prosiding snsaa 2013
TRANSCRIPT
ii
Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013 Meningkatkan Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa untuk Mendukung Penerapan Undang-Undang Keantariksaan. Prosiding ini berisi makalah-makalah yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013 yang dilaksanakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dan Pusat Sains Antariksa (PUSSAINSA), Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN pada tanggal 25 November 2013 di Auditorium LAPAN Bandung dan prosiding dicetak Agustus 2014. Editor :
1. Prof. Dr. Chunaeni Latief 2. Prof. Dr. Suryadi Siregar 3. Dr. Didi Satiadi 4. Dr. Laras Tursilowati 5. Dr. Liliek Slamet, M.Si 6. Dr. Buldan Muslim, M.Si 7. Dr. Teguh Harjana 8. Dra. Sinta Berliana S., M.Sc 9. Drs. Waluyo Eko Cahyono, M.IL 10. Drs. Suratno, M.Sc 11. Drs. Jiyo, M.Si 12. Drs. Budiyanto 13. Anwar Santoso, M.Si 14. Suaydhi, S.Si, M.Sc 15. Fitri Nuraeni, M.Si 16. Novita Ambarsari, S.Si, M.T
Layout desain : Edy Maryadi, S.T dan Dwiko Unggul Prabowo, S.T Dipublikasikan oleh : Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dan Pusat Sains Antariksa (PUSSAINSA) Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung 40173 Telepon : 022-6037445, Fax : 022-6037443 Website : www.bdg.lapan.go.id ISBN : 978-979-1458-78-8
iii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr Wb Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga kegiatan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2013 dengan tema Meningkatkan Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa untuk Mendukung Penerapan Undang-Undang Keantariksaan dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 25 November 2013 di Auditorium LAPAN Bandung, Jl. Dr. Djunjunan No.133. Seminar nasional ini dilaksanakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dan Pusat Sains Antariksa (PUSSAINSA) LAPAN Bandung yang dihadiri oleh pakar iklim, lingkungan, polusi udara, GRK, serta para pakar sains antariksa dari berbagai instansi pemerintah, universitas, dan swasta. Pembicara utama seminar ini menghadirkan Kepala BMKG, Dr. Andi Eka Sakya, sedangkan pembicara tamu serta pemakalah berasal dari instansi lainnya yaitu lembaga penelitian dan universitas dari beberapa daerah di kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa. Pemakalah yang mendaftarkan untuk mengikuti penyajian seminar dalam bentuk oral maupun poster adalah sebanyak 46 dari bidang sains dan teknologi atmosfer dan 37 dari bidang sains antariksa. Setelah melewati proses seleksi terpilih makalah yang layak untuk dipresentasikan dalam bentuk oral maupun poster adalah sebanyak 40 makalah dari bidang sains dan teknologi atmosfer dan 37 dari bidang sains antariksa. Keseluruhan makalah telah melalui proses review dan perbaikan sehingga layak untuk diterbitkan pada prosiding ini. Makalah yang telah diperbaiki dan layak terbit dikumpulkan pada tanggal 26 April 2014 dan telah dilakukan editing oleh tim editor untuk disesuaikan dengan format makalah untuk prosiding. Dari keseluruhan makalah yang diterima dan telah dipresentasikan pada kegiatan SNSAA 2013, akhirnya sebanyak 44 makalah yang diterbitkan dalam prosiding ini. Kami selaku tim editor memohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan penerbitan prosiding ini. Alhamdulillah pada 15 Agustus 2014 Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2013 dapat diselesaikan. Akhir kata, terima kasih kepada seluruh Panitia dan semua pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini dan semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca semua. Amiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Bandung, 15 Agustus 2014 Tim Editor
iv
LAPORAN KETUA PANITIA SNSAA 2013 Assalamu’alaikum Wr Wb Yang terhormat Kepala LAPAN Yang terhormat Kepala BMKG Yang terhormat Deputi Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Yang terhormat para narasumber dan pejabat struktural Yang terhormat para peserta seminar dan tamu undangan Kami ucapkan selamat datang di acara Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2013 yang bertemakan Meningkatkan Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa untuk Mendukung Penerapan Undang-Undang Keantariksaan. Seminar ini bertujuan untuk memasyarakatkan hasil penelitian sains dan teknologi pemantauan atmosfer terkait dengan variabilitas musim, perubahan iklim, gas rumah kaca, kualitas udara dan pemodelannya dalam mendukung pembangunan nasional berkelanjutan serta untuk memasyarakatkan hasil penelitian sains dan keantariksaan Indonesia untuk mitigasi dampak cuaca antariksa. Seminar yang dihadiri oleh 150 orang peserta ini secara umum terbagi menjadi dua sesi presentasi, yaitu presentasi para narasumber dan presentasi pemakalah. Presentasi pemakalah dibagi menjadi dua kategori yaitu oral dan poster. Narasumber utama pada seminar ini adalah Kepala BMKG, Dr. Andi Eka Sakya, Kepala LAPAN Prof. Thomas Jamaludin, dan Kepala Pusat Pengkajian Informasi Kedirgantaraan Drs. Husni Nasution. Adapun presentasi pemakalah oral disampaikan oleh 8 pemakalah, dan presentasi pemakalah poster disampaikan oleh 60 pemakalah. Makalah yang dipresentasikan telah melewati seleksi abstrak makalah. Dari total 83 abstrak yang masuk, telah diseleksi oleh tim seleksi makalah sehingga diputuskan 77 makalah yang dapat dipresentasikan dalam seminar ini. Makalah-makalah yang dipresentasikan telah melalui proses editing dan koreksi hingga dinyatakan layak untuk dimasukkan dalam prosiding seminar. Selain para narasumber dan pemakalah, seminar ini juga dihadiri oleh para tamu undangan yang berasal dari beberapa Bappeda dan BLH di Indonesia, BMKG, LAPAN, Pusarpedal, IPB, ITB, UPI, dan Akademi Meteorologi dan Geofisika. Akhirnya kami panitia seminar mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terlaksananya seminar ini, dan kami mohon maaf apabila ada kekurangan. Kami ucapkan selamat mengikuti seminar, semoga bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr Wb. Bandung, 25 November 2013 Ketua Panitia SNSAA 2013 Siti Maryam, S.T dan Noersomadi, M.Si
v
DAFTAR PANITIA
Personil Nama Jabatan No. - Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi
Kedirgantaraan - Kepala Pusat Sains dan Teknologi - Atmosfer - Kepala Pusat Sains Antariksa
Pengarah dan Penanggung Jawab
1
- Dr. Buldan Muslim, Msi ( Penyelia) - Drs. Suratno, MSc. - Drs. Jiyo, Msi - Dr. Teguh Harjana - Drs. Budiyanto - Anwar Santoso, MSi - Suaydhi, S.Si, M.Sc (Penyelia) - Dra. Sinta Berliana S, M Sc. - Lilik Slamet Msi - Dr. Laras Tursilowati - Dr. Didi Satiyadi - Drs. Waluyo Eko Cahyono M.IL
Instansi Luar : - Prof.Dr. Suryadi Siregar - Prof.Dr. Chunaeni Latief
Team Pemakalah/ Editor Prosiding
2
- Noersomadi, MSi - Siti Maryam, ST
Ketua 3
- Novita Ambarsari, MT - Fitri Nuraeni, M.Si
Sekretaris 4
- Yenni Hartini - Dra. Sumaryati, MSi
Keuangan 5
- Soni Aulia Rahayu, SSi - Dyah Aries Tanti, AMd - Edy Maryadi,ST - Dwiko Unggul Prabowo, ST - Visca Wellianita, MSi - Yusuf Dirgantara, ST
Sekertariat/ Sie.Acara
6
vi
- Djoko Trianas, AMd - Sudirman, SH, MAP - Jaja Sudrajat
Sie Humas, Publikasi & Dokumentasi
7
- Rudy Komarudin - Yadi Haryadi - Sucipto, SAb
Sie. Perlengkapan 8
- Nur Rahmayanti, SE - Tirnawati - Endang Susanti - Yuliana Nurul Fitrah, AMd
Sie Konsumsi 9
- E.Sungging Mumpuni, MSi - Lely Qodrita Avia, SSi
Moderator 10
- Novita Ambarsari, MT - Visca Wellyanita, MSi
MC 11
vii
JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL SAINS ATMOSFER ANTARIKSA (SNSAA) 2013
Waktu Acara Pelaksana 08.00-09.00 Registrasi Panitia SNSAA 2013 09.00-09.10 Pembukaan Kepala Lapan 09.10-09.30 Keynote Speaker :
“‘Hasil Sains Atmosfer dan Antariksa setelah 50 tahun LAPAN Berdiri’
Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kerirgantaraan – LAPAN Prof.DR.T.Djamaludin
09.30-09.50 Keynote Speaker Kepala BMKG : Dr. Andi Eka Sakya
09.50-10.10 Keynote Speaker Kepala Pusat Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan : Drs. Husni Nasution
Sesi Presentasi Oral 1 ; Sains Antariksa ; Moderator : E.Sungging Mumpuni, MSi 10.10-10.30 Kesiagaan akan Potensi Bahaya
Objek Alami Antariksa DR.Budi Dermawan - ITB
10.30 -10.50 Interpretasi Struktur Bawah Permukaan Berdasarkan Kelurusan Anomali Magnetik, Perairan Wetar, NTT.
Subarsyah, ST – P3GL
10.50-11.10 Analisis Spasial Kemunculan Sintilasi Ionosfer Kuat Periode Ekuinoks Maret-April 2013 Antara Indonesia-Australia
Asnawi, M.Si- LAPAN
11.10-11.30 Jaringan Pengamatan dan Basis Data Cuaca Antariksa
DR.Teguh Harjana- LAPAN
11.30-11.50 Diskusi Moderator 11.50-13.00 Sesi Poster & ISOMA Sesi Presentasi Oral 2 ; Sains dan Teknologi Atmosfer ; Moderator : Leli Qodrita Avia,
13.00-13.20 Aplikasi Satelit dan Pengamatan Insitu Untuk Deteksi Aerosol dan Dispersi Kabut Asap Kebakaran Hutan di Propinsi Riau.
Sheila Dewi / Dr. Edvin Aldrian - BMKG
13.20-13.40 Analisa Neraca Energi Pada Citra Satelit Untuk Identifikasi Unsur Iklim dan GRK.
Idung Risdiyanto M.Si - IPB
13.40-14.00 Penerapan Undang-Undang Keantariksaan Melalui Standarisasi Komposisi Atmosfer
Drs. Saipul Hamdi, M. Sc - LAPAN
14.00-14.20 Pemanfaatan Model Atmosfer untuk Pengkajian Variabilitas dan Perubahan Iklim di Indonesia.
Drs. Bambang Siswanto M,Si - LAPAN
viii
14.20-14.40 Diskusi Moderator 14.40-14.50 Penutupan MC 14.00-15.00 Pembagian Sertifikat Panitia SNSAA2013
ix
DAFTAR ISI Kata Pengantar iii
Laporan Ketua Panitia iv
Daftar Panitia v
Jadwal Acara vii
ATMOSFER
KAJIAN KETERKAITAN TBO-ENSO DAN PENGARUHNYA TERHADAP BENUA MARITIM INDONESIA Andi Syahid Muttaqin dan Haries Satyawardhana
1
PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca2+ TERHADAP NETRALISASI
HUJAN ASAM DI DAERAH CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT
Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti
13
PERUBAHAN REJIM HIDRO-KLIMAT MUSIMAN PADA ALIRAN SUNGAI CISANGKUY BANDUNG SELATAN
Dadang Subarna
20
PENGEMBANGAN MODEL SISTEM IKLIM UNTUK PEMBELAJARAN PARA SISWA
Dadang Subarna
27
SIMULASI MODEL POLUTAN UDARA MENGGUNAKAN WRF CHEMISTRY
Danang Eko Nuryanto dan Utoyo Ajie Linarka
37
ANALISIS KONDISI PENCEMAR UDARA (SO2 DAN NO2) DI KOTA SURABAYA
Dessy Gusnita
46
PENGARUH PROSES PENGELASAN TERHADAP OZON
Didik Eko Prasetyo
54
ANALISIS KORELASI CURAH HUJAN DENGAN OUTGOING LONGWAVE RADIATION (OLR) BERDASARKAN TIPE CURAH HUJAN Iis Sofiati
59
PERUBAHAN IKLIM DITINJAU DARI DISTRIBUSI FREKUENSI CURAH HUJAN Juniarti Visa
68
x
PENGARUH SKEMA KONVEKSI REGCM4.3 DALAM SIMULASI PRESIPITASI DAN TEMPERATUR DI CORDEX ASIA SELATAN
Kadarsah dan M. Mubashar Ahmad Dogar
75
ANALISIS TEMPORAL DAN SPASIAL EVOLUSI IOD DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA
Krismianto
87
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT
Martono
94
ANALISIS PROFIL OZON MIXING RATIO DAN SUHU DI SUMATERA BERBASIS DATA MLS DAN INSITU
Ninong Komala, Novita Ambarsari, dan Dian Yudha Risdianto
101
VARIABILITAS METIL KLORIDA (CH3Cl) DI ATMOSFER INDONESIA BERBASIS PENGUKURAN SATELIT MLS-AURA
Novita Ambarsari, Ninong Komala, Dyah Aries Tanti, dan Emanuel Adetya
112
AWAL MUSIM DI PULAU BESAR INDONESIA BERDASARKAN PARAMETER ATMOSFER CCAM RESOLUSI 60 KM DAN 17 KM
Nurzaman Adikusumah, Ina Juaeni, dan Bambang Siswanto
122
PENGARUH SUHU PERMUKAAN TERHADAP CURAH HUJAN PULAU BESAR INDONESIA DALAM TIGA PULUH TAHUN TERAKHIR
Nurzaman Adikusumah
133
ANALISIS DIURNAL PARAMETER METEOROLOGI DI STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR MENGGUNAKAN PORTABLE WEATHER STATION (PWS)
Radyan Putra Pradana dan Kadarsah
140
ESTIMASI TOTAL PRECIPITABLE WATER DI WILAYAH INDONESIA MENGGUNAKAN DATA MTSAT
Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung
150
RESTORASI DATA RADIASI MATAHARI MENGGUNAKAN METODE CURVE FITTING INTERPOLASI POLINOM ORDE 4 (KASUS PENGAMATAN DI UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG)
Saipul Hamdi
157
APLIKASI SATELIT DAN PENGAMATAN IN-SITU UNTUK DETEKSI AEROSOL DAN DISPERSI KABUT ASAP KEBAKARAN BIOMASSA DI PROPINSI RIAU
Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
167
ESTIMASI KEBUTUHAN LAMA PAPARAN RADIASI ULTRAVIOLET DI 177
xi
BANDUNG
Sumaryati
PENGARUH MJO TERHADAP PERILAKU HUJAN HARIAN DI ATAS KOTOTABANG
Syafrijon
185
DISTRIBUSI ASAM (NON SEA SALT SO42-; NO3
- DAN Cl-) DAN BASA (NH4+;
SEA SALT Ca2+; DAN NON SEA SALT Ca2+) DI INDONESIA
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati
190
ANALISIS MULTIVARIAT KONSENTRASI NO, CO DENGAN OZON DI LIMA KOTA BESAR DI INDONESIA
Sri Winarni dan W. Eko Cahyono
206
PEMBENTUKAN AWAN DAN HUJAN DI PEGUNUNGAN SUMATERA BARAT
Wendi Harjupa
212
KOMPOSISI CO, CH4 DAN H2O DI LAPISAN TROPOSFER TROPIS DI INDONESIA PADA SAAT TERJADINYA EL NINO DAN LA NINA
Wiwiek Setyawati dan Tuti Budiwati
218
PEMETAAN SPASIAL PENGARUH PROGRAM CAR FREE DAY DI JALAN DAGO TERHADAP KONSENTRASI NOX DAN PM10 DI UDARA AMBIEN
Zeneth Ayesha Thobarony dan Driejana
231
ANTARIKSA
PENGEMBANGAN MODEL KERAPATAN SPASIAL Abdul Rachman
239
GELOMBANG MORETON DAN SEMBURAN RADIO YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 24 OKTOBER 2013 Agustinus Gunawan Admiranto
247
ANALISIS DAN DESAIN SITUS FTP SAINS ANTARIKSA MENGGUNAKAN UML (UNIFIED MODELLING LANGUAGE) Alhadi Saputra
254
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI MENGGUNAKAN GPS FREKUENSI TUNGGAL PADA SAAT AKTIVITAS MATAHARI MAKSIMUM Dessi Marlia
264
PENGAMATAN TEC DAN SINTILASI DENGAN MENGGUNAKAN GPS-SCINDA
277
xii
Dwiko Unggul Prabowo dan Effendy ANALISIS WEBSITE LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN GOOGLE ANALYTIC DALAM RANGKA MENINGKATKAN TRAFFIC WEB
Elyyani
284
SISTEM OTENTIKASI SINGLE SIGN ON UNTUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG
Elyyani , Rizal Suryana
293
ANALISIS PULSA MAGNET PC5 TERKAIT DINAMIKA SABUK RADIASI ELEKTRON Harry Bangkit, L. M. Musafar K, Habirun, Mira Juangsih, Moh. Andi Aris
300
MODEL EMPIRIK HARI TENANG GEOMAGNET DI REGIONAL INDONESIA Mamat Ruhimat, M Andi Aris, Clara Y Yatini
308
VARIASI KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO FM DI PAMENGPEUK PADA FREKUENSI 104,9 MHz Mumen Tarigan
317
KAJIAN RADAR PASIF UNTUK PENGAMATAN IONOSFER
Mumen Tarigan, Buldan Muslim dan Syahril
325
ANALISIS DATA KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO VHF DI PAMENGPEUK DENGAN PERGESERAN SUDUT ANTENA UNTUK PENENTUAN POSISI PEMANCAR Peberlin Sitompul, Mumen Tarigan, Timbul Manik, Sutan Syahril
333
KOMPUTASI AWAN SEBAGAI SOLUSI DALAM PENGHEMATAN BIAYA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG Rizal Suryana
341
METODE PENENTUAN INDEKS IONOSFER DI ATAS PONTIANAK Slamet Syamsudin
351
ANALISIS KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK DAN MANADO Sri Ekawati , Wahyu Srigutomo dan Jiyo
360
METODA ANALISIS TWEEK DARI PENERIMA VLF PONTIANAK SECARA OTOMATIS Timbul Manik dan Hiroyo Ohya
367
RANCANGAN PEMBANGUNAN SISTEM PENYIMPANAN DATA PENELITIAN 377
xiii
BERBASIS KOMPUTASI AWAN MENGGUNAKAN OWNCLOUD Yoga Andrian, Rizal Suryana
VARIASI DIURNAL MAGNET-BUMI SAAT GERHANA MATAHARI CINCIN 26 JANUARI 2009 Yosi Setiawan, I Putu Dedy Pratama
385
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1
KAJIAN KETERKAITAN TBO-ENSO DAN PENGARUHNYA TERHADAP BENUA MARITIM
INDONESIA
Andi Syahid Muttaqin1) dan Haries Satyawardhana2) 1) Institut Teknologi Bandung, email: [email protected]
2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Bandung, email: [email protected]
Abstract Indonesian Maritime Continent (MC) is located between the Asian and Australian
monsoon regions, where both monsoon region have a biennial pattern called Tropospheric Biennial Oscillation (TBO). In additionto that, MC is also influenced by southern oscillation observed in the Pacific Ocean (ENSO, El-Nino Southern Oscillation). It is interesting to study further the relationship between ENSO and TBO, and its impact on MC. TBO conceptual model is used for the basis of the analysis and the data used in this study are outgoing longwave radiation (OLR), zonal wind at 850 and 200 mb layers, and sea surface temperature (SST) from NCEP-NCAR reanalysis. The results show that the transition process of TBO during ENSO years, there is a maximum convective movement that originating from the Indian region, moving through maritime continent, Australia, then to the Western Pacific, and ending in Eastern Pacific. While the process of transition in normal years (TBO during normal years), the convective propagation process is not so obvious but TBO pattern is still observed in MC and Australia. It is found that the TBO pattern is more visible in the December-January-February (DJF) than in the June-July-August-September (JJAS) period, with the difference OLR values are 12 Wm-2 and 3 Wm-2, respectively. Hence the TBO is a phenomenon that is independent to ENSO and more influence on MC in the DJF period.
Keywords: TBO, ENSO, monsoon
Abstrak Benua Maritim Indonesia (BMI) berada di antara wilayah monsun Asia dan Australia.
Kedua wilayah tersebut memiliki pola dua-tahunan yang disebut sebagai Tropospheric Biennial Oscillation (TBO). Selain itu, BMI juga mendapat pengaruh dari osilasi selatan yang terjadi di Samudera Pasifik yang dikenal dengan nama ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Hubungan antara TBO dan ENSO, serta dampaknya terhadap BMI menarik untuk dikaji lebih lanjut. Model konseptual TBO digunakan sebagai dasar analisis dan data yang digunakan dalam studi ini adalah radiasi gelombang panjang (OLR), angin zonal pada lapisan 850 dan 200 mb, dan suhu muka laut (SST) yang didapat dari reanalisis NCEP-NCAR. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pada proses transisi TBO pada tahun-tahun ENSO, ada pergerakan konvektif maksimum yang bermula di atas wilayah India yang bergerak melewati BMI, Australia, kemudian ke arah Pasifik Barat, hingga ke Pasifik Timur. Sedangkan proses transisi pada tahun normal, proses penjalaran konvektif tidak begitu jelas terlihat namun pola TBO masih teramati di BMI dan Australia. Pola TBO pada wilayah BMI lebih terlihat pada periode DJF daripada periode JJAS dengan selisih nilai OLR masing-masing sebesar 12 Wm-2 dan 3 Wm-2. Hal ini menjelaskan bahwa TBO merupakan fenomena yang tidak terikat dengan ENSO.
Kata kunci: TBO, ENSO, monsun
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2
1. PENDAHULUAN
Tropospheric Biennial Oscillation (TBO) adalah kecenderungan monsun kuat
(lemah) diikuti oleh monsun lemah (kuat) dengan transisi yang terjadi pada musim
sebelum terjadinya monsun yang melibatkan proses atmosfer-darat-laut pada wilayah Indo-
Pasifik (Meehl 1997; Meehl dan Arblaster 2002). Mekanisme yang menggambarkan proses
TBO telah diusulkan oleh beberapa peneliti (Nicholls, 1978; Meehl, 1987; Meehl, 1993;
Goswami, 1995; Chang dan Li, 2000; Meehl dan Arblaster, 2002). Meehl dan Arblaster
(2002) menggambarkan proses TBO secara lebih komprehensif dibandingkan dengan
kajian sebelumnya.
Model konseptual Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan proses transisi
TBO yang bermula dari monsun lemah menuju monsun kuat Australia. Namun, model
tersebut belum menggambarkan evolusi proses transisi TBO secara utuh. Kajian ini akan
berfokus pada proses evolusi TBO yang bermula dari monsun kuat menuju monsun lemah
Australia, sehingga dapat melengkapi gambaran proses transisi TBO dan pengaruhnya
terhadap Benua Maritim secara lebih lengkap (Meehl dan Arblaster, 2002).
Kajian ini bertujuan memahami mekanisme interaksi kopel atmosfer-daratan-lautan
yang membentuk TBO dalam konteks monsun Asia-Australia, meninjau proses transisi
TBO yang terjadi antara monsun kuat menuju monsun lemah Australia, melengkapi model
konseptual Meehl dan Arblaster (2002), serta meninjau pengaruh proses transisi TBO
terhadap BMI.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Meehl (1987) pertama kali mengidentifikasi sinyal kuasi-dua tahunan dalam data
hujan India dan mengidentifikasi puncak spektra data hujan tersebut pada kisaran 2.5
hingga 3 tahun. Penelitian selanjutnya mengungkapkan adanya karakteristik TBO yang
terjadi di daerah tropis, baik melalui observasi (Yasunari, 1991; Ropelewski dkk., 1992;
Yang dkk., 1996) maupun melalui pemodelan (Goswami, 1998; Chang dan Li, 2000; Li
dkk., 2002).
Dalam kaitannya dengan sistem monsun, Meehl (1997) menginterpretasikan TBO
sebagai kecenderungan monsun untuk menguat dan melemah secara bergiliran, atau
dengan kata lain, monsun yang relatif kuat (lemah) akan diikuti oleh monsun yang relatif
lemah (kuat). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk memahami pembentukan TBO
(Nicholls, 1978; Meehl, 1987; Meehl, 1993; Goswami, 1995; Chang dan Li, 2000; Meehl
dan Arblaster, 2002).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3
Model konseptual TBO yang dibangun oleh Meehl dan Arblaster (2002)
menggambarkan secara komprehensif pengaruh masing-masing komponen pembentuk
TBO, berupa pengaruh lautan (Meehl, 1993; dan Meehl dan Arblaster, 2002), pengaruh
daratan (Meehl, 1994), pengaruh kopel atmosfer-daratan-lautan (Meehl, 1994), serta
mengaplikasikan model konseptual tersebut terhadap (hujan) monsun India, dan monsun
Asia-Australia (Meehl dan Arblaster, 2002). Untuk memperhitungkan kondisi-kondisi
yang berkaitan dengan proses transisi TBO, mereka membangun suatu model konseptual
berupa rangkaian periode musiman (DJF, MAM, JJAS, SON, dan DJF+1) berdasarkan
interaksi kopel antara atmosfer-daratan-lautan yang menggambarkan hubungan antara
Sirkulasi Walker Timur (EWC, Eastern Walker Cell) dan Sirkulasi Walker Barat (WWC,
Western Walker Cell).
3. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data angin zonal (850 dan 200 hPa),
suhu permukaan (daratan dan lautan), dan radiasi gelombang panjang (OLR) dari National
Center for Environmental Prediction-National Center for Atmospheric Research
(NCEP/NCAR) Reanalysis (Kalnay dkk., 1996) untuk periode Desember 1979 –
November 1999. Pola TBO secara spasiotemporal akan lebih terlihat dengan menggunakan
daerah kajian yang meliputi wilayah India, BMI, Australia dan Pasifik.
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah:
1. Meninjau pola TBO dalam monsun Asia yang diwakili oleh monsun India dan monsun
Australia, serta mengkaji hubungan antara kedua monsun tersebut.
a. Menghitung indeks monsun Australia (AUSMI) berdasarkan metode yang diusulkan
oleh Kajikawa dkk. (2010) dan juga menghitung indeks monsun Asia (India, ISMI)
berdasarkan metode Wang dan Fan (1999) serta melihat pola TBO dalam kedua
indeks monsun tersebut berdasarkan kriteria Meehl dan Arblaster (2002): monsun
kuat bila Ii-1 < Ii > Ii+1, dan monsun lemah bila Ii-1 > Ii < Ii+1, dimana Ii merupakan
nilai indeks monsun pada tahun ke-i.
b. Membangun rangkaian evolusi musiman beberapa parameter (angin zonal, suhu
permukaan, dan OLR) untuk memahami pola transisi TBO yang diimplementasikan
dalam rangkaian musiman: (1) DJF (AUSMI lemah); (2) MAM (transisi menuju
JJAS); (3) JJAS (ISMI kuat); (4) SON (transisi menuju DJF+1); (5) DJF+1 (AUSMI
kuat); (6) MAM+1 (transisi menuju JJAS+1); (7) JJAS+1 (ISMI lemah); dan (8)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4
SON+1 (transisi menuju DJF). Dengan demikian, masing-masing musim diwakili
oleh tahun-tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Pengelompokkan tahun-tahun yang mewakili evolusi musiman TBO
Musim Tahun Keterangan DJF 1982 1987 1989 1991 1993 1997 AUSMI
MAM 1980 1983 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 JJAS 1980 1983 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 ISMI Kuat SON 1980 1986 1988 1990 1992 1996 1998
DJF+1 1980 1986 1988 1990 1992 1996 1998 AUSMI MAM+1 1982 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 JJAS+1 1982 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 ISMI SON+1 1982 1987 1989 1991 1993 1997
2. Meninjau pengaruh ENSO terhadap TBO dengan melihat indeks suhu muka laut di
wilayah Nino3.4 (Trenberth, 1997) untuk masing-masing musim, seperti yang
ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Penentuan kondisi ENSO pada masing-masing musim dalam proses transisi TBO
berdasarkan indeks Nino3.4 (Trenberth 1997)
Musim Tahun
DJF 1982 (EN)
1987 (EN)
1989 (N)
1991 (EN)
1993 (N)
1997 (EN)
MAM 1980 (EN)
1983 (EN)
1986 (N)
1988 (N)
1990 (N)
1992 (EN)
1994 (N)
1996 (N)
1998 (EN)
JJAS 1980 (N)
1983 (N)
1986 (N)
1988 (LN)
1990 (N)
1992 (EN)
1994 (EN)
1996 (N)
1998 (LN)
SON 1980 (N)
1986 (EN)
1988 (LN)
1990 (N)
1992 (N)
1996 (N)
1998 (LN)
DJF+1 1980 (N)
1986 (EN)
1988 (LN)
1990 (N)
1992 (N)
1996 (N)
1998 (LN)
MAM+1 1982 (N)
1985 (LN)
1987 (EN)
1989 (LN)
1991 (EN)
1993 (EN)
1995 (N)
1997 (EN)
JJAS+1 1982 (EN)
1985 (N)
1987 (EN)
1989 (N)
1991 (EN)
1993 (EN)
1995 (N)
1997 (EN)
SON+1 1982 (EN)
1987 (EN)
1989 (N)
1991 (EN)
1993 (N)
1997 (EN)
Keterangan: EN menunjukkan kondisi El Nino, N untuk normal, LN untuk La Nina.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Rekonstruksi Model Konseptual TBO (Monsun Australia Lemah menuju
monsun Australia Kuat)
Model konseptual Meehl dan Arblaster (2002) akan direkonstruksi menggunakan
beberapa parameter yang diasumsikan mewakili proses interaksi kopel atmosfer-darat-laut.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
5
Parameter yang digunakan antara lain angin zonal (850 dan 200 hPa) yang diharapkan
dapat menggambarkan sirkulasi timur-barat skala-besar, suhu permukaan (darat dan laut)
yang diasumsikan mewakili dinamika yang terjadi di permukaan baik di darat maupun laut,
serta menggunakan parameter radiasi gelombang panjang (OLR) yang diasumsikan dapat
menggambarkan pergerakan konvektif maksimum.
Rekonstruksi model konseptual didasarkan pada pola TBO yang dihasilkan melalui
analisis deret-waktu dari indeks monsun India (ISMI) dan Australia (AUSMI). Terdapat
dua rangkaian evolusi musiman yang akan dibangun. Pertama, yang akan digunakan
sebagai konfirmasi model konseptual yang telah ada, akan disusun suatu rangakaian
evolusi musiman yang bermula dari DJF pada saat monsun Australia lemah menuju DJF
pada saat monsun Australia kuat (DJF; MAM; JJAS; SON; DJF+1). Kedua, yang
dilakukan sebagai analisis siklus TBO lanjutan yang diharapkan dapat melengkapi proses
transisi TBO yang telah dibangun oleh Meehl dan Arblaster (2002) dan juga untuk
memahami proses TBO secara lebih menyeluruh, akan dimulai dari DJF pada saat monsun
Australia kuat menuju DJF pada saat monsun Australia lemah (DJF+1; MAM+1; JJAS+1;
SON+1; DJF+2).
Hasil yang didapat dari proses rekonstruksi sebagai konfirmasi model konseptual
ditunjukkan pada Gambar 1 sedangkan proses TBO sebagai siklus lanjutannya ditunjukkan
pada Gambar 2.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Hasil rekonstruksi evolusi musiman dalam proses TBO berdasarkan model konseptual Meehl dan Arblaster (2002)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Hasil evolusi musiman yang ditunjukkan pada Gambar 1 kemudian dibandingkan
dengan model konseptual TBO. Perbandingan ini mengungkapkan beberapa bukti bahwa
parameter angin zonal dan OLR dapat menggambarkan Sirkulasi Walker Barat-Timur dan
penjalaran pusat konvektif yang sesuai dengan model konseptual. Selain itu, parameter
suhu permukaan laut dapat menggambarkan transisi suhu muka laut baik di daerah Hindia-
Pasifik dan parameter suhu permukaan darat dapat menggambarkan penguatan monsun
Asia Selatan pada bulan JJAS disebabkan oleh suhu permukaan daratan (wilayah India)
yang lebih hangat pada musim dingin (DJF) yang mengawali monsun tersebut.
Ketiga parameter tersebut di atas (angin zonal, suhu permukaan, OLR) dapat
menggambarkan proses evolusi musiman TBO dengan baik. Namun, di antara ketiga
parameter tersebut, parameter OLR dianggap lebih sesuai dengan model konseptual.
Berdasarkan hasil konfirmasi ini, ketiga parameter yang digunakan di atas dapat digunakan
pula untuk menganalisis proses transisi TBO sebagai pelengkap dari proses evolusi
musiman TBO yang telah digambarkan oleh Meehl dan Arblaster (2002).
4. 2 Analisis Proses Transisi TBO (Monsun Kuat menuju Lemah Australia)
Proses transisi dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF, pada saat
monsun Australia lemah ditunjukkan pada Gambar 2. Pada musim DJF saat monsun
Australia kuat, yang ditunjukkan oleh distribusi pusat konvektif yang cukup besar di atas
wilayah Australia utara, angin zonal (850 dan 200 hPa) memperlihatkan adanya pertemuan
Sirkulasi Walker Barat dan Timur. Pertemuan ini membentuk konvergensi di dekat
permukaan dan divergensi di lapisan 200 hPa dan memperkuat monsun yang terjadi. Selain
itu, sebagai konsekuensi interaksi antara atmosfer-laut, angin zonal dekat permukaan akan
berinteraksi dengan perpindahan massa air laut dan menyebabkan pengangkatan massa air
dengan suhu yang lebih dingin dari laut yang lebih dalam (upwelling) yang terlihat di
Pasifik Timur dan Hindia Tengah serta mengakibatkan penumpukkan massa air hangat di
atas wilayah Australia Utara yang memberikan suplai kelembaban yang cukup untuk
memperkuat pembentukan awan konvektif.
Selain itu, pelemahan monsun Asia Selatan juga tergambarkan oleh OLR yang
tinggi di atas wilayah India. Konsep pelemahan monsun yang disebabkan oleh suhu
daratan pada saat musim dingin sebelum terjadinya monsun juga teridentifikasi.
Berdasarkan analisis parameter OLR pada Gambar 2, terlihat adanya penjalaran pusat
konvektif yang bermula dari wilayah Australia, bergerak menuju Pasifik Barat, kemudian
berpindah ke Pasifik Tengah, hingga menuju Pasifik Timur. Hal ini diduga disebabkan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
karena adanya pengaruh ENSO terhadap TBO. Sehingga, untuk melihat pengaruh ENSO
terhadap TBO, maka dilakukan analisis TBO pada saat kondisi normal, dengan cara
menghilangkan tahun-tahun TBO dengan ENSO kuat.
4.3 Keterkaitan TBO dan ENSO
TBO dan ENSO merupakan variasi interannual yang mempengaruhi wilayah monsun
Asia-Australia dan juga mempengaruhi wilayah Pasifik Tropis (Chang dan Li, 2000).
Chang dan Li (2000) memandang kedua osilasi tersebut sebagai satu sistem yang sama
sedangkan peneliti lain melihatnya sebagai dua sistem yang terpisah dimana TBO
dipengaruhi dan diatur oleh monsun, dan ENSO diatur oleh kopel atmosfer-lautan dari
Pasifik tropis bagian timur. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat kedua
osilasi tersebut berdampak pada wilayah Asia-Australia. Oleh karena itu, pada bagian ini,
akan dilihat proses transisi TBO dimana pengaruh ENSO akan dihilangkan dengan cara
mengeliminasi tahun-tahun TBO yang bersamaan dengan kejadian El Nino dan La Nina
kuat.
Berdasarkan indeks Nino3.4 untuk periode waktu yang sama dengan kajian ini,
ditinjau kondisi ENSO pada masing-masing musim untuk TBO kuat, lemah, dan transisi
yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Kemudian, untuk mengetahui pengaruh ENSO, maka dipilihlah musim-musim yang
mengalami kondisi normal (untuk mengetahui proses transisi TBO tanpa pengaruh ENSO).
Setelah itu, dilakukan kembali analisis komposit masing-masing musim yang
menggambarkan evolusi TBO pada kondisi normal yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Proses analisis kemudian difokuskan pada parameter OLR karena seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, parameter ini dianggap lebih menggambarkan model konseptual
TBO. Analisis proses transisi TBO tanpa mengikutsertakan proses ENSO di dalamnya
(TBO pada kondisi normal) memberikan gambaran bahwa tidak terlihat adanya pusat
konvektif yang menjalar ke wilayah Pasifik Barat, Tengah, hingga Timur seperti yang telah
terobservasi sebelumnya (TBO yang masih dipengaruhi ENSO). Hal ini terutama terlihat
ketika evolusi musiman OLR bergerak dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju
DJF pada saat monsun Australia lemah. Namun, pola TBO tetap terlihat untuk wilayah
monsun Australia dimana nilai anomali OLR besar (kecil) yang merepresentasikan munsun
lemah (kuat) Australia diikuti oleh OLR kecil (besar) yang merepresentasikan monsun kuat
(lemah) pada tahun setelahnya. Sedangkan untuk wilayah monsun India, pola TBO terlihat
tidak sekuat pola TBO yang terlihat di wilayah monsun Australia. Hal ini memberikan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
gambaran bahwa pola TBO tetap terjadi walaupun tanpa pengaruh ENSO dimana pola
tersebut masih kuat teramati untuk wilayah monsun Australia namun pola TBO teramati
lemah untuk wilayah monsun Asia Selatan (India).
5. KESIMPULAN
Hasil analisis rekonstruksi model konseptual mengungkapkan bahwa parameter
angin zonal dan OLR dapat menggambarkan sirkulasi Walker Barat-Timur dan penjalaran
pusat konvektif yang sesuai dengan model konseptual TBO. Parameter suhu permukaan
dapat menggambarkan transisi suhu muka laut di daerah Hindia-Pasifik selama proses
TBO dan dapat pula mendukung konsep penguatan-pelemahan monsun yang disebabkan
karena pengaruh suhu daratan di wilayah Asia Selatan (India).
Proses transisi TBO dengan memasukkan kondisi ENSO, yang berawal dari
monsun kuat menuju monsun lemah Australia mengungkapkan bahwa pergerakan
konvektif maksimum yang bermula di atas wilayah India yang bergerak melewati BMI,
Australia, kemudian ke arah Pasifik Barat, hingga ke Pasifik Timur. Hal ini berarti, jika
pada musim DJF suatu tahun monsun Australia lemah, maka dua musim setelahnya (JJAS),
Benua Maritim Indonesia akan didominasi oleh awan konvektif hingga monsun Australia
pada tahun selanjutnya (DJF+1) terjadi. Namun, jika pada DJF suatu tahun monsun
Australia kuat, maka satu musim setelahnya (MAM) hingga MAM pada tahun selanjutnya
(MAM+1), Benua Maritim cenderung mengalami OLR yang cukup besar sepanjang tahun
(tidak dilewati oleh pusat konvektif).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2. Evolusi musiman proses TBO sebagai pelengkap model konseptual Meehl dan Arblaster (2002)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
11
(a) (b)
Gambar 3. Evolusi musiman OLR (TBO pada tahun-tahun normal): (a) monsun lemah
menuju kuat Australia, dan (b) monsun kuat menuju lemah Australia
DAFTAR PUSTAKA
Chang, C.P., dan Li, T., A theory for the tropical tropospheric biennial oscillation, Journal
of Atmospheric Sciences, 57, 2209 – 2224, 2000.
Goswami, B.N., A multiscale interaction model for the origin if the tropospheric TBO,
Journal of Climate, 8, 524 – 534, 1995.
Goswami, B.N., Interannual variations of Indian summer monsoon in a GCM: external
conditions versus internal feedbacks, Journal of Climate, 11, 501 – 522, 1998.
Kajikawa, Y., Wang, B., dan Yang, J., A multi-time scale Australian monsoon index, Int. J.
Climatology, 30, 1114 – 1120, 2010.
Kalnay, E., dan Coauthors., The NCEP/NCAR 40-Year reanalysis project, Bull. Amer.
Meteor. Soc., 77 : 437 – 471, 1996.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
12
Meehl, G.A., The annual cycle and interannual variability in the tropical Pacific and Indian
Ocean regions, Mon. Wea. Rev., 115, 27 – 50, 1987.
Meehl, G.A., A coupled air-sea biennial mechanism in the tropical Indian and Pacific
regions: role of the ocean, J. Climate, 6, 31 – 41, 1993.
Meehl, G.A., dan Arblaster, J.M., The tropospheric biennial oscillation and Asian-
Australian monsoon rainfall, J. of Climate, 15, 722 – 744, 2002.
Nicholls, N., Air-sea interaction and the quasi-biennial oscillation, Mon. Wea. Rev., 106,
1505 – 1508, 1978.
Ropelewski, C.F., Halpert, M.S., dan Wang, X., Observed tropospheric biennial variability
and its relationship to Southern Oscillation, J. Climate, 5, 594 – 614, 1992.
Trenberth, K.E. , The definition of El Nino, Bull. Amer. Met., 78(12), 2771 – 2777, 1997.
Wang, B., dan Fan, Z., Choice of South Asian Summer Monsoon Indices, Bull. Amer. Met.,
80(4), 629 – 638, 1999.
Yang, S., Lau, K.M., dan Rao, M.S., Precursory signals associated with the interannual
variability of the Asian summer monsoon, J. Climate, 9, 949 – 964, 1996.
Yasunari, T., The monsoon year – a new concept of the climate year in the tropics, Bull.
Amer. Meteorol. Soc., 72, 1331 – 1338, 1991.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
13
PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca2+
TERHADAP NETRALISASI HUJAN ASAM DI DAERAH CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT
Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) [email protected]; [email protected]
Abstract Neutralization of acid rain is influenced by cation ion concentration contained in
rain water, especially NH4 + and Ca2 + ions. From neutralization factor calculations, it was found that neutralization of rainwater acidity in Cipedes area affected by NH4
+ ions by neutralization factor values from 0.3 to 1.4, whereas for the area Kb. Kalapa, Soreang and Cikadut, more influenced by Ca2+ ions with a range of values of the neutralization factor from 0.1 to 3.4. This indicated also by the new pH value which takes into account the concentration of NH4
+ ions in rainwater pH calculation. Keywords : neutralization factor, rainwater, pH, NH4
+, Ca2+
Abstrak Netralisasi hujan asam di pengaruhi oleh konsentrasi ion kation yang terkandung
dalam air hujan, terutama ion NH4+ dan ion Ca2+. Dari perhitungan faktor netralisasi,
didapatkan bahwa netralisasi keasaman air hujan di daerah Cipedes dipengaruhi oleh ion NH4
+ dengan nilai faktor netralisasi sebesar 0,3 – 1,4. Untuk daerah Kebon Kalapa, Soreang dan Cikadut, lebih banyak dipengaruhi oleh ion Ca2+ dengan rentang nilai faktor netralisasi sebesar 0,1 – 3,4. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai pH baru (pH kalkulasi) yang memperhitungkan konsentrasi ion NH4
+ dalam perhitungan pH air hujan. Kata Kunci : faktor netralisasi, air hujan, pH, NH4
+, Ca2+
1. PENDAHULUAN
Sumber basa di atmosfer mempunyai pengaruh dalam penetralan keasaman air
hujan. Sumber basa yang utama adalah NH3 dan CaCO3 (Wang, et al 2002). Amonia dalam
bentuk gas (NH3) berhubungan erat dengan kehadiran amonium (NH4+) di atmosfer, yang
pada gilirannya amonium ini bertindak sebagai senyawa penetral di atmosfer dan juga
berkontribusi terhadap masalah pengasaman atmosfer (Wameck, 1999). Kalsium,
Magnesium dan Natrium dalam air hujan berasal dari garam-garam lautan dan dari tanah
(Carroll, 1962). Wang (Wang et al., 2002 dalam GAO et al 2010) mengungkapkan bahwa
ion Ca2+ yang terkandung dalam aerosol tanah di kawasan Asia Timur memiliki pengaruh
netralisasi yang kuat pada pH curah hujan dan dapat menaikkan pH rata-rata tahunan (0,8 –
2,5) di Cina Utara dan Korea.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
14
Perhitungan faktor netralisasi digunakan untuk melihat pengaruh kation terhadap
netralisasi keasaman air hujan. Dilakukan pula perhitungan nilai pH baru dengan
memperhitungkan konsentrasi H+ dan konsentrasi ion NH4+ untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh netralisasinya terhadap nilai keasaman air hujan. Perhitungan faktor
netralisasi dan pH baru digunakan untuk melihat sumber basa mana yang paling
mempengaruhi nilai keasaman air hujan di suatu daerah (Possanzini et al, 1988 dan GAO
et al 2010).
Tujuan dari penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh NH4+ dan Ca2+ pada
penetralan keasaman air hujan untuk daerah Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut,
yang nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai penetralan
keasaman air hujan dan dapat juga digunakan untuk mendeteksi apakah terjadi perubahan
kondisi lingkungan pada daerah tersebut.
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan yaitu data konsentrasi kation dan anion air hujan daerah
Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut – Bandung kurun waktu 2007 – 2011. Dengan
menggunakan data rata-rata bulanan konsentrasi ion NH4+ dan Ca2+ untuk setiap daerah
dari tahun 2007 -2011 dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs) dengan menggunakan
persamaan berikut (Possanzini et al 1988).
(1)
Dimana Xi adalah konsentrasi kation yang diinginkan, dalam penelitian ini adalah NH4+
dan Ca2+. Semua ion dinyatakan dalam µeq/l.
Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai pH baru (pH kalkulasi) dengan
memperhitungkan nilai konsentrasi H+ dan NH4+ dengan menggunakan persamaan berikut
(Wang et al 2002 dalam GAO et al, 2010).
pH =-log ([H +] + [NH4 +]) (2)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Nilai Faktor Netralisasi NH4+ dan Ca2+.
Secara teoritis penurunan pH dalam air hujan terutama disebabkan oleh larutnya
polutan SO42- dan NOx, sedangkan peningkatan pH disebabkan oleh terlarutnya kalsium
(Ca2+) dan amonia (NH3) dalam air hujan (Sari dkk, 2007). Peningkatan pH yang terjadi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
15
pada air hujan mengindikasikan telah terjadinya proses netralisasi keasaman air hujan oleh
sumber basa utama yang ada di atmosfer, yaitu kalsium dan amonia (Wameck, 1999).
Untuk melihat hubungan antara konsentrasi NH4+ dan Ca2+ yang terlarut di dalam
air hujan terhadap proses penetralan keasaman air hujan tersebut dilakukan perhitungan
faktor netralisasi (NFs) masing-masing untuk NH4+ dan Ca2+ di setiap daerah. Faktor
netralisasi digunakan untuk mengevaluasi penetralisir keasaman air hujan oleh lapisan
kerak dan amonia. Semakin tinggi nilai faktor netralisasi, menunjukkan bahwa ion tersebut
memiliki kemampuan netralisasi yang kuat terhadap keasaman air hujan (Possanzini et al
1988).
Hasil yang diperoleh pada perhitungan faktor netralisasi untuk masing-masing
daerah memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2007 - 2011daerah Cipedes penetralan
keasaman air hujan lebih dipengaruhi oleh NH4+ dengan rentang nilai antara 0,3 – 1,4.
Sedangkan untuk daerah Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut terjadi perubahan pengaruh
penetralan. Pada tahun 2007 – 2008 penetralan keasaman air hujan dipengaruhi oleh ion
NH4+, namun pada tahun 2009 – 2011 penetralan keasaman air hujan lebih banyak
dipengaruhi oleh Ca2+ yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Hal tersebut sejalan dengan berubahnya kondisi lingkungan di daerah Kebon
Kalapa, Soreang dan Cikadut. Di daerah Soreang terjadi perubahan penggunaan lahan
dimana lahan persawahan berubah menjadi pemukiman penduduk. Kemudian bukit-bukit
yang ditumbuhi pepohonan sekarang telah habis terkikis karena digunakan sebagai
penambangan pasir. Keadaan ini membuat NH4+ yang teremisikan dari penggunaan pupuk
berkurang dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, digantikan dengan teremisikannya
Ca2+ ke udara yang berasal dari penambangan pasir.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang (Wang et al, 2002 dalam GAO 2010)
di daerah Cina Utara dan Republik Korea, konsentrasi Ca2+ dan nilai pH dalam air hujan
jauh lebih tinggi dibandingkan Cina Selatan dan Jepang. Kondisi ini disebabkan oleh
tingginya Ca2+ yang terdapat dalam aerosol tanah, sehingga kemampuan netralisasi oleh
NH4+ tidak menonjol di daerah tersebut.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
16
Gambar 1. Nilai faktor netralisasi antara ion NH4+ dan ion Ca2+ daerah Cipedes (a),
Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
( a )
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
17
3.2 Nilai pH air hujan dan pH kalkulasi.
Gambar 2. Perbandingan pH air hujan dengan pH kalkulasi daerah Cipedes (a), Kebon
Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
Pada amonium, tingginya nilai faktor netralisasi tidak langsung menunjukkan
bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat dan memiliki pengaruh
yang kuat terhadap keasaman air hujan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
amonia terhadap netralisasi pH air hujan, maka dilakukan analisis perhitungan pH
( a )
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
18
kalkulasi antara ion amonium dengan nilai pH hujan. Perhitungan pH kalkulasi tidak hanya
memperhitungkan nilai H+ tapi juga memasukkan konsentrasi ion NH4+ ke dalam
perhitungan nilai pH. Ion amonium di produksi oleh amonia dalam kombinasi dengan H+.
Jika tidak ada amonia di atmosfer, maka konsentrasi H+ harus meningkat, sehingga perlu
dimasukkannya konsentrasi NH4+ dalam perhitungan nilai pH (GAO, et al., 2010).
Dari hasil perhitungan pH kalkulasi yang dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini
didapatkan bahwa amonia tidak secara signifikan mempengaruhi penetralan keasaman air
hujan di daerah Cipedes. Tingkat signifikasi yang diperoleh hanya 40% saja. Kondisi ini
menandakan bahwa keberadaan kation lain seperti Natrium dan Magnesium selain
Amonium yang terlarut dalam air hujan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penetralan keasaman air hujan daerah Cipedes.
4. KESIMPULAN
Ion amonium dan ion kalsium mempunyai pengaruh yang besar terhadap penetralan
keasaman air hujan yang ditunjukkan dengan nilai faktor netralisasi yang cukup besar,
yaitu daerah Cipedes dengan rentang 0,3 – 1,4 untuk NH4+; 0,04 – 0,9 untuk Ca2+. Kb.
Kalapa dengan rentang 0,005 – 3,4 untuk NH4+; 0,18 – 2,9 untuk Ca2+. Soreang dengan
rentang 0,01 – 0,9 untuk NH4+; 0,09 – 0,9 untuk Ca2+. Cikadut dengan rentang 0,01 – 0,8
untuk NH4+; 0,1 – 2,0 untuk Ca2+.
Dari perhitungan pH kalkulasi diperoleh bahwa penetralan di daerah Cipedes tidak
hanya dipengaruhi oleh amonium, namun juga dipengaruhi oleh kation lain seperti Natrium
dan Magnesium.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih untuk Laboratorium Kimia Lapan Bidang Komposisi Atmosfer untuk
data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini, serta Ir. Tuti Budiwati, M.Eng atas
bimbingannya.
DAFTAR RUJUKAN
Carroll Dorothy., Rainwater as a Chemical Agent of Geologic Process – A Review.
Geological Survey Water-Supply Paper 1535-G, 1962.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
19
GAO chao, et al., Ammonium Variational Trends and the Ammonia Neutralization Effect
on Acid Rain over East Asia. ATMOSPHERIC AND OCEANIC SCIENCE
LETTERS, VOL. 3, NO. 2, 120−126, 2010.
Possanzini, M., P. Buttini, and V. D. Palo., Characterization of a rural area in terms of dry
and wet deposition, Sci. Total Environ.,74,111-120, 1988.
Sari, R. Puripuspita, Siti Badriyah R., Hermawan R., Hujan Asam Pada Beberapa
Penggunaan Lahan di Kabupaten dan Kota Bogor. Media Konservasi Vol XII, No 2, 77
– 79, 2007.
Wang, Z., H. Akimoto, and I. Uno., Neutralization of soil aerosol and its impact on the
distribution of acid rain over east Asia: Observations and model results, J. Geophys.
Res, 107, D19, 4389, doi: 10.1029/2001JD001040, 2002.
Warneck, P., Chemistry of the Natural Atmosphere. International Geophysical Series 71,
Academic Press Inc., San Diego, 1999.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
20
PERUBAHAN REJIM HIDRO-KLIMAT MUSIMAN PADA ALIRAN SUNGAI CISANGKUY BANDUNG SELATAN
Dadang Subarna
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Email:[email protected]
Abstract Obsevation of the temporal hydro-climate variablity in the watershed show a
random. The research of seasonal hydro-climate regime alteration about transformation of seasonal hydro-climate regime was conducted in Cisangkuy watershed southern Bandung. The research was based on daily data observation of Cisangkuy river streamflows 2001-2012 years which is divided to become the rainy (DJF), dry (JJA) and transition (MAM, SON) season between both. Method applied is determination and fitting the probability density function (PDF) of seasonal streamflow with Kolmogorov-Smirnov statistic test. Found that the daily mean of DJF, MAM, JJA, SON each are 19 m3/s, 23 m3/s, 8.9 m3/s , 115 m3/s with seasonal probability density function each are Lognormal PDF (μ= 2.8, σ= 0.6), Normal PDF (μ =23, σ=10), Exponential PDF (= 0.11), Exponential PDF(= 0.09). The parameters estimated to build the PDF and their accuracy are examined by Kolmogorov-Smirnov method. The result of this reseach indicates that the streamflow regime already happened the interseasonal alteration of Cisangkuy river significantly during time period observation of the years 2001-2012, causing changes the characteristics hydro-climate interseason at the watershed. Implication of the alteration of this regime will change the precision of suspect periodic flooding and estimation of design flood debit.
Key words: Regime alteration, PDF, interseasonal, hydroclimate, watershed.
Abstrak
Variablitas temporal hidro-klimat hasil pengamatan dalam suatu daerah tangkapan air menunjukkan sifat random. Penelitian tentang perubahan rejim hidro-klimat musiman telah dilakukan di daerah aliran sungai Cisangkuy, Bandung Selatan. Penelitian didasarkan pada data pengamatan aliran sungai Cisangkuy harian dari tahun 2001-2012 yang dibagi menjadi musim penghujan, musim kemarau dan musim transisi antar keduanya. Metode yang digunakan adalah penentuan PDF musiman dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Ditemukan bahwa rata-rata debit harian DJF, MAM, JJA, SON masing-masing adalah 19 m3/s, 23 m3/s, 8,9 m3/s, 11,5 m3/s dengan probabilitas musiman masing-masing PDF Lognormal (μ=2,8, σ=0,6), PDF Normal (μ=23, σ=10), PDF Eksponential (=0,11), PDF Eksponential (=0,09). Parameter-parameter ini merupakan estimasi untuk membangun PDF dan keakuratannya diuji dengan metode Kolmogorov-Smirnov. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan rejim aliran sungai Cisangkuy yang sangat signifikan antar musiman selama periode waktu pengamatan tahun 2001-2012, sehingga berubah karakteristik hidro-klimat antar musim pada daerah tangkapan air tersebut. Implikasi perubahan rejim ini akan mempengaruhi ketepatan dugaan banjir periodik dan estimasi debit rancangan. Kata Kunci: Perubahan rejim, fungsi densitas probabilitas, antar musiman, hidroklimat, daerah aliran sungai.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
21
1. PENDAHULUAN
Karakteristik probabilitas dari variabilitas streamflow di dalam daerah aliran sungai
memiliki implikasi sosial dan ilmiah yang penting karena memiliki dampak penting pada
proses-proses biogeokimia dalam sungai (Ceola, 2012). Karakteristik probabilitas ini juga
berimplikasi pada eksploitasi manusia terhadap air sungai dan jasa ekologis dari tepi
sungai dan lingkungan sungai. Streamflows di daerah aliran sungai seluruhnya yang
tertutup merupakan hasil dari banyak proses-proses ecohydrological dan iklim yang terkait,
seperti infiltrasi dari curah hujan, evapotranspirasi dan aliran dari proses skala bentang
alam yang terkait dengan meteorologi, kondisi fisis permukaan dan vegetasi.
Kondisi permukaan vegetatif secara fisis menghasilkan produksi aliran dan
dinamika transport yang terjadi di daerah cekungan yang tidak dikanalisasi dan
terkanalisasi (Eng dan Milly, 2007; Magruder et al., 2009). Fluktuasi intrinsik streamflows,
yang kini dikenali sebagai unsur kunci sistem sungai alami, mencerminkan sifat yang
stokastik di semua proses yang mendasarinya seperti salah satunya data stokastik curah
hujan (Ceola, 2012)..
Memahami perubahan musiman sampai antar tahunan hidroklimat di suatu daerah
tangkapan air sangat membantu dalam pengembangan pendekatan proaktif untuk
pengelolaan air . Oleh karena itu kemampuan bersama antar para ahli untuk bekerja
sama dalam memprediksi hidroklimat dan mengelola air sangat relevan dalam manajemen
pasokan dan permintaan air secara efektif. Para pihak terkait (Stakeholders) seperti ahli
iklim, ahli hidrologi, badan pembuat prakiraan, pemanfaatan air, operator irigasi dan
badan pengelola air, bersama-sama harus memahami tantangan dan kesempatan dalam
pengembangan prediksi hidroklimat yang relevan untuk pengelolaan sumberdaya air.
Beberapa pertanyaan yang muncul adalah : apa sumber kunci dari ketidakpastian yang
menjadi tantangan prediksi hidroklimat pada skala harian, musiman dan antar tahunan,
bagaimana cara terbaik untuk mereduksi ketidakpastian dan meningkatkan prediksi
hidroklimat regional, apa yang menjadi tantangan dalam menggunakan informasi aliran
sungai probabilistik dalam model pengelolaan sumberdaya air secara operational dan
piranti pendukung keputusan, dan apa batasan dalam aplikasi prediksi aliran yang real
time dan bagaimana menjembatani gap antara badan yang menghasilkan informasi
prediksi (lembaga riset, badan riset) dan prediksi kebutuhan konsumen (pengelola
sumberdaya air, badan operasional) untuk meningkatkan aplikasi dalam pengelolaan air.
Pada makalah ini, sebagian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dicoba dijawab dengan
melakukan kajian perubahan rejim musiman yang akan membantu pembuatan keputusan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
22
dalam pengelolaan sumberdaya air. Bulan-bulan apa saja di daerah tangkapan air
Cisangkuy yang menunjukkan surplus dan bulan-bulan apa saja yang akan mengalami
defisit. Pengetahuan ini penting untuk meningkatkan mitigasi terhadap implikasi
perubahan rejim yang bisa mengubah ketepatan dugaan banjir periodik atau estimasi debit
rancangan dan penggunaan air sungai.
2. DATA DAN METODE
Data streamflow rata-rata harian didapat dari Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air
Provinsi Jawa Barat dari tahun 2001-2012. Data diambil dari pengukuran stasiun hidrologi
di sungai Cisangkuy, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 .
Gambar 2.1 Peta daerah aliran sungai Cisangkuy dan lokasi pengamatan hidrologi
2.1. Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal dalam bentuk sederhana adalah fungsi densitas dari sebuah
variabel acak yang logaritmanya mengikuti hukum distribusi normal. Adapun definisi dari
distribusi lognormal dengan µ adalah rata-rata dan σ adalah varian dapat diungkapkan
dalam bentuk rumus matematikanya adalah sebagai berikut :
(1)
dimana x adalah variabel acak dan f(x) adalah fungsi distribusi densitas.
2.2. Distribusi Normal
Distribusi normal berupa kurva berbentuk lonceng setangkup yang melebar tak
berhingga pada kedua arah positif dan negatifnya. Penggunaanya sama dengan penggunaan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
23
kurva distribusi lainnya. Frekuensi relatif suatu variabel yang mengambil nilai antara dua
titik pada sumbu datar. Tidak semua distribusi berbentuk lonceng setangkup merupakan
distribusi normal. Distribusi normal ini biasa disebut juga dengan distribusi Gauss dan
dirumuskan dalam bentuk matematika sebagai berikut:
(2)
2.3. Distribusi Exponential
Distribusi eksponensial memiliki standar deviasi sama dengan rata-rata. Distribusi
ini termasuk ke dalam distribusi kontinu. Ciri dari distribusi ini adalah kurvanya
mempunyai ekor di sebelah kanan dan nilai x dimulai dari 0 sampai tak hingga. Bentuk
matematikanya adalah sebagai berikut:
(3)
2.4. Uji Statistik Kolmogorov-Smirnov
Uji Kolmogorov-Smirnov termasuk dalam uji nonparametrik untuk kasus satu
sampel. Uji statistik ini digunakan untuk menguji asumsi normalitas data. Tes dalam uji
ini adalah tes goodness of fit yaitu tes tersebut untuk mengukur tingkat kesesuian antara
distribusi serangkaian data observasi dengan distribusi teoritis tertentu.
(4)
F1,n dan F2,n’ adalah fungsi teoritis dan observasi.
Hipotesis null ditolak pada level jika:
(5)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemahaman fisis pengaruh iklim terhadap sumberdaya air di daerah tangkapan air
sangat bermanfaat untuk menganalisis pengaruh musiman pada aliran sungai. Daerah
tangkapan air Cisangkuy termasuk pada zona iklim lembab sesuai dengan klasifikasi iklim
Koeppen (Elmhurst College, 2013). Daerah itu dicirikan dengan musim penghujan pada
bulan Desember, Januari dan Februari yang mencapai curah hujan maksimum dan bulan
Juni,Juli dan Agustus musim kering dengan curah hujan minimum. Bulan-bulan lain,
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
24
Maret,April dan Mei serta September, Oktober dan November adalah bulan-bulan transisi
antara keduanya. Pola-pola fluktuasi ini sangat mempengaruhi pola aliran sungai di daerah
tersebut, seperti tampak pada Gambar 1.
Gamba 1. Data streamflow yang dibagi menjadi bulan-bulan basah (DJF), bulan-bulan
kering (JJA) dan bulan-bulan transisi antara keduanya (SON) dan (MAM).
Pola distribusi untuk ke empat plot pada Gambar 1 ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Estimasi fungsi distribusi probabilistik untuk masing-masing musim.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
25
Tabel 1. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk masing-masing musim.
Hasil pengujian dengan menggunakan metode uji Kolmogorov-Smirnov
ditunjukkan pada Tabel 1. Uji Kolmogorov-Smirnov biasa digunakan untuk memutuskan
jika sampel data berasal dari populasi dengan distribusi tertentu. Uji ini membandingkan
serangkaian data pada sampel terhadap distribusi tertentu dengan serangkaian nilai dengan
rata-rata dan standar deviasi yang sama. Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan uji yang
lebih kuat daripada uji chi-square ketika asumsi-asumsinya terpenuhi. Uji Kolmogorov-
Smirnov juga tidak memerlukan asumsi bahwa populasi data terdistribusi secara normal.
Hipotesis null pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut:
H0: data mengikuti distribusi yang ditetapkan
H1 : data tidak mengikuti distribusi yang ditetapkan
Teori pengambilan keputusan:
Terima H0 dan tolak H1 bila P-Value lebih besar dari α atau tolak H0 dan terima H1 bila
P-Value lebih kecil dari α. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov dan keputusan berdasarkan hipotesis null
DJF JJA SON MAM
D 0,041<0,05 0,092>0,05 0,148>0,05 0,060>0,05
P-value 0.547>0.05 0,003 <0.05 <0,0001 <0,05 0,139>0,05
Level α 0.05 0.05 0.05 0.05
Keputusan Terima H0 Tolak H0 Tolak H0 Terima H0
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
26
4. KESIMPULAN
Rata-rata debit harian DJF, MAM, JJA, SON masing-masing adalah 19 m3/s, 23
m3/s, 8,9 m3/s, 11,5. Fungsi probabilitas musiman untuk DJF, MAM, JJA, SON adalah
PDF Lognormal (µ=2,8, σ=0,6), PDF Normal (μ=23, σ=10), PDF Eksponential (=0,11),
PDF Eksponential (=0,09). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk DJF dan MAM adalah
Ho diterima dan H1 ditolak serta untuk JJA dan SON adalah Ho ditolak dan H1 diterima.
Telah terjadi perubahan rejim aliran sungai Cisangkuy yang sangat signifikan antar
musiman selama periode waktu pengamatan tahun 2001-2012. Implikasi perubahan rejim
ini akan mempengaruhi ketepatan dugaan banjir periodik dan estimasi debit rancangan.
DAFTAR RUJUKAN
Ceola, S., Hydrologic Drivers and Controls of Stream Ecological Processes, Doctoral
Thesis, École Polytechnique Federale De Lausanne 2012.
Botter, G.,et al., Natural streamflow regime alterations: Damming of the Piave river basin
(Italy), Water Resources Research, Vol. 46, W06522, doi:10.1029/2009WR008523,
2010.
Eng, K. And Milly, P. Relating low-flow characteristics to the base flow recession time
constant at partial record stream gauges. Water Resources Research, 43(1). 2007.
Magruder, I., Woessner, W., and Running, S. Ecohydrologic process modeling of
mountain block groundwater recharge. GroundWater, 47(6):774–785. 2009.
Elmhurst College, http://www.elmhurst.edu/., Köppen Climate Classification, diakses
November 2013
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
27
PENGEMBANGAN MODEL SISTEM IKLIM UNTUK PEMBELAJARAN PARA SISWA
Dadang Subarna
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Email:[email protected]
Abstract. To disseminate understanding on the climate system and its elements to students
in a climate model a tool was needed to developed for climate system teaching. The Teaching of earth system science provides a temporal perspective that broadly integrates scientific understanding of the connections and interactions among the atmosphere, hydrosphere, biosphere, cryosphere, solid earth, and space. The climate system and their elements which are viewed as complex system are modelled by (SD) system dynamics method. System dynamics is a methodology for studying and managing complex systems that change over time. The method uses computer modeling i.e Stella or Powersim to focus our attention on the information feedback loops that give rise to the dynamic behavior. The result, in this paper, is a prototype of global energy balance model to help the student to understand the earth climate system model to simulate variations in global temperature, then they can use the model to make predictions about future climates. Key words: Climate System, Climate Model, Teaching, Stella or Powersim
Abstrak
Untuk menyebarluaskan pemahaman tentang sistem iklim dan elemen-elemennya bagi para siswa dalam sebuah model iklim maka perlu dikembangkan piranti pembelajaran tentang sistem iklim. Pembelajaran sains kebumian sebagai sebuah sains sistem tentang kebumian menyediakan perpektif pemodelan temporal yang mengintegrasikan secara luas tentang pemahaman sains kompleks berbagai hubungan dan interaksi antara atmosfer, hidrosfer, biosfer, kreosfer, litosfer dan ruang angkasa. Sistem iklim dan elemen-elemennya yang dipandang sebagai sistem kompleks dimodelkan dengan metode sistem dinamik (SD). Sistem dinamik adalah suatu metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem kompleks yang berubah terhadap waktu. Metode ini menggunakan pemodelan komputer seperti Stella atau Powersim untuk memfokuskan perhatian pada putaran umpan balik informasi yang menghasilkan perlaku dinamik. Hasilnya adalah pengembangan prototipe model kesetimbangan energi global untuk membantu para siswa memahami sistem ikllim bumi dalam mensimulasikan variasi temperatur global dan mampu mengunakan model untuk prediksi iklim masa mendatang. Kata Kunci: Sistem Iklim, Model Iklim, Pembelajaran, Stella atau Powesim
1. PENDAHULUAN
Perubahan iklim sedang terjadi yang sangat mungkin disebabkan oleh aktivitas
manusia dan memiliki resiko yang signifikan pada rentang yang luas bagi sistem
kehidupan manusia dan alami (NRC, 2012). Setiap ton tambahan gas rumah kaca
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
28
diemisikan ke atmosfer mempunyai konsekuensi terhadap perubahan lebih lanjut dan
beresiko lebih besar.
Mengembangkan pendidikan tentang perubahan iklim harus dimulai dengan suatu
gambaran yang jelas tentang bagaimana para siswa saat ini memahami persoalan,
kualitas buku pelajaran dan bahan-bahan kurikulum yang tersedia untuk mengajar
tentang perubahan iklim, dan bagaimana perubahan iklim diajarkan di dalam kelas dan di
luar kelas. Boyes (2011) dari Universitas Liverpool menggambarkan penelitian tentang
mental model yang harus dipahami para siswa bahwa di seluruh dunia telah menghadapi
pemanasan global dan iklim berubah, Marcinkowski (2011) dari Florida Institute
Teknologi membahas literasi iklim dan ilmu mendidik, dan NOAA (National Ocenaic dan
Atmospheric Administration) tahun 2012 membahas tentang sifat ilmu alam dan
kualitas bahan-bahan yang tersedia untuk mengajar para siswa.
Membangun suatu model iklim yang sederhana untuk mengajarkan tentang apa dan
bagaimana perubahan iklim terjadi diajar di sekolah mulai berkembang di negara-negara
maju (NRC, 2012). Bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan perubahan iklim di kelas-
kelas. Faktor-faktor apa yang menghalangi proses pengajaran perubahan iklim di sekolah-
sekolah dan inovasi-inovasi apa tentang iklim dan perubahannya dalam kurikulum
pendidikan adalah topik-topik dalam workshop tentang pendidikan perubahan iklim
(NRC, 2012). Perubahan iklim adalah suatu topik yang kompleks, Boyes (2011)
menerangkan bahwa radiasi benda-hitam, absorpsi oleh atmosfer pada frekuensi tertentu,
ilmu pengetahuan atmosfer dan pola cuaca , tidak disebut stokastik pada prediksi
fluktuasi iklim, sehingga hal ini menjadi persoalan yang sulit.
Para guru yang baik terbiasa membuat gagasan-gagasan sulit yang dapat diakses
oleh para siswa dengan penyederhanaan bahan kompleks dan menggunakan model-model
untuk menerangkannya. Para guru juga memahami pentingnya pemahaman siswa pada
gagasan, keyakinan, dan kesalahpahaman yang sebelumnya terjadi. Penelitian tentang
pemahaman siswa terhadap isu perubahan iklim menunjukkan bahwa para siswa
mempunyai banyak kesalahpahaman (Shepardson et al., 2011). Sebagai contoh, banyak
para siswa mengacaukan pemanasan global dengan deplesi ozon dan percaya bahwa
semua polutan berkontribusi pada semua permasalahan lingkungan. Banyak siswa juga
tidak memahami bagaimana pemanasan global diterjemahkan ke dalam fluktuasi iklim
dan mengapa hal tersebut tidak membuat setiap tempat naik menjadi lebih hangat (Boyes,
2011). Oleh karena negara maju begitu antusias mewariskan generasi penerusnya dengan
memberikan pemahaman yang tepat tentang persoalan perubahan iklim, maka negara
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
29
berkembang juga harusnya tidak ketinggalan dalam merintis pembuatan model-model
sederhana dengan bahasa pemrograman yang mudah dan murah diakses oleh kalangan
siswa. Makalah ini dibuat untuk memperkenalkan bahasa pemrograman Stella atau
Powersim untuk digunakan dalam pembelajaran perubahan iklim bagi para siswa.
Sehingga tujuan makalah ini adalah untuk mengembangkan model sistem iklim berbasis
sistem dinamik (SD) dengan menggunakan piranti Stella atau Powersim.
2. DATA DAN METODE
Sistim dinamik (SD) telah digunakan secara luas di dalam studi lingkungan dan
sistem energi. Pada makalah ini diuraikan tentang aplikasi permasalahan perubahan iklim
global berubah. Aplikasi yang dipilih untuk menggambarkan kemampuan metode di dalam
pemahaman masalah interdisiplin yang kompleks.
Informasi di dalam Gambar 1 digunakan untuk menciptakan suatu Global Energy
Balance Model (GEBM) untuk sistim iklim. Laju perubahan suhu permukaan bergantung
pada intensitas radiasi surya di puncak atmosfer (TOA), pantulan permukaan dan
atmosfer, absorpsi atmsofer terhadap radiasi surya, dan ketebalan lapisan tercampur. Laju
perubahan suhu permukaan juga bergantung pada suhu permukaan, emisivitas atmosfer,
suhu atmosfer, fluks panas laten dan sensibel dari permukaan, dan ketebalan lapisan
tercampur. Model diasumsikan bahwa emisivitas atmosfer dapat berubah dengan kenaikan
konsentrasi karbon dioksida atau kandungan uap air di atmosfer. Ketika semua umpan
balik dijalankan maka model diasumsikan bahwa pantulan permukaan dan kandungan uap
air di atmosfer bergantung pada suhu permukaan dan fluks panas laten dan sensibel dari
permukaan dikendalikan oleh nilai perbedaan suhu antara permukaan dan atmosfer.
Asumsi ini berarti pula umpan balik dari albedo es, uap air, dan fluks panas laten dan
sensibel.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
30
Gambar 1. Global Energy Balance Model (GEBM) untuk sistim iklim yang digunakan
untuk membangun model kesetimbangan radiasi.
Umpan balik iklim dapat meningkatkan (umpan balik positif) atau penyangga
(umpan balik negatif) perubahan iklim. Salah satu umpan balik yang terkenal adalah
umpan balik uap air. Idenya adalah ketika permukaan bumi menghangat karena
peningkatan gas rumah kaca atau radiasi surya maka lebih banyak uap air yang menguap
ke dalam atmosfer. Karena uap air adalah suatu gas rumah kaca yang kuat maka
peningkatan uap air akan meningkatkan atau memperkuat perubahan-perubahan awal
dalam suhu permukaan. Bagan sebab-akibat (causal loop) pada Gambar 2 dapat
memberikan penjelasan secara singkat tentang proses-proses yang secara fisis
bertanggung jawab untuk umpan balik uap air.
Gambar 2. Hubungan causal loop antar elemen pada sistem pada model kesetimbangan
energi .
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
31
Loop paling atas memberi penjelasan bahwa uap air atmosfer naik maka akan
meningkatkan emisivitas atmosfer sehingga menghasilkan suatu fluks yang mengarah ke
bawah yang lebih besar dari radiasi merah infra (IR) yang akan meningkatkan laju
pemanasan permukaan. Loop paling bawah memberikan gambaran bahwa bila uap air
atmosfer naik maka akan meningkatkan absorbtivity atmosfer sehingga menghasilkan
suhu rata-rata atmosfer yang lebih besar dan fluks yang mengarah ke bawah lebih besar
dari radiasi IR yang juga akan meningkatkan laju pemanasan permukaan. Hubungan sebab-
akibat ini dapat dirangkai dalam bahasa pemrograman Stella seperti ditunjukkan pada
Gambar 3 dan berikut persamaan yang menghubungkan antar elemen pada Gambar 4.
Gambar 3. Hubungan antar variabel pada piranti Stella dan persamaannya pada Gambar
4.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
32
Gambar 4. Persamaan yang menghubungkan antar elemen pada GEBM
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Masalah pemahaman efek gas rumah kaca yang antropogenik terhadap perubahan
iklim perlu diberikan kepada para siswa dengan lebih mudah. Para pengajar diharapkan
mampu menerangkan padad kondisi kemampuan dan latar belakang para siswa yang
beragam. Mata pelajaran dan metode pembelajaran memerlukan peningkatan yang
relatif inovatif dan harus disesuaikan dengan sasaran satuan pelajaran. Saat ini,
ketertarikan yang berkembang terus pada piranti e-pembelajaran berbasis komputer
dengan strategi pembelajaran yang inovatif. Salah satu yang sekarang berkembang
adalah aplikasi berbasis web untuk proses-proses iklim. Terdapat banyak pilihan dengan
antar muka yang sangat mudah atau agak rumit untuk memfasilitasi pembelajaran dan
pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas sistem iklim. Sebagai contoh dalam
Java dan beberapa tahap yang diperlukan untuk memodelkan iklim dengan bantuan
Matlab atau Stella (http://www.carleton.edu/departments/geol/DaveSTELLA
/climate/climate_modeling_1.htm. Perangkat yang lebih kompleks yang digunakan para
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
33
siswa untuk pembelajaran sistem iklim tersedia di web (EdGCM, 2007: The Project,
http://edgcm.columbia.edu/ ). Pembelajaran dengan metode pedagogik inovatif dapat
memberikan keuntungan untuk para pelajar dibandingkan dengan mengingat sejumlah
persamaan. Beberapa dukungan pedagogik seperti blackboards, textbook, transparansi
dan video telah dilengkapi dengan piranti pembelajaran berbasis komputer sangat
membantu. Seperti untuk memahami peningkatan efek umpan balik gas rumah kaca CO2
dengan berbagai konsentrasi dan beberapa variabel kontrol yang dimasukan ditunjukkan
pada Gambar 5 sampai Gambar 10. Untuk variabel kontrol pada Gambar 5 dengan
konsentrasi CO2 sebesar 320 ppm didapat pola suhu permukaan dan suhu atmosfer seperti
ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 5. Beberapa variabel untuk simulasi sistem iklim dengan model GEBM.
Gambar 6. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input
kontrol CO2 sebesar 320 ppm.
Para siswa dapat menyusun sendiri model dari yang sederhana sampai dengan
hubungan yang kompleks antar elemen yang ingin diketahui efeknya pada elemen lain
berdasarkan konsep model yang dibangun. Dengan menggunakan beberapa parameter dan
beberapa variabel input kontrol maka para siswa dapat melakukan simulasi beberapa
dinamika output dan memahami hubungan sebab akibat dari beberapa elemen yang terkait
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
34
dalam sistem iklim. Dengan menggunakan beberapa variabel input kontrol pada Gambar 7
dan CO2 sebesar 422 ppm dan 800 ppm didapat pola suhu permukaan dan atmosfer pada
Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 7. Beberapa variabel input kontrol untuk mengetahui pola dinamik
temperatur.
Gambar 8. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input
kontrol CO2 sebesar 422 ppm.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
35
Gambar 9. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input
kontrol CO2 sebesar 800 ppm.
Bisa juga dicoba oleh para siswa beberapa kombinasi simulasi seperti dengan
konsentrasi CO2 sebesar 800 ppm dan H20 sebesar 1,2 maka akan dihasilka pola suhu
permukaan dan atmsosfer seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input
kontrol CO2 sebesar 800 ppm dan H20 sebesar 1,2.
4. KESIMPULAN
Sistem iklim dan elemen-elemennya yang dipandang sebagai sistem kompleks
dimodelkan dengan metode sistem dinamik (SD). Para siswa dapat menyusun sendiri
percobaan membangun model iklim mulai dari yang senderhana sampai yang kompleks.
Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi parameter dan variabel imput
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
36
kontrol untuk mengetahui efeknya pada output. Beberapa simulasi dengan merubah input
kontrol CO2 dari 320, 422 sampai 800 ppm menunjukkan perubahan pada pola dinamika
temperatur permukaan dan atmosfer global. Model ini perlu dilakukan validasi dan
verifikasi dengan data observasi dengan waktu simulasi yang disesuaikan.
DAFTAR RUJUKAN
Boyes, E., Stanisstreet, M., Skamp, K., Rodriguez, M., et al.. Student mental models of
global warming and climate change: What does research tell us? Presentation at the
Workshop on Climate Change Education in Formal Settings, K-14. Climate Change
Education Roundtable, Board on Science Education, Division of Behavioral and
Social Sciences and Education, Washington, DC. 2011
EdGCM,: The Project, http://edgcm.columbia.edu/ ). 2007. Diakses oktober 2012
Carleton College, 2011. Http://www.carleton.edu/departments/geol/DaveSTELLA/climate
/climate_modeling_1.htm . Diakses November 2011.
Kiehl, J. T. and Trenberth, K. E., Earth's Annual Global Mean Energy Budget. Bull. Amer.
Meteor. Soc., 78, 197-208. 1997
NRC [National Reseacrh Council] Climate Change Education in Formal Settings, K-14: A
Workshop Summary. The National Academies Press, NW Washington, DC. 2012
Marcinkowski, T.. Climate literacy results. Presentation at the Workshop on Climate
Change Education in Formal Settings, K-14. Climate Change Education Roundtable,
Board on Science Education, Division of Behavioral and Social Sciences and
Education, Washington, DC. 2011.
NOAA [National Oceanic and Atmospheric Administration]. The ocean literacy: The
essential principles of ocean sciences K-12. Washington, DC. Available:
http://oceanliteracy.wp2.coexploration.org/?page_id=47 [Diakses Januari 2012].
Shepardson, D.P., Choi, S., Niyogi, D., and Charusombat, U. Seventh grade students’
mental models of the greenhouse effect. Environmental Education Research, 17(1), 1-
17. 2011.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
37
SIMULASI MODEL POLUTAN UDARA MENGGUNAKAN WRF CHEMISTRY
Danang Eko Nuryanto dan Utoyo Ajie Linarka
Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG danang.eko@ bmkg.go.id [email protected]
Abstract The preliminary air pollutants model simulations have been done for time period
from 1 – 4 July 2012 using the Weather Research and Forecast Model Chemistry version 3.5 (WRF-Chem 3.5). It was simulated with the input data from the Global Forecast System (GFS) and downscaled into 30 km and 5 km resolution. This study was conducted to test the model simulation and to find out how the ability of the model WRF-Chem 3.5 describing the air pollutant at finer resolution. From simulation result we can find that 5 km resolution is more realistic and detail than 30 km resolution. Although finer resolution was spatially more realistic and detail, the correlation for PM10 was higher at 30 km than 5 km, which is 0.043 and -0.035 respectively. CO correlation was significant at 5 km than 30 km, 0.043 and -0.035 respectively. Verification showed that the model output underestimate relative to observation. Biases and RMSE at 30 km and 5 km was not significantly changed for both CO and PM10 constituents, ~77 ppb and ~25 ppb for CO with ~15 µg/m-3 and ~9 µg/m-3 for PM10. Keywords: WRF/Chem, Pollutant, downscaling
Abstrak Telah dilakukan simulasi awal model polutan udara tanggal 1 - 4 Juli 2012
menggunakan model Weather Research and Forecast Chemistry version 3.5 (WRF-Chem 3.5) dengan data input dari Global Forecast System (GFS) yang dijalankan dengan resolusi 30 km dan 5 km. Penelitian ini dilakukan untuk mengujicoba model WRF-Chem 3.5 dan mengetahui kemampuan model WRF-Chem 3.5 dalam menggambarkan polutan udara pada resolusi tinggi. Dari hasil simulasi diperoleh fakta bahwa resolusi 5 km memberikan pola yang lebih realistis dan detail dibandingkan dengan resolusi 30 km. Meskipun domain resolusi tinggi lebih realistis dan detail secara spasial, namun korelasi unsur PM10 menunjukkan resolusi 30 km lebih tinggi dibandingkan dengan 5 km, berturut-turut -0.488 dan 0.088. Sementara unsur CO lebih signifikan pada resolusi 5 km dibanding 30 km, yaitu 0.043 dan -0.035. Verifikasi menunjukkan bahwa nilai luaran model masih berada dibawah observasi (underestimate). Nilai bias dan RMSE pada resolusi 30 km dan 5 km tidak mengalami banyak perubahan untuk unsur CO dan PM10, yaitu berturut-turut ~77 ppb dan ~25 ppb serta ~15 µg/m-3 dan ~9 µg/m-3. Kata Kunci : WRF/Chem, Polutan, downscaling
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
38
1. PENDAHULUAN
Pemodelan kualitas udara adalah suatu metode standar yang dipergunakan untuk
membuat simulasi maupun prediksi yang telah dikembangkan di berbagai negara maju di
dunia. Banyak model prakiraan untuk aplikasi kualitas udara yang telah dikembangkan
oleh para ahli dengan pendekatan perhitungan yang cukup bervariasi, baik untuk skala
global maupun regional. Informasi mengenai kualitas udara yang reliable (dapat
diandalkan) dan akurat sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan di berbagai sektor
kehidupan.
Masih minimnya penggunaan model kualitas udara di Indonesia ditambah masih
terbatasnya pengamatan menjadikan model sebagai pilihan alternatif untuk dikembangkan.
WRF-Chem adalah model WRF yang ditambah dengan modul Chemistry (Kimia). Model
tersebut dapat mensimulasikan emisi, transportasi, pencampuran, dan transformasi kimia
jejak gas dan aerosol bersamaan dengan proses meteorologi (Peckam, et. al., 2013).
Perbedaan WRF-Chem 3.5 dengan WRF adalah terdapat penambahan modul
kimiawi (chemistry) pada data input yang digunakan oleh WRF-Chem. Data input
tambahan ini disediakan oleh WRF Pre-Processing System (WPS), bagian dust erosion
atau dalam proses real.exe (yaitu pembakaran biomassa, emisi biogenik, emisi background
GOCART dll) atau dalam proses eksekusi wrf.exe (yaitu emisi anthropogenik, syarat batas,
emisi vulkanik dll) [Peckam, et. al., 2013].
Pada studi sebelumnya model WRF-Chem mempunyai kemampuan lebih baik
dibanding dengan model MM5-Chem (Grell, et. al., 2005). Sedangkan Fast et. al. (2006)
melakukan simulasi variasi skala urban hingga regional model WRF-Chem yang
dibandingkan dengan data pengukuran kualitas udara di Texas selama tahun 2000.
Kemudian Zhang et. al. (2009) melakukan perbandingan simulasi model WRF-Chem
dengan data pengukuran kualitas udara kota Meksiko. Pada kota yang sama de Foy et. al.
(2009) dengan model MM5 dan WRF melakukan simulasi dan analisis trayektori partikel.
Sementara itu untuk wilayah Asia Selatan pertama kali dilakukan oleh Kumar et. al. (2012)
yaitu melakukan simulasi tahunan ozon troposper menggunakan WRF-Chem yang
kemudian di bandingkan dengan data observasi.
Karena sangat kompleksnya parameter dalam model WRF-Chem 3.5, maka pilihan
parameter yang tepat akan mempengaruhi hasil. Mengingat belum adanya referensi
parameter yang tepat sebagai inputan model WRF-Chem 3.5 di wilayah tropis, dalam studi
ini dilakukan konfigurasi default artinya tanpa ada perubahan yang berarti. Dalam studi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
39
kali ini dilakukan uji coba model WRF-Chem 3.5 untuk mengetahui kemampuan model
dalam menggambarkan model polutan udara dan perbandingan luaran model dengan data
pengamatan.
2. DATA DAN METODE
Pada studi ini digunakan WRF-Chem 3.5 yang dikembangkan bersama-sama oleh
beberapa institusi penelitian, diprakarsai oleh National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA), National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan
Department of Energy's Pacific Northwest National Laboratory (DOE/PNNL). Wilayah
studi yang dipilih adalah wilayah Sumatera Barat karena pada wilayah tersebut terdapat
Stasiun Pengamatan Atmosper Global – Global Atmospheric Watch (GAW) Kototabang.
Domain model didefinisikan pada proyeksi Mercator yang terpusat pada 106.9o BT
dan 6o LU sebagai domain pertama (d01) dengan resolusi 30 km serta 100.32o BT dan 0.2o
LU sebagai domain kedua (d02) dengan resolusi 5 km (Gambar 1). Keduanya mempunyai
titik grid sebanyak 121 grid arah barat-timur dan 91 grid arah utara-selatan.
Pada simulasi ini menggunakan data emisi global dengan mekanisme kimiawi dari
Regional Acid Deposition Model, version 2 (RADM2) dan modul aerosol dari Goddard
Chemistry Aerosol Radiation and Transport (GOCART). Sedangkan data emisi PM10 dan
CO untuk data pembanding diambil dari Stasiun GAW Kototabang. Simulasi dilakukan
tanggal 1 – 4 Juli 2012 menggunakan data Global Forecast System (GFS) dengan waktu
inisial data 00 UTC.
Gambar 1. Domain penelitian dengan resolusi (a) 30 km pada d01 dan (b) 5 km pada d02.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
40
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Simulasi Model WRF-Chem 3.5
Simulasi dilakukan menggunakan dua resolusi domain, yaitu 30 km dan 5 km. Pada
resolusi 30 km, variasi warna yang lebih sedikit menunjukkan bahwa distribusi PM10
homogen dan belum menggambarkan dinamika di permukaan (Gambar 2a) sedangkan
distribusi PM10 pada resolusi 5 km terlihat lebih realistis karena variasinya lebih banyak
(Gambar 2b). Hal yang sama juga terjadi pada hasil simulasi CO, dimana luaran dari
resolusi 5 km terlihat lebih sesuai dengan kondisi geografisnya dibandingkan dengan
luaran resolusi 30 km (Gambar 3). Pada resolusi 30 km bentuk sebaran CO pada daratan
cenderung memanjang mengikuti pola Pulau Sumatera sementara resolusi 5 km
membentuk pola-pola tak beraturan yang lebih realistis. Adanya penumpukan konsentrasi
CO di sekitar pantai barat Sumatera (ditunjukkan oleh warna coklat pada Gambar 3)
menggambarkan bahwa model dengan resolusi 5 km memiliki sensitivitas lebih baik
terhadap topografi di wilayah tersebut. Hal ini menjadi alasan mengapa downscaling perlu
dilakukan dalam menjalankan model dinamis untuk skala regional.
Gambar 2. Rata-rata PM10 dalam µg/m-3 model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli 2012
resolusi (a) 30 km dan (b) 5 km.
(a) (b)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
41
Gambar 3. Rata-rata CO dalam ppb model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli 2012 resolusi (a)
30 km dan (b) 5 km.
Gambar 4. Perbandingan konsentrasi PM10 dalam µg/m3 model WRF-Chem tanggal 1 –
4 Juli 2012 resolusi 30 km dan 5 km dengan data pengamatan Stasiun GAW Kototabang.
(a) (b)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
42
Gambar 5. Perbandingan konsentrasi CO dalam ppb model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli
2012 resolusi 30 km dan 5 km dengan data pengamatan Stasiun GAW Kototabang.
Data pengukuran konsentrasi PM10 dan CO diperoleh dari stasiun observasi GAW
di Kototabang. Selama tanggal 1-4 Juli 2012 diketahui bahwa konsentrasi PM10 observasi
berada dalam orde puluhan sedangkan luaran model dalam orde satuan (Gambar 4). Hal
yang sama terjadi pada konsentrasi CO dimana observasi yang tercatat secara dominan
berada pada orde ratusan sedangkan luaran model pada orde puluhan (Gambar 5). Secara
umum dapat dikatakan bahwa luaran model relatif lebih rendah (underestimate) dibanding
observasi. Hal ini dikarenakan belum maksimalnya pemodelan WRF-Chem di wilayah
Indonesia sebagai wilayah tropis masih perlu dilakukan eksperimen dengan penggunaan
parameterisasi yang lain.
PM10 obervasi memiliki kecenderungan lebih fluktuatif dibandingkan dengan
luaran model dan hal ini terjadi pada kedua resolusi luaran model. Dilihat dari pola
kecenderungannya, CO observasi maupun luaran model sama-sama berfluktuasi selama
periode penelitian.
Nilai bias yang diperoleh masih cukup besar yaitu sekitar 77 ppb dengan RMSE
sekitar 25 ppb untuk CO dan bias 15 µg/m3 dengan RMSE sekitar 9 µg/m3 untuk PM10.
Sementara itu nilai korelasinya menunjukkan bahwa model dengan resolusi lebih tinggi
memberikan nilai yang lebih signifikan untuk CO, yaitu 0.043 untuk resolusi 5 km dan -
0.035 untuk resolusi 30 km. Namun sebaliknya untuk PM10 menunjukkan korelasi 0.088
untuk resolusi 5 km dan -0.488 untuk resolusi 30 km (Tabel 1).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
43
Tabel 1. Perbandingan Model WRF-Chem dengan data pengamatan
PARAMETER PM10 CO
Resolusi 5 km 30 km 5 km 30 km
R 0.088 -0.489 0.043 -0.035
RMSE 9.725 9.861 25.760 25.802
BIAS -15.333 -15.036 -77.231 -77.430
Nilai korelasi negatif pada resolusi 30 km menunjukkan bahwa baik nilai PM10
dan CO hasil keluaran model WRF-Chem cenderung bertolak belakang dengan hasil
pengamatan. Artinya jika nilai pengamatan tinggi maka nilai keluaran model cenderung
rendah, demikian sebaliknya. Untuk nilai RMSE juga cenderung lebih tinggi pada model
WRF-Chem resolusi 30 km dibandingkan dengan 5 km. Hal ini terkait dengan resolusi
rendah kurang dapat merepresentasikan kondisi local yang cenderung lebih kompleks.
Seperti terlihat pada Tabel 1 diatas, peningkatan resolusi dari 30 km menjadi 5 km
justru berakibat pada menurunnya nilai korelasi, terutama pada unsur PM10. Meskipun,
pada resolusi 5 km hubungan antara luaran model dan observasi menjadi positif. Hal ini
menarik, karena umumnya proses downscaling dilakukan agar simulasi model melibatkan
unsur topografi yang semakin mendekati kenyataan sehingga diharapkan luaran model pun
semakin akurat. Mengingat bahwa domain model sudah dikonfigurasi sedemikian rupa
agar terhindar dari permasalahan efek batas (Giorgi dan Mearns 1999; Denis, et. al., 2002;
Diaconescu, et. al., 2007) dan verifikasi model WRF untuk parameter cuaca menunjukkan
hasil yang relatif baik untuk wilayah Indonesia (Kudsy, et. al., 2012), penurunan nilai
korelasi berasal dari konfigurasi modul kimiawi yang belum optimal. Hal ini menjadi
catatan penting untuk melakukan simulasi selanjutnya di kemudian hari.
Secara umum hasil model masih jauh dari observasi dimana korelasi masih terlalu
kecil dan koreksi masih terlalu besar, sehingga masih jauh dari sempurna. Untuk itu perlu
ditingkatkan lagi penelitian serupa untuk mendapatkan hasil keluaran model yang lebih
mendekati observasi untuk dapat diterapkan dalam masyarakat.
