangunan 25 tahun

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 5 10 15 20 25 30 35

De

bit

(m

3/s

)

Waktu (jam)

Sebelum Pembangunan50 tahun

Setelah Pembangunan 50tahun

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 5 10 15 20 25 30 35

De

bit

(m

3/s

)

Waktu (jam)

Sebelum Pembangunan100 tahun

Setelah Pembangunan 100tahun

Gambar 6. Hidrograf sebelum dan sesudah pembangunan untuk beberapa periode ulang

Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari pembangunan debit puncak dari limpasan akan meningkat dan waktu menuju puncak yang semakin cepat. Berdasarkan dari hasil analisis, periode atau distribusi hujan yang sangat menentukan adalah hujan dengan durasi 3 jam. Dari hasil ini, maka kebutuhan dari kolam detensi untuk masing-masing cluster dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

30

40

50

60

70

80

90

100

110

0 20 40 60 80 100 120

Pe

rse

nta

se (

%)

Periode Ulang (Tahun)

Page 149: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 129

Pada dasarnya, untuk mendistribusikan kebutuhan akan kolam detensi secara merata maka total kebutuhan kolam detensi akan dibagi sesuai dengan total luas dari kawasan seluas 2400 ha, sehingga didapat kebutuhan tampungan per ha. Setelah itu, karena kolam hanya akan direncanakan pada kawasan industri (74%) tersebut maka akan dihitung kembali kemampuan dari sistem drainase untuk mengendalikan dampak dari peningkatan limpasan permukaan. Dikarenakan pada biasanya, pengembang hanya ingin mengetahui luasan yang harus dikorbankan untuk dijadikan menjadi kolam detensi, maka dalam penelitian ini diasumsikan bahwa kedalam kolam sedalam 2 meter dengan bentuk kolam adalah persegi. Selain itu juga, outlet dari kolam juga dibatasi dengan menggunakan spillway dengan lebar pelimpah bervariasi dari 1-4 m dan dilengkapi juga dengan pintu dengan ukuran 0,8 m x 1 m untuk alat penguras kolam. Berdasarkan dari asumsi-asumsi tersebut maka didapatlah luas total kebutuhan kolam detensi untuk masing-masing cluster.

Secara garis besar hasil dari perhitungan kebutuhan tampungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Kebutuhan tampungan untuk masing-masing cluster

Dengan data kebutuhan yang telah didapatkan, maka dengan menggunakan simulasi penulusuran banjir tampungan, didapat bahwa dengan jumlah luasan yang telah ditentukan, seperti yang disajikan pada tabel di atas, menunjukkan bahwa kolam mampu mereduksi hidograf banjir sampai paling tidak mirip dengan hidograd banjir sebelum terjadinya pembangunan. Seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah, perbandingan antara setelah implementasi dari sistem cluster dengan kondisi yang ingin dicapai. Dan pada gambar di bawah juga dapat terlihat jelas bahwa dengan menggorbankan lahan sebesar 5,65% untuk dijadikan kolam detensi sedalam 2 m mampu mereduksi banjir dengan periode ulang 10 tahun. Untuk periode ulang yang lebih besar, 25, 50, dan 100 tahun, kebutuhan lahan untuk kolam detensi dengan kedalaman yang sama akan bertambah sebesar 1% untuk setiap peningkatan periode ulang.

Seksi

Storage (5)*

Storage (10)

Storage (25)

Storage (50)

Storage (100)

Surface (5)

Surface (10)

Surface (25)

Surface (50)

Surface (100)

m3 m3 m3 m3 m3 m2 m2 m2 m2 m2

A1 15475 18803 22131 25459 15475 7738 9402 11066 12730 14394

A2 66007 80202 94397 108592 66007 33003 40101 47198 54296 61393

A3 88568 107614 126661 145708 88568 44284 53807 63331 72854 82377

A4 64188 77991 91795 105599 64188 32094 38996 45898 52800 59701

B2 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

B3 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

B4 79521 96622 113723 130824 79521 39760 48311 56861 65412 73963

B5 61884 75192 88501 101809 61884 30942 37596 44250 50905 57559

B6 92323 112178 132032 151886 92323 46162 56089 66016 75943 85870

C2 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

C3 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

C4 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

C5 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

C6 69563 84523 99483 114443 69563 34782 42261 49741 57221 64701

D2 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

D3 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

D4 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

E2 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

E3 93000 113000 133000 153000 93000 46500 56500 66500 76500 86500

E4 96671 117460 138250 159039 96671 48335 58730 69125 79520 89914

Page 150: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

130 Bandung, 12 September 2015

Tabel 3. Kebutuhan tampungan untuk masing-masing cluster

Periode Ulang

Debit Puncak S. Cluster (m3/s)

Debit Puncak yang ditargetkan

(m3/s)

Waktu Puncak S. Cluster

(Jam)

Waktu Puncak yang ditargetkan

(Jam)

5 34,43 28,44 6,58 7,00

10 42,96 43,72 6,58 7,00

25 66,52 63,06 6,50 7,00

50 81,42 79,30 6,50 7,00

100 100,20 97,05 6,42 7,00

Gambar 7. Hasil hidrograf banjir setelah implementasi dari sistem cluster

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari beberapa analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik:

1. Industrisasi membawa dampak pada perubahan tata guna lahan yang masif. oleh sebab itu, peningkatan limpasan permukaan pada kawasan-kawasan yang dikembangkan meningkat seiring dengan perubahan tata guna lahan tersebut. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, untuk

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Deb

it(m

3 /s)

Waktu (jam)

Kondisi Sebeleum

PembangunanSetelah Implementasi S.

Cluster, 5 tahun

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Deb

it(m

3 /s)

Waktu (jam)

Kondisi Sebelum

Pembangunan

Setelah Implementasi S.

Cluster, 10 Tahun

0

10

20

30

40

50

60

70

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Deb

it(m

3 /s)

Waktu (jam)

Kondisi Sebelum

Pembangunan

Setelah Implementasi S.

Cluster, 25 tahun

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Deb

it(m

3 /s)

Waktu (jam)

Kondisi Setelah

Pembangunan

Setelah Implementasi S.

Cluster, 50 Tahun

0

20

40

60

80

100

120

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Deb

it(m

3 /s)

Waktu (jam)

Kondisi Sebelum

Pembangunan

Setelah Implementasi S.

Cluster, 100 Tahun

Page 151: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 131

periode ulang yang lebih besar, persentase peningkatan dari volume limpasan permukaan jika dibandingkan dengan kondisi sebelum terbangun ternyata menurun. Untuk periode ulang 100 tahun, volume limpasan hanya meningkat 47,29% dibandingkan dengan kondisi sebelum terbangun. Persentase ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan periode ulang 5 tahun yang mana volume limpasannya meningkat sampai dengan 105, 69% dari kondisi sebelum terbangun.

2. Implementasi dari sistem cluster ternyata berhasil dalam mengontrol kelebihan limpasan akibat dari industrisasi. Pada penilitian ini, dengan mengorbankan lahan sebesar 5,65% dari total lahan untuk digunakan menjadi kolam detensi dengan kedalam 2 m, mampu mengontrol limpasan untuk periode ulang 10 tahun. Dengan meningkatkan persentase lahan sebesar 1%, kolam mampu untuk mengontrol limpasan untuk periode ulang yang lebih besar yaitu 25, 50, dan 100 tahun untuk setiap penambahan 1% lahan.

Rekomendasi

Dalam sebuah penelitian tentunya ada sebuah kekurangan yang bisa menjadi peneilitain berikutnya. Pada penilitain kali ini terdapat kekurangan khususnya pada masalah data hujan durasi pendek, yang mana sangat dibutuhkan dalam melakukan analisis penulusuran banjir tampungan. Oleh karena itu perlu adanya kajian mengenai distribusi dari hujan-hujan pendek dan simulasi kapasitas kolam jika terjadi hujan yang berurutan.

REFERENSI

Bita Engineering. (2010) DED Flood Control Study and New Retention Ponds of MM2100 Industrial Town Technical Recommendation, Bandung, Indonesia

Chow, V.T., Maidment, D.R. and Mays, L.W. (1998) Applied Hydrology, McGraw-hill, New York

Hunter, H.G., Engel, B. And Quansah, J. (2009) Web-Based Low Impact Development Decision Support and Planning Tool. 2009 AWRA Annual Water Resources Conference, United States, 10 November 2009

Mahmmod, R et al. (2010) Impacts of Land Use/Land Cover Change on Climate and Future Research Priority.American Meteorogical Society

Media Manufaktur Indonesia.(2014). National Construction of Indonesia.http://www.mmindustri.co.id

Millenium.(2014) Macro Drainage System Design of Industrial Area Cikande, Banten.Final Report Technical Recommendation, Bandung, Indonesia (in Indonesia)

Pazwash, H. (2011) Urban Storm Water Management, Taylor and Francis group, USA

Soil Conservation Service (SCS). (1986) Urban Hydrology for Small Watersheds. Technical Release 55, U.S. Department of Agriculture, Washington DC

Triweko, RobertusWahyudi. (1993) Integrated Urban Drainage Management in Indonesia: Challenge and Opportunity. Inauguration Speech of Professor in Water Resources Engineering, Parahyangan Catholic University, Bandung, 1 December 2007.A Paradigm

Wanielista, M.O. (1978) Storm Water Management Quantity and Quality, Ann Arbor Science Publisher, Incs., Ann Arbor Mich

Wijaya, ObajaTriputera. (2013) Drainage System Design ASTRA Honda Motor Storehouse Cibereum 47 Bandung.Undergraduate Thesis of Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia (in Indonesia)

Page 152: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

132 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

SISTEM PENGENDALIAN EROSI UNTUK MEMPERTAHANKAN LAPISAN TANAH SUBUR PADA LAHAN PERTANIAN PRODUKTIF

STUDI KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU

Dede Sumarna1*, H. Bakhtiar. AB.1

1Program Magister Teknik Sipil, Manajemen Infrastruktur Sumber Daya Air.USB-YPKP Bandung *[email protected]

Abstrak

Pembangunan mengakibatkan pergeseran lahan dari hutan ke pertanian dari pertanian ke non pertanian. Tanah longsor dan erosi menjadi permasalahan lingkungan, akibat menurunnya kondisi lahan di kawasan DAS Citarum Hulu. Erosi menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pengendali tata air, media pertumbuhan tanaman maupun pada produktivitas lahan. Curah hujan yang relatif tinggi dan didukung kondisi topografi yang berbukit-bukit di sebagian besar DAS Citarum menjadi pemicu timbulnya erosi. Penelitian ini penulis mengkaji permasalahan yang dihadapi di DAS Citarum Hulu. Solusi pengendalian erosi yang tepat untuk mempertahankan lapisan tanah subur, menjaga keseimbangan hidrologi, meningkatkan hasil produktifitas pertanian. Metode yang digunakan adalah Universal Soil Losses Equation untuk memprediksi besaran erosi dan Structural Equation Model dalam bentuk Path Analysis dengan menggunakan regresi berganda, yaitu melihat pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen. Variabel yang diteliti erosi, sosial, ekonomi, kelembagaan dan produktivitas. Hasil penelitian, erosi pada DAS Citarum Hulu Kecamatan Pangalengan 0,131 ton/ha/th-878,2 ton/ha/th. Pengaruh erosi terhadap sosial 13,46%, erosi terhadap kelembagaan 4,61%, sosial terhadap kelembagaan 20,59%, sosial terhadap ekonomi 0,23%, kelembagaan terhadap ekonomi 0,008%, sosial terhadap produktifitas sebesar 62,09%, kelembagaan terhadap produktifitas 10,67% dan ekonomi terhadap produktifitas 0,001%. Kesimpulan penelitian, erosi adalah permasalahan mayor, aplikasi teknologi konservasi tanah oleh petani sayuran adalah solusi mengatasi erosi.

Kata Kunci: Erosi, Konservasi Tanah dan Air, Produktivitas Lahan

LATAR BELAKANG Pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata pada lima tahun terakhir periode 2009-2013 adalah sebesar 5,9 % hal ini menunjukan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan tingkat pertumbuhan rata-rata tertinggi di Asia Pasifik, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk, laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49% pertahun (Yudhoyono, Kompas.com, 2015). Pertumbuhan penduduk Indonesia 1,40% pertahun, dan pertumbuhan penduduk terbesar adalah Jawa Barat (43.021.826 Jiwa Jatim (37.476.011 jiwa), Jateng (32.380.687 jiwa). Hal ini menyebabkan kebutuhan lahan yang semakin besar, adanya pergeseran penggunaan lahan dari hutan-pertanian-non pertanian, kerusakan lingkungan kawasan situ Cisanti serta karakteristik tanaman sayuran yang tidak mampu menyerap air dan menahan tanah dengan kemiringan lereng 30%, pemanfaatan kawasan sempadan sungai untuk kegiatan yang tidak semestinya (perdagangan, pemukiman, industri), terjadinya erosi dan sedimentasi yang menyebabkan banjir dan genangan air, penurunan kualitas air karena banyaknya limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke aliran sungai citarum menyebabkan lahan kritis pada umumnya akibat adanya erosi lahan dan kerusakan tanah akibat erosi dapat mengakibatkan penurunan produktifitas lahan. Sungai Citarum dibagian hulu berperan penting dalam menampung limpasan air permukaan. Sedang dibagian hilir Sungai Citarum dimanfaatkan sebagai sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) beberapa kab/kota di Propinsi Jawa Barat. DAS Citarum juga merupakan salah satu pemanfaatan untuk jaringan irigasi, karena mengairi seluruh areal persawahan.

Page 153: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 133

Permasalahan yang dihadapi Sungai Citarum dibagian Hulu antara lain pemanfaatan kawasan sempadan sungai untuk kegiatan, seperti : perdagangan, permukiman dan lain-lain, terjadinya erosi dan sedimentasi. sehingga menyebabkan banjir dan adanya genangan air, dan penurunan kualitas air karena banyaknya limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke aliran Sungai Citarum.

Dengan melihat permasalahan ini, sehingga berbagai upaya akan dilakukan untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi pada DAS Citarum Hulu tersebut. Tingginya laju erosi lahan akan meningkatkan laju sedimentasi, yang berdampak pada kesuburan tanah dan menurunnya produktifitas lahan pertanian.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui tinggkat/laju erosi dan sedimentasi di berbagai DAS antara lain (Sutrisno.J,dkk, 2012) melakukan penelitian di DAS Keduang, kabupaten Wonogiri yang dikaitkan dengan umur waduk di daerah sekitar sungai. Variabel yang diukur yaitu Erosivitas hujan, Erodibilitas tanah, panjang dan kecuraman lereng, vegetasi penutup dan pengolahan tanaman, konservasi tanah dan biaya untuk evaluasi ekonomi. Dari hasil penelitian mereka diperoleh bahwa erosi dan sedimentasi yang berasal dari DAS tersebut dapat membahayakan umur ekonomis waduk. (Tarigan. D.R & Mardiatno, 2011) melakukan penelitian dengan melihat variabel yang sama seperti Sutrisno, dkk. DAS yang diteliti adalah DAS Secang Desa Hargotirto kabupaten Kulonprogo. Peneliti ingin mengukur dan membandingkan pengaruh erosivitas terhadap kehilangan tanah. (Saidah, H, 2007) melakukan penelitian untuk mengetahui laju erosi lahan di DAS Dodokan, Lombok dengan memodifikasi persamaan baru Suripin. (Nurhayati, L. et.,al, 2012) melakukan penelitian pada Lahan DAS Walikan untuk mengetahui kekuatan hubungan erosi terhadap produktifitas lahan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat erosi pada DAS Citarum Hulu dan mempertahankan lapisan tanah subur pada lahan pertanian produktif dengan pola konservasi tanah dan vegetasi , sehingga meningkatkan produktifitas lahan pertanian serta meminimalkan kerusakan lingkungan akibat kerusakan lahan yang signifikan pada DAS Citarum Hulu, erosi yang masih dapat diteloransi, mengetahui besarnya hubungan dua arah antar variabel eksogen dengan endogen, mengetahui produktifitas lahan pertanian yang dipengaruhi erosi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, teknik mengetahui penerapan konservasi tanah dan air baik vegetative ataupun mekanik dilahan usahatani sayuran dataran tinggi Pangalengan dan memberikan rekomendasi teknik konservasi tanah dan air baik vegetative ataupun mekanik yang sesuai dilahan usahatani sayuran dataran tinggi Pangalengan Adapun lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi Studi DAS Citarum Hulu

Page 154: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

134 Bandung, 12 September 2015

METODOLOGI STUDI

Erosi dan DAS

DAS merupakan rangkain kesatuan biologis dan hampir semua pengelolaan DAS mempunyai pengaruh pada ekosistmnya, sehingga masalah yang terjadi pada hulu seperti larutan bahan organik akan dapat mempengaruhi eksistensi kawasan pada bagian hilir (Susanto, 1994). Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ketempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi (Hardjowigeno, 1987). Perkiraan besarnya erosi yang terjadi di suatu DAS dapat menggunakan model USLE (Universal Soil Loss Equation). Model ini telah lama dikembangkan oleh USDA (United States Department of Agriculutre) dan banyak dipakai secara praktis untuk mengestimasi besarnya erosi permukaan tahunan suatu kawasan. Faktor yang digunakan meliputi faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor kemiringan dan panjang lereng, jenispenutup lahan, dan faktor pengolahan tanah. Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat erosi (jumlah tanah yang hilang) adalah (Wischmeier dan Smith, 1965, 1978 dalam Sitanala Arsyad, 1989)

PCLSKRA .... (1)

dimana : A = jumlah tanah hilang (ton/Ha/tahun). R = indeks erosivitas curah hujan tahunan rata-rata. K = indeks erodibilitas tanah. LS = indeks panjang dan kemiringan lereng.

Produktivitas Lahan

Produktivitas lahan adalah besarnya hasil produksi (Kg) dari lahan keluarga petani per satuan luas per tahun (Peraturan menteri Kehutanan No. P.04/V-SET/2009). Satuan lahan yang dihitung adalah satuan lahan dengan penggunaan lahan sebagai perkebunan, kebunan campran dan tegalan yaitu sejumlah 100 satuan lahan. Produktivitas dihitung dengan cara mengurangi hasil produktivitas brutto (Rp) dengan biaya produksi (Rp) dan dibagi dengan luas lahan. Satuan produktivitas lahan adalah Rp/Ha/Th

Konservasi Tanah dan Air

1. Metode Mekanik

Suatu metode konservasi yang diberikan terhadap tanah dengan perlakuan fisik/mekanik untuk mengurangi run off, memperbesar infiltrasi dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah al. Pengolahan tanah (tillage), Pengolahan tanah menurut kontur(countur cultivation), Guludan dan guludan bersaluran, menurut kontur, Parit pengelak, Teras, Dam penghambat (chek dam), Waduk, Kolam atau balong (farm ponds), Rorak, Tanggul,Perbaikan drainase, Irigasi.

2. Metode Vegetasi

a. Penghutanan Kembali

Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan.

b. Wanatani

Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.

c. Strip Rumput

Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak

Page 155: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 135

d. Mulsa

Mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi

e. Penutup Tanah (cover crop)

Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah

Analisis Regresi Berganda

Adalah mengetahui hubungan variabel erosi (x1), sosial (x2), kelembagaan (x3), ekonomi (x4), terhadap variabel produktifitas (Y) digunakan regresi linier berganda. Regresi linier berganda dapat dinyatakan dengan persamaan berikut.

nn xbxbxbaY ....2211 (2)

Dimana: Y adalah variabel terikat (endogen) X adalah variabel-variabel bebas (eksogen) a adalah konstanta b adalah koefisien regresi/ nilai parameter

Pada analisis data dengan regresi linier ganda dilakukan juga uji asumsi klasik : multikolinieritas, normalitas, autokorelasi, dan heteroskesdastisitas. Jika semua hasil uji asumsi tersebut memenuhi ketentuan, maka analisis regresi ganda yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai hasil akhir uji hipotesis penelitian mengenai hubungan hubungan variabel erosi (x1), sosial (x2), kelembagaan (x3), ekonomi (x4), terhadap variabel produktifitas (Y)

Analisis Jalur

Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun 1920-an oleh seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog dan Sorbom, 1996; Johnson dan Wichern, 1992). Kegunaan model path analysis adalah untuk penjelasan terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti, prediksi nilai endogen berdasarkan nilai eksogen, dan prediksi dengan path analysis ini bersifat kualitatif, faktor determinan yaitu penentuan eksogen mana yang berpengaruh dominan terhadap endogen, juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh eksogen terhadap endogen dan pengujian model, menggunakan teori trimming, baik untuk uji reliabilitas konsep yang sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru. Model Analisis Jalur antara lain :

1. Analisa Jalur Model Trimming

2. Analisis Jalur Model Dekomposisi

3. Model Regresi Berganda

Model ini merupakan pengembangan regresi berganda dengan menggunakan dua variabel eksogenous, yaitu X1 dan X2 dengan satu variabel endogenous Y.

4. Model Mediasi

Model mediasi atau perantara dimana variabel Y memodifikasi pengaruh variabel X terhadap variabel Z.

5. Model Kombinasi Regresi Berganda dan Mediasi

Model ini merupakan kombinasi antara model regresi berganda dan mediasi, yaitu variabel X berpengaruh terhadap variabel Z secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi variabel Z melalui variabel Y.

Page 156: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

136 Bandung, 12 September 2015

6. Model Kompleks

Model ini merupakan model yang lebih kompleks, yaitu variabel X1 secara langsung mempengaruhi Y2 dan melalui variabel X2 secara tidak langsung mempengaruhi Y2, sementara variabel Y2 juga dipengaruhi oleh variabel Y1.

7. Model Reksrusip Dan Non Rekrusip

Dari sisi pandang arah sebab dan akibat, ada dua tipe model jalur, yaitu jalur rekursif dan non rekursif. Model rekursif ialah jika semua anak panah menuju satu arah.

Metodologi Penelitian

Start

Kajian Pustaka

Kajian Empirik

Metodologi

Kawasan Pertanian Sayuran Dataran Tinggi

Pangalengen DAS Citarum Hulu

Analisis Kualitatif dan

KuantitatifKeadaan Lingkungan

Penentuan Variabel

penelitian Eksogen dan

endogen

Erosi Tanah

A B

Erosi (X1) Sosial (X2) Ekonomi (X3) Kelembagaan (X4) Produktifitas (Y)

Penentuan Sampel

Penyusunan

Kuesioner

Pengisian

Kuesioner

Data Ordinal Hasil

Survey

Tranpormasi Data ordinal Menjadi data Interval Menggunakan

MSI (Method od Successvive Internal)Rumus Pedugaan Erosi

(USLE)

Pengolahan Data Dengan

Menggunakan Excel

A B

Pengolahan Data Analisis Jalur

Interpretasi dan Pembahasan

Teknik dan Penerapan Teknologi Konservasi

Tanah dan Air Tingkat Bahaya Erosi

Sistem Pengendalian

Erosi

Selesai

Gsmbar 2. Metode Penelitian

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Structural Equation Model dalam bentuk Path Analysis atau analisis jalur, yaitu untuk melihat pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen. Analisis jalur digunakan untuk menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat variabel. Sebagai variabel penyebab terhadap seperangkat variabel lainnya yang merupakan variabel akibat. Sebelum mengambil keputusan mengenai hubungan kausal dalam jalur, terlebih dahulu dilakukan uji keberartian (signifikasi) untuk setiap koefisien jalur yang telah dihitung. Skala pengukuran baik pada variabel penyebab maupun pada variabel akibat harus sekurang-kurangnya interval. Dengan Succession Interval Methods, skala ordinal dapat ditransformasikan ke dalam skala interval.

Variabel yang digunakan yaitu tata erosi, sosial ekonomi dan kelembagaan pada DAS Citarum Hulu sebagai variabel bebas (Independent Variable) dan produktifitas sebagai variabel terikat (Dependent Variable). Pengolahan data dilakukan dengan menguji validitas dan realibilitas, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Erosi (X1)

Sosial (X2)

Kelembagaan

(X4)

Ekonomi(X3)

Produktifitas (Y)

Gsmbar 3. Paradigma Penelitian

Page 157: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 137

Model kemudian dimasukan kedalam rumus :

4321 yxyxyxyx (3)

Dimana : Y = Nilai variabel dari kedua Variabel eksogen ρyx1 = Koefisien jalur yang berhubungan dengan X1 ρyx2 = Koefisien jalur yang berhubungan dengan X2 ρyx3 = Koefisien jalur yang berhubungan dengan X3 ρyx3 = Koefisien jalur yang berhubungan dengan X3 = Harga konstan X1 = Variabel eksogen aspek erosi X2 = Variabel eksogen aspek sosial X3 = Variabel eksogen aspek kelembagaan X4 = Variabel eksogen aspek ekonomi

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Sampel sebanyak 100 responden yang berada di Kecamatan Pangalengan. Usia Responden dapat secara umum pada daerah kajian didominasi usia sangat produktif yaitu sebanyak 24 responden atau 24%. Pendidikan Responden dikatagorikan dilokasi penelitian tingkat pendidikan yang relatif baik 2,5%-2,90% lulus sekolah menengah, hal ini mengindikasikan bahwa meskipun mata pencaharian responden adalah bercocok tanam, namun memiliki tigkat pendidikan yang baik.

Gsmbar 4. Karakteristik Usia,Pendidikan dan Kepemilikan Lahan Responden

Dari sisi kepemilikan lahan pada lokasi penelitian diketahui sebanyak 35 orang atau 35% sebagai pemilk lahan, sebagai peyewa lahan sebanyak 29 orang atau 29%, dan 36 orang atau 36% sebagai penggarap lahan.

2. Pendugaan Besaran Erosi

Berdasarkan analisis dengan menggunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) dapat di lihat pada Tabel 1 Pendugaan Besaran Erosi per Satuan Lahan pada satuan lahan Kecamatan Pangalengan terdapat beberapa lahan pertanian dan pemukiman yang memiliki besaran erosi kategori sangat baik sampai dengan sedang. Dari perhitungan yang dilakukan besar erosi di Kecamatan Pangalengan berkisar antara 0,131 Ton/Ha/Th sampai 262,9 Ton/Ha/Th. Berdasarkan Grafik 2 Tingkat Besaran Erosi Vs Luas Tanah diperoleh Kelas erosi Sangat Rendah (SR) memiliki laju erosi sebesar 0,131 Ton/Ha/Th -3,83 Ton/Ha/Th dengan sebaran yaitu 1.069,18 Ha (16,15%).

Page 158: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

138 Bandung, 12 September 2015

Tabel 1. Pendugaan Besaran Erosi Persatuan Lahan

Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

No

Kode lahan R K LS A

(ton/ha/th) Kelas Erosi Kriteria

1 P_1_Pmk 912.8 0.4 0.6 54.8 Sedang Sedang

2 P_2_Kbn 912.8 0.2 6.6 65.7 Rendah Baik

3 P_3_Kbn_Cmp 912.8 0.1 18.7 116.4 Sedang Sedang

4 P_4_Kbn_Cmp 912.8 0.1 26.4 155.2 Sedang Sedang

5 P_5_Pmk 912.8 0.4 8.1 262.9 Sedang Sedang

6 P_6_Kbn 9128 0.2 25.9 232.8 Sedang Sedang

7 P_7_Htn 912.8 0.04 9.5 0.131 S. Rendah S. Baik

8 P_8_Pmk 912.8 0.04 9.8 26.3 Rendah Baik

9 P_9_Kbn_Cmp 912.8 0.1 30.4 116.4 Sedang Sedang

10 P_10_Kbn 912.8 0.2 21.4 232.8 Sedang Sedang

Gsmbar 5. Tingkat Besaran Erosi

3. Produktifitas Lahan

Untuk produktivitas lahan adalah besarnya hasil produksi (Kg) dari lahan keluarga petani per satuan luas per tahun (Peraturan menteri Kehutanan No. P.04/V-SET/2009). Produktivitas dihitung dengan cara mengurangi hasil produktivitas brutto (Rp) dengan biaya produksi (Rp) dan dibagi dengan luas lahan.

Pendugaan Besaran Erosi Persatuan Lahan

Sumber : Hasil pengolahan data, 2015

No Kode L Prod. Bruto

(Rp/th)

Biaya Produksi (Rp) Tot Biaya Prod. Net Prod.Lahan

Rp/ha/th Ket

Pupuk Bibit Obat Rp Rp/ha/th

1 P_1_Kbn 0.8 18,800 1,600 780 300 2,680 16,120 16,120 Rendah

2 P_2_Kbn 1.9 35,000 1,640 720 450 2,810 32,190 32,190 Tinggi

3 P_3_Kbn 1.1 28,000 1,625 600 650 2,875 25,125 25,125 Tinggi

4 P_4_Kbn 1.9 25,000 1,875 850 550 3,275 21,725 21,725 Sedang

5 P_5_Kbn 1.9 18,750 1,500 750 600 2,850 15,900 15,900 Rendah

6 P_6_Kbn 1.9 18,750 1,600 780 300 2,680 16,070 16,070 Rendah

7 P_7_Kbn 1.5 30,000 1,640 720 450 2,810 27,190 27,190 Tinggi

8 P_8_Kbn 1.4 28,000 1,625 600 650 2,875 25,125 25,125 Sedang

9 P_9_Kbn 1.0 18,750 1,875 850 550 3,275 15,475 15,475 Rendah

10 P_10_Kbn 1.1 24,000 1,600 780 600 2,950 21,050 21,050 Sedang

Kelas produktivitas Rendah (R) memiliki produktivitas netto antara Rp. 15.900.000/Ha/Th sampai Rp. 16.120.000/Ha/Th dengan luas 101 Ha (29,97%). Rendahnya produktivitas lahan pada kebun disebabkan oleh berkurangnya kesuburan tanah akibat erosi, kondisi lereng yang curam sampai sangat curam mengakibatkan jarak tanam lebih renggang dari jarak normal serta mengakibatkan tingginya biaya

Page 159: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 139

produksi karena sulitnya lahan untuk diolah. Rendahnya produktivitas lahan pada lahan pertanian jagungjuga diakibatkan karena tingginya biaya produksi Desa Margaluyu, Warnasari.

Kelas produktivitas Sedang (S) memiliki produktivitas netto antara Rp.21.050.000/Ha/Th sampai Rp. 25.125.000/Ha/Th. Kelas produktivitas lahan sedang memiliki sebaran yang paling luas yaitu 143 Ha (41,45% ). Produktivitas lahan sedang terjadi karena biaya produksi yang rendah pada lahan dengan kemiringan lereng curam sehingga produktivitasnya kurang optimal. Kelas produktivitas lahan sedang tersebar di Desa, Banjarsari, Wanasuka.

Kelas produktivitas Tinggi (T) memiliki produktivitas netto antara Rp. 27.190.000/Ha/Th sampai Rp. 32.190.000/Ha/Th. Kelas produktivitas lahan tinggi memiliki sebaran paling kecil yaitu 71Ha atau 20,58%. Tingginya produktivitas lahan pada lahan pertanian yang ditanami kentang, kubis, cabe kriting diakibatkan kondisi lahannya yang baik dengan erosi yang sangat ringan sehingga tanah tidak kehilangan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Kondisi lahan yang datar hingga landai mengakibatkan lahan ini mudah diolah sehingga dapat menekan biaya produksi. Kelas produktivitas lahan tinggi tersebar di Desa Purnasari, Cibeureum, Sukamenak, Srikandi dan Pasir Mulya

4. Regresi Ganda

Analisis regresi bertujuan untuk menaksir atau meramalkan suatu nilai variabel dependent dengan adanya perubahan dari nilai variabl independent. Dengan terlebih dahulu diadakan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas akan dilakukan dengan metode Pearson atau metode Product Momen, yaitu dengan mengkorelasikan skor butir pada kuisioner dengan skor totalnya. Nilai-nilai butir kemudian dibandingkan dengan nilai r pada Tabel product moment, untuk N = 100 pada signifikansi 5% diperoleh titil kritis 0,3. Nilai-nilai korelasi pada semua item pertanyaan di atas lebih dari 0,0,3 dengan demikian, maka semua item pertanyaan dinyatakan valid.Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu alat ukur. Dengan mengunakan bantuan aplikasi program IBM SPSS 17.00 hasilnya bahwa Nilai reliabilitas butir pernyataan pada kuesioner untuk kelima variabel variabel erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) danproduktivitas (Y). yang sedang diteliti lebih besar dari 0,70 hasil ini menunjukkan bahwa butir kuesioner pada kelima variabel andal untuk mengukur variabelnya masing-masing

5. Analisis Jalur

Untuk menganalisis hubungan kausalitas dan pengaruh antara variabel erosi(X1), sosial(X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas(Y). digunakan suatu metode analisis yang disebut dengan analisis jalur (Path Analysis). Berdasarkan pada hasil kuesioner yang telah disebarkan pada sampel sebanyak 100 petani penggrap diperoleh hasil sebagai berikut

Tabel 2. Standar Koefisien

Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Model Un-std Coeff

Std Coeff T Sig

Correlations Collinearity Statistics

B Std.Er Beta Zorder Partial Part Toloran VIF

(Constant) 13.077 3.083 4.241 .000

X1 -.252 .198 -.191 -1.269 .207 .761 -.129 -.005 .084 11.849

X2 1.096 .154 .788 7.097 .000 .881 .589 .310 .154 6.479

X3 .367 .082 4.475 4.475 .000 .818 .417 .195 .357 2.801

X4 .004 .160 .025 .025 .980 .743 .003 .001 .105 9.516

Model structural berdasarkan standardized coefficients erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan(X4) terhadapproduktifitas (Y).adalah :

4321 *003.0327.0788.0*191.0 XXXX (4)

819.0181.0.var 2 RError (5)

Page 160: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

140 Bandung, 12 September 2015

Tabel 3. R Square Untuk Menentukan Pengaruh Simultan

Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Model R R

Square AdjusR Square

Std. Err.of the

Estimate

Change Statistics Durbin-Watson

R Square Change

F Change

df1 df2 Sig. F

Change

1 .905a .819 .812 5.89938 .819 107.631 4 95 .000 1.734

Berdasarkan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pengaruh secara simultan atau bersama-sama erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y). sebesar 0,819 atau 81.9%. Artinya hasil tersebut menandakan bahwa 81.9% variabel produktifitas (Y). diterangkan dengn erosi (X1), social (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) Sedangkan sisanya 18.1% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model yang diketahui.

Tabel 4. Menentukan Koofesien Jalur

Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

X1 X2 X3 X4 Y

X1 Pearson 1 .896** .741** .945** .761** Sig .000 .000 .000 .000 N 100 100 100 100 100

X2 Pearson .896** 1 .800** .868** .881** Sig .000 .000 .000 .000 N 100 100 100 100 100

X3 Pearson .741** .800** 1 .721** .818** Sig .000 .000 .000 .000 N 100 100 100 100 100

X4 Pearson .945** .886** .721** 1 .743** Sig .000 .000 000 .000 N 100 100 100 100 100

Y Pearson .761** .881** .818** .743** 1 Sig .000 .000 .000 .000 N 100 100 100 100 100

Tabel 5. Pengaruh Antar Variabel

Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Var Koefisien

Jalur Pengaruh Langsung

Pengaruh tidak langsung (melalui) (%)

Pengaruh Tdk

Langsung Total (%)

X1 X2 X3 X4

X1 -.191 3.633% -13.46% -4.61% -0.06% -18.13% -14.50%

X2 .788 62.093% -13.46% 20.59% 0.23% 7.37% 69.46%

X3 .327 10.671% -4.61% 20.59% 0.08% 16.06% 26.73%

X4 .003 0.001% -0.061% 0.23% 0.08% 0.250% 0.251%

Total 76.399% -

18.133% 7.366% 16.059% 0.250% 5.541% 81.94%

Page 161: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 141

Erosi (X1)

Sosial (X2)

Ekonomi (X4)

Kelembagaan

(X3)

Produktifitas

(Y)

-13,

46%

-4,6

1%

-0,006%

0,23%

20,5

9%

0,008%

62,093%

0,001%

Errorvar(έ)X1 -0,252 Errorvar (έ) X4 0,004

10,67%

Errorvar (έ) X3 0,367

0,8

00

Errorvar(έ)X2 1,069

Gsmbar 6. Pengaruh Antara Variabel Erosi (X1), Sosial (X2), Ekonomi (X3), Kelembagaan (X4) dan Produktifitas (Y)

Pengujian Secara Parsial

H0: ρYX1= 0 tidak terdapat pengaruherosi (X1) terhadap produktifitas (Y) H1: ρYX2= 0 terdapat pengaruherosi (X1) terhadap produktifitas (Y) H0: ρYX2= 0 tidak terdapat pengaruhsosial (X2) terhadap produktifitas (Y) H1: ρYX2= 0 terdapat pengaruhsosial (X1) terhadap produktifitas (Y) H0: ρYX3= 0 tidak terdapat pengaruhekonomi (X3) terhadap produktifitas (Y) H1: ρYX3= 0 terdapat pengaruhekinomi (X3) terhadap produktifitas (Y) H0: ρYX4= 0 tidak terdapat pengaruhkelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y) H1: ρYX4= 0 terdapat pengaruhkelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y)

Tabel 6. Signifikasi Antar Variabel

Sumber : Hasil pengolahan data, 2015

Model Unstandardized

Coefficients Std. Error Standardized Coefficients t Sig

B Beta

(Constant) 13.077 3.083 4.241 .000 X1 -.252 .198 -.191 -1.269 .207 X2 1.096 .154 .788 7.097 .000 X3 .367 .082 .327 4.475 .000 X4 .004 .160 .003 .025 .980

Berdasarkan perhitungan diatas dengan menggunakan Program SPSS 17.00 diperoleh nilai signifikansi untuk erosi x1sebesar 0.207 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 diterima karena nilai signifikansi lebih besar dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan tidak terdapat pengaruh secara parsial Variabel erosi (X1) terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x2sebesar 0.000 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 ditolak karena nilai signifikansi lebih kecil dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan terdapat pengaruh secara parsial Variabel social (X2) terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x3 sebesar 0.000 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 ditolak karena nilai signifikansi lebih kecil dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan terdapat pengaruh secara parsial Variabel ekonomi (X3) terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x4 sebesar 0.207 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 diterima karena nilai signifikansi lebih besar dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan tidak terdapat pengaruh secara parsial Variabel kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y).

Teknik dan Penerapan Konservasi Tanah

Hasil analisis data tingkat penerapan teknologi konservasi tanah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung diperoleh data sebagai berikut :

Skor tingkat penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan usahatani sayuran dataran tinggi di Kecamatan Pangalengan dengan metode vegetatif adalah 1.085, dan metode mekanis adalah 1.811. Total skornya 2.986, menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan

Page 162: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

142 Bandung, 12 September 2015

usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan termasuk sedang. Skor penerapan metode vegetatif sebesar 349,90 atau 70,69% menunjukkan tingkat penerapan konservasi tanah yang tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ke empat metode vegetatif, petani lebih banyak mengaplikasikan penanaman penutup tanah dan penggunaan mulsa 267 atau 53% pada lahan mereka.

Metode konservasi secara mekanis mempunyai dua fungsi yaitu memperlambat aliran permukaan dan menampung serta mengalirkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Hasil analisis menunjukkan skor 366 atau 73% yang berarti bahwa tingkat penerapan teknik konservasi tanah dengan metode mekanis masih tergolong dalam kategori tinggi. Masyarakat sangat mengerti pentingnya konservasi tanah dan faktor pendidikan masyarakat yang rata-rata adalah lulusan Sekolah Menengah Atas juga mempengaruhi tingkat penerapan teknologi konservasi di Kecamatan Pangalengan. Kondisi tindakan konservasi tanah yang dilakukan oleh petani sayuran dataran tinggi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung adalah:

Penutup tanah skor 349 atau 70%

Tanaman Ganda 233 atau 47%

Penggunaan mulsa 267 53%

Reboisasi 236 atau 47%

Sistem Pengolahan Tanah 240 atau 48%

Penterasan 366 atau 73%

Saluran Pembuangan 283 atau 57%

Bangunan Penterjunan 267 atau 53%

Bendung Pengendali 329 atau 66%

Saluran Air Lokal 326 atau 65 %

Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi konservasi tanah adalah :

Sebagian besar lahan yang digarap bukan miliknya karena status mereka adalah petani penggarap.

Penerapan teknologi konservasi tanah memerlukan modal yang cukup besar sehingga hanya petani yang bermodal besar dan mempunyai luas lahan yang besar yang mengaplikasikan teknik konservasi tanah dan air

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Aplikasi teknologi konservasi tanah oleh petani sayuran di dataran tinggi Pangalengan, Kabupaten Bandung termasuk kategori tinggi yaitu mencapai 70%-73%. Salah satu penyebab penerapan teknologi konservasi tanah termasuk kategori tinggi antara lain karena sebagian besar status petani pemilik lahan, memiliki modal yang cukup karena pangasa pasar hasil pertaniannya jelas sebagian besar pemasok pasar modern serta telah melakukan kerjasama dengan berbagai indsutri makanan siap saji terkemuka sehingga kualitas hasil pertanian diutamakan, selain itu tingkat pendidikan petani relative tinggi serta ada kontribusi dari pemerintah dengan mengadakan penyuluhan pertanian. Teknologi konservasi tanah yang diterapkan/ sistem pengendalian erosi meliputi teknologi secara mekanis dan vegetatif, dengan nilai tingkat penerapan masing-masing sebesar 70% untuk pentup lahan dan 73% untuk penterasan.

Erosi yang terjadi pada daerah studi memiliki kategori sangat rendah (SR) sampai sedang (S) 0,131 ton/ha/th-262,9ton/ha/th, tofografi lahan daerah studi bervariasi dari mulai landai sampai sangat curam namun besarn erosi masih dalam kategori rendah, hal ini disebabkan pada lereng yang sangat curam/ curam petani penggarap memiliki pemahan yang baik tentang pengolahan lahan pertanian Untuk lereng

Page 163: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 143

>40%, 25-50% dibuat guludan bersaluran dan menerapkan pola agroforestry. Jenis pohon kayu-kayuan dan buah-buahan dan tanaman industri, jeruk, dan kopi.

Produktifitas lahan pertanian daerah studi kelas produktifitas sedang sangat dominan memiliki sebaran yang paling luas yaitu 143 Ha (41,45% ), kemudian kelas produktivitas lahan tinggi memiliki sebaran paling kecil yaitu 71Ha atau 20,58%, faktor erosi yang relative kecil dan pengolahan lahan yang baik serta tuntutan kualitas hasil pertanian relative tinggi yang diterapkan oleh pembeli, sehingg mendorong petani untuk mempertahankan kondisi lahan subur pertaniannya.

Model structural berdasarkan perhitungan diatas dengan menggunakan Program SPSS 17.00 erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan(X4) terhadap produktifitas (Y). adalah :

4321 *003.0327.0788.0*191.0 XXXX

819.0181.0.var 2 RError

Berdasarkan model structural diatas dapat dilihat bahwa pengaruh erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y). sebesar 0,819 atau 81.9%. Artinya hasil tersebut menandakan bahwa 81.9% variabel produktifitas (Y). diterangkan dengn erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) Sedangkan sisanya 18.1% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model yang diketahui. Erosi (X1) berpengaruh terhadap produktivitas lahan dengan kekuatan hubungan -0,191 yang artinya cukup berarti atau sedang. Bentuk hubungan erosi (X1) terhadap produktivitas lahan yaitu negative, artinya semakin besar faktor erosi (X1) maka produktivitas (Y) lahan semakin menurun, namun variabel sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) memiliki kekuatan hubungan positif (hubungan yang sangat kuat) artinya semakin besar fakor sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) maka produktivitas (Y) lahan semakin besar, dengan demikian kesejahteraan petani akan semakin tinggi.

Rekomendasi

Perlu pengendalian perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman terutama pada kondisi lereng >15%, melalui penyusunan peraturan yang mengatur tentang batasan-batasan penggunaan lahan dalam bentuk peraturan zonasi untuk menjaga keseimbangan antara lahan terbangun dan tidak terbangun. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan potensi lahan yang bisa dikembangkan menjadi lahan pertanian di DAS Citarum hulu yang sesuai dengan kriteria penggunaan lahan pertanian tanpa mengurangi luas hutan

Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian harus benar-benar terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tegas dan konsisten. Harmonisasi penataan ruang dengan pengelolaan DAS sangat diperlukan sebagai antisipasi dari perubahan iklim yang terjadi sehingga penyusunan RTRW sebagai Peraturan Daerah (Perda) haruslah mengacu pada prinsip konservasi tanah dan air

Besarnya laju erosi menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan menurunnya produktifitas . Untuk itu perlu dibangun bangunan pengendali check dam yang lebih banyak khususnya di daerah hulu yang memiliki tingkat erosi lahan yang tinggi

Pembuatan Sistem Informasi Manajemen DAS terkait sumber daya tanah dan sumber daya air yang akurat dengan pembaharuan secara periodik yang mencakup seluruh informasi terkait. Hal ini sangat diperlukan untuk menyusun dan menentukan kebijakan dalam pengelolaan DAS pada saat ini maupun pada masa yang akan datang

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Paper dengan judul Sistem Pengendalian Erosi Untuk Mempertahankan Lapisan Tanah Subur Pada Lahan Pertanian Produktif Studi Kasus DAS Citarum Hulu dalam rangka Seminar Nasional Teknik Konservasi Sumber Daya Air. Dengan dorongan dan

Page 164: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

144 Bandung, 12 September 2015

dukungan dari berbagai pihak maka Paper ini dapat terselesaikan dengan baik, dengan demikian, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yth

Orang Tua, Istri, terima kasih atas dukungan moril dan materil terutama segala doa-doanya terkandung dalam hati.

