prosiding - fkep.unpad.ac.idfkep.unpad.ac.id/semnasukom/prosiding_semnas_ukom.pdf · kepuasan ibu...
TRANSCRIPT
i
i
PROSIDING Seminar Nasional & Lokakarya Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan
“PENGUATAN SISTEM UJI KOMPETENSI DALAM
MENINGKATKAN KUALITAS PROFESI TENAGA KESEHATAN
UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING BANGSA DI ERA GLOBAL”
Diselenggarakan oleh:
LPUK – NAKES & UNPAD
Kamis – Jumat, 9 – 10 Februari 2017
Gedung Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran
Jl. Eikman No. 38 Bandung
ii
DAFTAR ISI
Daftar Isi ii Susunan Kepanitiaan iii Susunan Acara Kegiatan vi Sambutan Ketua Pelaksana viii Materi 1 Pengembangan Soal Uji Kompetensi Untuk Keterampilan Klinik Dalam Bentuk OSCE
1
Penetapan Kelulusan Dengan Metode ANGOFF Dan EBEL 2
Pengembangan Uji Kompetensi Untuk Penilaian Sikap 4 Presentasi Paper 5 Aplikasi Kurikulum Terintegrasi pada Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan: perlukah dipertahankan?
5
Efektifitas Strategi Pembelajaran Murder Terhadap Hasil Belajar ASKEB I Mahasiswa Kebidanan Di STIKIM
11
Hubungan Metode Pembelajaran, Gaya Belajar Hasil Belajar Metodologi Penelitian Mahasiswa Div Kebidanan Stikim 2011-2012
35
SMALL GRUP DISCUSSION Berbasis Jejaring Sosial: Metode Pembelajaran Alternatif Bagi Mahasiswa Profesi Ners Stase Keperawatan Komunitas
61
Pemanfaatan Hasil Uji Kompetensi Nasional Perawat Dalam Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
72
Identifikasi Kelulusan Ukni Berdasarkan Hasil Try Out Di Stikes Rajawali bandung tahun 2016
83
Analisis Hasil Try Out Uji Kompetensi Ners Berbasis PDCA Di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
91
Core Competencies On Care Of The Dying, Dead And Bereaved For Undergraduate Nursing Students: A Scoping Review
105
Penjaminan Mutu Internal Lulusan PSPA STFB Melalui CBT & OSCPE
132
Comprehensive Computer Based Testing Sebagai Prediksi Kelulusan Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
142
Kepuasan Ibu Sebagai Evaluasi Kompetensi Asuhan Balita Mahasiswa Prodi D.Iv Kebidanan Melalui Keluarga Asuh Di Desa Cipacing Dan Cikeruh 2016
155
Peningkatan Kompetensi Penjahitan Luka Perineum Menggunakan Low Cost Model Berbahan Kain Flannel Bagi Mahasiswa Kebidanan
156
Peran Matrikulasi Dalam Peningkatan Kemampuan Akademik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
158
Nilai Try Out Sebagai Faktor Prediktor Hasil Uji Kompetensi Nasional Lulusan Ners Stikes Rajawali Bandung
159
iii
Analisis Hasil Uji Kompetensi Nasional Sebagai Bahan Perbaikan Proses Pembelajaran Pada Program Ners, Diploma Iii Keperawatan Dan Dilploma III Kebidanan
169
Faktor-Faktor Prediksi Keberhasilan Uji Kompetensi Nasional 171 Hubungan Indeks Prestasi Kumulatif (Ipk) Profesi Dokter Dan Nilai Ujian Komprehensif Dengan Kelulusan Firstaker Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD)
172
Pengaruh Karakteristik Penguji Terhadap Derajat Kesesuaian Antar Penguji Osce Di Prodi D3 Kebidanan Fk.Unpad
173
Hubungan Hasil Belajar Antara Keterampilan Laboratorium Dengan Keterampilan Klinik Blok Intra Natal Care (Inc) Prodi D.IV Kebidanan FK.UNPAD 2017
192
Uji Kompetensi Perawat Dan Asas Kewenangan Perawat D.III Dan S.1/Ners Dalam Melaksanakan Asuhan keperawatan
193
Clinical Reasoning In Third-Year Medical Students’ OSCE 203 Profil Kesiapan Dokter Muda Dalam Osce Komprehensif Di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
214
Model Pembimbingan Ukmppd Integratif Fk Unisba Tahun 2016 220 Analisis Kualitas Soal Berbasis Vignette Di Pendidikan Tinggi Keperawatan Di Kota Pekanbaru
228
iv
SUSUNAN KEPANITIAAN SEMINAR NASIONAL
UJI KOMPETENSI TENAGA KESEHATAN
1. Pelindung : Rektor Universitas Padjadjaran
2. Penasehat : LPUK Ketua AIP dan Anggota LPUK-Nakes
3. Pengarah :
Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS., Ph.D (Dekan Fak. Keperawatan)
Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr. M.Si. Sp. F. DFM (Dekan Fak. Kedokteran)
Dr. Nina Djustiana, drg., M.Kes (Dekan Fak. Kedokteran Gigi)
Prof. Dr. Ajeng Diantini, M.Si., Apt (Dekan Fak. Farmasi)
4. Penanggungjawab :
Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A-K., M.Kes (Direktur Pendidikan) Prof. Dr. Dany Hilmanto, dr.Sp.A (K) (Wadek I FK) Prof. Dr. drg. Achmad Syawqie, M.Kes (Wadek I FKG) Dr. Tiana Milanda, M.Si., Apt (Wadek I Fak. Farmasi) Dr. Yanti Hermayanti, S.Kp., M.Nm (Wadek I Fak.Keperawatan)
5. Ketua Panitia : Ermiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat. (Fak. Keperawatan)
6. Bendahara : Titin Sutini, S.Kep., Ners., M.Kep. (Fak. Keperawatan)
7. Sekretaris : Etika Emaliyawati, S.Kep., Ners., M,Kep (Fak. Keperawatan) Ryan Hara Permana, S.Kep.,Ners., MN (Fak. Keperawatan)
8. Sie Ilmiah Mohammad Ghozali, M.Bio.,Med (Fak. Kedokteran) dr. Sari Puspa Dewi., M.Ked (Fak. Kedokteran) dr. Dwi Agustian, MPH, Ph.D (Fak. Kedokteran) Dr. Sri Adi Sumiwi, MS., Apt. (Fak. Farmasi) Urip Rahayu, S.Kp., M.Kep. (Fak. Keperawatan) Muchtaridi, Ph.D., Apt (Fak. Farmasi) drg. Emma Rahmawati, M.Kes. (Fak. Kedokteran Gigi) Dr. Raden Tina Dewi J, dr.SpOG (Fak. Kedokteran/Kebidanan) Neti Juniarti, Ph.D Drg. Ayu Trisna HAyati, Sp.KG. Siti Nurhasanah, S.Kep., Ners., M.Kep Lina Anisa, S.Kep., Ners
(Fak. Keperawatan) (Fak. Kedokteran Gigi) (Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan)
v
9. Sie Acara : Anita Setyawati, S.Kep., Ners., M.Kep (Fak. Keperawatan)
Yusshy Kurnia Herliani, MNS (Fak. Keperawatan) dr. Yuni Susanti Pratiwi, M.Kes., AIFO (Fak. Kedokteran) dr. Afiat Berbudi., M.Kes (Fak. Kedokteran) Dr. Risti Saptarini Primarti, drg., Sp. KGA (Fak. Kedokteran Gigi) Dika Pramita, D., M. Farm., Apt. (Fak. Farmasi) Rani Nurparidah., SST, MKM (Prodi Kebidanan) dr. Afiat Berbudi., M.Kes (Fak. Kedokteran) Ayu Prawesti, M.Kep (Fak Keperawatan) Neneng Martini, SST., M.Keb Riezka Wanda Noviana, S.Kep., Ners.
(Fak. Kedokteran/Kebidanan) (Fak Keperawatan)
10. Sie Publikasi, Promosi, Dekorasi, Dokumentasi:
Dwijayanti Mei Ana Dewi, S.Kep., Ners Ribka Esterina Simbolon, S.Kep., Ners Yayat Saeful
(Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan)
LPUK
11. Sie Dana usaha : Yulherina LPUK Nakes
Dra. Sri Astuti., M.Kes (Fak. Kedokteran/Kebidanan)
12. Sie Kesekretariatan :
Sri Hendrawati, S.Kep., Ners., M.Kep. (Fak. Keperawatan) Nenden Nur Asriyani Maryam, S.Kep., Ners., MSN
(Fak. Keperawatan)
Wiwi Mintarsih, SAP (Fak. Keperawatan) Habsyah Saparidah Agustina, S.Kep., Ners (Fak. Keperawatan) Siti Ulfah Rifa’atul Fitri, S.Kep. Ners., MNS Sifa Fauziah, S.Kep., Ners Novita Kamaruddin, SE. Ak
(Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan)
LPUK
13. Perlengkapan dan Sarana : Wawan Setiawan Adelse Prima Mulya, S.Kep., Ners., M.Kep.
(Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan)
Dana (Fak. Keperawatan) Maman Dodi Kurniadi Bahrijal
(Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan)
14. Konsumsi :
Aam Amaliyah (Fak. Keperawatan) Dwi Wulan Suci, Amd Diana Daniawaty, S.Sos
(Fak. Keperawatan) (Fak. Keperawatan)
vi
SUSUNAN ACARA
Kamis, 9 Februari 2016
WAKTU AGENDA
07.30 - 08.30 Registrasi Peserta
08.30-08.35 Pembukaan oleh MC
08.35-08.45 Art performance
08.45-08.50 Menyanyikan lagu Indonesia raya
08.50-09.00 Sambutan ketua
09.00-09.10 Pembukaan Acara oleh Rektor Universitas Padjdadjaran
09.10-09.40
Pembicara Kunci : Kemenristek Dikti
“Uji Kompetensi tenaga kesehatan sebagai upaya memperkuat daya saing bangsa
era global”
Disampaikan oleh : Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.
09.45-10.15
Materi I: Kemenristek Dikti
“Kompetensi tenaga kesehatan terhadap kualitas pembelajaran dan penguatan
institusi pendidikan”
Disampaikan oleh : Prof. Dr. Hartono, dr. M.Si.
10.15-10.45
Materi II: Kemenkes: drg. Usman Sumantri, M.Sc. (Kapusdik)
Dampak Uji Kompetensi Nasional terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan dan
Penguatan Sistem Kesehatan Nasional (Kemenkes)
10.45- 11.00 Tanya Jawab
11.00-11.30
Materi III: Rektor UNPAD: Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.
“Uji kompetensi nasional sebagai upaya mewujudkan pendidikan transformatif
bagi pembangunan kesehatan berkelanjutan”
11.30-12.00
Materi IV: LPUK NAKES: Riyani Wikaningrum, dr., DMM, M.Sc. (Ketua
LPUK-Nakes)
Pengembangan uji kompetensi nasional tenaga kesehatan dalam menjaga mutu
lulusan tenaga kesehatan Indonesia.(LPUK)
12.00-12.15
Tanya jawab
12.15-13.15
ISHOMA
13.15-13.45 Praktik baik dan Evaluasi hasil uji kompetensi bidang kedokteran: Yoyo Suhoyo
(UGM)
13.45-14.15 Praktik baik dan Evaluasi hasil uji kompetensi bidang Keperawatan (Ners): M.
Hadi (Ketua AIPNI)
14.15-14.45 Praktik baik dan Evaluasi hasil uji kompetensi bidang Keperawatan (Diploma
III): Yupi Supartini (Ketua AIPViKI)
14.45-15.15 Konsumsi mengawal coffeebreak
15.15-15.45 Praktik baik dan Evaluasi hasil uji kompetensi bidang Kebidanan: Yetty L.
Irawan
15.45-16.15 Praktik baik dan Evaluasi hasil uji kompetensi bidang Apoteker: Nurul Falah
(Ketua IAI)
16.15-16.45 Praktik baik dan Evaluasi hasil uji kompetensi bidang Kesehatan Masyarakat:
Fajar Ariyanti
vii
Jumat, 10 Februari 2016
WAKTU AGENDA
07.30-08.00 REGISTRASI PESERTA
08.00-08.30 Oral presentasi di 5 ruangan workshop
08.30-11.30 Workshop I:
Pengembang
an soal uji
kompetensi
untuk
keterampilan
klinik dalam
bentuk OSCE
Workshop II:
Pengembang
an soal uji
kompetensi
untuk
penilaian
pengetahuan
Workshop III:
Pengembangan
uji kompetensi
untuk
penilaian sikap
Workshop IV:
Penetapan
kelulusan
dengan metode
Angoff dan Ebel
Workshop V:
Analisis soal
dengan
Classical Test
Theory.
Pameran
kegiatan ujian
dan alat peraga
pendidikan
tenaga
kesehatan
Narasumber :Yoyo Suhoyo
(UGM)
Moderator: Urip Rahayu.
S,Kp., M.Kep
Narasumber :
Moh. Ghozali
(UNPAD)
Moderator:
Dr. Raden
Tina Dewi.,
dr., Sp.OG
Narasumber :
Ardi
Findyartin (UI)
Moderator:
Etika
Emaliyawati,
S.Kep., Ners.,
M.Kep
Narasumber :
Beta Ahlam
Gizela (UGM)
Moderator:
Ermiati.,
S.Kp., M.Kep.,
Sp.Mat )
Narasumber :
Dwi Agustian
(UNPAD)
Moderator:
Achdiyani
(FK)
11.30-13.30 ISHOMA
13.30-14.00 Oral presentasi di 5 ruangan workshop
14.00-17.00 Workshop VI:
Pemanfaatan IT
dalam pengolahan
bank soal
Workshop VII :
Pemanfaatan hasil uji
kompetensi sebagai
penjaminan mutu
pendidikan
Workshop VIII :
Prinsip
Penanganan
peserta yanng
tidak lulus
Workshop IX :
Pengembangan
TUK CBT Ukom
Perawat
Narasumber :
(Yulherina (LPUK-Nakes)
Moderator: Ryan Hara
Permana S.Kep., Ners MN
Narasumber :
Yuni Susanti (Unpad)
Moderator: drg
Emma Rahmawati.,
M.Kes
Narasumber :
Sarwo Bekti
(UB) Moderator: Dr.
Sri Adi Sumiwi
MS., Apt)
Narasumber
Tim AIPNI Moderator: Ai
Mardhiyah S.Kp.,
M.Kes
17.00-17.15 Penutupan
viii
KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA
Yang Terhormat, Menteri Riset Tehnologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Yang Terhormat, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Yang Terhormat, Rektor Universitas Padjadjaran, Yang Terhormat, Para Dekan di lingkungan Universitas Padjadjaran Yang Terhormat, Para Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan dan Organisasi Profesi Kesehatan Yang Terhormat, Ketua dan anggota LPUK Nakes Yang Terhormat Para Pembicara Seminar dan Workshop Yang Terhormat Para Peserta Seminar Dan Workshop Serta rekan-rekan panitia yang saya banggakan Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kita dapat berkumpul di Auditorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran ini dalam keadaan sehat walafiat dalam rangka kegiatan Seminar Nasional dan Lokakarya uji Kompetensi Tenaga Kesehatan dengan tema “Penguatan Sistem Uji Kompetensi Dalam Meningkatkan Kualitas Profesi Tenaga Kesehatan Untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa Di Era Global”. Shalawat serta Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Aamiin. Hadirin yang saya hormati,
Saya ucapkan selamat datang pada acara Seminar Nasional dan Lokakarya Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan. Uji Kompetensi merupakan suatu instrumen untuk memastikan kualitas lulusan tenaga kesehatan telah memenuhi standar kompetensi. Tujuan awalnya diselenggarakan uji kompetensi ini selain sebagai peningkatan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat, juga sebagai tolak ukur keberhasilan pembelajaran yang dilalui oleh mahasiswa. Uji
ix
kompetensi ini telah beberapa kali dilaksanakan, namun masih banyak masyarakat, peserta uji kompetensi dan institusi pendidikan yang belum terpapar dengan bagaimana uji kompetensi ini dikembangkan maupun metoda yang digunakan serta implikasinya bagi perbaikan proses pendidikan serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Seminar dan lokakarya ini diselenggarakan sebagai upaya mensosialisasikan hasil dari program pengembangan sistem dan metoda uji kompetensi bidang kesehatan yang telah berlangsung selama ini yang dilaksanakan oleh Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan (LPUK-Nakes), asosiasi institusi pendidikan serta organisasi profesi bidang kesehatan yang menjadi anggota perkumpulan LPUK Nakes. Sehingga tujuan akhir dari kegiatan ini adalah meningkatkan pengetahuan akademisi, praktisi tenaga kesehatan, institusi pendidikan tenaga kesehatan dan seluruh stakeholders pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia mengenai pentingnya pengembangan dan pelaksanaan uji kompetensi yang sistematis, terstandar dan dipraktikkan berdasarkan bukti terbaik (evidence best practice).
Perlu saya sampaikan jumlah peserta yang mengikuti seminar kurang lebih 400 orang dan yang mengikuti workshop kurang lebih 300 orang yang berasal dari berbagai profesi kesehatan seperti kedokteran, kedokteran gigi, apoteker, perawat, bidan, kesehatan masyarakat dan gizi. Peserta yang hadir datang mewakili seluruh wilayah di Indonesia mulai dari provinsi Aceh sampai Papua.
Saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan panitia yang telah menyiapkan acara ini dengan sebaik-baiknya, para pembicara seminar dan workshop yang sudah berkenan membagi ilmunya, dan kepada para peserta yang hadir dalam kegiatan seminar dan workshop ini. Kami sebagai panitia penyelenggara mohon maaf apabila terdapat kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan ini. Akhir kata, saya ucapkan selamat mengikuti rangkaian acara yang sudah disiapkan oleh panitia, semoga kegiatan ini memberikan sebesar besarnya manfaat pada kita semua dalam upaya meningkatan kualitas tenaga kesehatan. Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bandung 9 Februari 2017
Ketua Panitia Semnas Ukom
Ermiati,S.Kp., M.Kep., Sp.Mat
1
MATERI PEMBICARA
PENGEMBANGAN SOAL UJI KOMPETENSI UNTUK KETERAMPILAN KLINIK DALAM BENTUK OSCE
Yoyo Suhoyo
Universitas Gadjah Mada
OSCE adalah suatu metode untuk menguji kompetensi klinik secara obyektif dan terstruktur dalam bentuk putaran station dengan waktu tertentu. Pengembangan soal OSCE adalah langkah penting untuk menjaga validitas OSCE. Ada beberapa langkah dalam pengembangan soal OSCE yaitu pembuatan blueprint, penulisan, telaah dan pengelolaan bank soal. Blueprint merupakan gambaran penilaian yang akan dilakukan berdasarkan kompetensi yang harus dicapai. Penulisan soal OSCE ditujukan untuk memenuhi Blueprint OSCE dengan mengikuti panduan dan template penulisan soal yang telah ditetapkan. Telaah soal dilakukan untuk memeriksa kesesuaian antara item soal dengan template soal (teknis) dan blueprint (materi/content). Telaah teknis dilakukan agar tidak terjadi kesalahan saat item soal digunakan, seperti kesahalan penulisan, kesalahan interpretasi dan kesalahan alat perlengkapan yang digunakan. Telaah materi dilakukan untuk memeriksa kesesuaian antara item soal dengan kompetensi yang akan dicapai sehingga memerlukan peran pakar sesuai dengan kasus pada soal. Pengelolaan bank soal dilakukan untuk menjaga kesesuaian antara tuntutan kompetensi yang harus diujikan dalam standar kompetensi, kebutuhan sesuai blueprint soal setiap periode ujian, dan ketersediaan soal baik yang baru ditulis, sudah ditelaah maupun sudah digunakan. Dalam konteks uji kompetensi nasional, maka seluruh proses pengembangan soal melibatkan seluruh institusi pendidikan yang diatur dalam panduan pengembangan soal.
2
PENETAPAN KELULUSAN DENGAN METODE ANGOFF DAN EBEL
Beta Ahlam Gizela
Universitas Gadjah Mada
Uji kompetensi tenaga kesehatan menjadi amanat Undang-Undang untuk menjaga mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang kompeten menjadi salah satu faktor penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Kompetensi minimal yang diharapkan dari tenaga kesehatan yang siap melayani masyarakat memiliki peran yang dominan. Perumusan standar kompetensi, harus diikuti dengan pemilihan metode uji kompetensi yang sesuai untuk menilai pencapaian kompetensi yang diharapkan. Uji kompetensi berfungsi sebagai tolok ukur dalam pembuatan keputusan layak tidaknya calon tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan. Penetapan kelulusan menjadi pintu akhir dari seluruh proses uji kompetensi. Makalah ini bertujuan untuk menjadi pertimbangan pemilihan metode yang sesuai dalam penentuan kelulusan uji kompetensi tenaga kesehatan. Makalah ini disusun dengan menggunakan penelusuran pustaka dan praktik baik pengalaman pelaksanaan standard setting yang telah dilakukan selama ini dalam uji kompetensi bidang kedokteran. Penentuan kelulusan uji kompetensi pada pendidikan berbasis kompetensi mengacu pada batas minimal komptenesi yang diharapkan dari peserta didik, tanpa mempertimbangkan proporsi peserta yang lulus test, atau dikenal dengan criterion referenced performance standard setting. Metode Angoff dan metode Ebel adalah dua di antara metode yang digunakan untuk penentuan nilai batas lulus criterion referenced performance standard setting. Kedua metode tersebut menggunakan judge untuk menilai satu per satu butir soal yang diujikan, menentukan tingkat kesulitan dan relevansi soal yang diujikan, berdasarkan pada tingkat kemampuan peserta ujian yang termasuk dalam kelompok borderline/minimally competent. Metode Angoff menetapkan penilaian tiap butir soal berdasarkan probabilitas peserta borderline untuk menjawab benar soal tersebut. Seluruh butir soal ditelaah satu per satu oleh para judge, kemudian dihitung rerata nilai batas minimal yang dihasilkan oleh seluruh judge untuk tiap butir soal. Langkah teakhir adalah menghitung rerata nilai batas lulus untuk seluruh paket soal yang dihitung berdasarkan rerata nilai batas minimal tiap butir soal. Metode Ebel menetapkan penilaian tiap butir soal dalam 2 tahap dan mengelompokkan tiap butir soal berdasarkan tingkat kesulitan dan tingkat kepentingan untuk ditanyakan dalam ujian. Para judge mengelompokkan tingkat kesulitan tiap butir soal ke dalam kelompok mudah, sedang, sulit, dan mengelompokkan tingkat kepentingan tiap butir soal ke dalam kelompok questionable, accaptable, important, essential. Pada akhir penilaian tiap butir soal kita akan mendapatkan 12 kategori soal. Dalam tiap kategori dihitung skor berdasarkan persentase penjawab benar dikalikan dengan jumlah butir soal
3
dalam kategori tersebut. Jumlah skor seluruh kategori digunakan sebagai nilai batas lulus. Metode Angoff dan metode Ebel sesuai untuk penetapan kelulusan uji kompetensi tenaga kesehatan di Indonesia yang harus memenuhi criterion referenced performance standard setting.
Kata kunci: Nilai Batas Lulus – Kompeten – Tenaga kesehatan.
4
PENGEMBANGAN UJI KOMPETENSI UNTUK PENILAIAN SIKAP
Ardi Findyartini
Departemen Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak
Seluruh profesi kesehatan di Indonesia memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama demi menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas. Oleh karena itu, proses pendidikan dan pelatihan yang dijalani perlu menjamin pencapaian kompetensi secara menyeluruh, baik kompetensi terkait pengetahuan, keterampilan dan sikap-perilaku. Setiap profesi perlu menjamin bahwa lulusan profesi memiliki kemampuan yang adekuat, dan mampu mengaplikasikan seluruh kemampuan itu secara tepat dan dengan cara yang baik. Hal lain yang perlu dijamin adalah bahwa setiap lulusan profesi siap menjalani tanggung jawab profesinya dengan baik. Ungkapan yang selama ini digunakan adalah memastikan bahwa lulusan pendidikan profesi kesehatan adalah ‘the right person doing the right thing right’. Uji kompetensi untuk penilaian pengetahuan dan keterampilan telah banyak dikembangkan dan diterapkan secara nasional untuk berbagai profesi kesehatan di Indonesia. Sementara itu, penilaian sikap dan perilaku dan penilaian berbagai atribut profesional selama proses pendidikan dan pada akhir proses pendidikan masih ditempatkan sebagai ‘penilaian tambahan’ yang belum diterapkan secara konsisten. Di samping asesmen terhadap pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan, semua pendidikan profesi kesehatan perlu menjamin pencapaian kompetensi sikap-perilaku dan profesionalisme setiap peserta didiknya. Aspek sikap-perilaku yang perlu dikembangkan ini mencakup aspek profesionalisme internal profesi masing-masing dan aspek profesionalisme antar profesi. Workshop ini akan mendiskusikan lebih lanjut pentingnya pengembangan sikap-perilaku peserta didik dalam pengembangan profesionalisme dalam pendidikan profesi kesehatan, berbagai atribut profesional profesi kesehatan, dan berbagai metode asesmen yang sesuai dengan tahap perkembangan sikap-perilaku dan profesionalisme. Pada dasarnya tidak ada metode asesmen yang sempurna dan dapat digunakan untuk penilaian berbagai aspek kompetensi. Sehingga dalam workshop ini akan didiskusikan pula proses perumusan cetak biru asesmen terhadap kompetensi terkait sikap-perilaku dan profesionalisme. Secara keseluruhan, kompetensi sikap-perilaku memerlukan penilaian secara kontekstual, bersinambung, didasarkan atas observasi. Asesmen kompetensi sikap, perilaku dan profesionalisme terutama di tahap akhir pendidikan profesi, tidak terpisah dari asesmen pengetahuan dan keterampilan karena tahap ini umumnya memberikan kesempatan peserta didik pendidikan profesi kesehatan untuk belajar dan diuji dalam interaksi langsung dengan pasien di tatanan klinis yang sebenarnya.
5
PRESENTASI PAPER
APLIKASI KURIKULUM TERINTEGRASI PADA MATA KULIAH PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN: PERLUKAH DIPERTAHANKAN?
Ari Indra Susanti1, Rani Nurparidah2, Tina D. Judistiani3
1 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unpad 2 Instruktur Klinik Prodi Kebidanan FK Unpad
3 Departemen Epidemiologi dan Biostatistik Email : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Kurikulum terintegrasi mempersiapkan calon bidan untuk menghadapi
tantangan di masyarakat dengan membentuk pemikiran yang kritis, kreatif,
inovatif dan aplikatif. Mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan membekali
bidan untuk memiliki kompetensi nasionalisme dalam menghadapi tantangan di
era pasar bebas. Prodi Kebidanan FK Unpad TA 2015/2016 telah menerapkan
kurikulum terintegrasi dengan metode pembelajaran student center dan problem
based. Menghadirkan secara panel para ahli dibidang pancasila dan
kewarganegaraan untuk menganalisis kasus. Namun pada TA 2016/2017
kurikulum kembali berubah menjadi konvensional. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara kurikulum terintegrasi dan
konvensional pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan di Prodi
Kebidanan FK Unpad. Desain penelitian analitik dengan metode potong lintang.
Responden melibatkan 82 orang yaitu mahasiswa TA 2015/2016 dengan
kurikulum terintegrasi dan mahasiswa TA 2016/2017 dengan kurikulum
konvensional. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan total sampling.
Pengambilan data menggunakan data sekunder berupa nilai mata kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan mahasiswa Prodi D4 Kebidanan FK Unpad TA
2015/2016 dan TA 2016/2017. Analisis data dilakukan secara bivariat. Hasil
Penelitan ini didapatkan bahwa nilai mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
menunjukkan hasil lebih baik pada kurikulum terintegrasi (rerata 80,6 dan 87,9)
dibandingkan dengan kurikulum konvensional (rerata 74,8 dan 78,1), dengan uji
Mann Whitney perbedaan ini sangat bermakna (p 0,000). Simpulan penelitian ini
6
bahwa kurikulum terintegrasi lebih baik dibandingkan dengan kurikulum
konvensional pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.
Kata Kunci:, Kurikulum, Kewarganegaraan, Pancasila, Terintegrasi
PENDAHULUAN
Pada situasi global seperti saat ini, dimana percepatan perubahan terjadi di
segala sektor, terutama pada perubahan kebutuhan di dunia kerja. Terdapat
perubahan persyaratan dalam menerima tenaga kerja, yaitu adanya persyaratan
soft skills yang dominan disamping hard skillsnya. Sehingga kurikulum yang
dikonsepkan lebih didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai/
dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi
yang dibutuhkan oleh masyarakat pemangku kepentingan/ stakeholders
(competence based curriculum).1
Kurikulum berbasis kompetensi ini dikembangkan menjadi kurikulum
terintegrasi dengan menggunakan konsep pembelajaran berupa model SPICES,
yaitu Student-centered, Problem-based, Integrated, Community-based, Elective,
dan Systematic. Student centered dengan metode pembelajaran Student Centerd
Learning (SCL) yang berpusat kepada mahasiswa. Kemudian mahasiswa
diberikan masalah atau kasus untuk dipecahkan sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang dicapai. Materi pembelajaran diintegrasikan dengan berbagai
topik yang dapat memecahkan masalah tersebut. Kasus yang diberikan sesuai
dengan kasus yang sering terjadi di komunitas.2
Salah satu capaian pembelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan
Tinggi (SN DIKTI) tahun 2014, yaitu aspek pembangun jati diri bangsa tecermin
dalam Pancasila dan UUD 1945. Untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran
tersebut maka dibutuhkan kurikulum terintegrasi pada mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan sehingga diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan dalam
mengaplikasikan kaidah agama, nilai-nilai nasionalisme, sosial budaya, yang
7
selaras dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberikan pelayanan
kebidanan.3
Prodi D4 Kebidanan sudah menerapkan kurikulum terintegrasi mata
kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan pada TA. 2014/2015 dan TA. 2015/2016
dengan model SPICES. Akan tetapi, pada TA. 2016/2017 Unpad menerapkan TPB
(Tahapan Pembelajaran Bersama) dengan menggunakan metode SCL tetapi pada
pelaksanaannya terdapat kendala kekurangan dosen untuk mengajar Pancasila
dan Kewarganegaraan sehingga menggunakan metode Konvensional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara
kurikulum terintegrasi dan konvensional pada mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan di Prodi Kebidanan FK Unpad. Berdasarkan fenomena dan data
di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi
Kurikulum Terintegrasi pada Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan:
Perlukah Dipertahankan?”
METODE PENELITIAN
Desain penelitian analitik dengan metode potong lintang. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Januari 2016 di Prodi D4 Kebidanan Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran. Subjek dalam penelitian ini yaitu mahasiswa TA
2015/2016 dan mahasiswa TA 2016/2017 sebanyak 82 orang. Teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan total sampling. Kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan pada semester 1.
Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah mahasiswa yang
komponen nilainya (tugas, UTS, dan UAS) tidak lengkap pada Mata Kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan.
Pengambilan data menggunakan data sekunder berupa nilai mata kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan mahasiswa Prodi D4 Kebidanan FK Unpad TA
2015/2016 dan TA 2016/2017. Analisis data dilakukan secara bivariat dengan
menggunakan uji mann whitney untuk mengetahui perbandingan kurikulum
terintegrasi dan konvensional pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.
8
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kurikulum Terintegrasi dan Konvensional
pada Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
Kurikulum Mata Kuliah
Pancasila Kewarganegaraan Mean SD Mean SD Terintegrasi (n=44)
80,65 3,68 87,93 7,29
Konvensional (n=38)
87,93 3,49 78,16 4,10
Berdasarkan Tabel 1. didapatkan bahwa mata kuliah Kewarganegaraan
dengan kurikulum terintegrasi mempunyai nilai rerata terbesar, yaitu 87,93 dan
mata kuliah Pancasila dengan kurikulum terintegrasi mempunyai standar deviasi
terbesar, yaitu 7,29.
Tabel 2. Hasil Belajar antara Kurikulum Terintegrasi dan Konvensional
pada Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
Kurikulum Mata Kuliah
Nilai p Pancasila Kewarganegaraan
Terintegrasi 80,65 87,93 0,000 Konvensional 87,93 78,16 0,000 Ket: Uji Mann Whitney
Berdasarkan tabel 2. didapatkan bahwa hasil belajar antara kurikulum
terintegrasi dan konvensional pada mata kuliah Pancasila dan kewarganegaraan
dengan nilai p=0,000.
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1. didapatkan bahwa mata kuliah Kewarganegaraan
dengan kurikulum terintegrasi mempunyai nilai rerata terbesar, yaitu 87,93 dan
mata kuliah Pancasila dengan kurikulum terintegrasi mempunyai standar deviasi
terbesar, yaitu 7,29.
Salah satu program kurikulum inti program diploma adalah mata kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan kelompok Mata Kuliah
9
Pengembangan Kepribadian (MPK). MPK yaitu kelompok bahan kajian dan
pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian
mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan kurikulum
terintegrasi berupa seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun
bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar - mengajar di
perguruan tinggi.4
Berbeda halnya dengan kurikulum konvensional yaitu pada saat kuliah
dengan mendengarkan ceramah, mahasiswa akan kesulitan untuk mengikuti atau
menangkap makna esensi materi pembelajaran, sehingga kegiatannya sebatas
membuat catatan yang kebenarannya diragukan. Pola proses pembelajaran dosen
aktif dengan mahasiswa pasif ini efektivitasnya rendah dan tidak dapat
menumbuhkembangkan proses partisipasi aktif dalam pembelajaran.5
Berdasarkan tabel 2. didapatkan bahwa hasil belajar antara kurikulum
terintegrasi dan konvensional pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
dengan nilai p=0,000.
Perubahan kurikulum konvensional menjadi kurikuum terintegasi
disebabkan adanya pergeseran paradigma, yaitu paradigma dalam cara kita
memandang pengetahuan, paradigma belajar dan pembelajaran itu sendiri.
Kurikulum konvensional memiliki paradigma lama yang memandang
pengetahuan sebagai sesuatu yang sudah jadi, yang tinggal dipindahkan ke orang
lain/mahasiswa dengan istilah transfer of knowledge. Selain itu paradigma lama
bahwa belajar adalah menerima pengetahuan, pasif, karena pengetahuan yang
telah dianggap jadi tadi tinggal dipindahkan ke mahasiswa dari dosen, akibatnya
bentuknya berupa penyampaian materi (ceramah). Dosen sebagai pemilik dan
pemberi pengetahuan, mahasiswa sebagai penerima pengetahuan, kegiatan ini
sering dinamakan pengajaran. Sedangkan kurikulum terintegrasi memiliki
10
paradigma baru, bahwa pengetahuan adalah sebuah hasil konstruksi atau
bentukan dari orang yang belajar. Sehingga belajar adalah sebuah proses mencari
dan membentuk/ mengkonstruksi pengetahuan, jadi bersifat aktif, dan spesifik
caranya.1
Menurut International Confederation of Midwives (ICM) di Netherlands bahwa
pembelajaran pendidikan bidan berbasis kompetensi yang mengharuskan
peserta didik dapat melakukan kompetensi yang dibutuhkan untuk praktik
kebidanan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka digunakan metode
pembelajaran Problem Based Learning (PBL).6 Oleh karena itu, kurikulum
terintegrasi pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan dengan
menghadirkan secara panel para ahli dibidang pancasila dan kewarganegaraan
untuk menganalisis kasus pelayanan kebidanan.
Keterbatasan penelitian ini karena menggunakan metode potong lintang
dan simpulan dalam penelitian ini bahwa kurikulum terintegrasi lebih baik
dibandingkan dengan kurikulum konvensional pada mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Akademik. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi; 2008.
2. Harden R.M, The Integration ladder: a tool for curriculum planning and evaluation, medical education: 2000; 34:551.
3. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Panduan Penyusunan Capaian Pembelajaran Lulusan Program Studi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta; 2014.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan.Jakarta: Presiden RI; 2015.
5. Wahyuni A, Ulfah M, Warneri. Perbedaan penerapan model pembelajaran berbasis portofolio dengan metode pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar ekonomi (Skripsi). Pontianak: Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Untan; 2013.
6. International Confederance of Midwifery (ICM) Council. Model Curriculum Outlines for Professional Education Midwifery. The Netherlands: ICM; 2011.
11
EFEKTIFITAS STRATEGI PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP HASIL
BELAJAR ASKEB I MAHASISWA KEBIDANAN DI STIKIM
1Ella Nurlelawati, 2Asmaurika Pramuwidya3Kursih Sulastriningsih 1 Ka STIKes Bhakti Pertiwi Indonesia 2Mahasiswa Program Studi DIV Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju 3. Dosen STIKes Bhakti Pertiwi Indonesia [email protected] [email protected]
Abstrak
Strategi pembelajaran MURDER merupakan suatu strategi pembelajaran
kooperatif yang terdiri dari Mood (Suasana Hati), Understand (Pemahaman),
Recall (Pengulangan), Digest (Penelaahan), Expand (Pengembangan), dan Review
(Pelajari Kembali) yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif mahasiswa.
Hasil observasi lapangan di STIKIM didapatkan sebanyak 4 mahasiswa dari 6
mahasiswa semester IV dan 6 mahasiswa dari 8 mahasiswa semester II masih
belum memahami dengan benar materi-materi yang terdapat pada mata kuliah
Askeb I. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas strategi pembelajaran
MURDER terhadap hasil belajar mata kuliah Askeb I mahasiswa kebidanan
semester II di STIKIM tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen dengan pretest-posttest control grup design. Populasi pada penelitian
ini adalah mahasiswa kebidanan semester II, sampel penelitian adalah seluruh
mahasiswa kebidanan semester II yang berjumlah 34 orang. Data dianalisis
dengan menggunakan program SPSS for windows versi 18.00 dengan uji t-test
dan disajikan dalam bentuk tabel. Penelitian menunjukkan rata-rata hasil pre-test
dan post-test mahasiswa dengan strategi pembelajaran MURDER (eksperimen)
20.00 dengan P=0,000, hasil pre-test dan post-test pada kelompok kontrol 1,765
dengan P=0,188 dan post-test antara kelompok MURDER dan kontrol adalah
P=0,000. Hal ini berarti tidak ada perbedaan hasil belajar pada kelompok kontrol,
dan terdapat perbedaan hasil belajar pada kelompok MURDER. Terdapat
perbedaan hasil post-test pada kelompoMURDER dan kontrol yang berarti hasil
belajar kelompok MURDER lebih baik daripada kelompok kontrol. Dengan
demikian penggunaan strategi pembelajaran MURDER lebih efektif untuk
meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah Askeb I.
Kata Kunci : Efektifitas, Strategi Pembelajaran MURDER, Hasil Belajar
12
Abstract
MURDER learning strategy is an kooperatif learning strategy that consists of
Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review. This strategy can increase
student cognitive ability.According to observation result in STIKIM, there are 4 of
6 student in sixth semester and 6 of 8 student in second semester still don’t
understand about lesson in Askeb I. The aim of this study is to investigate the
effectivity of MURDER learning strategy toward the Askeb I subject result by
second semester of midwifery student in STIKIM 2013. This study used
experimental research with pretest-posttest control grup design. The population
of this study are second semester of midwifery student in STIKIM. The sample of
this study are all second semester of midwifery student in STIKIM about 34
students. The data will be analyzed by using SPSS program for windows version
18.00 with t-test and presented in the table form. This study shows that the
average of student pre-test and post-test result using MURDER strategy is 20.00
with P=0,000, pre-test and post-test result at control group is 1,765 with P=0,188
and post-test of both of them are P=0,000. T-test results show that there is any
difference results in control group, and there is difference results in MURDER
group. There are difference result in post-test of both of group meaning that
learning result of MURDER group is better than control group. So, we can
conclude that MURDER learning strategy is more effective to increase the student
study result for Askeb I.
Key Word : Effectivity, MURDER Learning Strategy, Learning Result
PENDAHULUAN
Pendidikan secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu proses dan hasil.
Pendidikan (education) adalah suatu usaha untuk melayani manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain secara terus-menerus tanpa henti dalam
kehidupan manusia yang efektif (Crow and Crow, 1948:3). Sedangkan pendidikan
secara umum merupakan suatu proses pendewasaan dari suatu individu melalui
pengalaman hidupnya masing-masing dimana individu tersebut melakukan
berbagai macam aktifitas yang dinamakan dengan pengalaman atau belajar itu
dimulai dari berpikir, bergerak, merasa, berbicara, dan lain sebagainya. Melalui
13
upaya pendidikan, manusia distimulasi untuk dapat berpikir, menghargai, dan
berbuat. Agar manusia dapat berpikir dan berbuat serta menghargai yang
berkualitas, maka manusia dituntut untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi.1
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat
secara aktif mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, kepribadian,
kecerdasan, dan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya
sendiri, masyarakat, bangsa dan negara (UU SPN Pasal 1 ayat 1). Suatu proses
pembelajaran harus berlangsung dengan baik dan kondusif sebagai upaya untuk
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran di kelas atau ruang kuliah
yang membutuhkan pendidik (guru/dosen) yang profesional dibidangnya. Dalam
mewujudkan profesional guru atau dosen sangat diperlukan sikap kreatifitas,
inovatif yang selalu berorientasi pada memperbaiki dan meningkatkan mutu
proses pembelajaran di kelas.2
Belajar merupakan suatu proses kejiwaan atau suatu peristiwa pribadi
atau personal yang terjadi di dalam diri setiap individu. Proses belajar itu sendiri,
apabila dapat dilakukan dengan baik, maka kelak akan memberikan hasil, yang
biasa kita sebut dengan ‘hasil belajar’. Hasil belajar itu tidak akan bisa kita capai
jika dalam diri kita sendiri tidak terjadi suatu proses belajar. Jadi, kita tidak usah
heran apabila kita merasa tidak mencapai apa-apa jika memang dalam diri kita
tidak pernah terjadi proses belajar tersebut. Kalau proses itu berlangsung kurang
mantap, hasilnya pun tidak akan memuaskan.3
Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai
keuntungan baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Bagi individu,
kemampuan untuk belajar secara terus-menerus akan memberikan kontribusi
terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat, belajar
mempunyai peranan yang penting dalam mentransmisikan budaya dan
pengetahuan dari generasi ke generasi.4
14
Dalam pengembangan aspek-aspek pendidikan diwujudkan dengan
diberlakukannya kurikulum pendidikan dimana guru atau dosen berpengaruh
dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran itu sendiri, akan tetapi
tidak mendominasi di dalam proses pembelajaran tersebut. Guru atau dosen
berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat aktif dan
kreatif dalam proses pembelajaran, sebagai motivator yang mampu memberikan
motivasi kepada siswanya untuk dapat terus menggali potensi yang mereka
miliki, sebagai pembimbing yang mampu membimbing siswa baik secara
akademik maupun sosial, serta sebagai elevator yang mampu memberikan
petunjuk dan arahan terhadap permasalahan yang dihadapi siswa.
Berkaitan dengan kurikulum tersebut, diharapkan proses pembelajaran
yang masih berpusat pada guru atau dosen (teacher center) dapat diubah
menjadi proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center), agar
siswa tidak pasif dan menjadi lebih aktif di dalam kegiatan pembelajaran. Oleh
karena itu, seorang guru atau dosen diharapkan mampu untuk menentukan dan
memilih strategi pembelajaran yang tepat dimana strategi tersebut dapat
membuat peserta didik menjadi lebih aktif. Penggunaan strategi pembelajaran
yang kurang tepat dapat menyebabkan siswa menjadi bosan sehingga partisipasi
siswa dalam proses pembelajaran kurang.5
Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus ditajamkan,
akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara
seseorang beperilaku. Jadi, belajar dihasilkan dari pengalaman dan lingkungan.
Dimana terjadi hubungan antara stimulus-stimulus dan respon-respon. Hal ini
memberi makna bahwa belajar adalah proses aktif individu dalam membangun
pengetahuan dan pencapaian tertentu. Artinya, diperlukan sebuah pendekatan
belajar yang lebih memberdayakan siswa. Proses belajar tidak hanya tergantung
pada orang lain. Akan tetapi sangat tergantung pada individu yang belajar
(student centered). Kesulitan belajar ini sering terjadi pada mahasiswa yang baru
duduk di bangku perguruan tinggi, karena mahasiswa tersebut mulai beradaptasi
15
dengan metode pembelajaran baru dengan pendekatan student centered, dimana
mahasiswa dituntut aktif dalam proses belajar mengajar (Syaiful, 2009).5
Robinson (1970) dan Fox (1962) menunjukkan bahwa kebanyakan metode
membaca buku teks atau buku panduan yang digunakan mahasiswa terlalu pasif.
Dalam hal ini, mahasiswa hanya sekedar membaca bab-bab buku tersebut,
kemudian menutup bukunya kembali atau mereka membaca sambil
menggarisbawahi secara sepintas. Dengan cara tersebut, seperti yang dikatakan
Calhoun dan Acocella (1990) mahasiswa yang menggunakan metode membaca
seperti itu, bagaikan orang yang melamun dan membiarkan bacaan tersebut
masuk ke dalam pikirannya dan lebih banyak juga bahan yang dibacanya itu
keluar begitu saja dari pikirannya.3
Kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani yaitu rencana atau suatu
tindakan yang terdiri dari seperangkat langkah yang digunakan untuk
memecahkan suatu masalah atau mencapai tujuan yang diinginkan (Reber,
1988). Michael J. Lawson (1991) mengartikan strategi sebagai suatu prosedur
mental yang dapat berbentuk tatanan langkah dengan menggunakan upaya ranah
cipta untuk mencapai tujuan tertentu atau tujuan yang ingin dicapainya.7
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran modern terdapat cukup banyak
strategi-strategi pembelajaran yang khusus dirancang untuk mengajar dengan
materi-materi tertentu sehingga dapat mencapai kecakapan yang diinginkan oleh
guru atau dosen. Diantara strategi-strategi pembelajaran tersebut salah satunya
adalah strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand,
dan Review) yang dapat diartikan sebagai Mood (Suasana hati), Understand
(Pemahaman), Recall (Pengulangan), Digest (Penelaahan), Expand
(Pengembangan), dan Review (Mengulang kembali) yang dikembangkan oleh
Hythecker, Dansereau dan Rocklin (Dasilva I, 2006:187). Teknik ini dihasilkan
oleh perspektif psikologi kognitif.8,9
16
Ada enam langkah yang digunakan dalam teknik strategi pembelajaran
MURDER, yaitu mengatur suasana hati, membaca untuk memahami bacaan,
mengingat, menemukan kesalahan, menghubungkan dengan pengalaman, dan
mengulang kembali. Kelebihan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) adalah dapat memperkuat
pemahaman karena siswa harus menjelaskan, memperluas, mencatat
menghubungkan ide-ide utama dengan pengalaman yang didapat. Dalam hal ini,
keterampilan dalam memproses suatu informasi yang didapat lebih diutamakan.9
Pemprosesan dari suatu informasi yang didapat, menuntut keterlibatan
metakognisi-berpikir dan membuat keputusan berdasarkan pemikiran individu
tersebut. Selain itu, langkah ’menghubungkan dengan pengalaman’
memungkinkan siswa untuk menghubungkan informasi-informasi yang cukup
penting dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa tersebut
sebelumnya.10
Strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand,
dan Review) merupakan strategi yang dapat membuat siswa aktif dan mandiri
dalam memahami materi pelajaran yang mereka pelajari terutama materi yang
dianggap sulit oleh mahasiswa tersebut. Salah satu mata kuliah yang dianggap
sulit untuk dipahami oleh mahasiswa Kebidanan khususnya mahasiswa semester
II adalah mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I). Berdasarkan hasil observasi
di lapangan sebanyak 4 mahasiswa dari 6 mahasiswa semester IV dan 6
mahasiswa dari 8 mahasiswa semester II masih belum memahami dengan benar
materi-materi yang terdapat pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I)
khususnya pada materi perubahan anatomi dan adaptasi fisiologis pada ibu hamil
trimester I, II, III serta perubahan dan adaptasi psikologis dalam masa kehamilan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
terhadap hasil belajar mata kuliah Asuha Kebidanan I (Askeb I) mahasiswa
kebidanan semester II di STIKIM tahun 2013.
17
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dengan pretest-
posttest control group design11 yaitu dengan melakukan pre-test dan post-test
pada kelas atau kelompok belajar yang menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) sebagai
kelompok eksperimen dan tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) sebagai kelompok
pembanding atau kelompok kontrol. Sehingga terdapat dua kelompok dalam
penelitian ini.
Dilakukan pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen atau
kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok kontrol atau
kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) adalah untuk menjamin
komparabilitas antara kedua kelompok tersebut serta untuk mengetahui sejauh
mana pengetahuan mereka (mahasiswa) pada masing-masing kelompok tentang
materi-materi pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I) dan kemudian
dilakukan penelitian secara statistik.
Penelitian mengenai strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand,
Recall, Digest, Expand, dan Review) ini dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM) Jakarta pada bulan April-Mei 2013.
Populasi merupakan suatu wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek
atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.11
Populasi dalam penelitian mengenai strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini adalah mahasiswa kebidanan
semester II Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju tahun 2013.
18
Sampel merupakan bagian atau wakil dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut untuk diteliti.12 Adapun sampel dalam penelitian
mengenai strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) ini adalah seluruh mahasiswa kebidanan semester II Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju tahun 2013 yang berjumlah 34 orang.
Dalam penelitian mengenai strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini, peneliti menggunakan data
primer yaitu menggunakan data dari hasil pre-test dan post-test pada kelompok
eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok kontrol
atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) pada materi mata kuliah Asuhan
Kebidanan I (Askeb I).
Peneliti menggunakan soal pre-test dan post-test pada kelompok
eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok kontrol
atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) pada materi mata kuliah Asuhan
Kebidanan I (Askeb I) sebagai instrumen dalam penelitian.
Untuk dapat mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas dari penerapan
strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan
Review) pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I) dari hasil belajar pada
waktu yang berbeda, maka peneliti melakukan beberapa langkah dalam
melaksanakan penelitian ini.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam penelitian strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini
yaitu: Langkah yang pertama kali dilakukan peneliti adalah dengan menetapkan
kelompok mana yang akan dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok mana
19
yang akan dijadikan kelompok kontrol yang dilakukan secara acak. Kelompok
yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) ditetapkan peneliti sebagai kelompok eksperimen
sedangkan kelompok pembanding (kelompok kontrol) atau kelompok yang tanpa
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) ditetapkan peneliti sebagai kelompok kontrol.
Langkah kedua yang dilakukan peneliti selanjutnya yaitu dengan
memberikan materi mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I) pada mahasiswa.
Pemberian materi ini diberikan oleh peneliti kepada masing-masing kelompok
tersebut, baik kelompok eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
maupun kelompok kontrol atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review).
Langkah selanjutnya atau langkah ketiga yaitu dengan memberikan soal pre-test
pada kedua kelompok tersebut yaitu kelompok eksperimen atau kelompok yang
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) dan kelompok kontrol atau kelompok yang tanpa
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) yang dimana tujuannya adalah agar peneliti dapat
mengetahui pengetahuan dan kemampuan awal mahasiswa tersebut sebelum
diberikan perlakuan, dalam hal ini diberikan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review).
Langkah keempat yang dilakukan selanjutnya yaitu dengan memberikan
perlakuan terhadap kelompok eksperimen dengan menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review).
Langkah kelima atau langkah terakhir dalam penelitian ini yaitu dengan
memberikan post-test untuk kedua kelompok penelitian yaitu kelompok
eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok kontrol
20
atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dengan tujuan untuk dapat
melihat sejauh mana pengetahuan mereka (mahasiswa) tentang materi-materi
pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I) setelah diberikan perlakuan.
Pengolahan data dilakukan oleh peneliti setelah pengumpulan data selesai
dilakukan dan kemudian data tersebut akan diolah lebih lanjut dengan cara
menggunakan Program Statistic Product For Social and Science (SPSS) versi 18.0.
Setelah data yang diperlukan dalam penelitian strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini telah terkumpul semua,
maka dilakukan tahap selanjutnya yaitu tahap pengolahan data.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam proses pengolahan data yaitu sebagai
berikut: 1) Editing atau penyuntingan data adalah kegiatan yang dilakukan
peneliti untuk melakukan pengecekan isian formulir atau daftar soal apakah
jawaban yang ada di daftar soal sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsekuen,
jika ternyata masih ada data yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka
tidak dilakukan pengolahan data. Pada penelitian ini, peneliti mengecek ulang
semua lembar jawaban yang dikumpulkan oleh mahasiswa dan memastikan
bahwa mahasiswa tersebut sudah mengisi semua jawaban pertanyaan penelitian
pada lembar jawaban yang telah disediakan, 2) Coding atau membuat lembaran
kode yaitu kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka atau bilangan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan nilai murni dari
mahasiswa dan memberikan coding pada group atau kelompok dengan
ketentuan: coding 1 apabila mahasiswa tersebut menggunakan strategi
pembelajaran MURDER atau kelompok eksperimen dan memberikan coding 2
apabila mahasiswa tersebut tidak menggunakan strategi pembelajaran MURDER
atau kelompok kontrol, 3) Proccessing atau pemrosesan data yaitu pemrosesan
yang dilakukan dengan cara mengentri data dari daftar soal ke komputer dengan
paket program komputer, salah satu paketnya adalah SPSS. Setelah dilakukan
coding, peneliti kemudian mengentri semua data yang telah didapatkan pada saat
21
penelitian, yaitu dengan mengentri semua nilai murni yang didapat mahasiswa
berikut kelompoknya yang telah di coding tersebut, 4) Cleaning atau pembersihan
data yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientri apakah ada
kesalahan atau tidak.
Setelah data dikumpulkan dan diolah, langkah selanjutnya yang dilakukan
yaitu melakukan analisis data. Data ini akan dianalisis secara univariat dan
bivariat. Analisis univariat dilakukan oleh peneliti untuk melihat frekuensi dari
variabel dependen dan variabel independen dalam penelitian yang dilakukan.
Dimana akan dibuat tabel distribusi frekuensi dari semua sebaran variabel yang
terdapat dalam penelitian strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand,
Recall, Digest, Expand, dan Review) ini. Bentuk dari analisis univariat itu sendiri
tergantung dari jenis data dari penelitian yang dilakukan. Untuk data penelitian
yang bersifat numerik maka dapat digunakan nilai mean atau rata-rata, median,
dan standar deviasi dari data penelitian tersebut.
Analisis bivariat dalam penelitian dilaksanakan untuk menguji apakah
hipotesa penelitian tersebut ditolak atau gagal ditolak. Analisis pada penelitian
strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan
Review) ini dilakukan terhadap nilai mean antara hasil pre-test dan post-test pada
kelompok eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok
kontrol atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review). Uji statistik yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji t- test yaitu
menggunakan uji t-dependen atau uji paired samples t-test untuk
membandingkan antara kedua kelompok penelitian yang mempunyai subjek yang
sama dan uji t-independen atau uji independent samples t-test untuk
membandingkan antara kedua kelompok yang mempunyai subjek yang tidak
sama atau berbeda. Pengujian ini menggunakan komputerisasi.13
22
Untuk dapat melihat perbedaan nilai antara hasil pre-test dan post-test
dari masing-masing kelompok digunakan uji t-dependen atau uji paired samples t-
test yang menghasilkan nilai P yang dapat dilihat pada kolom sig (2-tailed).
Pengujian ini menggunakan tingkat kemaknaan () = 0,05, Ho ditolak jika P Value
< 0,05 maka secara signifikan ada perbedaan nilai antara hasil pre-test dengan
hasil post-test pada kelompok penelitian tersebut dan apabila P Value > 0,05
berarti tidak ada perbedaan nilai antara hasil pre-test dengan hasil post-test pada
penelitian tersebut yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Ho gagal ditolak.
Untuk melihat perbedaan nilai antara hasil post-test dari kedua kelompok
dalam penelitian tersebut maka digunakan uji t-independen atau uji
independent samples t-test yang menghasilkan nilai P yang dapat dilihat pada
kolom sig (2-tailed). Pengujian ini menggunakan tingkat kemaknaan () = 0,05,
Ho ditolak jika P Value < 0,05 maka secara signifikan ada perbedaan nilai antara
hasil post-test antara kedua kelompok dalam penelitian tersebut dan apabila P
Value > 0,05 berarti tidak ada perbedaan nilai antara hasil post-test antara kedua
kelompok dalam penelitian tersebut atau bisa dikatakan bahwa Ho gagal ditolak.
Uji t inilah yang akan memberikan kesimpulan apakah strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) efektif untuk
peningkatan hasil belajar pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I).
HASIL PENELITIAN
Adapun beberapa ketebatasan yang ditemukan peneliti pada saat
melakukan penelitian mengenai strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini yaitu keterbatasan waktu
penelitian atau kurangnya waktu dalam melakukan penelitian mengenai strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review).
Hal ini dikarenakan untuk dapat menerapkan suatu strategi pembelajaran dalam
proses belajar mengajar diperlukan waktu yang cukup lama agar mahasiswa
tersebut benar-benar dapat menerapkan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) yang masih asing atau baru
23
diketahui dan diterima oleh mahasiswa tersebut, sehingga semakin banyak
waktu yang digunakan untuk menerapkan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) maka semakin efektif
strategi pembelajaran tersebut dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa
yang dalam hal ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada
mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I).