4. KESIMPULAN
Telah dilakukan simulasi awal model polutan udara tanggal 1 - 4 Juli 2012
menggunakan model WRF-Chem 3.5 dengan data input GFS yang dijalankan dengan
resolusi 30 km dan 5 km. Dilakukan perbandingan data keluaran model CO dan PM10
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
44
dengan hasil observasi yang diambil dari Stasiun GAW Bukit Kototabang tanggal 1 – 4
Juli 2012. Dari hasil simulasi diperoleh fakta bahwa resolusi 5 km memberikan pola yang
lebih realistis dan detail dibandingkan dengan resolusi 30 km. Meskipun domain resolusi
tinggi lebih realistis dan detail secara spasial, namun korelasi unsur PM10 menunjukkan
resolusi 30 km lebih tinggi dibandingkan dengan 5 km, berturut-turut -0.488 dan 0.088.
Sementara unsur CO lebih signifikan pada resolusi 5 km dibanding 30 km, yaitu 0.043 dan
-0.035. Nilai bias dan RMSE pada resolusi 30 km dan 5 km tidak mengalami banyak
perubahan untuk unsur CO dan PM10, yaitu berturut-turut ~77 ppb dan ~25 ppb serta ~15
µg/m-3 dan ~9 µg/m-3. Dengan demikian perbandingan dua luaran model: Karbon
Monoksida (CO) dan Particulate Matter 10µ (PM10) dengan hasil observasi yang diambil
dari Stasiun GAW Bukit Kototabang tanggal 1 – 4 Juli 2012 menunjukkan bahwa hasil
simulasi masih sangat lemah dan underestimate. Berdasarkan hasil verifikasi dengan data
observasi, peningkatan resolusi diiringi dengan perbaikan nilai korelasi meskipun tidak
terjadi perubahan signifikan pada nilai RMSE. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa
simulasi model dinamis perlu dilakukan pada resolusi tinggi sehingga lebih realistis dalam
merepresentasikan kondisi lokal. Sehingga eksperimen lanjutan perlu dilakukan untuk
memperoleh konfigurasi modul chemistry paling optimal di wilayah Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis haturkan kepada panitia dan reviewer acara Seminar Nasional
Sains Atmosfer dan Antariksa 2013 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam acara tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
de Foy, B., Zavala, M., Bei, N., and Molina, L. T., Evaluation of WRF mesoscale
simulations and particle trajectory analysis for the MILAGRO field campaign,
Atmospheric Chemistry and Physics, 9, 4419-4438, 2009.
Denis, B., Laprise, R., Caya, D., Coˆte´, J., Downscaling ability of one-way nested regional
climate models: the Big-Brother Experiment, Climate Dynamics, 18:627–646,
doi:10.1007/s00382-001-0201-0, 2002.
Diaconescu, P.E., Laprise, R., Sushama, L., The impact of lateral boundary data errors on
the simulated climate of a nested regional climate model, Climate Dynamics, 28:333–
350, Doi:10.1007/s00382-006-0189-6, 2007.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
45
Fast, J. D., Gustafson Jr., W. I., Easter, R. C., Zaveri, R. A., Barnard, J. C., Chapman, E. G.,
Grell, G. A. and Peckham, S. E., Evolution of ozone, particulates, and aerosol direct
radiative forcing in the vicinity of Houston using a fully coupled meteorology-
chemistryaerosol model, Journal of Geophysical Research, 111, D21305,
doi:10.1029/2005JD006721, 2006.
Giorgi, F., and Mearns, L. O., Introduction to special section: regional climate modeling
revisited, Journal of Geophysical Research, 104, 6335–6352, 1999.
Grell, G. A., S. E. Peckham, R. Schmitz, S. A. McKeen, G. Frost, W. C. Skamarock and B.
Eder., Fully coupled online chemistry within the WRF model, Atmospheric
Environment, 39, 6957-6975, 2005.
Kudsy, M., Ridwan, Renggono, F., dan Sunarto, F., The Use of WRF Model To Support
Cloud Seeding Operation: A Study in theCitarum Catchment Area, Proceedings of the
10th WMO Scientific Conference on Weather Modification, Bali, Indonesia, 4-7
October 2011, 2012.
Kumar, R., Naja, M., Pfister, G. G., Barth, M. C., Wiedinmyer, C. and Brasseur, G. P.,
Simulations over South Asia using the weather research and forecasting model with
chemistry (WRF-Chem): chemistry evaluation and initial results, Geoscientific Model
Development Discussions, 5, 1–66, 2012.
Peckam, S. E., Grell, G. A., McKeen, S. A., Ahmadov, R., Barth, M., Pfister, G.,
Wiedinmyer, C., Fast, J. D., Gustafson, W. I., Ghan, S. J., Zaveri, R., Easter, R. C.,
Barnard, J., Chapman, E., Hewson, M., Schmitz, R., Salzmann, M. and Freitas, S. R,
WRF/Chem Version 3.5 User’s Guide, 18 July 2013.
Zang, Y., Dubey, M. K., Olsen, S. C., Zheng, J. and Zhang, R., Comparisons of
WRF/Chem simulations in Mexico City with ground-based RAMA measurements
during the 2006-MILAGRO, Atmospheric Chemistry and Physics, 9, 3777–3798, 2009.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
46
ANALISIS KONDISI PENCEMAR UDARA (SO2 DAN NO2) DI KOTA SURABAYA
Dessy Gusnita
Bidang Komposisi Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
Email: [email protected]
Abstracts Source of the air pollution could come from various activities including industry,
transport, and domestic. Various activities were the biggest contribution from the air pollutant that was emitted to free air. The impact of air pollution caused the occurrence of the decline in the quality of air, that had a negative impact on the health of humankind. As a media requirement for the foundation of humankind, air quality must get serious attention, this also became the policy of the Development of Indonesian Health 2010 where the control program of air pollution was one of the ten supreme programs. Surabaya as the biggest city at this time carried out monitoring air pollution. This paper only analysed 2 pollutant parameters NO2 and SO2, as the indicator of motor vehicles emissions for the period of the year 2010-2011 were connected with ISPU (the Standar Index of Air Pollution). From results of the analysis of the study of the data of the air pollutant, was known that the ISPU condition in the Surabaya city during 2011 better compared with 2010. This was marked by the nonexistence of the Day un Healthy during 2011. While the Day was unhealthy during 2010 happened in June to the ISPU value of 102 and 109 and in July the ISPU value of 102. In other words the existence of the monitoring program of the air pollutant in the Surabaya city could increase the quality of air in this city. Keywords: ISPU, NO2, SO2, air pollution
Abstrak Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,
transportasi, serta domestik. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Dampak dari pencemaran udara menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan. Surabaya sebagai kota terbesar kedua saat ini bahkan telah melakukan pemantauan kualitas lingkungan melalui penghitungan data ISPU pencemar udara. Makalah ini hanya menganalisis 2 parameter pencemar NO2 dan SO2, sebagai indikator emisi dari kendaraan bermotor selama periode tahun 2010-2011 dikaitkan dengan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara). Berdasarkan analisis kajian data polutan udara, diketahui bahwa kondisi ISPU di kota Surabaya selama tahun 2011 lebih baik dibandingkan tahun 2010. Hal ini ditandai dengan tidak adanya hari tidak sehat pada tahun 2011. Sementara hari tidak sehat pada tahun 2010 terjadi pada bulan Juni dengan nilai ISPU sebesar 102 dan 109 dan bulan Juli nilai ISPU sebesar 102. Adanya program pengendalian pencemar udara di kota Surabaya dapat meningkatkan kualitas udara di kota tersebut. Kata kunci: ISPU, NO2, SO2, pencemar udara
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
47
1. PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, pencemaran udara merupakan permasalahan yang menjadi
perhatian bagi semua kalangan. Studi epidemilogis di seluruh dunia menyatakan bahwa
pencemaran udara yang disebabkan polutan gas dan senyawa partikulat berbahaya sangat
berpotensi merusak kesehatan manusia (penyakit jantung, pernafasan serta penyebab
penyakit paru-paru yang mematikan (Dockery, Koken). Pencemaran udara menjadi
persoalan yang serius dan mendapatkan perhatian saat ini. Telah banyak sistem program
monitoring di seluruh dunia khususnya kota-kota besar di negara berkembang untuk
memantau peningkatan polusi udara (Salam, 2003). Modernisasi dan industrialisasi di
negara berkembang telah meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil dan derivatnya.
Kondisi tersebut menghadapkan negara berkembang pada tantangan besar untuk senantiasa
mengontrol polusi di atmosfer khususnya di kota-kota besar. Jumlah kendaraan bermotor
di seluruh dunia mencapai 700 juta selama tahun 2000. Bahan bakar bensin maupun solar
yang digunakan oleh kendaraan tersebut diketahui dapat mengemisikan sejumlah polutan
berbahaya, contohnya NOx (Azad, 1998).
Program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh
program unggulan yang menjadi kebijakan dalam Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010.
Salah satu cara mengetahui kualitas udara perkotaan adalah dengan melihat nilai ISPU
yang diperoleh dari pemantauan kualitas udara di beberapa lokasi penting. Indeks Standar
Pencemar Udara atau ISPU adalah angka yang menggambarkan kondisi kualitas udara
ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan
manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.
Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, telah melakukan
pemantauan yang cukup intensif dan baik dibidang penanggulangan polusi udara. Hal ini
ditandai dengan beroperasinya stasiun pengamatan/pemantauan kualitas udara di beberapa
lokasi penting. Pemasangan jaringan pemantauan kualitas udara ambien tersebut sebagai
perwujudan kesepakatan antara menteri-menteri Lingkungan Hidup se-ASEAN dan
merupakan salah satu cara pemantauan kualitas udara ambien di daerah perkotaan/urban.
Pada makalah ini akan dianalisis kondisi polutan gas SO2 dan NO2 sebagai
indikator polutan yang umumnya diemisikan oleh kendaraan bermotor. Kedua parameter
ini merupakan bagian dari 5 parameter pencemar udara yang di monitoring oleh BLH
Surabaya melalui jaringan pemantauan kualitas udara ambien yang dilakukan berdasarkan
tingkat konsentrasi pencemar, penyebaran pencemar dan inventarisasi emisi.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
48
2. TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan jaringan penetapan jumlah jaringan ditentukan oleh jumlah penduduk,
tingkat pencemaran dan keragamannya serta kebijakan-kebijakan yang berlaku.
Berdasarkan survey lokasi bersama Tim BAPEDAL Pusat, Tim Pemerintah Austria, Tim
Pemerintah Kota Surabaya, Tim BAPEDAL Propinsi JawaTimur pada tanggal 10-13
Maret 1999. Di kota Surabaya, terdapat 5 titik jaringan pemantauan kualitas udara (Air
Quality Monitoring System). Adapun pemantauan serta lokasi pemantauan peralatan
AQMS tersebut di tunjukkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Penempatan Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien
STASIUN
Lokasi pemantauan
Wilayah
Peruntukan lahan
SUF 1 Halaman Taman Prestasi Jl. Ketabang Kali Surabaya
Pusat Pusat Kota, Pemukiman, Perkantoran
SUF 2 Halaman Kantor Kelurahan Perak Timur
Jl. Selangor Surabaya Utara
Perkantoran, dekat daerah Industri, pergudangan
SUF 3 Halaman Kantor Pembantu Walikota Surabaya Barat
Jl.Sukomanunggal Surabaya Barat
Pemukiman, daerah pinggir kota
SUF 4 Halaman Kecamatan Gayungan
Jl. Gayungan Surabaya Selatan
Pemukiman - dekat Tol Surabaya-Gempol
SUF5 Halaman Convention Hall
Jl. Arief rahman Hakim Pemukiman, kampus, Perkantoran
Sedangkan Tabel nilai ISPU dan kategori kondisi lingkungan didasarkan pada
kesehatan manusia disajikan pada Tabel 2.2. Berdasarkan Tabel 2.2. tersebut dapat
ditentukan jumlah hari sehat ataupun hari tidak sehat yang terjadi di suatu kota (Kep
Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
49
Tabel 2.2 Nilai ISPU dan kalkulasi jumlah hari ISPU kalkulasi dengan jumlah hari Batas nilai ISPU
Number of days with PSI calculation of Range of PSI values
0 Tidak ada no value available
3 BAIK 0 - 50 GOOD
27 SEDANG 51 - 100 MODERATE
1 TIDAK SEHAT 101 - 199 UNHEALTHY
0 SANGAT TIDAK SEHAT 200 - 299 VERY UNHEALTHY
0 BERBAHAYA 300 - 500 DANGEROUS
3. DATA DAN METODE
Pada makalah ini akan dilakukan analisa pola konsentrasi polutan gas SO2 dan NO2
serta hubungannya nilai ISPU (Indek Standar Pencemar Udara). Data yang digunakan data
polusi udara (data sekunder) dari BLH Surabaya tahun 2010-2011. Metode yang digunakan
adalah:
1. Melakukan penghitungan ISPU dengan perumusan sebagai berikut:
......... (1)
I = ISPU terhitung Xa = Ambien batas atas
Ia = ISPU batas atas Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran
Xb = Ambien batas bawah Ib = ISPU batas bawah
(Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak LingkunganNo. 107 Tahun 1997
Tanggal 21 November 1997)
2. Analisa data polutan SO2 dan NO2, berdasarkan bulan kejadian penurunan kualitas
udara.
4. HASIL & PEMBAHASAN
Perhitungan ISPU dan hasil analisis pola konsentrasi polutan SO2 dan NO2 diolah
menggunakan software excel, begitu pula dengan perhitungan ISPU. Informasi
selengkapnya hasil analisa data yang telah dilakukan disajikan pada Gambar 1- Gambar 6
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
50
berikut ini. Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa pada bulan Juni 2010 terdapat 1 hari
tidak sehat di Surabaya, dan 1 hari tidak sehat pada bulan Juli, karena nilai ISPU pada hari
tersebut sudah melampaui nilai 100 (kategori hari tidak sehat ISPU > 100).
Gambar 1. Nilai ISPU di Surabaya tahun 2010
Gambar 2 menunjukkan bahwa di Surabaya berdasarkan nilai ISPU tahun 2011
tidak terjadi hari tidak sehat. Jika dianalisa konsentrasi SO2 dan NO2 selama periode bulan
Juni-Juli 2010, diketahui bahwa konsentrasi maksimum SO2 dan NO2 masing-masing
sebesar 18 9µg/m3 dan 111 µg/m3. Namun jika dilihat dari konsentrasi udara ambien bulan
Juni-Juli diketahui bahwa saat terjadi hari tidak sehat, kondisi polutan SO2 dan NO2 tahun
2010 tidak menunjukkan konsentrasi yang tinggi, sehingga disimpulkan bahwa SO2 dan
NO2 bukan sebagai kritikal komponen, sehingga perlu dianalisa lebih lanjut parameter
lainnya khususnya PM10.
Gambar 2. Nilai ISPU di Surabaya tahun 2011
Untuk melihat nilai konsentrasi polutan SO2 saat terjadinya hari tidak sehat pada
tahun 2010, maka dilakukan analisa konsentrasi polutan SO2 selama bulan Juni- Juli tahun
2010. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah polutan SO2 yang merupakan kritikal
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
51
komponen yang menyebabkan memburuknya ISPU pada bulan Juni-Juli 2010 di Surabaya.
Berdasarkan hasil analisa dari Gambar 3 diketahui bahwa nilai maksimum rata-rata SO2
sebesar 200 µg/m3, sedangkan nilai rata-rata konsentrasi SO2 masih berada dibawah nilai
konsentrasi minimum yaitu 10 ug/m3.
Gambar 3. Konsentrasi SO2 di Surabaya tahun 2010
Gambar 4 selanjutnya menunjukkan hasil analisa konsentrasi SO2 selama tahun
2011 di kota Surabaya selama bulan Juni-Juli. Berdasarkan Gambar 4 diperoleh hasil
bahwa konsentrasi SO2 selama bulan Juni-Juli memiliki konsentrasi maksimum mencapai
1050 µg/m3, konsentrasi minimum 180 µg/m3. Dari hasil tersebut menunjukkan nilai
konsentrasi maksimum SO2 pada bulan Juni-Juli 2011 lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi SO2 maksimum pada tahun 2010. Padahal pada tahun 2010 terjadi hari tidak
sehat selama 2 hari pada bulan Juni-Juli, sementara di tahun 2011 kota Surabaya terbebas
dari hari tidak sehat. Hal ini memberi kesimpulan bahwa polutan SO2 bukan sebagai
kritikal komponen penyebab memburuknya ISPU pada Juni-Juli 2010, diduga ada
parameter lainnya dari 5 parameter pencemar yang dipantau yang menyebabkan
menurunnya kualitas udara di Surabaya.
Gambar 4. Konsentrasi SO2 di Surabaya tahun 2011
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
52
Selanjutnya dilakukan analisa konsentrasi polutan NO2 untuk bulan Juni-Juli tahun
2010 dan tahun 2011. Gambar 5 menunjukkan konsentrasi NO2 bulan Juni-Juli tahun 2010,
hasil analisa diketahui bahwa konsentrasi maksimum NO2 mencapai 100 µg/m3, sedangkan
konsentrasi NO2 rata-rata masih sangat rendah yaitu 5 µg/m3. Polutan NO2 cenderung
mengalami penurunan konsentrasi selama 2 bulan. Hal ini pun menunjukkan bahwa NO2
bukan sebagai parameter kritis dalam menentukan kualitas udara di kota Surabaya. Hal ini
dikarenan pada waktu di kota Surabaya sedang mengalami hari tidak sehat (bulan Juni dan
Juli), di saat yang sama konsentrasi rata-rata polutan NO2 tidak menunjukkan konsentrasi
yang tinggi. Maka NO2 bukan merupakan parameter kritis yang menurunkan kualitas udara
di kota Surabaya dan perlu dikaji parameter polutan lainnya, misalnya PM10.
Gambar 5. Konsentrasi NO2 di Surabaya tahun 2010
Gambar 6 menyajikan konsentrasi NO2 selama bulan Juni-Juli tahun 2011. Pada
tahun 2011 tidak terjadi hari tidak sehat atau kualitas udara di kota Surabaya umumnya
sedang. Namun rata-rata konsentrasi NO2 selama bulan Juni-Juli cenderung mengalami
peningkatan. Peningkatan konsentrasi NO2 tersebut belum melebihi nilai ambang batas
yang ditentukan. Konsentrasi maksimum NO2 sebesar 100 µg/m3, sedangkan konsentrasi
minimum NO2 sekitar 5 µg/m3.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
53
Gambar 6. Konsentrasi NO2 di Surabaya tahun 2011
5. KESIMPULAN
Nilai ISPU di kota Surabaya selama tahun 2011 lebih baik dibandingkan tahun
2010. Hal ini ditandai dengan tidak adanya hari tidak sehat pada tahun 2011. Hari tidak
sehat pada tahun 2010 terjadi pada bulan Juni dengan nilai ISPU sebesar 102 dan 109 dan
bulan Juli nilai ISPU sebesar 102. Namun kajian polutan SO2 dan NO2 tidak menunjukkan
hasil yang linier dengan kondisi ISPU. Secara umum program pengendalian pencemar
udara di kota Surabaya dapat meningkatkan kualitas udara di kota tersebut. Perlu
pengkajian lebih lanjut parameter kritis penyebab menurunnya kualitas udara di kota
Surabaya pada bulan Juni-Juli 2010 berdasarkan 5 parameter pencemar udara yang
dipantau.
DAFTAR RUJUKAN
D. W. Dockery, C. A. Pope, X. Xu, J. D. Splender, , An Association between Air Pollution
and Mortality in Six US cities, New England, Journal of Medicine, 329, 1753-1759,
1993.
K. Azad and T. Kitada, Characteristics of the Air Pollution in the City of Dhaka,
Bangladesh in Winter, J. Atmospheric Environment, 32, 1991-2005, 1998.
P. J. Koken, W. T. Piver, F. Ye, A. Elixhauser, L. M.Olsen and C. J. Portier, Temperature,
Air Pollution and Hospitalization for Cardiovascular Diseases among Elderly People
in Denver, J. Environmental Health Perspectives, 111, 1312-1317, 2003.
Salam, H. Bauer, K. Kassin, S. M. Ullah and H. Puxbaum, Aerosol Chemical
Characteristicsof A Mega-City In southeast Asia (Dhaka, Bangladesh), J. Atmospheric
Environment, 37, 2517-2528. 2003.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
54
PENGARUH PROSES PENGELASAN TERHADAP OZON
Didik Eko Prasetyo Balai Pengamatan Dirgantara Watukosek, LAPAN
Jl. Raya Watukosek Po. Box 04 Gempol Pasuruan, Jawa Timur [email protected]
Abstract In the modern industrial era, the use of welding is very important and necessary. On the other hand we are confronted by environmental awareness, especially ozone. Ozone occurs through the action of ultraviolet light from oxygen and air. On welding jobs, going ultraviolet light, which strongly depends on the current intensity. Where there is UV light, ozone occurs there also. Ozone is unstable at high temperatures. The influence of welding on ozone emissions, among others, on: How welding Process (electric welding or welding carbide), material used (aluminum, Al2Si, CrNi etc.), and the generated gas (Ar, He). Keywords: ozone, emissions, concentrations of ozone, UV
Abstrak Pada era industri modern, penggunaan las sangatlah penting dan dibutuhkan. Disisi lain kita dihadapkan oleh kesadaran lingkungan terutama ozon. Ozon terjadi melalui pancaran sinar ultraviolet dari oksigen udara. Pada pekerjaan las, terjadi sinar ultraviolet, yang mana intensitasnya tergantung pada kuat arusnya. Dimana ada sinar UV, disana pula terjadi ozon. Ozon pada temperatur tinggi tidaklah stabil. Adapun pengaruh las terhadap emisi ozon antara lain pada : cara proses las (las listrik atau las karbit), bahan yang digunakan (aluminium, Al2Si, CrNi dan lain-lain), dan Gas yang ditimbulkan (Ar, He). Kata Kunci : ozon, emisi, konsentrasi ozon, UV. 1. PENDAHULUAN
Ozon terbentuk dari reaksi photo-kimia oksigen O2 dan udara kotor, terutama NOx,
CO dan Methana CH4 yang terkena sinar ultraviolet. Karena pembentukan Ozon juga
bergantung pada temperature dan sinar matahari, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan
pengaruh pemanasan global (global warming) dan peningkatan sinar Ultraviolet melalui
kerusakan lapisan ozon di stratosfer
Pada proses teknik pengelasan logam, terjadi atau timbul gas yang bersifat merusak,
yaitu Ozon. Ozon (O3) terbentuk melalui sinar ultraviolet (UV) dari Oksigen dan udara.
Pada proses Pengelasan dengan menggunakan listrik, timbul pancaran ultraviolet, yang
mana intensitasnya tergantung pada kuat arus yang digunakan. Ketika dimana terjadi
pancaran ultraviolet yang secara intensif, maka akan terjadi Ozon.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
55
Ozon pada temperatur tinggi berada pada kondisi tidak stabil, dibandingkan dengan
gas yang lain. Oleh sebab ketidak-stabilan Ozon ini, kita harus lebih memperhatikan
perbedaan antara emisi dan jumlah konsentrasi ozon di tempat kerja.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Atmosfer mengandung campuran gas-gas yang menyelubungi seluruh permukaan
bumi. Campuran gas-gas ini menyatakan komposisi dari atmosfer bumi. Bagian bawah dari
atmosfer bumi dibatasi oleh daratan, samudera, sungai, danau, es, dan permukaan salju.
Udara adalah campuran berbagai unsur dan senyawa kimia sehingga udara menjadi
beragam. Keberagaman terjadi biasanya karena kandungan uap air dan susunan masing-
masing bagian dari sisa udara atau disebut dengan udara kering. Gas yang jumlahnya tetap,
yaitu nitrogen, oksigen, hidrogen, helium, dan gas yang jumlahnya kecil, seperti argon,
neon, krypton, dan xenon. Gas yang jumlahnya berubah, yaitu uap air, karbon dioksida,
dan ozon. Ketiga gas ini penting di dalam pertukaran energi antara atmosfer, bumi, dan
matahari, dan antara bagian-bagian di atmosfer sendiri (Bayong, 2008).
Nitrogen bereaksi lambat, tetapi merupakan bagian penting dari kehidupan,
sehingga keseimbangan nitrogen di udara,, di laut dan di dalam bumi sangat dipengaruhi
oleh makhluk hidup. Karbon dioksida yang berlimpah dari sinar matahari membuat
karbohidrat dengan hasil sampingan oksigen (fotosintesis). Gas nitrogen merupakan gas
yang paling banyak terdapat dalam lapisan udara atau atmosfer bumi. Salah satu
sumbernya yaitu berasal dari pembakaran sisa-sisa pertanian dan akibat letusan gunung
api. Gas lain yang cukup banyak dalam lapisan udara atau atmosfer adalah oksigen.
Oksigen antara lain berasal dari hasil proses fotosintesis pada tumbuhan yang berdaun
hijau.
Pada proses fotosintesis, tumbuhan menyerap gas karbon dioksida dari udara dan
mengeluarkan oksigen. Gas karbon dioksida secara alami berasal dari pernapasan mahkluk
hidup, yaitu hewan dan manusia. Serta secara buatan gas karbon dioksida berasal dari asap
pembakaran industri, asap kendaraan bermotor, kebakaran hutan, dan lain-lain. Selain
keempat gas tersebut ada beberapa gas lain yang terdapat di dalam atmosfer, yaitu di
antaranya ozon. Walaupun ozon ini jumlahnya sangat sedikit namun sangat berguna bagi
kehidupan di bumi, karena ozon yang dapat menyerap sinar ultra violet yang dipancarkan
sinar matahari sehingga jumlahnya sudah sangat berkurang ketika sampai di permukaan
bumi. Apabila radiasi ultra violet ini tidak terserap oleh ozon, maka akan menimbulkan
malapetaka bagi kehidupan mahkluk hidup yang terdapat di bumi.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
56
3. METODE PENELITIAN
Ozon terbentuk dari reaksi photo-kimia Oksigen O2 dan udara kotor, terutama NOx,
CO dan Methana CH4 yang terkena sinar Ultraviolet. Karena pembentukan Ozon juga
bergantung pada temperature dan sinar matahari, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan
pengaruh pemanasan global (global warming) dan peningkatan sinar Ultraviolet melalui
kerusakan lapisan ozon di stratosfer
Pada proses teknik pengelasan logam, terjadi atau timbul gas yang bersifat merusak,
terutama dalam hal ini Ozon.Terjadinya Ozon (O3) melalui sinar ultraviolet (UV) dari
oksigen dan udara. Pada proses pengelasan dengan menggunakan listrik , timbul pancaran
ultraviolet, yang mana intensitasnya tergantung pada kuat arus yang digunakan. Ketika
dimana terjadi pancaran ultraviolet yang secara intensif, bisa dipastikan akan terjadi Ozon.
Ozon pada temperatur tinggi berada pada kondisi tidak stabil, dibanding gas yang
lain. Oleh sebab ketidak-stabilan Ozon ini, kita harus lebih memperhatikan perbedaan
antara emisi dan imisi (jumlah konsentrasi ozon di tempat kerja).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah klasifikasi data proses pengelasan dalam kaitannya jumlah Ozon
yang terbentuk:
1. Pengelasan MIG (Metall-Inertgas) dengan bahan Aluminium-Alloy : ~ 50 ml/min
2. Pengelasan MIG (Metall-Inertgas) dengan bahan Magnesium, Al-Mg Alloy: ~
15ml/min
3. Pengelasan Sinergi-Impuls dengan bahan besi baja: ~ 10-15 ml/min
4. Pengelasan MAG (Metall-Aktivgas) dengan bahan besi baja: ~10-15 ml/min
5. Pengelasan MAG (Metall-Aktivgas) dengan bahan anti karat (Cr-Ni-Mo): ~8
ml/min
6. Pengelasan WIG (Wolfram-Inergas) dengan bahan besi baja: ~4-5 ml/min
7. Pengelasan WIG (Wolfram-Inergas) dengan bahan Aluminium: ~1-2 ml/min
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
57
Sumber: Annelie Beyer [2002], " Ozon beim Schweissen und bei verwandten
Verfahren"
Dalam penelitian melalui berbagai percobaan menghasilkan bahwa Grade (tingkat)
konsentrasi ozon 1 ppm yang didapat sepadan dengan emisi minimal 3 ml/min.Dari data
diatas, disimpulkan bahwa hampir semua jenis pengelasan mempunyai resiko, yaitu
melewati konsentrasi ozon 1 ppm, kecuali pengelasan WIG dengan bahan aluminium.
Resiko yang bisa diminimalisir adalah menjaga seminimal mungkin kontak dengan asap
las, yang dapat terhirup oleh kita. Alternatif yang baik adalah sebisa mungkin
menggunakan cara otomatis /robot untuk pengelasan.
5. KESIMPULAN
Pada hampir semua metode pengelasan, dengan berbagai kombinasi cara dan bahan
yang dipakai, konsentrasi Ozon yang terukur di sekitar tempat pengelasan masih dibawah
nilai 0,1 ml/m3. Nilai Konsentrasi Ozon berlebih didapatkan pada pengelasan MIG dengan
bahan yang digunakan aluminium, terutama AlSi. Disarankan, pada proses pengelasan,
dilengkapi pula dengan alat penghisap asap dari proses las yang dilakukan, selain itu dari
sisi manusianya, sangat dianjurkan untuk menggunakan penutup / filter pada alat
pernafasan kita. Pada pengelasan otomatis (oleh robot), tetap disarankan menggunakan
pelindung asap pada yang mengoperasikannya.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
58
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada kantor dan seluruh staf Balai Pengamatan Dirgantara
Watukosek - LAPAN atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
AHRE (ALBERTA Human Resources and Employment) – WHS Bulletin (Workplace
Health & Safety Bulletin): “A Welder’s Guide to the Hazards of Welding Gases and
Fumes, Chemical Hazards – CH032”, March 2000;
http://www.gov.ab.ca/LAB/facts/ohs/ch032.html
“Appendix 6430-T2, Assessment of and Protection from Welding Arc Radiant Hazards” –
Rev. November 6, 1996; Jefferson Lab EH&S Manual – Rev. 4.5 – 26 May 2999
http://www.jlab.org/ehs/manual/EHSbook-433.html
AGA Gas Division, Sweden: “ The problem of ozone in TIG welding”, A report from
AGA Gas Division research unit, Report GM 116e, 1977
AGA Gas Division, Sweden: “ The problem of ozone in MIG welding of aluminium”,
Research report GIF-0050 from AGA Gas Division research unit, by Smårs, E. 1980
AGA 12/89 „Wichtige Daten und Fakten zum Thema Ozon beim
Schutzgasschweißen
Brehme, H., Farwer, A., Sroka, U. in: gas aktuell 40, Messer Griesheim „Rechnergestützte
Ozon-Messungen beim Schutzgasschweißen“
Brehme H., Farwer A., Sroka U.: “Computer-aided ozone measurements during shielded
arc welding”, focus on gas 8.
Annelie Beyer. : ” Ozon beim Schweissen und bei Verwandten Verfahren”, 2002
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
59
ANALISIS KORELASI CURAH HUJAN DENGAN OUTGOING LONGWAVE RADIATION (OLR) BERDASARKAN TIPE
CURAH HUJAN
Iis Sofiati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN
Jl. Dr.Junjunan 133, Bandung 40173 email: [email protected]
Abstract
One of the factors that influence weather in the formation of clouds and rain in an area is the solar radiation as the energy of the atmospheric circulation. Based on different types of rainfall in parts of Indonesia and variations of Outgoing Longwave Radiation (OLR) received on the earth surface, then the purpose of this study was to analyze the correlation of rainfall and OLR in several cities in Indonesia. With daily rainfall data over a period of 12 years from 1988 to 1999 and daily OLR data with the same period, the results of analysis showed that for type A which rainfall maximum occurs in December-January-February and a minimum in June-July to August, the monthly pattern of OLR to be the opposite. Correlation coefficients for the type A produced a pretty good value, with a maximum of 0.77. As for the type B rainfall, OLR monthly and rainfall pattern did not show a uniform pattern with maximum correlation coefficients of 0.42. While for type C where the rainfall maximum occurs in June-July-August and the minimum occurred in December-January-February, the monthly pattern generated OLR showed the opposite pattern, and the value of the correlation coefficient for Type C is 0.24. Based on the pattern of monthly rainfall and OLR showed the opposite pattern, and the best correlation coefficient value is generated for type A. Keywords: Rainfall, Outgoing Longwave Radiation (OLR), type of rainfall.
Abstrak Salah satu faktor yang mempengaruhi cuaca dalam proses pembentukan awan dan hujan di suatu daerah adalah radiasi matahari sebagai energi sirkulasi atmosfer. Berdasarkan adanya beberapa tipe curah hujan yang berbeda di wilayah Indonesia dan variasi Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang diterima di permukaan, maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi curah hujan dengan OLR di beberapa kota di Indonesia. Dengan data curah hujan harian selama periode 12 tahun yaitu 1988-1999 dan data OLR harian dengan periode yang sama. Hasil analisa diperoleh bahwa untuk curah hujan tipe A, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dan minimum pada bulan Juni-Juli-Agustus, dan pola bulanan OLR terjadi sebaliknya. Koefisien korelasi untuk tipe A menghasilkan nilai yang cukup baik, dengan maksimum sebesar 0.77. Sedangkan untuk curah hujan tipe B, pola bulanan curah hujan dan OLR tidak menunjukkan pola yang beraturan, dengan koefisien korelasi maksimumnya adalah 0.42. Sedangkan untuk curah hujan tipe C dimana maksimum curah hujan terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus dan minimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari, pola bulanan OLR yang dihasilkan menunjukkan pola kebalikannya, dan nilai koefisien korelasi untuk tipe C adalah 0.24. Berdasarkan pola curah hujan dan OLR rata-rata bulanan menunjukkan pola kebalikan, dan nilai koefisien korelasi terbaik dihasilkan untuk curah hujan tipe A. Kata kunci: Curah hujan, Outgoing Longwave Radiation (OLR), tipe curah hujan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
60
1. PENDAHULUAN
Curah hujan merupakan hal yang penting untuk memahami iklim Indonesia dan
variasinya baik dalam skala global maupun lokal. Hal ini diperlukan untuk membedakan
variasi curah hujan suatu daerah dengan daerah lain. Penelitian tentang curah hujan sudah
banyak sekali dilakukan baik oleh peneliti dalam maupun luar negeri, diantaranya (Yasunari
1981, Matsumoto 1995, Bayong dan Zadrach 1996, Hamada 2002, Aldrian dan Susanto 2003,
Aldrian et al., 2007, Kubota et al., 2011).
Pada dekade terakhir, data Outgoing Longwave Radiation (OLR) telah banyak
digunakan dalam menyimpulkan siklus tahunan konveksi dan curah hujan di Pasifik tropis
dan Samudera Hindia (Horel, 1982; Meehl, 1987; Murakami dan Xie 1986, Murakami dan
Wang, 1993; Murakami dan Matsumoto, 1994). Penelian yang sama untuk Amerika tropis
(Horel et al., 1989), dan hutan tropis dunia (Heddinghaus dan Krueger 1981, Wolter dan
Hastenrath 1989, Mitchell dan Wallace 1992).
Penelitian ini melanjutkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Hamada (2002),
Aldrian dan Susanto (2003) tentang identifikasi tiga daerah dominan curah hujan di Indonesia
dan kaitannya dengan Sea Surface Temperature (SST) serta Bayong dan Zadrach (1996)
tentang dampak El Niño pada musim hujan di wilayah Indonesia. Pada penelitian ini akan
dianalisis hubungan antara pola curah hujan di Indonesia dengan OLR yang merupakan salah
satu indikator dari aktivitas konvektif.
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan harian untuk
perioda selama 12 tahun (1988-1999) dan data OLR lima harian (pentad) selama 12 tahun,
1988-1999. Stasiun pengamatan yang dipilih mewakili setiap daerah curah hujan yang
berbeda, yaitu Ambon (3o42’LS-128o5’BT), Banda Aceh (5o31’LU-95o26’BT), Biak
(1o11’LS-136o7’BT), Bulaksumur (7°46’LS-110°22’BT), Dili - Timor Leste (8o34’LS-
125o34’BT), Jakarta (6o10’LS-106o49’BT), Pontianak (0o5’LS-109o22’BT), Samarinda
(0o30’LS-117o8’BT), Sicincin (3o4’LS-104o2’BT), Surabaya (7o13’LS-112o43’BT), dan
Ujung Pandang (5o14’LS-119o41’BT). Tahapan metode penelitian diawali dengan
mengelompokkan lokasi stasiun pengamatan curah hujan berdasarkan tipe curah hujan,
kemudian menentukan OLR untuk lokasi tertentu sesuai dengan stasiun curah hujan.
Software fortran 77 digunakan untuk mengolah data curah hujan harian dan OLR lima harian
menjadi data bulanan, kemudian dianalisis korelasinya.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
61
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tiga daerah curah hujan yang berbeda di wilayah Indonesia (Aldrian dan
Susanto 2003), pada penelitian ini dianalisis pola curah hujan rata-rata bulanan untuk daerah
dengan curah hujan tipe A seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Pola curah hujan rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A di Jakarta,
Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Berdasarkan hasil terlihat bahwa pola curah hujan rata-rata bulanan di Kota Jakarta,
Bulaksumur, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili menunjukkan pola yang hampir sama
(Bulaksumur tidak ditampilkan, karena keterbatasan halaman), dimana musim basah terjadi
pada bulan Desember-Januari-Februari dan musim kering terjadi pada bulan Juni-Juli-
Agustus. Di kota Jakarta, Bulaksumur, dan Surabaya intensitas curah hujan rata-rata
maksimum sekitar 400 mm/bulan. Intensitas curah hujan untuk Ujung Pandang dan Dili
adalah berturut-turut 700 mm/bulan dan 200 mm/bulan.
Gambar 2. Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A di Jakarta, Surabaya,
Ujung Pandang, dan Dili.
Gambar 2 menunjukkan pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A
di stasiun pengamatan Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili. Distribusi pola yang
hampir sama terjadi di keempat kota tersebut, dimana OLR maksimum terjadi rata-rata pada
bulan Juli-Agustus dengan nilai OLR sebesar (230-260) watt/m2. Out going Longwave
Radiation minimum rata-rata terjadi pada bulan Januari-Desember dengan nilai OLR sekitar
(180-210) watt/m2. Out going Longwave Radiation yang terjadi di kota Dili bernilai lebih
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
62
besar dibandingkan dengan kota lain dengan nilai maksimum 260 watt/m2 dan nilai
minimumnya 210 watt/m2. Untuk kota Jakarta OLR minimum sekitar 180 watt/m2 dan
maksimumnya sekitar 240 watt/m2. Kota Surabaya memiliki OLR minimum sekitar 195
watt/m2 dan maksimumnya sekitar 250 watt/m2, kemudian untuk kota Ujung Pandang OLR
minimum sekitar 195 watt/m2 dan maksimumnya sekitar 230 watt/m2, sementara untuk kota
Ujung Pandang OLR minimum sekitar 200 watt/m2 dan maksimumnya sekitar 230 watt/m2.
OLR maksimum yang terjadi di kota Ujung Pandang adalah yang paling kecil dibandingkan
dengan kota lainnya, sedangkan OLR minimum yang terjadi di kota Jakarta adalah yang
paling kecil.
Analisa selanjutnya menganalisis hubungan antara curah hujan dengan OLR dan
menghitung nilai koefisien korelasi untuk setiap stasiun pengamatan. Gambar 3 menunjukkan
korelasi antara curah hujan dengan OLR untuk daerah dengan curah hujan tipe A di Jakarta,
Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Gambar 3. Korelasi antara curah hujan dan OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan
tipe A di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Terlihat bahwa antara curah hujan dengan OLR berkorelasi negatif disetiap stasiun
pengamatan, artinya ketika curah hujan bernilai besar, OLR bernilai kecil dan sebaliknya.
Nilai koefisien korelasi rata-rata bernilai cukup baik, untuk Jakarta sebesar 0,75; Surabaya
0,76; Ujung Pandang 0,77; dan Dili 0,71.
Gambar 4. Pola curah hujan rata-rata bulanan untuk daerah tipe B di Banda Aceh, Sicincin,
Pontianak, dan Biak.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
63
Gambar 4 menunjukkan pola curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe B di lima
stasiun pengamatan Banda Aceh, Sicincin, Pontianak, dan Biak (Samarinda tidak ditampilkan,
karena keterbatasan halaman). Kecenderungan pola curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe
B tidak memperlihatkan pola yang sama, intensitas curah hujan maksimum dan minimum
tidak terlihat dengan jelas. Karakteristik yang hampir sama terjadi di semua kota yang
memiliki tipe curah hujan B, dimana hujan selalu terjadi sepanjang tahun, tidak seperti pola
curah hujan tipe A. Di kota Banda Aceh curah hujan rata-rata bulanan sekitar 200 mm/bulan,
untuk kota Sicincin 500 mm/bulan, kota Pontianak sekitar 350 mm/bulan, Samarinda sekitar
250 mm/bulan dan kota Biak 250 mm/bulan. Kota Sicincin memiliki intensitas curah hujan
rata-rata bulanan yang paling tinggi, hal tersebut diduga karena posisi geografis kota Sicincin
yang berdekatan dengan daerah Bukit Barisan yang lebih memungkinkan sering terjadinya
hujan orografis. Menurut penelitian sebelumnya (Aldrian dan Susanto, 2003) daerah yang
mempunyai curah hujan tipe B mempunyai dua puncak curah hujan, yaitu sekitar bulan Maret
sampai Mei dan Oktober sampai November. Pada penelitian ini tidak menunjukkan hasil
yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya, curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe B
tidak memperlihatkan pola yang beraturan. Di semua kota yang memiliki curah hujan tipe B,
terjadi karakteristik yang dominan yaitu hujan selalu terjadi sepanjang tahun, atau dengan
kata lain tidak terlihat adanya perbedaan musim secara jelas.
Gambar 5. Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe B di Banda Aceh,
Sicincin, Pontianak, dan Biak.
Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah dengan curah hujan tipe B ditunjukkan pada
Gambar 5. Berdasrkan hasil terlihat bahwa pola OLR rata-rata bulanan pada daerah dengan
curah hujan tipe B tidak mempunyai pola yang beraturan seperti pola OLR pada daerah
dengan curah hujan tipe A. Dengan demikian pola OLR rata-rata bulanan di suatu daerah
akan diikuti dengan pola curah hujan rata-rata bulanannya. Pada kenyataannya kota Banda
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
64
Aceh mempunyai pola OLR rata-rata bulanan yang sedikit berbeda dengan kota lainnya,
dimana OLR maksimum terjadi pada bulan Desember sampai Februari dan minimum pada
bulan Agustus sampai September. Kota lain seperti Sicincin, Pontianak dan Biak mempunyai
pola sebaliknya, dimana OLR maksimum terjadi pada bulan Agustus sampai September dan
minimum pada bulan Desember sampai Februari. Berdasarkan analisis tersebut maka tipe
curah hujan di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi lokal, baik secara geografis maupun
topografi dari daerah tersebut. Hasil ini memperkuat pernyataan hasil sebelumnya oleh
Aldrian dan Susanto (2003) dan Hamada (2002). Pola OLR rata-rata bulanan di daerah lokasi
penelitian dengan curah hujan tipe B adalah tidak beraturan, sehingga berpengaruh terhadap
pola curah hujannya. Hal ini juga dibahas dalam penelitian sebelumnya oleh Murakami dan
Matsumoto (1994) yang belum bisa mengidentifikasi secara jelas batasan nilai OLR untuk
menentukan daerah monsoon, yang terletak di wilayah antara monsoon Asia dan monsoon
Australia.
Analisis koefisien korelsi dilakukan untuk mempertajam hasil. Hasil analisis korelasi
antara curah hujan dengan OLR di daerah curah hujan tipe B seperti ditunjukkan oleh
Gambar 6. Berdasarkan hasil terlihat bahwa korelasi curah hujan dengan OLR di kota
Sicincin, Pontianak, dan Biak berkorelasi negatif dengan nilai koefisien korelasinya berturut-
turut sebesar 0,40; 0,15; dan 0,27, sedangkan untuk kota Banda Aceh koefisien korelasinya
sebesar 0,12.
Gambar 6. Korelasi antara curah hujan dan OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan
tipe B di Banda Aceh, Sicincin, Pontianak, dan Biak.
Pola curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe C diperlihatkan pada Gambar 7 dengan
kota Ambon yang dipilih mewakili daerah curah hujan tipe C tersebut. Berdasarkan hasil
terlihat adanya pola kebalikan dari pola curah hujan tipe A seperti yang terlihat pada Gambar
7 (kiri), dimana musim basah terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus dengan kisaran intensitas
curah hujan sebesar 600 mm/bulan dan nilai standar deviasi yang cukup tinggi sekitar 450
mm/bulan. Musim kering terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dengan intensitas
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
65
curah hujan sekitar 50 mm/bulan. Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah tipe C
menggambarkan pola kebalikan dari pola curah hujannya, dimana OLR maksimum terjadi
pada Desember-Januari-Februari sekitar 250 watt/m2, dan minimumnya terjadi pada Juni-
Juli-Agustus sekitar 210 watt/m2.
Gambar 7. Pola curah hujan rata-rata bulanan (kiri), OLR (tengah), dan korelasinya (kanan)
skala bulanan untuk daerah curah hujan tipe C di Ambon.
Gambar 7 (kanan) memperlihatkan korelasi antara curah hujan dengan OLR di daerah
curah hujan tipe C, dan nilai koefisien korelasinya adalah 0,24. Berdasarkan hasil
keseluruhan diperlihatkan bahwa korelasi antara curah hujan dengan OLR yang terjadi di
daerah curah hujan tipe A dan tipe C, berpola kebalikan (ketika curah hujan bernilai besar,
OLR bernilai kecil), sedangkan di daerah curah hujan tipe B tidak terlihat adanya pola yang
beraturan. Nilai koefisien korelasi antara curah hujan dengan OLR terbaik adalah untuk
daerah dengan curah hujan tipe A.
4. KESIMPULAN
Pada daerah dengan curah hujan tipe A dimana curah hujan maksimum terjadi pada
bulan Desember-Januari-Februari dan minimum pada bulan Juni-Juli-Agustus, pola bulanan
OLR terjadi sebaliknya. Koefisien korelasi untuk tipe A menghasilkan nilai yang cukup baik,
dengan nilai terbesar 0,77. Sedangkan untuk curah hujan tipe B, pola bulanan curah hujan
dan OLR tidak menunjukkan pola yang beraturan, dengan koefisien korelasi terbesar adalah
0,42. Sedangkan untuk curah hujan tipe C dimana maksimum curah hujan terjadi pada bulan
Juni-Juli-Agustus dan minimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari, pola bulanan
OLR yang dihasilkan menunjukkan pola kebalikannya, dan nilai koefisien korelasi untuk tipe
C adalah 0,24. Berdasarkan pola curah hujan dan OLR rata-rata bulanan menunjukkan pola
yang kebalikan, dan nilai koefisien korelasi terbaik yang dihasilkan adalah untuk curah hujan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
66
tipe A. Dengan demikian korelasi antara curah hujan dengan OLR yang paling baik di daerah
curah hujan tipe A.
DAFTAR RUJUKAN
Aldrian E., and Susanto, R. D., Identification of three dominant rainfall regions within
Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of
Climatology, Vol.23, No. 12, 1435-1452, 2003.
Aldrian, E., L.D. Gates, and F.H.Widodo., Seasonal variability of Indonesian rainfall in
ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO. Theor. Appl. Climatol.,
87. 41–59, 2007.
Bayong, T.H.K. and L.D. Zadrach., The Impact of El Niño on season in Indonesian
monsoon region. Proceeding of International workshop on the climate system of
monsoon Asia, Kyoto International Community House, Kyoto, Japan, p. 263-266, 1996.
Hamada, J.I., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A. Winarso, and T. Sribimawati.,
Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to
ENSO, J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310, 2002.
Heddinghaus, T.R. and A.F. Krueger., Annual and interannual variations in outgoing long
wave radiation over the tropics. Mon. Wea. Rev., 109, 1208-1218, 1981.
Horel, John.D., On the annual cycle of the tropical Pacific atmosphere and ocean. Mon. Wea.
Rev., 110, 1863-1878, 1982.
Horel, J. D., Hahmann, A. N., and Geisler, J. E., An investigation of the annual cycle of
convective activity over the tropical Americas. J. Climate, 2, 1388-1403, 1989.
Kubota H., Shirooka R., Hamada Jun-Ichi, Syamsudin F., Interannual Rainfall Variability
over the Eastern Maritime Continent, Journal of the Meteorological Society of Japan.
Ser. II, Special Issue: MAHASRI - Monsoon Asian Hydro-Atmosphere Scientific
Research and Prodiction Initiative - Vol. 89A, p. 111-122, 2011
Matsumoto, J., Rainfall climatology over Asian monsoon region. Toward Global Planning of
sustainable Use of the Earth, p. 419-422, 1995.
Meehl, G.A., The Annual cycle and interannual variability in the tropical Pacific and Indian
Ocean regions. Mon. Wea. Rev., 115, 27-50., 1987.
Mitchell, T.P. and J.M. Wallace., Annual cycle in equatorial convection and sea surface
temperature. J. Climate, 5, 1140-1156, 1992.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
67
Murakami, T., L.X Chen, and A. Xie., Relationship among seasonal cycles, low-frequency
oscillations, and transient disturbances as revealed from outgoing long wave radiation
data. Mon. Wea. Rev., 113, 1456-1465, 1986.
---------, and B. Wang., Annual variations of the equatorial east-west circulation over the
Indian and Pacific Oceans. J. Climate, 6, 932-952, 1993.
---------, and J. Matsumoto., Summer monsoon over the Asian continent and western north
Pacific. Journal Meteorology Society Japan, 72, 719-745, 1994.
Wolter, K. and S. Hastenrath., Annual cycle and long term trends of circulation and climate
variability over the tropical oceans. J. Climate, 2, 1329-1351, 1989
Yasunari, T., Temporal and Spatial Variations of Monthly Rainfall in Java- Indonesia,
Southeast Asian Studies, 19, 170-180, 1981.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
68
PERUBAHAN IKLIM DITINJAU DARI DISTRIBUSI FREKUENSI CURAH HUJAN
Juniarti Visa
Bidang Pemodelan Atmosfer - Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung, 40173
Email : [email protected]
Abstract This study was conducted to analyze climate change in Bandung by using monthly rainfall
data f1-1970, period 3: 1971-2000. The purpose of the study is to examine climate change in Bandung. Results obtained for the frequency distribution in the period 1911-1940 has intensity rainfall that often arises is the interval between the rainfall intensity (0-113) mm by 92 times, then to the interval between the rainfall (114-224) mm by 76 times. As for the period 1941-1970, has as much as 67 times the highest frequency for the interval between the rainfall intensity (0-63) mm, and for the interval between the rainfall intensity (64-127) mm by 72 times. Furthermore the period 1971-2000 had the highest frequency as much as 78 times for the interval between the rainfall intensity (0-63) mm, and the interval between the rainfall intensity (64-127) mm has a frequency of about 72 times. Then found that the dry season is longer than in the wet season. Rainfall intensity in period 3: 1971-2000 is higher than the period 1 and period 2, with rainfall intensity above 250/mm in Mart, April, November and December. During the period 1911-2000 rainfall in Bandung have up trend. Of opportunities rainfall by comparing the average climatological rainfall (30 years) and standard deviation can be identified that climate change is already happening in Bandung.
Keyword: rainfall, frequency, probability
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perubahan iklim di Bandung dengan
menggunakan data curah hujan bulanan selama periode 1911-2000, yang dibagi dalam 3 periode. Periode 1 : 1911-1940, periode 2: 1941-1970, periode 3: 1971-2000. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perubahan iklim di Bandung. Hasil yang di peroleh untuk distribusi frekuensi pada periode 1911-1940 mempunyai intensitas curah hujan yang sering muncul adalah intensitas curah hujan antara (0-113) mm sebanyak 92 kali, kemudian untuk intensitas curah hujan antara (114-223) mm sebanyak 76 kali. Sedangkan untuk periode 2: 1941-1970, memiliki frekuensi tertingi sebanyak 67 kali untuk intensitas curah hujan antara (0-63) mm, dan untuk intensitas curah hujan antara (64-127) mm sebanyak 47 kali. Selanjutnya periode 3: 1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali untuk intensitas curah hujan antara (0-63) mm, dan intensitas curah hujan antara (64-127) mm mempunyai frekuensi sebanyak 72 kali. Kemudian diperoleh bahwa musim kering lebih panjang dari pada musim basah. Intensitas curah hujan pada periode 3: 1971-2000 lebih tinggi dibandingkan periode 1, dan periode 2, dengan intensitas curah hujan diatas 250/mm/bln pada bulan Mart, April, November dan Desember. Selama periode 1911-2000 curah hujan di Bandung mempunyai kecendrungan (trend) naik. Dari peluang curah hujan yang terjadi dengan membandingkan antara rata-rata curah hujan klimatologis (30 tahun) dan standar deviasi dapat diidentifikasi bahwa sudah terjadi perubahan iklim di Bandung.
Kata kunci: curah hujan, distribusi frekuensi, peluang.
1. PENDAHULUAN
Secara geografis posisi wilayah Indonesia sangatlah strategis dan bersifat khusus,
berada di wilayah tropis yang kaya akan radiasi matahari dengan lama siang dan malam
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
69
sepanjang tahun hampir selalu sama, sehingga jumlah radiasi matahari sepanjang hari relatif
hampir konstan. Indonesia terletak diantara dua benua Asia dan Australia, diantara dua
samudra India dan Pasifik, dan diantara dua Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.
Disamping itu dengan kondisi permukaan yang sekitar 70 % didominasi oleh laut, terdiri atas,
lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil. Sementara itu sebaran pulaunya yang banyak
dikelilingi oleh laut dangkal atau dikenal dengan benua maritim merupakan potensi
penguapan yang cukup besar untuk mempermudah pembentukan awan hujan dan umumnya
permukaan daratan bergunung gunung, disebut sebagai maritim continent Ramage (1971).
Kondisi ini mengakibatkan tidak terdapat iklim yang seragam di seluruh wilayah Indonesia,
keragaman iklim ini terjadi karena perbedaan letak geografis, kondisi topografis yang
kompleks (Hamada, 2003). Keadaan ini tercermin dari adanya perbedaan tipe curah hujan
yaitu monsunal, equatorial dan lokal (Tjasyono, 1999).
Perubahan iklim merupakan perubahan baik pola maupun intensitas unsur iklim pada
periode waktu yang dapat dibandingkan yang biasanya terhadap rata-rata 30 tahun.
Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam
distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-ratanya. Penelitian ini dilakukan untuk
mengamati ada tidaknya perubahan iklim di kota Bandung, khususnya perubahan curah hujan
di kota Bandung, berdasarkan analisis statistik terhadap hasil observasi curah hujan bulanan,
yaitu curah hujan bulanan tahun 1911-2000.
2. DATA DAN METODOLOGI
Dalam penelitian ini menggunakan data curah hujan bulanan untuk daerah Bandung
periode 1911-2007 yang diperoleh dari BMKG - Jakarta. Data dibagi dalam tiga periode
klimatologis. Periode 1: 1911-1940, periode 2: 1941-1970 dan periode 3: 1976-2000.
Menggunakan metoda statistik untuk menentukan distribusi frekuensi dan distribusi peluang.
Untuk mencari distribusi frekuensi dan peluang terlebih dahulu ditentukan :
1. Rentang (r) = nilai maksimum – nilai minimum
2. Banyak kelas (k) = 1 + 3.322log(n), dimana n adalah jumlah data
3. Panjang klas (p) = r / k.
4. Peluang (P) = f klas / f total
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
70
3. HASIL DAN PEMBAHASAN.
267274263264
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mart April Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
Waktu (bulan)
Ch
(mm
)
1911-19421943-1975
1976-2007
Gambar 1. Pola curah hujan periode 1911-2007 di Bandung.
Gambar 1, memperlihatkan kondisi pola klimatologis curah hujan rata-rata selama 30
tahun, yang terdiri dari periode 1: 1911-1940, periode 2: 1941-1970, dan periode 3: 1971-
2000. Berdasarkan dari tiga periode tersebut terdapat pola curah hujan yang sama, tetapi
mempunyai intensitas curah hujan yang berbeda-beda. Periode 1: 1911-1940 diperoleh
intensitas curah hujan tertinggi pada bulan November sebesar 224 mm/bln, dan intensitas
terrendah pada bulan Agustus sebesar 28 mm/bln. Pada periode 1 ini diperoleh juga intensitas
curah hujan di bawah 100 mm/bln terjadi untuk bulan Juli, Agustus dan september.
Sedangkan untuk periode 2: 1941-1970 intensitas curah hujan dibawah 100 mm/bln terjadi
pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Sedangkan untuk intensitas curah hujan
tertinggi terjadi bulan Mart sebesar 238 mm/bln. Selanjutnya periode 3: 1971-2000 terjadi
intensitas curah hujan diatas 250 mm/bulan pada bulan Maret, April, November dan
Desember dan intensitas curah hujan tertinggi sebesar 274 mm/bulan terjadi pada bulan
November. Untuk intensitas curah hujan terrendah, dibawah 100 mm/bln terjadi pada bulan
Juni, Juli, Agustus dan September. Dari ketiga periode tersebut diperoleh bahwa musim
kering terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September yang mempunyai intensitas curah
hujan dibawah 100 mm/bln. Jadi pada musim basah intensitas curah hujan semakin tinggi
dan pada musim kering intensitas curah hujan semakin rendah.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
71
76
92
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0-113 114-223 224-341 342-455 456-569 570-683 684-797 798-911 912-1025
Interval Ch (mm/bln)
Frek
uens
i
1911-1940
Gambar 2. Frekuensi curah hujan periode 1: 1911-1940 di Bandung
Pada gambar 2 menjelaskan frekuensi curah hujan tahun 1911-1940 dimana sumbu X
adalah interval curah hujan dan sumbu Y adalah frekuensi curah hujan. Untuk memperoleh
interval curah hujan dengan menentukan panjang kelas (r/k) dengan perumasan yang terdapat
pada data dan metodologi. Dari gambar 2, yang menunjukkan frekuensi tertinggi curah hujan
di Bandung pada periode 1: tahun 1911-1940 terjadi sebanyak 92 kali untuk intensitas curah
hujan antara (0-113) mm/bulan. Sedangkan untuk intensitas curah hujan (114-227) mm/bulan
terdapat nilai frekuensi 76 kali. Selanjutnya untuk periode 2: tahun 1941-1970 seperti yang
terlihat pada gambar 3 menjelaskan bahwa frekuensi curah hujan yang sering muncul
dengan intensitas curah hujan (0-63) mm/bln sebanyak 67 kali.
47
67
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0-63 64-127 128-191 192-255 256-319 320-383 384-447 448-511
Interval Ch (mm/bln)
Frek
uens
i 1941-1970
Gambar 3. Frekuensi curah hujan periode 2: 1941-1970 di Bandung
Sedangkan untuk intensitas curah hujan (64-127) mm/bln mempunyai frekuensi
sebanyak 47 kali. Hal yang sama terdapat pada gambar 4 bahwa frekuensi periode 3: tahun
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
72
1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali dengan intensitas curah hujan (0-
63) mm/bln
17
1823
5149
61
7278
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0-63 64-127 128-191 192-255 256-319 320-383 384-447 448-511 512-575
Interval Ch (mm/bln)
Frek
uens
i1071-2000
Gambar 4. Frekuensi curah hujan periode 3: 1976-2007 di Bandung
Dari gambar 4 yang menjelaskan frekuensi curah hujan pada periode 3: 1971-2000
memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali dengan intensitas curah hujan (0-63) mm/bulan,
kemudian untuk intensitas curah hujan (64-127) mm/bulan memiliki frekuensi sebanyak 72
kali. Untuk menentukan apakah sudah terjadi perubahan iklim melalui distribusi frekuensi
dan peluang curah hujan maka gambar 5 menjelaskan bahwa antara periode 1: 1911-1940,
periode 2: 1941-1970 dan periode 3: 1971-2000 sudah terjadi perubahan peluang curah hujan.
Pada peluang 5 % merupakan kondisi ekstrim untuk periode1: 1911-1940 dengan intensitas
curah hujan antara (128-191) dan (192-255) mm/bulan. Untuk periode 2: 1941-1970 kondisi
ekstrim terjadi pada peluang 5% untuk intensitas curah hujan antara (320-383) mm/bln,
periode 3: 1971-2000 kondisi ekstrim terjadi pada peluang 5% untuk intensitas curah hujan
antara (383-447). Perubahan iklim dapat diidentifikasi dengan membandingkan kurva
distribusi peluang seperti diperlihatkan pada gambar 6 sehingga diketahui perubahan dalam
waktu 30 tahun pada nilai rata-rata (mean) dan standard deviasi. Berdasarkan pengertian ini,
perubahan yang terjadi dalam waktu 30 tahun itu sendiri dikatakan sebagai variabilitas iklim,
dan untuk melakukan identifikasi perubahan iklim saat ini diperlukan data pengamatan
(historis) yang lebih panjang kurang lebih 60 tahun ke belakang (Meehl dalam Paulus Londo,
2010)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
73
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0-63 64-127 128-191 192-255 256-319 320-383 384-447 448-511 512-575
Interval Ch (mm/bln)
Pelu
ang
(%)
1911-19401941-19701071-2000
Gambar 5. Perubahan peluang curah hujan 1911-2000 di Bandung
148158
176
10393 94
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1911-1940 1941-1970 1071-2000
Cur
ah h
ujan
(mm
)
Waktu(tahun)
Rata-rata
Stdev
Gambar 6. Identifikasi perubahan iklim secara statistik di Bandung
Pada gambar 6 ini terlihat jelas perbedaan nilai rata-rata dan standard deviasi untuk
setiap periode yaitu periode 1, periode 2 dan periode 3. Intensitas curah hujan pada periode 2
tahun 1941-1970 dibandingkan dengan periode 1: tahun 1911-1940 yang memiliki perbedaan
sebesar 9.46%. Sedangkan perbandingan antara periode 3 tahun 1971-2000 dan periode 1
perbedaan intensitas curah hujan sebesar 16.89%. Juga intensitas curah hujan di Bandung
selama periode penelitian cendrung(trend) meningkat seperti yang diperlihat pada gambar 6
ini. Kemudian dengan membandingkan distribusi frekuensi dan distribusi peluang (gambar 5)
dapat dikatakan sudah terjadi perubahan iklim di Bandung dengan menggunakan parameter
curah hujan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
74
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data curah hujan bulanan di Bandung periode 1911-2000
dengan menggunakan distribusi frekuensi diketahui pada periode 1: 1911-1940, memiliki
frekuensi teringgi pada intensitas curah hujan antara (0-113) mm/bulan. Dan periode 2: 1941-
1970 mempunyai frekuensi tertinggi pada intensitas curah hujan antara (0-63) mm/bulan.
Sedangkan untuk periode 3: 1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali untuk
intensitas curah hujan pada antara (0-63) mm/bulan. Bandung sudah mengalami perubahan
iklim, dengan melakukan analisis curah hujan di Bandung periode 1911-2000 dengan
intensitas curah hujan sebesar 9.46 % antara periode 2 dan periode 1, kemudian antara
periode 3 dengan periode 1 intensitas curah hujan sebesar 16.89 %.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Didi Satiadi yang telah bersedia
memberikan masukan dan partisipasinya dalam penulisan makalh ini.
DAFTAR RUJUKAN
Meehl, G.A., F. Zwiers, J. Evans, T. Knutson, L. Mearns, and P. Whetton., Trends in
extreme weather and climate events : Issues related to modeling extremes in
projections of future clmate change, Bull. Amer. Met. Soc., 81(3), 413-416, 2000
Paullus Londo., Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok, 2010
Kementrian Lingkungan Hidup, http://www. menlh.go.id
Ramage., Monsoon Meteorology, Academic Press. Inc, International Geophisics.
Series, Vol 15. 1971
Tjasyono, B., Klimatologi Umum, Penerbit ITB Bandung, 1999.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
75
PENGARUH SKEMA KONVEKSI REGCM4.3 DALAM SIMULASI PRESIPITASI DAN TEMPERATUR DI CORDEX
ASIA SELATAN
Kadarsah1 dan M. Mubashar Ahmad Dogar2 1Puslitbang –BMKG
2King Abdullah University of Science and Technology (KAUST) [email protected]
Abstract Long term simulations (1998-2002) of the precipitation and temperature using RegCM4.3
have been performed with boundary forcings from the European Centre for Medium-Range Weather Forecasts 15 years (ERA15) and the impacts of change in convective scheme over Coordinated Regional Downscaling Experiment (CORDEX )South Asia were also described. Five numerical experiments (Emanuel over land & Grell over Ocean (Reg-EL-GO),Grell (Reg-G), Emanuel (Reg-E), Tiedtke (Reg-T) and modified Tiedtke (cmtcape=20, Reg-mT) were conducted to simulate precipitation and temperature over South Asia. The model’s performance in simulating precipitation and temperature over the South Asia were evaluated against five years (1998-2002) of the Climate Research Unit (CRU) datasets. The Reg-mT and Reg-EL-GO scheme were the best performing of the precipitation and temperature during JJAS (1998-2002), respectively. The use of Reg-mT scheme also showed an increased of the model ability in simulating precipitation than Tiedtke scheme but not too significant. It was found that all the convection schemes could simulate the annual cycle over sea quite well but the Reg-EL-GO and Reg-G scheme were the best and the worst performing in reproducing the annual cycle over land, respectively. Keywords: convective scheme, precipitation simulation, RegCM4.3,
Abstrak Simulasi jangka panjang presipitasi dan temperatur (1998-2002) telah dilakukan
menggunakan RegCM4.3 dengan data dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts 15 years (ERA15) serta ditampilkan pengaruh perubahan skema konveksi di Coordinated Regional Downscaling Experiment (CORDEX) Asia Selatan. Lima eksperimen skema konveksi: Emanuel over land & Grell over Ocean (Reg-EL-GO),Grell (Reg-G), Emanuel (Reg-E), Tiedtke (Reg-T) dan modified Tiedtke (cmtcape=20, Reg-mT) dijalankan untuk simulasi presipitasi dan temperatur di Asia Selatan. Kemampuan model dalam simulasi presipitasi dan temperatur dievaluasi selama lima tahun (1998-2002) menggunakan data Climate Research Unit (CRU). Skema Reg-mT dan Reg-EL-GO merupakan skema yang paling baik dalam simulasi presipitasi (Reg-mT) dan temperatur (Reg-EL-GO) selama JJAS (1998-2002). Penggunaan skema Reg-mT menunjukkan peningkatan kemampuan model dalam simulasi presipitasi dibanding skema Reg-T tetapi tidak terlalu signifikan. Semua skema konveksi mengsimulasikan siklus presipitasi tahunan di atas laut dengan baik tetapi saat mengsimulasikannya di daratan skema terbaik dan terburuk masing-masing dipegang oleh skema Reg-EL-GO and Reg-G. Kata Kunci : simulasi presipitasi, skema konveksi, RegCM4.3
1. PENDAHULUAN
Studi tentang penggunaan model iklim regional dalam berbagai sektor kehidupan
telah banyak dilakukan. Tetapi model iklim tersebut harus terus dikembangkan untuk
meningkatkan akurasi dan kemampuannya dalam memprediksi iklim. Hal lain yang
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
76
menghambat proses ini adalah karena atmosfer di atas Benua Maritim Indonesia memiliki
dinamika dengan tingkat nonlinearitas yang sangat tinggi sebagai akibat dari sangat
beragamnya topografi, vegetasi, serta pengaruh monsun dan interaksi laut-atmosfer di
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia di samping interaksi darat – atmosfer - laut di Benua
Maritim Indonesia. Eksperimen-eksperiman awal penerapan sejumlah model numerik iklim
di Indonesia , baik yang berbasis model sirkulasi global (GCM) maupun model iklim regional
(RCM, LAM,REMO) telah dilakukan salah satunya oleh Aldrian (Aldrian,.E, et.al, 2003,
2004, 2005) dan Kadarsah (Kadarsah,2006, 2010).
Hasil penelitian model-model tersebut menunjukkan ketidakakuratan khususnya pada
parameter presipitasi. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian dan atau perbaikan terhadap
sejumlah parameterisasi dan mekanisme fisis/dinamis sebelum digunakan sebagai piranti
untuk prakiraan, simulasi dan aplikasi sektoral. Beberapa model yang telah disesuaikan
diantaranya adalah untuk skenario deforestasi di Kalimantan (Seizarwati, W., 2009), analisis
topografi (Kadarsah dan Jose Rizal, 2012) dan analisis diurnal di Benua Maritim Indonesia
(Kadarsah, dkk., 2012).
Studi lainnya dilakukan oleh Qian (Qian, 2008, 2010) dan Moron (Moron ,V., et.al, 2010).
Sedangkan studi yang fokus terhadap skema konveksi dilakukan oleh Gianotti (Gianotti RL, et.al. 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh lima skema konveksi RegCM4.3 pada presipitasi dan
temperatur di Coordinated Regional Downscaling Experiment (CORDEX) Asia Selatan. Wilayah
Indonesia yang termasuk CORDEX Asia Selatan adalah Sumatera seperti ditunjukkan Gambar 1. Hasil
penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui skema konveksi yang sesuai di CORDEX Asia Selatan pada
umumnya dan Sumatera pada khususnya. Pembentukan CORDEX Asia Selatan yang merupakan bagian dari
program kerja oleh World Climate Research Programme (WCRP). CORDEX merupakan
kelompok kerja yang memfokuskan pada penelitian downscaling model regional. Kelompok
kerja ini di koordinir oleh WCRP yang merupakan badan bentukan World Meteorological
Organization (WMO).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
77
(a) (b)
Gambar 1.(a) Wilayah CORDEX Asia Selatan dan (b) domain penelitian yang mencakup
Wilayah CORDEX Asia Selatan dan Sumatera bagian utara
2. DESKRIPSI MODEL
Model RegCM adalah model dan secara khusus didesain untuk digunakan
oleh berbagai macam komunitas peneliti di negara-negara maju sebagaimana juga sudah
mulai digunakan di negara-negara berkembang. Model didesain untuk komunitas umum,
open source, mudah digunakan, dengan kode yang portabel yang dapat diaplikasikan di
berbagai negara di dunia. Komunitas RegCM4 dikelola oleh Regional Climate Research
Network atau RegCNET. Komunitas model ini dikoordinir oleh para ilmuwan dari bagian
Earth System Physics dari Abdus Salam International Centre for Theoretical
Physics http://users.ictp.it/RegCNET/). Para peneliti dalam jejaring ini (terakhir kurang lebih
>750 partisipan) dapat berkomunikasi melalui email-list (milis) dan melalui workshop ilmiah
regular, dan mereka berperan dalam evaluasi dan perkembangan berkelanjutan dari model ini.
Sejak kemunculan RegCM3, dikembangkan oleh Pal (Pal.,et.al, 2007), model telah
mengalami perubahan yang substansial baik pada kode-kode software maupun pada
penampilan fisik dari model ini, dan hal ini kemudian mengarah pada pengembangan versi
keempat dari model, RegCM4, yang dirilis oleh ICTP pada Juni 2010 sebagai versi prototipe
(RegCM4.0) dan pada April 2011 sebagai versi lengkapnya (RegCM4.1). Model RegCM4
merupakan model yang merupakan singkatan dari REGional Climate Model version 4
(RegCM4). RegCM awalnya dikembangkan di National Center for Atmospheric Research
(NCAR) dan banyak diterapkan untuk kajian studi dari regional iklim dan prakiraan musim
diseluruh dunia. RegCM tersedia di jaringan internet dengan alamat,
http://www.ictp.trieste.it/~pubregcm/RegCM4. Generasi pertama dari NCAR RegCM telah
dibangun di NCAR-Pennsylvania State University (PSU) Mesoscale Model version 4 (MM4)
pada akhir 1980-an. Komponen dinamis yang terdapat didalam model RegCM berasal dari
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
78
MM4. Inti dinamis dari RegCM adalah serupa dengan versi hidrostatik dari Mesoscale Model
versi 5 (MM5). Ide mengenai model area terbatas (LAMs-Limited Area Models) yang dapat
digunakan untuk kajian regional awalnya diusulkan oleh Dickinson (Diskinson., et.al 1989)
dan Giorgi (Giorgio, 1990). Ide ini berdasarkan pada konsep nesting satu arah (one-way
nesting).
Generasi pertama NCAR RegCM dibangun pada Model Mesoscale NCAR-
Pennsylvania State University versi 4 (MM4) di akhir tahun 1980-an. Komponen dinamis
dari model berasal dari MM4, yang kompresibel, membatasi perbedaan model dengan
keseimbangan hidrostatis dan coordinated vertikal-σ. Kemudian, skema integrasi waktu
eksplisit-split ditambahkan dengan suatu algoritma untuk mengurangi difusi horisontal
karena adanya gradien topografi yang curam. Sebagai hasilnya, inti dinamis dari RegCM
mirip dengan versi hidrostatis dari Model Mesoscale versi 5 (MM5). Perkembangan RegCM
ditunjukkan oleh Tabel 1, sedangkan detail lengkap dari RegCM4.3 yang digunakan dalam
penelitian ini ditunjukkan Tabel 2.
Tabel 1.Perkembangan model RegCM
SKEMA
RegCM1 RegCM2 RegCM3 RegCM4
Dickinson et
al.(1989) Giorgi
and Bates (1989)
Giorgi et al.
(1993a,b)
Team RegCM3 Team RegCM4
Dinamik MM4
Anthes et al.
(1987)
MM5 (hydrostatic)
Grell et al. (1994)
MM5
(hydrostatic)
Grell et al. (1994)
MM5 Hydrostatic
(Grell et al. [1994].
Transfer
Radiasi
CCM1
Kiehl et al.(1987)
CCM2
Briegleb (1992)
CCM3
Kiehl et al.(1996)
CCM3
Kiehl et al.(1996)
PBL Local
Deardorff (1972)
Non-local,counter-
gradient
Holtslag et al.
(1990)
Non-
local,counter-
gradient
Holtslag et al.
(1990)
Non-local,counter-
gradient
Holtslag et al. (1990)
Permukaan
tanah
BATS 1a
Dickinson et al.
(1986)
BATS 1e
Dickinson et al.
(1993)
SUB-BATS
Girogi et al.
(2003a)
BATS 1e
Dickinson et al.
(1993)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
79
CLM Oleson et al.
[2008]
Konveksi
presipitasi
Anthes-Kuo
Anthes (1977)
Grell (1993)
Anthes-Kuo
Anthes (1977)
MIT Emanuel
(1991)
Grell (1993)
Anthes (1977)
MIT Emanuel (1991)
Grell (1993)
Persamaan
presipitasi
Implicit
Giorgi and Bates
(1989)
Explicit
Hsie et al. (1984)
SUBEX
Pal et al. (2000)
SUBEX
Pal et al. [2000]
Aerosol
and
kimia
Not Available Not Available Solmon et al.
(2006)
Zakey et al.
(2006)
Solmon et al. (2006)
Zakey et al. (2006)
Tabel 2. Deskripsi RegCM4.3
Model Aspek Pilihan Skema
Dinamik Hidrostatik, koordinat vertikal-σ (Giorgi et al.
1993a)
Transfer Radiasi Modified CCM3 (Kiehl et al. 1996)
PBL Modifikasi Holtslag (Holtslag et al. 1990)
UW-PBL (Bretherton et al. 2004)
Konveksi kumulus Simplified Kuo (Anthes et al. 1987)
Grell (Grell 1993)
MIT (Emanuel & Zivkovic-Rothman 1999)
Tiedtke (Tiedtke 1989)
Persamaan
presipitasi
SUBEX (Pal et al. 2000)
Permukaan tanah BATS (Dickinson et al. 1993)
Sub-grid BATS (Giorgi et al. 2003)
CLM (Steiner et al. 2009)
Fluks laut BATS (Dickinson et al. 1993)
Zeng (Zeng et al. 1998)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
80
Diurnal sea surface temperature
(Zeng & Beljaars 2005)
Aerosol interaktif Karbon dan organik , SO4 (Solmon et al.
2006)
Debu (Zakey et al. 2006)
Garam laut (Zakey et al. 2008)
Danau Interaktif Difusi/konveksi 1D (Hostetler et al. 1993)
Pita Tropikal Coppola et al. (2012)
Kopel Laut MIT (Artale et al. 2010)
ROMS (Ratnam et al. 2009)
3. DATA DAN METODE
Metodologi penelitian in terbagi menjadi tiga tahap utama. Pertama menjalankan
RegCM4.3 dengan 5 skema konveksi berbeda tahun 1998-2002, kedua, membandingkan
keluaran model dengan observasi Climate Research Unit (CRU) dan ERA-Interim wind
dengan menggunakan Climate Data Operator (CDO) serta Grid Analysis and Display System
(GrADS). Selanjutnya tahap terakhir atau tahap ketiga merupakan tahap analisis dan
pembahasan. Ringkasan data dan skema konveksi yang digunakan ditampilkan Tabel 3.
Tabel 3. Data dan skema konveksi RegCM4.3
Resolusi 50 km
Inisial dan kondisi
boundary
ERAIN15 (97-2004)
SST OI WK-OISST
Skema konveksi Emanuel over land & Grell over Ocean (Reg-
EL-GO)
Grell (Reg-G)
Emanuel (Reg-E)
Tiedtke (Reg-T)
Modifikasi Tiedtke (cmtcape=20) (Reg-mT)
Validasi CRU-presipitasi dan temperature
ERA-Interim angin
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
81
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat akurasi simulasi model dilakukan dengan membandingkan dengan data
observasi dengan periode dan resolusi spasial yang sesuai. Data observasi yang digunakan
adalah dari CRU selama 1998-2002. Hasil keluaran model dibandingkan dengan CRU
(Gambar 2) dan perbedaannya yang semakin rendah (keluaran berbagai skema konveksi
RegCM4.3 dikurangi CRU, dan disebut dengan bias presipitasi yang ditunjukkan Gambar 3)
menunjukkan bahwa skema Reg-mT merupakan skema yang paling baik saat
mensimulasikan presipitasi khususnya di Sumatera bagian utara dengan bias presipitasi
sebesar 1 mm/hari.
Gambar 2. Simulasi presipitasi JJAS (1998-2002) CRU dan keluaran RegCM4.3 dengan
skema Reg_EL-GO, Reg-T dan Reg-mT
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
82
Gambar 3. Perbedaan presipitasi keluaran RegCM4.3 dengan skema Reg_EL-GO, Reg-G,
Reg-E dan Reg-mT selama JJAS (1998-2002)
Gambar 4. Simulasi temperatur JJAS (1998-2002) CRU dan keluaran RegCM4.3 dengan
skema Reg_EL-GO, Reg-T dan Reg-mT
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
83
Gambar 5. Perbedaan temperatur keluaran RegCM4.3 dengan skema Reg_EL-GO, Reg-G,
Reg-E dan Reg-mT selama JJAS (1998-2002)
Perbandingan bias presipitasi antara skema Reg-mT dengan Reg-T dilakukan untuk
melihat peningkatan kinerja skema Reg-mT dibanding Reg-T (Gambar 2). Hasilnya, terjadi
peningkatan kinerja model tetapi tidak terlalu signifikan (bias presipitasi tidak lebih kecil dari
1 mm/hari). Sedangkan skema Reg-EL-GO merupakan skema paling baik saat
mensimulasikan temperatur selama JJAS (1998-2002) seperti yang ditunjukkan Gambar 4
dan 5. Hal tersebut ditunjukkan dengan bias temperatur yang relatif lebih rendah dibanding
skema yang lain. Analisis Selanjutnya dilakukan dengan melihat kemampuan model dalam
menirukan pola presipitasi tahunan di daratan dan lautan.
Analisis presipitasi yang hanya terjadi di daratan (Gambar 6) menunjukkan bahwa
skema Reg-EL-GO merupakan skema berkinerja terbaik ( mendekati pola CRU) dan skema
Grell merupakan skema terburuk ( menjauhi pola CRU) dibanding skema lainnya saat
mengsimulasikan siklus tahunan presipitasi. Saat mengsimulasikan siklus tahunan presipitasi
yang hanya terjadi dilautan semua skema menunjukkan kinerja yang tidak terlalu jauh
berbeda dengan CRU (Gambar 7). Artinya semua skema mampu menirukan pola presipitasi
tahunan yang ditampilkan CRU.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
84
Gambar 6. Siklus tahunan presipitasi CRU dan skema-skema konveksi saat JJAS (mm/hari)
selama tahun 1998-2002 di daratan dengan domain 5-26N dan 70-90E
Gambar 7. Siklus tahunan presipitasi CRU dan skema-skema konveksi saat JJAS (mm/hari)
selama tahun 1998-2002 di lautan dengan domain 5-26N dan 70-90E
5. KESIMPULAN
Wilayah Indonesia yang termasuk wilayah kajian yang dalam CORDEX Asia Selatan
adalah Sumatera sehingga penelitian tentang pengaruh skema konveksi di CORDEX Asia
Selatan terhadap presipitasi dan temperatur sangat penting untuk dilakukan. Lima skema
konveksi RegCM4.3 yang diterapkan pada domain CORDEX Asia Selatan untuk simulasi
presipitasi dan temperatur menunjukkan bahwa skema konveksi Reg-mT dan Reg-EL-GO
merupakan skema yang paling baik dalam simulasi presipitasi (Reg-mT) dan temperatur
(Reg-EL-GO) selama JJAS (1998-2002). Penggunaan skema Reg-mT menunjukkan
peningkatan kemampuan model dalam simulasi presipitasi dibanding skema Reg-T tetapi
tidak terlalu signifikan. Semua skema konveksi mengsimulasikan siklus presipitasi tahunan di
atas laut dengan baik tetapi saat mengsimulasikannya di daratan skema terbaik dan terburuk
masing-masing dipegang oleh skema Reg-EL-GO and Reg-G.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
85
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih pada Filipo Giorgio , Laura Mariotti, Raju dan Bhatla dari ICTP yang telah
memberi bantuan saran dan rujukan ilmiah sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
baik.
DAFTAR RUJUKAN
Aldrian, E., D. Sein, D. Jacob, L. D. Gates, and R. Podzun., Modelling Indonesian rainfall
with a coupled regional model. Clim. Dyn., 25, 1–17, 2005.
Aldrian, E., L. D. Gates, D. Jacob, and R. Podzun., Long-term simulation of Indonesian
rainfall with the MPI regional model. Clim. Dyn., 22, 795–814, 2004.
Aldrian, E., and R. D. Susanto., Identification of three dominant rainfall regions within
Indonesia and their relationship to sea surface temperatur. Int. J. Climatol., 23, 1435–
1452, 2003.
Dickinson RE, Errico RM, Giorgi F, Bates GT., A regional climate model for the western
United States. Clim Change 15: 383–422, 1989.
Gianotti RL, Zhang D, Eltahir EAB., Assessment of the regional climate model version 3
over the maritime continent using different cumulus parameterization and land surface
schemes. J Clim 25(2):638–656, 2012.
Giorgi F., Simulation of regional climate using a limited area model nested in a general
circulation model. J Clim 3: 941–963, 1990.
Kadarsah, Danang Eko Nuryanto, Dodo Gunawan., Analysis of Diurnal Variation in the
Maritime Continent Indonesia by Using RegCM4.Proceeding Pertemuan Ilmiah
Tahunan ke-37 Himpunan Ahli Geofisika Indonesia,Unconventional & Renewable
Energy. 10-13 September. ISBN: 978-979-98933-4-5, 2012.
Kadarsah,Jose Rizal., Analisis Pengaruh Topografi Terhadap Curah Hujan Indonesia
Menggunakan RegCM4.Prosiding Scientific Jurnal Club Tahun 2012. Hal.9-23.
ISSN.978-979-1241-46-5, 2012.
Kadarsah., Analisis Penyebaran Asap Kebakaran Hutan Periode El Nino/La Nina Dengan
Menggunakan Model Regional-REMO, Tesis Program Magister, Program Studi Sains
Atmosfer – Institut Teknologi Bandung, 2006.
Kadarsah., Simulasi Iklim Indonesia Menggunakan RegCM3 (translate: Simulation of
Indonesia Climate by Using RegCM3),Buletin Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika,Vol.6.No.2, Juni 2010
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
86
Moron, V. and J.-H. Qian., Local versus regional-scale characteristics of monsoon onset and
post-onset rainfall over Indonesia. Climate Dyn. 34, 281–299, 2010.
Pal,J, and Coauthors., Regional climate modeling for the developing world: The ICTP
RegCM3 and RegCNET. Bull.Amer. Meteor. Soc., 88, 1395–1409, 2007.
Qian JH., Why precipitation is mostly concentrated over islands in the maritime continent. J
Atmos Sci 65: 1428–1441, 2008.
Qian JH, Robertson AW, Moron V., Interactions among ENSO, the monsoons, and diurnal
cycle in rainfall variability over Java, Indonesia. J Atmos Sci 67: 3509–3524, 2010.
Seizarwati, Wulan., Simulasi Pengaruh Deforestasi dan Reforestasi Terhadap Perubahan
Parameter Iklim Menggunakan Regional Model (REMO) (Studi Kasus: Pulau
Kalimantan). Tugas Akhir, Program Studi Meteorologi – Institut Teknologi Bandung,
2009.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
87
ANALISIS TEMPORAL DAN SPASIAL EVOLUSI IOD DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN
DI INDONESIA
Krismianto Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN Jl. Dr. Djundjunan no. 133, Bandung 40173
email : [email protected]
Abstract In general, the pattern of rainfall in Indonesia is already known but the variability of
each year can vary due to many atmospheric phenomena that affect it. One of the most atmospheric phenomena that affect the variability of rainfall in Indonesia is the IOD (Indian Ocean Dipole). This study aims to determine the mechanism of evolution of the IOD and its influence on rainfall in Indonesia. Active phase of IOD is determined by looking at the value of DMI (Dipole Mode Index) anomalous for at least 2 months or more in a row. DMI is obtained from the difference of SST (sea surface temperature) between western and eastern region in equatorial part of the Indian Ocean. The results showed that the IOD evolution begins from JJ ( June-July ) and peaked at SON (September, October , and November). The next step, look for the influence of IOD on rainfall anomalies in the Indonesian region for each phase. The results show that for almost of all Indonesian region, if negative IOD then rainfall is surplus and if positive IOD then rainfall is deficit. Getting closer to the peak phase, the surplus or deficit rainfall is greater . Keywords : evolution, IOD, rainfall, Indonesia
Abstrak Secara umum pola curah hujan di Indonesia sudah diketahui namun tiap tahun
variabilitasnya bisa berbeda-beda karena banyak fenomena atmosfer yang mempengaruhinya. Salah satu fenomena atmosfer yang paling berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia adalah IOD (Indian Ocean Dipole). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme evolusi dari IOD dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Indonesia. Fase IOD aktif ditentukan dengan melihat anomali nilai DMI (Dipole Mode Index) -nya selama minimal 2 bulan atau lebih secara berturut-turut. DMI diperoleh dari selisih SPL (suhu permukaan laut) wilayah barat dan timur dari Samudera Hindia bagian equator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evolusi IOD berawal dari bulan JJ (Juni-Juli) dan mencapai puncaknya pada bulan SON (September, Oktober, dan Nopember). Selanjutnya untuk masing-masing fase IOD tersebut dilihat pengaruhnya terhadap anomali curah hujan di wilayah Indonesia. Hasilnya adalah jika terjadi fase IOD negatif maka terjadi surplus curah hujan dan jika terjadi IOD positif maka terjadi defisit curah hujan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Semakin mendekati fase puncaknya, surplus maupun difisit curah hujannya semakin besar. Kata kunci : evolusi, IOD, curah hujan, Indonesia
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
88
1. PENDAHULUAN
Variabilitas curah hujan di Indonesia sangat tinggi karena dipengaruhi oleh berbagai
fenomena atmosfer global. Salah satu fenomena atmosfer global yang sangat berpengaruh
terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia adalah IOD (Indian Ocean Dipole) yang
merupakan fenomena mirip dengan ENSO (El-Nino Southern Oscillation) namun terjadinya
di Samudera Hindia daerah equator. Terkait dengan hal tersebut, maka mekanisme evolusi
dari kapan IOD mulai terbentuk hingga kapan mencapai puncaknya serta bagaimana
pengaruhnya pertahapan evolusi tersebut terhadap anomali curah hujan di Indonesia sangat
penting untuk dipahami. Sama halnya dengan ENSO yang memiliki nilai anomali positif (La
Nina) dan anomali negatif (El Nino), IOD juga memiliki nilai anomali negatif (IOD negatif)
dan anomali positif (IOD positif).
Saji et al. (1999) menganalisis IOD menggunakan indeks sederhana berupa dipole
anomali SPL (suhu permukaan laut) yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali SPL
Samudera Hindia di equator bagian barat dengan Samudera Hindia di equator bagian timur.
Hasil perhitungan perbedaan nilai antara anomali SPL di bagian barat dan sebelah timur
Samudera Hindia bagian equator tersebut dikenal sebagai DMI (Dipole Mode Index).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pertahapan evolusi
dari IOD baik secara temporal maupun spasial. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui dampak dari IOD terhadap anomali curah hujan di wilayah Indonesia. Dalam
penelitian ini digunakan hipotesis bahwa mekanisme dari evolusi IOD dapat digambarkan
dengan baik menggunakan data-data DMI pada tahun-tahun yang bebas dari ENSO aktif.
Diasumsikan bahwa pada tahun-tahun IOD aktif yang bebas ENSO, anomali curah hujan di
wilayah Indonesia hanya dipengaruhi oleh IOD saja.
2. DATA DAN METODOLOGI
Dalam penelitian ini, akan digunakan data SPL HadISST (Hadley Centre Sea Ice
and Sea Surface Temperature data set), data angin zonal (u) dan meridional (v)
NCEP/NCAR (The National Centers for Atmospheric Prediction / The National Center for
Atmospheric Research), dan data curah hujan GPCC (Global Precipitation Climatology
Centre) dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2000. Data SPL HadlSST digunakan untuk
membuat DMI dan melihat kondisi SPL-nya pada saat IOD positif maupun IOD negatif.
Data angin zonal dan meridional NCEP/NCAR digunakan untuk melihat streamline
anomali pergerakan arah anginnya pada saat IOD negatif maupun IOD positif. Data
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
89
curah hujan digunakan untuk melihat pengaruh IOD positif maupun IOD negatif
terhadap anomali curah hujan di Indonesia.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data pada tahun-tahun IOD aktif
kuat saat ENSO normal (Tabel 1). Pada tahun-tahun tersebut dianggap anomali curah hujan
di Indonesia hanya dipengaruhi oleh IOD saja.
Tabel 1. Tahun-tahun IOD aktif kuat saat ENSO normal (Meyers et al., 2006)
Tipe IOD Tahun
Negatif 1968,1974,1980, 1985, dan 1992
Positif 1961,1967, dan 1983
Untuk mengetahui evolusi dari IOD maka DMI harus dihitung terlebih dahulu untuk
tahun-tahun yang sudah ditentukan sebelumnya. DMI dibuat berdasarkan formulasi dari Saji
et al. (2009) yang merupakan perhitungan perbedaan nilai anomali antara SPL di wilayah
barat dan wilayah timur dari Samudera Hindia bagian equator.
DMI = SPL ((500 E - 700 E, 100 S - 100 N) - SPL (900 E - 1100 E, 100 S - Equator)
DMI yang diperoleh kemudian dirata-ratakan perdua bulan karena penentuan IOD
aktif disyaratkan memiliki nilai anomali minimal 2 bulan berturut-turut seperti yang telah
ditentukan oleh Meyers et.al. (2006). Setelah diperoleh data DMI-nya kemudian dianalisis
secara time series untuk melihat evolusi dari IOD. Hasil analisis time series tersebut
kemudian digunakan untuk memilih bulan-bulan yang signifikan dalam tahapan evolusi IOD.
Selanjutnya dilakukan analisis spasial pada saat fase IOD mencapai puncaknya untuk melihat
pengaruh IOD terhadap anomali curah hujan di Indonesia.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis komposit menunjukkan bahwa IOD mulai berevolusi pada bulan JJ
(Juni-Juli). Hal tersebut ditunjukkan dengan mulai berubahnya nilai DMI menjauhi nilai
normalnya baik itu pada saat IOD negatif maupun pada saat IOD positif. Evolusi IOD mulai
mencapai puncaknya pada bulan SO (September-Oktober) dan dilanjutkan bulan berikutnya,
yaitu pada bulan ON (Oktober-November). Tahapan evolusi berikutnya yaitu pada bulan ND
(November-Desember), nilai DMI-nya baik itu pada saat IOD negatif maupun IOD positif
mulai menju ke nilai normalnya.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
90
Gambar 1. Evolusi anomali DMI terhadap nilai normalnya (a) dan Evolusi DMI (b).
Ketika terjadi IOD negatif maka angin akan bergerak dari wilayah Samudera Hindia
bagian equator ke arah wilayah Indonesia sedangkan ketika terjadi IOD positif maka akan
terjadi hal yang sebaliknya, yaitu angin akan bergerak dari wilayah Indonesia menuju ke arah
Samudera Hindia bagian equator.
Gambar 2. Anomali pergerakan arah angin pada saat IOD (-) dan (+) mencapai puncaknya.
Perbedaan pergerakan arah angin tersebut diakibatkan oleh perbedaan nilai SPL
bagian barat dan timur dari Samudera Hindia bagian equator dimana wilayah dengan SPL
Anomali DM
I
DMI
(a) (b)
Normal
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
91
yang lebih rendah akan memiliki tekanan udara yang lebih tinggi dan angin akan selalu
bergerak dari wilayah bertekanan lebih tinggi ke arah wilayah yang bertekanan lebih rendah.