Dr. Ir. Bakhtiar AB., MT selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sangga Buana (USB)-YPKP Bandung, dan sebagai Pembimbing

Panitia Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air dan semua pihak yang tidak disebutkan sat persatu

REFERENSI

Alwi. L.O, dkk. 2011. Study of Land Use Dynamic Impacts to Land Erosion and Hydrology Conditions in Wanggu Watersheds. Jurnal Hidrolitan, Vol 2 : 2 : 74 – 84. ISSN 2086-4825.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadja Mada University Press. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kementrian Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2011.

Dinas Kehutanan Prop. Jabar, Perum Perhutani Unit III, Dinas Kehutanan Kab/Kota dan Balai Pengelola DAS.

Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, 2012. Luas Lahan kritis di DAS Citarum Berdasarkan Kab/ Kota.

Departemen Kehutanan, 1988.

Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Bogor: PT. Mediyatama Sarana Perkasa

Ismiyati. 2011. Statistik dan Probabilitas untuk Teknik. Bagi Peneliti Pemula. Magister Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Kodoatie, R J & Sjarief. R. 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi Yogyakarta.

Legowo, S, 2008. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP (Studi Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo). Junal Jurusan Teknik Sipil, FTSL Institut Teknologi Bandung.

Montarcih, dkk. Studi Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Sub DAS (DAS) Lesti Kabupaten Malang. Jurnal Penelitian.

Morgan, R.C.P., 1996. Soil Erosion and Conservation. Second Edition. Addison Wesley Longman Limited Edinburgh Gate, Harlow. England.

Nursa‘ban. M. 2006. Pengendalian Erosi Tahan sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi Lingkungan. Jurnal Jurusan Pendidikan Geografi, FISE UNY Volume 4, Nomor 2.

Nurhayati. L. dkk. 2012. Pengaruh Erosi Terhadap Produktivitas Lahan Das Walikan Kabupaten Karanganyar Dan Wonogiri. Program Studi Pendidikan Geografi PIPS, FKIP, UNS Surakarta, Indonesia.

Suripin, 1998. Hubungan antara Karakteristik Daerah Tangkapan Air (DTA) dan Sediment Delivery Ratio (SDR). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XV HATHI, Bandung.

Suripin, 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit : Andi Yogyakaarta.

Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air.

Wilson. E. M. 1993. Hidrologi Teknik. Edisi Empat. Penerbit ITB Bandung.

Page 165: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 145

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PENGENDALIAN BANJIR PADA KAWASAN TAMBANG TIMAH DI KABUPATEN BANGKA

Parindra A. Wardhana*, Meru Condro Wiguno, dan Yudi Wachyudiana

Unit Kerja Sumber Daya Air, Environmental, Jalan-Jembatan dan Manajemen Konstruksi PT Kwarsa Hexagon

*[email protected]

Abstrak

Musibah bencana alam berupa banjir pada tahun 2013 yang melanda Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyebabkan kerusakan insfrastruktur dan prasarana publik. Penyebab terjadinya bencana banjir di Kabupaten Bangka tersebut disebabkan oleh luapan banjir pada beberapa area bekas penambangan yang merubah karakteristik morfologi sungai. Di dalam daerah aliran sungai Pompong seluas 65,19 km2 terdapat beberapa eksplorasi tambang timah inkonvensional dengan galian tambang (kolong) yang tidak teratur di sepanjang sungai menjadi penyebab utama melimpasnya aliran sungai ke wilayah perumahan penduduk terutama di wilayah Kampung Pasir. Konsep pengendalian banjir pada daerah tersebut adalah rekonstruksi areal kolong seluas sebagai tampungan banjir sehingga naiknya muka air sungai ke daerah hilir secara berlebih dapat dikendalikan. Dengan laju erosi sebesar 8.755 ton/tahun dan puncak banjir kala ulang 50 tahun sebesar 274,2 m3/detik maka rekonstruksi areal kolong seluas 69,98 ha menjadi prasarana pengendali banjir dan penampungan sedimen limbah tambang sebesar 1,19 juta m3 didukung dengan perkuatan peraturan daerah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka tentang pengelolaan pemanfaatan kolong sebagai pengawasan, pengendalian dan konservasi sumberdaya alam dapat diterapkan dengan efektif mengurangi dampak banjir di daerah hilir.

Kata Kunci: banjir, tambang timah, Sungai Pompong, Kabupaten Bangka

LATAR BELAKANG Provinsi Bangka Belitung merupakan wilayah penghasil timah, akibat dari penambangan timah tersebut maka banyak daerah aliran sungai (DAS) terdampak dari yang berukuran kecil sampai yang besar (Wilayah Sungai Baturusa) hingga bagian muara dimana terdapat permukiman penduduk secara turun-temurun. Sejalan dengan perkembangan jaman, perkampungan di daerah hilir turut berkembang, dan penduduk yang mendiami daerah hilir telah terdampak aktivitas penambangan diantaranya masalah kebanjiran dan kesulitan air baku yang serius.

Kabupaten Bangka terletak di Pulau Bangka dengan luas administratif ± 3.028.794 Km2 berbatasan langsung dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Barat. Pengembangan wilayah tanpa peningkatan dan pengelolaan prasarana drainase menyebabkan banjir di Kabupaten Bangka. Daerah Aliran Sungai Pompong merupakan wilayah sungai dengan luas 65,19 km2 yang berada di kabupaten Bangka dengan daerah hulu masuk dalam wilayah Kecamatan Pemali dan daerah hilir bermuara di Kecamatan Sungailiat sebagaimana disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut :

Page 166: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

146 Bandung, 12 September 2015

Gambar 1. Lokasi daerah studi

Kejadian banjir yang terjadi pada tanggal 28 Desember 2013 dan 11 Januari 2014 di hampir seluruh wilayah Kabupaten Bangka mengakibatkan meluapnya air di beberapa sungai sehingga menyebabkan banjir dan merusak infrastruktur jalan, jembatan dan merendam permukiman penduduk. Aktivitas penambangan liar (tambang inkonvensional) dan penambangan besar yang dilakukan oleh mitra PT. Timah mengakibatkan lubang-lubang besar yang menjadi penampungan air (kolong) yang disaat musim hujan tiba, aliran air meluap dan mengalir ke daerah lebih rendah dan selanjutnya ke daerah aliran sungai membawa sedimen yang tinggi sehingga membuat pendangkalan pada daerah aliran sungai dan muara sungai sebagaimana disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut :

Gambar 2. Citra udara eksplorasi timah pada sungai Pompong (Lingkungan Kampung Pasir)

DASAR TEORI Persyaratan data hujan dalam perhitungan ini meliputi ketersediaan dan kualitas record data sebaiknya lebih dari 20 tahun. Data hujan tersebut harus ketiadaan outlier dan trend sebelum digunakan untuk analisis frekuensi atau untuk suatu simulasi hidrologi. Sebelum data hujan digunakan dalam analisis hidrologi, terlebih dahulu dilakukan analisa statistik terhadap data hujan. Analisa statistik yang digunakan untuk memastikan bahwa data hujan tersebut layak digunakan untuk analisa selanjutnya meliputi :

Aliran Sungai Pompong

Lokasi Kolong Lingkungan

kampung Pasir

Lokasi Kolong Lingkungan

kampung Pasir

Page 167: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 147

1. Uji Outlier

Pemeriksaan adanya outlier, pada seri data hujan harian maksimum tahunan, baik outlier atas maupun outlier bawah akan dilakukan dengan metoda yang dikembangkan oleh Water Resource Council (1981). Menurut Water Resource Council, bila:

a. koefisien skew dari data sampel > +0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas,

b. koefisien skew dari data sampel < -0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier bawah,

c. 0,4 <koefisien skew < + 0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas dan outlier bawah sekaligus sebelum menghilangkan data yang dipandang sebagai outlier.

Bila terdapat outlier, maka data outlier harus dibuang sebelum seri data digunakan untuk analisis hidrologi lebih lanjut. Persamaan frekuensi untuk mendeteksi adanya outlier atas adalah:

ynh sKyY (1)

Dimana:

HY = batas (threshold) dari outlier atas, dalam logaritma

y = nilai rata-rata dari data dalam bentuk logaritma

ys = simpangan wilayah dari data dalam bentuk logaritma

nK = konstanta uji outlier, merupakan fungsi dari jumlah data sampel

2. Uji Ketiadaan Trend

Deret berkala yang nilainya menunjukkan gerakan yang berjangka panjang dan mempunyai kecendrungan menuju ke satu arah, arah naik atau turun disebut dengan pola atau trend. Umumnya meliputi gerakan yang lamanya lebih dari 10 tahun. Deret berkala yang datanya kurang dari 10 tahun kadang-kadang sulit untuk menentukan gerakan dari suatu trend. Hasilnya dapat meragukan, karena gerakan yang diperoleh hanya mungkin menunjukkan suatu sikli (cyclical time series) dari suatu trend. Sikli merupakan gerakan tidak teratur dari suatu trend. Apabila dalam deret berkala menunjukkan adanya trend maka datanya tidak disarankan untuk digunakan untuk beberapa analisis hidrologi, misalnya analisis peluang dan simulasi. Untuk deret berkala yang menunjukkan adanya trend maka analisis hidrologi harus mengikuti garis trend yang dihasilkan, misal analisa regresi dan moving average (rata-rata bergerak). Analisa trend sendiri sebenarnya dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya perubahan dari variable hidrologi akibat pengaruh manusia atau faktor alam.

Beberapa metode statistik yang dapat digunakan untuk menguji ketiadaan trend dalam deret berkala adalah metode Spearman yang dapat bekerja untuk satu jenis variabel hidrologi saja, dimana dalam hal ini adalah hujan tahunan. Metode Spearman menggunakan sistem koefisien korelasi peringkat sebagai berikut :

nn

dtKP

n

i

3

1

2)(.61

(2)

2

1

21

2

KP

nKPt

(3)

dimana : KP = koefisien korelasi peringkat Spearman n = jumlah data dt = selisih Rt dangan Tt Tt = peringkat dari waktu

Page 168: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

148 Bandung, 12 September 2015

Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala. t = nilai hitung uji t

3. Uji Independency

Untuk melakukan pemeriksaan independensi dari seri data digunakan serial-correlation coefficient. Apabila seri data adalah acak sempurna, maka fungsi auto-correlation dari populasi akan sama dengan nol untuk semua lag kecuali nol. Untuk pemeriksaan independensi ini cukup dilakukan perhitungan digunakan serial-correlation coefficient dengan lag 1, yaitu korelasi antara data pengamatan yang berdekatan dalam seri data. Menurut Box dan Jenkins (1970), serial-correlation coefficient dengan lag 1 adalah:

n

i

i

n

i

ii

xx

xxxx

r

1

2

1

1

1

1

)(

)()(

(4)

Tidak ada korelasi data (data independen) bila:

}1),1/()296,11{()}1/()296,11(,1{ 1 nnrnn (5)

Sebelum digunakan untuk analisis curah hujan rancangan, data dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui konsistensi data dan kemungkinan adanya kesalahan pencatatan. Metode uji konsistensi yang digunakan adalah Uji Chi-Square dan Uji Smirnov Kolmogorof dengan menggunakan 3 (tiga) metode distribusi pada masing-masing metoda uji, Rangkaian data hujan yang digunakan untuk analisis adalah hujan bulanan.

Metode-metode distribusi yang digunakan dalam pengujian statistik data hidrologi yaitu:

1. Metode Distribusi Gumbel Tipe I

Persamaan PDF dari Distribusi Gumbel Tipe I adalah:

))(

(

)(

x

exexp (6)

sedangkan persamaan CDF adalah:

)()(

xeexp (7)

Distribusi ini mempunyai 2 parameter, yaitu

= Parameter konsentrasi

= Ukuran gejala pusat Karakteristik dari distribusi ini adalah:

Koefisien skew (g) : 1.139

Koefisien Kurtosis : 5.4

2. Metode Distribusi Log Normal 2 Parameter

Bila logaritma dari variabel acak x, Ln (x), terdistribusi normal, maka dikatakan bahwa variabel acak x tersebut mengikuti distribusi log normal 2 parameter. Persamaan PDF dari distribusi Log Normal 2 Parameter adalah:

yex y

2

)(ln 2

2

1)(

yx

xP

(8)

Page 169: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 149

dimana:

y = Nilai rata-rata dari logaritma sampel data variabel x (ln x)

y = Nilai simpangan baku dari logaritma sampel data variabel x (ln x)

3. Metoda Distribusi Log Pearson Tipe III

x

ex

xxp

ln1ln

)(

1)(

(9)

Distribusi ini mempunyai 3 parameter, yaitu:

: Parameter skala

: Parameter bentuk

: Parameter lokasi

Uji Chi-Kuadrat efektif bila jumlah data pengamatan besar, karena sebelum dilakukan pengujian, data pengamatan akan dikelompokkan terlebih dahulu. Pengelompokkan ini akan mengakibatkan akurasi hasilnya berkurang. Untuk menghindari hal ini, maka dikembangkan metode uji dari data yang tak dikelompokkan. Salah satu metoda yang banyak digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.

Pengujian Kolmogorov - Smirnov dilaksanakan dengan cara menggambarkan distribusi empiris maupun distribusi teoritis pada kertas grafik probabilitas sesuai dengan distribusi probabilitas teoritisnya. Kemudian dicari perbedaan maksimum antara distribusi empiris dan teoritisnya:

empiristeoritis PPMaksimumD (10)

Apabila nilai D < sesuai Tabel Kolmogorov-Smirnov Test (merupakan fungsi dari banyaknya data pengamatan dan significance level), maka distribusi teoritisnya dapat diterima, bila terjadi sebaliknya, maka distribusi teoritisnya tak dapat diterima.

Debit banjir rancangan dihitung dengan metode HSS Nakayasu untuk menghasilkan debit banjir rancangan terbesar dengan karena pada lokasi studi tidak ditemukan data pembanding untuk dilakukan kalibrasi numeriknya dengan persamaan sebagai berikut:

0.3

0p

TTp0.33.6

RACQ

(11)

Keterangan: Qp = debit puncak banjir rancangan (m3/det) C = koefisien pengaliran A = luas daerah pengaliran (km2) T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30% dari debit puncak R0 = hujan satuan (mm) Tp = tenggang waktu (time lag) dari permulaan hujan sampai puncak banjir rancangan (jam)= tg + 0.8 tr Tg = waktu konsentrasi (jam), tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf (time lag)

Limpasan air hujan mengalir pada sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan diklasifikasikan dalam tiga zona, yaitu Zona Hulu (Up Stream), Zona Tengah (Central), dan hili (downstream) (Asdak, 2004).

Page 170: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

150 Bandung, 12 September 2015

1. Daerah hulu DAS dicirikan dengan sungai sampai dengan orde 4, kerapatan sungai yang tinggi, kondisi morfologi sungai terdiri dari pegunungan dengan kemiringan lereng >15% dan merupakan daerah konservasi dengan jenis vegetasi berupa tanaman hutan.

2. Daerah tengah merupakan daerah tangkapan hujan yang terletak antara hulu dan hilir yang terdiri atas lembah dan area terjadinya sedimentasi. Kemiringan lereng berada diantara 15% - 8%

3. Daerah hilir DAS dicirikan dengan kemiringan lereng < 8% dan sungai yang ada hanya sampai orde 2 dengan kerapatan sungai kecil dengan vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian sedangkan pada estuari didominasi dengan bakau/gambut.

Sedangkan untuk mengetahui besarnya angkutan sedimen layang dapat ditentukan melalui hasil pengukuran debit aliran dan pengambilan contoh angkutan sedimen melayang dengan alat ―Suspended Load Sampler‖. Berdasarkan hasil pengukuran debit dan pengambilan contoh air dan material dasar dapat dicari hubungan antara debit aliran dan debit angkutan sedimen sebagai berikut :

kCQwQs (12)

Dimana : Qs = debit sedimen melayang (ton/hari) Qw = debit aliran (m3/det) C = konsentrasi (mg/l) K = 0,0864 (konstanta pengubah dimensi satuan)

METODOLOGI STUDI Kajian ini difokuskan pada merumuskan kerangka perancangan bangunan pengendalian banjir pada kawasan pertambangan timah di sekitar areal permukiman secara menyeluruh yang terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Kabupaten Bangka. Diawali dengan melakukan inventarisasi dan kajian terhadap permasalahan dan kendala yang merupakan dasar dalam menentukan melakukan konsep pengendalian banjir yang sesuai di lokasi studi. Pada kawasan kolong seluas 69,98 ha dilakukan analisa penelusuran banjir rencana menggunakan perangkat lunak Hec-HMS versi 4.0 dengan kala ulang 50 tahun sesuai dengan metoda distribusi hujan rancangan yang sesuai. Desain bangunan pengendali banjir direncanakan dengan memanfaatkan luas dan tinggi bangunan maksimum sesuai dengan kondisi daya dukung tanahnya dan ketersediaan bentang outlet karena adanya prasarana transportasi perkotaan.

Perancangan kelembagaan yang berkaitan dengan permasalahan teknis di lokasi studi ditentukan kriteria dan indikator dari aspek sosial dan masyarakat menjadi faktor yang mempengaruhi perencanaan, pengembangan dan pembangunan kawasan di derah berupa diterbitkannya rumusan peraturan daerah untuk menjaga dan memelihara daerah aliran sungai dari kerusakan alam.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Dari beberapa lokasi terdampak daya rusak air tersebar di Kabupaten Bangka, perencanaan pengendalian banjir di Lingkungan Kampung Pasir memberikan keluaran yang lengkap dan dapat diterapkan di wilayah lainnya yang sejenis. Pengendalian banjir yang menerapkan konsep pemanfaatan kapasitas tampungan wilayah bekas tambang sebagai kolam detensi pengendali waktu tiba banjir, tampungan sedimen akibat penambangan di hulu dan penerapan peraturan pengendalian tata guna lahan di daerah hulu.

Penerapan analisa hujan wilayah pada lokasi studi menggunakan satu stasiun hujan yang ada di pulau bangka yaitu Stasiun Hujan Depati Amir dengan hujan maksimum tahunan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Page 171: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 151

Tabel 1. Hujan Maksimum Tahunan Stasiun Hujan Depati Amir 1990 – 2009

Tahun Hujan Maksimum

(mm) Tahun

Hujan Maksimum (mm)

1980 88 1995 113.5

1981 114.6 1996 162.1

1982 95.5 1997 68.8

1983 126 1998 101.3

1984 105.4 1999 90.7

1985 77.9 2000 96.4

1986 135.1 2001 99

1987 96.8 2002 75.6

1988 87.6 2003 93.6

1989 96.9 2004 54.7

1990 62 2005 121.5

1991 86.5 2006 80

1992 64.4 2007 148.6

1993 74 2008 107.1

1994 152 2009 92

Hasil pengujian Outlier menunjukkan nilai koefisien skewness dari data tersebut di atas adalah 0.7065 (n>0.4) sehingga dengan hasil pemeriksaan outlier atas sebesar R=188.1 mm. Dengan Rmaks sebesar 162.1 maka data hujan maksimum stasiun Depati Amir lolos uji outlier atas.

Uji statistik adanya trend dinyatakan bilamana tt mempunyai distribusi Student‘s t dengan derajat

kebebasan = n –2. Seri data menunjukkan hasil diuji tidak mengandung trend karena memenuhi: t {-2.05, 2,5 %} < -0.19411 < t {2.05, 97,5 %}

Analisa hujan rencana ditentukan dengan menggunakan periode ulang 50 tahun sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 11 Tahun 2012 tentang Sungai. Dari hasil analisis frekuensi didapatkan distribusi probabilitas terbaik adalah distribusi Log Normal 2 Parameter dengan curah hujan rencana sebesar 164,1 mm (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Hasil Analisis Hujan Rancangan

Kala Ulang T

Distribusi Probabilitas

(Tahun) t Normal Lognormal Lognormal Gumbel I Pearson III Log

2 Paramet. 3 Paramet.

Pearson III

2 0.0000 98.9 95.6 96.0 94.9 95.8 95.5

5 0.8416 121.2 119.2 119.6 121.9 119.8 119.4

10 1.2816 132.9 133.9 133.9 139.7 134.2 134.3

25 1.7507 145.3 151.5 150.8 162.3 151.0 152.4

50 2.0537 153.3 164.1 162.7 179.1 162.8 165.4

Penyimpangan Maksimum 11.17 6.23 6.62 8.30 6.49 9.87

Delta Kritis (Sig. Level 5 %) 24.2 24.2 24.2 24.2 24.2 24.2

Hasil Uji Chi- Square diterima diterima diterima diterima diterima diterima

Hasil Uji Smirnov - Kolomogorof

diterima diterima diterima diterima diterima diterima

Page 172: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

152 Bandung, 12 September 2015

Penentuan distribusi hujan dipilih menggunakan metode Mononobe dengan durasi hujan selama 6 jam sehingga membentuk distribusi hujan wilayah sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan hidrograf banjir rancangan pada Gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 3. Distribusi Hujan Perioda 6 jam

Gambar 4. Hidrograf Banjir Rancangan DAS Pompong

Untuk mereduksi debit banjir maksimum sebesar 274,2 m3/dtk yang terjadi di Sungai Pompong pada lokasi Lingkungan Kampung Pasir maka konsep pengendalian banjir direncanakan kolam detensi yang berfungsi sebagai pengendali waktu dan debit banjir yang terjadi serta penahan aliran sedimentasi dari daerah hulu sungai. Hasil analisa kondisi lapangan direncanakan kolam tampungan dengan kapasitas 2,26 x 106 m3 untuk menahan debit banjir dengan kala ulang 50th dan laju sedimentasi sebesar 54.836 m3/th. Layout desain pengendali banjir disajikan sebagai berikut sebagaimana tersaji pada Gambar 5 dan 6:

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50

Inte

nsi

tas

Hu

jan

Waktu Konsentrasi (jam)

Grafik Intensitas Hujan Tiap Jam Masing-masing Kala Ulang

Kala Ulang 2 Tahun

Kala Ulang 5 Tahun

Kala Ulang 10 Tahun

Kala Ulang 25 Tahun

Kala Ulang 50 Tahun

0

50

100

150

200

250

300

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

DEB

IT (

m3

/dtk

)

WAKTU (jam)

Hidrograf Banjir Rancangan DAS Pompong

Page 173: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 153

Gambar 5. Desain Pengendali Banjir di Lingkungan Kampung Pasir

Gambar 6. Desain Check Dam di Lingkungan Kampung Pasir

Kandungan sedimen layang pada lokasi studi diperoleh dari penyelidikan dilapangan dengan metoda grab sample. Hasil uji laboratorium menunjukkan kandungan sedimen layang pada aliran sungai Pompong sebesar 40,77 mg/liter. Dengan pemanfaatan areal kolong yang ada maka desain ambang pelimpah check dam dengan tinggi 3 m dan tampungan mati 1,19 juta m3 dapat meredam dampak banjir yang terjadi di sekitar kolong.

Penanganan struktural perlu didukung strategi yang perlu diterapkan untuk merestorasi daerah bekas tambang untuk mengurangi dampak daya rusak air antara lain penerapan regulasi (payung hukum) terhadap kolong tambang timah. Regulasi tersebut dapat diterapkan dalam bentuk terbitnya perda oleh pemerintah daerah Kabupaten Bangka dengan menetapkan kriteria kawasan perlindungan setempat sekitar kolong yaitu dengan unsur unsur sebagai berikut:

1. Penentuan daratan sepanjang tepian danau/kolong yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik kolong antara 50 (lima puluh) meter dari muka air tertinggi aliran sungai.

2. Penerapan aspek hukum lainnya yaitu dengan memberikan batasan dataran banjir sungai (dengan simulasi banjir kala ulang 50 tahunan) sesuai dengan peraturan pemerintah no 38 tahun 2011 tentang Sungai.

3. Pengelolaan areal pertambangan yang berwawasan lingkungan.

4. Pemanfaatan areal kolong sebagai zona publik yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Bangka.

Lokasi Kolong Lingkungan

kampung Pasir

Lokasi Kolong Lingkungan

kampung Pasir

Page 174: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

154 Bandung, 12 September 2015

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Kolong bekas tambang timah di wilayah Kabupaten Bangka yang terbengkalai karena belum adanya payung hukum yang tegas kepada pengusaha timah inkonvensional dalam mengelola areal tambangnya yang menyebabkan naiknya muka air banjir meluap ke wilayah sekitar kolong. Luas areal tambang 69,98 ha merupakan areal yang efektif dimanfaatkan untuk menahan limpasan banjir yang terjadi di aliran sungai Pompong. Penerapan check dam sebagai penahan laju sedimentasi dan pereduksi outflow banjir berkurang hingga 18% dilaksanakan efektif seiring dengan ditetapkannya pengendalian pemanfaatan daerah aliran sungai yang berwawasan lingkungan. Konstruksi check dam dengan kapasitas tampungan sebesar 1,19 juta m3 dirancang untuk mengendalikan laju sedimentasi dengan kandungan 40,77 mg/liter harus didukung dengan pemahaman masyarakat yang jelas dan dengan perkuatan payung hukum oleh pemerintah daerah setempat. Eksplorasi tambang disertai dengan tindakan konservasi areal tambang berupa pengembalian galian pasir ke lubang yang tidak terpakai lagi sehingga tidak merubah kondisi morfologi sungai semula atau dengan penerapan aspek tanggung jawab sosial pengelola tambang menjadikan areal bekas tambang sebagai ruang terbuka publik.

Rekomendasi

Untuk mendapatkan hasil studi yang lebih baik dimasa yang akan datang, perlu digalakkan kembali pemasangan stasiun pengamatan hidrologi pada masing masing daerah aliran sungai untuk mendapatkan karakteristik klimatologi yang lebih akurat. Pemerintah daerah diharapkan tidak lagi mengedepankan problem solving dengan konsep desain stuktural, tetapi non struktural dengan melibatkan partisipasi masyarakat agar terjadi keselarasan antara pemerintah dengan masyarakat.

REFERENSI

Chow,Ven Te, David R.Maidment and Larry W. Mays. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Inc.

Asdak, Chay. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.

Bappeda Kabupaten Bangka. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka 2010-2030. Kabupaten Bangka

DDC Consultants, PT. 2010. Laporan Akhir Identifikasi DAS Kritis Pulau Bangka. Pangkalpinang

Hegar Daya, PT. 2013. Laporan Akhir Penyusunan Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bangka Tahap I. Pangkalpinang.

Kwarsa Hexagon, PT. 2014. Masterplan Penanggulangan Banjir Kabupaten Bangka. Pangkalpinang.

Page 175: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 155

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

EVALUASI KAPASITAS SALURAN DRAINASE PADA KAWASAN PERMUKIMAN MANDIRI BERWAWASAN PENDIDIKAN

Sandy Sella Fajar1* dan Doddi Yudianto1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia

*[email protected]

Abstrak

Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan di Indonesia termasuk Kota Bandung, ketersediaan permukiman merupakan salah satu prioritas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kota. Sesuai dengan konsep terkini, pengelolaan hujan seyogyanya memperhatikan faktor konservasi dan keberlanjutan sistem. Studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kapasitas saluran drainase pada salah satu kawasan permukiman mandiri yang berwawasan pendidikan yang terletak di Bandung Barat khususnya pada dua buah cluster terpilih dengan luas lahan masing-masing 11,56 hektar dan 11,63 hektar. Guna mewujudkan lingkungan permukiman yang berwawasan lingkungan, setiap cluster dikembangkan dengan memanfaatkan lahan hijau sebagai trotoar dan paving block sebagai lapisan penutup lapisan jalan. Mempertimbangkan tidak tersedianya data curah hujan berdurasi pendek pada lokasi studi, analisis curah hujan dilakukan dengan mengubah koefisien pada persamaan Mononobe untuk Padalarang berdasarkan informasi hujan yang tercatat pada BMKG Kota Bandung dengan periode data tahun 1986 – 2014. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa di periode ulang 2 dan 5 tahun sejumlah ruas saluran memiliki kapasitas lebih kecil dibandingkan debit banjir yang terjadi. Untuk cluster pertama terindikasi 3 buah saluran berpotensi menyebabkan terjadinya genangan pada periode ulang 2 tahun dan 4 buah saluran pada periode ulang 5 tahun. Sedangkan pada cluster ke-2, hasil analisis menunjukkan jumlah saluran yang berisiko pada periode ulang 5 tahun adalah 1 saluran.

Kata kunci: sistem drainase, kapasitas saluran, lahan hijau, permukiman Bandung Barat

LATAR BELAKANG Pengembangan lahan tentu mengakibatkan perubahan tata guna lahan yang akan berdampak pada kondisi alamiah serta siklus hidrologi. Secara alamiah suatu lahan telah menyediakan sistem drainase alami yang mampu meresapkan air hujan ke dalam tanah serta mengalirkan limpasan ke bagian hilir. Ketika lapisan permukaan tanah berubah menjadi lapisan yang kedap air maka hal ini akan berdampak pada meningkatnya volume limpasan dan berkurangannya kapasitas tanah dalam menyerapakan air sebagai infiltrasi. Menurut UU Nomor 37 tahun 2014 pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa konservasi tanah dan air adalah upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Salah satu kawasan yang menerapkan konsep ini adalah Kota Baru Parahyangan (KBP) yang terletak di Padalarang, Jawa Barat.

Kota Baru Parahyangan merupakan kawasan permukiman terpadu yang dibangun berdasarkan tiga dasar utama yaitu budaya, sejarah, dan pendidikan. Lahan seluas 1.250 Ha dengan ketinggian berkisar antara 650 – 900 meter di atas permukaan laut ini berbatasan langsung dengan Waduk Saguling di bagian selatannya. KBP sendiri dikembangankan sebagai permukiman dengan sistem cluster. Sampai saat ini telah dibangun dengan total lima belas. Dalam menangani perubahan lahan di KBP, telah dilakukan sebuah gerakan penghijauan untuk menanggulangi dampak pembangunan terhadap lingkungan alami. Beberapa gerakan tersebut ialah dengan menggunakan biopori sebagai media untuk menyerapkan air hujan ke dalam tanah dengan lebih efisien dan juga pemilihan paving block daripada aspal untuk

Page 176: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

156 Bandung, 12 September 2015

perkerasan jalan agar air hujan masih bisa menyerap ke dalam tanah. Pada lokasi studi yang baru sebagian terbangun perlu dilakukan evaluasi mengenai kapasitas saluran drainase yang ada apabila seluruh kawasan telah menjadi perumahan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan volume limpasan akibat perubahan tata guna lahan yang semula lahan terbuka menjadi lahan kedap air berupa perumahan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari pengembangan di kedua cluster dengan cara :

Membandingkan debit di saluran pada kondisi yang telah terbangun saat ini dengan kondisi terbangun seluruhnya.

Mengevaluasi kapasitas saluran drainase terhadap peningkatan debit akibat pengembangan lahan.

Metode rasional digungan di dalam menganalisis kapasitas saluran pada cluster di lokasi studi. Penggunaan metode ini terbatas untuk daerah tangkapan hujan (DTH) kecil dengan luas wilayah kurang dari 300 Ha.Persamaan umum metode rasional:

AICQp 278,0 (1)

Keterangan : QP : debit puncak ( m3/s) C : koefisien aliran permukaan ( 0 ≤ C ≤ 1 ), yang ditentukan berdasarkan jenis tata guna lahan I : intensitas hujan (mm/jam) A : luas DTH (km2)

Untuk menentukan nilai C yang digunakan di dalam perhitungan tergantung dari jenis lahan di lokasi studi, sesuai nilai C yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Koefisien Limpasan Metode Rasional

(Sumber : Suripin, Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan , 2003)

No Deskripsi Lahan Koefisien Aliran (C)

1 Batu bata dan paving 0,50-0,70 2 Taman tempat bermain 0,20-0,35 3 Multiunit, Tergabung 0,60-0,75

Di dalam intensitas hujan terdapat pengaruh waktu konsentrasi pada wilayah dimana hujan itu jatuh. Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh limpasan hujan untuk mengalir dari daerah tangkapan yang paling jauh sampai ke lokasi yang ditinjau (outlet). Waktu konsentrasi diperlukan untuk menentukan intensitas hujan pada analisis Intensitas Durasi Frekuensi (IDF). Secara umum waktu konsentrasi merupakan penjumlahan dari waktu aliran di lahan dan saluran yang dirumuskan sebagai berikut:

tic ttt (2)

Keterangan: tc: waktu konsentrasi (menit) ti : waktu aliran limpasan di permukaan (menit) tt : waktu untuk mengalir dalam saluran (menit)

Formula empiris yang bisa digunakan untuk menghitung ti antara lain dengan persamaan berikut:

Formula Hathaway

284,0

467,0)(606,0

S

nLti

(3)

Keterangan: ti : waktu konsentrasi aliran di permukaan (jam) L : panjang lintasan aliran (km)

Page 177: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 157

S : kemiringan lahan (m/m) n : koefisien kekasaran lahan

Nilai kekasaran lahan berdasarkan sumber yang digunakan pada studi ini ada tiga macam, sesuai yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Koefisien Kekasaran

No Jenis Permukaan n

1 Halus, kedap air 0,02 2 Halus, tanah terbuka 0,1 3 Berumput jarang, tanaman berjajar 0,2

v

Ltt

60 (4)

Keterangan: tt : Waktu konsentrasi di saluran (menit) L : Panjang saluran (m) V : Kecepatan aliran (m/s)

Debit aliran seragam pada saluran (Q) dapat dihitung dengan rumus :

AvQ (5)

Keterangan: Q : debit aliran (m3/s) V : kecepatan aliran rata-rata (m/s) A : luas penampang basah aliran (m2)

METODOLOGI STUDI Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada tiga tahap yaitu, metode pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui kondisi studi secara langsung dan dibandingkan dengan gambar kerja yang telah diberikan. Kemudian studi pustaka dilakukan untuk menunjang pemahaman tentang analisa data curah hujan dan memahami peningkatan volume limpasan sebagai akibat dari pengembangan lahan serta evaluasi mengenai saluran drainase serta analisis data dan penyusunan laporan untuk mencari seberapa besar pengaruh peningkatan debit dan akibatnya terhadap kapasitas saluran yang telah terbangun.Gambar 1 memperlihatkan diagram alir yang dilakukan pada studi ini.

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Analisis debit banjir Identifikasi Masalah

Pengumpulan Site Plan cluster

Evaluasi kapasitas saluran Analisis dampak rencana

pengembangan

Analisis curah hujan

Kesimpulan dan saran

Selesai

Mulai

Page 178: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

158 Bandung, 12 September 2015

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Intensitas hujan merupakan tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah semakin singkat hujan jatuh maka intensitasnya cenderung tinggi dan makin besar periode ulangnya maka semakin tinggi juga intensitasnya. Hubungan antara intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan dinyatakan dalam sebuah kurva Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF). Untuk keperluan pada studi ini maka digunakan periode ulang 2 tahun dan 5 tahun.

Di dalam mendapatkan kurva IDF selain dengan menggunakan persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro, bisa juga digunakan persamaan Mononobe yang data hujannya berasal dari curah hujan maksimum tahunan. Meskipun pada kenyataannya hasil kurva IDF menggunakan Mononobe kurang akurat bila dibandingkan bila menggunakan persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro yang data hujannya berasal dari curah hujan durasi pendek. Namun, karena pada lokasi studi hanya curah hujan maksimum tahunan yang tersedia, maka dicari kurva IDF dengan persamaan Mononobe. Namun diperlukan perubahan koefisien pada persamaannya yang diambil dari keofisien Mononobe di Bandung.

Berdasarkan hasil analisis frekuensi didapat intensitas hujan rencana untuk periode ulang 2 tahun adalah Padalarang sebesar 68,8 mm dan Bandung sebesar 78,7 mm serta untuk periode ulang 5 tahun adalah Padalarang sebesar 83,9 mm dan Bandung sebesar 92,8 mm .

Perhitungan perubahan koefisien untuk periode ulang 2 tahun dicari dengan melihat selisih terkecil antara data asli yang dihasilkan dari analisis frekuensi durasi pendek Bandung dengan hasil dari Mononobe Bandung. Pemilihan koefisien dibatasi dengan hanya melihat durasi yang kurang dari 10 menit. Karena apabila melihat secara keseluruhan memang sulit menentukan nilai pangkat hingga persamaan Mononobe tersebut mirip dengan data hujan aslinya. Hal ini didasari pada waktu konsentrasi yang terjadi pada lokasi studi yang berkisar antara 5-15 menit. Setelah dicoba didapat pangkat untuk periode ulang 2 tahun adalah 0,735. Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara hasil dari analisis frekuensi durasi pendek Bandung dan Mononobe untuk periode ulang 2 tahun.

Gambar 2. Kurva Perbandingan Data Asli dengan Mononobe Bandung Periode Ulang 2 Tahun

Sedangkan Gambar 3 menunjukkan perbandingan antara hasil dari analisis frekuensi durasi pendek Bandung dan Mononobe untuk periode ulang 5 tahun. Perhitungan yang dilakukan sama seperti pada periode ulang 2 tahun, dimana perubahan pangkat hanya di fokuskan pada waktu konsentrasi 5-15 menit.

0

50

100

150

200

250

0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195

Inte

nsi

tas

(mm

/jam

)

t (menit) Data Asli Bandung

Page 179: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 159

Gambar 3. Kurva Perbandingan Data Asli dengan Mononobe Bandung Periode Ulang 5 Tahun

Dengan demikian selanjutnya analisis saluran drainase menggunakan persamaan Mononobe dari intesitas hujan maksimum tahunan di Padalarang dengan nilai pangkat yang telah diubah sesuai dengan nilai pangkat yang didapat dari persamaan Mononobe di Bandung. Untuk periode ulang 2 tahun perubahan nilai pangkat menjadi 0,735 dan periode ulang 5 tahun perubahan nilai pangkat menjadi 0,742. Sehingga perubahan pangkat dari persamaan Mononobe diambil rata-rata yaitu sebesar 0,739. Berikut persamaan yang digunakan.

Periode ulang 2 tahun:

739,024

.24

8,68

tI

(6)

Periode ulang 5 tahun :

739,024

.24

9,83

tI

(7)

Seiring dengan berkembangnya lahan tentu akan meningkatkan volume limpasan di kawasan tersebut. Analisis debit ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar debit yang mengalir di setiap saluran dengan menggunakan periode ulang 2 tahun dengan kondisi kawasan yang telah terbangun saat ini. Gambar 5 merupakan site plan dari Cluster Ratnasasih, dimana daerah yang diarsir merah menunjukkan lahan yang masih kosong dan yang putih menunjukkan lahan yang telah terbangun dengan rumah.

Gambar 4. Kondisi Cluster Ratnasasih yang Telah Terbangun Saat Ini

Kondisi saat ini pada Cluster Mayangsunda ditunjukkan pada Gambar 5 dengan warna putih menunjukkan lahan yang telah terbangun dan arsiran berwarna merah menunjukkan lahan yang belum terbangun dengan keadaan masih berupa rerumputan. Pembangunan masih terpusat di bagian tengah , sedangkan bagian tepi dari cluster masih sekitar 75 % belum terbangun.

0

50

100

150

200

250

300

0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195

Inte

nsi

tas

(mm

/jam

)

t (menit) data asli bandung

Page 180: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

160 Bandung, 12 September 2015

Gambar 5. Kondisi ClusterMayangsunda yang Telah Terbangun Saat Ini

Hasil menunjukkan bahwa rentan tinggi jagaan di dalam saluran saat ini berkisar antara 2,9 cm sampai dengan 38,7 cm dengan debit yang mengalir berkisar antara 0,005 m3/s sampai dengan 0,1428 m3/s untuk cluster yang pertama dan hasil menunjukkan bahwa rentan tinggi jagaan di dalam saluran saat ini berkisar antara 8,9 cm sampai dengan 33,8 cm dengan debit yang mengalir berkisar antara 0,0034 m3/s sampai dengan 0,2208 m3/s untuk cluster yang kedua.Sehingga kapasitas saluran secara keseluruhan masih mencukupi.

Sesuai dengan tujuan studi ini yaitu untuk mengevaluasi kapasitas saluran drainase dilihat dari seberapa besar peningkatan tinggi air di dalam saluran untuk cluster Ratnasasih dan Mayangsunda terhadap data intensitas hujan yang baru. Kedua cluster ini direncanakan pada tahun 2004 mengacu pada shop drawing yang diberikan. Dengan melihat data hujan yang baru, akan dikaji apakah dimensi saluran yang telah dibangun saat ini masih memenuhi kapasitasnya untuk mengalirkan air limpasan. Evaluasi dilakukan dengan selalu menggangap aliran air yang terjadi di dalam saluran adalah dalam kondisi aliran pada saluran terbuka serta menggunakan periode ulang 2 dan 5 tahun dan kondisi kedua cluster terbangun secara penuh.

Untuk cluster yang pertama pada periode ulang 2 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0043 m3/s sampai dengan 0,1728 m3/s. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0052 m3/s sampai dengan 0,2501 m3/s. Dengan peningkatan debit banjir akibat lahan yang terbangun mengakibatkan kapasitas salurannya tidak mencukupi. Tabel 3 menunjukkan saluran yang kapasitasnya tidak mencukupi sesuai dengan periode ulang yang digunakan. Untuk periode ulang 2 tahun kapasitas saluran yang tidak mencukupi menjadi 3 saluran yaitu saluran H-5, A3-2, dan B-1, sedangkan untuk periode ulang 5 tahun bertambah menjadi 4 saluran termasuk saluran E-5.

Tabel 3. Kapasitas saluran yang tidak terpenuhi Cluster Ratnasasih

Nama Saluran Dimensi (m) Debit Maks. (m3/s) Debit Banjir (m3/s)

2 tahun 5 tahun

H-5 0,3 0,0735 0,0908 0,1163

A3-2 0,3 0,1375 0,1728 0,2501

B-1 0,3 0,0735 0,087 0,1041

E-5 0,3 0,1469 0,1347 0,1674

Tabel 4menunjukkan debit di setiap outlet yang terjadi untuk keadaan yang telah terbangun saat ini, dan terbangun seluruhnya dengan periode ulang 2 dan 5 tahun.

Page 181: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 161

Tabel 4. Debit di outlet dengan berbagai kondisi Cluster Ratnasasih

Titik Outlet Kondisi Saat Ini Terbangun Penuh

tc (menit) Q (m3/s) 2-tc (menit) 2-Q (m3/s) 5-tc (menit) 5-Q (m3/s)

1 8,6 0,0793 6,1 0,1548 6,1 0,1971

2 12,6 0,3352 12,4 0,4041 12,4 0,5098

3 9,5 0,1702 6,9 0,2395 6,4 0,3228

4 10,6 0,2858 7,2 0,4627 7,5 0,5704

5 10,1 0,1081 6,5 0,1622 7,3 0,1901

6 8,2 0,0676 2,2 0,0961 4,0 0,0769

7 10,6 0,0212 6,7 0,0271 6,6 0,0345

Untuk cluster yang kedua hasil menunjukkan hasil peningkatan debit banjir setelah seluruh kawasan terbangun. Pada periode ulang 2 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0031 m3/s sampai dengan 0,3008 m3/s. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0034 m3/s sampai dengan 0,3491 m3/s.Untuk periode ulang 2 tahun semua saluran terpenuhi kapasitasnya dan 5 tahun dampak dari pengembangan lahan berakibat pada satu saluran yang kapasitasnya tidak mencukupi yaitu saluran KIRI-P9-P8 yang ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kapasitas saluran yang tidak terpenuhi ClusterMayangsunda

Nama Saluran Dimensi (m) Debit Maks. (m3/s) Debit Banjir (m3/s)

2 tahun 5 tahun

KIRI-P9-P8 0,4 0,2502 0,2208 0,2676

Tabel 6 merupakan debit banjir yang terjadi di setiap outlet dengan keadaan yang telah terbangun saat ini menggunakan periode ulang 2 tahun dan keadaan setelah terbangun seluruhnya dengan periode ulang 2 dan 5 tahun.

Tabel 6. Debit di outlet dengan berbagai kondisi ClusterMayangsunda

Titik Outlet Kondisi Saat Ini Terbangun Penuh

tc (menit) Q (m3/s) 2-tc (menit) 2-Q (m3/s) 5-tc (menit) 5-Q (m3/s)

1 9,6 0,2989 7,47 0,3422 7,35 0,405

2 12,77 0,,517 12,5 1,733 14,22 0,694

3 12,75 0,58 12,74 0,609 12,7 0,754

4 11,65 0,189 7,96 0,233 7,87 0,283

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Persamaan Mononobe dari data curah hujan Padalarang mengalami perubahan nilai pangkat menjadi ± 0,739. Peningkatan rata-rata debit di titik outlet berdasarkan kondisi yang telah terbangun saat ini dibandingkan dengan keadaan terbangun sepenuhnya menggunakan periode ulang 2 tahun di Cluster Ratnasasih adalah sebesar 48,93 % sedangkan untuk Cluster Mayangsunda sebesar 69,49 %. Di cluster yang pertama terdapat 3 buah saluran yang terindikasi kapasitasnya tidak mencukupi pada periode ulang 2 tahun dan 4 saluran pada periode ulang 5 tahun sedangkan pada cluster yang kedua hanya terdapat 1 saluran pada periode ulang 5 tahun.

Rekomendasi

Diperlukan observasi secara berkala untuk mengukur ketinggian air di saluran, terutama saluran yang kapasitasnya tidak terpenuhi.Dengan kondisi KBP yang masih dalam tahap pengembangan diperlukan stasiun hujan otomatis untuk mendapatkan curah hujan berdurasi pendek yang akan digunakan di dalam

Page 182: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

162 Bandung, 12 September 2015

perencaan sistem drainase.Analisis yang dilakukan pada studi menggunakan karakteristik saluran terbuka, sehingga untuk studi selanjutnya digunakan bantuan peranti lunak Storm Water Model Management (SWMM).