Keterbatasan lainnya yang ditemukan peneliti dalam penelitian strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
yaitu peneliti terkadang mendapatkan kesulitan pada saat membuat mood atau
suasana hati mahasiswa menjadi lebih baik pada saat peneliti akan menerapkan
strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan
Review) sehingga mahasiswa lebih mudah menerima pelajaran mata kuliah
Asuhan Kebidanan I (Askeb I) karena mood atau suasana hati merupakan
langkah awal dari penerapan strategi pembelajaran ini.
Kesulitan dalam membuat mood atau suasana hati mahasiswa ini dapat
dikarenakan penerapan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand,
Recall, Digest, Expand, dan Review) ini lebih sering dilakukan pada saat jam-jam
kosong di kampus atau dilakukan diluar jam belajar mahasiswa dimana peneliti
mendapatkan kesempatan untuk menerapkan strategi pembelajaran ini pada
siang atau sore hari dan terkadang mahasiswa sudah merasa capek dan kurang
bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga peneliti perlu
melakukan usaha yang lebih ekstra agar dapat membangkitkan suasana hati dan
semangat belajar mahasiswa.
Setelah peneliti selesai melakukan penelitian, data yang diperoleh oleh
peneliti kemudian diolah secara univariat dan bivariat. Hasil penelitian tersebut
disajikan dengan menggunakan tabel sebagai berikut:
24
Tabel 1. Distribusi Nilai Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen
(Menggunakan Strategi Pembelajaran MURDER) pada Mata Kuliah Askeb I
Hasil Belajar N Rata-rata
Standar Deviasi
Pre-test 17 68,53 14,659 Post-test 17 88,53 7,238
Sumber : Hasil olah data komputerisasi
Berdasarkan pada tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa hasil analisis
terhadap 17 orang responden mahasiswa kebidanan, diperoleh bahwa hasil nilai
rata-rata pre-test mahasiswa sebesar 68,53 dan hasil nilai post-test mahasiswa
sebesar 88,53. Dapat dilihat bahwa nilai rata-rata post-test mahasiswa
mengalami kenaikan nilai yang cukup besar jika dibandingkan dengan nilai rata-
rata pre-testnya.
Dari tabel 2, hasil analisis terhadap 17 orang responden mahasiswa
kebidanan, diperoleh bahwa hasil rata-rata pre-test sebesar 66,76 dan post-test
sebesar 65,00. Dapat dilihat bahwa nilai rata-rata post-test mahasiswa tidak
mengalami kenaikan bahkan nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
nilai rata-rata pre-testnya.
Tabel 2. Distribusi Nilai Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol
(Tanpa Menggunakan Strategi Pembelajaran MURDER) pada Mata Kuliah
Askeb I
Hasil Belajar
N Rata-rata Standar Deviasi
Pre-test 17
66,76 13,913
Post-test 17
65,00 13,229
Sumber : Hasil olah data komputerisasi
25
Tabel 3. Perbedaan Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen
(Menggunakan Strategi Pembelajaran MURDER) pada Mata Kuliah Askeb I
Hasil Belajar
N Mean SD P value
Pre test-Post test
17 20,00
0 12,99
0 0,000
Sumber : Hasil olah data komputerisasi
Dari tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pre-test dan post-
test pada kelompok eksperimen yaitu kelompok yang menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
adalah 20,000 dengan standar deviasi 12,990. Hasil uji statistik diketahui bahwa
nilai P=0,000, dimana P<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
antara nilai pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen atau kelompok
yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review).
Tabel 4. Perbedaan Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol (Tanpa
Menggunakan Strategi Pembelajaran MURDER) pada Mata Kuliah Askeb I
Hasil Belajar N Mean SD P value Pre test-Post test
17 -1,765 5,286 0,188
Sumber : Hasil olah data komputerisasi
Berdasarkan pada tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pre
test dan post test mahasiswa kebidanan pada kelompok kontrol atau kelompok
tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) adalah 1,765 dengan standar deviasi 5,286. Hasil uji
statistik diketahui bahwa nilai P=0,188, dimana P>0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan antara nilai pre-test dan post-test pada kelompok
kontrol atau kelompok tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review).
26
Tabel 5. Perbedaan Hasil Post-test Kelompok Eksperimen (Menggunakan
Strategi Pembelajaran MURDER) dan Post-test Kelompok Kontrol (Tanpa
Menggunakan Strategi Pembelajaran MURDER) pada Mata Kuliah Askeb I
Hasil Belajar N Mean Mean
Difference Std.Error
Difference P value
Post test Eksperimen-
Post test Kontrol
34 88,53-65,00
23,529 3,657 0,000
Sumber : Hasil olah data komputerisasi
Berdasarkan pada tabel 5 diatas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata post-
test mahasiswa kebidanan pada kelompok eksperimen yaitu kelompok yang
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) adalah 88,53 dan nilai rata-rata post-test mahasiswa
kebidanan pada kelompok kontrol yaitu kelompok yang tanpa menggunakan
strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan
Review) adalah 65,00 dimana nilai rata-rata kelompok eksperimen atau kelompok
yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) memiliki nilai mean yang lebih besar daripada
kelompok kontrol atau kelompok tanpa menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) sehingga dapat
dinyatakan bahwa perlakuan yang diberikan kepada mahasiswa kebidanan
semester II dalam bentuk strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand,
Recall, Digest, Expand, dan Review) pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb
I) efektif dengan perbedaan nilai mean atau rata-rata sebesar 23,529.
Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai P=0,000, dimana P<0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai post-test hasil belajar mata kuliah
Asuhan Kebidanan I (Askeb I) pada mahasiswa kebidanan semester II antara
kelompok eksperimen yaitu kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok
kontrol yaitu kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran
27
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dimana nilai
hasil belajar kelompok eksperimen lebih baik daripada nilai hasil belajar
kelompok kontrol.
PEMBAHASAN
Perbedaan Hasil Belajar
Dari hasil analisis bivariat yang telah dilakukan peneliti diketahui bahwa
nilai mean (rata-rata) antara hasil pre-test dan post-test mahasiswa pada
kelompok eksperimen yaitu kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) adalah 20,000
dengan standar deviasinya 12,990. Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai
P=0,000 dimana P<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara
hasil pre-test dan post-test mahasiswa kebidanan pada kelompok eksperimen
yaitu kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dimana nilai post-test mahsiswa
mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu 20,000 jika dibandingkan dengan
nilai pre-test.
Sedangkan nilai mean antara hasil pre-test dan post-test mahasiswa pada
kelompok kontrol yaitu kelompok yang tanpa menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
adalah -1,765 dengan standar deviasinya 5,286. Hasil uji statistik diketahui
bahwa nilai P=0,188 dimana P>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post-test mahasiswa kebidanan pada
kelompok kontrol yaitu kelompok yang tanpa menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai mean pre-test dan post-test kelompok
eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) lebih baik daripada
kelompok kontrol atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi
28
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
pada Mata Kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I).
Pada uji analisis bivariat hasil post-test kelompok eksperimen atau
kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan post-test kelompok kontrol
atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) didapat perbedaan mean antara
kedua kelompok tersebut adalah 23,529. Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai
P=0,000 dimana P<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nilai
mahasiswa kebidanan antara hasil post-test pada kelompok eksperimen yaitu
kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok kontrol yaitu
kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dimana hasil post-test kelompok
eksperimen lebih baik daripada hasil post-test kelompok kontrol.
Penggunaan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) ini efektif digunakan pada Mata Kuliah Asuhan
Kebidanan I (Askeb I) dimana terlihat jelas pada nilai mean post-test pada
kelompok eksperimen yaitu kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) sebesar 88,53
dibandingkan dengan nilai post-test kelompok kontrol yaitu kelompok yang
tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) sebesar 65,00 serta perbedaan mean diantara
keduanya adalah 23,529.
Dapat dikatakan bahwa mahasiswa lebih mudah menerima dan memahami
pelajaran menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand,
Recall, Digest, Expand, dan Review). Hal ini sejalan dengan pernyataan I Wayan
Santyasa (2008) yang menyatakan bahwa penggunaan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dapat
29
meningkatkan kognitif mahasiswa terhadap pelajaran karena adanya peran aktif
mahasiswa dalam mengikuti kegiatan proses belajar mengajar di kelas.10
Strategi Pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand,
dan Review) yang diadaptasi dari buku karya Nelson L.M “Collaborative Problem
Solving” merupakan singkatan dari 6 langkah yang harus dilakukan dalam
pembelajaran yaitu: Mood atau suasana hati, Understand atau pemahaman, Recall
atau pengulangan, Digest atau penelaahan, Expand atau pengembangan, dan
Review atau pelajari kembali adalah strategi pembelajaran efektif yang menuntut
mahasiswa berperan aktif dalam kegiatan belajar. Aktifitas di setiap langkah
dalam strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand,
dan Review) ini menarik dan menjadikan mahasiswa lebih termotivasi terutama
dalam mengemukakan pendapat mereka kepada kelompoknya dan kepada
kelompok yang lainnya serta termotivasi untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.14
Strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand,
dan Review) merupakan salah satu dari strategi pembelajaran kooperatif, dimana
dalam teori dikatakan bahwa strategi pembelajaran kooperatif dapat
mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya
sendiri serta dapat menerima umpan balik. Hal ini terlihat dari keaktifan
mahasiswa dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan dapat
memberikan saran atau informasi kepada kelompok lainnya.15
Dengan belajar aktif, mahasiswa dijadikan sebagai subjek dalam belajar
bahkan menjadi objek, strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand,
Recall, Digest, Expand, dan Review) juga dapat merangsang kemampuan
metakognitif mahasiswa sehingga mahasiswa dapat memperdalam pengetahuan
mereka dengan lebih bebas sesuai dengan kreatifitas mereka dalam memahami
pelajaran (tidak monoton).
30
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mailatul
Jannah yang menyatakan bahwa strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) telah terbukti dapat
meningkatkan kemampuan siswa pada ranah kognitif terutama dalam
kemampuan membaca.16
Hal ini juga selaras dengan penelitian Diska Asani (2012), yang
berpendapat bahwa strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) efektif meningkatkan partisipasi dan kemampuan
berfikir analitis siswa serta menaikkan nilai rata-rata pada siswa.
Penelitian lainnya yang terkait yaitu pada penelitian Linda Dewi
Permatasari (2011), yang berpendapat bahwa peningkatan hasil belajar
mahasiswa dengan menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) lebih baik daripada yang tidak
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
efektif digunakan dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa.
Menurut peneliti, penggunaan strategi pembelajaran kooperatif seperti
strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan
Review) mahasiswa akan termotivasi untuk mempelajari materi pelajaran karena
mahasiswa mencari sendiri hal-hal yang ingin diketahuinya.
Selain itu, tanggung jawab yang diberikan kepada mahasiswa akan
memacu semangatnya untuk belajar, sehingga materi yang dibaca dan diperoleh
oleh mahasiswa melalui usahanya sendiri dapat bertahan lebih lama dalam
ingatan mahasiswa ditambah lagi dengan adanya pengulangan.
Selain mahasiswa yang berperan aktif, strategi pembelajaran ini dirasa
juga lebih efektif pada mahasiswa karena dalam penggunaan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
31
mahasiswa melakukan usaha belajar yang mandiri dengan usaha yang kecil
menghasilkan hasil belajar yang memuaskan.
Peran serta guru atau dosen dalam penggunaan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini dapat
membantu mahasiswa untuk lebih memahami materi dengan mudah, efektif,
efisien dan menyenangkan. Selain itu juga dapat meningkatkan motivasi
mahasiswa untuk lebih semangat dan antusias dalam belajar baik di tempat
perkuliahan maupun di rumahnya masing-masing.
Konklusi
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut dimana hasil
analisis terhadap 17 orang responden mahasiswa kebidanan pada kelompok
eksperimen yaitu kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan 17 orang responden
mahasiswa kebidanan pada kelompok kontrol yaitu kelompok yang tanpa
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) diperoleh bahwa hasil rata-rata pre-test pada kelompok
eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran MURDER
(Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) sebesar 68,53 dan post-
testnya sebesar 88,53. Sedangkan hasil rata-rata pre-test pada kelompok kontrol
atau kelompok tanpa menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) sebesar 66,76 dan post-testnya
sebesar 65,00. Dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata post-test mahasiswa
kebidanan pada kelompok eksperimen atau kelompok yang menggunakan
strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan
Review) mengalami kenaikan yang cukup besar jika dibandingkan dengan nilai
rata-rata pre-testnya. Sedangkan nilai rata-rata post-test mahasiswa kebidanan
pada kelompok kontrol atau kelompok tanpa menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata pre-testnya.
32
Peneliti juga menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test
dan hasil post-test pada kelompok eksperimen yaitu kelompok yang
menggunakan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest,
Expand, dan Review) yang dibuktikan dengan uji t-test dependen atau uji paired
samples t-test dimana didapat nilai P=0,000 dan nilai post-test mengalami
kenaikan yang cukup besar yaitu 20,000 jika dibandingkan dengan nilai pre-test.
Berbeda dengan kelompok kontrol yaitu kelompok tanpa menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
dimana tidak ada perbedaan antara hasil pre-test dan post-test pada kelompok
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai P=0,188 dan nilai rata-rata post-test
mahasiswa lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata pre-testnya yaitu
sebesar 1,76.
Berdasarkan hasil uji t-independen atau uji independent samples t-test pada
kelompok eksperimen atau kelompok yang menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dan kelompok
kontrol atau kelompok yang tanpa menggunakan strategi pembelajaran
MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) dimana peneliti
menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara nilai post-test kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini dibuktikan dengan nilai P=0,000, yang
berarti bahwa nilai post-test kelompok eksperimen lebih baik daripada nilai
post-test kelompok kontrol. Penggunaan strategi pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review) ini dikatakan efektif untuk
meningkatkan hasil belajar mata kuliah Asuhan Kebidanan I (Askeb I) dimana
terdapat perbedaan mean yang cukup besar diantara kedua kelompok ini yaitu
sebesar 23,529.
Sehingga untuk menarik kesimpulan akhir dari penelitian ini yaitu bahwa
penelitian ini menyatakan ada kesesuaian antara hasil yang didapatkan dengan
latar belakang pengambilan penelitian ini dimana peningkatan hasil belajar pada
mahasiswa sangat dipengaruhi oleh penggunaan strategi pembelajaran yang
33
tepat agar mahasiswa dapat menjadi lebih aktif. Penggunaan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
ini dapat membuat mahasiswa menjadi aktif dan mandiri dalam memahami
materi pelajaran yang mereka pelajari terutama materi yang dianggap sulit oleh
mahasiswa.
Adapun saran yang dapat disampaikan yaitu diharapkan agar mahasiswa
dapat menerapkan strategi pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall,
Digest, Expand, dan Review) ini pada mata kuliah kognitif lainnya yang dianggap
sulit oleh mahasiswa sehingga dapat memudahkan mahasiswa untuk memahami
materi-materi tersebut. Dosen juga diharapkan agar dapat menggunakan strategi
pembelajaran MURDER (Mood, Understand, Recall, Digest, Expand, dan Review)
dalam proses pembelajaran di kelas baik pada mata kuliah Asuhan Kebidanan I
(Askeb I) maupun pada mata kuliah lainnya untuk meningkatkan hasil belajar
mahasiswa dan mendapatkan hasil belajar yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Willis, Sofyan S. Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta; 2012.
2. Iskandar. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Referensi (GP Press Group); 2012.
3. Sobur, Alex. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia; 2010. 4. Baharudin dan Esa Nur Wahyuni. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta:
Ar. Ruzz Media; 2008. 5. Asani, Diska. Efektivitas Strategi Pembelajaran MURDER terhadap Partisipasi
dan Kemampuan Berpikir Analitis Siswa SMA Negeri 1 Gombong pada Mata Pelajaran Biologi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2012.
6. Putranti, Tegar Merin. Efektifitas Penggunaan Metode Belajar SQ3R (Survey,
Question, Read, Recite, Review) terhadap Hasil Belajar Mahasiswa pada Materi Solusio Plasenta dan Plasenta Previa di Program Studi D-III Kebidanan Prima Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju; 2011.
34
7. M, Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2008.
8. Satu, Daniel A. Pembelajaran Kooperatif dan Aplikasinya di Kelas Jurnal Kependidikan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2008. Palangkaraya: STAKN; 2008.
9. Tarudin. Jurnal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik antara Siswa
yang Mendapatkan Pembelajaran Tipe MURDER dan Tipe Jigsaw. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia; 2012. (Diakses melalui http: repository.upi.edu, tanggal 31-01-2013 pkl. 21.35 WIB).
10. Santyasa, I Wayan. Jurnal Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran
Kooperatif. Universitas Pendidikan Ganesha; 2008. (Diakses melalui http: //physicsmaster.orgfree.com/Jurnal/Pendidikan/PROBLEM_BASED_LEARNING.pdf, tanggal 31-01-2013 pkl. 19.48 WIB).
11. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Method). Bandung: Alfabeta; 2012. 12. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi
Revisi VI). Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2006. 13. Pusat data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Modul Analisis Data
Menggunakan SPSS. Jakarta: Pusat data dan Informasi Departemen Kesehatan RI; 2006.
14. Permatasari, Linda Dewi. Penerapan Strategi Pembelajaran MURDER (Mood,
Understand, Recall, Digest, Expand, Review) terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMAN 10 Malang Sampoerna Academy. Universitas Islam Negeri; 2011.
15. Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana; 2011. 16. Jannah, Mailatul. Jurnal Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif SPIKPU
untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas XI IPS 2 SMA Muhammadiyah 1 Bantul. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta; 2011. (Diakses melalui http: eprints.uny.ac.id/Mailatul_Jannah.pdf, tanggal 28-01-2013 pkl. 21.56 WIB).
35
HUBUNGAN METODE PEMBELAJARAN, GAYA BELAJAR HASIL BELAJAR METODOLOGI PENELITIAN MAHASISWA
DIV KEBIDANAN STIKIM 2011-2012
1Anggarani Prihantiningsih, 2Kursih Sulastriningsih 1 Dosen STIKes Bhakti Pertiwi Indonesia 2Dosen STIKes Bhakti Pertiwi Indonesia [email protected],[email protected]
Abstrak
Pendidikan dapat diartikan bagaikan lilin yang selalu menerangi kegelapan,
apabila lilin itu mati atau habis akan menjadi gelap, jadi pendidikan itu sangat
penting supaya seluruh bangsa menjadi terang dalam hal kesejahteraan dan
kemajuan bangsa dan Negara, karena pendidikan adalah salah satu upaya
menompak Negara yang mana membutuhkan keahlian yang sangat luar biasa
agar memajukan Negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tindakan
kelas dilihat dari metode pembelajaran dan gaya belajar dihubungkan dengan
hasil belajar mata kuliah metodologi penelitian pada mahasiswa DIV Kebidanan
STIKIM tahun Ajaran 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Analitik cross sectional.Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa
kebidanan di Program Studi DIV Kebidanan STIKIM YIMA tahun akademik 2011-
2012 sebanyak 67 Responden.Pengambilan sampel adalah sebanyak 67
Responden.Analisis data dengan menggunakan analisis bivariat dengan uji Chi
Square. Hasil penelitian didapatkan dan tidak terdapat hubungan antara hasil
belajar dan dengan metode pembelajaran, ada hubungan antara gaya belajar dan
dengan hasil belajar.Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan
antara gaya belajar dengan hasil belajar mata kuliah metodologi penelitian pada
mahasiswa DIV Kebidanan, Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka
diupayakan saat registrasi mahasiswa, dibuatkan kuesioner mengenai gaya
belajar sehingga di dalam proses belajar mengajar,dosen dapat memilih dan
memakai metode pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi.
Kata Kunci : Gaya Belajar, Metode Pembelajaran,hasil belajar
36
Abstract
Education can be interpreted like a candle which always illuminate the darkness,
when candles were dead or discharged will be dark, so education is very
important so that the whole nation to be a light in terms of welfare and progress
of the nation and the State, because education is one of the efforts of the State
extraordinary skills in order to advance the state. This study and aims to
determine the class action seen from the teaching methods and learning styles
associated with learning outcomes research and methodology courses in
Midwifery DIV students Doctrine STIKIM year 2012. The method used in this
study is a cross sectional Analytical in this study were students of midwifery in
Midwifery Studies Program DIV STIKIM Yima 2011-2012 academic year by 67
Responden.Pengambilan sample is by 67 Responden.Analisis data using bivariate
analysis using Chi Square.Hasil research showed there was no correlation
between learning outcomes with learning methods, there is a relationship
between learning styles with the result belajar. Sehingga can with be concluded
that there is a relationship between learning styles with learning outcomes
research methodology courses in Midwifery DIV students, Based on these results
it is pursued in the registration of students, created a questionnaire about
learning styles so that in the learning process, teachers can select and use
appropriate learning methods in presenting the material.
Keywords: Learning Styles, Learning Method, learning outcomes
PENDAHULUAN
Pendidikan dapat diartikan bagaikan lilin yang selalu menerangi kegelapan,
apabila lilin itu mati atau habis akan menjadi gelap, jadi pendidikan itu sangat
penting supaya seluruh bangsa menjadi terang dalam hal kesejahteraan dan
kemajuan bangsa dan Negara, karena pendidikan adalah salah satu upaya
menompak Negara yang di mana membutuhkan keahlian yang sangat luar biasa
agar memajukan Negara. Pendidikan adalah proses alami yang harus terjadi pada
setiap manusia, pendidikan merupakan usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung masyarakat.1
Dalam tujuan pendidikan nasional berdasarkan Undang-undang No 20 th
2003, tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
37
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan tertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.2
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif
mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang
bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan,
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum
pengajaran dilakukan.3 Dalam Proses belajar mengajar diperlukan strategi
mengajar, salah satunya adalah menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar
mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode atau teknik penyajian
untuk memotivasi anak didik agar mampu menerapkan pengetahuan dan
pengalamannya untuk memecahkan masalah.
Sebagai seorang dosen dalam menyajikan pembelajaran harus menggunakan
metode yang bervariasi, beberapa alasan mengapa dalam pembelajaran harus
menggunakan metode yang bervariasi diantaranya :1). Seringkali sebuah metode
mengajar hanya cocok untuk satu jenis materi pelajaran tertentu, 2). Metode
mengajar tertentu hanya cocok untuk siswa yang memiliki gaya belajar tertentu,
3). Saat guru berusaha menggunakan beragam metode mengajar dengan berbagai
variasi, maka guru secara tidak langsung menjadi model yang memiliki jiwa
kreatif, 4). Penggunaan berbagai variasi metode mengajar yang sesuai dengan
materi pembelajaran akan membuat siswa memiliki pemahaman yang lebih
mendalam tentang materi tersebut, 5). Siswa akan terbantu mengekspresikan
berbagai perasaan mereka saat guru menggunakan beragam metode mengajar.
Dari hasil penelitian mengenai “Penerapan model Syndicate group untuk
meningkatkan motivasi dan hasil belajar zat dan wujudnya untuk kelas VII
SMP” disimpulkan bahwa menggunakan model syndicate group dapat
meningkatkan hasil belajar 33,34 %, sedangkan dengan metode ceramah dapat
meningkatkan hasil sebesar 21,56 % dan pembelajaran menggunakan metode
ceramah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sebesar 6,06 %.4
38
Gaya belajar sesorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap, dan
kemudian mengatur serta mengolah informasi.5 Bobby De Potter dan Mike
Hernacki (2003) dalam Quantum Teaching telah mengemukakan karakteristik
gaya belajar antara lain : gaya belajar visual (Visual Learning), gaya belajar
auditorial (Auditory Learning), gaya belajar kinestetik (Kinesthetic Learning).6
Dari hasil penelitian berjudul Pengaruh Gaya Belajar (Visual, Auditory,
Kinesthetic) terhadap prestasi belajar siswa kelas 1 penjualan SMK
Muhammadiyah 2 Malang dalam mata pelajaran kewirausahaan tahun ajaran
2007-2008, didapatkan hasil terdapat pengaruh gaya belajar terhadap prestasi
belajar sebesar 20,6 % dan sisanya 79,4 % prestasi belajar dipengaruhi oleh
faktor lain.7
Dari hasil penelitian yang berjudul Pengaruh Gaya Belajar Terhadap prestasi
belajar siswa kelasX SMK Negeri 2 Balikpapan didapatkan hasil terdapat
pengaruh gaya belajar visual, Auditori, Kinesthetic terhadap prestasi belajar
sebesar 55,8 % dan sisanya 44,2 % prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor lain.8
Hasil belajar menurut Hamalik (2006) adalah bila seseorang telah belajar
akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak
tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Clark dalam Nana Sudjana dan Ahmad Rivaimengungkapkan bahwa Hasil
belajar siswa di sekolah 70 % dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30 %
dipengaruhi oleh lingkungan.9 Hasil belajar mahasiswa D IV kebidanan semester
ganjil mata kuliah metodologi penelitian dengan nilai C lebih banyak
dibandingkan dengan mata kuliah lainnya. Nilai C pada kelas A sebanyak 7 orang
(3,47 %) , kelas B sebanyak 30 orang (14,85 %) dan kelas C sebanyak 26 orang
(12,87 %), dengan jumlah mahasiswa 202 orang.
Gambaran dengan sistem SKS tersebut diketahui melalui Indeks Prestasi
(IP). Indeks Prestasi (IP) adalah nilai angka yang menunjukkan prestasi atau
kemampuan belajar mahasiswa dalam satu semester. Dengan melihat IP dapat
diketahui kemampuan akademmik seorang mahasiswa dalam satu semester.
39
IP semester merupakan nilai rata-rata dari seluruh mata kuliah yang diambil
pada semester tersebut. IP semester dapat diperoleh dengan cara membagikan.
Jumlah total angka mutu dengan jumlah SKS pada semester tersebut. Angka mutu
sendiri diperoleh dengan cara mengalihkan beban SKS dengan nilai mata kuliah
yang diraih. Jika nilai mata kuliah tersebut harus di konversikan terlebih dahulu
menjadi angka.
Guru atau dosen memiliki peran yang sangat penting dalam menetukan
kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu guru atau dosen harus
memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam meningkatkan
kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut untuk perubahan-perubahan dalam
mengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, mengembangkan bahan
pelajaran yang baik, pemakaian media pengajar yang tepat guna mencapai tujuan
yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Salah satu usaha yang tidak
pernah guru/dosen tinggalkan adalah bagaimana memahami kedudukan metode
sebagai salah satu komponen yang ikut ambil bagian dalam mencapai
keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Dari sekian banyak kajian metode
pembelajaran yang banyak memberikan pemahaman tentang kedudukan metode
dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut: a) Metode Sebagai Alat
Motivasi Ekstrisik, yaitu motivasi dari luar yang dapat membangkitkan semangat
anak didik. Guru/dosen dituntut untuk pandai mendapatkan suatu bahan untuk
dijadikan alat motivasi agar peserta didik tergerak dan mengikuti jalannya proses
pengajaran secara serius sehingga tujuan pengajaran tercapai. b) Metode Sebagai
Strategi Pengajar, yaitu dalam kegiatan belajar mengajar, tidak semua anak didik
mampu berkonsentrasi dalam waktu relative lama. Daya serap mahasiswa
terhadap materi yang diberikan juga bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang
sedang dan ada juga yang lambat, ini tergantung factor intelegensi yang dimiliki
setiap mahasiswa. Terhadap perbedaan daya serap anak tersebut, diperlukan
strategi pengajaran yang tepat. Ada kelompok mahasiswa yang mudah menyerap
bila guru/dosen menggunakan metode demonstrasi atau metode eksperimen.
40
Titik sentral yang harus dicapai oleh setiap kegiatan belajar mengajar adalah
tercapaianya tujuan pengajaran. Dengan demikian apapun yang termasuk
perangkat program pengajaran dituntut secara mutlak guna untuk menunjang
tercapainya tujuan pembelajaran. Untuk selanjutnya dikatakan, guru/dosen
sebagai salah satu sumber belajar berkewajiban menyediakan lingkungan belajar
yang kreatif bagi kegiatan belajar anak didik dikelas. Salah satu kegiatan yang
harus dilakukan guru/dosen adalah melakukan pemilihan dan penentuan metode
yang akan digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran.
Metode mengajar yang guru gunkan dalam setiap kali pertemuan bukanlah
asal pakai, tetapi setelah melalui seleksi yang berkesesuaian dengan perumusan
tujuan instruksional khusus. Jarang sekali terlihat guru merumuskan tujuan
hanya satu rumusan, tetapi pasti guru merumuskan lebih dari satu tujuan. Karena
itu, guru pun selalu menggunakan metode yang lebih dari satu. Pemakaian
metode yang satu digunakan untuk mencapai tujuan satu, sementara penggunaan
metode lain juga digunakan untuk mencapai tujuan yang lain.
Jangan dikira bahwa pemilihan metode itu sembarangan. Jangan diduga
bahwa penentuan dalam metode itu tanpa harus mempertimbangkan factor-
faktor lain. Sebagai suatu cara, metode tidaklah berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi
oleh factor-faktor lain. Maka itu, siapa pun yang telah menjadi guru harus
mengenal, memahaminya ketika akan melaksanakan pemilihan dan penentuan
metode.
Bila ada para ahli yang mengatakan bahwa makin baik metode itu, makin
efektif pula pencapaian tujuan adalah pendapat yang mengandung nilai
kebenaran. Tapi, jangan didukung bila para ahli lain yang mengatakan bahwa
semua metode adalah baik dan tidak ada kelemahannya, karena pernyataan
tersebut adalah pendapat yang keliru. Setiap metode mempunyai sifat masing-
masing, baik mengenai kebaikan-kebaikannya maupun kelemahan-
kelemahannya. Guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling serasi
untuk situasi dan kondisi yang khusus dihadapinya. Jika memahami sifat-sifat
masing-masing metode tersebut.
41
Metode pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (child centered)
sangat menekankan agar proses pembelajaran mengarah pada terbentuknya
pribadi secara utuh. Oleh karena itu peranan metode pembelajaran sangat
penting karena dapat memberikan pengalaman sesuai dengan kebutuhan, baik
fisik maupun psikis, disesuaikan dengan bakat dan minat. Mahasiswa melakukan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pada
Pembelajaran yang mementingkan perkembangan pribadi mahasiswa secara
utuh memang banyak menguntungkan, terutama dari segi mahasiswa itu sendiri.
Mereka dapat terbentuk pribadinya. Dapat menyalurkan bakatnya, minat dan
kemampuannya. Dan hal yang paling menonjol adalah bahwa mereka dapat
mewujudkan diri (aktualitas diri). Namun demikian dari segi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat menghambat, karena peranan disiplin ilmu
pengetahuan diabaikan. Jika ini berlangsung dengan waktu lama, dapat
menyebabkan kemunduran bidang pengetahuan dan teknologi. Melalui berbagai
metode pembelajaran, seperti metode proyek yang dilakukan mereka akan
memperoleh pengalaman yang berarti bagi kehidupan. Jadi kegiatan apapun pada
dasarnya dapat direncanakan, asalkan memberikan kemungkinan kepada
mahasiswa dapat belajar secara efektif dalam upaya mencapai tujuan.
Metode pembelajaran dan gaya belajar mahasiswa yang dilakukan
dihubungkan dengan hasil belajar mata kuliah metodologi penelitian pada kelas
B, hal ini dikarenakan pada kelas B nilai C lebih banyak dibandingkan kelas A dan
C.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tindakan kelas
dilihat dari metode pembelajaran dangaya belajar dihubungkan dengan hasil
belajar mata kuliah metodologi penelitian pada mahasiswa D IV Kebidanan
STIKIM tahun ajaran 2011-2012.
42
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan penelitian survey yang bersifat analitik yaitu data
yang dikumpulkan dan dideskripsikan secara sistematis,dianalisa dan dicari
hubungan variabel independen (Metode pembelajaran dan gaya belajar) dan
dependen (hasil belajar). Penelitian ini menggunakan pendekatan crossectional
yaitu semua variabel dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto 2002). Berdasarkan
pendapat di atas populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
kebidanan di Program Studi D IV Kebidanan STIKIM YIMA tahun akademik 2011-
2012khususnya kelas B sebanyak 67 responden.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang diwakili oleh
populasi tersebut.Besarnya sampel apabila subjek kurang dari 100, lebih baik
diambil semua.10 Dan apabila subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau
20-25% atau lebih tergantung dari:Kemampuan antara 10-15% atau 20-25%
atau lebih tergantung dari:Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan
dana, Sempit dan luasnya wilayah pengamatan dari setiap objek, karena hal ini
menyangkut banyak sedikitnya data,Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh
peneliti.Dalam penelitian ini, maka sampel yang diambil sebanyak 67 responden.
HASIL PENELITIAN
Dalam analisis univariat ini, dijelaskan secara deskriptif frekuensi responden
secara keseluruhan mahasiswa semester Ganjil berdasarkan variabel yang
diteliti yaitumetode pembelajaran meliputi ceramah dan ceramah dan resitasi,
gaya belajar yang terdiri dari visual, ,auditori, kinestetik . Adapun hasil Analisis
tersebut adalah sebagai berikut dalam bentuk tabel – tabel : gambaran hasil
belajar mahasiswa D IV Kebidanan, gambaran metode pembelajaran ceramah dan
ceramah dan resitasi, gambaran gaya belajar ( visual, auditori, kinestetik).
43
Tabel 1 Gambaran Hasil Belajar Mahasiswa DIV Kebidanan STIKIM Tahun 2011-2012
Hasil Belajar
Frekuensi Persentase
Tidak Baik 36 53,7 Baik 31 46,3
Jumlah 67 100%
Hasil analisis dari 67 responden yang diteliti ada sebanyak 36 (53,7 %)
mahasisswa yang mempunyai hasil belajar tidak baik, sedangkan yang memiliki
hasil belajar baik ada sebanyak 31 (46,3 %) mahasiswa .
Tabel 2 Gambaran Metode Pembelajaran ceramah dan ceramah dan resitasi Yang dilakukan di Mahasiswa D IV Kebidanan STIKIM Tahun 2011-2012
Metode Pembelajaran
Frekuensi Persentase
Ceramah 7 10,4 Ceramah dan
resitasi 60 89,6
Jumlah 67 100 % Hasil analisis dari 67 responden yang diteliti ada sebanyak 7 (10,4 %)
mahasiswa yang mempunyai metode pembelajaran ceramah, sedangkan yang
memiliki metode pembelajaran ceramah dan resitasi sebanyak 60 (89,6 %)
mahasiswa.
Tabel 3 Gambaran Gaya belajar (visual,auditori, kinestetik) Mahasiswa D IV Kebidanan STIKIM TAHUN 2011-2012
Hasil analisis dari 67 responden yang diteliti ada sebanyak 44 (65,7 %)
mahasiswa yang mempunyai gaya belajar visual, gaya belajar auditori sebanyak 7
Gaya Belajar Frekuensi Persentase
Visual 44 65,7
Auditori 7 10,4 Kinestetik 16 23,9
Jumlah 67 100 %
44
(10,4 %) sedangkan yang memiliki gaya belajar kinestetik ada sebanyak 16
(23,9 %).
Tabel 4 Distribusi Responden Mengenai Metode Pembelajaran ceramah dengan Hasil Belajar Mahasiswa D IV Kebidanan STIKIM Tahun 2011-2012
Analisis Bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Variabel independen meliputi Metode
Pembelajaran dan gaya belajar mahasiswa dengan variabel dependen Hasil
Belajar mahasiswa D IV Kebidanan di STIKIM tahun 2011-2012. Hasil analisis
bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada
tabel di atas. Berdasarkan hasil analisis Dari tabel diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan antara hasil belajar dengan metode pembelajaran yaitu pada
metode ceramah, responden sebanyak 5 orang ( 71,43 % ) dari 7 orang
mendapatkan hasil belajar yang tidak baik, dan pada metode ceramah dan
resitasi didapatkan 31 orang ( 51,7 % ) dari 60 responden yang memilih ceramah
dan resitasi mendapatkan hasil belajar yang tidak baik. Dan hasil uji statistik
diketahui bahwa nilai p = 0,437 berarti p > 0,05, maka dapat dismpulkan tidak
terdapat hubungan antara metode pembelajaran dengan hasil belajar
mahasiswa DIV kebidanan di STIKIM tahun 2011-2012.
Hasil Belajar
Metode Pembelajaran
Tidak Baik
% Baik % Total P Value
OR
Ceramah 5 71,43 2 28,57 7 Ceramah dan
Resitasi 31 51.7 29 48,3 60 0,437
Total 36 100 31 100 67
45
Berdasarkan hasil analisis tabel Distribusi Responden mengenai Gaya
Belajar dengan Hasil Belajar mahasiswa D IV Kebidanan STIKIM Tahun 2011-
2012dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara hasil belajar dengan gaya
belajar diperoleh bahwa terdapat 18 orang ( 40,9 % ) dari 44 orang mahasiswa
dengan gaya belajar visual mendapatkan hasil belajar tidak baik, sedangkan
responden dengan gaya belajar auditori terdapat 2 orang ( 28,57 % )
mendapatkan hasil belajar tidak baik dari 7 orang gaya belajar auditori dan gaya
belajar kinestetik terdapat 16 orang mendapatkan hasil belajar yang tidak baik.
Dan hasil uji statistik diketahui bahwa nilai p = 0,000 berarti p < 0,05, maka
dapat disimpulkan ada hubungan antara gaya belajar dangan hasil belajar pada
mahasiswa D IV Kebidanan di STIKIM. OR tidak ada dikarenakan tabel yang
tertera 2 x 3.
Tabel 5 Distribusi Responden mengenai Gaya Belajar dengan Hasil Belajar mahasiswa D IV Kebidanan STIKIM Tahun 2011-2012
PEMBAHASAN
Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
antara hasil belajar dengan metode pembelajaran yaitu pada metode ceramah,
responden sebanyak 5 orang ( 71,43 % ) dari 7 orang mendapatkan hasil belajar
yang tidak baik, dan pada metode ceramah dan resitasi didapatkan 31 orang (
51,7 % ) dari 60 responden yang memilih ceramah dan resitasi mendapatkan
hasil belajar yang tidak baik.
Sebagai seorang dosen dalam menyajikan pembelajaran harus menggunakan
metode yang bervariasi, beberapa alasan mengapa dalam pembelajaran harus
Hasil Belajar
Gaya Belajar
Tidak Baik
% Baik % Total P Value OR
Visual 18 40.9 26 59,1 44 Auditori 2 28,57 5 71.43 7 0,000 -
Kinestetik 16 100 0 0 16 Total 36 53,73 31 46,27 67
46
menggunakan metode yang bervariasi diantaranya :1). Seringkali sebuah metode
mengajar hanya cocok untuk satu jenis materi pelajaran tertentu, 2). Metode
mengajar tertentu hanya cocok untuk siswa yang memiliki gaya belajar tertentu,
3). Saat guru berusaha menggunakan beragam metode mengajar dengan
berbagai variasi, maka guru secara tidak langsung menjadi model yang memiliki
jiwa kreatif, 4). Penggunaan berbagai variasi metode mengajar yang sesuai
dengan materi pembelajaran akan membuat siswa memiliki pemahaman yang
lebih mendalam tentang materi tersebut, 5). Siswa akan terbantu
mengekspresikan berbagai perasaan mereka saat guru menggunakan beragam
metode mengajar.11
Banyak metode yang digunakan dalam mengajar. Untuk memilih metode-
metode mana yang tepat digunakan dalam menyampaikan materi pelajaran,
terlebih dahulu penulis akan menyebutkan macam-macam metode pengajaran.
Berikut adalah macam-macam metode pembelajaran yang dapat digunakan
dalam keseharian dan untuk mengimplementasikan strategi dalam
pembelajaran. Metode pembelajaran sangat Beranekaragam.
Dengan mempertimbangkan apakah suatu metode pembelajaran cocok untuk
mengajarkan materi pembelajaran tertentu, tidak adakah metode pembelajaran
lain yang lebih sesuai, guru/dosen dapat memilih metode pembelajaran yang
efektif untuk mengantarkan mahasiswa mencapai tujuan. Metode pembelajaran
menekankan pada proses belajar mahasiswa secara aktif dalam upaya
memperoleh kemampuan hasil belajar. Metode pembelajaran yang dipilih
tentunya menghindari upaya penuangan ide kepada mahasiswa sebagaimana
terjadi dalam pembelajaran dengan pendekatan imposisi.
Metode pembelajaran yang dipilh sepatutnya disesuaikan dengan bentuk
belajar atau hasil belajar yang diharapakan diperoleh mahasiswa. Masing-masing
bentuk belajar menuntut metode pembelajaran tertentu. Metode pembelajaran
yang dipilih menekankan pada adanya keaktifan mahasiswa dalam upaya
mencapai bentuk hasil belajar tersebut. Dalam praktek, seringkali penggunaan
47
metode pembelajaran tidak berdiri sendiri, tetapi dipadukan dengan metode
pembelajaran lain.
Metode pembelajaran beraneka ragam. Setiap metode pembelajaran
mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan yang lain. Tidak
ada satu metode pembelajaran pun yang dianggap tepat untuk segala situasi.
Suatu metode pembelajaran dapat dianggap tepat untuk suatu situasi, namun
tidak tepat untuk situasi lain. Seringkali pembelajaran dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode pembelajaran secara bervariasi.
Dapat pula suatu metode pembelajaran dilaksanakan secara berdiri sendiri.
Ini tergantung pada pertimbangan didasarkan situasi belajar mengajar yang
relevan dengan Kedudukan Metode Dalam Belajar Mengajar.
Metode adalah suatu cara kerja yang sistematik dan umum yang berfungsi
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Semakin baik suatu metode semakin efektif
pula dalam pencapaiannya. Metode yang bervariasi diperlukan dalam rangka
mencapai tujuan. Seorang guru tidak dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak
menguasai satupun metode mengajar. Metode pembelajaran adalah suatu
pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru
atau instruktur. Dalam pengertian lain adalah teknik penyajian yang dikuasai
guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam
kelas, baik secara individual atau secara kelompok, agar pelajaran tersebut dapat
diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa yang baik. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah strategi pembelajaran
yang digunakan oleh guru sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Peranan dan kompetensi guru atau dosen dalam proses belajar mengajar
meliputi banyak hal, sebagaimana dikemukakan oleh Adam dan Decey dalam
Basic Principle of Student Teaching, antara lain guru atau dosen sebagai pengajar,
pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspiditor,
perencana, supervisor, motivator dan konselor.
Guru atau dosen memiliki peran yang sangat penting dalam menetukan
kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu guru atau dosen harus
48
memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam meningkatkan
kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut untuk segera ada perubahan-perubahan
dalam mengorganisasian kelas, penggunaan dalam metode mengajar,
mengembangkan bahan pelajaran yang baik, pemakaian media pengajar yang
tepat guna mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran.
Salah satu usaha yang tidak pernah guru/dosen tinggalkan adalah
bagaimana memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang
ikut ambil bagian dalam mencapai keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Dari
sekian banyak kajian metode pembelajaran yang banyak memberikan
pemahaman tentang kedudukan metode dalam kegiatan belajar mengajar adalah
sebagai berikut: a) Metode Sebagai Alat Motivasi Ekstrisik, yaitu motivasi dari
luar yang dapat membangkitkan semangat anak didik. Guru/dosen dituntut
untuk pandai mendapatkan suatu bahan untuk dijadikan alat motivasi agar
peserta didik tergerak dan mengikuti jalannya proses pengajaran secara serius
sehingga tujuan pengajaran tercapai. b) Metode Sebagai Strategi Pengajar, yaitu
dalam kegiatan belajar mengajar, tidak semua anak didik mampu berkonsentrasi
dalam waktu relative lama. Daya serap mahasiswa terhadap materi yang
diberikan juga bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang sedang dan ada juga
yang lambat, ini tergantung factor intelegensi yang dimiliki setiap mahasiswa.
Terhadap perbedaan daya serap anak tersebut, diperlukan strategi pengajaran
yang tepat. Ada kelompok mahasiswa yang mudah menyerap bila guru/dosen
menggunakan metode demonstrasi atau metode eksperimen.
Guru/dosen harus memiliki suatu kompetensi berupa keterampilan
mengajar, agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada
tujuan yang diharapkan. Salah satu strategi itu adalah guru/dosen harus
menguasai tehnik-tehnik penyajian atau biasanya disebut metode mengajar.
Dengan demikian, metode mengajar adalah strategi pengajaran sebagai alat
untuk mencapai tujuan yang diharapkan. c) Metode Sebagai Alat Untuk
Mencapai Tujuan, yaitu tujuan adalah pedoman yang member arah kemana
kegiatan belajar mengajar akan dibawa. Guru/dosen tidak bisa membawa
49
kegiatan belajar mengajar menurut sekehendak hatinya dan mengabaikan tujuan
yang telah dirumuskan. Kegiatan belajar mengajar yang tidak mempunyai tujuan
sama halnya ke pasar tanpa mengetahui apa yang harus dibeli. Menurut Prasetya
(2001), metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan
memanfaatkan metode sacara akurat, guru/dosen akan mampu mencapai tujuan
pengajaran. Bila tidak, maka akan sia-sia perumusan tujuan yang telah
ditentukan. Dengan demikian kegiatan belajar mengajar yang tanpa
mengindahkan tujuan, apalah artinya. Jadi menggunakan metode yang dapat
menunjang kegiatan belajar mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang
efektif untuk mencapai tujuan pengajaran. Pemilihan Metode Penentuan
Pembelajaran.
Titik sentral yang harus dicapai oleh setiap kegiatan belajar mengajar
adalah tercapaianya tujuan pengajaran. Dengan demikian apapun yang termasuk
perangkat program pengajaran dituntut secara mutlak guna menunjang
tercapainya tujuan pembelajaran. Selanjutnya akan dikatakan, guru/dosen
sebagai salah satu sumber belajar berkewajiban menyediakan lingkungan belajar
yang kreatif bagi kegiatan belajar anak didik dikelas. Salah satu kegiatan yang
harus dilakukan guru/dosen adalah melakukan pemilihan dan penentuan
metode yang akan digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran.
Metode mengajar yang guru gunkan dalam setiap kali pertemuan bukanlah
asal pakai, tetapi setelah melalui seleksi yang berkesesuaian dengan perumusan
tujuan instruksional khusus. Jarang sekali terlihat guru merumuskan tujuan
hanya satu rumusan, tetapi pasti guru merumuskan lebih dari satu tujuan.
Karenanya, guru pun selalu menggunakan metode yang lebih dari satu.
Pemakaian metode yang satu digunakan untuk mencapai tujuan satu, sementara
penggunaan metode lain juga digunakan untuk mencapai tujuan yang lain.
Jangan dikira bahwa pemilihan metode itu sembarangan. Jangan diduga
bahwa penentuan metode itu tanpa harus mempertimbangkan factor-faktor lain.
Sebagai suatu cara, metode tidaklah berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh
50
factor-faktor lain. Maka itu, siapa pun yang telah menjadi guru harus mengenal,
memahaminya ketika akan melaksanakan pemilihan dan penentuan metode.
Bila ada para ahli yang mengatakan bahwa makin baik metode itu, makin
efektif pula pencapaian tujuan adalah pendapat yang mengandung nilai
kebenaran. Tapi, jangan didukung bila para ahli lain yang mengatakan bahwa
semua metode adalah baik dan tidak ada kelemahannya, karena pernyataan
tersebut adalah pendapat yang keliru. Setiap metode mempunyai sifat masing-
masing, baik mengenai kebaikan-kebaikannya maupun kelemahan-
kelemahannya. Guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling serasi
untuk situasi dan kondisi yang khusus dihadapinya. Jika memahami sifat-sifat
masing-masing metode tersebut.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi metode pembelajaran :a) Kesesuaian
metode pembelajaran dengan tujuan pembelajaran yaitu, metode pembelajaran
adalah alat untuk mencapai tujuan, maka tujuan itu harus diketahui dan
dirumuskan dengan jelas sebelum menentukan dan memilih metode
pembelajaran. Misalnya, jika tujuan pembelajaran berkaitan dengan kognitif
mahasiswa, maka metode pembelajaran yang digunakan harus berbeda dengan
tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan psikomotor.Metode pembelajaran
untuk kognitif bisa digunakan ceramah atau diskusi, sedangkan metode
pembelajaran untuk tujuan psikomotor bisa digunakan demonstrasi dan latihan.
b) Kesesuain metode pembelajaran dengan materi pembelajaran yaitu, materi
pembelajaran dari masing-masing mata pelajaran tentu saja berbeda-beda.
Misalnya materi pelajaran Matematika yang lebih bersifat berpikir logis, akan
berbeda dengan materi pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Jasmani yang
lebih praktis. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang digunakan harus sesuai
dengan sifat materi pembelajaran tersebut. Metode dan materi pembelajaran
perlu dikuasai oleh guru/dosen karena saling mendukung. Tidak ada istilah
bahwa menguasai metode pembelajaran lebih penting dari pada menguasai
materi pembelajaran, atau sebaliknya.Jika guru/dosen hanya menguasai metode
pembelajaran tanpa menguasai materi pembelajaran, maka yang terjadi adalah
51
guru/dosen melakukan suatu kegiatan yang tidak ada muatan yang dipelajari
mahasiswa. Sebaliknya, jika guru/dosen menguasai materi pembelajaran tanpa
menguasai metode pembelajaran, maka yang terjadi adalah materi pembelajaran
hanya dimengerti sendiri oleh guru/dosen tanpa bisa ditransfer kepada
mahasiswa. Metode dan materi pembelajaran dapat dianalogikan dengan dua
roda sepeda, roda depan diibaratkan metode pembelajaran dan roda belakang
diibaratkan materi pembelajaran. Kedua-duanya diperlukan dan saling
mendukung. Roda depan sepeda berfungsi mengarahkan roda belakang sepeda.
Metode pembelajaran berfungsi mengarahkan materi pembelajaran agar dapat
dipahami oleh mahasiswa. c) Kesesuaian metode pembelajaran dengan
kemampuan guru/dosen yaitu seorang guru/dosen dituntut untuk menguasai
semua metode pembelajaran. Namun pada saat-saat tertentu kemampuan
guru/dosen terbatas, misalnya dalam keadaan sakit, sempitnya alokasi waktu
pembelajaran, atau keadaan sakit, sempitnya alokasi waktu pembelajaran, atau
keadaan kelas yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu guru/dosen dituntut
pula cerdik mensiasatinya dengan menggunakan metode yang sesuai dengan
kemampuannya. d) Kesesuaian metode pembelajaran dengan kondisi siswa
yaitu, kondisi mahasiswa berhubungan dengan usia, latar belakang kehidupan,
keadaan tubuh, atau tingkat kemampuan berpikirnya. Mahasiswa yang tingkat
berpikirnya tinggi, maka mengikuti metode apapun akan siap. Berbeda dengan
mahasiswa yang taraf berpikirnya kurang, maka ketika mengikuti metode diskusi
akan mengalami kesulitan, sehingga perlu digunakan metode yang sesuai, seperti
ceramah. Kondisi mahasiswanya yang sehat dan segar akan berbeda dengan
mahasiswa yang sakit atau kelelahan setelah mengikuti olah raga dalam
mengikuti suatu metode pembelajaran.
Kondisi mahasiswa yang perlu diperhatikan, apakah mahasiswa belajar
secara perorangan, kelompok ataukah klasikal. Metode pembelajaran dengan
pendekatan kelompok berkenaan dengan pembelajaran suatu materi
pembelajaran sama dalam waktu bersamaan untuk sekelompok mahasiswa atau
ditujukan untuk membimbing kelompok belajar mahasiswa. sedangkan
52
pendekatan individual memungkinkan setiap mahasiswa dapat belajar sesuai
dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Namun demikian, pendekatan
kelompok pun harus tetap memperhatikan adanya perbedaan individual pada
mahasiswa.hal ini tercermin dalam penetapan penggunaan metode pembelajaran
secara variasi disesuaikan dengan tujuan dan materi pembelajaran yang
dipelajari. faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat digolongkan ke
dalam dua golongan yaitu faktor intern terdiri dari : (1) faktor jasmani
(kesehatan dan cacat tubuh), (2) faktor psikologi (intelegensi, Perhatian, minat,
bakat, motivasi, kematangan dan kesiapan), (3) faktor kelelahan sedangkan
faktor ekstern terdiri: (1) metode belajar, (2) lingkungan keluarga, (3)
lingkungan sekolah, dan (4) lingkungan masyarakat.12
Teknik penilaian yang digunakan di sekolah dapat dikategorikan dalam 2
(dua) golongan sebagai berikut: 1) Teknik tes, yang umumnya akan digunakan
untuk menilai kemampuan pada siswa yang mencakup pengetahuan dan
keterampilan sebagai hasil belajar, bakat khusus (bakat bahasa, bakat teknik,
dsb) dan bakat umum, 2) Teknik non tes, yang umumnya digunakan untuk
menilai karakteristik-karakteristik lainnya dari siswa misalnya minat, sikap dan
kepribadian.13
Dari hasil penelitian Susetiyono (2010) mengenai “Penerapan model
Syndicate group untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar zat dan
70 `wujudnya untuk kelas VII SMP” disimpulkan bahwa menggunakan model
syndicate group dapat meningkatkan hasil belajar 33,34 %, sedangkan dengan
metode ceramah dapat meningkatkan hasil sebesar 21,56 % dan pembelajaran
menggunakan metode ceramah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa
sebesar 6,06 %.
Asumsi peneliti, metode ceramah itu terkadang membosankan dan di dalam
kelas tampak guru yang lebih memegang kendali dalam menguasai kelas, peneliti
sangat setuju dengan kuesioner responden, yang mana sebagian besar responden
memilih ceramah dan resitasi, namun hasil belajar yang terjadi tidak mempunyai
arti yang signifikan.14
53
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan antara
hasil belajar dengan gaya belajar diperoleh bahwa terdapat 18 orang ( 40,9 % )
dari 44 orang mahasiswa dengan gaya belajar visual mendapatkan hasil belajar
tidak baik, sedangkan responden dengan gaya belajar auditori terdapat 2 orang (
28,57 % ) mendapatkan hasil belajar tidak baik dari 7 orang gaya belajar auditori
dan gaya belajar kinestetik terdapat 16 orang mendapatkan hasil belajar yang
tidak baik.
Gaya Belajar merupakan cara yang konsisten yang lebih disukai seseorang
dalam melakukan kegiatan berpikir, menyerap informasi, memproses untuk
mengolah dan memahami suatu informasi serta mengingatnya dalam memori.
Ciri-ciri gaya belajara). Karakteristik perilaku individu dengan gaya belajar
visual : 1). Lebih mudah mengingat apa yang dilihat dari pada yang didengar, 2).
Mudah mengingat dengan asosiasi visual, 3). Pembaca yang cepat dan tekun,
memiliki hobi membaca, 4). Lebih suka membaca sendiri dari pada dibacakan, 5).
Biasa berbicara dengan cepat, karena dia tidak merasa perlu mendengarkan
esensi pembicaranya, 6). Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal,
kecuali jika dituliskan, dan sering minta bantuan orang lain untuk mengulangi
instruksi verbal tersebut, 7). Sering lupa menyampaikan pesan verbal kepada
orang lain, 8). Pengejaan yang baik, kata demi kata, 9). Sering menjawab
pertanyaan dengan jawaban singkat, karena itu yang akan dilihat orang, 10).
Mempunyai kebiasaan rapi dan teratur, karena itu yang akan dilihat orang, 11).
Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi,
12).Memiliki kemampuan dalam perencanaan dan pengaturan jangka panjang
yang baik, 13).Teliti terhadap rincian, hal-hal kecil yang harus dilakukan, 14).
Biasanya tidak terganggu oleh suara rebut, 15). Lebih suka melakukan
demonstrasi daripada berpidato, 16). Membutuhkan pandangan dan tujuan yang
menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang
suatu masalah pokok atau proyek, terbiasa melakukan check and recheck
sebelum membuat kesimpulan, 17). Lebih suka seni visual daripada music, 18).
Suka mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon atau pada saat
54
melakukan rapat. b). Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar
auditorial: 1). Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan daripada apa yang dilihatnya, 2). Berbicara kepada diri sendiri saat
belajar dan bekerja, 3). Senang membaca dengan keras dan mendengarkannya,
4). Berbicara dengan irama terpola, 5). Biasanya jadi pembicara yang fasih, 6).
Menggerakkan bibir dan mengucapkan tulisan di buku saat membaca, 7). Suka
berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar, 8).