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia surplus curah
hujan ketika terjadi IOD negatif terutama untuk wilayah Indonesia bagian selatan, bahkan
surplus curah hujannya ada yang mencapai lebih dari 50 % seperti yang terlihat di Pulau Jawa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa anomali SPL di perairan Samudra Hindia sangat
berpengaruh terhadap anomali curah hujan di Indonesia. Pada bulan JJ, terlihat bahwa curah
hujan terutama di wilayah Indonesia bagian selatan mulai mengalami surplus dan kejadian
tersebut terus berlanjut hingga ke bulan JA, AS, dan SO dengan nilai surplus curah hujan
yang lebih besar. Pada bulan ON terlihat surplus curah hujannya sudah mulai berkurang
hingga akhirnya pada bulan ND terlihat bahwa kondisi curah hujan di wilayah Indonesia
sudah mendekati normal. Meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami surplus
curah hujan, namun masih terdapat beberapa wilayah yang curah hujannya tidak terpengaruh
oleh IOD negatif, terutama di wilayah Indonesia bagian Utara dan Papua.
Gambar 3. Anomali curah hujan pertahapan pada saat IOD (-).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
92
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia defisit curah
hujan ketika terjadi IOD positif, bahkan defisit curah hujannya ada yang mencapai lebih dari
50 %. Meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami defisit curah hujan yang tinggi,
namun masih terdapat beberapa wilayah terutama di Papua yang justru malah mengalami
surplus curah hujan bahkan melebihi 50 %. Pada bulan JJ, terlihat bahwa curah hujan di
hampir seluruh wilayah Indonesia mulai mengalami defisit dan kejadian tersebut terus
berlanjut hingga ke bulan JA, AS, dan SO dengan nilai defisit curah hujan yang lebih besar.
Pada bulan ON terlihat defisit curah hujannya sudah mulai berkurang hingga akhirnya pada
bulan ND terlihat bahwa kondisi curah hujan di wilayah Indonesia sudah mendekati normal.
Gambar 4. Anomali curah hujan pertahapan pada saat IOD (+).
4. KESIMPULAN
DMI memiliki evolusi dimana evolusi tersebut dimulai pada bulan JJ dan mencapai
puncaknya pada bulan SON serta kemudian mulai melemah menuju ke arah nilai normal
pada bulan ND. Jika DMI bernilai lebih rendah dari nilai DMI normalnya maka terjadi
fase IOD negatif dan sebaliknya jika lebih tinggi maka terjadi fase IOD positif. Ketika terjadi
fase IOD negatif maka akan berdampak pada peningkatan curah hujan di sebagian wilayah
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
93
Indonesia sedangkan pada saat fase IOD positif akan berdampak pada penurunan curah hujan
di sebagian wilayah Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Meyers, G., McIntosh, P., Pigot, L., Pook, M., The years of El Niño, La Niña, and
interactions with the Tropical Indian Ocean. J. Ametsoc, 20, 2872 – 2880, 2006.
Saji, N. H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran, and T.Yamagata., A dipole mode in the
tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360 – 363, 1999.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
94
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT
Martono
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN [email protected]
Abstract.
Perubahan iklim akibat pemanasan global merupakan tantangan serius yang dihadapi dunia pada saat ini. Dampak paling besar akibat perubahan iklim terjadi di negara-negara pesisir dan negara kepulauan termasuk Indonesia. Salah satu dampak perubahan iklim adalah kenaikan suhu bumi. Suhu permukaan laut merupakan parameter laut yang mempunyai peranan penting terhadap kondisi cuaca dan iklim. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemanasan global terhadap suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian barat, Laut China Selatan, Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa. Data yang digunakan adalah suhu permukaan laut bulanan dari tahun 1983-2004 dengan resolusi spasial 1O x 1O. Dalam penelitian ini digunakan metode single moving average. Dari hasil analisis diketahui bahwa suhu permukaan laut tahunan paling rendah 27,77 OC terdapat di perairan selatan Jawa dan tertinggi 28,82 OC di Samudera Pasifik barat. Secara umum, perubahan iklim telah menyebabkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian barat, Laut China Selatan, Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa mengalami kenaikan. Keywords: suhu permukaan laut, perubahan iklim, single moving average
Abstrak Climate change due to global warming became a serious challenge facing the world present. The greatest impact of climate change occur in coastal countries and states island, including Indonesia. One of the impacts of climate change was global temperature rise. Sea surface temperature was ocean parameters that has an important role on weather and climate conditions. This research was conducted to understand the effect of global warming on sea surface temperature in the western Pacific Ocean, the South China Sea, the eastern Indian Ocean and the waters south of Java. The data used are sea surface temperature monthly from 1983-2004 with a spatial resolution of 1O x 1O. In this research used single moving average method. From the results of analysis showed that the annual sea surface temperatures the lowest occur in the waters south of Java and the highest in the western Pacific Ocean. In general, climate change has caused sea surface temperatures in the western Pacific Ocean, South China Sea and the eastern Indian Ocean waters south of Java has increased. Keywords: sea surface temperature, climate change, single moving average
1. PENDAHULUAN
Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia
sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992.
Yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur
iklim khususnya temperatur udara dan curah hujan. Sistem iklim bumi sangat komplek dan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
95
terdiri atas lima komponen yaitu atmosfer, litosfer, hidrosfer, kriosfer dan biosfer
(Prawirowardoyo, 1996 ; Santoso and Forner, 2006).
Pemanasan global disebabkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca terutama
yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer di berbagai belahan dunia akan menyebabkan meningkatnya radiasi yang
terperangkap di atmosfer. Akibatnya temperatur rata-rata di seluruh permukaan bumi menjadi
meningkat. Meningkatnya temperatur rata-rata di permukaan bumi akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya seperti meningkatnya penguapan di
udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara (Meiviana dkk, 2004).
Perubahan iklim global akibat pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan
atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi (Susandi, 2008).
Ketika suhu udara bumi menghangat, maka suhu permukaan laut juga akan menghangat.
Suhu permukaan laut merupakan parameter laut yang mempunyai peranan penting dalam
interaksi antara atmosfer dan laut terutama dalam pertukaran energi. Oleh karena itu
penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap suhu permukaan laut perlu dilakukan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan iklim sebagai implikasi akibat pemanasan global. Pemanasan global
disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca terutama yang dihasilkan dari
aktivitas manusia. Secara alamiah gas-gas rumah kaca berfungsi menyerap radiasi matahari di
atmosfer sehingga temperatur permukaan bumi menjadi lebih hangat dan layak untuk dihuni
oleh manusia (Buchdahl dkk, 2002). Jika di atmosfer tidak ada gas-gas rumah kaca, maka
temperatur permukaan bumi akan menjadi 33 OC lebih dingin daripada temperatur sekarang.
Dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan hidup, manusia melakukan berbagai
aktivitas. Berbagai aktifitas manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan
bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) dan perubahan tata guna lahan (penebangan pohon,
penggundulan hutan dan pembakaran hutan) yang berlangsung secara terus menerus dan
dalam periode waktu yang lama menyebabkan gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer
terus meningkat (Canadell dkk, 2004).
Sejak awal revolusi industri yang dimulai sekitar tahun 1850 jumlah gas-gas rumah
kaca yang diemisikan ke atmosfer mulai meningkat (Buchdahl dkk, 2002). Karbondioksida
merupakan kontributor utama penyebab pemanasan global (Telerr dkk, 1997; Susandi, 2006).
Meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer di berbagai belahan dunia akan
menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya temperatur
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
96
rata-rata di seluruh permukaan bumi menjadi meningkat seperti diperlihatkan pada Gambar
2.1.
3. DATA DAN METODE
Data yang digunakan adalah suhu permukaan laut rata-rata bulanan di wilayah
Samudera Pasifik bagian barat antara 0O – 20O LU dan 128O BT – 152O BT, Laut China
Selatan antara 3O LU – 9O LU dan 104O BT – 113O BT, Samudera Hindia bagian timur antara
10O LS – 10O LU dan 82O BT – 95O BT dan perairan selatan Jawa antara 15O LS – 10O LS
dan 96O BT – 122O BT dari tahun 1983-2004. Data ini mempunyai resolusi spasial 1O x 1O.
Dalam penelitian ini digunakan metode single moving averages seperti diperlihatkan pada
persamaan 1. Selanjutnya dihitung regresi linier untuk menentukan terjadinya tren kenaikan
atau tren penurunan suhu permukaan laut dalam rentang waktu tersebut.
Dimana :
SMA : Single Moving Averages
Pm : data periode m
N : periode waktu moving averages
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi suhu permukaan laut rata-rata bulanan dan rata-rata musiman di perairan
Samudera Pasifik bagian barat, perairan Laut China Selatan, perairan Samudera Hindia
bagian timur dan perairan selatan Jawa dalam rentang waktu tahun 1983-2004 diperlihatkan
pada Gambar 2 dan Gambar 3 Secara umum, keempat perairan tersebut mempunyai variasi
bulanan dan musiman suhu permukaan laut yang berbeda-beda. Kondisi seperti ini
Gambar 1. Anomali temperatur global dari tahun 1850-2006 (Sumber: IPCC, 2007)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
97
menyebabkan keempat perairan tersebut mempunyai dinamika dan karakteristik yang
berbeda-beda juga.
Variasi rata-rata bulanan suhu permukaan di Samudera Pasifik bagian barat dan
Samudera Hindia bagian timur relatif kecil yaitu antara 28 OC – 29,5 OC, sebaliknya variasi
rata-rata bulanan di Laut China Selatan dan perairan selatan Jawa relatif besar yaitu antara 26 OC – 29 OC. Dalam variasi musiman terdapat perbedaan antara Laut China Selatan dengan
perairan selatan Jawa. Di Laut China Selatan terdapat tiga musim dengan suhu permukaan
tinggi yaitu musim peralihan pertama, musim peralihan kedua dan musim timur serta satu
musim dengan suhu permukaan rendah yaitu musim barat. Sementara itu, di perairan selatan
Jawa terdapat dua musim dengan suhu permukaan tinggi yaitu musim barat dan musim
peralihan pertama serta dua musim dengan suhu permukaan rendah yaitu musim timur dan
musim peralihan kedua.
Di sebelah utara ekuator bagian barat Samudera Pasifik suhu permukaan maksimum
terjadi pada Juni yaitu sekitar 29,46 OC dan minimum terjadi pada bulan Februari yaitu
sekitar 27,69 OC. Di Laut China Selatan suhu permukaan maksimum terjadi pada Mei yaitu
sekitar 29,95 OC dan minimum terjadi pada bulan Januari yaitu sekitar 26,73 OC. Di bagian
timur Samudera Hindia suhu permukaan maksimum terjadi pada April yaitu sekitar 29,61 OC
dan minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu sekitar 28,35 OC. Di perairan selatan Jawa
suhu permukaan maksimum terjadi pada April yaitu sekitar 28,96 OC dan minimum terjadi
pada bulan Agustus yaitu sekitar 26,34 OC.
a)
c) d)
b)
Gambar 2. Variasi bulanan suhu permukaan laut, a) Samudera Pasifik Barat, b) Laut China Selatan, c) Samudera Hindia timur, d) perairan selatan Jawa
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
98
Dari hasil pengolahan data dalam rentang waktu tahun 1983-2004 diketahui bahwa
suhu permukaan di perairan Samudera Pasifik bagian barat, perairan Laut China Selatan,
perairan Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa mengalami tren kenaikan
dengan nilai yang berbeda-beda seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Tren kenaikan terbesar
terjadi di Samudera Pasifik bagian barat yaitu sebesar 0,021 OC pertahun dan terendah terjadi
di perairan selatan Jawa yaitu sebesar 0,008 OC.
Berdasarkan hasil pengolahan data suhu permukaan dalam rentang waktu tahun 1983-
2004 menunjukkan bahwa suhu permukaan di perairan Samudera Pasifik bagian barat,
Gambar 3. Variasi musiman suhu permukaan laut
a) b)
c) d)
Gambar 4. Tren kenaikan suhu permukaan laut, a) Samudera Pasifik Barat, b) Laut China Selatan, c) Samudera Hindia timur dan d) perairan selatan Jawa
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
99
perairan Laut China Selatan, perairan Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan
Jawa mempunyai pola variasi bulanan dan musiman yang berbeda-beda. Variasi bulanan dan
musiman di perairan Samudera Pasifik bagian barat dan perairan Samudera Hindia bagian
timur relatif kecil, sedangkan di perairan Laut China Selatan dan perairan selatan Jawa relatif
besar. Variasi bulanan dan musiman di perairan Samudera Pasifik bagian barat dan perairan
Samudera Hindia bagian timur relatif kecil berkaitan dengan dinamika arus permukaan di
kedua samudera tersebut.
Di Samudera Pasifik tropis terdapat arus ekuator utara yang sepanjang tahun bergerak
dari timur ke barat akibat tekanan dari angin pasat timur laut. Massa air permukaan yang
hangat akan didorong ke arah barat secara terus menerus sehingga massa air di bagian barat
Samudera Pasifik mempunyai variasi suhu yang kecil. Di Samudera Hindia tropis terdapat
arus balik ekuator yang sepanjang tahun bergerak dari barat ke timur. Massa air permukaan
yang hangat akan didorong ke arah timur secara terus menerus sehingga massa air di bagian
timur Samudera Hindia mempunyai variasi suhu yang kecil.
Sementara itu, variasi bulanan dan musiman yang relatif besar di Laut China Selatan
dan terutama di perairan selatan Jawa berkaitan dengan pergerakan posisi matahari dan asal
massa air permukaan. Pada saat musim barat posisi matahari berada di selatan ekuator
sehingga massa air permukaan di perairan selatan Jawa mendapat radiasi yang maksimal
sehingga suhu permukaan tinggi. Sebaliknya, pada saat musim timur posisi matahari berada
di utara ekuator sehingga massa air permukaan di perairan selatan Jawa mendapat radiasi
yang minimal sehingga suhu permukaan rendah. Suhu permukaan yang relatif rendah juga
diperkuat oleh upwelling dan massa air dari daerah lintang tinggi yang relatif lebih dingin.
Sementara itu, suhu permukaan di Laut China Selatan juga dipengaruhi posisi matahari serta
massa air yang berasal dari perairan dalam Indonesia dan Samudera Pasifik barat.
5. KESIMPULAN
Dari hasil analisis skala waktu bulanan dan musiman dapat disimpulkan bahwa ke-
empat wilayah tersbut mempunyai pola sebaran suhu permukaan laut yang berbeda-beda.
Selain dipengaruhi oleh posisi matahari, pola sebaran suhu permukaan laut di Laut China
Selatan dan selatan Jawa juga dipengaruhi oleh sistem monsun Asia dan monsun Australia
sehingga variasi bulanan dan musiman suhu permukaan di Laut China Selatan dan di perairan
selatan Jawa cukup besar. Rata-rata suhu permukaan laut paling tinggi di bagian barat
Samudera Pasifik dan paling rendah terdapat di perairan selatan Jawa. Perubahan iklim
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
100
mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut. Tren kenaikan paling besar terjadi
Samudera Pasifik bagian barat dan paling kecil terjadi di perairan selatan Jawa.
DAFTAR RUJUKAN
Buchdahl, J., Twigg, R., dan Cresswel, L., Global Warming “ Fact Sheet Series for Key Stage
2 & 3”, Atmosphere, Climate & Environment Information Programme, Manchester,
United of Kingdom, 2002.
Canadell, J,P., Ciais, P., Cox, P., dan Heimann, M., Quantifying, Unerstanding and Managing
The Carbon Cycle In The Next Decades, Kluwer Academic Publishers, 2004.
Meiviana, A., Sulistiowati, D.R., Soejachmoen, M.H., Bumi Makin Panas “Ancaman
Perubahan Iklim Di Indonesia”, Kementerian Lingkungan Hidup, JICA dan Pelangi,
2004.
Prawirowardoyo, S., Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, 1996.
Santoso, H dan Forner, C., Climate Change Projections for Indonesia, Southeast Asia Kick-
off Meeting on The Project Tropical Forests and Climate Change Adaptation, Bogor,
2006.
Susandi, A., Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia,
Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, ITB, 2006.
Susandi, A., Herlianti, I., Tamamadin, M., Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian
Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin, Program Studi Meteorologi, ITB, 2008.
Teller, E., Wood, L., dan Hyde, R., Global Warming and Ice Ages : Prospects for Physics-
Based Modulation of Global Change, The 22nd International Seminar on Planetary,
Emergencies, Italy, 1997.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
101
ANALISIS PROFIL OZON MIXING RATIO DAN SUHU DI SUMATERA BERBASIS DATA MLS DAN INSITU
Ninong Komala, Novita Ambarsari, dan Dian Yudha Risdianto
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN [email protected]
Abstract
Research analysis of ozone mixing ratio profiles and the temperature in Sumatra is an activity to support "Space Based Observation" research. This research has the objective to investigate the characteristics of the ozone mixing ratio profiles and the temperature in Sumatra as well as its association with the rise in surface temperature and its comparison with in-situ results profiles of ozone mixing ratio and temperature. Research carried out by performing a data inventory of ozone mixing ratio profiles and temperature for Sumatra from Microwave Limb Sounders ( MLS ) data on the Aura satellite, then analyzing the pattern of annual, seasonal and perform statistical analyzes the relationship between ozone mixing ratio with temperature at some height and compare it with in-situ result. In this study ozone mixing ratio and temperature profiles based on MLS data is compared with the results of ozone mixing ratio and temperature of Kototabang by using ozonesonde. In this study we have been obtained characteristics of ozone mixing ratio profiles and temperature in Sumatra based on MLS data, also gained influence of ozone mixing ratio to temperature in Sumatra from MLS with in-situ results of Kototabang at some height. The linkage between ozone mixing ratio and temperature with the highest correlation is obtained at a height of 100 hPa with a correlation coefficient of 0.77 and at a height of 1 hPa with a correlation coefficient of 0.98 . Keywords: Ozone, temperature, MLS, Sumatera Island
Abstrak
Penelitian analisis profil ozon mixing ratio dan suhu di Pulau Sumatera merupakan kegiatan yang dilakukan dalam menunjang penelitian “Space Based Observation”. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui karakteristik profil ozon mixing ratio dan suhu di Pulau Sumatera serta keterkaitannya dengan kenaikan suhu permukaan serta perbandingannya dengan hasil penelitian profil ozon mixing ratio dan suhu secara insitu. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan inventori data profil ozon mixing ratio dan suhu untuk wilayah Sumatera dari data Microwave Limb Sounders (MLS) pada satelit AURA, kemudian menganalisis pola tahunan, musiman serta melakukan analisis statistik keterkaitan antara ozon mixing ratio dengan suhu pada beberapa ketinggian dan membandingkannya dengan hasil penelitian insitu. Dalam penelitian ini profil ozon mixing ratio dan suhu berbasis data MLS dibandingkan dengan hasil penelitian ozon mixing ratio dan suhu di Kototabang dengan menggunakan ozonesonde. Dari penelitian ini diperoleh karakteristik profil ozon mixing ratio dan suhu di Sumatera berbasis data MLS, juga diperoleh pengaruh ozon mixing ratio terhadap suhu berupa keterkaitan ozon mixing ratio dan suhu di Sumatera dari MLS dengan hasil insitu Kototabang pada beberapa ketinggian. Keterkaitan antara ozon mixing ratio dan suhu dengan korelasi tertinggi diperoleh pada ketinggian 100 hPa dengan koefisien korelasi 0,77 dan pada ketinggian 1 hPa dengan koefisien korelasi 0,98. Kata kunci : Ozon, suhu, MLS, Pulau Sumatera
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
102
1. PENDAHULUAN
Adanya keterbatasan data hasil pengukuran insitu, maka data satelit mengenai
komposisi atmosfer berperanan penting untuk menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan
untuk penelitian. Data hasil pengukuran profil vertikal komponen kimia atmosfer secara
global (Ozon, HCl, ClO, HOCl, BrO, dll) dan suhu atmosfer yang diperoleh dari
Microwavewave Limb Sounder (MLS) dapat membantu kebutuhan data dengan cakupan yang
lebih luas dan dapat memenuhi kebutuhan peneliti. Data tersebut dapat menginformasikan
kondisi ozon suhu di Sumatera serta keterkaitannya dengan hasil penelitian insitu.
Ozon merupakan salah satu komponen atmosfer yang berperan sangat penting. Ozon
di troposfer berperan sebagai oksidator dalam proses fotokimia yang mengoksidasi senyawa-
senyawa kimia yang diemisikan oleh permukaan bumi. Ozon di stratosfer menyerap sinar
ultraviolet dan sinar tampak dari matahari sehingga menghangatkan atmosfer bagian tengah
(stratosfer) dimana ozon terkonsentrasi paling besar. Ozon di stratosfer juga melindungi bumi
dari bahaya sinar ultraviolet B yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia.
Oleh karena itu, profil vertikal ozon mixing ratio menjadi sangat penting untuk dipelajari
[Brasseur, et.al, 2001].
Pulau Sumatera terletak pada koordinat antara 95 BT - 105 BT dan 6 LU - 6 LS.
Secara geografis Pulau Sumatera terletak di bagian Barat gugusan kepulauan Indonesia yang
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah Utara, di Selatan dengan Selat Sunda,
Samudera Hindia di sebelah Barat dan di Timur dengan Selat Malaka dan Selat Karimata.
Luas wilayah Pulau Sumatera adalah 443.065,8 km2 yang terbagi menjadi 10 propinsi yaitu
Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.
Menurut Aldrian dan Susanto (2003) terdapat dua karakteristik iklim di Pulau
Sumatera. Sumatera Bagian Selatan memiliki curah hujan monsunal atau satu puncak musim
hujan yang terjadi di bulan Desember, Januari, dan Februari seperti halnya di Pulau Jawa.
Sementara Sumatera bagian tengah serta Utara memiliki curah hujan dengan pola ekuatorial
yaitu tipe curah hujan berbentuk bimodial (dua puncak hujan) yang terjadi pada sekitar bulan
Maret dan Oktober (saat terjadi equinoks matahari). Whitten, et.al (2000) menyatakan bahwa
iklim Sumatera dicirikan dengan hujan yang berlimpah dan terdistribusi merata sepanjang
tahun dengan perbedaan yang tidak mencolok antara musim kemarau dengan musim
penghujan dibandingkan dengan Pulau Jawa dan Indonesia bagian Timur. Suhu di Pulau
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
103
Sumatera bervariasi namun fluktuasi tahunannya sangat kecil. Perbedaan suhu lebih
dipengaruhi oleh ketinggian.
Suhu memiliki peranan penting dalam sains atmosfer. Suhu merupakan kunci utama
dalam kesetimbangan radiatif di atmosfer. Suhu pada tekanan tertentu menentukan kerapatan
dan dinamika di seluruh skala, suhu juga menentukan kecepatan reaksi kimia dan proses
transfer radiatif di atmosfer [Schwartz, 2010 dalam Ambarsari dan Komala, 2010]. Profil
suhu vertikal di atmosfer bumi secara global berkaitan dengan radiasi, konveksi, dan proses
pemanasan dinamika antara permukaan bumi dengan sistem atmosfer [Ramaswamy, et.al,
2006 dalam Ambarsari dan Komala, 2010].
Nilai maksimum profil vertikal suhu ini berkaitan dengan adanya tiga ‘hot spot” yang
membentuk profil maksimum suhu, yaitu di termosfer, stratopause, dan troposfer
[http://www-paoc.mit.edu/labweb/notes/chap3.pdf, 2009 dalam Ambarsari dan Komala,
2010]. Suhu maksimum di termosfer disebabkan radiasi UV dengan panjang gelombang
pendek diserap oleh molekul oksigen yang kemudian dipancarkan kembali sebagai radiasi
infra merah yang memanaskan wilayah ini [Ramaswamy et.al, 2006].
Stratopause menjadi wilayah lain di atmosfer yang suhunya tinggi. Hal ini
disebabkan oleh adanya molekul ozon yang bersifat gas rumah kaca sehingga menyerap
radiasi UV dengan panjang gelombang menengah yang kemudian dipancarkan sebagai
radiasi infra merah. Hal yang sama terjadi di troposfer. Adanya gas rumah kaca terutama uap
air dengan jumlah yang cukup besar di troposfer yang juga memancarkan gelombang IR
menjadikan wilayah troposfer lebih tinggi suhunya
[http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm, 2010 dalam Ambarsari dan Komala,
2010].
Menurunnya suhu di tropopause atau sering disebut dengan istilah lapse rate
disebabkan berkurangnya densitas gas-gas di lapisan ini seiring dengan meningkatnya
ketinggian atau berkurangnya tekanan sehingga lapisan udara menjadi lebih tipis dan suhu
pun menurun. Begitu juga dengan lapisan mesosfer. Semakin berkurangnya molekul oksigen,
ozon dan komponen lain yang dapat memancarkan energi panas di lapisan ini menjadikan
suhu di mesosfer menurun [http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm, 2010
dalam Ambarsari dan Komala, 2010].
Penelitian ini bertujuan pertama untuk mengetahui karakteristik profil ozon mixing
ratio dan suhu di Pulau Sumatera didasarkan pada data hasil observasi instrumen MLS satelit
AURA. Kedua, menganalisis keterkaitan ozon mixing ratio dengan kenaikan suhu
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
104
permukaan dan membandingkan hasil penelitian profil ozon mixing ratio dengan suhu hasil
penelitian insitu.
3. DATA DAN METODE
Data profil ozon mixing ratio dan suhu dari tahun 2006-2010 hasil observasi sensor
MLS (Microwave Limb Sounder) diunduh dari website http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-
bin/G3/gui.cgi?instance_id=mls. Data yang diperoleh merupakan data harian. Data diolah
menjadi variasi bulanan, musiman, dan perbandingan profil ozon mixing ratio , dan suhu di
Sumatera untuk diketahui karakteristiknya.
Microwave Limb Sounder (MLS) merupakan bagian dari Earth Observing System (EOS)
juga merupakan satu dari empat instrument yang ditempatkan pada satelit AURA milik
NASA.
Inventori dilakukan untuk data profil ozon mixing ratio dan suhu dari Microwave
Limb Sounders (MLS) pada satelit AURA untuk wilayah Pulau Sumatera periode 2006
sampai dengan 2010. Kemudian dilakukan pengolahan data profil ozon mixing ratio dan suhu
untuk mengetahui pola konsentrasi di tiap level ketinggian di atmosfer agar dapat diperoleh
variasi berdasarkan ketinggian (tekanan atmosfer) dan profil vertikal suhu atmosfer.
Selanjutnya diilakukan analisis korelasi antara suhu dengan ozon mixing ratio di
Sumatera pada beberapa level ketinggian. untuk memperoleh koefisien korelasi yang akan
menjelaskan pengaruh ozon mixing ratio terhadap kenaikan suhu.
Data insitu berupa profil ozon mixing ratio dan suhu diperoleh dari hasil peluncuran
ozonesonde di Kototabang tahun 2007 dan 2008 pada bulan Januari.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil ozon mixing ratio dan suhu wilayah Sumatera dari MLS
Berdasarkan data time series profil ozon mixing ratio terhadap ketinggian untuk
Sumatera dari tahun 2006 sampai 2010 memperlihatkan distribusi ozon mixing ratio yang
dominan pada tekanan 10 hpa dengan konsentrasi mencapai 10 ppm (Gambar 1a).
Konsentrasi ozon di stratosfer terlihat sangat tinggi pada bulan-bulan Januari hingga Mei
kemudian berkurang pada bulan Juni-Juli dan meningkat kembali pada bulan Agustus hingga
Desember. Puncak profil ozon mixing ratio terjadi pada tekanan 10 hPa dengan range
konsentrasi 9 hingga 10 ppmv. Rata-rata bulanan konsentrasi ozon menunjukkan nilai
maksimum saat bulan Maret 2006-2010 pada tekanan 10 hPa dengan konsentrasi sebesar
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
105
10,27 ppm sedangkan konsentrasi ozon rata-rata bulanan minimum saat bulan Juli 2006-2010
pada tekanan 215 hPa dengan konsentrasi hanya 0,0097 ppmv.
Variasi musiman profil ozon Sumatera (Gambar 1b) menunjukkan puncak ozon pada
tekanan 10 hPa maksimum pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) 2006-2010 dengan
konsentrasi 10,05 ppm. Ozon stratosfer paling minimum terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus
(JJA) 2006-2010 dengan konsentrasi 9,55 ppm saat bulan JJA/kemarau.
Gambar 1. Profil bulanan ozon mixing ratio pulau Sumatera rata-rata 2006 sampai dengan
2010 (a) yang memperlihatkan distribusi ozon yang dominan pada tekanan 10 hpa dengan
konsentrasi mencapai 10 ppm dan profil musimannya (b).
Gambar 2. Profil bulanan suhu pulau Sumatera rata-rata 2006 sampai dengan 2010 (a) yang
memperlihatkan distribusi yang dominan pada tekanan 1 hpa dengan suhu mencapai 270 K
dan pada tekanan 100 hPa dengan suhu 191 K dan profil musimannya (b).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
106
Time series profil suhu terhadap ketinggian untuk Sumatera dari data MLS tahun
2006 sampai 2010 memperlihatkan distribusi suhu yang dominan pada tekanan 1 hpa dengan
suhu mencapai 270 K dan pada tekanan 100 hPa dengan suhu 191 K (Gambar 2a). Rata-rata
bulanan suhu menunjukkan nilai maksimum saat bulan Februari 2006-2010 pada tekanan 1
hPa dengan suhu 273,4 K, sedangkan suhu rata-rata bulanan minimum pada bulan April
2006-2010 pada tekanan 100 hPa dengan suhu 191 K.
Variasi musiman profil suhu Sumatera (Gambar 2b) menunjukkan puncak suhu pada
tekanan 10 hPa maksimum pada bulan Maret-April-Mei (MAM) 2006-2010 dengan suhu
231,53 K. Puncak suhu minimum terjadi pada bulan Maret-April-Mei (MAM) 2006-2010
dengan suhu 192,04 K pada 100 hPa.
Keterkaitan ozon dan suhu Sumatera dari data MLS
Keterkaitan ozon dan suhu di Sumatera pada beberapa ketinggian persamaan dan
koefisisen korelasinya ditampilkan pada Tabel 1. Keterkaitan profil ozon mixing ratio dan
suhu Sumatera dari data MLS dilakukan dengan menganalisis keterkaitan ozon mixing ratio
dan suhu pada beberapa ketinggian (tekanan) yaitu pada tekanan 1000 hPa, 681 hPa, 464 hPa,
215 hPa, 100 hpa, 10 hpa dan 1 hPa.
Tabel 1. keterkaitan ozon dan t pada beberapa ketinggian
Gambar 3. Keterkaitan ozon dan suhu di Sumatera dari data MLS, pada ketinggian 100 hPa
dan 1 hPa.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
107
Keterkaitan ozon dan suhu Sumatera dari MLS pada ketinggian 100 hPa mempunyai
persamaan y= 37.211 x +190,24 dengan koefisien determinasi R2 = 0.5993 dan koefisien
korelasi 0.77. Pada ketinggian 1 hPa persamaan yang diperoleh adalah y= 274.436 x + 352.8
dengan koefisien determinasi R2 = 0.9593 dan mempunyai koefisien korelasi negatif yaitu -
0.98.
Data insitu profil ozon mixing ratio dan suhu
Data insitu yang digunakan adalah data profil ozon dan suhu Kototabang hasil
pengukuran pada bulan Januari 2007 dan Januari 2008. Data ini digunakan untuk komparasi
data insitu dengan data profil ozon dan suhu bulan Januari dari MLS untuk wilayah Sumatera.
Gambar 4. Data insitu profil ozon (a) dan suhu (b) Kototabang pada Januari 2007 dan profil
ozon (c) dan suhu (d) pada Januari 2008.
Komparasi profil ozon dan suhu
Profil ozon mixing ratio dan suhu Kototabang bulan Januari diverifikasi dengan profil
bulan Januari ozon mixing ratio dan suhu Sumatera dari MLS rata-rata 2006-2010.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
108
Gambar 5. Profil ozon mixing ratio dari MLS untuk Sumatera pada bulan Januari dan
Kototabang pada bulan Januari 2007 dan 2008 (a). Profil suhu dari MLS untuk Sumatera
pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari 2007 dan 2008 (b).
Pada Gambar 5a, ditampilkan profil ozon mixing ratio dari MLS untuk Sumatera
pada bulan Januari rata-rata tahun 2006 sampai dengan 2010 dan profil ozon mixing ratio dari
hasil pengukuran insitu di Kototabang rata-rata bulan Januari 2007 dan 2008. Karakter yang
sama diperoleh pada level 1000 hPa. Peak ozon yang diperoleh dari data MLS dan dari insitu
sama-sama dicapai pada ketinggian 10 hPa tetapi dengan nilai yang berbeda. Peak ozon
untuk Sumatera dari MLS pada bulan Januari adalah 9.7 ppm, sedangkan peak ozon untuk
Kototabang Januari 2007 diperoleh 10.38 ppm, dan Januari 2008 diperoleh 9.89 ppm.
Pada Gambar 5b, ditampilkan profil suhu dari MLS untuk Sumatera pada bulan
Januari rata-rata tahun 2006 sampai dengan 2010 dan profil suhu dari hasil pengukuran insitu
di Kototabang rata-rata bulan Januari 2007 dan 2008. Suhu minimum yang diperoleh dari
data MLS dan dari insitu sama-sama dicapai pada ketinggian 100 hPa tetapi dengan nilai
yang berbeda. Suhu minimum untuk Sumatera dari MLS pada bulan Januari adalah 226,45 K
sedangkan suhu minimum untuk Kototabang Januari 2007 adalah 226,11 K dan dan Januari
2008 diperoleh 224,24 K. Ketinggian hasil pengukuran insitu dengan menggunakan balun
hanya bisa mencapai ketinggian ~ 6 hPa, untuk level yang lebih tinggi dari 6 hPa tidak bisa
dibandingkan.
Verifikasi profil ozon dan suhu Kototabang dengan profil dari data MLS
Verifikasi profil ozon mixing ratio dan suhu dari penelitian insitu Kototabang bulan
Januari dengan profil dari data MLS Sumatera bulan Januari dilakukan dengan menganalisis
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
109
keterkaitan ozon dan suhu pada tekanan 1000 hPa, 681 hPa, 464 hPa, 215 hPa, 100 hpa dan
10 hpa.
Hasil yang diperoleh menujukkan keterkaitan yang kuat antara hasil dari data dari
MLS dengan dari data insitu.
Gambar 6. Verifikasi ozon dari MLS pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari
2007 (a) dan Januari 2008 (b).
Verifikasi ozon mixing ratio dari MLS pada bulan Januari dengan ozon mixing ratio
dari hasil penelitian insitu Januari 2007 ditampilkan pada Gambar 6a. Berdasarkan Gambar
6a, diperoleh persamaan y = 1,068 x + 0,034 dengan koefisien determinasi R2 = 1 dan
koefisien korelasi 0,9999. Sedangkan verifikasi ozon mixing ratio dari MLS pada bulan
Januari dengan ozon mixing ratio dari hasil penelitian insitu Januari 2008 ditampilkan pada
Gambar 6b, diperoleh persamaan y = 1,0185 x -0,0002 dengan koefisien determinasi R2 = 1
dan koefisien korelasi 0,9999.
Gambar 7. Verifikasi suhu dari MLS pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari
2007 (a) dan Januari 2008 (b).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
110
Verifikasi suhu dari MLS pada bulan Januari dengan suhu dari hasil penelitian insitu
Kototabang Januari 2007 ditampilkan pada Gambar 7a. Persamaan yang diperoleh adalah y
= 0.9009 x + 22.737 dengan koefisien determinasi R2 = 0.9950 dan koefisien korelasi 0.9950.
Sedangkan verifikasi suhu dari MLS pada bulan Januari dengan suhu dari hasil penelitian
insitu Januari 2008 ditampilkan pada Gambar 7b, dengan persamaan regresi y = 0,9166 x +
16,936 dan koefisien determinasi R2 = 0,9948 serta koefisien korelasi 0,9999.
5. KESIMPULAN
Konsentrasi ozon secara umum di stratosfer menunjukkan range konsentrasi antara 8
ppm -11 ppm. Profil musiman suhu di Sumatera menunjukkan pola yang hampir sama.
Maksimum di stratopause berkisar 260 K hingga 270 K sedangkan di troposfer sekitar 250 K.
Keterkaitan ozon dan suhu Sumatera dari MLS pada ketinggian 100 hPa mempunyai
koefisien korelasi 0.77. Pada ketinggian 1 hPa mempunyai koefisien korelasi negatif yaitu -
0.98 yang berarti konsentrasi ozon menurun dengan meningkatnya suhu pada tekanan
tersebut yang mengindikasikan pengaruh suhu terhadap reaksi penguraian ozon. Verifikasi
ozon mixing ratio dan suhu dari MLS rata-rata bulan Januari dengan ozon mixing ratio dan
suhu dari hasil penelitian insitu Kototabang Januari 2007 dan 2008 memberikan hasil yang
baik dengan nilai koefisien korelasi 0,99 untuk ozon mixing ratio dan suhu.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E dan Susanto R. D., Indetification of Three Dominant Rainfall Regions within
Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature, Int.J.Climatology
23:1435-1452, 2003.
Ambarsari, N dan Komala, N,. Profil Vertikal Ozon, ClO, dan Temperatur di Bandung dan
Watukosek Berbasis Observasi Sensor MLS Satelit AURA. Prosiding Seminar Nasional
Sains Atmosfer I, 16 Juni 2010, Pusfatsatklim LAPAN Bandung, 2010.
Brasseur Guy P.., Muller Jean-Francois., Tie XueXi., dan Horowitz Larry., Tropospheric
Ozone and Climate: Past, Present, and Future, Present and Future of Modeling Global
Environmental Change: Toward Integrated Modeling, TERRAPUB. Page 63-75, 2001.
Chapter 3. The Vertikal structure of the atmosphere.
http://wwwpaoc.mit.edu/labweb/notes/chap3.pdf
Layers of the Atmosphere, http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm
MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php, tanggal akses 28 Februari 2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
111
NASA., Educational Resources, The Ozone layer, at
http://www.nasa.gov/About/Education/Ozone/, 2001.
V. Ramaswamy et.al., Chapter 1. Temperatur Trends in The Lower Atmosphere, The US.
Climate Change Science Program, 2006.
Waters J.W, Froideuvaux L, Harwood R.S., The Earth Observing System Microwave Limb
Sounder (EOS MLS) on The Aura Satellite, IEEE Transactions on Geoscience and
Remote Sensing, Vol. 44, No. 5, 2006.
Whitten, T., Sengli J.D., Jazanul A., Nazaruddin H., The Ecology of Sumatera. Singapura.
Periplus Edition Ltd, 2000.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
112
VARIABILITAS METIL KLORIDA (CH3Cl) DI ATMOSFER INDONESIA BERBASIS PENGUKURAN SATELIT MLS-
AURA
Novita Ambarsari, Ninong Komala, Dyah Aries Tanti, dan Emanuel Adetya Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
Email : [email protected]
Abstract Research on the variability of methyl chloride (CH3Cl) in the atmosphere Indonesia
based on satellite measurements with instruments AURA Microwave Limb Sounder (MLS) has been done. Methyl chloride (CH3Cl) are widely used as a refrigerant is chlorine -containing organic compounds that contribute to the most dominant 16% of the total amount of chlorine in the troposphere that is estimated to affect atmospheric concentrations of ozone in Indonesia. From the results of this research note that the time series average concentration in CH3Cl (methyl chloride) in Indonesia showed a maximum concentration of CH3Cl found at altitudes between 12 and 15 km with a monthly variation showed high concentration likely in the months of January to June with a value of about 0,6 to 0,7 ppbv. Whereas CH3Cl showed low concentrations in June and September with a range of about 0,5 to 0,6 ppbv and increased again in October to December. Seasonal variation of CH3Cl shows the maximum profile in DJF 2005-2010 with concentrations reaching 0,7 ppbv and SON minimum in 2005-2010 with concentrations less than 0,6 ppbv. Another result was a dominant presence in the troposphere CH3Cl did not significantly influence the concentration of ozone in the atmosphere Indonesia. Keywords: Methyl chloride, MLS, AURA
Abstrak Penelitian mengenai variabilitas metil klorida (CH3Cl) di atmosfer Indonesia
berdasarkan hasil pengukuran satelit AURA dengan instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) telah dilakukan. Metil klorida (CH3Cl) yang banyak digunakan sebagai pendingin merupakan senyawa organik yang mengandung klorin paling dominan yang berkontribusi sebesar 16 % terhadap jumlah klorin total di troposfer sehingga diperkirakan mempengaruhi konsentrasi ozon di atmosfer Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa time series rata-rata bulan konsentrasi CH3Cl (metil klorida) di Indonesia menunjukkan konsentrasi CH3Cl maksimum terdapat pada ketinggian antara 12 hingga 15 km dengan variasi bulanan menunjukkan konsentrasi cenderung tinggi pada bulan-bulan Januari hingga Juni dengan nilai sekitar 0,6 hingga 0,7 ppbv. Sedangkan CH3Cl menunjukkan konsentrasi yang rendah pada bulan Juni hingga September dengan rentang sekitar 0,5 hingga 0,6 ppbv dan kembali meningkat pada bulan Oktober hingga Desember. Variasi musiman CH3Cl menunjukkan profil maksimum pada bulan DJF 2005-2010 dengan konsentrasi mencapai 0,7 ppbv dan minimum pada bulan SON tahun 2005-2010 dengan konsentrasi kurang dari 0,6 ppbv. Hasil lainnya adalah keberadaan CH3Cl yang dominan di troposfer ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsentrasi ozon di atmosfer Indonesia. Kata Kunci : Metil klorida, MLS, AURA
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
113
1. PENDAHULUAN
Penipisan 25% ozon stratosfer diketahui disebabkan oleh berbagai reaksi kimia
katalitik yang melibatkan atom Cl dan Br yang dilepaskan dari metil klorida (CH3Cl) dan
metil bromida (CH3Br) [Redeker and Cicerone, 2004]. Metil klorida (CH3Cl) merupakan
senyawa organik yang mengandung klorin paling dominan yang berkontribusi sebesar 16 %
terhadap jumlah klorin total di troposfer. Metil klorida memiliki sumber alam dan proses
penguraian yang juga secara alami. Pembakaran bahan bakar minyak, lautan, dan aktivitas
antropogenik menjadi sumber metil klorida di atmosfer. Metil klorida terbentuk dari hasil
reaksi fotokimia material organik terlarut pada air dengan kadar garam yang tinggi/ air laut.
Penguraian metil klorida di troposfer yang utama melalui reaksi oksidasi dengan radikal OH,
transport ke stratosfer, bereaksi dengan radikal klorin, dan diserap oleh tanah [UNEP, 2010].
Pengetahuan yang masih terbatas mengenai variabilitas metil klorida (CH3Cl) di
atmosfer Indonesia menjadi latar belakang utama dari penelitian ini. Profil vertikal metil
klorida di atmosfer dapat menunjukkan distribusi konsentrasi CH3Cl untuk setiap satuan
ketinggian atmosfer (km atau hPa). Metil klorida juga berperan sebagai oksidator di troposfer
sehingga pemahaman mengenai perilaku metil klorida di atmosfer tidak hanya akan
meningkatkan pengetahuan mengenai reaksi fotokimia tetapi juga membantu menjelaskan
mengenai proses transport di atmosfer [Kaspers et.all, 2004]. Oleh karena itu tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan variabilitas dan profil vertikal CH3Cl dalam variasi
bulanan, musiman, tahunan, trend konsentrasi CH3Cl serta kaitannya dengan konsentrasi
ozon di stratosfer Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Metil klorida (CH3Cl) merupakan sumber klorin terbesar di stratosfer dan senyawa
halokarbon dengan jumlah terbanyak di troposfer dengan rasio campuran mencapai 550 part
pertriliun (ppt). Metil klorida merupakan reservoir utama gas klorin di atmosfer yang
menghasilkan klorin hingga 5 teragram (Tg) [Khalil dan Rasmusen, 1999]. Gas-gas yang
mengandung klorin berperan dalam proses katalisis penguraian ozon di stratosfer, walaupun
ada di atmosfer dalam konsentrasi yang sangat kecil. Kloroforokarbon buatan manusia dan
senyawa yang mirip lainnya menyebabkan penipisan ozon di kutub Selatan akibat
penambahan jumlah klorin terhadap jumlah klorin alami yang ada di atmosfer. Telah banyak
pengetahuan mengenai kloroflorokarbon dari berbagai penelitian di dunia, tetapi pengetahuan
mengenai metil klorida di atmosfer relative masih sedikit [Khalil dan Rasmusen, 1999].
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
114
Sumber utama metil klorida di troposfer adalah pembakaran biomassa, emisi dari laut,
emisi langsung dari vegetasi, dan emisi tidak langsung dari penguraian serasah daun. Serasah
daun adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di
hutan atau kebun. Halogen radikal yang ditemukan di atmosfer secara signifikan berasal dari
gas-gas metil halida yang diproduksi dari permukaan Bumi secara alami maupun
antropogenik [Williams et.al, 2007]. Waktu hidup metil klorida di atmosfer diperkirakan
sekitar 1,3 tahun [Aydin et.al, 2004]. Sekitar 285 Gg CH3Cl di troposfer mengalami transport
ke stratosfer dan terurai akibat reaksi fotodisosiasi dan oksidasi oleh OH. Walaupun laut
menjadi sumber emisi CH3Cl, tetapi laut juga menjadi objek sink untuk CH3Cl [Aydin et.al,
2004]. Metil klorida sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai objek penelitian untuk
mengetahui proses dinamika atmosfer pada skala yang luas [Santee et.all, 2013].
3. DATA DAN METODE
Data profil vertikal (rasio campuran) CH3Cl di atmosfer Indonesia yang digunakan
pada penelitian ini merupakan data hasil pengukuran instrumen Microwave Limb Sounder
(MLS) yang ditempatkan pada satelit AURA yang merupakan bagian Earth Observing
System (EOS) yang dilakukan oleh NASA Amerika. Prinsip pengukuran instrumen ini adalah
dengan mengukur emisi termal dari pita spektrum yang luas terpusat pada 118, 190, 240, 640
and 2250 GHz yang diukur sepanjang waktu (24 jam sehari) dengan 7 penerima gelombang
mikro. MLS mengukur profil vertikal ozon dan komponen atmosfer lainnya dengan lebih
akurat hingga ke lapisan stratosfer bawah. MLS/AURA memiliki resolusi vertikal mendekati
3 km di stratosfer dengan resolusi horisontal 200 km [http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-
mls.php, 2013].
MLS menyediakan data-data hasil pengukuran di siang hari dan malam hari secara
global untuk profil vertikal beberapa komponen kimia atmosfer (O3, HCl, ClO, HOCl, BrO,
OH, H2O, HO2, HNO3, N2O, CO, HCN, CH3CN, CH3Cl, vulkanik SO2), awan es, dan
temperatur atmosfer. MLS EOS AURA merupakan pengembangan dari UARS MLS dengan
resolusi spasial yang lebih baik dan cakupan yang lebih luas termasuk pengukuran profil
vertikal dan kemampuan untuk mendeteksi senyawa-senyawa kimia baru yang belum pernah
dideteksi oleh instrument-instrumen sebelumnya (OH, HO2, dan BrO) [Ahmad, et.al, 2006].
Data rasio campuran CH3Cl yang diperoleh merupakan data pengukuran harian dalam
format Hierarchical Data Format (HDF) yang diekstrak dan dirata-ratakan untuk seluruh
lintang dan bujur lokasi Indonesia (95 BT – 145 BT dan 6 LU – 11 LS) untuk didapatkan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
115
satu profil vertikal rata-rata CH3Cl di Indonesia. Rentang data yang digunakan yaitu dari
tahun 2005 hingga 2010. Data kemudian diolah menjadi variasi bulanan, musiman, tahunan,
diagram time series terhadap ketinggian, serta kaitannya terhadap profil vertikal ozon di
atmosfer.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi bulanan profil vertikal CH3Cl di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 1. Profil
vertikal CH3Cl mencapai maksimum pada tekanan 146,78 hPa atau pada ketinggian 13,6 km
di atas permukaan laut yaitu pada lapisan troposfer atas dengan konsentrasi antara 0,55
hingga 0,66 ppbv. Variasi rata-rata bulanan profil vertikal CH3Cl tahun 2005-2010, nilai
konsentrasi maksimum terjadi pada bulan Februari pada tekanan 146,78 hPa dengan
konsentrasi CH3Cl sebesar 0,66 ppbv.
Gambar 1. Profil Vertikal Rata-rata Bulanan CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010.
Karakteristik profil vertikal CH3Cl menunjukkan konsentrasi di troposfer sekitar 0,55
ppbv kemudian meningkat menjadi lebih dari 0,5 ppbv pada lapisan troposfer atas, kemudian
konsentrasinya terus menurun seiring dengan meningkatnya ketinggian dan mencapai
konsentrasi minimum pada tekanan lebih kecil dari 1 hpa atau di lapisan stratosfer atas. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Khalil dan Rasmusen bahwa
rasio campuran metil klorida terbanyak ada di troposfer atas dengan konsentrasi mencapai
550 pptv atau 0,55 ppbv [Khalil dan Rasmusen, 1999].
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
116
Variasi musiman CH3Cl (Gambar 2) menunjukkan bahwa pada puncak profil vertikal
CH3Cl pada tekanan 146,78 hPa pada bulan DJF 2005-2010 adalah konsentrasi tertinggi
hingga mencapai 0,66 ppbv dan minimum terjadi pada bulan JJA tahun 2005-2010 dengan
konsentrasi hanya kurang dari 0,582 ppbv. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya
tingkat konveksi pada musim hujan (Desember-Januari-Februari) yang menyebabkan emisi
CH3Cl dari permukaan dalam jumlah besar terbawa hingga ke troposfer atas dan stratosfer
bawah.
Gambar 2. Profil Vertikal Rata-rata Musiman (DJF = Desember-Januari-Februari,
MAM = Maret-April-Mei, JJA = Juni-Juli-Agustus, SON = September-Oktober-
Nopember) CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010.
Pada saat musim kemarau terjadi (Juni-Juli-Agustus) kekuatan konveksi melemah
sehingga hanya sedikit konsentrasi CH3Cl dari permukaan yang mengalami transport hingga
troposfer atas dan stratosfer bawah [Santee et.all, 2013]. CH3Cl dihasilkan di permukaan
tetapi dapat mengalami transport hingga ke lapisan atmosfer pertengahan yaitu toposfer dan
stratosfer melalui proses dinamika atmosfer yang cepat (konveksi) dan lambat (skala luas)
[Santee et.all, 2013].
Time series rata-rata bulan konsentrasi CH3Cl pada Gambar 3 menunjukkan
konsentrasi CH3Cl maksimum terdapat pada ketinggian antara 12 hingga 15 km dengan
variasi bulanan menunjukkan konsentrasi cenderung tinggi pada bulan-bulan Januari hingga
Juni dengan nilai sekitar 0,6 hingga 0,7 ppbv. CH3Cl menunjukkan konsentrasi yang
cenderung lebih rendah pada bulan Juni hingga September dengan rentang sekitar 0,5 hingga
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
117
0,6 ppbv. dan kembali meningkat pada bulan Oktober hingga Desember sesuai dengan pola
profil vertikal bulanan pada Gambar 3 sebelumnya.
Gambar 3. Time Series terhadap Ketinggian Pola Distribusi Vertikal Konsentrasi CH3Cl
Time series variasi bulanan CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010 pada tekanan 146,78
hPa ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat adanya pola yang sama seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3 bahwa konsentrasi CH3Cl tinggi pada bulan-bulan Desember-
Januari-Februari kemudian mengalami penurunan pada bulan Maret lalu meningkat kembali
pada bulan April-Mei. Pada bulan Juni mengalami penurunan hingga nilai minimum pada
bulan September dan kemudian meningkat kembali di bulan Oktober dan Nopember. Hal ini
diprediksi disebabkan emisi biogenik CH3Cl di bulan Juni hingga September menurun karena
terjadi puncak musim kemarau menyebabkan kondisi atmosfer yang sangat kering dengan
suhu yang lebih panas menjadi hambatan untuk tumbuhan bisa tumbuh dengan baik.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
118
Gambar 4. Variasi Bulanan CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010 pada tekanan 146,78
hPa (ketinggian = 13,6 km)
Variasi tahunan konsentrasi CH3Cl pada tekanan 146,78 hPa ditunjukkan pada
Gambar 5. Berdasarkan gambar terlihat adanya pola yang mirip setiap tahunnya yang
menunjukkan adanya variasi tahunan yang kuat pada konsentrasi CH3Cl di troposfer atas.
Gambar 5. Variasi Tahunan Konsentrasi CH3Cl Indonesia pada 146,78 hPa
Setiap tahunnya, konsentrasi CH3Cl mencapai puncak pada bulan-bulan Januari atau
Februari dan mencapai nilai terendah pada bulan-bulan Juli, Agustus, atau September.
Proses penguraian CH3Cl di troposfer atas dan stratosfer bawah lebih banyak
disebabkan oleh reaksi fotolisis molekul metil klorida dengan energi ultraviolet yang
mengakibatkan penguraian CH3Cl sebanyak 30-40 % dari jumlah total, juga reaksi dengan
molekul OH. CH3Cl sebagai penyumbang klorin terbesar di stratosfer, maka peningkatan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
119
konsentrasinya di stratosfer dipercaya berkontribusi terhadap penguraian molekul ozon di
stratosfer.
Profil vertikal CH3Cl dibandingkan dengan profil vertikal ozon ditampilkan pada
Gambar 6. Tampak pada gambar bahwa puncak konsentrasi CH3Cl terjadi pada tekanan
146,78 hPa sedangkan puncak konsentrasi ozon terjadi pada tekanan 10 hPa sehingga tidak
terdapat korelasi langsung antara CH3Cl dengan ozon.
Gambar 6. Perbandingan antara Profil Vertikal musiman CH3Cl Dengan Profil Vertikal
Ozon 2005-2010
Hal ini juga terlihat pada Gambar 7 yang menunjukkan grafik korelasi CH3Cl
terhadap ozon dihasilkan nilai R2 yang sangat kecil yaitu 0,202 yang menunjukkan tidak
adanya korelasi yang signifikan diantara kedua senyawa tersebut. Kemungkinan disebabkan
CH3Cl tidak bereaksi langsung menguraikan ozon, tetapi terurai terlebih dulu menjadi atom
klorin. Akan tetapi, perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaruh konsentrasi CH3Cl di
stratosfer terhadap jumlah total klorin di stratosfer dan korelasi total klorin yang dihasilkan
terhadap konsentrasi ozon stratosfer.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
120
Gambar 7. Korelasi Ozon dan CH3Cl pada tekanan 146,78 hPa
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa profil vertikal CH3Cl di atmosfer
Indonesia mengalami puncak konsentrasi pada tekanan 146,78 hPa atau ketinggian 13,6 km
dpl. Rentang konsentrasi CH3Cl di atmosfer berkisar antara 0,55 ppbv di troposfer hingga
mendekati 0,7 ppbv di stratosfer bawah kemudian terus menurun seiring dengan
meningkatnya ketinggian. Variasi bulanan menunjukkan konsentrasi CH3Cl tinggi pada
bulan-bulan Nopember hingga Februari dan minimum pada bulan-bulan Juni hingga
September. Variasi musiman menunjukkan konsentrasi CH3Cl maksimum pada musim hujan
(DJF) dan minimum pada musim kemarau (JJA). Variasi tahunan menunjukkan pola yang
mirip setiap tahunnya dengan puncak maksimum konsentrasi CH3Cl pada bulan Januari atau
Februari dan nilai terendah pada bulan Juli, Agustus, atau September. Konsentrasi CH3Cl
tidak berkorelasi langsung dengan konsentrasi ozon di stratosfer melainkan sebagai
kontributor utama penyumbang klorin di stratosfer yang berperan dalam reaksi katalitik
penguraian ozon.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V., Leptoukh, G. G., & Kempler, S.
J., Atmospheric composition data products from the EOS Aura MLS. Proc. Amer.
Meteorological Soc. Eighth Conf. on Atmospheric Chemistry,Atlanta, Georgia, 1-8,
2006.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
121
Aydin M., Saltzman E.S., De Bruyn W.J., Montzka S.A., Butler J.H., and Battle M.,
Atmospheric Variability of Methyl Chloride During the Last 300 Years from An
Antarctic Ice Core and Firn Air, Geophysical Research Letters, 31, 1-4, 2004.
Kaspers K.A., Van De Wal R.S.W., de Gouw J.A., Hofstede C.M., Van Den Broeke M.R.,
Reijmer C.H., Van Der Veen C., Neubert R.E., Meijer H.A.J., Brenninkmeijer C.A.M.,
Karlof L., and Winther J.G., Seasonal Cycles of Nonmethane Hydrocarbons and Methyl
Chloride as Derived from Firn Air from Dronning Maud Land, Antartica, Journal of
Geophysical Research, 109, 1-11, 2004.
Khalil M.A.K., and Rasmussen R.A., Atmospheric Methyl Chloride, Atmospheric
Environment., 33, 1305-1321, 1999.
MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php. tanggal akses 10 Oktober 2013
Redeker K.R., and Cicerone R.J, Environmental Controls Over Methyl Halide Emissions
from Rice Paddies, Global Biogechemical, 18, 1-20, 2004.
Santee M.L., Livesey N.J., Manney G.L., Lambert A., and Read W.G., Methyl Chloride from
the Aura Microwave Limb Sounder: First Global Climatology and Assessment of
Variability in the Upper Troposphere and Stratosphere, American Geophysical Union,
2013.
UNEP, ODS and Related Chemicals, Ozone Report UNEP, 2010.
Williams B.M., Aydin Murat., Tatum Cheryl., and Saltzman E.S., A 2000 Year Atmospheric
Hystory of Methyl Chloride from a South Pole Ice Core : Evidence for Climate-
Controlled Variability, Geophysical Research Letters, 34, 2007.
.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
122
AWAL MUSIM DI PULAU BESAR INDONESIA BERDASARKAN PARAMETER ATMOSFER CCAM
RESOLUSI 60 KM DAN 17 KM
Nurzaman Adikusumah, Ina Juaeni, Bambang Siswanto Pusat Sains Teknologi Atmosfer LAPAN
Abstract. Atmospheric model resolutions have a very complex relation with the result
parameters. Understanding of the higher-resolution models (small grid) can result in a more appropriate parameter to the observation is a positive initial perception because representation of mainland is more detailed in models, but the impact to the atmospheric parameters can be different. Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) in Indonesian territory resolution of 60 km with C48 and a resolution of 17 km with C160 has been executed a one-year simulation to determine the nature and initial studies major patterns of it’s climatology and to investigable the land on the model representation. Further studies will be carried out on start of the season on the results of the model to study of the season for major islands of Indonesia such as Java and Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Australian wind influence in Java and Bali looks pretty well illustrated by comparing the model wind patterns in July and January.
Keywords: CCAM, Beginning of the season, a large Indonesian island.
Abstrak Resolusi model atmosfer memiliki kaitan yang sangat kompleks dengan parameter
yang dihasilkannya. Pemahaman bahwa semakin tinggi resolusi model (grid kecil) dapat menghasilkan parameter yang lebih sesuai dengan observasi merupakan persepsi awal yang positif mengingat perwakilan daratan pada model lebih rinci, namun pengaruhnya kepada parameter atmosfer dapat berbeda. Model Atmosfer “conformal cubic” CCAM di wilayah Indonesia dengan resolusi 60 km dengan C48 dan resolusi 17 km dengan C160 telah dijalankan selama satu tahun untuk mengetahui sifat simulasinya dan kajian awal pola utama klimatologisnya dan untuk melihat bagaimana perwakilan daratan pada model. Selanjutnya akan dilakukan kajian awal musim pada hasil model untuk mempelajari logika musim untuk beberapa pulau besar Indonesia seperti Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pengaruh angin Australia di Jawa dan Bali terlihat cukup baik digambarkan model dengan membandingkan pola angin pada bulan Juli dan Januari.
Kata Kunci: CCAM, Awal musim, pulau besar Indonesia
1. PENDAHULUAN
Model atmosfer sangat memerlukan perwakilan permukaan yang baik untuk
menghasilkan pembangunan hasil yang sesuai atau mendekati keadaan sebenarnya, namun
keterbatasan model yang perlu mengkomputasi seluruh perumusan fisis dan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
123
meteorologisnya memerlukan pengelompokkan wilayah daratan dalam kotak grid,
sehingga parameter yang ditangkap model adalah perwakilan grid area permukaan bumi.
Peningkatan resolusi grid dilakukan para pemodel atmosfer dengan banyak
penyesuaian dalam perumusan kompleks atmosfer dan interaksi ssesama gridnya. CCAM
(Conformal Cubic Atmospheric Model) merupakan model atmosfer global dengan resolusi
yang variabel dengan resolusi tinggi diarea yang diinginkan dan tidak dibutuhkan adanya
pembatasan wilayah yang disimulasikan. Sistem simulasi ini memiliki kelebihan dalam
mensimulasi area dengan resolusi tinggi untuk wilayah kecil yang akan menjadi objek
penelitian. Namun, dalam pengkajian wilayah cukup luas seperti Indonesia membutuhkan
resolusi tinggi diseluruh batas wilayahnya yang memerlukan beberapa alternatif dan tehnik
dalam menjalankan model maupun dalam memilih jenis pendukung dan inisialisasinya.
Pada penelitian ini model dijalankan dengan dua sistem inisialisai untuk mendapat
hasil parameter dengan resolusi grid 60 km dan 17 km untuk wilayah Indonesia. Perbedaan
ini memberikan kemampuan model mewakili garis pantai kepulauan Indonesia dan
mewakili rinciannya.
Hujan disetiap pulau besar Indonesia tidaklah homogen, namun disini akan dilihat
rata-rata disetiap pulaunya unruk mengetahui pola musim selama tahun pengamatan.
Asumsi peningkatan resolusi mengubah interaksi variabel atmosfer tiap gridnya lebih rinci
sehingga interaksi fisi dan meteorologis yang dinumerisasi menjadi lebih rinci.
Sistem komples model menyebabkan perubahan kecil dimanapun gridnya dapat
menyebabkan ketidak stabilan ataupun hasil yang tidak sesuai harapan, namun seiring
peningkatan yang diikuti penyesuaian parameterisasinya dapat meningkatkan hasil model
agar sesuai atau mendekati keadaan sebenarnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
CCAM dengan C48 dijalankan dengan inisialisasi ncep untuk mendapat perwakilan
global dengan grid 200 km, kemudian menjalankan tahap resolusi lebih tinggi diwilayah
Indonesia dengan grid 60 km. Kemudian dengan C160 dengan inisialisasi yang sama
dijalankan untuk mendapat perwakilan global dengan grid 60 km, lalu menjalankan tahap
resolusi tinggi untuk wilayah Indonesia dengan grid 17 km.
Pembagian wilayah ikim Indonesia tidaklah sesuai untuk setiap pulaunya namun
untuk melihat hubungan antara perwakilan daratan terhadap parameter atmosfer akan
diamati sifat pengaruhnya. Pembagian wilayah pulau besar seperti Jawa dan Bali, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua tidak mengikuti garis pantai hanya untuk
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
124
menyederhanakan perhitungan sehingga untuk wilayah tertentu areanya meliputi darat dan
laut.Lihat gambar 1.
Gambar 1. Pulau besar Indonesia dan pembagian area kajian Jawa dan Bali,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
3. DATA DAN METODE
Resolusi CCAM C48 untuk global 200 km dan di ‘downscale’ untuk wilayah
Indonesia dengan resolusi 60 km. Sementara dengan CCAM C160, resolusi global 60 km
dan Indonesia 17 km. Model CCAM dijalankan secara berurutan yaitu dengan area global
seluruh dunia kemudian diturunkan skalanya diwilayah Indonesia. Untuk C48 secara
global digunakan schmidt=1, res=2.0 dan area Indonesia Scmidt=0.3, res=0.5. Untuk C160
secara global digunakan schmidt=0.3, res=0.5 dan area Indonesia Scmidt=0.267, res=0.15.
Data yang digunakan selama setahun untuk tahun 2000.
Kajian dilakukan secara visual deret waktunya selama setahun pada puncak musim
musim hujan dan puncak musim kemarau. Area dibagi dalam kotak sesuai pulaunya.
Garis pantai untuk kedua model diperlihatkan pada Gambar 2 dibawah ini. Pada
resolusi CCAM c160 terlihat lebih mengikuti garis pantai pulau sesungguhnya sementara
untuk CCAM c48 terlihat penyederhanaan dari garis pantai pulaunya.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
125
Gambar 2. Garis pantai CCAM c48 resolusi 60 km gambar atas dan c160 resolusi 17 km
gambar bawah.
Pola presipitasi untuk kedua model diperlihatkan pada Gambar 3. Pada resolusi
CCAM c160 terlihat lebih rinci sementara untuk CCAM c48 terlihat lebih sederhana.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
126
Gambar 3. Presipitasi CCAM c48 resolusi 60 km gambar atas dan c160 resolusi 17 km
gambar bawah.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jawa dan Bali mengalami musim hujan bila angin zonal berhembus dari barat
ketimur sehingga di bulan DJF angin zonalnya positif dan pada usim kemarau bulan JJA
angin zonalnya negatif. Perwakilan angin menunjukkan pola yang serupa untuk C48
maupun C160 lihat gambar 4 dan 5 Walaupun dengan fluktuasi yang berbeda disetiap
harinya. Awal musim hujan terlihat di bulan Desember dan awal musim kemarau di bulan
Mei untuk CCAM C48.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
127
Gambar 4. Deret waktu hujan dan angin zonal Jawa dan Bali tahun 2000 CCAM C48
Sementara untuk C160 gambar 5 angin dari barat ke timur (angin zonal positif)
sekitar bulan Nopember merupakan awal musim hujan, dan awal kemarau diakhir Mei
yang ditandai angin zonal negatif (angin dari timur ke barat).
Gambar 5. Deret waktu hujan dan angin zonal Jawa dan Bali tahun 2000 CCAM
C160
Hasil kedua model memperlihatkan pola yang baik untuk angin zonal walaupun
rincian fluktuasi harian berbeda yaitu untuk C160 gambar 5 terlihat lebih kasar dibanding
hariannya C48 gambar 4.
Pola hujan dan angin zonal Sumatra tersimulasi lebih jelas pada C48 (gambar 6)
dibanding pad C160 (gambar 7). Saat bulan Agustus pengaruh angin zonal positif dengan
banyak hujan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
128
Gambar 6. Deret waktu hujan dan angin zonal Sumatra tahun 2000 CCAM C48
Gambar 7. Deret waktu hujan dan angin zonal Sumatra tahun 2000 CCAM C160
Kalimantan sangat dipengaruhi pola angin dan hujan equatorial dan posisi yang
diapit Sumatra di timur dan pulau Sulawesi di barat mennyebabkan fluktuasi angin
sepanjang tahun tidak banyak berubah (lihat gambar 8 dan 9). Pada bulan Nopember
(gambar 8) terlihat hujan yang meningkat untuk kemudian menurun di akhir bulan
Desember. Pola angin selama Nopember dan Desember pun terlihat menguatnya angin
zonal positif (ke timur).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
129
Gambar 8. Deret waktu hujan dan angin zonal Kalimantan tahun 2000 CCAM C48
Simulasi hujan dan angin Kalimantan menggunakan C160 memperlihatkan pola
yang lebih dipengaruhi topografi pulau ini yang relatif datar sehingga pengaruh angin
sepanjang tahunnya sangat terlihat lebh kuat dibanding pada C48 (Gambar 9).
Gambar 9. Deret waktu hujan dan angin zonal Kalimantan tahun 2000 CCAM C160
Sulawesi juga memiliki pola angin yang mencerminkan adanya pengaruh musim
panas di belahan bumi utara sehingga benua Asia yang panas di bulan JJA menyebabkan
angin zonal diwilayah ini negatif (ke barat). Hujan wilayah ini terlihat sepanjang tahun
dengan terendah di bulan oktober.(lihat gambar 10 dan 11).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
130
Gambar 10. Deret waktu hujan dan angin zonal Sulawesi tahun 2000 CCAM C48
Simulasi angin Sulawesi memperlihatkan pola yang serupa dengan pola zonal
negatif di bulan JJA, faktor peningkatan topografi dari C48 ke C160 tidak banyak
mempengaruhi pola angin. Hujan di Sulawesi untuk hasil kedua model C48 dan C160
telihat sepanjang tahun, sehingga pola hujan secara umum bersifat equatorial.
Kedua model mensimulasi Sulawesi dengan gambaran serupa dengan rincian
fluktuasi yang berbeda terutam untuk angin yang memperlihatkan keserupaan yang tinggi.
(lihat gambar 10 dan 11)
Gambar 11. Deret waktu hujan dan angin zonal Sulawesi tahun 2000 CCAM C160
Pola hujan dan angin Papua memperlihatkan kesesuaian antara kedua tipe hasil
model (gambar 12 dan 13) yang mencerminkan adanya pengaruh musim panas di belahan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
131
bumi utara sehingga benua Asia yang panas di bulan JJA menyebabkan angin zonal
diwilayah ini negatif (ke barat). Pola ini sesuai dengan pola hujan yang juga rendah selama
selang bulan itu. Angin zonal positif di akhir tahun diikuti dengan naiknya curah hujan
berati asal hujan merupakan dari tarikan angi zonal dari barat.
Gambar 12. Deret waktu hujan dan angin zonal Papua tahun 2000 CCAM C48
Simulasi hujan dan angin Papua memperlihatkan pola yang serupa dengan pola
zonal negatif di bulan JJA, sehingga faktor peningkatan topografi dari C48 ke C160 tidak
banyak mempengaruhi pola hujan dan angin wilayah ini. Hujan di Papua dari hasil kedua
model C48 dan C160 telihat sepanjang tahun dengan hujan cukup tinggi di bulan
Desember. Hujan ternendah tercatat pada bulan Juli untuk C48 dan pada bulan September
untuk C160.
Gambar 13. Deret waktu hujan dan angin zonal Papua tahun 2000 CCAM C160
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
132
5. KESIMPULAN
Secara umum Jawa, Bali dan Sumatra untuk kedua hasil model CCAM C48 dan
C160 memiliki pola angin yang serupa, yaitu saat angin zonal negatif bertepatan dengan
musim kemarau pada bulan JJA dan sebaliknya musim hujan pada bulan DJF. Hujan dan
Angin di Kalimantan digambarkan oleh kedua hasil model dengan pola fluktuatif yang
tetap sepanjang tahun. Sulawesi dan Papua digambarkan kedua model memiliki pola yang
serupa untuk bulan JJA angin zonal negatif dan hujan rendah, sementara pada bulan DJF
angin zonal positif dan hujan tinggi. Model CCAM dengan inisialisasi C48 dan C160
memperlihatkan gambaran yang berbeda untuk pulau besar Indonesia dengan sifat
meteorologis yang lebih kuat untuk Jawa-Bali dan Sumatra.
DAFTAR RUJUKAN
Katzfey,J.J., J. McGregor, K. Nguyen and M. Thatcher., Dynamical downscaling
techniques: Impacts on regional climate change signals, 18th worldimacs/Modsim
Congress, Cairns, Australia, 2009
Thatcher, Marcus., Manual CCAM regional climate modeling, CSIRO, Australia, 2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
133
PENGARUH SUHU PERMUKAAN TERHADAP CURAH HUJAN PULAU BESAR INDONESIA DALAM TIGA PULUH
TAHUN TERAKHIR
Nurzaman Adikusumah Pusat SainsTeknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Abstract Correlation heat the Earth's surface and the nature of rainfall is a major concern
in climate change triggered global warming. Rainfall patterns will be the main topic of study for a large Indonesian to be analyzes the effect on surface temperature change. Changes in rainfall patterns can be differentiated in many species, in addition to the shift of seasons, nature swift, dramatic nature (abruptly) and long duration. Surface temperature changes can occur due to the nature of the surface has changed over the last thirty years such as land use change from forest and agricultural roads and housing. In this study will be seen changing rainfall patterns for the major islands in Indonesia such as Java and Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Java and Bali are a lot of changes in land use is exhibited significantly in the last 30 years of observations showed that changing nature of rain. The changing nature of rainfall generally decreases when the temperature increases except in Borneo and Sulawesi.
Keywords: surface temperature, rainfall, large islands of Indonesia.
Abstrak Korelasi panas permukaan bumi dan sifat curah hujan menjadi perhatian utama
dalam perubahan iklim yang dipicu pemanasan global. Pola curah hujan akan menjadi topik kajian utama untuk wilayah pulau besar Indonesia untuk dianalisa pengaruhnya pada perubahan suhu permukaan. Perubahan pola hujan dapat dibedakan dalam banyak jenis, selain adanya pergeseran musim, sifat derasnya, sifat dramatisnya (ketiba-tibaanya) dan lama berlangsungnya. Perubahan suhu permukaan dapat terjadi karena sifat permukaan yang berubah selama tigapuluh tahun terakhir seperti perubahan tataguna lahan dari hutan dan pertanian menjadi jalan dan perumahan. Pada kajian ini akan dilihat perubahan pola hujan untuk pulau besar Indonesia seperti Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Jawa dan Bali yang banyak berubah tataguna lahannya secara signfikan pada pengamatan 30 tahun terakhir memperlihatkan sifat hujan yang menurun saat suhu berrubah. Perubahan sifat hujan umumnya menurun saat suhu meningkat kecuali di Kalimantan dan Sulawesi. Kata kunci: Suhu permukaan, curah hujan, pulau besar Indonesia
1. PENDAHULUAN
Proses hujan diawali dengan evaporasi dari permukaan sebagai reaksi panas
permukaan bumi yang mengakibatkan proses tersebut. Peningkatan suhu permukaan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
134
dapat mempengaruhi meningkatnya proses evaporasi yang selanjutnya melalui proses
konveksi membentuk awan. Peningkatan suhu permukaan menjadikan bertambahnya
tutupan awan ataupun penebalannya sehingga potensi hujan pun meningkat.
Perubahan tataguna permukaan di Indonesia telah banyak berubah dalam 30
tahun terakhir sebagai dampak meningkatnya pembangunan infrastruktur yang
diperlukan karena peningkatan pembangunan sebagi pendukung meningkatnya jumlah
dan aktivitas penduduk. Interaksi antara bentangan tembok dan jalanan aspal memberi
radiasi panas yang meningkatkan suhu dibanding dengan bentangan hutan dengan
vegetasi tingginya serta bentangan tanaman pertanian sehingga sifat evaporasi dan
pembentukan awan hujannya pun meningkat. Selain itu pola sirkulasi angin skala lokal
dan regional pun sangat terpengaruh oleh perubahan komposisi permukaan diatas.
Perubahan ini berdampak kepada peningkatan suhu permukaan selama 30 tahun dari
1982 sampai 2013 yang berbeda-beda untuk setiap pulau besar di Indonesia bergantung
pada perubahan tataguna permukaannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi antara bentangan dengan tutupan berupa tembok dan jalanan memberi
radiasi panas yang meningkatkan suhu dibanding dengan bentangan hutan dengan
vegetasi tingginya serta bentangan tanaman pertanian sehingga sifat evaporasi dan
pembentukan awan hujannya pun meningkat (Trenbeth 2005).
Pulau-pulau besar di Indonesia memiliki perubahan permukaan yang signifikan
selama 30 tahun terakhir. Jawa dan Bali memiliki perkembangan infrastruktur yang
paling tinggi dibanding wilayah lainnya seiring meningkatnya penduduk yang
terkonsentrasi Jawa. Sebagai pusat kegiatan negara dan ibu kota maka pulau Jawa
menjadi tujuan mencari sumber kehidupan yang lebih baik. Sumatra mengalami
perubahan permukaan dari hutan menjadi perkebunan yang berbeda sifat evaporasinya.
Sementara Kalimantan, Sulawesi dan Papua memiliki kondisi permukaan yang berubah
oleh penambangan yang sangat luas pula akibat perkembangan industri tambang
nasional maupun internasional.
Setiap wilayah daratan di Indonesia dengan kondisi garis pantai, topografi dan
lingkungan yang berbeda memiliki sifat interaksi darat atmosfer dan laut yang berbeda.
Jawa yang berada diselatan khatulistiwa memiliki interaksi kuat dengan angin dari
Australia di bagian selatannya. Sumatra memanjang melintasi ekuator dengan bagian
selatan berhadapan dengan Samudra India. Kalimantan memiliki wilayah yang
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
135
berinteraksi kuat dengan benua Asia. Sulawesi selain berinteraksi dengan benua Asia
mendapat aliran laut dari Pasifik dehingga fenomena Pasifik dapat berinteraksi kuat ke
wilayahnya. Papua berhadapan langsung dengan Pasifik di bagian barat lautnya
sehingga fenomena laut di Pasifik berinteraksi langsung pada kondisi atmosfer.
3. DATA DAN METODE
Pulau-pulau besar Indonesia memiliki beban permukaan yang berbeda sesuai
dengan kepadatan penduduk dan sifat perubahan kondisi permukaannya. Untuk melihat
sifat interaksi terhadap kondisi hujan maka wilayah pulau dibagi sesuai area kotak tidak
mengikuti garis pantai untuk menyederhanakan perhitungan seperti pada gambar 1
dibawah ini.
Gambar 1. Pembagian wilayah kajian Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua
Data hujan dan suhu yang dipakai pada penelitian ini berasal dari GHCN
(Global Hystorical Climate Network) NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) berupa hasil reanalisis, hujan bulanan dengan resolusi 0,5 derajat (~60
km), sementara suhu 2,5 derajat (300 k). Deret waktu kedua data diamati pada puncak
musim hujan yaitu bulan Januari setiap tahunnya. Selang data yang diamati selama 30
tahun untuk memenuhi sifat klimatologis yang menjadi standar pemahaman meteorologi
untuk mencakup keterwakilan timbulnya sebagian besar fenomena dia atmosfer dan
kondisi normal.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
136
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu spasial untuk bulan Januari tahun 1982 dan tahun 2013 secara visual
memperlihatkan pola yang serupa yaitu suhu rendah di barat laut sementara pola panas
di tenggara. Pola dingin (ungu pada gambar 2) pada tahun 2013 berubah dibanding
tahun 1982 seperti terlihat di Kalimantan. Sementara pola panas berupa warna merah
pada gambar 2 meningkat di selatan Nusa Tenggara Barat.
Gambar 2. Pola suhu dan presipitasi bulan Januari tahun 1982 dan 2013
Pola hujan selama 30 tahun terlihat sangat beragam perubahannya Jawa dan Bali
terlihat secara umum mengalami pengurangan intensitas terutama di Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Sumatra memiliki pola umum yang serupa namun intensitas yang
menurun terutama di bagian selatan dan utara. Kalimantan memiliki peningkatan
intensitas hujan untuk wilayah utara dan tengah. Sulawesi termasuk wilayah yang
mengalami peningkatan intensitas hujan di sebagian besar wilayahnya. Papua
mengalami sedikit penurunan intensitas di sebagian kecil wilayahnya. Secara spasial
pengaruh kawasan cukup besar tehadap pola suhu dan hujan mengingat setiap pulau
memiliki pengaruh yang sangat spesifik, namun dari kedua gambar spasial
memperlihatkan hubungan yang berbeda antara suhu dan hujan seperti Kalimantan yang
cenderung suhunya menurun namun hujannya meningkat. Sulawesi suhunya meningkat
hujannya secara umum meningkat. Jawa, Bali dan Sumatra dengan suhu yang serupa
hujannya menurun. Papua secara umum tidak banyak berubah baik suhu maupun
hujannya.
Deret waktu selama 30 tahun dari 1982 sampai 2013 untuk bulan Januari
memperlihatkan sifat fluktuatif yang sangat beragam untuk setiap pulau. Khusus untuk
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
137
Jawa terlihat polanya yang berlawanan untuk tahun tertentu seperti tahun 1983, 1985,
sementara tahun lainnya sangat beragam. Tahun 1990 dan 1999 terlihat kenaikan suhu
diiringi oleh kenaikan hujannya, namun setelah tahun 2000 kenaikan suhu diikuti
penurunan hujannya. Indeks korelasi antara suhu dan hujan Jawa -0.04
Gambar 3. Suhu dan presipitasi pulau Jawa dari tahun 1982 -2013
Sumatra memiliki interaksi fluktuasi yang positif yaitu saat suhu naik umumnya
hujannya telihat naik dan sebaliknya kecuali pada tahun 2010. Indeks korelasi antara
suhu dan hujan Sumatra 0,3 menunjukkan bahwa untuk wilayah ini kenaikan suhu
meningkatkan curah hujannya.
Gambar 4. Suhu dan presipitasi Sumatra dari tahun 1982 – 2013
Indeks korelasi antara suhu dan hujan Kalimantan 0,08 menunjukkan sifat positif
antara kenaikan suhu dan kenaikan hujannya walaupun nilainya kecil. Pada tahun 1993
suhu wilayah ini pada titik terendahnya namun hujannya yang rendah tidak ekstrim.
R= - 0,04
R= 0,3
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
138
Gambar 5. Suhu dan presipitasi Kalimantan 1982 -2013
Indeks korelasi antara suhu dan hujan Sulawesi 0,5 menunjukkan sifat positif
antara kenaikan suhu dan kenaikan hujannya walaupun nilainya kecil. Seperti
Kalimantan pada tahun 1993 suhu wilayah ini pada titik terendahnya namun hujannya
naik.
Gambar 6. Suhu dan presipitasi Sulawesi 1982 -2013
Indeks korelasi antara suhu dan hujan Papua -0,07, nilai negatif menunjukkan
sifat berlawanan antara fluktuasi suhu dan hujannya walaupun nilainya kecil. Pada
tahun 1993 suhu wilayah ini pun pada titik terendahnya namun hujannya naik.
Gambar 7. Suhu dan presipitasi Papua 1982 – 2013
R= 0,08
R= - 0,07
R= 0,5
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
139
Pulau-pulau besar Indonesia memiliki loaksi yang sangat spesifik dalam
lingkungan geografis seperti pulau Jawa dan Sumatera yang berhadapan dengan
Samudra India sementara Kalimantan, Sulawesi dan Nusa tenggara diapit lautan yang
lebih terbatas. Demikian pula dengan Papua yang berhadapan dengan Samudera Pasifik.
Perbedaan ini memberikan efek meteorologis yang berbeda secara klimatologisnya.
Perubahan iklim di pulau besar Indonesia terjadi akibat lingkungan yang berubah seperti
rusaknya hutan dan pergeseran ruang terbuka oleh tutupan perumahan akibat
bertambahnya penduduk. Namun wilayah dengan korelasi yang tidak terlalu besar
menandakan efek regional lebih kuat dibanding dampak perubahan kondisi
permukaannya.
Perbedaan korelasi antara Suhu dan Presipitasi untuk beberapa pulau besar
secara rinci dapat dilihat dalam tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Korelasi Suhu dan Presipitasi pulau besar Indonesia tahun1982-2013
NO Daerah pengamatan Korelasi 1 Pulau Jawa -0,04 2 Pulau Sumatera 0,3 3 Pulau Kalimantan 0,08 4 Pulau Sulawesi 0,5 5 Pulau Papua -0,07
5 KESIMPULAN
Secara spasial selama 30 tahun Jawa, Bali dan Sumatra memperlihatkan pola
yang serupa yaitu suhu tidak terlalu berubah namun hujannya rata-rata menurun,
sementara Kalimantan suhu menurun hujan meningkat. Sulawesi suhu meningkat
hujannya meningkat, dan Papua suhu maupun hujannya tidak banyak berubah.
Korelasi antara suhu dan hujan selama 30 tahun untuk bulan Januari
memperlihatkan angka yang bervariasi yaitu Jawa = -0,04 , Sumatra = 0,3 , Kalimantan
= 0,08, Sulawesi = 0,5 , dan Papua = -0,07. Korelasi negatif memperlihatkan faktor
geografis meteorologis lebih dominan dibanding lingkungan, sementara untuk korelasi
positif sebaliknya kondisi lingkungan lebih dominan dari pengaruh meteorologis
geografis.
DAFTAR RUJUKAN
Kevin E. Trenbeth and Denis J. Shea (2005), Relationships between precipitaion and
surface temperature, NCAR, Boulder, Colorado, USA, July 2005.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
140
ANALISIS DIURNAL PARAMETER METEOROLOGI DI STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR
MENGGUNAKAN PORTABLE WEATHER STATION (PWS)
Radyan Putra Pradana dan Kadarsah Puslitbang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran 10720. Jakarta. Email: [email protected]
Abstract
Analysis of diurnal meteorological parameters at Darmaga Bogor Climate Station has been done using two Portable Weather Station (PWS). The each from two PWS placed vertically divided by two levels altitude 1,5 and 2 meters at the same location. PWS placement refers to the standards of the World Meteorological Organization (WMO). PWS measure of meteorological parameters such as temperature, humidity, pressure, precipitation, wind direction and wind speed. The research was done by comparing the results of measurements between PWS I and PWS II. The result show that the 0,5 meter difference level height between PWS I and PWS II does not affect the difference fluctuations and diurnal patterns of each meteorological parameters. Meanwhile, the results of these measurements compared with observational data from Darmaga Bogor Climate Stations. For the result, the temperature correlation in PWS I is 0,67; and for the PWS II correlation is 0,68. For moisture parameter in PWS I the correlation is 0,65; and for the PWS II the correlation is 0,66. For air pressure parameter in PWS I the correlation is 0,71; and for the PWS II the correlation is 0,73. For air pressure parameter in PWS I the correlation is 0,71; and for the PWS II the correlation is 0,73. For precipitation parameter in PWS I the correlation is 0,98; and for the PWS II the correlation is 0,99. For wind direction parameter in PWS I the correlation is -0,02; and for the PWS II the correlation is -0,05. For wind speed parameter in PWS I the correlation is 0,08; and for the PWS II the correlation is -0,06.
Keywords : analysis of diurnal, meteorological parameters, Portable Weather Station
(PWS), Abstrak
Analisis parameter meteorologi diurnal di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor telah dilakukan menggunakan dua alat Portable Weather Station (PWS). Masing-masing dari dua PWS ditempatkan secara vertikal dibagi dua tingkat ketinggian 1,5 dan 2 meter di lokasi yang sama. Penempatan PWS mengacu pada standar World Meteorological Organization (WMO). PWS mengukur parameter meteorologi seperti suhu, kelembaban, tekanan, curah hujan, arah angin dan kecepatan angin. Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran antara PWS I dan II PWS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 0,5 meter perbedaan tingkat ketinggian antara PWS I dan PWS II tidak mempengaruhi fluktuasi perbedaan dan pola diurnal setiap parameter meteorologi. Hasil pengukuran juga dibandingkan dengan data pengamatan dari Stasiun Iklim Darmaga Bogor. Hasilnya, pada PWS I terdapat korelasi temperatur sebesar 0,67; sedangkan untuk PWS II sebesar 0,68. Untuk parameter kelembapan pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,65 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar 0,66. Untuk parameter tekanan pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,71 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar 0,73. Untuk parameter curah hujan pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,98 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar 0,99. Untuk parameter arah angin pada PWS I terdapat korelasi sebesar -0,02 sedangkan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
141
untuk PWS II terdapat korelasi sebesar -0,05. Untuk parameter kecepatan angin pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,08 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar -0,06.
Kata Kunci: analisis diurnal, parameter meteorologi, Portable Weather Station (PWS)
1. PENDAHULUAN
1.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Darmaga terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah
2.437.636 Ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1145 Ha
lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 Ha lahan basah (rawa, danau,
tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga
mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah
selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan
Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan
Darmaga 1000 – 1500 mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Jarak
Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi
Jawa Barat 180 km, dan dari ibukota negara Indonesia 60 km. Kecamatan Darmaga
terdiri dari 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT, dan 20.371 KK (Kepala Keluarga).
Analisis diurnal parameter meteorologi (Glickman, 2000) disuatu lokasi amat
penting dilakukan untuk memahami kondisi iklim di lokasi tersebut. Pemahaman
analisis diurnal misalnya temperatur akan memperlihatkan variasi temperatur minimum
dan maksimal. Informasi ini sangat bermanfaat dalam kajian iklim mikro. Lokasi
pengamatan penelitian ini ditunjukkan Gambar 1. Penempatan ini harus memperhatikan
kondisi sekitarnya (Oke, 2006)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
142
Gambar 1. Lokasi Pengamatan di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
1.2. Deskripsi PWS
Pengamatan kondisi atmosfer menggunakan PWS Vaisala tipe WXT520 di
Bogor
dilakukan di Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Pengamatan ini dilakukan untuk
mengetahui kondisi mikro khususnya di sekitar Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor.
PWS Vaisala tipe WXT520 merupakan alat pengukur parameter cuaca yang terdiri dari
enam sensor (Pradana, 2013) (Gambar 2).
Gambar 2. Sensor-sensor PWS Vaisala WXT520 (Pradana, 2013)
Sensor yang terdiri dari :
1). Kecepatan Angin dan Arah Angin
2). Presipitasi
3). Tekanan Atmosfer terdapat di dalam modul
4). Suhu dan Kelembapan terdapat di dalam
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
143
2. DATA DAN METODE
Pengamatan parameter meteorologi dilakukan selama bulan September 2013,
dengan data rata-rata jaman selama 28 hari dengan menempatkan PWS I dan PWS II
dalam satu lokasi dengan masing-masing tinggi pengukuran 1,5 m dan 2 meter di atas
permukaan tanah (Gambar 3). Hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan data
observasi dan di analisis untuk mengetahui variasi diurnal di lokasi pengamatan.
Penempatan PWS II ditempatkan setinggi 2 meter sebagai standar pengukuran yang
dilakukan menurut ketentuan World Meteorological Organization (WMO).
Penempatan PWS I setinggi 1,5 meter (perbedaannya 0,5 meter) dilakukan untuk
mengetahui apakah perbedaan ketinggian sebesar 0,5 meter menimbulkan perbedaan
yang signifikan.
Gambar 3. Penempatan PWS I dan II
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perbandingan pengamatan pola diurnal PWS I dan PWS II dengan data
observasi menunjukkan bahwa temperatur observasi Stasiun Darmaga Bogor selalu
lebih rendah dari kedua PWS dengan perbedaan mencapai 2 0C (Gambar 4). Tetapi,
mulai pukul 16.00 WIB temperatur PWS selalu lebih rendah dibanding temperatur
observasi. Hal ini terjadi karena temperatur yang terukur di Stasiun Klimatologi
Darmaga merupakan temperatur dalam sangkar meteorologi sehingga temperatur yang
terukur merupakan temperatur yang stabil dan relatif lebih lama mengalami perubahan
dibanding temperatur di luar sangkar meteorologi. Sedangkan temperatur di luar
sangkar meteorologi lebih labil dan mudah sekali berubah oleh perubahan radiasi
matahari. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan bahwa perbedaan ketinggian sebesar
PWS II
PWS I
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
144
0,5 meter antara PWS I dan PWS II tidak signifikan. Perbedaan yang terukur antara
PWS I dan PWS II antara 0-0,54 0C. Hal lain yang teramati adalah perubahan radiasi
matahari yang terjadi pada pukul 16.00 WIB.
Radiasi matahari pada pukul 16.00 WIB sudah mulai berkurang dan radiasi netto
yang terjadi di lokasi tersebut sudah mulai negatif sehingga mengakibatkan kondisi
temperatur di luar sangkar selalu lebih rendah. Temperatur di dalam sangkar
meteorologi selalu lebih tinggi akibat temperatur di sangkar meteorologi lebih stabil dan
tidak terpengaruhi radiasi matahari secara langsung. Analisis ini penting untuk kajian
panas sensibel (Kanda,et al, 2002) di suatu lokasi misalnya dengan membandingkan
kondisi kota dan desa. Perbedaan temperatur kecil antara PWS I dan PWS II (0-0,54 0C)
terjadi akibat perbedaan tinggi vertikal yang relatif rendah sebesar 0,5 m. Faktor lain
yang berpengaruh adalah penempatan PWS I dan II yang berada dalam lapisan
Planetary Boundary Layer (PBL). Akibatnya, kondisi atmosfer di lapisan tersebut
seperti kecepatan aliran, temperatur, kelembaban, turbulensi mengalami pencampuran
vertikal yang kuat sehingga relatif seragam. Hal ini pula yang menyebabkan arah angin
relatif sama yang berasal dari utara. Yang membedakan adalah kecepatan angin yang
terjadi pada PWS II yang lebih tinggi dibanding PWS I. Hal tersebut dapat dipahami
mengingat kecepatan angin akan meningkat sejalan dengan kenaikan.
Gambar 4. Perbedaan temperatur PWS I (Temperature 1) dan II (Temperature II) sebesar = 0
s/d 0,54 0C. Sedangkan perbedaan temperatur PWS I / PWS II dengan temperatur observasi
sebesar 1 s/d 2 0C.
Waktu pembalikan nilai temperatur antara PWS dengan observasi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
145
Gambar 5. Perubahan Kelembapan dari waktu ke waktu di Stasiun Klimatologi
Darmaga Bogor berdasarkan pengukuran dua PWS yang dipasang pada level ketinggian
yang berbeda.
Parameter lain yang teramati adalah kelembapan (Gambar 5). Perbedaan
kelembapan antara kedua PWS bervariasi dengan rentang 2-5 %. Perbedaan ini terlihat
semakin besar saat siang hari 07.00 - 17.00 WIB. Perbedaan kelembapan yang sangat
besar saat siang hari terjadi karena kandungan uap air lebih bervariasi saat siang hari
dibanding saat malam hari sehingga kelembapan yang terukur juga akan lebih bervariasi.
Parameter lain yang terukur adalah tekanan (Gambar 6). Tekanan yang terukur pada
PWS I selalu lebih tinggi dibanding tekanan pada PWS II perbedaan ini sangat kecil
sekali maksimal sebesar 1 mb. Parameter lainnya adalah arah angin (Gambar 7) dan
kecepatan angin (Gambar 8). Arah angin yang terukur pada PWS I dan PWS II
menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan, serta memiliki kondisi yang relatif sama.