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis dengan segala kerendahan hati ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepadaBapak Doddi Yudianto, Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan mencurahkan tenaga serta pikirannya selama proses bimbingan, tidak sedikit ilmu dan saran yang penulis terima yang sangat bermanfaat di dalam menunjang keberhasilan studi ini.

REFERENSI

Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Andy Offset, Yogyakarta.

Page 183: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 163

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN GEDUNG TERHADAP KINERJA SISTEM DRAINASE KAMPUS

Arnold Saputra1*, Doddi Yudianto1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia

*[email protected]

Abstrak

Sehubungan dengan rencana pembangunan Gedung Pusat Pembelajaran Arntz Geise (PPAG) di lingkungan kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Ciumbuleuit sebagai upaya untuk meningkatkan fasilitas pembelajaran, studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak pengembangan lahan dan perubahan curah hujan terhadap kapasitas sistem drainase yang ada. Selain menyajikan tata saluran sesuai rencana pengembangan kampus, studi ini juga ditujukan untuk perencanaan kolam retensi dan sumur resapan sebagai infrastruktur pengendali limpasan dan konservasi air tanah. Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa pembangunan gedung pada lahan seluas 0,4251 ha dengan menyertakan analisis curah hujan dalam 29 tahun terakhir akan mengakibatkan terjadinya peningkatan limpasan permukaan dimana puncak debit banjir pada periode ulang 2 tahun mengalami kenaikan dari 0,02360 m3/s menjadi 0,02722 m3/s. Meskipun terjadi peningkatan debit banjir, namun hasil analisis kapasitas saluran mengindikasikan bahwa sebagian besar ruas saluran yang tersedia masih aman terhadap risiko genangan. Tinggi jagaan minimum yang diperoleh pada kondisi banjir terkini adalah 0,03 m. Untuk mengendalikan limpasan yang terjadi sekaligus melakukan upaya konservasi air, Unpar mutlak perlu menyediakan sebuah kolam retensi dengan volume 115.5 m3 yang dikombinasikan dengan 2 sumur resapan.

Kata Kunci: kampus Unpar, kolam retensi, pengembangan lahan, sumur resapan

LATAR BELAKANG Universitas Katolik Parahyangan atau dikenal dengan Unpar adalah salah satu perguruan tinggi yang terletak di Jalan Ciumbuleuit, Bandung. Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1955, kawasan Unpar sudah beberapa kali mengalami perubahan tata guna lahan. Perencanaan perubahan tata guna lahan di kawasan Unpar yang direncanakan dilaksanakan mulai tahun ini adalah pembangunan Gedung Pusat Pembelajaran Arntz – Geise (PPAG) yang terdiri atas gedung sementara 2 lantai dan 3 basement. Dalam pembangunan gedung PPAG tersebut diperlukan perencanaan sistem drainase yang matang dalam upaya mengendalikan limpasan permukaan dan terjadinya genangan pada saat musim hujan serta meresapkan kembali air hujan ke dalam tanah.

Sehubungan dengan adanya perubahan kembali atas pembangunan gedung PPAG dimana luas lahan terbangun akan diperluas hingga gedung Workshop Arsitektur, studi dimaksudkan untuk mengkaji dampak dari perluasan lahan sekaligus melakukan perencanaan sumur resapan di lingkungan kampus Unpar Ciumbuleuit.

Sumur resapan sendiri merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan dari atas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut, 1994).

Unpar yang berada di kawasan pemukiman menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/M/2007, perubahan tata guna lahan di kawasan perumahan harus dilengkapi dengan membuat

Page 184: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

164 Bandung, 12 September 2015

sumur resapan air hujan mengikuti SNI 03 – 2453 – 2002 tentang Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Perkarangan.

Sistem Drainase Berkelanjutan

Drainase yang berasal dari bahasa Inggirs drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, drainase menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.

Berdasarkan prinsip pengertian sistem drainase di atas yang bertujuan agar tidak terjadi banjir di suatu kawasan, ternyata air juga merupakan sumber kehidupan. Bertolak dari hal tersebut, maka konsep dasar pengembangan sistem drainase yang berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi lingkungan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses, baik yang bersifat struktural maupun non struktural untuk mencapai tujuan tersebut (Suripin, 2004).

Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan seminimal mungkin menggenangi daerah layanan. Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air (pemakaian dan ketersedian) maka diperlukan suatu perancangan draianse yang berfilosofi bukan saja aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas pada konservasi air (Sunjoto, 1987). Konsep sistem drainase yang berkelanjutan merupakan prioritas utama kegiatan yang harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan. Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan (storage types) dan tipe peresapan (infiltration types).

Gambar 1. Klasifikasi fasilitas penahan air hujan (Sumber: Suripin, 2004)

Kolam Retensi

Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau meresapkan air di dalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.

Fungsi dari kolam retensi adalah untuk menggantikan peran lahan resapan yang dijadikan lahan tertutup/perumahan/perkantoran maka fungsi resapan dapat digantikan dengan kolam retensi. Fungsi kolam ini adalah menampung air hujan langsung dan aliran dari sistem untuk diresapkan ke dalam tanah.

Page 185: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 165

sehingga kolam retensi ini perlu ditempatkan pada bagian yang terendah dari lahan. jumlah, volume, luas dan kedalaman kolam ini sangat tergantung dari berapa lahan yang dialihfungsikan menjadi kawasan tertutup.

Sumur Resapan

Konsep dasar sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan menampung air tersebut pada suatu sistem resapan. Sumur resapan ini merupakan sumurr kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu utnuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal. Sumur resapan banyak mendatangkan manfaat, namun pembuatannya harus memperhatikan syarat – syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal, yaitu:

1. Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang memiliki permeabilitas tinggi, atau memiliki lapisan akuifer yang cukup tebal. Nilai permeabilitas disajikan dalam Tabel 2.

2. Sumur resapan hujan harus bebas kontaminasi limbah. Dengan kata lain, air yang diperbolehkan untuk diresapkan hanyalah air hujan.

3. Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya menampung air dari atap dan disalurkan melalui talang

Dalam perencanaan perlu dipertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi, dan hidrologi.

Terpenuhinya jarak minimum sumur resapan terhadap bangunan lainnya sepeti tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Jarak minimum sumur resapan air hujan terhadap bangunan

(Sumber: SNI 03-2453-2002)

No. Jenis bangunan Jarak minimum dari sumur resapan air hujan (m)

1 Sumur resapan air hujan/sumur air bersih 3

2 Pondasi Bangunan 1

3 Bidang resapan/sumur resapan tangki septik 5

Tabel 2. Nilai koefisien permeabilitas tanah di kawasan Bandung

(Sumber: Puslitbang Pengairan, 1966)

No. Lokasi Nilai Permeabilitas (cm/s)

1 Arjasari 1,78 × 10-4 2 Kp.Damur, Cimanggung 1,17 × 10-3 3 Bandung Highland 5,23 × 10-5 4 Dago 8,55 × 10-4 5 Hegarmanah, Cikeruh 3,60 × 10-4 6 Patal Cipadung 3,87 × 10-4 7 Gegerbeas, Cimaung 1,45 × 10-4 8 Cihampelas, Cililin 4,51 × 10-4 9 Gn. Batu, Cimindi 3,37 × 10-4

10 Cibeureum, Pangalengan 3,17 × 10-4 11 Sayang, Rancaekek 9,15 × 10-5 12 Jl. Anggrek 6,75 × 10-4

Page 186: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

166 Bandung, 12 September 2015

METODOLOGI STUDI

Mulai

Studi Pustaka

Analisis Volume Kolam Parkir Banjir

Akibat Perluasan Lahan

Menentukan Lokasi

Sumur Resapan

Analisis Debit dan Dimensi Sumur

Resapan

Estimasi Dimensi dan Volume Kolam

Retensi

Desain Dimensi

Ulang

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Terpenuhi

Tidak Terpenuhi

Pengumpulan Data :

Data Karakteristik Tanah

Data Curah Hujan

Site Plan

Analisis Pelebaran Saluran Drainase Akibat Perluasan Lahan

Page 187: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 167

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

Analisis Uji Kelayakan Data Curah Hujan

Analisis uji kelayakan data curah hujan meliputi pemeriksaan outlier, pemeriksaan trend, pemeriksaan stabilitas variance dan mean serta pemeriksaan independensi. Untuk mengidentifikasi data tersebut, akan dilakukan pemeriksaan terhadap semua data curah hujan yang telah diperoleh yaitu data curah hujan dari BMKG Kota Bandung dengan rentang data dari tahun 1986 sampai 2014, pemeriksaan data hujan ini akan digunakan dalam pembuatan IDF (Intensitas Durasi Frekuensi). Hasil dari pemeriksaan kelayakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pemeriksaan kelayakan data hujan BMKG Kota Bandung

Curah Hujan (menit) Outliers Trend Independensi

5 tidak ada ada independen 10 tidak ada tidak ada independen 15 tidak ada tidak ada independen 20 ada tidak ada tidak independen 45 ada tidak ada tidak independen 60 ada tidak ada tidak independen 120 ada tidak ada tidak independen 180 ada tidak ada independen 360 tidak ada tidak ada independen 720 ada tidak ada independen

Analisis Lengkung IDF

Data hujan yang diperoleh pada studi ini, memiliki panjang tahun yang lebih besar di bandingkan pada studi terdahulu. Data hujan yang diperoleh yaitu dari tahun 1986 sampai tahun 2014, lebih panjang 1 tahun di bandingkan studi terdahulu yang hanya sampai tahun 2013. Dengan trend data hujan yang semakin besar, maka untuk melakukan evaluasi kapasitas saluran drainase perlu dilakukan analisis lengkung IDF berdasarkan data hujan yang baru. Lengkung IDF diperlukan untuk menghasilkan debit puncak yang mengalir pada ruas saluran. Dalam studi ini, pembuatan lengkung IDF menggunakan periode ulang 2 tahun dan 5 tahun, untuk data hujan 1986 sampai 2014. Dengan menggunakan data hujan tahun 1986 sampai 2014, maka perolehan hasil intensitas hujan dengan periode ulang 2 tahun dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Intensitas hujan periode 2 tahun dan 5 tahun untuk berbagai durasi hujan

Kala Ulang T t

Durasi Hujan (menit)

Tahun 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720

2 0.0000 165.6 126.7 108.9 80.8 65.3 51.5 28.9 20.9 11.6 6.1

5 0.8416 216.9 154.7 132.6 98 76.1 58.8 31.9 23.7 14.3 7.2

Dari ketiga persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan rumus yang cocok. Pemeriksaan dilakukan dengan mencari deviasi rata-rata terkecil yang dihasilkan dari ketiga persamaan tersebut. Dari hasil perhitungan yang disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa rumus yang paling sesuai adalah Talbot.

Page 188: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

168 Bandung, 12 September 2015

Gambar 2. Grafik kurva IDF dengan periode ulang 2 tahun

Gambar 3. Grafik kurva IDF dengan periode ulang 5 tahun

0

50

100

150

200

250

300

350

0 20 40 60 80 100 120 140

Inte

nsita

s H

ujan

(m

m)

Waktu (menit)

DATA TALBOT SHERMAN ISHIGURO

0

50

100

150

200

250

300

350

0 20 40 60 80 100 120 140

Inte

nsita

s H

ujan

(m

m)

Waktu (menit)

DATA TALBOT SHERMAN ISHIGURO

Page 189: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 169

Curah Hujan Maksimum Tahunan

Data curah hujan maksimum tahunan yang didapat dari BMKG Kota Bandung adalah dari tahun 1986 sampai 2014, untuk mengetahui curah hujan rencananya maka akan dilakukan analisis ferkuensi dengan data hujan yang ada. Hasil dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Curah hujan rencana BMKG Kota Bandung

Periode Ulang Cemara

(tahun) (mm)

2 78.3

5 91.7

10 99.1

20 105.4

25 107.3

Setelah mengetahui hasil dari curah hujan rencana, maka hasil tersebut akan diplot bersamaan dengan data curah hujan asli. Dari Gambar 4 diketahui bahwa untuk mendesain saluran drainase pada lingkungan kampus Unpar cukup menggunakan periode ulang 2 tahun.

Gambar 4. Curah hujan maksimum tahunan BMKG Kota Bandung

Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase

Perbedaan ketinggian air pada saluran sebelum pembangunan dengan menggunakan periode ulang 2 tahun dan 5 tahun dapat diliat pada Tabel 6 dan Tabel 8. Dapat dilihat bahwa salah satu daerah yang ditinjau kedalaman saluran dan kedalaman basah pada kondisi terbangun sudah melebihi ketinggian saluran drainase yang mengakibatkan meluapnya air, maka dari itu dilakukan pelebaran saluran agar kapasitas saluran bertambah. Hasil perlebaran saluran dengan menggunakan periode 2 tahun dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 9. Lokasi daerah saluran dapat dilihat pada Gambar 5.

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

400.00

450.00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Tahun

Stasiun Cemara

2 Tahun

5 Tahun

Page 190: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

170 Bandung, 12 September 2015

Gambar 5. Skema saluran drainase

Tabel 6. Dimensi saluran drainase sebelum pelebaran saluran dengan periode ulang 2 tahun

Daerah Y Kondisi Eksisting

(m) Y Kondisi Terbangun

(m) h (m) b (m) Kapasitas Saluran

Pav GSG 1 0.16 0.18 0.4 0.3 Tidak Meluap

GSG 0.2 0.23 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 2 0.23 0.28 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 3 0.36 0.43 0.4 0.3 Meluap

Tabel 7. Dimensi saluran drainase sesudah pelebaran saluran dengan periode ulang 2 tahun

Daerah Y Kondisi Eksisting

(m) Y Kondisi Terbangun

(m) h (m) b (m) Kapasitas Saluran

Pav GSG 1 0.16 0.18 0.4 0.3 Tidak Meluap

GSG 0.2 0.23 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 2 0.23 0.28 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 3 0.36 0.3 0.4 0.4 Tidak Meluap

Tabel 8. Dimensi saluran drainase sebelum pelebaran saluran dengan periode ulang 5 tahun

Daerah Y Kondisi Eksisting

(m) Y Kondisi Terbangun

(m) h (m) b (m) Kapasitas Saluran

Pav GSG 1 0.19 0.22 0.4 0.3 Tidak Meluap

GSG 0.24 0.28 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 2 0.28 0.35 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 3 0.44 0.52 0.4 0.3 Meluap

Pav GSG 3

Pav GSG 2

Pav GSG 1

Page 191: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 171

Tabel 9. Dimensi saluran drainase sesudah pelebaran saluran dengan periode ulang 5 tahun

Daerah Y Kondisi Eksisting

(m) Y Kondisi Terbangun

(m) h (m) b (m) Kapasitas Saluran

Pav GSG 1 0.19 0.22 0.4 0.3 Tidak Meluap

GSG 0.24 0.28 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 2 0.28 0.35 0.4 0.3 Tidak Meluap

Pav GSG 3 0.44 0.37 0.4 0.4 Tidak Meluap

Analisis Debit Banjir Rencana

Pemodelan dilakukan untuk mengetahui debit banjir dan volume limpasan yang dihasilkan pada Gedung PPAG akibat dari perubahan lahan dan perubahan intensitas hujan. Debit banjir dihitung menggunakan software HEC-HMS dengan metode unit hidrograf sintetis SCS (Soil Conservation Services). Ada beberapa parameter yang perlu diinput seperti, CN (Curve Number) waktu konsentrasi (tc) dan waktu keterlambatan (tt).

CN (Curve Number)

Kehilangan air akibat infiltrasi dipengaruhi oleh kondisi tanah permukaan, pada metode ini kondisi tanah dilambangkan dengan CN. Nilai CN diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu tipe A,B,C, dan D. Nilai CN yang digunakan dalam studi ini akibat Gedung PPAG terbangun adalah 83.

Waktu Konsentrasi (tc) dan Waktu Keterlambatan (tt)

Waktu konsentrasi yaitu waktu yang diperlukan air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran yang ditinjau. Rumus yang digunakan untuk menghitung waktu konsentrasi pada studi ini adalah The SCS lag formula.

5,0

7,0

8,0 91000

00526,0

s

CNLtc

(1)

dimana tc adalah waktu konsentrasi dalam jam, L adalah panjang saluran dalam ft, dan S adalah kemiringan rata – rata lahan dalam ft/ft. Berdasarkan data dimensi saluran drainase, panjang saluran utama adalah sebesar 62,484 ft.

Waktu keterlambatan adalah waktu rata-rata dari semua kemungkinan waktu tempuh limpasan permukaan pada daerah tangkapan. Pada metode hidrograf satuan sintetik SCS besarnya waktu keterlambatan dapat diketahui dari waktu konsentrasi. Perhitungan waktu konsentrasi dan waktu keterlambatan ditunjukan pada Tabel 10.

Tabel 10. Waktu konsentrasi (tc) dan waktu keterlambatan

L (ft) S (ft/ft) tc (menit) Waktu Keterlambatan (menit)

62,484 0,001 9,918 5,951

Analisis Debit Banjir Akibat Perubahan Intensitas Hujan

Setelah seluruh data masukkan diketahui, maka perangkat HEC-HMS dapat melakukan simulasi untuk menghasilkan hidrograf banjir. Data hujan yang digunakan adalah data hujan harian maksimum tahunan untuk data tahun 1986 sampai 2014. Pola distribusi yang digunakan adalah 3 jam dengan persentase 49,49 %, 39,44 % dan 11,07 %. Hasil simulasi dan grafik hidrograf sebelum dan sesudah pembangunan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 6 dan 7.

Page 192: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

172 Bandung, 12 September 2015

Tabel 11. Hidrograf banjir sebelum dan sesudah pembangunan

Waktu (jam) Q (m³/s) Sebelum Q (m³/s) Sesudah

0 0 0

0.5 0.00532 0.00614

1 0.02018 0.02327

1,5 0.02094 0.02415

2 0.0236 0.02722

2,5 0.00688 0.00794

3 0.00701 0.00808

3,5 0 0 4 0 0

Gambar 6. Grafik hidrograf banjir sebelum pembangunan

Gambar 7. Grafik hidrograf banjir sesudah pembangunan

Dari hidrograf yang dihasilkan, debit puncak banjir mengalami kenaikan setelah pembangunan Gedung PPAG mencapai 0,02722 m³/s dari 0,02360 m³/s yang merupakan debit puncak banjir kondisi eksisting. Dengan demikian, volume limpasan yang terjadi mengalami peningkatan sebesar 20 m³, dari 140 m³ menjadi 160 m³.

Page 193: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 173

Analisis Debit Sumur Resapan

Dengan skema sistem drainase yang ada pada Gambar 5, kolam parkir banjir dan sumur resapan akan direncanakan terletak pada sisi belakang daerah studi. Menurut peraturan yang terdapat pada diagram alir perencanaan teknis sumur resapan, sumur resapan dapat dibangun jika kedalaman muka air tanah lebih atau sama dengan 3,0 m dan koefisien permeabilitas lebih atau sama dengan 3,60×10-4 cm/s. Dari hasil Borlog didapatkan bahwa kedalaman muka air tanah adalah 16 m.

Besar koefisien permeabilitas untuk lapisan tersebut adalah 3,60×10-4 cm/s. Tebal lapisan akuifer adalah 2,0 m, ketinggian potentiomentric surface adalah 2,0 m dan jari - jari sumur resapan yang direncanakan adalah 0,5 m. Setelah dihitung melalui rumus Suripin didapatkan debit sumur resapan sebesar 0,0065 m³/s.

r

B

KBHQ

ln

2

(2)

Keterangan: Q : debit aliran (m3/s) K : koefisien permeabilitas tanah (m/s) B : tebal confined aquifer (m) H : ketinggian potentiometric surface R : jari – jari sumur

Tabel 12. Hubungan jumlah sumur resapan dengan waktu yang dibutuhkan untuk meresapkan

Jumlah Sumur Resapan Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Meresapkan (jam)

2 3,419

4 1,71

6 1,14

8 0,855

Perencanaan Kolam Retensi

Dimensi kolam retensi dapat ditentukan dengan melakukan penelusuran banjir berdasarkan metode SCS yang dapat dilihat pada Gambar 8. Sesuai dengan kondisi lahan yang tersedia maka alternatif dimensi kolam retensi yang paling sesuai adalah 7,0 x 11,0 m x 1,5 m dengan volume tampungan 115,5 m³. Untuk mengatasi debit banjir di atas dengan periode ulang 2 tahun, maka perlu penempatan sebuah pelimpah dengan tinggi 1,5 m.

Gambar 8. Hasil simulasi kolam retensi

Page 194: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

174 Bandung, 12 September 2015

1 m

Dengan menggunakan dimensi kolam retensi tersebut maka sesuai dengan syarat jarak minimum sumur resapan air hujan terhadap bangunan pada Tabel 1, jumlah sumur resapan yang dapat digunakan berjumlah 2 buah sumur resapan dengan diameter 1,0 meter. Sumur resapan akan diletakan di kolam retensi yang memiliki tinggi awal genangan sebesar 0,3 m sebagai fasilitas air cadangan untuk kebutuhan cuci dan sebagainya. Secara jelas, sketsa layout kolam retensi yang direncanakan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Sketsa layout kolam retensi dan sumur resapan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa pembangunan Gedung Arntz - Geise menyebabkan peningkatan debit puncak limpasan meningkat dari 0,02722 m³/s dari 0,02360 m³/s. Terjadinya peningkatan debit puncak limpasan permukaan mengakibatkan satu ruas saluran dalam sistem

11 m

7 m

1,5 m

3 m

3 m

3 m

3 m

3 m 3 m

3 m

1 m

2 m 2 m

Tampak Atas

Tampak Depan

Sumur Resapan

(d = 1 m)

Page 195: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 175

saluran GSG mengalami luapan sehingga dimensi saluran tersebut perlu diperbesar dari 0,3x0,4m menjadi 0,4x0,4m. Untuk mengendalikan kelebihan limpasan permukaan akibat pembangunan Gedung Arntz - Geise sistem drainase harus dilengkapi dengan kolam parkir banjir dengan volume sebesar 115,5 m³. Dalam studi ini, direncanakan bahwa kolam parkir banjir akan diletakan di depan Plaza Fisip dengan dimensi 7,0 m x 11,0 m x 1,5 m. Dengan menggunakan dimensi kolam 7,0 m x 11,0 m x 1,5 m, jumlah sumur resapan dengan diameter 1 meter berjumlah 2 buah dan debit sumur resapan mencapai 0,0065 m³/s.

Rekomendasi

Mempertimbangkan bahwa lahan kampus Unpar memiliki potensi untuk dapat meresapkan air hujan karena masih banyak terdapat lahan terbuka, disarankan agar studi selanjutnya menyertakan penyelidikan geoteknik secara detail pada lokas kolam retensi rencana untuk mendukung studi perencanaan sumur resapan.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Doddi Yudianto, Ph. D., yang telah banyak membantu dan membimbing selama proses pembuatan tulisan ini.

REFERENSI

Sunjoto. (2011). Teknik Drainase Pro-Air, Yogyakarta.

Sunjoto. (1987). Sistem Drainase Air Hujan yang Berwawasan Lingkungan. Makalah Seminar Pengkajian Sistem Hidrologi dan Hidrolika, PAU Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada.

Soemarto, CD. (1986). Hidrologi Teknik Usaha Nasional, Surabaya.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003). Panduan dan Petunjuk Pengelolaan Drainase Perkotaan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. (2003). Buku Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya.

Badan Standarisasi Nasional. (2002). SNI 03-2453-2002, Jakarta.

Butler, David and W. Davies, John. (2004). Urban Drainage Second Edition. Spon Press 11 New Fetter Lane, London EC4P4EE.

Hutasoit, Lambok M. (2009). "Kondisi Permukaan Air Tanah dan Tanpa Peresapan Buatan di Derah Bandung : Hasil Simulasi Numerik", Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 3 September 2009 : 177-188.

Gemilang, Galih dan Tarigan, Ahmad Perwira Mulia. (2013). Kajian Sumur Resapan Dalam Mereduksi Debit Banjir Pada Kawasan Perumahan Anugerah Lestari Kuala Gumit, Langkat, Medan.

Suripin. (2004). Sistem Drainase Berkelanjutan, Penerbit Andi. Yogyakarta.

Dephut. (1994). Pedoman Penyusunan Rencana Pembuatan Bangunan Sumur Resapan Air. Direktorat, Jakarta.

Page 196: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

176 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

EVALUASI KINERJA SISTEM DRAINASE PADA KAWASAN PEMUKIMAN DI BANDUNG TIMUR

Mesta Saktina1*, Doddi Yudianto1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia

*[email protected]

Abstrak

Seiring dengan terjadinya peningkatan curah hujan di berbagai wilayah termasuk Kota Bandung dan sekitarnya, studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak peningkatan curah hujan terhadap kapasitas saluran drainase, kapasitas kolam dan pola operasi pompa pada salah satu kawasan permukiman yang terletak di sisi Timur Kota Bandung yang saat ini masih dalam tahap pembangunan mengikuti hasil perencanaan pada tahun 2009. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan menyertakan data curah hujan terbaru tahun 2010-2014, diketahui bahwa terjadi peningkatan intensitas hujan maksimum sebesar 18 %. Sebagai konsekuensinya, debit banjir periode ulang 5 dan 10 tahun ikut meningkat dari 1,6 m3/s dan 1,84 m3/s menjadi 1,7 m3/s dan 2 m3/s. Namun demikian, sesuai dengan hasil evaluasi kapasitas saluran diketahui bahwa beberapa ruas saluran drainase yang tersedia mengalami luapan pada periode ulang 5 tahun dan 10 tahun. Dengan demikian untuk mengantisipasi luapan tersebut, dimensi saluran drainase tersebut perlu diperlebar sebesar 10 cm, semula saluran yang berdimensi 30x30 cm2, 40x40 cm2 dan 50x50 cm2 masing-masing berubah menjadi 40x30 cm2, 50x40 cm2 dan 60x50 cm2. Jika ditinjau dari kapasitas kolam dan pola operasi pompa, kapasitas kolam saat ini masih mampu untuk menampung volume limpasan permukaan meskipun sistem pompa yang diterapkan saat ini mengalami pola mati-hidup dengan banjir terkini pada periode ulang 2 dan 5 tahun.

Kata Kunci: kapasitas saluran drainase, perubahan hujan, pola operasi pompa

LATAR BELAKANG Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki pertumbuhan penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seiring dengan hal itu, Kota Bandung dituntut untuk selalu menyediakan fasilitas pemukiman yang baik. Wilayah Bandung yang direncanakan sebagai destinasi pemukiman adalah Bandung Timur. Hal ini berdasarkan pada peraturan daerah nomer 18 tahun 2011 bab 4 pasal 9 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Bandung yang berbunyi, pengembangan fasilitas sosial dan fasilitas umum baru skala kota dan wilayah akan di arahkan ke Wilayah Bandung Timur. Menanggapi peraturan tersebut, pengembangan suatu perkotaan harus diimbangi dengan pengembangan infrastruktur, diantaranya adalah sistem drainase. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan air, dimana kualitas dari suatu perkotaan dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada (Suripin, 2004).

Berdasarkan studi Jefry (2011) diketahui bahwa sistem drainase yang dibangun pada perumahan ini adalah sistem drainase yang berbasis polder, dengan pertimbangan bahwa elevasi tanah dasar di lokasi rencana (+7,099 m sampai +8,0814 m) lebih rendah dibandingkan dengan muka air banjir Sungai Cipamokolan +9,118 m, yang menyebabkan limpasan permukaan tidak dapat mengalir secara gravitasi ke badan air penerima. Selain itu perumahan ini dilengkapi dengan dua buah kolam detensi yang berfungsi sebagai pengendali limpasan permukaan sebelum dibuang ke Sungai Cipamokolan sebagai badan penerima dengan menggunakan pompa. Rendahnya daya dukung tanah asli dan keberadaan empat buah saluran irigasi menjadi alasan lain dalam penggunaan sistem drainase berbasis polder.

Page 197: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 177

Namun, seiring dengan perubahan iklim global, upaya untuk mengevaluasi kinerja sistem drainase menjadi langkah penting untuk menjamin kawasan tersebut menjadi bebas dari genangan. Jika dilihat berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Regi (2014) ada kecenderungan bahwa curah hujan yang terjadi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sehingga akan berpengaruh terhadap perubahan intensitas hujan. Oleh karena itu untuk menanggapi hal tersebut maka kapasitas saluran drainase yang ada perlu di tinjau kembali guna untuk mengetahui apakah saluran masih mampu atau tidak untuk mengendalikan limpasan permukaan. Disisi lain karena perumahan ini menerapkan sistem drainase yang berbasis polder maka dalam studi ini akan melihat dampaknya terhadap volume kolam maupun kapasitas atau pola operasi pompa. Gambar 1 dibawah ini merupakan site plan dari lokasi studi.

Gambar 1. Site Plan Kawasan Permukiman

METODOLOGI STUDI Studi ini dititikberatkan pada evaluasi kapasitas saluran, volume kolam beserta pola operasi pompa pada kawasan perumahan ini berdasarkan data hujan terbaru. Tahap awal dalam studi ini yaitu melakukan survei lokasi mengenai kondisi sistem drainase beserta studi pustaka sebagai acuan dalam melakukan analisis. Lalu melakukan pencarian data-data pada lokasi studi seperti data curah hujan, kapasitas kolam, pola pompa dan karakteristik hidraulik saluran. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis hujan untuk mengetahui adanya perubahan IDF serta perubahan debit banjir pada kawasan dengan tujuan untuk mengevaluasi kapasitas saluran drainase. Evaluasi kolam beserta pola operasi pompa dilakukan dengan perangkat lunak HEC-HMS. Jika pada tahap evaluasi saluran drainase terdapat ruas saluran yang meluap maka perlu dilakukan desain ulang terhadap dimensi saluran tersebut. Lalu evaluasi kolam beserta pola operasi pompa disimulasikan guna untuk mengetahui kapasitas kolam beserta pengaruhnya terhadap pola operasi pompa. Secara lengkap diagram alir studi dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 198: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

178 Bandung, 12 September 2015

Gambar 2. Diagram Alir Studi

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Data hujan yang diperoleh yaitu dari tahun 1986 sampai tahun 2014, lebih panjang 5 tahun di bandingkan studi terdahulu yang hanya sampai tahun 2009. Dengan trend data hujan yang semakin besar dari tahun ke tahun, maka untuk melakukan evaluasi kapasitas saluran drainase perlu dilakukan analisis lengkung IDF berdasarkan data hujan yang baru. IDF diperoleh dengan melakukan uji kelayakan data beserta analisis frekuensi. Periode ulang rencana yang digunakan dalam analisis yaitu 5 tahun dan 10 tahun. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikan intensitas curah hujan dengan penambahan data hujan 5 tahun terakhir. intensitas mengalami kenaikan maksimum sebesar 13,22 % untuk periode ulang 5 tahun dan 18 % untuk periode ulang 10 tahun seperti yang tersaji pada Gambar 3.

MULAI

Survei dan Identifikasi

masalah

Pengumpulan data

Studi Pustaka

Analisis Hujan

Evaluasi Volume Kolam Detensi dan Pola Operasi Pompa

Analisis Debit Banjir :

Hidrograf Satuan Sintetik SCS

Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase

SELESAI

Simpulan dan Saran

Terpenuhi ?

Tidak

Ya

Desain Ulang Dimensi Saluran

Terpenuhi ?

Tidak

Ya

Simulasi Pola Operasi Pompa

Analisis Debit Banjir :

Metode Rasional

Page 199: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 179

Gambar 3. Perbandingan IDF Tahun 1986-2009 dengan IDF Tahun 1986-2014 Periode Ulang 5 Tahun (kiri) dan 10 Tahun (kanan)

Pada studi ini terdapat data curah hujan maksimum tahunan yang diperoleh dari Stasiun Cemara yaitu tahun 1986 dampai 2014, dan data dari Stasiun Cibiru-Cisurupan yaitu tahun 2004 sampai 2014. Apabila dilakukan analisis frekuensi dengan data hujan yang ada seperti yang terlihat pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa curah hujan rencana Stasiun Cibiru-Cisurupan secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan curah hujan rencana dari Stasiun Cemara.

Gambar 4. Perbandingan Curah Hujan Rencana Stasiun Cemara dan Stasiun Cibiru-Cisurupan pada Berbagai Periode Ulang

Selain itu, untuk menanggapi bahwa kecenderungan curah hujan rencana Stasiun Cibiru-Cisurupan yang lebih besar dibandingkan dengan Stasiun Cemara dimana Stasiun Cibiru-Cisurupan yang lebih dekat dari lokasi studi maka perlu dilakukan pencarian kurva IDF dengan menggunakan persamaan Mononobe. Namun perlu dilakukan perubahan koefisien pada persamaannya yang diambil dari keofisien Mononobe Bandung. Pemilihan koefisien dibatasi dengan melihat durasi hingga 11 menit. Hal ini didasarkan pada waktu konsentrasi yang terjadi pada lokasi studi yang berkisar antara 2-11 menit. Setelah dilakukan perhitungan didapat nilai pangkat untuk periode ulang 5 tahun dan periode ulang 10 tahun adalah 0,731. Berdasarkan data hujan terkini, intensitas hujan yang terjadi mengalami peningkatan. Dengan demikian akan dikaji apakah kapasitas saluran yang terbangun masih mampu untuk mengalirkan air limpasan atau tidak, dimana saluran yang ada mengacu pada desain perencanaan tahun 2009. Evaluasi kapasitas saluran dilakukan dengan menggunakan metode rasional dengan periode ulang 5 dan 10 tahun yang merupakan syarat desain perencanaan sistem drainase yang berbasis polder. Hasil yang didapatkan seperti pada Tabel 1 dan 2.

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

0 50 100 150

Inte

nsi

tas

Hu

jan

(mm

)

Waktu (menit) Tahun…

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

140.0

160.0

2 5 10 20 25

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Periode Ulang (tahun)

Stasiun Cemara Stasiun Cibiru-Cisurupan

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

0 50 100 150

Inte

nsi

tas

Hu

jan

(mm

)

Waktu (menit) Tahu…

Page 200: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

180 Bandung, 12 September 2015

Tabel 1. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 5 Tahun

Nama Dimensi Saluran Ketinggian

Saluran b (m) h (m) Muka Air (m)

GA16 0,3 0,3 0,33

GA12 0,3 0,3 0,32

SB13 0,3 0,3 0,35

Tabel 2. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 10 Tahun

Nama Dimensi Saluran Ketinggian Nama Dimensi Saluran Ketinggian

Saluran b (m) h (m) Muka Air (m) Saluran b (m) h (m) Muka Air (m)

SA1 0,3 0,3 0,31 SB26 0,5 0,5 0,36

SA15 0,4 0,4 0,43 SD10 0,3 0,3 0,34

SA36 0,3 0,3 0,31 SD11 0,4 0,4 0,47

SA41 0,4 0,4 0,41 SD23 0,3 0,3 0,33

SA42 0,5 0,5 0,53 SD33 0,3 0,3 0,33

GA12 0,3 0,3 0,37 SE17 0,4 0,4 0,43

GA16 0,3 0,3 0,37 SE19 0,5 0,5 0,52

SB13 0,3 0,3 0,4 SE26 0,3 0,3 0,32

SB24 0,3 0,3 0,33 SE39 0,3 0,3 0,31

Hasil evaluasi saluran drainase menunjukan kenaikan debit maksimum dari 1,6 m3/s dan 1,84 m3/s yang merupakan desain awal menjadi adalah 1,726 m3/s dan 2 m3/s untuk periode ulang 5 dan 10 tahun. Akibatnya adalah muka air pada saluran mengalami kenaikan (Tabel 1 dan Tabel 2). Sehingga kapasitas dari beberapa ruas saluran yang terbangun saat ini tidak mencukupi. Oleh karena itu saluran tersebut perlu dilakukan pelebaran sebesar 10 cm agar kapasitas saluran bertambah. Hasil pelebaran saluran tahun dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 5 Tahun setelah Pelebaran

Nama Dimensi Saluran Ketinggian

Saluran b (m) h (m) Muka Air (m)

GA16 0,4 0,3 0,22

GA12 0,4 0,3 0,21

SB13 0,4 0,3 0,23

Tabel 4. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 10 Tahun setelah Pelebaran

Nama Dimensi Saluran Ketinggian Nama Dimensi Saluran Ketinggian

Saluran b (m) h (m) Muka Air (m) Saluran b (m) h (m) Muka Air (m)

SA1 0,4 0,3 0,20 SB26 0,6 0,5 0,29

SA15 0,5 0,4 0,33 SD10 0,4 0,3 0,22

SA36 0,4 0,3 0,20 SD11 0,5 0,4 0,36

SA41 0,5 0,4 0,32 SD23 0,4 0,3 0,22

SA42 0,6 0,5 0,42 SD33 0,4 0,3 0,22

GA12 0,4 0,3 0,24 SE17 0,5 0,4 0,33

GA16 0,4 0,3 0,24 SE19 0,6 0,5 0,41

Page 201: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 181

SB13 0,4 0,3 0,26 SE26 0,4 0,3 0,21

SB24 0,4 0,3 0,22 SE39 0,4 0,3 0,20

Perlu diketahui bahwa kawasan ini dilalui oleh empat buah saluran irigasi eksisting. Fungsi dari saluran irigasi ini yaitu untuk mendistribusikan air ke daerah selatan perumahan dimana terdapat daerah pertanian dan juga sekaligus sebagai saluran drainase untuk mengalirkan limpasan dari sisi utara perumahan. Di hilir dari saluran irigasi ini terdapat tiga buah gorong-gorong yang melintasi badan jalan tol Padalarang-Cileunyi. Saluran irigasi satu dan saluran irigasi dua menjadi satu saluran menuju gorong-gorong satu, saluran irigasi tiga menuju gorong-gorong dua dan saluran irigasi empat menuju gorong-gorong tiga. Namun keberadaan gorong-gorong dua ini tidak mampu untuk mengalirkan debit puncak saluran irigasi tiga dengan periode ulang 5 dan 10 tahun sehingga limpasan yang dikeluarkan melalui pelimpah akan masuk ke dalam sistem. Dengan demikian skema pemodelan HEC-HMS untuk evaluasi kapasitas kolam beserta pola operasi pompa diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Skema Pemodelan

Kawasan ini dibagi ke dalam tiga sub-kawasan, yaitu sub-kawasan 1, sub-kawasan 2, dan sub-kawasan 3. Fungsi dari sub-kawasan ini yaitu untuk membagi perumahan ke dalam wilayah yang lebih kecil, dimana sub-kawasan ini menentukan daerah mana saja yang berkontribusi terhadap masing-masing kolam. Air hujan yang jatuh pada sub-kawasan 1 akan dialirkan melalui saluran drainase yang diiringi dengan intervensi limpasan dari saluran irigasi 3 menuju kolam detensi 1. Sedangkan hujan yang jatuh di atas sub-kawasan 2 dan sub-kawasan 3 akan langsung diarahkan melalui saluran menuju kolam detensi 2. Air yang berada di kolam detensi 1 tidak secara langsung dibuang menuju badan air penerima, tetapi dipompa terlebih dahulu menuju kolam detensi 2. Kemudian air dari kolam detensi 2 langsung dipompa ke badan air penerima. Curah hujan rencana yang digunakan berasal dari analisis frekuensi yang diperoleh berdasarkan data hujan harian maksimum tahunan dari Stasiun Cibiru-Cisurupan. Studi ini mengasumsikan bahwa durasi hujan yang terjadi tidak berubah, yaitu 3 jam. Durasi hujan berdasarkan pada data pola distribusi hujan dari BMKG Bandung antara tahun 2005-2009 yang diperoleh dari studi terdahulu. Tabel 5 merupakan hidrograf banjir yang dihasilkan dari masing-masing sub-kawasan, dimana dalam perangkat lunak HEC-HMS hidrograf banjir ini akan menghasilkan besarnya volume limpasan. Volume limpasan tersebut akan digunakan sebagai data dalam evaluasi kolam beserta pompa.

SUB-KAWASAN 1

LenggorSUB-KAWASAN 2 Mekar SariSUB-KAWASAN 3

LIMPAHAN DARI SALURAN IRIGASI 3

PENERIMA

KOLAM 1

AIR CINYUSU

Page 202: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

182 Bandung, 12 September 2015

Tabel 5. Hidrograf Banjir Sub-kawasan 1, 2 dan 3

Waktu Periode Ulang 2 Tahun Periode Ulang 5 Tahun Periode Ulang 10 Tahun

( jam )

Q1

(m3/s) Q2

(m3/s) Q3

(m3/s) Q1

(m3/s) Q2

(m3/s) Q3

(m3/s) Q1

(m3/s) Q2

(m3/s) Q3

(m3/s)

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0,5 0,033 0,041 0,038 0,08 0,101 0,094 0,116 0,145 0,135

1 0,168 0,207 0,194 0,293 0,359 0,336 0,373 0,457 0,427

1,5 0,225 0,267 0,25 0,359 0,424 0,396 0,441 0,52 0,486

2 0,259 0,306 0,286 0,393 0,462 0,432 0,474 0,556 0,52

2,5 0,136 0,149 0,139 0,204 0,221 0,207 0,244 0,265 0,248

3 0,093 0,105 0,098 0,137 0,154 0,144 0,163 0,183 0,171

3,5 0,027 0,026 0,024 0,04 0,038 0,036 0,048 0,045 0,042

4 0,006 0,005 0,004 0,009 0,007 0,006 0,01 0,008 0,008

4,5 0,001 0,001 0,001 0,002 0,001 0,001 0,002 0,001 0,001

5 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Proses simulasi dilakukan dengan kondisi awal air pada level 0,2 m dari dasar kolam dengan posisi elevasi intake pompa yang sama. Interval waktu yang digunakan adalah 2 menit, dengan tujuan untuk mendapatkan hasil simulasi yang akurat. Pada studi ini dilakukan tiga jenis skenario. Skenario ini berdasarkan pada data curah hujan rencana dengan berbagai periode ulang. Tabel 6 adalah rincian dari skenario tersebut

Tabel 6. Simulasi Operasi Pompa dengan Data Hujan Stasiun Cibiru-Cisurupan

Skenario Data Hujan Periode Ulang

Tahun 2004-2014 2 Tahun 5 Tahun 10 Tahun

1

2 3

Pola operasi pompa yang digunakan adalah pola operasi existing yang didapat dari hasil studi sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, akan dilihat pengaruh hujan terbaru terhadap volume kolam detensi dan pola operasi pompa. Dengan demikian didapatkan hasil seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Evaluasi Kolam Detensi untuk Periode Ulang 2, 5 dan 10 Tahun

Parameter Periode Ulang 2

Tahun Periode Ulang 5

Tahun Periode Ulang 10

Tahun

Kolam 1 Kolam 2 Kolam 1 Kolam 2 Kolam 1 Kolam 2

Tinggi air maksimum di kolam (m) 1,206 0,721 1,402

1,793 2,062 2,821

Tinggi jagaan (m) 1,294 2,779 1,098 1,707 0,438 0,679

Waktu operasi pompa (menit) 92 160 206 204 276 212

Waktu mulai operasi (menit) 62 62 50 50 40 42

Volume air pada kolam saat ini masih berada pada kondisi aman, yaitu tidak melebihi kapasitas kolam yang ada dan tinggi air di kolam masih berada pada batas kedalaman kolam. Dengan melihat ketinggian air tersebut, dapat disimpulkan bahwa kolam detensi 1 maupun kolam detensi 2 masih mampu untuk menampung limpasan yang terjadi. Selanjutnya yaitu melihat pengaruh pola operasi pompa terhadap hujan terbaru. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, hasil penerapan pola operasi pompa eksisting

Page 203: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 183

yang mengikuti perencanaan tahun 2009 mengalami pola pompa yang berfluktuasi. Hal ini ditunjukan dengan pola pompa yang mengalami mati-hidup untuk periode ulang 2 tahun dan 5 tahun. Untuk periode ulang 2 tahun, pola pompa yang mengalami mati-hidup terlihat pada kolam detensi 1 maupun kolam detensi 2. Khusus untuk kolam detensi 2 pola pompa mengalami mati-hidup dalam rentan waktu yang singkat. Lalu untuk periode ulang 5 tahun pola pompa yang mengalami mati-hidup terlihat pada kolam detensi 1. Sedangkan untuk hujan dengan periode ulang 10 tahun tidak terjadi masalah pada pola operasi pompa. Pola pompa yang mengalami kejadian mati-hidup dapat dikatakan tidak efisien karena dapat menyebabkan konsumsi listrik pompa lebih boros serta umur dari motor listrik akan lebih pendek yang secara langsung ada kaitannya terhadap biaya, namun dalam studi ini tidak dibahas lebih lanjut. Setelah dikaji lebih lanjut pola pompa yang mengalami mati-hidup untuk periode ulang 2 tahun untuk kolam detensi 1 diakibatkan oleh 1 pompa utama dan untuk kolam detensi 2 diakibatkan oleh 3 pompa utama, sedangkan untuk periode ulang 5 tahun untuk kolam detensi 1 diakibatkan oleh 2 pompa utama. Rincian pola operasi pompa tersaji dalam Gambar 6, 7, dan 8.