Lebih pandai mengeja dengan keras dari pada menuliskannya,9). Merasa
kesulitan dalam menulis tetapi hebat dalam bercerita, 10).Dapat mengulangi
kembali dan menirukan nada, berirama, dan warna suara, 11). Mudah terganggu
oleh keributan, dia akan sukar berkonsentrasi, 12). Mempunyai masalah dengan
pekerjaan yang melibatkan visualisasi, 13).Lebih suka gurauan lisan daripada
membaca komik, 14). Lebih menyukai music daripada seni lukis atau seni
dengan hasil tiga dimensi.
c). Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar kinestetik : 1). Selalu
berorientasi pada fisik dan banyak gerak, 2). Banyak menggunakan isyarat tubuh,
3). Menggunakan jari sebagai penunjuk tatkala membaca, 4). Menghafal dengan
cara berjalan dan melihat, 5). Otot-otot besarnya berkembang, 6). Menanggapi
perhatian fisik, 7). Tidak dapat duduk diam dalam waktu lama, 8). Menyentuh
orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka, 9). Menggunakan kata-kata
yang mengandung aksi, 10). Ingin melakukan segala sesuatu, 11). Berdiri dekat
ketika berbicara dengan orang lain, 12). Berbicara dengan perlahan, 13).Suka
belajar memanipulasi (mengembangkan data atau fakta) dan praktik, 14). Tidak
dapat mengingat letak geografi, kecuali jika ia pernah datang ke tempat tersebut,
15). Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot, mencerminkan aksi
dengan gerakan tubuh saat membaca sebagai manifestasi penghayatan terhadap
apa yang dibaca, 16). Kemungkinan memiliki tulisan yang jelek, 17).Menyukai
permainan yang membuat sibuk.
Dampak gaya belajar terhadap pendidikan Dampak gaya belajar terhadap
pendidikan secara umum di sini terkait dengan apa yang harus dilakukan guru
55
terhadap materi pembelajaran (kurikulum) pengajaran, dan penelitian sebagai
tolok ukur keberhasilan pembelajaran. Terutama yang harus diperhatikan benar-
benar oleh guru adalah kesesuaian antara metode pengajaran dan gaya belajar.
Guru wajib mengenali gaya belajar setiap siswanya kemudian dilihat mana gaya
belajar yang paling dominan, hal itulah yang harus disesuaikan dengan metode
pengajarannya. Tentu tidak semua siswa terwakili sesuai gaya belajarnya
masing-masing, dalam pemilihan metode tersebut, mengingat berbagai variasi
belajar siswa, sehingga mungkin terpenuhi semua. Diharapkan kelompok
minoritas ini lambat laun dapat menyesuaikan diri.
Dampak dari dalam terdiri dari :
1). Kurikulum
Guru harus memberikan penekanan kepada intuisi, perasaan,
penginderaan,dan imajinasi siswa sebagai pelengkap dari peningkatan
keterampilan tradisional seperti menganalisis, menalar, dan memecahkan
masalah.
2). Pengajaran
Guru wajib merencanakan metode gaya siswa, menggunakan berbagai
kombinasi seperti pada pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan
eksperimentasi. Guru dapat memperkenalkan berbagai unsur pengalaman ke
dalam kelas misalnya dengan bunyi-bunyian, music, gambar visual, gerakan-
gerakan,pengalaman dan bahkan percakapan.
3). Penilaian
Guru wajib menerapkan berbagai teknik penilaian yang berfokus kepada
pengembangan kapasitas totalis otak (Whole Brain) dan berbagai gaya belajar
yang berbeda-beda. Dalam tes bahasa misalnya di samping digunakan tes tulis
juga tes lisan serta listening comprehension ( memahami konten dari rekaman
ucapan ).
Dampak dari luar diri :
1). Keluarga
56
Situasi keluarga sangat berpengaruh pada keberhasilan anak.Pendidikan
orang tua status ekonomi, rumah, hubungan dengan orang tua dan saudara,
bimbingan orang tua,dukungan orang tua, sangat mempengaruhi prestasi
belajar anak.
2). Sekolah
Tempat, gedung sekolah, kualitas guru, perangkat kelas, relasi teman sekolah,
rasio jumlah murid per kelas, yang mempengaruhi anak dalam proses belajar.
3). Masyarakat
Apabila masyarakat sekitar adalah masyarakat yang berpendidikan dan moral
yang baik, terutama anak-anak mereka.Hal ini dapat sebagai pemicu anak
untuk lebih giat belajar.
4). Lingkungan
Di sekitar bangunan rumah, suasana sekitar keadaan lalu lintas dan iklim juga
dapat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar. Hubungan Gaya Belajar
dengan Prestasi Belajar.
Karakteristik gaya belajar seseorang cukup berpengaruh terhadap
pencapaian hasil belajarnya. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa murid
yang belajar dengan menggunakan gaya belajar mereka yang dominan, ternyata
mampu mencapai nilai tes yang jauh lebih tinggi dibandingkan bila mereka
belajar. dengan cara yang tidak sejalan dengan gaya belajarnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat S.Nasution (2003:93) yang mengemukakan bahwa: “setiap
metode mengajar bergantung pada cara atau gaya siswa yang belajar, pribadinya
serta kesanggupannya”. Dengan demikian, guru dalam mengajar hendaknya
memperhatikan gaya belajar atau “ learning style” siswa, yaitu cara siswa
bereaksi dan menggunakan stimulus-stimulus yang diterima dalam proses
pembelajaran.
Menurut Rina Dunn, seorang pelopor di bidanggaya belajar, terdapat banyak
variabel yang mempengaruhi cara belajar seseorang diantaranya mencakup
faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis dan lingkungan.
57
Dari hasil penelitian mengenai Pengaruh Gaya Belajar (Visual, Auditory,
Kinesthetic) terhadap prestasibelajar siswa kelas 1 penjualan SMK
Muhammadiyah 2 Malang dalam matapelajaran kewirausahaan tahun ajaran
2007-2008, didapatkan hasil terdapat pengaruh gaya belajar terhadap prestasi
belajar sebesar 20,6 % dan sisanya 79,4 % prestasi belajar dipengaruhi oleh
factor lain.
Dari hasil penelitian Herma Hidayana (2009) dalam penelitian yangberjudul
Pengaruh Gaya Belajar Terhadap prestasi belajar siswa kelas X SMK Negeri 2
Balikpapan didapatkan hasil terdapat pengaruh gaya belajar visual, Auditori,
Kinesthetic terhadap prestasi belajar sebesar 55,8 % dan sisanya 44,2 % prestasi
belajar dipengaruhi oleh factor lain.
Asumsi peneliti,Dampak gaya belajar terhadap pendidikan khusunya hasil
belajar terkait dengan apa yang harus dilakukan guru terhadap materi
pembelajaran (kurikulum). Terutama yang harus diperhatikan benar-benar oleh
guru adalah kesesuaian antara metode pengajaran dan gaya belajar. Guru wajib
mengenali gaya belajar setiap siswanya kemudian dilihat mana gaya belajar yang
paling dominan, hal itulah yang harus disesuaikan dengan metode
pengajarannya, dalam hal ini mata kuliah metodologi penelitian ini harus benar-
benar dikuasai mahasiswa, dengan cara memahami mata kuliah ini, maka
mahasiswa pada saat penyusunan skripsi tidak lagi mengalami kesulitan. Tentu
tidak semua siswa terwakili sesuai gaya belajarnya masing-masing, dalam
pemilihan metode tersebut, mengingat berbagai variasi belajar siswa, sehingga
mungkin terpenuhi semua. Diharapkan kelompok minoritas ini lambat laun
dapat menyesuaikan diri. Selain itu menurut peneliti, pada responden yang
diteliti gaya belajar visual lebih banyak mendapatkan hasil belajar yang baik,hal
ini dikarenakan gaya ini lebih mudah mengingat apa yang dilihat dari pada yang
didengar dan yang terpenting seseorang dengan gaya visual selalu bersikap
waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah pokok atau
proyek, sedangkan pada gaya belajar kinestetik, responden tidak ada yang
mendapatkan hasil belajar yang baik,hal ini dikarenakan seseorang dengan gaya
58
kinestetik selalu berorientasi pada fisik dan banyak gerak dan lebih menyukai
permainan yang membuat sibuk.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai
korelasi positif dengan kebiasaan belajar. Kebiasaan merupakan cara bertindak
yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya
menjadi menetap dan bersifat otomatis. Perbuatan kebiasaan tidak memerlukan
konsentrasi perhatian dan pikiran dalam melakukannya. Kebiasaan dapat
berjalan terus, sementara individu memikirkan atau memperhatikan hal-hal lain.
Kebiasaan belajar dpat diartikan sebagai cara atau teknik yang menetap pada diri
siswa pada waktu menerima pelajaran, membaca buku, mengerjakan tugas, dan
pengaturan waktu untuk menyelesaikan kegiatan. 15
Kebiasaan belajar cenderung menguasai perilaku siswa pada setiap kali
mereka melakukan kegiatan belajar.Sebabnya ialah karena kebiasaan
mengandung motivasi yang kuat. Pada umumnya setiap orang bertindak
berdasarkan force of habitsekalipun ia tahu, bahwa ada cara lain yang mungkin
lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan sebagai cara yang
mudah dan tidak memerlukan konsentrasi dan perhatian yang besar. Sesuai
dengan Law of Effect dalam belajar, perbuatan yang menimbulkan kesenangan
cenderung untuk diulang.Oleh karena itu tindakan berdasarkan kebiasaan
bersifat mengkukuhkan (reinforcing).16
Cara mengukur Hasil Belajar
Sistem pendidikan tinggi di Indonesia berdasarkan sistem kredit semester
(SKS), yaitu pengaturan beban belajar, beban mengajar, serta dalam praktikum
dilakukan sedemikian rupa sehingga dosen dan mahasiswa, dan maupun
penyelenggaraan pendidikan mempunyai tanggung jawab yang sama. Status SKS
adalah satuan yang digunakan untuk menyatakan besarnya pengakuan atas
keberhasilan usaha kumulatif bagi suatu program tertentu, serta besarnya usaha
menyelenggarakan pendidikan bagi tenaga pengajar atau dosen.17
59
Konklusi
Penelitian terhadap 67 responden mengenai “Hubungan Metode
Pembelajaran dan Gaya Belajar terhadap hasil belajar mata kuliah Metodologi
Penelitian pada mahasiswa D IV Kebidanan di STIKIM tahun ajaran 2011-2012”
bahwa : metode pembelajaran ceramah dan resitasi lebih baik digunakan,
sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih optimal. Sedangkan gaya belajar
lebih dominan atau lebih baik pada gaya belajar visual dibandingkan dengan
gaya belajar lainnya, hal ini dikarenakan gaya belajar visual lebih mudah
mengingat apa yang dilihat dari pada apa yang didengar.18
Adapun saran yang disampaikan yaitu Untuk metode pembelajaran,
diharapkan pengajar lebih banyak memberikan tugas, sehingga mahasiswa lebih
terampil.19 Sedangkan untuk gaya belajar diharapkan pengajar ataupun dosen
lebih banyak memberikan contoh-contoh yang konkrit sehingga mahasiswa lebih
optimal dalam menerima dan menyerap materi yang diberikan oleh
dosen/pengajar.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Rohani, Ahmad th 1997. Media instruksional edukatif, Rineka Cipta, Jakarta
2. RI. 2003, Undang-undang No. 20 th 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sinar Grafika, Jakarta.
3. Sudjana , N dan Ibrahim th 2007. Media pengajaran, Sinar Baru Algesindo,
Bandung
4. Susetiyono. 2010. Penerapan Model Syndicate group untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Zat dan Wujudnya untuk kelas VII SMP Purworejo.
5. De Potter,Bobbi dan MikHernacki. 2010. Quantum Teaching.Bandung:Kaifa
6. De Potter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning. Bandung :
Kaifa
7. Maulida,Dina.2008.Pengaruh Gaya Belajar (Visual, Auditorial, dan Kinestetik) Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas I Penjualan SMK
60
Muhammadiyah 2 Malang Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Tahun Ajaran 2007 / 2008.
8. Hidayana, Herma.2009.Pengaruh Gaya Belajar Siswa Kelas X SMK Negeri 2
Balikpapan.
9. Sudjana, Nana, th 2005. Dasar- Dasar Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosda karya,Bandung.
10. Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
11. Sardiman, th 2003. Pengajaran Terhadap Siswa. Remaja
Rosdakarya,Bandung
12. Slameto, th 2003. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
Rineka Cipta, Jakarta
13. Cartono dan Toto Sutarto G.Utari.2006. Penilaian Hasil Belajar Berbasis Standar.Bandung:Prima Press
14. Djaali,H.2007.PsikologiPendidikan.Jakarta: Bumi Aksara
15. Siregar, Nara, th 2010 Teori belajar dan pembelajaran, Ghalia Indonesia,
Bogor
16. Cartono dan Toto Sutarto G.Utari.2006. Penilaian Hasil Belajar Berbasis Standar.Bandung: Prima Press
17. De Potter,Bobbi dan Mike Hernacki.2010.
QuantumTeaching.Bandung:Kaifa
18. De Potter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning. Bandung : Kaifa
19. Djaali,H.2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta :Bumi Aksara
20. Nana, th 2005. Dasar- Dasar Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosda
karya,Bandung
61
SMALL GRUP DISCUSSION BERBASIS JEJARING SOSIAL: METODE
PEMBELAJARAN ALTERNATIF BAGI MAHASISWA PROFESI NERS STASE
KEPERAWATAN KOMUNITAS
Artika Nurrahima Departemen Keperawatan Universitas Diponegoro [email protected]
Abstrak
Lahan praktik pembelajaran profesi ners stase keperawatan komunitas pada
umumnya tidak berada di area sekitar kampus. Hal tersebut menjadi kendala
bagi mahasiswa dalam melakukan bimbingan dengan pembimbing akademik.
Mahasiswa tidak bisa setiap saat melakukan diskusi dengan pembimbing seperti
pada tahap pembelajaran akademik. Metode pembelajaran alternatif yang dapat
dilakukan kapanpun dan dimanapun tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu bisa
menjadi salah satu alternatif solusi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keuntungan, kendala dan
harapan mahasiswa terhadap metode small grup discussion berbasis jejaring
sosial. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Data diperoleh dari 10 informan yang menjadi anggota whatsapp
group pembelajaran keperawatan komunitas. Data hasil wawancara tidak
terstruktur dianalisa menggunakan metode colaizzi. Hasil penelitian meliputi 3
tema. Pertama, metode small grup discussion berbasis jejaring sosial merupakan
media yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran profesi ners stase
komunitas. Kedua, kendala yang dihadapi antara lain: mahasiswa tidak online
secara bersamaan,gangguan sinyal, dan kuota data habis. Ketiga, harapan:
whatsapp group dapat terus digunakan dan dikembangkan dalam proses
pembelajaran dengan menambah penggunaan voice note untuk mempermudah
proses diskusi dan didahului dengan kontrak waktu dengan anggota whatsapp
group pada saat diskusi online. Whatsapp group dapat menjadi metode alternatif
pembelajaran yang efektif dan efisien bagi mahasiswa profesi ners, tidak hanya
terbatas pada stase komunitas. Pembimbing akademik dapat menggunakan
whatsapp group untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas proses bimbingan
mahasiswa profesi ners tanpa terbatas jarak dan waktu.
Kata Kunci : small group discussion, metode pembelajaran berbasis jejaring
sosial, mahasiswa profesi ners
62
Abstract
The practice of community nursing for the students of the nursing
professional program generally does not occur in the campus area. This situation
may cause difficulties for the students related to the supervision they receive
from their academic supervisors. The students will find it hard to have a face-to-
face discussion with their supervisors as once they had during their learning in
the baccalaureate program. An alternative teaching method which can be carried
out anytime and anywhere without the restrictions of time and distance can be a
solution to improve the quality of learning. This study aimed to identify the
advantages, constraints, and expectations of students towards the social
networking-based small group discussion. This study employed a qualitative
method with a phenomenological approach and involved 10 informants who
were the members of the WhatsApp group of the community nursing. The data
were collected using the unstructured interviews and analyzed by the Colaizzi
method. The results identified three themes: the advantages, constraints and
students’ expectations. The social networking-based small group discussion was
evident as an effective and efficient medium for the teaching and learning
process of the nursing professional program, particularly of the community
nursing. The obstacles encountered during the implementation of this method
included the non-simultaneous online status of the students, signal interference
and the over-due internet connection package. The informants of this study
expected that the WhatsApp group could be continuously used and developed in
the learning process by utilizing the voice notes to ease the process of discussion.
In addition, a time contract with all group members should also be made prior to
the discussion. Based on the findings, it was concluded that the WhatsApp group
could be an alternative method of learning which was effective and efficient for
the students of the nursing professional program. The academic supervisors can
use the WhatsApp group to improve the quality and quantity of supervision
without the restrictions of time and distance.
Key Words: small group discussions, social networking-based learning
method, students of nursing professional program
PENDAHULUAN
Tahap pembelajaran profesi ners merupakan tahap pendidikan yang berada pada
setting klinik. Salah satu mata kuliah yang berada pada setting tersebut adalah
63
mata kuliah keperawatan komunitas. Pada stase keperawatan komunitas,
mahasiswa berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk mengelola masalah
kesehatan prioritas yang muncul. Selain itu, asuhan keperawatan yang diberikan
mahasiswa juga menitik beratkan pada upaya kesehatan bersifat promotif dan
preventif.
Salah satu kendala dalam pembelajaran profesi ners stase komunitas adalah
lokasi praktik yang yang jauh dari kampus. Lokasi yang jauh menyebabkan
bimbingan yang diberikan oleh pembimbing akademik kurang intensif jika
dibandingkan proses bimbingan pada tahap akademik. Mahasiswa tidak setiap
saat dapat berdiskusi dan berkonsultasi dengan pembimbing akademik. Jansson,
I, Ene, K.W (2016) menyatakan bahwa mahasiswa akan merasa stress jika
mereka memiliki waktu yang terbatas untuk bertanya dan berdiskusi dengan
pembimbing. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mahasiswa,
mengingat masalah yang dihadapi pada tahap praktik klinik lebih beragam
dibandingkan tahap akademik.
Metode pembelajaran yang tidak terbatas oleh jarak dan waktu seperti e-
learning dapat menjadi salah satu alternatif solusi permasalahan yang dihadapi
mahasiswa. Menurut Syahreni, E & Waluyanti, F.T (2007) pembimbing harus
pandai memilih metode pembelajaran klinik yang efektif, efisien, dan
meminimalkan stress mahasiswa Pembelajaran dengan e- learning memiliki
banyak keuntungan. Mahasiswa profesi ners yang berlokasi jauh dari kampus
dapat dengan leluasa berdiskusi dengan pembimbing setiap waktu mereka
menemukan kendala di lahan praktik. Bimbingan dapat dilakukan dengan lebih
intensif, tidak terbatas saat pembimbing akademik melakukan bimbingan di
lahan praktik saja.
Salah satu inovasi pembelajaran dengan media e- learning adalah metode small
group discussion berbasis whatsapp group. Menurut Morley, D.A (2014) jejaring
sosial facebook group merupakan alat komunikasi antara mahasiswa dan
64
pembimbing pada saaat praktik klinik. Metode whatsapp group pilih karena tren
yang terjadi saat ini , mahasiswa akan lebih cepat mengakses berbagai informasi
yang bersumber dari jejaring sosial. Mackay,BJ, Anderson,J, Harding, T (2017)
menyatakan bahwa peralatan komunikasi yang bersifat mobile sangat
mendukung proses pembelajaran klinik mahasiswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keuntungan, kendala dan
harapan mahasiswa terhadap metode small grup discussion berbasis jejaring
sosial pada mahasiswa profesi ners stase keperawatan komunitas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Sebanyak 10 mahasiswa profesi ners yang menjadi anggota Whatsapp group
pembelajaran keperawatan komunitas dipilih menjadi informan dengan teknik
purposive sampling. Data diperoleh dari hasil wawancara tidak terstruktur yang
dilakukan oleh peneliti. Analisis data menggunakan metode Colaizzi.
HASIL PENELITIAN
Peneliti menemukan tiga tema:
Tema 1 : Keuntungan metode small grup discussion berbasis Whatsapp group
dalam pembelajaran mahasiswa profesi ners
Semua informan menyatakan bahwa small grup discussion berbasis Whatsapp
group memiliki berbagai keuntungan dalam proses pembelajaran profesi ners
stase komunitas. Tema ini menghasilkan tiga sub tema, yaitu: mempermudah
proses bimbingan dan konsultasi, metode pembelajaran yang efektif, dan
memperoleh informasi dengan cepat. Enam dari sepuluh informan menyatakan
bahwa Whatsapp group mempermudah proses bimbingan dan konsultasi.
“Mempercepat proses konsultasi sehinga penugasan lebih cepat direvisi dan
memudahkan berkomunikasi dengan dosen karena dosen memfasilitasi
setiap saat kita membutuhkan bimbingan” (I3).
65
“Saya merasa sangat terbantu dalam komunikasi dan menghubungi dosen
pembimbing, sehingga kami merasa tidak sulit dan dapat bertanya setiap
saat bila menemukan problem di lapangan” (I8).
“Sangat menguntungkan terutama dalam hal komunikasi, meskipun tidak
bisa bertatap muka secara langsung namun dosbing selalu member respon
positif dan membimbing dengan jelas melalui Whatsapp group” (I10).
Enam dari sepuluh informan menyatakan bahwa Whatsapp group merupakan
media pembelajaran yang efektif dan efisien.
“Grup WA memang efektif secara waktu dan penyampaian informasi yang
cepat karena semua mahasiswa akan membuka informasi di media social
yang mungkin akan lebih sering dibuka mahasiswa” (I2).
“Saya rasa lebih efektif dan efisien ketika ada suatu hambatan yang
membuat tidak bisamelakukan proses diskusi secara langsung”(I6).
Empat dari sepuluh informan menyatakan bahwa melalui Whatsapp group
mahasiswa dapat memperoleh informasi dengan cepat.
“ Mendapatkan informasi dengan cepat meskipun terkadang kita bertanya
diluar jam kerja, akan tetapi dari pihak dosen dapat membalasnya dengan
cepat” (I4).
“Menurut saya grup WA ini efektif secara waktu dan penyampaian informasi
yang sewaktu waktu ada informasi yang butuh respon cepat, grup ini sangat
membantu, karena hampir semua mahasiswa akan membuka informasinya
di media sosial” (I7).
Tema 2 : Kendala metode small grup discussion berbasis Whatsapp group dalam
pembelajaran mahasiswa profesi ners stase komunitas.
Tema ini menghasilkan tiga sub tema, yaitu: sulit sinyal, paket data atau internet
habis, waktu on line tidak bersamaan. Tujuh dari sepuluh informan menyatakan
bahwa proses pembelajaran ini terkendala ketika mahasiswa berada di kawasan
sulit sinyal.
“Kendala ketika di kawasan susah signal karena jaringan” (I1).
66
“Kendalanya saat sedang susah sinyal” (I 5).
Lima dari sepuluh informan menyatakan bahwa tidak memiliki paket adata atau
internet merupakan salah satu kendala dalam small grup discussion berbasis
Whatsapp group.
“Kendala ketika kebetulan tidak mempunyai paketan” (I4).
“Kendalanya saat sedang susah sinyal dan jika sedang tidak ada paket
internet” (I5).
Dua dari sepuluh informan menyatakan bahwa diskusi melaui Whatsapp group
kurang optimal jika waktu on line tidak bersamaan.
“Jika ada beberapa mahasiswa yang tidak online maka penyampaian
informasinya akan sulit” (I2).
Tema 3: Harapan terhadap penerapan metode small grup discussion berbasis
Whatsapp group dalam pembelajaran mahasiswa profesi ners. Tema ini
menghasilkan 3 sub tema, yaitu: diskusi on line tetap berlanjut, intensitas diskusi
on line ditambah, pemanfaatan fasilitas voice note.
Empat dari sepuluh informan menyatakan bahwa pemanfaatan diskusi on line
sebaiknya terus berlanjut.
“Semoga tidak hanya kami yang merasakan keuntungan memiliki grup WA
bersama dosen pembimbing stase, namun grup lain juga dapat
merasakannya, sehingga kegiatan ini terus berlanjut hingga kelompok-
keompok yang lain” (R8).
“Bisa terus digunakan sebagai media komunikasi yang baik antara dosen dan
mahasiswa, karena sangat membantu” (R10).
Dua dari sepuluh informan menyatakan bahwa intensitas diskusi online
sebaiknya ditingkatkan.
“Intensitas diskusi ditingkatkan kembali dan mempertahankan bimbingan
yang sudah baik bu” (I1).
Dua dari sepuluh informan menyatakan bahwa pemanfaatan fasilitas voice note
diperlukan untuk menghindari salah persepsi dari informasi yang diterima.
67
“Mungkin bisa memanfaatkan voice note pada WA ketika perlu diskusi yang
lebih panjang karena terkadang membaca tulisan membuat salah persepsi”
(I3).
PEMBAHASAN
Jarak antara kampus dengan lahan praktik klinik profesi ners stase keperawatan
komunitas, menjadi kendala bagi mahasiswa dan dosen dalam melakukan proses
pembelajaran. Proses diskusi yang idealnya dilakukan setiap saat ketika
mahasiswa mengalami kendala di lapangan menjadi tidak optimal. Penerapan
media diskusi yang bersifat online dapat menjadi salah satu alternatif pilihan
metode pembelajaran selain metode pembelajaran yang bersifat face to face. Hal
ini sependapat dengan Kala,S., Isaramalai, S., Pohthong, A (2010) bahwa media
pembelajaran e- learning misalnya diskusi grup on line memudahkan mahasiswa
berbagi ide, bertanya, kolaborasi penyelesaian masalah, dan meningkatkan
pengetahuan. Pendapat tersebut senada dengan Nurkamid,, M., Dahlan, M.,
Susanto, A., dan dan Khotimah, T (2010) bahwa situs jejaring sosial yang
berkembang saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran e-
learning.
Small grup discussion berbasis whatsapp group memiliki berbagai keuntungan
dalam menunjang proses pembelajaran profesi ners stase komunitas. Pertama,
mahasiswa memperoleh informasi lebih cepat. Pertukaran infornasi antar
mahasiswa maupun antara pembimbing dengan mahasiswa yang diperoleh dari
hasil diskusi dapat menambah pengetahuan mahasiswa terkait penyelesaian
masalah dan penerapan asuhan keperawatan komunitas di masyarakat.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Watson, B., Cooke, M., dan Walker, R
(2016) bahwa group discussion pada jejaring sosial mempermudah pertukaran
informasi dan meningkatkan pengetahuan mahasiswa. Menurut Kala,S.,
Isaramalai, S., Pohthong, A (2010) media e- learning seperti diskusi grup online
68
memudahkan mahasiswa saling bertukar ide, bertanya, berkolaborasi dalam
menyelesaikan masalah serta meningkatkan pengetahuan.
Kedua, Small grup discussion berbasis whatsapp group merupakan metode
pembelajaran yang efektif. Menurut Santyasa, I.W (2007) kriteria media
pembelajaran efektif adalah berorientasi kekinian dan mudah utuk dilakukan.
Mahasiswa pada saat ini cenderung menggunakan jejaring social sebagai media
komunikasi. Komunikasi antar pembimbing dan mahasiswa menjadi lebih mudah
melalui whatsapp group terutama pada saat dosen tidak dapat melakukan
bimbingan secara langsung di lahan praktik. Hal ini sependapat dengan Morley,
DA (2014) bahwa diskusi grup online berbasis jejaring sosial merupakan salah
satu alat komunikasi antara mahasiswa dengan dosen pada saat praktik klinik.
Mahasiswa dapat melakukan diskusi dengan dosen kapanpun, bahkan di luar jam
kerja. Dimanapun tempat praktik mahasiswa, mereka dapat berdiskusi dengan
pembimbing tanpa harus meluangkan waktu khusus di luar jam praktik untuk
melakukan bimbingan dengan pembimbing di kampus. Senada dengan hal
tersebut, Suyanto, AH (2005) menyatakan salah satu keuntungan e- learning
adalah komunikasi tanpa jarak dan waktu. Mackay,BJ, Anderson,J, Harding, T
(2017) menyatakan bahwa mobile smart phone mempunyai dampak positif bagi
pembelajaran karena dapat diakses dimanapun dan kapanpun.
Ketiga, mempermudah proses bimbingan dan konsultasi. Melalui media tersebut,
mahasiswa mendapatkan feedback yang cepat dari pembimbing apabila terdapat
kendala di lahan praktik. Kendala yang terjadi misalnya: mahasiswa kesulitan
dalam menentukan intervensi keperawatan yang paling tepat berdasarkan hasil
penelitian terkini. Pembimbing memberikan feedback dengan cepat terkait hasil
penelitian terkini, sehingga mahasiswa dapat mempelajari dan mempersiapkan
diri sebelum memberikan intervensi kepada klien di masyarakat. Diskusi online
memungkinkan diikuti oleh banyak peserta, sehingga pembimbing tidak perlu
mengulang ulang informasi yang diberikan. Pembimbing cukup satu kali
69
memyampaikan informasi, maka secara otomatis semua mahasiswa yang
tergabung dalam whatsapp group akan menerima informasi yang sama.
Meskipun diskusi online whatsapp group memiliki banyak kelebihan, sebaiknya
proses bimbingan tetap dilakukan secara langsung untuk menghindari kesalahan
persepsi. Diskusi secara langsung memudahkan mahasiswa dapat menangkap
informasi secara verbal dan non verbal. Twomey, A (2004) menyatakan bahwa
penggunaan bahasa non verbal dalam pembelajaran berbasis web tidak dapat
terlihat oleh mahasiswa. Membaca kata-kata dalam forum diskusi online
memungkinkan dipersepsikan berbeda- beda oleh mahasiswa. Whatsapp group
digunakan ketika terdapat kendala dalam melakukan diskusi secara langsung.
Pimmer, C, Brysiewicz, P., Linxen, S., Walters, F., Chipps, J., dan GrÖhbiel, U
(2014) sependapat dengan hal tersebut, mobile learning bukan pengganti metode
pembelajaran formal akan tetapi merupakan metode pembelajaran tambahan.
Penggunaan small group discussion berbasis whatsapp group tidak terlepas dari
beberapa kendala. Sinyal yang kurang baik, paket data habis, dan waktu online
yang tidak bersamaan dapat mengganggu proses diskusi online. Martyn, J.,
Larkin, K., Sander, T., Yuginovich, T. Proctor, RJ (2014) berpendapat bahwa salah
satu kendala pembelajaran menggunakan alat komunikasi nirkabel adalah
konektivitas yang kurang. Hal senada disampaikan Suyanto, AH (2005) kendala
pembelajaran e- learning adalah keterbatasan fasilitas internet. Waktu online
yang tidak bersamaan menyebabkan informasi yang diterima datang secara tidak
bersamaan. Mahasiswa yang terlambat online akan membaca beberapa topik
dalam satu waktu diskusi. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dalam
memaknai informasi selama proses diskusi. Menurut Twomey, A (2004) banyak
topik dalam satu waktu dapat menimbulkan kesalah pahaman, sehingga
mahasiswa tidak dapat mengikuti proses diskusi.
Harapan mahasiswa terhadap penggunaan small group discussion berbasis
whatsapp group adalah: tetap berlanjut, intensitas diskusi online ditambah, dan
70
penggunaan fasillitas voice note. Metode pembelajaran ini memberikan banyak
keuntungan bagi mahasiswa selama menjalani praktik profesi ners stase
keperawatan komunitas. Proses bimbingan dan diskusi menjadi lebih efektif dan
efisien, tidak terbatas jarak dan waktu, sehingga harapannya metode ini dapat
terus digunakan tidak hanya terbatas pada stase komunitas, tapi juga pada stase-
stase lain selama menjalani praktik profesi ners. Hal tersebut selaras dengan
hasil penelitian Wu, TT (2014) bahwa mahasiswa merasakan kepuasan dalam
penggunaan mobile smartphone, serta berharap metode tersebut tetap digunakan
sebagai media pembelajaran dalam pendidikan keperawatan.
SIMPULAN
Small grup discussion berbasis whatsapp group merupakan salah satu alternatif
metode pembelajaran yang efektif dan efisien pada tahap profesi ners. Proses
bimbingan dan konsultasi menjadi lebih mudah dan mahasiswa dapat mengakses
informasi dengan lebih cepat. Kendala dalam konektivitas dan waktu online yang
tidak bersamaan dapat mengganggu proses pembelajaran dengan metode
tersebut. Metode ini disarankan sebagai tambahan dalam metode pembelajaran,
selain metode pembelajaran face to face.
DAFTAR PUSTAKA (APA)
Jansson, I., Ene K.W., 2016. Nursing students’ evaluation of quality indicators
during learning in clinical practice. Nurse Education in Practice. 20, 17-22.
Kala, S., Isaramalai, S., Pohthong, A., 2010. Electronic learning and constructivism:
A model for nursing education. Nurse Education Today. 30, 61-66.
Mackay,B.J., Anderson, J., Harding, T., 2017. Mobile technology in clinical
teaching. Nurse Education in Practice. 22, 1- 6.
Martyn, J., Larkin, K., Sander, T., Yuginovich, T., Proctor, R.J., 2014. Distance and devices — Potential barriers to use of wireless handheld devices. Nurse Education Today.34, 457–461.
71
Morley, D.A., 2014. Supporting student nurses in practice with additional online communication tools. Nurse Education in Practice. 14, 69- 75.
Nurkamid, M., Dahlan, M., Susanto, A., Khotimah, T., 2010. Pemanfaatan aplikasi
jejaring sosial facebook untuk media pembelajaran. http://eprints.umk.ac.id.
Pimmer, C., Brysiewicz, P., Linxen, S., Walters, F., Chipps, J., GrÖhbiel, U., 2014.
Informal mobile learning in nurse education and practice in remote areas—A case study from rural South Africa. Nurse Education Today 34, 1398–1404.
Santyasa, I.W., 2007. Model- model pembelajaran inovatif. http://scholar.google.co.id. Suyanto, A.H., 2005. Mengenal e- learning. http://scholar.google.co.id. Syahreni, E., Waluyanti, F.T., 2007. Pengalaman mahasiswa S1 keperawatan
program reguler dalam pembelajaran klinik. Jurnal Keperawatan Indonesia, vol 11,2, 47-53.
Twomey, A., 2004. Web-based teaching in nursing: lessons from the literature.
Nurse Education Today. 24, 452–458. Watson, B., Cooke, M., Walker, R., 2016. Using Facebook to enhance commencing
student confidence in clinical skill development: A phenomenological hermeneutic study. Nurse Education Today. 36, 64–69.
Wu, T.T., 2014. Using smart mobile devices in social-network-based health
education practice: A learning behavior analysis. Nurse Education Today. 34, 958–963.
72
PEMANFAATAN HASIL UJI KOMPETENSI NASIONAL PERAWAT DALAM SISTEM PENJAMINAN MUTU PERGURUAN TINGGI
Paulus Subiyanto1, Ignatius Gonggo Prihatmono2
Akademi Keperawatan Panti Rapih Yogyakarta1
Akademi Keperawatan Panti Rapih Yogyakarta 2
E-mail : paulus_subiyanto @yahoo.co.id 1, [email protected] 2
Abstrak
Hasil uji kompetensi lulusan menjadi tolok ukur pencapaian standar kompetensi
kerja yang diharapkan dunia kerja. Hasil uji kompetensi tersebut merupakan
outcome dari rangkaian pendekatan proses pendidikan yang tidak lepas dari
input, proses dan output yang harus selalu dijaga kualitasnya dalam SPMI.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran hubungan hasil uji
kompetensi lulusan (indikator outcome) dengan hasil TPA (indikator input) dan
Indeks IPK (indikator output). Penelitian bersifat deskriptif korelatif dengan
metode analisis data sekunder dari hasil uji kompetensi lulusan, hasil TPA, dan
IPK pada lulusan prodi DIII Keperawatan Akper Panti Rapih Yogyakarta. Hasil uji
stastistik dengan Pearson Chi Square antara hasil uji kompetensi lulusan dengan
TPA, df: 3 dan p: 0,05 diperoleh p: 0.005. Adapun hasil uji antara hasil uji
kompetensi lulusan dengan IPK, diperoleh p: 0.000. Terdapat hubungan yang
bermakna antara hasil uji kompetensi lulusan dengan IPK dan TPA. Terdapat
kecenderungan semakin tinggi IPK dan TPA semakin tinggi tingkat kelulusan uji
kompetensi. Hasil penelitian ini memberikan penegasan bahwa sebagai sebuah
rangkaian proses maka penjaminan mutu internal harus dilakukan sejak awal
dari input saat seleksi mahasiswa baru, proses dan output penyelenggaran
pendidikan agar hasil outcome terjamin kualitasnya.
Kata Kunci : IPK, sistem penjaminan mutu internal, TPA, uji kompetensi
nasional. ,
UTILIZATION OF THE NATIONAL COMPETENCE NURSES TEST IN HIGHER
EDUCATION QUALITY ASSURANCE SYSTEM
Abstract
The results of national competence test of graduates to be the benchmark
attainable standard of job competencies expected world of work. The results of
73
the national competency test is the outcome of a series of educational process
approach that can not be separated from the input, process and output quality
that must be maintained in the Internal Quality Assurance System. This study
was carried out to get an overview of relations graduate competence test results
(outcome indicators) with the results of academic potensial test or TPA (input
indicators) and the GPA (output indicator). The study was descriptive correlative
with the method of secondary data analysis of test results of the competence of
graduates, the results of academic potensial test (TPA) and GPA in graduate
study program of Nursing DIII at Panti Rapih Nursing Academy in Yogyakarta.
The results of the statistical test Chi Square Pearson between national
competence test of graduates' with TPA, df: 3 and p: 0.05 was obtained p: 0005.
The results test between results national competence test of graduates with a
GPA, obtained p: 0.000. There is a significant correlation between the results of
the national competency test of graduates with a GPA and TPA. There is a
tendency of the higher GPA and TPA to higher in graduation rates national
competency test. The results provide confirmation that the process as a series of
internal quality assurance must be done since the beginning of the current input
student selection, process and output delivery of education so that the results of
the outcome of assured quality.
Key Words : GPA, internal quality assurance system, National Competency test,
TPA.
PENDAHULUAN
Persoalan utama kualitas perawat lulusan Diploma III Keperawatan disebabkan
oleh mayoritas program studi ini adalah terakreditasi C, bahkan ada yang belum
terakreditasi, atau akreditasinya sudah kadaluwarsa (PDPT, BAN-PT, Kemenkes,
Data Primer, 2013). Dalam rangka implementasi program penjaminan mutu dan
standarisasi kompetensi kerja lulusan yang diharapkan dunia kerja, peningkatan
layanan keperawatan, keamanan dan keselamatan pasien, maka dalam rangka
memenuhi UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 44, Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
memberlakukan uji kompetensi nasional sejak tahun 2013.
74
Hasil uji kompetensi lulusan menjadi tolok ukur pencapaian standar kompetensi
kerja yang diharapkan dunia kerja. Hasil uji kompetensi tersebut merupakan
outcome dari rangkaian pendekatan proses pendidikan yang tidak lepas dari
input, proses dan output yang harus selalu dijaga kualitasnya dalam Sistem
Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Lulusan DIII Keperawatan yang lulus uji kompetensi, akan diberikan sertifikat
kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, bekerjasama dengan
organisasi profesi. Lebih lanjut sertifikat tersebut digunakan sebagai syarat
mendapatkan Surat Tanda Regisrasi (STR), sebagai mana ketetapan dari Majelis
Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), agar dapat bekerja secara legal di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
Sejak tahun 2010 Akper Panti Rapih pada program studi Diploma III
Keperawatan telah menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
(SPM-PT) untuk menjamin standarisasi pencapaian kompetensi lulusan. Selama
enam kali pelaksanaan uji kompetensi nasional, tingkat kelulusan rata-rata
lulusan mencapai 97,18% dengan total peserta 425. Terdapat variasi tingkat
kelulusan setiap tahun. Angka kelulusan tertinggi adalah mencapai 100% pada
Ukom periode September 2013, periode Juli 2014, dan April 2016, sedangkan
tingkat kelulusan terendah adalah 92, 13% (10 dari 117 peserta) pada ukom
periode Oktober 2016.
Penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran hubungan hasil uji
kompetensi lulusan (indikator outcome) dengan hasil Test Potensi Akademik
atau TPA (indikator input) dan Indeks Prestasi Kumulatif atau IPK (indikator
output) mahasiswa prodi DIII Keperawatan Akper Panti Rapih guna
memperbaiki dan meningkatkan SPM-PT.
75
METODE PENELITIAN
Studi ini bersifat deskriptif korelatif dengan metode analisis data sekunder dari
hasil uji kompetensi lulusan, hasil TPA, dan IPK pada lulusan prodi DIII
Keperawatan sejak uji kompetensi nasional pertama kali dilakukan periode
bulan September 2013 sampai dengan periode Oktober 2016. Penelitian
dilakukan di Akper Panti Rapih Yogyakarta yang telah terakreditasi LAM-PT Kes
dengan peringkat B. Total sampel peserta uji kompetensi nasional sejumlah 424
lulusan, dan sampel yang dilakukan TPA sejumlah 189 lulusan. Adapun TPA
sebagai alat pengukur kemampuan dasar keilmuan (akademis) untuk
memprediksi prestasi belajar yang akan dicapai, meliputi test verbal, kuantitatif,
dan analitik atau logika. Sedangkan IPK yang merupakan nilai prestasi yang
dicapai mahasiswa atas learning outcome pada mata kuliah yang terdiri atas
pembelajaran teori di kelas, di laboratorium, dan klinik rumah sakit (lima rumah
sakit dengan akreditasi JCI yang secara khusus hanya dapat digunakan untuk
mempraktikkan mahasiswa Akper panti Rapih) serta komunitas dengan total
117 SKS dengan rasio teori 30% dan praktik 70%. Responden yang lulus maupun
tidak lulus uji kompetensi nasional dilacak IPK yang dicapai selama masa studi,
demikian juga TPA yang dicapai pada saat seleksi penerimaan mahasiswa baru.
Hasil uji kompetensi dikatagorikan menjadi dua ; lulus dan tidak lulus. Hasil TPA
dikategorikan dalam ; rendah (ASR-AR), cukup (R-RR), baik (C-LC) dan unggul
(T-Ist). Indeks Prestasi Kumulatif dikategorikan dalam ; cukup memuaskan
(2,00-2,75), memuaskan (2,76-2,99), sangat memuaskan (3,00-3,50), dan dengan
pujian (3,51-4,00). Analisis statistik untuk melakukan uji korelasi pada
penelitian ini adalah Chi-Square, dengan p < 0,05 menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan.
76
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Tabulasi Silang Hasil Uji kompetensi Nasional dan Kategori TPA (n=189)
Hasil Ujikomnas
Test Potensi Akademik (TPA) p* Rendah
% Cukup
% Baik
% Unggul
% Total
% 0,005
Lulus
33 84,6
94 96,9
51 100
2 100
180 95,2
Tidak Lulus
6 15,4
3 3,1
0 0,00
0 0,00
9 4,8
Total
39 100
97 100
51 100
2 100
189 100
* uji pearson chi square untuk data numerik dan kategorik
Hasil tabulasi silang tabel 1 antara hasil uji kompetensi nasional (ujikomnas) dan
kategori TPA didapatkan bahwa dari 189 peserta yang dilakukan TPA pada saat
seleksi penerimaan mahasiswa baru 180 peserta atau 95,24% lulus ujikomnas,
dan 9 peserta atau 4,76% tidak lulus. Terdapat kecenderungan bahwa semakin
tinggi hasil TPA mahasiswa semakin tinggi angka kelulusan ujikomnas,
sebaliknya semakin kecil hasil TPA mahasiswa saat seleksi mahasiswa baru
semakin rendah angka kelulusan ujikomnas. Hasil TPA baik dan unggul
kemungkinan lulus ujikomnas sebesar 100%, hasil TPA cukup menurun menjadi
96,9% dan hasil TPA rendah semakin menurun menjadi 84,6%. Melalui uji
statistik Pearson Chi Square didapatkan p : 0,005, dengan demikian terdapat
hubungan yang signifikan antara hasil TPA dan hasil ujikomnas. Semakin tinggi
hasil TPA semakin tinggi pula kemungkinan lulus ujikomnas.
77
Tabel 2 Tabulasi Silang Hasil Uji kompetensi Nasional dan Kategori IPK (n=424)
Hasil Ujikomnas
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Total
% p*
CM
% M % SM % DP % 0,000
Lulus
4 66,7
76 95,0
244
98,4
89 98,9
413 97,4
Tidak Lulus
2 33,3
4 5,0
4 1,6
1 1,1
11 2,6
Total
6 100
80 100
248
90 100
424
* uji person chi square untuk data numerik dan kategorik Ket : CM : cukup memuaskan, M: memuaskan, SM: sangat memuaskan, DP: dengan pujian Hasil tabulasi silang tabel 2 antara hasil uji kompetensi nasional (ujikomnas) dan
kategori IPK didapatkan bahwa dari 424 peserta, 413 peserta atau 97,4% lulus
ujikomnas, dan 11 peserta atau 2,6% tidak lulus ujikomnas. Terdapat
kecenderungan bahwa semakin tinggi IPK mahasiswa semakin tinggi prosentase
kelulusan ujikomnas, sebaliknya semakin kecil IPK yang dicapai mahasiswa
semakin rendah angka kelulusan ujikomnas. Indeks prestasi kumulatif (IPK)
dengan pujian kemungkinan lulus ujikomnas sebesar 98,9%, IPK sangat
memuaskan menurun menjadi 98,4%, IPK memuaskan semakin menurun
menjadi 95,0%, dan IPK cukup memuaskan semakin turun lagi menjadi 66,7%.
Melalui uji statistik Pearson Chi Square didapatkan p : 0,000 dengan demikian
terdapat hubungan yang signifikan antara hasil IPK dan hasil ujikomnas. Semakin
tinggi hasil IPK semakin tinggi pula kemungkinan lulus ujikomnas.
PEMBAHASAN
Perawat adalah salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dalam
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, garda terdepan untuk
mencegah kejadian yang tidak diinginkan (KTD) dalam rangka mencapai
78
keamanan dan keselamatan pasien selama dilakukan perawatan. UU tentang
Keperawatan No 38 Tahun 2014 Pasal 16 menyatakan bahwa mahasiswa
keperawatan pada semester akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus
mengikuti Uji Kompetensi secara nasional (ayat 1), yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau
lembaga sertifikasi yang terakreditasi (ayat 2). Uji kompetensi sebagaimana
dimaksud ditujukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang
memenuhi standar kompetensi kerja (ayat 3).
Dalam upaya meningkatkan standarisasi kompetensi perawat baru lulus (entry
level practice) dalam uji kompetensi ini diharapkan dapat menjadi alat untuk
memberi umpan balik pada mutu penyelenggaraan pendidikan keperawatan.
Agar alat uji kompetensi tersebut sesuai dengan standar diperlukan
seperangkat rambu-rambu instrumen pengembangan alat uji yang disebut Cetak
Biru Uji atau Blue Print Kompetensi Perawat Indonesia (Kariasa, dkk, tanpa
tahun)
Blue print uji kompetensi perawat Indonesia dikembangkan oleh Komponen 2
HPEQ project melalui serangkaian kegiatan bersama stakeholders yang terdiri
dari unsur pemerintah (Departemen Kesehatan, MTKI, Dinas Kesehatan, Rumah
Sakit), unsur pengguna lulusan (PERSI dan ARSADA), unsur organisasi profesi
(PPNI), dan unsur asosiasi pendidikan keperawatan (AIPNI dan AIPDIKI).
Pengembangan Blue print mengacu pada standar profesi perawat Indonesia yang
telah ditetapkan, proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dan
karakteristik peran perawat baru lulus (entry level practice) bagi lulusan
Diploma III keperawatan dan lulusan Ners (Kariasa, dkk, tanpa tahun).
Uji kompetensi nasional bagi yang lulus diberikan sertifikat kompetensi sebagai
pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam
cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya (UU no 12
Tahun 2012, pasal 44 ayat 1). UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
pasal 44 dan UU tentang Keperawatan No 38 Tahun 2014 pasal 18 juga
79
menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib
memiliki STR (ayat 1), dan salah satu persyaratan untuk memiliki STR adalah
memiliki sertifikat kompetensi (ayat 3).
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa TPA mahasiswa dengan kategori baik dan
unggul kemungkinan lulus ujikomnas sebesar 100%, hasil TPA kategori cukup,
menurun menjadi 96,9% dan hasil TPA kategori rendah semakin menurun
menjadi 84,6%. Hasil tabulasi silang tersebut dikuatkan melalui uji statistik
Pearson Chi Square dengan didapatkan p : 0,000 yang berarti terdapat hubungan
yang signifikan antara hasil TPA dan hasil ujikomnas. Hasil penelitian ini
menguatkan tentang asumsi dasar dari penggunaan TPA yaitu bahwa semakin
tinggi skore TPA calon mahasiswa diprediksikan akan dapat meraih prestasi
belajar yang lebih baik. Tes Potensi Akademik ini merupakan alat pengukur
kemampuan dasar akademik untuk mengetahui kesiapan seseorang mempelajari
pengetahuan pada jenjang perguruan tinggi (Sugiyanto, dkk, 1999).
Temuan hasil penelitian yang didapatkan bahwa mahasiswa dengan hasil TPA
kategori cukup tetapi angka kelulusan ujikomnas mencapai 96,9%, dan hasil TPA
kategori rendah tetapi angka kelulusan ujikomnas mencapai 84,6%
menunjukkan proses pembelajaran yang signifikan yang telah terjadi di program
studi Akper Panti Rapih. Dalam hal ini kualifikasi input (TPA) yang rendah dan
cukup melalui proses pembelajaran yang baik didukung kualitas maupun
kuantitas sumber daya manusia (dosen dan tenaga kependidikan) dan sarana
pendukung yang baik dapat pula menghasilkan indikator outcome (hasil
ujikomnas) yang baik pula. Peringkat akreditasi B yang diberikan LAM-PT Kes
tentu ikut mewarnai hasil uji kompetensi yang dicapai Akper Panti Rapih.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa ada hubungan yang positif antara skor TPA dengan prestasi belajar (IPK).
Semakin tinggi skor TPA semakin baik pula prestasi belajarnya (Muslimin, 2012;
80
Santosa, 2013). Dalam hasil ini, ujikomnas bagi lulusan DIII Keperawatan sebagai
indikator outcome yang saat ini dilakukan dengan Paper Based Test (PBT)
berbasis Cognitive Based Test dapat pula dikatakan sebagai prestasi belajar
mahasiswa.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Indeks prestasi kumulatif (IPK)
dengan pujian kemungkinan lulus ujikomnas sebesar 98,9%, IPK sangat
memuaskan menurun menjadi 98,4%, IPK memuaskan semakin menurun
menjadi 95,0%, dan IPK cukup memuaskan semakin turun lagi menjadi 66,7%.
Melalui uji statistik Pearson Chi Square didapatkan p : 0,000 dengan demikian
terdapat hubungan yang signifikan antara hasil IPK dan hasil ujikomnas. Semakin
tinggi hasil IPK (indikator output) semakin tinggi pula kemungkinan lulus
ujikomnas (indikator outcome).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi belajar yang dinyatakan dalam
IPK sebagai hasil prestasi belajar mahasiswa program studi DIII Keperawatan
atas proses pembelajatan yang diterima di kelas, laboratorium, klinik rumah
sakit (di lima rumah sakit dengan akreditasi JCI yang hanya dapat digunakan oleh
mahasiswa dari Akper Panti Rapih), dan komunitas dengan beban 117 SKS
dengan rasio 30% teori dan 70% praktik, mampu menjamin dan meningkatkan
angka kelulusan ujikomnas sebagai indikator outcome.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Issac Amankwas , Annabella
Agyemang-Dankwah and Danial Boateng (2015) bahwa IPK/CGPA (Cummulative
Grade Point Avarage) mempunyai korelasi positif yang kuat terhadap
penampilan yang dala ujian lisensi perawata di Ghana, IPK/CGPA dapat menjadi
prediktor yang baik untuk penampilan dalam ujian lisensi perawat di Ghana.
81
SIMPULAN
Terdapat hubungan yang bermakna antara hasil uji kompetensi nasional lulusan
dengan TPA dan IPK yang dicapai pada akhir masa studi. Terdapat
kecenderungan semakin tinggi TPA dan IPK yang dicapai semakin tinggi tingkat
kelulusan ujikomnas. Hasil penelitian ini memberikan penegasan bahwa sebagai
sebuah rangkaian proses maka penjaminan mutu internal harus dilakukan sejak
awal dari input saat seleksi mahasiswa baru, proses dan output penyelenggaran
pendidikan agar hasil outcome terjamin kualitasnya.
SARAN
Seleksi penerimaan mahasiswa baru menggunakan TPA perlu tetap dilakukan
sebagai dasar dari proses pembelajaran yang akan diberikan. Untuk menjamin
dan menjaga kualitas lulusan dan tingkat kelulusan ujikomnas yang tinggi,
alternatif yang mungkin dilakukan adalah meningkatkan standar atau batas
kelulusan TPA dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru dan/atau semakin
meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan prodi DIII Keperawatan
Akper Panti Rapih.
Capaian IPK mahasiswa di akhir masa studi dalam kategori cukup memuaskan
(2,00-2,75) dengan kemungkinan lulus ujikomnas sebesar 66,7%, perlu
mendapatkan persiapan dan pembekalan tambahan sebelum ujikomnas
dilaksanakan agar angka kelulusan ujikomnas semakin dapat ditingkatkan.
Capaian IPK mahasiswa dalam kategori memuaskan, sangat memuaskan, dan
dengan pujian dengan kemungkinan lulus ujikomnas ≤ 95% perlu pula
mendapatkan persiapan dan pembekalan khususnya pada faktor eksternal.
Faktor motivasi ekstrinsik, lingkungan fisik belajar, keadaan ekonomi keluarga,
dan faktor jasmani memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan
prestasi belajar mahasiswa (Oktavianingtyas, 2013).
82
DAFTAR PUSTAKA Issac Amankwa, Anabella Agyemang-Dankwah, and Danial Boateng. (2015). Previous education, Sociodemograpich Characteristic , and Nursing Cummulative Grade Point. Publising Corporation Nursing Research and Practice. Volume 2015, Article ID 682479, 8 pages, hhtp://dx.org/10.1155/2015/682479 Kariasa, I Made, dkk (tanpa tahun). Blue Print Uji Kompetensi Perawat Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158 : Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. 10 Agustus 2012 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298 : Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. 17 Oktober 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307 : Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. 17 Oktober 2014. Muslimin, Zidni Immawan. (2012). Prestasi Belajar Mahasiswa Ditinjau dari Jalur Penerimaan Mahasiswa Baru, Asal Sekolah, dan Skor Tes Potensi Akademik. Jurnal Penelitian Psikologi, Vol. 04, No. 01, 381-393 Oktavianingtyas, Ervin. (2013). Studi Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jember. Kadikma, Vol.4 No.2, hal 13-26, Agustus 2013. PDPT, BAN-PT, Kemenkes, Data Primer (2013). Santosa, Agus Budi (2013). Seleksi Calon Mahasiswa Baru terhadap Kualitas Lulusan. Cakrawala Pendidikan, Volume 16, Nomor 1, April 2013. Sugiyanto dan Mulandari, N. (1999). Mencari Prediktor Prestasi Belajar melalui Seleksi Mahasiswa Baru Universitas Wangsa Manggala. Laporan Penelitian. Yogyakarta: fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.
83
IDENTIFIKASI KELULUSAN UKNI BERDASARKAN HASIL TRY OUT DI STIKES RAJAWALI BANDUNG TAHUN 2016
Lisbet Octovia Manalu1, Arie Joseph Pitono2 1STIKES Rajawali Bandung 2STIKES Rajawali Bandung [email protected] [email protected]
Abstrak
Uji Kompetensi merupakan salah satu instrumen yang di wajibkan pemerintah
untuk memastikan kualitas lulusan yang berkualitas. Pada uji kompetensi
terdapat suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap
tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Try out bertujuan untuk
mempersiapkan calon lulusan yang akan menghadapi uji kompetensi pada tahap
akhir kelulusan dan juga TO uji kompetensi merupakan bagian dari siklus uji
kompetensi yang sangat diperlukan sebagai upaya untuk memberikan
pengalaman dan mempersiapkan mental serta berlatih mahasiswa dalam
menghadapi Uji Kompetensi yang terstandar. Tujuan penelitian, untuk
mengidentifikasi proporsi peserta yang lulus UKNI berdasarkan hasil Try Out.
Metode rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional, dengan sampel
seluruh lulusan STIKES Rajawali yang mengikuti TO XI 30-31 Juli 2016 dan UKNI
23-24 September 2016 sebanyak 114 orang (total sampling). Analisis hubungan
nilai TO dengan hasil UKNI menggunakan uji chi square. Hasil Terdapat
hubungan antara Nilai TO dengan hasil UKNI ( p < 0,001 ). Sebanyak 86,4 %
peserta yang lulus UKNI memiliki nilai TO lebih tinggi atau sama dengan nilai
kelulusan UKNI. Sementara 87,9 % peserta yang tidak lulus UKNI memiliki nilai
TO lebih rendah dari nilai kelulusan UKNI. Kesimpulan, TO dapat
mengidentifikasi 86,4 % peserta yang lulus UKNI dan 87,9 % yang tidak lulus
UKNI
Kata Kunci : kualitas, Try Out, Uji Kompetensi
84
PENDAHULUAN
Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang yang mencakup atas
pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau
tugas dengan standar kinerja (performance) yang ditetapkan. Standar
kompetensi perawat merefleksikan atas kompetensi yang diharapkan dimiliki
oleh individu yang akan bekerja di bidang pelayanan keperawatan (PPNI
Indonesia, 2005). International Council of Nurses atau yang disingkat ICN
mendefinisikan kompetensi yang digunakan dalam kerangka kerja untuk
perawat adalah tingkat kemampuan yang harus dimiliki seorang perawat untuk
melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang ditunjukkan melalui penerapan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang dipersyaratkan (ICN, 199:4).