Perbedaan terlihat jelas ketika pengukuran dilakukan pada kecepatan angin. Kecepatan
angin yang terukur pada PWS II selalu lebih tinggi dibanding PWS I hal ini dapat
dipahami mengingat PWS II ditempatkan lebih tinggi dibanding PWS I dan umumnya
kecepatan angin akan meningkat sesuai dengan ketinggian. Perbedaan kecepatan dapat
mencapai 10 m/s.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
146
Gambar 6. Perubahan tekanan udara di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
berdasarkan pengukuran dua PWS yang dipasang pada level perbedaan ketinggian
sebesar 0,5 meter
Gambar 7. Arah angin pada PWS I dan PWS II relatif sama
Gambar 8. Perbedaan kecepatan angin PWS I dan PWS II sebesar = 0 s/d 10 m/s
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
147
Sebagai bahan pembanding maka ditampilkan plot temperatur (Gambar 9) dan
kelembapan (Gambar 10) yang dibandingkan dengan data observasi selama satu bulan
pengamatan. Plot temperatur pada Gambar 9, terlihat bahwa pola kedua PWS sangat
sesuai dengan observasi dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan
penempatan ketinggian sebesar 0,5 meter tidak menunjukkan perbedaan yang signikan
selama pengamatan bulan September 2013. Hasil yang sama terjadi pada parameter
kelembapan. Kedua PWS selama sebulan pengamatan menunjukkan pola yang sesuai
dengan pola observasi sedangkan diantara kedua PWS tidak mengalami perbedaan yang
signifikan sehingga plot keduanya hampir berhimpitan.
Gambar 9. Plot temperatur PWS I, PWS II dan data observasi selama bulan September
2013
Gambar 10. Plot kelembapan PWS I, PWS II dan data observasi selama bulan
September 2013
Analisis lebih jelas terlihat pada Tabel 1 yang merangkum semua parameter
meteorologi yang terukur selama sebulan pengamatan dengan RMSE, korelasi dan
standar deviasinya jika dibandingkan dengan data observasi. Semua parameter yang
terukur pada PWS I dan II memiliki korelasi yang kuat (0.65-0.99) kecuali arah dan
kecepatan angin. Rendahnya nilai korelasi kecepatan dan arah angin terjadi karena arah
dan kecepatan angi lebih bersifat variatif dan fluktuatif.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
148
Gambar 11. Plot Intensitas curah hujan PWS I dan PWS II
Korelasi yang kuat pada masing-masing PWS I dan PWS II sebesar 0,98 dan
0,99 serta kemiripan pola menunjukkan bahwa PWS I dan PWS II dapat digunakan
untuk pengukuran lapangan. Perbedaan yang terjadi antara PWS I dan II dengan data
observasi diakibatkan posisi penempatan alat dan turbulensi yang terjadi dekat sensor
curah hujan.
Tabel 1. RMSE, Korelasi dan Standar Deviasi Parameter Meteorologi PWS I dan PWS
II dengan data observasi Stasiun Darmaga Bogor.
TEMPERATU
R
KELEMBAPA
N TEKANAN
CURAH
HUJAN ARAH ANGIN
KECEPATA
N ANGIN
PWS
I PWS II
PWS
I PWS II
PW
S I
PWS
II
PWS
I
PWS
II PWS I
PWS
II
PWS
I
PWS
II
RMSE 2.61 2.61 14.38 14.08 1.32 1.37 4.14 6.55 155.31 153.98 2.08 1.69
Korelasi 0.67 0.68 0.65 0.66 0.71 0.73 0.98 0.99 -0.02 -0.05 0.08 -0.06
Stdev 3.20 3.24 15.65 15.76 1.64 1.63 32.09 31.19 66.33 67.50 0.68 0.40
4. KESIMPULAN
Berdasarkan observasi dan analisis data yang telah dilakukan melalui penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa: Perbedaan ketinggian 0,5 meter antara PWS I dan PWS II
tidak mempengaruhi fluktuasi pola diurnal parameter meteorologi, pola diurnal disuatu
lokasi sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan sekitar tempat observasi, perbedaan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
149
antara PWS dengan observasi terbesar terjadi pada parameter arah dan kecepatan angin
hal tersebut terjadi karena arah dan kecepatan angin lebih bersifat variatif dan fluktuatif,
studi tentang analisis diurnal sangat penting untuk memahami perilaku iklim mikro di
suatu lokasi misalnya perubahan radiasi netto yang terjadi dilokasi pengukuran serta
penggunaan PWS yang sangat bermanfaat untuk menganalisis kondisi iklim mikro di
suatu tempat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini tidak dapat dilakukan tanpa bantuan DIPA Penelitian Klimatologi
dan Kualitas Udara 2013 PUSLITBANG BMKG, terima kasih yang sebesar-besarnya
atas dukungan dan bantuan yang diberikan : Dr. Ir. Dodo Gunawan, DEA, Ratna
Satyaningsih, Jose Rizal dan Kepala Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor beserta
seluruh jajaran staf.
DAFTAR RUJUKAN
Glickman, Todd, ed. Glossary of Meteorology. American Meteorological Society:
Boston, Massachusetts, 2000.
Oke, T.R., Initial Guidance to Obtain Representative Meteorological Observations at
Urban Sites. World Meteorological Organization, Instruments and Observing
Methods, IOM Report No. 81, WMO/TD-No. 1250, 2006.
Pradana, R. P., Kadarsah., Analisis Diurnal Parameter Cuaca Mikro Di Perkebunan
Kelapa Sawit PT. EMAL Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Prosiding
Seminar Sains Atmosfer LAPAN, 2013. Bandung (Proses Penerbitan).
Kanda, M., R. Moriwaki, M. Roth & T.R. Oke, Area-averaged sensible heat flux and a
new method to determine zero-plane displacement length over an urban surface
using scintillometry. Boundary-Layer Meteorology, 105, 177-193. 2002.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
150
ESTIMASI TOTAL PRECIPITABLE WATER DI WILAYAH INDONESIA MENGGUNAKAN DATA MTSAT
Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Abstract Atmospheric data is one of basic requirement for any research and development
in the field of meteorology and climatology. One of atmospheric data needed to describe the level of dryness or wetness of an area isa Total Precipitable Water (TPW). TPW is defined as amount of water that is collected in an air column if all the water vapor of the column is condensed and falls as rain. TPW can also serve as an indication of potential rain in anarea. This research aims to estimate the value of TPW over Indonesian region using MTSAT data, and verify the results with that from MODIS data. The area of research is Indonesian region with data period from June to August 2013. TPW is estimated based on the method that utilizes the split window of IR1 and IR2 channels data, and also parameters of absorption coefficient and effective atmospheric temperature. Based on this research, TPW estimated value from MTSAT data can produce good results. This can be seen from value of correlation coefficient (r) between TPW of MTSAT and MODIS i.e. 0.77. Visually, value of TPW from MTSAT also showed a similar pattern to that from MODIS data. However, this estimation method is valid only on the pixels with cloud -free conditions (clear sky). Keywords : Total Precipitable Water, MTSAT, MODIS, IR1 and IR2 Channels
Abstrak
Data atmosfer merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap penelitian dan pengembangan bidang meteorologi dan klimatologi. Salah satu data atmosfer yang diperlukan untuk menggambarkan tingkat kekeringan atau kebasahan suatu daerah dapat diketahui dari nilai Total Precipitable Water (TPW). TPW didefinisikan sebagai banyaknya air yang terkumpul dalam suatu kolom udara jika semua kandungan uap air dalam kolom tersebut terkondensasidan jatuh sebagai hujan. Dalam hal ini TPW dapat berperan sebagai indikasi potensi hujan di suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi nilai TPW di atas wilayah Indonesia menggunakan data satelit MTSAT, serta memverifikasi hasilnya dengan data TPW MODIS. Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia dengan periode data bulan Juni – Agustus 2013. TPW diestimasi berdasarkan metode split window measurement yang memanfaatkan data kanal IR1 dan IR2 serta parameter koefisien absorpsi dan temperatur efektif atmosfer. Hasil penelitian menunjukkan estimasi nilai TPW dari data MTSAT dapat memberikan hasil yang cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi (r) antara TPW dari data MTSAT dan MODIS sebesar 0,77. Secara visual, nilai TPW yang dihasilkan MTSAT memperlihatkan pola yang hampir sama dengan TPW dari data MODIS. Meskipun demikian, metode estimasi ini valid hanya pada piksel dengan kondisi bebas awan (clear sky).
Kata Kunci: Total Precipitable Water, MTSAT, MODIS, Kanal IR1 danIR2
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
151
1. PENDAHULUAN
Data atmosfer merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap penelitian dan
pengembangan bidang meteorologi dan klimatologi. Data ini juga memegang peranan
penting dalam proses pembangunan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan
pertanian, perkebunan, lingkungan, penelitian serta mitigasi bencana. Teknologi yang
saat ini berkembang dalam hal pengamatan data atmosfer adalah dengan memanfaatkan
penginderaan jauh melalui citra satelit. Data atmosfer dapat diperoleh melalui
pengukuran langsung (in-situ), juga melalui ekstraksi data satelit penginderaan jauh.
Wilayah cakupan yang luas dan mudah untuk diakses menjadi keuntungan yang utama
dari penggunaan data satelit. Meskipun demikian, data satelit juga memiliki beberapa
kekurangan, terutama dalam hal tingkat akurasi produk serta diperlukannya penguasaan
teknik pengolahan data yang baik untuk memperoleh parameter yang diinginkan.
Salah satu data atmosfer yang diperlukan untuk menggambarkan tingkat
kekeringan atau kebasahan suatu daerah dapat diketahui dari nilai Total Precipitable
Water (TPW). TPW didefinisikan sebagai banyaknya air yang terkumpul dalam suatu
kolom udara jika semua kandungan uap air dalam kolom tersebut dipresipitasikan
sebagai hujan (Viswanadham, 1981). Dalam hal ini TPW dapat berperan sebagai
indikasi potensi hujan di suatu daerah (Parwatiet al, 2005). Terdapat hubungan linier
yang positif antara TPW dengan peluang terjadinya hujan. Meskipun demikian, tidak
seluruh daerah dengan nilai TPW yang sama akan mempunyai nilai peluang hujan yang
sama (Antoyo, 1999). Selain dari nilai TPW, jumlah air yang dapat diturunkan sebagai
hujan juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer lainnya seperti stabilitas atmosfer,
perbedaan tekanan antara dua lapisan udara, serta musim.
Pengukuran TPW secara in-situ memerlukan data radiosonde atau peralatan lain
yang dapat menghasilkan parameter atmosfer vertikal seperti tekanan (P), suhu (T) dan
kelembapan udara (RH). Sebagai besaran yang menyatakan kandungan uap air di
atmosfer, TPW dihitung berdasarkan integral dari kelembapan spesifik pada satu
lapisan/kolom udara yang dinyatakan dalam perbedaan tekanan atau ketinggian.
Estimasi nilai TPW menggunakan data satelit juga telah banyak dilakukan. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan data kanal Infra Merah termal (sekitar 11 dan 12
µm) pada satelit geostasioner yang biasa disebut dengan metode split-window
measurement.
Jumlah kandungan uap air dalam suatu kolom udara penting untuk diketahui
karena dapat memprediksi besarnya curah hujan di suatu daerah.Dengan berbagai
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
152
kelebihan serta kemudahan akses data yang diperoleh, data satelit bisa menjadi alternatif
untuk mendapatkan data parameter atmosfer termasuk TPW. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk mengestimasi nilai TPW di atas wilayah Indonesia menggunakan
data satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT – resolusi 5 km), serta
memverifikasi hasilnya dengan data TPW Moderate-Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS – resolusi 1 km).Melalui penelitian ini diharapkan dapat
diperolehnya metode penentuan nilai estimasi TPW berbasis satelit MTSAT yang akurat
dan valid.
2. METODOLOGI
Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia dengan periode data bulan
Juni – Agustus 2013. Data MTSAT diperoleh dari sistem penerima data satelit di Pusat
Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN, Bandung. Sebagai pembanding,
digunakan data MODIS satelit Terra dan Aqua yang diperoleh dari stasiun bumi
LAPAN Pare-Pare. Produk TPW MODIS merupakan hasil running program IMAPP
level dua, dengan kode algoritma MOD07 (Terra) atau MYD07 (Aqua).
TPW diestimasi berdasarkan metode split window measurement yang
memanfaatkan data kanal IR1 dan IR2 data MTSAT serta parameter koefisien absorpsi
dan temperatur efektif atmosfer. Persamaan TPW yang digunakan (Lee dan Park, 2007;
Chester et al, 1987) adalah sebagai berikut:
(2-1)
Dimana, T*11dan T*12merupakan suhu kecerahan (brightness temperature) masing-
masing pada kanal 11 µm (IR1) dan 12 µm (IR2), ∆α dan ∆k merupakan koefisien
absorpsi, θadalah sudut zenith satelit, dan Tair adalah temperatur efektif atmosfer.
Parameter ∆α, ∆k, dan Tair ditentukan berdasarkan metode kuadrat terkecil hasil
perbandingan nilai TPW MTSAT dengan TPW dari data MODIS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan parameter koefisien absorpsi (∆α dan ∆k) dan temperatur
efektif atmosfer (Tair) untuk data MTSAT wilayah Indonesia tersaji pada Tabel 1.
Dalam perhitungan, nilai awal (default) yang digunakan merupakan parameter untuk
data MTSAT-1R yang berlaku untuk kawasan Asia Timur (Lee dan Park, 2007).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
153
Berdasarkan perhitungan, nilai TPW memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap
perubahan nilai ∆α dan ∆k, sehingga ketika nilai parameter tersebut berubah, walaupun
kecil tetapi dapat berpengaruh besar terhadap perubahan nilai TPW. Nilai TPW tidak
terlalu sensitif terhadap parameter Tair, akan tetapi parameter ini berpengaruh terhadap
batas minimum TPW yang dihasilkan.
Tabel 1. Parameter koefisien absorpsi dan temperatur efektif atmosfer hasil perhitungan
Parameter Nilai Awal (default) Hasil Perhitungan Deviasi (%)
∆α 0.022 0.0296 4.4
∆k -0.022 -0.0298 15.9
Tair 260.12 257.50 1.5
Contoh hasil pengolahan nilai TPW dari data MTSAT dan TPW pembanding
dari data MODIS disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Berdasarkan gambar, terlihat
bahwa pola TPW yang dihasilkan oleh MTSAT dan MODIS memiliki cukup banyak
kesamaan. Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan TPW yang dihasilkan data MTSAT
dapat mengestimasi nilai TPW di wilayah Indonesia dengan cukup baik. Meskipun
demikian, masih terdapat perbedaan antara MTSAT dan MODIS, dimana di beberapa
wilayah nilai TPW tidak terdeteksi oleh MTSAT.
Metode penurunan TPW menggunakan data satelit, baik oleh MTSAT maupun
MODIS, memiliki keterbatasan ketika atmosfer tertutup oleh awan. Metode ini hanya
valid pada saat kondisi atmosfer cerah (clear sky). Hal ini bisa dimengerti mengingat
nilai TPW merupakan total kandungan uap air dalam satu kolom udara dari permukaan
sampai titik tertinggi di atmosfer. Sehingga, ketika tertutup oleh awan, nilai TPW yang
dihasilkan akan menjadi tidak valid.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
154
Gambar 1. Total Precipitable Water hasil pengolahan data MTSAT(kiri), dan MODIS
Aqua (kanan), data tanggal 2 Juni 2013 pukul 06.00 UTC
Gambar 2. Total Precipitable Water hasil pengolahan data MTSAT(kiri), dan MODIS
Aqua (kanan), data tanggal 24 Agustus 2013 pukul 06.00 UTC
Hasil perbandingan nilai-nilai TPW dari data MTSAT dengan data MODIS juga
disajikan dalam bentuk grafik 1:1(Gambar 3). Grafik ini didasarkan pada nilai titik pada
sampel yang diambil secara acak di wilayah kajian penelitian. Terlihat bahwa sebagian
nilai-nilai yang diberikan MTSAT masih berada di sekitar garis lurus, meskipun tidak
seluruhnya. Hal ini menandakan adanya kesamaan antara TPW hasil pengolahan data
MTSAT dengan TPW dari data MODIS. Berdasarkan perhitungan statistik, hubungan
antara keduanya menghasilkan nilai koefisen korelasi (r) sebesar 0.77. Angka ini
menunjukkan adanya hubungan secara linier yang cukup baik antara TPW MTSAT
dengan TPW MODIS.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
155
Gambar 3. Grafik perbandingan 1:1 nilai TPWdari data MTSATdengan TPWdari data
MODIS Terra dan Aqua periode Juni – Agustus 2013.
Perhitungan TPW dengan metode split window measurement memberikan hasil
yang cukup baik untuk digunakan di wilayah Indonesia. Meskipun demikian, masih
terdapat perbedaan antara TPW hasil pengolahan MTSAT dengan TPW dari data
MODIS. Nilai TPW yang diberikan MTSAT terkadang hanya menghasilkan satu nilai
tertentu untuk rentang nilai TPW yang berbeda pada MODIS. Hal ini disebabkan karena
kecilnya variasi nilai rasio suhu kecerahan kanal IR1 dan IR2 yang digunakan didalam
persamaan (2-1), sehingga variasi nilai TPW yang dihasilkan juga terbatas. Panjang
periode data juga berpengaruh terhadap hasil perbandingan yang diperoleh. Dalam hal
ini perlu dilakukan pengolahan data untuk periode lain, misalnya yang mewakili musim
hujan (Desember – Februari). Akan tetapi, akan ada keterbatasan karena periode musim
hujan cenderung menghasilkan data dengan tutupan awan yang tinggi.
Metode perhitungan pada penelitian ini merupakan cara sederhana yang
bertujuan untuk mengestimasi nilai TPW dengan cepat dan mudah. Oleh karena itu,
masih diperlukan evaluasi dan pengembangan metode agar hasil yang dicapai lebih
optimal. Verifikasi dan validasi nilai TPW seharusnya dilakukan menggunakan
perbandingan data yang berasal dari observasi permukaan, salah satunya dengan
radiosonde. Li et al (2003) telah membandingkan nilai TPW dari data MODIS dengan
TPW hasil observasi radiosonde. Hasilnya menunjukkan bahwa data TPW MODIS
memberikan nilai yang lebih tinggi (over-estimated) dibandingkan radiosonde, dengan
selisih perbedaan antara 14 –20%, dan standar deviasi 1.6 – 2.2 mm.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
156
4. KESIMPULAN
Estimasi nilai TPW dari data MTSAT di wilayah Indonesia dapat memberikan
hasil yang cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi (r) antara TPW dari
data MTSAT dan MODIS sebesar 0,77 berdasarkan data Juni – Agustus 2013. Secara
visual, nilai TPW yang dihasilkan MTSAT memperlihatkan pola yang hampir sama
dengan TPW dari data MODIS. Meskipun demikian, metode estimasi ini valid hanya
pada piksel dengan kondisi bebas awan (clear sky).
DAFTAR RUJUKAN
Antoyo, S., Penggunaan Informasi Air mampu Curah (Precipitable Water) dan Tinggi
Lapisan Basah dalam Penentuan Awal Musim Hujan dan Awal Musim Kemarau.
IPB. Bogor, 1999.
Chester, D., Robinson, W. D.,Uccellini, L. W., Optimized retrievals of precipitable
water from the VAS “split-window”. J. Climate Appl. Meteor., 26, 1059-1066,
1987.
Lee, K. M. dan Park, J.H., Retrieval of Total Precipitable Water from the Split-Window
Technique in the East Asian Region. EUMETSAT Meteorological Satellite
Conference: 64, 2007.
Li, Z., Muller, J. P.,Cross,P., Comparison of precipitable water vapor derived from
radiosonde, GPS, and Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer
measurements. J. Geophys. Res., 108(D20), 4651, 2003
Parwati, S., Agus, H., Totok, S., Hasnaeni., Verifikasi Air Mampu Curah Dari Data
Modis Untuk Mendukung Informasi Cuaca Spasial Di Lahan Pertanian Pulau
Jawa. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya, 2005.
Viswanadham, Y., The Relationship between Total Precipitable Water and Surface Dew
Point. J. Appl. Meteor., 20, 3–8. 1981
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
157
RESTORASI DATA RADIASI MATAHARI MENGGUNAKAN METODE CURVE FITTING
INTERPOLASI POLINOM ORDE 4 (KASUS PENGAMATAN DI UNIVERSITAS BINA DARMA
PALEMBANG)
Saipul Hamdi Peneliti Ilmu Pengetahuan Atmosfer
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN email : [email protected]
Abstract The 4th polinomial interpolation curve fitting method has been used for
restoration of wide deviation of insolation data measured at Kampus of Universitas Bina Darma Palembang caused by technical error. Maximum insolation data on August 2011 and April 2013 is being used as main object in this paper and result in good coefficient of regression as 0.99. It is also been calculated characteristics of maximum solar energy on the surface at August 2011 and April 2013 corrected by this methode. Wide difference correction value between sets of these data is caused by difference entry of set of restoration data. This methode is can be applicated to minimize of cloud covering effects in order to developing global solar radiation model.
Keywords : interpolation, curve fitting, solar radiation, cloud covering.
Abstrak Metode pencocokan kurva menggunakan interpolasi polinom orde 4 digunakan
untuk mengisi kembali (restorasi) data-data insolasi di Kampus Universitas Bina Darma Palembang yang memiliki simpangan besar akibat gangguan teknis dalam pelaksanaan pengukurannya. Data insolasi maksimum bulan Agustus 2011 dan April 2013 digunakan sebagai obyek utama di dalam tulisan ini dan memberikan hasil yang sangat baik dengan koefisien regresi sebesar 0,99. Selain itu, dihitung juga karakter energi matahari maksimum matahari di permukaan pada bulan Agustus 2011 dan April 2013 yang dikoreksi menggunakan metode ini, dan diperoleh nilai koreksi sebesar masing-masing 1% dan 11%. Perbedaan yang besar antara kedua set data tersebut disebabkan karena perbedaan jumlah data yang direstorasi di dalam kumpulan data tersebut. Metode ini dapat diterapkan untuk meminimalisir pengaruh penutupan awan dalam membangun model radiasi matahari global.
Kata kunci : interpolasi, pencocokan kurva, radiasi matahari, penutupan awan.
1. PENDAHULUAN
Perputaran bumi pada porosnya selama 24 jam menyebabkan terjadi siklus
insolasi (=insolation, incoming solar radiation) di dalam 24 jam tersebut. Insolasi akan
ada di dalam setengah siklus 24 jam dan mengikuti bentuk sinusoid dan dihubungkan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
158
dengan posisi zenith matahari (�). Pada saat matahari terbit (berada di ufuk) maka
matahari membentuk sudut zenith �=90⁰ terhadap garis normal vertikal sehingga
insolasi bernilai nol. Pada saat matahari mencapai titik kulminasinya maka sudut zenith
matahari bernilai 0⁰ sehingga insolasi mencapai nilai maksimumnya. Keadaan ini
diilustrasikan pada Gambar 1. Jika sinar matahari yang akan memasuki atmosfer bumi
disebut sebagai konstanta matahari (solar constant=1,368 kW/m2) maka insolasi
merupakan sebuah besaran yang nilainya sebanding dengan cos� (insolasi k ◦ cos� ◦
1,368 dan k adalah konstanta pelemahan).
Gambar 1. Ilustrasi posisi matahari yang dikaitkan dengan sudut zenith matahari �.
Pengukuran insolasi dilakukan menggunakan sensor matahari (pyranometer)
yang mengubah foton-foton sinar matahari menjadi pulsa-pulsa elektris, kemudian
diterjemahkan oleh converter menjadi besaran yang memiliki satuan intensitas
(watt/m2). Selanjutnya, keluaran intensitas ini dicatatkan pada recorder. Pyranometer
harus ditempatkan pada posisi yang terhindar dari bayangan benda-benda di
sekelilingnya yang dapat mengganggu penerimaan foton cahaya matahari. Jika
pyranometer tertutup bayangan maka pembacaan intensitas matahari menjadi tidak tepat.
Penempatan sensor piyranometer yang salah dapat menyebabkan bayangan sesuatu
benda (misalnya tiang) selalu menutupi sensor pada sudut zenith matahari tertentu dan
kejadiannya berulang setiap hari. Pengaruh bayangan tersebut akan terlihat pada
karakter data yang dihasilkan. Pada waktu-waktu tertentu, besaran insolasi akan
menurun berulang dari hari ke hari secara konsisten dan berurutan. Hal ini disebut
sebagai kesalahan teknis dan menghasilkan sekumpulan data penelitian yang tidak
menggambarkan fenomena alam yang sesungguhnya. Data-data seperti ini bagi
sebagian orang hampir sama dengan sampah, namun sebetulnya masih bisa
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
159
dipergunakan melalui proses rekonstruksi untuk meminimalisir pengaruh bayangan
benda yang menutupi sensor tersebut.
Sekumpulan data yang telah diolah ini tentu saja belum mewakili keadaan yang
sebenarnya, namun sangat bermanfaat dalam proses pemodelan yang membutuhkan
banyak data dengan deviasi yang kecil. Hal ini terjadi dalam pengukuran insolasi di
Palembang menggunakan sensor matahari yang terintegrasi dengan weather station.
Dalam periode pengukuran sejak bulan Oktober 2010, hampir selalu ditemukan pola
harian yang menunjukkan terjadinya penurunan intensitas dan energi radiasi matahari
pada waktu-waktu yang sama. Pola ini selalu berulang dari hari ke hari, yang
menimbulkan sebuah praduga tentang posisi peletakan sensor matahari yang tidak tepat,
sehingga tertutup oleh bayangan benda lain secara berulang dari hari ke hari. Dengan
melakukan pengamatan secara langsung pada beberapa waktu, praduga tersebut dapat
dibuktikan meskipun pengukuran telah dilakukan selama beberapa bulan. Di dalam
tulisan ini akan dijelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan restorasi
data dengan mengambil 2 kumpulan data yang sesuai, disertai dengan contoh hasil
restorasinya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Curve fitting atau pencocokan kurva adalah sebuah metode yang mencocokkan
titik-titik data dengan sebuah kurva fungsi matematis yang tujuannya adalah untuk
melihat seberapa dekat titik-titik data tersebut bisa didekati dengan persamaan
matematis. Tingkat kecocokan tersebut dilihat dari besaran R2. Pencocokan kurva dapat
dibedakan atas 2 metode yaitu (i) metode regresi dan (ii) metode interpolasi. Interpolasi
adalah sebuah metode yang menghasilkan titik-titik data baru dalam suatu jangkauan
dari suatu set data-data diskrit yang diketahui (Wikipedia). Di dalam metode interpolasi,
data diketahui memiliki ketelitian yang sangat tinggi sehingga kurva pencocokannya
dibuat melalui setiap titik. Dua persamaan polinom yang banyak digunakan di dalam
perhitungan statistika adalah polinom kuadratis dan polinom kubis. Persamaan polinom
kuadratis merupakan fungsi numeris berderajat 2, dan polinom kubis adalah fungsi
numeris berderajat 3. Di dalam tulisan ini akan digunakan fungsi (= persamaan
matematis) polinom berderajat 4. Persamaan polinom ini merupakan persamaan aljabar
yang hanya mengandung jumlah dari variabel x berpangkat bilangan bulat (integer).
Fungsi matematis umum persamaan polinom berderajat n adalah sebagai berikut :
(1.1)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
160
Salah satu kesulitan menggunakan polinom berderajat n adalah menentukan
derajat interpolasi n karena sangat berkaitan erat dengan jumlah data. Jika n = 1000
maka polinom yang dibangun merupakan polinom berderajat 1000. Polinom berderajat
tinggi (n > 5) dapat menampakkan ciri erratic dan sangat rentan dengan ketidakstabilan
numeris. Polinom berorde tinggi juga seringkali menginterpolasi titik di luar jangkauan
titik data yang tepat karena adanya overshoot.
Saat ini, banyak spreadsheet yang dilengkapi dengan fitur interpolasi polinom
berderajat rendah. MS Excel misalnya, merupakan spreadsheet yang sangat umum
digunakan dan telah dikembangkan menjadi sebuah perangkat lunak yang dapat
dipergunakan secara virtual oleh semua cabang ilmu sain dan teknologi (Gebeily and
Yushau, 2007). MS Excel dapat digunakan untuk melakukan interpolasi polinom hingga
derajat 6, dilengkapi dengan besaran R2. Dengan menggunakan metode ini diharapkan
akan memberikan gambaran bahwa untuk menentukan nilai taksiran antara dari
sejumlah data, bila fungsi yang sebenarnya tidak diketahui atau bahkan jumlah data
pasti juga belum diketahui (Adi, 1998).
3. DATA DAN METODE
Di dalam tulisan ini digunakan 2 set data insolasi yang diperoleh dari
pengamatan insolasi di Kampus Universitas Bina Darma Palembang, yaitu data [a]
bulan Agustus 2011 dan [b] bulan April 2013. Kedua set data diperoleh dari data harian
yang dikelompokkan (klasifikasi) berdasarkan waktu pengamatan yang sama (misalnya
09:00, 09:05, 09:10, 09:15, …), kemudian dipilih nilai-nilai maksimumnya pada waktu
yang sama tersebut untuk menggambarkan karakter insolasi maksimum bulanan. Hasil
ini telah dibandingkan juga dengan nilai rata-rata pada kelompok waktu yang sama, dan
keduanya menghasilkan pola yang serupa. Setelah itu, data-data yang memiliki deviasi
yang terlalu besar yang disebabkan oleh bayangan suatu benda ditiadakan karena
memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. Data-data yang tersisa kemudian dibuatkan
garis kecenderungannya (trendline) dan ditentukan persamaan matematisnya
menggunakan perangkat lunak. Persamaan matematis ini digunakan untuk ‘mengisi’
kembali (restorasi) data-data yang telah ditiadakan tersebut.
Gambar 2 adalah grafik data yang digunakan untuk tujuan pembuatan tulisan
ini. Gambar 2 diperoleh dengan cara memasukkan seluruh data pengamatan selama satu
bulan ke dalam grafik. Pada kedua grafik tersebut, daerah yang ditandai dengan
lingkaran merupakan bagian yang mengalami gangguan teknis akibat tertutupnya sensor
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
161
pyranometer oleh bayangan antena parabola provider telekomunikasi selular sehingga
pembacaan insolasi selalu mengalami penurunan pada interval waktu yang sama, dan
terjadi secara berulang. Pada gambar kiri, gangguan teknis terjadi sekitar pukul 9 dan 12
siang, sedangkan pada bulan Agustus 2011 gangguan teknis terjadi sekitar pukul 10 dan
12 siang. Untuk tujuan penulisan ini maka ditentukan dulu karakteristik insolasi
maksimum bulanan yaitu dengan cara memilih insolasi maksimum tiap-tiap jam
pengamatan. Hal ini ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 2. Data insolasi di Kampus Universitas Bina Darma Palembang bulan Agustus
2011 (kiri) dan April 2013 (kanan).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang akan dilakukan restorasi ditunjukkan pada gambar 4.1. Pada bagian
[a] gambar 4.1 terlihat bahwa terjadi penurunan insolasi hingga 50% di sekitar titik
puncaknya, dan penurunan insolasi yang sedikit lebih kecil terjadi di sekitar pukul 9
pagi. Pada bagian [b] atau bulan April 2013 penurunan insolasi di sekitar titik
puncaknya terjadi pada lebih banyak data dengan besar penurunan lebih dari 50 %. Jika
kumpulan data ini langsung digunakan tanpa dilakukan koreksi terlebih dahulu maka
akan menghasilkan kesimpulan yang kurang benar. Untuk itu perlu dilakukan restorasi
data untuk mengembalikan nilai-nilai yang tidak sesuai ini menjadi nilai yang dapat
diterima dengan mengacu pada nilai standar yang diketahui. Nilai standar dapat
diperkirakan dari bentuk grafik normal, yaitu grafik insolasi yang tidak dipengaruhi oleh
penutupan awan atau pada saat kondisi langit cerah (clear day).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
162
Gambar 3. Data insolasi maksimum hasil pengamatan bulan [a] Agustus 2011 dan [b]
April 2013 di Kampus Universitas Bina Darma Palembang.
Langkah selanjutnya adalah “meniadakan” data-data yang dianggap tidak
mewakili keadaan yang sebenarnya karena kesalahan teknis. Dalam hal ini, insolasi
yang dianggap tidak mewakili keadaan sebenarnya adalah insolasi yang menurun secara
cepat hingga ke nilai yang sangat rendah dan terjadi berulang-ulang. Pada gambar 4
bagian [a] dan [b] ditunjukkan grafik yang nilai-nilai gangguannya telah ditiadakan.
Bagian yang ditandai dengan lingkaran berwarna merah adalah insolasi yang ditiadakan
karena dianggap tidak mewakili keadaan sebenarnya disebabkan oleh gangguan teknis
berupa penutupan bayangan menara/antena pada saat pengamatan, dan nilai-nilai
insolasi inilah yang akan dikembalikan lagi menggunakan metode curve fitting
interpolasi polinom orde 4.
Gambar 4. Lingkaran berwarna merah adalah data-data pengamatan insolasi yang
ditiadakan. Gambar [a] adalah data bulan Agustus 2011 dan gambar [b] adalah data
bulan April 2013.
Dari karakter harian insolasi, diketahui bahwa karakter ini memiliki pola yang
serupa dengan grafik sinusoid. Untuk itu dilakukan konversi sumbu-X (waktu
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
163
pengamatan) yang pada mulanya berupa waktu pengamatan (06:00, 06:05, 06:10 … ,
18:00) kemudian diubah menjadi numeris dengan menyetarakan pukul 06:00 bernilai 1
dan seterusnya hingga pukul 18:00. Setelah itu dilakukan penggambaran grafik
menggunakan spreadsheet dan ditentukan trendline-nya menggunakan polinom. Dari
beberapa simulasi, diperoleh hasil bahwa polinom orde 4 adalah yang paling sederhana
dan mengikuti pola karakter yang berbentuk sinusoid. Gambar 5 adalah trendline dan
persamaan matematis polinom orde-4 untuk kedua set data yang digunakan, dan
trendline ditunjukkan dengan grafik berwarna merah. Grafik juga dilengkapi dengan
persamaan matematis polinom orde-4 yang akan dipergunakan untuk mengisi kembali
nilai-nilai insolasi yang telah ditiadakan (Gambar 5).
Gambar 5. Garis merah adalah trendline mengikuti persamaan matematis parabolis
orde-4. Persamaan matematis tersebut akan digunakan untuk merestorasi data-data yang
telah ditiadakan. Gambar [a] untuk data bulan Agustus 2011 dan [b] untuk April 2013.
Setelah dilakukan penghitungan kembali nilai-nilai yang telah ditiadakan maka
diperoleh Gambar 6 yang merupakan hasil interpolasi polinom orde-4. Dari gambar
tersebut terlihat bahwa nilai-nilai insolasi yang menurun dengan cepat akibat penutupan
sensor oleh bayangan menara/antena pada saat pengukuran telah dikoreksi menjadi
insolasi yang seolah-olah tidak terjadi gangguan teknis. Diketahui juga bahwa nilai R2
untuk grafik [a] adalah 0,9886 dan grafik [b] adalah 0,9856.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
164
Gambar 6. Grafik insolasi yang telah dikoreksi menggunakan persamaan interpolasi
orde-4, [a] data bulan Agustus 2011, dan [b] data bulan April 2013.
Teknik interpolasi ini merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
untuk menghilangkan pengaruh-pangaruh alam yang sifatnya lokal dan sesaat, misalnya
penutupan awan. Awan merupakan salah satu faktor alam yang sulit untuk dihindari dan
memiliki dinamika yang sangat tinggi. Penutupan oleh awan akan menyebabkan
penurunan insolasi secara cepat dan bisa terjadi untuk jangka waktu yang agak lama.
Awan dapat ada untuk jangka waktu yang panjang, ataupun sesaat ketika awan bergerak
dari satu tempat ke tempat lain. Awan yang besar (permukaan horizontalnya luas)
menyebabkan efek penutupan yang lebih lama dibandingkan dengan awan yang
permukaan horizontalnya kecil. Awan mengandung uap air jenuh yang berbentuk tetes
air dan akan turun sebagai hujan jika ukurannya cukup besar sehingga tidak mampu
menahan gaya gravitasi bumi. Uap air jenuh akan menahan sebagian energi sinar
matahari sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat tiba di permukaan bumi (AGU,
1995).
Selain dapat digunakan untuk merestorasi data insolasi, metode ini juga dapat
digunakan untuk menghitung kembali energi radiasi matahari yang mencapai
permukaan bumi. Penutupan awan menyebabkan tertahannya sinar matahari mencapai
permukaan bumi sehingga mengurangi energi matahari yang diterima oleh permukaan
bumi. Di dalam pemodelan sirkulasi global ataupun pemodelan iklim, sangat lah
penting untuk mengetahui karakter energi matahari yang tiba di permukaan bumi untuk
mengetahui pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya penutupan awan.
Dengan metode yang dijelaskan di dalam tulisan ini maka dapat dilakukan pendekatan
matematis untuk menghitung energi matahari yang seharusnya diterima oleh bumi
ketika langit cerah tak berawan. Selanjutnya, dapat diketahui juga besarnya
pengurangan energi matahari di permukaan bumi yang disebabkan oleh penutupan awan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
165
Tabel 1 adalah statistika hasil penggunaan interpolasi orde-4 untuk menghitung
energi matahari maksimum yang diterima oleh bumi berdasarkan data pengukuran di
Kampus Universitas Bina Darma Palembang. Kolom [11 digunakan untuk menjelaskan
entry-entry data, dan kolom [2] diperuntukkan bagi data pengamatan bulan Agustus
2011, sedangkan kolom [3] diperuntukkan bagi data pengamatan bulan April 2013. Dari
kolom [2] diketahui bahwa penggunaan interpolasi polinom orde-4 pada kumpulan data
ini menghasilkan koreksi terhadap energi matahari yang diterima oleh bumi sebesar
1,03 % . Dari kolom [3] juga diketahui bahwa koreksi energi matahari yang diterima
oleh bumi sebesar 11% (62,1 Ly) diperoleh dengan penggunaan metode ini.
Tabel 1. Contoh penggunaan interpolasi orde-4 untuk menghitung energi radiasi
matahari tingkat permukaan di Kampus Universitas Bina Darma Palembang
Identitas Data 201108 201304
(kolom - 1) (kolom - 2) (kolom - 3)
Hasil interpolasi 552,4 Langley 624,3 Langley
Data asli 537,2 Langley 562,2 Langley
Selisih 15,2 Langley 62,1 Langley
% 1,03 % 11 %
1 Langley = 41840 Joule/m2.detik
5. KESIMPULAN
Metode pencocokan kurva yang diaplikasikan pada data insolasi maksimum di
Kampus Universitas Bina Darma Palembang memberikan hasil yang cukup baik.
Penerapan metode ini pada energi radiasi matahari di permukaan bumi pada bulan
Agustus 2011 dan April 2013 memberikan nilai koreksi sebesar masing-masing 1,03%
dan 11% untuk karakteristik energi maksimum bulanan, dan besarnya nilai koreksi ini
bergantung pada banyaknya jumlah data yang direstorasi. Metode ini dapat juga
diaplikasikan untuk meminimalisir pengaruh penutupan awan terhadap insolasi atau
energi radiasi matahari tingkat permukaan untuk memperoleh karakteristik penyinaran
matahari pada saat langit cerah, dan berguna juga dalam membangun model radiasi
matahari global.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas
Bina Darma Palembang atas bantuannya dalam pengoperasian peralatan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
166
DAFTAR RUJUKAN
Adi, W.P., Pencocokan Kurva Dengan Metode Interpolasi Newton Untuk Mendapatkan
Nilai Taksiran Antara Dari Sejumlah Data. (Undergraduate Thesis, Duta Wacana
Christian University, 1998). Diunduh dari http://sinta.ukdw.ac.id tanggal 18
Oktober 2013 pukul 16:00 WIB.
AGU (American Geophysical Union)., Water Vapour in The Climate System. Special
report December, ISBN 0-87590-865-9, 1995.
Gebeily, M. El. And B. Yushau., Numerical Methods with MS Excel, The Montana
Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Vol. 4, NO. 1. Pp. 84-92, 2007.
Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Interpolasi_(matematika)) diunduh pada tanggal
18 Oktober 2013 pukul 15:00 WIB.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
167
APLIKASI SATELIT DAN PENGAMATAN IN-SITU UNTUK DETEKSI AEROSOL DAN DISPERSI KABUT ASAP KEBAKARAN BIOMASSA DI PROPINSI RIAU
Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Abstract Biomass burning, which occur in many provinces in Indonesia especially in Riau,
increases during some dry periods along with the high and rapid deforestation and people demand of land clearing for plantation purposes. The deliberate smoke haze out of those fires has been an agent of disturbance for years and left profound impact to the environment such as decreasing of air quality condition and the associated transboundary haze pollution issue. When biomass burns, certain aerosol pollutant is emitted to the atmosphere. The present study aims to investigate the impact of biomass burning to aerosol loading and to study the trajectory of smoke haze pollution from biomass burning occurs in Riau on June 2013 using the application of satellite remote sensing and in situ aerosol observation. Hotspot parameter as an indication of biomass burning was derived from Terra satellite and Aqua MODIS originate from NASA and were collected by Agency for Meteorology Climatology and Geophysics (BMKG). The aerosol optical depth (AOD) was obtained from the Aerosol Robotic Network (AERONET) Sun-Photometer from the Singapore site. Hysplit Trajectory Model has also been applied to study the dispersion of smoke haze pollution. The research shows that AOD value increases along with the increasing of hotspot numbers on certain days. Dispersion of smoke haze from biomass burns using Hysplit Model shows that the pollutants move to east and up to north east to Singapore. Keywords: Aerosol Optical Depth, forest fire, Hysplit Model, hotspot
Abstrak Kebakaran biomassa yang terjadi di beberapa propinsi di Indonesia terutama di Riau
meningkat selama musim kering seiring dengan meningkatnya laju deforestasi dan tingginya kebutuhan masyarakat akan pembukaan lahan baru. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran biomassa telah menjadi penyebab gangguan selama bertahun-tahun dan terbukti berdampak pada lingkungan seperti penurunan kondisi kualitas udara dan dituding menjadi penyebab polusi kabut asap antar lintas batas negara. Ketika biomassa terbakar, polutan aerosol dilepaskan ke atmosfer. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak kebakaran biomassa terhadap muatan aerosol di atmosfer dan untuk mempelajari trajektori sebaran kabut asap di Riau pada bulan Juni 2013 menggunakan aplikasi berbasis satelit remote sensing dan pengamatan aerosol secara in-situ. Parameter titik api sebagai salah satu indikasi terjadinya kebakaran biomassa diperoleh dari satelit Terra dan Aqua MODIS milik NASA yang dikumpulkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Parameter ketebalan optik aerosol (AOD; Aerosol Optical Depth) diperoleh dari Aerosol Robotic Network (AERONET) Sun-Photometer untuk lokasi pengamatan di Singapura. Model trajektori Hysplit juga digunakan dalam penelitian ini untuk melihat dispersi polusi kabut asap. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa nilai AOD meningkat pada hari-hari dimana terjadi kebakaran biomassa. Dispersi sebaran kabut asap kebakaran biomassa menggunakan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
168
Model Hysplit menunjukkan polutan bergerak ke arah Timur sampai dengan Timur Laut menuju Singapura. Kata Kunci : Ketebalan optik aerosol (AOD), kebakaran biomassa, model Hysplit, titik api
1. PENDAHULUAN
Pada kurun waktu 15 tahun terakhir, kebakaran hutan dan biomassa lainnya mendapat
perhatian khusus baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Kebakaran hutan
mengancam lingkungan dan ekonomi. Kebakaran hutan semakin parah jika bersamaan
dengan fenomena bencana El Nino (ENSO) pada tahun 1997/1998. Kebakaran hutan pada
tahun 1997/1998 telah memusnahkan lahan biomassa seluas kurang lebih 25 juta hektar di
seluruh dunia dan 9,8 juta hektar di Indonesia (Tacconi, 2003). Kebakaran dianggap sebagai
ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung pada
ekosistem, kontribusi emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati (Tacconi,
2003).
Permasalahan kebakaran hutan dan lahan di berbagai propinsi di Indonesia terutama di
Riau mulai marak seiring dengan meningkatnya laju penebangan hutan serta tingginya
tekanan penduduk akan pemenuhan kebutuhan hidup dari kawasan hutan. Di Indonesia
sendiri, pembersihan lahan dengan cara pembakaran dianggap merupakan cara yang paling
murah, mudah, dan efisien. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat
bahwa jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan di propinsi Riau terjadi hampir tiap
tahunnya dan meningkat terutama di musim-musim kemarau (bulan April hingga September).
Pada bulan Juni 2013, melalui pantauan satelit Terra dan Aqua MODIS milik NASA, BMKG
mencatat telah terjadi sekitar lebih dari 3400 titik api di Riau
(http://satelit.bmkg.go.id/satelit/image/HOTSPOT/2013/06).
Banyaknya jumlah titik api sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan
memberikan dampak luar biasa bagi lingkungan, sosial ekonomi, hingga permasalahan polusi
udara lintas batas negara (transboundary haze pollution). Kebakaran hutan dan lahan besar-
besaran yang melanda beberapa negara seperti Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand pada tahun 1997-1998 telah mengakibatkan lebih dari 9 juta
hektar lahan terbakar, dari luas tersebut 6,6 juta hektar diantaranya adalah biomassa.
Kerusakan ini menyebabkan kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial lebih dari 9 juta USD
(Tacconi, 2003). Kejadian serupa terjadi lagi, peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang luar
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
169
biasa pada tahun 2013 di Riau kian menjadi permasalahan serius karena lagi-lagi
menyebabkan polusi udara lintas batas negara.
Ketika proses pembakaran biomassa terjadi, polutan-polutan pencemar berupa gas-gas
rumah kaca, senyawa hidrokarbon, dan campuran aerosol berupa black carbon, senyawa
organik, sulfat dan nitrat terlepas ke udara. Menurut Yokelson, et al. (2007), pada kumpulan
asap yang besar akibat kebakaran biomassa diidentifikasi adanya konsentrasi PM10 yang
sangat tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian Holben, et al. (1996) yang menyatakan bahwa
pembakaran biomassa pada biomassa tropis menghasilkan polusi aerosol karbon yang tinggi
terutama di musim-musim kering pada bulan Agustus dan September. Penelitian serupa oleh
Artaxo, et al. (1994) yang mengukur kenaikan konsentrasi partikulat halus (diameter < 2.0
µm) saat musim kering sebagai akibat dari kebakaran biomassa dan memungkinkan
terjadinya transport polutan.
Aerosol adalah cairan atau partikel padatan yang tersuspensi di udara. Peningkatan
aerosol atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alamiah akan mempengaruhi budget
radiasi matahari, yaitu mempengaruhi intensitas radiasi matahari yang diterima permukaan
bumi. Pengaruh langsung dari aerosol ada dua, yaitu efek penghamburan dan absorpsi dari
radiasi matahari. Pengaruh tidak langsung dari aerosol yaitu mendorong pembentukan inti
kondensasi pembentukan awan (Budiwati, et al., 2001). Pengaruh aerosol atmosfer pada
radiasi matahari sangat bergantung pada ukuran penyebaran, bentuk, konsentrasi, dan sifat-
sifat optiknya (Budiwati et al., 2001). Ketebalan optik aerosol atau biasa disebut dengan
istilah aerosol optical depth (AOD) atau aerosol optical thickness merupakan salah satu
parameter penting untuk mempelajari keberadaan aerosol di atmosfer dan dampaknya
terhadap kualitas udara, kesehatan dan lingkungan, serta untuk indikator kebakaran biomassa.
Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa kebakaran hutan, perlu
dilakukan upaya deteksi dini untuk mencegah kerugian yang semakin luas. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam hal ini telah menerapkan beberapa
kebijakan terkait deteksi bencana kebakaran hutan. Selain upaya deteksi dini kebakaran hutan,
BMKG bersama-sama dengan pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanggulangan
Bencana Asap Kebakaran Hutan. Tugas Satgas diantaranya adalah membentuk Pos
Koordinasi (POSKO) yang bertujuan untuk memantau secara terus menerus kondisi titik api
yang terdapat di propinsi Riau dan juga berkoordinasi dengan seluruh instansi pemerintah
diantaranya BNPB, Kementerian Kehutanan, Kepolisian RI, Kementerian Lingkungan Hidup,
BPPT, unsur TNI baik darat, laut, dan udara serta pemerintah propinsi Riau.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
170
Pada tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan BMKG dalam
penanganan kabut asap di propinsi Riau berbasis satelit dan pemodelan serta pengamatan in-
situ aerosol menggunakan alat Sun-Photometer.
2. DATA DAN METODE
Salah satu kebijakan BMKG dalam penanganan kabut asap kebakaran hutan adalah
layanan informasi titik api, sebaran polutan kabut asap kebakaran hutan, dan konsentrasi
polutan yang dilepaskan. Pada tulisan ini, data yang digunakan berupa data jumlah titik api
dan ketebalan optik aerosol (AOD). Jumlah titik api diperoleh dari pantauan satelit Terra dan
Aqua MODIS milik NASA yang dikumpulkan dan dikelola oleh BMKG. Inventarisasi
jumlah titik api dilakukan untuk daerah propinsi Riau pada bulan Juni 2013. Data AOD
diperoleh dari hasil pengamatan dengan menggunakan alat Sun-Photometer yang
ditempatkan di National University of Singapore, Singapura dengan koordinat 1o30’ LS dan
103o77’ BT pada ketinggian 79 meter di atas permukaan laut (Salinas, et al., 2013). Lokasi
pengamatan AOD dengan alat Sun-Photometer yang ada di Singapura merupakan satu dari
kurang lebih 250 lokasi yang termasuk dalam Aerosol Robotic Network (AERONET).
AERONET merupakan jaringan global ground-based remote sensing aerosol yang didirikan
oleh NASA. Tujuan dari program ini antara lain adalah untuk mengkarakterisasi sifat-sifat
optik aerosol, memvalidasi data aerosol yang berasal dari satelit dan model, serta melakukan
sinergi antara pengamatan ground-based dengan pengamatan satelit (Holben, et al., 1998).
Instrumen Sun-Photometer CIMEL Electronique CE-318A mengukur intensitas
radiasi matahari pada delapan panjang gelombang yaitu pada 340, 380, 440, 500, 675, 870,
1020, dan 1640 nm. Instrumen ini mengukur radiasi sinar matahari pada tiap panjang
gelombang setiap 30 menit yang kemudian hasilnya digunakan untuk menghitung nilai AOD.
Produk utama dari pengukuran dengan Sun-Photometer adalah parameter AOD.
Hysplit Trajectory Model digunakan untuk mengetahui sebaran polutan kabut asap
kebakaran hutan. Citra satelit Terra dan Aqua MODIS digunakan untuk memperkuat
trajektori sebaran kabut asap dan pembanding.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menerapkan kebijakan untuk Dalam
deteksi dini dan penanganan kabut asap kebakaran hutan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan
tersebut adalah sebagai berikut:
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
171
a. Fire Danger Rating System (FDRS) yang dikembangkan oleh JICA, Kanada,
Kementerian Kehutanan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
b. Monitoring PM 10 dengan Beta Attenuation Monitoring (BAM) di delapan ibukota
propinsi yang rentan kebakaran hutan (Pekanbaru, Palangkaraya, Pontianak, Jambi,
Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin).
c. Jaringan monitoring Gas Rumah Kaca di 15 daerah.
d. Sistem peringatan dini iklim untuk monitoring kekeringan.
e. Deteksi titik api (hotspot) dengan MODIS.
f. Trajektori sebaran asap dengan Hysplit Model.
g. Program AERONET untuk aerosol monitoring (Jambi, Palangkaraya, Pontianak).
h. Program CATCOS (Capacity Building and Twinning for Climate Observing Systems)
untuk pengukuran aerosol di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang,
Sumatera Barat.
Terkait dengan kasus kebakaran hutan di propinsi Riau pada bulan Juni 2013
dilakukan analisis polutan aerosol dan trajektori sebaran polutan kabut asap. Hasil
pengumpulan data sebaran titik api dan nilai AOD di Singapura serta peta sebaran titik api di
propinsi Riau masing-masing ditampilkan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.
0,0000
0,5000
1,0000
1,5000
2,0000
2,5000
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
AO
D (5
00 n
m)
Hot
spot
Grafik Hotspot dan AOD Juni 2013
Hotspot AOD (500 nm) Linear (AOD (500 nm))
Gambar 1. Grafik titik api terhadap nilai AOD
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
172
Gambar 2. Peta sebaran titik api di propinsi Riau pada 19 Juni 2013
Berdasarkan hasil pengumpulan data di propinsi Riau pada Juni 2013 diketahui
terdapat total sekitar 3487 titik api terpantau dari satelit Aqua dan Terra MODIS dengan
kejadian paling banyak pada tanggal 19 Juni 2013 dengan jumlah titik api mencapai 1393
titik (Gambar 2). Pada Gambar 1 terlihat bahwa kenaikan jumlah titik api diikuti oleh naiknya
nilai AOD. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Artaxo, et al. (1994) bahwa terjadi kenaikan
konsentrasi partikulat halus (diameter < 2.0 µm) saat musim kering sebagai akibat dari
kebakaran biomassa. Pada akhir Juni 2013 terhitung tanggal 26 hingga 30, jumlah titik api di
propinsi Riau mengalami penurunan. Turunnya jumlah titik api di penghujung bulan sebagai
dampak dari upaya pemadaman dan penanggulangan yang dilakukan oleh gabungan
pemerintah dan TNI. Namun demikian, pada tanggal tersebut nilai AOD masih tinggi dan
diatas 1,00 walaupun jumlah titik api berkurang. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa pengukuran AOD dilakukan di Singapura. Tingginya nilai AOD
menunjukkan tingginya konsentrasi aerosol sebagai akumulasi pencemaran aerosol yang
terjadi di Riau selama sebulan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
173
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Grafik AOD Juni 2013
AOD_1640
AOD_1020
AOD_870
AOD_675
AOD_500
AOD_440
AOD_380
AOD_340
Gambar 3. Grafik AOD pada berbagai panjang gelombang
Nilai AOD pada Juni 2013 bervariasi mulai dari 0,054 hingga 2,467 dalam variasi
panjang gelombang 340-1640 nm yang diperlihatkan dalam Gambar 3. Pada Gambar 3
terlihat bahwa pada pertengahan dan akhir Juni terjadi kenaikan nilai AOD yang cukup tinggi
hingga mencapai 2. Menurut Holben, et al. (1998), nilai AOD sebesar 1 menunjukkan bahwa
atmosfer sudah terpolusi. AOD merupakan proporsi dari konsentrasi aerosol yang terdapat di
atmosfer sehingga dengan kata lain telah terjadi polusi aerosol yang cukup tinggi di wilayah
Singapura. Kenaikan nilai AOD pada tanggal 19, 26 dan 30 Juni 2013 merupakan implikasi
dari terjadinya kebakaran hutan di propinsi Riau yang juga ditunjukkan oleh tren kenaikan
AOD. Pada akhir Juni, AOD mencapai 2,466 untuk wilayah Singapura. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya akumulasi aerosol yang diemisikan oleh asap kebakaran hutan selama
sebulan penuh dimana menurut penelitian Kunii et al. (2002) disebutkan bahwa angin
monsun barat daya mendorong terjadinya transport cross-equatorial asap yang berasal dari
Indonesia ke negara tetangga sehingga menyebabkan polusi asap regional dengan konsentrasi
aerosol yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh trajektori sebaran polutan kabut asap dan citra
satelit.
Salah satu kebijakan BMKG yang telah dioperasionalkan dalam hal penanganan kabut
asap kebakaran hutan adalah melakukan pemodelan trajektori dispersi kabut asap. Hasil
running pemodelan trajektori tiga dimensi dengan Hypslit Model menunjukkan bahwa
sebaran kabut asap kebakaran hutan di Riau pada Juni 2013 mengarah ke Timur dan Timur
Laut menuju wilayah Singapura yang ditunjukkan oleh Gambar 4. Pada Gambar 5
diperlihatkan sebaran kabut asap kebakaran hutan pada 19 Juni 2013 yang diperoleh dari citra
satelit Aqua MODIS (a) dan Terra (b). Baik hasil pemodelan maupun citra satelit
menunjukkan bahwa sebaran kabut asap mengarah ke wilayah Singapura.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
174
(a) (b)
Gambar 4. (a) Trajektori sebaran kabut asap pada 19 Juni 2013 (b) Trajektori sebaran kabut
asap pada Juni 2013
(a) (b)
Gambar 5. (a) Sebaran kabut asap pada 19 Juni 2013 dari citra satelit Aqua Modis (b)
Sebaran kabut asap pada 19 Juni 2013 dari citra satelit Terra
4. KESIMPULAN
Terjadi peningkatan nilai ketebalan optik aerosol (AOD) pada bulan Juni seiring
dengan peningkatan jumlah titik api di propinsi Riau dengan nilai 0,054- 2,467 dalam variasi
panjang gelombang 340-1640 nm. Peningkatan AOD yang cukup jelas terlihat mulai tanggal
19 Juni hingga 30 Juni 2013 dengan nilai AOD mencapai 2,467 sebagai akumulasi dari
aerosol yang diemisikan asap kebakaran hutan di propinsi Riau.
Trajektori sebaran kabut asap kebakaran hutan dengan Hysplit Model menunjukkan
polutan kabut asap di Riau bergerak menuju ke arah Timur dan Timur Laut menuju wilayah
Singapura. Citra satelit Terra dan Aqua MODIS memperkuat data observasi dan trajektori
yang dilakukan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
175
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Pusat Perubahan
Iklim dan Kualitas Udara BMKG – Dr. Edvin Aldrian, APU; Project Manager AERONET
NASA–Dr. Brent Holben; serta rekan-rekan BMKG antara lain Dr. Ardhasena
Sopaheluwakan dan Mizani Ahmad, ST.
DAFTAR RUJUKAN
Artaxo, P., Gerab, F., Yamasoe, M.A., and Martins J.V., Fine Mode Aerosol Composition at
Three Long-term Atmospheric Monitoring Sites in the Amazon Basin. Journal of
Geophysical Research: Atmospheres, Vol 99, 22857-22868, 1994.
Budiwati, T., Sumaryati, dan Sofiati, I., Karakteristik Ketebalan Optik Aerosol di Bandung.
Kontribusi Fisika Indonesia Vol. 12 No. 4, 2001.
Holben, B.N., Eck, T.F., Slutsker, I., Tanre, D., Buis, J.P., Setzer, A., Vermote, E., Reagan,
J.A., Kaufman, Y., Nakajima, T., Lavenu, F., Jankowiak, I., and Smirnov, A.,
AERONET - A Federated Instrument Network and Data Archive for Aerosol
Characterization. Remote Sensing Environment. 66, 1-16, 1998.
Holben, B.N., Tanré, D., Smirnov, A., Eck, T.F., Slutsker, I., Abuhassan, N., Newcomb,
W.W., Schafer, J.S., Chatenet, B., Lavenu, F., Kaufman, Y.J., Castle, J., Setzer, A.,
Markham, B., Clark, D., Frouin, R., Halthore, R., Karneli, A., O'Neill, N.T., Pietras, C.,
Pinker, R.T., Voss, K., Zibordi, G., An Emerging Ground-based Aerosol Climatology:
Aerosol Optical Depth from AERONET, 1996.
Kunii, O., Kanagawa, S., Yajima, I., Hisamatsu, Y., Yamamura, S., Amagai, T., Ismail, I.T.,
The 1997 Haze Disaster in Indonesia: Its Air Quality and Health Effects. Archives of
Environment Health. 57, 16–22, 2002.
Salinas, S.V., Chew, B.B., Miettinen, J., Campbell, J.R., Welton, E.J., Reid, J.S., Yu, L.E.,
Liew, S.C., Physical and Optical Characteristics of the October 2010 Haze Event over
Singapore: A Photometric and Lidar Analysis. Journal of Atmospheric Research 122
(2013) 555–570, 2013.
Tacconi, Luca, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasi Kebijakan.
CIFOR Occasional Paper No.3. CIFOR. Bogor, 2003.
Yokelson, R.J., Karl, T., Artaxo, P., Blake, D.R.., Christian, T.J., Griffith, D.W.T.,
Guenther, A., Hao, W.M., The Tropical Forest and Fire Emissions Experiment:
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
176
Overview and Airborne Fire Emission Factor Measurements. Atmospheric
Chemistry Physics Vol 7, 5175-5196, 2007.
http://satelit.bmkg.go.id/satelit/image/HOTSPOT/2013/06/. (diakses pada tanggal 2 Juli
2013).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
177
ESTIMASI KEBUTUHAN LAMA PAPARAN RADIASI ULTRAVIOLET DI BANDUNG
Sumaryati Bidang Komposisi Atmosfer – LAPAN
Abstract Ultraviolet-B (UV-B) radiation has positive and negatif impacts in human health. The
positive impact is support to form vitamin D in the body, however if the excessive exposure can lead to health problems such as skin cancer and cataracts. Therefore need to measure how long the exposure duration of UV-B radiation that is safe for health. The exposure duration of ultraviolet radiation required depends on ultraviolet radiation intensity that represented by ultraviolet index. This study estimated ultraviolet-B exposure duration in Bandung to fulfill the human health based on monitoring of ultraviolet index using AWS (automatic weather station). The analysis showed that ultraviolet exposure duration of 10 minutes to 2 hours is enough to meet the human health needs. Exposure duration of 10 minutes is enough when ultraviolet index is maximum that ultraviolet index reached above 16, ie when the sun is around the noon in January to March with clear conditions. Exposure duration reaches until 1 hour when the UV index only about 2, which occurred in the early morning and late afternoon. Key words: ultraviolet index, intensity, exposure, Bandung
Abstrak
Radiasi ultraviolet-B (UV-B) memiliki dampak positif dan negatif terhadap kesehatan manusia. Dampak positif UV-B adalah membantu pembentukan vitamin D dalam tubuh, dan dampak negatifnya adalah ketika paparan berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker kulit dan katarak. Oleh karena itu perlu menakar seberapa besar paparan radiasi UV-B yang aman bagi kesehatan. Lama paparan radiasi UV-B yang dibutuhkan tergantung intensitasnya yang dinyatakan dengan indeks ultraviolet. Kajian ini memperkirakan kebutuhan paparan radiasi UV-B di Bandung untuk memenuhi kebutuhan kesehatan berdasarkan monitoring indeks ultraviolet dengan AWS. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama paparan radiasi ultraviolet 10 menit sampai 2 jam cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan. Lama paparan cukup 10 menit ketika indeks ultraviolet maksimum dengan nilai mencapai di atas 16, yaitu pada saat matahari berada di sekitar titik kulminasi sekitar jam 12.00 waktu matahari pada bulan Januari – Maret dengan kondisi tidak berawan. Lama paparan bisa mencapai 2 jam ketika indeks ultraviolet kurang dari 4, yang terjadi pada pagi dan sore hari Kata kunci: indeks ultraviolet, intensitas, paparan, Bandung
1. PENDAHULUAN
Radiasi ultraviolet-B bermanfaat bagi kesehatan manusia karena membantu dalam
pembentukan vitamin D dalam tubuh. Peran vitamin D sangat penting bagi tubuh antara lain
untuk membentuk struktur tulang dan gigi yang kuat, meningkatkan absorbsi kalsium di
saluran pencernaan, memperkuat sistem kekebalan dan mencegah berbagai jenis kanker.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
178
Defisiensi vitamin D dalam tubuh dapat menyebabkan tubuh mengalami berbagai gangguan
penyakit, antara lain osteoporosis (kepadatan tulang), osteopenia (kepadatan mineral tulang),
diabetes, hipertensi, dan berbagai penyakit jantung serta proteksi terhadap kanker (Holick,
2008)
Paparan radiasi ultraviolet-B yang berlebihan dapat merusak sel, sehingga
menimbulkan penyakit seperti katarak mata, luka bakar, penuaan dini, dan kanker kulit.
Adanya kejadian penipisan lapisan ozon yang menyebabkan radiasi UV-B semakin besar
yang sampai ke permukaan bumi, menambah kekuatiran akan dampak negatif dari paparan
radiasi UV-B. Oleh karena itu muncul kesan bahwa paparan radiasi ultraviolet matahari
berbahaya.
Kebutuhan paparan radiasi ultraviolet dipengaruhi oleh letak geografi, jenis kulit,
pelindung tubuh serta konsumsi makanan yang menjadi dasar pembentukan vitamin D itu
sendiri (Stalgis-Bilinski, 2011). Untuk kulit berwarna relatif lebih tahan terhadap paparan
radiasi ultraviolet, tetapi dampak terhadap penyakit katarak tetap menjadi masalah (Wang,
2012). Pada makalah ini akan diperkirakan kebutuhan paparan radiasi ultraviolet di Bandung
dengan mempertimbangkan ras dan budaya masyarakat, serta variasi indeks ultraviolet.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Besarnya kebutuhan radiasi UV-B tergantung pada jenis kulit, perlindungan yang
digunakan, intensitas dan lama paparan. Jenis kulit menurut sensivitasnya terhadap radiasi
matahari, dibagi menjadi enam kategori yang disebut skala Fitzpatrick (Table 1). Intensitas
radiasi dipengaruhi oleh posisi lintang dan waktu. Intrensitas radiasi menurut waktu
mengalami siklus pada periode tertentu (Sumaryati, 2012). Periode harian terkait dengan
perputaran bumi yang menghasilkan siang dan malam. Siklus tahunan terkait dengan sudut
deklinasi serta jarak bumi dan matahari pada posisi perihelion dan aphelion. Selain itu
aktifitas matahari dalam periode sebelas tahunan juga berpengaruh terhadap radiasi yang
sampai ke permukaan bumi.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
179
Tabel 1. Jenis kulit berdasarkan sensivitasnya terhadap radiasi ultraviolet-B
Jenis
kulit
Keterangan
Tipe
1
Sangat sensitif sekali dan selalu terbakar oleh paparan radiasi matahari.
Contohnya kulit yang dimiliki kulit putih tanpa ada unsur warna coklat dengan
muka ber bintik-bintik dan berambut merah.
Tipe
2
Sangat sensitif dan mudah terbakar oleh radiasi matahari. Misalnya kulit
dengan unsur warna coklat sedikit yang dimiliki oleh ras Kaukasia
Tipe
3
Sensitif terhadap radiasi matahari dan kadang-kadang terbakar, kulit putih agak
kecoklatan. Contohnya ras Kaukasia yang bekulit agak hitam
Tipe
4
Agak sensitif dan kadang-kadang sedikit terbakar oleh radiasi matahari, warna
kulit coklat muda sampai sedang, misalnya jenis kulit putih Mediterranian dan
ras Hispan
Tipe
5
Kurang sensitif dan jarang terbakar oleh radiasi matahari. Kulit coklat. Contoh:
Beberapa Hispanik, dan beberapa kulit hitam
Tipe
6
Tidak sensitif dan tidak pernah terbakar oleh radiasi matahari, pigmen hitam
penuh. Contoh: ras kulit hitam gelap.
Sumber: http://www.arpansa.gov.au/pubs/RadiationProtection/FitzpatrickSkinType.pdf
Gambar 1. Kebutuhan paparan radiasi ultraviolet jenis kulit 2 dengan berbagai perlindungan
tubuh (Sumber: McKenzie, et al., 2009)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
180
Kebutuhan paparan radiasi ultraviolet untuk kulit tipe 2 dengan berbagai perlindungan
dan intensitas radiasi ultraviolet yang dinyatakan dalam indeks ultraviolet ditunjukkan pada
Gambar 1. Indeks ultraviolet merupakan besaran yang tidak berdimensi yang menyatakan
seberapa besar tingkat bahaya paparan radiasi ultraviolet yang telah ditetapkan oleh WHO,
WMO, UNEP, dan ICNIRP tahun 2002.
Berdasarkan jenis kulit dari skala Fitzpatrick di atas, masyarakat Bandung mendekati
tipe 4 dan mayoritas bagian tubuh yang terpapar oleh radiasi matahari adalah bagian tangan
dan muka. Standar jenis kulit tipe 2 ini, maka dibutuhkan waktu lebih lama lagi.
3. DATA DAN METODOLOGI
• Radiasi ultraviolet-B yang dinyatakan sebagai indeks ultraviolet diamati dengan AWS
(Automatic weather station) di Bandung pada koordinat 10735’ BT, 653,73’LS, dari
tahun 2007 – 2012, dengan selang waktu pengamatan 15 menit
• Untuk menentukan lama paparan digunakan standar untuk jenis kulit 2 dengan bagian
tubuh yang terpapar adalah muka dan tangan. Lama paparan untuk setiap nilai indeks
ultraviolet didekati dengan nilai standar dari hasil penelitian McKenzie et al. (2009) yang
disajikan pada Gambar 2.1
• Analisis indeks ultraviolet ketika intensitas radiasi matahari harian maksimum dan
minimum jika tidak ada awan dan perkiraan kebutuhan lama paparan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian (McKenzie, et al., 2009) pada Gambar 1, perkiraan kebutuhan
paparan radiasi ultraviolet dengan paparan pada bagian tubuh meliputi tangan dan wajah
sesuai dengan kondisi masyarakat di Bandung untuk indeks ultraviolet dari 1 – 15 disajikan
pada Tabel 2.
Monitoring indeks ultraviolet maksimum harian dari tahun 2007 – 2011 di Bandung
pada posisi 10735’ BT , 653,73’LS disajikan pada Gambar 2. Nilai indeks ultraviolet
dibatasi hanya sampai 16. Indeks ultraviolet di atas 16 sangat jarang, dan menurut UNEP
indeks ultraviolet di atas 11 termasuk ekstrim bahaya.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
181
Tabel 2. Perkiraan lama paparan tipe kulit II untuk nilai indeks ultraviolet
bersumber dari McKenzie et al. (2009)
Indeks
UV
Lama paparan
(mnt)
Indeks
UV
Lama paparan
(mnt)
Indeks
UV
Lama paparan
(mnt)
1 110 6 19 11 9
2 80 7 14 12 8
3 42 8 12 13 7
4 30 9 11 14 6,5
5 21 10 10 15 6
Gambar 2. Indeks ultraviolet maksimum harian di Bandung
Pengaruh awan sangat kuat dalam mengurangi intensitas radiasi ultraviolet yang
sampai ke permukaan bumi di Bandung (Sumaryati, 2011). Potensi intensitas radiasi harian
maksimum yang sampai ke permukaan bumi di Bandung terjadi sekitar bulan Januari – Maret
pada tahun 2012 dan minimum sekitar bulan Juni-Juli. Hal itu dikarenakan faktor jarak antara
bumi dan matahari, aktifitas matahari dan sudut deklinasi matahari (Sumaryati, 2012).
Potensi radiasi maksimum di Bandung terjadi pada musim hujan dengan kondisi awan relatif
tebal. Sebaliknya, ketika kondisi radiasi minimum di Bandung terjadi pada musim kemarau
dengan kondisi langit relatif lebih cerah di Bandung ketika potensi radiasi maksimum.
Indeks ultraviolet maksimum harian untuk kondisi tidak berawan sulit terjadi di
Bandung. Gambar 3.a menunjukkan indeks ultraviolet maksimum dengan penutupan awan
kecil yang terjadi pada tanggal 16 maret 2012. Gambar 3.b contoh indeks ultraviolet pada
saat intensitas radiasi matahari harian di Bandung minimum dan sinar matahari tidak
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
182
terhalang awan, yang terjadi pada tanggal 3 Agustus 2009. Maksimum harian indeks
ultraviolet pada saat potensi intensitas radiasi matahari maksimum pada bulan sekitar Januari
– Maret bisa mencapai lebih dari 16. Ketika potensi intensitas radiasi matahari minimum dan
pada bulan sekitar Juni-Juli dan kondisi langit cerah nilai indeks ultraviolet hanya sekitar 10.
Perbedaan indeks ultraviolet harian maksimum dan minimum karena faktor sudut
deklinasi dan posisi matahari bumi cukup signifikan. Saat intensitas harian minimum terjadi
ketika matahari berada pada sekitar garis balik utara bertepatan dengan posisi matahari bumi
aphelion, yang terjadi sekitar bulan Juni – Juli, nilai indeks ultraviolet maksimum hanya 11
(Gambar 3.a). Potensi radiasi maksimum terjadi ketika matahari berada di atas Bandung
sekitar Desember – Februari beretpatan dengan posisi bumi matahari perihelion, perkiraan
indeks ultraviolet maksimum mencapai nilai 17.
Berdasarkan kebutuhan lama paparan untuk kulit tipe 2 dengan bagian tubuh yang
terpapar adalah muka dan tangan (Tabel 2), perkiraan kebutuhan lama paparan saat intensitas
radiasi harian minimum dan maksimum disajikan dalam Gambar 3 yang ditunjukkan dengan
garis merah. Perkiraan kebutuhan lama paparan ini untuk jenis kulit II dan bagian yang
terpapar adalah muka dan tangan dan dengan asumsi langit cerah tidak disajikan pada
Gambar 3.b.
Perkiraan kebutuhan lama paparan sebagaimana digambarkan pada Gambar 3 untuk
jenis kulit tipe 2 dan bagian tubuh yang kena radiasi ultraviolet adalah muka dan tangan, serta
langit cerah tidak berawan. Kondisi realnya, langit sering berawan, terutama pada musim
hujan ketika indeks ultraviolet berpotensi mencapai nilai 17. Tipe kulit mayoritas masyarakat
Bandung bukan tipe 2, tetapi mendekati tipe 4 yang relatif membutuhkan lebih lama paparan
radiasi ultraviolet. Tidak sepenuhnya muka dan tangan terpapar oleh radiasi ultraviolet,
karena masih memakai pelindung seperti penutup kepala dan tabir surya yang juga
menjadikan kebutuhan paparan lebih lama.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
183
A
B
Gambar 3. Indeks ultraviolet harian dan perkiraan kebutuhan lama paparan kondisi tidak
berawan (a) saat indeks ultraviolet harian minimum (b) saat indeks ultraviolet
harian potensi maksimum
Pada saat indeks ultraviolet maksimum yang terjadi sekitar jam 12.00 waktu matahari,
dengan nilai 17 diperkirakan jika paparan mengenai muka dan tangan sekitar 5 menit cukup
memenuhi kebutuhan kesehatan tubuh. Hal umum yang terjadi, paparan tidak penuh
menganai muka dan tangan, karena matahari tepat di atas, oleh karena itu kebutuhan paparan
radiasi lebih lama lagi bisa mencapai 10 menit.
Pada waktu pagi dan sore hari dan pada kondisi intensitas menurun sampai nilai nol.
Perkiraan kebutuhan untuk nilai indeks ultraviolet kurang dari 5 pada saat intensitas radiasi
harian minimum dan sinar matahari tidak terhalang awan berdasarkan Tabel 2, maka
perkiraan kebutuhan lama paparan dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3, diketahui untuk memenuhi kebutuhan paparan radiasi ultraviolet
sampai seratus prosen untuk kulit tipe 2 dengan paparan muka dan tangan dibutuhkan waktu
sekitar 75 menit. Oleh karena itu untuk kulit tipe 4 diperkirakan kebutuhan paparan sekitar
2,2 jam setelah matahari terbit atau menjelang terbenam.
Tabel 3. Perkiraan kebutuhan lama paparan radiasi ultraviolet
jam IUV
Perkiraan
kebutuhan lama
paparan (menit)
Prosentase
pemenuhan dalam
paparan 15 menit
prosentase akumulasi
pemenuhan
kebutuhan
7:00 0,7 140 10,7 10,7
7:15 0,9 120 12,5 23,2
7:30 1,2 100 15,0 38,2
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
184
7:45 1,5 88 17,0 55,3
8:00 2,0 70 21,4 76,7
8:15 2,4 60 25,0 101,7
8:30 3,0 45 33,3 135,0
8:45 3,6 37 40,5 175,6
9:00 4,1 27 55,6 231,1
5. KESIMPULAN
Berdasarkan monitoring indeks ultraviolet dengan AWS di Bandung, diperkirakan
kebutuhan paparan hanya sekitar 10 menit ketika intensitasnya maksimum yang terjadi
sekitar jam 12.00 waktu matahari pada Januari – Maret. Setelah matahari terbit atau
menjelang matahari terbenam, terutama pada bulan sekitar Juli kebutuhan lama paparan
mencapai 2 jam.
Daftar Rujukan
Fitzpatrick Skin Type, Australian Radiation Protection and Nuclear Savety Agency,
http://www.arpansa.gov.au/pubs/RadiationProtection/FitzpatrickSkinType.pdf, download
November 2013
Holick M,F, Sunlight, UV-radiation, vitamin D and skin cancer: how much sunlight do we
need? Advances in Experimental Medicine and Biology 624:1-15, doi: 10,1007/978-0-
387-77574-6_1, 2008;
McKenzie, R,L,; Liley, J,B,; Björn, L,O, UV Radiation: Balancing Risks and Benefits,
Photochemistry and Photobiology 85, pp 88–98, 2009,
Sumaryati, S, Hamdi, dan Suparno, Korelasi Radiasi Global, Radiasi Ultraviolet dan Indeks
Ultraviolet, Prosiding SNSAA 2011
Sumaryati, Radiasi Ultraviolet dan Indeks ultraviolet di Bandung, Prosiding Simposium
Fisika nasional XXV, HFI, 2012
Stalgis-Bilinski K,L, J, Boyages, E,Salisbury, C, R, Dunstan, S, Henderson and P, L Talbot,
2011, Burning daylight: balancing vitamin D requirements with sensible sun exposure,
Medical Journal of Australia 2011; 194 (7): 345-348,
Wang Y, J, Yu, Q, Gao, L, Hu, N, Gao, H, Gong, dan Y, Liu,,The Relationship between the
Disability Prevalence of Cataracts and Ambient Erythemal Ultraviolet Radiation in
China, DOI: 10,1371 journal, 2012 37
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
185
PENGARUH MJO TERHADAP PERILAKU HUJAN HARIAN DI ATAS KOTOTABANG
Syafrijon
Loka Pengamatan Atmosfer Kototabang- LAPAN [email protected]
Abstract MJO (Madden Julian Oscillation) can be characterized as an eastward moving of
cloud and rainfall near the equator that typically recurs every 30 to 60 days. The objective of this study is to investigate the effect of MJO to the diurnal rain characteristic at Kototabang. The rainfall data which were taken from ORG (optical rain gauge) observation during CPEA-I campaign were categorized by four times period (early morning, morning, afternoon and night). The results showed the occurrence of rain in the inactive of MJO were dominant in the afternoon. The occurrence of rain in the active phase of MJO were dominant in the afternoon and night time. The amount of rain in afternoon and night time during the inactive phase was less than amount precipitation in the active phase at the same time period. Keywords: inactive MJO, active MJO, CPEA-I, TBB, ORG.
Abstrak Fenomena MJO (Madden Julian Oscillation) ditandai dengan pergerakan kumpulan
awan dan hujan di wilayah equator yang bergerak dari samudra India menuju bagian timur Indonesia yang berulang setiap 30 – 60 hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh MJO terhadap perilaku hujan harian di atas Kototabang. Data curah hujan dari pengamatan ORG (optical rain gauge) di Kototabang pada periode CPEA-I dikelompokan menjadi empat kelompok waktu (dini hari, pagi, siang dan malam). Didapatkan bahwa pada masa MJO tidak aktif hujan lebih dominan terjadi pada sore hari, sedangkan pada masa MJO aktif hujan lebih banyak terjadi pada sore dan malam hari. Ditemukan juga curah hujan yang terjadi pada masa MJO tidak aktif lebih sedikit dari curah hujan pada MJO aktif pada empat waktu yang di amati.
Kata Kunci : MJO aktif, MJO tidak aktif, CPEA-I, TBB, ORG.
1. PENDAHULUAN
Fenomena MJO (Madden Julian Oscillation) ditandai dengan pergerakan kumpulan
awan dan hujan di wilayah equator yang bergerak dari samudra India menuju bagian timur
Indonesia yang berulang setiap 30 – 60 hari (Madden dan Julian, 1971). Kepulauan Indonesia
adalah tempat yang paling sering terjadi konveksi (Ramage, C.S., 1968). Nitta, Ts dan S.
Sekine (1994) dengan menggunakan data satelit telah menemukan bahwa aktifitas konveksi
di Indonesia didominasi oleh siklus harian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh MJO terhadap perilaku hujan harian di daerah Kototabang.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
186
Dengan menggunakan data suhu puncak awan pada saat observasi CPEA-I (Proses
kopel di daerah equator), Shibagaki et. al. 2006b menemukan bahwa masa tidak aktif MJO
terjadi pada tanggal 10 – 22 April 2004 dan masa aktif MJO adalah terjadi pada 23 April – 08
Mei 2004.
2. DATA DAN METODE
Data utama yang di gunakan pada penelitan ini adalah data curah hujan hasil
pengamatan ORG (Optical raingauge) pada periode CPEA-I (10 April – 08 Mei, 2004). Data
diolah secara statistik untuk mengetahui probabilitas kejadian hujan dan jumlah curah hujan
dengan membagi waktu terjadinya hujan menjadi empat kelompok waktu, yaitu dini hari
(00.00 - 05.59 am), pagi (06.00 – 11.59 am), siang (12.00 – 17.59 pm) dan malam hari
(18.00 pm – 23.59 pm). Selain itu data juga ORG juga di olah secara statistik untuk melihat
perilaku hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Probabilitas kejadian hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif
pada periode observasi CPEA-I (10 April – 8 Mei, 2004).
Probabilitas kejadian hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif seperti terihat
pada Gambar 1 menunjukan bahwa pada saat MJO tidak aktif hujan lebih sering terjadi pada
saat malam hari. namun tidak terjadi pada dini hari. Pada gambar yang sama juga
memperlihatkan bahwa saat MJO aktif hujan terjadi disemua waktu pengamatan. Hal ini
dapat di artikan bahwa pada saat MJO tidak aktif sirkulasi harian sangat berperan dalam
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
187
terjadinya hujan, dimana proses pemanasan maatahari menghasilkan konveksi pada siang hari
dan menghasilkan hujan.
Selain itu hujan terlihat lebih dominan terjadi pada sore dan malam hari. Kejadian
hujan yang berlansung di semua waktu pengamatan dimungkinkan terjadi oleh pengaruh
awan-awan besar yang masuk dari samudera India. Dimana awan-awan tersebut
mempengaruhi sirkulasi lokal sehingga proses terbentuknya awan oleh konveksi atau
pemanasan matahari tidak terjadi.
Gambar 2. Total curah hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif
pada periode observasi CPEA-I (10 April – 8 Mei, 2004).
Gambar 2 diatas memperlihatkan jumlah curah hujan yang terjadi pada saat MJO
tidak aktif dan MJO aktif. Jumlah curah hujan terbanyak terjadi pada saat MJO aktif yaitu
pada waktu malam hari. Hal ini menunjukan bahwa curah hujan dipengaruhi oleh tingkat uap
air yang tinggi, dimana pada saat MJO aktif uap air yang telah dikonversi ke awan bergerak
dari samudera India menuju daratan pulau Sumatera dan berubah menjadi hujan ketika
kumpulan awan-awan besar sampai di daratan Sumatera (Shibagaki et. al. 2006) Pada saat
MJO tidak aktif curah hujan tidak terlalu tinggi baik itu pada siang ataupun malam hari. Hal
ini menandakan bahwa uap air yang terjadi oleh sirkulasi lokal tidak terlalu tinggi.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
188
(a) (b)
Gambar 3. Curah hujan jam-jam-an pada hari a) MJO tidak aktif, b) MJO aktif
Curah hujan jam-jam-an selama satu hari yaitu pada saat MJO tidak aktif (11 April
2004) dan MJO aktif (29 April 2004) terlihat pada Gambar 3 diatas. Pada tanggal 11 April
hujan terjadi pada siang hari dengan intensitas tinggi dan waktu yang singkat. Terlihat hujan
terjadi pada jam 12 siang dengan intensitas curah hujan adalah 7 mm/jam dan dan pada jam
13 siang hujan terjadi dengan intensitas 3 mm/jam. Terlihat proses konveksi terjadi pada saat
MJO tidak aktif, yaitu hujan terjadi pada saat siang hari dimana pada saat proses pemanasan
oleh matahari berlansung. Pada saat MJO aktif yaitu pada tanggal 29 April 2004 hujan terjadi
pada dini hari, pagi dan siang dengan intensitas yang rendah. Hal ini dimungkinkan terjadi
oleh hujan stratiform dengan skala besar yang terjadi oleh awan-awan besar yang memasuki
daratan Sumatera.
4. KESIMPULAN
Dari hasil analisa yang telah dilakukan maka didapatkan beberapa kesimpulan yang
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Waktu terjadinya hujan pada saat MJO tidak aktif didominasi pada siang hari (12.00 –
17.59 pm). Hal ini terjadi karena pengaruh sirkulasi lokal yang menyebabkan terjadinya
hujan konvekfif.
2. Waktu hujan pada saat MJO aktif terjadi pada semua waktu pengamatan, yaitu hujan
terjadi pada saat dini hari, pagi, siang dan malam hari. Hal ini terjadi karena uap air dan
hujan di bawa dari samudera dimana saat itu awan-awan besar memasuki daratan.
3. Hujan yang terjadi pada saat MJO tidak aktif berlansung dalam waktu sebentar (2 jam)
dengan internsitas tinggi (10 mm).
4. Hujan yang terjadi pada saat MJO aktif berlansung dalam waktu yang lama (7 jam)
dengan intensitas rendah (7 mm).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
189
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada LAPAN dan semua teman atas dukungannya dalam menyelesaikan
makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dr. T. Shimomai karena telah menyediakan data
ORG.
DAFTAR RUJUKAN
Madden, R. A., and P. R. Julian., Detection of a 40-50 day oscillation in the zonal wind in the
tropical Pacific, J. Atmos. Sci., 28, 702-708, 1971.
Nitta, Ts., and S. Sekine., Diurnal variation of convective activity over the tropical western
Pacific, J. Meteor. Soc. Japan, 72, 627–641, 1994.
Ramage, C.S., Role of a tropical ‘‘maritime continent’’ in the atmospheric circulation, Mon.
Wea. Rev., 96, 365–369, 1968.
Shibagaki, Y., T. Kozu, T. Shimomai, S. Mori, F. Murata, Y. Fujiyoshi, H. Hashiguchi, and
S. Fukao., Evolution of a Super Cloud Cluster and the Associated Wind Fields Observed
over the Indonesian Maritime Continent during the first CPEA Campaign, J. Meteor.
Soc.Japan, this issue, 2006.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
190
DISTRIBUSI ASAM (NON SEA SALT SO42-; NO3
- DAN Cl-) DAN BASA (NH4
+; SEA SALT Ca2+; DAN NON SEA SALT Ca2+) DI INDONESIA
Tuti Budiwati* dan Wiwiek Setyawati
Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer -LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung
*Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443; e-mail: [email protected]
Abstract Other than SO2, NOx and HCl that act as precursors to determine rainwater acidity,
there are also neutralizing agents such as ammonium, calsium and magnesium. Potential of sulphate and nitrate formations in urban and rural areas close to the volcanoes in Indonesia was relatively high because of the precursors existence: gaseous SO2 and HCl. On the contrary, Cl concentration was relatively high in Eastern Indonesia indicating high contribution of sea source. Wet deposition data used in the analisys were obtained from monitoring data carried out by BMKG (Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics), LAPAN (Indonesian National Institute of Aeronautics and Sapce) and PUSARPEDAL (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan) in 2000-2008 in some Indonesian cities i.e. Banjarbaru, Pontianak, Kupang, Mataram (NTB), Mataram, Medan, Kototabang, Lampung, Palembang, Jakarta, Bogor, Serpong and Bandung. Monthly average of rainwater acidity indicated by pH in Indonesia was 5.05, maximum 7.75 and minimum 2.89. Rainwater pH frequency distribution with value less or equal than 5.6 was 80.16% with highest frequency was found within range of 4.6-5.0 (28%) and within 5.1-5.5 (27%). Acid agent was more dominant than neutralizing agent therefore rainwater pH was acid. Human activities influenced acid deposition as indicated by SO2 influence to non seasalt (nss) SO4
2- and NO2 to NO3
- that concentrated in Java and Sumatera. In Sumatera and Kalimantan forest fires had lead to acid rain.
Keywords: acid, base, acid rain, Indonesia, pH
Abstrak
Selain SO2, NOx dan HCl sebagai prekursor dalam menentukan keasaman air hujan terdapat pula unsur penetralnya yaitu amonium, kalsium dan magnesium. Potensi pembentukan sulfat dan nitrat di daerah urban dan rural dekat gunung berapi di Indonesia cukup tinggi dengan adanya prekursor gas-gas SO2 dan HCl. Sebaliknya, Cl ternyata tinggi di daerah Indonesia timur menandakan kontribusi dari sumber laut yang besar. Data deposisi basah yang digunakan dalam analisis adalah data monitoring oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), LAPAN (Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional) dan PUSARPEDAL (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan) tahun 2000-2008 di beberapa kota Indonesia seperti Banjarbaru, Pontianak, Kupang, Mataram (NTB), Mataram, Medan, Kototabang, Lampung, Palembang, Jakarta, Bogor, Serpong dan Bandung. Berdasarkan data rata-rata bulanan tersebut di Indonesia keasaman air hujan dalam nilai pH rata-rata adalah 5,05 dengan nilai maksimum 7,75 dan minimum 2,89. Distribusi pH air hujan ≤5,6 adalah 80,16% dengan terbanyak di kisaran 4,6-5,0 sebanyak 28% dan 5,1-5,5 sebanyak 27%. Dan unsur asam lebih mendominasi dibandingkan basa sehingga pH air hujan lebih asam. Aktivitas manusia mempengaruhi deposisi asam terlihat adanya pengaruh SO2 terhadap non seasalt (nss) SO4
2- dan NO2 terhadap NO3- yang terkonsentrasi di Jawa dan
Sumatera. Berbeda dengan Kalimantan dan Sumatera masalah kebakaran hutan berdampak pada deposisi asam.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
191
Kata Kunci: asam, basa, hujan asam, Indonesia, pH
1. PENDAHULUAN
Dampak pencemaran udara terjadi dalam beberapa tingkat. Pada skala mikro/lokal,
pencemaran udara hanya mempengaruhi kualitas udara setempat, dalam lingkup yang relatif
terbatas, misalnya pencemaran udara oleh debu. Selain itu terdapat pula pencemaran udara
dalam skala meso atau regional, yang dampaknya dapat mempengaruhi areal yang lebih luas
contohnya hujan (Stern et al., 1984). Pencemar-pencemar tersebut relatif stabil di atmosfer
dan dapat berpindah bersamaan dengan massa udara untuk jarak jauh (Milukaite et al., 2000).
Dampak dari emisi gas yang berasal dari kota dan industri di kota Bandung akan
mempengaruhi komponen kimia air hujan dalam skala meso yaitu wilayah di sekitarnya.
Polutan akan tinggal beberapa waktu di udara dan kemudian musnah terdeposisi, baik
deposisi kering maupun deposisi basah. Selama polutan berada di udara menyebabkan
kualitas udara ambien menurun, yang berakibat langsung pada kesehatan manusia. Problem
polusi udara yang menyebar secara lokal dalam jam, urban/ meso dalam hari, regional dalam
bulan, daratan dalam tahun dan global dalam dekade (Stern et al., 1984).
Hasil emisi transportasi dan industri di perkotaan dan pembakaran biomasa seperti
CO2, CO, NH3, NOx, CH4, CH3Cl, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara akan
mempengaruhi kadar keasaman air hujan. Aerosol dan gas-gas yang terlarut dalam udara
dapat dibersihkan dari atmosfer melalui proses pembersihan secara kering (dry deposition)
atau basah (wet deposition). Unsur chlorida (Cl-) dengan sodium (Na+) adalah senyawa garam
NaCl yang berasal dari laut. Calsium adalah unsur kapur dalam CaCO3 (calsium carbonat)
yang banyak terkandung dalam laut berupa terumbu karang atau di daratan tepatnya dari
pegunungan kapur. Mg2+, Na+ dan K+ merupakan komponen yang berasal dari sumber laut
juga partikel debu tanah. Mg2+ adalah komponen yang berasal dari laut bila pengamatan
dilakukan dekat laut dan berasal dari kerak bumi bila jauh dari laut (Hu et al., 2003).
Sedangkan emisi alkali (partikel debu dan gas NH3) akan mempengaruhi keasaman air hujan
secara signifikan, dengan menetralkan beberapa faktor asam (Mouli et al., 2005). Adanya
ozon di atmosfer berperanan pula sebagai oksidator SO2 dan NO2 untuk membentuk asam
sulfat dan nitrat.
Proses deposisi basah adalah proses pencucian yang mana polutan (gas-gas dan
partikel) diserap dalam awan dan oleh elemen hujan (butir-butir air, partikel-partikel es) dan
jatuh (diendapkan) di permukaan oleh hujan, salju (Draaijers et al., 1998; Seinfeld and Pandis,
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
192
1998). Angin akan menyebarkan awan atau polutan ke segala arah. Hujan asam telah terjadi
di Indonesia sejak tahun 1995 untuk Jakarta, Surabaya, Cisarua–Bogor dan Bandung
(Budiwati et al., 2007). Daerah remote atau back ground Kototabang untuk Indonesia
ternyata juga telah terkena hujan asam (Ministry of Environment-Indonesia (KLH), 2007).