Gambar 6. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 2 Tahun

Gambar 7. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 5 Tahun

Page 204: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

184 Bandung, 12 September 2015

Gambar 8. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 10 Tahun

Untuk menyesuaikan pola pompa pada kondisi hujan terkini, maka perlu dilakukan perubahan pada pola operasi pompa. Pola operasi pompa yang diperoleh harus dapat mengatasi hujan dengan periode ulang 2, 5 dan 10 tahun. Setelah simulasi dilakukan hasil penerapan pola operasi yang baru disajikan pada Tabel 8-10 dan Gambar 9-11

Tabel 8. Perbandingan Pola Operasi Pompa Lama dan Baru pada Kolam Detensi 1

Jenis Pompa On Elevation (m) Off Elevation (m)

Pola lama Pola baru Pola lama Pola baru

Pompa Utama Grundfos SEN 1 1,2 0,8 0,75 0,75

Grundfos SEN 2 1,2 1,4 0,55 0,4

Grundfos SP 270 G 3 1,25 1,25 0,5 0,3

Pompa Cadangan Grundfos SP 270 G 4 1,7 1,7 1,4 1,4

Tabel 9. Perbandingan Pola Operasi Pompa Lama dan Baru pada Kolam Detensi 2

Jenis Pompa On Elevation (m) Off Elevation (m)

Pola lama Pola baru Pola lama Pola baru

Pompa Utama Grundfos SEN 1 0,7 0,65 0,7 0,65

Grundfos SEN 2 0,7 0,6 0,7 0,4

Grundfos SEN 3 0,7 0,6 0,7 0,4

Grundfos SEN 4 0,7 0,6 0,5 0,44

Grundfos SEN 5 0,7 0,6 0,3 0,2

Pompa Cadangan Grundfos SEN 6 2,3 2,3 2,2 2,2

Page 205: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 185

Tabel 10. Hasil Penerapan Pola Operasi Pompa Baru untuk Periode Ulang 2, 5 dan 10 Tahun

Parameter Periode Ulang 2

Tahun Periode Ulang 5

Tahun Periode Ulang 10

Tahun

Kolam 1 Kolam 2 Kolam 1 Kolam 2 Kolam 1 Kolam 2

Tinggi air maksimum di kolam (m) 1,272 0,617 1,413 1,82 2,058 2,77

Tinggi jagaan (m) 1,228 2,883 1,087 1,68 0,442 0,73

Waktu operasi pompa (menit) 256 180 248 190 276 204

Waktu mulai operasi (menit) 54 56 44 46 40 42

Gambar 9. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 2 Tahun

Gambar 10. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 5 Tahun

Page 206: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

186 Bandung, 12 September 2015

Gambar 11. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 10 Tahun

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

1. Berdasarkan penambahan data hujan yang baru (2010-2014), diketahui bahwa intesitas hujan tahun 1986-2014 mengalami kenaikan sebesar 13,22 % untuk periode ulang 5 tahun dan 18 % untuk periode ulang 10 tahun jika dibandingkan hujan tahun 1986-2009

Kapasitas saluran drainase yang ada tidak mampu untuk mengendalikan limpasan permukaan dengan periode ulang 5 tahun dan 10 tahun jika dihadapkan dengan IDF Mononobe Cibiru-Cisurupan, beberapa ruas saluran pada sistem drainase mengalami luapan. Dengan demikian untuk mengantisipasi luapan tersebut, dimensi saluran tersebut diperlebar 10 cm, yang semula berdimensi 30x30 cm2, 40x40 cm2 dan 50x50 cm2 menjadi 40x30 cm2, 50x40 cm2 dan 60x50 cm2

Dengan data hujan yang baru, kapasitas kolam saat ini masih mampu untuk menampung volume limpasan permukaan meskipun pompa yang ada menunjukan pola operasi yang berfluktuasi. Hal ini ditunjukan oleh pola operasi pompa utama pada masing-masing kolam detensi yang mengalami mati-hidup pada periode ulang 2 tahun dan 5 tahun.

Rekomendasi

Untuk mendapatkan informasi pengaruh pola operasi pompa terhadap hujan yang lebih rinci maka perlu dilakukan kajian dengan data hujan maksimum yang berbasis bulanan.

REFERENSI

Soemarto, CD. (1986). Hidrologi Teknik. Usaha Nasional, Surabaya.

Butler, David., and W.D. John. (2004). Urban Drainage. Second Edition. Taylor & Francis e-Library.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003). Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan. Jakarta.

Gandwinatan, Jefry. (2011),‖Perancangan Sistem Semi Polder Perumahan The Marakesh Margahayu Kota Bandung‖, ST. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (2014). Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Nomor 12. Jakarta.

Peraturan Daerah Kota Bandung. (2011). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. Nomor 18 bab 4 pasal 9. Bandung.

Page 207: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 187

Kodoatie, Robert J. 2013. Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota. Penerbit Andi,Yogyakarta.

Aryansyah, Regi. (2014),‖Evaluasi Kapastitas Saluran Drainase di Universitas Katolik Parahyangan Jalan Ciumbuleuit‖, ST. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi,Yogyakarta.

Soil Conservation Services. (1972). National Engineering Handbook, section 4. U.S Department of Agricultural. Washington D.C.

Chow, V.T. (1959), Open-Channel Hydraulics, McGraw-Hill.

Chow, V.T., D.R. Maidmant, and L.Z. Mays. (1988). Applied Hidrology. McGraw-Hill, Singapore.

Page 208: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

188 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

UPAYA PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI CICADAS KOTA BANDUNG

Dwi Aryani Semadhi1, Winskayati1

1Balai Besar Wilayah Sungai Citarum

Abstrak

Sungai Citarum memiliki beberapa anak sungai yang melalui Kota Bandung antara lain Sungai Cicadas, ,mengalir melewati Kota Bandung dari arah utara kearah selatan dan bermuara di Sungai Citarum. . Sungai Cicadas sebagai salah satu sungai di kawasan perkotaan yang berhulu di daerah Dago, mengalir melalui beberapa kecamatan di Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di Kabupaten Bandung, sering mengalami banjir pada musim penghujan di lokasi-lokasi tertentu terutama di daerah Kelurahan Cicadas. Banjir terjadi diakibatkan adanya sedimentasi dan sampah yang menutupi badan sungai, banyak berdirinya bangunan liar di bantaran dan sempadan sungai yang mempersempit badan sungai serta adanya utilitas yang terpasang sembarangan (kabel listrik, kabel telepon dan pipa PDAM) yang melintasi sungai atau diletakan di tembok pasangan (TPT) sungai. Untuk mengatasi hal tersebut upaya BBWS Citarum dalam pengendalian banjir Sungai Cicadas yaitu melakukan perbaikan sungai dan pemeliharaan sungai dengan cara normalisasi sungai, menerapkan sempadan sungai sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, melakukan pemberdayaan masyarakat yang berdomisili di sepanjang alur sungai, dan berkoordinasi antar instansi dalam rangka memenuhi utilitas yang diperlukan masyarakat Dengan melakukan kegiatan normalisasi sungai dan pemeliharaan sungai yang berwawasan lingkungan serta peran serta masyarakat yang berdomisili disepanjang alur sungai diharapkan kondisi sungai dimasa yang akan datang menjadi lestari

Kata Kunci: Sungai Cicadas, banjir, sempadan sungai, peran serta masyarakat

LATAR BELAKANG Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat, mengalir sepanjang lebih kurang 269 km yang diawali dari mata air di Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, mengalir melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, membagi daerah administrasi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede ke hilir dan berakhir dari Muara Gembong sebagai muara Sungai Citarum ke Laut Jawa.

Sungai Citarum memiliki beberapa anak sungai yang melalui Kota Bandung antara lain Sungai Cicadas, Sungai Cidurian, Sungai Cipamokolan, Sungai Cikapundung Kolot, Sungai Citepus, Sungai Cingised dan beberapa anak sungai lainnya yang mengalir melewati Kota Bandung dari arah utara kearah selatan dan bermuara di Sungai Citarum.

Kota Bandung yang dilalui beberapa anak sungai dikarenakan ketidak pedulian masyarakatnya yang berdomisili sepanjang alur sungai terhadap sungai dengan membuang sampah sembarangan, maka anak-anak sungai tersebut kadang-kadang atau sering menimbulkan banjir di Kota Bandung.

Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum mempunyai tugas dan fungsi antara lain melakukan perbaikan sungai dan pemeliharaan sungai yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja (Satker) Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air Citarum.

Untuk melakukan rencana perbaikan dan pemeliharaan sungai sebelumnya diperlukan dahulu kegiatan penunjang yaitu melakukan audit teknis sungai agar diketahui kondisi infra struktur yang berada di sungai dan upaya apa yang akan dilakukan, apakah melakukan normalisasi sungai atau perbaikkan sungai yang diperlukan atau kedua-duanya kegiatan tersebut

Page 209: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 189

Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari kajian ini untuk menginformasikan kondisi anak Sungai di Wilayah Sungai Citarum yang memerlukan perhatian khusus dan apa yang harus dilakukan BBWS Citarum dalam upaya pengendalian banjir di kawasan sungai perkotaan, apakah dengan melakukan perbaikkan sungai atau melakukan operasi dan pemeliharaan sungai dengan bertujuan agar anak sungai yang melalui perkotaan dalam kondisi terpelihara serta pelaksanaannya dapat melibatkan peran serta masyarakat yang berdomisili di sepanjang alur sungai sehingga masyarakat memahami dan peduli terhadap kelestarian sungai

Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup kajian ini dibatasi hanya untuk meninjau dan membahas terjadinya banjir dari Sungai Cicadas sebagai salah satu sungai di kawasan perkotaan di Kota Bandung yang berhulu di daerah Dago, kemudian mengalir melalui beberapa kecamatan di Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di Kabupaten Bandung.

Gambaran Umum Kota Bandung

Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di daerah utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah selatan 675 mdpl, Di wilayah Kota Bandung bagian selatan sampai lajur lintasan kereta api, permukaan tanah relatif datar sedangkan di wilayah kota bagian Utara berbukit-bukit yang menjadikan panorama indah

Kota Bandung memliki Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh seorang camat, 139 kelurahan/ Desa yang masing-masing dikepalai oleh seorang lurah / kepala desa, 1.494 Rukun Warga (RW) yang masing-masing diketuai oleh seorang Ketua RW, 9.205 Rukun Tetangga (RT) yang masing-masing dikepalai oleh seorang Ketua RT.

Adapun batas wilayah Kota Bandung adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Cimahi

Jumlah Penduduk Kota Bandung tahun 2012 adalah sebanyak 2.455.517 jiwa. Berikut adalah sebaran dan kepadatan penduduk Kota Bandung tahun 2012. Komposisi penduduk laki-laki sebanyak 1.246.122 orang dan penduduk perempuan sebanyak 1.209.395 orang.

Rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung 14.676 Km² . Bila dillihat dari per kecamatan yang merupakan daerah terpadat dengan kepadatan penduduk 39.282 jiwa/Km². Jumlah rumah tangga di Kota Bandung dengan rata-rata 4 jiwa per rumah tangga. Peta Kota Bandung dapat dilihat seperti pada peta dibawah ini:

Page 210: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

190 Bandung, 12 September 2015

Gambar 1. Peta Kota Bandung. Sumber: Rencana Pola Ruang RT/RW Kota Bandung

Kondisi Eksisting

Sungai Cicadas adalah merupakan salah satu anak Sungai Citarum yang melintasi Kota Bandung dan di lokasi-lokasi tertentu sering terjadi banjir. Sungai Cicadas mempunyai panjang 18 km dengan debit maksimum rata-rata sebesar 17 m³/detik dan debit minimum 0,6 m³/det yang melewati Kecamatan Cibeunying Kaler, Kecamatan Cibeunying Kidul, menuju Kelurahan Cikutra melintasi Kelurahan Cicadas, kemudian ke Kecamatan Kiara Condong, menuju ke Kecamatan Buah Batu dan bermuara pada Sungai Citarum di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung

Sungai Cicadas saat ini secara umum terdapat beberapa kondisi alur sungainya yang kurang baik antara lain adanya :

1. Sedimentasi dan sampah yang menutupi badan sungai

2. Kualitas air yang rendah akibat adanya limbah rumah tangga dan limbah pabrik

3. Banyak berdirinya bangunan liar di bantaran dan sempadan sungai

4. Utilitas yang terpasang sembarangan

Kondisi Sungai Cicadas di beberapa lokasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Kondisi Sungai Cicadas di Lokasi Cikutra (Sumber Hasil Survei)

Page 211: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 191

Gambar 3. Kondisi Sungai Cicadas di Lokasi Dekat Jalan Surapati. Sumber: Hasil Survei

Gambar 4. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Jalan Katamso. Sumber: Hasil Survei

Gambar 5. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Pasar Cicadas. Sumber: Hasil Survei

Page 212: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

192 Bandung, 12 September 2015

Gambar 6. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Pasar Cicadas. Sumber: Hasil Survei

Gambar 7. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi di Babakan Sari Kec. Kiara Condong . Sumber: Hasil Survei

Gambar 8. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi setelah Jalan TOL. Sumber: Hasil Survei

Page 213: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 193

Gambar 9. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi di dekat Perumahan PDAM. Sumber: Hasil Survei

METODOLOGI STUDI Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan cara pengumpulan data-data primer yaitu melakukan langsung Survei lapangan untuk mendapatkan kondisi lapangan saat ini , wawancara baik dengan petugas di lapangan dan masyarakat setempat, mengumpulkan data sekunder dari laporan konsultan dan literatur yang lain, mengkaji dan menganalisa data-data yang diperoleh serta mengkaji kondisi lapangan, melakukan pembahasan.dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan dan rekomendasi

HASIL kajian DAN PEMBAHASAN Permasalahan yang pada Sungai Cicadas yang paling utama antara lain::

1. Masalah Sedimentasi dan Sampah

Masalah sedimentasi yang terjadi disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan pada hulu sungai yang tadinya lahan konservasi menjadi ladang dan pemukiman, sehingga apabila terjadi hujan akan terjadi aliran permukaan yang cukup besar dikarenakan tidak ada peresapan sehingga akan mengakibatkan terjadinya erosi di hulu dan terjadi sedimentasi di hilir sungai. Selain sedimentasi masih banyaknya sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat ke sungai, sehingga sering menyebabkan terjadi banjir dilokasi-lokasi tertentu terutama di daerah kelurahan Cicadas

2. Masalah kualitas air

Masalah kualitas air yang terjadi pada Sungai Cicadas adalah disebabkan adanya limbah rumah tangga dan limbah pabrik yang dibuang langsung ke sungai, sehingga menjadi penyebab pencemaran terhadap kualitas air

3. Masalah Bangunan liar

Berdirinya bangunan liar seperti rumah penduduk yang menjorok ke sungai dan bangunan rumah yang menggunakan sempadan sungai atau kios-kios pedagang yang berdiri di bantaran sungai, hal ini mungkin disebabkan jumlah penduduk Kota Bandung yang terus berkembang.sehingga kebutuhan lahan yang terus meningkat

4. Utilitas yang terpasang sembarangan

Adanya kabel-kabel listrik atau kabel telepon serta pipa-pipa PDAM yang terpasang secara sembarangan yaitu kabel-kabel di tempel ditembok pasangan (Tembok Penahan Tanah) sungai atau melintas sungai sehingga dapat menghalangi jalannya air apabila terjadi debit banjir..

Page 214: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

194 Bandung, 12 September 2015

PEMBAHASAN PERMASALAHAN

Dengan melihat kondisi Sungai Cicadas seperti saat ini di lapangan, sehingga kemungkinan besar akan terjadi genangan pada lokasi-lokasi tertentu, yang mana genangan banjir terjadi diakibatkan :

1. Banyaknya sedimen dan sampah di badan sungai, sehingga palung sungai tidak mampu untuk melewatkan debit banjir

2. Adanya penyempitan badan sungai oleh masyarakat yang digunakan untuk pemukiman dan kios-kios untuk berjualan

3. Adanya utilitas yang dipasang sembarangan yang menghambat jalannya air banjir

Dari kondisi Sungai Cicadas seperti itu, sebaiknya dari instansi yang berwenang (BBWS Citarum) dapat melakukan kegiatan penanganan yang akan mendorong kepada pelestarian Sungai Cicadas sebagai upaya pengendalian banjir di lokasi yang mempunyai penampang sungai bermasalah dan yang mengalami penyempitan dengan cara:

1. Melakukan inventarisasi kondisi sungai, sehingga dari hasil inventarisasi dapat diketahui di lokasi mana harus dilakukan normalisasi sungai dengan melakukan pengerukan atau mengembalikan lebar sungai ke lebar semula disesuaikan dengan besarnya debit banjir tertentu (debit banjir rencana) yang kemungkinan akan terjadi pada sungai tersebut.

2. Menerapkan sempadan sungai sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, yaitu untuk sungai dalam kawasan perkotaan yang tidak bertanggul sempadan sungai:

a. paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 m (tiga meter)

b. paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (duapuluh meter), dan

c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih 20 m (dua puluh meter)

d. Sedangkan untuk sungai di kawasan perkotaan yang bertanggul garis sempadan sungai ditentukan paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai

3. Memberikan sanksi kepada instansi yang memanfaatkan badan sungai tanpa izin sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku

4. Pemberdayaan masyarakat yang berdomisi di sekitar sungai dengan melakukan sosialisasi agar masyarakat memahami fungsi dan manfaat sungai serta masyarakat dapat berperan serta aktif dalam kegiatan yang dilakukan oleh BBWS Citarum

5. Melakukan pemeliharaan sungai secra rutin, berkala ataupun apabila terjadi kondisi darurat (bencana), sehingga Sungai Cicadas dapat terpelihara dengan baik dan bersih

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini adalah antara lain:

1. Instansi yang berwenang (BBWS Citarum) untuk segera melakukan kegiatan penanganan Sungai Cicadas sebagai upaya pengendalian banjir di lokasi yang mempunyai penampang sungai bermasalah dengan adanya sedimentasi, penyempitan badan sungai akibat dari bangunan liar yaitu

Page 215: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 195

dengan melakukan normalisasi sungai yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemeliharaan sungai yang berkelanjutan.

2. Menerapkan pelaksanaan penetapan garis sempadan sungai sesuai dengan aturan peraturan yang berlaku

3. Diperlukan pemberdayaan kepada masyarakat yang berdomisili disepanjang alur sungai, agar masyarakat memahami fungsi dan manfaat dari sungai dan masyarakat secara sukarela dapat berperan serta aktif dalam pemeliharaan sungai

4. Diperlukan koordinasi yang baik antar instansi dalam rangka memasang sarana dan prasarana yang diperlukan masyarakat pada sempadan sungai

Rekomendasi

Dari kajian ini dapat direkomendasikan antara lain:

1. Dalam penerapan sempadan sungai diperlukan keberanian pemerintah untuk pelaksanaannya dalam menerapkan peraturan yang berlaku, serta untuk pelaksanaannya dapat bekerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat

2. Untuk kelestarian sungai di lokasi-lokasi tertentu dapat direncanakan suatu restorasi sungai, agar masyarakat dapat menikmati keindahan suatu sungai kawasan perkotaan yang terpelihara dengan baik

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum

2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Operasi dan Pemeliharaan SDA- II

REFERENSI

Anonim 2014. Laporan Akhir Audit Teknis Operasi dan Pemeliharaan Sungai

Anonim, 2012. Buku Pfofil Balai Besar Wilayah Sungai Citarum

Anonim 2012. Kota Bandung dalam Angka.

Anonim 2011. Peraturan Pemerintah tentang Sungai

Page 216: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

196 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PENGGUNAAN BIOPORI SEBAGAI ALTERNATIF MENGURANGI GENANGAN BANJIR DAERAH PERKOTAAN

Achmad Syarifudin1*, Hendri2, Mega Yunanda3

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Bina Darma / HATHI Sumatera Selatan 2BBWSS-VIII/HATHI Sumatera Selatan

3Program Studi Teknik Sipil, Universitas Palembang *[email protected]

Abstrak

Salah satu teknologi sederhana dalam mengatasi genangan banjir adalah metode resapan air dengan cara meningkatkan daya resap air ke dalam tanah yaitu biopori. Selain mempercepat peresapan air hujan, biopori juga mengatasi sampah organic. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Lubang resapan biopori merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat diterapkan oleh semua kalangan masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Selain itu, lubang resapan biopori juga dapat membantu dalam mengurangi penumpukan sampah organik serta membantu menyuburkan tanah. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah secara empiris analisis deskriptif.Hasil penelitian didapatkan terjadi penurunan debit aliran sebelum dipasang biopori yang sebelumnya adalah sebesar Q = 0,2617 m3/det dengan priode ulang banjir 2 tahun (Q2). Sedangkan setelah dibangun /dipasang biopori adalah sebesar Q = 0,1896 m3/det atau terjadi penurunan debit aliran yang cukup signifikan yaitu sebesar 27,55% dengan asumsi C (koefisien pengaliran) adalah 30% dari koefisien kedap air.

Kata kunci: banjir/genangan, biopori, debit aliran limpasan

LATAR BELAKANG Kota Palembang sebagian besar merupakan daerah rawa dengan situasi yang hampir sepanjang tahun dalam kondisi tergenang. Daerah rawa ini berfungsi sebagai penampung air hujan dan pengaliran air dari lingkungan disekitarnya dan juga sebagai sarana pengaliran alami. Secara umum daerah rawa di kota Palembang memiliki elevasi tanah yang rendah dari pada tanah disekitarnya. Sungai yang melintas di daerah rawa seakan-akan hanya merupakan rawa yang diberi badan/dinding sungai, sehingga elevasi dasar sungai tidak terlalu dalam dibanding elevasi dasar rawa itu sendiri.

Seiring dengan perkembangan kota Palembang efek buruknya pun timbul. Terjadinya penimbunan di daerah rawa dan gangguan oleh bangunan disepanjang sungai serta adanya alih fungsi lahan rawa menjadi daerah pemukiman atau fasilitas lainnya dengan cara penimbunan tentunya akan mengurangi kapasitas penampungan air hujan Dengan kondisi kapasitas sungai yang nampaknya masih terlalu kecil mengakibatkan wilayah kota Palembang ini sangat rentan terhadap banjir.

Salah satu teknologi sederhana dalam mengatasi genangan banjir adalah metode resapan air dengan cara meningkatkan daya resap air ke dalam tanah yaitu biopori. Selain mempercepat peresapan air hujan, biopori juga mengatasi sampah organik (Brata, K. R. dan Nelistya, 2008).

Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah.

Page 217: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 197

y = 0,008x + 0,2517 R² = 0,9364

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0 2 4 6 8 10 12

Deb

it (m

3 /de

t)

Waktu (jam)

Lubang resapan biopori merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat diterapkan oleh semua kalangan masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Selain itu, lubang resapan biopori juga dapat membantu dalam mengurangi penumpukan sampah organik serta membantu menyuburkan tanah.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah secara empiris analisis deskriptif dengan kondisi eksisting yaitu pada kampus Universitas Bina Darma.

METODOLOGI STUDI Pendekatan dalam penelitian ini adalah analisis empiris dengan menggunakan rumus Q = 0,278.C.I.A dan hasil analisis di buat ploting secara deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian adalah kampus Universitas Bina Darma. Data sekunder adalah data curah hujan maksimum bulanan yang tercatat di stasiun curah hujan dari BMKG tahun 2012. Sedangkan data primer adalah soil investigation hand bor untuk mengetahui struktur tanah di lokasi penelitian.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Debit aliran pada daerah aliran yang mausk ke areal kampus Universitas Bina Darma sebelum dipasang biopori adalah sebesar Q = 0,2617 m3/det dengan priode ulang banjir 2 tahun (Q2). Sedangkan setelah dibangun /dipasang biopori adalah sebesar Q = 0,1896 m3/det dengan asumsi C (koefisien pengaliran) adalah 30% dari koefisien kedap air.

Dari hasil perhitungan dapat dikatakan bahwa pemasangan biopori menghasilkan penurunan debit aliran yang cukup signifikan yaitu sebesar 27,55%. Hal ini berarti limpasan yang terjadi akan berkurang karena adanya biopori yang terpasang di daerah genangan banjir. Seperti terlihat pada grafik gambar 1.

Gambar 1. Grafik debit aliran sebelum ada biopori

(Sumber: hasil analisis, 2014)

Page 218: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

198 Bandung, 12 September 2015

y = 0,0058x + 0,1824 R² = 0,9366

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0 2 4 6 8 10 12

Deb

it (m

3 /de

t)

Waktu (jam)

Gambar 2. Grafik debit aliran setelah ada biopori

(Sumber: hasil analisis, 2014)

Dari grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan hasil ploting yang menunjukkan penurunan debit sebelum dan sesudah dibangun biopori bukan merupakan gambar hidrograf aliran sehingga dari gambar tersebut terlihat sebelum ada biopori debit aliran rerata sebesar 3 m3/det dan setelah ada biopori, maka debit aliran menurun rerata sebesar 2 m3/det.

Biopori yang diperlukan sebanyak 180 buah berdasarkan laju peresapan aliran ke dalam tanah sebesar 9 liter/menit atau sebesar 1,5 x 10-4 m3/det.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil analisa perhitungan penggunaan biopori dapat disimpulkan bahwa :

1. Aliran limpasan yang terjadi sebelum dipasang sebesar 0,86 m3 dan setelah dibangun biopori adalah menurun sebesar 0,62 m3. Terjadi penurunan sebesar 72,09%.

2. Debit limpasan untuk periode ulang 2 tahun (Q2) sebesar 0,2617 m3/det sebelum di pasang, turun menjadi 0,1896 m3/det setelah dipasang biopori dengan laju peresapan aliran ke dalam tanah yaitu sebesar 9 liter/detik atau sebsesar 1,5 x 10-4 m3/det.

3. Banyaknya biopori yang digunakan di daerah studi yaitu sebesar 180 buah dengan ukuran setiap biopori adalah berdiameter 10 cm dan kedalaman 1,00 m.

4. Sebagai tindak lanjut penelitian ini adalah diperlukan kajian Interrelation system drainase yang disesuaikan dengan sub-sistem antar DAS dan Sub DAS secara komprehensif dan berkelanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan ucapan terima kasih kepada ketua HATHI Sumatera Selatan/Kepala BBWSS-VIII Ir. Bistok Simanjuntak, Dipl. HE dan Sekretaris HATHI Sumatera Selatan, Ir. H. Hendri, ST, M.Si yang berkenan memberikan bantuan kepada penulis terutama dalam penyiapan data sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Page 219: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 199

REFERENSI

Indarto, 2010. Hidrologi (Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Sibarani dan Didik Bambang., Penelitian Biopori untuk Menentukan Laju Resap Air. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS, Subabaya, [email protected]

Brata, K. R. dan Nelistya, 2008. Lubang Resapan Biopori. Penebar Swadaya Jakarta

_____, 2010. Lubang Resapan Biopori. Kementerian Lingkungan Hidup

Page 220: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

200 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

OPTIMASI SISTEM PERKUATAN TANGGUL BANJIR SUNGAI TEMBUKU DALAM MENANGGULANGI POTENSI BANJIR KOTA JAMBI

Slamet Lestari1*

1Puslitabang Sumber Daya Air *[email protected]

Abstrak

Telah dilakukan penelitian berkaitan dengan optimasi sistem perkuatan tanggul Sungai Tembuku sebagai salah satu bagian dari sistem pengendali banjir di Kota Jambi dan sekitarnya. Lokasi penelitian terbagi dalam 2 bagian, yaitu untuk identifikasi banjir dilakukan pada seluruh segmen Sungai Tembuku dengan panjang total ± 6 km, sedangkan optimasi detail sistem perkuatan tanggul banjir difokuskan pada segmen hilir Sungai Tembuku dengan panjang segmen sungai ± 400 m. Evaluasi dilakukan berdasarkan data pengukuran topografi sungai, data debit banjir, data parameter geoteknik, dan data rencana bangunan perkuatan tebing awal. Analisis dilakukan dengan cara evaluasi lapangan yang dibantu dengan menggunakan bantuan piranti lunak Mike11 dan Plaxis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem perkuatan tanggul masih terlewati oleh air banjir mulai dari debit banjir 2 tahunan. Sistem tiang pancang yang direncanakan sebagai perkuatan dalam rencana penanggulangan awal kurang efektif dalam meningkatkan stabilitas tanggul. Optimasi sistem perkuatan tanggul dapat dilakukan dengan menghilangkan sistem tiang pancang atau memindahkan letak tiang pancang sebagai angkur dengan jarak minimum 14,5 m dari turap. Angka keamanan untuk kondisi surut cepat yang didapatkan dapat mencapai SF = 1,3.

Kata Kunci: Perkuatan Tanggul, Penanggulangan Banjir, Sungai Tembuku, Kota Jambi

LATAR BELAKANG Permasalahan banjir, merupakan tantangan utama yang masih di hadapi dalam pengelolaan sumber daya air di Propinsi Jambi. Salah satu sungai yang selama ini memberikan pengaruh terhadap kejadian banjir di sekitar Kota Jambi adalah Sungai Tembuku (salah satu anak Sungai Batang Hari). Hampir tiap tahun Sungai Tembuku mengalami limpasan yang menggenangi daerah di sekitar alur sungai. Daerah genangan banjir yang paling sering terjadi adalah di segmen hilir / di sekitar muara sungai.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam penanggulangan potensi banjir yang dilakukan adalah pembuatan struktur perkuatan tebing sungai yang sekaligus sebagai tanggul banjir. Sistem perkuatan tanggul yang dapat dilakukan sangat beraneka ragam, salah satunya adalah dengan pemasangan turap yang diperkuat dengan tiang pancang sebagai angkur. Pemanfaatan sistem perkuatan tebing ini memerlukan analisis dan evaluasi yang tepat agar didapatkan sistem perkuatan tebing yang optimal.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran potensi limpasan air banjir terhadap sistem tebing sungai yang ada dan optimasi alternatif sistem perkuatan tebing yang dapat dilakukan, terutama segmen Sungai Tembuku bagian hilir.

Tujuan yang akan dicapai adalah didapatkannya gambaran / acuan dalam pengelolaan sungai secara umum, terutama terkait sistem perkuatan tebing sungai agar didapatkan fungsi bangunan sesuai rencana desain.

Page 221: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 201

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang telah dilakukan adalah di Sungai Tembuku, khususnya segmen sungai bagian hilir, yang berada di Kota Jambi, Propinsi Jambi.

METODOLOGI STUDI Tahapan dan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :

1. Pengumpulan data lapangan, dilakukan dengan cara kunjungan langsung lapangan, wawancara dengan pihak-pihak terkait, dan pengumpulan data sekunder (data topografi - morfologi sungai, data debit banjir, data parameter teknik tanah, dan data desain awal perkuatan tebing).

2. Analisis masalah dan evaluasi alternatif penanggulangan, dilakukan dengan pemodelan / perhitungan matematis.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

HASIL PENGUMPULAN DATA

Data Topografi Sungai Tembuku

Data topografi Sungai Tembuku yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 bagian, yaitu topografi Sungai Tembuku secara keseluruhan (± 6 km) dan detail topografi di bagian hilir sungai (dari muara ± 400 m). Topografi sungai secara keseluruhan digunakan sebagai dasar dalam analisis potensi banjir, sedangkan data sungai segmen hilir digunakan sebagai dasar dalam perhitungan sistem bangunan perkuatan tebing sungai.

Gambaran data topografi Sungai Tembuku secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan data detail topografi dan tipikal penampang segmen Sungai Tembuku bagian hilir dapat dilihat dari Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 1. Kondisi Topografi Keseluruhan Sungai Tembuku

Page 222: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

202 Bandung, 12 September 2015

Gambar 2. Kondisi Detail Topografi di Segmen Hilir Sungai Tembuku

Gambar 3. Kondisi Tipikal Penampang Melintang Topografi di Segmen Hilir Sungai

Data Debit Banjir Sungai Tembuku

Data debit sungai yang digunakan dalam penelitian ini adalah data debit banjir dari periode ulang 2 tahunan sampai periode ulang 100 tahunan. Besaran debit banjir Sungai Tembuku periode ulangan 2 tahunan sampai 100 tahunan dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 223: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 203

Tabel 1. Data Debit Banjir Sungai Tembuku

Sumber: Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi

Data Parameter Teknik Tanah

Data parameter teknik tanah didapatkan dari hasil penyelidikan lapangan, berupa 6 titik bor mesin (3 titik di tebing kiri sungai dan 3 titik di tebing kanan sungai). Tiga titik pada masing-masing sisi tebing sungai di sebar batas hulu, tengah, dan batas hilir (muara di Sungai Batang Hari) di segmen hilir Sungai Tembuku (± 400 m). Berdasarkan hasil penyelidikan geoteknik tersebut didapatkan parameter teknik tanah seperti disampaikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter Teknik Tanah Segmen Hilir Sungai Tembuku

No Lapisan Tanah

Kedalaman (m)

Parameter

d s C C' '

(gr/cm3) (gr/cm3) (kg/cm2) (kg/cm2)

1 1 0-5 1,178 1,734 0,37 0,36 10,2 10,68

2 2 >5 1,222 1,736 0,1 0,16 15,8 17

Data Desain Awal Perkuatan Tebing

Berdasarkan data desain awal didapatkan konsep dasar perkuatan tebing sebagai berikut :

1. Perkuatan utama dilakukan dengan memasang turap / sheet pile tipe A325 dengan panjang, L = 12 m.

2. Sistem turap diperkuat dengan angkur berupa balok beton dan diikat dengan tiang pancang, dimensi 40cm x 40cm yang dipasang tiap 2 m. Jarak antara turap dengan tiang pancang ± 4 m.

3. Sistem perkuatan tersebut di atas dilakukan dari tepat di hilir bangunan pompa sampai ke muara Sungai Tembuku.

Gambaran tipikal sistem perkuatan tebing Sungai Tembuku dapat dilihat pada Gambar 4.

2th 5th 10th 25th

Sub Das Asam 126,3 171,2 204,2 249,6

Sub Das Danau Kenali 136,9 194,5 226,0 257,2

Sub Das Danau Sipin 96,8 139,4 163,3 186,8

Sub Das Danau Teluk 25,7 41,5 50,6 59,9

Sub Das Kambang 33,8 46,5 53,1 59,6

Sub Das Kenali Besar 109,4 153,8 177,5 200,6

Sub Das Kenali Kecil 164,5 232,9 269,4 305,2

Sub Das Lubukrahman 71,3 100,1 120,8 148,6

Sub Das Teluk 24,8 39,3 47,5 55,8

Sub Das Tembuku 101,0 133,6 157,4 190,4

Periode UlangSub Das

Page 224: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

204 Bandung, 12 September 2015

Gambar 4. Tipikal Desain Awal Perkuatan Tebing Sungai Tembuku Hilir

(Sumber: Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi, 2013

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Analisis Hidraulik Sungai

Analisis hidraulik sungai dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan elevasi muka air sungai dan muka air tanah akibat debit banjir yang terjadi. Identifikasi dilakukan untuk 2 debit banjir utama, yaitu debit banjir periode ulang 2 tahunan dan 25 tahunan. Dari hasil analisis didapatkan kondisi potensi limpasan air banjir terhadap elevasi tebing segmen Sungai Tembuku bagian hilir, mulai dari debit banjir 2 tahunan (tinggi limpasan 0,5m sampai 1m). Adanya potensi limpasan air ini harus diakomodasi dalam perhitungan stabilitas perkuatan tebing yang akan dilakukan.

Gambaran hasil analisis hidraulik sungai untuk debit banjir periode ulang 2 tahuan dan 25 tahunan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Kondisi Muka Air Sepanjang Sungai Tembuku untuk Debit Banjir 2 Tahunan

Page 225: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 205

Gambar 6. Kondisi Muka Air Sepanjang Sungai Tembuku untuk Debit Banjir 25 Tahunan

Analisis Sistem Rencana Penanggulangan Awal

Evaluasi sistem rencana awal penanggulangan dilakukan untuk melihat efektivitas pemasangan tiang pancang sebagai angkur yang akan membantu menahan beban lateral dari tiang pancang. Konsep umum yang harus dipenuhi dari pembuatan angkur ini antara lain harus ditempatkan pada daerah yang stabil (di luar daerah aktif tanah) dan menghasilkan gaya pasif tanah yang mampu menahan kelebihan beban lateral yang tidak mampu ditahan oleh tiang pancang.

Berdasarkan parameter teknik tanah yang ada, kondisi jarak minimum daerah aktiv tanah berada pada jarak ± 14.5 m dari atas turap. Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa posisi tiang pancang (angkur) rencana awal masih berada di daerah aktiv tanah. Berdasarkan evaluasi tersebut dapat dikatakan tiang pancang tidak dapat difungsikan sebagai angkur, sehingga beban gaya aktiv tanah sepenuhnya akan dipikul oleh turap. Gambaran hasil evaluasi daerah aktiv tanah dan posisi tiang pancang rencana dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Gambaran Daerah Aktiv Tanah dan Posisi Rencana Tiang Pancang (Dead Man)

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dikatakan tiang pancang dapat berfungsi sebagai angkur secara optimum jika jarak antara tiang pancang dan turap ≥ 14.5 m.

Page 226: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

206 Bandung, 12 September 2015

Analisis Sistem Alternatif Penanggulangan

Dalam evaluasi ini dianalisis dua alternatif perkuatan tebing yang dapat dilakukan, yaitu : sistem turap tanpa angkur dan sistem turap dengan tiang pancang sebagai angkur. Dalam analisis stabilitas sistem ini dilakukan beberapa skenario kondisi muka air, yaitu :

1. Skenario 1 : kondisi muka air kering, yang mewakili kondisi lapangan pada musim kemarau.

2. Skenario 2 : kondisi muka air normal, yang mewakili kondisi elevasi muka air sungai rata-rata (tidak ada perbedaan elevasi antara muka air di sungai dan di tebing).

3. Skenario 3 : kondisi air banjir (muka air di sungai dan tebing sampai dengan elevasi atas tebing sungai).

4. Skenario 4 : kondisi surut cepat, yaitu adanya perbedaan muka air di tebing (masing tinggi) dengan muka air di sungai (sudah surut).

Seluruh skenario analisis tersebut juga telah memperhitungkan adanya gerusan lokal yang mendekati kaki turap.

Alternatif 1 : Perkuatan dengan Sistem Turap tanpa Angkur

Skematisasi analisis yang telah dilakukan dalam perhitungan stabilitas sistem ini dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan hasil analisis dari skenario 1 sampai skenario 4 dapat dilihat dari Gambar 9 sampai Gambar 12.

Gambar 8. Skematisasi Analisis Stabilitas Sistem Alternatif 1

Gambar 9. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 1 (Muka Air Kering) Alternatif 1 (SF = 1,86)

Page 227: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 207

Gambar 10. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 2 (Muka Air Normal) Alternatif 1 (SF = 2,01)

Gambar 11. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 3 (Muka Air Banjir) Alternatif 1 (SF = 2,8)

Gambar 12. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 4 (Muka Air Surut Cepat) Alternatif 1 (SF = 1,58)

Page 228: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

208 Bandung, 12 September 2015

Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa pemasangan turap, dengan panjang turap, L = 12 m memenuhi persyaratan stabilitas sistem (angka keamanan, SF > 1,5). Besarnya gaya momen yang terjadi pada turap dari hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Gaya Bending Momen yang Terjadi Sepanjang Turap (Maks = 26,5 t.m) Alternatif 1

Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa momen yang terjadi pada turap bisa mencapai, Mmaks = 26,5 t.m. Gaya tersebut yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan jenis turap yang harus dipasang. Berdasarkan contoh data produk turap yang ada (PT. Wijaya Karya Beton), salah satu tipe turap yang mampu menahan momen, M > 26,5 t.m adalah tipe W-450-A-1000 B. Gambaran spesifikasi turap tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh Spesifikasi Turap Alternatif 1 (PT. Wijaya Karya Beton)

Analisis stabilitas struktur

Analisis stabilitas struktur dihitung berdasarkan gaya aktiv dan pasif yang terjadi pada turap. Langkah awal dalam perhitungan stabilitas struktur ini adalah diperiksa untuk penerapan turap dengan panjang, L = 12 m dengan skematisasi gaya seperti disampaikan pada Gambar 14.

Page 229: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 209

Gambar 14. Skematisasi Gaya Analisis Stabilitas Strukur, Panjang Turap 12 m

Alternatif 2 : Perkuatan dengan Sistem Turap dan Tiang Pancang (Angkur)

Skematisasi analisis yang telah dilakukan dalam perhitungan stabilitas sistem ini dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan hasil analisis dari skenario 1 sampai skenario 4 dapat dilihat dari Gambar 16 sampai Gambar 17.

Gambar 15. Skematisasi Analisis Stabilitas Sistem Alternatif 2

Page 230: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

210 Bandung, 12 September 2015

Gambar 16. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 1 (Mmaks = 29,12 tm, F = 1,4 t, SF = 1,76) Alternatif 2

Gambar 17. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 26,06 tm, F = 1,47 t, SF = 2,0) Alternatif 2

Gambar 18. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 19,2 tm, F = 1,16 t, SF = 2,82) Alternatif 2

Page 231: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 211

Gambar 19. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 30,5 tm, F = 1,07 t, SF = 1,65) Alternatif 2

Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa sistem perkuatan dengan pemasangan turap yang dilengakapi dengan tiang pancang sebagai angkur, cukup kuat menahan beban aktiv tanah yang ada. Dari hasil analisis tersebut juga dapat diketahui momen maksimum yang kemungkinan terjadi, Mmaks = 30,5 t.m dan gaya maksimum yang mungkin terjadi pada tali angkur, F = 1,47 t. Besaran momen dan gaya tersebut yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan jenis turap dan tali angkur yang harus dipasang. Berdasarkan contoh data produk turap yang ada (PT. Wijaya Karya Beton), salah satu tipe turap yang mampu menahan momen, M > 30,5 t.m minimal tipe W-450-A-1000 B. Gambaran spesifikasi turap tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Contoh Spesifikasi Turap Alternatif 2 (PT. Wijaya Karya Beton)

Penentuan besar diameter tali angkur didasarkan pada besar gaya yang dipikul, yaitu F = 1,47 t (14,7 kN). Jika tiang angkur dipasang tiap jarak 3 meter-an, maka gaya total yang dipikul oleh tali (dengan angka keamanan, SF = 1,5), Ftotal= 66,15 kN. Jika menkg/cm2, maka diperlukan diameter tali baja, D = 2 cm.

Analisis stabilitas struktur dihitung berdasarkan gaya aktiv dan pasif yang terjadi pada turap. Langkah awal dalam perhitungan stabilitas struktur ini adalah diperiksa untuk penerapan turap dengan panjang, L = 12 m dengan skematisasi gaya seperti disampaikan pada Gambar 20.

Page 232: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

212 Bandung, 12 September 2015

Gambar 20. Skematisasi Gaya Analisis Stabilitas Strukur, Panjang Turap 12 m, Alternatif 2

Untuk jarak tiap tiang pancang (angkur) 3 meter-an, didapatkan resume gaya dan angka keamanan sebagai berikut :

Resume Gaya dan Momen Aktif

PATot = 757,37 KN/m'

MATot = 5134,65 KN.m/m'

Resume Gaya dan Momen Tahan :

PTTot = 1100,34 KN/m'

MTTot = 6570,83 KN.m/m'

Angka Keamanan / Stabilitas :

SFGeser = 1,57

SFGuling = 1,49

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, dapat disampaikan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

1. Rencnana awal pemasangan tiang pancang sebagai angkur dengan jarak 4 m dari turap tidak efektif dalam mendukung stabilitas turap sebagai bangunan perkuatan tebing Sungai Tembuku .

2. Paling tidak ada 2 alternatif untuk mengoptimumkan sistem perkuatan tebing yang dapat dilakukan, yaitu menghilangkan tiang pancang sebagai angkur / angkur (hanya memasang turap), atau memodifikasi rencana awal dengan menggeser letak tiang pancang sampai dengan jarak 14,5 m dari turap

3. Alternatif 1, yaitu jika hanya memasang turap tanpa tiang pancang untuk menjaga stabilitas sistem dan struktur perkuatan tebing Sungai Tembuku, memerlukan panjang turap 12 m, dengan angka keamanan kondisi surut cepat, SF = 1,2. Dan turap yang dipasang harus mampu menahan momen maksimum, M = 26,5 t.m. Salah satu jenis turap yang dapat digunakan untuk mendukung struktur perkuatan tebing Sungai Tembuku ini adalah tipe W-450-A-1000 B.

4. Alternatif 2, dengan memasang susunan turap yang diperkuat tiang pancang yang dipasang tiap 3 meter-an, dengan jarak pemasangan 14,5 m dari turap, memberikan angka keamanan yang lebih

Page 233: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 213

baik dari alternatif 1, SF = 1,49. Panjang turap dan tiang pancang yang diperlukan untuk perkuatan alternatif 2 adalah 12m, dengan spesifikasi turap harus mampu menahan momen maksimum, M = 30,5 t.m. Salah satu jenis turap yang dapat digunakan untuk mendukung struktur perkuatan tebing Sungai Tembuku ini adalah tipe W-450-A-1000 B. Dimensi minimal tiang pancang yang diperlukan sebagai angkur adalah 40cmx40cm, sedangkan diameter minimum tali baja sebagai penyalur gaya, D = 2 cm.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, khususnya kepada yang terhormal : Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera VI beserta jajarannya, dan tenaga ahlli sampai teknisi di lingkungan Balai BHGK Puslitbang SDA.

REFERENSI

Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi, 2013.

DHI Water & Environment, MIKE 11 A Modelling System for Rivers and Chanels User Guide, June 2002.

Eka Kumala, Yiniarti. 2015. Bahan Angkutan Sedimen. Program Magister PSDA ITB, Bandung.