Perawat akan mampu mengerjakan suatu tugas/ pekerjaan (task skills),
mengorganisasikan agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan (task
management skills), memutuskan apa yang harus dilakukan bila terjadi sesuatu
yang berbeda dengan rencana semula (contigency management skills) dengan
menguasai kompetensi tersebut (Nursalam, 2008). Kompetensi perawat inilah
yang akan berorientasi terhadap kualitas kinerja yang akan menjamin mutu
pelayanan keperawatan. Uji Kompetensi merupakan salah satu instrumen yang
di wajibkan pemerintah untuk memastikan kualitas lulusan yang berkualitas.
Pada uji kompetensi terdapat suatu proses untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Try out
bertujuan untuk mempersiapkan calon lulusan yang akan menghadapi uji
kompetensi pada tahap akhir kelulusan dan juga TO uji kompetensi merupakan
bagian dari siklus uji kompetensi yang sangat diperlukan sebagai upaya untuk
memberikan pengalaman dan mempersiapkan mental serta berlatih mahasiswa
dalam menghadapi Uji Kompetensi yang terstandar.
Guna mengetahui apakah perawat Uji Kompetensi Ners Indonesia (UKNI) yang
diadakan menimbulkan beberapa permasalahan, permasalahan tersebut antara
lain masalah sosialisasi dan pembekalan; masalah penyusunan soal dan
penentuan batas minimal UKN; masalah waktu, tempat, dan penyelenggara UKN;
85
masalah mekanisme metode UKN; masalah pembiayaan UKN; masalah
pengumuman via online; masalah mekanisme retaker; dan masalah standarisasi
STR secara Internasional. Salah satu permasalahan yang muncul pada UKNI
adalah mengenasi sosialisasi dan pembekalan. Sosialisasi dan pembekalan
kepada mahasiswa dapat dilakukan berupa try out maupun pembekalan.
Pembekalan kepada mahasiswa keperawatan ini dapat dilakukan sejak awal
kuliah sehingga mahasiswa lebih siap dalam menghadapi UKNI (HPEQ student,
2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Try Out sebagai prediktor kelulusan
UKNI melalui penilaian proporsi peserta yang lulus UKNI yang memiliki nilai Try
Out tinggi (lebih tinggi atau sama dengan nilai kelulusan UKNI) dan proporsi
peserta yang tidak lulus UKNI yang memiliki nilai Try Out rendah (lebih rendah
dari nilai kelulusan UKNI).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar perencanaan
kegiatan Try Out dan UKNI yang akan datang.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional, dengan menggunakan data
sekunder hasil Try Out dan hasil UKNI lulusan STIKES Rajawali. Sampel pada
penelitian ini adalah seluruh lulusan STIKES Rajawali yang mengikuti Try Out XI
pada tanggal 30-31 Juli 2016 dan mengikuti UKNI pada tanggal 23-24 September
2016 sebanyak 114 orang (total sampling). Variabel pada penelitian ini adalah:
(1) Nilai Try Out, sebagai variabel bebas, dan (2) Hasil UKNI, sebagai variabel
terikat. Nilai hasil Try Out yang berupa data numerik dikelompokkan menjadi
dua kategori, yaitu (1) lebih besar daripada atau sama dengan nilai kelulusan
UKNI (= nilai Try Out tinggi) dan (2) lebih kecil daripada nilai kelulusan UKNI (=
nilai Try Out rendah), sementara variabel Hasil UKNI terdiri atas dua kategori :
lulus dan tidak lulus. Hubungan kedua variabel dianalisis menggunakan uji chi
square.
86
Proporsi lulusan yang lulus UKNI yang memiliki nilai Try Out tinggi dapat
dianggap sebagai nilai sensitivitas “alat uji” (Try Out) terhadap “keadaan
sebenarnya” (hasil UKNI). Nilai sensitivitas ini pada penelitian klinis digunakan
untuk menjawab pertanyaan “Seberapa besar orang yang menderita penyakit
akan teridentifikasi ?” (Porta, et al, 2008), sehingga pada penelitian ini nilai
sensitivitas dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan “Seberapa besar
lulusan yang lulus UKNI dapat teridentifikasi melalui Try Out ?”
Sementara, proporsi lulusan yang tidak lulus UKNI yang memiliki nilai Try Out
rendah dapat dianggap sebagai nilai spesifisitas “alat uji” (Try Out) terhadap
“keadaan sebenarnya” (hasil UKNI). Nilai spesifisitas ini pada penelitian klinis
digunakan untuk menjawab pertanyaan “Seberapa besar orang yang tidak
menderita penyakit akan teridentifikasi ?” (Porta, et al, 2008), sehingga pada
penelitian ini nilai spesifisitas dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan
“Seberapa besar lulusan yang tidak lulus UKNI dapat teridentifikasi melalui Try
Out ?”
HASIL PENELITIAN
Gambaran (ukuran kecenderungan sentral dan ukuran penyebaran) Nilai Try Out
masing-masing kategori Hasil UKNI tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Nilai Try Out Kelompok Lulus UKNI dan Kelompok Tidak Lulus UKNI
Hasil UKNI
n
Nilai Try Out
Rerata Median Simpanga
n Baku Minimum
Maksimum
Lulus 81 53,70 53,89 5,59 38,89 65,56
Tidak Lulus
33 42,04 41,67 4,50 31,67 52,78
Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata Nilai Try Out kelompok Lulus UKNI adalah
53,70 dan rerata Nilai Try Out kelompok Tidak Lulus UKNI adalah 42,04.
Hubungan antar variabel tercantum pada Tabel 2.
87
Tabel 2. Tabel Silang Variabel Nilai Try Out dengan Variabel Hasil UKNI
Hasil UKNI
Lulus Tidak Lulus p
n % n %
Nilai Try Out Tinggi 70 94,6 4 5,4 < 0,001
Rendah 11 27,5 29 72,5
Total 81 71,1 33 28,9
Tabel 2 menunjukkan bahwa, berdasarkan uji chi square, terdapat hubungan
antara Nilai Try Out dengan hasil UKNI ( p < 0,001 ).
Dari penghitungan selanjutnya didapatkan bahwa sebesar 86,4 % ( 70 / 81 )
lulusan yang lulus UKNI memiliki nilai Try Out tinggi, dan sebesar 87,9 %
( 29 / 33 ) lulusan yang tidak lulus UKNI memiliki nilai Try Out rendah.
PEMBAHASAN
Untuk mengukur standar kompetensi perawat dan memperoleh sertifikat
kompetensi, perawat diharuskan mengikuti Uji Kompetensi. Uji Kompetensi
adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta
didik pada perguruan tinggi bidang kesehatan. Uji kompetensi diselenggarakan
untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang kompeten sesuai dengan standar
kompetensi lulusan dan standar kompetensi kerja (PBM no. 36 tahun 2013).
Uji kompetensi merupakan bagian dari penilaian hasil belajar mahasiswa di
bidang kesehatan dan dibagi dalam dua tahap yaitu uji tertulis dan uji praktek.
Berdasarkan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal DIKTI, uji
kompetensi ini dapat dilaksanakan pada tahap akhir setelah menyelesaikan
seluruh tahap pendidikan sebagai exit exam dimana hal tersebut harus
memperhatikan pentingnya lingkungan akademik profesional. (DIKTI, 2013).
Tetapi setelah melihat hasil uji kompetensi yang sudah dilakukan pada
mahasiswa DIII kebidanan, DIII keperawatan dan Ners, ternyata masih
diperlukan adanya perbaikan pada sistem pendidikan. Oleh karena itu, pada
88
tanggal 18 Juni 2014 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat edaran nomor
529/E.E3/DT/2014 tentang Status Uji Kompetensi bagi Mahasiswa Program Studi
DIII Kebidanan, DIII Keperawatan dan Ners yang berisi tentang belum
digunakannya uji kompetensi untuk menentukan kelulusan atau sebagai exit
exam (DIKTI, 2014).
Sebesar 86,4 % lulusan yang lulus UKNI memiliki nilai Try Out tinggi, hal ini
dapat berarti bahwa 86,4 % lulusan yang lulus UKNI dapat teridentifikasi melalui
Try Out (sensitivitas). Sementara, sebesar 87,9 % lulusan yang tidak lulus UKNI
memiliki nilai Try Out rendah, hal ini dapat berarti bahwa 87,9 % lulusan yang
tidak lulus UKNI dapat teridentifikasi melalui Try Out (spesifisitas).
Idealnya, untuk dapat dikatakan sebagai prediktor yang sempurna, kedua
keadaan di atas (sensitivitas dan spesifisitas) harus memiliki nilai 100%. Artinya,
tidak ada lulusan yang lulus UKNI memiliki nilai Try Out rendah (“false negative”)
dan tidak ada lulusan yang tidak lulus UKNI memiliki nilai Try Out tinggi (“false
positive”). Namun untuk mendapatkan keadaan ideal tersebut hampir tidak
dimungkinkan pada keadaan nyata, sehingga haruslah ditentukan salah satu dari
kedua keadaan mana yang akan ditingkatkan, karena biasanya sensitivitas
berbanding terbalik dengan spesifisitas (Gordis, 2009).
Pada keadaan ini, dengan pertimbangan bahwa lebih baik lulusan mendapatkan
nilai Try Out yang rendah namun lulus UKNI dibandingkan dengan lulusan
mendapat nilai Try Out yang tinggi namun tidak lulus UKNI, maka terdapat
kecenderungan untuk memilih meningkatkan nilai spesifisitas dibandingkan
meningkatkan nilai sensitivitas. Dengan demikian, harus dilakukan usaha-usaha
yang dapat menurunkan angka “false positive”, seperti sedikit meningkatkan
tingkat kesulitan soal Try Out.
Pada penelitian ini, “false positive” terjadi pada 4 orang lulusan yang memiliki
nilai Try Out berselisih kurang dari 1%, 2%, 3%, dan 6% dari nilai kelulusan
UKNI. Sehingga, dengan peningkatan nilai Try Out 3% dari nilai kelulusan UKNI
dapat mengurangi “false positive” sebesar 75%.
89
Angka “false negative” pada penelitian ini adalah sebesar 13,6%. Hal ini
kemungkinan dapat diakibatkan karena kedua uji ini tidak dilakukan pada saat
yang bersamaan, namun terdapat rentang waktu sekitar dua bulan antara
pelaksanaan Try Out dengan pelaksanaan UKNI, sehingga lulusan yang memiliki
nilai Try Out rendah akan secara otomatis berusaha untuk meningkatkan
kemampuannya pada saat UKNI.
SIMPULAN
Try Out dapat mengidentifikasi 86,4 % lulusan yang lulus UKNI dan 87,9 % yang
tidak lulus UKNI.
SARAN
Bagi pengelola (penentu kebijakan UKNI) agar pada pelaksanaan UKNI yang akan
datang dapat sedikit meningkatkan tingkat kesulitan soal Try Out, sehingga
diharapkan dapat menurunkan kejadian “False Positive” (lulusan yang tidak lulus
UKNI namun memiliki nilai Try Out tinggi).
Bagi peserta Try Out yang telah mendapatkan nilai lebih tinggi atau sama dengan
nilai kelulusan UKNI disarankan untuk setidaknya memiliki kemampuan 3%
lebih tinggi dari nilai batas lulus, sehingga memperkecil peluang untuk tidak
lulus UKNI.
DAFTAR PUSTAKA
Dikti. 2013. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta : Ditjen DIKTI DIKTI. 2014. Peningkatan Kemampuan Lulusan Pendidikan Tinggi Kesehatan Melalui Uji Kompetensi. Gordis, L. (2009). Epidemiology, Fourth Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier. HPEQ Project (Health Professional Education Quality Project).2013.Panduan penyelenggaran ujian OSCE : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. International Council of Nurses (1965). Position statements. Geneva: ICN.
90
Nursalam. 2008. Konsep dan penerapan metodologi penelitian keperawatan.Jakarta. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2005. Standar kompetensi perawat Indonesia. Jakarta. Porta, M., Greenland, S., Last, J. M. (Eds.). (2008). A Dictionary of Epidemiology, Fifth Edition. Oxford : Oxford University Press.
91
ANALISIS HASIL TRY OUT UJI KOMPETENSI NERS BERBASIS PDCA DI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER
Dodi Wijaya¹, Lantin Sulistyorini², Wantiyah³ 1,2,3 Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Universitas Jember Email : [email protected]
Abstrak
Mahasiswa Keperawatan pada akhir proses pendidikan harus mengikuti Uji
Kompetensi Nasional sesuai dengan amanat UU 38 Tahun 2014 pasal 16.
Mahasiswa Keperawatan sebelum mengikuti Uji Kompetensi Nasional akan
mengikuti Try out Uji Kompetensi Ners. Try out dilaksanakan sebagai alat bagi
institusi penyelenggara pendidikan keperawatan melakukan penjaminan mutu
terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan keperawatan, namun terkadang
penjaminan mutu terhadap luaran pendidikan kurang optimal dilaksanakan oleh
karena itu proses PDCA (Plan- Do- Check- Action) perlu diterapkan untuk
menjamin luaran yang diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan keterlibatan dosen dalam pengendalian mutu dengan hasil try out Uji
Kompetensi Ners dengan pendekatan PDCA. Penelitian ini berjenis deskriptif
analitik pendekatan cross sectional, Sampel berjumlah 160 peserta try out
nasional Uji Kompetensi Ners PSIK Universitas Jember periode ke-7 sampai
dengan ke-11 dengan menggunakan teknik total sampling. Alat pengumpul data
menggunakan data primer hasil try out nasional Uji Kompetensi Ners dari AIPNI
dan lembar observasi keterlibatan dosen dalam membimbing try out Uji
Kompetensi Ners. Analisis menggunakan uji T Independen dengan tingkat
kemaknaan 95% (α ≤ 0,05). Rata- rata nilai hasil try out nasional Uji Kompetensi
Ners PSIK Universitas Jember periode ke-7 sampai dengan ke-11 yaitu 54,56.
Mayoritas (100%) dosen memiliki keterlibatan dalam pengendalian mutu hasil
try out melalui bimbingan soal uji kompetensi Ners. Analisis statistik didapatkan
p = 0,000. Ada hubungan yang signifikan keterlibatan dosen dalam pengendalian
mutu dengan hasil try out Uji Kompetensi Ners dengan pendekatan PDCA.
Temuan ini penulis merekomendasikan kepada Ketua, Sekretaris I bidang
Akademik, dan Dosen PSIK Universitas Jember, agar pengendalian mutu proses
pembimbingan try out Uji Kompetensi Ners berbasis PDCA dapat diterapkan
demi peningkatan hasil pencapaian kelulusan Uji Kompetensi Ners Indonesia.
Kata Kunci : Try out, Uji Kompetensi Ners, PDCA
92
ANALYSIS ON THE RESULT OF PDCA-BASED NERS COMPETENCY TRY-OUT TEST AT THE SCHOOL OF NURSING, UNIVERSITY OF JEMBER
Abstract
All nursing students are obliged to take National Competency Test as mandated
by Act number 38, 2014 article 16. This test is taken at the end of their learning
process. Nursing students are subject to take the Ners competency try-out test
before attending National Competency Test. The try-out test is conducted as the
means for the respective Nursing Department to provide quality assurance
regarding the nursing education they conduct. However, the quality assurance of
the output of the nursing education is given less-optimum attention. Therefore,
the PDCA (Plan-Do-Check-Action) process is urgently needed so as to assure the
expected output fulfilled. The objective of this research is to analyze the
correlation of the lecturer’s involvement in the quality control and the result of
the Ners try-out test by using PDCA approach. This research is designed as a
descriptive-analytical one, by employing cross-sectional approach. As many as
160 test-takers of the Ners try-out test conducted at School of Nursing,
University of Jember, covering the 7th to 11th period, are taken as the sample of
this research by employing total sampling technique. The data collection
instruments include primary data of the Ners try-out test conducted by AIPNI
and the observation sheet of lecturer’s involvement in conducting mentoring
session of the Ners try-out test. The analysis of this research employs T
Independen test with the reliability of 95% (α ≤ 0,05). The mean of the Ners try-
out test conducted at School of Nursing, University of Jember, covering the 7th to
11th period is 54,56. Majority (100%) of the lecturers show involvement in the
quality control attempt by conducting mentoring session of the Ners try-out test.
The statistical analysis reveals that p = 0,000. This translates as there is a
significant correlation between the lecturer’s involvement in the quality control
attempt and the result of the Ners try-out test by using PDCA approach. This
finding allows the researcher to recommend that the Head of School of Nursing,
University of Jember and The Academic Affair Secretary, as well as the entire
lecturers of the School of Nursing, University of Jember implement the quality
control on the mentoring session of the PDCA-based Ners try-out test in order to
improve the passing grade achievement on the Indonesia Ners Competency Test,
respectively.
Key Words: Try-Out test, Ners Competency test, PDCA
93
PENDAHULUAN
Pendidikan tinggi bidang kesehatan dalam upaya menjamin mutu pendidikan
tinggi dan sesuai dengan amanah UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi,
pemerintah telah menyelenggarakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi
bidang kesehatan, yang salah satu kebijakan utamanya adalah penyelenggaraan
uji kompetensi secara nasional (Ristek dikti, 2016). Pendidikan tinggi
keperawatan salah satu penyelenggara pendidikan di bidang kesehatan telah
menyelenggarakan uji kompetensi secara nasional yang dikenal dengan Uji
Kompetensi Ners Indonesia (UKNI). UKNI adalah ujian yang dilaksanakan setelah
mahasiswa menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan profesi Ners. Sesuai
dengan UU 38 tahun 2014 pasal 16 ayat 3 menyebutkan tujuan uji kompetensi
dilaksanakan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi
standar kompetensi kinerja yang dalam hal ini adalah kompetensi Ners generalis.
UKNI diharapkan dapat mengurangi perbedaan kualitas lulusan Ners di
Indonesia. UKNI merupakan bagian dari upaya standardisasi registrasi dan izin
praktik bagi Ners generalis yang akan memberikan pelayanan kesehatan di
Indonesia.
UKNI dari segi tantangan global diharapkan mampu menyaring Ners
generalis di Indonesia yang kompeten untuk memberikan pelayanan
keperawatan/kesehatan secara komprehensif kepada masyarakat, dengan
prinsip utama keselamatan pasien. UKNI dari segi pendidikan diharapkan dapat
mendorong perbaikan kurikulum dan proses pembelajaran di tiap institusi
pendidikan, dan menjadi dasar pembinaan mutu pendidikan bidang kesehatan
yang menjadi tanggung jawab Kementerian (Ristek dikti, 2016). UKNI
diselenggarakan setiap dua kali dalam setahun yang diselenggarakan oleh
Kemenristek Dikti bekerjasama dengan organisasi profesi (PPNI). Sebelum
melaksanakan UKNI terlebih dahulu dilaksanakan try out UKNI secara nasional
yang diselenggarakan oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI).
Try out uji kompetensi Ners dilaksanakan sebagai alat bagi institusi
penyelenggara pendidikan keperawatan melakukan penjaminan mutu terhadap
94
kualitas penyelenggaraan pendidikan keperawatan. Penjaminan mutu terhadap
kualitas penyelenggaraan pendidikan keperawatan perlu dilakukan mengingat
angka kelulusan UKNI masih fluktuatif. Data yang dihimpun dari AIPNI
menyebutkan angka kelulusan UKNI periode Juni 2014 sebesar 57,81%, periode
November 2014 sebesar 46,2%, periode Mei 2015 sebesar 45,5%, periode
September 2015 sebesar 53,61%, dan periode April 2016 sebesar 42,31%. Angka
tersebut menunjukkan tingkat kelulusan peserta UKNI masih tergolong 50%.
Oleh karena itu pentingnya try out uji kompetensi Ners diikuti oleh intitusi
pendidikan keperawatan untuk dapat digunakan oleh institusi dan individu
sebagai alat prediksi awal untuk menyusun strategi belajar dan pembimbingan
kepada peserta didik agar lebih terarah dan spesifik. Try out uji kompetensi Ners
juga dapat digunakan sebagai penjaminan mutu terhadap evaluasi kekuatan dan
kelemahan institusi pendidikan keperawatan dalam capaian kompetensi yang
diharapkan dari peserta didik.
Penjaminan mutu pendidikan keperawatan oleh instistusi penyelenggara
pendidikan keperawatan perlu dilakukan sebagai upaya menjaga public
accountability atau menjaga kepercayaan masyarakat akan lulusan perawat yang
berkualitas dan kompeten terhadap tugas dan wewenangnya dalam memberikan
layanan keperawatan/ kesehatan. Penjaminan mutu pendidikan keperawatan
dilakukan sebagai arah ide, konsep, dan mekanisme penjaminan mutu (internal)
pendidikan tinggi keperawatan yang dikelola dapat terarah sesuai dengan visi
misi setiap institusi penyelenggara pendidikan keperawatan. Penjaminan mutu
pendidikan keperawatan seyogyanya dilakukan secara berkelanjutan.
Penjaminan mutu berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan adanya komitmen
setiap penyelenggara pendidikan keperawatan bahwa mutu lulusan harus
ditingkatkan secara berkelanjutan. Hasil dari try out uji kompetensi Ners dapat
dijadikan bahan bagi institusi penyelenggara pendidikan keperawatan
melakukan penjaminan mutu berkelanjutan terhadap luaran pendidikan, namun
pada kenyataannya penjaminan mutu luaran pendidikan kurang optimal
dilaksanakan. Kondisi ini bisa disebabkan karena kurangnya kebijakan yang
95
harus ditindaklanjuti dengan menyikapi hasil evaluasi mutu lulusan dan
menyusun strategi yang fokus terhadap kualitas lulusan.
Penjaminan mutu (quality assurance) berkelanjutan pendidikan tinggi
keperawatan dapat dilakukan melalui berbagai model manajemen kendali mutu.
Salah satu manajemen yang dapat digunakan adalah model PDCA (plan, do, check,
action) yang akan menghasilkan pengembangan mutu yang berkelanjutan
(continuous improvement) atau kaizen mutu pendidikan tinggi di Perguruan
Tinggi (Depdiknas, 2003). PDCA merupakan proses berpikir sistematis dan
struktural tentang sebuah akar permasalahan untuk dicarikan solusi sehingga
dapat menjadi standarisasi baru untuk proses perbaikan berkelanjutan
(Rangkayo, 2013). PDCA menganut empat langkah berulang dalam akronim Plan
Do Check Act. PDCA yang baik adalah PDCA yang memiliki proses perencanaan
dan tindak lanjut jelas dan stimulan, sedangkan PDCA yang benar adalah PDCA
yang dilakukan proses evaluasi dan monitoring terhadap aktivitas dan kinerja
yang dilakukan. Kaitan hasil try out UKNI dapat dijadikan evaluasi terhadap akar
permasalahan keberhasilan capaian hasil UKNI dan dapat dicarikan solusi yang
tepat sebagai bentuk penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan
keperawatan yang berkelanjutan.
Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Universitas Jember merupakan
merupakan perguruan tinggi negeri (PTN) yang berada di kota Jember.
Kabupaten Jember sendiri berada di Jawa Timur bagian timur. PSIK Universitas
Jember, didirikan sejak tahun 2005, dalam perkembangannya, PSIK Universitas
Jember saat ini menjadi sebuah program studi yang terakreditasi B. Memasuki
usia ke-12 PSIK berdiri, tentunya telah banyak perubahan yang terjadi ditengah
semakin kuatnya tekanan dan pengaruh globalisasi, perkembangan IPTEK,
maupun perkembangan dunia keperawatan itu sendiri. Kondisi ini menuntut
adanya penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga dapat
menghasilkan output yang bermutu berdaya saing tinggi yang siap bersaing di
tataran global, relevan dengan kebutuhan masyarakat terutama sektor
pendidikan dan kesehatan. PSIK Universitas Jember turut memiliki peran dalam
96
mencetak tenaga kesehatan yang profesional guna menjawab kebutuhan
kesehatan masyarakat, hal ini merupakan sebuah tantangan namun juga menjadi
sebuah peluang, mengingat Kabupaten Jember dan Karisidenan Besuki, serta
wilayah lainnya telah memiliki banyak sentral pelayanan kesehatan yang
membutuhkan tenaga - tenaga kesehatan yang profesional guna mendukung
pelayanan kesehatan/ keperawatan yang bermutu. Pelayanan keperawatan yang
bermutu tentunya turut didukung oleh tenaga perawatan yang memiliki
kompetensi keilmuan keperawatan professional, yang dilahirkan melalui
serangkaian proses pendidikan yang bermutu tinggi.
Lulusan Ners PSIK Universitas Jember telah mengikuti UKNI, terhitung
sejak periode Juni 2014 sampai dengan September 2016. Hasil UKNI lulusan Ners
PSIK Universitas Jember periode Juni 2014 peserta lulus 100%, periode
November 2014 peserta lulus 100%, periode Mei 2015 peserta lulus 98%,
periode September 2015 peserta lulus 97%, periode April 2016 peserta lulus
97%, periode September 2016 peserta lulus 95%. Data ini menunjukkan tingkat
kelulusan UKNI lulusan Ners PSIK Universitas Jember semakin menurun
meskipun masih diatas 70% tingkat kelulusan yang diharapkan Borang
Akreditasi Ners, namun hasil ini perlu menjadi bahan evaluasi terhadap
penjaminan mutu luaran pendidikan keperawatan yang berkelanjutan. Evaluasi
penjaminan mutu berkelanjutan dapat dilakukan dengan berbasis PDCA dimana
titik pointnya adalah keterlibatan dosen dalam pengendalian mutu hasil try out
Uji Kompetensi Ners melalui bimbingan intensif belajar mahasiswa menghadapi
try out Uji Kompetensi Ners dan UKNI . Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
hubungan keterlibatan dosen dalam pengendalian mutu dengan hasil try out Uji
Kompetensi Ners dengan pendekatan PDCA.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berjenis deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional.
Populasi penelitian yaitu lulusan Ners PSIK Universitas Jember yang mengikuti
try out Uji Kompetensi Ners ke-7 sampai dengan ke-11 (periode September 2014
97
sampai dengan periode Juli 2016). Sampel berjumlah 160 peserta try out
nasional Uji Kompetensi Ners dari PSIK Universitas Jember. Pengambilan sampel
menggunakan teknik total sampling. Alat pengumpul data menggunakan data
primer hasil try out nasional Uji Kompetensi Ners dari AIPNI dan lembar
observasi keterlibatan dosen dalam membimbing try out Uji Kompetensi Ners.
Analisis statistik menggunakan uji T Independen dengan tingkat kemaknaan 95%
(α ≤ 0,05).
HASIL PENELITIAN
Penjaminan mutu luaran pendidikan keperawatan yang berkelanjutan terhadap
hasil try out Uji Kompetensi Ners berbasis PDCA dengan langkah- langkah
sebagai berikut :
Tabel 1. Langkah- langkah PDCA hasil try out Uji Kompetensi Ners di PSIK Universitas Jember pada bulan September 2014 s.d Juli 2016
Plan Rencanakan 1. Mengidentifikasi permasalahan 2. Menganalisis permasalahan 3. Membuat sasaran dan proses
Do Kerjakan 1. Melakukan apa yang telah direncanakan 2. Mencoba potensi solusi yang mungkin
Check Cek 1. Mengukur sejauh mana efektiftas solusi 2. Menganalisa kemungkinan dapat ditingkatkan
perbaikan dalam berbagai cara Action Tindak
Lanjuti 1. Menyusun rencana perbaikan 2. Menyusun rencana tindak lanjut
Tabel 1 menunjukkan langkah- langkah yang ditempuh dalam menganalisis hasil
try out Uji Kompetensi Ners di PSIK Universitas Jember meliputi Plan – Do –
Check – Action. Langkah- langkah tersebut tergambar dalam siklus kendali mutu
berbasis PDCA sebagai berikut :
Plan
Act Do
98
Check
Gambar 1. Siklus kendali mutu berbasis PDCA di PSIK Universitas Jember pada bulan September 2014 s.d Juli 2016
Gambar 1 menerangkan bahwa, penjaminan mutu hasil try out Uji Kompetensi
Ners di PSIK Universitas Jember harus dilakukan secara terus-menerus agar
dapat menghasilkan mutu lulusan yang diharapkan. Adapun siklus kendali mutu
berbasis PDCA tersebut menuangkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil tahapan Plan dalam siklus PDCA di PSIK Universitas Jember pada bulan September 2014 s.d Juli 2016
Plan 1. Kurangnya pemahaman Lulusan Ners PSIK Universitas Jember dalam menyelesaikan soal- soal Uji Kompetensi Ners
2. Kurangnya pembimbingan dari dosen PSIK Universitas Jember dalam menyelesaikan soal- soal Uji Kompetensi Ners
3. Sasaran 100% Lulusan Ners mencapai nilai try out Uji Kompetensi Ners diatas Nilai Batas Lulus (NBL)
4. Lakukan try out Uji Kompetensi Ners dilingkungan PSIK Universitas Jember dalam waktu satu hari
5. Lakukan pembahasan soal- soal try out Uji Kompetensi Ners dilingkungan PSIK Universitas Jember dalam waktu dua hari
6. Lakukan sosialisasi aplikasi CBT dalam waktu satu hari dilaksanakan 2 minggu sebelum Uji Kompetensi Ners
Tabel 3. Distribusi frekuensi tahapan Do (keterlibatan dosen dalam pengendalian mutu hasil try out Uji Kompetensi Ners) di PSIK Universitas Jember pada bulan September 2014 s.d Juli 2016 (n= 19)
TO Ke- Periode Variable
Frequency Percent Keterlibatan Dosen
7 27 September
2014 Baik 19 100 Kurang 0 0
8 2 Mei 2015 Baik 19 100 Kurang 0 0
9 8 Agustus 2015 Baik 19 100 Kurang
0 0
10 16 Januari 2016 Baik 19 100 Kurang 0 0
11 30 Juli 2016 Baik 19 100 Kurang 0 0
99
Hasil analisis univariat pada tabel 3 menunjukkan mayoritas keterlibatan
dosen dalam pengendalian mutu hasil try out Uji Kompetensi Ners tergolong
baik. Hasil ini menunjukkan bahwa dosen telah memiliki komitmen yang baik
dalam menjamin mutu hasil try out Uji Kompetensi Ners. Komitmen yang baik
dalam tahap ini menandakan adanya keinginan dari seluruh civitas akademika
PSIK Universitas Jember bahwa hasil Uji Kompetensi Ners dapat lulus 100%.
Tabel 4. Rerata tahapan Check hasil try Out Uji Kompetensi Ners di PSIK Universitas Jember pada bulan September 2014 s.d Juli 2016 (n= 160)
TO Ke-
Periode Institusi Kode Soal
Jumlah Peserta
Nilai Rerat
a
Standar
Deviasi
Nilai Tertingg
i
Nilai Terenda
h 7 27 Sept
2014 PSIK UNEJ 9 13 53,2 4,5 60,0 46,7 Data Statistik Nasional
9 2889 43,2 8,1 69,4 15,6
8 2 Mei 2015
PSIK UNEJ 1 19 54,3 5,0 61,7 43,9 Data Statistik Nasional
1 1898 45,7 8,5 70,0 19,4
PSIK UNEJ 2 20 53,0 4,1 61,7 45,6 Data Statistik Nasional
2 1881 46,8 7,8 73,3 18,9
PSIK UNEJ 3 20 54,0 4,9 62,2 45,6 Data Statistik Nasional
3 1897 44,9 8,0 66,7 19,4
9 8 Agustus 2015
PSIK UNEJ 1 37 50,8 5,0 60,6 39,4 Data Statistik Nasional
1 3096 43,2 7,6 63,3 15,6
10 16 Januari 2016
PSIK UNEJ 1 16 52,6 5,2 61,1 43,9 Data Statistik Nasional
1 2325 45,1 7,2 66,7 21,7
PSIK UNEJ 2 17 57,1 3,2 64,4 52,2 Data Statistik Nasional
2 2332 46,2 8,9 71,1 16,1
11 30 Juli 2016
PSIK UNEJ 1 9 59,1 3,9 66,7 51,7 Data Statistik
1 3221 48,4 8,6 71,7 14,4
100
Nasional PSIK UNEJ 2 9 57,0 3,7 61.7 50,6 Data Statistik Nasional
2 3258 49,1 8,7 72,2 17,2
Sumber : Data Primer Hasil Try Out UKNI ke-7 sampai dengan ke-11 PSIK Universitas Jember
Tabel 4 menjelaskan tentang Tahapan Check Hasil Try Out Uji Kompetensi
Ners di PSIK Universitas Jember periode bulan September 2014 sampai dengan
periode Juli 2016 menunjukkan bahwa 5 periode try out UKNI yang diikuti
lulusan Ners PSIK Universitas Jember menunjukkan rata-rata nilai try out UKNI
sebesar 54,56. Angka ini lebih tinggi 80% dibandingkan rata-rata hasil try out
UKNI secara nasional. Rata- rata tertinggi yang diperoleh lulusan Ners PSIK
Universitas Jember selama 5 periode, terletak pada periode try out UKNI ke-11
pada tanggal 30 Juli 2016 dengan nilai rata-rata yang diperoleh sebesar 59,1
lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata nasional sebesar 49,1. Tabel 4
menunjukkan pula bahwa hasil nilai tertinggi yang diperoleh lulusan Ners PSIK
Universitas Jember dalam mengikuti try out UKNI belum tertinggi secara
nasional.
Tabel 5. Analisis hubungan keterlibatan dosen dalam pengendalian mutu dengan hasil try out Uji Kompetensi Ners dengan pendekatan PDCA pada bulan September 2014 s.d Juli 2016
Variabel N Mean SD SE t df p value OR 95% CI
Keterlibatan dosen dengan hasil try out UKNI
19 53,29 2,188 1,183 0,275 23,75 0,000 0,190 0,845
Hasil analisis tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata keterlibatan dosen
dalam pengendalian mutu dengan hasil try out Uji Kompetensi Ners diantara
53,29 dengan SD 2,1888. Hasil analisis uji statistik disimpulkan ada hubungan
yang signifikan antara keterlibatan dosen dalam pengendalian mutu dengan hasil
try out Uji Kompetensi Ners ( p value = 0,000, CI= 0,190; 0,845).
101
Tabel 6. Hasil tahapan Action dalam siklus PDCA di PSIK Universitas Jember pada bulan September 2014 s.d Juli 2016
Action 1. Memperbanyak bank soal try out UKNI di lingkungan internal PSIK Universitas Jember
2. Mengadakan item review soal-soal try out UKNI di lingkungan internal PSIK Universitas Jember
3. Merubah proses pembimbingan soal-soal try out UKNI dengan model Cara Belajar Ners Aktif (CBNA) dengan pembimbingan yang lebih intensif.
4. Menambah waktu pembahasan soal-soal try out UKNI di lingkungan internal PSIK Universitas Jember
PEMBAHASAN
Penjaminan mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan. Perkembangan
penjaminan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan adalah penjaminan
(Assurance) terhadap kualitas yang bertujuan antara lain membantu perbaikan
dan peningkatan secara terus-menerus dan berkesinambungan melalui praktek
yang terbaik dan mau mengadakan inovasi (Saputra, 2011). Undang-undang
No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi berdampak terhadap pengelolaan
penyelenggaraan pendidikan. Di satu sisi kebijakan otonomi pendidikan sangat
berpengaruh positif terhadap berkembangnya perguruan tinggi sebagai lembaga
pendidikan yang berbasis kepada kebutuhan dan tantangan yang dihadapi
dimasyarakat. Keragaman potensi sumberdaya pendidikan dimasing- masing
perguruan tinggi menyebabkan mutu keluaran lulusan sangat bervariasi. Oleh
karena itu, standarisasi mutu regional dan nasional merupakan salah satu faktor
yang harus diperhatikan dalam upaya penjaminan mutu berkelanjutan dan
peningkatan mutu pendidikan (Moerdiyanto, 2010)
Upaya penjaminan mutu berkelanjutan dapat dilakukan dengan
pendekatan PDCA (Plan- Do- Check- Action) yang merupakan suatu proses
pemecahan masalah empat langkah iteratif yang umum digunakan dalam
pengendalian kualitas. Kaitan hasil try out Uji Kompetensi Ners dalam
pendekatan PDCA yaitu cara yang digunakan untuk menggali kelemahan dan
pemecahan masalah terkait keberhasil mutu lulusan Ners dalam mengikuti Uji
102
Kompetensi Ners. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan hasil mayoritas (100%)
dosen memiliki keterlibatan kategori baik dalam pengendalian mutu hasil try out
Uji Kompetensi Ners. Hasil ini menunjukkan bahwa civitas akademika di PSIK
Universitas Jember memiliki komitmen yang baik untuk menghantarkan lulusan
Ners berhasil dalam Uji Kompetensi Ners melalui proses pembimbingan intensif
try out Uji Kompetensi Ners. Komitmen yang baik dari civitas akademika PSIK
Universitas Jember tentunya di dukung karena faktor iklim kerja yang kondusif,
suasana akademisi yag mendukung, serta adanya dukungan pemangku kebijakan
di internal PSIK Universitas Jember. Menurut Rangkayo (2013) menyebutkan
bahwa komitmen yang baik dari seluruh komponen yang terlibat dalam PDCA
merupakan langkah awal yang baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan
sesuai apa yang direncanakan. Tahapan Plan dalam siklus ini merencanakan
dosen terlibat dalam proses pembimbingan intensif selama try out Uji
Kompetensi Ners di internal PSIK Universitas Jember dengan harapan hasil try
out Uji Kompetensi Ners nasional dan hasil Uji Kompetensi Ners dapat 100%
lulus atau di atas nilai batas lulus. Hal ini berarti apa yang telah di Plan- kan
sejalan dengan hasil yang diharapkan.
Tabel 4 menunjukkan hasil Try Out Uji Kompetensi Ners di PSIK
Universitas Jember periode bulan September 2014 sampai dengan periode Juli
2016 (5 periode) yang diikuti lulusan Ners PSIK Universitas Jember
mendapatkan hasil rata-rata nilai try out UKNI sebesar 54,56. Angka ini lebih
tinggi 80% dibandingkan rata-rata hasil try out UKNI secara nasional, namun
nilai tertinggi yang diperoleh lulusan Ners PSIK Universitas Jember dalam
mengikuti try out UKNI belum tertinggi secara nasional. Hasil ini menunjukkan
adanya keberhasilan dalam tahan Check sesuai dengan Plan yang telah disusun.
Menurut Jufina (2012) perencanaan yang baik akan memberikan dampak
output/ hasil yang baik pula. Hasil ini menunjukkan bahwa perencanaan yang
telah disusun dalam tahap Plan sudah dapat dikatakan berhasil baik. Hal ini
sejalan dengan tabel 5 yang menunjukkan hasil statistik p value 0,000 yang
artinya ada hubungan yang signifikan antara keterlibatan dosen dalam
103
penjaminan mutu dengan hasil try out Uji Kompetensi Ners. Keberhasilan dalam
program ini tentunya tidak lepas dari manajemen penjaminan mutu dengan
pendekatan PDCA. Hal ini perlu dilakukan agar penyelenggaraan pendidikan
keperawatan dapat mengukur tingkat keberhasilan dan kualitas lulusan sesuai
dengan indeks kinerja institusi yang telah disusun. Manajemen PDCA dilakukan
sebagai upaya penjaminan mutu berkelanjutan sebuah intitusi pendidikan
keperawatan.
Menurut Jufina (2012) menjelaskan bahwa siklus PDCA tidak hanya
sekedar alat, namun merupakan sebuah konsep atau gambaran proses perbaikan
yang berkelanjutan. Siklus PDCA dapat ditanamkan menjadi budaya organisasi
suatu akademisi untuk menjamin keberlangsungan kualitas sebuah akademik.
Hal terpenting dalam proses PDCA adalah pada langkah “act”. Hal ini
dikarenakan pada tahap ini merupakan tahap terakhir penyelesaian suatu
masalah serta merupakan langkah awal dalam menemukan dan menyelesaikan
masalah selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan siklus PDCA sebagai suatu
tindakan perbaikan yang berkelanjutan. Pelaksanaan implementasi PDCA
menjadi wewenang dan tanggung jawab bagi seluruh civitas akademika dalam
hal ini mengawal suksesnya peserta didik /lulusan Ners mengikuti Uji
Kompetensi Ners. Wewenang dan tanggung jawab tersebut bukan sekedar
kumpulan semua aktivitas yang harus dijalankan namun tetap perlu
diharmonisasikan atau diseimbangkan. Tujuan dari Siklus PDCA ini adalah untuk
melakukan perbaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan keperawatan secara
terus menerus. Jangan sampai wewenang dan tanggungjawab ini terlalu berat
untuk dijalankan atau tidak dapat dijalankan karena tidak sesuai dengan
fungsinya.
SIMPULAN
Analisis hasil try out Uji Kompetensi Ners berbasis PDCA di PSIK Universitas
Jember menunjukkan bahwa mayoritas dosen memiliki keterlibatan dalam
pengendalian mutu dalam kategori baik. Hasil try out Uji Kompetensi Ners
104
lulusan PSIK Universitas Jember selama 5 periode mendapatkan rata-rata 54,56.
Uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara keterlibatan
dosen dalam pengendalian mutu dengan hasil try out Uji Kompetensi Ners
dengan pendekatan PDCA di PSIK Universitas Jember ( p value = 0,000, CI=
0,190; 0,845). Hasil ini merekomendasikan merekomendasikan kepada Ketua,
Sekretaris I bidang Akademik, dan Dosen PSIK Universitas Jember, agar
pengendalian mutu proses pembimbingan try out Uji Kompetensi Ners berbasis
PDCA dapat diterapkan demi peningkatan hasil pencapaian kelulusan Uji
Kompetensi Ners Indonesia.
Ucapan terima kasih kepada : Ketua PSIK Universitas Jember, Sekretaris I,
Dosen PSIK Universitas Jember, Bagian Profesi Ners PSIK Universitas Jember dan
Lulusan Ners Angkatan 11 sampai angkatan 15 PSIK Universitas Jember.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pedoman Penjaminan Mutu (Quality
Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Depdiknas. Jufina. (2012). Implementasi PDCA dalam Continuous Improvement Perusahaan.
Diakses 10 Januari 2017 jam 15.45 WIB melalui http://indosdm.com Moerdiyanto. (2010), Strategi Pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.
Diakses 10 Januari 2017 jam 15.15 WIB melalui http://indosdm.com Rangkayo. (2013). Memahami Konsep PDCA sebagai Model mencari Akar Masalah.
Diakses 12 Januari 2017 Jam 20.23 WIB melalui http://www.adln.lib.unair.ac.id
Ristek Dikti (2016). Siaran Pres. No. 08/SP/HM/BKKP/IV/2016. diakses 12
Januari 2017 jam 21.15 WIB melalui http://ristekdikti.go.id/implementasi-uji-kompetensi-nasional-bidang-kesehatan-sebagai-langkah-konkrit-penjaminan-mutu-pendidikan-tinggi-kesehatan/
Saputra S. (2011). Penjaminan Mutu Pendidikan Melalui PDCA. Diakses 11
Januari 2017 Jam 21.35 WIB melalui http://gears99.blogspot.co.id/2012/04/penjaminan-mutu-pendidikan.
105
CORE COMPETENCIES ON CARE OF THE DYING, DEAD AND BEREAVED FOR UNDERGRADUATE NURSING STUDENTS: A SCOPING REVIEW
Hana Rizmadewi Agustinaa, Karen Coxb, Christine Moffattc and Bridget Johnstond
aPhD student at Nottingham Care Centre for the Advancement Research into Supportive, Palliative and End of Life Care (NCARE) , School of Health Sciences, University of Nottingham, United Kingdom. bProfessor of Cancer and Palliative Care, Nottingham Care Centre for the Advancement Research into Supportive, Palliative and End of Life Care (NCARE), School of Health Sciences, University of Nottingham, United Kingdom. cProfessor of Clinical Nursing, Derby Teaching Hospitals NHS Foundation Trust, School of Health Sciences, University of Nottingham, United Kingdom d Florence Nightingale Foundation Professor of Clinical Nursing Practice Research, School of Medicine, Dentistry & Nursing, College of Medical, Veterinary & Life Sciences, University of Glasgow, United Kingdom. Correspondence: [email protected]
Abstract
Few studies about the analysis of core competencies and curricula, prior to
developing specific education on palliative and end of life care for preregistration
nursing students particularly in the limited-resource settings. Aim This study
aimed to map the international core competencies related to care of the dying,
dead and bereaved for undergraduate nursing education. Searched was
conducted for eight months from May to November 2016 using electronic
databases and popular search engines. Using controlled vocabulary, English
language documents from January 1990 to December 2015 were retrieved and
then included in the review, yielding a sample of 11 documents. Findings
highlighted sixteen core competencies obtained from various
organisations/institutions related to the development of palliative and end of life
care. The institutions were identified majority located in the rich-resources
countries meanwhile little known in the resources-poor countries. The reviewed
core competencies have demonstrated the integration of cognitive, affective and
psychomotor aspects in delivering palliative and end of life care. The present
challenges are mostly related to what is the best educational strategies should be
delivered as well as what are outcome measures and how those can be accurately
measured. Further research is needed to compare and contrast the national core
competencies of undergraduate nursing programme with the international
competences as a benchmark, can help to illuminate the gaps and potential
106
solution to develop more comprehensive and applicable competencies prior to
develop a new course or training.
Key Words: care of the dying, competency, dying and death, bereavement care,
end of life care, palliative care, preregistration student nurses, and
undergraduate education.
KOMPETENSI INTI PERAWATAN MENJELANG KEMATIAN, SAAT KEMATIAN
DAN BERDUKA (CARE OF THE DYING, DEAD AND BEREAVED) UNTUK
MAHASISWA S1-KEPERAWATAN
Abstrak
Beberapa penelitian tentang analisis kompetensi inti dan kurikulum, sebelum
mengembangkan pendidikan khusus tentang perawatan paliatif dan menjelang
akhir kehidupan (palliative dan end of life care) bagi mahasiswa keperawatan
tingkat sarjana khususnya dinegara dengan keterbatasan sumber daya. Tujuan
Studi literatur ini bertujuan untuk memetakan kompetensi inti perawatan
menjelang kematian, paska kematian dan berduka untuk pendidikan
keperawatan sarjana. Pencarian dilakukan selama delapan bulan dari bulan Mei
sampai December 2016 dengan menggunakan CINAHL, Medline, PsyInfo,
EMBASE, Web of Science, AMED, ASSIA, dan ERIC. Mesin pencari yang popular
seperti Google, EThOS, dan proQuest juga digunakan untuk mencari artikel non-
penelitian. Dengan menggunakan kosakata yang spesifik, peneliti berhasil
mengumpulkan dokumen yang berbahasa Inggris dari bulan Januari 1990
sampai Desember 2015. Sebanyak 11 dokumen telah terkumpul sesuai dengan
kriteria inklusi yang selanjutnya dilakukan analisis konten secara kualitatif. Hasil
kajian ini menemukan enam belas kompetensi inti terkait dengan perawatan
sakaratul maut, paska kematian dan berduka. Mayoritas institusi yang
mengembangkan kompentensi inti berlokasi di negara dimana perawatan paliatif
dan menjelang kematian sudah lebih berkembang dibanding negara lainnya.
Kompetensi inti yang ditelaah menunjukkan adanya integrasi aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik dalam memberikan perawatan paliatif dan menjelang
akhir kehidupan. Tantangan lain yang perlu diantisipasi terkait dengan strategi
pendidikan yang harus disampaikan serta hasil pengukuran dan bagaimana
keluaran tersebut dapat diukur secara akurat. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk membandingkan kompetensi nasional inti pendidikan sarjana
107
Keperawatan dengan kurikulum internasional, untuk mengembangkan
kompetensi yang lebih komprehensif sebelum membuat suatu program
pendidikan atau pelatihan yang baru tentang perawatan paliatif dan menjelang
kematian.
Kata Kunci: kompetensi, perawatan paliatif, perawatan menjelang kematian,
pendidikan tinggi, sakaratul maut, sarjana Keperawatan.
INTRODUCTION
A lack of palliative care and end of life care (PEOLC) education has contributed in
the development of apprehension feeling and reluctances to deal with dying and
death among nurses and student nurses (Costello, 2006; Mallory, 2003). They
may also contributing to prolonging the suffering of dying persons due to
inappropriate communication, a lack of compassion or unresolved personal
issues about death and dying (de Araujo et al., 2005; Hallifax, 2011). In addition,
the presence of personal death anxiety and fear of death may lead to students’
avoidance to care for the dying patients and their families (Allchin, 2006; Ek et
al., 2013). Thus, research suggests that palliative and end of life care education
positively influences student nurses’ attitudes toward death and caring for dying
persons (Gallagher et al., 2014; Mallory, 2003). An early introduction and
extensive exploration of death issues along with practical experience is necessary
in undergraduate nursing programs in order to adequately prepare nurses to
provide supportive care to dying persons and their families (Jacono et al., 2011).
It is argued that the establishment of a stand-alone palliative care and end of life
care course could be more beneficial than an integration of material throughout
the curriculum and highlights the need for the development of competencies to
guide a curriculum (Jacono et al., 2011). Hence, nursing education providers
needs to evaluate and improve their standard of competencies in order to
prepare the students to provide good quality of care for dying people and their
families. Yet, established core competencies from western countries may not
reflect culture, beliefs, values and the actual needs of stakeholders in non-
108
western countries. Therefore, we conducted this scoping review to exploring
what are the core competencies relating to the care of the dying, dead and
bereaved during their preregistration training period. Findings are
expected to contribute to further development of the body of knowledge in
palliative and end of life care education particularly in developing countries.
METHOD
A scoping review in this study is defined as a preliminary assessment of available
literature underpinning a specific topic (Arksey and O’Malley, 2005). This
systematic framework assists the researchers to identify and review the available
literature with breadth and depth (Pesut et al., 2014). A scoping review
method was selected because little is known (Fang et al., 2016) about the core
competencies of undergraduate nursing students pertaining to palliative and end
of life care in the recent publications. According to Arksey and O’Malley (2005),
there were five steps involved in this study namely: 1) identifying
the initial research question; 2) identifying relevant studies; 3) study selection;
4) charting the data, and 5) collating, summarizing and reporting the results
(Arksey and O’Malley, 2005; Fang et al., 2016; Pesut et al., 2014).
The researcher has in advance identified four specific questions about
educational issues as follows: 1) what are core competencies related to the care
of the dying, dead and bereaved for undergraduate nursing students?; 2) how the
core competencies are translated into the curriculum, 3) what are the
measurements of core competencies, and 4) are there any gaps between
countries in related to palliative care and end of life core competencies?.
After obtaining the articles or related documents, we checked their titles and
abstracts and later the full texts to see if the inclusion criteria were met. We
included quantitative, qualitative, mixed methods, published and unpublished
manuscripts. Other grey literature is included when it is matched with the
inclusion criteria. Since this study only involved information about and analysis
109
of opened-accessed documents, an ethical approval was not necessary to
be obtained from the institution (Pereira et al., 2016). All English qualitative,
quantitative, mixed methods, grey literature were included in this scoping review
(Fang et al., 2016) to explore the extent, depth and breadth of available
literature in order to answer the proposed research questions (Mazzotta, 2016).
The search strategy process is described in diagram 1.
Table 1. Inclusion and exclusion criteria
Inclusion Exclusion
Published/created between 2000-2015 Not published/created between 1990-
2015
Focuses on end-of-life/palliative care
education
Not focused on end-of-life/palliative
care education
Involved undergraduate nursing
students
Not involved undergraduate nursing
students
Contact person available in the website Contact person not available in the
website
Contact person responded and
provided required materials
Contact person do not response or
rejects to provide required materials
Available free-of-charge Require a fee
Resources written in English No abstract or summary is written in
English
Furthermore, searching for all available undergraduate nursing curricula was
conducted using major databases such as CINAHL, EMBASE, Medline, PsyINFO,
ASSIA, and Web of Sciences for journal articles published from January 1990 to
December 2015. Another search engines such as ProQuest, ETHOS, Google and
Google Scholars were used to search any thesis, manuscripts, guidelines and
other grey literatures related to the search terms. The eligibility criteria for the
core competencies are relatively broad to include all potential resources. In this
110
study, the key terms were employed namely: palliative care, end of life care,
death and dying, bereavement care and bereaved, hospice care, and terminal care
in combination with core competencies, outcomes, and undergraduate nursing
students. In this review, we proposed clear search terms as mentioned in the
below table.
Table 2. Search terms used in electronic databases and search
Search terms
Care Palliative care, end of life care, terminal care, hospice care,
bereavement care
Competency Competent, competenc*, outcome*, performance*,
Nursing
education
Teaching, classroom-based, clinical teaching, training
Undergraduate Bachelor degree, pre-registration, pre-licensure, pre-
certification
Prior to scoping the literature, we used the list of countries of palliative care
services and education providers from the International Association of Hospice
and Palliative Care (IAHPC) and the Asia-Pacific Palliative and Hospice Care
Network (APHN) to guide me finding the eligible institutions in Asia. We have
also contacted the ELNEC organisation in the U.S to provide the lists of
the country developed the end of life care education for undergraduate nurses in
Asian countries (Malloy, 2016).
The next step focused on clustering the information gathered from all available
undergraduate nursing curricula. Furthermore, baseline data are
extracted including years of publication, source, country, author, institution, and
the name of programmes, the purpose of undergraduate curricula, topics,
111
teaching strategies, assessment methods, duration of programmes, and
effectiveness study if any. A descriptive content analysis was further
conducted towards the open-accessed documents and responses given to the
email request. Descriptive tabulation was performed to cluster the obtained data.
Documents were analysed using a deductive content analysis
to examine contents related to palliative and end of life care core competencies.
Data analysis and synthesis were made guided by the review aims and results are
presented under themes.
Records identified through database
searching CINAHL, Medline, PsyInfo, ASSIA,
AMED, EMBASE, Web of Sciences
(n = 264)
Additional records identified through other
sources (Google, Google Scholar, ETHOS,
ProQuest, IAHPC, ELNEC, APHN and others),
(n = 143)
Records after duplicates removed
(n = 121)
Records screened
(n = 98)
Records excluded
(n =70)
1. Did not involve
preregistration nursing
students.
2. Not related to palliative and
end of life care.
Full-text articles assessed for
eligibility
(n = 28)
Full-text articles excluded:
1. Did not specifically contain competencies related to palliative and end of life care.
2. Contact persons have rejected to give further information.
3. Not written in English (n=17)
Studies included in this review
(n=11)
Published article (n=3)
Organisation (n=7)
Hand search (n=1)
Ide
nti
fica
tio
n
Scre
enin
g El
igib
ility
In
clu
sio
n
Diagram 1. Search strategy
112
RESULT
To the best knowledge of authors, this is the first scoping review has ever done
to evaluate core competencies of care of the dying, dead and bereaved for
undergraduate nursing students. Furthermore, the author has identified 11
organisations that provided information about core competencies in the articles
or their websites. Thus, the literature searches yielded so far are 11 documents
from different countries such as Asia and Pacific (Hongkong, Japan, India,
Singapore, and Australia), United States, Canada, Columbia, Europe, and Sub
Saharan Africa. The most common competencies as found in the files were
summarised in table 3. Overall, this study has identified four broad themes
namely: nursing role in palliative and end of life care, core competencies,
learning outcomes and/or learning objectives, and outcome measurements.
3.1.1 Nursing roles in palliative care approach The Canadian Nurses Association (CNA), the Canadian Hospice Palliative Care
Association (CHPCA) and the Canadian Hospice Palliative Care Nurses Group
(CHPC-NG) believed that:
Initiating communication that reflects people’s values and health-care
wishes;
Honoring the values and health-care wishes of persons and supporting
families;
Advocating for and supporting persons in their experience of living and
dying;
Providing comprehensive, coordinated, compassionate and holistic care to
persons and their families;
Attending to pain and other symptom relief and to psychosocial, grief and
bereavement support to maximize a person’s quality of life and death;
Providing a compassionate and therapeutic presence to persons and families,
including support for grief and bereavement, throughout the dying process;
and
113
Advocating for resources that support persons and families in choosing their
preferred environment for a peaceful and dignified death.