2. DATA DAN METODE
Data deposisi basah terdiri dari pH, anion (nssSO42-, NO3
-, Cl-), dan kation (NH4+,
Ca2+, Na+, nssCa2+) hasil pemantauan BMKG, LAPAN dan PUSARPEDAL dari 2000-2008
berupa rata-rata bulanan dibuat kecenderungannya. Wilayah penelitian distribusi asam adalah
Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan analisis distribusi pH dengan statistik berupa
distribusi frekuensi untuk mengetahui kejadian hujan asam di Indonesia. Selain itu dihitung
pula secara teori non sea salt (nss) SO42- and non sea salt (nss) Ca2+ (ADORC, 2002;
Budiwati et al., 2012). Mengingat adanya pengaruh musim terhadap curah hujan dan
mempengaruhi pencucian atmosfer oleh air hujan, maka dilakukan analisis nssSO42-, NO3
-,
Cl- dan NH4+, non sea salt (nss) Ca2+, ss (sea salt) Ca2+ berdasarkan musim. Sea salt Ca2+
adalah total Ca2+ dikurangi non sea salt (nss) Ca2+. Musim dibagi dalam empat musim yaitu
musim hujan Desember Januari Februari (DJF), musim peralihan hujan ke kemarau Maret
April Mei (MAM), musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) dan musim peralihan kemarau ke
hujan September Oktober Nopember (SON) (Mc. Gregor, and Nieuwolt, 1998).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Distribusi pH air hujan di Indonesia
Frekuensi hujan dengan nilai pH 5,2 dan 5,3 adalah terbanyak yaitu 47 kali di seluruh
Indonesia dari total data 751 (Gambar 1 kiri). Hujan dengan pH dalam kisaran 4,6-5,0 dan
5,1-5,5 ternyata sering terjadi di wilayah Indonesia yaitu masing-masing sebanyak 28% dapat
dilihat pada Gambar 1 (kanan). Kejadian hujan asam yaitu derajat keasaman (pH) di bawah
5,6 (tidak termasuk pH 5,6) adalah 76%. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sering
kali mengalami hujan asam dalam kurun waktu 2000-2008.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
193
0
5
10
15
20
25
30
<-4,0 4,1-4,5 4,6-5,0 5,1-5,5 5,6-6,0 6,1-6,5 6,6>
pH
Frek
uens
i (%
)
28 28
14
18
6 5
2
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
pH
Frek
uens
i
Gambar 1. Frekuensi pH air hujan di Indonesia 2000-2008
3. 1.1 Asam Non Sea Salt (nss) SO42-; NO3
- dan Cl-
Distribusi rata-rata konsentrasi nssSO42- air hujan terlihat tinggi di Sumatera dan Jawa
umumnya untuk semua musim (Gambar 2). Konsentrasi tinggi di Jawa Barat yaitu pada
musim kemarau JJA dan peralihan SON dengan kisaran 27,82-90,38 mol/L. Kondisi
nssSO42- air hujan di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan juga Nusa Tenggara Barat (NTB)
dengan kisaran 9,95-27,82 mol/L cukup tinggi dibandingkan Kalimantan dan wilayah
Indonesia Timur pada bulan-bulan tersebut. Kecuali pada musim hujan DJF dan peralihan
MAM konsentrasi nssSO42- relatif lebih rendah.
Dari daratan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan akan memberikan (NH4)2SO4 aerosol
pada bulan-bulan JJA dan SON pada deposisi nssSO42- air hujan yang tinggi di musim
tersebut. Juga peristiwa letusan gunung berapi yang aktif di sepanjang pantai barat daratan
Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara yaitu daratan yang menghadap laut Hindia
sampai Maluku dan Papua akan memberikan sumbangan SO2 maupun sulfat aerosol ke
atmosfer. Pulau Kalimantan dengan hanya satu gunung berapi yaitu gunung Kinibalu di
Kalimantan Utara (Volcanoes MAP, 2008) tidak mempunyai potensi menyumbangkan SO2
dari gunung berapi dibandingkan peristiwa kebakaran hutan di wilayah ini (Herlianto, 2006).
Sedangkan kota-kota besar di Jawa dan Sumatera akan menyumbangkan SO2 dari
pembakaran bahan bakar yang selanjutnya berdampak pada terbentuknya deposisi nssSO42-
air hujan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
194
0
20
40
60
80
100
120
140
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
2004 2005 2006 2007 2008
Waktu
Kon
sent
rasi
SO
42- ( m
mol
/L)
0,0000,0100,0200,0300,0400,0500,0600,0700,0800,0900,100
SO
2 (D
U)
nss-SO42-SO2(DU)
nss-SO42- dan SO2
Gambar 2. Distribusi rata-rata non sea salt (nss) SO42- air hujan pada musim hujan DJF,
peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di
Indonesia
Gambar 3. Tren rata-rata bulanan non sea salt SO42- (nssSO4
2-) dan SO2 di Indonesia tahun
2004 sampai 2008 (sumber data total kolom SO2 dari sensor SCHIAMACHY-satelit
ENVISAT)
Dari data rata-rata harian dari sensor SCHIAMACHY-satelit ENVISAT dibuat rata-
rata bulanan dan dikaji variasi bulanan dan trennya (Gambar 3). Profil SO2 dan deposisi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
195
basah nssSO42- mempunyai kemiripan, kecuali tahun 2005 terdapat pergeseran puncak antara
keduanya. Perbedaan tersebut diduga adanya pengaruh lokal dari sumber polutan yang
berdampak pada deposisi basah. Adapun profil deposisi basah nssSO42- dengan nilai
maksimum pada bulan kemarau JJA dan SON dan minimum pada bulan basah (hujan). Tahun
2004 dan 2006 terjadi kebakaran hutan yang cukup besar di Sumatera dari Juni sampai
Oktober (Budiwati, 2007; Ministry of Environment-Indonesia (KLH), 2007). Kebakaran ini
terjadi setiap tahun terutama saat musim kemarau dan dampaknya terlihat pada deposisi
SO42- air hujan yang tinggi di musim kemarau.
Disamping ion SO42- maka ion NO3
- adalah unsur asam yang penting pula terkait
dengan penggunaan bahan bakar yang berdampak pada terbentuknya gas HNO3 atau NOx
(NO2 dan NO). Pembentukan deposisi NO3- dari reaksi NH3 dengan HNO3 yang mana
merupakan hasil oksidasi terhadap NO2, sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban
udara. Temperatur dan kelembaban udara mempengaruhi kesetimbangan konsentrasi
NH4NO3 (Stelson and Seinfeld, 1982).
Gambar 4. Distribusi rata-rata NO3- air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM,
musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Pada musim kering tidak terjadi pengambilan NH3 oleh butir-butir awan yang dapat
menaikkan kecepatan oksidasi SO2 oleh O3 menjadi SO42-. Sehingga sebagian besar NH3
bereaksi dengan gas HNO3 membentuk NH4NO3. Dan gas HNO3 dengan aerosol kasar akan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
196
membentuk NO3-. Sebagian kecil lagi akan bereaksi dengan aerosol asam (antara lain
mengandung H2SO4) membentuk (NH4)2SO4. Sebaliknya aerosol atau partikulat tinggi di
musim kemarau karena terdapat pembentukan NH4NO3 dan NO3- oleh NH3 dan HNO3 (Kelly,
1987; Hu et al., 2003). Korelasi yang kuat terlihat pada korelasi antara NH3 dan NO3- pada
musim kemarau (Budiwati dan Rachmawati, 2008).
Konsentrasi ion NO3- tinggi pada musim kemarau JJA dan SON terkonsentrasi di
Sumatera Selatan dan Jawa Barat dengan kisaran 40,28-111,35 mol/L (Gambar 3).
Konsentrasi NO3- dengan kisaran 22,52-40,28 mol/L terdapat di Sumatera Utara dan Nusa
Tenggara Barat pada musim JJA dan pada musim SON terjadi penurunan nilai konsentrasi
NO3- di Nusa Tenggara Barat, yang mana kisaran 22,52-40,28 mol/L hanya terdapat di
Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Deposisi NO3- air hujan erat kaitannya dengan gas
NO2 (Gambar 4).
Dari data rata-rata harian total kolom NO2 dalam satuan mol/cm2 dari sensor AURA-
OMI dibuat variasi bulanan dan trennya (Gambar 5). Konsentrasi NO2 akan mempengaruhi
deposisi basah NO3- di Indonesia. Dari Gambar 4 terlihat profil NO2 dan deposisi basah NO3
-
sangat mirip sekali polanya yaitu puncaknya maksimum pada musim kemarau. Tahun 2005
terdapat pergeseran puncak antara keduanya, diduga perbedaan tersebut karena adanya
pengaruh lokal dari sumber polutan yang berdampak pada deposisi basah NO3-. Ada indikasi
bahwa NH4NO3 aerosol berperanan dalam mempengaruhi konsentrasi deposisi basah NO3-.
Tren rata-rata bulanan NO3- air hujan memperlihatkan nilai maksimum pada musim
kemarau dan minimum pada musim penghujan (Gambar 6). Dari Gambar 6 terlihat rata-rata
bulanan NO3- air hujan menunjukkan kenaikan yang kecil sekali yaitu 0,0013 mol/L selama
9 tahun dari 2000 sampai 2008. Pada 2002 dan 2004, konsentrasi rata-rata bulanan NO3- air
hujan meningkat mulai Juni sampai Nopember dan ini ada kaitannya dengan musim kemarau
panjang tahun 2002 karena El Nino moderat (Tabel El Nino dan La Nina, 2008) dan
kebakaran hutan tahun 2004. Konsentrasi NO3- air hujan rata-rata berturut-turut adalah 31,99
mol/L dan 51,36 mol/L untuk tahun 2002 dan 2004 lebih tinggi dari konsentrasi rata-
ratanya 26,70 mol/L.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
197
Gambar 5. Tren rata-rata bulanan deposisi basah NO3- dan total kolom NO2 (mol/cm2) di
Indonesia Oktober tahun 2004 sampai 2008 (sumber data total kolom NO2 dari sensor
AURA-OMI milik NASA)
Gambar 6. Tren rata-rata bulanan NO3- air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Unsur asam lainnya selain sulfat dan nitrat yang berperanan dalam menentukan
keasaman air hujan adalah chlorida yang banyak di Indonesia dari sumber alam gunung
berapi dan laut. Distribusi rata-rata Cl- air hujan dari Gambar 7 pada musim DJF konsentrasi
tertinggi 57,23-68,88 mol/L di Nusa Tenggara Barat diduga ada kaitannya dengan letusan
gunung Batur di Bali pada 1999 sampai 2000 dan gunung Batu Tara di Pulau Lembata-Laut
Flores pada 17 Januari 2007 sampai 1 Januari 2008 (kontinu) (GVP, 2009). Konsentrasi yang
tinggi dalam kisaran 45,59-57,23 mol/L terdapat di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara
Timur, hal ini tentunya terkait dengan gunung Peuet Sague di Aceh yang meletus pada
Desember tahun 2000 (GVP, 2009).
Pada musim kemarau pengaruh penguapan laut akan memberikan sumbangan ion Cl-
ke atmosfer dan dampaknya dapat dilihat distribusi rata-rata Cl- air hujan di daerah pantai
seperti Jakarta, Banjarbaru mempunyai konsentrasi 33,94-45,49 mol/L dan Mataram di
y = 0,0013x + 26,626R2 = 4E-06
0
30
60
90
120
150
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 122000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Waktu
Kon
sent
rasi
(m
mol
/L) NO3
-
0
20
40
60
80
100
120
140
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
2004 2005 2006 2007 2008
Waktu
Ion
NO
3- ( mm
ol/L
)
22,12,22,32,42,52,62,72,82,93
Tota
l kol
om N
O2 (
x1015
mol
/cm
2 )
NO3- (umol/L)Tot Column NO2
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
198
Lombok-NTB dengan konsentrasi tertinggi mencapai kisaran 68,88-80,52 mol/L.
Konsentrasi 33,94-45,49 mol/L ditemukan pula di Sumatera Barat dan Selatan. Diduga
gunung berapi seperti Merapi, Talang, Kaba, Kerinci, Sumbing, Dempo, Gunung Besar dan
Krakatau berpotensi menyumbangkan ion Cl- ke atmosfer. Pada Agustus 2000 terjadi letusan
gunung Kaba di Sumatera Selatan juga gunung Merapi, Talang dan Kerinci di Sumatera
Barat akan melepaskan gas HCl yang berdampak pada kenaikan konsentrasi Cl-. Konsentrasi
Cl- juga tinggi di Kalimantan Barat diduga dampak dari meningkatnya gas-gas hasil
pembakaran biomass kebakaran hutan seperti CH3Cl disamping CO2, CO, NH3, NOx, CH4, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara.
Gambar 7. Distribusi rata-rata Cl- air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM, musim
kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Pada Nopember 2007 gunung Talang meletus dan berdampak pada konsentrasi Cl-
45,59-57,23 mol/L yang tinggi di Sumatera Barat pada musim SON. Pada musim SON
pengaruh laut masih terlihat di Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat dalam kisaran
konsentrasi Cl- adalah 33,94-45,49 mol/L dan Nusa Tenggara Timur yang tinggi dalam
kisaran 68,88-80,52 mol/L.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
199
Gambar 8. Tren rata-rata bulanan Cl- air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Tren rata-rata bulanan Cl- air hujan berfluktuasi dengan nilai maksimum pada musim
kemarau tapi juga tampak puncak konsentrasi terkadang pada musim hujan seperti terlihat
pada Gambar 8. Selama kurun waktu 9 tahun dari 2000 sampai 2008 terdapat penurunan
sebesar 0,0452 mol/L per bulan. Dalam kurun waktu tersebut ada 2000 sampai 2001
berflutuasi mendatar, dan menurun dratis diawal tahun 2002, tetapi bulan Juli naik secara
ektrim dengan konsentrasi rata-rata bulanan sebesar 67,60 mol/L. Tahun 2002 sampai 2004
konsentrasi Cl- naik kecil sekali 0,241 mol/L per bulan, sedangkan tahun 2003 ke tahun
2004 terjadi kenaikan konsentrasi Cl- cukup tinggi yaitu 0,464 mol/L per bulan. Selanjutnya
tahun 2005 konsentrasi Cl- mulai menurun sampai 2008 dengan nilai 0,207 mol/L per bulan,
meskipun terdapat lonjakan konsentrasi maksimum sampai 73,54 mol/L pada September
2005. Peningkatan konsentrasi Cl- yang ektrim tentunya tidak terlepas dari sumber gas HCl
dari gunung berapi dan ion Cl- dari penguapan laut pada musim kemarau yang secara alam
terjadi di Indonesia.
3. 1.2 Basa NH4+; ss-Ca2+ dan nss-Ca2+
Unsur basa yang berperanan sebagai penetral keasaman air hujan salah satunya adalah
amonium (NH4+), yang banyak berada di atmosfer Indonesia dalam bentuk (NH4)2SO4 dan
NH4NO3 aerosol atau terbentuk dari gas NH3 dari hewan atau pemupukan. Distribusi rata-rata
NH4+ dalam empat musim selama 2000 sampai 2008 diperlihatkan dalam Gambar 9.
Konsentrasi NH4+ tinggi terutama di musim kemarau JJA dan terdapat di Sumatera Utara
sebesar 31,74-45,97 mol/L; Kalimantan Selatan 45,97-60,2 mol/L; dan tertinggi 74,42-
88,65 mol/L di Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Pada musim kemarau deposisi NH4+ air
hujan tinggi disebabkan oleh sumber aerosol (NH4)2SO4 dan NH4NO3 kecuali faktor lokal
y = -0,0452x + 30,969R2 = 0,0125
0
10
20
30
40
50
60
70
80
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Waktu
Kon
sent
rasi
(m
mol
/L) Cl-
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
200
yang menghasilkan gas NH3 di daerah pertanian dan peternakan. Produksi aerosol diperoleh
dari pembakaran biomass atau kebakaran hutan dan partikel-partikel tanah.
Gambar 9. Distribusi rata-rata NH4+ air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM,
musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Dari Gambar 10 diperlihatkan tren rata-rata bulanan NH4+ air hujan dari tahun 2000-
2008 di Indonesia dengan kenaikan yang cukup signifikan yaitu 0,150 mol/L per bulan.
Tahun 2003, konsentrasi NH4+ air hujan turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan
rata-rata tahunan yaitu 11,53 mol/L. Selanjutnya tahun 2004 konsentrasi NH4+ air hujan
rata-rata tahunan naik tajam menjadi 39,42 mol/L. Pola profil NH4+ air hujan adalah
maksimum di musim kemarau dan minimum di bulan-bulan DJF. Profil ini mirip dengan
profil partikel-partikel SPM (suspended particulat matter) di permukaan (Budiwati et al.,
2001; Sofiati et al., 2003).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
201
Gambar 10. Tren rata-rata bulanan NH4+ air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Distribusi rata-rata nssCa2+ air hujan berdasarkan musim hujan DJF, peralihan MAM,
musim kemarau JJA dan musim peralihan SON di Indonesia diperlihatkan pada Gambar 11.
Konsentrasi nss-Ca2+ tinggi untuk Kalimantan Barat dan Jawa Barat, diduga berasal dari
debu-debu tanah dalam Ca sulfat dan Ca nitrat aerosol di musim kemarau. Pada musim
peralihan SON disamping Sumatera Selatan dengan nilai 28,76-43,06 mol/L, Jawa Barat
dengan kisaran 14,47-71,65 mol/L dan Jakarta dengan nilai 71,65-85,95 mol/L ternyata
Nusa Tenggara Timur juga mempunyai konsentrasi tertinggi yaitu 43,06-57,36 mol/L.
Wilayah Nusa Tenggara tentunya terkait dengan kondisi tanah kapur di daerah ini. Maka
potensi debu-debu calsium akan memberikan kontribusi nssCa2+ pada deposisi basah.
Dari Gambar 12 tren konsentrasi Ca2+ bukan berasal dari laut atau non sea salt Ca2+
(nssCa2+) dan ssCa2+ terlihat menurun dari 2000 sampai 2008 meskipun kecil yaitu 0,025
mol/L per bulan dan 0,0026 mol/L per bulan berturutan. Jadi ion Ca2+ terdiri dari non sea
salt Ca2+ (nssCa2+) dan sea salt Ca2+ (ssCa2+). Unsur Ca2+ adalah komponen terbesar dari
kerak bumi (Kulshrestha et al., 2003) yaitu dapat dilihat dari nilai konsentrasi non sea salt
Ca2+ (nssCa2+) bukan dari laut yang nilainya dalam kisaran 0-110,01 mol/L besar sekali
dibandingkan dengan ssCa2+ yaitu Ca2+ yang berasal dari laut dalam kisaran 0,00-2,04
mol/L. Profil ion nssCa2+ berfluktuasi sekali berbeda dengan profil ssCa2+ yang
menunjukkan nilai maksimum pada musim kemarau. Pada musim kemarau panjang saat El-
Nino 2002, kemarau 2004 dan kemarau panjang 2006, laut memberikan kontribusi yang
signifikan pada konsentrasi ssCa2+.
y = 0,1502x + 27,208R2 = 0,0506
0
20
40
60
80
100
120
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Waktu
Kon
sent
rasi
(m
mol
/L) NH4
+
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
202
Gambar 11. Distribusi rata-rata nssCa2+ air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM,
musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Gambar
12. Tren rata-rata bulanan nssCa2+ (biru) dan ssCa2+ (merah) air hujan dari tahun 2000-2008
di Indonesia
4. KESIMPULAN
Keasaman air hujan di Indonesia menunjukkan nilai pH rata-rata adalah 5,05, nilai
maksimum 7,75 dan minimum 2,89 selama 2000-2008. Nilai pH terburuk terjadi pada tahun
2000 dengan rata-rata 4,13 dalam kisaran 2,94-5,31. Distribusi pH air hujan ≤5,6 adalah
y (nss-Ca2+)= -0,025x + 23,17R² = 0,001
y(ss-Ca2+) = 0,002x + 0,322R² = 0,066
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
0
20
40
60
80
100
120
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Waktu
ss-C
a2+ (u
mol
/L)
nss-
Ca2+
(um
ol/L
)
nss-Ca2+
ss-Ca2+
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
203
80,16% dengan terbanyak di kisaran 4,6-5,0 sebanyak 28% dan 5,1-5,5 sebanyak 27%. Unsur
asam lebih mendominasi dibandingkan basa sehingga pH air hujan lebih asam. Kimia air
hujan didominasi oleh ion Cl- merupakan cerminan pengaruh laut yang meliputi 2/3 bagian
Indonesia. Pada musim kemarau ion amonium terlihat tinggi disebabkan oleh aerosol. Pulau
Jawa, aktivitas manusia mempengaruhi deposisi asam terlihat adanya korelasi SO2 terhadap
SO42- yang signifikan dan NO2 yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, khususnya
pemakaian bahan bakar minyak. Sedangkan Kalimantan dan Sumatera mempunyai masalah
kebakaran hutan yang berdampak pada deposisi asam.
Secara kualitatif terlihat adanya korelasi SO2 dan NO2 dengan deposisi asam, hal ini
menunjukkan adanya proses pencucian gas-gas dan aerosol di atmosfer. Sumber polutan yang
ada di wilayah barat tidak menyebar ke timur karena angin barat lebih lemah dan sebaliknya
akan disebarkan ke barat. Wilayah timur potensi alam gunung berapi menyebabkan
terbentuknya deposisi asam di wilayah ini. Adanya peningkatan konsentrasi NO2 dan NO3-
kecil dari 2000-2008 menunjukkan adanya kenaikan transportasi yang kecil pula. Hanya
konsentrasi NO3- tinggi pada 2004 disebabkan kontribusi aerosol pada musim kemarau.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih ditujukan kepada PUSARPEDAL yang telah memberikan data
deposisi basah untuk makalah saya ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada LAPAN-
Bandung atas fasilitas peralatan di Bandung.
Daftar Rujukan
ADORC., Manual Quality Assurance/Quality Control (QA/QC), Program for Wet Deposition
Monitoring in East Asia by ADORC Acid Deposition and Oxidant Research Center –
Japan, 2002.
Budiwati, T., Sumaryati, dan Sofiati, I., Karakteristik Ketebalan Optik Aerosol di Bandung,
Kontribusi Fisika Indonesia, ISSN 0854-6878, Vol. 12, No. 4, hal. 120-126, 2001.
Budiwati, T., Peningkatan Ozon Troposfer Dan Ozon Precursor (CO) Pada saat Kebakaran
Hutan Tahun 2004. Buku Ilmiah LAPAN, Polusi Udara, Model dan Aplikasinya, ISBN:
978-979-1458-09-2, Nopember, 2007.
Budiwati, T., dan Rachmawati, E., Potensi Pembentukan Aerosol Sulfat (SO42-) dan Nitrat
(NO3-) oleh SO2 dan HNO3 di Daerah Rural SERPONG-TANGERANG, Prosiding
Workshop Aplikasi Sains Atmosfer, LAPAN Bandung, ISBN: 978-979-1458-25-2, 1-2
Desember, 2008.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
204
Budiwati, T., Setyawati, W., Rachmawati, E., dan Indrawati, A., Perbandingan Sulfat dan
Amonium Terhadap Nitrat Dalam Deposisi Basah, Fisika, Dinamika Dan Kimia Atmosfer
Berbasis Data Satelit Dan Insitu, ISBN: 978-979-1458-58-0, 138-150, 2012.
Draaijers, G., Erisman J., Lovblad G., Spranger T., and Vel E., et al., Quality and uncertainty
aspects of forest deposition estimation using throughfall, stemflow and precipitation
measurements, TNO Institute of Environmental Sciences, Energy Research and Process
Innovation. TNO-MEP Report 98/003, 1998.
Giovanni-NASA, 2009, (http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni/)
GVP., Global Volcanism Program (GVP), downloaded, February 18, 2009,
http://www.volcano.si.edu, 2009.
Herlianto, D., Prakarsa Rakyat, Litbang Media Group, aji @ mediacorpradio.com. Kompas
Cyber Media, September 11, 2006, Api yang Terus Menyala, Kompas, Jumat 24/6/2006,
Kebakaran hutan di Riau, 2006.
Hu, G.P., Balasubramanian, R., and Wu, C.D., Chemical characteristics of rainwater at
Singapore, Atmospheric Environment, No. 51, hal 747 – 755, 2003.
Kelly, N.A., The photochemical formation and fate of nitric acid in the metropolitan Detroit
area: ambient, captive-air irradiation and modeling results, Atmospheric Environment,
Vol. 21, No. 10, hal 2163 – 2177, 1987.
Kulshrestha, U.C., Kulshrestha, M.J., Sekar, R., Sastry, G.S.R., and Vairamani, M.,
Chemical characteristics of rainwater at an urban site of south-central India, Atmospheric
Environment, No. 37, hal 3019 – 3026, 2003.
Mc. Gregor, G.R. and Nieuwolt, S., Tropical Climatology: An Introduction To The Climates
Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133, 1998.
Milukaite, A., Mikelinskiene A., and Giedraitis B., Acidification of the world: Natural and
Anthropogenic, Acid Rain 2000, Proceeding from the 6 th International Conference on
Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan,
10-16 December 2000, Vol. I, 1553-1558, 2000.
Ministry of Environment-Indonesia (KLH)., State of Environment Report in Indonesia 2006,
pp. 336-349, 2007.
Mouli, P.C., Mohan, S.V., and Reddy, S.J., Rainwater chemistry at a regional representative
urban site: influence of terrestrial sources on ionic composition, Atmospheric
Environment, No. 39, hal 999 – 1008, 2005.
NASA., http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=omi, 2009.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
205
Seinfeld, J.H., and Pandis, S.N., Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to
Climate Change”, John Wiley and Sons. INC., New York, hal.1030-1033, 1998.
Stelson, A.W., and Seinfeld, J.H., Relative humidity and temperature dependence of the
ammonium nitrate dissociation constant, Atmospheric Environment, Vol.18, 983-992,
1982
Stern, A.C., Boubel, R.W., Turner D.B., and Fox L.N., Fundamentals of Air Pollution,
second edition, Academic Press INC, Orlando-Florida, 35-45, 1984.
Setyawati, W., dan Budiwati, T., Distribusi Spasial dan Temporal Sulfurdioksida di Atmosfer
Indonesia terkait Letusan Gunung berapi Hasil Pemantauan satelit SCIAMACHY,
Lingkungan Tropis Edisi Khusus, Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Lingkungan
Indonesia (IATPI), Agustus 2008 (ISSN no. 1978-2713), 2008.
Setyawati, W., dan Budiwati, T., Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Peningkatan Aerosol
di Atmosfer Indonesia 2005-2008, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan
VI-2009, Jurusan Teknik Lingkungan-ITS, Surabaya, 10 Agustus 2009, ISBN (978-602-
95595-0-7), 2009.
Sofiati, I., Budiwati, T., dan Mulyani, H.W., Keasaman Air Hujan Di Daerah Tipe Curah
Hujan-A Studi Kasus Kota Surabaya, Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, ISSN 1411-
3082, Vol. 4, No. 2, hal. 29-37, 2003.
Tabel El Nino dan La Nina.,
http://www.msc-c.ec.gc.ca/education/elnino/comparing/enso1950_2002_e.html). 2008
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
206
ANALISIS MULTIVARIAT KONSENTRASI NO, CO DENGAN OZON DI LIMA KOTA BESAR DI INDONESIA
Sri Winarni 1) dan W. Eko Cahyono2)
1) Jurusan Statistika, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Jatinangor Km 21, Sumedang 2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung
Email : [email protected]
Abstract
In urban areas various reactions are carried out in which the formation of O3 depends on the ratio of nitrogen oxides (NOݔ), while the effect of CO cycles is such that it slowly oxidizes nitrogen monoxide (NO) to nitrogen dioxide (NO2) and thus indirectly affects the concentration of ozone. Carbon monoxide molecules are entering the cycle of oxidation, and nitrogen monoxide (NO) is oxidized to nitrogen dioxide (NO2). The aim of this study is to apply multivariate statistical methods in determining ozone (O3) concentrations at the ground level of the troposphere as the function of pollution parameters, NO and CO. We analyzed the concentrations of CO and NO on the surface O3 concentrations in Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru and Palangkaraya in 2001 to 2007. The measurement results show that for Jakarta city an increase of 1 mg/m3 CO showed a decrease of 25.66 for O3. whereas the increase in NO has no effect on O3. In Palangkaraya in this case the value of NO remains therefore could not be included in the analysis. The concentration of CO has no effect on O3 and NO effect on O3 in Semarang, Bandung and Pekanbaru
Keywords : NO, CO, O3, Multivariate Analysis
Abstrak Di daerah perkotaan berbagai reaksi terjadi di mana pembentukan O3 tergantung pada rasio nitrogen oksida (NOݔ), sedangkan efek dari siklus CO sedemikian rupa sehingga perlahan-lahan mengoksidasi nitrogen monoksida (NO) untuk nitrogen dioksida (NO2) dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi konsentrasi ozon. Molekul karbon monoksida memasuki siklus oksidasi, dan nitrogen monoksida (NO) dioksidasi menjadi nitrogen dioksida (NO2). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan metode statistik multivariat dalam mengetahui konsentrasi ozon (O3) pada tingkat dasar troposfer sebagai fungsi parameter polusi, NO dan CO. Telah dilakukan analisis konsentrasi CO dan NO terhadap konsentrasi O3 permukaan di Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru dan Palangkaraya pada tahun 2001 sampai 2007. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa untuk kota Jakarta peningkatan 1 mg/m3 CO menunjukan penurunan O3 sebesar 25.66. sedangkan peningkatan NO tidak berpengaruh terhadap O3. Di Palangkaraya dalam hal ini nilai NO tetap oleh karena itu tidak dapat dimasukkan dalam analisis. Konsentrasi CO tidak berpengaruh terhadap O3 dan NO berpengaruh terhadap O3 di Semarang, Bandung dan Pekanbaru Kata Kunci : NO, CO, O3, Analisis Multivariat
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
207
1. PENDAHULUAN
Pemakaian bahan bakar minyak di sektor transportasi dan industri meningkat dari
tahun ke tahun seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan terutama laju pertumbuhan
kendaraan bermotor di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya.
Efek negatif dari meningkatnya pemakaian BBM ini adalah bertambahnya zat-zat pencemar
udara yang beracun dan berbahaya. Zat-zat pencemar udara seperti partikulat (PM10),
senyawa organik (HC), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida
(NOx), dan ozon (O3) meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta mengganggu ekosistem.
Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di berbagai
perkotaan. Data mengungkapkan bahwa 60% pencemaran udara di Jakarta disebabkan karena
benda bergerak atau transportasi umum yang berbahan bakar solar terutama berasal dari
Metromini. Formasi CO merupakan fungsi dari rasio kebutuhan udara dan bahan bakar dalam
proses pembakaran di dalam ruang bakar mesin diesel. Percampuran yang baik antara udara
dan bahan bakar terutama yang terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan Turbocharge
merupakan salah satu strategi untuk meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang
meningkat di berbagai perkotaan dapat mengakibatkan turunnya berat janin dan
meningkatkan jumlah kematian bayi serta kerusakan otak. Karena itu strategi penurunan
kadar karbon monoksida akan tergantung pada pengendalian emisi seperti pengggunaan
bahan katalis yang mengubah bahan karbon monoksida menjadi karbon dioksida dan
penggunaan bahan bakar terbarukan yang rendah polusi bagi kendaraan bermotor. Sudrajad,
2005).
Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari
kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat
pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain yang semuanya ini membuat pola
emisi menjadi rumit. Jenis bahan bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin dengan bahan
bakar bensin maupun bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya berbeda proporsinya
karena perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot
kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang umumnya tidak terlihat pada kendaraan
bermotor dengan bahan bakar bensin. Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat
meningkatkan kadar partikular debu yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan
rem. Setelah berada di udara, beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang kendaraan
bermotor dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi, misalnya dengan sinar matahari dan
uap air, atau juga antara senyawa-senyawa tersebut satu sama lain. (Tugaswati, 2008)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
208
Proses reaksi tersebut ada yang berlangsung cepat dan terjadi saat itu juga di
lingkungan jalan raya, dan adapula yang berlangsung dengan lambat. Reaksi kimia di
atmosfer kadangkala berlangsung dalam sua tu rantai reaksi yang panjang dan rumit, dan
menghasilkan produk akhir yang dapat lebih aktif atau lebih lemah dibandingkan senyawa
aslinya. Sebagai contoh, adanya reaksi di udara yang mengubah nitrogen monoksida (NO)
yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor menjadi nitrogen dioksida (NO2 )
yang lebih reaktif. (Tugaswati, 2008)
Sumber pokok oksidasi adalah oksigen (O2) yang berada di atmosfer, tetapi yang
berperan aktif adalah oksidator yang lebih reaktif di atmosfer seperti OH, O3, radikal
hidroperoksil (HO2), Organic peroksil (RO2), H2O2 dan NO3. Meskipun jumlahnya lebih kecil
dari oksigen tetapi senyawa tersebut lebih reaktif. Oksidator paling reaktif adalah OH,
pengoksidasi utama senyawa CH4, NMHC, dan polutan utama seperti senyawa CO, NOx
(NO + NO2), dan SO2. Jadi OH menentukan umur senyawa dan melimpahnya polutan di
atmosfer. Oksidator reaktif berikutnya adalah O3 dan NO3. Radikal HO2 dan RO2
mengoksidasi NO dan NO2 dalam reaksi terbatas pada pembentukan ozon (Liu et al, 1987)
2. DATA DAN METODE
Metode yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari 3 tahap.
Inventaris data CO, NO dan O3 dari KLH pada tahun 2001-2007 di Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta dan Surabaya
Pemrosesan data dengan perangkat lunak Statistica
Analisis hasil untuk mengetahui besaran pengaruh CO, NO terhadap O3 dengan analisis
multivariat.
Selanjutnya dilakukan analisis konsentrasi CO dan NO terhadap konsentrasi O3 permukaan
di Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru dan Palangkaraya pada tahun 2001 sampai
2007 dengan menggunakan instrumen HORIBA_APMA360 dan konsentrasi ozon
permukaan diukur menggunakan instrumen UV Photometric O3 Analyzer.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
209
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Jakarta
Hasil analisis regresi :
Predictor Coef SE Coef t P-value
Constant 104.18 13.01 8.01 0.000
CO -25.66 12.05 -2.13 0.039
NO -0.20 0.35 -0.56 0.579
Dengan R2 = 25.7%
Dilihat dari nilai P-value di atas bahwa nilai P-value dari CO sebesar 0.039 (kurang
dari alpha=5%) artinya bahwa CO berpengaruh terhadap O. Sedangkan Nilai P-value dari NO
sebesar 0.579 (lebih besar dari alpha=5%) artinya NO tidak berpengaruh terhadap O3.
Model regresi : . Artinya bahwa jika dianggap NO
tetap maka peningkatan 1 mg/m3 CO akan menurunkan O3 sebesar 25.66. sedangkan
peningkatan NO tidak berpengaruh terhadap O3. Nilai R2 = 25.7% artinya bahwa 25.7%
keragaman dari O3 dapat dijelaskan oleh CO dan NO. Nilai ini cukup kecil ( kurang dari
75%) artinya bahwa ada variabel lain yang berpengaruh terhadap O3 tetapi tidak dimasukkan
kedalam model.
Hasil Analisis Palangkaraya
Hasil analisis regresi :
Predictor Coef SE Coef t P-value
Constant 57.81 6.45 8.95 0.000
CO -14.16 15.44 -0.92 0.364
Dengan R2 = 1.9%. Dalam hal ini nilai NO konstan sehingga tidak dapat dimasukkan dalam
analisis. CO tidak berpengaruh terhadap O3, dengan model regresi :
Hasil Analisis Semarang
Hasil analisis regresi :
Predictor Coef SE Coef t P-value
Constant 20.837 2.568 8.11 0.000
CO -0.275 1.183 -0.23 0.817
NO 0.021 0.058 0.37 0.716
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
210
Dengan R2 = 0.3%, CO dan NO tidak berpengaruh terhadap O3
Hasil Analisis Bandung
Hasil analisis regresi :
Predictor Coef SE Coef t P-value
Constant 1.135 0.188 6.04 0.000
CO 0.00 0.00 -0.81 0.417
NO -202.41 35.32 -5.73 0.000
Dengan R2 = 10.8%, NO berpengaruh terhadap O3
Hasil Analisis Pekanbaru
Hasil analisis regresi :
Predictor Coef SE Coef t P-value
Constant 1.840 2.817 0.65 0.517
CO -0.015 1.113 -0.01 0.989
NO 0.091 0.029 3.13 0.003
Dengan R2 = 30.2%, NO berpengaruh terhadap O3
Pada analisis regresi dengan metode OLS (Ordinary Least Squares/ Metode Kuadrat
Terkecil). yang dilakukan pada penelitian ini membutuhkan beberapa asumsi yang harus
dipenuhi. Diantaranya residual berdistribusi normal, bersifat independen dan memiliki
ragam yang homogen. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara periodik, hal
ini memungkinkan data bersifat dependen. Data sekarang dipengaruhi oleh data sebelumnya.
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah analisis regresi dengan autoregresif. Dengan
demikian disarankan ada penelitian lanjutan dengan menggunakan analisis tersebut.
Di daerah perkotaan berbagai reaksi terjadi di mana pembentukan O3 tergantung pada
rasio nitrogen oksida (NOݔ), sedangkan efek dari siklus CO sedemikian rupa sehingga
perlahan-lahan mengoksidasi nitrogen monoksida (NO) untuk nitrogen dioksida (NO2)
dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi konsentrasi ozon. Molekul karbon
monoksida memasuki siklus oksidasi, dan nitrogen monoksida (NO) dioksidasi menjadi
nitrogen dioksida (NO2). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan metode
statistik multivariat dalam mengetahui konsentrasi ozon (O3) pada tingkat dasar troposfer
sebagai fungsi parameter polusi, NO dan CO. (Bauer, 2002).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
211
Konsentrasi ozon pada tingkat dasar troposfer sebagai fungsi polusi dan parameter
meteorologi. PM10, SO2, NO, NO2, CO, O3, CH4, NMHC, suhu, curah hujan, kelembaban,
tekanan, arah angin, kecepatan angin dan radiasi matahari diukur per jam untuk jangka
waktu satu tahun untuk memprediksi konsentrasi O3 dari 1 jam .(Andri, 2013)
4. KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisis konsentrasi CO dan NO terhadap konsentrasi O3 permukaan
di Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru dan Palangkaraya pada tahun 2001 sampai 2007
dengan menggunakan instrumen HORIBA_APMA360 dan konsentrasi ozon permukaan
diukur menggunakan instrumen UV Photometric O3 Analyzer, hasil pengukuran
menunjukkan bahwa untuk kota Jakarta peningkatan 1 mg/m3 CO akan menurunkan O3
sebesar 25.66. sedangkan peningkatan NO tidak berpengaruh terhadap O3, untuk
Palangkaraya dalam hal ini nilai NO konstan sehingga tidak dapat dimasukkan dalam
analisis, CO tidak berpengaruh terhadap O3 dan untuk Semarang, Bandung dan Pekanbaru
NO berpengaruh terhadap O3.
DAFTAR RUJUKAN
Andri, E.K., Radanovi,T., Topalovi, I., Markovi, B. and SakaI, N., Temporal
Variations in Concentrations of Ozone, Nitrogen Dioxide, and Carbon Monoxide at
Osijek, Croatia. Hindawi Publishing Corporation Advances in Meteorology, 2013.
Bauer, S.E. and Langmann, B., Analysis of a summer smog epi- sode in the Berlin-
Brandenburg region with a nested atmosphere—chemistry model,, Atmospheric
Chemistry and Physics, vol. 2, no. 4, pp. 259–270, 2002.
Liu, SC., Cox . RA, Philips LF dan Poppe D., The Changing Atmosphere, published by John
Wiley and Sons Ltd, 1987.
Sudrajad, A. Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan. Inovasi. Edisi Vol.5/XVII/November
2005.
Tugaswati, A.T., Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya terhadap
Kesehatan. http://www.kpbb.org/makalah_ind/, 2008.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
212
PEMBENTUKAN AWAN DAN HUJAN DI PEGUNUNGAN SUMATERA BARAT
Wendi Harjupa
Loka Pengamatan Atmosfer Kototabang-LAPAN [email protected]
Abstract
One of the most striking ways in which topography influences the weather is in its strong local control of the rainfall distribution. The most obvious examples are the rainfall maximum on the upwind side and consistent with prevailing wind, on the other hand, another side of mountain called as rain-shadow reveive less rain. The objective of this study is to deeply understand the development of orographic cloud and precipitation in the mountainous area of West Sumatra. Mainly data were used in this study were TBB (temperature blackbody) data. The results showed that the cloud developed as convective cloud and generated isolated precipitation in the barrier of mountainous area. Winds were flowing to eastward at night time (19.00 pm) as they observed by radiosonde at Padang and Kototabang. At the same time precipitation detected at the surface by rain gauge. The intensity of clouds was decreasing when the precipitation detected at the surface.
Keywords: Topography, rainfall, TBB, Padang, Kototabang.
Abstrak Pengaruh topografi yang paling berperan penting terhadap cuaca adalah pengaturan
pembagian curah hujan. Contoh paling nyata adalah curah hujan maksimum di sisi arah angin bertiup, di lain pihak sisi lain gunung disebut dengan daerah bayangan hujan menerima hujan lebih sedikit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih mengungkap pembentukan awan dan hujan orografi di daerah pegunungan Sumatera Barat. Data utama yang digunakan pada penelitian ini adalah data temperatur awan (TBB). Temperatur awan menunjukan awan terbentuk menjadi awan konvektif dan menghasilkan hujan yang terisolasi di daerah lereng bukit. Arah angin yang di deteksi oleh pengamatan radiosonde di Padang dan Kototabang bergerak menuju barat pada malam hari (19.00 pm). Di waktu yang sama hujan terpantau di permukaan oleh raingauge. Intensitas awan berkurang ketika hujan terpantau di permukaan.
Kata Kunci : Topografi, curah hujan, TBB, Padang, Kototabang.
1. PENDAHULUAN
Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar di antara gugusan pulau yang di
miliki Indonesia terletak di bagian barat Indonesia dan berhadapan lansung dengan Samudera
India. Jajaran pegunungan yang membentang dari utara ke selatan membelah pulau Sumatera
menjadi dua bagian seperti terlihat pada Gambar 1a. Sumatera Barat yang terletak di tengah-
tengah pulau Sumatera seperti terlihat pada Gambar 1b merupakan salah satu daerah yang
dilewati oleh jajaran pegunungan. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa
sirkulasi lokal yang disebabkan oleh topografi Sumatera berperan penting dalam
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
213
pembentukan konveksi (Mori et al. 2004; Sasaki et al. 2004; Wu et al. 2003). Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pegunungan terhadap pembentukan awan
dan hujan di daerah pegunungan Sumatera Barat.
(a) (b)
Gambar 1. a) Pulau Sumatra b) Lokasi penelitian (Perbedaan ketinggian setiap
perbedaan warna garis adalah 500 m).
Pengaruh topografi yang sangat jelas adalah tingkat hujan yang tinggi di lereng
gunung yang sejajar dengan arah angin, dan curah hujan yang sedikit di lereng gunung yang
lainnya yang di sebut juga dengan daerah bayang hujan.
Gambar 2. Efek topografi (Adam et al., 2006)
Adam et al. (2006) mensimulasikan pengaruh topografi terhadap penyebaran hujan
seperti terlihat pada Gambar 2. Dimana lereng yang sejajar dengan arah angin yang
membawa uap air menjadi daerah basah dan daerah bayangan hujan menjadi daerah kering.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
214
2. DATA DAN METODE
Data utama yang di gunakan pada penelitan ini adalah data temperatur puncak awan
yang diwakili oleh temperatur benda gelap atau blackbody temperature (TBB). Data ini
diperoleh dari hasil pengamatan satelit GOES-9 dengan resolusi 0.05 x 0.05 derajat
(Shibagaki et al. 2006b). Selain itu data topografi Sumatera Barat diperoleh dari model
elevasi digital (DEM) dengan resolusi 1 km yang dihasilkan oleh otoritas informasi
geospasial, Jepang (Masaharu 2002). Data angin dari peluncuran radiosonde digunakan untuk
melihat arah angin secara vertikal pada dua waktu pengamatan yang berbeda. Data X-
Doppler radar digunakan untuk melihat hujan secara tiga dimensi. Untuk mengetahui jumlah
curah hujan yang terjadi di permukaan dan sebagai pembanding data X-Doppler radar maka
digunakan data automatic rain gauge (ARG).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Proses pembentukan awan di lereng perbukitan
Gambar 3. Pembentukan awan di lereng perbukitan pada tanggal 13 April 2004 (area
analisa sesuai dengan garis merah putus-putus pada Gambar 1).
Pada gambar 3 terlihat bahwa pada jam 13 LST data temperatur puncak awan (TBB)
adalah sekitar 280 K. Pada jam 15 LST nilai TBB turun menjadi sekitar 220 K yang
mengindikasikan terbentuknya awan. Awan - awan tersebut membentang mengikuti jalur
perbukitan. Pada jam 17 LST TBB turun menjadi 200 K yang mengindikasikan awan-awan
yang terbentuk tumbuh menjadi awan-awan besar. Awan yang terbentuk menyebar pada jam
19 LST.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
215
3.2 Peran angin dalam pembentukan awan dan hujan
Gambar 4. Perbedaan profil angin pada pagi dan malam hari
Gambar 4 adalah profil angin dari ketinggian 0 sampai 4 km pada pagi dan malam
hari. Terlihat pada gambar bahwa angin pada jam 07 LST di Padang dan Kototabang
bergerak menuju ke arah barat. Ini mengindikasikan bahwa angin laut belum berhembus pada
pagi hari dimana belum terjadi perbedaan temperatur antara laut dan darat. Pada jam 19 LST
terlihat pada gambar arah angin berubah menuju timur terpantau di Padang dan Kototabang.
Hal ini mengindikasikan bahwa angin laut masih berhembus pada jam 19 LST.
3.3 Pengamatan hujan oleh X-Doppler radar
Gambar 5a adalah curah hujan yang terpantau di permukaan oleh ARG. Terlihat
terlihat dari gambar tersebut bahwa curah hujan cukup besar terjadi pada pukul 17 LST.
Hujan yang terjadi di permukaan bertepatan pada saat nilai TBB turun seperti terlihat pada
Gambar 5b. Hal ini dapat diartikan bahwa proses terbentuknya awan dan turunnya hujan
sangatlah singkat.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
216
Gambar 5. a) Curah hujan, b) TBB, c) Radar cross section at 0.45o pada tanggal 13 April
2004.
Penampang melintang radar pada jam 17 LST menunjukan bahwa hujan terjadi pada
area yang tidak luas dengan echo radar yang kuat. Hal ini menandakan hujan terjadi cukup
deras yang dihasilkan oleh hujan konvektif. Pada jam 20 LST hujan terpantau oleh XDR
dengan lokasi yang cukup luas dan echo radar yang tidak terlalu kuat. Penyebaran awan pada
daerah yang luas seperti ditunjukan oleh data TBB menyebabkan hujan berubah menjadi
hujan stratiform yang menghasilkan hujan pada daerah yang luas dengan intensitas rendah.
Hal ini dikarenakan tidak adanya panas matahari yang membuat proses konveksi terhenti dan
mengakibatkan awan konveksi yang telah terbentuk menyebar pada daerah yang bertekanan
sama. Selanjutnya pada jam 21 LST echo radar semakin luas dengan pantulan radar yang
semakin lemah. Hal ini sesuai dengan hujan yang terpantau di permukaan. Dimana hujan
pada jam 17 LST sangat deras, sedangkan hujan pada jam 20 dan 21 LST adalah hujan
ringan.
4. KESIMPULAN
Dari hasil analisa data maka dapat di ambil beberapa kesimpulan di antaranya :
1. Awan orografi terbentuk pada saat sore hari di lereng perbukitan dimana saat angin
berhembus dari laut ke pegunungan dengan membawa uap air. Uap air terangkat oleh
lereng pegunungan hingga menyebabkan kondensasi yang menghasilkan awan orografi.
2. Hujan yang terjadi oleh awan-awan orografi tersebut terjadi pada skala yang kecil dan
tidak luas dengan intensitas yang tinggi.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
217
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada LAPAN dan semua teman atas dukungannya dalam menyelesaikan
makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Prof. T. Kozu dan Dr. T. Shimomai atas saran dan
masukannya. Terima kasih juga kepada Prof Y. Fujiyoshi yang telah membantu dalam
menyediakan data. XDR. Terima kasih kepada Dr. J. -I Hamada yang telah membantu
menyediakan data hujan Padangpanjang.
DAFTAR RUJUKAN
Adam, J. C., E. A., Clark, D. P. Lettenmaier, and E. F. Wood, Correction of global
precipitation products for orographic effects, Journal of Climate 19(1): 15-38, 2006.
Masaharu, H., Deviation of the formula of the Gauss-Kruger projection – an attempt to
clarify required preliminary mathematical knowledge, Map 39(4), 31–37, 2002, (in
Japanese).
Mori, S., J. –I. Hamada, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai,
and T. Sribimawati, Diurnal land-sear rainfall peak migration over Sumatra Island,
Indonesia maritime continent observed by TRMM satellite and intensive rawindsonde
soundings, Mon. Wea. Rev., 132, 2021-2039, 2004.
Sasaki, T., P. Wu, S. Mori, J.-I. Hamada, Y.I. Tauhid, M.D. Yamanaka, T. Sribimawati, T.
Yoshikane,and F. Kimura, Vertical moisture transport above the mixed layer around the
mountains in western Sumatra, Geophys. Res. Lett., 31, L08106,
doi:10.1029/2004GL019730, 2004.
Shibagaki, Y., T. Shimomai, T. Kozu, S. Mori, F. Murata, Y. Fujiyoshi, H. Hashiguchi,
S. Fukao, Evolution of a super cloud cluster and the associated wind fields observed over
the Indonesian maritime continent during the first CPEA campaign, Journal of the
Meteorological Society of Japan, Vol. 84A, pp. 19--31, 2006b.
Wu, P., J.-I. Hamada, S. Mori, Y.I. Tauhid, and M.D. Yamanaka, Diurnal variation of
precipitable water over a mountainous area of Sumatra Island, J. Appl. Meteor., 42,
1107–1115, 2003.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
218
KOMPOSISI CO, CH4 DAN H2O DI LAPISAN TROPOSFER TROPIS DI INDONESIA PADA SAAT TERJADINYA EL NINO
DAN LA NINA
Wiwiek Setyawati dan Tuti Budiwati Bidang Komposisi Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
Jl Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Telp/fax: (022)6037 445/443
Email: [email protected]
Abstract Troposphere is a layer closest to the earth surface where there is still strong influence
of emission sources. This research was carried out to understand impact of dry season JJA during El Nino episodes and wet season DJF during La Nina episodes to CO, CH4 and H2O compositions in the tropical tropospheric layer above Jawa-Bali, Sumatera and Kalimantan regions. Data used in the analysis were monthly average profile obtained from AQUA/AIRS data processing downloaded from Giovanni NASA website. Analysis result showed that El Nino – La Nina events did not give significant influence to composition of tropospheric CO and CH4. There was a slight decrease in CO concentration in certain altitude level during El Nino event and the opposite during La Nina event. It indicated high influence of OH radical in controlling tropospheric CO concentration. El Nino and La Nina events gave significant influence to vertical concentration of H2O at certain altitude levels. Keywords: CO, CH4, H2O, Troposphere, El Nino-La Nina
Abstrak
Troposfer merupakan lapisan yang berada paling dekat dengan permukaan bumi dimana pengaruh sumber emisi masih sangat kuat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana musim kering JJA saat El Nino dan musim basah DJF saat La Nina berdampak pada komposisi CO, CH4 dan H2O di lapisan Troposfer Tropis terutama di atas wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Data yang digunakan dalam analisis adalah data profil rata-rata bulanan hasil pengolahan data satelit AQUA/AIRS yang diunduh dari situs Giovanni NASA. Hasil analisis menunjukkan bahwa El Nino dan La Nina tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komposisi CO dan CH4 di Troposfer. Terjadi sedikit penurunan konsentrasi CO pada tiap level ketinggian pada saat El Nino dan sebaliknya pada saat La Nina. Hal ini mengindikasikan besarnya peranan radikal OH dalam mengendalikan konsentrasi CO di Troposfer. El Nino dan La Nina memberikan pengaruh yang signifikan pada konsentrasi vertikal H2O pada level-level ketinggian tertentu. Kata kunci: CO, CH4, H2O, Troposfer, El Nino-La Nina
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah yang sebagian besar berupa lautan,
curah hujan yang relatif tinggi dan matahari yang bersinar sepanjang tahun menyebabkan
tingginya konsentrasi uap air (H2O) dan juga sumber utama dari radikal hidroksil (OH) di
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
219
atmosfer. Di troposfer OH merupakan oksidan utama dan juga sink dari karbon monoksida
(CO) dan metan (CH4) dengan reaksi sebagai berikut (Crutzen dan Carmichael, 1993):
…………………………….……………………...(1-1)
……………………………………………………..(1-2)
…………………………………………………..…(1-3)
………………………………………………………(1-4)
…………………………………………………..(1-5)
Lapisan troposfer merupakan lapisan yang paling dekat dengan bumi dimana pengaruh
sumber emisi masih sangat kuat. Beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa-Bali, Sumatera
dan Kalimantan memiliki karakteristik sebagai sumber emisi CO dan CH4 yang berbeda.
Jawa dan Bali merupakan wilayah Indonesia dengan penduduk terpadat dengan perkiraan
jumlah penduduk pada tahun 2010 sekitar 60% dari total jumlah penduduk di Indonesia (BPS,
2013) dimana pembakaran bahan bakar fosil terutama dari transportasi dan industri
merupakan sumber emisi antropogenik dari CO dan CH4 yang dominan. Sedangkan Sumatera
dan Kalimantan merupakan wilayah dengan sumber emisi CO dan CH4 yang dominan dari
kebakaran hutan dan lahan dan juga CH4 yang dominan berasal dari dekomposisi lahan
gambut.
Musim di Indonesia dipengaruhi oleh El Nino dan La Nina yang dapat berupa
kemarau yang sangat panjang atau musim basah dengan curah hujan yang sangat tinggi.
Musim kemarau yang panjang memperparah kejadian kebakaran hutan dan lahan serta
meningkatkan akumulasi polutan di atmosfer. Sebaliknya musim hujan yang panjang
meningkatkan proses dekomposisi pada lahan gambut yang tergenang dan juga produksi
radikal OH yang merupakan sink CO dan CH4 di atmosfer. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat seberapa jauh pengaruh musim terutama pada saat kejadian El Nino dan La Nina
terhadap komposisi CO, CH4 dan H2O utamanya di troposfer tengah (middle troposphere)
wilayah Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan.
2. METODOLOGI
Data yang digunakan dalam analisis adalah data profil rata-rata spasial bulanan
konsentrasi vertikal CO (ppbv), CH4 (ppmv) dan H2O (g/kg udara kering) ascending untuk
wilayah Jawa-Bali (-5,200 LS, 104,540 BT; -8,950 LS, 116,290 BT), Sumatera (6,210 LU,
94,580 BT; -6,270 LS, 109,080 BT) dan Kalimantan (4,650 LU, 108,450 BT; -4,660 LS,
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
220
119,190 BT) sebagai fungsi dari ketinggian (hPa). Maksud dari ascending adalah data yang
diperoleh pada siang hari saat satelit bergerak dari Selatan ke Utara.
Data yang digunakan dalam analisis berasal dari data satelit AQUA/AIRS yang
diunduh dari laman Giovanni NASA (NASA Giovanni, 2013) untuk rata-rata 3 bulanan yaitu
periode musim kering Juni, Juli dan Agustus (JJA) El Nino (tahun 2004 dan 2009) dan
selama periode musim basah Desember, Januari dan Februari (DJF) La Nina (tahun 2006,
2008, 2009, 2011 dan 2012) seperti ditunjukkan pada tabel 1. Episode terjadinya El Nino dan
La Nina berdasarkan Ocean Nino Index (ONI) dengan nilai ambang batas 0,5 dimana ONI >
+0,5 menunjukkan El Nino dan ONI < -0,5 menunjukkan La Nina, sedangkan ONI dengan
nilai -0,5 < 0NI < +0,5 menunjukkan episode normal (NOAA, 2013). Selain itu juga
dilakukan analisis rata-rata 3 bulanan untuk periode musim kering dan musim basah normal
diluar kejadian El Nino dan La Nina.
Tabel 1. Episode terjadinya El Nino dan La Nina berdasarkan Oceanic Nino Index (ONI)
dengan nilai ambang batas +/-0,50C. ONI +0,5 menunjukkan El Nino dan ONI -0,5
menunjukkan La Nina. Angka berwarna merah menunjukkan kejadian El Nino, sedangkan
biru La Nina. Angka berwarna hitam menunjukkan episode normal (NOAA, 2013)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Konsentrasi Vertikal CO
Gambar 1. menunjukkan konsentrasi vertikal CO sebagai fungsi dari ketinggian di
lapisan troposfer (905 hPa – 110 hPa) baik pada saat kejadian musim kering El Nino/musim
basah La Nina maupun musim kering/basah normal untuk wilayah Jawa-Bali (1a&b),
Sumatera (1c&d) dan Kalimantan (e&f). Secara umum konsentrasi CO menurun bersamaan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
221
dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini menunjukkan pengaruh sumber emisi CO yang
sangat kuat di permukaan. Tabel 2 menunjukkan prosentase perbedaan konsentrasi CO pada
saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap musim kering/basah
normal untuk berbagai ketinggian di lapisan troposfer. Nilai positif menunjukkan prosentase
kenaikan konsentrasi CO pada saat El Nino/La Nina dibandingkan pada saat normal,
sedangkan nilai negatif menunjukkan prosentase penurunan. Tidak terlihat adanya perubahan
yang signifikan antara konsentrasi CO pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah
La Nina terhadap normal. Prosentase penurunan/peningkatan konsentrasi CO pada saat
musim kering El Nino dibandingkan pada saat musim kering normal masing- masing adalah
0,03% - 0,97%, 0,3% - 1,5% dan 1,02% - 3,82% untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan
Kalimantan. Hal ini menunjukkan bahwa El Nino tidak berpengaruh banyak terhadap
komposisi CO di troposfer. Hal yang sama juga terlihat pada saat musim basah DJF dimana
perubahan konsentrasi CO pada saat kondisi normal dibandingkan dengan kondisi La Nina
juga relatif kecil yaitu berkisar 0,75% - 4,97%, 1,1% - 6% dan 0,54% - 5,86% untuk Jawa-
Bali, Sumatera dan Kalimantan
Hal yang menarik adalah pada saat kejadian El Nino umumnya terjadi penurunan
konsentrasi CO hampir di setiap ketinggian baik di Sumatera, Kalimantan maupun Jawa-Bali.
Sedangkan pada saat La Nina justru terjadinya sebaliknya yaitu peningkatan konsentrasi CO.
Produksi radikal OH yang merupakan sink dari CO di atmosfer berdasarkan persamaan reaksi
kimia (1-1) - (1-3) bergantung pada temperatur, konsentrasi H2O, intensitas radiasi UV dan
banyaknya CO, CH4 dan NO di atmosfer (Crutzen dan Carmichael, 1993). Pada saat musim
kering El Nino intensitas radiasi UV dan konsentrasi O3 lebih tinggi dibandingkan musim
kering normal sehingga produksi radikal OH pun relatif meningkat meskipun pada saat
musim kering normal konsentrasi vertikal H2O diketahui relatif sama dibandingkan musim
kering El Nino seperti ditunjukkan pada gambar 3.3. Berlimpahnya produksi radikal OH di
atmosfer melalui persamaan kimia (1-1) hingga (1-3) pada saat El Nino dibandingkan pada
saat La Nina yang menyebabkan lebih banyak CO yang teroksidasi menjadi CO2 melalui
persamaan kimia (1-4).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
222
Tabel 2. Prosentase perbedaan antara nilai konsentrasi CO pada saat kejadian musim kering
El Nino/musim basah La Nina terhadap normal (%) pada berbagai ketinggian (hPa). Nilai
positif menunjukkan bahwa terjadi kenaikan konsentrasi CO pada saat musim kering El
Nino/musim basah la Nina dibandingkan saat musim kering/musim basah normal, sedangkan
nilai negatif menunjukkan sebaliknya.
Kejadian Ketinggiann Jawa- Sumatera Kalimantan El Nino 905
802 618 407 300 212 110
0,07 -0,03 -0,40 -0,80 -0,97 -0,89 -0,70
-0,6 -1,4 -1,8 -1,0 0,3 1,3 1,5
-1,02 -2,26 -3,47 -3,82 -3,06 -1,99 -1,16
La Nina 905 802 618 407 300 212 110
0,75 0,02 3,83 4,97 4,76 3,71 2,57
1,1 2,7 4,8 6,0 5,6 4,2 2,8
-0,87 -0,54 1,95 4,75 5,86 5,17 3,70
Konsentrasi vertikal CO di troposfer untuk Sumatera, baik pada saat musim kering
dan musim basah normal maupun saat kondisi El Nino-La Nina, adalah yang tertinggi,
sedangkan Jawa-Bali adalah yang terendah diantara ketiga wilayah tersebut. Hal ini
disebabkan karena kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera melepaskan CO dalam
konsentrasi yang sangat tinggi ke atmosfer. Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di
wilayah Kalimantan, namun intensitas dan frekuensi kejadiannya tidak sebesar di Sumatera.
Konsentrasi CO maksimum pada troposfer bawah (905 hPa) saat musim kering dan musim
basah normal masing-masing adalah 114,73 ppbv (0,82 ppbv) dan 119,37 ppbv ( 0,76
ppbv) untuk Jawa-Bali, 117,11 ppbv ( 0,15 ppbv) dan 121,22 ppbv ( 1,14 ppbv) untuk
Sumatera dan 115,65 ppbv (0,39 ppbv) dan 117,89 ppbv ( 0,49 ppbv) untuk Kalimantan,
sedangkan saat musim kering El Nino dan musim basah (DJF) La Nina masing-masing
adalah 114,65 ppbv (0,01 ppbv) dan 118,47 ppbv (0,65 ppbv) untuk Jawa-Bali, 117,78
ppbv (0,27 ppbv) dan 119,94 ppbv (0,56 ppbv) untuk Sumatera dan 116,83 ppbv (0,08
ppbv) dan118,92 ppbv (0,60 ppbv) untuk Kalimantan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
223
3.2. Konsentrasi Vertikal CH4
Gambar 2 menunjukkan konsentrasi vertikal CH4 sebagai fungsi dari ketinggian di
lapisan troposfer atas (359,0 hPa – 160,5 hPa) baik pada saat kejadian musim kering El
Nino/musim basah La Nina maupun musim kering/basah normal untuk wilayah Jawa-Bali
(2a&b), Sumatera (2c&d) dan Kalimantan (2e&f). Secara umum konsentrasi CH4 menurun
bersamaan dengan bertambahnya ketinggian. Tabel 3 menunjukkan prosentase perbedaan
konsentrasi CH4 pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap
musim kering/basah normal untuk berbagai ketinggian di lapisan troposfer atas. Nilai positif
menunjukkan prosentase kenaikan konsentrasi CH4 pada saat musim keringEl Nino/musim
basah La Nina dibandingkan pada saat musim kering/musim basah normal, sedangkan nilai
negatif menunjukkan prosentase penurunan.
Tabel 3. Prosentase perbedaan antara nilai konsentrasi CH4 pada saat kejadian El Nino/La
Nina terhadap normal (%) pada berbagai ketinggian (hPa). Nilai positif menunjukkan bahwa
terjadi kenaikan konsentrasi CH4 pada saat musim kering El Nino/musim basah La Nina
dibandingkan saat musim kering/basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan
sebaliknya.
Kejadian Ketinggian Jawa- Sumatera Kalimantan El Nino 359,0
260,0 160.5
-0,04 -0,07 -0,07
0,34 0,37 0,32
-0,11 -0,04 0,04
La Nina 359,0 260,0 160.5
0,46 0,36 0,13
0,34 0,30 0,13
0,39 0,28 0,08
Konsentrasi vertikal CH4 sebagai fungsi dari ketinggian di lapisan troposfer atas di
wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan pada saat musim kering normal dan musim
kering El Nino tidak menunjukkan perubahan konsentrasi yang berarti yaitu masing-masing
berkisar antara 0,04% - 0,07% untuk Jawa-Bali, 0,32% - 0,37% untuk Sumatera dan 0,04% -
0,11% untuk Kalimantan seperti ditunjukkan pada gambar 2a, 2c dan 2d. Hal ini
mengindikasikan bahwa musim kering El Nino tidak berpengaruh banyak terhadap komposisi
CH4 di troposfer atas. Hal yang sama juga terlihat pada saat musim basah normal dan musim
basah La Nina dimana perubahan konsentrasi CH4 pada saat kondisi normal dibandingkan
dengan kondisi La Nina juga relatif kecil yaitu berkisar 0,13% - 0,46%, 0,13% - 0,34% dan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
224
0,08% - 0,39% masing-masing untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan seperti
disajikan pada gambar 2b, 2d dan 2f.
Yang menarik adalah adanya penurunan konsentrasi CH4 pada saat musim kering El
Nino dibandingkan musim kering normal hampir di setiap ketinggian untuk wilayah Jawa-
Bali dan Kalimantan. Sedangkan hal yang sebaliknya ditemukan di wilayah Sumatera. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan produksi radikal OH di troposfer atas wilayah
Jawa-Bali dan Kalimantan yang menyebabkan banyaknya CH4 teroksidasi menjadi radikal
CH3 menurut persamaan kimia (1-5), sedangkan hal yang sebaliknya terjadi di wilayah
Sumatera.
Konsentrasi vertikal CH4 di troposfer atas untuk Sumatera pada saat musim basah baik
kondisi normal maupun La Nina adalah yang tertinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Sumatera memiliki lahan basah (wetlands) terluas di Indonesia. Aktifitas mikroorganime
pada lahan basah saat kondisi tergenang menghasilkan CH4 dalam jumlah besar dan
merupakan sumber emisi CH4 alamiah terbesar.
Konsentrasi CH4 maksimum pada troposfer atas (359,0 hPa) saat musim kering dan
musim basah normal masing-masing adalah 1,76 ppmv (0,01 ppmv) dan 1,75 ppmv ( 0,00
ppmv) untuk Jawa-Bali, 1,76 ppmv ( 0,00 ppmv) dan 1,76 ppmv ( 0,00 ppmv) untuk
Sumatera dan 1,75 ppmv (0,01 ppbv) dan 1,76 ppmv ( 0,00 ppmv) untuk Kalimantan.
Sedangkan saat musim kering El Nino dan musim basah La Nina konsentrasinya masing-
masing adalah 1,76 ppmv (0,00 ppmv) dan 1,74 ppmv (0,00 ppmv) untuk Jawa-Bali, 1,75
ppmv (0,01 ppmv) dan 1,75 ppmv (0,00 ppmv) untuk Sumatera dan 1,76 ppmv (0,00
ppmv) dan 1,75 ppmv (0,00 ppmv) untuk Kalimantan. Terlihat bahwa tidak terdapat
perbedaan konsentrasi yang signifikan pada troposfer atas pada ketiga wilayah tersebut,
sehingga secara global dapat dikatakan bahwa konsentrasi CH4 pada lapisan troposfer atas
relatif seragam.
3.3. Konsentrasi Vertikal H2O
Gambar 3 menunjukkan konsentrasi vertikal H2O sebagai fungsi dari ketinggian di
lapisan troposfer (1000 hPa – 100 hPa) baik pada saat kejadian musim kering El Nino/musim
basah La Nina maupun musim kering/basah normal untuk wilayah Jawa-Bali (a&b),
Sumatera (c&d) dan Kalimantan (e&f). Secara umum konsentrasi H2O menurun bersamaan
dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini menunjukkan pengaruh sumber emisi H2O yang
sangat kuat di permukaan. Tabel 4 menunjukkan prosentase perbedaan konsentrasi H2O pada
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
225
saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap musim kering/basah
normal untuk berbagai ketinggian di lapisan troposfer. Nilai positif menunjukkan prosentase
kenaikan konsentrasi H2O pada saat musim keringEl Nino/musim basah La Nina
dibandingkan pada saat musim kering/musim basah normal, sedangkan nilai negatif
menunjukkan prosentase penurunan.
Konsentrasi vertikal H2O Jawa-Bali dan Kalimantan pada saat musim kering El Nino
dibandingkan musim kering normal mengalami peningkatan yang signifikan yaitu masing-
masing sebesar 10,79% - 17,57% dan 5,45% - 11,13% pada level ketinggian antara 850 hPa-
400 hPa. Pada saat musim basah La Nina dibandingkan musim basah normal terjadi
penurunan yang signifikan pada level ketinggian 500 hPa – 400 hPa dengan kisaran nilai
masing-masing antara 11,45% - 12,06%, 6,94% - 12,10% dan 12,20% - 15,39%, namun pada
level ketinggian antara 200 hPa – 150 hPa ditemukan adanya peningkatan yang signifikan
dengan kisaran nilai masing-masing antara 12,88% - 16,67%, 9,60% - 10,71% dan 8,53% -
13,79% untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh kejadian El Nino/La Nina terhadap konsentrasi vertikal H2O relatif tinggi pada
level troposfer bawah.
Konsentrasi H2O maksimum di troposfer (1000 hPa) saat musim kering dan musim
basah normal masing-masing adalah 15,22 g/kg udara kering (0,62 g/kg udara kering) dan
16,24 g/kg udara kering ( 0,28 g/kg udara kering) untuk Jawa-Bali, 15,91 g/kg udara kering
( 0,06 g/kg udara kering) dan 15,92 g/kg udara kering ( 0,30 g/kg udara kering) untuk
Sumatera dan 15,34 g/kg udara kering (0,33 g/kg udara kering) dan 15,58 g/kg udara kering
( 0,35 g/kg udara kering) untuk Kalimantan. Sedangkan saat musim kering El Nino dan
musim basah La Nina konsentrasinya masing-masing adalah 14,79 g/kg udara kering (0,30
g/kg udara kering) dan 16,04 g/kg udara kering (0,31 g/kg udara kering) untuk Jawa-Bali,
15,75 g/kg udara kering (0,35 g/kg udara kering) dan 15,67 g/kg udara kering (0,35 g/kg
udara kering) untuk Sumatera dan 15,08 g/kg udara kering (0,19 g/kg udara kering) dan
15,41 g/kg udara kering (0,19 g/kg udara kering) untuk Kalimantan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
226
Tabel 4. Prosentase perbedaan antara nilai konsentrasi H2O pada saat kejadian El Nino/La
Nina terhadap normal (%) pada berbagai ketinggian (hPa). Nilai positif menunjukkan bahwa
terjadi kenaikan konsentrasi H2O pada saat musim kering El Nino/musim basah La Nina
dibandingkan saat musim kering/basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan
sebaliknya.
Kejadian Ketinggian Jawa- Sumatera Kalimantan El Nino 1000
925 850 700 600 500 400 300 250 200 150 100
2.88 4.55
10.79 17.00 17.57 17.35 15.64
7.72 -0.45 0.00 2.44 0.00
1.02 -0.96 -1.99 0.63
-0.33 -4.03 -7.63 -2.23 -1.96 -4.55 9.09 0.00
1.66 3.30 5.45 8.55
10.52 11.13
7.62 0.17
-3.58 -4.14 2.44 0.00
La Nina 1000 925 850 700 600 500 400 300 250 200 150 100
1.25 0.15 2.75 1.77
-5.89 -11.45 -12.06
0.72 7.11
12.88 16.67
0.00
1.46 0.78 4.43 5.75 0.23
-6.94 -12.10
-2.53 4.10 9.60
10.71 0.00
1.07 0.24 3.50 3.12
-4.51 -12.20 -15.39
-2.70 4.81 8.53
13.79 0.00
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
227
Gambar 1. Grafik konsentrasi vertikal CO beserta deviasi bakunya untuk wilayah Jawa-Bali
(a & b), Sumatera (c & d) dan Kalimantan (e & f) pada saat musim kering (JJA) dan musim
basah (DJF) saat tidak terjadi El Nino/la Nina (normal) dan saat terjadinya El Nino/La Nina.
Diagram batang menunjukkan nilai penyimpangan bakunya.
a b
c d
e
Jawa-Bali
Sumatera
Kalimantan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
228
Gambar 2. Profil vertical CH4 untuk wilayah Jawa-Bali (a & b), Sumatera (c & d) dan
Kalimantan (e & f) pada saat musim kering (JJA) dan musim basah (DJF) saat tidak terjadi El
Nino/la Nina (normal) dan saat terjadinya El Nino/La Nina. Diagram batang menunjukkan
nilai penyimpangan bakunya.
a b
c d
e
Jawa-Bali
Sumatera
Kalimantan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
229
Gambar 3. Profil vertikal konsentrasi H2O untuk wilayah Jawa-Bali (a & b), Sumatera (c &
d) dan Kalimantan (e & f) pada saat musim kering (JJA) dan musim basah (DJF) saat tidak
terjadi El Nino/la Nina (normal) dan saat terjadinya El Nino/La Nina. Diagram batang
menunjukkan nilai penyimpangan bakunya.
Jawa-Bali
Sumatera
Kalimantan
a
c
e
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
230
4. KESIMPULAN
Kejadian El Nino dan La Nina tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
komposisi CO dan CH4 di troposfer. Pada saat kejadian El Nino umumnya terjadi sedikit
penurunan konsentrasi CO hampir di setiap ketinggian dengan prosentase penurunan berkisar
antara 0,03% - 0,97%, 0,3% - 1,5% dan 1,02% - 3,82% untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera
dan Kalimantan. Sedangkan pada saat La Nina justru terjadinya sebaliknya yaitu sedikit
peningkatan konsentrasi CO pada kisaran 0,75% - 4,97%, 1,1% - 6% dan 0,54% - 5,86%
untuk Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini mengindikasikan besarnya peranan
radikal OH dalam mengendalikan konsentrasi CO di troposfer. El Nino memiliki pengaruh
yang relatif tinggi terhadap konsentrasi vertikal H2O pada level-level ketinggian tertentu
yaitu masing-masing sebesar 10,79% - 17,57% untuk Jawa-Bali dan 5,45% - 11,13% untuk
Kalimantan pada level ketinggian antara 850 hPa- 400 hPa, sedangkan untuk La Nina
ditemukan pada level ketinggian 500 hPa – 400 hPa dengan kisaran nilai masing-masing
antara 11,45% - 12,06% untuk Jawa-Bali, 6,94% - 12,10% untuk Sumatera dan 12,20% -
15,39% untuk Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2013. Penduduk Indonesia menurut provinsi tahun 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan
2010.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab
=1, diunduh pada tgl 4 Desember 2013
Crutzen, P. J., Carmichael, G. R., Modelling the influence of fires on Atmospheric
Chemistry. Fire in the environment: The ecological, Atmospheric and Climatic
Importance of vegetation fires, John Wiley & Sons, England, 1993.
NASA. Giovanni. AIRS online visualization and analysis.
http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=AIRS_Level3Month,
diunduh pada November 2013
NOAA., ENSO Cycle: Recent Evolution, current status and prediction,
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/lanina/enso_evolution-
status-fcsts-web.pdf, 2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
231
PEMETAAN SPASIAL PENGARUH PROGRAM CAR FREE DAY DI JALAN DAGO TERHADAP KONSENTRASI NOX DAN PM10 DI UDARA AMBIEN
1Zeneth Ayesha Thobarony dan 2Driejana
1Bagian Teknik Sumber Daya Air, Departemen Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Jalan Raya Dramaga Bogor 16880
2Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Ganesha 10 Bandung 40132
[email protected], [email protected]
Abstract Transportation sector is a main urban-air pollution contributor. Two main pollutants
emitted by transportation sector are Nitrogen Oxide (NOx) and Particulate Matter (PM10). Car Free Day (CFD) activity is a weekly Bandung City activity which closing Djuanda Street (Dago) from automobile activity. It implies heavy traffic around CFD area. High number vehicle volume inversely to vehicle velocity. Vehicle velocity proportionally to NOx emission weight but inversely to PM10. NOx and PM10 dispersion analysis was conducted in previous research, but the limitation of used model causes spatial mapping to all CFD impacted area become impossible. Spatial mapping using ArcGis software with spatial analysis interpolation model: IDW (Inverse Distance Weighted) and Kriging. IDW determines cell values using linearly weighted combination of a set of sample points. Kriging generates an estimated surface from scattered set of points. Research result will compare the impact of without CFD (scenario 1) and without CFD (scenario 1) condition for both parameters in traffic peak hour (09.00-10.00) from 6 hours observing data. Spatial mapping result shows significant distinction between scenario 1 and scenario 2. It happens too between parameters because both have different emission weigh characteristic, respectively. The hotspot shifts between scenario 1 and scenario 2. Keywords: Car Free Day, Air Pollution, Spatial Mapping, Transportation
Abstrak Sektor transportasi merupakan kontributor utama pencemar udara perkotaan. Dua
polutan utama yang diemisikan oleh sektor transportasi adalah oksida nitrogen (NOx) dan Particulate Matter (PM10). Aktifitas “Car Free Day (CFD)” merupakan aktifitas mingguan Kota Bandung yang menutup Jalan Djuanda (Dago) sebagai jalur tanpa aktifitas kendaraan bermotor. Kemacetan besar terjadi disekitar area CFD. Tingginya volume kendaraan berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. Kecepatan kendaraan berbanding lurus dengan besarnya beban emisi NOx yang diterima namun berbanding terbalik terhadap PM10. Analisa Dispersi konsentrasi NOx dan PM10 dilakukan di penelitian sebelumnya, namun keterbatasan model yang digunakan menyebabkan pemetaan spasial terhadap seluruh area yang terkena pengaruh CFD menjadi tidak mungkin. Pemetaan spasial menggunakan software ArcGis dengan metode interpolasi analisis spasial IDW (Inverse Distance Weighted) dan Kriging. IDW menentukan nilai sel menggunakan kombinasi linear tertimbang dari satu set titik sampel. Kriging memperkirakan nilai permukaan berdasarkan satu set titik tersebar. Hasil penelitian membandingkan pengaruh kondisi tanpa CFD (skenario 1) dan dengan CFD (skenario 2) untuk kedua parameter di jam puncak kemacetan (09.00-10.00) dari 6 jam data pengamatan (06.00-12.00). Hasil pemetaan spasial menunjukkan perbedaan signifikan antara skenario 1 dan 2. Begitu juga antar parameter karena memiliki karakteristik beban emisi yang berbeda. Terjadi perpindahan titik “hotspot” antara skenario 1 dan 2.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
232
Kata Kunci : Car Free Day, Pemetaan Spasial, Polusi Udara, Transportasi
1. PENDAHULUAN
Sektor transportasi merupakan kontributor udama pencemar udara perkotaan. Dua
polutan utama yang diemisikan oleh sektor transportasi adalah oksida nitrogen (NOx) dan
Particulate Matter (PM10). Berdasarkan penelitian sebelumnya, sekitar 56,3% dari emisi
NOx berasal dari kendaraan bermotor (Soedomo, 1992). Konsentrasi PM10 pada udara
ambien mewakili paparan PM10 pada sumber luar ruangan. Beberapa penelitian tentang
epidemiologi di Eropa menunjukkan efek yang buruk akibat paparan PM10 dan PM2.5 pada
konsentrasi tertentu (Englert, 2004).
Penilaian paparan dari polusi yang berasal dari transportasi sering menjadi
permasalahan karena ketidakpastian yang berkesinambungan perihal agen penyebab,
seperti kemungkinan dari interaksi dan efek kumulatif penting dari berbagai polutan,
konsentrasi tinggi dari spasial, dan temporal variabilitas pada konsentrasi polutan. Pada 10
tahun terakhir, permodelan polusi udara menggunakan GIS dengan teknik interpolasi
sudah menjadi perhatian (Briggs, 2007). Interpolasi spasial adalah teknik yang paling
umum digunakan terutama yang melibatkan variabel lingkungan. Tujuan dari interpolasi
adalah untuk melihat pola spasial dengan cara memprediksi nilai lokasi sampel dari lokasi
titik sampel (Diem dan Comrie, 2001).
Model CALINE4 dapat mengkuantifikasi dampak dari emisi kendaraan yang
dirancang mampu memprediksi konsentrasi NOx dan PM10 berdasarkan aktifitas kendaraan
dan parameter meteorologi (Benson, 1984). Namun model ini hanya bisa memprediksi
maksimal 20 ruas jalan raya untuk sekali pemodelan dari total 79 ruas jalan raya yang
terkena dampak Car Free Day (Thobarony dan Driejana, 2013). Hal ini menyebabkan area
dampak aktivitas Car Free day harus dibagi menjadi 4 area. Metode ini memiliki
kelemahan karena akan underestimate pada area yang saling beririsan. Oleh karena itu
dibutuhkan pemetaan spasial yang dapat menggabungkan keempat area menjadi 1 peta
dampak utuh.
Aktifitas “Car Free Day (CFD)” merupakan aktifitas mingguan Kota Bandung
yang menutup Jalan Juanda (Dago) sebagai jalur tanpa aktifitas kendaraan bermotor.
Akibatnya, kemacetan besar terjadi disekitar area CFD.
Metode kriging (Cressie, 2000) digunakan sebagai dasar alternatif pemetaan polusi
belakangan ini. Kriging mewakili teknik yang pada dasarnya menggunakan variabel
regionalisasi (Journel and Huijbregts, 1978 dalam Beelen et al., 2009). Kriging adalah
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
233
teknik regresi yang berbasis memperkirakan nilai di lokasi tidak tersampel menggunakan
bobot yangm mencerminkan korelasi antara data pada dua lokasi sampel atau antara lokasi
sampel dan lokasi untuk estimasi. Metode IDW (Inverse Distance Weighting) memprediksi
nilai di lokasi tidak tersampel dengan menggunakan jarak pembobotan yang biasanya
memberikan bobot lebih untuk titik terdekat daripada titik yang jauh (Myers, 1991).
2. DATA DAN METODE
Keadaan yang ingin diteliti adalah keadaan saat CFD berlangsung (baseline) dan
saat tanpa CFD. Data diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thobarony
dan Driejana (2013) yang merupakan output dari program CALINE4. Data berupa data
konsentrasi grid 100 m x 100 m dan titik reseptor yang telah ditentukan sebelumnya untuk
kedua kondisi. Data koordinat jalan didapatkan dari data shp ArcGis.
Gambar 1. Pembagian peta menjadi 4 irisan
Dari 6 jam hasil pemodelan, digunakan data pukul 09.00-10.00 yang berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya menunjukkan konsentrasi puncak terjadi. Pemodelan kualitas
udara dapat dilakukan dengan bertukar data antara ArcGis dan sistem independen simulasi
kualitas udara (Matejicek, 2005), yang mana disini sistem independen lain yang digunakan
adalah CALINE4. Data konsentrasi grid dan reseptor PM10 dan NOx untuk kedua kondisi
diimpor menjadi file shp dengan jenis atribut tabel float. Data konsentrasi ini bersama
dengan data jalan kemudian menjadi input untuk interpolasi kriging dan IDW. Setelah
proses interpolasi selesai dihasilkan output 4 gambar hasil interpolasi kriging dan 4 gambar
hasil interpolasi IDW. Kedelapan gambar ini dianalisis perbedaan pola dispersinya,
konsentrasi tertinggi yang dicapai serta dibandingkan dengan hasil model CALINE4
terdahulu untuk mendapatkan kesimpulan interpolasi mana yang paling baik.
A D B C
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
234
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode interpolasi IDW dan kriging menghasilkan hasil yang berbeda satu sama
lain untuk kedua parameter dan kedua kondisi.
(a) (b)
Gambar 2. Dispersi NOx menggunakan Kriging (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD
Lokasi berkonsentrasi NOx tinggi saat kondisi baseline dan tanpa CFD ada pada
area Gazibu (Gbr. 2 dan 3). Terjadi pergeseran area berkonsentrasi rendah dari Juanda
pada kondisi baseline menjadi bagian barat dan timur Juanda. Pada metode kriging,
konsentrasi tertinggi lebih besar sedikit pada kondisi tanpa CFD, yaitu 54,56 µg/m3.
(a) (b)
Gambar 3. Dispersi NOx menggunakan Kriging (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD
Untuk metode IDW, konsentrasi NOx tertinggi lebih besar pada kondisi tanpa CFD
juga (112,88 µg/m3) namun area berkonsentrasi tinggi pada kondisi baseline lebih luas.
Untuk parameter NOx, kedua metode tidak menghasilkan perbedaan luas area konsentrasi
tinggi secara signifikan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
235
(a) (b)
Gambar 4. Dispersi PM10 menggunakan IDW (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD
Pergeseran area berkonsentrasi tinggi juga terjadi pada konsentrasi PM10 (Gbr. 4
dan 5) yang pada kondisi tanpa CFD terpusat di Juanda dan pada kondisi baseline
menyebar disekitarnya. Sama halnya dengan hasil interpolasi kriging, konsentrasi tertinggi
ada pada kondisi tanpa CFD, 94,68 µg/m3 (Gbr. 3) dan 135,9 µg/m3 (Gbr. 4). Untuk
parameter PM10, kedua metode tidak menghasilkan perbedaan luas area konsentrasi tinggi
secara signifikan.
(a) (b)
Gambar 5. Dispersi PM10 menggunakan Kriging (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
236
Tabel 1: Perbandingan konsentrasi tertinggi antar metode interpolasi dan CALINE4
Kondisi Parameter
Konsentrasi tertinggi (µg/m3)
CALINE4 Kriging
IDW
(Inverse Distance
Weighted)
Baseline NOx 56,44 48,92 56,44
PM10 64,10 63,27 63,89
Tanpa
CFD
NOx 75,26 54,56 112,88
PM10 136,50 94,68 135,9
Berdasarkan Tabel 1, hasil interpolasi kriging menunjukkan konsentrasi tertinggi
paling kecil diantara hasil CALINE4 dan interpolasi IDW. Sementara itu, hasil konsentrasi
tertinggi CALINE4 dan interpolasi IDW hampir serupa kecuali untuk kedua kondisi dan
kedua parameter kecuali pada parameter NOx kondisi tanpa CFD.
Dengan perbandingan terhadap model CALINE4, metode interpolasi IDW lebih
baik dalam memprediksi konsentrasi puncak untuk kedua parameter konsentrasi. Pada
CALINE 4, konsentrasi NOx dan PM10 tertinggi pada kondisi tanpa CFD sebesar 75,26
µg/m3 dan 136,50 µg/m3. Perhitungan konsentrasi untuk beberapa area pada CALINE 4
menghasilkan konsentrasi yang lebih kecil disebabkan konsentrasi area berhimpit tidak
diakumulasikan.
GIS merupakan alat yang baik untuk memodelkan paparan. Namun kemampuan
hanya dapat memodelkan permukaan saja (Briggs, 2007). Salah satu kelemahan metode
interpolasi adalah asumsi naif yang diragukan mengenai distribusi spasial polusi pada
udara ambien. Pada kenyataannya, pola spasial dari polusi udara lebih kompleks dari
asumsi yang dilakukan, terlebih pad a lingkungan perkotaan yang mana pola dispersi juga
ditentukan dari bentuk bangunan (Briggs, 2005) Metode Kriging lebih kompleks dan
digunakan lebih luas dari pada metode IDW, dan beberapa studi perbandingan (Leenaers et
al., 1990) menemukan bahwa kriging lebih baik daripada IDW. Namun pada hasil
penelitian ini ditemukan metode IDW lebih baik karena kriging cenderung menampilkan
hasil yang underestimate.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
237
4. KESIMPULAN
Terjadi perbedaan dispersi dan konsentrasi puncak antara kedua kondisi baik untuk
konsentrasi NOx dan PM10. Kondisi tanpa CFD memiliki konsentrasi puncak 11,5 sampai
100 % lebih tinggi untuk kedua parameter konsentrasi jika dibandingkan dengan kondisi
baseline. Secara dispersi konsentrasi, hasil model CALINE4 dan interpolasi ArcGis tidak
memberikan perbedaan yang signifikan. Perbedaan signifikan terjadi dalam perhitungan
konsentrasi tertinggi tiap kondisi. Konsentrasi tertinggi yang paling mendekati kesamaan
dengan model CALINE4 dicapai dengan metode interpolasi IDW pada ArcGis. Metode
Kriging cenderung bersifat underestimate.
DAFTAR RUJUKAN
Beelen, R., Hoek, G., Pebesma, E., Vienneau, D., Hoogh, K., Briggs, D.J., Mapping of
Background Air Pollution at a Fine Spatial Scale across the European Union. Science
of the Total Environment 407:1852 – 1867, 2009.
Benson, P., CALINE 4-A Dispersion Model for Predicting Air Pollutant Concentrations
Near Roadways. California Department of Transportation,: Sacramento, CA, 1984.
Briggs, D. J., The Use of GIS To Evaluate Traffic-Related Pollution. Occup Environ Med
64: 1-2, 2007.
Briggs, D. J., The Role of GIS:Coping With Space (and Time) in Air Pollution Exposure
Assesment. Journal of Toxicology and Environ. Health, Part A:Current Issues,
2005.
Cressie, N., Geostatistical Methods for Mapping Environmental Exposures. Spatial
Epidemiology. Oxford: Oxford University Press p.185-204, 2000
Diem, J. E., Comrie, A.C., Predictive Mapping of Air Pollution Involving Sparse Spaial
Observations. Environmental Pollution 119:99-117, 2002.
Englert, N., Fine particles and human health – a review of epidemiological studies.
Toxicology Letters 149, 235-242, 2004
Leenaers, H., Okx, J. P., Burrough, P. A., Comparison of Spatial Prediction Methods for
Mapping Floodplain Soil Pollution. Catena 17 (6), 535-550, 1990
Matejicek, L., Spatial Modelling of Air Pollution in Urban Areas with GIS: A Case Study
on Integrated Database Development. Advances in Geosciences, 4, 63-68, 2005
Myers, D.E., Interpolation and Estimation with Spatially Located Data. Chemometrics and
Intelligent Laboratory Systems 11, 209-228, 1991.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
238
Soedomo, Moestikahadi., Kumpulan Karya Ilmiah Pencemaran Udara. Penerbit ITB:
Bandung, 2003.
Thobarony, Z. A., Driejana., Modelling the Influence of Car Free Day (CFD) on NO2 and
PM10 Ambient Concentration in Bandung, Indonesia. The 10th International
Conference East Asian Society Transportation Studies Proceeding, 2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
239
PENGEMBANGAN MODEL KERAPATAN SPASIAL SAMPAH ANTARIKSA: KAITANNYA DENGAN
AKTIVITAS MATAHARI
Abdul Rachman
Pusat Sains Antariksa LAPAN [email protected], [email protected]
Abstrak
Hambatan atmosfer menyebabkan terjadinya aliran massa dalam populasi sampah antariksa sehingga menimbulkan variasi kerapatan spasial di berbagai interval ketinggian. Dalam studi ini, telah dikembangkan sebuah model kerapatan spasial sampah antariksa dari ketinggian 200 km hingga 1000 km dengan interval 100 km. Tahap awal rancangan dilakukan dengan berbagai penyederhanaan dari segi aktivitas matahari dan geomagnet, model kerapatan atmosfer, dan karakteristik populasi dan anggotanya. Simulasi 10000 anggota populasi telah dilakukan dengan kerapatan spasial awal yang sama untuk semua interval ketinggian namun pada fase aktivitas matahari dan koefisien balistik populasi yang berbeda-beda. Hasilnya pada profil kerapatan terhadap waktu menunjukkan adanya kecenderungan profil diawali dengan peningkatan kerapatan (setelah awalnya menurun untuk ketinggian < 400 km) di semua interval ketinggian kecuali di 900-1000 km sebelum akhirnya menurun secara drastis. Variasi kerapatan terhadap aktivitas matahari tampak signifikan pada ketinggian kurang dari 500 km terutama pada populasi dengan koefisien balistik yang kecil. Kata Kunci : hambatan atmosfer, populasi sampah antariksa, aktivitas matahari
Abstract Atmospheric drag causes a mass flow in the population of space debris resulting in a spatial density variation in different altitude intervals in the population. In this study, we have developed a model of spatial density of space debris from altitude of 200 to 1000 km with 100 km intervals. The initial phase of the design contains a variety of simplification in terms of solar and geomagnetic activity, atmospheric density model, and characteristics of the population and its members. A simulation of 10000 members of the population has been conducted with the same initial density for all intervals but with different phases of solar activity and ballistic coefficients. The result on the density profile versus time showed a tendency of the profile to increase in the beginning (after initial decline for the altitude < 400 km) in all intervals except in the 900-1000 km altitude before finally decreases dramatically. Solar activity effect on variations of the density seems significant at an altitude of less than 500 km, especially in populations with a small ballistic coefficient.
Keywords : atmospheric drag, space debris population, solar activity
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
240
1. PENDAHULUAN
Katalog benda-benda antariksa buatan berukuran di atas 10 cm menunjukkan bahwa
jumlah benda-benda tersebut telah mendekati 17 ribu buah (Space-Track, 2013). Benda-
benda ini mengorbit mulai dari ketinggian di bawah 200 km hingga ratusan ribu km.
Hampir separuhnya yakni sekitar 47% berada di ketinggian kurang dari 1000 km di mana
kerapatan atmosfernya cukup padat. Partikel-partikel atmosfer ini akan terus-menerus
menghambat gerak benda sehingga energi dan ketinggiannya terus berkurang dan akhirnya
jatuh ke Bumi.
Hambatan udara mengakibatkan turunnya ketinggian benda-benda buatan di orbit
rendah. Akibatnya, terjadi aliran massa dalam populasi sampah antariksa (yang
mendominasi populasi benda buatan) dari posisi yang lebih tinggi ke posisi yang lebih
rendah. Implikasinya adalah terjadinya variasi kerapatan spasial di berbagai interval
ketinggian dalam populasi tersebut. Studi menggunakan data Satellite Space Report (SSR)
yang dipublikasikan oleh United States Space Command (USSPACECOM) menunjukkan
bahwa sejak awal 2009 (awal siklus matahari ke-24) hingga pertengahan 2013 terjadi
peningkatan kerapatan spasial di beberapa interval ketinggian khususnya di ketinggian 600
– 700 km (Gambar 1).
Gambar 1 : Peningkatan jumlah populasi sampah antariksa pada ketinggian 600 – 700 km
(Rachman, 2013). Garis tegak berwarna merah menunjukkan awal 2013.