Petersen, M. 1986. River Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Plaxis User Manual, 2D – Version 8 Edited by R.B.J. Brinkgreve, Delf University of Technology & PLAXIS b.v., The Netherlands.

Pradoto, Suhardjito. 1988/1989. Teknik Pondasi. Bandung : Laboratorium Geoteknik – Pusat Antar Universitas, ITB.

Puslitbang SDA, Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan perkuatan Tebing Sungai Tembuku Kota Jambi, September 2014.

Page 234: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

214 Bandung, 12 September 2015

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PENANGANAN EROSI PANTAI DI DESA PUSAKA JAYA UTARA SAMPAI DENGAN MUARA BUNTU KABUPATEN KARAWANG

Yati Muliati1, Yunus Purwanto2, Ahmad Luthfi1

1Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional Bandung

2CV. Teknoyasa Konsultan Indonesia

[email protected]; [email protected]

Abstrak

Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara sampai dengan pantai di Desa Sungaibuntu sekitar Muara Buntu Kabupaten Karawang mengalami erosi pantai yang diakibatkan oleh angkutan sedimen menyusur pantai dari arah Timur menuju Barat. Bila tidak segera ditanggulangi, maka banjir akan terjadi pada daerah sekitarnya. Penanganan yang direncanakan adalah pembuatan tanggul laut type rubble mound dengan pelindung/armor kubus beton 50 cm sebagai lapis pelindung kesatu, batu belah diameter 30 cm sebagai lapis pelindung kedua dan diameter 5-10 cm sebagai lapis pengisi yang ditempatkan pada kedalaman sekitar -0,59 m (posisi Lowest Water Spring, LWS atau LLWL), yaitu berjarak sekitar 200m dari garis pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan mengisi bagian yang kosong akibat abrasi/erosi. Tanggul laut dilengkapi dengan pelindung kaki untuk menahan gerusan di dasar perairan. Pelindung kaki berupa batu belah bulat kasar dengan dimensi minimal diameter 30 cm, ditempatkan pada posisi 1,0 meter di bawah LWS. Elevasi puncak tanggul ditempatkan pada +2,0 m dari MSL. Hasil simulasi numerik menunjukkan di beberapa lokasi garis pantai menjadi maju dan volume sedimentasi yang bergerak dominan ke arah Barat berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di belakang struktur hanya sekitar 20.000 m3 sampai 40.000 m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3 dalam 10 tahun.

Kata kunci: erosi, tanggul laut, kubus beton,

LATAR BELAKANG Kabupaten Karawang memiliki banyak pantai yang indah, prasarana jalan raya banyak yang dibangun di tepi pantai dan dijadikan lokasi pariwisata. Namun akhir-akhir ini pantai tersebut telah terkikis/tererosi. Usaha penanganan telah dilakukan secara parsial seperti penyelamatan jalan raya dari amukan gelombang laut; namun kenyataannya konstruksi yang dibuat belum berhasil secara optimal dan masih ada daerah yang belum dilakukan pengamanan pantai serta kondisinya sudah kritis. Apabila hal ini tidak segera ditangani maka akan merusak dan mengganggu kelancaran transportasi darat, selain itu berakibat banjir pada wilayah sekitarnya, sehingga dapat mengganggu daerah pemukiman penduduk serta fasilitas umum. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan pantai dari permasalahan yang terjadi.

METODOLOGI STUDI Permasalahan pantai atau yang menyebabkan kerusakan pantai dapat diidentifikasi sebagai abrasi, erosi, sedimentasi, dan banjir rob. Faktor penyebabnya antara lain hilangnya pelindung alami pantai (seperti penebangan pohon-pohon pelindung pantai, penambangan pasir dan terumbu karang), gelombang badai/tsunami, tergenangnya dataran rendah pantai akibat kenaikan muka air laut, penurunan lateral tanah, perkembangan permukiman pantai yang tidak terencana, maupun diakibatkan oleh pemanfaatan daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi pantai, dan adanya bangunan pantai yang menjorok ke laut, serta pemindahan muara sungai.

Page 235: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 215

Menurut Nur Yuwono (1992), erosi pantai adalah proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasok dan kapasitas angkutan sedimen. Beberapa faktor penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya erosi pantai antara lain pengaruh dari adanya bangunan pantai, penambangan material pantai dan sungai, pemindahan muara sungai, pencemaran perairan pantai, dan kerusakan akibat bencana alam seperti tsunami. Menurut Nur Yuwono (1999), abrasi adalah proses erosi yang diikuti longsoran (runtuhan) pada material yang massif (batu). Abrasi disebabkan karena daya tahan material menurun akibat cuaca (pelapukan) yang mengakibatkan daya dukung material terlampaui oleh kekuatan hidraulik arus dan gelombang.

Menurut Nur Yuwono (1992), pemecah gelombang merupakan struktur dekat pantai yang dibangun dalam arah sejajar, dan terpisah dari pantai pada perairan dangkal dengan fungsi utama untuk mengurangi erosi pantai. Pemecah gelombang dapat berupa struktur yang terhubung dengan pantai (misalnya pemecah gelombang pelabuhan), dan struktur terpisah pantai.

Prinsip pengamanan pantai secara umum terdiri atas:

a. Melumpuhkan daya rusak sebelum daya rusak tersebut menyentuh subjek yang dilindungi yaitu dengan pemasangan pemecah gelombang di laut lepas.

b. Memasang ―tameng‖ tepat di sisi laut subjek yang dilindungi agar daya rusak tidak menyentuh langsung subjek yang dilindungi yaitu dengan pemasangan revetment/seawall/tanggul laut.

c. Memodifikasi pola daya rusak agar lebih bersahabat terhadap subjek yang dilindungi seperti pemasangan groin/breakwater tegak lurus pantai.

Pemilihan alternatif penanganan pantai perlu mempelajari permasalahan yang terjadi dan mempertimbangkan dampak dari pemilihan tipe pengaman terhadap kondisi yang ada.

Perencanaan Pemecah Gelombang Tumpukan Batu (Rubble Mound)

Rumus yang umum digunakan untuk menentukan berat batu lindung adalah Rumus Hudson (SPM,1984) sbb.:

cot13

3

SDK

HW

(1)

Keterangan: W : berat butir batu pelindung (ton) H : tinggi gelombang rencana (m) Sr : rapat massa relatif θ : sudut kemiringan sisi bangunan (0) γr : berat jenis batu (t/m3) γw : berat jenis air laut (t/m3) KD : koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung (batu alam atau batu buatan), kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antar butir, dan keadaan pecahnya gelombang

Revetment/seawall/tanggul laut

Revetment/seawall/tanggul laut adalah bangunan berupa dinding penahan gempuran gelombang yang ditempatkan di sepanjang kawasan yang akan dilindungi. Penggunaan struktur ini bertujuan untuk memperkuat tepi pantai agar tidak terjadi pengikisan pantai akibat gempuran gelombang. Tetapi bila dinding penahan tidak direncanakan dengan baik, dapat berakibat kerusakan yang terjadi berlangsung relatif cepat. Oleh karena itu pada bagian dasar perlu dirancang suatu struktur pelindung erosi yang cukup baik.

Page 236: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

216 Bandung, 12 September 2015

Kondisi Lapangan

Lokasi penelitian mulai dari Desa Pusaka Jaya Utara Kecamatan Cilebar sampai dengan Desa Sungaibuntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang,Provinsi Jawa Barat.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Pada beberapa lokasi telah dilakukan pengamanan pantai seperti di Pantai Muara Buntu berupa pemasangan tetrapod yang kondisi strukturnya kurang baik seperti disajikan pada Gambar 2, kemudian struktur pengaman pantai yang baru dibangun tahun 2011 dengan panjang 300 meter, yaitu di Desa Sungaibuntu berupa pemasangan revertment dari armor batu belah (Gambar 3).

Gambar 2. Tetrapod di Pantai Muara Buntu

Gambar 3. Revetmen/Tanggul Laut dari Batu Belah di Desa Sungaibuntu

Daerah yang kerusakannya paling parah adalah antara Desa Sungaibuntu dan Desa Pusaka Jaya Utara (daerah Cipucuk), Nampak badan jalan sudah mulai rusak (Gambar 4 dan Gambar 5).Kedua lokasi ini menjadi prioritas pertama dalam pembangunan pengaman pantai, mengingat kerusakan mengganggu infrastruktur yang ada.

Page 237: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 217

Gambar 4. Jalan yang rusak di antara Desa Sungaibuntu dan Desa Pusaka Jaya Utara

Gambar 5. Jalan yang rusak di Desa Pusaka Jaya Utara

Selain itu prioritas kedua adalah di Desa Cemara Jaya sebelah Timur Muara Sungai Cemara (Gambar 6).

Gambar 6. Rumah penduduk yang hancur di Desa Cemara Jaya sebelah Timur Muara Sungai Cemara

Ke arah Barat dari lokasi rumah penduduk yang hancur (Gambar 7) masyarakat setempat berupaya menanggulangi dengan membuat pengaman pantai berupa groin/breakwater tegak lurus dan tanggul dari bongkahan batu bata bekas dinding rumah-rumah yang hancur. Meskipun panjang groin pendek, sehingga area yang dilindunginya pun terbatas, namun hal ini setidaknya sudah membantu erosi yang terjadi. Seandainya tidak ada groin sama sekali, niscaya kerusakan lebih cepat terjadi.

Gambar 7. Pemasangan pengaman pantai oleh Masyarakat Setempat

Desa Pusaka Jaya Utara bagian Timur atau yang sering disebut sebagai daerah Cipucuk tidak menjadi prioritas untuk pengamanan. Pada desa ini terdapat lokasi penanaman pohon bakau yang tidak berhasil (Gambar 8), dan lebih ke Timur, terdapat rumah yang nampak menjorok ke tengah laut. Sesungguhnya

Page 238: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

218 Bandung, 12 September 2015

rumah tersebut bertahan karena dipasang batu pelindung untuk menahan gelombang.Jadi justru garis pantai sekitarnya yang menjadi mundur akibat erosi yang terjadi, seperti pada Gambar 9.

Gambar 8. Upaya penanaman pohon bakau yang gagal di Desa Pusaka Jaya Utara (Cipucuk) bagian Timur

Gambar 9. Desa Pusaka Jaya Utara (Cipucuk) bagian Timur

Hasil analisis dari data oseanografi menghasilkan elevasi pasut seperti pada Tabel 1, gelombang hasil ramalan seperti pada Tabel 2, dan tinggi gelombang ekstrim seperti pada Tabel 3.

Tabel 1. Elevasi Acuan Pasut di Lokasi Studi

No Elevasi Acuan Nilai (m) Terhadap MSL (m)

1 Highest Water Spring (HWS) = Highest High Water Level (HHWL) 1,49 0,55

2 Mean Sea Level (MSL) 0,94 0,00

3 Lowest Water Spring (LWS) = Lowest Low Water Level (LLWL) 0,35 -0,59

Tunggang Pasang (m) 1,14 1,14

Tabel 2. Persentase Kejadian Gelombang pada Bulan Januari-Desember (2001-2011) di Lepas Pantai Kerawang Diramal Berdasarkan Data Angin Jatiwangi

Arah Persentase Kejadian Gelombang

H (m) < 0,5 0,5-1 1-1,5 1,5-2 > 2 Total

Utara 13,12 0,08 0,08 0,04 0,00 13,31 Timur Laut 26,66 1,71 0,38 0,08 0,04 28,87

Timur 28,60 1,14 0,46 0,11 0,04 30,35 Tenggara 1,90 0,80 0,15 0,00 0,00 2,85 Selatan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Barat Daya 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Barat 8,18 0,46 0,04 0,00 0,00 8,67

Barat Laut 2,81 0,08 0,00 0,00 0,00 2,89

Sub Total

86,95 Tidak bergelombang

13,05

Total 100,00

Page 239: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 219

Tabel 3. Tinggi Gelombang Ekstrim Di Lepas Pantai Karawang

Periode Ulang (tahun) Tinggi Gelombang Ekstrim (m)

2 1,76 3 2,38 5 2,79

10 3,12 25 3,45 50 3,81

100 4,04 200 4,56

Berdasarkan angin yang dominan datang dari arah Timur Laut, Utara, dan Timur, maka sudut datang gelombang di perairan dalam adalah sebesar 30 derajat, dan untuk tinggi gelombang ekstrim di perairan dalam dengan periode ulang 50 tahun, didapat periode gelombang 9,51 detik. Proses transformasi gelombang menghasilkan tinggi gelombang (H) di lokasi rencana untuk kedalaman 1,1 m sebesar 0,86 m, dan untuk kedalaman 1,5 m sebesar 1,17 m. Perairan direncanakan pada kedalaman 1,5 meter, yaitu tunggang pasang 1 meter ditambah setengah dari tinggi gelombang di sekitar lokasi = 0,5 meter, sehingga tinggi gelombang rencana adalah 1,17 meter.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Setelah mempelajari permasalahan pantai yang ada dan penyebab terjadinya permasalahan, maka penanggulangan yang diusulkan adalah pembangunan tanggul laut, yang bertujuan untuk mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai. Dengan adanya tanggul laut, gelombang yang datang akan menghantam tanggul terlebih dahulu, sehingga daerah di belakang tanggul terlindungi. Penanggulangan ini dipilih mengingat infrastruktur yang ada sudah sangat terganggu/rusak, sehingga diharapkan manfaat yang didapat dari pemasangan struktur tanggul secara langsung dapat diterima oleh masyarakat sekitar.

Konstruksi tanggul laut serupa dengan revetmen, namun mengingat dasar laut sangat landai, sehingga lokasi surut terendah (LLWL atau LWS) berada pada jarak yang cukup jauh dari jalan raya, maka istilah ‗tanggul laut‘ lebih tepat digunakan.

Alternatif lain seperti pembuatan revetmen/tanggul laut dari sandbag tidak disarankan, mengingat umur ketahanan sandbag, khususnya area di bagian yang terkena perubahan pasang surut lebih rendah bila dibandingkan dengan material batu atau beton, karena mudah lapuk. Selain itu, pengalaman di daerah Pisangan banyak sandbag yang dimanfaatkan untuk pengganti terpal plastik.

Tanggul laut menjadi prioritas utama, mengingat kondisi perumahan penduduk di tepi pantai yang sudah sangat kritis terkena abrasi dan longsor di musim hujan, sehingga saat pembangunan dimulai, manfaat pengamanan sudah langsung diterima.

Dengan mempertimbangkan tunggang pasut yang relatif rendah, yaitu HHWL-LLWL=1,14 m, maka digunakan model rubblemound dari tumpukan armor/pelindung dengan kemiringan 1:1,5. Armor dipilih dari kubus beton, mengingat lokasi quarry/batu cukup jauh, diameter batu berukuran besar sulit didapat dalam jumlah yang banyak, dan pengawasan menjadi lebih mudah saat pelaksanaan konstruksi.

Perhitungan berat pelindung/armor tanggul laut adalah sebagai berikut :

kg

xx

xW 31,212

5,1)11025

2400(0,5

17,12400

3

3

(2)

Berat armor lapisan pelindung kesatu berupa kubus beton, W1 adalah 212,31 kg per butir atau dengan sisi kubus 50 cm.

Page 240: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

220 Bandung, 12 September 2015

Berat armor lapisan pelindung kedua berupa batu belah, dengan type 3 layer : 10

1

2

batuWW , dimana

kg

xx

xW batu 305,330

5,1)11025

2700(0,2

17,12700

3

3

1

(3)

maka W2

10

1 batuW = 33,305 kg atau dengan diameter minimum 30 cm,

Lapisan pengisi, 200

..4000

11 batubatu

p

Wds

WW , yaitu 0,083 kg s.d 1,65 kg atau dengan diameter

minimum 3,8 cm s.d 10,5 cm, jadi dipilih diameter 5 cm s.d 10 cm.

Tanggul laut dengan peletakan sejajar pantai seperti pada Gambar 10 diharapkan dapat mengembalikan garis pantai ke kondisi semula mengingat tanggul laut ditempatkan pada kedalaman sekitar -0,59 m yaitu berjarak sekitar 200m dari garis pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan mengisi bagian yang kosong akibat abrasi/erosi. Penempatan pada kedalaman -0,59 m adalah mengikuti ketentuan yaitu menempatkan struktur pengaman pantai pada posisi LWS.

Pelindung kaki (toe protection) perlu diperhitungkan untuk menahan gerusan di bagian dasar akibat gaya refleksi gelombang yang mengenai struktur tanggul laut. Dengan kedalaman air, d1 = 1,5 m, tinggi pelindung kaki, t = 1,0 m, sehingga kedalaman total ds = d1 + t = 2,5 m dan lebar mercu, B= 0,4 ds = 1,16 m, diambil 1,5 meter, maka :

6,01

ds

d didapat koefisien kestabilan untuk pelindung kaki, Ns3 = 180,

kgx

SrNs

HxW r 55,5

163,2180

17,12700

133

3

3

3

(4)

sehingga dimensi batu, s = 12,7 cm. Bila dibandingkan dengan armor batu lapis pelindung kedua, dimensi batu 30 cm, maka diambil dimensi batu terbesar yaitu 30 cm.

Elevasi puncak tanggul laut dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Elevasi Mercu Tanggul = HHWL + Ru, dengan :

Ru = Tinggi rayapan/Run Up, kenaikan muka air akibat gelombang pada bidang miring,

HHWL = Highest High Water Level = + 0,55 meter dari MSL (0,00)

Tinggi rayapan (run-up) pada lereng permeabel diperkirakan dengan salah satu metode yang sudah dikenal cukup baik, yaitu bilangan Irribaren yang ditetapkan dari persamaan sbb. (Nur Yuwono, 1992) :

5,0

o

r

LH

tgI

(5)

Dengan : Ɵ = Sudut kemiringan bangunan (o)

H = Tinggi gelombang di lokasi bangunan (m)

0L = Panjang Gelombang di laut dalam (m)

rI = Bilangan Irribaren

Panjang gelombang laut dalam, 0L :

Page 241: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Bandung, 12 September 2015 221

32,7)087,141/17,1(

3/2

087,14114.32

51,98.9

2

5.0

22

0

rI

mx

xgTL

(6)

Dengan menggunakan nomogram dari SPM untuk nilai rI = 5,491 untuk batu pecah diperoleh :

mxR

H

R

u

u

48,117,1265,1

265,1

(7)

Elevasi Puncak Tanggul = HHWL + Ru = 0,55 + 1,48 = +2,03 m, diambil +2,0m dari MSL

Hasil simulasi transpor sedimen dengan menggunakan pemodelan numerik GENESIS di lokasi studi menyimpulkan bahwa secara umum akan mengalami erosi yang cukup parah dengan nilai kumulatif erosi pantai selama 10 tahun dapat mencapai 70.000 m3. Erosi yang terbawa oleh arus sejajar pantai ini diperkirakan akan tertumpuk di kawasan Timur Muara Buntu, sehingga akan memperdangkal kondisi perairan di lokasi tersebut. Dengan rencana pemasangan tanggul laut, maka di beberapa lokasi garis pantai menjadi maju dan volume sedimentasi yang bergerak dominan ke arah kiri pantai (ke arah Barat) berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di belakang struktur hanya sekitar 20.000 m3 sampai 40.000 m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3 dalam 10 tahun.

Page 242: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

222 Bandung, 12 September 2015

Gambar 10. Rencana Pengamanan Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara s.d Pantai Muara Buntu

TANGGUL LAUT RENCANA

REVETMEN EKSISTING

Page 243: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

223

Gambar 11. Tipikal Struktur Tanggul Laut dari armor kubus beton

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Permasalahan pantai yang terjadi di Desa Pusaka Jaya Utara sampai dengan pantai di Desa Sungaibuntu sekitar Muara Buntu Kabupaten Karawang yaitu adanya erosi pada beberapa lokasi pantai, sehingga merusak infrastruktur dan berakibat banjir pada wilayah sekitarnya, sehingga dapat mengganggu daerah pemukiman penduduk serta fasilitas umum. Dari data angin dan gelombang diperoleh angin dan gelombang dominan datang dari arah Utara dan Timur, sehingga terjadi angkutan sedimen menyusur pantai yang menyebabkan erosi.

Penanganan yang dilakukan terhadap masalah pantai ini adalah pembuatan tanggul laut type rubble mound dengan pelindung/armor kubus beton 50 cm sebagai lapis pelindung kesatu, batu belah diameter 30 cm sebagai lapis pelindung kedua dan diameter 5-10 cm sebagai lapis pengisi Tanggul laut dengan peletakan sejajar pantai diharapkan dapat mengembalikan garis pantai ke kondisi semula mengingat tanggul laut ditempatkan pada kedalaman sekitar -0,59 m (posisi LWS) yaitu berjarak sekitar 200m dari garis pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan mengisi bagian yang kosong akibat abrasi/erosi.

Tanggul laut dilengkapi dengan pelindung kaki untuk menahan gerusan di dasar perairan. Pelindung kaki berupa batu belah bulat kasar dengan dimensi minimal diameter 30 cm, ditempatkan pada posisi 1 meter di bawah LWS atau pada posisi -1,59 m dari MSL. Elevasi puncak tanggul ditempatkan pada +2,0 m dari MSL.

Dengan rencana pemasangan tanggul laut, maka hasil simulasi numerik menunjukkan di beberapa lokasi garis pantai menjadi maju dan volume sedimentasi yang bergerak dominan ke arah kiri pantai (ke arah Barat) berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di belakang struktur hanya sekitar 20.000 m3 sampai 40.000 m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3 dalam 10 tahun.

Rekomendasi

Pada struktur tanggul laut, pengamanan pantai akan lebih maksimal bila dikombinasikan dengan penanaman pohon mangrove di belakang tanggul setelah selesai pemasangan tanggul laut, sehingga kondisi pantai tetap sesuai dengan perencanaan, seperti disajikan pada Gambar 12.

Page 244: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

224 Bandung, 12 September 2015

Gambar 12. Ilustrasi setelah selesai pemasangan tanggul laut.

(Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)

REFERENSI

Kementerian Pekerjaan Umum (2012). Bahan Rapat Penetapan Pedoman Perencanaan Pengamanan Pantai.

U.S. Army, Corp Of Engineering, Coastal Engineering Research Center. (1984). Shore Protection Manual (SPM) Vol I dan II, U.S. Government Printing Office, Washington D.C.

Yuwono, N. (1992). Teknik Pantai Vol I dan II, Laboratorium Teknik Hidro, Teknik Sipil, Fakultas Yeknik Sipil, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Tanggul Laut

Page 245: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

225

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DALAM RANGKA PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN LAMONGAN

Feril Hariati

Program Studi TeknikSipil, Universitas Ibn Khaldun Bogor

[email protected]

Abstrak

Air bersih merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, dan masih banyak masyarakat miskin yang memiliki kesulitan dalam mengaksesnya. Hasil SUSENAS pada tahun 2009, 70% warga Indonesia mendapatkan air bersihnya sendiri dengan mengambil air tanah, sumur, sungai, dan sumber lainnya. Akan tetapi dengan berkembangnya desa menjadi kota dan perubahan iklim yang merubah siklus hidrologi, keberadaan sumberdaya air menjadi terancam, terutama yang mengandalkan air tanah, dan salah satunya adalah sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat. Studi yang dilakukan di Lamongan menunjukkan bahwa tingkat kerentanan sistem ini sangat tinggi, terutama dalam hal ketersediaan air baku. Tidak adanya pengaturan pembatasan pengambilan air bersih, pengisian kembali air tanah, mengancam keberlangsungan sistem. Penerapan konsep pengelolaan sumberdaya air terpadu atau IWRM dalam operasional sistem dapat mengurangi tingkat kerentanan. Penelitian ini membahas bagaimana konsep IWRM dapat diterapkan pada sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat dengan studi kasus di Kabupaten Lamongan. Survey lapangan berupa pengumpulan data dan wawancara dengan pihak pemerintah sebagai fasiltator, pengelola, dan pengguna sistem air berbasis masyarakat dilakukan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai sistem yang sedang berjalan. Sedangkan analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui posisi strategis dari sistem, serta upaya yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya

Kata Kunci: IWRM, penyediaan air bersih berbasis masyarakat, Kabupaten Lamongan

LATAR BELAKANG Pembangunan sistem air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat di Indonesia mulai dimplementasikan sejak tahun 1984 melalui program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) IV, dan menjadi titik awal keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek pemerintah; baik skala lokal maupun nasional, yang didanai oleh lembaga donor internasional dengan melibatkan organisasi non pemerintah (NGO). Konsep kepemilikan masyarakat dan pendekatan pengadaan proyek berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat dapat diterima secara luas. Model ini membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur, dan pemerintah daerah bertindak sebagai fasilitator dan penasihat teknis. Meskipun keterlibatan masyarakat dalam hal pengelolaan infrastruktur sangat besar, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan masyarakat dalam mengoperasikan dan memelihara infrastruktur air bersih, pemanfaatan sistem menjadi tidak optimum. Studi terdahulu mengenai penilaian teknis terhadap efektivitas sistem penyediaan air dan sanitasi berbasis masyarakat di Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan sebagian pendanaannya berasal World Bank dalam bentuk program WSSLIC dan VIP, dan NGO pada akhir tahun 1980 sampai awal tahun 1990, menunjukan tingkat keberhasilan program yang kurang berhasil. Hasil penilaian dari mulai tahap konstruksi, operasi, dan pemeliharaan terhadap 439 rumah tangga menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan pelayanan penuh dari sistem penyediaan air bersih yang telah dibangun. Seratus lima puluh delapan atau 36% rumah tangga seringkali mengambil air dari sungai, telaga, mata air, atau bak penampung air hujan. Sedangkan 275 rumah tangga menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan semua air yang diperlukan untuk memasak dan minum dari sistem penyediaan air yang ada karena tidak berfungsi, dan di antaranya terdapat 84 rumah tangga (31%) yang

Page 246: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

226 Bandung, 12 September 2015

menggantungkan kebutuhan air bersihnya dari sungai, telaga, mata air, atau bak penampung air hujan (Isham and Kahkonen, 1999).

Evaluasi terhadap sistem penyediaan air bersih pedesaaan berbasis masyarakat di wilayah hilir DAS Brantas menunjukkan bahwa keandalan dari suatu sistem penyediaan air bersih merupakan faktor penting bagi kepuasan masyarakat (Masduki, 2008). Dari tiga desa yang disurvei, dua desa menyatakan tidak begitu puas dengan sistem yang ada, terutama dari sisi sistem operasionalnya. Sedangkan dari studi kasus yang dilakukan di Wuran dan Tarinsing, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, terjadi kegagalan sistem setelah masa pembangunan yang berhubungan dengan masalah operasional dan pemeliharaan. Salah satu faktor penting yang menjadi hambatan adalah aspek teknologi yang digunakan, termasuk di dalamnya kualitas dan kuantitas sumber air, serta operasi dan pemeliharaan dari sistem itu sendiri (Lambok, 2010).

Air bersih merupakan kebutuhan vital bagi manusia, sehingga tersedianya akses air bersih bagi masyarakat menjadi salah satu tujuan pencapaian pembangunan millennium, bahkan air bersih dan sanitasi yang layak merupakan investasi kemanusiaan terbaik untuk mencapai pembangunan dan keberlangungan (Tipping, Adom, and Tibajiuka, 2005). Karena antara air, kesehatan, kesejahteraan, dan peningkatan ekonomi merupakan hal saling berkaitan, maka sistem penyediaan air bersih bagi masyarakat tidak dapat dianggap sebagai bagian dari infrastruktur masyarakat saja, akan tetapi harus dilihat secara menyeluruh sebagai bagian dari pembangunan sosial dan ekonomi, serta menciptakan suatu kota yang nyaman dan lestari. Makalah ini menekankan pada diskusi yang menyangkut kondisi terkini sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat dan kebijakan yang berkaitan dengan sistem pengelolaan air bersih di Kabupaten Lamongan dan bertujuan untuk memperoleh konsep pengelolaan sumber daya air yang dapat menjamin keberlangsungan sistem. Kekuatan, kelemahan, tantangan dan hambatan, serta usulan pengelolaan sistem air bersih di Kabupaten Lamongan disajikan untuk memberikan gambaran mengenai tindakan yang perlu dilakukan oleh seluruh pihak yang berkepentingan untuk mengatasi masalah keberlangsungan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat.

IDENTIFIKASI MASALAH Penyediaan air bersih yang aman dan terjamin, sanitasi dasar, dan higienis yang baik merupakan kebutuhan dasar untuk menyediakan kehidupan yang sehat, produktif, dan bermartabat. Masih banyak masyarakat miskin di perdesaan yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak. Data yang diperoleh dari Joint Monitoring Program for Water and Sanitation (2006) menyatakan ada 900 juta penduduk di dunia yang tidak mendapatkan pelayanan penyediaan air bersih yang layak, dan 2 milyar penduduk dunia yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Berdasarkan hasil data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2009, tujuh puluh persen penduduk Indonesia mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari secara mandiri dengan mengambil air tanah, sumur, sungai, atau sumber lainnya, dan terdapat perbedaan antara penduduk kota dan penduduk desa dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Lima puluh persen dari penduduk kota harus membeli air, dengan rincian setengah dari 50% jumlah penduduk kota yang membeli air mendapatkannya dari perusahaan air milik pemerintah kota, dan sisanya dari penjual air baku serta tetangga. Terdapat daerah abu-abu antara air yang didapat melalui sistem perpipaan dan air yang dibeli dari penjual air baku, karena survei menemukan bahwa banyak penjual air baku mendapatkan airnya dari sistem penyediaan air bersih yang terhubung dengan pipa dan membawanya ke daerah yang tidak terlayani sistem penyediaan air bersih perpipaan. Lima puluh persen penduduk kota lainnya mendapat air bersihnya dengan menggali sumur dangkal atau sumur dalam. Untuk kota pesisir, peningkatan jumlah rumah tangga dan industry yang mengambil air tanah dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan intrusi air laut. Untuk wilayah pedesaan, 15% rumah tangga membeli air, umumnya dari organisasi penyediaan air bersih skala komunitas.

Derasnya arus urbanisasi mengakibatkan wilayah pedesaan berkembang menjadi kota, dan letak sumber daya air menjadi semakin jauh. Kawasan padat penduduk harus melindungi dirinya dari polusi dan tergantung terhadap sumber mata air yang terletak di luar daerah adminitrasi kawasan, karena distribusi sumber air tidak merata di setiap daerah. Di beberapa daerah, sumber air berlimpah, akan tetapi memerlukan biaya yang sangat besar untuk mengalirkan air tersebut ke kawasan perumahan.

Page 247: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

227

Selain itu, perubahan iklim berpengaruh terhadap siklus hidrologi yang akan berdampak pada kualitas dan kuantitas sumber air. Penduduk miskin dan pedesaan merupakan komunitas yang paling rentan dalam hal mendapatkan air bersih, karena umumnya kelompok masyarakat ini memperoleh airnya dari sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat yang seringkali menggunakan sumur dalam sebagai sumber airnya. Kebutuhan air tanah cenderung meningkat pada masa yang akan datang, dan akan memberikan dampak penurunan muka air tanah. Perubahan iklim akan berdampak pada laju pengisian ulang air tanah, meskipun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak perubahan iklim terhadap air tanah (Alley, 2001). Dalam kondisi tertentu, seperti terhubungnya kondisi hidraulik sungai dan akuifer dengan baik, serta laju pengisian air tanah yang rendah, perubahan ketinggian muka air sungai akan lebih mempengaruhi ketinggian muka air tanah dibandingkan dengan perubahan laju pengisian ulang air tanah (Allen et.al., 2003). Perubahan iklim juga akan merubah kondisi tanaman yang juga mempengaruhi pengisian kembali air tanah. Semakin sedikit tumbuhan akan meningkatkan run-off dan mengurangi presipitasi untuk mengisi ulang air tanah.

PENILAIAN KONDISI SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT Air adalah sumber daya alam milik masyarakat sehingga dalam pemanfaatannya dapat menimbulkan konflik sosial, budaya, dan lingkungan, terutama sekali saat terjadi kekeringan dan pembatasan pemakaian air. Hukum di Indonesia menempatkan air minum sebagai fungsi utama air di antara fungsi lainnya, seperti untuk pertanian, industri, dan pelayanan lainnya, yang diatur dalam UU No. 77 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 02/PRT/M/2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air. Meskipun demikian pemanfaatan air permukaan juga diatur dalam undang-undang, seperti pemanfaatan air permukaan yang berada dalam daerah aliran sungai yang berada dalam pengelolaan Kementrian Pekerjaan Umum, maka harus mendapatkan ijin pemakaian dari Menteri Pekerjaan Umum, atau gubernur provinsi tempat sungai itu mengalir. Di samping itu, untuk pemanfaatan air tanah, kebijakan pemanfaatannya berada pada pemerintah daerah di mana air tanah itu berada dalam batas administrasinya. Apabila air tanah berada di antara batas adiministrasi dua daerah, maka kebijakan berpindah pada pemerintah provinsi.

Program sistem penyediaan air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat diadakan khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat pedesaan. Air baku umumnya diperoleh dari air tanah, mata air, atau air hujan. Teknologi yang diterapkan dalam sistem ini merupakan teknologi sederhana untuk memudahkan operasional dan perawatan, mengingat keterbatasan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat, salah satunya yang terdapat di Kabupaten Lamongan.

Kabupaten Lamongan terletak di Pantai Utara Jawa dan memiliki garis pantai sepanjang 47 km. Sebagai kota pantai, topografinya didominasi dengan dataran rendah dan rawa yang memiliki elevasi antara 0 sampai 25 m di atas permukaan laut. Intensitas curah hujan di Kabupaten Lamongan relatif rendah, dan sumber daya air yang dimiliki sebagian besar berupa air permukaan yang kondisinya sangat tergantung dengan cuaca. Pada tahun 2010, tercatat intensitas curah hujan di Kabupaten Lamongan mencapai 2.631 mm per tahun, dan dapat dikatagorikan sebagai tinggi, akan tetapi kejadiannya tidak merata per bulannya. Perubahan iklim yang ekstrem merupakan salah satu pemicu terjadinya ketidakseimbangan penyebaran air. Hasil wawancara dengan Bapak Agus dari Bappeda Kabupaten Lamongan (2015), pada tahun 2014 terjadi kekeringan yang cukup lama di Lamongan, dengan kondisi terkritis terjadi pada bulan November. Masyarakat banyak yang tidak mendapatkan air bersih, termasuk yang dilayani oleh sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat, meskipun tercatat Kabupaten Lamongan memiliki 184 bendungan untuk keperluan pengairan dan sumber air baku, tiga sungai besar; (1) Bengawan Solo sepanjang ± 68 km, dan debit rata-rata 531.61 m3/bulan (maksimum debit 1,758.46 m3/bulan and minimum debit 19.58 m3/bulan); (2) Kali Blawi dengan panjang ± 27 Km, dan (3) Kali Lamong dengan panjang ± 65 Km. Selain itu, masih terdapat cekungan alami yang secara periodik tergenang setengah sampai 3 bulan pada saat musim kemarau.

Pada umumnya, masyarakat lebih memilih menggunakan air tanah sebagai sumber air baku untuk keperluan sanitasi dan kebutuhan sehari-hari, karena anggapan bahwa air tanah lebih baik dibandingkan air permukaan dan memiliki jumlah yang stabil. Hasil wawancara dengan salah satu staf Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lamongan

Page 248: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

228 Bandung, 12 September 2015

(2015), menyatakan bahwa kondisi air baku untuk di Lamongan berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Demikian halnya dengan pengolahannya. Ada desa yang menggunakan air tanah, menggunakan air permukaan, dan menggunakan sumur, baik melalui proses pengolahan maupun tidak. Untuk air yang tidak diolah, pihak pengelola sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat memberlakukan tarif regular, sedangkan untuk yang melalui proses pengolahan, tarif air akan menjadi lebih mahal, dan kontribusi masyarakat menjadi lebih besar. Selain itu, terdapat pula sistem penyediaan air bersih yang menerapkan sistem gravitasi, akan tetapi tingkat keberlanjutannya sangat kecil. Sistem ini sangat tergantung pada jumlah aliran air. Apabila aliran air kecil, air tidak akan dapat masuk ke bangunan pengalihan.

Selain kualitas dan kuantitas air yang menjadi unsur penting dalam keberlanjutan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat, konflik pemakaian air juga sangat mempengaruhi. Dari keterangan yang disampaikan oleh salah satu pengurus Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM) Tirto Agung Lamongan, Bapak Panggeng (2015), diperlukan usaha yang keras untuk membangun sistem penyediaan air bersih di Lamongan karena adanya konflik kepentingan dalam pemakaian air. HIPPAM Tirto Agung pada awalnya mengoperasikan sistem penyediaan air bersih yang berada di Desa Bogem. Sumber air berasal dari air tanah dengan kedalaman sekitar 100 m, yang terletak di tanah milik seorang warga, dan kemudian dihibahkan ke HIPPAM Tirto Agung. Setelah sistem berjalan dengan baik, HIPPAM Tirto Agung mulai memperluas daerah pelayanannya ke desa tetangga, dan konflik muncul karena pemilik tanah tempat sumber air meminta kepada pengurus HIPPAM Tirto Agung untuk membeli tanahnya. Alasan utama pemilik tanah menghibahkan tanahnya saat itu adalah karena air yang diambil hanya akan digunakan bagi warga Desa Bogem. Apabila desa lain mendapatkan pelayanan air bersih dengan sumber air yang berada di dalam tanah miliknya, berarti HIPPAM telah menjual air dan mendapatkan keuntungan dari sistem yang telah dibangun.

Untuk memecahkan persoalan tersebut, HIPPAM Tirto Agung membeli tanah dari pemilik dan melegalisasikannya dengan akta notaris. Saat ini HIPPAM Tirto Agung sudah melayani 4 desa dengan jumlah masyarakat yang terlayani 6.310 jiwa. Untuk memenuhi kuantitas pelayanan, HIPPAM menggali sumur baru, dan saat ini HIPPAM telah memilik dua sumur dalam, dengan kedalaman 106 m dan 100 m yang masing-masing memiliki kapasitas 5 l/dtk dan 6 l/dtk. Dari keterangan Pak Sutrisno, salah seorang pelanggan (2015), suplai air berlangsung selama 24 jam, dengan jumlah air yang memadai. Saat musim kemarau, air masih tetap mengalir tanpa diberlakukan pembatasan waktu maupun sistem rotasi. Kualitas air pun baik, ditinjau dari parameter fisik seperti kejernihan, bau, dan rasa. Pemeriksaan parameter biologi dan kimia dilakukan oleh Dinas Kesehatan secara berkala tiga bulan sekali. Pada Gambar 1. disajikan skema sistem distribusi air bersih yang dikelola oleh HIPPAM Tirto Agung.

Gambar 1. Skema sistem distribusi air bersih HIPPAM Tirto Agung (Sumber: HIPPAM Tirto Agung, 2014)

Berdasarkan data yang diperoleh dari HIPPAM, rata-rata pemakaian air perhari mencapai 71.4 lt untuk setiap orang, dan dalam kurun waktu sebulan, jumlah air yang diambil adalah 450.5 m3. Sistem yang mulai dioperasikan pada tahun 2008 memiliki tingkat keberlangsungan yang sangat baik, bahkan dapat memperluas jaringan pelayanannya.

Page 249: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

229

Dalam hal ini menunjukkan bahwa air tanah yang digunakan sebagai sumber tahan terhadap kondisi perubahan iklim dibandingkan air permukaan. Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan No. 5 Tahun 2004, tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan Air Tanah, menyatakan bahwa penggunaan air tanah sebagai air minum merupakan prioritas utama, yang selanjutnya diikuti dengan pemakaian rumah tangga, peternakan skala kecil, irigasi, industri, pertambangan, bisnis komersial, dan kebutuhan lain-lain. Dengan demikian, berdasarkan peraturan daerah tersebut, sistem penyediaan air berbasis masyarakat memiliki hak untuk mengambil air tanah tanpa dipungut bayaran, dan sebagai konsekuensinya, kelompok masyarakat yang mengelola harus melindungi kawasan tangkapan airnya dengan mengkonservasi hutan di sekitar sumber air tanah. Selain itu perlu dilakukan monitoring dengan menggunakan sumur pantau yang digali di sekitar sumur dalam, untuk mengukur penurunan muka air tanah akibat pengambilan air. Langkah lain untuk menjaga pengisian kembali air tanah adalah turut melibatkan kelompok masyarakat pengguna air, seperti HIPPAM Tirto Agung, untuk menjadi salah satu anggota dewan air daerah. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kiswanto, salah seorang pengurus HIPPAM Tirto Agung (2015), kegiatan berupa pebuatan sumur pantau oleh pihak pemerintah daerah dan keikutsertaan HIPPAM terhadap perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air sejauh ini tidak dilakukan oleh pihak pemerintah daerah. Pada Gambar 2. disajikan kondisi sumber mata air sumur dalam yang dikelola oleh HIPPAM Tirto Agung.

Gambar 2. Kondisi sumur sumber air baku

Kesimpulan sementara dari hasil penilaian sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Lamongan, permasalahan utamanya adalah ketersediaan air baku. Dengan jumlah pengambilan air yang cukup besar perbulannya, tidak ada upaya untuk memonitoring kondisi air tanah, melakukan pengisian kembali air tanah, serta jaminan tidak terjadi perubahan tata guna lahan yang berada di sekitar sumber air, maka sistem ini dapat dikatakan rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu perlu diimplementasi konsep water security dan IWRM agar sistem dapat tetap berjalan.

Konsep water security telah mendapatkan perhatian banyak dalam sepuluh tahun terakhir ini, baik dalam debat politik maupun akademik (Cook and Baker, 2011). Beberapa definisi mengenai water security dikeluarkan oleh organisasi-organisasi internasional, terutama Global Water Partnership dan World Economic Forum. Berdasarkan deklarasi para menteri pada acara World Water Forum ke-2, water security didefinisikan sebagai ―…menjamin bahwa air bersih, pantai, dan ekosistem yang terkait terlindungi dan terus diperbaiki; sehingga terjadi peningkatan pembangunan berkelanjutan dan stabilitas politik yang menjamin bahwa setiap orang memiliki akses air bersih yang cukup dengan biaya yang terjangkau untuk memperoleh kehidupan yang sehat dan produktif, dan kelompok masyarakat yang rentan terhindar dari resiko penyakit yang berhubungan dengan air (World Water Council, 2000). Untuk mencapai tujuan ini, maka pembangunan di bidang penyediaan air bersih harus dapat memenuhi kriteria berikut; (1) memenuhi kebutuhan dasar manusia, (2) menjamin ketersediaan pangan, (3) menjaga lingkungan, (4) berbagi sumber air, (5) mengelola resiko, (6) menghargai air, dan (7) mengendalikan air dengan cara yang bijak. Untuk kasus sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Lamongan, dalam hal ini diwakili oleh HIPPAM Tirto Agung sebagai kelompok masyarakat pemakai air terbesar di Lamongan, water security menjadi masalah utama dalam penyelenggaraan dan keberlanjutan sistem yang dipengaruhi oleh beberapa parameter. Berdasarkan

Page 250: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

230 Bandung, 12 September 2015

hasil wawancara dan survei lapangan, parameter yang mempengaruhi keberlangsungan sistem disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Konsep Water Security dan parameter yang mempengaruhinya

ANALISIS DAN BAHASAN A. Analisis SWOT Dengan mencermati hasil wawancara dengan para pemegang kepentingan serta kunjungan lapangan, analisis SWOT dapat dilakukan untuk mengetahui kekuatan serta kelemahan yang merupakan faktor internal, dan peluang serta ancaman yang merupakan faktor eksternal. Matriks analisis SWOT disusun dengan mengaplikasikan model Kerns. Parameter kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman merupakan hasil penurunan parameter yang mempengaruhi tercapainya konsep water security (Tabel 1.)

Pearce dan Robinson (1998) mengembangkan analisis SWOT secara kuantitatif dengan melakukan pembobotan untuk masing-masing parameter yang dikelompokkan dalam dua matriks, yaitu matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) untuk mengetahui posisi sistem penyediaan air bersih saat ini terhadap ancaman dan kekuatan tawar sistem ini (Tabel 2), serta matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) untuk mengetahui tingkat dominasi kekuatan dan kelemahan dari sistem untuk mendapatkan solusi perbaikan internal (Tabel 3). Setelah analisis EFAS dan IFAS dilakukan, maka dapat diketahui posisi sistem dengan menggunakan matrik grand strategies (Gambar 4)

Page 251: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

231

Tabel 1. Matrik Analisis SWOT Sistem Penyediaan Air Bersih Berbasis Masyarakat di Kabupaten Lamongan

Tabel 1. Matriks EFAS

Faktor Eksternal

Faktor Internal

Opportunity (Peluang)

1. Perda No. 5 Tahun 2004 Threat (Ancaman)

1. Perubahan tata guna lahan akan meningkatkan koefisien limpasan

2. Perubahan iklim meningkatkan frekuensi kejadian bencana iklim, dan kenaikan muka air laut akan mengakibatkan terjadinya intrusi air laut

3. Sumber mata air yang digunakan untuk sistem penyediaan air berbasis masyarakat tidak termasuk dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air terpadu Kabupaten Lamongan

Strenght (Kekuatan) Strategi SO (Comparative Advantage) Memungkinkan pencapaian

keberlangsungan bisa lebih cepat

Strategi ST/ Mobilization Menggunakan kekuatan yang dimiliki dg cara

menghindari ancaman

1. Kualitas, kuantitas, serta kontinuitas sumber mata air yang baik

2. Kesediaan pemilik tanah untuk memberikan hak tanahnya kepada kelompok

3. Monitoring kualitas air secara teratur dari pihak pemerintah

Optimalisasi kekuatan (S), untuk meraih peluang (O) dengan strategi:

1. Mengoptimalkan seluruh kekuatan yang ada dan menerapkan hukum yang berlaku, sebagai dasar untuk melindungi sumber air (S1,2,3: O1)

1. Menganalisis kembali kebutuhan air masyarakat untuk menghindari pengambilan air secara berlebihan (S1:T2)

2. Masyarakat bisa menjadi kekuatan untuk menjadikan sistem yang mereka miliki saat ini, menjadi bagian dari infrastruktur pemerintah (S2: T1,3)

Weakness (Kelemahan) Strategi WO/ Divestment/ Investment Pemanfaatan peluang dg cara mengatasi

kelemahan yang ada

Strategi WT/ Damage Control (mengendalikan kerugian)

Meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.