(CAN, CHPCA, and CHPC-NG, 2015)
3.1.2 Core competencies in palliative and end of life care
We have also identified several documents contained learning outcomes instead
of using the terminology of core competencies. Thus, the terminologies are
used interchangeably here. Indeed, there is a considerable confusion in the
literature regarding the meaning of the term competence and the relationships
between competences or competencies and learning outcomes (Kennedy, Hyland
and Ryan, 2009). Adam (2004) comments some people poses narrow view that
competence is skills acquired by training. Similarly, Brown and Knight (1995)
stated that ‘competence probably replaces, albeit at a more sophisticated level,
the concept of skills. However, The UK training agency (1989) refines
competence is a wide concept which embodies the ability to transfer skills and
knowledge to the new situation and planning of work (Training Agency UK,
1989). The concept of competence is further described by Miller et al. (1988)
using nursing as a focus area. They propose two definition of competence which
is described as ‘the ability to perform nursing tasks’ in the narrow view. In a
broader view, competence is a ‘psychological construct’ requiring the evaluation
of the nurse’s ability to integrate cognitive, affective and psychomotor skills
when delivering nursing care (Miller et al., 1988). Furthermore, the author has
summarised sixteen themes learning outcomes and then clustered the outcomes
based on domain of competences following Bloom taxonomy (1956).
114
Table 3. Summaries of international core competencies of palliative and end of life care
No.
Core Competencies
Sources Palliu
m India (2013
)
Hongkong
Council of
Nursing
(2013)
Lien Foundat
ion Singapo
re (2015)
ELNEC Japan (2013
)
PCC4U Austral
ia (2010)
EAPC Europe (2013)
AACN/ ELNEC
US (2015)
IAHPC (2015
)
APCA Africa
(2013)
CAHPC
Canada
(2011)
ALCP Colombia (2016)
(1) (2) ( 3 ) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1 Palliative care and health care policy
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Effective communication
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Provide nursing care plan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 Symptom management
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Care of imminent dying
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
6 Care of dead body √ √ √ - - √ √ - √ √ - 7 Bereavement care √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ 8 Cultural sensitivity √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 9 Spiritual care √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
10 Ethics and laws in decision making
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
11 Psychosocial and √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
115
economics considerations
12 Managing family and caregiver
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
13 Self-care management
√ - - - - √ √ - √ √ -
14 Interprofessional teamwork in coordinating care for patients and family
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
15 Professional development
- √ - √ √ √ - - - √ -
16 Evidence-based practices and research development
- - - - √ √ - - - √ -
116
3.1.3 Learning outcomes related to palliative and end of life care
In this review, the author has identified sixteen potential learning outcomes
from the documents. The learning outcomes are further paired with the
domain of learning that consists of cognitive, affective and psychomotor
(Bloom, 1956).
Table 4. Summarised learning outcomes
No.
Potential Learning
Outcomes
Domain of learning
Cognitive Affective Psychomotor
1 Understands philosophy and concept of palliative and end of life care, dying and death.
√ √ -
2 Identifies environmental issues and financial impacts of current illness to the patient and family.
√
√
-
3 Recognises and responds to the unique needs for palliative and end of life care among patients and their families of various populations.
√
√
√
4 Establishes effective and compassionate communication with dying patients, family and other health professionals.
√ √ √
5 Demonstrates knowledge and skill in holistic, family-centered nursing care of persons at end-of-life who are experiencing pain and other symptoms.
√ √ √
6 Assess, plan, and treat patients’ physical, psychological, social and spiritual needs to improve quality of life for dying
√ √ √
117
patients and their families. 7 Recognises ethical, cultural
and spiritual values and beliefs about serious illness, dying and death, as well as moral distress and dilemmas.
√
√
-
8 Educate the patient, family, health care team members, and the public about palliative and end of life care issues.
√
√
-
9 Demonstrate respect for the patient and family values, preferences, goals of care, and shared decision-making at end of life.
√
√
√
10 Provide culturally sensitive care for patients and their families at the end of life.
√
√
√
11 Demonstrates the ability to attend to psychosocial and practical issues such as planning for home death and after death care.
√
√
√
12 Evaluate patient and family outcomes from palliative and end of life care.
√
√
√
13 Implement self-care strategies to support coping with suffering, loss, moral distress and compassion fatigue.
√
√
-
14 Recognises the needs to have an interprofessional collaboration for providing the best quality end of life care.
√
√
-
15 Recognises the needs to improve individual capacity and professionalism.
√ - -
16 Identifies evidence-based practices in palliative and end of life care to develop further
√ - -
118
research in order to improve the quality of services.
Outcomes measures
Various instruments were utilised to measure the learning outcomes which
have focused on assessing knowledge, attitudes and perceived skills. Most
curriculum developers used self-reported instruments to measure students’
outcomes (Divlaslaya et al., 2014; Hwang et al., 2005; Jo et al., 2009; Jo and
An, 2013; Kim et al., 2015; Wong, 2015) where only two
studies combined the instruments together with qualitative interviews
(Hwang et al., 2005; Takenouchi et al., 2013). Others used a qualitative
interpretive method to evaluate students’ journal after given educational
interventions (Liu et al., 211; Mok et al., 2002; Wong et al., 2001). However,
reports on clinical or patients’ outcome were not reported in all studies.
Table 5. Outcomes measures, methods and utilisation
Outcome
measures
Quantitative Qualitative
Knowledge of palliative and end of life care
Modified Instrument Palliative Care Quiz for Nurses
(PCQN)
Interview
Death anxiety Death Anxiety Scale (DAS) (Templer, 1970)
Interview
Fears of death Collet-Lester Fear of Death Scale Interview Attitudes towards care of the dying
FATCOD-B (Frommelt, 2001) Interview
Attitudes towards death
Death Attitude Profile (DAP-R) (Wong et al., 2009) Attitudes towards death (Inumiya, 2002)
Interview
Meaning of life Meaning of Life Scale (C-PIL) Positive Meaning towards Life
Reflective journal
119
(C-PML) Perceived communication skills
Communication Assessment Tool (CAT) (Makoul et al., 2007)
Reflective journal
Perceived self-competence
Modified instrument Reflective journal Semantic Differential Ratings of Life
and Death (SD-Life and SD-Death) (Wong et al., 2009)
DISCUSSION
The majority developed countries have developed their national palliative
care and end of life care core competencies guidelines. However, there is a
discrepancy in terms of utilised jargons (Jacono et al., 2011). Most of them
specifically mention the core competencies; however, others used learning
outcomes and/or objectives to guide the course developers to create
contents and educational strategies for their students. This situation may
lead to greater variances in terms of quantity and quality of given
educational intervention (Pesut et al., 2014). Essentially, the absence
of guidelines may lead to greater variances in terms of quantity and quality
of given educational intervention (Pesut et al., 2014).
The unstandardised syllabuses and teaching methods may resulted from
unclear competencies or learning outcomes (Gillan et al., 2013). Therefore,
more clear definition is needed prior to developing a particular curriculum
for undergraduate students. However, the ‘fuzziness’ of competences
disappears in the clarity or learning outcomes because the term describes
what students are expected to know, understand, and/or able to
demonstrate at the end of a module or programme (Kennedy et al., 2009,
p.15). Thus, the authors define the term of competence as ‘a cluster of
related knowledge, skills and attitudes that affect a major part of an
individual role or responsibility, which correlates with professional
120
performance, and which can be measured against well-accepted standards,
and improved via training and development’ (Gamondi et al., 2013, p.89).
There are proliferation studies regarding core competencies development in
palliative and end of life care. In Canada, Jacono et al. (2011) have identified
eleven core competencies in palliative and end of life care incorporated into
undergraduate nursing curriculum across countries. Meanwhile, the
European Association of Palliative Care (EAPC) has launched the white
paper of palliative care core competencies for nurses in 2013. They propose
ten core competencies that guide curriculum developers in the European
universities to develop palliative care courses (Gamondi et al., 2013). More
recently The American Association of College of Nursing (AACN) has
published seventeen competencies of care of peacefully death as the new
core competencies related to palliative and end of life care that should be
embedded in undergraduate nursing curriculum in the United States (AACN,
2015). Similarly, the Hongkong Nursing Council (2005) has declared their
position statement about the importance of providing end of life care
education for nurses. They adopted the former AACN core competencies for
undergraduate nursing students (AACN, 2005). This policy has mandated
the nursing schools to insert end of life care in their generic curricula (Mak,
2010). Although palliative and end of life care has incorporated into a new
curriculum for undergraduate nursing students in Indonesia (AINEC, 2016),
the national core competencies on PEOLC has not determined.
Several authors use the terms of ‘palliative care’, ‘end of life care’, ‘death
education’, ‘dying and death education’ and ‘care of terminal illnesses’. The
inconsistency in the utilisation of palliative care and end of life care
terminologies remains unresolved (Russell, 2015). Many health
professionals have in fact associated palliative care with ‘caring for a person
approaching death’ in the Chinese cultural setting (Gao, 2012) as well as in
121
Indonesia (Enggune et al., 2014). In the U.K, Watts (2014) found
undergraduate nursing students have difficulties to differentiate between
palliative and end of life care. This view might hinder the development
of palliative care services in the country so that clarifying perception about
palliative care and end of life care is essential. Hence, more operational
definition is needed to develop a new specific curriculum relating to dying
and death. In our study, we propose the definition of care of the dying, dead
and bereaved as ‘to assist persons and their families who are facing
imminent death to have best quality of life possible until the end of their life,
to assist in handle deceased body and to provide supports for bereaved
family regardless of their psychosocial and cultural background’ (AACN,
2008; ICN, 1997; Izumi and Nagae, 2012; Standards of Nurses’ Competencies
of Indonesia, 2014; WHO, 2002).
Thus, a lack of understanding of global trends and issues about the care of
the dying, dead and bereaved both in academic and practice settings is
persisted. It is paramount important to consider other countries’
perspectives as a curriculum framework especially if there are
limited resources in the institution (Ury et al., 2002). Nevertheless, the
concept of ‘competence’ is complex and has a varied definition (Pereira et al.,
2011). Competence consists of integrated pieces of knowledge, skills and
attitudes that can be used to carry out a professional task successfully
(Gamondi et al., 2013). The absence or unclear competencies may lead to
the difficulty to determine the best teaching-learning approach
to achieve the competencies at the end of an educational programme.
Therefore, it is recommended to conduct a review of pre-established core
competencies on the care of the dying, dead and bereaved before moving
further to improve an existing curriculum or developing a new specific one
(Jacono et al., 2011). This can be followed by conducting a gap analysis
(Fater, 2013) to compare the international core competencies with the
122
national or local competencies. This method aims to identify gaps in terms of
cognitive, affective and psychomotor aspects contained in the recent
curriculum. Thus, results will inform the curriculum developer to adjust or
improve the curricular component prior to the implementation of the new
curriculum in a particular institution. Furthermore, seeking a
consensus about core competencies and curriculum components involving
experts in palliative care and end of life care can help the institution to
improve their curriculum in the future (Kizawa et al., 2011; Pastrana et al.,
2016).
Findings highlighted more emphasis on cognitive measurement than
behaviour and psychomotor components in the curricula. Thus, Lippe and
Carter (2015) suggested the future end of life care curriculum should
measure outcomes directly to learning, such as competency in providing
care of the dying and imminent death to the patient and families, knowledge
and transfer from classroom to clinical settings. However, not all students
have opportunities to care for dying patients and their families especially
when palliative or hospice unit is absence in the learning environment (Edu-
Gual et al., 2014; Liu et al., 2011). Hence, nurse educators must assess
learning outcomes to determine the effect of education on students who are
not necessarily interested in the topics (Gillan et al., 2013; Lippe and Carter,
2015). In addition, they must ensure those who are not directly exposed to
the situation, still receive the benefit of such education and experience
supportive learning situation (Poultney et al., 2013). This issue warrants
further examination in the limited-resources countries such as Indonesia.
Limitation Studies
There are a number of limitations of this scoping review that need to
be mentioned. In this study, the search strategy included control
123
vocabularies, limited databases and other online resources, and relatively
small number of publications or documents related to this topic. The review
was not restricted to English full-texts publications only since the authors
have used non-English literature provided abstracts or executive summaries
written in English. However, the full-texts of non-English documents were
not further reviewed which might contribute to the less comprehensive
analysis. Also, the focus of this paper was on core competencies and learning
outcomes related to the care of the dying, dead and bereaved for
undergraduate nursing students. The author also cannot weigh the selected
papers because of various methodologies were utilised. Nevertheless, this
scoping review aims to be a comprehensive but not exclusive review of the
current available evidence-based palliative care and end of life care
competencies for undergraduate student nurses.
CONCLUSION AND RECOMMENDATION
The literature has highlighted the proliferation studies of core competencies
development related to palliative and end of life care across the world.
Findings demonstrated that the majority of countries have specific
guidelines to deliver palliative care and end of life care education for nurses
and student nurses. However, few studies reported the development of core
competencies in palliative and end of life care in the lower-middle income
countries. Basically, the wide diversity and complexity of palliative and end
of life care, combined with lack of core competencies, will create difficulties
in determining the best evidences-based in both practice and academic
settings. Therefore, reviewing pre-established core competencies might help
the nurse practitioners and educators to develop palliative care course or
training that meet global perspectives. Developing core competences related
to care of the dying, dead and bereaved based on local context is important.
This issue can be a further research agenda involving multi stakeholders’
perspectives.
124
Acknowledgement
This scoping review was conducted as a part of PhD project entitled ‘Care of
the Dying, Dead and Bereaved: Developing the Curriculum for
Undergraduate Nursing Students in a Public University in Indonesia’. This
research project is registered in the Nottingham Centre for the Advancement
Study into Palliative Care, Supportive Care and End of Life Care (NCARE), the
School of Health Sciences of University of Nottingham, United Kingdom. We
would particularly like to thank to the Ministry of Research, Technology and
Higher Education of the Republic of Indonesia to fully fund this PhD study.
We also would thank to all contributors who shared their valuable
information and ideas to the development of this study.
REFERENCES
Abudari, G., Zahreddine, H., Hazeim, H and Al Assi M. et al. (2014)
Knowledge of and attitudes towards palliative care among
multinational nurses in Saudi Arabia International Journal of
Palliative Nursing 20(9): pp. 435-441.
Arksey H, O’Malley L. (2005) Scoping studies: towards a methodological
framework. International Journal of Social Research Methodology
8(1): pp. 19–32
Bassah, N., Seymour, J., and Cox, K. (2014) A modified systematic reviewed of research evidence for pre-registration nurses in palliative care BMC Palliative Care 13:56
Bassah, N., Seymour, J., and Cox, K. (2016 ) A qualitative evaluation of the
impact of a palliative care course on preregistration nursing students’ practice in Cameroon BMC Palliative Care 15:37
Brown, S., Black, F., Vaidya, P., Shresthamet, S. et al. (2007) Palliative Care
Development: The Nepal Model. Journal of Pain and Symptom Management 33(5): pp. 573-577.
125
Chang Gung University School of Nursing (2016) Undergraduate Nursing Curriculum. Chang Gung University School of Nursing. Taiwan
Chen Y, Ben KSD, Fortson BL & Lewis J (2006) Differential dimensions of
death anxiety in nursing students with and without nursing experience. Death Studies 30, 919–929.
Chow S.K.Y., Wong, L.T.W, et al. (2014). The impact and importance of
clinical learning experience in supporting students in end-of-life care: Cluster Analysis. Nurse Education in Practice 14: pp. 532-537.
Condon, B.B., Grimsley, C., Kelley, T., et al. (2014) End of life and Beyond as
Hidden Curriculum. Nursing Science Quarterly 27(1): pp. 23-28. Costello J. (2006) Dying well: nurse’s experiences of “good and bad” deaths
in the hospital. Journal of Advanced Nursing 54: pp. 594–601. Divyalasya TVS, Vasundara K, Pundarikaksha HP. (2014) Impact of
educational session on knowledge and attitude toward palliative care among undergraduate medical, nursing and physiotherapy students: a comparative study. International Journal of Basic Clinical Pharmacology 3: pp. 442-446.
End of Life Issues (2013) The Hongkong Polytechnic University School of
Nursing Syllabus. Available at http://sn.polyu.edu.hk/en/programmes/syllabus/undergraduate_programme/. Accessed on 30 June 2016
End-of-Life Nursing Education Consortium (ELNEC) (2012) History,
Statewide Effort and Recommendations for the Future: Advancing Palliative Nursing Care [Online]. Available At: http://www.aacn.nche.edu/elnec/publications/ELNEC [Accessed January 30th 2015].
European Association for Palliative Care (EAPC) (2004) A guide for the
development of Palliative Care Nurse Education in Europe [Online]. Available At: http://www.eapcnet.eu/ [Accessed December 20th 2014].
Faculty of Nursing Universitas Padjadjaran (2015) Curriculum for
Undergraduate Nursing Education. Available at www.fkep.unpad.ac.id. Accessed on 10 January 2016
126
Fakultas Keperawatan Universitas Esa Unggul (2014) Kurikulum Pendidikan Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners. Jakarta Indonesia. Available at http://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/2016/08/Kurikulum-Ilmu-Keperawatan.pdf. Accessed on 15 September 2016
Fang, ML, Sixsmith J., Sinclair, S and Horst, G. (2016) A knowledge synthesis
of culturally and spiritually sensitive end-of-life care: findings from a scoping review. BMC Geriatrics 16: pp. 1-14.
Fater, K. H. (2013). Gap analysis: a method to assess core competency
development in the curriculum. Nursing Education Perspectives 34: p. 101
Gamondi, C., Larkin, P and Payne.S (2013) Core competencies in palliative
care: an EAPC White Paper on palliative care education – part 2. European Journal of Palliative Care 20 (2)
Gao, W (2012) Palliative Care in China: Current Status and Future Directions.
Journal of Palliative Care Medicine 2: p. 113. doi:10.4172/2165-7386.1000e113
Gillan PC, van der Riet PJ, Jeong S. (2014) End of life care education, past and
present: a review of the literature. Nurse Education Today 34(3): pp. 331-342.
Higher Education Commission Islamabad (2011) Curriculum of Nursing 4-
Year Degree Programme. Islamabad Pakistan. Available at http://www.pnc.org.pk/admin/uploaded/HEC%20BSN%204%20Year.pdf. Accessed on 17 September 2016
Hirakawa Y, Masuda Y, Uemura K, et al. (2005) National survey on the
current status of programs to teach end of- life care to undergraduates of medical and nursing schools in Japan. Nippon Ronen Igakkai Zasshi 42: pp. 540–545.
Huang HL, Chang JY, Sun FK & Ma WF (2010) Nursing students’ experiences
of their first encounter with death during clinical practice in Taiwan. Journal of Clinical Nursing 19: pp. 2280–2290.
Hwang HL, Huey-Shyan and Chen WT (2005) Evaluation of Life and Death
Studies Course on Attitudes toward Life and Death among Nursing Students. Kaohsiung Journal Medical Science 21: pp. 552–560.
127
Huijer, Has, Dimassi, H and Abboud, S. (2009) Perspectives on palliative care in Lebanon: Knowledge, attitudes, and practices of medical and nursing specialties. Palliative and Supportive Care 7: pp. 339–347.
Initiation of Palliative Care for Nurses (2016) Lien Foundation Singapore.
Available at https://ww.duke-nus.edu.sg/lcpc/education/initiation-to-palliative-care-for-nurses. Accessed on 10 September 2016
Jacono, B., Young, L., Baker, C., et al. (2011) Developing Palliative Care Core
Competencies for the Education of Entry Level Baccalaureate Prepared Canadian Nurses. International Journal of Nursing Education Scholarship 8 (1)
Jo, K., Doorenbos, A.Z., Ju An, G. (2009). Effect of an end-of-life care education
program among Korean nurses. Journal of Hospice and Palliative Nursing 11 (4), 230–238
Jo, K. and An, G.J. (2015). Effect of end-of-life care education using
humanistic approach in Korea. Collegian 22(1): pp. 91-7. Kaohsiung Medical University College of Nursing (2015) Available at
http://fonursing.kmu.edu.tw/index.php/en-GB/curriculum. Accessed on 10 September 2016
Kerala University School of Health Sciences Four-year BSc Nursing (2010)
Available at http://kuhs.ac.in/files/syllabus/2010_11/BScNurs/nu_1011_corrected_file.pdf. Accessed on 18 September 2016
Kiang Wu Nursing College (2016) Undergraduate Nursing Program
Description. Kiang Wu Nursing College. Macau. Available at http://www2.kwnc.edu.mo/?page_id=5761. Accessed on 12 October 2016
Kim, SH and Kim, DH (2015) Development and Evaluation of Death
Education Program for Nursing Students. Korean Academic Fundamental Nursing 22 (3): pp. 277-286.
Kim SH. (2015) A Meta-Analysis of Effectiveness of Death Education. Korean
Journal Hospice Palliative Care 18 (3): pp. 196-207. Kizawa Y, Tsuneto, S, Tamba, K., Takamiya, Y. et al. (2011) Development of a
nationwide consensus syllabus of palliative medicine for
128
undergraduate medical education in Japan: A modified Delphi method Palliative Medicine 26(5): pp. 744–752.
Kwang HY, Yong HK, Sang YA. et al. (2014) A Study on Factors Affecting the
Need for Preparation Education for Well-dying of University Students International Journal of Bio-Science and Bio-Technology 6 (6): pp.67-78
Liu Y-C, Su P-Y, Chen C-H, et al. (2011) Facing death, facing self: nursing
students’ emotional reactions during an experiential workshop on life-and-death issues. Journal of Clinical Nursing 20(5-6): pp. 856-863.
Macaden SC, Salins N, Muckaden M, Kulkarni P, Joad A, Nirabhawane V, et al.
(2014) End of life care policy for the dying: Consensus position statement of Indian association of palliative care. Indian Journal of Palliative Care 20(3):171-81.
Macau Polytechnic Institute School of Health Sciences (2016).
Undergraduate Nursing Programme. Macau Polytechnic Institute School of Health Sciences. Macau Available at http://www.ipm.edu.mo/sciences/en/bsn_course_description.php. Accessed on 12 October 2016
Mak, M. H. J. (2010). Quality insights of university students on dying, death,
and death education—A preliminary study in Hong Kong. Omega: Journal of Death and Dying 62(4): pp. 387–405.
Mallory JL. (2003) The impact of a palliative care educational component on
attitudes toward care of the dying in undergraduate nursing students. Journal Professional Nursing. 19(5): pp. 305-312.
Miyashita, M (2013) the Syllabus of Palliative Care for Cancer Patients and
Their Families. Tohoku University Japan (Personal communication). Moon H., Cha S., and Jung, S. (2015) Effects of a Well-dying Program on
Nursing Students. Korean Journal Hospice and Palliative Care 18(3): pp. 188-195.
Mok, E., Lee, W.M., Wong, F.K. (2002). The issue of death and dying:
employing problem based learning in nursing education. Nurse Education Today 22: pp. 319–329.
129
Naifeh Khoury M. (2008) Palliative care education in Lebanon: Past endeavours and future outlook. Journal of Medical Lebanon 56(2): pp. 83-85.
Nair S, Tarey SD, Barathi B, Mary TR, Mathew L, Daniel SP. (2016)
Experience in strategic networking to promote palliative care in a clinical academic setting in India. Indian Journal of Palliative Care 22: pp. 3-8.
Nursing Council of Hong Kong (2012) Core-Competencies for Registered
Nurses (General). Nursing Council of Hong Kong. Pastrana, T, Wenk, R and De Lima, L. (2016) Consensus-Based Palliative Care
Competencies for Undergraduate Nurses and Physicians: A Demonstrative Process with Colombian Universities Journal of Palliative Medicine 19(1): pp. 76-82.
Palliative Care Curriculum for Undergraduates (PCC4U) (2011) How to use
PCC4U modules. The National Palliative Care Program. The National Palliative Care Program. The Australian Government Department of Health and Ageing, Canberra Available at http://www.pcc4u.org/index.php/learning-modules/how-touse-the-pcc4u-modules). Accessed on 14th July 2012
Pesut B, Sawatzky R, Stajduhar KI, McLeod B, Erbacker L, Chan EKH.
Educating nurses for palliative care: a scoping review. Journal of Hospice Palliative Nursing. 2014;16(1):47-54.
Pereira SM and Hernández-Marrero, P. (2016) Palliative care nursing
education features more prominently in 2015 than 2005: Results from a nationwide survey and qualitative analysis of curricula. Palliative Medicine 30(9): pp. 884–888.
Punjwani R, Khatoon A, Dias JM, Kurji ZA, Siddiqui DF, et al. (2015) Palliative
Care in Nursing - Where are we in Pakistan? Journal of Palliative Care Medicine S5: S5-002. doi:10.4172/2165-7386.1000S5-002
Rafic Hariri School of Nursing & The Salim El-Hoss Bioethics and
Professionalism Program (2015). Lebanon. Available at https://www.aub.edu.lb/registrar/Documents/catalogue/undergraduate10-11/hson.pdf. Accessed on 10 October 2016
Rajiv Gandhi University Department of Nursing (2014). Available at
file:///D:/Curriculum%20evaluation/Asia/India/Rajiv%20Gandhi%2
130
0University%20Nursing%20Syllabus.html. Accessed on 15 November 2016
Singapore Nursing Board (2012) Core Competencies of Registered Nurse.
Singapore Nursing Board. Schiessl C, Walshe, M, Wildfeuer, S., Larkin, P. et al. (2013) Undergraduate
Curricula in Palliative Medicine: A Systematic Analysis Based on the Palliative Education Assessment Tool. Journal of Palliative Medicine 16 (1): pp. 20-30.
SGT University Faculty of Nursing (2016) Undergraduate Nursing Syllabus.
Available at http://www.sgtuniversity.ac.in/faculty-of-nursing/pages/nursing-foundation-for-basic-bsc-nursing-1st-year. Accessed on 19 September 2016
Shanmugasundaram, S., O'Connor, M & Sellick, K. (2010) Culturally
competent care at the end of life- A Hindu perspective. End of Life Care 4 (1): pp. 26-31.
Smith-Stoner M, Hall-Lord ML, Hedelin B, and Petzall K. (2011) Nursing
students’ concerns about end of life in California, Norway, and Sweden. International Journal Palliative Nursing 17(6): 271-277.
Takenouchi et al. (2013) Evaluation of the End-of-Life Nursing Education
Consortium – Japan Faculty Development Program. Validity and Reliability of the ‘End-of-Life Nursing Education Questionnaire’. Journal of Hospice and Palliative Nursing 13(6): pp 368-375
Tang, C. S. K., Wu, A. M. S., & Yan, E. C. W. (2002). Psychosocial correlates of
death anxiety among Chinese college students. Death Studies 26: pp. 491–499.
The WHO Collaborating Centres at Trivandrum and Calicut (2013) Modules
on Palliative Care/for national implementation. India. The Tamil Nadu Dr.M.G.R. Medical University (2011) Regulation and
Syllabus for B.Sc Degree Course in Nursing (Basic) 2010 – 2011. Available at http://www.psgnursing.ac.in/wp-content/uploads/2012/06/bsc-regulations.pdf. Accessed on 17 September 2016
Velayudhan Y, Ollapally M, Upadhyaya V, Nair S, Aldo M. (2004) Introduction
of palliative care into undergraduate medical and nursing education in
131
India: A critical evaluation. Indian Journal of Palliative Care 10: pp. 55-60
Wong, F.K.Y., Lee, W.M., Mok, E. (2001). Educating nurses to care for the
dying in Hong Kong. Cancer Nursing 24 (2): pp. 112–121. Wong, WY (2015). The Concept of Death and the Growth of Death
Awareness among University Students in Hong Kong: A Study of the Efficacy of Death Education Programmes in Hong Kong Universities. OMEGA: Journal of Death and Dying 20(0): pp. 1–25.
Zou, M, O’Connor, M, Peters, L and Jiejun, W. (2013) Palliative Care in
Mainland China. Asia Pacific Journal of Health Management 8 (1): pp. 9-13.
132
PENJAMINAN MUTU INTERNAL LULUSAN PSPA STFB MELALUI CBT & OSCPE
Rahmat Santoso Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Jl. Soekarno Hatta No. 754 Bandung E-mail: [email protected]
Abstrak
Sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesi
Apoteker, Sekolah Tinggi Farmasi Bandung (STFB) sejak tahun 2012 telah
menerapkan exit exam. Rangkaian ujian profesi Apoteker adalah: Sidang
Praktek Kerja Profesi (PKPA), Sidang Komprehensif, Ujian Penelusuran
Pustaka, Cognitive Best Tested (CBT), dan Objectic Structure Clinical &
Pharmaceutical Exam (OSCPE). Walaupun belum dikenal istilah try out CBT,
formatif CBT, bahkan sumatif CBT, STFB telah memulai pentingnya menjaga
mutu lulusan tenaga profesi dengan penjaminan mutu internal. Metode
penelitian menggunakan analisis deskriftif, menggunakan data retrospektif
peserta ujian program profesi angkatan X sampai dengan XIV. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum persentase kelulusan dari uji
kompetensi dengan metode OSCPE lebih baik, dibandingkan persentase
kelulusan dengan metode CBT. Retaker pada penjaminan mutu internal
dapat mengulang pada ujian CBT dan atau OSCPE, dengan kurun waktu
2n+1. Pada tataran eksternal, tanggal 30 Januari 2017 telah dilakukan
sumatif CBT untuk pertama kalinya secara nasional. Penentuan kelulusan
peserta program profesi apoteker di STFB untuk angkatan X sampai dengan
XIV, berdasarkan hasil uji kompetensi dengan metode CBT dan OSCPE
internal.
Kata Kunci: Penjaminan mutu internal, CBT, OSCPE (keywords)
Pendahuluan
Terdapat banyak pengertian tentang mutu. Dalam Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, mutu adalah suatu nilai atau keadaan. Sementara
133
pengertian lain tentang mutu dikemukakan oleh para ahli dilihat dari
sudut pandang yang berbeda. Diantaranya Edward Deming, mengatakan
bahwa mutu adalah : “apredictive degree of uniformity and dependability
at a low cost, suited to the market”. Pendapat lain, seperti yang
disampaikan Joseph M. Juran, mutu adalah : “fitness for use, as judged by
the user”. Kemudian Philip B. Crossby, mengatakan “conformance to
requirements” dan Armand V. Feigenbaum, mengatakan “full customer
satisfaction”.
Pada hakikatnya beberapa pengertian mutu tersebut adalah sama
dan memiliki elemen-elemen sebagai berikut : pertama, meliputi usaha
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Kedua, mencakup produk,
jasa, manusia, proses dan lingkungan. Ketiga, merupakan kondisi yang
selalu berubah. Berdasarkan elemen-elemen tersebut maka mutu dapat
didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi bahkan
melebihi harapan.
Dari beberapa pengertian mutu di atas, dapat penulis simpulkan
bahwa secara garis besar, mutu adalah keseluruhan ciri atau
karakteristik produk atau jasa dalam tujuannya untuk memenuhi
kebutuhan dan harapan pelanggan. Pelanggan yang dimaksud disini
bukan pelanggan atau konsumen yang hanya datang sekali untuk studi
pada prodi yang dipihnya dan tidak pernah kembali lagi, melainkan
134
alumni yang mempromosikan dari mulut kemulut . Meskipun demikian,
mahasiswa yang sedang studi harus dilayani sebaik-baiknya, karena
kepuasan yang pertama inilah yang akan membuat pelanggan datang dan
datang lagi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa mutu produk atau jasa itu
akan dapat diwujudkan bila orientasi seluruh kegiatan organisasi
tersebut berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction).
Apabila diutarakan secara rinci, mutu memiliki dua perspektif, yaitu
perspektif produsen atau penyelenggara dan perspektif konsumen atau
pelanggan, bila kedua hal tersebut disatukan maka akan dapat tercapai
kesesuaian antara kedua sisi tersebut yang dikenal sebagai kesesuaian
untuk digunakan oleh pelanggan. Dan apabila diperhatikan kembali,
kedua perspektif tersebut akan bertemu pada satu kata “ fitness for
customer use”. Kesesuaian untuk digunakan tersebut merupakan
kesesuaian antara konsumen/pelanggan dengan
produsen/penyelenggara, sehingga dapat membuat suatu standar yang
disepakati bersama dan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan kedua
belah pihak.
Selanjutnya, pengukuran mutu untuk produk fisik (barang) selain
menekankan pada produk yang dihasilkan, juga perlu juga diperhatikan
mutu pada proses pembelajaran. Bahkan, yang terbaik adalah apabila
perhatian pada mutu bukan pada produk akhir, melainkan pada proses
produksinya atau produk yang masih ada dalam proses (work in
process), sehingga bila diketahui ada cacat atau kesalahan masih dapat
diperbaiki. Sedangkan, untuk pengukuran mutu pada jasa -tidak
terkecuali jasa pendidikan dapat dilakukan karena karakteristiknya pada
umumnya sama.
135
Namun demikian, menurut Garvin, ada beberapa dimensi mutu pada jasa
antara lain communication, credibility, security, knowing the customer,
tangibles, reliability, responsiveness, competence, access dan courtesy.
Sedangkan untuk peningkatan mutu jasa seperti jasa pendidikan,
menurut Stebbing, ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk
dapat meningkatkan mutu jasa yang ditawarkan, yakni mengidentifikasi
penentu utama mutu jasa, mengelola harapan pelanggan, mengelola
mutu jasa dan mengembangkan budaya mutu.
Dalam konsep relatif, mutu biasanya diukur dari sisi pelanggan
baik internal maupun eksternal. Dan dalam tulisan ini, mutu yang
dimaksud oleh penulis adalah mutu implementasi manajemen sumber
daya manusia di sekolah yang telah memberikan jasa (pelayanan),
dengan fokus pembahasan pada pelanggan internal -dosen dan pegawai,
pelanggan eksternal primer –para mahasiswa. Selanjutnya, ukuran mutu
yang menjadi fokus dalam pembahasan ini pun adalah adanya kepuasan
melalui perkembangan kemampuan dari segi fisik dan psikis para
pelanggan tersebut.
Berkembang secara fisik antara lain mendapatkan imbalan
finansial dan kesejahteraan hidup lebih layak, sedangkan perkembangan
secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar
136
dan mengembangkan kemampuan, bakat dan kreativitasnya. Di samping
itu, pelanggan- pelanggan tersebut merasa puas bila suasana kerja atau
budaya kerja di kampus mendukung.
Tata Nilai LAM – PTKes terdiri atas :
a. Nilai Dasar : Amanah dan Mandiri
b. Nilai Operasional
Dalam rangka mewujudkan Visi dan Misinya berlandaskan pada
Nilai Dasarnya, LAM-PTKes menganut 5 Prinsip Operasional sebagai
berikut :
1. CONTINUOUS QUALITY IMPROVEMENT (CQI)
Proses penilaian secara formatif dengan penguatan pada
pendampingan oleh fasilitator diharapkan dapat memberikan
pembelajaran kepada program studi dalam menerapkan budaya mutu,
serta memperkuat implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal
(SPMI).
Continuous Quality Improvement pada Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi Kesehatan.
2. QUALITY CASCADE
Nilai Operasional ini menuntut keterkaitan antara kualitas pendidikan
tinggi kesehatan dengan kualitas pelayanan di masyarakat. Sistem
Akreditasi merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dalam rangkaian
penjagaan kualitas sampai kepada kesehatan masyarakat yang berkualitas
sebagaimana terlihat pada Gambar 2 di bawah. Kegagalan dalam menjaga
kualitas pada satu tahap / mata rantai, akan menyebabkan kegagalan dalam
upaya mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Quality Cascade
137
Hasil tersebut di atas hanya dapat dicapai melalui kontribusi program
studi terhadap lulusan yang berkualitas melalui sistem pembelajaran yang
bermutu di kelas, laboratorium, dan lapangan. Lulusan dari program studi
yang berkualitas akan mampu meningkatkan keterampilannya melalui
pengembangan profesional berkelanjutan demi tercapainya peningkatan
kualitas kesehatan masyarakat. Jadi, peningkatan mutu pendidikan tinggi
kesehatan yang berkelanjutan diharapkan dapat mendorong peningkatan
hasil akhir (outcome) kesehatan masyarakat.
3. CONCEPTUALIZATION - PRODUCTION – USABILITY (CPU)
Nilai Operasional ini menuntut kesinambungan pemetaan jenjang
karir tenaga kesehatan sejak mulai dari tahap pendidikannya,
penempatannya sampai dengan pengembangan profesional berkelanjutan.
Conceptualization - Production – Usability (CPU)
Dalam rangka menghasilkan lulusan yang berkualitas yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan kompetensi yang
diperolehnya, maka program studi bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan sistem pembelajaran dan pendidikan yang harus
mengacu pada konsep profesi kesehatan yang dibutuhkan dan konsep
sistem pelayanan kesehatan yang akan memanfaatkannya.
4. TRUSTWORTHY
Nilai Operasional ini menuntut agar LAM-PTKes pantas dipercaya
oleh semua pemangku kepentingan yang meliputi 4 Pilar Utama: institusi/
program studi; organisasi profesi / asosiasi institusi pendidikan;
pemerintah; masyarakat pengguna; serta mahasiswa dan masyarakat
internasional. Secara ringkasnya, LAM-PTKes bertanggung jawab terhadap
segala sumber daya (man, money, dan material) yang diperoleh dari para
pemangku kepentingan.
Siklus Akuntabilitas Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi Kesehatan
138
5. PENDIDIKAN INTERPROFESIONAL SEBAGAI LANDASAN KOLABORASI
INTERPROFESIONAL (INTERPROFESSIONALISM)
Gambar 1 Pendidikan Interprofesional sebagai Pemicu Kolaborasi Interprofesional di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan analisis deskriftif univariat,
menggunakan data retrospektif peserta ujian kompetensi program profesi
angkatan X sampai dengan XIV. PSPA STFB melaksanakan ujian akhir
apoteker dengan metode sidang PKPA dan sidang Komprehensif, mulai
angkatan I hingga angkatan V. Sejak angkatan VI metode exit exam telah
diperkenalkan dengan konsep PBT dan OSCPE, hingga angkatan IX. Sejak
angkatan X metode CBT dengan online sistim diterapkan pada uji
kompetensi internal.
Hasil dan Pembahasan
Walaupun STFB belum memiliki CBT Center dan OSCPE Center, tetapi
dengan mengoptimalkan penggunaan sarana yang ada. Diawali dengan PBT
untuk angkatan VI program profesi apoteker. Selanjutnya mulai angkatan VI
hingga angkatan terakhir, telah menggunakan CBT tanpa work station,
139
menggunakan laptop/note book peserta ujian. Uji Kompetensi dengan
metode OSCPE dilaksanakan mulai angkatan X, terdiri dari 12 stasi meliputi
: skill dalam bidang pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan.
Berdasarkan tabel dapat disimpulkan bahwa persentase kelulusan dari
keempat angkatan secara umum lebih unggul untuk metode OSCPE
dibandingkan metode CBT.
Aspek Kognitif masih menjadi kendala bagi sebagian peserta uji khususnya
retaker, berbeda halnya dengan aspek skill. Khusus untuk Angkatan 2011,
tidak dapat ditarik kesimpulan karena semua peserta uji kompetensi lulus
seluruhnya.
140
Ujian Apoteker dengan metode sidang praktek kerja profesi apoteker
kurang memenuhi kaidah mampu telusur dan mampu terukur. Exit exam
menjadi solusi dalam menjamin mutu lulusan profesi apoteker.
KET : Hijau [ Total Peserta Uji ], Merah [Tidak Lulus CBT], Abu [ Tidak Lulus OSCPE ]
Kesimpulan
Jumlah peserta yang tidak lulus uji kompetensi lebih banyak
ditemukan pada metode CBT dibandingkan dengan metode OSCPE. Belum
dilakukan standar setting dalam penetapan nilai batas lulus uji kompetensi
dengan metode CBT dan OSCPE internal. Perlu di sediakan fasilitas CBT
center dan OSCPE center dilingkungan kampus STFB, agar mahasiswa PSPA
terbiasa melakukan proses pembelajaran pada sarana yang memenuhi
kriteria LPUK, agar mutu lulusan tenaga kesehatan sesuai dengan sasaran
pembelajaran program studi profesi apoteker [PSPA].
Daftar Pustaka
• Lembaga Pengembangan Kompetensi Tenaga Kesehatan (LPUK-Nakes), Pedoman Pengembangan Soal Uji Kompetensi Apoteker Indonesia dengan Metode CBT
141
• Peraturan Mentri Ristekdikti No. 62/2016 tentang Sistim Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
• Peraturan Mentri Ristekdikti No. 44/2016 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
• Undang-Undang No.12 tentang Pendidikan Tinggi
142
COMPREHENSIVE COMPUTER BASED TESTING SEBAGAI PREDIKSI KELULUSAN UJIAN KOMPETENSI MAHASISWA PENDIDIKAN
PROFESI DOKTER DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Yeny Dyah Cahyaningrum1, Fitria Siwi Nur Rochmah2, Milda Khoiriana3 1Medical Education Unit, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia 2Departemen Parasitologi, Faklutas Kedokteran Universitas Islam Indonesia 3Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia E-mail: [email protected]
Abstrak
Penilaian komprehensif dibutuhkan mahasiswa kedokteran dalam mencapai kompetensi seorang dokter. Dalam penilaian komprehensif ini dibutuhkan pendekatan yang mendekati konsep/kerja seorang dokter dalam praktik klinisnya. Pendidikan klinik yang dalam prosesnya menggunakan pendekatan keilmuan departemen. Dia akhir rotasi stase perlu dilakukan penilaian pendekatan system yang lebih komprehensif. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara nilai Computer Based Testing (CBT) Komprehensif yang telah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) terhadap kelulusan UKMPPD. Penelitian ini diawali dengan penyusunan blueprint ujian yang mengacu pada capaian kompetensi dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). CBT komprehensif dilakukan pada 194 dokter muda yang telah selesai mengikuti stase tahap klinik selama periode tahun 2016. Mereka mengikuti CBT komprehensif 2 minggu-1 bulan setelah stase pendidikan klinik selesai. CBT ini diberikan dalam bentuk 200 soal Multiple Choice Questions (MCQs) yang disusun berdasarkan blue print ujian dan direview struktur soalnya. Sebulan setelah CBT, mahasiswa mengikuti ujian kompetensi mahasiswa pendidikan profesi dokter. Hasil skor CBT komprehensif dan skor UKMPPD dianalisis menggunakan Pearson Correlation. Hasil dari r: 0.7 (p<0,05). Korelasi yang kuat dari skor CBT Komperehnsive dan UKMPPD ini menunjukkan bahwa kemampuan kognitif mahasiswa terbentuk dari proses pembelajaran yang telah dilakukan pada tahap pre klinik dan klinik. Pembelajaran dengan pendekatan departement based akan memberikan pembekalan mahasiswa berbasis keilmuan. Di akhir stase,
143
penilaian yang bersifat komprehensif akan dapat mengembalikan keilmuan yang sifatnya lebih holistik. Hal ini akan mendukung pencapaian kompetensi mahasiswa sebagai seorang dokter. Kata Kunci : Prediksi, komprehensif, MCQs
COMPREHENSIVE COMPUTER BASED TESTING AS A PREDICTOR GRADUATION OF NATIONAL EXAM OF MEDICAL STUDENTS AT THE FACULTY OF MEDICINE UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Abstract
The aim of learning and assessment in medical education produce competent doctor. Achievement of competence requires integration of several scientific learning. Educational stage clinical departments scientific approach. In the late stages of clinical education takes a comprehensive assessment that integrates science that has been obtained previously. This assessment will approach the concept / work of a doctor in clinical practice. The aim of this study was to determine the correlation between the value of the Computer Based Testing (CBT) Comprehensive has been done on students of the Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia (FK UII) to graduation UKMPPD.This study is observational analytic with cross sectional approach. This study begins with the preparation of the exam blueprint and items about which refers to the achievement of competence in the Indonesian Doctors Competency Standards (SKDI). The results analyzed by Pearson correlation in SPSS 23 version.Comprehensive CBT performed on 117 students who have finished the stase clinic during the February until Agust 2016. CBT is administered of 200 questions Multiple Choice Questions (MCQs). A month after the CBT, students attend National Exam of Medical Students. The results of the comprehensive CBT score and score UKMPPD analyzed using Pearson Correlation with the result r: 0.738 (p <0.05). The strong correlation of scores CBT UKMPPD Comprehensive and this shows that the cognitive abilities of students in the Comprehensive CBT will be able to demonstrate the readiness of their competence as a doctor. At the end of stase, which is comprehensive assessment will be able to restore the science that is more holistic. It will support the achievement of student competence as a doctor. Comprehensive CBT can be used as predictors of graduation of National Exam of Medical Students.
144
Keywords: Multiple Choice Questions, predictor, competence
Pendahuluan
Pencapaian kompetensi dalam pendidikan dokter merupakan
tujuan dalam setiap akhir pendidikan dokter. Setiap pembelajaran yang
baik, sebaiknya disertai dengan rancangan penilaian yang
komprehensif pula. Penilaian dalam pendidikan dokter diharapkan
dapat mencerminkan mahasiswa pada kondisi yang sebenarnya.
Berbagai macam penilaian yang sudah ada dalam dunia pendidikan
kedokteran diharapkan memberikan gambaran bagi seorang
mahasiswa kedokteran terkait dengan profesinya sebagai seorang
dokter kelak.
Sejalan dengan hal itu, terdapat kebijakan nasional untuk dapat
menyelaraskan capaian kompetensi pendidikan dari seluruh fakultas
kedokteran di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini sebagai stake holder
pendidikan kedokteran memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
ujian nasional yang diharapkan dapat menjaga mutu lulusan
pendidikan dokter.1 Ujian kompetensi nasional merupakan bentuk
perlindungan terhadap masyarakat serta pengguna jasa layanan
kedokteran. Dengan adanya uji kompetensi nasional mahasiswa
pendidikan profesi dokter, diharapkan lulusan dokter dari seluruh
fakultas kedokteran mempunyai kualitas yang sama. UKMPPD sudah
berjalan sejak Agustus 2014 hingga saat ini.1
Berbagai upaya untuk menjaga kualitas implementasi UKMPPD
secara berkelanjutan terus dilakukan. Pemerintah telah menyusun
pembaharuan perangkat hukum untuk implementasi UKMPPD 2015,
yaitu Permenristekdikti No.18/2015 tentang Tata Cata Pelaksanaan
145
UKMPPD dan Kepmenristekdikti turunannya meliputi panitia nasional,
panduan, dan satuan biaya UKMPPD.
Pendidikan kedokteran dalam mewujudkan dokter yang
kompetensinya dapat diterima masyarakat, dengan sejalan juga
melakukan perencanaan dan implementasi pendidikan menuju syarat
tersebut. Dalam perencanaan pendidikan dokter, secara nasional
terdapat standar kompetensi pendidikan dokter yang dijadikan acuan
proses perancangan kurikulum.
Pembelajaran dan proses penilaian di Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia (FK UII) dilakukan dengan tujuan
pencapaian kompetensi. Pencapaian kompetensi membutuhkan
integrasi dari beberapa keilmuan dalam pembelajaran. Pendidikan
tahap klinik menggunakan pendekatan keilmuan departemen yang
dilakukan per stase. Untuk menguatkan kompetensi mahasiswa, maka
di akhir masa pendidikan klinik dilakukan penilaian komprehensif
untuk menyiapkan mahasiswa sebelum menyelesaikan pendidikan
dokter. Penilaian ini diharapkan dapat memberikan gam konsep/kerja
seorang dokter dalam praktik klinisnya.
Dalam pendidikan klinik untuk dapat mendidik dokter yang
profesional, diperlukan sebuah penilaian yang baik. Penilaian ini dapat
mencerminkan dokter muda pada kondisi yang sebenarnya. Berbagai
macam penilaian yang sudah ada dalam dunia pendidikan kedokteran
diharapkan memberikan gambaran bagi seorang mahasiswa
kedokteran terkait dengan profesinya sebagai seorang dokter kelak.
Penilaian pada dokter muda ini terkait dengan diagnosis dan
tatalaksana pada pasien. Kemampuan untuk mendiagnosis efektif dan
tepat membutuhkan pengetahuan klinik dan kemampuan penalaran
klinik yang baik.3
146
Proses pendidikan klinik di FK UII menggunakan MCQs
sebagai salah satu penilaian di akhir stase pendidikan klinik. MCQs
merupakan salah satu bentuk penilaian yang simpel dan tradisional
untuk menunjukkan kemampuan penalaran klinik.2 Selain itu , MCQs
dapat mengukur factual knowledge dari mahasiswa.3 MCQs merupakan
alat ukur yang umum digunakan dalam pendidikan kedokteran dan alat
ukur ini akan berfungsi dengan baik ketika digunakan untuk
menentukan satu jawaban yang benar yang diinginkan.2
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara
nilai Computer Based Testing (CBT) Komprehensif yang telah dilakukan
pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK
UII) terhadap kelulusan UKMPPD.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini adalah dokter
muda yang menyelesaikan studi pendidikan kliniknya pada periode
Februari-Agustus 2016. Mahasiswa yang telah menyelesaikan stase ini
kemudian mengikuti CBT Komprehensif 1 minggu-1 bulan setelah stase
selesai. Tahap dalam penelitian ini dimulai dengan penyusunan blue
print ujian CBT. Tahap selanjutnya adalah pembuatan soal MCQs
berdasarkan blue print yang disepakati. Soal yang dgunakan dalam CBT
Komprehensif ini adalah Multiple Choice Questions (MCQs) single best
answer. CBT Komprehensif ini dilakukan 3 bulan sekali. Terdapat 4 set
soal MCQs yang diberikan kepada mahasiswa dalam CBT
Komprehensif. Pada setiap CBT Komprehensif diberikan 200 item soal
MCQs yang dikerjakan dalam waktu 320 menit. Sebulan setelah
147
melakukan CBT, mereka kemudian mengikuti UKMPPD. Hasil nilai CBT
Komprehensif dikorelasikan dengan nilai UKMPPD. Data nilai
dilakukan analisis data dengan menggunakan SPSS 23.
Hasil penelitian
Penyusunan blue print dilakukan dengan berdasarkan sistem
dan pendekatan lain yang terkait. Konten terkait sistem merupakan
sistem yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Selain itu tinjauan yang ditambahkan adalah kompetensi yang tidak
terdapat dalam kategori sistem akan tetapi dibutuhkan dalam
pencapaian kompetensi.
Tabel 1. Blue Print CBT Komprehensif
No Sistem/Tinjauan Jumlah soal Jenis
1 Sistem Psikiatri 15 MCQs
2 Sistem Kardiorespirasi 20 MCQs
3 Sistem Reproduksi 20 MCQs
4 Sistem Urogenital 20 MCQs
5 Sistem Head and Neck 20 MCQs
6 Sistem Indera 15 MCQs
7 Sistem Gastrointestinal
dan Hepatobilier
20 MCQs
8 Sistem Hematologi dan
Infeksi
15 MCQs
9 Sistem Saraf 15 MCQs
10 Sistem
Dermatomuskuloskeletasl
20 MCQs
148
11 Ilmu Kesehatan
Masyarakat
5 MCQs
12 Metodologi Penelitian 5 MCQs
13 Komunikasi 5 MCQs
14 Forensik dan Medikolegal 5 MCQs
Total soal 200 soal
Subyek penelitian yang memenuhi syarat dalam penelian ini sejumlah
117 mahasiswa. Nilai yang telah didapatkan kemudian dianalisis
dengan menggunakan SPSS versi 23. Analisis yang dilakukan pertama
kali adalah melakukan uji normalitas data.
Tabel. 2 Uji Normalitas Data
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statisti
c df Sig.
Statisti
c df Sig.
cbt .120 117 .000 .951 117 .000
ukmpp
d .109 117 .002 .889 117 .000
a. Lilliefors Significance Correction
149
Karena data berdistribusi tidak normal (p:0,000; p<0,05), maka
korelasi dilakukan dengan Spearman rho. Hasilnya terdapat korelasi
yang kuat antara nilai CBT komprehensif dengan nilai ujian komeptensi
mahasiswa pendidikan profesi dokter (r:0,738; p<0,05).
Nilai CBT komprehensif dan nilai UKMPPD berbeda reratanya. Rerata
CBT Komprehensif adalah 74,38 dan nilai UKMPPD 69,91. Tabel
karakteristik deskripsi dari nilai ini dituliskan dari tabel sebagai
berikut.
Tabel 3. Tabel Distribusi nilai CBT Komprehensif dan nilai UKMPPD
periode Februari sampai dengan Agustus 2016
Descriptives
Statistic Std. Error
ukmppd
Mean 69.9158 .75408
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
68.4119
Upper Bound
71.4198
5% Trimmed Mean 69.8271
Median 70.5000
Variance 40.373
Std. Deviation 6.35399
150
Minimum 57.38
Maximum 84.50
Range 27.13
Interquartile Range 9.75
Skewness .160 .285
Kurtosis -.650 .563
cbt Mean 74.3845 1.32301
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
71.7458
Upper Bound
77.0232
5% Trimmed Mean 75.5344
Median 76.5000
Variance 124.276
Std. Deviation 11.14790
Minimum .00
Maximum 87.50
Range 87.50
Interquartile Range 10.00
Skewness -4.408 .285
Kurtosis 28.129 .563
151
Tabel.4 Korelasi Non Parametrik nilai CBT Komprehensif dengan nilai
UKMPPD
Correlations
cbt
ukmpp
d
Spearman's
rho
cbt Correlation
Coefficient 1.000 .738**
Sig. (2-tailed) . .000
N 117 117
ukmpp
d
Correlation
Coefficient .738** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 117 117
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Diskusi
Pembuatan blue print terlebih dahulu sebelum penyusunan tool
penilaian adalah bertujuan untuk menyesuaikan standard content dan
kedalaman pengetahuan yang akan dinilai dalam alat ukur yang akan
dirancang. Blue print dalam sebuah testakan mengidentifikasi
komposisi tujuan belajar yang akan dinilai dalam alat ukur. Dengan
adanya blue print akan membuat soal yang diujikan berisi tentang
komponen / target yang diinginkan.
152
Penyusunan soal MCQs yang menggunakan stem soal akan
mendekatkan dengan kasus nyata yang telah dihadapi. MCQs
merupakan salah satu bentuk penilaian yang simpel dan tradisional
untuk menunjukkan kemampuan penalaran klinik. MCQs ini digunakan
untuk menilai mahasiswa menggunakan kemampuannya untuk
menyelesaikan kasus yang permasalahannya pasti, solusinya jelas.
Korelasi yang kuat antara nilai CBT komprehensif dan UKMPPD
(r:0.738, p<0,05) menunjukkan bahwa kompetensi yang ditargetkan FK
UII sejalan dengan yang diinginkan ujian kompetensi nasional
mahasiswa pendidikan dan profesi dokter. Mahasiswa yang memiliki
kemampuan kognitif baik semestinya memiliki kompetensi yang baik
pula sebagai seorang dokter yang akan melakukan pelayanan pada
masyarakat.
Dalam proses pembelajaran klinik, mahasiswa belajar dengan
menggunakan kasus nyata. Penguatan pembelajaran dengan
pendekatan kasus ini akan membuat mahasiswa mendapatkan retensi
ilmu pengetahuan klinik baik terkait penegakan diagnosis maupun
pemberian terapi pada pasien.6
Kompetensi dalam pendidikan dokter merupakan hal yang harus selalu
dijadikan target dalam pembelajaran dan penilaian agar terukur.
Harapan dan kosekuensi hal ini adalah bahwa ketika mahasiswa sudah
lulus sebagai seorang dokter, maka mahasiswa tersebut kompeten
dalam melayani pasien di masyarakat. Kesiapan pelayanan terkait
kognitif dan kompetensi ini yang diujikan dalam ujian kompetensi
nasional mahasiswa pendidikan dan profesi dokter.
Kesimpulan
153
CBT Komprehensif dapat digunakan sebagai prediksi kelulusan uji
kompetensi mahasiswa pendidikan profesi dokter. Standar Kompetensi
Dokter Indonesia yang dijadikan acuan dalam penyusunan pendidikan
dan penilaian dapat menggambarkan keseluruhan kompetensi seorang
dokter. Dari hasil penelitian ini perlu dilanjutkan penelitian tentang
penguasaan kompetensi mahasiswa yang lulus dalam uji kompetensi
ini terkait dengan kompetensi dan pelayanan di masyarakat.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia, Kaprodi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia dan jajarannya, Kepala
Medical Education Unit Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Indonesia atas support yang diberikan dalam penelitian ini.
Referensi
1. http://ristekdikti.go.id/ukmppd-sebagai-penjaminan-mutu-
pendidikan-kedokteran/ diakses pada tanggal 6 Februari 2017
2. Humbert AJ, Besinger B, Miech EJ, 2011, Assessing clinical
reasoning skills in scenarios of uncertainty: convergent validity
for a script concordance test in an emergency medicine clerkship
and residency, Academic Emergency Medicine; 18:627-634
3. Cahyaningrum YD, Rahayu GR, Suryadi E, 2016, Study
Concurrent Validity antara Multiple Coice Questions dengan
Script Concordance Test dalam Menilai Penalaran Klinik
Mahasiswa Kedokteran, Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia;5(3):163-172
154
4. Vleuten VDC., Charlin B., Roy L., Brailovsky C., Goulet F., 2000,
The script concordance test: a tool to assess the reflective
clinician, Teaching and Learning in Medicine 12 (4):189-195
5. Sibert L, Charlin B, Corcos J, Gagnon R, Grisse P, Vleuten C V D,
2002, Stability of clinical reasoning assessment result with the
script concordance test across two different linguistic, cultural,
and learning environments, Medical Teacher:24:5; 522-527
6. Kolb, D.A., Boyatzis, R.E. and Mainemelis, C., 2001. Experiential
learning theory: Previous research and new directions.