Peningkatan kerapatan spasial akan berkonsekuensi pada meningkatnya probabilitas
tabrakan antar benda di wilayah tersebut. Mengingat berbagai kerugian yang mungkin
terjadi jika terjadi tabrakan, dibutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara
aktivitas matahari (yang sangat berperan pada variasi kerapatan atmosfer) dan kerapatan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
241
spasial benda-benda antariksa. Pembuatan model yang menjadi tujuan studi ini adalah
salah satu langkah untuk meningkatkan pemahaman tersebut.
2. METODOLOGI
Model yang dikembangkan pada studi ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana
pengaruh aktivitas matahari secara khusus pada populasi sampah antariksa di ketinggian
200 hingga 1000 km. Karena hanya memperhitungkan variasi akibat aktivitas matahari
maka tidak ada faktor penambah dalam populasi (misalnya peluncuran dan fragmentasi)
yang diperhitungkan dan hanya peluruhan (decay) yang diperhitungkan sebagai faktor
pengurang (sinks).
Gambar 2 : Rancangan model yang dikembangkan dalam studi ini. Model peluruhan
tertentu digunakan untuk memperoleh ketinggian benda-benda di populasi
berikutnya berdasarkan karakteristik populasi sebelumnya. menyatakan
kerapatan populasi.
Secara sederhana, rancangan model diperlihatkan pada Gambar 2. Populasi sampah
antariksa yang ditinjau berawal pada saat t = 0 yang disebut sebagai populasi awal. Dalam
proses perhitungan, populasi awal ini menjadi populasi ke-(n = 1). Setiap populasi terdiri
dari 8 klas ketinggian dengan interval 100 km. Setiap klas bisa bervariasi kerapatannya di
mana jumlah anggotanya ditentukan oleh jumlah total populasi. Untuk populasi awal,
variasi kerapatan tiap klas ketinggian dinyatakan dalam fungsi kerapatan 0.
Dari segi karakteristik benda, penyederhanaan dilakukan dengan menjadikan semua
orbit berupa lingkaran dengan tidak memperhitungkan orientasinya sehingga hanya
parameter ketinggian yang perlu diperhitungkan. Meskipun demikian, massa dan luas
permukaan efektif (perkalian antara luas permukaan benda yang tegak lurus dengan vektor
kecepatan dan koefisien hambatan) benda-benda dalam populasi awal dapat divariasikan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
242
walau nilainya diseragamkan untuk semua benda. Rasio massa dan luas permukaan efektif
adalah koefisien balistik (BC) yang dinyatakan dalam satuan kg/m2. Ketinggian setiap
benda dalam interval tertentu pada populasi awal ditentukan secara acak memakai
distribusi seragam memanfaatkan fungsi randi pada Matlab R2011b.
Ketinggian setiap benda di populasi berikutnya ditentukan setelah waktu tertentu
(misalnya 1 hari atau 1 bulan) setelah populasi sebelumnya. Besar peluruhan ketinggian
yang terjadi dihitung memakai teknik yang terdapat pada Kennewell (1999) yang memakai
model atmosfer yang telah memperhitungkan aktivitas matahari (dalam indeks F10.7) dan
geomagnet (dalam indeks Ap) sesaat (statis). Besar peluruhan ketinggian bisa dihitung dari
persamaan hubungan antara kerapatan atmosfer, ketinggian benda, dan koefisien balistik
dengan laju berkurangnya periode benda. Teknik yang digunakan oleh Kennewell (1999)
ini berlaku untuk ketinggian hingga 500 km tapi pada studi ini model tersebut digunakan
hingga ketinggian 1000 km. Pendekatan ini dianggap sudah mencukupi untuk studi ini
meskipun berakibat pada menurunnya akurasi model.
Pengaruh variasi aktvitias matahari dilakukan dengan dua cara. Pertama,
mengasumsikan variasi aktivitas matahari berperilaku menurut fungsi sinusoidal dengan
puncaknya pada 200 sfu. Kedua, memungkinkan populasi awal berada pada fase aktivitas
matahari tertentu (misalnya = 0 saat matahari minimum, 0.5 saat matahari maksimum).
Adapun aktivitas geomagnet digunakan nilai rata-ratanya saja yakni Ap = 0 (Vallado,
2001).
Rancangan model diimplementasikan dengan Matlab R2011b lalu dilakukan
simulasi. Hasil simulasi kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan hasil pengolahan
data empiris berdasarkan file Satellite Situation Report (SSR) dari United States Space
Command (USSPACECOM) sejak akhir 2008 hingga Juli 2013 (Rachman, 2013).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Simulasi 10000 anggota populasi dilakukan dengan kerapatan spasial awal yang
sama untuk semua interval ketinggian namun pada fase aktivitas matahari ( = 0, 0.2, dan
0.5) dan koefisien balistik (BC) populasi yang berbeda-beda (50, 100, dan 500 kg/m2).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
243
Gambar 3 : Kerapatan spasial populasi sampah antariksa hasil pemodelan dengan
koefisien balistik 50 kg/m2. menyatakan fase aktivitas matahari.
Profil kerapatan terhadap waktu menunjukkan adanya kecenderungan profil
tersebut diawali dengan peningkatan kerapatan di semua interval ketinggian kecuali di 900
– 1000 km sebelum akhirnya menurun secara drastis. Variasi kerapatan terhadap aktivitas
matahari tampak signifikan pada ketinggian < 500 km terutama pada populasi dengan
koefisien balistik kecil (Gambar 3).
Hasil yang diperoleh menunjukkan kecenderungan yang menyerupai hasil yang
didapatkan dari pengolahan data SSR (Gambar 4) yakni 1) ada kecenderungan terjadi
peningkatan kerapatan spasial seiring meningkatnya aktivitas matahari khususnya di atas
ketinggian 400 km, 2) profil untuk ketinggian < 400 km diawali dengan penurunan.
Namun, menurut hasil simulasi semua benda telah jatuh dalam waktu kurang dari 2 tahun
yang berbeda dengan hasil pengolahan data empiris. Awalnya diyakini bahwa
pemberlakukan model kerapatan atmosfer yang digunakan dalam studi ini hingga
ketinggian 1000 km adalah faktor utama terjadinya perbedaan tersebut. Namun,
belakangan disadari bahwa nampaknya ada faktor lain yang lebih menentukan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
244
Gambar 4 : Pertumbuhan populasi benda antariksa buatan dari ketinggian 200 hingga 800
km yang dibandingkan dengan aktivitas matahari (dalam rata-rata bulanan
F10.7) sejak akhir 2008 hingga Juli 2013. Garis tegak berwarna merah
menunjukkan awal 2013 (Rachman, 2013).
Model atmosfer yang digunakan dalam studi ini memberikan kerapatan yang lebih
rendah dibanding model yang lebih akurat yang berbasis MSISE-90 untuk ketinggian di
atas 700 km (Gambar 5). Konsekuensinya adalah benda berketinggian awal di atas 950 km,
misalnya, seharusnya jatuh lebih lama menurut perhitungan model ini dibanding MSISE-
90. Menurut MSISE-90, benda berketinggian 950 km dan BC 20 kg/m2 paling cepat jatuh
ke Bumi setelah 200 tahun. Akan tetapi, model yang dikembangkan dalam studi ini
menunjukkan bahwa semua benda (termasuk yang berketinggian awal di atas 950 km)
dengan BC 50 kg/m2 (lebih padat dibanding 20 kg/m2 sehingga seharusnya lebih lama di
orbit) telah jatuh dalam waktu kurang dari 2 tahun. Nampaknya ada kekeliruan pada
implementasi program.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
245
Gambar 5 : Perbandingan kerapatan atmosefer yang digunakan dalam studi ini (kiri)
dengan model MSIS (kanan [Wertz, 2006]) untuk tingkat aktivitas matahari
yang berbeda-beda.
Terlepas dari kelemahan model yang dikembangkan dalam studi ini dan
kemungkinan kesalahan pada implementasi program, adanya kesesuaian kecenderungan
hasil yang diperoleh dengan pengolahan data empiris sangat menarik untuk diperhatikan.
Studi lebih lanjut memakai model yang lebih realistis (termasuk model atmosfernya) dan
perbaikan implementasi program perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik. Studi lanjutan tersebut diharapkan bisa menunjukkan sejauh apa peran aktivitas
matahari dalam membentuk profil kerapatan spasial sampah antariksa di berbagai interval
ketinggian melalui aliran massa dalam populasi sampah antariksa tersebut.
5 KESIMPULAN
Jumlah sampah antariksa cenderung semakin meningkat sehingga berakibat pada
meningkatnya pula probabilitas tabrakan antar benda antariksa buatan. Model yang
dikembangkan dalam studi ini, meskipun banyak disederhanakan dari aspek cuaca
antariksa maupun karakteristik populasi sampah antariksanya, berhasil menghasilkan profil
perubahan kerapatan spasial sampah antariksa yang menyerupai kecenderungan yang
diperoleh dari pengolahan data empiris benda-benda buatan sejak awal siklus matahari ke-
24. Penyederhanaan model kerapatan atmosfer adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi akurasi model yang dikembangkan ini di samping kemungkinan adanya
kesalahan implementasi program yang diduga menjadi faktor utama.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
246
DAFTAR RUJUKAN
Kennewell, J., Satellite Orbital Decay Calculations, The Australian Space Weather
Agency, 1999.
Rachman, A., Analisis Populasi Sampah Antariksa di Sekitar Puncak Aktivitas Matahari
Siklus ke-24, Evaluasi 1 Penelitian 2013, Pusat Sains Antariksa LAPAN, 2013.
Space-Track, www.space-track.org, diakses Nopember 2013.
Vallado, David A., Fundamentals of Astrodynamics and Applications. Space Technology
Library, Microcosm Press, El Segundo, CA, 2001.
Wertz, J. R., Orbital Properties and Terminology, Mission Geometry – Orbit and
Constellation Design and Management, Bab 2, Microcosm Press, 2006.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
247
GELOMBANG MORETON DAN SEMBURAN RADIO YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 24 OKTOBER 2013
Agustinus Gunawan Admiranto
Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional [email protected]
Abstrak
Gelombang Moreton adalah sebuah peristiwa penjalaran gelombang di kromosfer matahari yang sering terjadi setelah peristiwa flare. Peristiwa gelombang Moreton ini sering dihubungkan dengan peristiwa gelombang EIT walaupun tempat berlangsung dan mekanisme fisisnya tampak berbeda. Dalam hubungan ini, didapat bahwa pada tanggal 24 Oktober 2013 pukul 0020 UT terjadi peristiwa flare dengan kelas M9. Peristiwa flare ini kemudian diikuti dengan semburan radio tipe II dan III. Selanjutnya dilakukan analisis citra matahari yang diambil pada panjang gelombang Hα untuk melihat adanya gelombang Moreton yang menjalar di angkasa matahari tersebut. Dengan melihat beberapa gambar yang diambil secara berurutan bisa dilihat adanya gelombang yang menjalar yang kemudian dengan melihat muka gelombang pada setiap gambar bisa dihitung kecepatan penjalaran gelombang tersebut. Dari perhitungan yang dilakukan pada peristiwa penjalaran gelombang Moreton menunjukkan bahwa kecepatannya adalah sekitar 700 km/detik. Analisis pada semburan radio tipe II dilakukan dengan menghitung pergeseran frekuensi yang terdapat dalam citra spektrograf radio yang diperoleh untuk tanggal yang bersangkutan. Dari analisis semburan radio ini didapat bahwa kecepatan pancaran gelombang adalah sebesar 1000 km/detik. Analisis pada semburan radio matahari dan pancaran gelombang Moreton menunjukkan bahwa peristiwa flare ini bisa menjadi sumber kedua peristiwa tersebut. Kata Kunci : gelombang Moreton – citra Hα - kromosfer – semburan radio tipe II dan III
Abstract
Moreton wave is a wave propagation phenomenon which occurs in the chromosphere which often happen after the occurence of flares. This Moreton wave phenomena is also sometimes associated with EIT wave phenomena although the locations of thore phenomena are different. In this respect, an M9 flare occured on October 24, 2013 which subsequently followed by type II and III solar radio bursts. To see whether there was a Moreton wave or not, a sequence of solar images taken in Hα were analyzed. It was concluded that there was indeed a wave occured and from the time of occurence of a certain wavefront the speed of the wave propagation can be determined. It was found that the speed is about 1500 km/sec. Radio bursts analysis was carried out by calculating the frequency drift in radio spectrograph image in the designated day. The calculation showed that the speed of the burst is about 1000 km/sec. From these analyses it was shown that this flare is the source of both phenomena. Keywords: Moreton wave - Hα images – chromosphere – type II and III solar radio burst
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
248
1. PENDAHULUAN Peristiwa flare yang berlangsung di atmosfer matahari sering disertai dengan peristiwa lain
seperti munculnya semburan radio tipe II atau tipe III dan munculnya gelombang Moreton.
Sekarang fenomena gelombang Moreton ini semakin banyak menarik perhatian karena
masih ada beberapa masalah yang belum terpecahkan terkait dengan fenomena ini.
Gelombang Moreton diamati dalam bentuk gangguan yang menjalar di daerah kromosfer
yang teramati dalam panjang gelombang Hα.
Terkait dengan yang disebutkan di atas, pada pukul 0030 UT tanggal 24 Oktober
2013 terjadi ledakan flare di daerah aktif NOAA 11877 dengan kelas M9. Setelah peristiwa
flare ini, terjadi peristiwa semburan tipe II dan III. Tulisan ini mencoba menelaah peristiwa
gelombang Moreton yang tampak muncul dalam citra Hα dengan menghitung kecepatan
penjalarannya dan dibandingkan dengan kecepatan pancaran semburan radio yang muncul
akibat peristiwa flare tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat apakah flare itu
memang bisa mengakibatkan munculnya gelombang Moreton.
2. TINJAUAN PUSTAKA Di atmosfer matahari banyak terjadi peristiwa penjalaran gelombang akibat ledakan flare
atau pelontaran massa korona. Dalam hal ini, yang cukup menonjol adalah peristiwa
pancaran gelombang EIT dan pancaran gelombang Moreton. Beberapa peneliti mencoba
melakukan analisis pada gangguan di atmosfer matahari setelah peristiwa flare atau
pelontaran massa korona terjadi, terutama pada panjang gelombang Hα karena mereka
masih belum mendapatkan kepastian apakah gelombang Moreton disebabkan oleh flare,
atau pelontaran massa korona, atau keduanya (Temmer et al. 2009). Gelombang ini
bergerak menjalar di kromosfer dengan kecepatan 500-1000 km/detik (Warmuth et. al.
2004).
Menurut Uchida (1968), gelombang Moreton adalah perpotongan antara
gelombang kejut mode cepat yang menjalar di korona dengan kromosfer yang mengalami
penekanan dan terdorong ke bawah akibat adanya tekanan dari gelombang kejut itu.
Uchida (1968) melakukan analisis pada peristiwa ledakan flare yang kemudian
memancarkan gelombang ke daerah kromosfer dan korona. Dia melihat bahwa gejala
gelombang Moreton berasal dari tumbukan ledakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh
flare tersebut dengan kromosfer. Gelombang kejut yang datang dari flare adalah sebuah
gelombang bola yang tumbukannya dengan kromosfer menghasilkan daerah-daerah yang
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
249
mengalami pemampatan yang kemudian tampil sebagai perubahan pola intensitas yang
menjalar.
Temmer et al (2009) melakukan analisis pada pancaran gelombang Moreton yang
berlangsung setelah peristiwa flare dengan kelas 3B/X 3.8 yang terjadi pada tanggal 17
Januari 2005. Mereka mendapatkan bahwa peristiwa gelombang Moreton ini lebih besar
kemungkinannya disebabkan oleh flare daripada peristiwa pelontaran massa korona yang
menyertainya. Akan tetapi, Muhr et al (2010) yang melakukan analisis pada peristiwa
flare kelas X 4B/17.2 yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 2003 menyatakan bahwa
gelombang Moreton yang muncul sesudahnya diakibatkan oleh flare tersebut.
Sehubungan dengan itu, maka telaah ini mencoba melihat hubungan gelombang
Moreton dengan peristiwa flare dan pancaran gelombang radio. Diharapkan di sini akan
ada pemecahan lebih lanjut tentang masalah di atas.
3. DATA DAN METODE
Data peristiwa flare yang berlangsung pada tanggal 24 Oktober 2013 ini adalah
pengamatan flare yang diambil menggunakan wahana Hinode. Kemudian data matahari
yang dipakai adalah data pengamatan matahari dalam panjang gelombang Hα dari situs
Global Oscillation Network Group (GONG), National Solar Observatory, dan data
pengamatan semburan radio matahari tipe II dan tipe III dari Culgoora Observatory,
Bureau of Meteoroly, Australia. Di sini dipakai data pengamatan matahari dalam panjang
gelombang Hα karena gelombang Moreton adalah gelombang yang menjalar di lapisan
kromosfer yang teramati dengan jelas dalam panjang gelombang Hα.
Daerah aktif yang terkait dengan peristiwa flare ini adalah daerah aktif NOAA
11877 seperti terlihat di Gambar 1 dibawah yang ditunjukkan dengan anak panah.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
250
Gambar 1: Tanda panah menunjukkan daerah aktif di matahari yang menjadi sumber
peristiwa flare yang kemudian memicu gelombang Moreton dan semburan
radio matahari.
Data GONG yang dipakai adalah data citra matahari yang diambil setiap menit
sehingga apabila ada materi yang bergerak hal ini bisa kelihatan pada citra yang dilihat
secara berurutan. Gerakan materi ini kemudian ditafsirkan sebagai adanya gelombang
Moreton. Kemudian kecepatan gerakan gelombang bisa dihitung dari perpindahan posisi
muka gelombang pada beberapa gambar berurutan.
Dalam kasus tanggal 24 Oktober ini, setelah peristiwa flare terjadi pada citra data
GONG diamati adanya peningkatan intensitas yang menjalar dari mulai dari menit ke 2
sampai dengan menit ke 6 setelah ledakan flare. Dari sini kecepatan penjalaran gelombang
kemudian dihitung dan didapat bahwa gelombang tersebut menjalar dengan kecepatan
sekitar 1600 km/detik. Gambar 2 di bawah menunjukkan pola penjalaran gelombang
Moreton tersebut.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
251
Gambar 2: Pola penjalaran gelombang Moreton yang muncul setelah terjadi flare pada
tanggal 24 Oktober 2013 pukul 0030 UT. Tempat berlangsungnya flare dan
munculnya gelombang Moreton ditunjukkan dengan tanda panah dai
diperbesar di bagian kanan atas gambar.
Selanjutnya, semburan radio matahari yang terkait dengan peristiwa ini ditelaah
lebih lanjut untuk melihat kecepatan pancaran gelombang yang diakibatkan oleh semburan
tersebut. Dalam hal ini, yang dipakai adalah peristiwa semburan radio matahari tipe II yang
diamati di Culgoora Observatory, Australia sebagaimana terlihat di Gambar 3.
Menggunakan teknik pengukuran kecepatan yang dipakai di Culgoora Observatory ini
didapat bahwa kecepatan partikel akibat adanya semburan radio ini adalah sekitar 1500
km/detik.
Kedua perhitungan di atas menunjukkan bahwa pancaran flare ini mengakibatkan
adanya dua peristiwa yang berlangsung serentak dan bergerak dengan kecepatan yang
hampir sama yaitu gerakan gelombang Moreton dan semburan radio tipe II. Adanya
perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran pada jarak masing-
masing muka gelombang atau penentuan kecepatan kecepatan partikel pada semburan
radio tipe II pada citra yang dihasilkan Culgoora Observatory.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
252
Gambar 3: Semburan radio tipe II yang muncul beberapa saat setelah berlangsungnya
peristiwa flare dan pancaran gelombang Moreton. Tampak bahwa semburan
radio ini muncul setelah flare berlangsung, sehingga besar kemungkinannya
semburan tipe II dihasilkan oleh flare tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Menggunakan cara yang diuraikan pada bagian metodologi di atas ini bisa dilihat
adanya materi yang bergerak menjauhi flare dan bisa ditafsirkan sebagai gelombang
Moreton yang muncul akibat adanya flare tersebut. Dari gerakan gelombang tersebut bisa
dihitung kecepatan gerakan gelombang Moreton itu, yaitu sebesar 1600 km/detik. Harga
ini tidak terlalu banyak berbeda dengan yang dihitung oleh Noriyuki et al. (2005) sebesar
1500 km/detik.
Bila hasil di atas ditelaah lebih lanjut, tampak bahwa pemicu utama dari semua
fenomena tersebut di atas adalah peristiwa flare. Flare ini memicu munculnya gelombang
kejut di kromosfer matahari yang tampil dalam bentuk gelombang Moreton. Akan tetapi,
selain gelombang kejut ini, flare tersebut juga memancarkan radiasi dan partikel ke
atmosfer matahari. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya semburan radio tipe II.
Semburan radio tipe II akan muncul manakala partikel-partikel energi tinggi bergerak ke
arah korona matahari dan bertumbukan dengan partikel-partikel yang terdapat di korona
matahari tersebut yang kemudian menghasilkan pergeseran frekuensi dan memunculkan
pola tipe II yang khas.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
253
Selain itu, tulisan ini juga mendukung pendapat Temmer et al. (2009) di atas,
bahwa flare memicu gelombang Moreton dan semburan tipe II. Meskipun demikian,
mungkin gejala ini tidak berlaku umum, dan perlu ada telaah lebih lanjut.
5. SIMPULAN
Peristiwa flare, penjalaran gelombang Moreton, dan semburan radio tipe II dan II
ternyata merupakan fenomena-fenomena di matahari yang terkait satu sama lain. Analisis
pada penjalaran gelombang Moreton dan profil semburan radio tipe II bisa memberikan
kecepatan pancaran gelombang dengan cukup akurat. Diharapkan penelitian lebih
mendalam tentang gelombang Moreton ono bisa memberikan gambaran tentang kaitannya
dengan fenomena gelombang lain di atmosfer matahari seperti gelombang EIT, gelombang
sinar X, dan gelombang helium.
UCAPAN TERIMA KASIH. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Irvan Fajar Syidik atas bantuannya dalam
melakukan telaah penentuan kecepatan gelombang Moreton.
DAFTAR RUJUKAN N. Muhr, B. Vrsnak, M. Temmer, A. M. Veronig, J. Magdalenic (2010), The Astrophysical
Journal, 708:1639–1649
Temmer, M., Vrsnak, B. Zic, T., Veronig, A. M., (2009)
Uchida, Y. (1968), Solar Physics 4, 30
Warmuth, A., Vršnak, Magdalenić, J., Hanslmeier, A., Otruba, W. (2004), Astron. &
Astrophysics, 418, 1117
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
254
ANALISIS DAN DESAIN SITUS FTP SAINS ANTARIKSA MENGGUNAKAN UML
(UNIFIED MODELLING LANGUAGE)
Alhadi Saputra
Peneliti Bidang Sistem Informasi, Pusjigan - Lapan e-mail : [email protected]
Abstrak Merancang adalah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah.Proses perancangan berperan penting dalam sebuah pengembangan perangkat lunak. Pengembangan perangkat lunak melibatkan proses perancangan yang kompleks untuk menerjemahkan permintaan pengguna menjadi rancangan perangkat lunak. Perancang dan pengguna mencoba untuk menangkap apa yang diharapkan pada suatu sistem aplikasi perangkat lunak untuk ada atau tersedia. Dalam proses perancangan tersebut dapat dinyatakan dalam sebuah bahasa yang presisi. Unified Modelling Language (UML) adalah bahasa untuk memvisualisasikan, menentukan, membangun, dan mendokumentasikan artefak sebuah sistem perangkat lunak. UML berorientasi objek, tidak bergantung pada proses pengembangan, bahasa pemrograman dan teknologi.Tulisan ini dibuat untuk menganalisa desain rancangan situs FTP menggunakan diagram UML yang terdiri dari use case diagram Administrator, use case diagram peneliti Lapandan user umum. Diagram-diagram ini untuk memvisualisasikan sistem pengaksesan user pada situs FTP Lapan Bandung. Kata Kunci :Perancangan, UML, FTP, Diagram
Abstract. Designing is finding a way to resolve the problem. Design process has an important role in software development. Software development involves a complex design process to translate user requests into the design software. Designers and users try to capture what is expected in a system of software applications for existing or available. In the design process can be expressed in a language of precision. Unified Modelling Language (UML) is a language for visualizing, specifying, constructing, and documenting the artifacts of a software system. UML object-oriented, does not depend on the process of development, programming language and technology. This paper is made to analyze the design of the FTP site design using UML diagram consisting of a use case diagram Administrator, use case diagrams Lapan researchers and the general user. These diagrams to visualize the user accessing the system on the FTP site Lapan Bandung. Keywords :Design, UML, FTP Lapan, Diagram
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
255
1. PENDAHULUAN
Mengelola pengembangan perangkat lunak bukanlah hal yang mudah. Secara
logika sama dengan mengelola banyak kepala yang memiliki tingkat pemahaman dan
pemikiran yang berbeda untuk membuat sebuah benda. Semakin banyak kepala yang
harus disatukan maka semakin sulit mengelolanya. Karena berbagai masalah dan resiko
yang mungkin timbul di dalam pengembangan perangkat lunak, maka perlu adanya
perencanaan dan pemodelan perangkat lunak.
Perencanaan sistem merupakan suatu aktivitas yang harus dilaksanakan sebelum
dikembangkannnyasebuah sistem. Perencanaan sistem perlu dilakukan agar
pembangunan atau pengembangan sistem sesuai blueprint yang ada, yaitu sesuai dengan
visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi. Biasanya pengembangan sistem dilaksanakan
dalam lingkup proyek. Sebelum pelaksanaan proyek pengembangan sistem informasi
dimulai, maka proyek tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pengambil
keputusan. Pengambil keputusan pada suatu organisasi yaitu manajemen tingkat atas
(executive). Namun, kadang-kadang manajemen akan meminta pendapat bawahannya,
manajer level menengah (middle manager) maupun calon pengguna aplikasi (functional
user), dalam melakukan pengambilan keputusan pelaksanaan proyek (Jogiyanto, 1995).
Pemodelan adalah gambaran dari realita yang simpel dan dituangkan dalam
bentuk pemetaan dengan aturan tertentu.Pada dunia pembangunan perangkat lunak
sistem informasi juga diperlukan pemodelan. Pemodelan perangkat lunak digunakan
untuk mempermudah langkah berikutnya dari pengembangan sebuah sistem informasi
sehingga lebih terencana. Seperti halnya maket, pemodelan pada pembangunan
perangkat lunak digunakan untuk memvisualkan perangkat lunak yang akan dibuat.
Desain atau perancangan dalam pembangunan perangkat lunak merupakan
upaya untuk mengonstruksi sebuah sistem yang memberikan kepuasan akan spesifikasi
kebutuhan fungsional, memenuhi target, memenuhi kebutuhan secara implisit atau
eksplisit dari segi performansi maupun penggunaan sumber daya,sertakepuasanbatasan
pada proses desain dari segi biaya, waktu, dan perangkat. Kualitas perangkat lunak
biasanya dinilai dari segi kepuasan pengguna perangkat lunak terhadap perangkat lunak
yang digunakan.
Dalam tahap perencanaan, dilakukanpengumpulan informasi tentang
permasalahan serta persyaratannya. Kemudian menentukan kriteria dan batasan
pemecahan, serta memberikan alternatif jalan keluarnya. Dalam tahap analisis, menguji
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
256
alternatif pemecahan berdasarkan kriteria dan batasan-batasan. Analisis merupakan
pusat dari semua proses perkembangan. Tahap berikutnya yaitu desain, dapat dikatakan
sebagai hasil dari sistem baru. Tahap desain juga dapat dikatakan sebagai pemecahan
yang optimum atas sejumlah kebutuhan penting dari suatu set pada keadaan khusus atau
sebagai kegiatan kreativitas yang meliputi pembuatan barang baru dan berguna bagi
yang belum pernah ada sebelumnya.
Tujuan penulisan ini yaitu menganalisa desain perancangan sistem akses pada
situs FTP Sains Antariksa serta bagaimana memodelkan pengelolaan hak akses user
dengan menggunakan UML, sebagai langkah awal untuk pengembangan situs FTP
Sains Antariksa, agar penyampaian data dan informasi langsung ke user sasarannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan atau rekayasa sistem informasi atau perangkat lunak dapat
berarti menyusun sistem atau perangkat lunak yang benar-benar baru atau yang lebih
sering terjadi atau menyempurnakan yang telah ada sebelumnya. Segala sesuatu yang
akan dikembangkan seharusnya memiliki kerangka kerja, demikian pula dengan
langkah-langkah pengembangan sistem atau perangkat lunak. Untuk mengakomodasi
pengembangan sistem informasi atau perangkat lunak ini dibutuhkan kerangka
pengembangan perangkat lunak yang digunakan secara intensif yang disebut SLDC
(System Development Life Cycle) (Bowman.2004). Berikut ini adalah Gambar dari
kerangka kerja Pengembangan Sistem Informasi SLDC adalah sebagai berikut :
Gambar 1: SLDC Life Cycle
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
257
Tahap awal, yaitu tahap perencanaan (planning) adalah menyangkutstudi
tentang kebutuhan pengguna (user’s spesification), studi-studi kelayakan (feasibility
study) baik secara teknis maupun secara teknologi serta penjadwalan pengembangan
suatu proyek sistem informasi dan atau perangkat lunak.
Tahap kedua adalah tahap analisis, yaitu tahap menggali segenap permasalahan
yang muncul pada pengguna dengan mendekomposisi dan merealisasikan use case
diagram lebih lanjut, dengan mengenali komponen-komponen sistem atau perangkat
lunak, objek-objek, hubungan antar objek, dan sebagainya.
Tahap ketiga adalah tahap perancangan (desain), yaitu mencari solusi
permasalahan yang didapat dari tahap analisis.
Tahap keempat adalah tahap implementasi yaitu mengimplementasikan
perancangan sistem ke situasi nyata dimulai dengan pemilihan perangkat keras dan
penyusunan perangkat lunak aplikasi (coding program).
Tahap kelima adalah pengujian (testing) yang digunakan untuk menentukan
apakah sistem atau perangkat lunak yang dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan
pengguna atau belum. Tahap yang terkahir adalah tahap pemeliharaan atau perawatan
yaitu melakukan pengoperasian sistem dan melakukan perbaikan-perbaikan kecil jika
diperlukan.
Mulai dari tahap analisis hingga tahap implementasi dapat menggunakan tools
yaitu diagram-diagram UML sehingga proses iteratif yaitu kembali ke tahap
sebelumnya dapat berjalan dengan lebih efektif serta efisien kalau di tinjau dari segi
uang dan waktu.
Pada perkembangan teknologi perangkat lunak, diperlukan adanya bahasa yang
digunakan untuk memodelkan perangkat lunak yang akan dibuat dan perlu adanya
standarisasi agar orang di berbagai negara dapat mengerti pemodelan perangkat lunak.
Perlu diketahui bahwa menyatukan banyak kepala untuk menceritakan sebuah ide
dengan tujuan untuk memahami hal yang sama tidaklah mudah, oleh karena itu
diperlukan sebuah bahasa pemodelan perangkat lunak yang dapat dimengerti oleh
banyak orang(Langer, 2008).
Pada perkembangan teknik pemrograman berorientasi objek, muncullah
sebuahstandarisasi bahasa pemodelan untuk pembangunan perangkat lunak yang
dibangun dengan menggunakan teknik pemrograman berorientasi objek, yaitu Unified
Modeling Language (UML) (Nugroho, 2006). UML muncul karena adanya kebutuhan
pemodelan visual untuk menspesifikasikan, menggambarkan, membangun, dan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
258
dokumentasi dari sistem perangkat lunak. UML merupakan bahasa visual untuk
pemodelan dan komunikasi mengenai sebuah sistem dengan menggunakan diagram dan
teks-teks pendukung.
UML (Unified Modeling Language) adalah sebuah bahasa yang berdasarkan
grafik atau gambar untuk memvisualisasi, menspesifikasikan, membangun, dan
pendokumentasian dari sebuah sistem pengembangan software berbasis OO (Object-
Oriented). UML sendiri juga memberikan standar penulisan sebuah sistem blue print,
yang meliputi konsep bisnis proses, penulisan kelas-kelas dalam bahasa program yang
spesifik, skema database, dan komponen-komponen yang diperlukan dalam sistem
software (nugroho 2009).
UML adalah sebuah bahasa standard untuk pengembangan sebuah software
yang dapat menyampaikan bagaimana membuat dan membentuk model-model, tetapi
tidak menyampaikan apa dan kapan model yang seharusnya dibuat yangmerupakan
salah satu proses implementasi pengembangan software.
UML sendiri terdiri atas pengelompokkan diagram-diagramsistem menurutaspek
atau sudut pandang tertentu. Diagram adalah yang menggambarkanpermasalahan
maupun solusi dari permasalahan suatu model. UML mempunyai 9diagram, yaitu; use-
case, class, package, state, sequence, communication, activity,component, dan
deployment diagram(nugroho,2010).
Diagram pertama adalah use case menggambarkan sekelompok use cases
danaktor yang disertai dengan hubungan diantaranya. Diagram use cases inimenjelaskan
dan menerangkan kebutuhan (requirement) yang diinginkan (dikehendaki) pengguna,
serta sangat berguna dalam menentukan strukturorganisasi dan model dari pada sebuah
sistem.
Diagram kedua adalah diagram kelas, diagram ini bersifat statis, diagram ini
memperlihatkan himpunan kelas-kelas, antarmuka-antarmuka, kolaborasi-kolaborasi,
serta relasi-relasi. Diagram ini umum dijumpai pada pemodelan sistem berorientasi
objek. Meskipun bersifat statis, sering pula diagram kelas memuat kelas-kelas aktif.
Diagram ketiga adalah diagram package, diagram ini bersifat statis dan
memperlihatkan kumpulan kelas-kelas dan merupakan bagian dari diagram komponen
Diagram keempat adalah diagram state, diagram ini bersifat dinamis, diagram
status memperlihatkan keadaan-keadaan pada sistem, memuat status (state), transisi,
kejadian serta aktifitas. Diagram ini terutama penting untuk memperlihatkan sifat
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
259
akademis dari antar muka (interface), kelas, kolaborasi dan terutama penting pada
pemodelan sistem-sistem yang reaktif.
Diagram kelima adalah diagram sequence atau disebut juga diagram urutan.
Diagram urutan adalah diagram interaksi yang menekankan pada pengiriman pesan
dalam suatu waktu tertentu.
Diagram keenam adalah diagram komunikasi yaitu yang menekankan organisasi
stuktural dari objek-objek yang menerima serta mengirim pesan.
Diagram ketujuh adalah diagram activity, diagram ini bersifat dinamis, diagram
activity adalah tipe khusus dari diagram status yang memperlihatkan aliran dari suatu
aktivitas ke aktivitas lainnya dalam suatu sistem. Diagram ini terutama penting dalam
pemodelan fungsi-fungsi suatu sistem dan memberi tekanan pada aliran kendali antar
objek.
Diagram kedelapan adalah diagram komponen, diagram komponen ini
memperlihatkan organisasi serta kebergantungan sistem atau perangkat lunak pada
komponen-komponen yang telah ada sebelumnya. Diagram ini berhubungan dengan
diagram kelas dimana komponen secara tipikal dipetakan ke dalam satu atau lebih
kelas-kelas, antar muka-antar muka serta kolaborasi-kolaborasi.
Diagram yang kesembilan adalah diagram deployment, diagram ini bersifat
statis. Diagram ini memperlihatkan konfigurasi saat aplikasi dijalankan (runtime).
Memuat simpul-simpul beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya. Diagram
deployment berhubungan erat dengan diagram komponen dimana diagram ini memuat
satu atau lebih komponen-komponen. Diagram ini sangat berguna saat aplikasi kita
berlaku sebagai aplikasi yang dijalankan pada banyak mesin.
Kesembilan diagram ini tidak mutlak harus digunakan dalam pengembangan
perangkat lunak, semuanya dibuat sesuai dengan kebutuhan.Pada tulisan ini hanya di
bahasmodel analisis use case diagram seperti Use Case Diagram FTP Administrator,
dan use case diagram peneliti Lapan dan pengguna umum, dari situs FTP Sains
Antariksa Bandung.
3. METODOLOGI
Memodelkan gambar untuk memvisualisasi, menspesifikasikan, membangun,
dan pendokumentasian dari sebuah sistem pengembangan FTP Sains Antariksa berbasis
OO (Object-Oriented) pada aplikasi pengelolaan hak akses user dengan menggunakan
metode UML (Unified Modelling Language) sebagai langkah awal untuk
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
260
pengembangan situs FTP Sains Antariksa, agar pengelolaan hak akses user serta
penyampaian data dan informasi langsung ke user sasarannya.
4. IMPLEMENTASI UML PADA SITUS FTP SAINS ANTARIKSA
Implementasi UML dilakukan pada tahap awal pengembangan situs FTP Sains
Antariksa. Ada dua notasi dasar yang digunakan untuk menggambarkan diagram use
case, yaitu actor dan use case-nya. Biasanya suatu sistem atau perangkat lunak
memiliki beberapa pengguna sekaligus, dimana masing-masing pengguna
direpresentasikan sebagai sebuah actor. Dalam hal ini, ingatlah bahwa actor berkaitan
dengan peran (role) yang dimainkan oleh pengguna (bukan pengguna secara
individu).Use case secara definitif sesungguhnya merupakan urutan aksi-aksi yang
dilakukan sistem atau perangkat lunak untuk memberikan hasil atau nilai tertentu pada
masing-masing actor. Pada gambar -2 dijelaskan bahwa actor tersebut diberi nama
“Administrator FTP” use case-nya berupa pengontrolan sistem yaitu login admin,
logout admin, pengontrolan data admin, pengontrolan data user Lapan, pengontrolan
data user umum, pengontrolan data alat, pengontrolan data monitoring, dan
pengontrolan data request. Setelah melakukan analisis sistem menggunakan model-
model realisasi use case, kemudian akan merancang kelas-kelas dan realisasi use case
tahap perancangan untuk mendapatkan manfaat dari produk-produk serta teknologi GUI
(Graphical User Interface) dan RDBMS (Relational Database Management System)
yang akan digunakan untuk mengimplementasikan sistem atau perangkat lunak yang
bersangkutan.
Gambar 2: Use Case Diagram Administrator FTP
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
261
Use case pada dasarnya merupakan unit fungsionalitas koheren yang
diekspresikan sebagai transaksi-transaksi yang terjadi antara actor dan sistem. Contoh
penggambaran diagram use case berbentuk ikon-ikon yang terdiri dari icon orang dan
ikon elips. Ikon orang menggambarkan aktor-aktormya sedangkan elips
menggambarkan fungsionalitas sistem atau use case-nya. Actor merupakan idealisasi
proses-proses yang berinteraksi dengan sistem, atau idealisasi sesuatu yang berinteraksi
dengan sistem atau sub sistem perangkat lunak yang sedang dikembangkan. Pada
Gambar 3 Masing-masing aktor bisa saja berpartisipasi dalam satu atau lebih use case.
Actor berinteraksi dengan use case (dan selanjutnya dengan sistem yang dimiliki oleh
suatu use case. Aktor peneliti Lapan dan Pengguna Umum memiliki use case seperti :
registrasi, login, lupa password, service, FTP Search, Homepage, Contact, Change
password, logout, akses Data Loka dan Balai Dirgantara, serta akses data dan informasi
bidang-bidang dari Pusat Sains Antariksa dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer.
Dalam model, eksekusi masing-masing use case harus diupayakan sedemikian
rupa sehingga masing-masing use case bersifat mandiri satu dengan yang lainnya,
meskipun implementasi suatu use case mungkin membuat kebergantungan implisit
antar objek-objek yang dibagikan. Masing-masing use case merepresentasikan
fungsional mandiri dimana eksekusinya dapat digabungkan dengan eksekusi use case
yang lainnya. Use case pada prinsipnya dibuat untuk mendapatkan spesifikasi
kebutuhan pengguna dan akan sangat memandu pekerjaan pengembang sehingga sistem
perangkat lunak yang dikembangkan memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna serta
memiliki cacat program (defect) dalam jumlah minimal.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
262
Gambar 3: Use Case Diagram Peneliti LAPAN dan Pengguna Umum
5. KESIMPULAN
Perencanaan sistem merupakan suatu aktivitas yang harus dilaksanakan sebelum
dikembangkannnya sebuah sistem. Pemodelan adalah gambaran dari realita yang simpel
dan dituangkan dalam bentuk pemetaan dengan aturan tertentu. Pemodelan perangkat
lunak digunakan untuk mempermudah langkah berikutnya dari pengembangan sebuah
sistem informasi sehingga lebih terencana. Seperti halnya maket, pemodelan pada
pembangunan perangkat lunak digunakan untuk memvisualkan perangkat lunak yang
akan dibuat.
Pada perkembangan teknik pemrograman berorientasi objek, muncullah
sebuahstandarisasi bahasa pemodelan untuk pembangunan perangkat lunak yang
dibangun dengan menggunakan teknik pemrograman berorientasi objek, yaitu Unified
Modeling Language (UML). UML muncul karena adanya kebutuhan pemodelan visual
untuk menspesifikasikan, menggambarkan, membangun, dan dokumentasi dari sistem
perangkat lunak. UML sendiri terdiri atas pengelompokkan diagram-diagramsistem
menurutaspek atau sudut pandang tertentu. UML mempunyai 9diagram, yaitu; use-case,
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
263
class, package, state, sequence, communication, activity,component, dan deployment
diagram.Use case mendefinisikan cara bagaimana sistem atau perangkat lunak
memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna. Use case menspesifikasikan urutan
langkah-langkah yang dilakukan oleh sistem atau perangkat lunak terhadap sebuah
aktor. Setelah melakukan analisis sistem menggunakan model-model realisasi use case,
kemudian akan dirancang kelas-kelas dan realisasi use case tahap perancangan untuk
mendapatkan manfaat dari produk-produk serta teknologi GUI (Graphical User
Interface) dan RDBMS (Relational Database Management System) yang akan
digunakan untuk mengimplementasikan sistem atau perangkat lunak yang bersangkutan.
Daftar Rujukan
Bowman, Kevin. 2004. System Analysis: A Beginner s Guide. Palgrave Macmillan.
Jogiyanto, HM. 1995. Analisis & Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur.
Yogyakarta : Penerbit ANDI
Langer, Arthur M. 2008. Analysis and Design of Information Systems 3rd edition.
Springer.
Nugroho, Adi. 2006. Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Menggunakan
Metodologi Berorientasi Objek. Bandung: Penerbit INFORMATIKA
Nugroho, Adi. 2009. Rekayasa Perangkat Lunak Menggunakan UML dan Java.
Yogyakarta: Penerbit ANDI
Nugroho, Adi. 2010. Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode
USDP. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
264
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI
MENGGUNAKAN GPS FREKUENSI TUNGGAL PADA SAAT AKTIVITAS MATAHARI MAKSIMUM
Dessi Marlia
Pusat Sains Antariksa Lapan
[email protected]/[email protected]
Abstrak Makalah ini membahas efek pengaruh perubahan ionosfer terhadap ketelitian menggunakan penentuan posisi GPS. Pengamatan TEC menggunakan Global Ionospheric TEC and Scintillation monitoring (GISTM) berlokasi di Pontianak (0,06° LS ; 109,4° BT) dan Bandung (6,9° LS ; 107,6° BT) selama periode tanggal 7-11 Maret 2012 dan 23-26 April 2012, pada saat kondisi ionosfer tenang dan terganggu akibat adanya solar flare dan badai geomagnetik. Data posisi GPS stasiun BAKO (6,49° LS ;106,84° BT) sudah dianalisis dengan menggunakan. Hasil dan analisis menggunakan metode statistika sederhana dan post prosessing dengan software RTKLib. Badai Geomagnetik yang terjadi tanggal 9 Maret 2012 pada pukul 09.00 UT, dengan indeks Dst -133 nT menunjukkan peningkatan nilai VTEC harian sebesar 70 TECU di Pontianak dan penurunan nilai VTEC sebesar 63 TECU di Bandung. Badai geomagnetik yang terjadi pada tanggal 24 April 2012, dengan indeks Dst -107 nT pada pukul 05.00 UT menunjukkan peningkatan nilai VTEC harian sebesar 69 TECU di Pontianak dan penurunan nilai VTEC sebesar 55 TECU di Bandung. Perkiraan posisi satasiun BAKO dengan frekuensi tunggal pada tanggal 9 Maret 2012, pukul 19 UT menunjukkan kesalahan posisi sebesar 20m (arah utara-selatan) dan 20m (arah timur-barat) dan.tanggal 24 April 2012, pukul 16 UT menunjukkan kesalahan posisi sebesar 30m (arah utara-selatan) dan 20m ( arah timur- barat). Terlihat besarnya kesalahan posisi mencapai 2-3 kali lebih besar dibandingkan pada saat tidak terjadi badai geomagnetik.
Kata Kunci : GPS, Kesalahan Posisi, Ionosfer, TEC, Badai Geomagnetik.
Abstract This paper discusses effect of the change of the ionosphere to the accuracy using GPS positioning. TEC observations by using Global Ionospheric TEC and Scintillation monitoring (GISTM) located in Pontianak ( 0,06° S ;109,4° E ) and Bandung ( 6,9° S ;107,6° E ) the period from 7-11 March 2012 and 23 to 26 April 2012, when the ionospheric quiet and disturbed conditions due to solar flares and geomagnetic storms. GPS position data of BAKO station (6,49° S ;106,84° E ) have been analyzed by using a simple statistical methods and post-processing with RTKLib software. Geomagnetic storms occurrence on March 9, 2012 at 09:00 UT with Dst index -133 nT showing an increasing of daily VTEC value reaches to 70 TECU at Pontianak and decreasing of daily VTEC value reaches to 63 TECU at Bandung . Geomagnetic storm occurance on 24 april 2012 with Dst index -107 nT at 05.00 UT showing increasing of daily VTEC values on 24 april 2012 reaches to 69 TECU over Pontianak and decreasing of daily VTEC value reaches to 55 TECU over Bandung . BAKO station position estimated by using GPS single frequency data on March 9, 2012 at 19 UT shows the error position
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
265
reaches to 20m (north- south) and 20m (east - west) and on 24 April 2012 at 16 UT shows the error position reaches to 30m (north - south) and 20m (east - west). Visible of the error position magnitude reaches 2-3 times greater than when geomagnetic storms does not occur .
Keywords: GPS, Error Positioning, Ionosphere, TEC, Geomagnetic Storm 1. PENDAHULUAN
Ionosfer mempengaruhi gelombang elektromagnetik yang menjalar melalui
lapisan tersebut berupa waktu tunda propagasi. Besar pengaruh tersebut ditentukan oleh
Total Electron Content (TEC) di ionosfer dan frekuensi gelombang yang digunakan.
(Muslim, 2006). TEC adalah jumlah kandungan elektron dalam suatu silinder
berpenampang 1 meter persegi yang panjangnya sama dengan jarak dari satelit ke
penerima GPS dengan satuan TECU yang nilainya 1016el/m2). Dalam kondisi normal
pengaruh ionosfer pada sinyal GPS berkisar antara beberapa meter sampai beberapa
puluh meter. Pada saat badai ionosfer bias ionosfer dapat mencapai 100 meter atau
lebih. Untuk mendapatkan penentuan posisi dengan presisi yang tinggi, kesalahan yang
bersumber dari ionosfer harus diestimasi agar dapat dieliminir dalam pengamatan GPS.
Global Positioning System (GPS) adalah sistem penentuan posisi global berbasisi satelit
telah digunakan secara luas dalam penentuan posisi, navigasi dan penentuan waktu
Setiap satelit GPS mentranmisikan dua gelombang pembawa pada frekuensi L1
(1575,42 MHz) dan frekuensi L2 (1227,6 MHz) berisi data ephemeris dan jarak setiap
satelit ke penerima GPS. Dengan diperolehnya informasi posisi satelit dari data GPS
dan data jarak beberapa satelit GPS, pengguna dapat menentukan posisi penerima GPS.
Kesalahan pengukuran jarak dengan GPS tergantung secara langsung pada TEC dan
berbanding terbalik dengan kuadrat frekuensi sinyal GPS.
Aktivitas matahari adalah sumber utama dari perubahan kondisi cuaca antariksa.
Perubahan aktivitas matahari menunjukkan adanya siklus 11 tahun. Pada siklus
maksimum, evolusi bintik matahari (SSN, sunspot number) meningkat dengan diikuti
adanya badai matahari dengan ditandai terjadinya flare dan CME. Badai Matahari
terjadi karena gejolak di atmosfer matahari yang dipicu terbentuknya bintik hitam
(sunspot). Kondisi tersebut memicu solar flare dan CME (Coronal Mass Ejection) atau
terlontarnya materi matahari yang juga mencapai bumi. Partikel-partikel berkecepatan
tinggi dalam jumlah besar yang sampai ke magnetosfer bumi menghasilkan badai
geomagnetik.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
266
Tujuan dari makalah ini yaitu menganalisis perubahan ionosfer terhadap
ketelitian pengukuran menggunakan GPS dari pengamatan TEC diatas Pontianak (
0.06° LS dan 109.4° BT ) pada kondisi ionosfer tenang dan terganggu akibat adanya
flare dan CME yang mengakibatkan badai geomagnetik dan dampaknya terhadap
pengukuran GPS dilakukan dengan menggunakan data GPS stasiun tetap Cibinong
untuk melihat ketelitian pengukuran posisi.
2. METODOLOGI
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data TEC (Total Elektron
Content) dari pengamatan GISTM yang menangkap sinyal frekuensi ganda f1 (1575,42
MHz) dan f2 (1227,26 MHz) dari satelit GPS dan secara kontinu akan merekam dua
sinyal pseudo-range (푃 푑푎푛 푃2) dan fasa 퐿 푑푎푛 퐿 di stasiun pontianak (0,06 °LS
dan 109,4° BT) dan Bandung (6,9° LS ; 107,6° BT) yang mengukur TEC dari sinyal L1
dan L2, dan P1 dan P2 dengan sampling 1 menitan. TEC dihitung dengan menggunakan
rumus metoda kombinasi antara pengukuran fasa (L) dan pseudo-range (P) merupakan
TEC miring (STEC) dan secara matematis ditulis sebagai berikut [GSV 4004B.2007] :
STEC = [9.483] ∗ ((푃퐿2−푃퐿1-푏푐푎−푝
) + 푇퐸퐶푅푋 + 푇퐸퐶푐푎푙] TEC Unit ........................….(1)
Dengan :
PL2 dan PL1 adalah pseudo-range (meter) sinyal L2 - L1
bc/a-p adalah bias transisi sinyal C/A ke P ( dikonversi ke dalam meter dan dapat
diunduh di university of Berne ). TEC RX adalah besarnya TEC yang ditimbulkan dari
bias penerima yaitu tunda L1/L2. TECcal adalah TEC kalibrasi offset penerima. Hasil
persamaan (1) dikonversi untuk mendapatkan VTEC dengan menggunakan model
pendekatan yang disebut model lapisan ionosfer tipis. Dimana yang menganggap
ionosfer berada pada ketinggian 350 km (Klobuchar,1986), yaitu dengan persamaan (2)
dibawah ini (Abidin, 2007):
VTEC=STEC 푥 Cos [푎푟푐 sin(푅 cos )/(푅 ℎ )]….................................................(2)
Dengan: Re = 6378 km, hmax =350 km, θ = Sudut kemiringan / elevasi sinyal satelit
terhadap penerima di bumi.
Kemudian data yang digunakan yaitu data dengan lock-time lebih dari 240 detik
dengan sudut elevasi > 35° untuk menghindari salah interpretasi gangguan akibat
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
267
multipath (GSV 4004B.2007). Data Geomagnetik yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Indeks Dst bulan Maret- April 2012 yang bisa diunduh dilaman di WDC (World
Data Center) [Gopalswamy, 2009]. Untuk melihat ketelitian pengukuran posisi saat
terjadi badai geomagnetik digunakan data GPS BAKO, stasiun tetap Cibinong – Badan
informasi Geospasial bulan Maret dan April tahun 2012,yang dapat diunduh dari laman
SOPAC (Scripps Orbit and Permanent Array Center). Data yang akan dianalisis adalah
data pengamatan selama periode 7-11 Maret dan 23-26 April tahun 2012 dengan
menggunakan metode statistika sederhana.
Adapun diagram alir metodologi penelitian ini ditunjukkan dalan Gambar 1 dibawah ini
:
Gambar 1: Diagram Alir Metodologi Penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Pontianak dan Bandung tanggal 7-12 Maret 2012
Analisis data TEC Pontianak ditunjukkan pada Gambar 3(b). Berdasarkan
kejadian flare kelas X5.4 didaerah aktif N17E27 11429 dan CME dengan kecepatan
2544 Km/s pada tanggal 7 Maret 2012. Flare dan CME pada tanggal tersebut
mengakibatkan terjadinya badai geomagnetik pada tanggal 9 Maret 2012 pada pukul
09.00 UT,sehingga terjadi penurunan drastis nilai indeks DST sebesar -133 nT
(Gopalswamy,2009) ditunjukkan Gambar 3(a) dibawah ini:
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
268
(a)
(b)
(c)
Gambar 3: (a) Grafik indeks Dst 7- 11 Maret 2012; (b) Grafik VTEC PTK 7- 11
Maret 2012 ; (c) Grafik VTEC BDG 7- 11 Maret 2012;
Analisis pertama yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 7- 11 Maret 2012 di
Pontianak dari Gambar 3(b) diatas terlihat : pada tgl 8 Maret 2012 terjadi peningkatan
Pontianak – Maret 2012
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
269
nilai VTEC terhadap Median VTEC pada pukul 07.00 UT sebesar 6 TECU menjadi
[66;60 TECU] ; Variasi grafik indeks Dst masa main fase yaitu pada tgl 9 Maret 2012
terjadi penurunan drastis indeks Dst mencapai -133 nT yang mengakibatkan badai
geomagnetik, sehingga pada tanggal tersebut terjadi peningkatan VTEC pada pukul
06.15 UT sebesar 10 TECU menjadi [70; 60 TECU] sehingga ada kenaikan VTEC
sebesar 4TECU dari hari sebelumnya,; pada tgl 10 Maret 2012 terjadi peningkatan nilai
VTEC pada pukul 07.00 UT sebesar 11 TECU menjadi [71;60 TECU] ; pada tgl 11
Maret 2012 terjadi penurunan nilai VTEC pada pukul 07.00 UT sebesar 8 TECU
menjadi [63;60 TECU].
Analisis selanjutnya yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 7- 11 Maret 2012
di Bandung. Dari Gambar 3(c) diatas terlihat : Variasi VTEC terhadap Median VTEC
pada tgl 8 Maret 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC terhadap Median VTEC pada
pukul 07.30 UT sebesar 8 TECU yaitu [89;81 TECU]; pada tgl 9 Maret 2012
menunjukkan peningkatan VTEC pada pukul 05.00 UT sebesar 17 TECU yaitu [79
;62TECU], kemudian terjadi penurunan nilai VTEC pada jam 05.45 UT hingga
mencapai 16 TECU menjadi [63; 70 TECU] dan kemudian meningkat kembali pada
jam 07.00 UT sebesar 7 TECU menjadi [87;80 TECU] ; pada tgl 10 Maret 2012 terjadi
penurunan nilai VTEC pada pukul 06.00 UT mencapai 26 TECU menjadi [54 TECU ;
80 TECU] dan meningkat kembali pada pukul 7.30 UT sebesar 5 TECU menjadi [86;81
TECU] ; dan pada tgl 11 Maret 2012 terjadi peningkatan VTEC pada jam 07.00 UT
mencapai 17 TECU yaitu menjadi [97 TECU ; 80 TECU].
3.2 Analisis Data TEC Pontianak dan Bandung tanggal 23-26 April 2012
Analisis data TEC Pontianak ditunjukkan pada Gambar 3(e)-(f) dibawah ini .
Berdasarkan kejadian Flare kelas C pada tanggal 19 April 2012 pada pukul 15:24 UT
dengan kecepatan (V) 400 km/s, diikuti dengan kejadian CME onset pada tanggal 19
April 2012 pukul 15:24 UT mengakibatkan terjadinya badai geomagnet pada tanggal
24 April 2012, sehingga terjadi penurunan drastis nilai indeks Dst pada jam 5 UT
sebesar -107 nT (Gopalswamy,2009), ditunjukkan Gambar.3(d) dibawah ini:
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
270
(d)
(e)
(f)
Gambar 3: (d) Grafik indeks Dst 23- 26 April 2012; (e) Grafik VTEC PTK 23- 26
April 2012;(f) Grafik VTEC BDG23- 26 April 2012
Analisis pertama yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 23- 26 April 2012 di
Pontianak. Dari Gambar 3(e) diatas terlihat : pada tgl 24 April 2012 terjadi peningkatan
nilai VTEC terhadap Median VTEC sebesar 12 TECU pada pukul 06.15 UT menjadi
[73; 61 TECU] ; pada tgl 25 April 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC sebesar 15
Pontianak – April 2012
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
271
TECU pada pukul 06.15 UT menjadi [76;61TECU]; pada tgl 26 April 2012 terjadi
penurunan nilai VTEC pada pukul 04.30 UT sebesar 5 TECU dari hari sebelumnya
menjadi [73;58TECU].
Analisis selanjutnya yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 23- 26 April 2012
di Bandung. Dari Gambar 3(f) diatas terlihat : pada tgl 24 April 2012 terjadi
penurunan nilai VTEC terhadap Median VTEC pada pukul 07.45 UT mencapai 24
TECU yaitu menjadi [55 ; 80 TECU] ; pada tgl 25 April 2012 terjadi penurunan VTEC
pada pukul 06.00 UT sebesar 4 TECU menjadi [77; 81 TECU] dan kemudian
meningkat kembali sebesar 7 TECU menjadi [85;78 TECU] ; pada tgl 26 April 2012
terjadi peningkatan nilai VTEC pada pukul 05.00 UT sebesar 4 TECU menjadi [84;80
TECU], dan terjadi penurunan nilai VTEC sebesar 16 TECU pada pukul 05.45 UT
sebesar 16 TECU menjadi [66; 82TECU].
Mekanisme terjadinya badai ionosfer menyebabkan peningkatan elektron
didaerah medan listrik ke arah timur didaerah ekuator magnetik. Dalam kasus ini
persilangan medan magnet (B) dan medan listrik (E) di ekuato akan mengangkat plasma
di ketinggian tertentu dan kemudian akan turun mengikuti garis geomagnet dan
terkumpul di daerah lintang rendah sehingga kerapatn plasma akan meningkat. Itulah
yang menyebabkan nilai TEC meningkat.
3.3 Hasil dan Analisis Data GPS BAKO Cibinong tanggal 7-10 Maret 2012
Hasil pengolahan data GPS BAKO dari grafik dibawah adalah untuk melihat
pengaruh kesalahan posisi pada ketelitian posisi navigasi GPS pada tanggal 7-10 Maret
2012. Data yang digunakan yaitu data GPS BAKO stasiun tetap Cibinong - BIG (6,49°
LS;106,84° BT) dengan data observasi dan navigasi dimulai pukul 00:00:00 - 23:59:30
waktu GPS, sudut elevasi: 35°,tipe data ephemeris : broadcast. Data hasil keluaran data
pengolahan terdiri dari lintang/bujur/ketinggian = WGS84/Geodetic berupa format Pos
File.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
272
(g) (h)
(i) (j)
Gambar 3: (g) Plot Posisi GPS BAKO tgl 7 Maret 2012 ; (h) ; Plot Posisi GPS BAKO
tgl 8 Maret 2012 ; (i) Plot Posisi GPS BAKO tgl 9 Maret 2012; (j) Plot Posisi GPS
BAKO tgl 10 Maret 2012
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
273
Dari Gambar.3 (g) – (j) diatas adalah perbandingan posisi track (satuan meter)
pada tanggal 7 – 10 Maret 2012 yaitu sebagai berikut :
Pada Gambar.3(g) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 7 maret 2012
terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 15 m (utara- selatan) , dan jam 08.00 UT dan 19.00
UT sebesar 10 m (timur- barat); Pada Gambar.3(h) menunjukkan plot kesalahan posisi
pada tanggal 8 maret 2012 terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 15 m (utara-selatan), dan
jam 09.00 UT sebesar 15 m (timur-barat); Pada Gambar.3(i) menunjukkan plot
kesalahan posisi pada tanggal 9 maret 2012 terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 20 m
(utara-selatan), dan jam 19.00 UT hampir mencapai 20 m (timur-barat); Pada
Gambar.3(j) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 10 maret 2012 terlihat
pada jam 19.00 UT sebesar 30 m (utara-selatan), dan jam 19.00 UT hampir mencapai
30 m (timur-barat); Analisis dari hasil plot posisi data GPS BAKO stasiun Cibinong
pada saat kejadian badai geomagnetik pada tgl 9 Maret 2012 menunjukkan kesalahan
posisi mencapai 20 m (utara-selatan), dan pada tgl 10 Maret 2012 mencapai 30 m
(utara-selatan), dan sedangkan sebelum badai geomagnetik pada tgl 7- 8 Maret 2012
mencapai 15 m.
3.4. Hasil dan Analisis Kesalahan Posisi GPS Bako Cibinong tanggal 23-26 April
2012
Hasil pengolahan GPS BAKO dari grafik dibawah adalah melihat pengaruh
kesalahan posisi pada ketelitian posisi navigasi GPS pada tanggal 23-26 April 2012.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
274
(k) (l)
(m) (n)
Gambar 3: (k) Plot Posisi GPS BAKO tgl 23 April 2012 ; (l) ; Plot Posisi GPS BAKO
tgl 24 April 2012 ; (m) Plot Posisi GPS BAKO tgl 25 April 2012 ; (n) Plot Posisi GPS
BAKO tgl 26 April 2012
Dari Gambar.3 (k) – (n) diatas adalah perbandingan kesalahan posisi (meter)
pada tanggal 23 – 26 April 2012 yaitu sebagai berikut :
Pada Gambar.3(k) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 23 April 2012,
terlihat pada jam 16.00 UT sebesar 20 m (utara- selatan), dan jam 16.00 UT sebesar 20
m (timur- barat); Pada Gambar.3 (l) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 24
April 2012 terlihat pada jam 16.00 UT sebesar 30 m (utara-selatan), dan jam 16.00 UT
sebesar 20 m (timur-barat); Pada Gambar.3(m) menunjukkan plot kesalahan posisi pada
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
275
tanggal 25 April 2012, terlihat pada jam 16.00 UT mencapai 50 m (utara-selatan), dan
jam 16.00 UT hampir mencapai 40 m (timur-barat); Pada Gambar.3(n) menunjukkan
plot kesalahan posisi pada tanggal 26 April 2012, terlihat pada jam 16.00 UT hampir
mencapai 30 m (utara-selatan), dan jam 16.00 UT sebesar 20 m (timur-barat). Analisis
dari hasil plot posisi data GPS BAKO stasiun Cibinong pada saat sebelum dan sesudah
kejadian badai geomagnetik. Kesalahan posisi pada tgl 24 April 2012 sebesar 30 m
(utara- selatan), dan pada tgl 25 April 201 sebesar 50 m (utara-selatan), sedangkan
sebelum badai geomagnetik sebesar 20 m.
4. KESIMPULAN
Dengan demikian badai geomagnetik sangat mempengaruhi perubahan di
ionosfer didaerah ekuator Indonesia, yaitu di Pontianak dan Bandung terlihat dari
peningkatan nilai TEC di Pontianak dan penurunan nilai TEC di Bandung pada saat
kejadian badai geomagnetik. Peningkatan nilai TEC ini merupakan badai ionosfer
negatif yang mengawali respon ionosfer tak langsung terhadap CME, melalui interaksi
magnetosfer- ionosfer. Dampak perubahan TEC terhadap ketelitian posisi GPS BAKO
stasiun Cibinong (-6,49° LS;106,84°BT) dengan menggunakan frekuensi tunggal pada
saat kejadian badai geomagnetik pada tgl 9 Maret 2012 dan 24 April 2012
menunjukkan kesalahan posisi 2- 3 kali lebih besar dibandingkan pada saat tidak
terjadi badai geomagnetik. Hal ini disebabkan karena badai ionosfer.
DAFTAR RUJUKAN Klobuchar J., Design and Characterictics of The GPS Ionospheric Time – Delay
Algorithm for Single Frequency Users, Proceedings of PLANS 86- Position
Locatian And Navigation Symposium, Las Vegas, Nevada., P.280-286, 4-7
November 1986
Gopalswamy.N., Energetic Particle and Other Space Weather Events of Solar Cycle 24.,
NASA Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Maryland, USA, 2009.
Marlia, D dan Asnawi Husin, Analisis Dampak Peningkatan Aktivitas Matahari
Terhadap
Perubahan Total Electron Content ( TEC), Prosiding SNSAA 2012; ISBN: 978-979-
1458-64-1, 450-457.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
276
Muslim, B dkk., Pemodelan TEC Regional dari Data GPS Stasiun Tetap di Indonesia
dan Sekitarnya, Proc,ITB Sains & Tek.Vol.38 A, No.2, 2006, 163-180)
Muslim, B., Pengaruh Ionosfer Pada Akurasi Penentuan Posisi Absolut dengan GPS
Single Frequency Pada Saat Terjadi Badai Matahari, Jurnal Sains Dirgantara Vol.9
No.1 Desember 2011, 70-89.
T. Takasu , 2011. RTKLIB ver. 2.4.1 Manual.
Van Dierendonck Albert John, GSV 4004B, GPS Ionospheric Scintillation & TEC
Monitor (User's Manual) GISTM, (GSV GPS Silicon Valley), 2007.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
277
PENGAMATAN TEC DAN SINTILASI DENGAN MENGGUNAKAN GPS-SCINDA
Dwiko Unggul Prabowo dan Effendy
Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Email: [email protected]
Abstrak
Kondisi ionosfer di Indonesia yang terletak di lintang rendah geomagnet memiliki kerapatan elektron tinggi, sehingga menyebabkan adanya potensi gangguan terhadap gelombang elektromagnet yang melintasi ionosfer di daerah tersebut. Gangguan yang disebabkan oleh dinamika ionosfer terhadap sinyal GPS/GNSS dapat berupa delay ionosfer untuk pengukuran kode, serta fluktuasi amplitudo dan fase untuk pengukuran phase. Delay ionosfer dapat dihitung dari penentuan nilai Total Electron Content (TEC), dan fluktuasi amplitudo dan phase untuk menentukan nilai indeks sintilasi (S4). Gangguan tersebut tentunya akan mengakibatkan terjadinya kesalahan pada pengukuran jarak untuk penentuan posisi dan navigasi. Untuk mengantisipasinya, maka perlu dilakukan pengamatan dinamika ionosfer secara berkala agar dapat dilakukan koreksi dalam melakukan pengukuran dengan GPS/GNSS. Metode pengamatan ionosfer dengan GPS/GNSS dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran kode dan fase. Untuk menampilkan hasil pengukuran receiver GPS/GNSS, perangkat lunak GPSSCINDA dapat melakukannya secara realtime, dimana data akuisisi akan diperbaharui setiap satu menit sekali. Dari hasil pengolahan data GPS dengan menggunakan GPSSCINDA di lokasi Bandung pada tanggal 8 Oktober 2013, diperoleh nilai maks/min dari TEC sebesar 73,23 TECU/0,01 TECU, sedangkan untuk nilai maks/min dari sintilasi sebesar 0,51/0,02. Kata kunci: ionosfer, TEC, sintilasi, , pengukuran GPS/GNSS, GPSSCINDA.
Abstract Ionospheric conditions in Indonesia, which is located in the south geomagnetic latitude (low latitudes) has high electron density, thus causing the potential for disturbance of the electromagnetic waves in the ionosphere of that area. The disturbances caused by the activity of the ionosphere on the GPS/GNSS signals are a delay for the measurement code and fluctuations in amplitude and phase to phase measurement. Ionospheric delay can be calculated from the determination of the value of Total Electron Content (TEC), and the amplitude and phase fluctuations to determine the value of scintillation index (S4). Tat disturbances would certainly result in errors in distance measurements for positioning and navigation. To anticipate, it is necessary to do some ionospheric observations periodically, so the correction could be done to the GPS/GNSS measurement. Method of ionospheric observations with GPS/GNSS method can be done using code and phase measurements. To display the results of the receiver GPS/GNSS measurement, GPSSCINDA software can be used in a realtime way, where data acquisition will be updated once every minute. From the processing of the GPS data using GPSSCINDA which were located in Bandung on 18 October 2013,
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
278
obtained the following results, the value of max/min of TEC is 73.23 TECU/0,01 TECU, while the value of the max/min of the scintillation is 0.51/0,02. Keywords: ionosphere, TEC, scintillation, GPS/GNSS mesurement, GPSSCINDA. 1. Pendahuluan
Problem dari daerah lintang rendah geomagnet adalah ketidakteraturan
kerapatan ion/elektron yang terletak di ionosfer dan adanya efek air mancur yang
menyebabkan munculnya palung ion yang terkonsentrasi pada lapisan F2 ionosfer.
Kondisi tersebut menyebabkanpotensi gangguan terhadap sinyal dari satelit GPS/GNSS
yang melintasi ionosfer. Gangguan pada sinyal yang akan muncul berupa delay ionsfer
dan fluktuasi amplitudo/ phase. Kedua gangguan tersebut tentunya akan menimbulkan
kesalahan pada pengukuran jarak dengan menggunakan GPS/GNSS.
Delay ionosfer merupakan sumber dari kesalahan dalam pengukuran jarak
dengan menggunakan GPS/GNSS. Untuk pengukuran menggunakan sinyal kode, maka
waktu rambat sinyal saat melewati ionosfer akan diperlambat, sehingga jarak yang
terukur dari satelit hingga receiver akan bertambah dari jarak sebenarnya. Sedangkan
untuk pengukuran dengan sinyal fase akan mengalami percepatan, sehingga jarak yang
terukur menjadi lebih pendek dari jarak sebenarnya. Dengan kondisi demikian, maka
perlu dilakukan pengamatan terhadap dinamika ionosfer untuk koreksi delay ionosfer.
Parameter ionosfer yang dapat diukur oleh GPS/GNSS adalah kerapatan elektron,
dimana nilai kerapatan elektron yang terukur oleh sinyal dalam luasan 1 m2
dintegrasikan menjadi nilai TEC (Total Electron Content), dimana satuannya adalah
TECU (TEC Unit = 1016/m2) [Abidin, 2007].
Selain delay ionosfer, faktor lain yang menyebabkan terjadinya gangguan dan
kesalahan pada pengukuran jarak dengan menggunakan GPS/GNSS adalah munculnya
sintilasi ionosfer [Jakowski, 2008]. Sintilasi ionosfer dikarakterisasi dengan adanya
fluktuasi yang cepat pada amplitudo dan fase dari sinyal radio terhadap indeks lokal
refraksi sepanjang jalur propagasi. Adanya sintilasi pada ionosfer akan menyebabkan
terjadinya pelemahan sinyal yang merambat pada ionosfer. Perubahan pada fase,
amplitudo, dan polarisasi pada sinyal radio yang dipancarkan dapat diukur dan
kemudian dijadikan sumber informasi mengenai efek cuaca antariksa terhadap ionosfer
[Carrano, 2008].
Delay dan sintilasi ionosfer akan mengakibatkan kesalahan yang signifikan pada
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
279
pengukuran jarak, sehingga nilai posisi yang dihasilkan dari pengukuran jarak akan
memiliki presisi yang rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan/ monitoring
terhadap dinamika ionosfer agar dapat menentukan nilai koreksi terhadap suatu
pengukuran jarak. Saat ini sudah ada perangkat lunak GPS untuk memantau dinamika
ionosfer secara reltime yang dikembangkan oleh Air Force Research Laboratory
(AFRL) yang dinamakan dengan GPS SCINDA. Makalah ini akan membahas hasil
pengolahan data GPS dan algoritma dari penentuan nilai TEC dan sintilasi dengan
menggunakan perangkat lunak GPSSCINDA. Untuk pengujian, dilakukan pengolahan
data GPS pada tanggal 18 Oktober 2013 dengan lokasi pengamatan di kantor LAPAN
Bandung secara postprocessing untuk melihat nilai maksimum dan minimum dari TEC
dan sintilasi.
2. Metode GPS/GNSS untuk menghitung TEC dan Sintilasi 2.1. Perhitungan Total Electron Content
Ionosfer mengakibatkan terjadinya perlambatan (delayed) pada sinyal kode/
pseudorange dan percepatan pada sinyal carrierphase yang pada orde pertama memiliki
besaran (magnitude) yang sama namun berlawanan arah dan proporsional terhadap
jumlah kerapatn elektron yang berada pada line of sight (LOS) sinyal. Besarnya bias
jarak karena efek ionosfer bergantung pada konsentrasi elektron sepannjang LOS dan
frekuensi sinyal yang bersangkutan.
Konsentrasi elektron sendiri bergantung pada beberapa faktor, terutama aktivitas
matahari dan medan magnetik bumi, dimana keduanya juga bergantung pada lokasi
geografis, musim, dan waktu. Nilai total elektron yang berada di LOS dari sinyal
didefinisikan sebagai berikut [Carrano, 2008]:
dimana,
f : frekuensi sinyal (Hertz)
c : kecepatan cahaya (m/s)
Nilai TEC pada LOS (Slant TEC/ STEC) dapat dihitung dari pengukuran group delay
atau carrier phase advance pada dua sinyal fase GPS, L1 (f1= 1575,42 MHz) dan L2
(f2= 1227,60MHz). Untuk penentuan nilai TEC dengan menggunakan pengukuran kode,
dapat digunakan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
280
persamaan berikut:
dimana,
P1 : pseduorange pada L1 (ns)
P2 : pseudorange pada L2 (ns)
BR : bias kode diferensial receiver (ns)
BS : bias kode diferensial satelit (ns)
DP : error multipath pseudorange (ns)
EP : noise pengukuran pseudorange diferensial
Konstanta A dan B yang memberikan TECp dalam unit TECU adalah:
A = 2,854 TECU/ns B = 1,812 TECU/L1 cycle
Alternatif lain untuk mengestimasi nilai STEC di sepanjang LOS untuk tiap satelit
melibatkan pengukuran frekuensi carrierphase L1 dan L2
dimana,
L1 : carrier phase pada L1 (ns)
L2 : carrier phase pada L2 (ns)
N1 : ambiguitas integer phase L1 (cycles)
N2 : ambiguitas integer phase L2 (cycles)
DL : eror multipath phase differential (cycles)
EL : noise pengukuran phase diferensial
Pengukuran TEC menggunakan carrierphase dapat lebih presisi. Selain itu error
multipath dan noise pengukuran menjadi lebih kecil (bahkan bisa diabaikan)
dibandingkan dengan menggunakan kode/ pseudorange. Namun demikian, ada
kesulitan/ kekurangan dalam menggunakan carrierphase, yakni jumlah integer dari
siklus fase untuk tiap frekuensi (N1 dan N2) tidak diketahui dan sering berubah setelah
ada cycle slip.
Prosedur standar untuk menentukan nilai TEC menggunakan receiver dual
frekuensi adalah dengan mengkombinasikan pendekatan pseudorange dan carrierphase.
Perhitungan yang dilakukan oleh GPSSCINDA secara real time mengikuti persamaan
[3] dimana multipath dan noise diabaikan, dan pseudorange digunakan untuk
mengestimasi jumlah cycle phase yang tidak diketahui (unknown). TEC terkalibrasi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
281
(Vertical TEC/ VTEC) atau disebut juga sebagai TEC absolut diperoleh dari nilai TEC
relatif (STEC) dikurangi bias kode diferensial satelit dan receiver [Carrano, 2008].
STEC ditentukan dari carrierphase diferensial dan kombinasi dari pseudorange dan carrierphase.
dimana DCP (Differential Carrier Phase) dan DPR (Differential Pseudorange) didefinisikan dengan:
2.2. Perhitungan Index Intensitas Sintilasi (S4)
Fluktuasi dari amplitudo sinyal dikuantifikasi dengan nilai indeks intensitas (S4) yang
didefinisikan dengan:
dimana I merepresentasikan intensitas sinyal (amplitudo kuadrat). Indeks sintilasi
diinterpretasikan sebagai fluktuasi fraksional sinyal. Untuk menghitung nilai indeks
intensitas sintilasi, parameter yang digunakan adalah carrier to noise ratio dari sinyal.
3. Hasil dan Pembahasan
Dalam melakukan pengamatan sinyal satelit GPS/GNSS, khususnya untuk
mengamati TEC dan sintilasi, LAPAN menggunakan receiver GPS NovAtel GSV
4004B. Receiver ini beroperasi secara terusmenerus dan sudah diintegrasikan dengan
perangkat lunak GPSSCINDA. Komputer server yang sudah terinstal oleh
GPSSCINDA kemudian melakukanakuisisi data dan menyimpan data tersebut pada
sebuah direktori basis data. Secara realtime, GPSSCINDA menampilkan hasil
pengamatan data pada suatu display, dan memperbaharuinya setiap satu menit sekali.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
282
Gambar 1. Ploting data TEC dan sintilasi hasil pengolahan data dengan GPSSCINDA
Data yang ditampilkan untuk studi kasus perangkat lunak GPSSCINDA adalah
data pengamatan pada tanggal 8 Oktober 2013, di kantor LAPAN Bandung. Dari
gambar di atas dapat diketahui nilai maksimum dan minimum dari TEC dan sintilasi
yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2013.
Nilai TEC yang ditampilkan pada Gambar 1.(b) diperoleh dari pengukuran
sepuluh data satelit GPS yang terekam tiap satu menit/ 60 detik. Label horisontal pada
Gambar 1.(b) dan Gambar 1.(b) menunjukkan detik pengukuran. Nilai sintilasi
maksimum sebesar 0,51 mengindikasikan kondisi ionosfer masih relatif tenang,
sehingga gangguan terhadap sinyal fase relatif kecil, dan tidak akan membuat sinyal
menjadi loss of lock. Sintilasi yang kuat akan mendekati nilai satu dan berpotensi
menyebabkan terjadinya loss of lock sehingga receiver akan kehilangan sinyal selama
beberapa detik. Untuk keperluan survei atau geodesi, hilangnya sinyal tidak akan
berdampak terlalu signifikan, karena jangka waktu pengukuran yang biasa dilakukan
dalam durasi yang relatif panjang. Namun, untuk keperluan navigasi (khususnya
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
283
penerbangan) yang memproses data secara real time, hilangnya sinyal akan berdampak
cukup signifikan karena terkait faktor keselamatan penumpang.
5. Kesimpulan
GPSSCINDA merupakan perangkat lunak yang dapat menampilkan hasil
pengukuran data dari receiver GPS secara realtime dimana data yang ditampilkan (TEC
dan sintilasi) diperbaharui satu menit sekali. Dengan terinstalnya perangkat lunak
GPSSCINDA pada server komputer dengan sistem operasi Debian Linux dan dengan
dimilikinya perangkat penerima sinyal GPS NovAtel GSV 4004B oleh LAPAN, maka
pengamatan dinamika ionosfer berupa TEC dan sintilasi secara real time dapat
dilakukan. Studi kasus pada tanggal 8 Oktober 2013 memberikan informasi bahwa nilai
maksimum TEC pada tanggal 8 Oktober 2013 sebesar 73,23 TECU, dan nilai minimal
sebesar 0,01. Untuk nlai indeks sintilasi, nilai maksimum sebesar 0,51 dan nilai
minimun sebesar 0,02. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pada tanggal 8 Oktober
2013, kondisi ionosfer berada pada fase yang relatif tenang, sehingga gangguan yang
diakibatkan oleh ionosfer terhadap sinyal relatif kecil. Hal yang perlu dikembangkan
selanjutnya adalah mengenai sistem perawatan dan manajemen data, agar tercipta suatu
sistem basis data yang terintegrasi, sehingga pengolahan dan pengelolaan data dapat
berjalan dengan efektif dan efisien.
Daftar Rujukan
Abidin, H. Z., 2007, Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya, PT. Pradnya
Paramita.
Carrano, Charles S., 2008, GPSSCINDA: A RealTime Gps Data Acquisition And
Ionospheric Analysis System For SCINDA, AFRLVSTR20070000, Scientific
Report No. X, Air Force Research Laboratory, HANSCOM, AFB, MA
017313010.
Jakowski, N., et al, 2008, Ionospheric Impact on GNSS Signals, Física de la Tierra.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
284
ANALISIS WEBSITE LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN GOOGLE ANALYTIC DALAM
RANGKA MENINGKATKAN TRAFFIC WEB
Elyyani
Pusat Sains Antariksa – LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung 40173
Abstrak Layanan cuaca antariksa yang telah disajikan pada website Pusat Sains Antariksa LAPAN berupa layanan aktivitas matahari, aktivitas geomagnet, komposisi dinamika ionosfer dan informasi telekomunikasi. Agar layanan cuaca antariksa dapat diakses dengan baik maka dibutuhkan kondisi website yang optimal melalui content web yang terkonsep dengan baik sehingga dapat meningkatkan kinerja dari web itu sendiri. Web yang optimal adalah mudah diakses, mudah bernavigasi serta isi berita yang dinamis. Ada banyak alat untuk analisa lalu lintas web(traffic web) diantaranya adalah Google Analytic(GA). Google analytic adalah layanan gratis yang disediakan oleh mesin pencari Google untuk menampilkan statistik pengunjung pada sebuah website. Web mining adalah konsep yang digunakan pada GA untuk menemukan informasi pada struktur web, halaman web dan data penggunaan web. Alat analisa lalu lintas web tersebut akan memberikan laporan berupa jumlah pengunjung, kata kunci(keyword) yang sering diakses serta halaman yang sering dikunjungi. Lalu lintas web dapat pula ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas isi karena dengan dengan isi website yang bagus akan baik pula di mata mesin pencari. Laporan tersebut akan menjadi data penting dalam pengembangan teknis dan aplikasi website LAPAN Pusat Sains Antariksa. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat secara langsung bagi pengunjung yang berupa peningkatan kerjasama penelitian maupun manfaat secara tidak langsung yang berupa peningkatan pengaksesan terhadap publikasi hasil-hasil penelitian. Dengan meningkatnya lalu lintas web akan menjadi indikator keberadaan layanan cuaca antariksa yang disajikan. Kata kunci: google analytic, lalu lintas web, mesin pencari
Abstract. The space weather services have been presented in the website of Space Science Center of Indonesia National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) as a solar activity, geomagnetic activity, the dynamic composition of ionosphere and telecommunications services. In order to make space weather services are easily accessible, it will be needed the optimal website conditions through the well conceptualized web content, so it will also improve the website performance. The optimal web is easily accessible, easy to navigate and dynamically updated. There are a lot of tools for web traffic analysis such as Google Analytic(GA). Google analytics is a free services that provided by Google's search engine. Web mining is a concept used in the GA to find information on the structure of the web, web pages and web usage data. The traffic analyzer tools will provide a report of a number of visitors, the keywords that are accessed frequently and the pages that have been visited, it is a factor that must be considered to increase web traffic. The report will be an important data in the technical development and application website of Space Science Center of Indonesia National Institute of
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
285
Aeronautics and Space (LAPAN). It is expected to provide direct benefits to visitors as an increase in research collaborations and indirect benefits as an increase in accessing the publication of research results. Increasing the web traffic will be an indicator of the web existence on content that is presented. Keyword : google analytic, traffic web, search engine 1. PENDAHULUAN
Layanan cuaca antariksa merupakan salah satu layanan yang terdapat pada situs
Lapan Bandung (www.bdg.lapan.go.id). Pembangunan situs web instansi tersebut
merupakan salah satu perwujudan dari Instruksi Presiden N0.3 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Pengembangan e-
government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan
yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara
efektif dan efisien (Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003).
Google analytic (Wikipedia, 2013) adalah layanan gratis dari Google yang
menampilkan statistik pengunjung sebuah situs web. Pengamatan Google analytic
terhadap karakter pengunjung serta kinerja dari layanan informasi itu sendiri dapat
dijadikan bahan analisis pada makalah ini. Google analytic ini bekerja dengan
menggunakan server log analisis dimana target analisisnya melalui web usage mining.
Web usage mining (Liu, B., 2007) teknik yang digunakan untuk mengungkap pola
penggunaan dari halaman web, untuk meningkatkan pelayanan kebutuhan dari aplikasi
web maka data yang akan dianalisa adalah tingkah laku dari pengguna web. Informasi
yang berada pada server log berupa data akses web oleh pengunjung. Informasi yang
diberikan server log akan menjadi data penting bagi google analytic dalam memberikan
laporan mengenai segmentasi pengunjung web Lapan Bandung.
Hal yang ingin dibahas pada makalah ini adalah seberapa banyak pengunjung
sering mengakses layanan website terhadap layanan yang sudah diberikan, karena faktor
tersebut akan menjadi indikator keberhasilan dalam mengotimalisasikan layanan web
yang sudah ada. Melalui analisis website ini, banyak manfaat yang bisa diperoleh
diantaranya adalah sebagai bahan analisis dalam mengevaluasi kinerja website sehingga
dapat dijadikan landasan bagi pengelola website untuk meningkatkan kualitas layanan
informasi yang tentunya akan berimbas pada peningkatan lalu lintas kunjungan website
yang telah disediakan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
286
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat analisis web
Menurut http://telematikapembebas.wordpress.com/, ada beberapa alat analisis web
diantaranya:
AWStats
AWStats adalah salah satu alternatif yang paling populer untuk Google Analytics, dan
dapat diinstal pada banyak account hosting. Ini benar-benar gratis dan didistribusikan di
bawah GNU General Public License. AWStats memberikan informasi rinci tentang
pengunjung web, browser yang digunakan, sistem operasi yang digunakan, dan ukuran
layar di samping statistik khas seperti pengunjung dan jumlah tampilan halaman.
Trace Watch
Trace Watch adalah program statistik gratis yang menyediakan data real time. Program
ini menyediakan semua data dasar dan statistik, juga menawarkan beberapa fitur
tambahan seperti analisis jalur untuk membantu menentukan kualitas navigasi serta
dapat melihat informasi rinci tentang pengunjung baru tertentu untuk melihat jalur tepat
yang mereka gunakan.
Google Analytics
Google Analytics adalah pemimpin di antara alat analisis Situs Web yang gratis.
Informasi tentang tentang berapa banyak pengunjung dan tampilan halaman situs yang
diterima, sumber-sumber yang mengirimkan lalu lintas, dan informasi dasar lainnya
seperti tingkat bouncing. Informasi lebih lanjut tentang pengaturan pelacakan tujuan,
membuat laporan kustom, mengatur tabel pivot dan banyak lagi. Teknologi cookie dan
javascript berperan penting bagi google analytics untuk mengumpulkan dan melacak
data setiap pengunjung yang berkunjung ke web site termasuk melacak cara pengunjung
berinteraksi dan aktivitas apa yang mereka lakukan pada web. Google analytics
menyajikan informasi hasil web usage mining sehubungan dengan adanya pengunjung
dari suatu website. Google Analytics bekerja dengan menyisipkan kode Javascript
kemudian semua statistik halaman web yang telah disisipkan kode tersebutkan akan
diproses oleh Google.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
287
Gambar 2: Cara Kerja Google Analytic (Sumber: http://idiotechie.com)
2.2. Web Usage Mining Web usage mining merupakan bagian dari web mining. Web usage mining
bertujuan untuk menangkap dan memodelkan pola perilaku dan profil pengunjung web.
Web Mining (Wikipedia, 2013) adalah bagian dari data mining yang berusaha menggali
pola-pola yang tersedia di dalam web itu sendiri. Menurut (Liu, B., 2007), web mining
bertujuan untuk menemukan informasi atau pengetahuan yang bermanfaat dari struktur
web hyperlinks, halaman web, dan data penggunaan web. Berdasarkan target
analisanya web mining terdiri dari tiga bagian (Srivastava J., 2013) yaitu:
1. Web struktur mining merupakan proses yang menggunakan teori graph untuk
menganalisa simpul(node) dan ketrehubungan struktur dari situs.
2. Web content mining adalah proses mendapatkan informasi yang berguna dari
isi(content) web. Berbeda dengan dua jenis web mining sebelumnya, sumber data
primer dari web usage mining adalah log akses web server, bukan halaman web.
3. Web usage mining merupakan perkembangan dari teknik data mining. Pada jenis
struktur mining dan content mining target analisa difokuskan pada data didalam web
sedangkan pada web usage mining yang dianalisa adalah tingkah laku pengunjung
terhadap halaman web.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
288
3. DATA DAN METODE
Pada gambar dibawah ini terlihat data yang diberikan oleh log server
diantaranya adalah salah seorang pengunjung menggunakan IP address 180.253.96.249,
waktu pengaksesan tanggal 19 November 2013 jam 14:42:34, http request :
http://www.dirgantra-lapan.or.id/jizonpolud.htm dengan browser yg dipakai adalah
Mozilla versi 5.0
Gambar 3: Data access log server dirgantara-lapan.or.id
Keterangan : o VISITS adalah penjelasan berapa keseluruhan
kunjungan o UNIQUE VISITORS adalah jumlah
pengunjung tanpa memperhitungkan kunjungan balik
o PAGEVIEWS adalah jumlah laman yang dibaca
o PAGES/VISIT adalah rata-rata laman yang dibaca per kunjungan, semakin besar nilainya berarti semakin berkualitas informasi pada website.
o AVERAGE VISIT DURATION adalah lamanya waktu per kunjungan
o BOUNCE RATE adalah persentase pengunjung yang hanya membaca satu halaman. Semakin kecil nilai ini semakin baik.
Gambar 4: Data segmentasi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
289
Untuk proses analisis web ini menggunakan metode Google analytic, dengan
tahapan proses dimulai dengan mengumpulkan informasi melalui sumber data primer
dari web usage mining yaitu berupa informasi dari log akses server dan browser log.
Log akses server akan mencatat pola prilaku dan profil dari setiap pengunjung web
yaitu berupa IP address pengunjung, waktu akses situs, Http Request Field (halaman
yang diakses dan jenis browser yang dipakai), status akses serta ukuran(byte) halaman
yang diakses. Sedangkan browser log yaitu informasi berupa cookies seperti informasi
browser dan durasi pengunjung berada di suatu halaman. Informasi tersebut akan
tersimpan pada data log file yang akan diperlukan oleh Google analytics dalam
menganalisi web. Berikut adalah metode yang digunakan dalam proses analisis web :
Gambar 5: Proses/ metode analisis web
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini metode/alat yang digunakan untuk analisis web adalah
menggunakan Google Analytics karena pelaporan analisis webnya lebih lengkap serta
memiliki kontrol yang sangat ketat terhadap hak akses accountnya. Setiap aktivitas
pengunjung web akan dicatat pada sebuah file log, file ini berisi informasi mengenai
pola akses dan kelakuan pengguna dalam mengakses halaman web.
Gambar 6: Jumlah Pengunjung per Periode Waktu
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
290
Hasil informasi Google analytics pada gambar 6 berupa data pengunjung
tertinggi per minggu yang diperoleh pada periode 17 November sampai 23 November
2013 dengan jumlah 586 pengunjung. Pada diagram lingkaran terlihat new
visitor(pengunjung baru) sebanyak 25,6% dan komposisinya masih lebih banyak
daripada return visitor (pengunjung yang kembali). New visitor menandakan
keberhasilan dalam optimasi offpage yaitu ditandai adanya back link atau link dari
website lain yang me-link ke website Lapan Bandung.
Gambar 7: Segmentasi pengunjung berdasarkan device, Browser dan OS yang
digunakan
Desktop sebagai perangkat pengakses web masih menduduki peringkat tertinggi
sebanyak 1.690 setelah versi mobile dan tablet. Dalam pengembangan web pun perlu
diperhatikan agar web yang dibangun lebih bersifat responsive agar dapat diakses
dengan nyaman dalam berbagai perangkat. Browser Firefox merupakan pengguna
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
291
terbanyak sebesar 44,05% setelah Chrome(30,24%), Operamini(11,41%) dan
Android(4,48%). Dengan memperhatikan faktor pola prilaku pengunjung tersebut serta
peningkatan kualitas isi maka akan menaikkan popularitas web sehingga lalu lintas web
akan semakin meningkat dan tranformasi layanan informasi web Lapan Bandung akan
semakin baik pula.
5. KESIMPULAN Google analytics merupakan alat berupa software gratis yang digunakan untuk
mengetahui kepadatan lalu lintas website. Sumber data utama web usage mining adalah
server logs dan browser logs, kedua data tersebut menjadi sumber informasi pula bagi
google analytic.
Pada diagram lingkaran terlihat persentasi new visitor 74,4% dan return visitor
adalah 25,6%, masih dikatakan cukup baik karena return visitor masih sedikit diatas
20% jika dibawah angka tersebut maka perlu adanya peningkatan kualitas content. Dari
sisi perangkat pengaksesan terhadap web Lapan Bandung selain desktop sebagai
pengguna terbanyak, perangkat mobile dan tablet juga sering digunakan. Pengguna
Operating System Windows 76,19% menjadi pengguna terbanyak dan selebihnya
pengguna OS versi mobile. Hasil dari analisa dan informasi diatas dapat digunakan
untuk meningkatkan layanan aplikasi web terutama dalam sisi kualitas content,
kecepatan akses dan pengembangan web, sehingga melalui laporan yang diberikan oleh
Google Analytic maka pengukuran kinerja web dapat diketahui.
DAFTAR RUJUKAN Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-
Government,http://www.apjii.or.id/v2/upload/Regulasi/InPresRI3Th2003.pdf, diakses
September 2013.
Internet, http://idiotechie.com , Cara Kerja Google Analytic, diakses November 2013
Liu, B., Web Data Mining: Exploring Hyperlinks, Contents, and Usage Data, Springer,
2007, diakses Juli 2013
Srivastava J.[et al] Web Mining-Concepts, Application & Research Direction:
Departement of Computer Science, University of Minnesota, diakses September
2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
292
Wikipedia, Google Analytic, http:/id.wikipedia.org/Google_Analytics, diakses Oktober
2013.