1. Opini yang berkembang bahwa air bukan merupakan sumber daya milik masyarakat

2. Tidak tersedianya pemantauan muka air tanah dengan menyediakan sumur pantai pada lokasi pengambilan air

3. Tidak ada perencanaan pengisian ulang air tanah

4. Kemungkinan besar terjadinya pengambilan air serta konsumsi air secara berlebihan

1. Perda mengatur tata cara pemanfaatan, dan konservasi air tanah (W1,2,3 : O1)

1. Sosialisasi masyarakat bahwa air milik bersama dan perlu dijaga kelestarian dengan menyediakan lahan terbuka hijau sebagai daerah resapan air (W1 : T1,3)

2. Sosialisasi bahwa air bukan sumber daya yang tak terbatas. Pemakaian dan pengambilan air secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan tanah dan peluang masuknya air laut ke daratan (W2,4 : T2)

No. Opportunity (Peluang) Skor Bobot Total

Page 252: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

232 Bandung, 12 September 2015

Tabel 2. Matriks IFAS

Gambar 4. Matriks Grand Strategies

Hasil analisis SWOT menunjukkan posisi sistem berada dalam kuadran III, yaitu memiliki water security yang lemah tetapi memiliki kesempatan untuk diperkuat. Strategi yang perlu dilakukan adalah merubah strategi dengan menggunakan peluang yang ada.

B. Bahasan Dari hasil wawancara dan survei lapangan, peluang terbesar dari sistem penyediaan air berbasis masyarakat di Lamongan adalah adanya kebijakan pemerintah daerah dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan air tanah. Dalam peraturan daerah tersebut, pemerintah daerah menjamin kemudahan masyarakat untuk dapat memanfaatkan air tanah untuk air minum dan kebutuhan sehari-hari. Dalam beberapa pasal juga dibahas mengenai perlindungan dan konservasi air tanah, serta keterlibatan masyarakat dalam merencanakan pemanfaatan dan pengelolaan air tanah.

1 Perda No. 5 Tahun 2004 4 0.45 1.80

Total Peluang 1.80

Threats (Ancaman)

1 Perubahan tata guna lahan 4 0.20 0.80

2 Perubahan iklim 3 0.20 0.40

3 Sumber air tidak termasuk dalam perencanaan pengelolaan dan pengembangan sumber daya air terpadu Kabupaten Lamongan

3 0.15 0.45

Total Ancaman 1.65

Selisih O dan T = sumbu Y 0.15

No. Strenght (Kekuatan) Skor Bobot Total

1 Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air 4 0.15 0.60

2 Kepemilikan lahan sumber air 4 0.10 0.40

3 Monitoring kualitas air 4 0.10 0.40

Total Kekuatan 1.40

Weakness (Kelemahan)

1 Air tidak dianggap sebagai sumber daya milik bersama

2 0.05 0.10

2 Tidak terdapat sumur pantau 4 0.20 0.80

3 Tidak ada perencanaan konservasi air tanah/pengisian ulang air tanah

4 0.20 0.80

4 Potensi pengambilan air secara berlebihan 4 0.20 0.80

Total Ancaman 2.50

Selisih S dan W = sumbu X (1.10)

Page 253: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

233

Dengan demikian, bila peraturan daerah ini diimplementasikan, maka penerapan water security, yaitu terjaminnya kebutuhan air masyarakat dengan kualitas dan kuantitas yang baik, dan secara terus menerus dapat tercapai. Akan tetapi diperlukan satu strategi untuk mencapai tujuan penerapan konsep water security, yaitu dengan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) atau pengelolaan sumber daya air terpadu, yaitu proses yang mengedepankan koordinasi dalam pembangunan dan pengelolaan air, tanah, dan sumber daya lainnya, untuk mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang adil tanpa berkompromi dengan keberlangsungan dari ekosistem penting (Global Water Partnership Technical Advisory Committee, 2000).

Dalam ―The International Conference on Water and Environment for the 21st century‖ yang dilaksanakan di Dublin, Ireland, Global Water Partnership (2000) menggarisbawahi pentingnya penerapan IWRM melalui pendekatan partisipasi masyarakat, yang meliputi:

1. Partisipasi nyata dengan para pemangku kepentingan merupakan bagian dari pembuat keputusan

2. Partisipasi masyarakat tidak sekedar konsultasi publik saja

3. Partisipasi sebagai alat untuk mencapai konsensus dan kesepakatan dalam jangka waktu lama

4. Terwujudnya mekanisme dan kapasitas keterlibatan masyarakat

Meskipun HIPPAM Tirto Agung sudah menjadi salah satu anggota dewan air, akan tetapi keterlibatannya dalam menentukan kebijakan masih sangat minim. Dan mengingat bahwa program penyediaan air berbasis masyarakat merupakan salah satu program pemerintah, maka peran pemerintah pasca konstruksi infrastruktur air bersih harus tetap ada, salah satunya dalam menjaga kelestarian air sehingga water security untuk sistem penyediaan air berbasis masyarakat dapat tercapai. Selain itu pada tahap operasi dan perawatan pemerintah juga perlu melakukan pengawasan dan evaluasi dari sistem, terutama dari segi keandalan teknologinya, agar keberlangsungan sistem dapat tetap dipertahankan. Usulan model pelaksanaan sistem penyediaan air bersih bagi masyarakat disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Usulan model

Dalam usulan konsep tersebut, permasalahan air tidak dilihat dari bagaimana air itu bisa dimanfaatkan akan tetapi bagaimana air itu dapat dilestarikan. Selain itu, keandalan infrastruktur air bersih juga merupakan parameter penting yang menjadi indikator keberlangsungan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat.

KESIMPULAN

Sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat harus dijaga keberlangsungannya, mengingat perannya yang sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan millennium. Hasil studi terdahulu menunjukkan banyak sistem

Page 254: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

234 Bandung, 12 September 2015

air bersih berbasis masyarakat yang mengalami kegagalan, terutama disebabkan keandalan air sumber baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas. Konsep water security, yang mengutamakan pelestarian air perlu diterapkan untuk merubah pola pikir masyarakat yang menganggap air adalah sumber daya yang dapat diperbaharui. Peran pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah sangat diperlukan, karena air adalah sumber daya milik masyarakat tanpa melihat batas administrasi, maka dibutuhkan adanya kebijakan lintas administrasi. Konsep IWRM menjadi suatu alat yang dapat memecahkan masalah ini. Pengelolaan air tidak hanya disumbernya, tetapi harus meliputi bagaimana air dibawa ke masyarakat, digunakan oleh masyarakat, dan bagaimana masyarakat melestarikannya. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan berperan dalam menyiapkan kerangka kebijakan mengenai sistem penyediaan air berbasis masyarakat terutama dalam hal ketersediaan sumber daya air serta upaya pelestariannya. Selain itu pemerintah juga harus memfasilitasi masyarakat dalam hal meningkatkan kemampuan penguasaan manajemen dan teknologi sistem penyediaan air bersih, sehingga keberlangsungan sistem dapat tercapai.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Center of Regulation and Governance, Universitas Ibn Khaldun Bogor, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung sebagai tim peneliti dalam proyek penelitian yang didanai oleh INDII-AIRA yang berjudul Opportunities and Challenges In Integrating Community-Based Water Services into The Legal Framework: An Indonesia Case Study.

REFERENSI

Alley,W.M., 2001. Ground water and climate. Ground Water. Vol.39, pp.161.

Allen,D.M., D.C. Mackie and M. Wei, 2003: Groundwater and climate change: a sensitivity analysis for the Grand Forks aquifer, southern British Columbia, Canada. Hydrogeology Jounal. Vol.2, pp.270-290.

Carter, R., Tyrrel, S., Howsan, P., 1999. Impact And Sustainability Of Community Water Supply And Sanitation Programmes In Developing Countries, Journal of the Chartered Institution of Water and Environmental Management, Vol 13, pp 292-296.

Cook, C., Bakker, K., 2012. Water security: Debating an emerging paradigm. Global Environmental Change. No. 22, pp. 94–102

Davis, J. and F. Brikké, 1995. Making Your Water Supply Work: Operation and Maintenance of Small Water Supply Systems. The Hague, the Netherlands: IRC International Water and Sanitation Centre.

Galvis, C., 2003. Technology selection for water treatment and pollution control, IRC, Netherland. Available from < http://www.irc.nl> [28 Sepetember 2013]

Isham J., Kahkonen, S., 1999. What Determines The Effectiveness of Community-Based Water Projects? Evidence From Central Java, Indonesia On Demand Responsiveness, Services Rules, and Social Capital, The World Bank, Washington

Josmar, L., 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Dan Keberhasilan Pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum Di Desa Wuran Dan Tarinsing Kabupaten Barito Timur. Magister Theses. Diponegoro University

Kundzewicz, Z.W., L.J. Mata, N.W. Arnell, P. Döll, P. Kabat, B. Jiménez, K.A. Miller, T. Oki, Z. Sen and I.A. Shiklomanov. 2007. Freshwater resources and their management. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 173-210.

Page 255: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

235

Pribadi, K.N., Octavia, P. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu Melalui Kebijakan Pengembangan Pembangunan Berkelanjutan di Cekungan Bandung, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 18 No. 2, Agustus 2007, pp. 1-32

Morrison, Jason, Mari Morikawa, Michael Murphy, and Peter Schulte. 2009. Water Scarcity & Climate Change. Ceres and Pacific Institute. Available at http://www. Pacins org/reports/business_water_climate/full_report. pdf 12.

Masduqi, A. Endah, N., Soedjono, E.S. 2008. ‗Sistem Penyediaan Air Bersih Perdesaan Berbasis Masyarakat: Studi Kasus HIPPAM di DAS Brantas Bagian Hilir‘ : Proceeding Seminar Nasional Pasca Sarjana VII-ITS, Surabaya.

World Water Council: In Final Report Second World Water Forum & Ministerial Conference. 2000. From Vision to Action. Edited by Water Management Unit c/o Ministry of Foreign Affairs. The Hague, NL

http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/corporate/undp_in_action_2006.html

http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001295/129556e.pdf

http://www.un.org/waterforlifedecade/human_right_to_water.shtml

Page 256: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

236 Bandung, 12 September 2015

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR DI KABUPATEN BOGOR

Widya Nasarita Fitriz1, Parindra Ardi Wardhana2, dan Meru Condro Wiguno2*

11PT. KWARSA HEXAGON * [email protected]

Abstrak

Jumlah penduduk dan urbanisasi saat ini masih menjadi permasalahan dalam tatanan kependudukan Indonesia. Tidak hanya menimbulkan permasalahan dalam aspek ekonomi, juga dalam aspek sosial yang berkaitan dengan tata ruang dan dan tata guna lahan untuk menjaga keberlanjutan keseimbangan alam. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk yang relatif padat, merupakan hulu dari Sungai Ciliwung, Pesanggrahan dan Kali Bekasi yang kerap meluap dan menimbulkan banjir saat musim penghujan. Kabupaten Bogor terdapat 95 buah situ yang terbentuk baik secara alami maupun buatan sejak pemerintahan Belanda, situ-situ tersebut merupakan salah satu upaya pengendalian daya rusak air yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian terutama bagi masyarakat hilir. Salah satu situ yang difungsikan untuk membantu mengendalikan daya rusak air tersebut adalah Situ Jampang sebagai pengendali banjir dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Keberadaan situ berkaitan dengan partisipasi masyarakat serta tatanan kelembagaan yang bertanggungjawab. Hal itu tidak terlepas dari kolaborasi aktif masyarakat di sekitar wilayah situ dan pemerintah pemangku tanggung jawab. Diperlukan adanya peraturan yang mengatur intervensi masyarakat sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan namun dapat saling memberikan manfaat salah satunya dengan penetapan area bebas pemukiman (Green Belt) serta kegiatan swadaya masyarakat pada situ yang memberikan intervensi positif dalam pengendalian daya rusak air.

Kata Kunci: swadaya masyarakat, daya rusak air, Kabupaten Bogor

LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis sering kali dihadapkan pada dua permasalahan musim di tiap tahunnya, yakni musim kemarau yang sering minimbulkan kekeringan di sebagian wilayah timur Indonesia dan musim penghujan yang tidak jarang menimbulkan banjir di sebagian wilayah barat Indonesia. Adanya perubahan cuaca ekstrim yang belakangan menjadi isu global menjadi satu tantangan tersendiri dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dtimbulkan salah satunya adalah permasalahan banjir. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi daya rusak air yang menimbulkan kerugian cukup besar terhadap lingkungan dan masyarakat.

Studi ini menganalisa terkait intervensi atau peran serta masyarakat dalam pengendalian banjir dengan mengambil lokasi studi yakni wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk yang cukup padat dan merupakan hulu dari tiga sungai besar yakni Sungai Ciliwung, Pesanggrahan dan Kali Bekasi dimana ketiga sungai tersebut kerap meluap dan menimbulkan banjir saat musim penghujan tiba. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mereduksi banjir yang terjadi di hilir tersebut adalah membangun situ sebagai tampungan air di wilayah hulu yakni di Kabupaten Bogor agar air hujan yang mengalir tidak langsung masuk kesungai, selain itu juga dengan melakukan konservasi terhadap Situ-situ yang telah ada sejak jaman pemerintah Belanda baik situ yang terbuat secara alami maupun buatan.

Keberadaan situ di Kabupaten Bogor menjadi salah satu upaya tampungan air sementara sebelum air mengalir langsung ke sungai, Situ situ terbuat secara interkoneksi mulai dari hulu hingga hampir menuju ke muara sungai.

Page 257: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

237

Beberapa Situ besar yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor yang difungsikan sebagai pengendali daya rusak air adalah Situ Jampang.

Situ Jampang sebagai lokasi studi terletak di Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dimana sumber air situ berasal dari mata air larian dan berasal dari saluran situ Kemang yang berada di hulu. Luas genangan Situ Jampang pada tahun 2008 adalah seluas 20,50 Ha (Program Konservasi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, 2008), pada tahun 2009 adalah sebesar 17, 83 Ha (Daftar Situ Potensial Kabupaten Bogor, Subdit Sungai, Danau, dan Waduk, Kementerian PU, 2009) sedangkan pada tahun 2014 adalah sebesar 16,9 Ha (Laporan analisa Topografi, PT. Ganesha Piramida, 2014), berdasarkan hal ini memperlihatkan adanya penurunan angka luas genangan dari Situ Jampang. Pada Gambar 1 dapat terlihat kondisi lokasi Situ Jampang dari citra google earth tahun 2014, dimana lahan yang berada di sekitar wilayah Situ Jampang tertutupi oleh pemukiman penduduk.

Gambar 1. Lokasi Situ Jampang Kabupaten Bogor (sumber : google earth)

Kondisi ini dinilai cukup memprihatinkan dimana terjadi penurunan angka luas genangan dari salah satu situ yang berpotensi mereduksi banjir di hilir ini, dimana pengurangan dari luas genangan itu terjadi akibat adanya sedimentasi dari kegiatan budidaya ikan, penyalah gunaan lahan situ dengan mendirikan bangunan semi permanen di sekitar wilayah situ, okupasi yang menimbulkan adanya penurunan nilai manfaat. Adanya permasalahan sedimentasi mengakibatkan berkurangnya kapasitas pengendalian banjir. Bayangkan jika semua situ-situ yang berpotensi mereduksi banjir mengalami hal yang sama seperti di atas tanpa adanya suatu regulasi yang dapat menertibkan kondisi tersebut, maka kapasitas tampungan situ dalam mereduksi banjir dan menjadi tampungan air sementara akan berkurang kondisi nya dan tentunya akan semakin memperparah kondisi di wilayah hilir saat terjadi banjir. Kondisi eksisting pada Situ Jampang dapat terlihat pada Gambar 2 berikut.

Page 258: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

238 Bandung, 12 September 2015

Gambar 2. Kondisi Eksisting Situ Jampang (Dokumentasi, 2014)

Keberlangsungan dari keberadaan situ yang berperan dalam pengendalian daya rusak air ini tidak terlepas dari peran serta masyarakat yang menempati wilayah di sekitar situ. Tidak jarang adanya intervensi masyarakat sekitar terhadap keberlangsungan situ memberikan dampak yang buruk terhadap keberlanjutan dari kondisi situ. Sehinga dalam hal ini perlu adanya suatu upaya untuk mengikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya melestarikan keberadaan situ sebagai langkah keikutsertaaan dalam pengendalian daya rusak air.

METODOLOGI STUDI Metodologi pelaksanaan dari studi adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data analisa studi terdahulu

2. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mngumpulkan hasil analisa studi terdahulu Situ Jampang

3. Analisa Topografi & Tata Guna Lahan

4. Analisa Topografi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi Topografi Situ Jampang dan kondisi tata guna lahan wilayah Situ Jampang

5. Analisa tampungan Situ Jampang

6. Analisa tampungan Situ Jampang dilakukan dengan melakukan beberapa analisa hidrologi untuk mengetahui kapasitas tampungan Situ Jampang dalam mereduksi banjir

7. Rencana Partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi

8. Penyusunan konsep rencana keikutsertaan masyarakat dalam upaya konservasi Situ Jampang

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

1. Analisa Studi Terdahulu

Konsep peningkatan efektifitas pengelolaan tata ruang wilayah telah menjadi prioritas utama, dimana konsep perencanaan dan pengelolaan kawasan tersebut harus berfungsi dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Namun dengan pesat nya angka pertumbuhan penduduk, dan adanya konversi penggunaan lahan menyebabkan perubahan yang cukup besar pada wilayah lingkungan tersebut. Berdasarkan analisa yang dilakukan pada kajian terdahulu (Oji Hadijah, 2002) menyebutkan bahwa Situ Jampang memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Secara ekologis, fungsi situ ini adalah sebagai daerah resapan air tanah bagi masyarakat sekitar, sebagai pengendali banjir, suplesi irigasi/sumber air bagi kolam kolam ikan di desa setempat. Secara ekonomis, fungsi Situ

Page 259: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

239

Jampang adalah sebagai tempat bagi masyarakat setempat untuk melakukan kegiatan budidaya ikan dalam keramba jaring tancap dan kolam-kolam di tepian situ yang dibendung dengan cara membuat pematang pada perairan tepi situ.

Adanya perubahan tata guna lahan di sekitar situ menimbulkan dampak yang cukup buruk terhadap fungsi situ salah satunya sebagai pengendali banjir. Adanya aktifitas manusia memiliki keterkaitan erat terhadap keberlanjutan dari kondisi lingkungan, seperti halnya Situ Jampang yang terletak di tengah kawasan pemukiman Talaga Kahuripan. Aktifitas di luar dan di dalam situ sangat mempengaruhi kualitas air dan morfometri situ. Aktifitas di luar situ diantaranya adalah perkebunan, pemukiman, dan rekreasi, sedangkan aktifitas yang berlangsung di dalam situ adalah kegiatan budidaya ikan keramba, penangkapan ikan.

Adanya perubahan tata guna lahan di sekitar situ menjadi masukan limbah yang menimbulkan ancaman pendangkalan akibat endapan yang masuk serta adanya erosi lahan sekitar yang menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan situ yang diikuti dengan menurunnya kualitas dan kuantitas perairan situ.

Analisa Topografi & Tata guna lahan

Untuk mengetahui kondisi Topografi dari Situ Jampang, dilakukan beberapa kegiatan pengukuran. Hasil pengukuran ini penulis dapatkan dari laporan analisa Topografi Situ Jampang yang dilaksanakan oleh PT. Ganesha Piramida pada tahun 2014 yang tertuang dalam Gambar 3, dalam kegiatan Rehabilitasi Situ Jampang. Dalam kegiatan survey Topografi ini dilakukan beberapa pengukuran yakni pengukuran bathimetri dan Tachimetri. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, diketahui luas genangan Situ Jampang pada tahun 2014 adalah seluas 16,9 Ha.

Gambar 3. Kondisi sekitar wilayah Situ Jampang

Tata guna lahan di sekitar situ meliputi pemukiman penduduk di sebelah timur dan barat. Di sebelah utara situ merupakan daerah outlet yang di sekitarnya terdapat kebun. Disebalah selatan terdapat taman dan jalan akses komplek perumahan, dan di sebelah barat terapat perkebunan singkong dan pisang. Di pinggiran situ terdapat banyak kolam ikan yang diberi pematang. Berdasarkan hasil survey dan infomasi masyarakat sekitar diketahui jenis ikan yang dipelihara di dalam keramba antara lain jenis ikan betutu, ikan mujair, ikan tawes, ikan nilem, ikan mas, ikan gurame, dan jenis udang air tawar.

BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR

BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR

BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR

OUTLET SETU JAMPANG (CILALA)

JEMBATAN KOMPLEK PERUMAHAN TELAGA

KAHURIPAN

Page 260: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

240 Bandung, 12 September 2015

Analisa Tampungan Situ Jampang

Analisa kapasitas tampungan Situ Jampang dilakukan untuk mengetahui volume tampungan Situ Jampang dalam menampung air maupun sebagai pereduksi banjir. Dalam analisa Hidrologi yang dilakukan, diketahui luas DAS dari Situ Jampang adalah seluas 35, 49 Km2 seperti yang terlihat pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Das Situ Jampang

Di dalam wilayah DAS Situ Jampang terdapat dua aliran sungai yakni Sungai Angke dan Sungai Cibeutung dimana keduanya bermuara pada pada sungai Ciliwung. Dalam melakukan analisa hidrologi, data hujan yang digunakan berasal dari dua stasiun hujan terdekat yakni stasiun Darmaga dan stasiun hujan Perk. Kuripan. Diagram alir analisa hidrologi yang dilakukan adalah seperti pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5. Diagram Alir Analisa Hidrologi Situ Jampang

LUAS DAS : 35,49 km² PEMUKIMAN : 18,43 km² TANAH LADANG : 4,99 km² SAWAH : 4,82 km² PADANG RUMPUT : 3,98 km² KEBUN : 3,28 km²

Page 261: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

241

Perhitungan hujan rancangan dilakukan dengan melakukan analisis frekuensi. Analisa frekuensi dimaksudkan untuk mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan analisa distribusi probabilitas. Probabilitas yang dimaksud disini adalah suatu kejadian akan menyamai atau lebih besar dari suatu nilai tertentu (hujan dengan kala ulang T). Kejadian ekstrim yang dimaksud dalam hal ini adalah hujan harian maksimum setiap tahun yang diukur dalam beberapa tahun. Dari data hujan yang didapatkan, didapatkan hasil analisa distribusi hujan rencana seperti yang terlampir pada Tabel 1 berikut ini;

Tabel 1. Analisa Distribusi Hujan Rencana

Dan dilakukan analisa uji probabilitas dengan menggunakan metode uji distribusi probabilitas Chi-Square dan uji probabilitas Smirnov – Kolmogorof. Setelah dilakukannya uji probabilitas maka dapat dilanjutkan dengan analisis koefisien pengaliran DAS. Analisa koefisien pengaliran DAS merupakan satu tahapan yang dilakukan sebelum menghitung analisa debit banjir rencana dengan menggunakan hidograf Banjir. Analisis koefisien pengaliran DAS mencakup beberapa analisa yakni perhitungan intesitas hujan, durasi, dan frekuensi hujan, koefisien pengaliran (run off). Koefisien aliran (run off) dihitung berdasarkan tata guna lahan serta kemiringan lahan. Dalam analisa hidrologi Situ Jampang, wilayah DAS dibagi menjadi 4 Sub Das seperti yang terlihat pada Gambar 6, dan didapatkan hasil perhitungan seperti pada Tabel 2 hingga Tabel 4 berikut:

Tabel 2. Uji Probabilitas Chi-Square

PERHITUNGAN CHI SQUARE TEST

Data, ( N ) = 12

Jumlah Kelas, K

K = 1 + 3,322 Log N

K = 5

Signifikansi (a, %) = 5.00

D kritis = 21.026

Expected Frequency, (EF) = 2.40

No Observed Ef - Of ( Ef - Of )2

Of Ef - Of ( Ef - Of )2

Of Ef - Of ( Ef - Of )2

Of Ef - Of ( Ef - Of )2

Of Ef - Of ( Ef - Of )2

Of Ef - Of ( Ef - Of )2

Frequency

( Of )

1 3 0.60 0.36 3 0.60 0.36 3 0.60 0.36 2 0.40 0.16 3 0.60 0.36 4 1.60 2.56

2 1 1.40 1.96 1 1.40 1.96 1 1.40 1.96 2 0.40 0.16 1 1.40 1.96 0 2.40 5.76

3 1 1.40 1.96 2 0.40 0.16 2 0.40 0.16 3 0.60 0.36 2 0.40 0.16 3 0.60 0.36

4 5 2.60 6.76 4 1.60 2.56 4 1.60 2.56 5 2.60 6.76 4 1.60 2.56 2 0.40 0.16

5 2 0.40 0.16 2 0.40 0.16 2 0.40 0.16 0 2.40 5.76 2 0.40 0.16 3 0.60 0.36

12.00 11.20 12.00 5.20 12.00 5.20 12.00 13.20 12.00 5.20 12.00 9.20

D KRITIS 21.03 21.03 21.03 21.03 21.03 21.03

X2 hitung 4.67 2.17 2.17 5.50 2.17 3.83

KESIMPULAN Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima

JUMLAH

Probability

( P )

0.00 < P <= 20.00

20.00 < P <= 40.00

40.00 < P <= 60.00

60.00 < P <= 80.00

80.00 < P <= 100.00

Log Pearson IIINormal Log Normal 2 Par. Log Normal 3 Par. Gumbel Pearson III

Page 262: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

242 Bandung, 12 September 2015

Tabel 3. Uji Distribusi Hujan Smirnov-Kolmogorof

Tabel 4. Analisa Koefisien Pengaliran DAS

Gambar 6. Pembagian Sub-DAS

Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa Debit Banjir Rancangan. Debit banjir rancangan dihitung berdasarkan hubungaan antara hujan dan aliran. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan debit banjir rancangan pada analisa ini adalah dengan metode hidrograf satuan sintetik menurut satuan sintetik Gama I (HSS Gama I) yang sesuai dengan kondisi dan parameter DAS yang berada di pulau jawa dan analisa debit banjir rancangan juga dapat dihitung dengan menggunakan pemodelan pada aplikasi HEC-HMS seperti pada Gambar 7.

Kala Ulang T

(Tahun) t Normal Lognormal Lognormal Gumbel I Pearson III Log

2 Paramet. 3 Paramet. Pearson III

2 0.0000 102.8 97.8 97.8 98.2 97.4 95.2

5 0.8416 131.0 127.7 127.7 136.7 128.0 125.0

10 1.2816 145.7 146.8 146.8 162.2 147.5 147.1

20 1.6449 157.8 164.7 164.7 186.7 165.4 170.2

25 1.7507 161.4 170.3 170.3 194.5 171.0 178.0

50 2.0537 171.5 187.5 187.4 218.4 187.9 203.1

100 2.3263 180.6 204.4 204.3 242.1 204.2 230.3

200 2.5758 189.0 221.3 221.1 265.8 220.1 259.8

1000 3.0902 206.2 260.5 260.1 320.6 256.1 338.8

Penyimpangan Maksimum 17.29 11.49 11.52 12.75 10.85 10.97

37.5 37.5 37.5 37.5 37.5 37.5

Hasil Uji Smirnov - Kolomogorof diterima diterima diterima diterima diterima diterima

Distribusi Probabilitas

Delta Kritis (Sig. Level 5 %)

No Nama DPSLuas DPS

(km2)

Panjang Sungai

Utama (km)

Koefisien

Pengaliran ( C )

Elevasi Hulu H1

(m)

Elevasi Hilir H2

(m)∆H (m)

Kemiringan rerata

Sungai (I)

1 Sub Das 1 2.78 1.96 0.75 125.00 112.50 12.50 0.0071

2 Sub Das 2 1.52 2.48 0.75 150.00 125.00 25.00 0.0112

3 Sub Das 3 9.58 5.00 0.75 175.00 125.00 50.00 0.0111

4 Sub Das 4 21.61 12.34 0.75 237.50 125.00 112.50 0.0101

Page 263: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

243

Gambar 7. Simulasi Pemodelan HEC-HMS

Parameter DAS yang digunakan dalam analisa Hidrograf Banjir Satuan Metode Gama I DAS Jampang dibagi dalam 4 Sub Das, berikut analisa Hidograf Banjir Satuan Metode Gam I DAS Situ Jampang ditunjukkan pada Tabel 5 :

Sub DAS Unit Hidograf

(a) Sub DAS 1 (b) Sub DAS 2

(c ) Sub DAS 3 (d) Sub DAS 4

Gambar 8. Hidograf Bajir Satuan Metode Gama I

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

De

bit

(m

3/d

et)

Waktu (jam)

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

Q2 Q5 Q10 Q20 Q50 Q100 Q1000

Q100 = 14,98 m3/dtk

0

10

20

30

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Deb

it (

m3/d

et)

Waktu (jam)

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

Q2 Q5 Q10 Q20 Q50 Q100 Q1000

Q100 = 110,44 m3/dtk

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

De

bit

(m

3/d

et)

Waktu (jam)

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

Q2 Q5 Q10 Q20 Q50 Q100 Q1000

Q100 = 14,98 m3/dtk

0

10

20

30

40

50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Deb

it (

m3/d

et)

Waktu (jam)

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

Q2 Q5 Q10 Q20 Q50 Q100 Q1000

Q100 = 164,46 m3/dtk

Page 264: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

244 Bandung, 12 September 2015

Dari hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan Hidograf Banjir Satuan Metode Gama I ditunjukkan pada Gambar 8. Untuk mengetahui kapasitas tampungan Situ Jampang, maka dilakukan analisa Routing banjir dalam kondisi eksisting. Analisa Routing dilakukan dengan menggunakan aplikasi HEC-HMS. Berikut tahapan Routing banjir pada kondisi eksisting seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Gambar 9. Analisa Perhitungan Routing menggunakan HEC-HMS

Dari analisa, didapatkan data elevasi-storage Situ Jampang sebagai berikut:

Gambar 10. Hubungan Elevasi-Tampungan Situ Jampang hasil simulasi HEC-HMS

Dari data analisa tampungan dan elevasi pada kondisi eksisting, didapatkan debit banjir rencana dengan simulasi banjir ditunjukkan pada Gambar 11:

Gambar 11. Simulasi Reservoir Situ Jampang

Page 265: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

245

Gambar 12. Hasil analisa routing banjir

Dari hasil simulasi tampungan pada kondisi eksisting yang dilakukan dan seperti yang dijelaskan pada Gambar 11, dapat disimpulkan bahwa tampungan maksimum Situ Jampang adalah 749.4 m3, dan elevasi tertinggi banjir berada pada elevasi +141,9 mdpl, untuk elevasi eksisting tanggul berada pada elevasi +142.00 mdpl ditunjukkan pada Gambar 12. Pada kondisi ini kondisi tampungan Situ Jampang masih cukup untuk menampung debit banjir yang ada, namun elevasi tinggi banjir rencana yang akan terjadi cukup mendekati elevasi kritis yankni pada elevasi tertinggi tanggul yaitu +142. Oleh sebab itu hal ini menjadi sangat beresiko apabila terjadi banjir kala ulang seperti yang telah disimulasikan, dapat dikatakan kondisi ini berbahaya sehingga dengan kondisi Situ Jampang saat ini dengan sedimentasi yang tinggi dan semakin menyempitnya luas genangan akibat aktivitas masyarakat di pinggiran Situ diperlukan adanya upaya konservasi salah satunya dengan melakukan pengerukan sedimen dan penataan lahan di sekitar wilayah Situ.

Untuk mewujudkan hal ini tentunya membutuhkan koordinasi yang sinkron antara pemerintah, pengelola situ dan peran aktif masyarakat.

1. Rencana Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Konservasi

Mengingat pentingnya peran dari keberadaan Situ Jampang, maka dibutuhkan upaya – upaya dalam pelestarian dan langkah konservasi demi menjaga nilai manfaat dari keberadaan Situ Jampang sebagai pereduksi banjir atau pengendali daya rusak air. Adanya aktifitas masyarakat baik di luar situ maupun di luar situ menimbulkan beberapa resiko yang dapat mengurang potensi manfaat dari Situ. Hal ini lah yang perlu diberikan solusi agar intervensi yang diberikan masyarakat di sekitar waduk tidak berdampak negatif terhadap Situ dimana salah satu ancaman utama dalam kelestarian Situ Jampang adalah permasalahan Sedimentasi.

Untuk mencegah meningkatnya masukan padatan tersuspensi ke perairan Situ Jampang, maka penggunaan tata guna lahan harus diperhatikan. Salah satunya adalah penggunaan lahan kebun. Kebun harus mempunyai bedengan sehingga ketika hujan air yang mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari kebun tidak langsung mengalir dalam perairan Situ.

Segala bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan pendangkalan, pencemaran, dan perkembangan gulma air harus dicegah atau diminimalkan. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah penetapan area hijau berupa “green belt” minimal 50 m dari sisi terluar situ. Penetapan area hijau dapat dilakukan misalnya dengan menanam pepohonan di sekitar Situ sebagai pagar batas wilayah Situ. Hal lainnya adalah perlu pengendalian terhadap kegiatan keramba ikan yang menjadi penyumbang sedimentasi pada Situ dari sisa pakan ikan dan sekresi. Untuk mencegah tumpang tindih kegiatan di wilayah Situ Jampang perlu dibuat suatu aturan pembagian zona wilayah pemanfaatan, dimana terdapat beberapa lokasi larangan adanya pembuatan keramba ikan untuk mengendalikan aktifitas tersebut.

Perencanaan partisipasi masyarakat didasarkan pada konsep mempelajari latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan pemikiran masyarakat dalam upaya menggerakkan kesadaran masyarakat agar dapat berperan serta aktif dalam upaya konservasi situ dan diharapkan dapat diterapkan pada Situ-situ lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan

Page 266: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

246 Bandung, 12 September 2015

kerja sama antar pihak pemegang kepentingan dengan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat serta melakukan beberpa upaya atau solusi yang tidak merugikan bagi masyarakat

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari hasil analisa yang dilakukan diketahui bahwa fungsi dari Situ Jampang sebagai pereduksi banjir mengalami degradasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dari faktor-faktor penyebab tersebut sebagian besar dikarenakan adanya intervensi masyarakat terhadap keberlangsungan Situ.

Dari tahun ke tahun terjadi penurunan angka luas genangan dari Situ Jampang yang disebabkan adanya aktifitas ikan keramba masyarakat dan akibat sedimentasi yang masuk ke dalam aliran Situ. Penurunan luas genangan ini tentunya menyebabkan penurunan kapasitas tampungan Situ Jampang. Berdasarkan analisa yang dilakukan diketahui saat ini kapasitas tampungan Situ Jampang adalah 749,4 (1000 m3) dan pada saat banjir kala ulang maksimum terjadi, kondisi tampungan Situ Jampang ada dalam kondisi kritis terhadap batas aman tampungan Situ.

Besar nya resiko yang dapat ditimbulkan dari kerusakan dan degradasi manfaat situ seharusnya menjadi alasan yang kuat untuk dapat mengikutsertakan masyarakat untuk berperan dalam konservasi pemeliharaan situ-situ maupun tampungan air lainnya. Karena kerusakan yang terjadi dapat menimbulkan resiko yang cukup serius pada jangka waktu kedepannya. Sehingga saat ini dibutuhkan upaya-upaya dari seluruh pihak terkait untuk mengantisipasi bahaya dari kerusakan yang terjadi.

Rekomendasi

Beberapa langkah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi lingkungan tersebut antara lain:

1. Melakukan sosialisasi akan pentingnya konservasi Situ dan besarnya manfaat situ dan juga besarnya potensi bahasa yang ditimbulkan

2. Pembagian zona pemanfaatan situ, dimana terdapat beberapa area larangan pembuatan keramba ikan, terutama di wilayah cekungan cekungan di Situ, sehingga hal ini dapat menekan pertumbuhan jaring keramba

3. Penetapan jenis ikan yang diizinkan untuk dipelihara di Situ. Hal ini berkaitan dengan jenis pakan dan sekresi yang ditimbulkan

4. Pengalihan kegiatan intervensi langsung masyarakat terhadap situ dengan kegiatan yang tidak berdampak langsung dengan keberlanjutan situ, seperti misalnya pembuatan kolam ikan di hilir situ tentunya kegiatan ini membutuhkan peran serta dari pemerintah setempat dan instansi terkait agar kegiatan konservasi tetap berlanjut namun tidak menghilangkan mata pencaharian masyarakat setempat

UCAPAN TERIMA KASIH Saya ucapkan terimakasih ini kepada:

1. Allah SWT atas nikmat kesehatan dan berkah ilmu pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini

2. PT. Kwarsa Hexagon atas kesempatan belajar dan mengembangkan potensi serta memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini beserta rekan rekan yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun

Page 267: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

247

REFERENSI

PT.GANESHA PIRAMIDA, 2014. Laporan Survey dan Analisa Topografi Situ Jampang, Bandung.

Program Koservasi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane,2008.

Subdit Sungai, Danau dan Waduk, 2009. Daftar Situ Potensial Kabupaten Bogor. Kementrian PU.

Hadijah, Oji, 2002. Kajian Morfometri dan Karakteristik Kualitas Air Situ Jampang, Kemang, Bogor, Jawa Barat. Vol.1 (1): 34-39

Page 268: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

248 Bandung, 12 September 2015

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

EVALUASI TINGKAT KEPEKAAN SISWA TERHADAP PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR

Anastasia Septya Wardaningrum* dan Tidani Sillo Hines Aluhnia Zebua**

Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Krida Wacana *[email protected] ; **[email protected]

Abstrak

Pencemaran sumber air dan penggunaan air secara besar-besaran menjadi faktor utama penyebab terjadinya krisis air bersih. Ironisnya tindakan tersebut telah dilakukan dari generasi ke generasi, manusia cenderung meneladani sikap generasi sebelumnya yang merasa bahwa kuantitas air bersih lebih dari cukup. Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan siswa/siswi terkait ketersediaan sumber air bersih di Indonesia serta meningkatkan kepekaan siswa/siswi terhadap ketersediaan sumber air bersih di Indonesia. Penelitian terhadap pemahaman siswa/siswi SD dan SMP dengan melakukan penyuluhan tentang konservasi air. Dalam kegiatan penyuluhan tersebut peserta diminta untuk mengisi kuesioner baik sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan dilaksanakan. Dari hasil analisis yang ada, tingkat pemahaman siswa/i sebelum penyuluhan konservasi air sangat kurang, namun setelah dilakukan penyuluhan konservasi pengetahuan mulai meningkat dan ada keinginan dari para siswa/i untuk berperan serta dalam konservasi air setelah dilakukan penyuluhan.

Kata Kunci: pencemaran sumber air, konservasi air, level of awareness, siswa/i, Ujung Menteng.

LATAR BELAKANG Faktor utama krisis air bersih adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang air. Mereka berpikir bahwa air mudah didapatkan karena air memenuhi 70% bagian dari bumi. Padahal tidak semuanya air layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kurangnya pemahaman tersebut secara tidak langsung menumbuhkan rasa ketidakpedulian terhadap air. Hal tersebut terlihat dari tindakan masyarakat seperti menggunakan air secara tidak efisien serta membuang sampah di sungai ataupun sumber-sumber air lainnya. Kegiatan ―mencemari dan menghabiskan sumber daya air‖ seakan telah menjadi budaya dari generai ke generasi selanjutnya. Banyak sumber air kini telah dihiasi oleh tumpukan sampah yang terus bertambah tiap tahunnya. Tidak hanya itu, perlakuan masyarakat dalam pemakaian air dapat dinilai terlalu boros. Penulis menyadari bahwa perlunya dilakukan pengkajian kesadaran generasi muda terhadap air dan berharap generasi muda dapat memiliki pemahaman yang lebih baik.

Peran air di bumi sangat besar dalam menentukan kelangsungan makhluk hidup di bumi karena setiap makhluk hidup khususnya manusia memiliki kebutuhan akan air. Air menjadi salah satu elemen di bumi yang perannya tidak dapat tergantikan oleh yang lain. Menurut beberapa sumber yang Penulis dapatkan dari internet ada beberapa sumber air yang dikenal oleh manusia, adalah air permukaan dan air tanah.

Air yang dibutuhkan oleh manusia adalah air bersih dan sehat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan mata telanjang manusia dapat membedakan suatu sumber daya air dapat dikatakan sebagai air bersih atau tidak. Meski demikian perlu adanya penelitian apakah air tersebut dapat dikatakan sebagai air bersih. Menurut beberapa sumber yang telah disimpulkan oleh Penulis, terdapat beberapa indikator air bersih, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Jernih. 2. Tidak berbau 3. Tidak berwarna 4. Tingginya nilai kelarutan oksigen.

Page 269: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

249

5. pH netral (6,8 - 9,0) Pada Gambar 1 terlihat skala dari pH mulai dari 0 hingga 14, dan terlihat juga indikasi kandungan yang ada dalam air dan dampak yang diakibatkan jika air mencapai pH dengan angka tertentu.

Gambar 1. Skala pH

Sumber : ‖ http://aerofresh.blogspot.com/p/air-adalah-makhluk-hidup.html‖

Sumber daya air memiliki istilah ―kuantitas‖ dan ―kualitas‖. Kuantitas dan kualitas sumberdaya air memiliki definisi yang berbeda tetapi keduanya berkaitan satu sama lain. Kuantitas sumber daya air dapat diartikan sebagai banyaknya air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan makhluk hidup khususnya manusia. Sedangkan kualitas sumber daya air merupakan indikator apakah air tersebut layak untuk dimanfaatkan atau tidak. Kuantitas suatu sumber daya air tertentu belum tentu memiliki kualitas yang baik namun air yang berkualitas baik dalam jumlah tertentu merupakan bagian kuantitas sumber daya air itu sendiri. Sumber daya air yang memiliki kualitas yang baik untuk digunakan disebut air bersih. Ketika sumber daya air di suatu daerah berkualitas baik tetapi tidak mencukupi dalam segi kuantitas hal itu tentu saja pertanda bahwa daerah itu terkena krisis air, dan begitu juga sebaliknya.

Indonesia adalah salah satu negara dari sepuluh negara yang kaya dengan air. Hal ini dapat dibuktikkan dengan ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter kubik per kapita per tahun. Namun kuantitasnya yang tidak sebanding dengan penduduknya membuat Indonesia mengalami krisis air bersih. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat memperkirakan krisis air pertama kali akan dialami oleh Pulau Jawa karena penduduknya yang banyak, dan akan diikuti Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Beberapa daerah di Indonesia mengalami krisis air bersih pada tahun 2012, contohnya adalah kota Semarang pada September 2012 akibat kemarau yang berkepanjangan masyarakat tidak memiliki akses untuk mendapatkan air bersih lalu masyarakat terpaksa antri untuk mendapatkan air bersih bantuan dari PDAM Kota Semarang, dan bahkan ada yang terpaksa memakai air yang tentunya tidak layak untuk urusan mandi, cuci, kakus (MCK). Kalau benar-benar terpaksa mereka tetap menggunakan air sumur, yang harus didiamkan semalam dulu supaya kotorannya mengendap, sehingga air yang menjadi bersih dan dapat dipakai.

Dalam studi ini, akan dibahas beberapa pokok-pokok permasalahan diantaranya:

1. Bagaimanakah kualitas salah satu sumber daya air yang ada di Ujung Menteng, Jakarta Timur?

2. Bagaimanakah tingkat kepekaan siswa/siswi terhadap sumber air bersih yang ada di sekitarnya?

3. Apakah dengan melihat fakta-fakta yang ada di sekitarnya para siswa/i akan berkeinginan untuk melakukan konservasi sumber daya air?

Page 270: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

250 Bandung, 12 September 2015

METODOLOGI STUDI Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:

1. Pengujian kualitas air yang melibatkan siswa/i secara langsung di sumber daya air terdekat dengan sekolah. Adapun parameter-parameter yang diuji adalah tingkat kekeruhan air, kadar oksigen yang terlarut dalam air, kadar pH, suhu air serta suhu udara di sekitar sumber daya air.

2. Membagikan kuesioner yang diisi oleh siswa/i sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan dengan butir-butir pertanyaan yang sama. Tujuannya adalah:

a. Untuk mengukur tingkat kepekaan siswa/siswi terhadap sumber daya air sebelum dan sesudah penyuluhan diadakan.

b. Untuk mengukur keinginan dan kepeduliaan siswa/i terhadap konservasi air.

3. Pengolahan data dengan Microsoft Excel.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Pengujian Kualitas Air

Pengujian kualitas air merupakan kegiatan pengujian kualitas air di suatu sumber air (sungai) yang dalam pengujiannya melibatkan siswa/i secara langsung. Kegiatan ini bertujuan agar siswa/i yang mengikuti kegiatan tersebut dapat mengetahui secara langsung kualitas air di sumber air sekitar lokasi sekolah dan diharapkan dapat meningkatkan rasa kepedulian terhadap kelestarian air. Kegiatan ini telah dilaksanakan di sungai Ujung Menteng, Cakung Jakarta Timur. Tabel 1 merupakan kesimpulan dari hasil pengujian kualitas air yang telah dilakukan.

Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Sumber Daya Air di Aliran Sungai Ujung Menteng

Parameter Pengujian Data Pengujian

Turbidity (tingkat kekeruhan) 40.000 JTU

Dissolved Oxygen (kadar udara) 4.000 ppm

pH (tingkat keasaman) 7

Water Temperature (suhu) 28˚C

Air Temperature (suhu udara) 32˚C

Hasil pengujian kualitas air diperoleh:

Turbidity = 40.000 JTU Kekeruhan yang menunjukkan angka 40.000 JTU membuktikan adanya partikel-partikel yang masih membuat air tersebut keruh secara fisik. Keruhnya air tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kontaminasi dari tanah liat atau lumpur akibat adanya erosi; kontaminasi buangan limbah masyarakat; kontaminasi bahan organik dan anorganik.

Dissolved Oxygen = 4.000 ppm Kadar oksigen yang terlarut di dalam air sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme akuatik. Semakin rendah suhu ataupun tinggi suatu sumber air, maka semakin tinggi kadar oksigen yang terkandung di dalam air tersebut. Hasil pengujian tersebut menunjukan bahwa air tersebut memiliki kadar oksigen yang baik.

pH = 7 Kadar pH sumber daya air sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan akuatik yang hidup di air tersebut. Kadar pH dapat di pengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah hujam asam, pembuangan air limbah jenis batuan di sekitar lokasi sumber air. Dari hasil pengujian, terlihat bahwa air tersebut memiliki pH yang normal dan baik untuk menjadi tempat hidup bagi hewan akuatik.

Water Temperature = 28˚C

Page 271: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

251

Suhu air tersebut belum mencapai suhu optimal meskipun suhu udara di sekitar lokasi pengujian mencapai 32˚C. Adanya hasil temperatur dari air tersebut menjelaskan bahwa air tersebut masih memiliki kadar oksigen yang cukup baik sehingga organisme akuatik daerah tropis masih dapat hidup di lokasi tersebut. Akan tetapi penggunaan air tersebut tidak berlaku untuk dikonsumsi karena belum diketahui kandungan kimia ataupun bakteri apa saja yang terkandung dalam air tersebut.

Analisa Kepekaan Siswa/i terhadap Sumber Daya Air & Kepeduliaan terhadap Upaya Konservasi

1.1 Data Responden Kegiatan yang melibatkan beberapa dosen dan mahasiswa ini telah terlaksana 59 orang siswa/i di tahun 2013. Dalam kegiatan ini siswa/i diminta untuk mengisi kuesioner kepekaan siswa/i terhadap sumber daya air & kepeduliaan siswa/i terhadap upaya konservasi sebanyak dua kali, dimana kuesioner tersebut diberikan sebelum dan sesudah penyuluhan dilakukan. Adapun bentuk pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut dibagi menjadi dua tujuan:

a. Nomor pertanyaan 1,2,4,6 bertujuan untuk mengukur tingkat kepekaan terhadap sumber daya air. b. Nomor 3,5,7 bertujuan untuk mengukur kepedulian siswa/i terhadap upaya konservasi air.

Adapun bentuk pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Bentuk Pertanyaan Kuesioner

No. Pertanyaan Jawaban Pilihan

1. Apa yang Anda ketahui tentang air?

Sumber daya yang tiada habisnya. Sumber daya yang terbatas keberadaannya.

Sumber daya yang senantiasa mudah didapatkan dimana saja dan kapan saja.

Sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya.

2. Seberapa banyak air yang bersih dapat dimanfaatkan untuk kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia

yang hidup di dunia ini?

70% dari bumi dikelilingi air, dan sebanyak itulah yang dapat dimanfaatkan manusia.

40% air bersih yang tersedia di dunia ini. Hanya 1-2% air bersih dari semua air yang ada.

25% dari semua air di permukaan bumi ini.

3. Apa itu konservasi air?

Upaya untuk melakukan penghematan dari pemakaian air.

Upaya untuk memaksimalkan penggunaan air. Upaya untuk menjernihkan air.

Upaya untuk mengurangi pemakaian air.

4. Apa yang Anda ketahui tentang kualitas air?

Mutu air agar layak dimanfaatkan. Jumlah air yang tersedia.

Banyaknya air yang tersedia. Air yang jernih.

5. Jika kita hendak mengetahui kualitas air, ada berapa parameter yang harus kita uji, diantaranya adalah :

Keasaman (pH), kejernihan. Kandungan oksigen.

Kandungan bakteri/ bahan padat lainnya. Semuanya benar.

6. Bagaimana pendapat Anda tentang sumber-sumber air seperti sungai, danau, waduk, dan lainnya yang

penuh dengan tumpukan sampah?

Tidak masalah, karena sampah-sampah tersebut akan mengalir dibawa arus juga.

Akan menimbulkan masalah besar bagi kualitas air dan keseimbangan ekosistem.

Akan menimbulkan masalah besar bagi penataan kota yang memperlambat aliran air, sehingga

menyebabkan banjir. Setuju dengan jawaban B dan C.

Page 272: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

252 Bandung, 12 September 2015

7. Apaka menurut Anda kita perlu berhemat dalam

memanfaatkan air?

Ya, karena air mahal harganya. Ya, karena sumber daya air terbatas jumlahnya. Tidak, karena kita masih mampu membayar dan

membeli air. Tidak, karena air masih banyak jumlahnya

Tabel 3 adalah rincian hasil pemahaman siswa/i berdasarkan perhitungan jawaban kuesioner:

Tabel 3. Data Kuesioner Pemahaman Siswa/i Sebelum Penyuluhan

No. Pilihan Jawaban Kuesioner

Abstain* A B C D

1 29 14 3 12 1

2 25 27 4 1 2

3 41 4 11 2 1

4 47 0 6 6 0

5 13 0 0 45 1

6 1 5 4 49 0

7 2 50 1 6 0

(*) Jawaban pada kuesioner tidak diisi/tidak jelas

Tabel 4. Data Kuesioner Pemahaman Siswa/i Sesudah Penyuluhan

No. Pilihan Jawaban Kuesioner

Abstain* A B C D

1 9 40 3 7 0

2 13 6 37 3 0

3 49 3 6 0 1

4 51 2 0 3 3

5 14 0 0 45 0

6 1 3 2 53 0

7 6 53 0 0 0

(*) Jawaban pada kuesioner tidak diisi/tidak jelas 2.2 Analisa Tingkat Kepekaan Siswa Terhadap Sumber Daya Air

Page 273: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

253

Gambar 2. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Satu

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor satu yang ditampilkan dalam gambar 2 menyinggung tentang pengetahuan para siswa/i tentang kontinuitas air. Sebelum penyuluhan mayoritas dari siswa yaitu sebanyak 29 orang siswa/i menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa siswa/i memahami bahwa air merupakan sumber daya yang tidak akan habis. Adanya siswa/i yang menjawab pilihan A menunjukan bahwa siswa/i tidak memahami tentang air. Siswa/i memiliki konsep bahwa air tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak akan mungkin berkurang jumlahnya. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa rasa kepedulian siswa/i terhadap air masih kurang. Namun setelah adanya penyuluhan ini, jumlah siswa/i berkurang menjadi 9 orang, ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari para siswa/i menyimak dengan baik apa yang disampaikan pada saat penyuluhan.

Sebelum penyuluhan sebanyak 14 siswa/i memilih jawaban B dimana siswa/i mempunyai pemahaman bahwa air merupakan sumber daya yang terbatas keberadaannya dan setelah mengikuti penyuluhan jumlah siswa/i yang mempunyai pemahaman tersebut meningkat hingga 40 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa pada awalnya hanya sekitar 15,96% siswa/i yang memiliki rasa kepedulian terhadap air. Adanya kegiatan penyuluhan ini membuat rasa kepedulian dari 29,64% siswa/i meningkat, siswa/i mulai menyadari bahwa saat ini keberadaan air bersih telah menurun.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

A B C D

50.85

23.73

5.08

20.34 15.25

67.80

5.08 11.86

Per

sent

ase

Jum

lah

Sis

wa/

i (%

)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor Satu

Pre Test

Post Test

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

A B C D

42.37 49.15

6.78 1.69

22.03

10.17

62.71

5.08

Per

sent

ase

Jum

lah

Sis

wa/

i (%

)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor Dua

Pre Test

Post Test

Page 274: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

254 Bandung, 12 September 2015

Gambar 3. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Dua

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor dua yang ditampilkan dalam gambar 3 menyinggung tentang pengetahuan para siswa/i tentang kuantitas sumber daya air bersih yang dapat dimanfaatkan manusia. Sebelum penyuluhan mayoritas siswa/i, yaitu sebanyak 27 siswa/i memilih jawaban B dimana siswa/i mempunyai pemahaman bahwa terdapat 40% air bersih di dunia yang dapat dimanfaatkan manusia. Namun setelah mengikuti penyuluhan jumlahnya menurun menjadi 6 orang. Adanya beberapa siswa/i yang memilih jawaban tersebut menunjukan bahwa siswa/i tidak mengetahui jumlah air bersih sebenarnya. Jawaban tersebut menunjukan bahwa siswa/i mulai menyadari keberadaan air bersih yang sudah mulai berkurang saat ini.

Dan sebelum, penyuluhan sebanyak 4 siswa memilih jawaban C dimana siswa/i memiliki pemahaman bahwa hanya 1-2% air bersih dari semua air yang ada di bumi dapat dimanfaatkan oleh manusia dan setelah kegiatan penyuluhan dilakukan jumlah siswa/i meningkat menjadi pilihan yang didominasi para siswa/i, yaitu sebanyak 37 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa sebelum kegiatan penyuluhan dilakukan, 4,56% siswa/i memiliki rasa kepedulian yang baik terhadap air, dimana siswa/i telah mengetahui bahwa keberadaan air bersih saat ini sudah menurun secara drastis. Pemahaman siswa/i kemungkinan didapatkan dari bacaan media cetak maupun elektronik tentang sosialisasi kelestarian air. Kenaikan jumlah siswa/i yang memilih jawaban C membuktikan bahwa kegiatan penyuluhan cukup berpengaruh terhadap pemahaman siswa/i meskipun hanya sebatas 38,76% dari seluruh peserta penyuluhan.

Gambar 4. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Empat

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor empat yang ditampilkan dalam gambar 4 menyinggung tentang pengetahuan para siswa/i tentang kualitas air. Sebelum penyuluhan sebanyak 47 siswa menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa para siswa/i menjawab kualitas air adalah mutu air agar layak dimanfaatkan. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa/i sebenarnya sudah paham akan kualitas air. Dan setelah penyuluhan meningkat menjadi 51 siswa/i yang mempunyai pemahaman tersebut. Peningkatan ini menujukan bahwa materi tentang kualitas air dalam penyuluhan yang disampaikan oleh pembicara dapat dimengerti dengan baik oleh sebagian siswa/i.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

A B C D

79.66

0.00 10.17 10.17

91.53

3.39 0.00 5.08

Per

sent

ase

Jum

lah

Sis

wa/

i (%

)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kusioner Pertanyaan Nomor Empat

Pre Test

Post Test

Page 275: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

255

Gambar 5. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Enam

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor enam yang ditampilkan dalam gambar 5 menyinggung tentang pendapat siswa/i tentang kepedulian siswa/i terhadap pencemaran air. Sebelum penyuluhan sebanyak 49 siswa/i yang memilih jawaban D dimana siswa/i mempunyai pendapat bahwa tumpukan sampah di sumber-sumber air membawa dampak yang besar bagi kualitas air, keseimbangan ekosistem dan penataan kota karena dapat menyebabkan banjir. Setelah penyuluhan, jumlah peserta yang menjawab pilihan ini meningkat menjadi 53 siswa/i. Peningkatan ini membuktikan bahwa para siswa/i sudah menangkap dengan baik apa yang dijelaskan pembicara dalam penyuluhan.

2.3 Analisa Tingkat Kepedulian Siswa/i Terhadap Upaya Konservasi Air

Gambar 6. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Tiga

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor tiga yang ditampilkan dalam gambar 6 menyinggung tentang pengetahuan para siswa/i tentang konservasi air. Sebelum penyuluhan mayoritas siswa/i yaitu sebanyak 41 siswa/i menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa konservasi air adalah upaya untuk melakukan penghematan dari

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

A B C D

1.69 8.47 6.78

83.05

1.69 5.08 3.39

89.83

Per

sent

ase

Jum

lah

Sis

wa/

i (%

)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor Enam

Pre Test

Post Test

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

A B C D

71.19

6.78

18.64

3.39

84.75

5.08 10.17

0.00

Per

sent

ase

Jum

lah

Sis

wa/

i (%

)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor Tiga

Pre Test

Post Test

Page 276: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

256 Bandung, 12 September 2015

pemakaian air. Dan setelah penyuluhan jumlah orang yang memilih A meningkat menjadi 49. Ini membuktikan bahwa setelah penyuluhan siswa/i semakin memahami tentang konservasi air.

Gambar 7. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Lima

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor lima yang ditampilkan dalam gambar 7 menyinggung tentang pengetahuan para siswa/i tentang paramater yang harus diuji untuk mengetahui kualitas air. Sebelum penyuluhan sebanyak 45 siswa/i memilih jawaban D dimana siswa/i mempunyai pemahaman tingkat kejernihan, kadar pH, kandungan oksigen dan kandungan benda padat harus diuji untuk mengetahui kualitas air. Setelah penyuluhan, jumlah peserta yang menjawab pilihan ini tetap sama. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 51,3% siswa/i sudah mengerti parameter pengujian kualitas air.

Gambar 8. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Tujuh

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor tujuh yang ditampilkan dalam gambar 8 menyinggung tentang keinginan siswa/i untuk melakukan konservasi air. Sebelum penyuluhan terdapat 50 siswa yang memilih jawaban B dimana siswa/i berpendapat bahwa perlu menghemat air karena sumber daya air terbatas. Namun setelah mengikuti penyuluhan jumlahnya meningkat menjadi 53 orang. Adanya siswa/i yang memilih jawaban tersebut sebelum

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

A B C D

22.03

0.00 0.00

77.97

23.73

0.00 0.00

76.27 P

erse

ntas

e Ju

mla

h S

isw

a/i (

%)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor Lima

Pre Test

Post Test

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

A B C D

3.39

84.75

1.69 10.17 10.17

89.83

0.00 0.00

Per

sent

ase

Jum

lah

Sis

wa/

i (%

)

Pilihan Jawaban

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor Tujuh

Pre Test

Post Test

Page 277: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

257

penyuluhan menunjukan bahwa sebanyak 57% siswa telah mengerti faktor utama yang menjadi alasan untuk menghemat air. Dengan adanya penyuluhan ini, siswa/i mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang alasan untuk menghemat air.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Adapun hasil yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Kondisi air di aliran sungai Ujung Menteng masih dalam kualitas yang baik. Tetapi air ini belum dapat dikatakan sehat, karena pengujian air yang dilakukan hanya secara fisik. Air tersebut secara fisik terlihat keruh namun air tersebut mempunyai pH yang normal dan kadar oksigen yang baik. Air tersebut masih layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia selain untuk dikonsumsi, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memeriksa kandungan bakteri di air tersebut.

2. Pada awalnya pemahaman para siswa/i sangat sedikit dan siswa/i sangat tidak peduli dengan sumber daya air, karena siswa/i berpikir sumber daya air bersih di dunia ini masih cukup. Namun dengan adanya kegiatan penyuluhan ini pemahaman siswa/i bertambah dan menjadi lebih baik.

3. Dari 7 butir pertanyaan dalam kuesioner, juga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya para siswa memahami bahwa siswa/i perlu untuk menghemat air bersih, pengertian konservasi air, pengertian dari kualitas air, dampak yang terjadi akibat tumpukan sampah di sumber air bersih, dan indikator apa saja untuk mengetahui kualitas air. Namun jika dilihat di butir pertanyaan pertama dan kedua, mayoritas dari siswa/i tidak memahami apa alasan sebenarnya perlu menghemat air.

Rekomendasi

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan terkait dengan pembahasan adalah sebagai berikut:

1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memeriksa kandungan bakteri yang terkandung di sumber daya air tersebut.

2. Perlunya penyuluhan kepada siswa/i sekolah tingkat dasar, menengah dan atas tentang keberadaan sumber daya air bersih di Indonesia supaya siswa/i memahami alasan dibalik penghematan air bersih dan untuk membiasakan bersikap bijaksana dalam menggunakan air bersih.

3. Perlunya dilakukan monitoring air secara berkala dan penyuluhan lanjutan secara berkelompok agar kepedulian siswa/i meningkat lebih lagi.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas dukungannya. Adapun pihak-pihak tersebut adalah:

1. LPPM Universitas Kristen Krida Wacana

2. Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Krida Wacana, terutama Ibu Amelia Makmur, S.T., M.T. dan Ibu Elly Kusumawati, S.T., M.T.

3. Pihak sekolah dan siwa/i SD dan SMP Cahaya Bangsa, Jakarta.

Page 278: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

258 Bandung, 12 September 2015

REFERENSI

Barzilay, J.I., J.W. Eley, and W.G.Weinberg. 1999. The Water We Drink. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press.

International, Team Earth Echo.,Intructions/Intrucciones. World Water Monitoring Challenge Publishing.

Aerofresh. Retrivied February 25, 2013, from Aerofresh Blogspot: http://aerofresh.blogspot.com/p/air-akartaadalah-makhluk-hidup.html

Badan Perencanaan Daerah. Retrieved February 25, 2013, from Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat: http://bappeda.jabarprov.go.id/docs/ perencanaan/ 20070524_073718.pdf

Rudi. (2012, September 17). Lensa Indonesia. Retrieved Februari 28, 2013, from Lensa Indonesia: http://www.lensaindonesia.com/2012/09/07/kemarau-panjang-warga-kota-semarang-krisis-air-bersih.html

Ebhirazaituni. Retrivied February 25, 2013. http://ebhirazaituni.wordpress.com/ 2012/03/ 01/ciri-ciri-kualitas-air-bersih/

Putu. Retrivied February 25, 2013 , from Blog Mahasiswa UI:http://mhs.blog.ui.ac.id /putu01 /2012/01/09/indikator-air-bersih-dan-air-kotor/

Page 279: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

259

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

ANALISIS RISIKO KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA (KPS) PADA PROYEK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHYDRO (PLTMH)

Ririn Rimawan

Balai BHGK - Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jl. Ir. H. Juanda No. 193 Bandung - 40135

*[email protected]

ABSTRAK

Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab Pemerintah karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods. Terbatasnya dana yang dimiliki oleh Pemerintah, membuat Pemerintah berupaya untuk melibatkan sektor Swasta sebagai salah satu bentuk usaha dalam pelaksanaan infrastruktur ketenagalistrikan. Setiap Proyek Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) memiliki karakteristik dan tingkat risiko yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu penting bagi Penaggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk melakukan manajemen risiko terhadap kemungkinan risiko yang terjadi dan langkah-langkah mitigasinya. Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya bidang infrastruktur pasti akan menanyakan kepada PJPK apakah proyek tersebut akan mendapat jaminan pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan Usaha Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan keyakinan dalam berinvestasi. Penelitian ini memaparkan tentang analisis risiko dalam KPS pada proyek pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH). Metode yang digunakan adalah melakukan penyebaran kuisioner. Objek studi meliputi para pihak (Pemerintah, BUMN/perum, dan swasta) yang terlibat dalam proyek pembangkit listrik tenaga minihydro. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa penyebaran kuisioner. Pada penelitian ini teridentifikasi 8 risiko yang dinilai potensial dalam proyek KPS PLTMH. Risiko yang paling berpotensi terjadi adalah risiko terkait data perencanaan dan kontinuitas sumber dana.

Kata Kunci: Infrastruktur, Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS), PLTMH, Risiko.

LATAR BELAKANG Dewasa ini ketergantungan pada ketersediaan energi listrik semakin tinggi. Mengingat sektor ketenagalistrikan mempunyai peranan yang sangat strategis dan menentukan dalam upaya mensejahterakan masyarakat dan mendorong berjalannya roda perekonomian nasional, seharusnya energi listrik tersedia dalam jumlah yang cukup dan dengan mutu dan tingkat keandalan yang baik. Namun demikian, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan perekonomian, perkembangan dunia industri, kemajuan teknologi, dan meningkatnya standar kenyamanan hidup di masyarakat, permintaan akan energi listrik semakin hari semakin meningkat. Di sisi lain, pembangunan beberapa pembangkit yang semula sudah direncanakan, baik yang dikembangkan oleh swasta maupun oleh PLN, menjadi terkendala pasca terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun yang lalu. Hal ini telah menyebabkan penambahan pasokan tenaga listrik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan akan tenaga listrik yang ada, sehingga di beberapa daerah terjadi kondisi kekurangan pasokan listrik.

Sebelum terjadinya krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia pada akhir Tahun 2008, pemerintah telah memberikan subsidi yang cukup besar kepada PLN guna memenuhi kebutuhan listrik masyarakat ekonomi menengah bawah. Disamping itu Pemerintah juga harus menanggung subsidi BBM yang semakin membengkak karena pemakaian BBM bersubsidi yang terus meningkat. Sementara, pemakaian BBM secara berlebihan tidak mendukung konsep keseimbangan karbon ataupun CDM yang dicanangkan secara internasional dalam Kyoto Protocol untuk mengatasi pemanasan global. Dalam usaha mengurangi tekanan beban subsidi pada APBN dan

Page 280: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

260 Bandung, 12 September 2015

mendukung komitmen terhadap Kyoto Protocol, maka untuk penambahan pasokan tenaga listrik, Pemerintah memprioritaskan pembangunan pembangkit berbasis energi primer baru dan terbarukan.

Pemerintah saat ini memiliki komitmen yang sangat kuat dalam rangka mengembangkan potensi energi baru terbarukan. Komitmen pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan juga ditunjukkan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 yang memberikan semangat baru bagi para pengembang pembangkit tenaga listrik, khususnya para pengembang pembangkit listrik tenaga air. Peraturan tersebut memberikan kepastian kepada para pengembang, terutama mengenai kepastian pembelian listrik oleh PLN termasuk harga jual listriknya. Dalam Peraturan Menteri tersebut disebutkan bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga listrik (excess power) dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat.

Untuk lebih memfokuskan rencana pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyusun Master Plan untuk periode 5 (lima) Tahun (2010 s.d. 2014). Master Plan ini merupakan perencanaan ketenagalistrikan jangka pendek sebagai bagian dari kombinasi dua perencanaan nasional tentang ketenagalistrikan, yaitu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dalam Master Plan ini dikemukakan tentang Kebijakan Sektor Ketenagalistrikan Nasional, Tinjauan Kondisi Tenaga Listrik Nasional, dan Rencana Pembangunan Ketenagalistrikan di 34 Propinsi di Indonesia.

Berdasarkan sumber Kementerian ESDM – Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan sampai dengan akhir Tahun 2008, total kapasitas terpasang tenaga listrik nasional adalah sebesar 30.527 MW yang terdiri atas pembangkit milik PT. PLN (Persero) sebesar 25.451 MW (83 %), IPP sebesar 4.159 MW (14 %), dan PPU sebesar 916 MW (3 %). Sementara rasio elektrifikasi, didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada, secara nasional meningkat dari tahun ke tahun, dan hingga Tahun 2008 mencapai 65,10%. Kapasitas terpasang tenaga listrik di pulau-pulau utama Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dan rasio elektrifikasi di pulau-pulau utama di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik di Pulau-pulau Utama Indonesia

(Sumber: Kementerian ESDM 2010 - 2014)

No Pulau Kapasitas Terpasang (MW)

1 Sumatera 4.941

2 Jawa-Madura bali 22.599

3 Kalimantan 1.178

4 Sulawesi 1.195

5 Nusa Tenggara 265

6 Maluku 182

7 Papua 168

Indonesia 30.527

PT. PLN (Persero) telah membuat studi potensi tenaga air di Indonesia yang meliputi 1.275 lokasi dengan total potensi sebesar ± 75.000 MW, namun demikian hingga saat ini potensi yang telah dimanfaatkan baru sekitar 21.000 MW. Potensi pembangkit listrik tenaga air dengan memanfaatkan kelebihan aliran sungai melalui bangunan prasarana sumber daya air di sungai yang masih cukup besar (bendung atau bendungan) atau memanfaatkan potensi energi aliran pada saluran suplai sebelum airnya digunakan untuk berbagai keperluan di hilir saluran (saluran irigasi). Melihat besarnya potensi tersebut, maka peluang untuk pengembangan tenaga air untuk pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih cukup besar.

Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab Pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods, oleh karena itu Pemerintah memiliki kepentingan untuk membangun infrastruktur yang merupakan hal penting bagi masyarakat. Terbatasnya dana yang

Page 281: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

261

dimiliki oleh Pemerintah, membuat pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat pada sektor ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik), dan kemampuan investasi infrastruktur ketenagalistrikan PLN terbatas sekitar 20% (RKUN: National Electricity General Plan Fast Track Program 10.000 Mw Phase I). Dengan demikian Pemerintah merasa penting untuk berupaya untuk melibatkan sektor Swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik).

Tabel 2. Rasio Elektrifikasi di Pulau-pulau Utama Indonesia

(Sumber: Kementerian ESDM 2010 - 2014)

No Pulau Persen (%)

1 Sumatera 60,6

2 Jawa-Madura bali 72,0

3 Kalimantan 57,6

4 Sulawesi 55,3

5 Nusa Tenggara 28,6

6 Maluku 52,4

7 Papua 32,3

Indonesia 65,1

Salah satu bentuk usaha Pemerintah berupaya untuk melibatkan sektor Swasta dalam pelaksanaan infrastruktur ketenagalistrikan yaitu dengan mengembangkan Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Dengan demikian diperlukan penelitian mengenai seberapa besar risiko KPS pada proyek pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit listrik.

Setiap Proyek KPS memiliki karakteristik dan tingkat risiko yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu penting bagi penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) untuk melakukan manajemen risiko terhadap kemungkinan risiko yang terjadi dan langkah-langkah mitigasinya. Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya bidang infrastruktur pasti akan menanyakan kepada PJPK apakah proyek tersebut akan mendapat jaminan pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan Usaha Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan keyakinan dalam berinvestasi. Manajemen risiko yang baik akan mampu memperbaiki keberhasilan proyek secara signifikan (Santosa, 2009).

Santosa (2009) menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah proses mengidentifikasi, mengukur dan memastikan risiko serta mengembangkan strategi untuk mengelola risiko tersebut. Alokasi risiko merupakan pembagian risiko proyek kerjasama dengan prinsip dasar bahwa risiko dibagi dan dibebankan kepada pihak yang paling mampu mengendalikan risiko tersebut. Alokasi risiko meliputi pembagian risiko proyek antara pihak Pemerinatah dan Badan Usaha Swasta berdasarkan prinsip alokasi risiko.

Tulisan ini untuk mengkaji risiko KPS pada proyek pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH).

Penelitian Terdahulu Yang Relevan Dalam penyusunan makalah ini, penulis melakukan kajian pada beberapa contoh penelitian yang serupa mengenai KPS bidang infrastruktur. Penelitian yang telah dilakukan diantaranya: faktor-faktor kesuksesan kemitraan pemerintah swasta, metode perhitungan cashflow dan perhitungan tingkat risiko, dan risiko-risiko proyek kemitraan pemerintah swasta. Penelitian - penelitian tersebut dapat dilihat Lampiran.

METODOLOGI STUDI Ketertarikan berinvestasi dalam suatu proyek dapat diukur berdasarkan variabel-variabel risiko yang dapat dikelola dan ditransfer ke pihak lain. Variabel-variabel tersebut dibuat dalam bentuk kuisioner yang disebar kepada instransi-instransi yang mewakili populasi Pemerintah, BUMN/BUMD/Perum, dan Swasta. Sampel populasi yang mewakili Pemerintah yaitu: Kementerian pusat Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pekerjaan Umum, Balai Besar Wilayah

Page 282: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

262 Bandung, 12 September 2015

Sungai (BBWS), Balai Sungai Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, dan Pemerintah daerah. Sampel populasi pemerintah tersebut mewakili bendung gerak yang ada di Indonesia sebanyak 21 bendung gerak. Propinsi Jawa Timur terdapat Bendung Gerak: Gunung Sari, Lengkong, Lodoyo, Mrican, Sampean Baru dan Talang. Propinsi Jawa Tengah terdapat Bendung Gerak: Serayu. Propinsi Jawa Barat terdapat Bendung Gerak: Curug, Manganti, Walahar dan Rentang. Propinsi Banten terdapat Bendung Gerak: Pasar Baru dan Pamarayan. Propinsi Lampung terdapat Bendung Gerak Aji Baru. Propinsi Sumatera Selatan terdapat Bendung Gerak Perjaya dan Danau Ranau. Propinsi Sumatera Barat terdapat Bendung Gerak Batang Hari. Propinsi Sumatera Utara terdapat Bendung Gerak: Cinta Maju, Perkotaan, Purwodadi, dan Simodong.

Sampel populasi yang mewakili BUMN/BUMD/Perum yaitu: PT Adhi Karya Tbk, PT Brantas Abipraya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Bina Karya, PT Indah Karya, PT Indra Karya, PT Virama Karya, Perum Jasa Tirta I, Perum Jasa Tirta II, PT. PLN (Persero) Penelitian & Pengembangan Ketenagalistrikan, PT. PLN (Persero) Jasa Pendidikan & Pelatihan, PT. PLN (Persero) Jasa Enjiniring, PT. PLN (Persero) Jasa & Produksi, PT. PLN (Persero) Jasa Manajemen Konstruksi, PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar & Banten, dan PT. PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya. Sampel populasi yang mewakili Swasta yatu: PT Panca Guna Duta, PT Mitraplan, PT Allotrope Partners (Representative Indonesia Solar Development), PT. Bias Petrasia Persada, Nippon Koei, Co.Ltd, PT. Firpec Graha Sarana, PT Cihanjuang Inti Teknik, PT Pro Rekayasa, PT Heksa Prakarsa Teknik PT. Hydro Daya Kinerja, PT Kwarsa Energi, PT Somit Trakonat, PT Sarana Buana Jaya, PT Barata Indonesia, PT. Inecco Wish. Ltd dan PT Wahana Pengembang Usaha.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan manajemen risiko adalah:

a. Melakukan identifikasi variabel-variabel risiko, berdasarkan variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu disesuaikan dengan proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik.

b. Melakukan uji validasi terhadap variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu dengan metode Delphi, agar di dapat kesesuaian variabel risiko sesuai kondisi yang terjadi di Indonesia.

c. Hasil uji validitas variabel-variabel risiko tersebut di buat dalam suatu kuisioner. Kuisioner tersebut disebarkan kepada instansi pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, asosiasi di bidang kelistrikan, dan konsultan.

d. Melakukan uji validasi dan reabilitas, pengujian terhadap instrumen yang digunakan dalam studi ini yaitu kuesioner.

e. Melakukan analisis risiko dengan mempertimbangkan semua risiko yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi, untuk dapat ditentukan variabel-variabel risiko apa saja yang dapat mempengaruhi kesuksesan proyek KPS.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Analisis manajemen risiko yang dilakukan dengan cara kuisioner. Kuisioner bertujuan untuk mengetahui sejauh mana variabel risiko dalam KPS pada proyek pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit tenaga listrik yang mempengaruhi kesuksesan proyek KPS tersebut.

Identifikasi variabel-variabel risiko, berdasarkan variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu disesuaikan dengan proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik di bendung gerak. Variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu di validasi dengan metode Delphi. Metode Delphi dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu kepada para narasumber, untuk mengetahui sejauh mana variabel-variabel risiko tersebut sebagai usaha dalam mencapai tujuan penelitian ini. Narasumber dalam metode Delphi pada penelitian ini bersifat anonim berjumlah 5 orang. Wawancara dilakukan sebanyak 2 putaran untuk mendapatkan variabel-variabel risiko yang memiliki standar deviasi tidak begitu besar terhadap semua jawaban narasumber. Setelah mendapat masukan dari para narasumber, kuisioner tersebut di sebarkan kepada para responden populasi pembangkit listrik tenaga air mini hydro. Format kuisioner wawancara para narasumber disajikan pada Lampiran 2.

Populasi pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit tenaga listrik, diambil dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 pihak dengan sasaran koresponden di tingkat manajerial, yaitu:

Page 283: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

263

a. Berdasarkan lokasi bendung gerak yang ada di Indonesia sebanyak 21 lokasi yang tersebar di 7 Provinsi. Pengiriman kuisioner pihak pemerintah sebanyak 25 responden yang dikirim untuk mewakili Kementerian pusat Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pekerjaan Umum, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Balai Sungai Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, dan Pemerintah daerah.

b. Pengiriman kuisioner pihak BUMN/Perusahaan Umum (Perum) sebanyak 30 responden yang dikirim untuk mewakili PT Adhi Karya Tbk, PT Brantas Abipraya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Bina Karya, PT Indah Karya, PT. Pembangunan Perumahan, PT Indra Karya, PT Virama Karya, Perum Jasa Tirta I, Perum Jasa Tirta II, dan PT. PLN (Persero) sebanyak 7 divisi.

c. Pengiriman kuisioner pihak swasta sebanyak 20 responden yang dikirim.

Pengumpulan Kuisioner

Besaran atau ukuran sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Sampel yang direspon dengan baik dan kembali dari responden sebanyak 36 sampel. Sampel tersebut terdiri dari:

a. 25 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak pemerintah, yang dikembalikan sebanyak 10 reponden, hal ini karena sebagian besar responden yang tidak kembali, berasal dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), koresponden yang dituju sedang supervisi dan monitoring perkerjaan di lapangan.

b. 30 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak BUMN/Perum, Jumlah kuisioner yang dikembalikan sebanyak 15 responden terdiri dari: PT. PLN sebanyak 6 sampel, PT. Brantas Abipraya sebanyak 6 sampel, PT Waskita Karya sebanyak 1 sampel, PT Indra Karya sebanyak 1 sampel, dan Perum Jasa Tirta II sebanyak 1 sampel. Diantara sekian banyak BUMN, yang paling serius bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga air minihidro adalah PT Brantas Abipraya, dengan membentuk anak perusahaan yang bergerak di bidang ketenagalistrikan yaitu PT. Perjaya Brafo Energi. Sampel yang kembali dari PT Brantas Abipraya berasal dari kantor pusat sebanyak 2 sampel dan 4 sampel berasal dari kantor cabang yang berada di Surabaya dan Yograkarta.

c. 20 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak swasta, yang dikembalikan sebanyak 11 reponden, hal ini karena sebagian responden tidak bersedia mengisi kuisioner.

Sampel yang direspon dengan baik dan kembali dari responden sebanyak 36 sampel dari total sampel yang direncanakan sebanyak 40 sampel. Dengan menggunakan formula Slovin didapat tingkat kesalahan 5%, tingkat kepercayaan sebesar 95%.

Karakteriktik Data Responden

1. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan responden berpendidikan S2 sebesar 52,78%, diikuti responden berpendidikan S1 sebesar 44,44% dan responden berpendidikan S3 sebesar 2,78%. Gambar sebaran pendidikan responden disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tingkat Pendidikan Responden

S1 44.44% S2

52.78%

S3 2.78%

Page 284: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

264 Bandung, 12 September 2015

2. Pengalaman di bidang perencanaan

Tingkat responden memiliki pengalaman di bidang perencanaan di atas 10 tahun sebesar 50%, pengalaman 5 – 10 tahun sebesar 38,89% dan pengalaman 0 – 5 tahun sebesar 11,11%. Gambar sebaran pengalaman responden di bidang perencanaan disajikan pada Gambar. 2.

Gsmbar 2. Pengalaman Responden di Bidang Perencanaan

3. Pengalaman di bidang konstruksi

Tingkat responden memiliki pengalaman di bidang konstruksi antara 5 - 10 tahun sebesar 40,54%, pengalaman di atas 10 tahun dan pengalaman 0 - 5 tahun sebesar 29,73%. Gambar sebaran pengalaman responden di bidang konstruksi disajikan pada Gambar. 3.

Gsmbar 3.Pengalaman Responden di Bidang Konstruksi

4. Pengalaman di bidang administrasi dan kontrak

Tingkat responden memiliki pengalaman di bidang administrasi dan kontrak antara 5 - 10 tahun sebesar 61,11%, pengalaman di atas 10 tahun sebesar 36,11% dan pengalaman 0 – 5 tahun sebesar 2,78%. Gambar sebaran pengalaman responden di bidang administrasi dan kontrak disajikan pada Gambar. 4.

0 - 5 Tahun 11.11%

5 - 10 Tahun 38.89%

>10 Tahun 50.00%

0 - 5 Tahun 29.73%

5 - 10 Tahun 40.54%

>10 Tahun 29.73%

Page 285: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

265

Gsmbar 4 .Pengalaman Responden di Bidang Administrasi dan Kontrak

Menurut pendapat responden mengenai masalah utama yang mendasari proyek KPS adalah masalah pendanaan sebesar 36,51%, masalah regulasi sebesar 28,57%, masalah pola kerjasama 19,05% dan masalah alokasi risiko sebesar 15,87%. Gambar sebaran pendapat responden mengenai masalah utama yang mendasari proyek KPS disajikan pada Gambar. 5. Pengalaman responden melakukan proyek/kajian/studi mengenai proyek KPS yaitu pengalaman di atas 5 tahun sebesar 47,23%, pengalaman 0 – 5 tahun sebesar 33,33%, dan pengalaman 0 tahun sebesar 19,44%. Gambar sebaran pendapat seberapa sering responden melalukan proyek/kajian/studi mengenai KPS disajikan pada Gambar. 6.

Gsmbar 5. Pendapat Responden Mengenai Masalah Utama Yang Mendasari Proyek KPS

Gsmbar 6. Pengalaman Responden Melakukan Proyek/Kajian/Studi Mengenai Proyek KPS

Pengalaman responden melakukan proyek/kajian/studi mengenai infrastruktur yaitu pengalaman di atas 5 tahun sebesar 60 %, pengalaman 0 - 5 tahun sebesar 31,43% dan pengalaman 0 tahun sebesar 8,57%. Gambar

0 - 5 Tahun 2.78%

5 - 10 Tahun 61.11%

>10 Tahun 36.11%

Pendanaan

36.51%

Pola kerjasam

a 19.05%

Alokasi Risiko

15.87%

Regulasi 28.57%

0 Tahun 19.44%

0 - 5 Tahun 33.33%

> 5 Tahun 47.23%

Page 286: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

266 Bandung, 12 September 2015

sebaran pendapat responden mengenai pengalaman responden melakukan proyek /kajian /studi mengenai infrastruktur disajikan pada Gambar. 7.

Gsmbar 8. Pengalaman Responden Melakukan Proyek/Kajian/Studi Mengenai Infrastruktur

Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pra konstruksi terdistribusi secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 4,36% - 6,12%. Gambaran karakteristik variabel risiko pada saat pra konstruksi disajikan pada Gambar 8.

Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pelaksanaan konstruksi terdistribusi secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 2,95% - 4,59%. Gambaran karakteristik variabel risiko pada saat pelaksanaan konstruksi disajikan pada Gambar 9.

Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pasca konstruksi terdistribusi secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 5,97% - 8,22%. Gambaran karakteristik variabel risiko pada saat pra konstruksi disajikan pada Gambar 10.

Gsmbar 9. Karakteristik Data Variabel Risiko Pra Konstruksi

0 Tahun 8.57% 0 - 5

Tahun 31.43% > 5 Tahun

60.00%

Perijinan

4.80%

Dokumen

Kontrak

4.36%

Pemilihan Bentuk

Kerjasama

4.58%

Proses

Tender

4.53%

Keterlambatan

Persetujuan

Perencanaan

4.97%

Dukungan

pemerintah

4.93%

Restrukturisasi

Keuangan

4.71%

Perubahan Undang-

undang/Regulasi/Kebij

akan 5.94%

Perubahan

aturan Pajak

4.58%

Kajian Terhadap

semua peraturan-

peraturan KPS 4.53%

Sosialisasi

6.12% Data perencanaan

6.07%

Pengambilan Asumsi

Perhitungan, 4.58%

Perencanaan Desain

4.62%

Ketidakmampuan

Badan Usaha

4.67%

Lingkungan

5.19%

Standar

Perencanaan

5.68%

Misinterpretasi

4.58%

Perubahan Aturan

Teknis Proyek

4.71%

Krisis Moneter

5.85%

Page 287: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

267

Gsmbar 10. Karakteristik Data Variabel Risiko Pelaksanaan Konstruksi

Gsmbar 11. Karakteristik Data Variabel Risiko Saat Pasca Konstruksi

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner

Suatu skala pengukuran dikatakan valid apabila menunjukkan derajat ketepatan, yaitu ketepatan antara data sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dilaporkan oleh peneliti (Sugiono, 2014). Reliabilitas menunjukkan adanya konsistensi dan stabilitas nilai hasil skala pengukuran tertentu. Reliabilitas berkonsentrasi pada masalah akurasi pengukuran dan hasil. Uji validitas instrument pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Menguji Validitas dengan menggunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini setelah instrument dikonstruksikan tentang aspek-aspek yang akan diukur dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dikonsultasikan dengan ahli. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrument yang telah disusun itu. Para ahli akan memberikan pendapat: instrument dapat digunakan tanpa perbaikan, ada perbaikan, dan mungkin dirombak total. Setelah pengujian konstruk dari ahli selesai, maka diteruskan uji coba instrument kepada responden dimana populasi diambil.

Kontinuitas Sumber

Dana

4.59% Nilai Tukar Mata

Uang

3.84%

Inflasi dan Suku Bunga

4.32%

Krisis

Ekonomi

Global

4.42%

Ketidakpastian

Moneter di

Dalam Negeri

4.53%

Pembiayaan

Kembali

(Refinancing)

3.77%

Eskalasi

Biaya

4.32%

Perubahan

Metodologi

Pekerjaan

4.53%

Kondisi lapangan

4.56%

Kondisi

Cuaca

3.70%

Pasokan Material

3.60%

Kinerja Alat

3.63% Akses Ke Lokasi

Proyek, 3.87% Keterlambatan Waktu

pelaksanaan

3.94%

Kinerja Teknologi Baru

3.67%

Kesulitan Menggunakan

teknologi Baru

3.53%

Kebangkrutan

Badan Usaha

3.63%

Wanprestasi Badan

Usaha

3.81%

Pelanggaran Kontrak

3.67%

Kemampuan

Badan Usaha

menyelesaian

Proyek

3.57%

Kegagalan Kontraktor

3.46%

Ketidakmampuan Badan

Usaha Dalam Memilih

Kontraktor

3.60%

Bencana Alam

3.63%

Revolusi

2.95%

Buruh Mogok Massal

3.39%

Jaminan Keamanan

3.46%

Sistem O&P

6.75%

Biaya

Operasional

6.75%

Rendahnya Harga

Tarif penjualan

7.94%

Kebijakan

Pemerintah Tidak

Menaikkan Tarif 8.08%

Wanprestasi

Pembelian Kwh oleh

PLN 6.61%

Wanprestasi

permintaan

6.32%

Wanprestasi

Operator

6.68%

Pasokan Debit

8.08%

Cacat Konstruksi

8.08%

Tidak sesuai

Spesifikasi

7.94%

Kegagalan

Perencanaan

Menyebabkan O&P Naik

6.61%

Pencabutan konsesi

5.97%

Bencana Alam,

8.22%

Force Majeur Politik

5.97%

Page 288: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

268 Bandung, 12 September 2015

Menguji Validitas dengan perhitungan statistik menggunakan program SPSS. Data hasil responden dianalisis ke dalam program SPSS untuk mengetahui validitas dan reliabilitas kuisioner. Metode Reliabilitas yang dipakai adalah Tes Belah Dua. Tes ini dilakukan dengan cara membagi skor-skor secara random dalam bentuk genap dan ganjil dari semua jawaban responden. Kemudian kelompok genap dan ganjil dihitung, hasilnya dikorelasikan dengan menggunakan korelasi Spearman Brown. Jika hasil korelasinya ≥ 0,8, maka instrument tersebut dinyatakan reliable. Hasil tiap tahapan pelaksanaan kontruksi, diantaranya:

a. Tahap Pra Konstruksi Tahap pra konstruksi terdapat 20 pertanyaan yang diberikan kepada 36 responden. Hasil analisis validitas dan reliabilitas pada tahap ini menggunakan alat bantu program SPSS ver. 2.1 . Hasil menunjukkan bahwa 36 responden telah diproses atau 100% sudah valid. Setelah Hipotesis ditentukan, tahap selanjutnya adalah menentukan besar nilai tabel r dengan ketentuan df = jumlah responden – 2 atau 36 – 2 = 34 dan tingkat signifikansi sebesar 5%, didapat angka r tabel = 0,339. Pada bagian output Correlated Item Total Cerrelation (r kuisioner) angka terkecil 0,344, jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,339 maka r kuisioner (0,344) lebih besar daripada r tabel (0,339). Pada nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,882 lebih besar dari kriteria nilai korelasi sebesar 0,800. Semua butir pertanyaan sebanyak 20 pertanyaan yang dianalisis sudah valid dan reliabel karena nilai Correlated Item Total Cerrelation > r tabel dan nilai Cronbach‘s Alpha sebesar 0,882 > nilai kriteria korelasi sebesar 0,800 .

b. Tahap Pelaksanaan Konstruksi Tahap pelaksanaan konstruksi terdapat 26 pertanyaan yang diberikan kepada 36 responden. Hasil analisis validitas dan reliabilitas pada tahap ini menggunakan alat bantu program SPSS ver. 2.1. Hasil menunjukkan bahwa 36 responden telah diproses atau 100% sudah valid. Setelah Hipotesis ditentukan, tahap selanjutnya adalah menentukan besar nilai tabel r dengan ketentuan df = jumlah responden – 2 atau 36 – 2 = 34 dan tingkat signifikansi sebesar 5%, didapat angka r tabel = 0,339. Pada bagian output Correlated Item Total Cerrelation (r kuisioner) angka terkecil 0,340, jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,339 maka r kuisioner (0,340) lebih besar daripada r tabel (0,339). Pada nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,922 lebih besar dari kriteria nilai korelasi sebesar 0,800. Semua butir pertanyaan sebanyak 26 pertanyaan yang dianalisis sudah valid dan reliabel karena nilai Correlated Item Total Cerrelation > r tabel dan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,922 > nilai kriteria korelasi sebesar 0,800 .

c. Tahap Pasca Konstruksi Tahap pelaksanaan konstruksi terdapat 14 pertanyaan yang diberikan kepada 36 responden. Hasil analisis validitas dan reliabilitas pada tahap ini menggunakan alat bantu program SPSS ver. 2.1. Hasil menunjukkan bahwa 36 responden telah diproses atau 100% sudah valid. Setelah Hipotesis ditentukan, tahap selanjutnya adalah menentukan besar nilai tabel r dengan ketentuan df = jumlah responden – 2 atau 36 – 2 = 34 dan tingkat signifikansi sebesar 5%, didapat angka r tabel = 0,339 . Pada bagian output Correlated Item Total Cerrelation (r kuisioner) angka terkecil 0,367, jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,339 maka r kuisioner (0,340) lebih besar daripada r tabel (0,339). Pada nilai Cronbach‘s Alpha sebesar 0,878 lebih besar dari kriteria nilai korelasi sebesar 0,800. Semua butir pertanyaan sebanyak 14 pertanyaan yang dianalisis sudah valid dan reliabel karena nilai Correlated Item Total Cerrelation > r tabel dan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,878 > nilai kriteria korelasi sebesar 0,800.