Perspectives on thinking, learning, and cognitive styles, 1(2001),
pp.227-247.
155
KEPUASAN IBU SEBAGAI EVALUASI KOMPETENSI ASUHAN BALITA MAHASISWA PRODI D.IV KEBIDANAN MELALUI KELUARGA ASUH
DI DESA CIPACING DAN CIKERUH 2016
Sefita Aryuti Nirmala1, Tina Dewi Judistiani2, Ranti Febriani3
1. Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK.Unpad 2. Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK.Unpad 3. Prodi D.IV Kebidanan FK.Unpad E-mail : [email protected] / [email protected]
Abstrak
Angka Kematian Neonatal dalam 5 tahun terakhir tetap sama yaitu 19/1000 kelahiran, sementara Angka Kematian Pasca Neonatal terjadi penurunan dari 15/1000 menjadi 13/1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita juga mengalami penurunan dari 44/1000 menjadi 40/1000 kelahiran hidup. Kondisi ibu sebelum dan selama kehamilan menentukan kondisi bayinya. Fakta yang ada di Indonesia juga masih minimnya pengetahuan ibu mengenai pola asuh anak. Tantangan ke depan adalah mempersiapkan calon ibu untuk hamil sehat, melahirkan di pelayanan kesehatan, konseling kebutuhan bayi dan balita serta pola asuh yang benar. Inovasi proses belajar mengajar yang dilakukan Prodi D.IV Kebidanan FK.Unpad untuk membantu ibu melalui program keluarga asuh. Selain strategi utamanya penguatan upaya promotif, preventif serta pemberdayaan keluarga, mahasiswa dapat mengaplikasikan kompetensi asuhan balita dibawah pengawasan dosen dan bidan desa. Salah satu bentuk evaluasi pada kompetensi mahasiswa dengan melakukan penelitian kepuasan pada ibu keluarga asuh. Tujuannya untuk mengetahui kepuasan berdasarkan dimensi bukti fisik, ketanggapan, kehandalan, jaminan dan empati mengenai asuhan balita yang diberikan oleh mahasiswa. Melalui pendekatan potong lintang, populasi pada penelitian ini adalah keluarga asuh yang memiliki balita di Desa Cikeruh dan Desa Cipacing, dengan sampel total sampling 46 ibu keluarga asuh. Pengumpulan data menggunakan data primer. Hasil penelitian secara umum diperoleh 52,2% ibu merasa puas dan 47,8% ibu tidak puas. Berdasarkan dimensi kepuasan ibu mengenai bukti fisik 60,9% merasa puas, mengenai ketanggapan 58,7% merasa puas, mengenai kehandalan 58,7% merasa puas, mengenai jaminan 52,2% merasa puas dan mengenai empati 52,2% merasa puas. Simpulan evaluasi kompetensi asuhan balita yang diberikan pada keluarga asuh yaitu ibu merasa puas.
Kata Kunci : Asuhan Balita, Evaluasi, Kepuasan, Kompetensi
156
PENINGKATAN KOMPETENSI PENJAHITAN LUKA PERINEUM
MENGGUNAKAN LOW COST MODEL BERBAHAN KAIN FLANNEL
BAGI MAHASISWA KEBIDANAN
Rery Kurniawati Danu Iswanto1
1Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Banten, email: [email protected]
Abstrak
Kompetensi penjahitan luka perineum pascasalin harus dimiliki bidan.
Akan tetapi, terdapat keterbatasan model yaitu mahasiswa dilatih
menggunakan bantalan kapas yang kurang representative secara
bentuk dan bahan. Hal tersebut berakibat terhadap kurangnya
kompetensi mahasiswa dalam praktik penjahitan perineum. Penelitian
ini menguji dan menghasilkan model yang representatif dan low cost
untuk pembelajaran kompetensi penjahitan luka perineum. Tujuannya
mengetahui efektifitas penggunaan model jahit luka perineum
berbahan flannel pada mahasiswa Jurusan Kebidanan Poltekkes
Banten. Penelitian menggunakan desain eksperimental dengan metode
postest design. Sampel terdiri dari 11 mahasiswa sebagai kelompok
model dan 14 mahasiswa sebagai kelompok non model. Analisis data
menggunakan uji Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan rerata
kompetensi penjahitan perineum pada kelompok model lebih tinggi
(83) dari pada kelompok non model (74). Hasil uji statistik didapatkan
p=0.002 artinya ada perbedaan bermakna pada kompetensi kedua
kelompok tersebut. Pada tingkat kepercayaan diri responden dalam
melakukan penjahitan perineum baik pada kedua kelompok
mempunyai rerata yang sama (4) dengan p=0.651. Dan pada lama
waktu penjahitan diketahui rerata kelompok model sedikit lebih cepat
(20 menit) daripada kelompok non model (22 menit) dengan p=0.978.
Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua variable tersebut.
Penelitian menunjukkan model uji hasilnya lebih baik dalam
meningkatkan kompetensi penjahitan luka perineum. Hal ini karena
bentuk model mirip bentuk luka perineum. Penelitian ini sesuai
pernyataan Hammound (2008) bahwa media pembelajaran dengan
tingkat kenyataan tinggi membuat mahasiswa tertarik dalam proses
pembelajaran. Model berbahan flannel juga murah dan dapat dijahit
157
berulang sehingga ekonomis bagi mahasiswa. Disarankan penelitian
lanjutan tentang media yang efisien sehingga waktu dan kepercayaan
diri lebih baik.
Kata Kunci: Model, Low cost, Kompetensi Penjahitan, Perineum.
158
PERAN MATRIKULASI DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Ieva Baniasih Akbar1, Siska Nia Irasanti2, Ike Rahmawaty3 1Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 2Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 3Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung E-mail: [email protected]
Abstrak
Capaian pembelajaran mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) dan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang merupakan kerangka penjenjangan yang menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor sesuai pasal 29 UU No.12 Tahun 2012. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan metode Problem Based Learning (PBL) yang digunakan FK Unisba mendorong mahasiswa untuk belajar aktif, mandiri dan mempunyai komunikasi yang baik, sehingga mahasiswa memerlukan proses adaptasi dengan lingkungan akademik baru, penyetaraan pemahaman tentang materi serta meningkatkan kematangan dari segi intelektual dan emosional agar tidak memiliki hambatan selama menjalankan kegiatan akademik di FK yang cukup berat dan lama. Matrikulasi merupakan program adaptasi dan pengenalan materi selama 2 minggu sebelum kegiatan akademik berlangsung. Program Matrikulasi mulai dilaksanakan sejak Tahun Akademik (TA) 2013/2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai peran dan keberhasilan program Matrikulasi dalam meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa dalam Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) pada tahun pertama pembelajaran. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan melibatkan 1317 sampel, yaitu mahasiswa yang masuk FK Unisba Tahun Akademik 2007/2008 sampai dengan 2015/2016. Statistik yang digunakan adalah uji t-test tidak berpasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata IPK mahasiswa tahun pertama sebelum dilaksanakan matrikulasi adalah 2,74 dan sesudah diadakan matrikulasi 2,83. Terdapat perbedaan bermakna untuk IPK antara sebelum dan sesudah dilaksanakan program Matrikulasi dengan p<0,001. IPK Tahun Pertama mahasiswa setelah dilaksanakan matrikulasi lebih tinggi dibandingkan sebelum dilaksanakan matrikulasi. Hasil tersebut dapat memperlihatkan bahwa program matrikulasi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa. Kata Kunci : KBK, Matrikulasi, PBL
159
NILAI TRY OUT SEBAGAI FAKTOR PREDIKTOR HASIL UJI KOMPETENSI NASIONAL LULUSAN NERS STIKES RAJAWALI BANDUNG
Istianah1, Arie Joseph Pitono2 1STIKES Rajawali Bandung 2STIKES Rajawali Bandung [email protected] [email protected]
Abstrak
Tantangan pendidikan keperawatan cukup besar seiring dengan era globalisasi
dan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) memacu persaingan lulusan keperawatan
yang kompeten. Predikat kompeten diperoleh melalui Uji Kompetensi Ners
Indonesia (UKNI). Kelulusan UKNI merupakan syarat mengurus surat tanda
registrasi (STR) perawat, yang merupakan legalitas perawat bekerja dalam
pelayanan kesehatan. Mengingat pentingnya kelulusan UKNI, maka institusi
pendidikan Ners melaksanakan metode evaluasi kesiapan mahasiswa dalam
menghadapi UKNI. Try Out (TO) nasional dilaksanakan secara serentak sebagai
tahap persiapan mahasiswa menghadapi UKNI. Tujuan penelitian, untuk
mengetahui nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif TO terhadap hasil
UKNI. Rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional, dengan sampel
seluruh lulusan STIKES Rajawali yang mengikuti TO XI sebanyak 114 orang (total
sampling). Analisis hubungan nilai TO dengan hasil UKNI menggunakan uji chi
square. Terdapat hubungan antara nilai TO dengan hasil UKNI ( p < 0,001 ).
Lulusan dengan nilai TO lebih tinggi atau sama dengan nilai kelulusan UKNI
memiliki peluang 3,4 kali lebih besar ( IK 95% = 2,1 – 5,7 ) untuk lulus UKNI
dibandingkan dengan lulusan dengan nilai TO lebih rendah dari nilai kelulusan
UKNI. Disimpulkan TO memiliki nilai prediksi positif sebesar 94,6 % dan nilai
prediksi negatif sebesar 72,5 % terhadap hasil UKNI.
Kata Kunci: Ners, Try out, Uji Kompetensi.
PENDAHULUAN
Mahasiswa lulus kompetensi keperawatan merupakan masalah penting
dalam perawatan kesehatan seperti berhubungan dengan standar profesional,
keselamatan pasien dan kualitas asuhan keperawatan. Banyak perubahan di
160
keperawatan menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap kompetensi
perawat serta jumlah perawat (Unkuri, 2015). Tantangan pendidikan
keperawatan cukup besar seiring dengan era globalisasi dan Masyarakat Ekonomi
Asia (MEA) memacu persaingan lulusan keperawatan yang kompeten. Predikat
kompeten diperoleh melalui Uji Kompetensi Ners Indonesia (UKNI). Kelulusan
UKNI merupakan syarat mengurus surat tanda registrasi (STR) perawat, yang
merupakan legalitas perawat bekerja dalam pelayanan kesehatan. Mengingat
pentingnya kelulusan UKNI, maka institusi pendidikan Ners melaksanakan
metode evaluasi kesiapan mahasiswa dalam menghadapi UKNI. Try Out (TO)
nasional dilaksanakan secara serentak sebagai tahap persiapan mahasiswa
menghadapi UKNI.
Pada periode April 2016, sejumlah 62.891 peserta uji kompetensi yang
berasal dari 257 prodi profesi ners, 554 prodi DIII Kebidanan, dan 416 prodi DIII
Keperawatan, mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan pada tanggal 2-4 April
untuk Profesi Ners, 9 April untuk DIII Kebidanan, dan 16 April untuk DIII
Keperawatan (Ristekdikti, 2016). Kompetensi merupakan seperangkat tindakan
cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat dianggap
mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan
tertentu. Standar kompetensi perawat Indonesia mengaku pada Standar
Kompetensi Perawat Indonesia yang dikeluarkan oleh PPNI. Untuk menjamin
setiap perawat memiliki kompetensi sebagai prasyarat sebelum melaksanakan
praktik pelayanan keperawatan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 46 tahun 2013 tentang registrasi tenaga kesehatan.
Dalam peraturan dijelaskan seluruh tenaga kesehatan termasuk perawat harus
mengikuti uji kompetensi sebagai syarat untuk memperoleh Surat Tanda
Registrasi (STR) (Silvestri, 2014).
Evaluasi kelulusan kompetensi mahasiswa keperawatan merupakan bagian
dari jaminan kualitas pendidikan tinggi keperawatan, dimana lulusan pendidikan
ini akan bekerja di tatanan pelayanan yang berhubungan dengan dunia nyata
161
dengan subjek manusia harus mampu melaksanakan profesinya dengan
kompeten. Proses uji kompetensi dilaksanakan setelah mahasiswa Ners telah
dinyatakan lulus dari perguruan tinggi, sehingga banyak faktor yang
mempengaruhi kelulusan UKNI, baik faktor internal maupun eksternal mahasiswa
atau alumni pendidikan ners.
Faktor internal diantaranya kemampuan akademik dan skills, kesehatan,
dan kepercayaan diri mahasiswa. Sementara itu faktor eksternal adalah kualitas
proses pendidikan yang dilalui, pengalaman praktik, dan lingkungan wahana
praktik yang mendukung serta proses bimbingan yang tepat. Kedua faktor
tersebut harus dalam kondisi yang baik, sehingga mahasiswa dapat menjawab
soal-soal UKNI dengan tepat. Berbagai cara dilakukan oleh institusi
penyelenggara pendidikan ners di Indonesia dalam membantu mahasiswa
melatih kemampuan dalam menjawab soal-soal UKNI, diantaranya adalah
melakukan ujian yang berbasis computer (CBT) dengan menggunakan soal-soal
berbasis uji kompetensi. Ujian CBT tersebut tentunya dapat mengukur
kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal dan menjawab dengan tepat
apalagi dengan ditambah pembahasan, hal ini sangat membantu mahasiswa
dalam menghadapi UKNI. Hal ini sangat didukung oleh Asosiasi Institusi
Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI).
Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) merupakan wadah
institusi pensuplay lulusan Ners yang wajib mengikuti UKNI telah memfasilitasi
pelaksanaan try Out nasional, yang dilaksanakan sebelum mahasiswa
melaksanakan UKNI. Proporsi lulusan yang memiliki nilai Try Out tinggi yang
lulus UKNI dapat dianggap sebagai nilai prediksi positif Try Out terhadap hasil
UKNI. Pada penelitian klinis, nilai prediksi positif digunakan untuk
mengidentifikasi probabilitas seseorang dengan hasil uji positif adalah true
positive/ menderita penyakit (Porta, et al, 2008),sehingga pada penelitian ini nilai
prediksi positif dapat digunakan untuk mengidentifikasi probabilitas lulusanyang
memiliki nilai Try Out tinggi untuk lulus UKNI. Sementara, proporsi lulusan yang
162
memiliki nilai Try Outrendah yang tidak lulus UKNI dapat dianggap sebagai nilai
prediksi negatifTry Out terhadap hasil UKNI. Pada penelitian klinis, nilai prediksi
negatif digunakan untuk mengidentifikasi probabilitas seseorang dengan hasil uji
negatif adalah true negative / tidak menderita penyakit (Porta, et al, 2008),
sehingga pada penelitian ini nilai prediksi negatif dapat digunakan untuk
mengidentifikasi probabilitas lulusan yang memiliki nilai Try Out rendah untuk
tidak lulus UKNI.
Evaluasi kelulusan UKNI dapat menjadi ukuran pengelolaan pendidikan
Ners yang berkualitas, sehingga kelulusan UKNI menjadi sangat penting bagi
perguruan tinggi penyelenggara pendidikan ners di Indonesia, sehingga perlu
diidentifikasi faktor-faktor terkait yang meningkatkan tingkat kelulusan UKNI dan
berguna dalam mengembangkan kurikulum keperawatan dan lingkungan belajar
klinis dan pengawasan (Unkuri, 2016).
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat Try Out sebagai prediktor kelulusan UKNI
melalui nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif Try Out terhadap hasil
UKNI.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional, dengan menggunakan data
sekunder hasil Try Out dan hasil UKNI lulusan STIKES Rajawali.Sampel pada
penelitian ini adalah seluruh lulusan STIKES Rajawali yang mengikuti Try Out XI
pada tanggal 30-31 Juli 2016 dan mengikuti UKNI pada tanggal 23-24 September
2016 sebanyak 114 orang (total sampling). Variabel pada penelitian ini adalah:
(1) Nilai Try Out,sebagai variabel bebas, dan (2) Hasil UKNI, sebagai variabel
terikat. Nilai hasil Try Out yang berupa data numerik dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu (1) lebih besar daripada atau sama dengan nilai kelulusan UKNI (=
nilai Try Out tinggi) dan (2) lebih kecil daripada nilai kelulusan UKNI (= nilai Try
Out rendah), sementara variabel hasil UKNI terdiri atas dua kategori : lulus dan
163
tidak lulus. Hubungan kedua variabel dianalisis menggunakan uji chi square.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa profesi ners yang
mengikuti uji kompetensi sebanyak 114 orang.
Definisi Operasional
Variabel DO Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Variabel dependen
UKNI UKNI adalah uji kompetensi berbasis computer (CBT) yang dilakukan secara nasional dengan peserta lulusan ners seluruh Indonesia
Soal UKNI berbasis computer (CBT)
1. Tidak kompeten, jika nilai < 47 %
2. Kompeten, jika nilai UKNI > 47 %
Nominal
Variabel Independen
Try Out Try Out adalah uji kompetensi dalam tahap uji coba secara nasional yang dilakukan sebelum pelaksanaan UKNI yang diikuti oleh seluruh mahasiswa program profesi Ners
Soal TO nasional
1. Jika nilai TO < nilai kelulusan UKNI (47 %) 2. Jika nilai TO > Nilai kelulusan UKNI (47 %)
Nominal
164
yang telah menempuh stase akhir.
HASIL PENELITIAN
Gambaran (ukuran kecenderungan sentral dan ukuran penyebaran) Nilai Try
Outmasing-masing kategori Hasil UKNI tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Nilai Try Out Kelompok Lulus UKNI dan Kelompok
Tidak Lulus UKNI
Hasil
UKNI N
Nilai Try Out
Rerata Median Simpanga
n Baku Minimum
Maksimu
m
Lulus 81 53,70 53,89 5,59 38,89 65,56
Tidak
Lulus
33 42,04 41,67 4,50 31,67 52,78
Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata Nilai Try Out kelompok lulus UKNI adalah
53,70 dan rerata Nilai Try Out kelompok tidak lulus UKNI adalah 42,04.
Hubungan antar variabel tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Tabel Silang Variabel Nilai Try Out dengan Variabel Hasil UKNI
Hasil UKNI
Lulus Tidak Lulus p
N % n %
Nilai Try Out Tinggi 70 94,6 4 5,4 < 0,001
Rendah 11 27,5 29 72,5
Total 81 71,1 33 28,9
165
Tabel 2 menunjukkan bahwa, berdasarkan uji chi square, terdapat hubungan
antara Nilai Try Out dengan hasil UKNI ( p < 0,001 ). Prevalensi lulusan yang lulus
UKNI pada kelompok dengan nilai Try Out tinggi adalah 94,6 %, sedangkan
prevalensi lulusan yang lulus UKNI pada kelompok dengan nilai Try Outrendah
adalah 27,5 %,sehingga didapatkan rasio prevalensi 3,4 ( IK 95 % = 2,1 – 5,7 )
yang berarti lulusan yang memiliki nilai Try Outtinggi memiliki peluang 3,4 kali
lebih besar untuk lulus UKNI dibandingkan lulusan yang memiliki nilai Try Out
rendah. Nilai prediksi positif nilai Try Outterhadap hasil UKNI sebesar 94,6 %
dannilai prediksi negatif nilai Try Outterhadap hasil UKNI sebesar 72,5 %.
PEMBAHASAN
Hasil analisis variabel nilai TO menunjukkan bahwa rerata nilai Try Out
kelompok lulus UKNI adalah 53,70 dan rerata Nilai Try Out kelompok tidak lulus
UKNI adalah 42,04. Secara statistic dapat dilihat bahwa mahasiswa yang lulus
UKNI memiliki nilai TO yang tinggi atau nilainya lebih dari nilai kelulusan UKNI,
dimana saat ini nilai kelulusan UKNI (standar setting) mencapai 47 %, demikian
juga mahasiswa yang tidak lulus UKNI ternyata nilai TO nya juga rendah. Hal ini
perlu diantisipasi khususnya untuk mahasiswa yang memiliki nilai TO rendah
mendapatkan bimbingan khusus sehingga berpeluang lulus. Latihan soal yang
dilaksanakan baik internal maupun eksternal (TO Nasional) sangat membantu
mahasiswa dalam mengukur kemampuannya, sehingga latihan menjawab soal
(TO) dapat dilakukan berkali-kali selama mahasiswa pendidikan profesi. Faktor
penting dalam pelaksanaan TO ini adalah mutu soal yang benar dan sesuai dengan
level kompetensi ners general.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai prediksi positif nilai Try Out
terhadap hasil UKNI adalah sebesar 94,6 %, hal ini berartilulusan yang memiliki
nilai Try Out tinggi berpeluang 94,6 % untuk dapat lulus UKNI. Sementaranilai
prediksi negatif nilai Try Out terhadap hasil UKNI adalah sebesar 72,5 %, yang
berarti lulusan yang memiliki nilai Try Out rendah berpeluang 72,5 % untuk tidak
lulus UKNI.
166
Bila ditinjau dari sisi peserta Try Out dan UKNI, tentunya mereka
menginginkan nilai prediksi positif yang setinggi-tingginya dan nilai prediksi
negatif serendah-rendahnya. Nilai prediksi positif yang tinggi berarti tingginya
prevalensi lulusan yang lulus UKNI pada kelompok dengan nilai Try Out tinggi
(“true positive”) atau rendahnya prevalensi lulusan yang tidak lulus UKNI pada
kelompok dengan nilai Try Out tinggi (“false positive”) (Gordis, 2009). Pada
penelitian ini, “false positive” terjadi pada 4 orang lulusan yang memiliki nilai Try
Out berselisih kurang dari 1%, 2%, 3%, dan 6% dari nilai kelulusan UKNI.
Sehingga, dengan peningkatan nilai Try Out 3% dari nilai kelulusan UKNI dapat
mengurangi “false positive” sebesar 75%.
Sementara, nilai prediksi negatif yang rendah berarti rendahnya prevalensi
lulusan yang tidak lulus UKNI pada kelompok dengan nilai Try Outrendah (“true
negative”) atau tingginya prevalensi lulusan yang lulus UKNI pada kelompok
dengan nilai Try Out rendah (“false negative”)(Gordis, 2009). Pada penelitian ini,
“false negative” terjadi pada 11 orang lulusan yang memiliki nilai Try Out
berselisih kurang dari 1% (6 orang, atau 55%), 2% (2 orang, atau 18%), 3%, 4%,
dan 9% (masing-masing 1 orang, atau 9%) dari nilai kelulusan UKNI. Bila
dianalisis lebih lanjut, ternyata secara keseluruhan terdapat 7 orang yang
memiliki nilai Try Out berselisih kurang dari 1% dari nilai kelulusan UKNI, dengan
6 orang dintaranya lulus UKNI. Hal ini berarti prevalensi kelulusan UKNI pada
lulusan yang memiliki nilai Try Out berselisih kurang dari 1% dari nilai kelulusan
UKNI adalah sebesar 86%. Adanya jeda waktu yang cukup lama antara
pelaksanaan Try Out dengan pelaksanaan UKNI (sekitar 2 bulan) diperkirakan
dapat mempengaruhi terjadinya “false negative” ini. Lulusan yang memiliki nilai
Try Out rendah kemungkinan besar akan berusaha untuk meningkatkan
kemampuannya pada saat UKNI, denganmemanfaatkan jeda waktu tersebut.
Kompetensi perawat dapat dievaluasi dengan skala penilaian diri, tetapi
metode evaluasi lainnya dapat digunakan bersama untuk memastikan bahwa
kompetensi perawat dapat selesai dan dievaluasi secara kritis. Implikasi praktis
ditujukan untuk pendidikan perawat dan praktik keperawatan. Di masa depan,
167
penelitian longitudinal yang diperlukan untuk memahami pengembangan
kompetensi perawat selama pendidikan perawat dan proses transisi dari
mahasiswa keperawatan untuk menjadi perawat profesional (Unkuri, 2015).
Efisien proses program pendidikan yang ditawarkan oleh Sekolah
Keperawatan dipandang sebagai suatu kontinum (berkelanjutan) dan dari
berbagai perspektif untuk mengembangkan lapisan kompetensi membangun
kemajuan mahasiswa dalam program pendidikan. Sekolah Fakultas Keperawatan
menggunakan kompetensi sebagai dasar untuk mengembangkan pendekatan
baru dengan menggunakan literatur keterampilan, mengembangkan alat
penilaian kritis, dan merevisi program penelitian (Burke et al, 2005).
Uji kompetensi ners juga dapat dikategorikan sebagai tahap seleksi lulusan
yang dapat bekerja di tatanan klinik, hal yang sama juga dilaksanakan di luar
negeri yaitu mengikuti NCLEX-RN examination (Delgado, 2002).
SIMPULAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara nilai Try Out
dengan hasil UKNI. Lulusan yang memiliki nilai Try Out lebih besar dari atau sama
dengan nilai kelulusan UKNI memiliki peluang 3,4 kali lebih besar untuk lulus
UKNI dibandingkan lulusan yang memiliki nilai Try Out lebih kecil dari nilai
kelulusan UKNI. Try Out memiliki nilai prediksi positif terhadap hasil
UKNIsebesar 94,6 %. Try Out memiliki nilai prediksi negatif terhadap hasil UKNI
sebesar 72,5 %.
SARAN
Bagi Institusi Pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam
menyusun program pendidikan profesi Ners dan menyiapkan mahasiswa dalam
mengikuti uji kompetensi serta untuk meningkatkan tingkat kelulusan uji
kompetensi institusi pendidikan ners. Bagi Mahasiswa, hasil penelitian ini dapat
memberikan gambaran tentang predsiksi kelulusanuji kompetensi serta
meningkatkan kesiapan mahasiswa dalam mengikuti uji kompetensi, sehingga
168
mahasiswa dapat meningkatkan prediksi kelulusannya. bagi Pemangku Kebijakan
pelaksanaan TO dan UKNI, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar menyusun
kebijakan pelaksanaan try out dan uji kompetensi secara nasionalBagi lulusan
Ners disarankan untuk mengikuti Try Out dan berusaha untuk mendapatkan nilai
Try Out lebih besar dari atau sama dengan nilai kelulusan UKNI agar berpeluang
besar untuk lulus UKNI.
DAFTAR PUSTAKA
Burke et al. (2005). Developing Research Competence to Support Evidence-Based
Practice. Journal of Professional Nursing, Vol 21, No 6 (November–
December): pp 358–363.
Delgado, C. (2002). Competent and safe practice: a profile of disciplined registered
nurses. Nurse Educator, 27(4), 159-61
Gordis, L. (2009). Epidemiology, Fourth Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier.
Porta, M., Greenland, S., Last, J. M. (Eds.). (2008). A Dictionary of Epidemiology,
Fifth Edition. Oxford : Oxford University Press.
Septiari, Bety Bea. (2014). Uji Kompetensi Ners Indonesia (UKNI). Yogyakarta:
Naha Medika.
Silvestri, Linda Anne. (2016). Uji Kompetensi Indonesia Ners Indonesia (UKNI).
Editor: Nur Salam dan Fitri Hariyanti. Singapura: Elsevier.
Ristekdikti. (2016). Implementasi Uji Kompetensi Nasional bidang Kesehatan
sebagai Langkah Konkrit Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan.
http://ristekdikti.go.id/implementasi-uji-kompetensi-nasional-bidang-
kesehatan-sebagai-langkah-konkrit-penjaminan-mutu-pendidikan-tinggi-
kesehatan.
Unkuri, S.K. (2015). Nurse Competence Of Graduating Nursing Students.
Department of Nursing Science, Faculty of Medicine, University of Turku,
Finland. Annales Universitatis Turkuensis, Painosalama Oy, Turku 2015.
169
ANALISIS HASIL UJI KOMPETENSI NASIONAL SEBAGAI BAHAN PERBAIKAN
PROSES PEMBELAJARAN PADA PROGRAM NERS, DIPLOMA III
KEPERAWATAN DAN DILPLOMA III KEBIDANAN
Hartiah Haroen1, Made Kariasa2, Pramita Iriana3 ,Yeti Irawan4 dan Zaeni Dahlan5 1Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran 2Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia 3Poltekes 3 Jakarta 4Yeti Irawan 5Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kementrian Kesehatan.
Abstrak
Uji kompetensi nasional tenaga Kesehatan dilakukan sebagai salah satu strategi
untuk meningkatkan kualitas pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia yang
bertujuan untuk menjaga mutu pendidikan Karena dapat memberikan masukan
untuk perbaikan proses pembelajaran, kurikulum dan manajemen institusi.
Analisis hasil uji kompetensi nasional ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran ketercapaian uji kompetensi nasional berdasarkan “Blue Print” uji
komepetensi masing-masing profesi. Data uji kompetensi nasional 2013 di
analisis melalui serangkaian diskusi yang melibatkan PPSDM, organisasi profesi
dan WHO Indonesia. Hasil analisis menunjukan bahwa ketiga program studi
memperlihakan hasil yang sangat bervariarif pada ketercapaian hasil uji
kompetensi nasional sesuai dengan blue print. Tinjauan 1 samapai dengan
tinjauan 7 pada masing-masing program studi sebagai berikut ; Program Ners,
Etika keperawatan, aspek kognitif, keperawatan anak,tahap diagnose
keperawatan, aspekkuratif, KDM seks dan Askep system pernafasan. Sedangkan,
program Diploma 3 Hasilnya, Pengembangan profesi, aspek Konatif, Askep Jiwa,
tahap perencanaan, upaya preventive, KDM nilai dan keyakinan serta askep
system endokrin. Untuk program pendidikan Bidan, hasil tertinggi pada Aspek
landasan ilmiah praktek kebidanan, aspek kognitif, pada siklus bersalin, kegawat
daruratan, tahap implemetasi asuhan kebidanan pada tahap individu dan pada
seting pelayanan klinik unit kesehatan. Bila melihat hasil analisis, gambaran
menarik terlihat pada hasil ners dan diploma 3 keperawatan pada aspek area
kompetensi, dimana proram ners paling tinggi pada etika dan paling rendah pada
pengembangan profesi. Gambaran sebaliknya terlihat pada program diploma 3
keperawatan, paling tinggi penegmbangan profesi dan paling rendah etik. Hasil
analisis ujian kompetensi nasional ini dapat memberikan masukan pada
170
pengembagan kurikulum pendidikan ners, perawat dan bidan agar sesuai dengan
peran dan fungsi nya ketika nanti peserta didik lulus dan menjadi tenaga
kesehatan.
Key words: Uji Kompetensi Nasional, proses pembelajaran
171
FAKTOR-FAKTOR PREDIKSI KEBERHASILAN UJI KOMPETENSI NASIONAL Yakobus Siswadi1, Christine L. Sommers2, Grace Solely Houghty3 1,2,3 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Pelita Harapan Jakarta E-mail: [email protected]
Abstrak
Profesi keperawatan Indonesia memasuki babak baru pada tahun 2014 dengan
disahkanya Undang-Undang Keperawatan dan salah satu pelaksanaan dari UU
tersebut adalah pelaksanaan ujian kompetensi ners untuk semua lulusan perawat.
Keuntungan dari uji komptensi ners bukan hanya untuk diri perawat tetapi
berimplikasi juga pada klien dan pelayanan keperawatan karena pelayanan
keperawatan dilakukan oleh perawat yang berkualitas. Pelaksanaan uji komptensi
menghadapi beberapa tantangan seperti fasilitas, masalah tehnik (koneksi
internet, kelistrikan dll), tingkat kelulusan dan nilai kelulusan yang rendah.
Tingkat dan nilai kelulusan menjadi salah satu perhatian dari seluruh
penyelenggara pendidikan keperawatan karena hasil ini menjadi potret tentang
institusinya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang bisa
memprediksi keberhasilan dalam uji komptensi nasional. Desin: penelitian adalah
descriptive kuantitative. Partisipan dalam penelitian adalah lulusan program ners
Fakultas Keperawatan Universitas Pelita Harapan yang mengikuti uji kompensi
ners pada bulan September 2016. Hasil: tingkat kelulusan uji kompetensi ners
adalah 98% dari 49 partisipan. Uji statistic menunjukan tidak ada hubungan yang
significant (p< .5) antara variable usia, jenis kelamin, jenis program, iBT skor, IPK
akademik, IPK profesi, daerah asal, pelatihan analisa soal dan tray out dengan uji
komptensi ners. Kesimpulan: Penilitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan
melibatkan responden lebih luas dari segi jumlah dan institusi sehingga dapat
memberikan gambaran lebih jauh tentang uji komptensi nasional.
Kata Kunci : Faktor prediksi, Uji Kompetensi Nasional
172
HUBUNGAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF (IPK) PROFESI DOKTER DAN
NILAI UJIAN KOMPREHENSIF DENGAN KELULUSAN FIRSTAKER UJI
KOMPETENSI MAHASISWA PROGRAM PROFESI DOKTER (UKMPPD)
Raden Ayu Tanzila1, Putri Zalika2
1,2 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Email: [email protected]
Abstrak
Ukuran mahasiswa dalam menyelesaikan sebuah pendidikan tinggi dinyatakan
dalam bentuk Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Penentuan kelulusan mahasiswa
profesi dokter saat ini ditentukan dalam Uji Kompetensi Mahasiswa Program
Profesi Dokter (UKMPPD). Saat ini masih cukup banyak mahasiswa fakultas
kedokteran di Indonesia yang mengikuti UKMPPD namun belum dapat lulus
UKMPPD sebagai lulusan firstaker. Salah satu bentuk evaluasi mahasiswa profesi
dokter di FK Universitas Muhammadiyah Palembang sebelum mengikuti UKMPPD
adalah Ujian Komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan
antara IPK Profesi Dokter dan nilai Ujian Komprehensif terhadap kelulusan
firstaker UKMPPD. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan
desain potong-lintang, sampel yang digunakan adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang angkatan 2008. Data
dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian didapatkan
korelasi yang signifikan antara IPK dan kelulusan UKMPPD dengan nilai p = 0,008
(p<0,05) serta didapatkan korelasi yang signifikan antara nilai Ujian
Komprehensif dengan kelulusan UKMPPD dengan nilai p=0,010 (p<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan IPK Profesi Dokter dan nilai Ujian
Komprehensif terhadap kelulusan firstaker UKMPPD. Perlu pembahasan lebih
lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelulusan firstaker
UKMPPD.
Kata Kunci: IPK, UKMPPD, firstaker, Ujian Komprehensif
173
PENGARUH KARAKTERISTIK PENGUJI TERHADAP DERAJAT KESESUAIAN ANTAR PENGUJI OSCE DI PRODI D3 KEBIDANAN FK.UNPAD
Tina Dewi Judistiani1, Khalidatunnur Andriani2, Yuni Susanti Pratiwi3
4. Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK.Unpad 5. Prodi D.IV Kebidanan FK.Unpad 6. Departemen Fisiologi FK.Unpad E-mail : [email protected]
Abstrak
Reliabilitas ujian Objective Structured Clinical Examination (OSCE) dapat
ditingkatkan dengan menilai derajat kesesuaian antar-penguji dalam memberikan
penilaian ujian.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis derajat
kesesuaian antar-penguji OSCE dan menganalisis pengaruh karakteristik penguji
terhadap derajat kesesuaian antar penguji OSCE.Penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian potong silang. Sampel penelitian ini adalah seluruh dosen
tetap bidan berjumlah 16 orang, 10 mahasiswa Program Studi D3 Kebidanan FK
Unpad semester 6 dan 2 orang pasien simulasi. Analisis penelitian untuk melihat
derajat kesesuain antar-penguji menggunakan Fleiss Kappa sedangkan untuk
melihat pengaruh karakteristik penguji terhadap derajat kesesuaian antar-penguji
digunakan uji t tidak berpasangan, uji Mann-Whitney dan uji Kruskal-Wallis.
Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan derajat kesesuaian antar-
penguji OSCE (nilai kappa <0,4), karakteristik penguji yaitu pengalaman klinik,
pengalaman menjadi pengajar keterampilan yang diujikan, keikutsertaan dalam
standardisasi OSCE dan pengalaman menguji OSCE berpengaruh terhadap derajat
kesesuaian antar-penguji (p <0,005), sedangkan masa kerja penguji dan
pengalaman dalam merancang pojok uji yang dinilai tidak berpengaruh terhadap
derajat kesesuaian antar-penguji OSCE. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat
perbedaan derajat kesesuaian antar-penguji di Program Studi D3 Kebidanan FK
Unpad dan karakteristik penguji yang berpengaruh terhadap derajat kesesuaian
antar-penguji adalah pengalaman klinik, pengalaman menjadi pengajar
keterampilan yang diujikan, keikutsertaan dalam standardisasi OSCE dan
pengalaman menguji OSCE.
Kata Kunci : Derajat kesesuaian, OSCE, penguji
174
Latar Belakang Penelitian
Penilaian hasil belajar mahasiswa (assessment) merupakan
modalitas penting untuk memperoleh umpan balik yang konstruktif tentang
mutu pendidikan yang berjalan di institusi masing masing.1 Informasi
penting yang bisa diperoleh antara lain tentang jenis capaian tujuan
pembelajaran, tingkat pencapaian tujuan pembelajaran sehingga program
pendidikan dapat berkembang, sekaligus merupakan kesempatan yang baik bagi
mahasiswa untuk mengevaluasi diri.1-3 Meskipun belum ditemukan konsep
metode assessment dengan kualitas sempurna, aspek validitas, reliabilitas, dan
kemampulaksanaannya diadikan ukuran sementara kualitas metode assessment
serta bagaimana proses ini memberikan kritik konstruktif terhadap proses
pembelajaran.1, 4 Penilaian hasil belajar untuk kompetensi keterampilan klinik
salah satunya dilakukan dengan metode Objective Structured Clinical
Examination (OSCE).
OSCE diperkenalkan pertama kali oleh Harden pada tahun 1975, untuk
menilai hasil belajar mahasiswa pada keterampilan klinik mahasiswa kedokteran
tingkat akhir. Harden berpendapat bahwa ujian OSCE lebih objektif dan reliabel
dalam menilai keterampilan mahasiswa dan berperan penting pada
pengembangan keterampilan klinis yang efektif.4-7
Validitas metoda uji dan obyektifitas adalah topik penting, Tidak mungkin
pengujian pencapaian keterampilan klinik hanya berdasarkan test tertulis. Bias
pengukuran dikontrol dengan menggunakan alat uji berupa daftar tilik yang sama,
175
dengan kriteria kinerja yang terukur. Terstruktur maksudnya adalah bahwa
sekumpulan mahasiswa diuji dengan jenis tugas yang sama, dalam alokasi waktu
ujian yang sama.8-9
Hal lain yang dapat mempengaruhi hasil ujian OSCE adalah faktor penguji,
penggunaan pasien simulasi (standardized patient), bahan yang diujikan, sistem
penilaian serta waktu pengayaan yang diberikan kepada mahasiswa,
fluktuasi emosi, perubahan motivasi pada saat menguji, kehilangan
konsentrasi pada saat menguji, kondisi fisik penguji. Agar menghasilkan penguji
OSCE yang objektif maka Fakultas Kedokteran Unpad telah mengadakan
standardisasi keterampilan klinik, pelatihan keterampilan mendidik seperti
Clinical Training Skills (CTS), preseptor, dan Training of Trainer (TOT), dan
mengajarkan keterampilan klinik baik di laboratorium maupun di klinik.
Berdasarkan pedoman persiapan dan penyelenggaraan OSCE UKDI, syarat
menjadi penguji OSCE adalah latar belakang pendidikan minimal S2, sudah
berpengalaman menjadi pengajar keterampilan klinik baik di laboratorium
maupun di klinik selama 1 tahun, telah mengikuti pelatihan yang terstandar
sebagai penguji OSCE.10 Penelitian OSCE yang dilakukan oleh Medical Council of
Canada pada tahun 1992, menyatakan bahwa beberapa determinan penguji
mempunyai pengaruh signifikan dalam 40% pojok uji yang dilaksanakan.11-13
Pengalaman di sebuah institusi pendidikan kedokter menunjukkan 82%
peserta ujian dan dosen berpendapat bahwa penilaian OSCE masih subjektif, dan
dapat dipengaruhi oleh perbedaan cara menilai dosen akibat pengaruh
176
berbedanya karakter.12 Tak dapat disangkal bahwa reliabilitas penguji perlu
dievaluasi.
Kesamaan persepsi antar-penguji dalam menilai dinyatakan sebagai derajat
kesesuaian antar-penguji (inter-rater reliability). Derajat kesesuaian antar-penguji
yang baik menghindarkan persepsi dosen yang berbeda atas keterampilan
mahasiswa. Jika nilai semua penguji ‘sama’ dalam mengobservasi mahasiswa yang
sama maka penilaian tersebut dikatakan objektif, akan tetapi hal ini sulit
ditemukan.
Penelitian lain menyatakan bahwa keterlibatan penguji dalam membangun
pojok uji OSCE kurang berhubungan dengan derajat kesesuaian antar-penguji
dalam menilai keterampilan klinis. Pengalaman menguji OSCE dan pengalaman
klinik penguji bahkan tidak mempunyai hubungan dengan derajat kesesuaian
antar-penguji dalam menilai keterampilan klinis, kecuali jika penilaian ujian
menggunakan daftar tilik berskala karena pengalaman penguji akan berguna
dalam menilai keseluruhan performa mahasiswa dalam melakukan keterampilan
klinis.13 Hal lain yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah korelasi lembar
penilaian terhadap objektivitas ujian relatif kecil dibandingkan dengan faktor
penguji, namun meningkatnya jumlah butir daftar tilik pada lembar penilaian
dapat menurunkan validitas dan reliabilitasnya.13
Reliabilitas seorang klinisi sebagai penguji lebih baik jika alat uji yang
digunakan berupa sistem penilaian global (global scoring system). Klinisi yang
berpengalaman sering menilai keterampilan sesorang dari sisi efisiensi, bukan
177
semata-mata mencakup semua aspek yang tertera di daftar tilik.13-14
Hingga tahun 2013 penulis belum menemukan penelitian tentang derajat
kesesuaian antar-penguji pada ujian OSCE untuk mahasiswa kedokteran,
kebidanan bahkan keperawatan di Indonesia. Belum seluruh institusi pendidikan
kebidanan di Indonesia menyelenggarakan ujian keterampilan klinik
menggunakan metode OSCE karena belum semua institusi pendidikan mengikuti
pelatihan ujian OSCE, sumber daya manusia yang belum memenuhi syarat sebagai
penguji OSCE dan biaya penyelenggaraan ujian yang mahal.
Program Studi D3 Kebidanan FK Unpad telah berdiri sejak 2007, sampai
tahun 2013 dosen bidan yang ada berjumlah 17 orang, dan telah mengadakan
ujian akhir program dengan metode OSCE selama lima kali, namun selalu lebih .
dari 50 % mahasiswa perlu menjalani remedial. Kriteria eligibilitas dosen sebagai
penguji OSCE adalah mengikuti sosialisasi ujian OSCE dan mengajarkan
keterampilan yang diujikan dalam ujian OSCE. Hambatan proses pengembangan
keterampilan dosen saat itu mendorong dilakukannya penelitian ini, mengingat
ketidaksesuaian antar-penguji dalam menilai sangat mempengaruhi hasil evaluasi
keterampilan klinik maka perlu dilakukan evaluasi sesegera mungkin.
METODE PENELITIAN
Populasi subjek penelitian ini adalah seluruh dosen tetap Bidan di Program
Studi D3 Kebidanan yang dijadikan sebagai penguji OSCE berjumlah 16 orang, 10
orang mahasiswa Program Studi D3 Kebidanan FK Unpad semester 6, dan pasien
simulasi .
178
Penelitian potong silang analitik dilakukan untuk menganalisis derajat
kesesuaian antar-penguji OSCE di Program Studi D3 Kebidanan FK Unpad.
Subvariabel karakteristik yang dinilai yaitu masa kerja penguji, pengalaman
menguji, pengalaman menjadi pengajar keterampilan yang diujikan, pengalaman
klinik, pengalaman dalam merancang pojok uji yang dinilai, dan keikutsertaan
dalam standardisasi penguji OSCE. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
nilai hasil ujian OSCE mahasiswa.
Adapun kompetensi bidan yang diujikan adalah asuhan kehamilan normal
(pemeriksaan fisik, diagnosis), Asuhan kehamilan patologi (konseling), asuhan
persalinan (penatalaksanaan kala 2 dan 3), Asuhan persalinan (penatalaksanaan
penjahitan perineum), asuhan nifas normal (perawatan payudara), asuhan nifas
patologi (pemeriksaan fisik dan diagnosis), asuhan bayi baru lahir (pemeriksaan
fisik), asuhan neonatus, bayi dan balita (pemberian immunisasi), pelayanan KB
(konseling alat kontrasepsi), Pelayanan KB (pemasangan IUD Copper T),
Kegawatdaruratan maternal (penanganan atonia uteri), kegawatdaruratan
neonatal (resusitasi BBL).
Sepasang dosen dengan masa kerja lebih dari 7 tahun diminta untuk
menilai 2 hingga 3 pojok uji, sedangkan yang kurang dari 7 tahun mendapat 3-4
pojok uji. Pojok uji yang harus dinilai penguji dipilih secara acak. Selama penilaian
tidak boleh terjadi kontak antar penguji agar nilai yang diberikan adalah murni
dari penilaiannya sendiri. Lembar penilaian yang digunakan adalah daftar tilik
global rating scale. Analisis hasil penelitian untuk melihat derajat kesesuain antar-
penguji menggunakan Fleiss Kappa, jika indeks k < 0,4 berarti buruk; 0,4< k
<0,75 berarti baik sedangkan k > 0,75 berarti sangat baik. Uji beda rerata nilai
179
OSCE berdasarkan karakteristik penguji digunakan uji t tidak berpasangan, uji
Mann-Whitney dan uji Kruskal-Wallis.
Hasil penelitian
Karakteristik Dosen Penguji pada Program Studi D3 Kebidanan tahun
2013 tampak dalam tabel berikut .
Tabel 1. Karakteristik Dosen
Karakteristik Penguji n=16 %
Masa Kerja < 7 tahun 7 44 >7 tahun 9 56
Pelatihan keterampilan klinik yang pernah diikuti
CI / Preseptor 12 75 CI/Preseptor & TOT 4 25
Pengalaman Klinik < 3 tahun 11 69 >3 tahun 5 31
Keikutsertaan dalam Standardisasi OSCE Jarang 5 31 Sering 8 50 Selalu 3 19
Pengalaman Menguji OSCE < 4 kali 5 31 >4 kali 11 69
Pada tahun 2013 sebesar 56 % dosen penguji OSCE di Program Studi D3
Kebidanan FK Unpad mempunyai masa kerja sebagai dosen > 7 tahun, akan
tetapi pengalaman kliniknya tidak selama masa kerjanya bahkan kurang lama
Kedisiplinan dalam mengikuti standardisasi OSCE hanya 50% dan karena
berbagai keterbatasan baru 25% dosen penguji yang telah mengikuti pelatihan
180
TOT. Meskipun demikian 69 % diantara dosen memiliki pengalaman menguji
OSCE lebih dari 4 kali.
Diketahui bahwa pada setiap pojok uji sebagian besar penguji OSCE
(83%) mempunyai pengalaman menjadi pengajar keterampilan tersebut ,
berpengalaman dalam membuat silabusnya (58%), berpengalaman dalam
membuat modul keterampilan klinik yang dinilai (75%) dan berpengalaman
dalam merancang pojok uji yang dinilai (58%). Angka angka ini cukup tinggi
karena sistem penugasan pendidikan berdasarkan kelompok dosen dan
kesempatan menguji diberikan secara rotasi untuk memberikan pengayaan.
Tabel 2 Perbedaan Hasil Penilaian Ujian OSCE Menurut Karakteritik Dosen
Karakteristik Penguji Rerata (s.b.)
Perbedaan Rerata
P*
(IK95%)
Masa kerja penguji
< 7 tahun 75,5 (4,1)
0,5 (-3,2 – 4,2) 0,78
> 7 tahun 76,1 (3,7)
Pengalaman menjadi pengajar keterampilan yang diujikan dalam OSCE
Ya 76,8 (3,4)
6,7 (3,4 - 10) 0,001
Tidak 70,1 (3,7)
Pengalaman dalam merancang pojok uji yang dinilai sekarang
Ya 78,7 (2) 0,6 (-1,9 – 3,1) 0,62
Tidak 78,1 (3,2)
Pengalaman menguji OSCE
< 4 kali menguji 61,5 (3,8)
14,1 (10,6 – 17,7) < 0,001
> 4 kali menguji 75,6 (3,8)
181
Karakteristik Penguji Median
P
(minimum – maksimum)
Pengalaman klinik profesi
< 3 tahun 76,5 (74 –
83) < 0,001**
> 3 tahun
58 (51 – 64)
Keikutsertaan dalam standardisasi OSCE
Jarang 63,5 (55 –
69)
Sering 72,5 (67 –
77) < 0,001***
Selalu 51,5 (47 –
55) Keterangan : 1. Uji t tidak berpasangan 1. Uji Mann Whitney 2. Uji Kruskal-Wallis, Uji Post hoc Mann-Whitney : Jarang vs Sering p < 0,001,
Jarang vs Selalu p < 0,001, Sering vs Selalu p < 0,001
Perbedaan yang bermakna pada nilai OSCE yang diperoleh mahasiswa
nampaknya berkaitan dengan pengalaman menjadi pengajar dalam
keterampilan yang diujikan dan frekuensi menguji OSCE. Tampaknya semakin
sering seorang Dosen mengajar dan menguji OSCE maka nilai yang dihasilkan
makin baik. Sebaliknya semakin lama pengalaman klinik seorang dosen bidan
dalam menjalankan profesinya, serta kekerapan mengikuti standarisasi OSCE
membuat nilai OSCE yang diberikan cenderung lebih rendah.
Hasil analisis derajat kesesuaian antar-penguji di Program D3
Kebidanan FK Unpad pada tahun 2013 menunjukkan indeks Fleis kappa < 0,4
pada seluruh pojok uji. Perbandingan ini dibuat dengan menetapkan variabel
182
dependen berupa angka mentah hasil ujian maupun kriteria lulus-tidak lulus.
Tentu saja hal ini bukanlah hasil yang diharapkan.
Diskusi
Upaya menjaga mutu program pendidikan seyogyanya selalu dilakukan
secara berkesinambungan, hasilnya perlu dievaluasi dan diperbaiki.
Kesibukan dalam menjalankan tugas sehari hari dengan beban kerja yang tinggi
dapat membuat aspek evaluasi terlupakan. Dalam refleksi, beban jumlah
mahasiswa keseluruhan tahun 1 sampai tahun 3 pada prodi kebidanan pada
tahun 2010 - 2013 mencapai 210 orang, sehingga rasio dosen:mahasiswa
sebesar 1:13. Untuk program pendidikan vokasi, jumlah ini tentu saja
kurang memadai. Penelusuran data pengembangan staf pada periode tersebut
tidak ditemukan catatan pelatihan terkait OSCE bagi dosen prodi.
Secara teoretik derajat kesesuaian antar-penguji yang tidak sesuai harapan
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : objektifitas alat uji, tingkat
kesulitan soal yang diujikan, penjelasan deskripsi penilaian pada lembar penilaian
tidak jelas sehingga menyebabkan perbedaan persepsi penguji pada saat
memberikan nilai, pelatihan penguji yang tidak memadai, penguji yang tidak
homogen baik dari segi pengalaman menguji; pengalaman menjadi pengajar
keterampilan klinik; pengalaman profesi, ketidakmampuan penguji dalam
menginternalisasikan deskripsi penilaian, fluktuasi emosional, perubahan
motivasi pada saat menguji, kehilangan perhatian pada saat menguji, dan kondisi
fisik penguji.
183
Masalah sumber daya masnusia dosen penguji pada program Studi D3
Kebidanan FK Unpad dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Seluruh penguji OSCE di Program Studi D3 Kebidanan FK Unpad belum
mendapatkan standardisasi atau pelatihan penguji OSCE yang memadai walaupun
di Program Studi ini ujian OSCE sudah dilaksanakan selama 5 tahun. Menurut
Wang pelatihan penguji OSCE sangat penting dan dapat membuat derajat
kesuaian antar-penguji OSCE menjadi baik39
2) Penguji OSCE yang tidak homogen dalam pengalaman menguji., maupun dalam
mengikuti pelatihan mengajarkan keterampilan seperti CTS dan TOT. Pelatihan
ini sangat penting dalam menunjang cara mengajar keterampilan klinik yang baik
kepada mahasiswa dan meningkatkan pemahaman penguji dalam melakukan
keterampilan klinik.
3) Pengalaman sebagai pengajar keterampilan klinik yang diujikan juga berbeda.
Jika penguji memberikan penilaian pada keterampilan klinis yang diajarkannya
maka penguji akan memberikan nilai lebih objektif karena penguji lebih paham
akan materi yang diujikan. Pernyataan ini dapat mengundang kontroversi karena
sebagian dosen ada yang berpendapat bahwa dalam kasus seperti ini obyektivitas
mengalami distorsi jika dosen cemas akan penilaian terhadap kinerja nya masing
masing.
4) Penguji pada saat itu tidak seluruhnya aktif berpraktik sebagai bidan diluar
tugasnya sebagai dosen. Jika penguji mengaplikasikan keterampilannya dalam
praktik maka penguji dapat memberikan penilaian yang lebih obyektif karena
pemahaman akan batas keterampilan minimal yang diharapkan dari seorang
184
mahasiswa. Keterampilan klinis akan meningkat dengan berjalannya waktu
mempraktikan keterampilan tersebut.
Selain faktor penguji, faktor objektivitas alat uji dapat mempengaruhi
derajat kesesuaian penilaian antar-penguj. Lembar penilaian yang rinci, mudah
dipahami, mudah diisi dan praktis akan memudahkan penguji dalam menilai
keterampilan. Oleh karena itu objektivitas alat uji perlu diuji.
Untuk dapat meningkatkan derajat kesesuaian antar-penguji dapat
dilakukan berbagai cara yaitu : 1) melakukan pelatihan penguji OSCE dimana para
penguji melakukan menilai keterampilan klinik mahasiswa, penilaian ini dapat
menggunakan video atau simulasi ujian lalu para penguji mendiskusikan hasil
penilaian tersebut terutama jika para penguji memberikan hasil penilaian yang
berbeda dengan cara para penguji mendiskusikan rasionalisasi penilaiannya
sehingga akhirnya didapatkan standar penilaian sehingga seluruh penguji
mempunyai persepsi yang sama dalam menguji; 2) melakukan penyegaran
pelatihan penguji OSCE dalam jangka waktu tertentu. Dengan berkembangnya
berbagai macam penelitian tentang penanganan suatu penyakit, tentu akan ada
perubahan dalam teknik keterampilan klinis kebidanan atau perubahan dalam
sistem penilaian keterampilan klinis sehingga para penguji OSCE harus mengikuti
penyegaran pelatihan penguji agar dapat memberikan penilaian ujian yang
objektif ; 3) membuat lembar penilaian yang lebih rinci dan mudah dipahami oleh
seluruh penguji.13, 36, 39
Masa kerja dosen yang lama memberikan pengalaman yang banyak
mengajarkan sekaligus menguji. Berbeda kalau dosen hanya menguji tanpa
185
terlibat dalam pengajaran atau dosen terlibat dalam pengajaran tetapi tidak
terbiasa menguji dengan sistem OSCE akan mengakibatkan adanya perbedaan
persepsi dalam menilai keterampilan klinis tersebut. Pada penelitian ini tampak
bahwa masa kerja tidak berpengaruh terhadap hasil penilaian ujian OSCE (p =
0,78).
Pengalaman klinik berpengaruh secara bermakna terhadap hasil penilaian
ujian OSCE (p < 0,001) karena penguji lebih memahami cara melakukan
keterampilan klinik yang diujikan, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang
baik2, 35
Penguji yang mempunyai pengalaman klinik sudah terbiasa dalam
melakukan keterampilan klinik tersebut dalam kesehariannya ketika berpraktik,
dan mengetahui cara melakukan prosedur keterampilan klinik yang efektif dan
efisien. Semakin terampil dalam melakukan keterampilan klinik semakin cepat
waktu pengerjaannya. Dalam hal ini formulir penilaian yang digunakan perlu
bersifat global, selain OSCE ini diujikan pada mahasiswa tahun ke tiga yang
merupakan tahun terakhir proses belajar, penguji menilai keseluruhan performa
mahasiswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman pengalaman dalam
merancang pojok uji yang dinilai tidak berpengaruh terhadap pemberian nilai
ujian OSCE (p = 0,62). Hal ini tidak sejalan dengan dengan penelitian Wilkinson
yang menyatakan bahwa keterlibatan penguji dalam merancang pojok uji OSCE
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap derajat kesesuaian antar-penguji
dalam menilai keterampilan klinis (r = 0.23, p <0.005).13 Pengalaman dalam
merancang pojok uji dapat meningkatkan derajat kesesuaian antar-penguji
186
karena penguji yang mempunyai pengalaman merancang pojok uji seperti
membuat kisi-kisi soal, membuat soal dan membuat daftar tilik OSCE dapat
memberikan penilaian OSCE lebih baik karena penguji lebih paham akan tujuan
pembelajaran yang harus dicapai. Dalam penelitian ini sebagian besar penguji
mempunyai pengalaman dalam merancang pojok uji yang dinilai tetapi karena
belum mengikuti pelatihan penguji OSCE yang terstandar menyebabkan masih
terdapat perbedaan persepsi dalam menilai mahasiswa.