Wikipedia, web mining, http://en.wikipedia.org/wiki/Data_mining , diakses Oktober
2013.
http://telematikapembebas.wordpress.com/2013/12/26/sebelas-alat-analisis-situs-web-
website-analytics-terbaik, diakses September 2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
293
SISTEM OTENTIKASI SINGLE SIGN ON UNTUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG
Elyyani , Rizal Suryana
Space Science Center– LAPAN [email protected]; [email protected]
Abstrak
Pusat Sains Antariksa memiliki teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung kegiatan penelitiannya. Teknologi informasi dan komunikasi meliputi jaringan lokal, internet, Virtual Private Network dan berbagai sistem informasi berbasis web dalam mendukung operasi pelayanan cuaca antariksa dan riset antariksa. Pusat data (data center) sains antariksa, sistem penyimpanan berbasis komputasi awan, email, website dan hotspot merupakan sistem aplikasi yang digunakan penelitian secara real-time yang memungkinkan pengguna dapat mengaksesnya secara online untuk mendapatkan informasi/data terbaru. Aplikasi-aplikasi tersebut belum terintegrasi secara sistem, dimana sistem pengaksesan untuk masing-masing aplikasi tersebut masih menggunakan otentifikasi user yang berbeda-beda dan mengakibatkan user harus melakukan login yang berbeda dalam setiap aplikasi yang ada. Hal ini tentunya akan menyulitkan dalam hal pengelolaan data user akibat dari banyaknya user dan password yang dimiliki setiap orang untuk mengakses berbagai aplikasi tersebut. Teknologi Single Sign On adalah sistem yang mengizinkan pengguna dapat mengakses sumber daya dalam jaringan hanya dengan menggunakan satu account saja. Pada teknologi ini identitas user akan diambil berdasarkan user email yang sudah dimilikinya dan akan tersimpan pada sebuah credential store berupa LDAP (Lightweight Directory Access Protokol). Sedangkan proses otentifikasi dari setiap aplikasi akan disimpan pada server otentifikasi yang menangani validasi dan authorisasi user. Teknologi ini dapat mengintegrasikan berbagai aplikasi yang ada pada jaringan Lapan Bandung melalui kemudahan dalam pemrosesan data untuk setiap aplikasi yang disediakan pada layanan informasi cuaca antariksa.
Kata kunci : single sign on, LDAP, otentikasi
Abstract Space Science Center has information and communication technologies to support research activities . Information and communication technology includes local network, Internet, Virtual Private Network and a variety of web-based information systems in support of operations space weather services and research space. Data center (data center) space science, cloud-based storage systems, email, and website is a hotspot research application systems used in real-time which enables users to access them online to get the information/the latest data. The applications did’nt yet as integrated system, where the system accessing it for each applications, and still use the different user authentication and the resulting user must login many different for any existing application. This condition will cause difficulties in terms of user data management due to the many user and password of every person to access a variety of applications. Single Sign-On technology is a system that allows users to access resources in the network using only one account. This technology will be taken based on the user identity email that already exsist and will be stored in a credential store such as LDAP ( Lightweight Directory Access Protocol ), while the process of each application authentication will be stored on a server that handles user authentication and
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
294
authorization for validation. This technology can integrate to a variety of applications that exist on the network of Lapan Bandung through the ease of data processing for each application that provided in the space weather information services. Keywords : single sign-on, LDAP, authentication 1. PENDAHULUAN Dalam rangka pelayanan informasi/data sains antariksa dan atmosfer, Lapan
Bandung memiliki beberapa sistem informasi dan aplikasi bersifat real-time dan online
yang dapat digunakan untuk kepentingan penelitian. Sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi maka hal ini memungkinkan pengguna dapat
mengakses data kapan dan dimanapun. Saat ini Lapan Bandung memiliki sumber
daya(resources) penting yang dapat diakses seperti data center sains antariksa, hotspot,
email, cloud storage(media penyimpanan data online) dan sistem informasi lainnya.
Dalam mengakses setiap sistem informasi/aplikasi tersebut membutuhkan proses
otentikasi. Otentikasi adalah suatu proses untuk memverifikasi apakah seseorang berhak
mengakses suatu layanan atau tidak. Proses tersebut dilakukan melalui halaman
registrasi dan database pengguna yang terpisah untuk setiap aplikasi, ini akibat dari
adanya basis data antar aplikasi yang belum terintegrasi. Proses login ke setiap aplikasi
tersebut memiliki banyak user name dan password yang berbeda-beda, oleh karena itu
dibutuhkan pengelolaan account untuk otentikasi pada setiap sistem informasi tersebut.
Gambar 1: Kondisi sistem saat ini berbasis Sistem Sign On
Makalah ini akan membahas desain sistem otentikasi untuk setiap sistem
aplikasi yang dimiliki Lapan Bandung dengan menggunakan sistem single sign on.
Melalui sarana otentikasi yang terintegrasi maka dapat dibangun web service berupa
central autentication service melalui teknologi Single sign on (SSO). Teknologi SSO
adalah teknologi yang mengizinkan pengguna jaringan agar dapat mengakses sumber
daya dalam jaringan hanya dengan menggunakan satu akun pengguna saja. Seorang
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
295
pengguna hanya cukup melakukan proses otentikasi sekali saja untuk mendapatkan izin
akses terhadap semua layanan yang terdapat di dalam jaringan (Wikipedia, 2013).
Identitas user akan disimpan pada sebuah data store yang berupa Lightweight
Directory Access Protocol (LDAP). Otentikasi dari semua aplikasi yang ada diatur oleh
sebuah server otentikasi berupa Central Authentication Services( CAS). Tujuan utama
dari makalah ini adalah membuat konsep otentikasi dalam mengakses berbagai sistem
informasi yang ada di LAPAN Bandung melalui manajemen user terpusat sehingga
keamanan data pengguna lebih terjamin.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Hursti Jani (1997), Single sign on (SSO) adalah teknologi yang
mengizinkan pengguna jaringan agar dapat mengakses sumber daya dalam jaringan
hanya dengan menggunakan satu akun pengguna saja. Pendekatan federasi adalah
salah satu pendekatan Single Sign On, pendekatan ini meyediakan identifikasi terpusat
dan layanan manajemen otentikasi yang sejalan dengan kumpulan pernyataan
identifikasi yang dialokasikan. Hampir seluruh arsitektur SSO saat ini berdasarkan pada
model ini. Pendekatan federasi ini menggunakan konsep cookie untuk aplikasi berbasis
web.
Arsitektur sistem SSO memiliki dua komponen yaitu
Agent : berfungsi menterjemahkan setiap permintaa HTTP yang masuk ke web
server. Agent tersebut akan berinteraksi dengan web browser pada sisi klien dan
dengan server SSO pada sisi aplikasi
SSO server : menggunakan cookies sementara yang berisi informasi user-id, sessies
untuk menyediakan fungsi manajemen sesi.
Central Autentication Server adalah salah satu cara yang digunakan untuk
mengintegrasikan SSO. CAS server dan klien CAS merupakan dua komponen sistem
arsitektur CAS yang berkomunikasi melalui berbagai protocol (Addison dkk, 2011).
LDAP (Lightweight Directory Access Protocol) merupakan TCP / IP berbasis
protokol internet yang digunakan oleh program email dan beberapa aplikasi lain untuk
mencari dan mengambil informasi dari sebuah directory service disimpan pada sebuah
server. Direktory service berupa sekumpulan obyek yang memiliki atribut yang secara
logika maupun hirarki terorganisasi dengan baik. Client email sering menggunakan
LDAP untuk mengakses informasi direktori dari server LDAP yang menggunakan
model client-server. Client mengirimkan identifier pada server dan server akan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
296
mencoba mencarinya pada DIT (Directory Information Tree) yang tersimpan pada
server (Cipta Sukmana, R., 2006).
3. DATA DAN METODE
OpenLDAP adalah softweare free, open source dari Lightweight Directory
Access Protocol (LDAP) di kembangkan oleh OpenLDAP Project. E-mail Lapan
Bandung sendiri saat ini pengelolaannya menggunakan LDAP untuk menyimpan data
pengguna seperti username, password, nama dan lainnya. Data pengguna akan diambil
dari database email Lapan Bandung berbasis zimbra yang saat ini sedang berjalan.
Gambar 2: Data user email Lapan Bandung
Metode yang dipakai menggunakan teknologi Single Sign On dan Single Sign
Out. Single Sign On, sistem otentikasi terhadap user melalui login satu aplikasi
sehingga aplikasi lainnya otomatis dapat diakses. Single Sign Out, log out di satu
aplikasi maka aplikasi lain akan otomatis ikut logout.
Pendekatan SSO menggunakan konsep cookies, menurut
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31207/3/Chapter%20II.pdf :
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
297
Gambar 3: Pendekatan SSO berbasis konsep cookie
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mendukung kegiatan penelitian sains antariksa Lapan Bandung memiliki
aplikasi berbasis web diantaranya data center sains antriksa, aplikasi email, cloude
storage dan sistem informasi lainnya dengan sistem otentikasi user sendiri-sendiri.
Sistem informasi tersebut masih stand alone, database user masih berdiri sendiri untuk
setiap login aplikasi dan belum terintegrasi secara sistem, gambar 4. Kendalanya adalah
jika ada masalah otentikasi maka akan mengalami kesulitan dalam manajemen
pengguna.
Gambar 4: Sistem informasi/aplikasi yang dapat diintegrasikan
Dari beberapa sistem informsi diatas diharapkan ada pengelolan user terpusat,
sehingga setiap user memiliki satu otentikasi untuk semua layanan yang diijinkan.
Dengan penerapkan teknologi sistem single sign on maka berbagai sistem informasi
tersebut dapat diintegrasikan, sebagai media komunikasi antar web server dan client
dapat digunakan central authentication services(CAS). Berbagai informasi seperti
age
age
Halaman pengelolaan content Foss.dirgantara-lapan.or.id
E mail account Lapan Bandung Cloud Storage
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
298
username, password, nama, alamat, dan lainnya akan disimpan pada data sore yang
berupa direktory service berbasis LDAP(Lightweight Directory Access Protocol).
Gambar 5: Desain sistem otentikasi untuk sistem informasi/aplikasi Lapan Bandung
Untuk kebutuhan di Lapan Bandung, server SSO (CAS) dan LDAP berada
dalam satu server untuk memudahkan dalam pengembangan layanan aplikasi lainnya
sedangkan server layanan seperti server web, email, data center memiliki server masing-
masing. Pengguna melakukan login(username dan password) yang disediakan server
SSO kemudian data pengguna disesuaikan dengan data store (LDAP). Jika otentikasi
berhasil maka dilakukan pembuatan cookie local dan session dan pengguna dapat
mengakses layanan sesuai hak akses yang diijinkan.
Manfaat yang diperoleh dari penerapan teknologi Single Sign On adalah
pengguna tidak perlu mengingat banyak username dan password untuk mengakses
beberapa layanan system informasi sehingga pemrosesan data menjadi lebih mudah.
5. KESIMPULAN Penggunaan Single Sign On menjadikan proses otentikasi untuk layanan sistem
informasi menjadi lebih praktis karena pembuatan data user disetiap layanan cukup
sekali entry data user ke dalam database directory service(LDAP). Teknologi Single
Sign On ini dapat meningkatkan efisensi karena tidak perlu melakukan otentikasi yang
berulang-ulang untuk proses layanan aplikasi yang disediakan. Sistem ini pun sangat
cocok diterapkan pada jaringan besar seperti Lapan Bandung, pada masa mendatang
teknologi yang ada akan terus berkembang tentunya membutuhkan sistem integrasi
melalui sistem otentikasi yang lebih aman.
Data store
SSO
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
299
DAFTAR RUJUKAN Addison, Marvin S.,Scott Battaglia, Anrew Petro , Jasig CAS Documentation. Jag,
2011.
Cipta Sukmana, R., Pengenalan LDAP, IlmuKomputer.com, 2006.
Hursti,J., “Single Sign-On,” Departemen of Computer Science, Helsinki University of
Technology, 1997.
Internet, Pendekatan SSO berbasis konsep cookie,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31207/3/Chapter%20II.pdf ,
diakses November 2013
Wikipedia, Single Sign On, diakses November 2013.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
300
ANALISIS PULSA MAGNET PC5 TERKAIT DINAMIKA SABUK RADIASI ELEKTRON
Harry Bangkit, L. M. Musafar K,
Habirun, Mira Juangsih, Moh. Andi Aris
Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
email: [email protected]
Abstrak Pulsa magnet Pc5 merupakan gelombang hidromagnetik dengan rentang periode
antara 150-600 detik. Gelombang tersebut dibangkitkan secara ekternal sebagai konsekuensi dari interaksi angin surya dengan medan magnet Bumi, dan secara internal akibat dinamika magnetosfer bagian-dalam. Selama berlangsungnya badai magnet terjadi peningkatan pulsa magnet Pc5. Baik badai magnet maupun fenomena substorm melibatkan proses percepatan partikel magnetosfer menuju energi relativistik. Dimana percepatan partikel tersebut diyakini sebagai akibat dari proses energisasi dalam interaksinya dengan gelombang ULF di magnetosfer. Pulsa Pc5 diekstrak menggunakan transformasi wavelet untk skala 100 hingga 600 dengan Morlet sebagai mother-wavelet. Ekstrasi Pc5 dilakukan untuk data komponen-H variasi medan magnet Kupang dan Manado. Analisa dilakukan dengan melihat peningkatan fluks elektron sabuk radiasi data satelit GOES, power spektrum Pc5 komponen-H, dan indeks Dst. Dari beberapa kasus kejadian selama tahun 2010 terlihat peningkatan fluks elektron sabuk radiasi yang teramati terkait dengan kemunculan gelombang Pc5 dalam rentang waktu yang cukup panjang meskipun indeks badai menunjukkan kondisi tenang. Hal ini mungkin berhubungan dengan energisasi elektron di magnetosfer/ionosfer sebagai konsekuensi interaksi gelombang ULF dengan elektron tersebut. Kata Kunci : Pulsa Magnet, Sabuk Radiasi, Elektron Relativistik
Abstract Pc5 magnetic pulsations is known as a hydromagnetic waves with period in the
range of 150-600 seconds. Occurrence of the Pc5 pulsations imply consequences of interaction between solar wind with Earth's magnetic field, and manifestation of dynamics in the magnetosphere. In period of active magnetosphere especially during magnetic storm or substorm the activity of Pc5 magnetic pulsation increased. Both magnetic storm and substorm phenomena involving processes of particle acceleration to relativistic energy in the magnetosphere. The particle acceleration is believed as a result of wave-particle interaction in the magnetosphere. Pc5 magnetic pulsations were extracted by using wavelet transform where Morlet function as a mother-wavelet has been chosen. The wavelet transform were applied for H-component of magnetic field in Kupang and Manado stations. The analyses was done with comparing the electron fluxes data with spectrum power of Pc5 pulsations and also Dst index has been use to confirm the occurrence of magnetic storm. During 2010 we observed several events of electron radiation belt where life time of large amplitude Pc5 magnetic pulsations extended to several days eventhough Dst index relatively quiet. We expected this may be related to energization processes of electrons in the magnetosphere / ionosphere as a consequence of interaction of ULF waves with the electrons. Keywords : Magnetic Pulsations, Radiation Belt, Relativistic Electron
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
301
1. PENDAHULUAN
Manifestasi lain dari interaksi plasma angin surya dengan magnetosfer Bumi
adalah tereksitasinya gelombang plasma frekuensi rendah (ULF, ultra-low frequency).
Berdasarkan sifat kemunculannya di magnetosfer gelombang ULF dibedakan menjadi
dua kategori yaitu pulsa magnet kontinyu (Pc) dan pulsa magnet iregular (Pi). Pulsa
magnet Pc5 merupakan pulsa magnet kontinyu dengan rentang periode 150 – 600 detik.
Sifat-sifat pulsa magnet Pc5 telah banyak diselidiki termasuk Pc5 selama badai magnet
dan substorm.
Interaksi antara angin surya dan magnetosfer merupakan penggerak utama dari
proses-proses yang terjadi di magnetosfer dan ionosfer. Interaksi ini sering dilihat
menggunakan asumsi implisit kuasi-stabil dan atau aliran plasma. Namun, konsepsi
baru tentang dinamika plasma magnetosferik sedang dikembangkan, dimana proses
turbulensi memegang peranan mendasar (Antonova, 2000; Borovsky dan Funsten,
2003). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mempelajari hubungan antara
percepatan elektron relativistik (elektron dengan energi > 2 MeV) dengan gelombang
Pc5 magnetosferik. Dan didapati peningkatan relativistik elektron tersebut tidak
berkolerasi langsung dengan badai magnetk (indeks Dst), sebaliknya peningkatan
tersebut berkolerasi baik dengan peningkatan gelombang ULF, yang disebabkan
peningkatan pulsa Pc5 di magnetosfer (Kozyreva, 2007).
Baik badai magnet, yaitu pertumbuhan sabuk radiasi dan arus cincin, maupun
fenomena substorm melibatkan proses percepatan partikel menuju energi relativistik.
Dimana percepatan partikel tersebut diyakini sebagai akibat dari proses energisasi
dalam interaksinya dengan gelombang ULF di magnetosfer. Dalam makalah ini akan
dianalisa hubungan antara pulsa magnet Pc5 yang terekam oleh magnetometer di lintang
rendah dengan variasi fluks elektron sabuk radiasi.
2. DATA DAN METODE
Dalam studi ini digunakan data variasi medan magnet rekaman magnetometer
yang terletak di Kupang dan Manado selama tahun 2010. Magnetometer merekam data
dengan resolusi 1-detik untuk 3-komponen medan magnet yaitu H, D dan Z. Pulsa Pc5
diekstrak menggunakan transformasi wavelet untuk skala 100 hingga 600 dengan fungsi
Morlet sebagai mother-wavelet.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
302
dimana a adalah skala wavelet dan y(t) adalah data variasi medan magnet.
Ekstrasi pulsa Pc5 dilakukan pada data komponen-H variasi medan magnet
karena respon medan magnet Bumi terhadap pulsa tekanan angin surya serta interaksi
medan magnet Bumi dan medan magnet antar-planet dominan terjadi pada komponen
tersebut. Indeks badai (Dst) diperoleh dari World Data Center for Geomagnetism,
Kyoto. Data fluks elektron sabuk radiasi 5-menitan diperoleh dari Space Weather
Prediction Center (SWPC), NOAA.
Gambar 1: Transformasi wavelet komponen-H variasi medan magnet Bumi untuk
skala wavelet 100 hinga 600.
Analisis dilakukan dengan melihat perubahan fluks elektron sabuk radiasi data
satelit GOES dengan power spektrum Pc5 pada beberapa kejadian. Aktivitas badai
magnet di lintang rendah diamati dengan indeks Dst. Selain itu digunakan pula data
fluks elektron relativistik rekaman satelit GOES selama tahun 2010. Dianalisis data
fluks elektron pada energi konstan yaitu elektron yang memiliki energi ~2MeV yang
mana mengekalkan ketiga sifat invarian adiabatik. Oleh karena satelit GOES mengorbit
pada ketinggian L~5, maka fluks elektron yang terekam oleh satelit GOES merupakan
fluks elektron pada sabuk radiasi bagian luar.
dt)t(y
atexp
atiexp
a)b,a(W
/ 20
41
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
303
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pulsa Pc5 diekstrak menggunakan transformasi wavelet pada skala 100 hingga
600, selanjutnya power spektrum Pc5 yang diamati adalah nilai maksimum, minimum,
dan rata-rata. Fluks elektron yang diamati adalah fluks elektron dengan energi lebih
besar dari 2 MeV (grafik warna merah), dimana garis biru horizontal adalah ambang
event, dimana jika fluks electron > 2 MeV melewati ambang ini maka terbentuk sabuk
radiasi elektron.
Sepanjang tahun 2010 dilihat beberapa kejadian dengan klasifikasi kejadian:
tenang, dan terganggu. Selama bulan Februari kondisi magnetosfer cenderung tenang
(gambar 2), hal ini terlihat pada variasi indeks Dst. Selama perioda ini tidak ada
peningkatan fluks elektron > 2MeV melewati ambang event. Power spektrum Pc5
cenderung kecil, walaupun terlihat beberapa lonjakan yang cukup besar namun
durasinya tidak cukup untuk mengenergisasi elektron.
Gambar 2: Tidak ada peningkatan fluks elektron melewati ambang event (garis biru),
artinya tidak terbentuk sabuk radiasi. Terjadi beberapa lonjokan power Pc5
namun durasinya tidak cukup untuk mengenergisasi elektron.
Klasifikasi terganggu terjadi pada bulan April dan Mei, terlihat adanya peningkatan
badai tanggal 6 April mencapai -80 nT (gambar 3), dan 2 Mei mencapai -70 nT (gambar
4). Terlihat peningkatan power Pc5 yang sangat kuat saat onset badai 6 April, dan
diikuti peningkatan fluks elektron melewati batas event, artinya terbentuk sabuk radiasi
elektron, sampai 5 hari kedepan. Sementara peningkatan power Pc5 pada 2 Mei tidak
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
304
sebesar 6 April, namun durasinya lebih lama sehingga pembentukan sabuk radiasi
elektron terjadi sampai 15 hari ke depan.
Gambar 3: Terlihat adanya peningkatan badai tanggal 6 mencapai -80 nT, peningkatan
power Pc5 yang sangat kuat saat onset badai, dan diikuti peningkatan fluks
elektron melewati batas event.
Gambar 4: Terlihat adanya peningkatan badai tanggal 2 mencapai -70 nT, durasi
peningkatan power Pc5 cukup panjang sehingga dapat mengenergisasi
elektron sampai 15 hari kedepan .
Kasus menarik terjadi bulan Juli dan Oktober tahun 2010 sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 5 dan 6. Kondisi magnetosfer selama bulan Juli tergolong
tenang yaitu tidak ada badai magnet dan hal tersebut diindikasikan melalui indeks Dst.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
305
Penurunan kecil indeks Dst terjadi pada tanggal 15 Juli 2010. Penurunan indeks Dst
diikuti oleh penurunan fluks elektron relativistik dan peningkatan kekuatan gelombang
Pc5. Efek penurunan fluks elektron tersebut selama badai magnet merupakan respon
adiabatik elektron terhadap pengurangan medan magnet global. Sedangkan peristiwa
badai magnet yang terjadi pada tanggal 11 Oktober 2010 juga diikuti oleh penurunan
fluks elektron relativistik dan penguatan gelombang Pc5. Akan tetapi terkait badai
magnet 11 Oktober 2010 tersebut terjadi peningkatan fluks elektron 2MeV melebihi
level awalnya sebelum badai. Peningkatan fluks elektron tersebut merupakan respon
non-adiabatik elektron terhadap perubahan medan magnet. Meskipun demikian, pada
kedua kasus tersebut terjadi peningkatan gelombang Pc5 selama perubahan fluks
elektron relativistik.
Sedangkan kasus lainnya terjadi pada tanggal 26-31 Juli dan 22-31 Oktober
2010. Selama rentang waktu tersebut, kondisi magnetosfer sangat tenang dan teramati
kemunculan gelombang Pc5 dalam rentang waktu cukup lama. Terkait peningkatan
gelombang Pc5 tersebut teramati adanya peningkatan fluks elektron relativistik dan
pembentukan sabuk radiasi elektron pada tanggal 27-31 Juli dan 24-30 Oktober 2010.
Hal ini dapat menjadi bukti bahwa peningkatan fluks elektron relativistik dan
pembentukan sabuk elektron bagian luar sangat terkait dengan penguatan gelombang
Pc5.
Gambar 5: Terjadi peningkatan elektron relativistik saat indeks badai tenang tanggal 1-
6 dan 23-31 Juli. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa peningkatan fluks
elektron relativistik dan pembentukan sabuk elektron bagian luar sangat
terkait dengan penguatan gelombang Pc5.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
306
Gambar 6: Terjadi peningkatan elektron relativistik saat indeks badai tenang tanggal
21-31Oktober. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa peningkatan fluks
elektron relativistik dan pembentukan sabuk elektron bagian luar sangat
terkait dengan penguatan gelombang Pc5.
Dalam kasus-kasus yang ditunjukkan di atas teramati bahwa variasi fluks
elektron relativistik dengan energy 2MeV memperlihatkan perubahan yang serupa
dengan perubahan indeks Dst selama badai magnet. Akan tetapi tidak semua
peningkatan fluks elektron relativistik tersebut terkait dengan badai magnet.
Peningkatan fluks elektron relativistik sangat terkait dengan peningkatan gelombang
Pc5 dan/atau kemunculan gelombang Pc5 dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditunjukkan di atas maka dapat dinyatakan bahwa
proses energisasi elektron relativistik dan pembentukan sabuk radiasi elektron bagian-
luar dapat terjadi melalui interaksi antara gelombang Pc5 dengan elektron relativistik
tersebut. Interaksi antara gelombang Pc5 dengan elektron relativistik dapat terjadi
melalui resonansi antara gerak drift elektron dengan gelombang Pc5. Akan tetapi
mekanisme transpor elektron dari ionosfer dan magnetosfer bagian-dalam menuju
magnetosfer bagian-luar masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
307
4. KESIMPULAN
Peningkatan fluks elektron sabuk radiasi teramati terkait dengan kemunculan
gelombang Pc5 dalam rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini mungkin terkait
dengan energisasi elektron di magnetosfer/ionosfer sebagai konsekuensi interaksi
gelombang ULF dengan elektron tersebut. Dinamika fluks elektron sabuk radiasi
sebanding dengan variasi indeks Dst selama badai magnet. Akan tetapi tidak semua
peningkatan fluks elektron tersebut terkait dengan badai magnet. Interaksi antara
gelombang Pc5 dengan elektron relativistik dapat terjadi melalui resonansi antara gerak
drift elektron dengan gelombang Pc5.
DAFTAR RUJUKAN O. Kozyreva, V. Pilipenko, M.J Engebretson, K. Yumoto, J. Watermann, N. Romanova,
In search of a new ULF wave index: Comparison of Pc5 power with
dynamics of geostationary relativistic electrons, Planetary and space science 55,
755-769, 2007.
Antonova, E.E., 2000. Large scale magnetospheric turbulence and the topology of
magnetospheric currents. Adv. Space Res. 25, 1567.
Borovsky, J.E., Funsten, H.O., 2003. Role of solar wind turbulence in the coupling of
the solar wind to the Earth’s magnetosphere. J. Geophys. Res. 108, 1246.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
308
MODEL EMPIRIK HARI TENANG GEOMAGNET DI REGIONAL INDONESIA
Mamat Ruhimat, M Andi Aris, Clara Y Yatini
Pusat Sains Antariksa,LAPAN
Jl. DR Djundjunan 133 Bandung [email protected]
Abstrak
Variasi hari tenang geomagnet merupakan variasi geomagnet yang tidak mengalami gangguan, rekaman geomagnetnya dari hari ke hari reguler dengan kurva yang mulus. Dalam penelitian ini dihitung model empirik hari tenang geomagnet menggunakan data geomagnet yang dimiliki Lapan dari tujuh stasiun yang tersebar di wilayah Indonesia yaitu Kototabang, Sumedang, Pontianak, Parepare, Manado, Kupang dan Biak. Model empirik hari tenang geomagnet yang dikembangkan berdasarkan kebergantungan variasi hari tenang geomagnet terhadap aktivitas matahari, hari dalam tahun, usia bulan dan waktu lokal. Dari hasil analisis diperoleh peningkatan amplitudo variasi hari tenang geomagnet yang berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas matahari (F10,7). Pada posisi matahari dibelahan bumi selatan diperoleh amplitudo variasi hari tenang geomagnet lebih besar daripada variasi hari tenang geomagnet pada saat matahari dibelahan bumi utara. Kata Kunci: Hari tenang geomagnet, Model empirik, Gangguan geomagnet.
Abstract Variation in geomagnetic quiet day measurement is geomagnetic variation that is not susceptible to the interference. The geomagnetic records show smooth curve regularly from day to day. We calculate the empirical model of geomagnetic quiet day by using the geomagnetic data observed from Kototabang, Sumedang, Pontianak, Parepare, Manado, Kupang and Biak. This model is developed based on the dependence of geomagnetic quiet day variation to the solar activity, day of the year, lunar age, as well as the local time. We found that the increase of the amplitude of geomagnetic quiet day variation is proportional to the increase of the solar activity (F10.7). The amplitude is greater when the sun in the southern hemisphere rather than in the northern hemisphere. Keywords: Geomagnetic quiet day, Empirical model, Geomagnetic disturbance
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
309
1. PENDAHULUAN
Cuaca Antariksa merupakan kondisi lingkungan antariksa di sekitar Bumi
(magnetosfer, ionosfer dan termosfer) yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas matahari
yang bisa berpengaruh terhadap kelangsungan dan daya tahan dari benda-benda
antariksa dan sistem teknologi landas bumi buatan manusia. Parameter cuaca antariksa
salah satunya adalah berhubungan dengan aktivitas geomagnet atau gangguan
geomagnet. Dari pencatatan rekaman geomagnet terdapat dua tipe variasi geomagnet
yaitu variasi hari tenang dan variasi terganggu atau badai geomagnet. Secara fisis telah
diketahui bahwa amplitudo dan fase dari hari tenang variasi geomagnet dipengaruhi
oleh aktivitas matahari (Rastogi and Iyer, 1976). Selain itu berdasarkan penelitian di
lintang khatulistiwa juga terdapat hubungan linier antara amplitudo hari tenang variasi
geomagnet dengan emisi radio matahari 10,7 cm atau F10,7 (Rastogi et al., 1994). Dari
penelitian Yamazaki et al. (2011) telah diketahui bahwa variasi musiman dari hari
tenang variasi geomagnet dapat dinyatakan sebagai superposisi komponen stasioner,
komponen tahunan dan komponen semi tahunan, selain itu amplitudo dan fase dari hari
tenang variasi medan geomagnet ini bergantung juga pada usia bulan. Begitu pula studi
yang sama telah menunjukkan bahwa amplitudo komponen harmonik ke satu, kedua,
ketiga dan ke empat dari hari tenang variasi geomagnet adalah dominan untuk variasi-
variasi waktu lokal (Campbell et al., 1992; Campbell, 1990).
Dalam mengembangkan model empirik hari tenang variasi geomagnet perlu
diperhatikan keterkaitan atau kebergantungan hari tenang variasi geomagnet terhadap
beberapa komonen yang dapat mempengaruhinya. Komponen-komponen tersebut
antara lain adalah aktiitas matahari, waktu lokal, hari dalam tahun (day of year DOY),
dan umur bulan. Sedangkan pengujian model dilakukan untuk tiga komponen saja yaitu
aktivitas matahari yang diwakili oleh fluks 10.7 cm, waktu lokal, dan DOY. Model
empirik ini dibangun menggunakan metode yang digunakan oleh Yamazaki et al.(2011)
dan Kakinami et al.(2009) berdasarkan fungsi kecocokan multivariabel data
pengamatan geomagnet kondisi hari tenang di regional Indonesia.
2. DATA DAN METODOLOGI
Dalam penelitian ini digunakan data geomagnet dari tujuh stasiun yang tersebar
di wilayah Indonesia yaitu dari Kototabang, Sumedang, Pontianak, Parepare, Manado,
Kupang dan Biak pada tahun 1993 sampai dengan tahun 20011. Data variasi geomagnet
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
310
distandarisasi yaitu rata-rata jam data dalam waktu lokal dikurangi dengan perata-
rataan 6 jam data malam hari jam 22 sampai jam 3 dini hari dengan mengggunakan
persamaan
6
321242322 LTLTLTLTLTLTLTLT
HHHHHHtHtH
.....(2-1)
dengan H (t) menunjukkan waktu lokal
Data Kp indeks lebih kecil sama dengan 2+ dari World Data Center for Geomagnetism
Kyoto University digunakan untuk menentapkan kriteria hari tenang, dan data emisi
radio matahari (F10,7) dari National Geophysical Data Center, NOAA digunakan untuk
mengetahui tingkat aktivitas matahari. Metode yang digunakan dalam mengembangkan
model empirik ini, merupakan gabungan dari metode regresi linier dan polinomial
(Yamazaki et al., 2011)
SAaaSAfH *21 .........................................................................(2.2)
2
11221 365
.2sin365
.2cos k
kkDOYkbDOYkbbDOYgH ......(2-3)
242.2sin
242.2cos 321
LAcLAccLAhH ..............................(2-4)
4
11221 24
.2sin24
.2cosk
kkLTkdLTkddLTiH .............(2-5)
dengan f merupakan fungsi linier aktivitas matahari (SA), dalam hal ini menggunakan
F10.7, sedangkan yang lainnya berupa fungsi polinom fourier berturut-turut g fungsi
dari hari dalam tahun (day of year/DOY), h fungsi dari usia bulan (lunar age/LA) dan i
fungsi dari waktu lokal (local time/LT). Sehingga variasi hari tenang dapat dinyatakan
sebagai:
6)-(2
***,,,'99
'88
'77
'66
'55
'44
'33
'22
'11
'13
'12
'11
'55
'44
'33
'22
'11
'22
'11
idididididididididhchchcgbgbgbgbgbfafaLTLADOYSAH
dengan SA = aktivitas matahari yang diwakili dengan F10,7
DOY= hari dalam tahun
LA = usia bulan
LT = waktu lokal
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
311
LTLADOYSAHLTLADOYSAHp
pp ,,,,,,9.3.5.2
1
'
............................................(2-7)
270
1
',,,p
pp HLTLADOYSAH .........................................................................(2-8)
270
1
'270
'270
'1
'270
'270
'1
'1
'1
'270
'1
. . .... .
.. ... .
. .
.
HHHH
HHHH
HH
HH........................(2-9)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 menunjukkan kurva korelasi aktivitas matahari (F10,7) dengan
geomagnet komponen H dari Biak pada pukul 12 siang (waktu lokal) yang telah
distandarisasi dengan menggunakan persamaan (2-1) seperti yang dijelaskan dalam bab
2. Adapun kriteria hari tenang adalah bila indeks Kp lebih kecil sama dengan 2+.
Gambar 1 : Korelasi parameter geomagnet komponen H di Biak dan emisi radio
matahari (F10,7).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
312
Dari Gambar 1 ini diperoleh persamaan regresi linier yang menunjukkan
kecenderungan parameter geomagnet H memiliki kebergantungan dengan F10,7 secara
linier dengan koefisien korelasi sebesar R = 0.5. Meskipun korelasinya tidak cukup
besar, akan tetapi terlihat bahwa aktivitas matahari yang meningkat akan mendorong
fluktuasi geomagnet untuk menjadi makin besar. Hal ini bisa terjadi karena yang
mempengaruhi fluktuasi geomagnet tidak hanya aktivitas matahari, melainkan masih
ada faktor lain diantaranya variasi musiman dan usia bulan (Campbell, 1989).Hasil ini
diperlihatkan juga pada kurva simulasi model empirik hari tenang geomagnet yang
dibangun dari data geomagnet komponen H stasiun Biak yang dihitung untuk tanggal
17 Februari 2012 (DOY= 48) dengan beberapa nilai F10,7 yang berbeda untuk waktu
yang berbeda (Gambar 2).
Gambar 2 : Simulasi model hari tenang terhadap peningkatan aktivitas
matahari.
Pada Gambar 2 ini tampak bahwa dengan nilai F10,7 yang paling kecil (F10.7 =
50) maka kurva model hari tenang pada jam 12 waktu lokal mempunyai amplitudo yang
terendah. Peningkatan puncak kurva hari tenang geomagnet sejalan dengan
meningkatnya aktivitas matahari (F10,7). Demikian juga amplitudo yang tertinggi untuk
suatu nilai F10.7 diperoleh pada jam 12 waktu lokal dibandingkan dengan waktu yang
lain.
Selanjutnya akan dilihat bagaimana pengaruh hari dalam tahun (day of year
DOY) terhadap amplitudo hari tenang geomagnet. Kurva hasil simulasi model empirik
-10
0
10
20
30
40
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Fluk
tuas
i H (n
T)
Waktu (LT)
MODEL HARI TENANG GEOMAGNET di BIAK pada tanggal 17 Feb 2012
F10,7 = 50
F10,7 = 70
F10,7 = 90
F10,7 = 110
F10,7 = 130
F10,7 = 150
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
313
hari tenang geomagnet untuk stasiun Biak, jika F10,7 = 130.7 pada beberapa DOY yang
berbeda diperlihatkan dalam Gambar 3.
Gambar 3: Menunjukkan kurva hasil simulasi model empirik hari tenang geomagnet
untuk stasiun Biak, jika F10,7 = 130,7 pada beberapa DOY yang berbeda.
Pada Gambar 3 ini tampak bahwa amplitudo hari tenang geomagnet memiliki
variasi musiman. Saat matahari berada dibelahan bumi utara (bulan Maret – September)
lebih kecil dibandingkan pada saat matahari berada dibelahan bumi selatan (bulan
September – Maret). Pada DOY 107, 168, dan 229 (yang menunjukkan tanggal 17
April, 17 Juni, dan 17 Agustus) fluktuasi geomagnet menunjukkan amplitudo yang lebih
kecil dari pada DOY 290, 351, dan 48 (yang menunjukkan tanggal 17 Oktober, 17
Desember, dan 17 Februari). Dari keenam kurva tersebut amplitudo pada jam 12 waktu
lokal mempunyai harga terkecil pada DOY 229 (17 Agustus) dan tertinggi pada DOY
351 (17 Desember). Perbedaan variasi yang lebih tinggi pada posisi matahari di
hemisfer selatan dibandingkan dengan hemisfer utara disebabkan karena posisi stasiun
Biak yang berada di lintang selatan.
Gambar 4 memperlihatkan hasil perhitungan menggunakan model empirik hari
tenang geomagnet untuk 7 stasiun pada tanggal 11 September 2012 dengan F10,7 =
105.1.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
314
Gambar 4: Menunjukkan kurva model empirik hari tenang geomagnet untuk 7
stasiun pada tanggal 11 September 2012 dengan F10,7 = 105,1.
Semua kurva memiliki puncak maksimum sekitar pukul 12 waktu lokal.
Amplitudo dari variasi hari tenang ini berkaitan dengan posisi matahari seperti yang
dikemukakan Takeda (2002) yang membahas masalah korelasi antara medan magnet
pada hari tenang dengan variasi konduktivitas di ionosfer. Variasi pada hari tenang ini
terutama disebabkan oleh adanya arus ionosfer.
4. KESIMPULAN
Model empirik hari tenang regional Indonesia dapat diperoleh dengan
melakukan pengolahan data geomagnet dari 7 stasiun pengamatan dengan
memperhitungkan parameter Kp indeks dan F10.7. Variasi hari tenang geomagnet
dipengaruhi oleh aktivitas matahari, waktu lokal, DOY, dan umur bulan. Dengan
membangun model empirik, dapat dilihat keterkaitan variasi tersebut terhadap
komponen-komponen yang mempengaruhinya. Variasi geomagnet mempunyai korelasi
linier dengan aktivitas matahari. Amplitudo variasi geomagnet menunjukkan
kecenderungan yang semakin besar dengan meningkatnya aktivitas matahari. Posisi
matahari juga memberikan pengaruh yang signifikan. Ini ditunjukkan dengan amplitudo
yang paling tinggi pada jam 12 waktu lokal, pada saat matahari berada di zenith.
Demikian juga untuk periode musiman. Variasi lebih besar diperoleh pada saat matahari
berada di belahan bumi selatan dibandingkan saat matahari berada di belahan bumi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
315
utara. Ini bisa terjadi karena sebagian besar stasiun pengamatan berada di belahan bumi
selatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh Pusat Sains Antariksa LAPAN, untuk itu kami
ucapkan banyak terima kasih kepada LAPAN dan kepada BMKG, KYUSHU UNIV.
serta NAGOYA UNIV. atas kerjasama dalam bidang geomagnet.
DAFTAR RUJUKAN
Campbell WH.(1989), The regular geomagnetic-field variations during quiet solar
conditions, in Geomagnetism (eds JA.Jacobs)Vol.3, 385-460, Academic, San
Diego.
Campbell WH.(1990), Differences in geomagnetic Sq field representations due to
variation in sperical harmonic analysis techniques, J. Geophys. Res.,
95(A12),20923-20936.
Campbell WH., ER.Schiffmacher, BR. Arora, (1992), Quiet geomagnetic field
representation for all days and latitudes, J. Geomagn. Geoelectr., 44, 459-480
Kakinami Y., Chen CH., Liu JY., Oyama KL.,Yang WH., Abe S.,(2009), Empirical
models of total electron content based on functional fitting over Taiwan during
geomagnetic quiet condition, Annales Geophysicae.
Rastogi RG., and KN. Iyer (1976), Quiet day variation of geomagnetic H- field at low
latitudes, J. Geomagn. Geoelectr., 28, 461-479
Rastogi RG., S Alex, A Patil (1994) Seasonal variations of geomagnetic D, H, and Z
fields at low latitudes. J. Geomagn. Geoelectr., 46, 115-126
Takeda M. (2002)The correlation between the variation in ionospheric conductivity and
that of the geomagnetic Sq field, J. Atmospheric and Solar Terrestrial Physics
64. P 1617-1621.
Yamazaki Y., K.Yumoto,.G. Cardinal, B.J. Fraser, P M. Hattori, Y. Kakinami, J.Y. Liu,
K.J.W. Lynn, R. Marshall, D.Mc. Namara, T. Nagatsuma, V.M. Nikiforov, R.E.
Otadoy, M. Ruhimat, B.M. Shevtsov, K. Shiokawa, S. Abe, T. Uozumi, A.
Yoshikawa, (2011), An Empirical model of the quiet daily geomagnetic field
variation, J. Geoph. Res. Vol 116, A10312.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
316
National Geophyisical Data Center, National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA),
ftp://ftp.ngdc.noaa.gov/STP/SOLAR_DATA/SOLAR_RADIO/FLUX/Penticton
Observed
World Data Center for Geomagnetism Kyoto, http://wdc.kugi.kyoto-
u.ac.jp/kp/index.html
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
317
VARIASI KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO FM DI PAMENGPEUK PADA FREKUENSI 104,9 MHz
Mumen Tarigan
Peneliti Bidang Teknologi Pengamatan , Pussainsa Lapan e-mail: [email protected]
Abstrak
Kuat sinyal, yang merupakan salah satu parameter komunikasi radio, mengalami perubahan pada saat gelombang merambat melalui atmosfer dari suatu pemancar ke penerima. Pengamatan kuat sinyal gelombang radio pada frekuensi 104,9 MHz dengan daya 5 kilowatt, yang merupakan pemancar radio lokal di Pamengpeuk, dilakukan dengan spektrum analyzer pada bulan Oktober 2013. Diperoleh hasil pengamatan kuat sinyal di BPD Pamengpeuk pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober, jam 7 sampai dengan jam 22 waktu setempat, dengan interval pengamatan sekitar 7 detik, secara berurutan yaitu nilai maksimum kuat sinyal adalah -42,84 dB, -42,80 dB dan -42,93 dB. Rata-rata kuat sinyal dan standard deviasi pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober secara berurutan adalah adalah rata rata -46,96 dB dengan standar deviasi 3,53 dB , rata rata -46,42 dB dengan standard deviasi 3,32 dB dan rata rata -46,75 dB dengan standard deviasi 3,71 dB. Dari nilai rata rata dan standard deviasi kuat sinyal menunjukkan bahwa secara umum komunikasi radio dapat dilakukan selama periode waktu data yang diamati. Pengolahan data kuat sinyal dengan interval data sekitar 1 menit, dengan menggunakan metode spektral analisis harmonik, diperoleh periodisitas dominan pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 2013 secara berurutan adalah 30 menit, 6 menit dan 5.6 menit. Kata kunci : Kuat sinyal, gelombang radio FM, frekuensi dan metode spektral
Abstract Signal strength, which is one of the radio communication parameters , to change when the waves propagate through the atmosphere from a transmitter to a receiver . Observations signal strength of radio wave at frequency 104.9 MHz with a power of 5 kilowatts, which is a local radio transmitters in Pamengpeuk , done with a spectrum analyzer in October 2013. Observations obtained signal strength at the BPD Pamengpeuk on the 5th , 6th and 7th October, local time hours 7 to 22 hours , with about 7 seconds observation interval , that is the maximum value of signal strength respectively is -42.84 dB , -42.80 dB and -42.93 dB. Signal strength average value and standard deviation on the 5th , 6th and October 7th respectively is average - 46.96 dB with a standard deviation of 3.53 dB , -46.42 dB with the average standard deviation of 3.32 dB and -46.75 dB average with standard deviation of 3.71 dB . Of the average value and standard deviation of the signal strength suggests that the overall radio communications can be conducted over a time period of observed signal strength data. Data processing at data intervals about 1 minute, using the method of harmonic analysis spectral, the dominant periodicity obtained on December 5 , 6 and 7 October 2013 respectively was 30 minutes , 6 minutes and 5.6 minutes . Keywords : Signal strength , FM radio waves , frequency and spectral methods
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
318
1. PENDAHULUAN
Komunikasi radio dengan menggunakan atmosfer sebagai media perambatannya
akan mengalami variasi pada kuat sinyalnya. Atmosfer, yang dapat dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu atmosfer bawah, yang merupakan daerah netral dengan ketinggian
dari permukaan hingga sekitar 50 kilometer dan atmosfer atas, didominasi oleh partikel
bermuatan, dengan ketinggian diatas 50 kilometer (http : // www . ips . gov.au; diakses
4Juli 2013). Mekanisme perambatan gelombang melalui kedua media tersebut (atmosfer
bawah dan atmosfer atas), berbeda satu dengan yang lainnya. Di atmosfer atas dapat
terjadi perambatan gelombang dari suatu pemancar ke suatu penerima dengan
mekanisme pantulan dan hamburan, sedangkan di atmosfer bawah untuk jarak kurang
dari 50 mil, tergantung topologi dari pada permukaan buminya, didominasi melalui
mekanisme gelombang langsung (direct wave) atau disebut juga propagasi LOS (line of
sight). Sesuai dengan namanya, perambatan gelombang secara garis pandang ,
mempunyai keterbatasan pada jarak pandang. Dengan demikian, ketinggian antena dan
kelengkungan permukaan bumi merupakan faktor pembatas yang utama dari propagasi
ini . Pada propagasi LOS, gelombang merambat secara langsung menuju antena
penerima dan tidak merambat di atas permukaan tanah, sehingga permukaan bumi/tanah
tidak mempengaruhinya. Lintasan propagasi berkas gelombang radio selalu mengalami
pembiasan/pembengkokan (curved ) karena pengaruh refraksi (pembiasan) oleh
atmosfir yang paling bawah. Keadaan ini, tergantung pada kondisi atmosfir pada suatu
daerah. Kuat sinyal adalah salah satu parameter yang diperlukan oleh para pengguna
komunikasi radio untuk mengetahui besarnya pelemahan yang terjadi pada saat
gelombang radio merambat melalui atmosfer dari suatu pemancar ke penerima,
sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan teknis untuk mengatur daya pancar
yang dibutuhkan oleh radio. Pada dasarnya kuat sinyal yang diterima oleh suatu
penerima merupakan penjumlahan dari kuat sinyal yang merambat melalui mekanisme
pantulan, hamburan dan langsung. Perubahan yang terjadi pada media perambatan akan
mengakibatkan adanya variasi pada penerimaan kuat sinyal dari suatu pemancar
tertentu.
Fading dapat didefenisikan sebagai perubahan fase, polarisasi dan level dari suatu
sinyal terhadap waktu. Fading terbagi dua, yaitu fading skala besar (large scale fading)
dan fading skala kecil (small scale fading). Fading skala besar merepresentasikan
redaman akibat lintasan gelombang (path loss) melalui area yang besar. Besar dari
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
319
atenuasi oleh fading skala besar akan sebanding dengan jarak antara pengirim dengan
penerima. Fading skala kecil dibagi menjadi dua mekanisme yaitu penyebaran sinyal
terhadap waktu (time spreading of signal), menyatakan sinyal yang didapat penerima
akan menjadi terduplikasi karena efek banyak jalur lintasan dan variasi kanal terhadap
waktu (time variance of the channel), variasi ini dinyatakan dengan doppler spread
(http: // repository usu .ac .id/bitstream /123456789 / 21608/4/chapter%20II.pdf;
diakses 10 Juli 2013). Salah satu kendala untuk pengukuran kuat sinyal suatu
pemancar adalah banyaknya stasiun radio yang menggunakan frekuensi sama baik
stasiun siaran (broadcast) maupun stasiun amatir. Untuk mengetahui gelombang radio
yang diterima melalui mekanisme pantulan dan hamburan, salah satu langkah yang
dapat dilakukan adalah melakukan penelitian tentang besarnya kuat sinyal gelombang
radio yang merambat secara langsung melalui atmosfer untuk pemancar tertentu.
Pemancar yang diamati dan direkam kuat sinyalnya dengan spectrum analyzer untuk
mengetahui kuat sinyal gelombang langsung di Pamengpeuk adalah radio Terunajaya,
dengan jarak sekitar 10 kilometer dari penerima.
2. DATA DAN METODOLOGI
S Meter merupakan salah satu bentuk pengukuran yang digunakan untuk
mengetahui besarnya sinyal gelombang radio yang ditangkap oleh antena penerima.
Satuan nilai S Meter merupakan sebuah indeks yang satuannya setara dengan kuat
sinyal sebesar 6 dB. Konversi besarnya tiap nilai S Meter terhadap satuan mikro volt
(µV) atau desibel (dBm) dapat dilihat pada Tabel 1.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
320
Tabel 1. S-Meter, untuk penerimaan kuat sinyal (Ordy G.,2009).
S-reading Tegangan
(µV)
Kuat sinyal
(dBm)
S9+10dB 160.0 -63
S9 50.2 -73
S8 25.1 -79
S7 12.6 -85
S6 6.3 -91
S5 3.2 -97
S4 1.6 -103
S3 0.8 -109
S2 0.4 -115
S1 0.2 -121
Gangguan diatmosfer, yang terjadi melalui interaksi antara lapisan atmosphere
yang berbeda (atmosfer – ionosfer) terdapat pada gelombang planetari, tidal, gravitasi
dan gelombang infrasonic (Abdu M.A.,2005), dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan terhadap penerimaan kuat sinyal gelombang radio. Secara umum perbedaan
dari gelombang tersebut dapat dibedakan dari nilai periodenya. Gelombang planetari
berada pada periode 2 -30 hari, tidal pada periode 6, 8, 12 dan 24 jam, gelombang
gravitasi pada orde menit hingga jam dan gelombang infrasonic pada periode detik
hingga menit. Ada gelombang gravitasi periode pendek (short period ) yaitu berada
pada rentang periode 5 – 90 menit (Manson A. H., 2005). Analisis spectral pada kuat
sinyal, untuk mengetahui variasi sinyal yang berbentuk gelombang dilakukan dengan
menggunakan analisis harmonik.
Data yang digunakan adalah data kuat sinyal (signal strength) radio Terunajaya di
Pamengpeuk pada frekuensi 104,9 MHz, dari pengamatan dan perekaman spektrum
analizer tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 2013. Hasil pengamatan dan perekaman kuat
sinyal gelombang radio dengan menggunakan spektrum analizer yang ditempatkan di
BPD Pamengpeuk adalah dalam bentuk “text file”, dimana setiap “file data” berisi
matriks berukuran 100 baris dan 601 kolom. Adapun antar baris menunjukkan interval
waktu sekitar 7 detik dan antar kolom adalah adalah interval frekuensi sekitar 0,3 MHz
dengan rentang frekuensi 50 MHz sampai dengan 230 MHz. Pembacaan dan ploting
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
321
data dan variasi kuat sinyal untuk frekuensi 104,9 MHz dilakukan dengan
menggunakan Matlab. Contoh data kuat sinyal dan variasi kuat sinyal ditunjukkan
pada gambar 1.
.
Gambar 1 : (a) Data kuat sinyal dan (b) variasi kuat sinyal radio Terunajaya ,
frekuensi 104.9 MHz tanggal 5 Oktober 2013, jam 07 sampai dengan Jam 22 WIB.
Untuk mengetahui variasi kuat signal , dilakukan perhitungan secara statistik
yaitu harga rata rata, simpangan baku (standard deviasi) dan juga ditentukan nilai
maksimum dan minimumnya (Sudjana, M.A., 1992)
Persamaan harmonik yang digunakan bertujuan untuk mengetahui amplitude,
periode dan fase gelombang gravitasi, yang merupakan gangguan di ionosfer:
F(t)=Ao+ ∑ an Cos (2πt 45n=1
nT
) +∑ bn Sin (2πt nT
45n=1 ) (1)
dengan : T adalah periode dasar 90 menit; t adalah waktu dalam jam ( t = 1, 2, 3,.......,
90); n adalah bilangan harmonic ( n = 1, 2, 3, ................, 45); Ao, an dan bn adalah
koefisien harmonic; F adalah data kuat sinyal (mikrovolt).
Koefisien harmonic Ao, an dan bn dapat diperoleh melalui persamaan (1) ,Selanjutnya
untuk menentukan amplitudo ( An )digunakan persamaan :
퐴n= an + bn (2)
3. HASIL PEGOLAHAN DATA
Hasil pengolahan data variasi (data sesudah – data sebelumnya) kuat sinyal
(signal strength) frekuensi 104,9 MHz, yang terekam pada spectrum analyzer pada
tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 203, dalam interval detik (jam 07 sampai dengan jam 22),
dengan menggunakan analisis harmonik ( persamaan 1,persamaan 2 dan persamaan 3 ),
6 8 10 12 14 16 18 20 22-70
-65
-60
-55
-50
-45
-40
Waktu(Jam)
Sig
nal s
tren
gth
(dB
)
frek 104.9 MHz
6 8 10 12 14 16 18 20 22-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
Waktu(Jam)
Sig
nal s
tren
gth
(dB
)
frek 104.9 MHz
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
322
untuk mengetahui periode dan amplitudo gelombang, ditunjukkan secara berurutan pada
gambar 2a ,2b dan 2c serta tabel 2.
Gambar 2 : Periodisistas kuat sinyal frekuensi 104.9 MHz radio terunajaya pada
tanggal (a) 5 (b) 6 (c) 7 Oktober 2013, pada jam 08 sampai dengan jam 10 LT.
Tabel 2 : Harga minimum, maksimum, rata rata, standard deviasi , periode dan
amplitudo kuat sinyal pada frekuensi 140.9 MHz, Oktober 2013
Tanggal Kuat
sinyal
maksimum
(dB)
Kuat
sinyal
minimum
(dB)
Rata rata
Kuat
sinyal
(dB)
Standard
deviasi
(dB)
Periode
dominan
(menit)
Amplitudo
maksimum
(dB)
5 -42.84 -69.26 -46.96 3.53 30 0.83
6 -42.80 -71.17 -46.42 3.32 6 1.03
7 -42.93 -71.69 -46.75 3.71 5.63 1.04
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan kuat sinyal gelombang FM radio Terunajaya dengan
menggunakan spektrum analyzer pada tanggal 5 Oktober 2013 menunjukkan pola kuat
sinyal yang relatif stabil sampai sekitar jam 13 WIB dengan nilai kuat sinyal
maksimum sebesar -42,84 dB, namun cenderung menurun dari jam 13 hingga jam 22
WIB, dengan nilai minimum dari pola kuat sinyal sekitar – 55 dB (gambar 2 a)
sedangkan nilai variasinya ditunjukkan pada gambar 2b. Nilai rata rata kuat sinyal dari
jam 7 sampai dengan jam 22 WIB adalah sebesar -42,80 dB. Adanya variasi sesaat
sebesar -69.20 dB pada penerimaan kuat sinyal dapat terjadi, akibat adanya fading yang
diakibatkan banyaknya pantulan yang diterima oleh suatu penerima dengan sudut fase
yang berbeda, dan atau adanya pergeseran dopler akibat penghambur sinyal yang
0 10 20 30 40 50 60 70 80 900
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Periode (Meni t)
Am
plitu
do p
erub
ahan
Fie
ld s
tren
gth
(dB
)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 900
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Periode (Menit)A
mpl
itudo
per
ubah
an F
ield
str
engt
h (d
B)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 900
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Periode (Menit)
Am
plitu
do p
erub
ahan
Fie
ld s
treng
th (d
B)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
323
bergerak, sebagaimana mana yang dinyatakan dalam pendahuluan. Walaupun secara
teori, hal tersebut dinyatakan, namun diperlukan data pendukung berkaitan dengan hal
tersebut, seperti nilai indeks bias dan karakteristik penghambur sinyal di atmosfer dan
permukaan bumi. Standard deviasi, yang merupakan salah satu ukuran dari penyebaran
data adalah sebesar 3,53 dB. Hal yang sama juga tampak pada pola data spektrum
analizer pada tanggal 6 dan 7 Oktober 2013 dengan nilai maksimum, minimum, rata
rata dan standard deviasi yang hampir sama (tabel 2). Mengacu pada tabel 1 pada
bagian pendahuluan, secara umum pemancar gelombang radio FM terunajaya dengan
frekuensi 104.9 MHz dapat terdengar dengan baik. Variasi kuat sinyal (nilai kuat
sinyal sesudah dan sebelumnya ) pada tanggal 5 Oktober 2013 (gambar 2b)
menunjukkan suatu pola spectrum, yang berbentuk gelombang yang kemudian dengan
menggunakan metode analis harmonik (persamaan 1 dan 2), dihitung periodisitas dan
amplitudonya. Diperoleh nilai periodisitas maksimum dan amplitudonya secara
berurutan adalah pada tanggal 5 Oktober adalah 30 menit dan 0, 83 dB. Sedangkan pada
tanggal 6 Oktober diperoleh nilai periodisitas dan amplitudonya adalah 6 menit dan 1,3
dB dan pada tanggal 7 Oktober nilai periodisitas dan amplitudonya adalah 5,63 menit
dan 1,63 dB (gambar3 dan tabel 2). Nilai periodisitas yang diperoleh pada tanggal 5, 6
dan 7 Oktober tersebut, merupakan periode gelombang gravitasi , yang merupakan
salah satu gangguan yang terjadi di daerah atmosfer bawah.
5. KESIMPULAN Dari hasil variasi nilai maksimum, minimum, rata rata dan standar deviasi kuat
sinyal gelombang radio FM radio terunajaya frekuensi 104.9 MHz dengan daya 5
kilowatt, pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 2013 menunjukkan bahwa siaran dapat
diterima dengan baik. Tampak adanya fading, variasi kuat sinyal, skala besar yang
dimulai pada sekitar jam 13 hingga jam 22 wib, yang mencapai minimum antara -55
dB dan 50 dB. Sedangkan fading skala kecil pada tanggal 5, 6 dan 7 diperoleh dengan
nilai minimum secara berurutan adalah -69,26 dB, -71,17 dB dan -71,29 dB.
Periodisitas kuat sinyal diperoleh sebesar 5.6 menit, 6 menit dan 30 menit adalah
gelombang gravitasi periode pendek.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
324
DAFTAR RUJUKAN
Abdu M.A., et al., 2005 “ Planetary Wave Signatures in The Equqtorial atmosphere –
Ionosphere system and Mesosphere E – and F- region Coupling” Journal of
Atm.And Terres
“ Introduction to HF Radio Propagation, IPS Radio and Space Services “, http : // www
.ips . gov.au (diakses 4Juli 2013)
KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS, Universitas Sumatera Utara , http: //
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21608/4/chapter%20II.pdf (diakses 10
Juli 2013)
Manson A. H dan Meek C. E, “Gravity waves of short period (5-90 min), in the lower
at 520N (Saskatoon, Canada)”, Journal of Atm.And Terres. Physics, Vol 42,
during the Darwin Area Wave Experiment (DAWEX) and their dominant source
regions”, Journal of Gophysical Research, Vol.110 (2005), D03S90.
Ordy G, “W8WWW-S Meter Lite Software”, (2009). http:// www .seedsolutions / com
/ gregordy Software / SMeterLite.htm (diakses 12 Agustus 2013).
Sudjana, M.A.,M.Sc., PhD, “ Metode Statistika”., Penerbit : Tarsito Bandung, 1992.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
325
KAJIAN RADAR PASIF UNTUK PENGAMATAN IONOSFER
Mumen Tarigan, Buldan Muslim dan Syahril
Peneliti Bidang Teknologi Pengamatan , Pussainsa Lapan Jl.DR. Junjunan No. 133 Bandung 40173 Telp.(022) 6012602 Fax.(022) 6014998
Abstrak Ionosfer yang merupakan daerah atmosfer terionisasi, terletak pada ketinggian sekitar 50 sampai dengan ketinggian 1000 km. Kumpulan elektron yang merupakan hasil ionisasi, per satuan volum dinyatakan sebagai kerapatan elektron. Fluktuasi kerapatan elektron yang mengakibatkan irregularitas ionosfer, dapat diamati diantaranya dengan menggunakan radar konvensional atau disebut juga sebagai radar aktif dan dengan radar pasif. Di LAPAN, saat ini pengamatan irregularitas ionosfer masih menggunakan metode radar konvensional, dimana pemancar dan penerima radar dalam satu sistem. Pada radar pasif, tidak ada pemancar khusus, penerima menggunakan pemancar disekitarnya, sehingga biaya operasionalnya lebih murah. Makalah ini membahas kajian radar pasif untuk pengamatan irregularitas ionosfer untuk mengetahui sistem radar pasif dan kemungkinannya untuk dapat digunakan di Indonesia. Kajian dilakukan berdasarkan studi literatur tentang radar pasif yang sudah ada. Karena Indonesia merupakan wilayah yang luas dengan topografi yang mendukung dan terdapatnya pemancar FM yang tersebar, maka peluang pembangunan radar pasif di Indonesia cukup besar. Namun demikian perlu dilakukan survey lapangan untuk mengetahui kelayakan pemancar radio FM yang dapat digunakan sebagai sumber sinyal radar pasif. Kata kunci : Radar pasif, irregularitas ionosfer dan radio FM
Abstract Ionosphere which is the ionized atmosphere, located at an altitude of about 50 to 1000 km. Collection of electrons that are the result of ionization per unit volume is expressed as the electron density. Electron density fluctuations resulting irregularitas ionosphere, can be observed such as by using conventional radar or radar referred to as active and passive radar. In LAPAN, current observations of ionospheric irregularitas still using conventional radar, where the transmitter and receiver in a radar system. In passive radar, no special transmitter, receiver using a transmitter around it, so that operational costs are cheaper. This paper discusses the study of passive radar observations of ionospheric irregularitas to find passive radar system and likely to be used in Indonesia. The study is based on a literature study of existing passive radar. Because Indonesia is a vast territory with topography supports and the presence of an FM transmitter that are spread, the passive radar development opportunities in Indonesia is quite large. Nevertheless, necessary field surveys to determine the feasibility of FM radio transmitter that can be used as a source of passive radar signal. Keywords: Passive radar, ionospheric irregularities and FM radio
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
326
1. PENDAHULUAN
Irregularitas ionosfer atau plasma buble adalah fluktuasi kerapatan elektron
diionosfer (ionospheric electron density), akibat ketidak stabilan plasma (gas yang
terionisasi menjadi ion dan elektron). Irregularitas ionosfer dapat terjadi di lintang
rendah hingga lintang tinggi.- Didaerah equator dapat terjadi pada sekitar lintang
magnet (magnetic latitude) 20 derajat, dengan puncak anomali pada sekitar 15 derajat.
Parameter dari irregularitas adalah velocity, scale size, time duration and power
spectrum. Wujud irregularitas di Ionosfer yang tampak melalui pengamatan ionosonde
adalah Spread F, dengan GPS berupa Sintilasi dan dengan radar adalah Plume dan lain
lain.
Irregularitas ionosfer dapat terjadi dari ketinggian sekitar 100 km hingga 1000
km dari permukaan bumi dengan arah pergerakan kearah timur. Menurut Patra1
(2009) dan Gennady (2008) bahwa skala irregularitas dapat dinyatakan sebagai,
irregularitas skala kecil (small scale irregularities) dengan orde beberapa puluh
sentimeter hingga puluhan meter, irregularitas skala menengah dengan ukuran 0.1
hingga 1 killometer dan skala besar dengan ukuran 1 sampai 2 km. Waktu kejadian
irregularitas ionosfer didaerah ekuator adalah setelah matahari terbenam hingga
sebelum matahari terbit yaitu sekitar jam 19 hingga jam 05 waktu setempat. Kejadian
irregularitas ionosfer dapat berpengaruh terhadap komunikasi gelombang radio berupa
fluktuasi penerimaan kuat signal (signal strength) dan fase, sehingga penerimaan
tidak stabil (fading ), serta berpengaruh terhadap penentuan posisi dan navigasi dengan
GPS dan lain lain. Pengamatan irregulariatas ionosfer untuk berbagai skala irregularitas
telah teramati, diantaranya dengan menggunakan airglow dengan panjang gelombang
630 nm untuk mengamati skala irregularitas lebih besar dari 200 km, dengan data GPS
TEC diketahui skala irregularitas antara 10 hingga 100 km, dan dengan data sintilasi
dapat diketahui skala irregularitas sekitar 300 km. Penggunaan radar aktif VHF telah
diperoleh skala irregularitas 3m (Michi Nishioka ).
Pengamatan irregularitas ionosfer dengan radar aktif pada skala 3m (1/2 panjang
gelombang, λ), diatas Kototabang telah dilakukan dengan radar aktif EAR dengan
frekuensi 47 MHz ( Buldan dkk, 2004). Kajian radar pasif untuk pengamatan
irregularitas ionosfer adalah suatu kegiatan studi pustaka untuk mengetahui potensi
penggunaan radar pasif di Indonesia . Irregularitas ionosfer skala sekitar 1.5 meter telah
dapat diamati dengan radar pasif di lintang tengah. Indonesia yang terletak di lintang
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
327
rendah, belum pernah melakukan pengamatan irregularitas skala 1.5 meter .
Penggunaan radar pasif MRR (Manastash Ridge Radar) yang dapat menerima sinyal
gelombang radio FM dalam orde 88 sampai dengan 108 MHz ( panjang gelombang
antara 3.4 dan 2.8 meter) , dapat digunakan untuk mengamati irreguritas sekitar 1.5
meter dan keperluan lainnya seperti pengamatan meteor, pesawat terbang dan lain lain.
Beberapa pemancar siaran radio FM dengan daya pancar 10 kw atau lebih di Indonesia,
antara lain terdapat di Surabaya, Cirebon, Bandung, Jakarta dan lain lain. Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau, yang
terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan,
dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua
yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977
mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau
itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi sekitar 1.9 juta mil persegi. Posisi
strategis ini, memerlukan peralatan pengamatan ionosfer, dengan cakupan yang luas
dan biaya relatip murah.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 RADAR
2.1.1. Berdasarkan sistem pemancar dan penerima radar dapat dibagi menjadi:
a) Radar aktif adalah Pemancar dan penerima dalam satu sistem, berada di lokasi
yang sama.
b) Radar pasif adalah pemancar dan penerima tidak dalam satu sistem, tetapi berada di
lokasi yang berbeda.
2.1.1a. Radar pasif dapat dibagi menjadi dua sistem:
- System Bistatic Radar yaitu terdiri dari satu pemancar dan satu penerima dimana
baik pemancar, dan / atau penerima, adalah stasioner dan di lokasi yang
berbeda.
- System Multistatic Radar sama dengan bistatic, namun terdiri dari dua atau lebih
pemancar dan / atau penerima stasioner, yang terpisah pada jarak jauh
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
328
2.1.2. Berdasarkan system hamburan signal:
- Incoherent Scatter Radar Systems yaitu radar yang menerima gelombang yang tidak
sefase.
- Coherent Scatter Radar Systems yaitu radar yang menerima gelombang yang
sefase.
- Sistem coherent scatter radar digunakan oleh radar pasif untuk memperoleh
sinyal yang kuat
2.2. HAMBURAN SINYAL YANG DITERIMA RADAR PASIF .
Teknik hamburan sinyal digunakan untuk penelitian atmosfer atas. Coherent
scatter radar adalah tehnik pengamatan dimana radar mendeteksi energi yang
dipancarkan dari dalam medium ketika ada variasi indeks bias dalam suatu volume
tertentu karena adanya irregularitas. Hal ini analog dengan hamburan Bragg (Bragg
scattering) sinar-X oleh kristal . Ionosfer sebagai penghambur berisi irregularitas dari
berbagai ukuran yang berbeda. Sinyal yang dihamburkan dari irregularitas ionosfer
dengan jarak setengah panjang gelombang (λ/2) yang saling memperkuat oleh
interferensi konstruktif dapat menghasilkan sinyal yang cukup kuat untuk dideteksi oleh
penerima. Istilah “koheren” digunakan untuk interferensi konstruktif, yaitu gelombang
dengan panjang gelombang dan fase yang sama , sebaliknya untuk yang tidak koheren .
Mekanisme yang menggambarkan sinyal hamburan, yang diukur dengan radar pasif
adalah hamburan yang koheren (coherent scatter).
2.3. SISTEM PENERIMAAN RADAR PASIF MRR ( Manastash Ridge Radar)
Beberapa tahun terahir telah dikembangkan system pengamatan irregularitas
ionosfer di Amerika dengan menggunakan radar pasif. Radar pasif MRR merupakan
sistem radar pasif yang menggunakan pemancar radio FM sebagai sumber sinyal .
Sistem dirancang beroperasi pada frekuensi antara 88 dan 108 MHz , dimana
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu penerima (receiver)
dan dilakukan secara serempak waktunya melalui Global Positioning System. Fungsi
radar adalah memonitor irregularitas ionosphere. pesawat udara, meteor trails, dan
kejadian lainnya.. MRR adalah jaringan radar VHF yang berada di Barat laut pasifik (
Pacific Northwest). Sistem radar terdiri dari penerima yang terpisah secara spasial
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
329
dengan menggunakan dua jenis antenna, satu di lingkungan sinyal yang kuat di
Universitas Washington, UW (47.65 N; 237.69 E), untuk menerima sinyal dari
pemancar FM. Dan yang lainnya di lingkungan sinyal yang lemah (weak signal
environment) di MRO, Manastash Ridge Observatory (46.95°N ; 120.72°W).
Hamburan bragg (Bragg scatter) dapat terjadi diantaranya dari turbulensi daerah E (E-
region turbulence). Dua penerima (receiver) sinyal ditempatkan terpisah sekitar 180
km (jarak antara UW dan MRO). Sebuah antena tunggal di Universitas Washington
menerima gelombang permukaan FM ( FM waveform) dari transmitter komersil.
Antena di UW merupakan antenna radio FM dipole standard, digunakan untuk
menerima gelombang FM secara langsung dari pemancar (transmitter) radio komersil
FM . Antena ini cukup baik digunakan, dimana directivity tidak diperlukan ( Frank D.
Lind ;2001). Sinyal yang dihamburkan ( scattered signal ) yang diterima di Manastash
Ridge Observatory, MRO. Di MRO, relatif lebih lemah dibandingkan dengan yang
diterima di UW, sehingga diperlukan directivity lagi, yaitu dengan menggunakan
antenna log periodic yagi, yang ditempatkan dipuncak tower di observatory. Kedua
sinyal (dari UW dan MRO), digabung dan diolah dengan software yang telah tersedia
yaitu sistem software MRR dengan menggunakan bahasa C, C++, and Perl. HTML
(Dawn M. ; 2001) . Perkiraan biaya pengadaan peralatan suatu radar pasif yang meliputi
komponen utama (Major Component Index) dan komponen minor (Minor Component
Index) adalah Rp. 201. 884. 500 (1$ = Rp.9500,-).Sistem pengamatan irregularitas
dengan MRR ditunjukkan pada gambar 1. dan contoh hasil pengamatan irregularitas
ionosfer dengan MRR pada frekuensi 100 MHz ditunjukkan pada gambar 2.
UW MRO
Gambar 1: Sistem pengamatan irregularitas dengan MRR
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
330
Gambar 2: Jarak dan kecepatan, yang menunjukkan adanya irregularitas ionosfer
pada jarak lebih dari 700 km dengan resolusi kecepatan 1.5 m/det dan resolusi waktu 5
detik. Irregularitas terkuat (strongest irregularities ) adalah antara 4 dan 6 dB (Frank D.
Lind, 1999).
3. PEMBAHASAN
Dari studi literatur yang dilakukan terhadap kajian radar pasif untuk
pengamatan ionosfer , tampak bahwa radar MRR cocok digunakan di Indonesia
mengingat letak Indonesia yang terletak didaerah sekitar ekuator, dimana irregularitas
ionosfer sering terjadi pada sore hari (setelah matahari terbenam) dan malam hari
(sebelum matahari terbit). Pergerakan irregularitas ionosfer dari barat ke timur
merupakan salah satu hal penting dalam menentukan lokasi pengamatan irregularitas
ionosfer di Indonesia. Pengamatan irregularitas ionosfer dengan radar MRR yang
dilakukan di Amerika, dimana penerima sinyal terhalang dengan daerah pegunungan
Rainer setinggi sekitar 3000 meter, untuk mendukung perolehan sinyal hamburan,
memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia , yang banyak terdapat pegunungan.
Pengamatan irregularitas ionosfer dengan menggunakan radar pasif MRR pada
ketinggian sekitar 300 km (gambar 2) juga diperoleh pada pengamatan irregularitas
dengan menggunakan radar aktif EAR. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa
pengamatan irregularitas dengan radar aktif EAR, menggunakan pemancar dengan
frekuensi 47 MHz, yang menyatu dalam satu sistem dengan penerima. Harga yang
ekonomis, dengan tanpa pemancar yang menyatu dalam suatu sistem seperti radar, yang
biasa disebut dengan radar pasif dan ketersediaan pemancar FM dalam rentang
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
331
frekuensi 88 sampai dengan 108 Mhz, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam pembangunan radar, khususnya radar pasif MRR.
4. KESIMPULAN
Dari kajian literatur diperoleh bahwa pengamatan irregularitas ionosfer dapat
dilakukan dengan penggunaan pemancar radio FM yang sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan menyangkut power pemancar, sistem antena dan objek pengamatan
berkaitan dengan lokasi, waktu kemunculan dan arah pergerakan irregularitas ionosfer.
Hal penting lainnya adalah topografi daerah pengamatan berupa pegunungan,
diperlukan untuk mendukung penerimaan sinyal hamburan dari irregularitas ionosfer.
DAFTAR RUJUKAN. A. K. Patra1 and D. V. Phanikumar1 (2009) ,” Intriguing aspects of F-region plasma
Irregularities revealed by the Gadanki radar observations during the
SAFAR campaign” Published: 6 October 2009.
Buldan dkk, “Hasil Awal Pengamatan Irregularitas Ionosfer Daerah F “
diatas Kototabang menggunakan Equatorial Atmosphere Radar, Prosiding
Seminar Nasional Sains Antariksa Dalam Pengembangan Potensi
Dirgantara Bdg, Desember 2004
Daftar radio FM di Indonesia , http://www.asiawaves.net/indonesia-fm-radio-96.htm ,
di download 14 Juli 2012
Dawn M. Gidner, Frank D. Lind, J.D. Sahr, and Chucai Zhou (2001) “The Manastash
Ridge Radar Software Manual” The University of Washington Radar
Remote Sensing Laboratory
Frank D. Lind and Dawn M. Gidner (2001)” The Manastash Ridge Radar Hardware
Reference Manual” The University of Washington Radar Remote Sensing
Laboratory
Frank D., Et al (1999) “First passive radar observations of auroral E- Region
irregularities”
Frank D. Lind “Passive Radar and Ionospheric Irregularities”
Michi Nishioka “Plasma bubble in the ionosphere” Department of Geophysics
Kyoto University.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
332
Pavel BEZOUŠEK1, Vladimír SCHEJBAL (2008) Bistatic and Multistatic Radar
Systems “Bistatic and Multistatic Radar Systems” RADIOENGINEERING,
VOL. 17, NO. 3, SEPTEMBER 2008.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
333
ANALISIS DATA KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO VHF DI PAMENGPEUK DENGAN PERGESERAN SUDUT
ANTENA UNTUK PENENTUAN POSISI PEMANCAR
Peberlin Sitompul, Mumen Tarigan, Timbul Manik, Sutan Syahril
Pussainsa Lapan Jl.DR. Junjunan No. 133 Bandung Telp.(022) 6012602 Fax.(022)6014998
Email : [email protected]
Abstrak Gelombang radio VHF dari suatu pemancar yang merambat melalui atmosfer bumi menuju ke suatu penerima, akan mengalami perubahan kuat sinyal. Besarnya perubahan kuat sinyal tersebut diamati dengan menggunakan spectrum analyzer. Pengamatan kuat sinyal gelombang radio VHF di Pamengpeuk dilakukan dengan posisi antenna yang tetap dan dengan pergeseran sudut antenna. Dengan perubahan arah, maka sumber pemancar bisa di tentukan Kata kunci : pencarian arah, interferrometer, polarisasi
Abstract VHF radio wave that emitted by transmitter propagate through atmosphere to a receiver will encounter alteration of signal strength. The signal strength alteration monitored with spectrum analyzer. Monitoring of radio signal strength at Pameungpeuk done by change angle of antenna position. By the direction change, then emitter source can be determined. Keyword : direction finding, interferrometer, polarization
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
334
1. PENDAHULUAN
Direction finder (DF) digunakan untuk mencari sumber interferensi, mencari
sumber pemancar radio, pemantauan dari radio komunikasi organisasi kriminal,
mendeteksi aktivitas dari musuh potensial dalam kondisi perang, space division multiple
access memerlukan pengetahuan arah dari gelombang datang, radio astronomy, remote
sensing. Tujuan direction finder adalah untuk memperkirakan arah dari pemancar radio
dengan cara mengukur dan mengevaluasi parameter medan elektromagnetik yang
dipancarkanya. Umumnya, sudut azimuth α sudah cukup untuk menentukan arah
pemancar. Pengukuran elevasi ε diperlukan untuk penentuan pemancar radio yang
bergerak atau terbang dan khusus-nya untuk sinyal radio dengan gelombang pendek
Sudut gelombang ditunjukkan pada gambar 1.
Jika perambatan gelombang tidak terganggu atau tidak terjadi pantulan berulang,
maka arah dari pemancar akan identik dengan arah sudut datang gelombang radio.
Direction finder mengambil sample data ruang dan waktu dari muka gelombang dan
memperkirakan α dan ε sebagai arah yang paling mungkin dari pemancar yang sedang
diamati.
Gambar 1: Penentuan sumber pemancar [1]
Medan listrik dan medan magnet selalu tegak lurus dan se-phasa satu sama lain,
dan keduanya tegak lurus ke arah perambatan, yang di definisikan dengan vektor
kerapatan radiasi (poynting vector) S.
푆̅ = 퐸 푥 퐻 = 푒 푥 | |
dengan E = nilai rata-rata intensitas medan listrik
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
335
Z0 = impedansi karakteristik dari ruang vakum. 푍 = 120휋 (ohm)
atau dengan vektor bilangan gelombang.
풌 = 풆ퟎퟐ흅흀
Polarisasi gelombang radio merupakan arah dari medan listrik [2]. Untuk gelombang
elektromagnetik, merupakan vektor medan listrik (E) dan medan magnet (B). Arah
polarisasi gelombang elektromagnetik yang merupakan sebuah konvensi searah dengan
medan listrik [3]. Untuk memudahkan analisa, secara umum diasumsikan medan
dengan tiga komponen vektor pada sumbu x, y, z.
Persamaan gelombang yang diperlukan untuk analisa gelombang (persamaan
maxwell) di ruang vakum adalah
훻.퐸 = 0
훻.퐵 = 0
훻푥퐸 = −휕퐵휕푡
훻푥퐵 = 휀 휇 (1)
Arah gelombang radio ditentukan dengan arah perkalian silang vektor 퐸 푥 퐵. Persamaan
yang menjelaskan gelombang bidang yang merambat ke arah sumbu z dalam koordinat
kartesian dan dipolarisasi secara linier kearah sumbu-x ditunjukkan dengan persamaan
2.
퐸(푧, 푡) = 퐸 푋 cos(푘푧 − 휔푡) (2)
dengan 푘= 2휋휆 dan 휔=2휋푓 dan 푋 = vektor satuan kearah sumbu x
퐼(휃) = 퐼 푐표푠 휃 (3)
Persamaan 3 menunjukkan hubungan amplitudo sinyal terhadap perubahan sudut
polarisasi. 퐼o merupakan amplitudo sinyal yang diterima jika gelombang searah dengan
bidang antenna, dengan sudut polarisasi 휃.
2. METODE PENELITIAN
Perambatan gelombang elektromagnetik disebabkan oleh proses pemuatan dan
pelepasan muatan listrik pada penghantar listrik yang dapat ditunjukkan seperti
gambar 2 dengan bentuk arus bolak-balik [4].
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
336
(a) (b)
Gambar 2 : Pemuatan dan pelepasan muatan listrik
Gambar 2(a) menunjukkan proses pemuatan dan pelepasan medan listrik dari sebuah
antena short dipole . Jika sebuah antena ditempatkan disebuah bidang pada sumbu z
dengan panjang Δz, maka medan listrik akan menyebar disekitar antena. Arah medan
listrik berubah sesuai polaritas arus listrik. Arus listrik tersebut ditentukan oleh
polaritas muatan listrik seperti ditunjukkan gambar 2(b). Jika polaritas muatan di
sumbu z positif lebih positif, maka medan listrik akan bergerak dari atas kebawah. Dan
sebaliknya jika muatan disumbu z negatif lebih positif maka medan listrik bergerak dari
bawah keatas. Waktu perubahan antara positif dan negative tergantung frekuensi sinyal
yang dipancarkan. Prinsip utama direction finding didasarkan pada sifat gelombang
elektromagnetik yaitu : Vektor medan listrik dan medan magnet selalu tegak lurus ke
arah perambatan. Metode yang digunakan untuk pengukuran penentuan sumber
pemancar ada dengan metode A dan metode B. Pengukuran dengan metode A yaitu
dengan mengukur arah dari vektor medan listrik dan atau medan magnet, dimana
parameter yang ditentukan adalah polarisasi sinyal (polarization direction finder) .
Pengukuran dengan metode B yaitu dengan pengukuran orientasi dari permukaan dari
fasa (phase direction finder).
Penentuan posisi sumber pemancar dengan metoda polarization direction finder
dilakukan dengan menggunakan antena dipole dan loop. Sedangkan penentuan sumber
pemancar dengan phase direction finder menentukan posisi pemancar dari orientasi
spasial garis atau permukaan dari phasa yang sama dilakukan dengan memasang
beberapa antena penerima dengan pola tertentu. Perbedaan fasa antara antena penerima
diproses untuk penentuan posisi pemancar. Metode ini sering disebut dengan metoda
interferometer. Untuk memperoleh pengukuran yang lebih baik maka diperlukan sistem
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
337
dengan akurasi, sensitifitas yang tinggi, dan juga ketahanan terhadap distorsi medan
yang disebabkan multi path. Komponem sistem yang diperlukan untuk penentuan arah :
antena, converter of direction finder, layar untuk monitor.
(a) (b)
Gambar 2: (a) Perputaran antena (b) Arah mata angin
Dalam penelitian ini, penentuan arah sumber pemancar dilakukan dengan cara
memutar antena dengan sudut 45 derajat, dimana elemen antena diarahkan ke timur-
barat, dan posisi ini dianggap sebagai nol derajat. Kemudian elemen antenna diarahkan
kearah tenggara - barat laut dan posisi ini dianggap sebagai 45 derajat. Terakhir posisi
elemen antenna diarahkan keposisi utara-selatan, dan posisi ini dianggap 90 derajat.
Pengukuran pada percobaan ini menggunakan metoda polarization direction finders,
seperti ditunjukkan oleh gambar 2(a) dan 2(b), dengan menggunakan antena log-
periodik CLP5130-1.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
338
3. ANALISA DAN HASIL
Gambar 3(a): Amplitudo sinyal radio
Gambar 3(b): Amplitudo Sinyal Radio dengan frekuensi 107.4 MHz
50 1200 214 378 542 706 870 1034
107
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
339
Gambar 3(a) menunjukkan amplitudo sinyal pada interval frekuensi 50-1200 MHz
yang diperoleh dengan 3 kondisi sudut antenna, yaitu 0, 45, 90 dan 135 derajat. Gambar
3(b) menunjukkan amplitudo sinyal yang sama seperti pada gambar 3(a), tetapi
dikhususkan untuk frekuensi 107.4 MHz ± 1.9 MHz. Sinyal tersebut merupakan
pemancar radio yang bisa diperoleh posisinya.
4(a) 4(b)
Gambar 4 : (a). Arah antenna (b). Amplitudo sinyal terhadap perubahan sudut antena
Sumber pemancar gelombang berasal dari pemancar radio dengan frekuensi 107.4 MHz,
yang berada diarah timur laut. Gambar 4(a) menunjukkan posisi antena dan gambar
4(b) menunjukkan amplitudo sinyal radio terhadap perubahan sudut polarisasi antena.
Amplitudo maksimum terjadi ketika posisi antena pada sudut 45 derajat.
Gambar 5: Posisi sumber pemancar FM
0
90
180
270
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
340
Dari percobaan diperoleh, untuk posisi antena disudut 0 derajat -43,45 dB,
disudut 45 derajat -42,82 dB, disudut 90 derajat -43,3 dB, sedangkan disudut 135
derajat -44,59 dB. Diperoleh bahwa amplitudo sinyal berubah berdasarkan arah dari
posisi antena. Amplitudo maksimum diperoleh ketika antenna diarahkan pada sudut 45
derajat dengan amplitudo - 42.82 dB. Kemudian diikuti sudut 90 derajat dan 45 derajat
dengan amplitude -43,3 dB dan -43.45 dB. Karena arah sumber sinyal pemancar
selalu tegak lurus dengan posisi antena., sehingga sumber pemancar diperkirakan pada
sudut 305 derajat, seperti ditunjukkan dalam gambar 5.
4. KESIMPULAN Sumber pemancar dari gelombang radio dapat ditentukan dengan perubahan
posisi antena. Perubahan sudut antena berpengaruh terhadap amplitude sinyal yang
diterima. Sumber pemancar ditentukan dari amplitude terbesar. Dari percobaan
diperoleh amplitude terbesar pada saat sudut antenna 45 derajat dengan amplitudo -
42.82 dB. Pada posisi ini merupakan sumber pemancar radio FM pada frekuensi 107.4
MHz.
DAFTAR RUJUKAN Rohde dan Schwarz, “Introduction into Theory of Direction Finding”, Radiomonitoring
& Radiolocation, Catalog 2011/2012
Thomas A. Milligan, “Modern Antenna Design”, A John Wiley & Sons, Inc,
Publication
http://instructor.physics.lsa.umich.edu/int-labs / Chapter4.pdf (22/11/2013)
Stutzman, Warren L, “Antenna Theory and Design”, John Wiley & Sons, Inc, page 80.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
341
KOMPUTASI AWAN SEBAGAI SOLUSI DALAM PENGHEMATAN BIAYA TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG
Rizal Suryana
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Dr Djundjunan No. 133 Bandung
Abstrak Teknologi informasi dan komunikasi menjadi faktor penting dalam mendukung kegiatan suatu instansi/lembaga, namun teknologi informasi dan komunikasi membuat pengeluaran anggaran menjadi bertambah tinggi seiring dengan semakin bergantung instansi/lembaga pada teknologi informasi dan komunikasi. Biaya pengeluaran yang besar terjadi pada investasi operasional dan pemeliharaan perangkat keras maupun perangkat lunak. Biaya investasi yang dikeluarkan meningkat dua kalinya pertama untuk kebutuhan server utama, media penyimpanan dan kebutuhan server cadangan, biaya ini akan terus meningkat berbanding lurus dengan jumlah aplikasi/server yang beroperasi dalam mendukung operasional instansi/lembaga. Harga server cadangan akan sama atau satu tinggkat lebih murah dibanding harga server utama, ini dilakukan untuk menjaga operasional sistem teknologi informasi dan komunikasi. Biaya operasional dan pemeliharaan yang harus dikeluarkan meliputi biaya tagihan listrik PLN, biaya sewa internet. Pengeluaran biaya pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi dapat dihemat dengan menggunakan teknologi komputasi awan. Teknologi komputasi awan dapat menghemat biaya pengeluaran pada investansi dan operasional. Satu server dengan teknologi komputasi awan dapat mengganti banyak server yang dibangun dengan sistem konvensional. Penghematan terjadi pada investasi perangkat keras dan operasional sistem teknologi informasi dan komunikasi LAPAN Bandung. Kata Kunci : Komputasi Awan, TIK, IaaS
Abstract Information and communication technology is an important in supporting the activities of an institution, but the information and communication technology to make high-budget to increase as more dependent institutions on information technology and communications. The high Cost expenditure occurred in the investment, operation and maintenance of hardware and software. Investment costs will be increase, the first for main server, storage and requirement for backup server, these costs will continue to increase proportional to the number of applications / servers that operate in support of operational institution. Backup server will be the same price or cheaper than the main server, this is done to keep the system operational information and communication technology. Technology cloud computing can be saving investment and operational costs. One server can change a lot of server that develop with conventional system. Low cost occurred in investment hardware and operational information communication technology at LAPAN Bandung. Keywords : Cloud Computing, ICT, IaaS
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
342
1. LATAR BELAKANG Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mengarah pada kemudahan
dan kenyamanan sehingga kegiatan yang tadinya membutuhkan waktu sekarang dapat
dikerjakan dengan hitungan menit. Teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi
trend pada saat ini adalah komputasi awan, dimana komputasi awan berbasis jaringan
internet sebagai tulang punggungnya. Komputasi awan merupakan suatu jenis teknologi
komputasi yang menyediakan kemampuan yang berhubungan dengan teknologi
informasi sebagai suatu layanan dimana memungkinkan pengguna dapat mengakses
data melalui teknologi komputasi awan (Rifqi, 2011). Komputasi awan memberikan
pelayanan pada kemudahan, kecepatan pembangunan aplikasi dan kenyamana, sehingga
akan lebih menghemat biaya investasi dan operasional. Sebelum komputasi awan
muncul, pembangunan/pengembangan layanan komputasi yang mendukung kebutuhan
kegiatan lembaga, instansi dan perusahan sedikit terhambat/terlambat. Keterlambat
tersebut dipengaruhi proses investasi, installasi dan konfigurasi server, proses investasi
yang menjadi faktor keterlambatan paling besar yaitu proses pengadaan barang yang
membutuhkan waktu yang relative lama.
Perkembangan teknologi sangat pesat membutuhkan sumber daya manusia yang
handal dan membutuhkan sumber energi yang tinggi terutama sumber energi listrik.
Pada sisi lain perkembangan energi listrik di Indonesia lebih lambat jika dibandingkan
dengan perkembangan perangkat komputer di Indonesia. Pada beberapa waktu
kebelakang khusunya Jawa barat pernah mengalami mati listrik secara bergantian,
dimana hal ini akan mengurangi kinerja dari instansi, lembaga dan perusahaan.
Kejadian tersebut memicu munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia
nomor 79 tahun 2009 tentang konversi energi, dimana pada PP tersebut terdapat satu
pasal 12 yang berbunyi pemanfaatan energi oleh pengguna sumber energi pengguna
energi wajib dilakukan secara hemat dan efisien. Menteri energi dan sumber daya
mineral juga mengeluarkan peraturan menteri tentang hemat energi nomor 12 tahun
2013.
Komputasi awan menjadi sebuah solusi untuk mendukung pelaksanaan PP No
79 tahun 2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 12 tahun 2013, selain hemat energi
komputasi awan dapat menghemat biaya investasi dan biaya operasional dalam
pelaksanaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Penghematan biaya investasi
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
343
dapat mengurangi biaya pembelian server baru kita membangun sebuah aplikasi/sistem
informasi baru.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Komputasi awan pada dasarnya adalah menggunakan internet-based service
untuk mendukung proses bisnis. Kata-kata “Awan/Cloud” sendiri merujuk kepada
simbol awan yang di dunia TIK digunakan untuk menggambarkan jaringan internet
(Internet Cloud). Komputasi awan adalah gabungan pemanfaatan teknologi komputer
dan pengembangan berbasis internet (Rifqi). Faktor utama yang mendorong
berkembangnya komputasi awan adalah peningkatan kecepatan bandwidth internet,
teknologi visualisasi dan perangkat lunak, dimana ketiga komponen tersebut merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan dari komputasi awan.
Komputasi awan yang lebih mengedepankan pada layanan, maka terdapat tiga
layanan dalam sistem komputasi awan yang terdiri dari Software as a Service (SaaS),
Platform as a Service (PaaS) dan Infrastructure as a Service (IaaS) (Oktariani, 2011).
Pada makalah ini yang menjadi fokus untuk menghematan biaya akan menggunakan
kajian komputasi awan pada Infrastructure as a Service. IaaS menawarkan sebuah
layanan dalam hal sumber daya teknologi informasi yang meliputi prosessor, memori,
media penyimpanan, perangkat jaringan dan sistem operasi.
Gambar 1: Komputasi Awan Model IaaS (VMWare.com)
Pada gambar 1. Menunjukan infrastruktur komputasi awan dalam berbagi sumber daya,
dimana satu server fisik dapat digunakan beberapa server dengan sistem operasi dan
aplikasi yang berbeda-beda, sedangkan pada sistem komputasi konvesional dimana satu
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
344
server fisik hanya digunakan satu aplikasi dan sistem operasi yang artinya server
tersebut tidak dapat dibagikan sumber dayanya untuk server yang lain.
Penerapan teknologi informasi dan komunikasi di LAPAN Bandung membawa
perubahan baik pada kinerja karyawan, selain membawa perubahan pada kinerja
penerapan TIK juga membawa perubahan dalam angaran belanja. Penerapan TIK di
LAPAN Bandung ini telah dibebankan sejumlah biaya baik itu biaya investasi,
pengembangan, biaya operasional dengan mempertimbangkan akan manfaat nilai
ekonomis yang diperolah dari TIK dalam menunjang kegiatan LAPAN Bandung. Pada
makalah ini akan menganalisis presentase Return On Investment (ROI) yang kemudian
akan digabungkan dengan Information Economics Scorecard yang akan memberikan
skor akhir pada penerapan TIK LAPAN Bandung.