Page 289: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

269

Analisis Hasil Kuisioner

Analisis hasil kuisioner yang diperoleh dari isian kuesioner oleh 36 responden dianalisis secara statistik non parametris yang digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis komparatif sampel lebih dari dua (k sampel) yang berpasangan. Sampel diambil secara randon, akan dianalisis apakah rata-rata (mean) antar kelompok sampel satu dengan kelompok sampel yang lain berbeda secara signifikan atau tidak. Untuk mengetahui variabel-variabel risiko pada pada setiap tahap konstruksi menurut pihak pemerintah, BUMN/Perum dan swasta dilakukan dengan pendekatan dua pendekatan yaitu :

1. Pendekatan analisis uji beda (analisis Mann Whitney) Hasil analisis uji beda dilakukan dengan 3 (tiga) kondisi yaitu:

a. Pihak pemerintah dengan pihak BUMN/perum Hasil analisis uji beda kelompok responden antara pihak pemerintah dengan pihak BUMN/Perum, variabel-variabel risiko pada setiap tahap konstruksi sebanyak 60 variabel risiko terlihat nilai sig yang terjadi antara 0,098 sampai dengan 0,977, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang signifikan dari jawaban kedua belah pihak tersebut terhadap variabel risiko.

b. Pihak pemerintah dengan pihak swasta Hasil analisis uji beda kelompok responden antara pihak pemerintah dengan pihak swasta, variabel-variabel risiko pada setiap tahap konstruksi sebanyak 60 variabel risiko terlihat nilai sig yang terjadi antara 0,122 sampai dengan 1,00, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang signifikan dari jawaban kedua belah pihak tersebut terhadap variabel risiko.

c. Pihak BUMN/Perum dengan pihak swasta Hasil analisis uji beda kelompok responden antara pihak BUMN/Perum dengan pihak swasta, variabel-variabel risiko pada setiap tahap konstruksi sebanyak 60 variabel risiko terlihat nilai sig yang terjadi antara 0,019 sampai dengan 1,00, hal ini menunjukkan bahwa ada sebagian variabel risiko terjadi perbedaan yang signifikan dari jawaban kedua belah pihak tersebut terhadap variabel risiko yaitu risiko eskalasi biaya, risiko akses ke lokasi proyek, risiko kinerja teknologi baru, dan kebijakan pemerintah tidak menaikkan tarif.

Hasil uji beda pada ketiga pihak tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perhitungan Hasil Analisis Uji Beda Variabel Antara Pihak Pemerintah, BUMN, dan Swasta

No Variabel Risiko

Pihak Pemerintah -

BUMN

Pihak Pemerintah -

Swasta

Pihak BUMN - Swasta

P (Sig) P (Sig) P (Sig)

Q1 Perijinan 0.578 0.310 0.105

Q2 Dokumen Kontrak 0.203 0.122 0.914

Q3 Pemilihan Bentuk Kerjasama 0.535 0.970 0.567

Q4 Proses Tender 0.661 0.737 0.378

Q5 Keterlambatan Persetujuan Perencanaan 0.712 0.410 0.524

Q6 Dukungan pemerintah 0.516 0.700 0.826

Q7 Restrukturisasi Keuangan 0.647 0.688 0.978

Q8 Perubahan Undang-

undang/Regulasi/Kebijakan 0.905 0.265 0.297

Q9 Perubahan aturan Pajak 0.389 0.684 0.568

Q10 Kajian Terhadap semua peraturan-peraturan

KPS 0.773 0.849 0.913

Q11 Sosialisasi 0.098 0.466 0.600

Page 290: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

270 Bandung, 12 September 2015

No Variabel Risiko

Pihak Pemerintah -

BUMN

Pihak Pemerintah -

Swasta

Pihak BUMN - Swasta

P (Sig) P (Sig) P (Sig)

Q12 Data perencanaan 0.190 0.939 0.306

Q13 Pengambilan Asumsi Perhitungan 0.953 0.532 0.297

Q14 Perencanaan Desain 0.954 0.793 0.892

Q15 Ketidakmampuan Badan Usaha 0.617 0.382 0.762

Q16 Lingkungan 0.881 1.000 0.912

Q17 Standar Perencanaan 0.341 0.345 0.977

Q18 Misinterpretasi 0.681 0.267 0.380

Q19 Perubahan Aturan Teknis Proyek 0.439 0.694 0.443

Q20 Krisis Moneter 0.711 0.358 0.454

Q21 Kontinuitas Sumber Dana 0.390 0.969 0.342

Q22 Nilai Tukar Mata Uang 0.835 0.911 0.719

Q23 Inflasi dan Suku Bunga 0.349 0.341 0.908

Q24 Krisis Ekonomi Global 0.234 0.559 0.437

Q25 Ketidakpastian Moneter di Dalam Negeri 0.136 0.600 0.175

Q26 Pembiayaan Kembali (Refinancing) 0.371 0.911 0.254

Q27 Eskalasi Biaya 0.138 0.409 0.030

Q28 Perubahan Metodologi Pekerjaan 0.138 0.691 0.528

Q29 Kondisi lapangan 0.480 0.690 0.748

Q30 Kondisi Cuaca 0.575 0.206 0.056

Q31 Pasokan Material 0.448 0.882 0.568

Q32 Kinerja Alat 0.492 0.968 0.367

Q33 Akses Ke Lokasi Proyek 0.054 0.643 0.038

Q34 Keterlambatan Waktu pelaksanaan 0.788 0.471 0.762

Q35 Kinerja Teknologi Baru 0.252 0.225 0.019

Q36 Kesulitan Menggunakan teknologi Baru 0.171 0.432 0.355

Q37 Kebangkrutan Badan Usaha 0.217 0.599 0.370

Q38 Wanprestasi Badan Usaha 0.344 0.940 0.340

Q39 Pelanggaran Kontrak 0.771 0.940 0.482

Q40 Kemampuan Badan Usaha menyelesaian

Proyek 0.708 0.581 0.849

Q41 Kegagalan Kontraktor 0.954 0.851 0.868

Q42 Ketidakmampuan Badan Usaha Dalam

Memilih Kontraktor 0.602 0.605 1.000

Q43 Bencana Alam Saat Pelaksanaan 0.954 0.276 0.229

Q44 Revolusi Saat pelaksanaan 0.305 0.529 0.114

Q45 Buruh Mogok Massal 0.532 0.217 0.117

Q46 Jaminan Keamanan 0.955 0.651 0.978

Q47 Sistem O&P 0.766 0.609 0.908

Page 291: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

271

No Variabel Risiko

Pihak Pemerintah -

BUMN

Pihak Pemerintah -

Swasta

Pihak BUMN - Swasta

P (Sig) P (Sig) P (Sig)

Q48 Biaya Operasional 0.773 0.941 0.717

Q49 Rendahnya Harga Tarif penjualan 0.150 0.426 0.366

Q50 Kebijakan Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif 0.149 0.883 0.039

Q51 Wanprestasi Pembelian Kwh oleh PLN 0.708 0.686 0.913

Q52 Wanprestasi permintaan 0.709 0.630 1.000

Q53 Wanprestasi Operator 0.929 0.817 0.825

Q54 Pasokan Debit 0.493 0.454 0.641

Q55 Cacat Konstruksi 0.416 0.122 0.784

Q56 Tidak sesuai Spesifikasi 0.977 0.464 0.583

Q57 Kegagalan Perencanaan Menyebabkan O&P

Naik 0.953 0.940 0.955

Q58 Pencabutan konsesi 0.110 0.460 0.334

Q59 Bencana Alam Pasca Konstuksi 0.604 0.665 0.339

Q60 Force Majeur Politik Pasca Konstruksi 0.288 0.852 0.175

2. Pendekatan analisis Mean

Pendektan ini dilakukan berdasarkan karakteristik data responden yang menunjukkan nilai deviasi yang terjadi tidak ektrim dan nilai kenaikan data merata. Pendekatan analisis Mean ini dibagi berdasarkan pihak, yaitu:

a. Hasil kuisioner menurut pihak BUMN/Perum

Sebanyak 15 responden yang mengembalikan kuisioner dari pihak BUMN/Perum. Nilai rata-rata hasil pengisian kuisioner menurut pihak BUMN/PERUM dari 60 variabel risiko yang ada antara 2,467 – 3,933.

b. Hasil kuisioner menurut pihak Pemerintah

Sebanyak 10 responden yang mengembalikan kuisioner dari pihak Pemerintah. Nilai rata-rata hasil pengisian kuisioner menurut pihak Pemerintah dari 60 variabel risiko yang ada antara 2,000 – 4,100.

c. Hasil kuisioner menurut pihak Swasta

Sebanyak 11 responden yang mengembalikan kuisioner dari pihak Swasta. Nilai rata-rata hasil pengisian kuisioner menurut pihak Swasta dari 60 variabel risiko yang ada antara 1,909 – 3,909.

Dari hasil statistik jawaban responden teridentifikasi 8 variabel risiko agar menjadi fokus perhatian pihak pemerintah, BUMN/perum, dan swasta untuk melaksanakan proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik, yaitu:

a. Sosialisasi, yaitu komunikasi antar badan usaha, pemerintah, dan masyarakat yang berada dalam lingkungan proyek kerjasama KPS.

b. Akurasi data perencanaan dalam studi kelayakan

c. Kontinuitas sumber dana yaitu risiko muncul akibat ketidakpastian dalam hal kontinuitas sumber dana pembiayaan sehingga dapat menimbulkan risiko keterlambatan dan biaya overhead.

d. Kondisi lapangan proyek yaitu kondisi lapangan yang tidak terduga sebelumnya sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar.

e. Ketidakpastian moneter di dalam negeri.

Page 292: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

272 Bandung, 12 September 2015

f. Pembekakan biaya terkait krisis moneter.

g. Perubahan undang-undang/regulasi/kebijakan proyek kerjasama KPS.

h. Pembekakan biaya terkait perubahan metodologi dan cakupan proyek KPS.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:

a. Dari penelitian ini telah teridentifikasi 8 variabel risiko dengan nilai tertinggi agar dapat menjadi fokus perhatian pihak BUMN/Perum, Pemerintah, dan Swasta untuk melaksanakan proyek KPS dalam pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH), yaitu:

1. Sosialisasi, yaitu komunikasi antar badan usaha, pemerintah, dan masyarakat yang berada dalam lingkungan proyek kerjasama KPS (Tahap Pra Konstruksi).

2. Akurasi data perencanaan dalam studi kelayakan (Tahap Pra Konstruksi).

3. Kontinuitas sumber dana yaitu risiko muncul akibat ketidakpastian dalam hal kontinuitas sumber dana pembiayaan sehingga dapat menimbulkan risiko keterlambatan dan biaya overhead (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).

4. Kondisi lapangan proyek yaitu kondisi lapangan yang tidak terduga sebelumnya sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).

5. Ketidakpastian moneter di dalam negeri (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).

6. Pembekakan biaya terkait krisis moneter (Tahap Pra Konstruksi).

7. Perubahan undang-undang/regulasi/kebijakan proyek kerjasama KPS (Tahap Pra Konstruksi).

8. Pembekakan biaya terkait perubahan metodologi dan cakupan proyek KPS (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).

Risiko yang paling berpotensi terjadi pada pelaksanaan proyek PLTMH adalah risiko akurasi data perencanaan dan risiko kontinuitas sumber dana.

b. Risiko-risiko yang berkaitan dengan risiko politik, risiko kinerja proyek dan risiko permintaan, dialokasikan kepada pihak pemerintah sebagai pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut. Sedangkan risiko-risiko yang lainnya sepenuhnya dialokasikan kepada pihak swasta.

Rekomendasi Pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH) dalam bentuk proyek KPS sebagai salah satu solusi krisis energi listrik nasional, hendaknya mendapat perhatian yang besar dari pemerintah agar menarik bagi pihak swasta/investor untuk berinvestasi.

Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Page 293: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

273

REFERENSI

Du, X., and Li, N.A., 2008. ―Monte Carlo Simulation and a Value- at-Risk of Concessionary project‖. Journal of Management Research News. Vol. 31 Nomor 12, 2008 pp. 912-921.

Fischer, K., Leidel, K., Rieman, A., and Alfen, H.W., 2010. ―An Integrated Risk Management System (IRMS) for PPP Projects‖. Journal of Financial Management of Property and Construction. Vol 15 Nomor 3, 2010 pp. 260-282.

Ismail, S., 2013. ―Critical Success Factors of Public Private Partnership (PPP) Implementation in Malaysia‖. Asia-Pasific Journal of Business Adminitration. Vol. 5 Nomor 1, 2013 pp. 6-19.

Jacobson. C, 2008. "Success factors: public works and public‐private partnerships", International Journal of Public Sector Management, Vol. 21 Iss: 6, pp.637 – 657.

Ke, Y., and Wang, S., Nad Albert P.C Chan and Cheung, E., 2011. ―Understanding The Risk in China‘s PPP Project: Ranking Of Their Probability and Consequence‖. Journal of Engineering Construction and Architectural Management, Vol 18 Nomor. 5, 2011 pp. 481-496.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009, ―Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010 s.d. 2014”, Jakarta, Desember 2009.

Li, B, Akintoye, A and Hardcastle, C, 2001. ―Risk analysis and allocation in public private partnership projects‖. In: Akintoye, A (Ed.), 17th Annual ARCOM Conference, 5-7 September 2001, University of Salford. Association of Researchers in Construction Management, Vol. 1, 895-904.

Santosa, Budi. (2009), Manajemen Proyek Konsep dan Implementasi, Graha Ilmu

Sugiono,2014, ―Buku Statistika Untuk Penelitian‖, Alfabeta, Bandung.

Trafford, S., Proctor, T., 2006. "Successful joint venture partnerships: public‐private partnerships", International Journal of Public Sector Management, Vol. 19 Iss: 2, pp.117 – 129.

Voelker, C., Permana, A., Sach, T., and Tiong, R., (2008). ―Political Risk Perception in Indonesia Power Project‖. Journal of Financial Management of property and Construction 06/2008; 13(1); 18-34.

Wibowo, A., 2005b. ―Manajemen Risiko Dalam Industri Jalan Tol Yang Didanai Oleh Sektor Swasta‖. Prosiding 25 Tahun Pendidikan MRK di Indonesia, 18-19 Agustus 2005, Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung.

Wibowo, A., 2012. ―Inovasi Model Risiko-Imbal Hasil Untuk Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) Bidang Infrastruktur‖. Orasi pengukuhan Profesor Riset Bidang Struktur dan Konstruksi, Jakarta, 19 Desember 2012, Kementerian Pekerjaan Umum.

Page 294: Prosiding TSA 2015.pdf

288

Penelitian Risiko KPS Dalam Bidang Infrastruktur

Penulis Sektor Hal-hal yang dianalisis Keterangan

Carol Jacobson

(2008)

Umum Penulis menganalisis dan membandingkan faktor-faktor utama yang berkonstribusi terhadap kesuksesan kemitraan pemerintah swasta dan proyek pekerjaan umum. Penelitian ini menemukan sepuluh faktor keberhasilan kemitraan pemerintah swasta, yaitu: rencana spesifik/visi komitmen, komunikasi terbuka dan kepercayaan, kemauan untuk berkompromi/berkolaborasi, menghormati, penjangkauan masyarakat, dukungan politik, saran ahli dan review, kesadaran akan risiko, peran dan tanggung jawab yang jelas

Penulis melakukan Analisis yang digunakan secar kualitatif dengan wawancara dan observasi. Keterbatasan dari penelitian ini terbatas pada dua studi kasus.

Sue Trafford and Tony Proctor (2006)

Umum Penulis meneliti pentingnya karakteristik sesuatu yang diluar manajerial tetapi masih bisa dikelola dengan kesuksesan kemitraan pemerintah swasta. Penelitian ini menemukan sebuah model deskriptif yang disajikan dengan mengidentifikasi lima karakteristik utama, yaitu: komunikasi yang baik, keterbukaan, perencanaan yang efektif, etos dan arah.

Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan pendekatan Grounded Theory yang diadopsi melibatkan wawancara dan diskusi kelompok dengan para eksekutif dari organisasi yang terlibat.

Suhaiza Ismail (2013)

Umum Penulis mengidentifikasi perbedaan mengenai pentingnya keberhasilan faktor antara sektor pemerintah dan swasta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Good Governance, komitmen pemerintah dan swasta, kerangka hukum yang menguntungkan, kebijakan ekonomi dan ketersediaan pasar keuangan merupakan lima faktor keberhasilan pelaksanaan PPP di Malaysia.

Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan melakukan survey kuesioner untuk memperoleh persepsi sektor pemerintah dan swasta pada faktor kunci keberhasilan proyek PPP di Malaysia.

Conrad Voelker, Andre

Permana, Timan Sach and Robert

Tiong (2008)

Umum Penulis mengidentifikasi dan menilai risiko politik yang terkait dengan Public Private Partnership (PPP) proyek pembangkit listrik di Indonesia dengan langkah-langkah mitigasi pada umumnya, berdasarkan persepsi para pemangku kepentingan utama (pemerintah, investor, pemberi pinjaman dan asuransi).Hasil penelitian ini mengidentifikasikan bahwa persepsi risiko pilitik untuk proyek pembangkit listrik di Indonesia masih relatif tinggi, karena risiko hukum dan peraturan dan pelanggaran risiko kontrak. Dukungan pemerintah yang layak, diinginkan oleh sebagian besar investor, daripada harus asuransi risiko politik sebagai strategi mitigasinya.

Penulis melakukan pendekatan dengan kajian literature yang komprehensif untuk mengidentifikasi daftar awal risiko politik tertentu yang terkait dengan proyek pembangkit listrik PPP di Indonesia dan langkah-langkah mitigasi yang tersedia untuk risiko ini.

Bing Li, Akintola Akintoye and Cliff

Hardcastle (2001)

Umum Penulis mengevaluasi dan mengelola faktor risiko penting dalam PPP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur risiko terbagi atas tiga lapis yaitu: risiko mikro, risiko meso, dan risiko makro. Risiko mikro mengeksploitasi faktor-faktor ketidakpastian dalam organisasi PPP, risiko tingkat makro mengacu pada variabel ekologi, sedangkan faktor risiko meso jatuh antara tingkat mikro maupun makro, dan sangat relevan untuk seluruh proyek.

Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan melakukan analisis risiko yang komprehensif, diikuti oleh tindakan yang tepat, terhadap beberapa faktor penting yang berkontribusi terhadap keberhasilan proyek PPP.

Yongjian Ke and

ShouQing Wang, Nad Albert P.C Chan and

Umum Penulis melakukan evaluasi yang lebih up to date dari potensi risiko dalam proyek PPP China. Probabilitas terjadinya dan tingkat dampak yang ditimbulkan untuk risiko yang dipilih berasal dari survey dan digunakan untuk menghitung relatif nilai indeks signifikansi risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepuluh risiko teridentifikasi sesuai sesuai dengan signifikansi risiko nilai indeks yaitu: intervensi pemerintah, pengambilan keputusan politik yang buruk, risiko keuangan, keandalan pemerintah, perubahan permintaan pasar, korupsi, evaluasi subyektif, perubahan suku

Penulis melakukan pendekatan dengan survey dua putaran Delphi dilakukan dengan praktisi yang berpengalaman untuk mengidentifikasi risiko utama yang bisa ditemui dalam proyek-proyek PPP China.

LAMPIRAN

Page 295: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

289

Esther Cheung (2011)

bunga, system hukum yang belum matang, dan inflasi.

Xiaofeng Du and Amory N. Li (2008)

Umum Penulis mengusulkan suatu pendekatan yang komprehensif untuk penilaian dari hak konsesi infrastruktur dan proyek-proyek manajemen risiko kualitatif di Republik Rakyat China. Hasil penelitian menunjukkan Simulasi Monte Carlo dilakukan untuk mengevaluasi kelayakan investasi konsesi (yaitu evaluasi dinamis nilai dan risiko investasi konsesi dari pespektif investor) dengan penentuan berikutnya dari tingkat rasional kembali, yang merupakan inti dari kontrak konsesi. Pekerjaan di masa depan mencakup prinsip pembiayaan sekuritas asset dan penerapannya dalam pembiayaan proyek, desain dan evaluasi infrastruktur produk sekuritasaset (misalnya obligasi pendapatan tetap) sebagi instrument pembiayaan untuk infrastruktur besar.

Penulis menggabungkan ekonomi model untuk menilai nilai dinamis dan risiko investasi konsesi dalam konteks desain kontrak konsesi.

Katrin Fischer, Katja Leidel, Alexander

Riemann and Hans Wilhelm Alfen (2010)

Umum Penulis menyajikan IRMS di PPP. Sistem manajemen risiko yang terintegrasi (IRMS) memungkinkan dapat memenuhi persyaratan proyek PPP seperti mengurangi kompleksitas, membangun kesadaran risiko, meliputi perspektif yang berbeda dari pihak yang terlibat, membangun pemahaman bersama tentang sifat risiko dan peluang memberikan petunjuk langkah demi langkah kontingensi dan meningkatkan informasi yang tersedia

Penulis melakukan pendekatan dengan survey kuesioner dan wawancara ahli untuk mengidentifikasi keadaan manajemen risiko Kemitraan Pemerintah Swasta (PPP).

Wibowo (2005)

Jalan Tol

Penulis mengembangkan metode adjusted Present Value (APV) dalam menilai kelayakan investasi jalan tol. Metode APV merupakan pendekatan deterministic dimodifikasi oleh penulis. Variabel-variabel yang mengandung unsur ketidakpastian dirubah dari deterministic menjadi stokastik. Kekurangan data statistik diatasi dengan cara pendekatan subyektif melalui kuesioner maupun wawancara dengan ahli.

Penulis beranggapan bahwa infrastruktur yang didanai oleh sektor swasta diselenggarakan dengan konsep project finance, dimana kreditor hanya mengandalkan cashflow proyek dan asset-asetnya untuk pembayaran utang. Dengan demikian DER proyek akan senantiasa berubah setiap saat tergantung kepada kinerja keuangan dari proyek yang bersangkutan. Dengan alasan tersebut penulis memanfaatkan risk-free discount rate untuk mengambil risiko project finance diindustri jalan tol

Wibowo (2012)

Umum Penulis memaparkan perkembangan penyelenggaraan infrastruktur dengan melibatkan pembiayaan swasta. Komitmen Pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyukseskan KPS infrastruktur. Komitmen ini termasuk dukungan politis dan finansial. Banyak model inovasi

Mekanisme koordinasi yang selama ini menjadi persoalan dalam KPS harus segera diatasi. Pembentukan PPP Center atau PPP Unit mungkin

Page 296: Prosiding TSA 2015.pdf

290

Sumber :Carol Jacobson (2008), Sue Trafford (2006), Fitriani H., Farida, P.,Wibowo, A (2006), Suhaiza Ismail (2013), Conrad Voelker, Andre Permana, Timan Sach and Robert Tiong (2008), Bing Li, Akintola Akintoye and Cliff Hardcastle (2001), Yongjian Keand ShouQing Wang, Nad Albert P.C Chan and Esther Cheung (2011), Xiaofeng Du and Amory N. Li (2008), Katrin Fischer, Katja Leidel, Alexander Riemann and Hans Wilhelm Alfen (2010), Wibowo (2005), dan Wibowo (2012)

menyangkut relasi risiko-imbal hasil yang telah penulis paparkan untuk memberikan kontribusi bagi existing body of knowledge, dimana beberapa model tersebut menyentuh langsung berbagai isu praktis dalam penyelenggaraan KPS di tanah air.

dapat menjadi solusi.

Page 297: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

291

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PERLINDUNGAN KAWASAN PENYANGGA MATA AIR SEBAGAI UPAYA KONSERVASI MELALUI KKN-PPM

Restu Wigati1*, Soelarso1

1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

*[email protected]

Abstrak

Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan akan efektif apabila melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan pelaksanaan. Desa Taman Sari merupakan salah satu bagian daerah yang memiliki beberapa sumber mata air yang difungsikan sebagai air bersih bagi masyarakat. Melalui kegiatan konservasi baik vegetatif maupun mekanis dengan pembuatan lubang biopori, sumur resapan diharapkan pengelolaan serta pemanfaatan sumber mata air tetap lestari serta terjaga baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) diawali dengan memberikan pembekalan kepada seluruh mahasiswa peserta KKN-PPM. Target capaian yang telah dilaksanakan di Desa Tama Sari Kecamatan Baros Kabupaten Serang dimana mahasiswa dan masyarakat sebagai penggerak terjadinya proses pemberdayaan masyarakat, diantaranya: bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya air, bertambahnya keterampilan masyarakat tentang penerapan konservasi di lingkungan sekitar, tersosialisasikannya pemahaman masyarakat tentang konservasi, terbentuknya tim pengelola konservasi sumber daya air, adanya visi, misi dan slogan untuk menjaga kelestarian sumber Mata Air Cinyusu. Program KKN-PPM sangat membantu masyarakat guna menambah pengetahuan serta menumbuhkan kepedulian masyarakat dalam hal menjaga kelestarian sumber daya air. Melalui kegiatan KKN-PPM mahasiswa bersama masyarakat diharapkan dapat menjadi penggerak dalam meningkatkan peran serta masyarakat sebagai pengguna air sekaligus sebagai pengelola sumber daya air.

Kata Kunci: Konservasi, mata air Cinyusu, pemberdayaan masyarakat

LATAR BELAKANG Air merupakan komponen pokok dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup di bumi ini, khususnya bagi manusia. Ketersediaan air, terutama air tawar dan atau air bersih semakin lama semakin sulit karena perkembangan jumlah penduduk dunia yang bertambah pesat serta adanya kerusakan alam yang menyebabkan berkurangnya atau tercemarnya keberadaan air tawar dan air bersih. Kerusakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pencemaran terhadap air dianggap sebagai penyebab utama terjadinya krisis air. Berdasarkan Forum Air Dunia II (World Water Forum) yang diselenggarakan di Den Haag pada bulan Maret tahun 2000, Indonesia sudah diprediksikan sebagai salah satu negara yang mengalami krisis air pada tahun 2025.

Upaya konservasi air perlu segera ditingkatkan dalam rangka menanggulangi krisis air dan menjaga kelestariannya. Upaya konservasi air dapat dilakukan dengan perbaikan di daerah tangkapan air (catchment area) berupa penghutanan kembali (reboisasi), pembuatan bangunan penghambat aliran permukaan, dan penegakan aturan penggunaan air dibatasi hanya untuk keperluan rumah tangga, serta menekan perkembangan pemukiman di kawasan. Pembatasan eksploitasi air juga perlu dilakukan pada daerah aliran air yang terletak antara daerah tangkapan air dan wilayah perkotaan (daerah eksploitasi air). Meskipun air merupakan sumber daya alam yang

Page 298: Prosiding TSA 2015.pdf

292

dapat di perbaharui, sumber daya alam ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem.

Penghematan air atau konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui metode teknologi maupun perilaku sosial. Penggunaan air yang jatuh pada permukaan tanah dilakukan seefisien mungkin dengan pengaturan waktu aliran yang tepat diharapkan dapat memperkecil terjadinya banjir pada musim hujan dan dapat meningkatkan ketersediaan air pada musim kemarau.

PROGRAM KKN-PPM Desa Taman Sari merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada Kecamatan Baros Kabupaten Serang Provinsi Banten. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang jumlah penduduk di Kecamatan Baros yaitu sebanyak 48.996 jiwa dengan penduduk laki-laki 26.124 jiwa dan perempuan 22.872 jiwa dengan 3653 jiwa masyarakat Kecamatan Baros berprofesi sebagai petani. Desa Taman Sari mempunyai beberapa sumber mata air di mana sejak tahun 1975 salah satu sumber mata air tersebut menjadi pemasok kebutuhan air bersih ke wilayah kota Serang melalui Dinas PDAM Kabupaten Serang. Sumber air bersih yang ada di Desa Taman Sari sebagian besar memanfaatkan sumber lokal desa berupa mata air salah satunya adalah sumber mata air Cinyusu.

Gambar 1. Mata Air Cinyusu

1. Mengingat potensi sumber daya alam yang terdapat di Desa Taman Sari Kecamatan Baros berupa sumber mata air yang cukup banyak keberadaannya, maka dapat diidentifikasikan persoalan utama yang ingin dikembangkan antara lain:

2. Masih rendahnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat terkait pentingnya konservasi sumber daya air

3. Masih rendahnya kesadaran terkait upaya perlindungan kawasan penyangga mata air

4. Keterbatasan informasi dan pengetahuan serta cara yang dapat dilakukan dalam mengembangkan kegiatan konservasi.

Dalam pelaksanaan KKN-PPM para peserta telah mempersiapkan beberapa program yang akan dilaksanakan selama periode KKN-PPM berlangsung. Program tersebut meliputi program utama dan program pendukung yang tercermin dalam tema “Perlindungan Kawasan Penyangga Mata Air Cinyusu Sebagai Upaya Konservasi Sumber Daya Air Berkelanjutan Melalui KKN-PPM”. Target capaian program KKN - PPM untuk kelompok sasaran dan lingkungan sekitar di Desa Taman Sari serta mahasiswa sebagai penggerak terlaksananya proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Mewujudkan peran mahasiswa sebagai salah satu subyek serta sebagai penggerak pembangunan khususnya pembangunan di pedesaan.

2. Mahasiswa melaksanakan kegiatan KKN –PPM dengan terpenuhinya target minimal Jam Kerja Efektif Mahasiswa (JKEM).

Page 299: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

293

3. Bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya air.

4. Bertambahnya keterampilan masyarakat tentang penerapan konservasi di lingkungan sekitar dalam hal ini masyarakat mampu membuat sumur resapan dan lubang biopori.

5. Tersosialisasikannya pemahaman masyarakat tentang konservasi di wilayah Kecamatan Baros.

6. Terbentuknya Tim Pengelola Konservasi Sumber Daya Air khususnya di Desa Taman Sari.

7. Adanya Visi, Misi dan Slogan untuk menjaga kelestarian sumber Mata Air Cinyusu

8. Deseminasi hasil dalam bentuk publikasi jurnal nasional.

Gambar 2. Kerangka Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat

Metode Pendekatan yang Ditawarkan

Masyarakat merupakan suatu komunitas yang majemuk dengan berbagai kreatifitas dan aktifitas baik sosial, budaya dan ekonomi serta tingkat pendidikan yang berbeda beda. Terjun ke masyarakat bagi para mahasiswa merupakan tingkat pembelajaran yang sangat berharga dan kreatif untuk diaplikasikan. Desa Taman Sari Kecamatan Baros menjadi salah satu tempat dilaksanakannya kegiatan KKN-PPM tahun 2014. Desa Taman Sari merupakan desa dengan sumber daya air yang melimpah. Pemanfaatan secara terus menerus tanpa diimbangi oleh usaha pengawetan sumber air atau konservasi dapat berdampak terhadap menurunya jumlah ketersediaan air dikemudian hari. Melalui kegiatan kuliah kerja nyata pembelajaran pemberdayaan masyarakat diharapkan akan mampu meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber mata air yang ada. Kondisi sumber daya air ini harus tetap dijaga kelestariannya agar dapat terus bermanfaat untuk masa depan. Pemanfaatan sumber daya air yang ada harus diimbangi dengan upaya-upaya pemeliharaan yang merujuk pada suatu tindakan konservasi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi air yang ideal. Target capaian program KKN-PPM yang diharapkan dari keseluruhan sebagaimana diuraikan di atas, dijelaskan dalam gambar 3 berikut ini.

Sebelum KKN-PPM Penyuluhan, Pelatihan, Pendampingan

Setelah KKN-PPM

Potensi sumber daya air Pemanfaatan sumber mata

air yang cukup tinggi Keterbatasan pengetahuan

tentang keseimbangan ekosistem sumber daya air

Pelatihan teknik konservasi sumber daya air

Pendampingan pembuatan sumur resapan

Pendampingan pembuatan lubang resapan biopori

Peningkatan pengetahauan masyarakat tentang

konservasi Meningkatnya kepedulian

masyarakat dalam menjaga kelestarian

sumber mata air setempat Evaluasi Awal Evaluasi Proses Evaluasi Akhir

Analisis Situasi Proses Outcome

Page 300: Prosiding TSA 2015.pdf

294

Gambar 3. Target Capaian Program KKN-PPM 2014 di Desa Taman Sari

Tahapan Pelaksanaan KKN-PPM

Selama maengikuti kegiatan KKN-PPM, seluruh program kerja yang telah direncanakan, direalisasikan melalui kerja sama solid antar personil. Setiap program kerja ditangani oleh masing-masing penanggungjawab yang akan mengatur jalannya program kerja yang dilaksanakan sehingga dapat berjalan dengan optimal. Metode dan mekanisme pelaksanaan kegiatan KKN-PPM menjelaskan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan yang memuat tahapan-tahapan berikut.

Peserta KKN-PPM

Peserta KKN-PPM terdiri dari mahasiswa Teknik Sipil, Teknik Kimia, Teknik Industri, Teknik Elektro, Teknik Mesin, Teknik Metalurgi dan Manajemen, kemudian dilakukan seleksi mahasiswa disesuaikan dengan jumlah kebutuhan mahasiswa yang diperlukan untuk diterjunkan di lapangan.

Observasi Lapangan

Obsevasi yang digunakan adalah survei lapangan bersama dengan masyarakat. Selain meninjau lokasi secara langsung observasi dilakukan dengan berdialog secara langsung dengan masyarakat serta tokoh masyarakat setempat guna memperoleh dan menggali informasi yang ada di desa untuk selanjutnya dibuat inventaris masalah dan potensi yang dimiliki desa tersebut.

MASYARAKAT MEMILIKI PENGETAUAN TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Masyarakat Kampung Masyarakat Kampung Masyarakat Kampung

CitamanBADAN AIR

MASYARAKAT Kampung Lenggor, Kampung Mekar Sari

dan Kampung Citaman MEMILIKI PENGETAUAN DAN

KEPEDULIAN dalam Menjaga Kelestarian SUMBER MATA

9 SUMUR RESAPAN

60 LUBANG RESAPAN BIOPORI

PENANAMAN 120 BIBIT TANAMAN JATI (Konservasi Vegetatif)

Terampil membuat

Sumur Resapan,

Lubang Resapan

Biopori (Konservasi

Mekanis)

Terampil membuat

Sumur Resapan,

Lubang Resapan

Biopori (Konservasi

Mekanis)

Terampil membuat

Sumur Resapan,

Lubang Resapan

Biopori (Konservasi

Mekanis)

Page 301: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

295

Penyusunan Program Kerja

Pelaksanaan seluruh program kerja KKN-PPM tak lepas dari dukungan masyarakat. Seluruh program kerja kegiatan KKN-PPM di Desa Taman Sari merupakan suatu upaya konservasi yang difokuskan pada pelestarian sumber daya air. Adapun program kerja yang akan kami laksanakan adalah sebagai berikut:

Pembuatan Biopori

Pembuatan Sumur Resapan

Penanaman Pohon

Pemeriksaan kualitas air bersih

Pemeliharaan kebersihan saluran air

Sosialisasi tentang sumur resapan dan biopori ke 14 Desa di Kecamatan Baros

Pelaksanaan KKN-PPM

Setelah mahasiswa peserta KKN-PPM diberikan pembekalan oleh Dosen Pembimbing lapangan (DPL) dan Mitra Kerja, maka langkah awal dalam pelaksanaan program kerja adalah melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Kerjasama ini dapat dilakukan antara lain dengan aparat kecamatan, Aparat desa, UPTD, dan seluruh masyarakat Desa Taman Sari. Seluruh tahapan kegiatan KKN PPM terdokumentasi dalam bentuk Logbook yang berisi uraian kegiatan terakumulasi dalam volume pekerjaan yaitu Jam Kerja Efektif Mahasiswa (JEKM). Tabel 1 di bawah ini merupakan hasil rekapitulasi semua tahapan.

Tabel 1. Volume JEKM

No Uraian Kegiatan Volume (JEKM)

Keterangan

1. Persiapan dan Pembekalan 10 KKN-PPM dilaksanakan

selama 72 hari efektif

2. Pelaksanaan Program KKN-PPM

180

3. Penyusunan Laporan 29

Total JKEM 219

Peserta KKN-PPM (n) 45

TOTAL VOLUME KEGIATAN 9.855

HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu faktor pendukung pelaksanaan program kerja KKN-PPM adalah kondisi yang ada di lapangan. Pemilihan program kerja utama (inti) dan program kerja tambahan dilakukan berdasarkan kondisi nyata di lapangan. Berbagai masalah yang terjadi di lapangan memicu kami untuk menciptakan suatu tindakan nyata yang dapat membantu serta meminimalisir risiko yang diakibatkan oleh permasalahan tersebut. Sesuai dengan tema kegian KKN-PPM UNTIRTA Tahun 2014, yakni ―Perlindungan Kawasan Penyangga Mata Air Cinyusu Sebagai Upaya Konservasi Sumber Daya Air Berkelanjutan Melalui KKN-PPM‖, dilakukanlah beberapa program kerja utama sebagai berikut :

Lubang Resapan Biopori

Dalam pelaksanaan program kerja KKN-PPM ini, kami membuat 60 titik biopori yang tersebar di seluruh bagian yang masuk ke dalam wilayah Kampung Lenggor, Kampung Mekarsari dan Kampung Citaman. Pembuatan Biopori ini hanya menghabiskan waktu tiga hari, mengingat antusias warga yang sangat baik dan alat yang digunakan pun sudah standard, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk membuat 60 lubang biopori pun cukup singkat. Biopori yang telah kami buat adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman sekitar 80-100 cm atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah apabila permukaan tanah termasuk dangkal.

Page 302: Prosiding TSA 2015.pdf

296

Lubang tersebut diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori merupakan pori-pori yang berbentuk lubang yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Fauna tanah berupa cacing tanah merupakan organisme dari kelas oligochaeta yang mampu menembus tanah hingga kedalaman 8 m. Tanah yang mengandung cacing tersebut akan diperkaya dengan unsur hara hasil olahan perut cacing, sehingga akan menjadi tempat yang subur bagi berbagai jenis tumbuhan.

Gambar 4. Pembuatan Lubang Resapan Biopori Bersama Masyarakat

Sumur Resapan

Dalam pelaksanaan program kerja KKN-PPM ini, kami membuat 9 (sembilan) titik sumur resapan yang bertempat di masing kampung yaitu Kampung Lenggor, Kampung Mekar Sari dan Kampung Citaman. Kegiatan pembuatan Sumur Resapan ini sangat lama, yakni menghabiskan waktu hampir tiga minggu. Proses pembuatannya dilakukan secara bertahap, mulai dari penggalian, pengecoran, pengisian material penyaring, hingga pembuatan cover atau penutup. Adapun urutan lengkap proses pembuatannya adalah sebagai berikut:

Tentukan lokasi yang memenuhi syarat dan jarak yang tepat. Gali lubang ukuran 1,5 x 1,5 x 2 m.

Masukkan batu kerikil atau ijuk ke dasar sumur sampaiketebalan 10-20 cm.

Buatlah pasangan bata dengan jarak 25 cm daridinding tanah, sampai ketinggian 30 cm daripermukaan tanah.

Bata pasangan diplester, Masukkan kerikil atau ijuk kesela tanah.

Saluran air dari talang diarahkan ke sumur resapan dilengkapi panyaring sampah dan penyadap lumpur.

Membuat Saluran limpasan dan tutup dari beton.

Page 303: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

297

Tampak Atas dan Ukuran Sumur Resapan

Gambar 5. Potongan Melintang dan Ukuran Sumur Resapan

Gambar 6. Tahapan Pekerjaan Sumur Resapan

Konservasi Vegetatif

Kegiatan penanaman pohon merupakan salah satu upaya konservasi yang menjadi program kerja utama kami dalam melaksanakan kegiatan KKN-PPM ini. Pohon yang kami berikan kepada masyarakat Desa Taman Sari merupakan bibit-bibit pohon yang kami peroleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten yaitu sebanyak 120 bibit. Bibit pohon yang didapat terdiri dari pohon Jati Bongsor (Jabon), pohon Mahoni, pohon Kayu Manis, pohon Kayu Kalimantan, dan pohon Albasiah.

Page 304: Prosiding TSA 2015.pdf

298

Gambar 7. Penanaman Pohon Bersama Masyarakat

Sosialisasi Hasil KKN-PPM

Kegiatan pembuatan Sumur Resapan dan Lubang Biopori menjadi program kerja unggulan dalam kegiatan KKN-PPM di Kecamatan Baros Tahun 2014. Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan program pembuatan Sumur Resapan dan Biopori ini dilakukan di seluruh desa di Kecamatan Baros (14 desa termasuk Desa Taman Sari).

Gambar 8. Sosialisasi Konservasi Mekanis Bersama Tokoh Masyarakat

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari pelaksanaan kegiatan KKN-PPM yang sudah terlaksana banyak pelajaran yang telah diperoleh. Adapun poin-poin penting yang dapat kami simpulkan dalam kegiatan KKN-PPM ini kami antara lain sebagai berikut :

1. Desa Taman Sari yang dikenal sebagai desa dengan sumber daya air yang melimpah, potensi tersebut dapat berkembang jika masyarakat mempunyai kemampuan serta kemauan untuk mengolahnya menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari.

2. Ketersediaan air bersih dengan kualitas sangat baik merupakan sebuah potensi dari Desa Taman Sari yang dapat dikembangkan dalam upaya mewujudkan desa Taman Sari menjadi desa mandiri melalui pengelolaan potensi sumber daya air dalam suatu lembaga seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Page 305: Prosiding TSA 2015.pdf

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

299

3. Pemanfaatan potensi sumberdaya air yang ada di Desa Taman Sari harus di imbangi dengan usaha pelestarian atau konservasi untuk menjaga sumber daya air tersebut berada dalam kondisi ideal baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Rekomendasi

1. Pemerintah diharapkan untuk terus meningkatkan pengelolaan potensi yang ada di Desa Taman Sari ini, dengan demikian potensi yang ada dapat digunakan secara optimal dan dapat berguna bagi pembangunan desa.

2. Adanya keberlanjutan program dan dorongan pendanaan dari pemerintah daerah maupun melalui Dillitabmas Dikti bagi para dosen untuk menjalankan tridarma perguruan tinggi dalam konteks melanjutkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi serta semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungan dalam pelaksanaan kegiatan KKN-PPM.

REFERENSI

-----------, 2000. Pedoman Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang-Banten; Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

-----------, ―Dokumen Review Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes 2012 - 2015)‖ Desa Tamansari, 2011.

-----------, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan. SNI : 03-2453-2002.

Andi Maddeppungeng., dkk, 2012. Usulan Ipteks bagi Masyarakat; ―Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan dan Penerapan Potensi Sumber Mata Air Terhadap Pengelolaan Sistem Air Bersih di Desa Taman Sari Kec. Baros Kab. Serang Provinsi Banten‖.

DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2013. Panduan Pelaksanaan Hibah KKN-PPM. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Pekerjaan Umum, 2012. Drainase Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Bahan Ajar Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan Bidang PLP Sektor Drainase.

Kulsum, dkk, 2012. Laporan Hibah KKM - PPM; ―Partisipatori Ergonomi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Sampah Terpadu untuk Meningkatkan Kesehatan dan Kesejahteraan di Kota Serang‖.

Pusat Pengelolaan dan Pengembangan KKN UGM, 1998. Pedoman Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta; LPM Universitas Gadjah Mada.

Page 306: Prosiding TSA 2015.pdf