Keikutsertaan dalam standardisasi ujian OSCE berpengaruh secara
bermakna terhadap hasil penilaian ujian OSCE (p < 0,001). Penguji yang selalu
mengikuti standardisasi ujian lebih baik dalam menilai dibandingkan penguji
yang sering atau jarang mengikuti standardisasi. Menurut penelitian Turner dan
Wilkinson, keikutsertaan penguji dalam pelatihan OSCE atau pelatihan penguji
OSCE dapat meningkatkan objektivitas dan menghasilkan keputusan yang baik
dalam menguji.4, 13 Standardisasi penguji merupakan bagian kecil dari pelatihan
penguji OSCE. Standardisasi penguji dilakukan 1 hari sebelum ujian dilakukan dan
1 jam sebelum ujian dilaksanakan, tujuannya adalah agar seluruh penguji
mempunyai persepsi yang sama dalam menilai.
Keikutsertaan penguji dalam standardisasi ujian OSCE sebelum ujian
tersebut dilaksanakan dapat mempengaruhi derajat kesesuaian antar-penguji
dikarenakan pada saat standardisasi tersebut para penguji mendiskusikan soal
ujian, lembar penilaian dan cara menilai sehingga dapat dicapai kesepakatan
dalam menilai.
Standardisasi penguji yang dilakukan di Program Studi D3 Kebidanan
dilaksanakan 1 hari sebelum ujian, para penguji dipaparkan soal ujian dan lembar
187
penilaiannya lalu dibahas bagaimana cara penilaian ujian tersebut. Jika pada ujian
akhir program standardisasi biasanya dilakukan minimal 1 minggu sebelum ujian
dilaksanakan agar penguji benar-benar memahami soal dan tata cara penilaian
karena ujian akhir bertujuan untuk menentukan kelulusan mahasiswa dari
institusi pendidikan.
Pengalaman menguji berpengaruh secara bermakna terhadap hasil
penilaian ujian OSCE (p < 0,001). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lio yang
menyatakan bahwa penguji OSCE yang berpengalaman dapat meningkatkan
derajat kesesuaian antar-penguji pada sistem penilaian global.19 Penelitian
Wilkinson juga menyatakan bahwa pengalaman menguji tidak berhubungan
dengan derajat kesesuaian antar-penguji jika penilaian menggunakan daftar
tilik.13
Pengalaman menguji OSCE dapat mempengaruhi derajat kesesuaian antar-
penguji karena seseorang yang berpengalaman menjadi penguji dapat
memberikan keputusan atau penilaian yang baik karena pengalaman dalam
menguji dapat membentuk keahlian penguji secara teknis dan psikis dalam
pemberian nilai.
Yang dimaksud dengan membentuk keahlian penguji secara teknis yaitu
penguji yang lebih sering menguji OSCE lebih paham akan cara penilaian ujian
dan tidak ragu-ragu dalam memberikan nilai dan penguji lebih dapat
berkonsentrasi dalam menilai selain itu penguji yang mempunyai pengalam
menguji lebih sering lebih bijak dalam mengambil keputusan saat menilai
mahasiswa, sedangkan membentuk keahlian secara psikis adalah penguji yang
lebih berpengalam dapat mengatasi beban psikis penguji dalam mengambil
188
keputusan kelulusan mahasiswa, biasanya pada ujian akhir program, beban
psikologi penguji lebih besar karenaberpengaruh terhadap kelulusan mahasiswa
dari institusi pendidikan.
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini tidak mengobservasi motivasi, konsentrasi dan kondisi fisik
penguji pada saat menguji.
2. Dalam simulasi ujian OSCE yang dilakukan terutama pada pojok uji
pemeriksaan kehamilan menggunakan pasien standar.
3. Penguji OSCE yang bervariasi yaitu belum seluruh penguji mengikuti
pelatihan mengajar keterampilan klinik seperti CTS dan TOT serta
pelatihan penguji OSCE
4. Daftar tilik yang digunakan untuk menilai adalah daftar tilik Prodi yang
belum dianalisis reliabilitasnya.
SIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan adaya perbedaan derajat kesesuaian antar-
penguji di Program Studi D3 Kebidanan FK Unpad pada tahun 2013. Karakteristik
penguji nampaknya berkaitan berkaitan dengan nilai ujian, sehingga disarankan
agar dosen penguji tetap menjalankan profesinya sebagai bidan, aktif menjadi
pengajar dalam laboratorium keterampilan klinik, mengikuti proses standarisasi
OSCE dan sering berperan menjadi penguji OSCE.
189
DAFTAR PUSTAKA 1. Tambunan T, Soetjiningsih, Supriyatno B. Sistem Evaluasi pada Pendidikan Dokter Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia; 2011. 2. Amin Z, Eng KH. Basics in Medical Education. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.; 2003. 3. Epstein RM. Assessment in Medical Education. New England Journal of Medicine. 2007;356(4):387-96. Diunduh tanggal 21/05/2012. 4. Turner JL, Dankoski ME. Objective structured clinical exams: a critical review. Family Medicine. 2008 Sep;40(8):574-8. Diunduh tanggal 24/05/2012. 5. Miller JK. Competency-Based Training: Objective Structured Clinical Exercises (OSCE) in Marriage and Family Therapy. Journal of Marital and Family Therapy. 2010;36(3):320-32. Diunduh tanggal 20/07/2012. 6. Harden RM, Stevenson M, Downie WW, Wilson GM. Assessment of clinical competence using objective structured examination. British Medical Journal. 1975 1975-02-22 1(5955):447-51. Diunduh tanggal 24/07/2012. 7. Caballero C, Creed F, Gochmanski C, Lovegrove J. Nursing OSCEs A Complete Guide to Exam Success. New York: Oxford University Press; 2012. 8. Newble D. Techniques for measuring clinical competence: objective structured clinical examinations. Medical Education. 2004;38(2):199-203. Diunduh tanggal 14/05/2012. 9. Regehr G, MacRae H, Reznick RK, Szalay D. Comparing the psychometric properties of checklists and global rating scales for assessing performance on an OSCE-format examination. Academic Medicine. 1998;73(9):993-7. Diunduh tanggal 23/05/2012. 10. Project H. Pedoman Persiapan dan Penyelengaraan Objective Structured Clinical Examination (OSCE) Uji Kompetensi Dokter dan Dokter Gigi Indonesia. RI KPdK, editor. Jakarta2011. 11. Reznick R, Smee S, Rothman A, Chalmers A, Swanson D, Dufresne L, et al. An objective structured clinical examination for the licentiate: report of the pilot project of the Medical Council of Canada. Academic Medicine. 1992;67(8):487-94. Diunduh tanggal 23/05/2012. 12. Affandi Y. OSCE UKDI : Antara ‘Outcome’ Daya Ingat 90% dan Keraguan 52% Mahasiswa2012; RUBRIK OPINI – 3rd Spektrum BPN ISMKI: Available from: http://www.bpn.ismki.org/osce-ukdi-antara-outcome-daya-ingat- 90-dan-keraguan-52-mahasiswa-2/. Diunduh tanggal 20/07/2012. 13. Wilkinson TJ, Frampton CM, Thompson-Fawcett M, Egan T. Objectivity in Objective Structured Clinical Examinations: Checklists Are No Substitute for Examiner Commitment. Academic Medicine. 2003;78(2):219-23. Diunduh tanggal 16/05/2012. 14. Hodges B, Regehr G, McNaughton N, Tiberius R, Hanson M. OSCE checklists do not capture increasing levels of expertise. Academic medicine : Journal of the Association of American Medical Colleges. 1999;74(10):1129-34. Diunduh tanggal 23/05/2012. 15. Sullivan GM. A primer on the validity of assessment instruments. Journal
190
Graduate Medical Education. 2011 Jun;3(2):119-20. Diunduh tanggal 09/05/2012. 16. Hubal RC, Kizakevich PN, Guinn CI, Merino KD, West SL. The Virtual Standardized Patient 2000:Diunduh tanggal 20/09/2012. 17. Boulet JR, Smee SM, Dillon GF, Gimpel JR. The Use of Standardized Patient Assessments for Certification and Licensure Decisions. Simulation in Healthcare. 2009;4(1):35-42 10.1097/SIH.0b013e318182fc6c. Diunduh tanggal 20/09/2012. 18. Wass V, Van der Vleuten C, Shatzer J, Jones R. Assessment of clinical competence. The Lancet. 2001;357(9260):945-9. Diunduh tanggal 21/05/2012. 19. Liao SC, Hunt EA, Chen W. Comparison between Inter-rater Reliability and Inter-rater Agreement in Performance Assessment. Annals Academy Medicine Singapore. 2010;39 No. 8:613-8. Diunduh tanggal 09/05/2012. 20. Suprananto K. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2012. 21. Sukardi. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara; 2011. 22. Gupta P, Dewan P, T S. Objective Structured Clinical Examination (OSCE) Revisited. Indian Pediatrics. 2010 November 17, 2010;47(11):911-20. Diunduh tanggal 24/01/2013. 23. Gromley G. Summative OSCEs in undergraduate medical education. Ulster Medical Journal. 2011 3 August 2011;80(3):127-32. Diunduh tanggal 20/09/2012. 24. Timur PKJ. Sistem Pelatihan di JNPK-KR2011: Available from: http://p2ks-jatim.org/sistem_pelatihan.php. 25. Lake F, Hamdorf J. Teaching on the run tips 5: teaching a skill. Med J Aust. 2004;181(6):327 - 8 Diunduh tanggal 17 Juli 2014. 26. Krautter M, Weyrich P, Schultz J, Buss S, Maatouk I, Junger J, et al. Effects of Peyton's four-step approach on objective performance measures in technical skills training: a controlled trial. Teach Learn Med. 2011;23(3):244 - 50 Diunduh Tanggal 17 Juli 2014. 27. Nikendei C, Huber J, Stiepak J, Huhn D, Lauter J, Herzog W, et al. Modification of Peyton's four-step approach for small group teaching - a descriptive study. BMC Medical Education. 2014;14(1):68 Diunduh tanggal 17 Juli 2014. 28. Ahiri J, Hafid A. Evaluasi Pembelajaran dalam konteks KTSP. Bandung: Humaniora; 2011. 29. Nazir M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia; 2009. 30. Stemler SE. A Comparison of Consensus, Consistency, and Measurement Approaches to Estimating Interrater Reliability. Practical Assessment, Research & Evaluation. 2004;9(4):Diunduh tanggal 13/0/2012. 31. Marques JF, McCall C. The Application of Interrater Reliability as a Solidification Instrument in a Phenomenological Study. The Qualitative Report. 2005 September 2005;10(3):439-62. Diunduh tanggal 08/05/2012. 32. von Eye A, Mun EY. Analyzing Rater Agreement Manifest Variable Methods. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers; 2005. Diunduh tanggal 01/11/2012. Available from: www.en.bookfi.org/book/1063857.
191
33. Singgih EM, Bawono IR. Pengaruh Independensi, Pengalaman, Due Professional Care dan Akuntabilitas terhadap Kualitas Audit. Simposium Nasional Akutansi XIII; Purwokerto2010. p. diunduh tanggal 13/0/2012. 34. Noviyani P, Bandi. Pengaruh Pengalaman dan Pelatihan Terhadap Struktur Pengetahuan Auditor Tentang Kekeliruan Simposium Nasional Akutansi2002. Diunduh tanggal 13/10/2012. 35. Humphrey-Murto S, Smee S, Touchie C, Wood TJ, Blackmore DE. A Comparison of Physician Examiners and Trained Assessors in a High-Stakes OSCE Setting. Academic Medicine. 2005;80(10):S59-S62. Diunduh tanggal 24/05/2012. 36. Bresciani MJ, Oakleaf M, Kolkhorst F, Nebeker C, Barlow J, Duncan K, et al. Examining Design and Inter-Rater Reliability of a Rubric Measuring Research Quality across Multiple Disciplines. Practical Assessment, Research and Evaluation. 2009;14(12):1-7. Diunduh tanggal 06/2/2014. 37. Harris DJ. Using Reliabilities to Make Decisions. Reliability Issue With Performance Assessments : A Collections Papers1997 Agustus 1997. 38. Pell G, Fuller R, Homer M, Roberts T. How to measure the quality of the OSCE: A review of metrics – AMEE guide no. 49. Medical Teacher. 2010;32(10):802-11. Diunduh tanggal 25/09/2012. 39. Wang P. The Inter-rater Reliability in Scoring Composition. CCSE English Language Teaching. 2009 September 2009;2(3):39-43. Diunduh tanggal 6/02/2014. 40. Mitchell ML, Henderson A, Groves M, Dalton M, Nulty D. The objective structured clinical examination (OSCE): Optimising its value in the undergraduate nursing curriculum. Nurse Education Today. [doi: 10.1016/j.nedt.2008.10.007]. 2009;29(4):398-404. Diunduh tanggal 13/09/2012.
192
HUBUNGAN HASIL BELAJAR ANTARA KETERAMPILAN LABORATORIUM DENGAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK INTRA NATAL CARE (INC) PRODI D.IV
KEBIDANAN FK.UNPAD 2017
Lani Gumilang1, Sefita Aryuti Nirmala2, Tina Dewi Judistiani3 1Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK.Unpad 2Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK.Unpad 3Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK.Unpad E-mail: [email protected]
Abstrak
Salah satu kompetensi mahasiswa kebidanan adalah memberikan asuhan
persalinan. Persiapan dalam memberikan asuhan persalinan selain didapatkan
melalui kegiatan perkuliahan juga melalui kegiatan laboratorium dan praktik
klinik. Pentingnya kemahiran asuhan persalinan pada laboratorium diharapkan
berdampak pada kemahiran keterampilan pada praktik klinik. Tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis hubungan hasil belajar antara keterampilan
laboratorium dengan keterampilan klinik Blok Intra Natal Care pada mahasiswa
Prodi D.IV Kebidanan. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional
analitik yang dilakukan di Prodi D.IV Kebidanan UNPAD pada bulan Agustus
2016-Januari 2017. Sampel penelitian ini dipilih dengan teknik total sampling
yang terdiri dari 41 mahasiswa. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
dokumentasi evaluasi pembelajaran blok INC kemudian ditabulasi dan dianalisa
dengan korelasi Pearson, yang dilakukan dengan komputer program SPSS versi
20. Hasil penelitian diketahui 100% mahasiswa kebidanan UNPAD semester III
memiliki keterampilan laboratorium dengan predikat A. Sedangkan untuk
keterampilan klinik diperoleh 24.31% predikat A dan 75.69% dengan predikat
B++. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang
bermakna hasil belajar antara keterampilan laboratorium dengan keterampilan
klinik blok INC Prodi D.IV Kebidanan FK.Unpad dengan nilai p value = 0.153 > α
0.05 dengan besar korelasi 0.227. Simpulan dari penelitian ini tidak terdapat
hubungan hasil belajar antara keterampilan laboratorium dengan keterampilan
klinik blok INC.
Kata kunci :Hasil belajar, keterampilan laboratorium, keterampilan klinik
193
UJI KOMPETENSI PERAWAT DAN ASAS KEWENANGAN PERAWAT D.III DAN S.1/NERS DALAM MELAKSANAKAN
ASUHAN KEPERAWATAN
Lucia Ariyanthi Stiikes Rajawali Bandung
Abstrak
Pelayanan keperawatan menurut Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa yang berhak memberi asuhan keperawatan adalah yang mempunyai keahlian dan kewenangan berdasarkan ilmu keperawatan. Saat ini belum semua institusi pendidikan keperawatan mempunyai standarisari jaminan mutu yang sama sehingga kompetensi perawat masih belum terstandar, baik lulusan perawat diploma III maupun S.1/Ners mengenai kewenangannya dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara mencari hubungan sebab akibat dari ketentuan mengenai uji kompetensi perawat dengan asas kewenangan. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder baik dari buku maupun jurnal, oleh karenanya penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, kemudian dianalisis secara deduktif. Ketentuan uji kompetensi sudah diamanatkan dalam Undang-undang namun belum secara tegas membedakan antara uji kompetensi perawat D. III (vokasi) dan perawat S.1/Ners sehingga menyisakan persoalan yang mendasar tentang batasan standarisasi uji kompetensi. Uji kompetensi perawat mengandung aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Uji kompetensi sebagai sarat untuk registrasi dan legialasi mendapat Surat Tanda Registrasi (STR). Asas kewenangan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagai alat ukur peningkatan kinerja berupa jaminan mutu, pendidikan, penilaian kinerja, dan etik. Dalam Permenkes Nomor 1796 Tahun 2011, tentang Registrasi Tenaga Kesehatan memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelaksanaan uji kompetensi perawat. Dibutuhkan peraturan petunjuk pelaksanaannya sebagai pelengkap dalam mengatur tatacara dan materi uji kompetensi secara mendasar dan terukur.
Abstract
Nursing services under the Act number 36 of 2009 on Health that the right to give nursing care is qualified and authority based on nursing science . Currently not all nursing education institutions have the same quality assurance standarisari so competency of nurses is still not standardized , both graduates of nursing diploma III and S.1/Ners the authority in carrying out nursing care . This study used a descriptive research method with normative juridical approach is done by finding the causal relationship of the stipulations concerning the competence of nurses with the principle of authority . The type
194
of data used in this study is a type of secondary data from books and journals , therefore the study is a literature study . Terms of competency testing has been mandated in the Act but not explicitly distinguish between nurse competency test D. III ( vocational ) and nurses S.1/Ners thereby leaving fundamental issues about the limits of standardized competency test . Nurse competency test contains aspects of knowledge , attitudes and skills . Competency test as loaded for the registration and legialasi received Registration Certificate ( STR ) . The principle of authority in implementing nursing care nurses as a measurement of performance enhancement in the form of quality assurance , training , performance assessment , and ethics . In Decree No. 1796 of 2011 , on registration of Health Workers to be related to the implementation arrangements nurse competency test . It takes regulatory rules for implementation as a complement in regulating the competency test procedures and materials are fundamental and measurable . Keywords : competency test , the principle of authority , nursing care . Pendahuluan
Pelayanan keperawatan merupakan bagian dari sistem pelayanan
kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa yang berhak memberi asuhan keperawatan adalah mereka yang
mempunyai keahlian dan kewenangan berdasarkan ilmu keperawatan.
Pelayanan keperawatan merupakan bentuk pelayanan professional dan
komprehensif. Hal ini ingin menjelaskan bahwa pelayanan keperawatan
mencakup aspek fisiologis, psikologis, sosial dan kultural.
Mencermati sistem pendidikan keperawatan dibeberapa Negara
tetangga yang sudah berkembang dengan sangat baik. Hal ini karena dukungan
sistem ketenagaan dan credentialing system, interprofessional collaboration
(sistem kredensial, kolaborasi interprofesional) yang mengacu pada Undang-
undang Keperawatan di Negara tersebut yaitu standarisasi pendidikan
keperawatan sudah terstandar sehingga lulusan perawat mempunyai standar
kesetaraan yang sama. Di Indonesia, kondisi di atas belum terwujud
sepenuhnya sehingga mendorong perlu diadakannya penataan dan
pengembangan pendidikan keperawatan. Penataan jenis dan jenjang
pendidikan keperawatan yang baik dan terarah diharapkan dapat dijadikan
195
bahan rujukan dalam mengembangkan profesi keperawatan. Dalam
pelaksanaannya sistem pendidikan keperawatan belum berkembang secara
utuh karena ada dua regulasi pendidikan yang ditangani oleh dua departemen,
yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan
(Kemendik), misalnya dengan adanya kebijakan ganda dalam regulasi
pendidikan Diploma III Keperawatan. Dampak lainnya adalah berkembangnya
jumlah institusi pendidikan yang tidak terkendali, sehingga terjadi perbedaan
standar dan kualitas pengelolaan, serta mutu lulusan pendidikan keperawatan.
Saat ini terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan terhadap
kompetensi perawat. Oleh karena itu, standar kompetensi minimal lulusan
setiap jenis dan jenjang pendidikan keperawatan perlu untuk dikembangkan
agar diperoleh gambaran tentang perbedaan kompetensi dan kewenangan
lulusan dari setiap jenis dan jenjang yang kemudian dituangkan kedalam
indikator pengukurannya melalui sistem uji kompetensi.
Uji Kompetensi merupakan suatu proses untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan dan sikap tenaga perawat sesuai dengan standar profesi
perawat1. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1796 Tahun 2011
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan bahwa uji kompetensi akan dilaksanakan
kepada perawat baru baik lulusan D.III maupun S.1 / Ners.
Metode Penelitian
Metode penelitian kualitatif yuridis normatif2 yaitu mencari hubungan
sebab akibat antara ketentuan uji kompetensi perawat dengan kewenangan
perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan. Jenis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu data sekunder dalam bentuk buku-
buku atau dokumentasi3.
Penelitian disajikan secara naratif sehingga dapat tergambar peraturan
yang berlaku tentang uji kompetensi perawat dan kewenangan perawat D.III
dan S.1/Ners serta hubungannya dengan kewenangan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan.
196
Hasil Dan Pembahasan 1. Unsur-Unsur Pengaturan Ketentuan Uji Kompetensi Perawat Dalam
Pelayanan Kesehatan
Pengaturan pendidikan keperawatan pada Pasal 35 ayat (1) Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk memenuhi
Standar Nasional Pendidikan. Pengaturan mengenai ijazah dan sertifikasi
kompetensi dalam Pasal 61 Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional sebagai berikut: “Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat
kompetensi” Sertifikat kompetensi diberikan setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dimana tenaga kesehatan dalam hal ini tenaga perawat yang mana lulusannya
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan. Untuk
itu diperlukan standarisasi mutu pendidikan. Ketentuan tersebut menguatkan
dan menegaskan bahwa peraturan ini dibuat dengan berdasarkan atas
standarisasi pendidikan profesi agar lulusan pendidikan keperawatan
kompeten. Tujuannya untuk keselamatan dan keamanan pasien dan keluarga,
baik saat perawatan dirumah sakit maupun dikomunitas.
Peraturan tentang registrasi perawat sebelumnya sudah ada yaitu
pengaturan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Peraturan
ini diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Perawat. Dalam Pasal 1 angka 5 bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) adalah
bukti tertulis yang diberikan Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah
memiliki sertifikat kompetensi4.
Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan bahwa peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan, dan dalam rangka pemberian izin, perlu mengatur registrasi
tenaga kesehatan. Guna melaksanakan amanat Pasal 23 ayat (5) Undang-
197
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maka Menteri Kesehatan
mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796
Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. “Setiap tenaga kesehatan
yang akan menjalankan pekerjaannya wajib memiliki Surat Tanda registrasi
(STR). Untuk memperoleh STR tenaga kesehatan harus memiliki ijazah dan
sertifikat kompetensi. Ijazah dan sertifikat kompetensi diberikan kepada
peserta didik setelah dinyatakan lulus ujian program pendidikan dan uji
kompetensi5Masa berlaku sertifikat kompetensi selama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun6.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perawat baik lulusan D. III maupun
S.1/Ners adalah perawat yang telah menempuh pendidikan dan berbagai
persyaratan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796 Tahun
2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Ketentuan-ketentuan tersebut
mengandung nilai-nilai antara lain ketentuan tentang standar pendidikan
perawat, legislasi dan registrasi perawat, dan uji kompetensi perawat untuk
mendapatkan bukti berupa Surat Tanda Registrasi (STR) perawat sehingga
kepadanya diberikan kewenangan secara hukum patut untuk melaksanakan
tindakan-tindakan profesi perawat. Ketentuan-ketentuan tersebut berisi nilai-nilai profesionalitas perawat.
Pekerjaan perawat tersebut mendasarkan pada prinsip etikal dan
profesionalitas sesuai dengan keilmuan dan kompetensi perawat.
Pendayagunaan lulusan keperawatan diberbagai fasilitas pelayanan kesehatan
didasarkan pada kompetensi sistem jenjang karir perawat profesional. Sesuai dengan ketentuan tersebut yang dimaksud uji kompetensi adalah
kompetensi profesi perawat yaitu merupakan bagian dari penapisan
kompetensi seseorang yang menyelesaikan suatu pendidikan untuk
menyandang gelar profesi pekerjaannya (credentialing). Sistem credentialing
dapat dilaksanakan dan dimungkinkan jika perawat sebagai profesi sudah
mempunyai undang-undang praktik keperawatan yang mana secara khusus
198
didalamnya mengatur kredensial profesi perawat. Proses credentialing profesi
perawat dilakukan oleh organisasi profesi perawat yaitu PPNI. Setelah proses
credential di PPNI maka dilanjutkan dengan kegiatan registrasi yaitu perawat
yang baru lulus dicatat dan dinomoring dalam sistem regristrasi nasional.
Setelah perawat teregistrasi maka perawat tersebut telah resmi dan berhak
menyandang gelar profesinya untuk kemudian diberi lisensi menjalankan
peran dan fungsinya sebagai praktik profesiol. Definisi yang diajukan dalam
ketentuan tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi uji kompetensi yang
diajukan oleh para ahli hukum yang menyatakan bahwa uji kompetensi sebagai
standarisasi kompetensi lulusan.
Dalam peran perawat melekat tanggung jawab dan wewenang yang dapat
dijalankan oleh perawat. Agar peran dan wewenang perawat dapat
dilaksanakan tindakan konkret dan dapat dipertanggungjawabkan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan, maka diberikan kepadanya hak dan
kewajiban sebagai perawat yang kompeten dan profesional. Kelulusan uji
kompetensi dibuktikan dengan sertifikasi kompetensi sebagai surat pengakuan
terhadap kompetensi seorang tenaga perawat yang mana untuk kemudian
perawat tersebut dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di
Indonesia. Ketentuan tentang kualifikasi kompetensi diatur oleh Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia bahwa
Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji. Dalam hal pelaksanaan uji kompetensi perawat sudah dilakukan sejak tahun
2006 melalui pembentukan lembaga Komite Nasional Uji Kompetensi Perawat
(KNUKP). Untuk itu sebagai petunjuk teknis standar kompetensi PPNI telah
mengeluarkan Keputusan Pengurus Pusat Persatuan Perawatan Nasional
Indonesia Nomor: 024/PP.PPNI/SK/K/XII/2009 tentang Standar Kompetensi
Perawat Indonesia. Pengaturan tentang tujuan diadakannya uji kompetensi
bagi perawat merupakan perintah peraturan perundang-undangan untuk
199
menegakkan kualitas dan kualifikasi lulusan secara nasional (entry level
national examination). Hal ini akan menjadi investasi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif baik secara sosial, komunal dan ekonomi. Dengan
demikian akhir lulusan keperawatan adalah menjadi perawat professional yang
kompeten dalam memberi asuhan keperawatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. 2. Unsur Asas Kewenangan Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan
Keperawatan Asas kewenangan perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan merupakan landasan dasar profesi, sekaligus menjadi nilai dasar
seorang perawat. Kewenangan praktik keperawatan mengandung pengertian
bahwa tanggung jawab profesi harus dijalankan dengan memenuhi asas
kewenangan standar kinerja profesional (standard of profesional performance)
dan standar praktik keperawatan (profesional practice standard). Mencakup
lima unsur yaitu pengkajian, Diagnosa Keperawatan, perencanaan (intervensi),
tindakan keperawatan (implementasi) dan evaluasi7. Kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat lulusan D.III sebagai tenaga
profesional pemula sebagai tenaga vokasional asuhan keperawatan.
Kompetensi Perawat S.1/Ners atau Kompetensi Pendidikan Ners terbagi dalam
3 tahap yaitu tahap akademik berfokus pada pembelajaran peserta didik untuk
menghasilkan lulusan Sarjana yang kompeten dan berkemampuan
menganalisis secara kritis permasalahan dalam teoritis sedangkan tahap
profesi menerapkan kemampuan yang dimiliki kedalam tatanan nyata melalui
pendelegasian kewenangan perawat. Dalam uraian menurut KKNI perawat D.III
berada dalam jenjang/level 5 sedangkan perawat S.1/Ners berada dalam
jenjang/level 7 (setara dengan lulusan Pendidikan Profesi8. Berdasarkan uraian tersebut salah satu cara untuk menjamin kompetensi dan
kualifikasi perawat diharuskan mengikuti uji kompetensi bagi lulusan baru
setelah melakukan regritrasi mendapat lisensi yaitu STR 3. Hubungan Antara Uji Kompetensi Perawat Dengan Asas Kewenangan
Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Berdasarkan uraian dari peraturan-peraturan yang mendasari uji kompetensi
200
perawat yaitu hubungan peraturan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796 Tahun
2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, maka didapatkan
adanya satu kesatuan dalam mengatur tentang perlunya uji kompetensi
perawat guna mencapai standar kompetensi perawat dengan kewenangan
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796 Tahun 2011
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan terdapat kurang kesiapan dan
kelengkapan peraturan-peraturan pelaksanaan uji kompetensi maka
dapat dipastikan akan terjadi hambatan. Saat ini sebagian besar stake
holder/user yaitu institusi klinik atau rumah sakit dalam menerima pegawai
tenaga perawat mengharuskan perawat memiliki STR. Perlu dipikirkan
bersama bagaimana jika perawat baru tersebut tidak lulus ujian kompetensi?
Apakah dia harus mengulang sampai dinyatakan lulus? Hl ini diperlukan
kepastian regulasi.
Simpulan Uji kompetensi perawat D.III dan S.1/Ners dimaksudkan untuk memenuhi
Standar Kompetensi Perawat. Ketentuan tentang uji kompetensi perawat
sebagai syarat perawat uji mendapat STR tenaga kesehatan yang tertuang
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796 tahun 2011, tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan. Dengan STR secara hukum perawat berwenang
melaksanakan memberi asuhan keperawatan. Ketentuan materi uji kompetensi
perawat D. III (perawat vokasi) dan perawat S.1/Ners (perawat professional)
tidak diatur dalan Peraturan tersebut sehingga menyisakan persoalan yang
mendasar tentang batasan-batasan materi standar uji kompetensi bagi perawat
vokasi dan perawat profesional. Asas kewenangan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dalam
Standar Profesi Keperawatan Indonesia, Standar Kompetensi guna peningkatan
201
kualitas pendidikan berkelanjutan, standar pelayanan keperawatan yang
berkualitas, dan menciptakan lingkungan yang mendukung penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat. Pengaturan pelaksanaan uji kompetensi perawat untuk mendapatkan surat
pernyataan dari pemeritah sebagai bukti pengakuan yang legal yaitu sertifikat
kompetensi dan STR sehingga secara hukum perawat legal melaksanakan
kewenanganya sebagai seorang perawat dalam turut serta berperan
mewujudkan pembangunan bidang kesehatan dalam Sistem Kesehatan
Nasional. Untuk itu dibutuhkan peraturan lainnya sebagai pelengkap yang
mengatur tatacara dan materi uji kompetensi secara mendasar dan terukur.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Azis. (2003) Riset Keperawatan Dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika:. Hermien Hadiati Koeswadji, (2002) Hukum untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, Bandung:
Moh. Nazir, (1985) Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta: Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/Sk/Xi/2001 Tentang Registrasi Dan Praktik Perawat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796 tahun 2011,Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
202
Surat Edaran Dirjen-dikti-704/E.E3/DT/2013 perihal: Uji Kompetensi bagi calon lulusan pendidikan tinggi bidang kebidanan dan keperawatan Pengurus Pusat PPNI Nomor: 023/PP.PPNI/SK/XII/2009 tentang Kode Etik Perawat Indonesia Keputusan Pengurus Pusat PPNI Nomor: 024/PP.PPNI/SK/K/XII/2009 tentang Standar Kompetensi Perawat Indonesia. Keputusan Pengurus Pusat Persatuan Perawatan Nasional Indonesia Nomor 025/PP.PPNI/SK/K/MU/2009 tentang Standar Praktik Keperawatan Indonesia.
203
CLINICAL REASONING IN THIRD-YEAR MEDICAL STUDENTS’ OSCE
Diani Puspa Wijaya Faculty of Medicine, Islamic University of Indonesia E-mail: [email protected]
Abstract
Clinical reasoning is one of the clinical skill competencies that must be owned by a
doctor so it needs to be studied and tested. The OSCE is one method of assessment
that can be used to assess the achievement of clinical reasoning. OSCE in the third
year at Faculty of Medicine Islamic University of Indonesia (FM IUI) has been
using clinical case OSCE so that can be used to assess clinical reasoning skill in
addition to others clinical skills such as physical examination and clinical
procedural skills. This study aimed to evaluate the clinical reasoning skills of
students in the third year of the OSCE exam at FM IUI. The cross sectional study
method was used in this study. OSCE test result semesters 5 and 6 of the academic
year 2015/2016 collected. Clinical reasoning skills of students in OSCE obtained
from the score of the diagnosis ability in clinical case OSCE station. The difference
between clinical reasoning skill on each OSCE station and its correlation with the
written test on the corresponding block were analyzed. There are differences
between clinical reasoning skill in OSCE stations semester 5 and 6. There was no
relationship between the score of clinical reasoning skills at the OSCE with the
written test achievement on the corresponding block. The clinical reasoning skills
on the OSCE semesters 5 and 6 do not illustrate the clinical reasoning skills of
third-year medical students in this study. This study supports the need for
further development of the assessment of clinical reasoning skills on the OSCE for
medical students.
Key Words :Clinical reasoning, OSCE, medical student
Abstrak
Penalaran klinis atau clinical reasoning merupakan salah satu kompetensi keterampilan klinis yang harus dimiliki oleh seorang dokter sehingga perlu dipelajari dan diujikan. OSCE merupakan salah satu metode assessment yang dapat digunakan untuk menilai pencapaian clinical reasoning. OSCE pada tahun ketiga di FK UII telah menggunakan kasus klinis untuk dapat juga menilai clinical reasoning disamping keterampilan klinis yang lain seperti pemeriksaan fisik dan tindakan prosedural. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kemampuan clinical reasoning mahasiswa kedokteran pada ujian OSCE tahun ketiga di FK UII. Metode yang digunakan adalah cross sectional dari hasil ujian OSCE semester 5 dan 6
204
tahun akademik 2015/2016. Kemampuan clinical reasoning mahasiswa pada ujian OSCE didapatkan dari nilai kemampuan menegakkan diagnosis pada stasion OSCE yang berupa manajemen kasus klinis. Nilai OSCE direkap pada semua mahasiswa yang mengikuti ujian pada periode tersebut. Analisis dilakukan dengan melihat perbedaan kemampuan clinical reasoning antar station OSCE dan menilai korelasinya dengan ujian tulis pada blok yang bersesuain . Terdapat perbedaan kemampuan clinical reasoning antar stasion OSCE baik di semester ke 5 maupun ke 6. Tidak terdapat hubungan antara nilai kemampuan diagnosis pada ujian OSCE dengan pencapaian nilai ujian tulis blok yang berkaitan dengan konten OSCE yang diujikan. Kemampuan diagnosis pada ujian OSCE semester 5 dan 6 tidak menggambarkan kemampuan clinical reasoning mahasiswa tahun ketiga pada penelitian ini. Diperlukan evaluasi dan pengembangan lebih lanjut mengenai penilaian dan pencapaian kemampuan clinical reasoning pada ujian OSCE bagi mahasiswa kedokteran.
Kata kunci : clinical reasoning, OSCE, mahasiswa kedokteran
Pendahuluan
Kemampuan clinical reasoning termasuk dalam keterampilan klinis dasar
yang penting dipelajari dalam proses pendidikan dokter. Seorang dokter harus
mampu mensintesis, menarik kesimpulan, menginterpretasikan berbagai
informasi klinis yang didapat dari pasien baik melalui history taking, pemeriksaan
fisik dan hasil dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Kemampuan clinical
reasoning ini dikembangkan secara berkelanjutan dari proses pembelajaran baik
di tahap pendidikan sarjana, pendidikan profesi maupun setelah menjadi praktisi
medis. Kemampuan clinical reasoning didapat melalui pengetahuan dasar,
pengalaman dan konteks dari kasus klinis (Bowen, 2006; Kassirer, 2010).
Telah banyak metode dikembangkan dalam pengajaran clinical reasoning,
diantaranya adalah adalah pengembangan pembelajaran yang berbasis kepada
kasus klinis (Kassiser, 2010). Fakultas Kedokteran UII (FK UII) mengembangkan
salah satu bentuk pembelajaran berbasis kasus ini melalui kegiatan pembelajaran
Integrated Patient Management (IPM). Sesi pembelajaran IPM dilakukan pada sesi
pembelajaran keterampilan medik. Mahasiswa akan mendapatkan skenario kasus
klinik yang diperankan oleh pasien standar. Kasus klinis tersebut akan disertai
dengan perintah untuk melakukan penggalian informasi terkait kasus klinis
pasien, melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai, menyampaikan
205
diagnosis beserta rencana penatalaksanaan yang sesuai. Pada model
pembelajaran ini mahasiswa akan memiliki kesempatan untuk menggali berbagai
informasi dari pasien, mengembangkan hipotesis terkait masalah pada pasien,
menginterpretasikan informasi yang ada pada pasien. Keterampilan-keterampilan
yang merupakan bagian dari kemampuan clinical reasoning, sebagai kompetensi
utama yang harus dimiliki sebagai seorang dokter nantinya (Bowen, 2006).
Metode assessment juga merupakan aspek yang penting dalam
pengembangan kemampuan clinical reasoning. Metode assessment yang tepat
akan memberikan informasi yang baik bagi pengembangan kompetensi
mahasiswa. Hasil dari proses assessment akan dapat memberikan informasi
pencapaian mahasiswa mengenai materi yang diajarkan, sehingga akan
memberikan feedback bagi institusi untuk pengembangan proses pembelajaran
berikutnya. Objective Structured Clinical Examination (OSCE) merupakan salah
satu bentuk assessment yang banyak digunakan untuk menilai kompetensi pada
proses pembelajaran di kedokteran. Salah satunya, pada OSCE dapat dilakukan
penilaian pada kemampuan clinical reasoning (Berger et al., 2012; Sim et al.
2015).
Multiple Choice Question (MCQ) juga merupakan salah satu metode
assessment yang sering digunakan dan valid untuk menilai kemampuan kognitif
maupun clinical reasoning (Boshuizen et al., 1997). Di FK UII, penilaian
pencapaian mahasiswa terhadap konten blok dilakukan di akhir proses blok
melalui ujian tulis dengan menggunakan soal MCQ dan MEQ. Pada penelitian ini
mengevaluasi kemampuan clinical reasoning mahasiswa tahun ketiga FK UII
sebagai hasil pembelajaran blok dan keterampilan medik dengan menggunakan
metode IPM. Kemampuan clinical reasoning mahasiswa dilihat dari kemampuan
menegakkan diagnosis pada ujian OSCE dengan kasus klinis beserta pencapaian
mahasiswa pada ujian tulis blok.
206
Metode Penelitian
Jenis penelitain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif, dan pada penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Pada
penelitian ini mendeskripsikan kemampuan clinical reasoning mahasiswa tahun
ketiga FK UII pada ujian OSCE yang dinilai melalui kemampuan menegakkan
diagnosis kasus klinis yang diberikan pada setiap stasion OSCE.
Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa tahun ketiga FK UII. Sampel
pada penelitian ini adalah mahasiswa tahun ketiga FK UII pada tahun akademik
2015/2016 yang mengikuti ujian OSCE semester 5 dan 6. Pengambilan sampel
pada penelitain ini ditentukan dengan teknik total sampling.
Perbandingan kemampuan clinical reasoning antar station OSCE dievaluasi
dengan uji beda lebih dari 2 kelompok menggunakan program olah data SPSS
dikarenakan terdapat lebih dari 2 stasion ujian OSCE yang menilai kemampuan
diagnosis pada OSCE semester 5 dan 6. Kemampuan clinical reasoning pada ujian
OSCE juga dianalisis korelasinya dengan pencapaian kognitif mahasiswa yang
didapatkan melalui pencapaian nilai ujian blok yang bersesuai dengan materi atau
kasus OSCE yang diujikan.
Hasil Penelitian
Pada kurikulum tahun ketiga FK UII dengan tema fase Manajamen Masalah
Kesehatan, terdapat 3 blok pada semester 5 dan 3 blok pada semester 6. Blok
tersebut adalah Blok Masalah Kehamilan dan Reproduksi (3.1), Blok Masalah
Pada Anak (3.2), Blok Masalah Pada Remaja (3.3), Blok masalah Dewasa I (3.4),
Blok Masalah Pada Dewasa II (3.5) serta Blok Masalah Pada Usia Lanjut (3.6).
Ujian OSCE dilaksnakan disetiap akhir masing-masing semester. Terdapat 106
mahasiswa yang mengikuti ujian OSCE semester 5 dan 6 pada tahun akademik
2015/2016. Terdiri atas 62 mahasiswa dengan jenis kelamin perempuan
(58,41%) dan 44 mahasiswa dengan jenis kelamin laki-laki (41,59 %). Ujian OSCE
pada semester 5 terdiri atas 11 stasion dengan 4 stasion merupakan OSCE yang
menggunakan kasus klinis (Integrated Patient Management (IPM)) dan 7 stasion
207
keterampilan klinis prosedural (Tabel 1). Sementara pada ujian OSCE semester 6
terdapat 10 stasion OSCE yang kesemuanya merupakan OSCE yang menggunakan
kasus klinis dengan pendekatan sistem (Tabel 2). Materi ujian OSCE tersebut
berkesesuaian dengan materi blok yang berjalan di semester 5 dan 6.
Tabel 1. Materi OSCE semester 5 dan blok yang bersesuaian
No Materi OSCE Semester 5
Blok Yang Bersesuaian
1 IPM 1 (Gynekologi) Blok 3.1 2 Konseling KB Blok 3.1 3 Pertolongan Persalinan Blok 3.1
4 Antenatal Care Blok 3.1
5 Implant Blok 3.1
6 IPM 2 (Pediatrik 1) Blok 3.2
7 IPM 3 (Pediatrik 2) Blok 3.2
8 Resusitasi Neonatus Blok 3.2
9 Sirkumsisi Blok 3.2
10 Imunisasi Blok 3.2
11 IPM 4 (Kasus Sensitif) Blok 3.3
Tabel 2 Materi OSCE semester 6
No Materi OSCE Semester 5 Blok Yang Bersesuaian
1 IPM 1 (kasus mata) Blok 3.4 2 IPM 2 (kasus THT) Blok 3.4 3 IPM 3 (kasus endokrin) Blok 3.5
4 IPM 4 (kasus saraf) Blok 3.6
5 IPM 5 (kasus kardiovaskular) Blok 3.5
6 IPM 6 (kasus respirasi) Blok 3.5
208
7 IPM 7 (kasus kulit) Blok 3.4
8 IPM 8 (kasus pencernaan) Blok 3.5
9 IPM 9 (kasus perkemihan) Blok 3.5
10 IPM 10 (kasus muskuloskeletal) Blok 3.6
Nilai kemampuan diagnosis sebagai representasi dari kemampuan clinical
reasoning pada ujian OSCE dilakukan rekapitulasi. Nilai clinical reasoning stasion
OSCE 4 stasion IPM pada semester 5 dan 10 stasion IPM pada semester 6
merupakan nilai yang didapat dengan berdasarkan rubrik penilaian dengan nilai
minimal 0 dan nilai maksimal 3. Rerata nilai kemampuan clinical reasoning pada
masing-masing stasion OSCE dapat dilihat pada tabel 3. Rerata nilai kemampuan
clinical reasoning mahasiswa tertinggi pada stasion IPM kasus ginekologi yaitu
2,43 Sedangkan nilai rerata kemampuan clinical reasoning terendah adalah pada
IPM kasus pediatrik 2 yaitu 1,5.
Terdapat tiga kasus dengan pencapaian nilai rerata kemampuan clinical
reasoning di atas 2. Sementara 11 kasus lainnya rerata pencapaian mahasiswa
kurang dari 2.
Tabel 3. Nilai kemampuan clinical reasoning OSCE semester 5 dan
semester 6
Station OSCE Nilai
kemampuan
clinical reasoning
Semester 5
Kasus ginekologi 2,43
Kasus pediatrik 1 1,54
Kasus pediatrik 2 1,5
Kasus sensitif 1,87
Semester 6
Kasus mata 1,92
209
Kasus THT 2,24
Kasus kulit 1,67
Kasus endokrin 1,99
Kasus
kardiovaskular
1,90
Kasus respirasi 1,90
Kasus pencernaan 1,89
Kasus perkemihan 1,73
Kasus
muskuloskeletal
1,73
Kasus saraf 2,04
Nilai rerata kemampuan clinical reasoning antar stasion tersebut
selanjutnya dilakukan analisis uji beda untuk mengetahui adanya perbedaan
kemampuan clinical reasoning mahasiswa antar kasus yang diberikan. Analisis
statistik yang digunakan adalah analisis Kruskal Wallis dikarenakan sebaran data
yang tidak normal. Hasil didapatkan bahwa terdapat perbedaan rerata nilai
kemampuan clinical reasoning antar stasion OSCE baik pada stasion OSCE
semester 5 maupun pada stasion OSCE semester 6 dengan nilai p masing-masing
0,00.
Pencapaian kemampuan clinical reasoning mahasiswa pada ujian OSCE
dengan kasus klinis selanjutnya dianalisis korelasinya dengan kemampuan
kognitif masing-masing mahasiswa yang dinilai dari ujian tulis blok pada masing-
masing blok yang bersesuaian dengan materi setiap stasion OSCE. Uji korelasi
dilakukan dengan Uji Spearman dikarenakan sebaran data yang tidak normal.
Dari 14 stasion OSCE didapatkan nilai kemampuan clinical reasoning 5 station
OSCE memiliki korelasi lemah dengan nilai ujian tulis blok. Nilai kemampuan
clinical reasoning pada stasion OSCE kasus THT (nilai p 0,012 dan r=0,243),
station OSCE kasus kulit (nilai p 0,003 dan r=0,288), stasion OSCE kasus endokrin
(nilai p 0,009 dan r=0,252) dan pada stasion OSCE pada kasus perkemihan (nilai
210
p 0,037 dan r=0.203). Sementara pada nilai kemampuan clinical reasoning pada
sembilan stasion OSCE lainnya tidak memiliki korelasi dengan kemampuan
mahasiswa pada ujian tulis blok (Tabel 4).
Tabel 4. Korelasi nilai kemampuan clinical reasoning OSCE dengan nilai
ujian tulis blok
Stasion OSCE Blok 3.1
Blok 3.2 Blok 3.3
Blok 3.4 Blok 3.5 Blok 3.6
Kasus ginekologi 0.123
Kasus pediatrik
1
0.023
(r=0.221)
Kasus pediatrik
2
0.174
Kasus sensitif 0.976
Kasus mata 0.135
Kasus THT 0.012
(r=0.243)
Kasus kulit 0.003
(r=0.288)
Kasus endokrin 0.009
(r=0.252)
Kasus jantung 0.081
Kasus respirasi 0.081
Kasus
pencernaan
0.09
Kasus
perkemihan
0.037
(r=0.203)
Kasus
muskuloskeletal
0.808
Kasus saraf 0.386
211
Pembahasan
Perbedaan kemampuan clinical reasoning antar station dipengaruhi oleh
perbedaan penguasaan kemampuan masing-masing konten. Hal ini sesuai bahwa
kemampuan clinical reasoning itu didasari oleh kemampuan kognitif biomedis
dasar yang bersesuaian. Seorang mahasiswa masih dalam proses pengembangan
kemampuan clinical reasoning nya, berbeda dengan dokter yang sudah
profesional memiliki kemampuan clinical reasoning. Selain terkait dengan
pengetahuan dasar yang dimiliki, kemampuan clinical reasoning juga dipengaruhi
oleh pengalaman terhadap paparan kasus klinis (Bowen, 2006; Woods, 2007).
Pencapaian kemampuan clinical reasoning yang belum cukup memuaskan
membutuhkan penguatan lagi dalam proses pembelajaran. Pemaparan
mahasiswa yang banyak terhadap kasus klinis akan meningkatkan kemampuan
clinical reasoning mahasiswa (Eva, 2005; Kassirer, 2010; Rencic, 2011).
Pengajaran clinical reasoning menggunakan IPM dan melibatkan pasien standar
merupakan metode pembelajaran yang tepat bagi mahasiswa tahap pendidikan
sarjana kedokteran. Kasus klinis dikembangkan melalui skenario-skenario yang
diperankan oleh pasien standar (Barrows, 1993) . Keterbatasan waktu mahasiswa
untuk dapat berlatih secara langsung dapat diatasi dengan pengembangan virtual
case dengan skenario-skenario klinis yang mampu melatih kemampuan clinical
reasoning (Gesundheit et al., 2009).
Lima dari empat belas nilai kemampuan clinical reasoning pada stasion
OSCE yang berkorelasi dengan nilai MCQ ujian tulis blok. Hal ini serupa dengan
hasil penelitian sebelumnya oleh Park et al., (2016) dan Gnandev et al., (2016).
Pada penelitian Park et al., (2016) didapatkan kemampuan clinical reasoning
mahasiswa tidak berkorelasi dengan dengan nilai stasion OSCE dan kemampuan
clinical reasoning tidak berkorelasi dengan pengetahuan klinis. Namun pada
penelitian tersebut hanya menggunakan 4 kasus klinis yang dinilai kurang
memberikan gambaran penguasaan clinical reasoning mahasiswa yang diteliti.
Sedangkan pada peneltian oleh Gnandev et al., (2016) terdapat korelasi yang
lemah antara nilai MCQ dengan nilai OSCE pada setting klinis Anestesiologi. Pada
212
penelitian tersebut mencermati bahwa hendaknya kemampuan klinis teoritis
akan menunjang keterampilan klinis yang baik. Namun pada penelitian tersebut
melihat kelemahan dalam mengkorelasikan dua domain assessment yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan peneliti pada penelitian ini menggunakan
sebagian dari nilai OSCE yaitu hanya pada aspek penilaian kemampuan diagnosis
sebagai representasi dari kemampuan clinical reasoning mahasiswa pada tahun
ketiga. Nilai tersebut dapat lebih mewakili gambaran kemampuan clinical
reasoning mahasiswa, tidak dipengaruhi oleh domain keterampilan klinis lainnya
seperti domain keterampilan prosedural ataupun pemeriksaan fisik.
Keterbatasan pada penelitian ini adalah pengamatan hanya dilakukan pada
satu tahun ajaran dan pada satu periode mahasiswa. Evaluasi dan pengembangan
terhadap proses pembelajaran maupun ujian OSCE yang menilai kemampuan
clinical reasoning perlu dilakukan. Evaluasi dan pengembangan dapat dilakukan
baik dari sisi proses pembelajaran, soal maupun rubrik penilaian.
Simpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan clinical
reasoning mahasiswa kedokteran tahun ketiga pada ujian OSCE yang dinilai
melalui kemampuan menegakkan diagnosis dari kasus klinis yang diberikan,
belum memberikan gambaran kemampuan clinical reasoning yang memuaskan.
Evaluasi dan pengembangan terhadap proses pembelajaran maupun ujian OSCE
yang menilai kemampuan clinical reasoning perlu dilakukan. Evaluasi dan
pengembangan dapat dilakukan baik dari sisi proses pembelajaran, soal maupun
rubrik penilaian.
Daftar Pustaka
Berger, A. J., Gillespie, C. C., Tewksbury, L. R., Overstreet, I. M., Tsai, M. C., Kalet, A.
L., & Ogilvie, J. B. (2012). Assessment of medical student clinical reasoning by “lay”
vs physician raters: inter-rater reliability using a scoring guide in a
multidisciplinary objective structured clinical examination. The American Journal
of Surgery, 203(1), 81-86.
213
Barrows, H. S. (1993). An overview of the uses of standardized patients for teaching and evaluating clinical skills. AAMC. Academic Medicine, 68(6), 443-51.
Boshuizen, H., Vleuten, C. P., Schmidt, H. G., & Machiels‐Bongaerts, M. (1997). Measuring knowledge and clinical reasoning skills in a problem‐based curriculum. Medical Education, 31(2), 115-121.
Bowen, J. L. (2006). Educational strategies to promote clinical diagnostic reasoning. New England Journal of Medicine, 355(21), 2217-2225.
Dong, T., Saguil, A., Artino Jr, A. R., Gilliland, W. R., Waechter, D. M., Lopreaito, J., ... & Durning, S. J. (2012). Relationship between OSCE scores and other typical medical school performance indicators: a 5-year cohort study. Military medicine.
Eva, K. W. (2005). What every teacher needs to know about clinical reasoning. Medical education, 39(1), 98-106.
Gesundheit, N., Brutlag, P., Youngblood, P., Gunning, W. T., Zary, N., & Fors, U. (2009). The use of virtual patients to assess the clinical skills and reasoning of medical students: initial insights on student acceptance. Medical teacher, 31(8), 739-742.
Gnandev, P., Loh, K. Y., Nurjahan, M. I., Roland, S., & Noor, A. R. (2016). Comparison Study on End-of-Posting OSCE Versus MCQ Scores in Anaesthesiology Posting, Taylor’s University School of Medicine. In Assessment for Learning Within and Beyond the Classroom (pp. 391-395). Springer Singapore.
Sim, J. H., Aziz, Y. F. A., Mansor, A., Vijayananthan, A., Foong, C. C., & Vadivelu, J.
(2015). Students’ performance in the different clinical skills assessed in OSCE:
what does it reveal?. Medical education online, 20.
Kassirer, J. P. (2010). Teaching clinical reasoning: case-based and coached. Academic Medicine, 85(7), 1118-1124.
Park, W. B., Kang, S. H., Myung, S. J., & Lee, Y. S. (2015). Does Objective Structured Clinical Examinations Score Reflect the Clinical Reasoning Ability of Medical Students?. The American journal of the medical sciences, 350(1), 64-67.
Rencic, J. (2011). Twelve tips for teaching expertise in clinical reasoning. Medical Teacher, 33(11), 887-892.
Woods, N. N. (2007). Science is fundamental: the role of biomedical knowledge in clinical reasoning. Medical education, 41(12), 1173-1177.
214
PROFIL KESIAPAN DOKTER MUDA DALAM OSCE KOMPREHENSIF DI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Fuad Khadafianto1, Yeny Dyah Cahyaningrum2 1MEU FK UII 2MEU FK UII E-mail: [email protected]
Abstrak
Kompetensi dan profesionalisme seorang dokter akan ditunjukkan dalam
kontektual penanganan pasien. Untuk dapat menghasilkan dokter yang memiliki
karakter tersebut, diperlukan penilaian yang dapat menilai hal tersebut. Objective
Structural Clinical Examination (OSCE) merupakan alat ukur yang dapat menilai
beberapa kompetensi yang secara komprehensif dimiliki oleh dokter muda.
Tujuan Mengetahui kesiapan keterampilan klinis dokter muda dalam penilaian
yang komprehensif setelah selesai pendidikan tahap klinik Metode Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner
menggunakan skala Likert’s 1-10 dan pertanyaan terbuka. Kuesioner diisi oleh 55
dokter muda. Sebanyak 43 orang (78,18 %) menyatakan kasus yang diujikan
sesuai dengan kompetensi dokter umum. Terkait tindakan prosedural yang
diujikan, diperoleh data 38 orang (69,09%) menyatakan baik (sudah pernah
pernah dilakukan pada pendidikan klinik). Hasil ini didukung oleh data kualitatif
dari kuesioner yang menyebutkan kemampuan yang sudah dikuasai meliputi
komunikasi, cuci tangan, pemasangan ET, pemeriksaan fisik (jantung, pulmo,
abdomen dan kulit). Terkait kasus ujian didapatkan data 42 orang (76,36 %)
merasakan sudah mendapatkan pada proses pendidikan klinik. Hasil ini didukung
data kualitatif kuesioner yang menyatakan kasus yang sudah dikuasai meliputi
diagnosis kasus DM, meningitis, kasus station saraf, THT, endokrin, jiwa, interna
dan obsgyn. : Kesiapan kompetensi mahasiswa terkait dengan keterampilan
prosedural dalam OSCE cukup baik. Tindakan procedural dan kasus yang sesuai
kompetensi sebagian besar (74,54%) sudah sesuai dan pernah didapatkan di
pendidikan klinik.
Kata Kunci :Keterampilan klinis, dokter muda, OSCE
215
Pendahuluan
Proses panjang pendidikan dokter bertujuan mencetak calon-calon dokter
yang kompeten dan profesional. Di era globalisasi saat ini kompetensi dan
profesionalitas dokter di Indonesia harus memiliki parameter yang jelas agar
dapat diukur pencapaiannya, oleh karena itu standar kompetensi di Indonesia
saat ini didasarkan pada standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI) yang dibuat
oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Konsekuesi dari adanya SKDI ini maka
setiap institusi pendidikan dokter harus dapat mencetak lulusan dengan standar
minimal seperti yang tercantum pada SKDI (KKI, 2012).