3. DATA DAN METODE
Pada tahun 2005 – 2012 LAPAN Bandung mengoperasikan beberapa server
untuk keperlukan TIK, dimana setiap server memiliki fungsi masing-masing aplikasi
baik untuk web, DNS, email server dan lain-lain. Pada tahun 2013 LAPAN Bandung
melakukan perganti server dengan jenis dan teknologi server baru untuk meningkatkan
kemampuan TIK.
Tabel 1: Perangkat Keras yang Dimiliki LAPAN Bandung
No. Spesifikasi Jumlah Tahun
Pengadaan Harga (Rp) Fungsi
1 Prosessor : Intel Xeon 3 GHz Memory : 2 GB Hardisk : 46 GB Daya : 750 Watt Merek HP Type ML350 G4
2 2005 17,000,000 Web Server dan Email
2 Prosessor : Intel Xeon 3 GHz Memory : 2 GB Hardisk : 146 GB Daya : 750 Watt Merek HP Type ML350 G5
2 2008 20,075,000 FTP dan Proxy
3 Prosessor : Intel Xeon 3 GHz
1 2009 14,680,000 VPN
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
345
Memory : 2 GB Hardisk : 146 GB Daya : 750 Watt Merek HP Type ML150 G5
Server
4 Prosessor : Intel Core 2 Duo 3 GHz Memori : 2 GB Hardisk : 2 TB Daya : 250 Watt Merek HP Compaq dx2300
1 2010 10,000,000 Media Penyimpan
5 Prosessor : Pentium 4, 2.5 GHz Memori : 1 GB Hardisk : 180 GB Daya : 250 Watt Merek HP Compaq dx2030
1 2007 8,000,000 DNS Server
6 Prosessor : Intel Xeon 64bit, 8 Core, dual prosessor, 3GHz Memori : 12 GB Hardisk : tidak ada Hardisk Daya : 7500 Watt
Merek SuperMicro type 8017R-7FT
6 2012 60,000,000
7 Storage Enclosure dengan Kapasitas penyimpanan 24 TB
3 2013 60,000,000 Media Penyimpan
Server baru tidak akan digunakan untuk mengganti semua server yang sedang
berjalan, hal dilakukan untuk penghemat biaya, dimana server web, server email, server
DNS dan Ftp Server akan digabungkan dalam satu server dengan menggunakan
teknologi komputasi awan. Server VPN, Proxy dan Media Penyimpan (Storage) akan
berdiri sendiri, dimana satu server untuk satu aplikasi. Metode evaluasi biaya investasi
dan operasional akan menggunakan metode information economic.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
346
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode ekonomi informasi akan mengevaluasi biaya investasi dan biaya
operasional dalam periode waktu 2005 – 2012 pada saat sebelum menggunakan
teknologi komputasi awan, evaluasi biaya investasi dan operasional pada saat penerapan
komputasi awan dilakukan pada tahun 2013, hal ini dilakukan karena komputasi awan
di LAPAN Bandung baru diterapkan pada tahun 2013. Selain evaluasi biaya
pengeluaran akan dihitung nilai ekonomis dan manfaat penerapan teknologi komputasi
awan di LAPAN Bandung.
4.1. Biaya Investasi
Setiap pembangunan sebuah sistem TIK, baik secara sederhana maupun dengan
sistem yang kompleks pasti memerlukan sebuah biaya investasi (Investment Cost).
Biaya investasi dikelompokkan dalam tiga katagori yang terdiri dari biaya perangkat
keras dan perangkat lunak. Biaya Tenaga kerja tidak dimasukan dalam biaya investasi,
karena LAPAN merupakan lembaga penelitian, dimana pembuatan sebuah software
dilakukan dalam kegiatan penelitian sehingga biaya tenaga kerja diasumsikan nol dan
pada makalah ini memfokuskan pada biaya investasi hardware dan operasional.
Tabel 2: Biaya Investasi Perangkat Keras No Nama Perangkat Keras Jumlah Tahun Harga per unit Total 1 PC Server 2 2005 17,000,000 34,000,000 2 PC Server 1 2007 8,000,000 8,000,000 3 PC Server 2 2008 20,075,000 40,150,000 4 PC Server 1 2009 14,680,000 14,680,000 5 PC Server 1 2010 10,000,000 10,000,000
Total 106,830,000
Tabel 3: Biaya Investasi Perangkat keras Komputasi Awan No Nama Perangkat Keras Jumlah Tahun Harga per
unit Total
1 PC Server 6 2012 60,000,000 360,000,000 2 Storage 3 2012 60,000,000 180,000,000
Total 540,000,000
Biaya investasi perangkat lunak sama dengan nol, hal ini disebabkan semua perangkat
lunak menggunakan open source yang dapat didownload secara gratis di internet.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
347
4.2 Biaya Operasional Tarif Dasar Listrik Setiap perangkat keras yang menggunakan sumber daya listrik akan
mengeluarkan biaya operasional tagih listrik, biaya ini akan mempengaruhi pada
anggaran dimana sesuai dengan Surat Keputusan Menteri ESDM No 12 tahun 2013
tetang penghematan energi dan moto perintah Republik Indonesia yaitu Indonesia Go
Green. Penghitungan biaya tagihan pemakaian listrik akan dihitung pada tahun 2012
sebelum penerapan teknologi komputasi awan dan tahun 2013 setelah penerapan
teknologi komputasi awan. Tarif dasar listrik untuk golongan kantor pemerintah sebesar
Rp 1,380 (pln,2012) dan LAPAN Bandung menggunakan daya beban listrik sebesar 82
kVA. Setiap server beroperasi selama 24 jam dalam sehari berarti 24 jam x 31hari x
750 Watt = 558 KWh, sehingga biaya pengeluaran tagihan rekening listrik untuk satu
server selama satu bulan 558 x 1,380 = Rp 770,040. Server yang memiliki daya 250
Watt maka perhitungan adalah 24 jam x 31 hari x 250 Watt = 186 KWh, maka biaya
selama satu bulan 186 x 1380 = 256, 680 Rp.
Gambar 2: Grafik Biaya Operasional Pemakaian Listrik Per Satu Server
Gambar 3: Biaya Operasional Pemakaian Listrik Per Tahun
0
200,000
400,000
600,000
800,000
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
Daya Server 750Watt
Daya Server 250Watt
9,066,600
45,333,000
3,022,200 6,044,400
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
1 Server 5 Server
Daya Server 750Watt
Daya Server 250Watt
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
348
Gambar 4: Biaya Operasional Pemakaian Listrik Per Tahun dengan Komputasi Awan
4.3 Impelementasi Komputasi Awan Pada tabel 2 biaya investasi server baru sebanyak 6 unit dengan modal Rp
360,000,000, namun pada kenyataanya server tersebut tidak akan dioperasikan
semuanya, hal dilakukan untuk menghemat perangkat keras. Penghematan perangkat
keras dilakukan dengan menggunakan teknologi komputasi awan. Sampai tahun 2012
ada beberapa server beroperasi secara konvensional diantaranya web server, email
server, DNS bdg.lapan.go.id server, dan DNS dirgantara-lapan.or.id server yang akan
dimigrasi ke dalam sistem komputasi awan. Komputasi awan menganti 4 server aplikasi
yang selama ini beroperasi kedalam satu server, komputasi awan melakukkannya
dengan metode virtualisasi. Virtualisasi membuat kemampuan sebuah komputer
direpresentasikan dalam sebuah entitas logikal, komputer virtual dapat berupa sebuah
mesin, beberapa mesin yang terhubung dengan jaringan, atau bagian dari mesin yang
memiliki cukup kemampuan untuk dibagi dengan beberapa pengguna yang
membutuhkan kemampuan sumber daya computer (Ryan, 2010). Biaya operasional per
bulan dua buah server (web dan email) dengan daya 750 Watt dan satu server (DNS
bdg.lapan.go.id dan DNS dirgantara-lapan.or.id ) dengan daya 250 Watt ditunjukan
pada gambar 5 dibawah ini.
9,066,600
45,333,000
0
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
1 Server 5 Server
Komputasi Awan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
349
Gambar 5: Biaya Operasional Server konvensional
Sehingga kalau di hitung dalam satu tahun biaya operasional server web,email, DNS
sebesar Rp 21.155.400. biaya operasional komputasi awan untuk menjalan web server,
email server dan DNS server dengan menggunakan satu unit komputer berdaya 750
Watt maka biaya perbulan yang harus dibaya sebesar Rp 695.520 – 770.040 jadi biaya
satu tahun sebesar Rp 9,066,600, sehingga biaya operasional dapat di hemat sebesar
21,155,400 – 9,066,600 sama dengan Rp 12,088,800. Penghematan terjadi pada saat
melakukan pengembangan, misalnya server web atau email memerlukan penambahan
memori sebesar 2 GB DDR2 dengan harga Rp 2,208,000 (bhinneka.com) maka
pengembagan hanya dapat dilakukan pada salah satu server sedangkan pada teknologi
komputasi awan dengan biaya pengembangan yang sama dapat dilakukan pada semua
server yang terdapat pada komputasi awan, ini terjadi karena prinsip komputasi awan
adalah berbagi sumber daya baik CPU, memori, jaringan, media penyimpanan dan lain-
lain.
Biaya investasi perangkat keras yang dikeluarkan untuk membangun teknologi
komputasi dengan sistem konvesional jauh lebih tinggi bila melihat tabel 2 dan 3. Biaya
investasi perangkat dengan sistem TIK konvesional Rp 106,830,000 sedangkan biaya
investasi komputasi awan untuk dua unit server Rp 120,000,000 jika melihat besaran
harga pada tabel 3 masih jauh lebih murah dengan menggunakan sistem TIK
konvesional. Pada kenyataannya harga tersebut lebih murah karena dengan dua unit
server komputasi awan sudah dapat digunakan untuk cadangan, sedangkan pada sistem
TIK konvensional belum tersedia server cadangan. Jika sistem TIK konvensional
memerlukan cadangan maka biaya investasi server cadangan minimal sama dengan
server utama. LAPAN Bandung menyediakan server cadangan untuk web server, email
server dan DNS server maka biaya investasi server cadangan dengan melihat tabel 1
sebesar Rp 25,000,000 sehingga bisaya investasi total 106,830,000 ditambah
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
JAN
FEB
MAR AP
R
MEI
JUN
JUL
AGU
SEP
OKT
NO
V
DES
Daya Server 750 Watt
Daya Server 250 Watt
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
350
25,000,000 menjadi Rp 131,830,000. Penghematan dengan menggunakan komputasi
awan sebesar Rp 11,830,000 atau 8,97% dimana biaya investasi tersebut sudah
termasuk biaya investasi server cadangan.
5. KESIMPULAN
Komputasi awan merupakan sebuah pengembangan teknologi dalam bidang
Teknologi Informasi dan Komunikasi. Komputasi awan dapat menghemat angaran
belanja dari segi biaya investasi dan operasional. Apabila komputasi awan
menggunakan jasa pihak ketiga dengan sistem menyewa sebuah layanan, maka akan
lebih menghemat lagi anggaran belanja suatu instansi, lembaga atau perusahaan, dimana
biaya investasi menjadi nol. Penghematan biaya operasional TIK LAPAN bandung
dengan menggunakan komputasi awan sebesar 57% sedangkan pada biaya investasi
sebesar 8,97%. Selain menghemat anggaran belanjan TIK, LAPAN Bandung sudah
mendukung dan melakukan program pemerintah terkait dengan penghematan energi.
DAFTAR PUSTAKA Rifqi Syamsul Fuadi, Perkembangan Teknologi Informasi Cloud Computing
(Komputasi Awan)., Teknik Informatika., UIN Sunan Gunung Djati, 2011
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No 13 Tahun
2012, Tentang penghematan pemakaian tenaga Listrik
Oktariani Nurul Pratiwi, Analisis Keamanan Aplikasi Penyimpanan Data Pada Sistem
Cloud Computing., e-Indonesia Initiative, Konferensi Teknologi Informasi dan
Komunikasi untuk Indonesia., 2011
www.pln.co.id/dataweb/TTL 202013/Tarif Tenaga Listrik 2012.jpg diakses pada
tanggal 13-Oktober 2013
http://www.bhinneka.com/category/memory_server___ecc.aspx diakses pada tanggal 20
Oktober 2013
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
351
METODE PENENTUAN INDEKS IONOSFER DI ATAS PONTIANAK
Slamet Syamsudin
Pusat Sains Antariksa ( PUSAINSA ) LAPAN E-mail : [email protected]
Abstrak
Adanya hubungan linier antara frekuensi kritis foF2 lapisan F2 ionosfer dan aktivitas matahari yaitu bilangan sunspot (R) merupakan ukuran pengaruh aktivitas matahari terhadap ionosfer. Hubungan fungsional tersebut merupakan dasar untuk menentukan pengaruh aktivitas matahari terhadap ionosfer dalam bentuk parameter indeks T. Untuk mendapatkan harga indeks T pada setiap jam terlebih dahulu ditentukan koefisien persamaan indeks T,yang dihitung dengan metode regresi linier antara rata-rata median foF2 pada setiap bulan dengan bilangan sunspot bulanan. Setelah diperoleh koefisien indeks T untuk setiap jam, dengan perumusan linier antara indeks T dan data frekuensi foF2, maka indeks T setiap dapat ditentukan. Hal tersebut telah dilakukan dengan menggunakan data foF2 untuk setiap jam, dari Balai Pengamatan Dirgantara LAPAN Pontianak (0.03⁰ LS, 109.3⁰) selama 6 tahun ( 2005 – 2010 ) dan bilangan sunspot bulanan Kata Kunci: Ionosfer, Indeks T, Bilangan sunspot
Abstract. The existence of alinier relation between the critical frequency of foF2 ionosphere layerand solar activity is the sunspot number ( R ) that is a measure of the solar activity influence towards ionosphere. The functional relation is the basis for determining the influence of solar aktivity on the ionosphere in the form of a T index parameter. To get the T index value at every hour, it is firstly determined the T index equation coeffisients, which is calculated by linear regression method between the average of foF2 median at every month with monthly sunspot numbers. After gaining the T index coeffisient every hour,with a linear formulation of the T index and foF2frequency data, the T index every hour can be dtermined. This has been conducted by using the foF2 data for every hour from Balai pengamatan Dirgantara LAPAN Pontianak ( 0.03⁰ LS, 109.3⁰BT ) for 6 years ( 2005-2010), and monthly sunspot numbers. Keywords: Ionosphere, T index, Sunspot number
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
352
1. PENDAHULUAN Lapisan F2 ionosfer merupakan lapisan yang potensial untuk media komunikasi
radio HF, yaitu komunikasi antar 2 tempat menggunakan frekuensi HF (High
Frequency) dengan rentang frekuensi (3–30)Mhz yang dipancarkan dari transmitter di
bumi ke lapisan ionosfer kemudian di lapisan ionosfer frekuensi tersebut dipantulkan ke
tempat lain di bumi (receiver). Frekuensi pada saat terjadinya pemantulan di lapisan F2
ionosfer disebut frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer ( 2foF ) dimana frekuensi kritis
merupakan frekuensi tertinggi dari gelombang radio yang dipantulkan oleh suatu
lapisan ionosfer bisa ( E, Es, F1, F2 atau F3 ) frekuensi foF2 sangat tergantung pada
aktivitas matahari yaitu bilangan sunspot (R) dan hubungan fungsionalnya dinyatakan
sebagai fungsi linier.
Selain bilangan sunspot (R) maka ada parameter lain yang mengindikasikan
adanya hubungan aktivitas matahari dengan ionosfer yaitu indeks T, sehingga indek T
menunjukan ukuran pengaruh aktivitas matahari terhadap lapisan ionosfer pada suatu
daerah (Jiyo). Hal demikian mengingat indek T yang dibuat oleh ASAP merupakan
indek T global ( Turnner ). Indeks T untuk setiap jam dari data median bulanan untuk
setiap jam yang dikaitkan dengan koefisien indeks T yaitu A dan B untuk setiap bulan
pada suatu lokasi yang dirumuskan dengan T=AfoF2 + B. Indeks T untuk setiap jam
nantinya bisa digunakan untuk penentuan indeks T regional ( Caruana) yaitu indeks T
yang sesuai dengan kondisi ionosfer di Indonesia. Digunakannya data foF2 ionosfer
Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak karena data tersebut dapat mewakili ionosfer
daerah Indonesia bagian barat. Rencana selanjutnya akan kita hitung juga untuk lokasi
daerah diwilayah Indonesia yang lain misalnya Sumedang, Biak, Kototabang. Akhirnya
sebagai sasaran utama dari pembahasan ini adalah diperolehnya parameter untuk
perhitungan MUF dan LUF pada sitem komunikasi HF.
2. DATA DAN METODOLOGI
Dengan menggunakan median foF2 tiap-tiap jam ( 00.00 – 23.00 ) pada setiap
bulan setiap tahun (Januari – Desember) selama 6 tahun (2005-2010) dari Balai
Pengamatan Dirgantara Pontianak, median foF2 yang diperoleh diatas diambil
rataannya untuk 1 bulan menghasilkan satu nilai yang mewakili bulan tertentu.
Kemudian bilangan sunspot bulanan )R( 12 yang disesuaikan dengan nilai rataan median
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
353
foF2 pada setiap bulan selama 6 tahun (2005-2010), dan nilai 100)R( 12 diadakan
pembobotan dengan mengalikan 4 (Tabel 1), kemudian regresikan kedua parameter
tersebut sehingga diperoleh konstanta regresi A dan B.
Tabel 1 : Pembobotan pada bilangan sunspot (R)
Bulan pada tiap tahun Rataan pada median foF2 12R
Januari 2005
Januari 2006
Januari 2011
7.26
6.72
5.89
( 34.6 x 4 ), 100R12
101.3
111.2
Konstanta regresi A dan B dikalikan rataan median bulanan, dengan rumus
T=AfoF2+B, untuk menentukan indeks terkoreksi 1, indeks terkoreksi 1 dibagi 4,
kecuali untuk 100)R( 12 hasilnya disebut T baru 1. T baru 1 untuk 100)R( 12
dikalikan 2, kemudian regresikan dengan nilai rataan median foF2 pada setiap bulan
selama 6 tahun (2005 – 2010 ), akan diperoleh koefisien regresi 11 BdanA kemudia
dikalikan dengan nilai rataan median foF2 diperoleh indeks terkoreksi 2, dan proses ini
diulang sampai diperoleh koefisien regresi An dan Bn . Koefisien regresi An dan Bn
kalikan dengan nilai rataan median foF2 menurut aturan T= AnfoF2 + Bn akan
menghasilkan T baru ke n, kemudian regresikan foF2 dengan T baru ke n akan
diperoleh koefisien korelasi 1R2 . Koefisien regresi An dan Bn yang dirumuskan
seperti pada persamaan tersebut diatas merupakan koefisien dari indeks T yang kita
cari .
Dengan menggunakan median foF2 dan koefisien indeks T untuk setiap tiap-
tiap jam (00.00 – 23.00) pada setiap bulan untuk setiap tahun (Januari – Desember)
selama 6 tahun (2005-2010), yang dirumuskan dengan T=AfoF2 + B maka kita
peroleh harga indek T untuk setiap jam pada setiap bulan selama 6 tahun dari Balai
Pengamatan Dirgantara Pontianak.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan menggunakan data median menggunakan data median bulanan untuk
seiap jam dan data sunspot bulanan selama 6 tahun ( 2005-2010) diperoleh koefisien
indeks T, A dan B untuk setiap jam pada setiap bulan seperti pada Tabel 2, Tabel 3 dan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
354
Gambar 1. Sedangkan nilai indeks T kita berikan contoh untuk beberapa tahun seperti
pada Table 4, Tabel 5 dan Gambar 2.
Tabel 2 : Koefisien indeks T untuk bulan Januari - Juni, Pontianak
Bulan
Jam Januari Februari Maret April Mei Juni
A B A B A B A B A B A B 00 32.60 -92.1 9.62 -28.3 5.39 -8.17 24.8 -129 -11.7 91.2 28.83 -87.8
01 33.10 -83.8 8.42 -14.4 7.19 -10.3 5.58 -9.9 6.45 34.5 16.97 -33.9
02 45.21 -106 19.51 -52.6 12.97 -23.7 31.96 -109 18.46 -5.93 -0.47 67.14
03 48.21 -117 3.56 10.16 13.04 -25.3 21.93 -50.3
04 19.90 -44 5.75 4.56 20.92 -45.4
05 15.83 -35.1 14.9 -26.8 10.04 -9.14 5.92 2.31 4.6 47.6
06 12.55 -32.3 18.67 46.47 8.03 -18.5 6.55 0.1 7.39 -15.5 8.59 -20.2
07 -19.7 121.9 -3.11 42.46 26.37 -152 -49.1 -49.1 8.54 -36.5 12.81 -61
08 -21.2 156.9 12.95 -65.6 0.5 0.5 11.25 -72.1 16.78 -110 15.67 -93.6
09 -13.4 105 12.73 -71.4 19.86 -138 24.43 -198 17.85 -130 18.15 -12.5
10 89.5 -598 13.73 -84.3 -4.4 59.3 11.95 -81.8 25.53 -196 26.57 -197
11 -9.01 168 17.42 -112 6.1 -29.3 11.57 -77.2 20.38 -148 34.51 -257
12 24.39 -164 24.64 -173 19.64 -144 13.75 -98.3 24.03 -181 46.04 -349
13 -39.3 315 -6.86 77.6 6.29 -32.2 15.6 -117 24.79 -190 73.33 567
14 82.55 -628 -7.43 83.4 -5.19 68.3 18.23 -144 30.45 -241 22.17 -156
15 13.87 0.08 -0.12 23.2 0.29 19.22 17.98 -141 26.42 -204 79.3 -604
16 -187 144 10.89 70.15 -8.62 97.95 19.33 -154 22.16 -164 37.31 -271
17 -47.1 380 10.06 -60.8 -9.46 104 23.04 -372 -1.11 31.4 35.87 246
18 43.86 -295 7.03 -35.2 -2.68 33.65 -13.4 239.1 6.43 -27.5 19.65 -108
19 5.30 -6.2 19.01 -118 -4.96 60.5 -10.5 113.5 -6.85 67.4 6.02 -14.6
20 2.16 6.52 9.68 -46.8 -2.89 44.67 1.75 /.98 2.21 8.54 -10.9 70.1
21 25.68 40.85 2.27 8.35 -1.8 36.45 -34.1 27.76 1.17 19.4 -7.37 62.25
22 -28.7 173 9.84 -44.6 -32.7 271.6 1.00 .-0.2 -7.34 92.0 -13.5 127
23 31.57 110 9.54 39.05 3.58 -4.88 19.07 -94.4 3.8 42.6 -0.31 66.89
Tabel 3 : Koefisien indeks T untuk bulan Juli-Desember, Pontianak Bulan
Jam Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
A B A B A B A B A B A B 00 -40.6 183.7 30.42 -100 0.72 12.29 30.84 -103 19.19 -53.9 46.89 -157
01 15.1 -29.8 18.63 -28.2 1.88 8.25 32.31 -99.2 30.84 -88.7 42.75 -125
02 22.22 -4.08 15.14 -25.3 3.87 3.99 26.53 -69.9 40.57 -121 20.34 -47.5
03 190 -502. 10.5 -19.8 26.53 -62.3 43.69 -119 -45.6 142.4
04 -6.12 82.65 177 -612 43.24 -105 39.62 -93.3 45.08 -111
05 1.5 -1.44 -5.76 86.18 -2.75 30.23 44.36 -103 6.94 2.27 7.75 -8.52
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
355
06 8.95 -16.5 9.18 -21.1 1.55 8.48 80.82 -404 19.14 -75.8 14.16 -45.1
07 12.79 -54.5 14.51 -69.4 6.81 -27.3 19.81 -102 19.58 -100 16.47 -78.5
08 16.92 -98.4 17.09 -105 4.28 -16.1 17.39 -94.7 20.65 -118 20.09 -108
09 20 -130 18.01 -105 0.41 12.17 9.57 -47.3 20.72 -130 25.9 -165
10 28.21 -198 19.32 -125 0.15 14.24 15.47 -101 30.61 -218 25.83 -170
11 21.71 -147 21.09 -136 -2.04 32.19 41.97 -322 46.83 -353 23.07 -152
12 30.56 -219 18.77 170.6 0.42 12.21 48.83 -370 42.02 -315 30.78 -218
13 33.26 -231 23.18 165.3 2.74 -6.88 37.79 -286 25.56 -182 39.24 -280
14 19.49 -129 22.86 175.1 2.55 -5.62 -3.26 56.7 21.91 -154 45.83 -334
15 29.21 -200 24.42 111.5 1.46 3.44 53.25 450 19.15 -135 30.88 -221
16 38.33 -265 20.04 128.7 1.09 6.47 75.1 644 36.29 -286 62.35 -459
17 22.39 -135 16.86 -128. 0.92 8.07 37.22 -295 7.45 -35.4 39.45 -276
18 12.54 -59.9 19.66 -50 2.54 -5.16 29.55 -213 44.04 -323 -1.09 27.7
19 11.46 -44.9 10.09 -30.1 2.81 -6.06 22.94 -154 43 -285 11.3 -50.9
20 -0.3 24.69 7.95 -44.4 2.51 -3.64 16.34 -95.2 19.21 -99.1 19.16 -94
21 11.01 -28.7 11.29 -68.2 -1.97 28.44 22.79. -151 8.95 -34.5 24.49 --119
22 46.42 -161 14.62 -44.4 0.04 15.24 18.32 -108 16.76 -78.8 8.29 -23.9
23 34.59 -123 19.25 -68.4 1.51 6.57 15.85 -62.6 8.71 -14.2 -6.53 46.2
Gambar 1: Koefisien indeks T setiap jam selama 1 tahun di Pontianak
-800
-600
-400
-200
0
200
400
600
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109
121
133
145
157
169
181
193
205
217
229
241
253
265
277
Koef
isie
n in
deks
T(A
,B)
Jam
Koefisien indeks T tiap jam pada setiap bulan di Pontianak.
AB
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
356
Tabel 4 : Indeks T, 2006, Pontianak. Jam Jan. Feb. Mrt Apr Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop. Des.
00.00 64.0 36.8 20.7 29.8 28.1 34.3 33.4 23.4 15.1 27.8 23.4
01.00 84.0 20.3 20.9 17.0 28.1 36.0 34.5 31.5 13.8 40.8 29.5
02.00 83.3 26.7 30.4 25.1 -0.3 65.2 60.8 21.8 14.0 37.1 10.9
03.00 62.3 0.32 28.0 32.2 69.2 26.0 21.8
04.00 38.8 11.6 30.8 60.8 21.3 24.9
05.00 32.0 37.4 31.9 4.42 62.3 16.4 40.0 24.8
06.00 42.4 25.7 35.3 47.7 25.9 34.7 33.9 35.2 19.9 45.2 35.5
07.00 23.1 29.4 34.6 35.3 5.76 32.6 33.3 35.0 17.1 45.5 35.7
08.00 41.9 21.1 3.8 34.3 36.5 37.4 35.2 31.1 20.7 43.3 34.8
09.00 19.8 25.1 15.6 23.3 37.1 67.7 35.5 29.3 15.7 42.7 31.6
10.00 32.9 25.6 24.0 21.6 34.7 36.6 34.2 25.1 15.6 38.8 28.5
11.00 105 16.4 19.6 22.5 21.2 34.9 29.4 25.9 14.7 24.6 33.3
12.00 22.2 20.9 25.6 22.0 25.4 20.1 35.5 21.5 15.9 40.3 32.2
13.00 38.7 24.1 19.7 25.4 27.8 33.9 29.2 20.1 18.9 197 35.3
14.00 29.9 27.6 24.5 21.5 33.1 31.8 34.9 21.4 18.4 43.4 29.3
15.00 107 22.2 21.7 21.8 29.7 25.5 30.7 20.2 17.1 38.4 23.7
16.00 21.8 29.0 21.0 26.6 15.4 27.1 20.2 18.0 32.0 33.8
17.00 21.6 23.8 31.6 167 24.5 26.8 24.1 16.1 15.1 22.7 26.5
18.00 25.9 20.9 12.9 33.2 40.1 27.7 19.2 15.0 17.9 17.3 20.4
19.00 30.5 27.4 28.3 32.0 19.7 18.5 11.4 13.3 15.9 16.2 14.08
20.00 18.4 25.4 24.1 23.7 27.8 26.1 23.6 13.4 41.8 34.3
21.00 129 23.5 23.7 34.9 21.1 22.5 17.9 16.5 17.0 43.9 24.3
22.00 39.8 22.9 32.5 6.98 29.6 57.9 28.7 17.0 15.5 13.3 8.5
23.00 63.6 20.8 36.7 69.1 65.1 34.8 26.1 16.9 7.9
Tabel 5 : Indeks T, 2008, Pontianak. Jam Jan. Feb. Mrt Apr Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop. Des.
00.00 31.8 7.14 14.7 7.2 6.8 6.03 10.5 15.0 -1.9 23.7 2.7
01.00 28.4 18.0 14.4 17.4 14.7 13.9 39.8 15.4 15.5 12.1 1.1
02.00 24.8 7.4 11.8 7.89 17.4 19.7 4.8 9.6
03.00 13.9 19.4 9.12 19.5 10.4 8.5 0.9 12.2
04.00 11.2 18.4 9.38 20.4 9.6 5.1
05.00 11.9 61.0 14.0 19.7 13.1 20.8 9.0
06.00 11.5 13.3 12.3 30.2 16.4 14.2 15.08 11.6 14.9 11.1 15.4 9.4
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
357
07.00 24.3 25.4 14.8 17.0 15.1 10.8 10.98 4.9 12.6 17.5 13.2 3.9
08.00 41.6 16.4 3.5 17.2 8.29 10.6 8.19 2.5 12.6 20.5 13.7 3.9
09.00 21.9 14.2 16.2 12.3 6.1 124 9 1.6 15.3 23.8 14.0 1.1
10.00 20.4 9.1 22.2 11.0 13.6 9.8 6.5 3.6 15.4 23.8 14.5 4.7
11.00 105 18.5 18.3 9.87 12.7 12.9 5.7 4.4 11.8 12.7 8.6 5.3
12.00 7.64 15.0 9.78 10.7 10.5 3.94 9.6 7.1 15.1 12.5 15.9 1.1
13.00 19.3 23.5 18.6 7.3 5.5 10.3 6.4 6.7 13.6 8.7 16.0 4.7
14.00 6.8 23.8 22.6 11.2 7.7 12.8 7.4 8.6 13.7 30.6 16.2 0.9
15.00 106 22.2 21.7 11.4 6.5 1.7 5.5 10.4 14.5 10.9 2.6 4.6
16.00 16.8 21.7 16.9 9.0 17.6 6.4 7.7 14.8 21.2 22.9 6.2
17.00 24.4 7.6 19.9 168 22.8 14.1 8.4 7.3 14.9 10.0 28.2 4.8
18.00 10.6 18.5 11.3 18.4 20.5 20.7 14.0 9.5 14.0 17.7 22.6 20.1
19.00 24.2 15.3 21.5 19.6 21.0 17.8 12.4 12.5 17.7 15.0 12.5 21.0
20.00 18.0 18.3 22.3 71.4 20.1 11.8 23.1 12.9 15.0 16.2 6.5 8.5
21.00 95.2 21.0 22.6 13.7 13.1 21.9 18.6 12.1 16.2 6.3 14.1 6.0
22.00 19.0 13.4 12.2 6.9 18.7 6.01 8.6 6.3 20.3 -12 19.8
23.00 17.8 7.3 20.3 9.7 13.4 2.4 20.3 4.7 22.3 19.7
Hubungan antara frekuensi kritis foF2 lapisan F2 ionosfer dengan indeks T adalah
indeks T=AfoF2+B yang merupakan fungsi linier dan indeks T akan naik jika foF2
membesar dan nilai foF2>0. Untuk itu maka pasangan koefisien indeks T kita klasifikasi menjadi 4 golongan :
(1). Jika A>0 dan B>0 , maka indeks T akan naik walaupun foF2<0
(2). Jika A>0 dan B<0 maka indeks T akan naik dan foF2>0
(3). Jika A<0 dan B>0 maka indeks T akan turun untuk semua harga foF2 indeks
T bisa positip atau negatif
(4). Jika A<0 dan B<0 indeks T akan negatip.
Dari hasil perhitungan koefisien indeks T terlihat dari Tabel 1 dan Tabel 2 di
atas diperoleh 24 X 12 = 288 pasangan koefisien indeks T yaitu A dan B. dari sifat
fungsi linier maka golongan 1 sebanyak 26 pasangan dan golongan 2 sebanyak 252
pasangan koefisien indeks T yang memenuhi pernyataan diatas, sedangkan golongan 3
dan 4 adalah sebaliknya yaitu harga T akan turun jika foF2 bertambah. Artinya hampir 95% mengikuti aturan A>0 dan B<0 dan A>0 dan B>0 Hal
yang demikian dapat disimpulkan hasil perhitungan koefisien indek T , data foF2
Pontianak cukup baik. Jika kita bandingkan indeks T, hasil perhitungan dan global
diperoleh seperti Gambar 1, dibawah ini , terlihat bahwa pola indeks T global dengan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
358
indeks T yang diperoleh diatas Pontianak memiliki kemiripan. Dari gambar tersebut
terlihat pula bahwa kecenderungan nilai indeks T global akan selalu lebih kecil dari
indeks T diatas Pontianak.
Indikasi dari hasil yang terlihat pada gambar tersebut dapat memiliki arti bahwa
indeks kondisi lapisan ionosfer diatas Pontianak cenderung lebih tinggi dari indeks
ionosfer yang digunakan dalam perhitungan global. Informasi ini cenderung
mendukung teori yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah yang
mengalami anomali ionosfer. Indeks ionosfer global yang digunakan untuk
memberikan informasi kondisi lapisan ionosfer diatas Indonesia, perlu ditinjau kembali
kesesuaianya untuk digunakan di Indonesia seiring dengan adanya teori yang
menyatakan bahwa Indonesia berada di wilayah anomali Ionosfer.
Gambar 2 : Perbandingan indeks T bulanan lokal dan global tahun (2005-
010)Pontianak.
4. KESIMPULAN Hasil perhitungan nilai indeks T diatas Pontianak yang memiliki pola yang
serupa dengan indeks T global menunjukan bahwa koefisien indek T yang digunakan
dalam perhitungan indeks T pada data Pontianak sudah cukup tepat. Trend indeks T
global yang naik atau turun juga serupa dengan trend indeks T diatas Pontianak Selain
itu adanya perbedaan nilai indeks T global yang lebih kecil dari Indeks T Pontianak,
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70
Inde
ks T
Bulan
Perbandingan Indeks T Bulanan Lokal dan Global Tahun ( 2005-2010 ), Pontianak
Global
Lokal
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
359
menunjukkan bahwa indeks ionosfer diatas Pontianak memiliki nilai lebih tinggi dan
perlu ditinjau kembali apakah indeks T global dapat digunakan sebagai indeks T yang
diperuntukkan bagi wilayah Pontianak atau Indonesia secara umum.
UCAPAN TERIMA KASIH Sebagai penutup kami ucapkan terima kasih kepada rekan dibidang ionosfer dan
telekomunikasi Pusat Sains Antariksa Lapan antara lain sebagai berikut.
- Drs. Gatot Wikanto sebagai koordinator data foF2 ionosfer.
- Dra. Sri Suhartini dan Varuliantor sebagai teman diskusi
- Drs. Jiyo MSi sebagai kepala bidang Ionosfer dan Telekomunikasi.
DAFTAR RUJUKAN Caruana, John, 1989. The IPS monthly T index, IPS Radio and Space Services.
Turner, J.,1968. The development of the Ionospheric Index T, IPS Series R Report, IPS-
R11, Australian Government Department of Administrayive Services.
Jiyo, 2005. Penentuan Indeks T Harian Lapisan Ionosfer Indonesia, majalah LAPAN
vol 7 no.1 dan 2
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
360
ANALISIS KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK DAN MANADO
Sri Ekawati1,2, Wahyu Srigutomo1 dan Jiyo2
1Fisika Bumi dan Sistem Kompleks, Magister Fisika, ITB
2Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN Email:[email protected]
Abstrak Ionosfer, yang berisi plasma berada diketinggian kurang lebih 50 – 500 kilometer di atas permukaan bumi, merupakan salah satu penentu keberhasilan propagasi sinyal komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit. Pada makalah ini, ketidakteraturan plasma ionosfer akan dianalisis dari fenomena sintilasi ionosfer berdasarkan data indeks S4. Data ionosfer diperoleh dari penerima GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) GSV4004B di Pontianak (-0,03oLS;109,33oBT) dan Manado (1,48oLU; 124,85oBT) pada bulan Maret – Mei 2013. Kedua stasiun pengamatan menunjukkan kemunculan gangguan sintilasi ionosfer tertinggi terjadi pada tanggal 10 April 2013. Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado terjadi sekitar satu jam lebih dulu dibandingkan dengan kejadian di atas Pontianak. Kata kunci : Ionosfer, plasma, navigasi, sintilasi, GISTM
Abstract. Ionosphere, which contains plasma were approximately 50-500 kilometers above the Earth's surface, is a determinant of the success of signal propagation of satellite communication and satellite-based navigation system. In this paper, ionospheric plasma irregularities will be analyzed from amplitudo ionospheric scintillation index S4. Ionospheric data obtained from the GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) GSV4004B in Pontianak (- 0.03oS; 109.33oE) and Manado (1.4oN; 124.85oE) from March to May 2013. Results showed that the highest ionospheric plasma and intense disturbances occur on April 10,2013. Other results showed that scintillation activity on Manado was approximately one hour ahead compared with Pontianak station. Keywords: Ionosphere, Scintillation, GISTM, Pontianak and Manado
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
361
1. PENDAHULUAN
Pemahaman tentang dinamika ionosfer, lebih spesifik gangguan ionosfer, terus
dikembangkan karena ionosfer merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
propagasi sinyal komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit. Salah satu
gangguan ionosfer adalah fenomena sintilasi yang disebabkan oleh berfluktuasinya
indeks bias ionosfer sehingga gelombang elektromagnetik yang melaluinya berfluktuasi
dengan cepat baik amplitudo maupun fasanya (Ekawati, 2008). Aktivitas sintilasi
ionosfer dapat ditunjukkan dengan indeks S4, yang merupakan indeks amplitudo
sintilasi ionosfer. Aktivitas sintilasi mempunyai kategori lemah (0 < S4 ≤ 0,25), sedang
(0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤ 1) (Butcher,2005).
Penelitian tentang kemunculan sintilasi ionosfer telah dilakukan sebelumnya di
stasiun Bandung (-6,90oLS; 107,60oBT) yang dilakukan oleh Ekawati (2011). Penelitian
tersebut menggunakan data hasil pengamatan bulan Januari – Juni 2010. Persentase
kemunculan sintilasi kuat tertinggi terjadi pada tanggal 13 Maret 2010 dan indeks S4
mulai meningkat pada pukul 20:00 WIB dengan durasi bervariasi dari belasan menit
sampai kurang lebih dua jam.
Pemahaman tentang distribusi temporal dan spasial dari kejadian sintilasi
ionosfer di Indonesia diperlukan dalam rangka membangun model sintilasi ionosfer
regional. Hasilnya akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam membangun model
kejadian sintilasi ionosfer. Dengan menggunakan model yang diperoleh, maka
informasi tentang gangguan yang akan terjadi terhadap komunikasi satelit dan sistem
navigasi dapat diberikan kepada pengguna.
Makalah ini merupakan kelanjutan penelitian sebelumnya yang bertujuan
menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer diatas Pontianak dan Manado untuk
mengetahui variasi bujur aktivitas sintilasi ionosfer di wilayah Indonesia.
2. DATA DAN METODE Pada makalah ini, data ionosfer diperoleh dari penerima penerima GPS
Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) GSV4004B diatas stasiun
Pontianak dan Manado. Stasiun Pontianak terletak pada koordinat geografis (-0,03o LS;
109,33o BT) atau pada koordinat geomagnet (-8,82o LS; 180,72o BT) sedangkan stasiun
Manado terletak pada koordinat geografis (1,48oLU; 124,85oBT) atau pada koordinat
geomagnet (-6,87oLS; 196,07oBT). Konversi koordinat dari geografis ke geomagnet
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
362
dapat dilakukan secara otomatis oleh UK Solar System Data Center yang dapat diakses
di www.ukssd.ac.uk/cgi-bin/wdc1/coordcnv.pl.
Periode data yang dianalisis adalah bulan Maret – Mei 2013. Periode tersebut
merupakan periode equinox yang secara statistik kemunculan sintilasi ionosfer paling
sering terjadi. Tahun 2013 juga merupakan fase puncak aktivitas Matahari yang
mempengaruhi kemunculan sintilasi ionosfer lebih intensif dibanding tahun-tahun pada
saat fase aktvitas matahari tenang.
Data yang digunakan pada makalah ini adalah data indeks S4 yang dapat
digunakan untuk mengetahui aktivitas gangguan plasma ionosfer. Penerima GPS
mengeluarkan data indeks S4 total dan indeks S4 correction, sehingga untuk
memperoleh indeks S4 yang terkoreksi digunakan perhitungan sebagai berikut
(Dubey,2006) :
푆4 = 푆4 + 푆4 ……………………………. (2.1)
Setelah perhitungan indeks S4 tersebut dilakukan berdasarkan persamaan (3.1),
dilakukan seleksi berdasarkan sudut elevasi antara GISTM dengan satelit GPS. Pada
makalah ini, data yang digunakan adalah data indeks S4 dengan sudut elevasi
pengamatan ≥ 30 derajat. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari gangguan yang
bukan berasal dari ionosfer, seperti multipath oleh gedung-gedung bertingkat, pohon-
pohon tinggi ataupun penyebab lainnya yang bukan dari ionosfer.
Penerima GPS menyimpan kurang lebih 8600 data dalam satu hari. Untuk
memperoleh distribusi jumlah kemunculan sintilasi ionosfer, dilakukan pemilihan data
sintilasi sedang/moderate (0,25< S4 ≤ 0,5) dan kuat/strong (0,5 < S4 ≤ 1). Sehingga,
dalam satu hari terdapat banyaknya data yang menunjukkan sintilasi sedang dan sintilasi
kuat. Dari jumlah kemunculan sintilasi sedang dan kuat ini dapat diketahui aktivitas
sintilasi ionosfer secara umum.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 menunjukkan grafik jumlah kemunculan sintilasi sedang dan
kuat selama bulan Maret – Mei 2013 di atas Pontianak. Warna biru menunjukkan
jumlah kemunculan sintilasi sedang (0,25< S4 ≤ 0,5) dan warna merah menunjukkan
jumlah kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1). Pada periode bulan Maret sampai
dengan Mei 2013 diperoleh jumlah tertinggi kemunculan sintilasi kuat pada tanggal 10
April 2013 yaitu 102 kejadian sintilasi kuat dan 331 kejadian sintilasi sedang. Namun,
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
363
sintilasi sedang tertinggi terjadi pada tanggal 9 April 2013 sebanyak 428 kejadian.
Untuk memperkuat hasil tersebut dilakukan hal yang sama untuk stasiun yang berbeda
yaitu di stasiun Manado.
Gambar 1: Jumlah kemunculan Sintilasi Ionosfer selama bulan Maret – Mei 2013 di
atas stasiun Pontianak.
Gambar 2 : Jumlah kemunculan Sintilasi Ionosfer selama bulan Maret – Mei 2013
diatas stasiun Manado.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
364
Gambar-2 menunjukkan grafik jumlah kemunculan sintilasi sedang dan kuat
diatas Manado dengan metode dan periode data yang sama dengan yang dilakukan di
stasiun Pontianak. Jumlah kemunculan sintilasi kuat dan sedang tertinggi diatas Manado
terjadi pada tanggal 10 April 2013 juga dengan jumlah sintilasi kuat sebesar 93 kejadian
dan sedang sebesar 337 kejadian.
Hasil yang diperoleh tersebut dapat dilihat distribusi kejadian aktivitas sintilasi
ionosfer dapat dilakukan metode menghitung jumlah data sintilasi sedang dan kuat,
sehingga dapat memberi gambaran secara umum aktivitas sintilasi ionosfer yang tinggi
pada periode waktu tertentu. Walaupun secara umum aktivitas sintilasi di daerah
ekuator dan lintang rendah telah diketahui puncak tertinggi nya terjadi pada bulan
Maret-April dan September-Oktober, namun perlu diketahui secara lebih akurat lagi
kapan terjadinya puncak sintilasi ionosfer untuk kepentingan mitigasi gangguan
ionosfer terhadap komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit.
Pada periode Maret – Mei 2013, jumlah kemunculan sintilasi tertinggi terjadi
pada tanggal 10 April 2013. Sehingga, kajian lebih dalam aktivitas sintilasi ionosfer
pada hari tersebut akan sangat menarik untuk dilakukan. Hal menarik lainnya yaitu
membandingkan aktivitas sintilasi diatas Pontianak dan Manado yang ditunjukkan pada
Gambar-3.
Gambar 3 : Aktivitas sintilasi ionosfer pada tanggal 10 April 2013 diatas Pontianak (a)
dan Manado (b).
a) b)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
365
Plot indeks S4 yang menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer diatas Pontianak
dan Manado ditunjukkan pada Gambar-3. Gambar-3(a) adalah plot indeks S4 terhadap
standard waktu di Indonesia bagian barat (WIB=UTC+7) yang diperoleh dari stasiun
Pontianak. Sedangkan, Gambar-3 (b) adalah plot indeks S4 terhadap standard waktu di
Indonesia bagian tengah (WITA=UTC+8) yang diperoleh dari stasiun Manado.
Aktivitas sintilasi ionosfer diatas Pontianak pada tanggal 10 Mei 2013
meningkat dari pukul 19:00 WIB – 23:00 WIB dengan durasi kurang lebih 4 jam
dengan nilai indeks S4 > 0,25. Indeks S4 pada tanggal tersebut bahkan ada yang
mencapai 0,95 sekitar pukul 21:00 WIB. Sedangkan aktivitas sintilasi sedang maupun
kuat diatas Manado pada tanggal 10 Mei 2013 terjadi pada pukul 19:00 WITA – 23:00
WITA dengan durasi kurang lebih 4 jam. Indeks S4 tertinggi mencapai 0,89 terjadi pada
sekitar pukul 20:00 WITA.
Bila dianalisis lebih dalam, kejadian sintilasi ionofer diatas Manado lebih dahulu
terjadi dibandingkan dengan aktivitas sintilasi diatas Pontinak. Hal tersebut terjadi
karena sintilasi ionosfer terjadi karena pergantian siang ke malam terjadi lebih dahulu di
Manado, yang menyebabkan pergerakan plasma berkonsentrasi rendah keatas
(Kelley,1989), dibandingkan Pontianak.
5 KESIMPULAN Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode waktu Maret-Mei 2013
aktivitas sintilasi kuat tertinggi terjadi pada tanggal 10 April 2013 yang ditunjukkan
oleh dua stasiun yang berbeda. Sangat berbeda sekali dengan penelitian sebelumnya,
puncak aktivitas sintilasi kuat terjadi pada tanggal 13 Maret 2010. Hasil lain
menunjukkan bahwa bila di Pontianak terjadi aktivitas sintilasi yang cukup tinggi, maka
stasiun di Manado juga mengamati hal yang sama, namun terdapat waktu tunda sekitar
kurang lebih satu jam. Dengan kata lain, akitivitas sintilasi ionosfer akan lebih dulu
teramati di Manado dibanding di Pontianak. Hal tersebut karena stasiun di Manado akan
lebih dahulu mengalami matahari terbenam dibandingkan Pontianak sehingga stasiun di
Manado akan mengalami perubahan proses elektrodinamika di ionosfer yang
menyebabkan sintilasi ionosfer.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
366
UCAPAN TERIMA KASIH.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dessi Marlia, S.T, Asnawi, M.Sc.,
semua anggota Tim pengembangan Bank Data Ionosfer Regional, Bidang Ionosfer dan
Telekomunikasi, staf Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak dan stasiun kerjasama
Manado yang telah membantu menyediakan data sintilasi.
DAFTAR RUJUKAN Butcher, N. Daily Ionospheric Forecasting Service (DIFS) III, Annales of
Geophysicae,23:3591-3598. 2005.
Dubey, S., R. Wahi, and A. K. Gwal, Ionospheric effects on GPS positioning, Adv.
Space Res., 38(11), 2478–2484, doi:10.1016/j.asr.2005.07.030, 2006.
Ekawati, S., Kemunculan Sintilasi di Daerah Anomali Ekuator Ionosfer. Prosiding
Seminar Nasional Fisika 2011, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, ISSN : 2088-4176.
2011.
Ekawati, S. Effendy, dan A. Kurniawan., Sintilasi Ionosfer Ekuator Indonesia Berbasis
GPS, Prosiding Seminar Nasional Fisika 2008. ISBN : 978-979-98010-3-6. 2008.
Kelley, M. C., The Earth’s Ionosphere-Plasma Physics and Electrodynamics, Academic
Press, USA. 1989.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
367
METODA ANALISIS TWEEK DARI PENERIMA VLF PONTIANAK SECARA OTOMATIS
Timbul Manik1 dan Hiroyo Ohya2
Pusat Sains Antariksa – LAPAN1
Graduate School of Engineering – CHIBA UNIVERSITY2 e-mail: [email protected]
Abstrak
Lapisan ionosfer bawah tidak banyak dipelajari karena terbatasnya metoda pengamatan yang tersedia. Gelombang VLF merupakan sarana yang unik untuk mempelajari lapisan ionosfer bawah khususnya pada malam hari. Analisis gelombang VLF yang bersumber dari petir, dikenal dengan tweek, dapat memperkirakan ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dan jarak propagasi gelombang VLF (d), yang dapat digunakan untuk memperkirakan kerapatan elektron ekivalen (n) lapisan ionosfer bawah (Manik, 2012). Untuk mempelajari kondisi lapisan ionosfer bawah pada periode waktu tertentu, perlu dilakukan analisis data tweek yang tidak sedikit, yang akan menyita waktu apabila dilakukan secara manual. Untuk itu suatu metoda yang dapat mendeteksi dan menganalisis tweek secara otomatis sangat diperlukan. Dalam makalah ini diperkenalkan metoda analisis data tweek yang dilakukan secara otomatis, dan contoh hasil deteksi dan analisis data tweek dari penerima di VLF Pontianak pada malam hari akan disampaikan dan didiskusikan. Kata kunci : Ionosfer, tweek, analisis otomatis
Abstract Lower ionosphere region is least studied due to limitation of observation techique available. VLF wave is an unique tool to study lower ionosphere, particularly during the night. Analysis of VLF wave originated from lightning, namely tweek, could estimate ionospheric reflection height (h) and VLF wave propagation distance (d), and then can be use to estimate equivalent ionospheric electron density (n) (Manik, 2012). To study the condition of the lower ionosphere for a specified time period, an analysis of a huge tweek data is necessary, which is time consuming if conducted manually. Therefore, a method that can detect and analyse tweeks automatically is important. In this paper a method to analyse tweeks automatically is introduced, and sample results of detection and analysing of night tweek from VLF receiver at Pontianak will be presented and discussed. Keywords : Ionosphere, tweek, automatic analysis
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
368
1. PENDAHULUAN Lapisan-D ionosfer merupakan lapisan ionosfer bawah yang sedikit diamati
karena sulit untuk diakses. Ketinggian lapisan D pada ~60-75 km pada siang hari dan ~
75-95 pada malam hari, serta ketinggian lapisan E ~ 95-130 km terlalu rendah untuk
diamati dengan satelit, tetapi juga terlalu tinggi untuk diamati dengan balon sonda.
(Hagreaves 1992 on Maurya et al., 2012). Keterbatasan teknik pengamatan ini
menyebabkan lapisan bawah ionosfer (lapisan-D dan lapisan-E bawah) sedikit diamati
dan masih sedikit dipelajari. (Ohya et al., 2003, Singh et al., 2010, Maurya et al., 2012).
Petir merupakan sumber gelombang radio VLF alami, dan petir memancarkan energi
maksimum pada spektrum gelombang ELF/VLF. (Singh et al., 2010). Sumber sambaran
petir ini bisa berasal dari jarak ratusan hingga ribuan kilometer. Gelombang VLF dari
sumber petir, dikenal dengan sferics atau tweek merupakan sarana yang unik untuk
mempelajari lapisan ionosfer bawah, khususnya pada malam hari karena sifat
perambatannya pada media pemandu gelombang (waveguide) yang terbentuk oleh bumi
dan ionosfer bawah. Analisis data tweek, ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dan
jarak propagasi gelombang VLF (d), serta kerapatan elektron ekivalen (n) lapisan
ionosfer bawah dapat diperkirakan. (Cummer et al., 1998,Manik, 2012).
Untuk dapat mempelajari variasi lapisan ionosfer bawah jangka panjang, perlu
dilakukan analisis data tweek yang tidak sedikit, dan sangat menyita waktu apabila
dilakukan secara manual. Untuk itu suatu metoda yang dapat mendeteksi dan
menganalisis tweek secara otomatis sangat diperlukan. Analisis dilakukan dengan
pendekatan kurva frekuensi-waktu pada spektrum tweek dan metoda least square untuk
mengestimasi paramater-parameter tweek. Beberapa contoh hasil deteksi dan analisis
data tweek dari penerima di VLF Pontianak pada malam hari disampaikan dan
didiskusikan pada makalah ini.
2. METODA ANALISIS TWEEK
Sinyal gelombang VLF yang dihasilkan oleh petir dapat digunakan untuk
mengamati daerah bawah ionosfer karena sifat perambatannya pada pemandu
gelombang yang terbentuk oleh Bumi dan lapisan D ionosfer, dikenal dengan Earth-
Ionosphere Waveguide (EIWG). Metoda analisis tweek didasarkan pada model persegi
panjang (rectangular model) dan model homogen berbentuk bola (spherical model)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
369
EIWG. Dalam makalah ini, metoda analisis tweek yang dilakukan adalah didasarkan
pada model EIWG homogen berbentuk bola.
Gambar 1: Model Earth-ionosphere waveguide (EIWG) homogen berbentuk bola.
Sinyal VLF yang dihasilkan petir dipantulkan oleh bumi dan ionosfer untuk mencapai
penerima di tempat yang terletak berjarak hingga ribuan kilometer.
Kecepatan horizontal fasa vp pada model EIWG homogen berbentuk bola adalah
seperti pada persamaan berikut (Ohya et al., 2008):
............................................................(1)
Dengan c adalah kecepatan cahaya; h adalah tinggi wave guide (pemandu gelombang)
atau tinggi lapisan pemantul, dalam hal ini lapisan bawah ionosfer; a adalah jari-jari
bumi; dan λ adalah panjang gelombang pada ruang bebas; serta n adalah mode tweek, 1,
2, 3 ….
Tinggi pemandu gelombang h diberikan dengan persamaan berikut:
..............................................................(2)
dengan fc adalah frekuensi cut-off gelombang VLF yang bersumber dari petir (tweek).
Dalam hal ini, frekuensi cut-off hanya untuk tweek mode pertama. Frekuensi cut-
off (atau panjang gelombang cut-off) diperoleh dari tinggi pemandu gelombang.
Kecepatan gabungan horisontal vg untuk tweek mode pertama diturunkan dari
persamaan (1) dan (2) untuk tweek mode pertama, n = 1, diperoleh sebagai berikut:
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
370
푣 ≈ = 푐 .............................................................(3)
dengan f adalah frekuensi gelombang tweek. Waktu propagasi Tg untuk tweek mode
pertama dapat dituliskan sebagai Tg= d/vg, sehingga dari persamaan (3) dapat diperoleh
frekuensi dispersi gelombang tweek f sebagai fungsi waktu sebagai berikut:
푓 (푡) = ....................................................(4)
2.1 Metoda Otomatis
Metoda otomatis dimaksudkan untuk memudahkan pengolahan data tweek,
mendeteksi tweek dan memperkirakan parameter tweek. Metoda yang dilakukan adalah
dengan pendekatan kurva frekuensi-waktu pada spektrum tweek dan kemudian
menghitung dan memperkirakan paramater-parameter tweek, antara lain frekuensi cut-
off fc, ketinggian lapisan pantul ionosfer h, dan jarak propagasi gelombang d. Analisis
dilakukan dengan menetapkan beberapa titik pada spektrum tweek, sebagai fungsi
frekuensi terhadap waktu, titik (fi, ti).
Untuk mendapatkan parameter-parameter ini, dimisalkan bahwa Tg diberi nilai
yang sama dengan titik awal terjadinya petir t0, dengan t0 adalah waktu awal deteksi
tweek, sehingga diperoleh Tg = t0, t1 = t0 + pergeseran waktu, t2 = t0 + pergeseran waktu
x 2, dan seterusnya, dan tN = t0 + pergeseran waktu x N. Titik-titik data yang diperoleh
akan merupakan sekumpulan data (ti, fi), dengan i = 1, 2, …, N, yang kan dapat
membentuk kurva teoritis pada spektum dinamis tweek, dan persamaan (4) dapat diisi
dengan data (ti, fi) untuk i = 0, 1, 2, dst, N. Frekuensi cut-off tweek (fc) dapat
diperkirakan menggunakan metoda gradien-expansion least square (Markwardt, 2009).
Selanjutnya menggunakan persamaan-persamaan analisis tweek, nilai ketinggian pantul
ionosfer (h), jarak perambatan gelombang (d), dan nilai kerapatan elektron ekivalen (n)
dapat ditentukan.
3. DATA DAN METODA 3.1 Data yang digunakan
Sinyal VLF yang dianalisis adalah data yang diterima penerima VLF Pontianak
(0,05 oLS, 109,25 oBT) dalam format data *.dat. (Manik, 2012). Pengamatan petir
diwakili oleh perekaman data selama ~2 menit dalam rentang waktu 10 menit
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
371
pengamatan, yang dilakukan pada malam hari (setelah matahari terbenam sampai
dengan matahari terbit).
Data dapat dikonversi ke format gelombang .wav untuk dapat ditampilkan dalam
bentuk spektrum. Dalam satu malam pengamatan, dari pukul 16:00-18:50 UT atau
11:00 LT -22:50 LT, banyak tweek yang diamati dan direkam. Perekaman data
dilakukan dalam format sinoptik, yaitu direkam selama ~2 menit dari setiap 10 menit
dan berulang sepanjang waktu pengamatan, sehingga dalam satu malam diperoleh data
sebanyak 12 x 6 data = 72 set data, masing-masing selamama ~2 menit.
Gambar 2: Contoh data pengamatan tweek di Pontianak, 21 Maret 2013, mulai pukul
17:00 UT, ditunjukkan dalam format spektrogram, frekuesni dengan waktu. Garis-garis
vertikal adalah sinyal VLF yang dihasilkan petir, disebut sferics.
Gambar 2. menunjukkan contoh data yang diperoleh pada 21 Maret 2013, pukul
17.00-17.02 UT, atau pukul 24.00-24.02 LT menggunakan format spectrogram (bawah),
frequency dalam Hz dan waktu dalam detik, serta bentuk gelombang radio VLF (atas).
Terlihat banyak sekali garis-garis tipis vertikal, menunjukkan sinyal yang dihasilkan
petir, dinamai radio atmospherics atau sferics. Sinyal radio akan mengalami dispersi
pada saat mendekati frekuensi cut-off dari media pemandu gelombang (wave guide)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
372
ionosfer, disebut tweek. Sumber petir bisa berasal dari jarak yang sangat jauh hingga
ribuan kilometer dari stasiun penerima.
3.2 Metode analisis
(1) Data yang dibaca adalah spektrum data perekaman selama 2 menit dalam
rentang waktu 10 menit.
(2) Metoda Manual:
a. Pada setiap spektrum dilakukan pembacaan secara visual untuk menentukan
beberapa titik frekuensi-waktu.
b. Menentukan waktu dispersi dari frekuensi yang lebih tinggi dengan
frekuensi yang lebih rendah.
c. Menentukan frekuensi cut-off fc dari spektrum dinamis.
d. Perhitungan perkiraan ketinggian pemantul ionosfer (h), jarak propagasi (d),
dan kerapatan elektron (n)
(3) Metoda Otomatis :
a. Pembacaan data, menentukan jumlah trigger petir yang terdapat dalam data,
merupakan indikasi pengenalan waktu kejadian tweek.
b. Mendapatkan titik-titik data (fi, ti); i+ 1, 2, … N, dengan cara menggeser
titik-titik bayangan sepanjang spektrum untuk setiap sampling waktu, engan
interval waktu ~ 100 ms (30 ms sebelum dan 70 ms sesudah trigger petir).
c. Pemilihan titik (fi, ti) dilakukan dengan membandingkan dua titik yang
berurutan, ti dan ti+1, dan memilih titik dengan intensitas terbesar, dengan
intensitas >-11dB.
d. Titik-titik data yang diperoleh akan merupakan sekumpulan data (fi, ti),
dengan i = 1, 2, …, N, yang kan dapat membentuk kurva teoritis pada
spektum tweek.
e. Penentuan frekuensi cut-off tweek (fc) dengan menggunakan metoda least
square.
f. Menghitung dan memperkirakan nilai ketinggian pemantul ionosfer (h),
jarak perambatan gelombang (d) menggunakan persamaan-persamaan
analisis tweek.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
373
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Agar dapat mempelajari variasi lapisan ionosfer bawah pada suatu periode waktu
yang panjang membutuhkan analisis data tweek yang tidak sedikit yang akan sangat
menyita waktu apabila dilakukan secara manual. Beberapa contoh hasil analisis yang
telah dilakukan menggunakan metoda deteksi dan analisis otomatis ditunjukkan pada
Gambar 3. Analisis dilakukan pada data VLF 21 Maret 2013, mulai pukul 16:00 hingga
18:50 berjumlah 72 set data, yaitu data 2 menit dari setiap 10 menit perekaman data.
Dari kiri ke kanan berturut-turut adalah hasil analisis pada pukul 16:00+42,21 detik UT
pukul 17:00+126.17 detik UT, pukul 18:00+5,33 detik UT, dan pada pukul 18:50+92,23
UT. Semua hasil menunjukkan tweek hingga mode kedua dan ketiga, anmun ketinggian
lapisan pemantul ionosfer (h) dapat diperoleh dengan n=1, sehinga tweek yang dianalisis
adalah tweek mode pertama.
Gambar 3: Contoh hasil analisis tweek dengan metoda otomatis untuk tweek mode-1.
Hasil analisis menggunakan metoda otomatis yang diuji pada contoh data
selama 3 jam pengamatan tanggal 21 Maret 2013 mulai dari pukul 16:00 UT hingga
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
374
19:00 UT dengan selang waktu 10 menit ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Waktu t
dikonversi ke detik setelah pukul 16:00 UT atau setelah tengah malam waktu lokal.
Tabel 1: Hasil analisis tweek metode otomatis, 21 Maret 2013, mulai pukul 16:00 UT
t setelah pkl
16:00 (detik)
fc
(Hz)
t0
(detik)
d
(km)
h
(km) 2.98 1,448.74 0.0420 10,917 103.47
16.17 1,390.57 0.0373 12,328 107.79 42.21 1,876.10 0.0049 4,522 79.90 620.70 1,382.73 0.0001 3,867 108.41 710.98 1,324.22 0.0030 4,888 113.20 711.47 1,280.95 0.0188 9,185 117.02
1,202.07 1,401.84 0.0040 5,006 106.93 1,202.77 1,362.31 0.0071 5,809 110.03 1,260.88 1,405.82 0.0187 8,708 106.63 1,266.06 1,259.10 0.0136 7,447 119.05 1,304.11 1,301.77 0.0032 4,776 115.15 1,916.95 1,257.42 0.0066 5,674 119.21 2,407.59 1,620.35 0.0270 10,396 92.51 2,485.79 1,923.52 0.0487 15,465 77.93 2,502.96 1,753.49 0.0011 4,184 85.48 2,519.57 1,301.98 0.0182 8,791 115.13 3,726.17 1,317.34 0.0069 5,093 113.79 4,304.95 1,505.57 0.0008 4,161 99.56 5,446.17 1,706.45 0.0504 16,429 87.84 5,488.14 1,333.17 0.0008 4,135 112.44 6,675.64 1,724.94 0.0031 2,184 86.90 6,692.03 1,425.30 0.0153 7,844 105.17 7,205.33 1,450.07 0.0102 5,865 103.37 7,240.96 1,783.42 0.0031 5,219 84.05 7,257.35 1,612.12 0.0070 2,195 92.98 7,258.30 1,445.59 0.0005 3,228 103.69 7,283.51 1,547.98 0.0036 3,174 96.83 7,283.88 1,676.26 0.0033 1,956 89.42 7,290.38 1,388.34 0.0397 10,252 107.97 7,852.05 1,661.54 0.0034 5,052 90.22 7,899.37 1,272.20 0.0190 8,952 117.82 8,504.27 1,567.43 0.0011 3,507 95.63 8,525.50 1,390.73 0.0412 11,572 107.78 9,008.64 1,676.09 0.0577 16,596 89.43 9,081.34 1,511.67 0.0031 1,584 99.16 9,638.83 1,699.62 0.0495 14,481 88.19 9,639.06 1,489.02 0.0043 11,382 100.67 9,687.78 1,525.92 0.0070 10,484 98.23 9,703.02 1,843.59 0.0035 2,925 81.31 10,217.31 1,738.38 0.0438 13,969 86.23 10,234.06 1,743.80 0.0439 12,419 85.96 10,272.42 1,689.55 0.0011 3,631 88.72 10,279.35 1,472.61 0.0415 9,762 101.79 10,292.23 1,544.99 0.0037 4,299 97.02 10,319.96 1,495.57 0.0030 1,056 100.23
Dari hasil analisis pada Tabel 1 diperoleh hasil penentuan frekuensi cut-off
tweek fc, dan hasil perkiraan waktu propagasi gelombang (t0), jarak propagasi
gelombang petir (d) dan ketinggian lapisan pantul ionosfer (h).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
375
Gambar 4: Variasi ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dari tweek
yang diperoleh dengan metoda otomatis.
Variasi ketinggian lapisan pemantul (h) pada periode pengamatan tersebut
ditunjukkan pada Gambar 4. Ketinggian lapisan pemantul ionosfer berkisar pada
ketinggian antara 75 km hingga 120 km, menunjukkan lapisan pemantul berada pada
rentang ketinggian daerah D dan daerah E rendah.
Metoda otomatis akan digunakan untuk rentang waktu pengamatan yang lebih
panjang lagi untuk mendapatkan variasi lapisan ionosfer bawah jangka panjang, atau
untuk mempelajari kondisi lapisan ionosfer bawah pada periode waktu tertentu.
5. KESIMPULAN
Telah dilakukan analisis tweek dengan metoda otomatis untuk mendapatkan
frekuensi cut-off spektrum tweek dan memperkiraan jarak propagasi gelombang petir
(d) dan ketinggian lapisan pantul ionosfer (h). Beberapa hasil analisis dengan data real
penerima VLF Pontianak menunjukkan hasil yang lebih akurat yang mengikuti
spektrum dispersi tweek pada frekuensi cut-off tweek. Pada contoh analisis data tweek
yang dilakukan, ketinggian lapisan pemantul ionosfer berada pada ketinggian antara 75
km hingga 120 km, menunjukkan lapisan pemantul berada pada rentang ketinggian
daerah D dan daerah E rendah ionosfer. Metoda analisis tweek otomatis dapat
digunakan menganalisisi data tweek untuk pengamatan jangka panjang untuk
mempelajari variasi lapisan ionosfer bawah jangka panjang dan atau kondisi lapisan
ionosfer bawah pada periode waktu tertentu.
020406080
100120140
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000Ting
gi la
pisa
n pe
man
tul
iono
sfer
(km
)
Waktu (detik), setelah 16:00 UT
Ketinggian lapisan pemantul IonosferPontianak 21 Maret 2013, 16:00 UT
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
376
DAFTAR RUJUKAN:
Ohya, H., M. Nishino, Y. Murayama, and K. Igarashi, “Equivalent electron densities at
reflection heights of tweek atmospherics in the low-middle latitude D-region
ionosphere”, Earth Planets Space, 55, 627–635, 2003.
Ohya, H., Kazuo Shiokawa, Yoshizumi Miyoshi, “Development of an automatic
procedure to estimate the reflection height of tweek atmospherics”, Earth Planets
Space, 60, 2008.
Singh R., B. Veenadhari, M.B. Cohen, P. Pant, A.K. Singh, A.K. Maurya, P. Cohat, and
U.S. Inan, “Initial results from AWESOME VLF receivers: set up in low latitude
Indian regions under IHY2007/UNBSSI program”, Current Science, 98, No. 3,
10 Feb. 2010.
Maurya, Ajeet K. , B. Veenadhari, Rajesh Singh, Sushil Kumar, M. B. Cohen, R.
Selvakumaran, Sneha Gokani, P. Pant, A. K. Singh,and Umran S. Inan,
“Nighttime D region electron density measurements from ELF/VLF, tweek radio
atmospherics recorded at low latitudes”, JGR Vol. 117, 2012
Manik, Timbul, “Asia VLF-receiver Observation Network (AVON): Stasiun
Pontianak”, Prosiding SNSAA 2012, Juni 2013
Cummer, S.A., U.S. Finant and T.F. Bell, “Ionospheric D region remote sensing using
VLF radio Atmospherics”, Radio Science Vol. 33, N.6, 1998
Anonimus, http://vlf.stanford.edu/research/introduction-vlf, “Introduction-vlf”, diunduh
Nopember 2012.
Markwardt, C., “Least Squares Fitting and Equation Solving with MPFIT” in IDL
Curve Fitting and Function Optimization, Markwardt IDL Library, University of
Maryland and NASA’s Goddard Spaceflight Center, 2009
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
377
RANCANGAN PEMBANGUNAN SISTEM PENYIMPANAN DATA PENELITIAN BERBASIS
KOMPUTASI AWAN MENGGUNAKAN OWNCLOUD
Yoga Andrian1, Rizal Suryana1
1PUSAT SAINS ANTARIKSA – LAPAN
Jl. DR. Djundjunan 133 Bandung, Jawa Barat [email protected], [email protected]
Abstrak Komputasi awan (cloud computing) merupakan suatu paradigma di mana informasi tersimpan secara permanen di internet (awan) dan bersifat sementara di komputer pengguna. Saat ini teknologi komputasi awan semakin banyak digunakan karena banyak kelebihan di antaranya yaitu kemudahan dalam mengakses informasi. OwnCloud adalah salah satu sistem penyimpanan data berbasis web yang menggunakan teknologi komputasi awan (cloud storage), bersifat open source dan merupakan layanan komputasi berbasis Software as a Service (SaaS). Sistem penyimpanan data berbasis komputasi awan dibuat untuk memudahkan pengguna dalam hal ini peneliti yang ingin menyimpan data hasil pengolahan di media peyimpanan internet (secara online), dimana data tersebut dapat tersinkronisasi langsung ke dalam komputer/gadget peneliti. Selama peneliti dapat terkoneksi ke internet, data dapat digunakan untuk keperluan penelitian, selain itu juga sistem ini dapat dijadikan sebagai media penyimpanan untuk backup data. Peneliti dapat mengakses data melalui web browser dan melakukan sinkronisasi data langsung dari komputer yang sudah terdapat aplikasi OwnCloud versi desktop dan aplikasi mobile. Sistem ini dibangun di dalam sebuah server yang juga berbasis komputasi awan dengan menggunakan sistem operasi Ubuntu server. Sistem ini sangat user friendly sehingga memudahkan pengguna dalam menggunakan sistem serta mudah diakses. Kata Kunci : KomputasiAwan, Media Penyimpanan Awan, OwnCloud
Abstract Cloud Computing is a paradigm in which information is permanently stored in
servers on the internet and cached temporarily on clients computer. Nowadays cloud computing technologies are increasingly used because of many advantages such as the ease of information access. OwnCloud is open source web based data storage with cloud storage technologies and computing services based on Software as a Service (SaaS) . Cloud storage system makes user (researchers) more easier to store the result of data processing into cloud storage media (online) where the data can be synchronized directly to their computer. During researchers connected to internet, data can be used for research purposes, beside it this system may be used as storage media for backup data. Researchers can access the data via web browsers and synchronize data directly from their computer that installed owncloud desktop application and mobile application for their gadget. This system was built inside a server based on cloud computing which is using Ubuntu server for the operating system. This system is user friendly so make easier for users to use system and easily accessible.
Keywords : Cloud Computing, Cloud Storage, OwnCloud
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
378
1. PENDAHULUAN
Perkembangan data hasil penelitian Indonesia sekarang semakin pesat, khususnya
bidang sains antariksa dan teknologi atmosfer. Hal ini diiringi dengan perkembangan IT
yang membuat para peneliti tidak harus melakukan publikasi hasil penelitiannya melalui
media cetak tetapi dengan memanfaatkan data media elektronik/digital. Untuk
menampung data hasil penelitiannya, para peneiti tentunya membutuhkan suatu media
penyimpanan (storage) data elekronik/digital seperti hardisk dan flashdisk yang bersifat
offline sehingga harus dibawa kemana saja untuk mendukung kebutuhan peneliti
tersebut. Para pakar di bidang IT di seluruh dunia selalu mencari inovasi terbaru yang
dapat digunakan oleh para pengguna, salah satunya yaitu dengan munculnya teknologi
virtualisasi yang salah satunya adalah komputasi awan (cloud computing). Dengan
komputasi awan, sumber daya komputer yang digunakan dan data tidak lagi disimpan di
dalam satu komputer PC (personal computer) (Mark-Shane E. Scale., 2009). Sistem
penyimpanan data berbasis komputasi awan memudahkan pengguna dalam hal ini
peneliti yang ingin menyimpan data hasil pengolahan di media penyimpanan internet
(secara online), dimana data tersebut dapat tersinkronisasi langsung ke dalam
komputer/gadget. Peneliti cukup terkoneksi ke internet jika ingin menggunakan data
yang telah disimpan di media penyimpanan awan sehingga tidak perlu memikirkan
media penyimpanan untuk menyimpan data dan juga tidak perlu membawa media
penyimpanan seperti flashdisk atau hardisk.
Tulisan ini bertujuan untuk membangun suatu sistem penyimpanan data penelitian
secara virtual di dalam server dengan teknologi komputasi awan menggunakan aplikasi
OwnCloud yang memudahkan pengguna dalam hal ini peneliti untuk menyimpan data
penelitiannya di dalam media penyimpanan berbasis komputasi awan serta melakukan
uji coba sistem.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Virtualisasi
Virtualisasi adalah teknik membuat sebuah fisik komputer mempunyai fungsi
seperti dua atau lebih komputer di dalam tingkatan pemrograman perangkat lunak
abstraction yang setiap mesin virtual tersebut didukung oleh arsitektur dasar yang
sesuai dengan komputer fisik aslinya (Teguh, I., dkk, 2010).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
379
2.2 Komputasi Awan (Cloud Computing) Komputasi awan adalah jenis komputasi yang berskalabilitas tinggi dan
menggunakan sumber daya yang sudah divirtualisasi yang dapat di-share oleh
pengguna. Pengguna tidak perlu mempunyai latar belakang pengetahuan tentang
layanan tersebut. Pengguna yang terkoneksi ke internet dapat berkomunikasi dengan
banyak server secara bersamaan dan server-server tersebut saling bertukar informasi
satu sama lain (Hayes, B., 2008).
2.3 Media Penyimpanan Awan (Cloud Storage)
Media penyimpanan awan adalah mode layanan penyimpanan baru yang tempat
penyimpanan data dan kapasitas penyimpanannya disediakan oleh penyedia layanan
melalui jaringan (internet). Klien tidak perlu tahu secara rinci tentang infrastruktur atau
mekanisme dari penyimpanan datanya (Wenying, Z., et.al., 2009).
2.4 OwnCloud
OwnCloud adalah salah satu sistem penyimpanan data berbasis web yang
menggunakan teknologi komputasi awan (cloud storage), bersifat open source dan
merupakan layanan komputasi berbasis Software as a Service (SaaS). OwnCloud
menyediakan pengamanan data yang baik, memiliki tata cara yang baik bagi pengguna
aplikasi untuk membagi dan mengakses data yang secara lancar terintegrasi dengan
perangkat teknologi informasi yang tujuannya mengamankan, melacak, dan melaporkan
penggunaan data (http://owncloud.org/about/).
3. METODE
Pembangunan sistem penyimpanan data ini dilakukan di kantor Lapan Bandung.
Kebutuhan sistem diupayakan menggunakan spesifikasi yang cukup tinggi agar
mempunyai kinerja yang bagus. Tabel 1 menunjukkan spesifikasi yang dipakai untuk
membuat sistem.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
380
Tabel 1 : Spesifikasi Hardware dan Software Sistem
No. Hardware dan Software
Spesifikasi
1 Sistem Operasi
Ubuntu Server 12.04 64Bit
2 Processor Intel Xeon Processor Quad Core
3 RAM 2 GB 4 Hardisk (NAS) 2 TB 5 Aplikasi Proxmox, OwnCloud 5
Pembangunan sistem dimulai dengan membuat server di dalam sistem komputasi
awan yang bernama Proxmox. Tahap selanjutnya melakukan instalasi sistem
menggunakan OwnCloud. Infrastruktur media penyimpanan datanya (hardisk)
menggunakan sistem Network Attach Storage (NAS). Kemudian menyiapkan tempat
direktori untuk menyimpan data dari pengguna dengan melakukan mounting direktori,
yaitu menggabungkan atau menambahkan partisi penyimpanan (hardisk) dari NAS ke
dalam server secara virtual. Lalu diatur konfigurasi tempat menyimpan data di
OwnCloud dengan mengarahkan path direktori ke tempat yang sudah disiapkan
sebelumnya. Gambar 1 menunjukkan arsitektur dari sistem.
Gambar 1 : Asitektur sistem penyimpanan data dengan OwnCloud
Setelah proses instalasi selesai, maka dilakukan uji coba sistem. Parameter yang
diuji yaitu berapa banyak data yang dapat diunggah ke sistem selama satu jam, berapa
banyak data yang diunduh selama satu jam. Proses uji coba sistem dilakukan oleh
seorang tenaga operator pada sebuah komputer PC klien yang menggunakan jaringan
intranet Lapan Bandung pada hari libur kerja (hari sabtu) untuk meminimalisir
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
381
gangguan dari penggunaan bandwith jaringan oleh pegawai lain yang terkoneksi ke
internet.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setiap peneliti yang sudah terdaftar di sistem akan mendapatkan wadah
penyimpanan data yang kapasistasnya telah ditentukan oleh admin dari sistem, sebagai
tahap awal sebesar 50GB. Untuk dapat menggunakan data melalui mobile phone /
gadget, peneliti dapat mengunduh data melalui web browser sama seperti yang
dilakukan jika menggunakan komputer dengan mengetikkan alamat IP dari sistem ini
melalui web browser. Selain itu peneliti juga dapat menginstal aplikasi yang dapat
diunduh dari Google Play Market jika menggunakan sistem operasi Android dan Apple
Store jika menggunakan sistem operasi IOS.
4.1 Sistem OwnCloud 4.1.1 Proses Autentikasi
Peneliti harus melakukan proses login pada halaman autentikasi pengguna
(Gambar 2) untuk bisa masuk ke halaman utama dengan menggunakan username dan
password yang sebelumnya sudah diberikan oleh administrator sistem.
Gambar 2 : Halaman autentikasi pengguna (peneliti) di OwnCloud
4.1.2 Unggah dan Unduh File
Setelah proses autentikasi pengguna berhasil, maka peneliti masuk ke halaman
Utama (Gambar 3). Pada halaman ini peneliti sudah bisa melakukan proses unggah file
untuk memasukkan data ke server atau dapat membuat file baru.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
382
Gambar 3 : Proses unggah file ke server OwnCloud
4.1.3 Membuat catatan
OwnCloud juga mempunyai fitur untuk membuat catatan seperti LogBook yang
memudahkan peneliti dalam menentukan target atau capaian yang harus
dilakukan selama kegiatan penelitian (Gambar 4).
Gambar 4 : Pembuatan catatan di halaman Kalender 4.1.4 Halaman Menampilkan Gambar
File atau data yang berbentuk gambar yang telah diunggah ke dalam server dapat
dilihat langsung oleh peneliti di menu Pictures (Gambar 5). Tipe file yang dapat dilihat
di halaman ini yaitu jpg, jpeg, png, gif, dan bmp.
Gambar 5 : Halaman untuk menampilkan data berbentuk gambar
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
383
4.2 Uji Coba Sistem Uji sistem dilakukan oleh seorang tenaga operator yaitu dengan menguji berapa
besar data yang dapat diunggah ke dalam sistem selama satu jam (Tabel 2) dan berapa
banyak data yang dapat diunduh dari sistem selama satu jam (Tabel 3).
Tabel 2 : Proses unggah data ke sistem Tabel 3 : Proses unduh data dari sistem No. Tipe file Total 1 .jpg 10,7 GB 2 .iso 6,22 GB 3 .docx 0,78 GB 4 .pptx 1,33 GB 5 .xlsx 0,87 GB 6 .txt 0,49 GB 7 .flv 4,1 GB
Dari Tabel 2 diketahui total data yang dapat diunggah ke dalam sistem selama satu jam
yaitu 24,49 GB sedangkan dari Tabel 3 dapat diketahui total yang diunduh dari sistem
selam satu jam yaitu 29,41 GB. Proses unggah dan unduh dibagi berdasarkan tipe data
(ekstension file).
5. KESIMPULAN
Sistem ini dapat membantu memudahkan peneliti dalam menyimpan data karena
tampilannya yang user friendly dan akses yang cepat dalam penggunaan data.
Berdasarkan uji sistem dari sisi unggah dan unduh data maka besar data yang dapat
diunggah selama satu jam yaitu 24,49 dan data yang dapat diunduh selama satu jam
sebesar 29,41 GB.
DAFTAR PUSTAKA Hayes, B., Cloud Computing, Communications of ACM., 51(7), 9-11. 2008.
Mark Shane E, Scale., Cloud Computing and Collbarotaion, Library Hi Tech News.,
26(9), 10-13. 2009.
Teguh, I., Indrastanti, R., Dian, W., Penerapan Teknologi Virtualisasi Tingkat Sistem
Operasi Pada Server Linux Ubuntu 8.04 menggunakan OpenV, Jurnal Teknologi
Informasi-Aiti ., 7(1), 68-85. 2010.
Wenying, Z., Yuelong, Z., Kairi, O., Wei, S., Research on Cloud Storage Architectures
and Key Technologies, ICIS '09 Proceedings of the 2nd International Conference
No. Tipe file Total 1 .jpg 13,03 GB 2 .iso 6,5 GB 3 .docx 0,92 GB 4 .pptx 1,77 GB 5 .xlsx 1,29 GB 6 .txt 0,8 GB 7 .flv 5,1 GB
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
384
on Interaction Sciences: Information Technology, Culture and Human., 1044-1048.,
ISBN: 978-1-60558-710-3. 2009.
http://owncloud.org/about/, diakses tanggal 14 November 2013
http://blog.three.co.uk/2012/08/10/cloud-storage/, diakses tanggal 18 November 2013
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
385
VARIASI DIURNAL MAGNET-BUMI SAAT GERHANA MATAHARI CINCIN 26 JANUARI 2009
Yosi Setiawan, I Putu Dedy Pratama
Akademi Meteorologi dan Geofisika
Abstrak Sejak tahun 1900 banyak penelitian mencoba membuktikan apakah gerhana matahari berpengaruh terhadap medan magnetik di Bumi atau tidak. Penelitian ini menggunakan data rekaman perdetik dari variasi diurnal medan geomagnetik (H, D, Z) dari tiga stasiun pengamatan magnet-bumi di Indonesia (Kototabang, KTB; Pelabuhan Ratu, PEL; dan Kupang, KUG). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kejadian gerhana Matahari cincin 26 Januari 2009 terhadap variasi harian geomagnetik. Data yang digunakan adalah data satu hari sebelum gerhana, saat gerhana, dan setelah gerhana. Di Kototabang, Pelabuhan Ratu, dan Kupang terjadi kenaikan pada komponen H masing-masing sebesar 15 nT, 50 nT, dan 30 nT dua jam sebelum gerhana dan penurunan masing-masing sebesar 20 nT, 50 nT, dan 40 nT empat jam sesudah gerhana. Pada komponen D dan Z tidak terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan tertinggi nilai komponen H terjadi di Pelabuhan Ratu karena lokasi ini berada dekat dengan jalur gerhana. Perubahan ini disebabkan oleh penurunan konsentrasi elektron dan kerapatan muatan pada lapisan ionosfer. Kata Kunci : Variasi Diurnal, Gerhana Matahari Cincin, Magnet-bumi
Abstract Since 1900 many attemps have been made to ascertain whether or not a solar eclipse has any effects on the geomagnetic field. This research was using second data records of geomagnetic field variation (H, D, Z) from three geomagnetic observation stations in Indonesia (Kototabang, KTB; Pelabuhan Ratu, PEL; dan Kupang, KUG). The aim of this research is to analyze the influence of solar eclipse on January 26th, 2009 to geomagnetic diurnal variations. We used data from the preceding date of solar eclipse, the date of solar eclipse, and the succeeding date of solar eclipse. The H component at Kototabang, Pelabuhan Ratu, and Kupang has increased two hours before the eclipse around 15 nT, 50 nT, and 30 nT for each station, and decreased four hours after the eclipse around 20 nT, 50 nT, and 40 nT for each station. There are no significant change in amplitude or variation in the D and Z components. The highest change in H-amplitude was observed at Pelabuhan Ratu because its located close to path of solar eclipse. These observed changes be attributed to ionospheric effects due to decrease in electron concentration and ionospheric current density. Keywords: Diurnal Variation, Annular Solar Eclipse, Geomagnetic
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
386
1. PENDAHULUAN
Gerhana matahari cincin terjadi pada tanggal 26 Januari 2009 antara jam 08.00 –
11.00 UTC. Lintasan gerhana dimulai dari utara Sulawesi lalu berbelok ke selatan
melewati Kalimantan dan selat Sunda, melintasi Samudera Hindia dan berakhir di
selatan Afrika. Dari peta lintasan gerhana NASA puncak gerhana terjadi pada jam
7:58:39.0 UTC dan terjadi di atas Samudera Hindia selama 7 menit 53.7 detik.
Penelitian sebelumnya mengenai variasi medan geomagnet selama gerhana
matahari berkesimpulan terjadi anomali positif di komponen Y dan anomali negatif
pada komponen X (Curto, 2006). Beberapa penelitian (Onovughe, 2013; Jia-Chun, dkk.,
2010; Saeki, dkk. 2011) menyatakan bahwa selama gerhana matahari terjadi perubahan
medan magnetik akibat dari efek ionosfer. Variasi harian medan magnet pada hari
tenang disebabkan oleh aliran arus dinamo di ionosfer pada lapisan E. Selama gerhana,
sebagian dari ionosfer terhalang dari pemanasan dan radiasi matahari. Hal ini
mengakibatkan perubahan pola arus pada lapisan ini dan teramati di permukaan sebagai
perubahan medan magnet (Adam, dkk., 2005). Gerhana matahari meningkatkan proses
ionosferik di lapisan E dan mempengaruhi variasi harian geomagnetik (Solar quiet/Sq).
Perubahan paling signifikan terjadi pada ionosfer karena lapisan ini letaknya
paling dekat dengan matahari. Hasilnya, berkurangnya sinar matahari selama gerhana
diduga mengganggu lapisan ionosfer yang tercatat di stasiun geomagnet yang berada di
daerah lintasan gerhana (Onovughe, 2013).
Beberapa stasiun geomagnet di Indonesia yang dilewati oleh gerhana ini antara
lain Kototabang/KTB (103.32 BT - 0.23 LS), Pelabuhan Ratu/PEL (106.6 BT - 7.1 LS),
dan Kupang/KUG (123.7 BT - 10.2 LS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh gerhana matahari terhadap medan magnet yang tercatat di stasiun geomagnet
di Indonesia.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
387
2. DATA DAN METODE
Tabel 1. Stasiun geomagnet, koordinat geografis, magnitude, dan waktu terjadi gerhana
26 Januari 2009 di Kototabang (KTB), Pelabuhan Ratu (PEL), dan Kupang (KUG yaitu
stasiun yang dilewati oleh lintasan gerhana.
Stasiun Lintang (LS) Bujur (BT) Penggelapan Maksimum
Gerhana Mulai (UTC)
Gerhana Berakhir (UTC)
KTB 0°13'48.0" 103°19'12.0" 75.5% 08:27:56.7 10:57:53.6
PEL 7°06'00.0" 106°36'00.0" 83.0% 08:19:41.7 10:50:11.6
KUG 10°12'00.0" 123°42'00.0" 53.4% 08:32:21.4 -
Tabel 1 menampilan data lokasi stasiun geomagnet yang digunakan pada
penelitian ini, meliputi koordinat, waktu gerhana, dan persentase penggelapan
maksimum.
Penelitian ini menggunakan data variasi diurnal komponen H (horizontal), D
(deklinasi), dan Z (Vertikal) dari 3 stasiun sehari sebelum, saat, dan sesudah gerhana
yaitu dari tanggal 25 s.d. 27 Januari 2013. Data diurnal dibandingkan antara kejadian
sebelum, saat, dan sesudah gerhana, Kemudian komponen yang menunjukkan fluktuasi
yang signifikan dibuat spektrum sinyal pada rentang jam kejadian gerhana (antara pukul
8 s.d. 11 UTC) yang dibandingkan dengan rentang jam yang sama pada hari yang
berbeda yaitu satu hari sebelum dan sesudah gerhana.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari analisis yang telah dilakukan, didapatkan hasil perbandingan variasi diurnal
sehari sebelum, saat, dan sesudah gerhana. Di Kototabang, Pelabuhan Ratu, dan Kupang
terjadi kenaikan pada komponen H masing-masing sebesar 15 nT, 50 nT, dan 30 nT dua
jam sebelum gerhana dan penurunan masing-masing sebesar 20 nT, 50 nT, dan 40 nT
empat jam sesudah gerhana. Pada komponen D dan Z tidak terjadi perubahan yang
signifikan.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
388
Gambar 1 : Grafik plot variasi diurnal komponen H sehari sebelum (hitam) dan sesudah
gerhana (biru) dan saat gerhana (merah).
Gambar 1 menunjukkan adanya kenaikan nilai komponen H di semua stasiun
sebelum terjadi gerhana dan penurunan setelah terjadi gerhana. Hal ini menunjukkan
bahwa gerhana matahari menyebabkan peningkatan aktivitas geomagnetik pada
komponen H.
Perubahan tertinggi nilai komponen H terjadi di Pelabuhan Ratu karena lokasi ini
berada dekat dengan jalur gerhana. Kotak biru pada gambar 1 menunjukkan waktu
terjadinya gerhana yaitu antara jam 8.00 – 11.00 UTC. Data tiga jam komponen H
untuk masing-masing stasiun dibuat spektrum dengan Transformasi Fourier (Gambar
2). Hasilnya pada waktu kejadian gerhana menunjukkan terjadinya kenaikan amplitudo
pada frekuensi dibawah 0.01 Hz. Kenaikan amplitudo terbesar terjadi di Pelabuhan
Ratu.
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
389
Gambar 2 : Grafik plot spektrum saat kejadian (merah) gerhana matahari cincin (Jam
08.00 – 11.00 UTC) dan sehari sebelum (hitam) dan sesudah gerhana (biru) pada jam
yang sama
Persentase penggelapan maksimum berkorelasi positif dengan perubahan nilai
komponen H dan amplitudo spektrumnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cullington
(1962), Orozco dan Barreto (1993), serta Onovughe (2013).
KTB
K
UG
PE
L
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
390
4. KESIMPULAN
Ionisasi radiasi elektromagnetik terhadap lapisan ionosfer pada kejadian gerhana
matahari cincin 26 Januari 2009 mempengaruhi medan geomagnet pada daerah yang
dilintasi dan tercatat di stasiun geomagnet sebagai berikut :
Terjadi kenaikan pada komponen H di Kototabang, Pelabuhan Ratu, dan
Kupang masing-masing sebesar 15 nT, 50 nT, dan 30 nT dua jam sebelum
gerhana dan penurunan masing-masing sebesar 20 nT, 50 nT, dan 40 nT
empat jam sesudah gerhana.
Terjadi kenaikan pada spektrum komponen H pada saat terjadi gerhana.
Pada komponen D dan Z tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Perubahan tertinggi nilai komponen H terjadi di Pelabuhan Ratu karena
lokasi ini berada dekat dengan jalur gerhana.
DAFTAR RUJUKAN Adam, A., Vero, J., Szendroi, J., “Solar Eclipse Effect On Geomagnetic Induction
Parameters”. Annales Geophysicae, 2005.
Cullington, A. L, “Geomagnetic Effects Of The Solar Eclipse, 12 October 1958, At
Apia, Western Samoa”, New Zealand Journal of Geology and Geophysics, 1962.
J.J. Curto, B. Heilig, M. Pinui, “Modeling the geomagnetic effects caused by the solar
eclipse of 11 August 1999”. J. Geophys. Res. 111, A07312, 2006.
Jia-Chun, An., Ze-Min, Wang, Dong-Chen, E., Wei, Sun. “Ionospheric Behaviour
During The Solar Eclipse Of 22 July 2009 And Its Effect On Positioning”,
Chinese Journal of Geophysics, 2010.
Onovughe, Elvis V., “Geomagnetic Diurnal Variation during the Total Solar Eclipse of
29 March 2006”, International Journal of Astronomy, 2013.
Orozco, Adolfo L. and Barreto, Luis Muniz, “Magnetic Effects During the Solar Eclipse
of July 11, 1991”, Geofisica Internacional, 1993.
Saeki, Y., Minamoto, Y., Fujita, S., Nagamachi, S., “Coupled-Model Numerical
Simulation of Ground Magnetic Fields During The Solar Eclipse of 22 July
2009”, Kakioka Magnetic Observatory, vol. 8, No.1, pp. 11-18, 2011.