Proses pendidikan kedokteran secara umum terdiri dari dua fase yaitu fase
pendidikan tahap sarjana (pendidikan pre klinik) dan pendidikan tahap profesi
(pendidikan klinik). Setelah melalui kedua fase ini, diharapkan peserta didik telah
memiliki kompetensi dan profesionalisme seperti yang tercantum di dalam SKDI.
Kompetensi dan profesionalisme seorang calon dokter yang telah selesai
mengikuti proses pendidikan harus dapat diukur. Salah satu alat ukur yang dapat
digunakan adalah objective structural clinical examination (OSCE). Berdasarkan
piramida Miller, seorang calon dokter yang sudah melewati 2 fase proses
pendidikan berarti sudah berada di puncak piramida (level Does) yang penilaian
kompetensinya menggunakan performance assessment in vivo, namun karena
model penilaian tersebut memiliki beberapa keterbatasan termasuk pengambilan
contoh kasus yang adekuat dan sulitnya melakukan standarisasi kasus, maka
penilaian menggunakan OSCE merupakan salah satu alternatif penilaian yang
cukup baik. (Wass, et. al 2001), dan terbukti bermanfat dari segi validitas dan
reliabilitasnya dalam menilai secara simultan bermacam kompetensi dokter.
(Jefferies et. al, 2007)
OSCE sebagai pilihan metode penilaian agar terjaga keberhasilannya
bergantung pada kecukupan sumber daya, termasuk jumlah stasion,
pembangunan stasion, metode scoring yang digunakan, jumlah siswa dinilai, dan
waktu yang memadai dan ketersedian pendanaan (Gupta, et. al 2010)
216
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Indonesia (PSPD FK UII) menyelenggaran suatu proses penilaian komprehensif
kompetensi dan profesionalitas calon dokter setelah melewati semua proses
pendidikan dalam bentuk ujian OSCE Komprehensif. OSCE Komprehensif
dilakukan dalam 12 station, mewakili 12 sistem yaitu sistem saraf,
kardiovaskuler, muskuloskeletal, indera, reproduksi, psikiatri, endokrin-
metabolik-nutrisi, gastrointstinal, ginjal dan saluran kemih, hematoimunologi,
integumentum, dan sistem respirasi. OSCE Komprehensif ini juga dilakukan
penilaian kemampuan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
penegakan diagnosis, tatalaksana (farmako dan non-famakoterapi), komunikasi-
edukasi, dan profesionalisme. Meskipun sebagai suatu model penilaian, OSCE
dapat juga mendorong mahasiswa untuk belajar dan memiliki damapak
pembelajaran yang baik jika disiapkan dengan baik (Khan, et. al., 2013)
Pelaksanaan ujian OSCE Komprehensif di PSPD FK UII sudah berlangsung
sejak tahun 2013, sehingga diperlukan kajian dari perspektif peserta didik untuk
mengevaluasi ujian ini dari sudut pandang peserta. Untuk itu, penelitian ini
bertujuan mengetahui kesiapan pengetahuan dan keterampilan klinis peserta
setelah mengikuti semua proses pendidikan dokter dalam menghadapi ujian OSCE
Komprehensif PSPD FK UII.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Analisis data menggunakan
persentase dan tabulasi. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang telah
selesai mengikuti proses pendidikan klinik pada bulan Nopember 2016 sejumlah
55 orang mahasiswa. Pada penelitian ini diberikan kuesioner kesiapan mahasiswa
terkait dengan pelaksanaan OSCE KOmprehensif. Aspek kesiapan yang ingin
diketahui dalam penelitian ini mencakup kompetensi diagnosis (penyakit) dan
tindakan procedural klinik yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
Kuesioner yang digunakan terdiri dari 2 bagian yaitu 10 pertanyaan
menggunakan skala Likert’s 1-10 dan 4 pertanyaan terbuka yang memungkinkan
217
mahasiswa menjelaskan tentang pencapaian dan kesiapan menghadapi ujian
OSCE yang mereka rasakan.
Hasil dan Pembahasan
Kuesioner evaluasi ujian OSCE Komprehensif PSPD FK UII ini dilakukan
terhadap peserta yang mengikuti ujian OSCE Komprehensif periode Nopember
2016. Kuesioner dibuat terdiri dari dua bagian yaitu 10 pertanyaan dengan
jawaban berupa skala Likert 1-10 dan 4 pertanyaan terbuka. Sebanyak 55 orang
peserta ikut serta mengisi kuesioner tersebut.
Dari 55 responden peserta ujian yang mengisi kuesioner evaluasi ujian
OSCE Komprehensif FK UII diperoleh data yaitu terkait kesesuaian antara kasus
yang diujikan dengan kompetensi dokter umum sebanyak 3 orang (5,45 %) yang
menyatakan tidak sesuai, 9 orang (16,36%) menyatakan cukup sesuai, dan 43
orang (78,18 %) menyatakan sesuai.
Untuk pernyataan terkait tindakan prosedural yang diujikan sudah pernah
dilakukan dalam proses pendidikan klinik, diperoleh data 7 orang (12,72%)
menyatakan jelek (belum pernah dilakukan dalam proses pendidikan klinik), 10
orang (18,18%) menyatakan cukup dan 38 orang (69,09%) menyatakan baik.
Untuk pernyataan terkait kasus yang diujikan sudah didapatkan dalam
proses pendidikan klinik didapatkan data 6 orang (10,90%) merasakan kurang, 7
orang (12,72%) merasakan cukup dan 42 orang (76,36 %) merasakan sudah
mendapatkan.
Untuk pernyataan terkait kesesuaian setting ujian dengan kondisi nyata
didapatkan data 5 orang (09,09 %) tidak sesuai, 11 orang (20%) cukup sesuai dan
39 orang (70,90 %) sudah sesuai.
Untuk pernyataan terkait kejelasan perintah soal ujian, sebanyak 7 orang
(12,72 %) menyatkan tidak jelas, 10 orang (18,18 %) menyatakan cukup jelas,
dan 38 orang (69,09 %) menyatakan sangat jelas.
218
Untuk pernyataan terkait kelengkapan dan kemudahan peralatan yang
digunakan untuk ujian didapatkan data 4 orang (7,27 %) menyatakan kurang, 17
orang (30,90 %) menyatakan cukup, dan 34 orang (61,81 %) menyatakan baik.
Untuk pernyataan terkait seberapa penting ujian ini diselenggarakan
didapatkan data 5 orang (9,09 %) menyatakan tidak penting, 8 orang (14, 54 %)
menyatakan cukup penting, dan 42 orang (76,36 %) meyatakan sangat penting.
Untuk pernyataan terkait seberapa besar kesiapan peserta mengikuti ujian
ini didapatkan data 8 orang (14,54 %) menyatakan tidak siap, 18 orang (32,72 %)
cukup siap dan 29 orang (52,72 %) menyatakan sangat siap.
Dari data kuesioner berupa pertanyaan terbuka, terdapat 2 hasil yang
diperoleh yaitu terkait kemampuan yang sudah dirasa dikuasai meliputi
komunikasi, prosedural skill (cuci tangan, pemasangan ET), diagnosis,
pemeriksaan fisik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan jantung, pulmo, dan
abdomen) kasus (DM, Meningitis, Saraf, THT, endokrin, jiwa, interna, obsgyn).
Sedangkan, kemampuan yang dirasakan belum dikuasai adalah
farmakoterapi, anamnesis psikiatri, pemeriksaan fisik, keputusan tindakan yang
diambil, keputusan dan interpretasi pemeriksaan penunjang, pemasangan ET,
kasus (obsgyn, kegawat daruratan, saraf, kulit), EKG, partus normal.
Beberapa hasil pertanyaan terbuka terdapat hasil yang ada baik di
kelompok kemampuan yang sdudah dirasa dikuasai maupun yang belum dikuasai,
namun setelah ditelusuri, hal ini bias terjadi pada peserta yang berbeda lokasi
rumah sakit pendidikannya.
Dari data-data tersebut, 3 buah pertanyaan kemudian secara khusus
dideskripsikan yaitu yang terkait secara spesifik terhadap kesiapan peserta
(dokter muda) dalam mengikuit OSCE Komprehensif yang hasilnya yaitu
Sebanyak 43 orang (78,18 %) menyatakan kasus yang diujikan sesuai dengan
kompetensi dokter umum. Terkait tindakan prosedural yang diujikan, diperoleh
data 38 orang (69,09%) menyatakan baik (sudah pernah pernah dilakukan pada
219
pendidikan klinik). Hasil ini didukung oleh data kualitatif dari kuesioner yang
menyebutkan kemampuan yang sudah dikuasai meliputi komunikasi, cuci tangan,
pemasangan ET, pemeriksaan fisik (jantung, pulmo, abdomen dan kulit. Terkait
kasus ujian didapatkan data 42 orang (76,36 %) merasakan sudah mendapatkan
pada proses pendidikan klinik. Hasil ini didukung data kualitatif kuesioner yang
menyatakan kasus yang sudah dikuasai meliputi diagnosis kasus DM, meningitis,
kasus station saraf, THT, endokrin, jiwa, interna dan obsgyn.
Kesimpulan
Kesiapan kompetensi mahasiswa terkait dengan keterampilan prosedural
dalam OSCE cukup baik. Hasil ini didasarkan pada data tiindakan prosedural dan
kasus yang sesuai kompetensi sebagian besar (rerata nilai 3 pertanyaan terkait
yaitu 74,54%) sudah sesuai dan pernah didapatkan di pendidikan klinik.
Daftar Pustaka
Gupta, P., Dewan, P. and Singh, T., 2010. Objective structured clinical
examination (OSCE) revisited. Indian pediatrics, 47(11), pp.911-920.
Indonesia, K.K., 2012. Standar kompetensi dokter Indonesia 2012. Diunduh
dari pdk3mi. org, 5.
Jefferies, A., Simmons, B., Tabak, D., Mcilroy, J.H., Lee, K.S., Roukema, H. and
Skidmore, M., 2007. Using an objective structured clinical examination (OSCE) to
assess multiple physician competencies in postgraduate training. Medical
teacher, 29(2-3), pp.183-191.
Khan, K.Z., Ramachandran, S., Gaunt, K. and Pushkar, P., 2013. The objective
structured clinical examination (OSCE): AMEE guide no. 81. Part I: an historical
and theoretical perspective. Medical teacher, 35(9), pp.e1437-e1446.
Wass, V., Van der Vleuten, C., Shatzer, J. and Jones, R., 2001. Assessment of
clinical competence. The Lancet, 357(9260), pp.945-949.
220
MODEL PEMBIMBINGAN UKMPPD INTEGRATIF FK UNISBA TAHUN 2016
Santun Bhekti Rahimah 11, Ieva B Akbar 22, Ratna Dewi Indi1,Miranti Kania Dewi1 1Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Uji kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) dilaksanakan
dengan computer based test (CBT) dan Objective Structured Clinical Examination
(OSCE). Banyak faktor yang mempengaruhi performa mahasiswa pada saat ujian,
salah satunya adalah kesiapan mahasiswa. Kelulusan UKMPPD bukan saja penting
buat peserta tetapi juga bagi fakultas, sebagai bahan evaluasi dan peningkatan
profil fakultas. Sejak 2012 FK Unisba konsisten memberikan pembimbingan bagi
mahasiswa dan tahun 2016, model pembimbingannya lebih integratif. Kajian ini
bersifat deskritif yang memperlihatkan bagaimana model pembimbingan
UKMPPD FK Unisba tatahun 2016 yang dilihat dari angka kelulusan first taker
yang cukup meningkat signifikan. Pembimbingan dilaksanakan oleh fakultas
dengan melibatkan dosen preklinik, proceptor, alumni serta peserta. Mahasiswa
dibagi menjadi dua (2) kelompok besar untuk pemberian materi dan dipecah
menjadi kelompok yang kecil untuk pembahasan soal dan pembimbingan
ketrampilan klinik. Topik pembimbingan meliputi materi CBT dan OSCE.
Pembimbingan UKMPPD dilaksanakan pada dalam kurun waktu satu bulan dan
dilaksankaan di FK Unisba ataupun rumah sakit jejaring. Akhir pembimbingan
dilaksanakan try out internal untuk CBT maupun OSCE. Keberhasilan
pembimbingan dilihat dari angka kelulusan first taker dan angka kelulusan total
dari tahun 2014-2016. Pembimbingan 2016 diikuti oleh seluruh calon peserta
dengan angka kehadiran diatas 80%. Pembimbingan dilaksanakan lebih
komperensif dan integratif. Hasil pembimbingan dapat dilihat dari kenaikan
angka kelulusan first taker baik untuk CBT, OSCE dan kelulusan total tahun 2016
untuk angkatan 2010. Kelulusan first taker CBT terdapat kenaikan sekitar 27,
93%, , OSCE sebesar 0,33% dan kelulusan total fist taker sebesar 25, 63%.
Pembimbingan UKMPPD harus dikembangkan agar mendapatkan model terbaik
untuk meningkatkan kesiapan mahasiswa dalam menghadapi UKMPPD.
Pembimbingan diharapkan dapat meningkatkan angka kelulusan mahasiswa
dalam menghadapi UKMPPD.
Kata Kunci: Pembimbingan, integratif, UKMPPD
221
Pendahuluan
Pendidikan kedokteran saat ini sudah menggunakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) sesuai dengan KIPDI III, yang mulai dikembangkan sesuai
dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Pada kurikulum ini
tingkat pencapaian atau kompetensi yang diharapkan adalah kognitif,
ketrampilan (Skill), afektif, atau pengetahuan, kemampuan sikap dan tata nilai
serta tanggung jawab/hak. (Dirjrn Dikti, 2014) Saat ini seluruh mahasiswa
program profesi dokter di Indonesia wajib mengikuti Uji Kompetensi Mahasiwa
Program Profesi Dokter (UKMPPD). Uji kompetensi Mahasiswa Program Profesi
Dokter (UKMPPD) adalah uji pengujian dan penilaian bersifat nasional bagi
mahasiswa program profesi dokter, yang salah satu tujuannya untuk menjamin
lulusan program profesi dokter yang kompeten dan terstandar secara nasional.
Uji ini menilai kemampuan kompetensi mahasiswa program profesi sebagai dasar
untuk melakukan praktik dan dilaksanakan menggunakan uji tulis dalam bentuk
soal MDE Multiple Diciplinary Examination) dengan format soal MCQ (Multiple
Choice Question) dan uji ketrampilan klinik dengan OSCE (Objective Structured
Clinical Examination) Objective Structured Clinical Examination. (PNUKMPPD,
2014).
Perubahan paradigma dalam pendidikan kedokteran ini tentu saja
membutuhkan dukungan dan kesiapan dari berbagai pihak, baik dari pihak
institusi sebagai pelaksana, mahasiswa sebagai sasarannya dan stake holder
sebagai pengguna lulusan fakultas kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Bandung, mulai tahun 2008 melaksanakan program pendidikan profesi
dokter (P3D) dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (Competency
based curriculum) melalui proses belajar hingga mahir (mastery learning).
Melalui pendekatan ini diharapkan peserta P3D akan dapat menguasai
pengetahuan, keterampilan, prilaku dan etika yang dibutuhkan dalam rangka
menjalankan profesi dokter. Pelatihan keterampilan dalam kurikulum ini
dikembangkan berdasarkan competency based training.
222
Banyak faktor yang mempengaruhi performa mahasiswa pada saat ujian, karena
hal ini merupakan integral dari berbagai faktor dalam edukasi, baik dari faktor
eksternal, fak tor internal, faktor personal dan faktor- faktor lain yang berkaitan
dengan performa mahasiswa saat ujian. Salah satu faktor yang paling dominan
adalah kesiapan mahasiswa menghadapi ujian. (rasul, 2011) Kelulusan pada ujian
UKMPPD bukan saja penting buat peserta tetapi juga bagi fakultas itu sendiri
sebagai bahan evaluasi peningkatan profil fakultas. Sejak tahun 2012 FK Unisba
konsistem memberikan pembimbingan bagi mahasiswa yang akan mengikuti
UKMPPD, dan pada tahun 2016 model pembimbingan yang diberikan lebih
integratif. Tujuan pembimbingan ini adalah meningkatkan kesiapan mahasiswa
dan angka kelulusan UKMPPD. Kajian ini bersifat deskritif analitik yang
memperlihatkan bagaimana model pembimbingan UKMPPD dilihat dari angka
kelulusan yang cukup meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
METODA:
Pembimbingan UKMPPD FK UNIsba dilaksanakan oleh fakultas dengan
melibatkan dosen preklinik, proceptor (dosen klinis), alumni serta mahasiswa
peserta UKMPPD. Bimbingan diikuti oleh mahasiswa P3D yang telah memenuhi
syarat sebagai berikut; telah menyelesaikan seluruh rotasi bagian di 15 bagian di
FK Unisba, mematuhi jadwal yang telah ditetapkan fakultas, Kehadiran minimal
80%. Jadwal ditentukan oleh fakultas dan sesuai kesepakatan dengan staf dosen
yang akan membimbing mahasiswa. Waktu bimbingan UKMPPD dilaksanakan
setelah mahasiswa mengikuti seluruh rotasi bagian, sampai maksimal satu
minggu sebelum pelaksanaan UKMPPD, selama kurang lebih satu bulan.
Staff pengajar yang terlibat dalam proses pembimbingan mempunyai jenjang
akademik minimal S2 atau Sp1 dan diutamakan yang sudah pernah menjadi
Penguji OSCE UKMPPD atau pernah mengikuti Workshop Item Development.
Bimbingan UKMPPD dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Unisba ataupun rumah
sakit- rumah sakit jejaring Fakultas Kedokteran UNISBA. Mahasiswa dibagi
223
menjadi dua (2) kelompok besar untuk pemberian materi dan dipecah menjadi
kelompok yang lebih kecil untuk pembahasan soal dan pembimbingan
ketrampilan klinik. Metoda pembimbingan dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu
pembimbingan CBT dan pembimbingan OSCE. Untuk pembimbingan CBT
mahasiswa mendapatkan materi atau pembekalan dari dosen dan pemahasan
soal- soal lebih lanjut dengan bantuan alumni dan mahasiswa yang dinilai
mempunyai kemampuan akademik yang baik dan mampu membantu peserta lain
untuk memahami soal.
Bagan 1. Model Pembimbingan Integratif FK Unisba
Penentuan topik atau materi dalam pembimbingan UKMPPD disesuaikan
dengant tingkat kemampuan (level kompetensi) yang harus dicapai dalam
Mahasiswa Program
Profesi
Pembimbingan CBT Pembimbingan OSCE
Pembimbingan CBT dalam
kelas besar
Dosen preklinik dan klinik
(proceptor)
Pembimbingan materi OSCE
dalam kelas besar
Pembahasan soal dalam
kelas kecil
Dosen preklinik, dosen
klinik Dosen preklinik, alumni
Pembimbingan ketrampilan
klinis dalam kelas kecil
Pembimbingan OSCE Pembimbingan OSCE
Pembimbingan dengan
jadwal fakultas (MEU)
Memfasilitasi pembimbingan mandiri (belajar
kelompok)dengan memperdayakan alumni dan
peserta
224
Standar Kompetensi Dpkter Indonesia (SKDI), esensi dan urgensi penyakit di
masyarakat dan input dari mahasiswa, mengenai topik- topik yang kurang mereka
kuasai selama kegiatan kepaniteraan. Tidak semua topik dalam sistem tubuh
diberikan dalam pendalaman materi, sehingga mahasiswa diharapkan mampu
untuk meningkatkan pengetahuannya dengan belajar mandiri dan
memperbanyak latihan soal. Latihan pembahasan soal bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mengenali kasus- kasus yang
kemungkinan ditemui dalam ujian CBT UKMPPD, juga sebagai wahana untuk
berbagi pengalaman dan trik- trik dalam menjawab soal- soal CBT.
Pembimbingan OSCE dilakukan oleh dosen dalam kelompok- kelompok besar
dan kecil untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan memberikan
kesempatan pada mahasiswa untuk berlatih. Ketrampilan klinis yang dilatihkan
adalah ketrampilan dengan tingkat kemampuan 3 dan 4 pada SKDI. Tidak semua
ketrampilan klinis dapat dilatihkan langsung kepada mahasiswa, sehingga
diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kemampuannya dengan belajar
mandiri.
Akhir bimbingan UKMPPD dilaksanakan try out internal baik untuk CBT
maupun OSCE, untuk memberikan kesempatan mahasiswa mengenal situasi ujian
UKMPPD dan pengenalan soal- soal UKMPPD. Selain pembimbingan yang
dijadwalkan oleh fakultas, mahasiswa juga dimotivasi untuk mampu
mengefektifkan waktu pembelajarannya secara mandiri, baik secara pribadi
maupun belajar dalam kelompok.
Keberhasilan model pembimbingan integratif pada tahun 2016 ini dilihat secara
tidak langsung dari angka kelulusan first taker dan angka kelulusan total dalam
satu tahun dari tahun 2014-2016.
HASIL PEMBIMBINGAN:
Pembimbingan UKMPPD pada tahun 2016 diikuti oleh mahasiswa program
pendidikan profesi dokter, calon peserta UKMPPD dan juga retaker periode
225
sebelumnya, dengan angka kehadiran pembimbingan diatas 80%. Hasil
pembimbingan UKMPPD dilihat secara kualitatif maupun kuantitatif dari
beberapa parameter yang diuji. Penilaian secara kualitatif dilihat dari hasil try out
internal dalam fakultas, ujian komprehensif dan try out regional yang
dilaksanakan oleh AIPKI Wilayah III. Penilaian secara kualitatif berdasarkan feed
back yang diberikan mahasiswa setelah pelaksanaan pembimbingan selesai.
Seluruh hasil evaluasi digunakan untuk menganalisa model pembimbingan yang
telah diberikan dibandingkan dengan model pembimbingan sebelumnya.
Evaluasi yang sesungguhnya dalam menilai keberhasilan pembimbingan yang
telah diberikan fakultas, adalah dengan menilai hasil UKMPPD Fakultas
Kedokteran Unisba. Fakultas Kedokteran Unisba mengikuti UKMPPD dimulai dari
periode Mei, sehingga siklus satu tahunnya berakhir di Periode Februari 2016,
akan tetapi karena periode februari 2016 belum ada, maka hasil yang akan dinilai
adalah periode Mei- November.
Hasil dari pembimbingan ini dapat dilihat dari kenaikan angka kelulusan first
taker baik untuk CBT, OSCE dan kelulusan total dalam satu 2016 untuk angkatan
2010.
Tabel 1. Hasil Kelulusan First Taker UKMPPD FK Unisba tahun 2014- 2016
Tahun
Kepesertaan/
Angkatan
Kelulusan First taker (%)
CBT OSCE UKMPPD
2014/ Angkatan
2008
89, 29 83,93 82,14
2015/ Angkatan
2009
53, 62 89,86 56,92
2016/ Angkatan
2010
81, 55 90,29 81,55
226
Pada tabel dan grafik diatas terlihat bahwa perubahan yang signifikan terlihat
antara tahun 2015 dan tahun 2016. Pada tahun 2015 terdapat penurunan yang
cukup signifikan pada kelulusan first taker FK Unisba baik dari CBT, OSCE
maupun total keduanya. Hal ini lah salah satunya yang menyebabkan pihak
fakultas merancang model pembimbingan yang lebih baik untuk angkatan 2010
yang akan mengikuti UKMPPD tahun 2016. Pada kelulusan first taker CBT pada
tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015 terdapat kenaikan sekitar 27, 93%,
first taker OSCE sebesar 0,33% dan untuk kelulusan total fist taker sebesar 25,
63%.
DISKUSI:
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam
menghadapi UKMPPD, baik itu faktor eksternal, faktor internal, faktor personal
dan faktor- faktor lain yang terkait didalamnya. Seorang peserta ujian yang dapat
mengendalikan seluruh faktor- faktor di atas dengan baik, akan dapat melewati
ujian dengan baik. Pembimbingan UKMPPD yang diberikan fakultas kepada
mahsiswa program profesi dokter yang akan mengikuti UKMPPD, sesungguhnya
dapat mempengaruhi seluruh faktor yang dapat meningkatkan performa
mahasiswa dalam menghadapi UKMPPD.
0
50
100
CBTOSCE
TOTAL
Grafik 1. Perbandingan Hasil First Taker UKMPPD FK Unisba Tahun
2014- 2016
Tahun 2014
Tahun 2015
Tahun 2016
227
Mahasiswa yang pertama kali akan mengikuti UMPPD pasti memiliki
kekhawatiran yang besar mengenai ujian yang akan dihadapi. Pembimbingan
UKMPPD oleh fakultas akan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa
mengenai materi dan topik yang akan diujikan dalam ujian, bentuk- bentuk soal
yang kemungkinan besar akan ditemui, pengenalan suasana ujian yang akan
dihadapi serta persiapan mental dan kedisplinan peserta. Dari hasil di atas dapat
terlihat bahwa pembimbingan dapat membrikan dampak positif bagi
keberhasilan mahasiswa dalam menghadapi UKMPPD. Walaupun tidak bisa
dipungkiri bahwa terdapat faktor- faktor lain yang akan mempengaruhi hasil dan
mungkin tidak dapat dipengaruhi oleh pembimbingan UKMPPD fakultas, seperti
misalnya faktor personal peserta itu sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN:
Pembimbingan UKMPPD harus dikembangkan agar mendapatkan model terbaik
untuk meningkatkan kesiapan mahasiswa dalam menghadapi UKMPPD.
Pembimbingan diharapkan dapat meningkatkan angka kelulusan mahasiswa
dalam menghadapi UKMPPD.
Refferensi:
1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti Kemendikbud,
2014, Buku Kurikulum Perguruan Tinggi.
2. Permendikbud No 73/ 2013, Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional
Infdonesia.
3. Rasul Saima, Buklis Qadir, 2011. A Study of Factors affecting Students
Performance in Examinations at University level. Procedia Social and
Behavioral Sciences. Avaailabe on www. Sciendirect.com
4. Meidcal Education Unit, buku Kurikulum FK Unisba tahun 2012.
5. Panitia Nasional UKMPPD, 2014. Pedoman Pelaksanaan UKMPPD.
228
ANALISIS KUALITAS SOAL BERBASIS VIGNETTE DI PENDIDIKAN TINGGI KEPERAWATAN DI KOTA PEKANBARU
Venny Elita1, Riri Novayelinda2, dan Wan Nishfa Dewi3 1,2,3 Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Riau E-mail: [email protected]
Abstrak
Pendidikan tinggi keperawatan secara umum menjadikan penilaian sebagai
bagian dari kegiatan akademik untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran.
Orientasi dan pendekatan yang digunakan pendidikan tinggi keperawatan dalam
evaluasi akhir pembelajaran dengan menggunakan soal multiple choices berbasis
vignette karena tipe ini mampu menguji kemampuan aplikasi ilmu dan
kemampuan mengambil keputusan sesuai kasus yang diberikan. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analisis yang bertujuan untuk menganalisis
kualitas dan karakteristik soal berbasis vignette di pendidikan tinggi keperawatan
di Kota Pekanbaru. Penelitian ini dilakukan di tiga institusi pendidikan tinggi
keperawatan yang ada di Pekanbaru. Populasi dalam penelitian ini adalah soal
mata kuliah inti keperawatan pada semester 2, 4, dan 6 yang digunakan pada
ujian tulis selama bulan Juli-September 2016. Teknik sampling yang digunakan
pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik random sampling. Untuk
mengidentifikasi karakteristik soal vignette dalam penelitian ini diidentifikasi
berdasarkan level kompetensi kognitif, tingkat kesulitan soal, indeks diskriminasi,
dan kualitas soal vignette. Kualitas soal diidentifikasi berdasarkan instrumen
panduan evaluasi soal vignette. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa secara
umum soal ujian pada institusi pendidikan tinggi keperawatan di Kota Pekanbaru
memiliki tipe soal vignette. Tetapi, soal yang sudah menggunakan vignette belum
semuanya memenuhi kriteria sehingga beberapa soal vignette harus direvisi. Dari
7 soal Mata Kuliah yang dianalisa, lebih dari sebagian yang dapat digunakan
(60,78%), sedangkan yang lain harus direvisi (15,29%) dan diganti (23,92%).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada institusi pendidikan tinggi
keperawatan untuk meningkatkan kualitas soal vignette dengan pelatihan regular
terkait teknis penyusunan soal berbasis vignette di tiap institusi pendidikan
berdasarkan bidang keilmuan.
Kata Kunci : Analisis soal, keperawatan, vignette
229
PENDAHULUAN
Penilaian (assessment) dengan metode ujian merupakan salah satu hasil
pengukuran dari proses pembelajaran. Penilaian dalam proses pembelajaran
merupakan salah satu persyaratan bagi tiap institusional pendidikan, termasuk di
tingkat pendidikan tinggi untuk mengetahui hasil kegiatan pembelajaran.
Universitas sebagai penyelenggara pendidikan tertinggi menjadikan proses
penilaian sebagai bagian dari kegiatan akademik untuk mengevaluasi kegiatan
pembelajaran untuk jangka waktu tertentu. Evaluasi yang paling sering dilakukan
dalam proses belajar mengajar berupa ujian. Meskipun penilaian dengan ujian ini
tidak dapat menilai kompetensi atau keterampilan mahasiswa secara menyeluruh
dan langsung, akan tetapi penilaian dengan ujian ini dapat memberikan
gambaran pengukuran yang normal atau relative dalam membandingkan antar
satu mahasiswa dengan mahasiswa yang lain (Haladyna & Rodriguez 2013).
Pada tahun 2010, penelitian terkait kualitas soal multiple choice questions (MCQs)
pada semua mata ajar keperawatan di PSIK-UR dilakukan oleh staf pengajar PSIK-
UR dalam rangka mengevalusi proses pembelajaran. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa bahwa kualitas soal MCQs di PSIK-UR untuk mata ajar
keperawatan pada umumnya masih berada pada level C2, yaitu pada level
pemahaman (Elita & Dewi 2011). Untuk mengukur kemampuan mahasiswa
dengan metode ujian tulis saat ini dengan menggunakan pendekatan MCQs
berbasis vignette. Soal dengan menggunakan vignette mampu memberikan
gambaran lulusan dari aspek kompetensi yang diharapkan dari vignette.
Pada umumnya soal vignette dengan MCQs memuat soal dengan level C3-C5,
dimana level ini akan menguji kemampuan aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi
mahasiswa (Tarrant & Ware 2012). Konsep soal vignette di disain untuk
merefleksikan kondisi yang sebenarnya sehingga mahasiswa mampu untuk
mengidentifikasi informasi yang penting dalam skenario sebelum mengambil
keputusan tindakan terhadap pasien (Agrawal, Norman & Eva 2012). Penelitian
230
yang berhubungan dengan penggunaan vignette dalam bentuk MCQs sebagai alat
evaluasi juga ditemukan dan dilakukan dibeberapa institusi di negara maju
(Shete et al. 2015). Bahkan, organisasi profesi perawat dan asosiasi institusi
pendidikan perawat (The National Council of State Boards of Nursing/ NCSBN) di
beberapa negara maju telah memiliki standar terhadap soal MCQs.
Di Indonesia penyusunan standar soal sudah mulai dilakukan oleh Assosiasi
Institusi Penyelengara Ners Indonesia (AIPNI) yang bekerja sama dengan
organisasi profesi PPNI dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Hal ini
terutama terkait dengan uji kompetensi ners yang menyatakan mereka telah siap
untuk melaksanakan tugas sebagai tenaga perawat yang professional. Sedangkan
untuk standar soal, masih menjadi tanggung jawab tiap institusi pendidikan tinggi
keperawatan. PSIK-UR dalam merespon kebutuhan ini menyiapkan semua staf
pengajarnya dengan cara meningkatkan kemampuan tenaga pengajar dalam
menyusun soal vignette yang berkualitas dan sesuai dengan standar AIPNI
melalui pelatihan seperti items development dan items review.
Pelaksanaan pelatihan pembuatan soal menggunakan vignette berdasarkan item
development sejak tahun 2012 di pendidikan tinggi keperawatan di Kota
Pekanbaru, sampai saat ini belum pernah dilakukan evaluasi. Bagaimana
karakteristik dan kualitas soal menggunakan vignette yang di gunakan untuk
evaluasi sumatif mahasiswa keperawatan di institusi pendidikan tinggi
seharusnya direview. Hal ini perlu mendapat perhatian karena kualitas soal yang
menggunakan vignette selama proses pendidikan keperawatan akan
mempengaruhi kemampuan dan percaya diri mahasiswa dalam menjawab soal uji
kompetensi nasional.
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa soal vignette selama masa pelaksanaan
KBK di institusi pendidikan tinggi keperawatan yang berguna untuk mengetahui
secara menyeluruh terutama terkait dengan kualitas soal vignette yang digunakan
sebagai alat evaluasi. Evaluasi dilakukan juga untuk menemukan keterbatasan
231
dan kelemahan tenaga pengajar dalam mengembangkan soal vignette yang akan
menjadi masukan pada institusi pendidikan tinggi keperawatan untuk dapat
ditingkatkan dimasa depan.
Berdasarkan uraian dilatar belakang dan pentingnya penelitian, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas dan karakteristik soal berbasis
vignette di pendidikan tinggi keperawatan di Kota Pekanbaru. Untuk mencapai
tujuan penelitian maka dilakukan kegiatan penelitian seperti diuraikan dibawah
ini:
1. Mengidentifkasi karakteristik dan level soal vignette dan kualitas soal
secara umum yang digunakan institusi pendidikan tinggi keperawatan di
Pekanbaru
2. Mengidentifikasi kualitas soal vignette yang digunakan institusi pendidikan
tinggi keperawatan di Pekanbaru
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis dengan cara menganalisa
kualitas soal vignette yang di gunakan dalam ujian mid semester atau ujian akhir
semester di pendidikan tinggi keperawatan di kota Pekanbaru. Penelitian ini
bermaksud menganalisis kualitas soal MCQs yang menggunakan vignette pada 3
institusi pendidikan keperawatan and Ners yang ada di kota Pekanbaru. Kriteria
pemilihan institusi adalah institusi pendidikan ners yang sudah menjalankan
program KBK selama minimal 3 tahun dan menggunakan soal vignette pada
sebagian besar jenis pertanyaan yang di gunakan untuk evaluasi pembelajaran.
Institusi pendidikan tinggi keperawatan yang memenuhi kriteria di Pekanbaru
yaitu PSIK UR, PSIK STIKES Payung Negeri dan PSIK STIKES Hang Tuah
Pekanbaru.
Populasi dalam penelitian ini adalah soal mata kuliah inti keperawatan pada
semester 2, 4, dan 6 pada ketiga institusi pendidikan tinggi keperawatan yang ada
232
di kota Pekanbaru. Soal yang di ambil adalah soal yang digunakan pada ujian tulis
selama bulan Mei – Juni 2016. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian
ini adalah dengan menggunakan teknik random sampling. Kriteria soal yang akan
dianalisis pada penelitian ini adalah soal yang memenuhi kriteria inklusi sebagai
berikut:
2. Soal mata kuliah inti keperawatan yang objektif dan memiliki vignette
3. Soal objektif yang memiliki 5 option pilihan jawaban yaitu a,b,c,d dan e
Desain soal direview dengan menggunakan melibatkan 3 orang panel reviewer
yang melakukan penilaian terhadap desain soal berdasarkan aplikasi analisis
butir soal. Pada tahap awal reviewer melakukan review secara independen
terhadap soal setelah itu dilanjutkan dengan diskusi untuk mencapai kesepakatan
dalam penilaian pada masing-masing soal. Penilaian terhadap tingkat kognitif soal
juga dilakukan oleh reviewer dan mengikuti pola yang sama dengan penilaian
terhadap desain soal. Penilaian lain pada karakteristik soal akan dilakukan
didasarkan pada kunci jawaban dan jenis jawaban yang di berikan oleh peserta
pada masing masing soal. Total nilai peserta tes akan diakumulasikan dan
kemudian di kelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok peserta yang
memiliki nilai tinggi, menengah dan rendah. Pengelompokkan ini akan berguna
untuk menentukan indeks diskriminasi dan distraktor diskriminasi soal.
Penilaian vignette dilakukan dengan menggunakan standard penyusunan dan
penilaian vignette yang telah disusun oleh AIPNI. Setiap soal vignette yang dinilai
akan direview oleh 2 orang reviewer yang telah mengikuti pelatihan item review
vignette. Nilai dari kedua reviewer akan disamakan dalam hal penilaian standard
menulisan dan penyusunan soal vignette. Penilaian vignette ini meliputi; isi soal,
bahasa yang digunakan, struktur soal, badan soal, lead in,dan pilihan jawaban.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini memamarkan tujuan penelitian ini yaitu untuk
233
mengidentifkasi karakteristik dan level soal vignette dan mengidentifikasi
kualitas soal vignette yang digunakan institusi pendidikan tinggi keperawatan di
Pekanbaru. Dibawah ini adalah hasil penelitian yang telah analisis untuk
memaparkan tujuan penelitian.
2. Identifikasi karakteristik dan level soal
Tabel dibawah ini menjelaskan karaketeristik dan level soal yang dianalisa
dalam penelitian ini.
Tabel 1 Karakteristik soal dan level kompetensi
Leaders
hip
Karakteristi
k
Komun
itas
SNB-1
KGD
Sistem
Regula
tory
Researc
h
an
d
Perkem
ihan
Mecha
nism
Method
ology
Educati
on
in
nursing
N % N % N % N % N % N % N %
Soal Sangat
Mudah 1 0,3 2 4,8 0 0 1 3,6 0 0 0 0 1 2,6
Soal Mudah 9 3 4 9,5 6 14,6 3 10,7 0 0 9 28,1 3 7,9
Soal Sedang 12 4 29 69 28 68,3 18 64,3 31 68,9 20 62,5 23
60,
5
Soal Sulit 3 1 3 7,1 4 9,8 4 14,3 9 20 2 6,3 7
18,
4
Soal Sangat
Sulit 5 16 4 9,5 3 7,3 2 7,1 5 11,1 1 3,1 4
10,
5
JUMLAH
3
0
10
0
4
2 100 41 100 28 100
4
5 100 32 100 38 100
234
Level
Kompetensi
K1
16
53
14
33
2
4,9
8
28,6
29
64,4
19
59,4
28
73,
7
K2
14 47 28 67 39 95,1 20 71,4 14 31,1 12 37,5 10
26,
3
Tabel 1 memperlihatkan hasil analisis data bahwa soal yang dianalisis berjumlah
30 soal komunitas, 42 soal SNB-1, 41 soal KGD, 28 soal sistem perkemihan, 45
soal regulatory mechanism, 32 soal research methodology dan 38 soal leadership
and education in nursing. Secara umum, soal terbanyak adalah berkualitas
sedang. Level Kompetensi terbanyak adalah soal K2, yang menguji kemampuan
analisis.
Tabel 2 Identifikasi kualitas soal
Leaders
hip
Komu
nitas
SBN-
1
KGD
Siste
m
Regula
tory Research & Jum
%
Kategori soal
Perkemi
han
Mecha
nism
Methodol
ogy
Educatio
n lah
in
Nursing
N % N % N % N % N % N % N % N %
Dapat
digunakan 13
43.3
3
2
2
52.3
8
2
9
70.7
3
1
9 70.37 24
53.3
3 25 78.13 23 60.53 155
60.7
8
Revisi 5 16.6 1 23.8 6 14.6 4 14.81 5 11.1 0 0.00 9 23.68 39 15.2
235
7 0 1 3 1 9
Ganti 12
40.0
0
1
0
23.8
1 6
14.6
3 4 14.81 16
35.5
6 7 21.88 6 15.79 61
23.9
2
Jumlah soal 30 100
4
2 100
4
1 100
2
7 100 45 100 32 100 38 100 255 100
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui, dari 255 soal yang dianalisis, sebagian
besar soal dapat digunakan yaitu sebanyak 155 (60,78%), sedangkan soal yang
harus direvisi berjumlah 39 (15,29%) soal dan yang harus diganti adalah
sebanyak 61 (23,92%). Berdasarkan mata kuliah, mayoritas soal dapat
digunakan ada pada soal research methodology (78,13%), kegawatdaruratan
(70,73%) dan sistem perkemihan (70,37%). Soal yang harus diganti terbanyak
pada soal komunitas (40%), soal regulatory mechanism (35,56%) dan soal
neurobehavior (23,81%).
3. Kualitas Vignette
Hasil analisis kualitas soal vignette yang disajikan dalam artikel ini
adalah soal neurobehaviour dengan jumlah soal vignette yang memenuhi
kriteria sebanyak 20 soal. Tabel 3 dibawah ini menggambarkan kualitas
soal vignette berdasarkan standar penyusunan soal vignette yang disusun
oleh AIPNI.
Tabel 3. Kualitas soal vignette
Sangat Relevan: 4 soal (16,17,18,26)
Isi Soal
Relevan 12 soal
(1,2,3,4,5,7,8,10,22,29,3
0,47,5)
236
Bahasa yang digunakan Mudah dimengerti 20 soal
Terdapat vignette
20 soal
Struktur soal
Vignette berfungsi
18 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
47,53)
Vignette tidak berfungsi 2 soal (29,60)
Terlalu panjang, sulit dan kompleks 3 soal (17,18,48)
Badan soal Tidak terlalu panjang, sulit dan kompleks 17 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,22,26,30,47,53
)
Memenuhi close the option rules 20 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
Lead in 47,53) Bukan Pertanyaan negatif 20 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
47,53)
Kesalahan tata bahasa 20 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
47,53)
Penggunaan istilah yang absolut 20 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
47,53)
Jawaban benar yang panjang 20 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
Option 47,53)
Pengulangan kata dari badan soal ke 2 soal (4,5)
237
jawaban
Konvergensi option 20 soal
(1,2,4,5,6,7,8,10,16,17,18,22,26,30,
47,53)
Pilihan jawaban yang panjang, kompleks, atau duplikasi Tidak ada
Bersifat multi interpretasi Tidak ada
Pilihan jawaban tidak paralel dan urutan tidak logis Tidak ada
Dari tabel diatas diketahui bahwa dari enam domain standar penyusunan soal
vignette menurut APINI, tidak semuanya dimiliki atau dipenuhi oleh tiap item soal
pada mata kuliah neurobehaviour. Dari 20 soal vignette yang dianalisa untuk
domain srtuktur soal, didapatkan 18 vignette berfungsi (90%) dan 2 vignette
tidak berfungsi (10%). Dari hasil tabel diatas juga dapat dilhat bahwa di emapt
domain penilaian yaitu; bahasa yang digunakan, badan soal, lead in dan option,
semua (100%) soal vignette memenuhi kriteria dan standar yang ditetapkan oleh
AIPNI.
PEMBAHASAN
Penilaian (assessment) dengan ujian merupakan salah satu hasil pengukuran dari
proses pembelajaran. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan menggunakan
pertanyaan dengan tipe pilihan ganda atau MCQ. Di bidang keperawatan tipe soal
pilihan ganda dapat memberikan hasil pengukuran dari suatu program
pendidikan keperawatan terhadap stakeholder termasuk mahasiswa, koordinator
mata kuliah, program studi dan masyarakat. Nilai dari hasil ujian memberikan
umpan balik kepada mahasiswa terhadap kekuatan dan kelemahan mereka yang
berhubungan dengan materi mata kuliah yang diambil. Meskipun penilaian
dengan ujian belum
dapat menilai kompetensi atau keterampilan mahasiswa secara menyeluruh,
penilaian dengan ujian ini dapat memberikan gambaran pengukuran yang normal
238
atau relative dalam membandingkan antar satu mahasiswa dengan mahasiswa
yang lain (Astin, 1993). Penilaian yang dilakukan akan memberi masukan atau
input bagi koordinator tiap mata kuliah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
proses pembelajaran yang telah dilakukan. Hasil identifikasi dan evaluasi ini akan
berkontribusi pada perbaikan dalam sistem pembelajaran pada mata kuliah
tersebut.
Evaluasi proses pembelajaran merupakan program yang seharusnya dilakukan
oleh tiap institusi penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu banyak universitas
atau pendidikan tinggi mensyaratkan kegiatan akademik untuk melakukan
evaluasi proses pembelajaran baik melalui ujian di tengah dan akhir perkuliahan
dan evaluasi menyeluruh di setiap akhir tahun ajaran. Evaluasi ini sangat
berperan terhadap hasil lulusan yang dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan
tinggi. Pada umumnya, setiap proses evaluasi terdapat ekspektasi sosial bahwa
lulusan menerima pernyataan kualifikasi mereka melalui ijasah atau sertifikat
lain, dan penilaian merupakan satu bagian yang diperlukan dari proses tersebut
(Brown, 2004). Kualifikasi ini akan menggambarkan secara umum kualitas
penyelenggara pendidikan tinggi tersebut. Kualitas dari lulusan ini dapat
ditentukan dari proses penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, yang salah
satunya diliat dari kualitas soal yang digunakan sebagai alat evaluasi.
Pada penelitian ini sebagian besar soal MCQ yang dianalisis adalah soal yang
digunakan untuk mata kuliah inti keperawatan. Mata mata kuliah yang berbasis
sistem tubuh manusia pada umumnya sudah menggunakan soal vignette dengan
level analisis, sedangkan untuk mata kuliah lain yang tidak berbasis ilmu dasar
keperawatan sebagian besar soal masih berada pada level K1 atau yang masih
bersifat mengingat. Hal ini mungkin disebabkan karena mata kuliah yang tidak
berbasis ilmu keperawatan dasar masih banyak membahas tentang konsep,
sehingga walaupun soal sudah berbentuk vignette, namun tipe pertanyaan masih
menanyakan tingkat pengetahuan.
239
MCQs yang disusun dengan baik dapat mengukur tingkatan kognitif mahasiswa
(McCoubrie and McKnight, 2008). Di beberapa negara maju, organisasi profesi
perawat dan asosiasi institusi pendidikan perawat (The National Council of State
Boards of Nursing/ NCSBN) telah memiliki standar terhadap soal MCQs. Standar
soal yang disusun ini diharapkan mampu memberikan kualitas lulusan yang
diharapkan oleh institusi pendidikan dan organisasi profesi.
Di beberapa negara maju, setiap mahasiswa perawat diharapkan mampu
menjawab pertanyaan minimal 75% dari total pertanyaan yang diberikan dengan
kualifikasi pertanyaan yang bersifat aplikasi dan analisis (American Association of
Collegues of Nursing, 2008). Ini yang menjadi salah satu faktor penentu kualitas
lulusan perawat di negara maju, dimana setiap lulusan akan mempunyai
kualifikasi keterampilan dan pengetahuan yang sama, sesuai dengan kebutuhan
organisasi profesi.
Dari hasil penelitian ini juga dibahas kualitas soal vignette pada soal yang
memiliki vignette. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa soal vignette yang
dianalisa berdasarkan kriteria penyusunan vignette yang baik menurut AIPNI
belum terpenuhi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3 bahwa tidak ada
satu pun soal neurobehavior memenuhi semua aspek penyusunan atau standar
yang telah ditetapkan. Hal ini mungkin dapat terjadi dikarenakan kurang
ketelitian pembuat soal atau karena belum maksimal mengacu pada standard
penyusunan soal vignette yang benar. Penelitian ini memberikan gambaran
bahwa pada pelaksanaannya, soal vignette yang dihasilkan masih belum
memenuhi kriteria AIPNI, sementara tuntutan mutu lulusan pendidikan
perawatan yang memiliki kemampuan dan skill berdasarkan kompetensi menjadi
target semua institusi pendidikan tinggi keperawatan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tarrant dan Ware (2012), yang mengatakan bahwa soal vignette berisi
pemecahan masalah klinis yang dirancang dengan baik akan meningkatkan
kritikal analisis dimana soal-soal yang diberikan mengukur tingkat kognitif yang
240
lebih tinggi daripada sekedar mengingat teori saja. Apabila dalam proses evaluasi
menggunakan kualitas soal vignette yang kurang baik, maka lulusan yang
dihasilkan juga belum mampu memenuhi target lulusan yang optimal. Meskipun
dibeberapa institusi pendidikan tinggi keperawatan di Kota Pekanbaru telah
melakukan pelatihan item development dan item review, tetapi dalam
pelaksanaannya belum dapat dikatakan berhasil. Oleh karena itu, evaluasi
kualitas soal vignette menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk mencapai
tujuan dari penyelenggaraan pendidikan tinggi keperawatan.
Tujuan dari pendidikan tinggi keperawatan adalah untuk menghasilkan perawat
yang berkualitas dan kompeten bagi masyarakat. Perawat pendidik (nurse
educator) merupakan komponen penting dalam menghasilkan lulusan perawat
yang berkualitas dan kompeten melalui pengembangan kurikulum. Kurikulm
dengan standard kompetensi dan sistem penilaian yang tepat dan sesuai dengan
tujuan lulusannya. Pengajar di pendidikan tinggi pada umumnya tidak dilatih
secara khusus untuk menjadi seorang pendidik. Murray-Harvey et.al (1996)
berpendapat bahwa sebagian besar dosen atau tenaga pendidik mengembangkan
prosedur
Di beberapa negara maju, setiap mahasiswa perawat diharapkan mampu
menjawab pertanyaan minimal 75% dari total pertanyaan yang diberikan dengan
kualifikasi pertanyaan yang bersifat aplikasi dan analisis (American Association of
Collegues of Nursing, 2008). Ini yang menjadi salah satu faktor penentu kualitas
lulusan perawat di negara maju, dimana setiap lulusan akan mempunyai
kualifikasi keterampilan dan pengetahuan yang sama, sesuai dengan kebutuhan
organisasi profesi.
Dari hasil penelitian ini juga dibahas kualitas soal vignette pada soal yang
memiliki vignette. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa soal vignette yang
dianalisa berdasarkan kriteria penyusunan vignette yang baik menurut AIPNI
belum terpenuhi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3 bahwa tidak ada
241
satu pun soal neurobehavior memenuhi semua aspek penyusunan atau standar
yang telah ditetapkan. Hal ini mungkin dapat terjadi dikarenakan kurang
ketelitian pembuat soal atau karena belum maksimal mengacu pada standard
penyusunan soal vignette yang benar. Penelitian ini memberikan gambaran
bahwa pada pelaksanaannya, soal vignette yang dihasilkan masih belum
memenuhi kriteria AIPNI, sementara tuntutan mutu lulusan pendidikan
perawatan yang memiliki kemampuan dan skill berdasarkan kompetensi menjadi
target semua institusi pendidikan tinggi keperawatan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tarrant dan Ware (2012), yang mengatakan bahwa soal vignette berisi
pemecahan masalah klinis yang dirancang dengan baik akan meningkatkan
kritikal analisis dimana soal-soal yang diberikan mengukur tingkat kognitif yang
lebih tinggi daripada sekedar mengingat teori saja. Apabila dalam proses evaluasi
menggunakan kualitas soal vignette yang kurang baik, maka lulusan yang
dihasilkan juga belum mampu memenuhi target lulusan yang optimal. Meskipun
dibeberapa institusi pendidikan tinggi keperawatan di Kota Pekanbaru telah
melakukan pelatihan item development dan item review, tetapi dalam
pelaksanaannya belum dapat dikatakan berhasil. Oleh karena itu, evaluasi
kualitas soal vignette menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk mencapai
tujuan dari penyelenggaraan pendidikan tinggi keperawatan.
Tujuan dari pendidikan tinggi keperawatan adalah untuk menghasilkan perawat
yang berkualitas dan kompeten bagi masyarakat. Perawat pendidik (nurse
educator) merupakan komponen penting dalam menghasilkan lulusan perawat
yang berkualitas dan kompeten melalui pengembangan kurikulum. Kurikulm
dengan standard kompetensi dan sistem penilaian yang tepat dan sesuai dengan
tujuan lulusannya. Pengajar di pendidikan tinggi pada umumnya tidak dilatih
secara khusus untuk menjadi seorang pendidik. Murray-Harvey et.al (1996)
berpendapat bahwa sebagian besar dosen atau tenaga pendidik mengembangkan
prosedur sudah menggunakan vignette tidak semuanya memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan AIPNI sehingga perlu untuk dilakukan revisi untuk
242
penyempurnaan. Peningkatan kualitas lulusan tenaga perawat sangat ditentukan
oleh kemampuan mereka dalam berpikir kritis dan menganalisa situasi pasien
yang dituangkan dalam soal vignette. Pelatihan terkait dengan item development
dan item review yang berkesinamabungan menjadi sangat penting untuk semua
institusi pendidikan tinggi keperawatan di Kota Pekanbaru. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas tenaga pengajar dalam
memproduksi soal vignette yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Evaluasi
soal vignette secara reguler perlu dilakukan oleh institsui pendidikan tinggi
keperawatan untuk memastikan proses evaluasi telah menggunakan alat ukur
yang tepat dan benar.
SARAN
Untuk meningkatkan kualitas lulusan dan meningkatkan rating kelulusan di uji
kompetensi nasional, maka perlu diadakan pelatihan terkait teknis penyusunan
soal berbasis vignette secara regular di tiap institusi pendidikan berdasarkan
bidang ilmu. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mendatangkan tim pakar yang
telah memiliki sertifikasi dalam proses penyusunan soal vignette untuk
pendidikan tinggi keperawatan. Dengan kegiatan ini diharapkan kualitas soal
vignette yang dihasilkan akan lebih baik. Hasil penelitian ini dapat difollow up
lebih lanjut dengan
melakukan penelitian yang lebih detail yang berfokus pada kemampuan dan
kapasitas tenaga pengajar untuk menyusun vignette di masing-masing institusi.
DAFTAR PUSTAKA
AACN (American Association of Colleges of Nursing) 2008, The essentials of baccalaureate education for propfessional nursing practice. Retrieved from http://www.aacn.nche.edu/Education/pdf/BaccEssentials08.pdf
Agrawal, S, Norman, GR & Eva, KW 2012, 'Influences on medical students’
self‐regulated learning after test completion', Medical education, vol. 46, no. 3, pp. 326-335.
Astin, A.W. 1993, 'What matters in college: Four criritcal years revisited. San
243
Francisco: Jossey-Bass. Brown, S. 2004, 'Assessment for learning', Learning and Teaching in Higher
Education, vol 1, no 5, pp. 81-89. Case, SM, Swanson, DB & Becker, DF 1996, 'Verbosity, window dressing, and red herrings:
do they make a better test item?', Academic Medicine, vol. 71, no. 10, pp. S28-30.
Clifton, SL, Schriner, CL 2010, 'Assessing the quality of multiple choice test items',
Nurse Educator, Vol. 35, no.1, pp 12-16. Elita, V & Dewi, WN 2011, 'Penilaian kualitas soal multiple-choice pada mata ajar
keperawatan di program studi ilmu keperawatan Universitas Riau', Program Studi Ilmu Keperawatan,
Evans, SC, Roberts, MC, Keeley, JW, Blossom, JB, Amaro, CM, Garcia, AM, Stough,
CO, Canter, KS, Robles, R & Reed, GM 2015, 'Vignette methodologies for studying clinicians’ decision-making: Validity, utility, and application in ICD-11 field studies',
International Journal of Clinical and Health Psychology, vol. 15, no. 2, 5//, pp. 160-170.
Haladyna, TM & Rodriguez, MC 2013, Developing and validating test items,
Routledge, New York. McCoubrie, P & McKnight, L 2008, 'Single best answer MCQs: a new format for the
FRCR part 2a exam', Clinical Radiology, no 63, pp. 506-510. Morrison, S & Free, K.W 2001, 'Writing multiple choice test items that promote
and measure critical thinking', Journal of Nursing Education, Jan 2001, no. 40, no.1, pp 17- 24.
Murray-Harvey, R, Slee, PT, Lawson, M.J, Silins, H, Banfiel, G, Russel, A, 'Under
stress: The concerns and coping strategies of teacher education students, Paper presented at the Collaquium in Field Based Education, Flinders University, 24-26 November 1999.
Ramsden, P 1992, 'Learning to teach in higner education, Routledge, New York. Shete, AN, Kausar, A, Lakhkar, K & Khan, S 2015, 'Item analysis: an evaluation of
multiple choice questions in physiology examination', J Contemp Med Edu, vol. 3, no. 3, pp. 107.
244
Tarrant, M, Knierim, A, Hayes, SK & Ware, J 2006, 'The frequency of item writing
flaws in multiple-choice questions used in high stakes nursing assessments', Nurse education in practice, vol. 6, no. 6, pp. 354-363.
Tarrant, M & Ware, J 2008, 'Impact of item-writing flaws in multiple-choice
questions on student achievement in high-stakes nursing assessments', Medical education, vol. 42, no. 2, pp. 198-206.
Tarrant, M & Ware, J 2012, 'A framework for improving the quality of multiple-
choice assessments', Nurse Educator, vol. 37, no. 3, pp. 98-104. Wendt, A & Harmes, JC 2009, 'Evaluating innovative items for the NCLEX, part 1:
usability and pilot testing', Nurse Educator, vol. 34, no. 2, pp 56-59.