proposal skripsi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Undang – Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan, pada pasal I ayat 1 disebutkan bahwa kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dan pada bab III mengenai Hak dan
Kewajiban, pada pasal IV disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Dari hal tersebut dapat
dikatakan bahwa tidak hanya orang normal yang berhak menerima kesehatan,
tetapi juga orang yang memiliki keterbatasan juga berhak menerima derajat
kesehatan yang optimal.
Seseorang yang mempunyai kecacatan baik jasmani maupun rohani,
biasanya disebut dengan kondisi luar biasa atau kondisi khusus. Pada umumnya
mereka yang mengalami cacat baik fisik, psikologis, kognitif atau sosial
terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara
maksimal (Mangunsong, 1998).
Hallahan dan Kauffman (1991) mendefinisikan tunarungu sebagai istilah
umum yang menunjukan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang
berat, dan diklasifikasikan dalam tuli (deaf) dan kurang mendengar (hard of
1
hearing). Kecacatan dalam pendengaran menyebabkan remaja tunarungu tidak
mampu memahami suatu kejadian atau kebutuhan secara tepat
Anak tunarungu mempunyai keterbatasan pada indra pendengaran antara
lain berbicara dan berkomunikasi. Masalah bicara terjadi karena anak tidak dapat
mempelajari hubungan antara pergerakan dengan mekanisme yang terlibat dalam
proses bicara sampai proses itu dihasilkan. Dalam berkomunkasi anak tunarungu
mendapat kesulitan karena ketidakmampuan untuk menangkap dan
menyampaikan suatu masalah. Perilaku orang-orang yang mengalami tunarungu
dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tentunya memerlukan pelayanan
kesehatan yang cukup memadai untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya.
(Resphaty, 2003)
Tunarungu adalah salah satu jenis cacat yang cukup banyak terdapat di
Indonesia, baik yang mengalaminya secara bawaan sejak lahir ataupun yang
didapat karena penyakit ataupun kecelakaan. Berdasarkan data dari GERKATIN
(Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) bahwa jumlah penyandang
cacat adalah 6% dari jumlah penduduk Indonesia dan sebanyak 2, 9 juta atau
sekitar 1,25 % dari total keseluruhan penduduk Indonesia adalah penyandang
tunarungu. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah
penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk 211.428.572
atau sebanyak 1.480.000 jiwa.Dari jumlah itu sebesar 21,42 % atau 317.016 anak
diantaranya adalah anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Data siswa penyandang
cacat yang tersebar di SLB menurut Kementerian Pendidikan Nasional Republik
2
Indonesia pada tahun 2009 pada SLB tunarungu/tunawicara sebesar 5.610 orang.
(Depkes, 2010)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Krista Veronica Siagian pada tahun
2005 di SLB B Karya Murni dan SLB-B Taman Islam Medan, diperoleh data
bahwa pada kelompok usia 11-12 tahun, indeks oral hygiene rata-rata siswa-siswi
tunarungu sebesar 2,64. Pada kelompok usia 14-16 tahun indeks oral hygiene rata-
rata siswa-siswi tunarungu adalah 2,54.Indeks OHIS dikategorikan sedang. Pada
kelompok usia 11-12 tahun DMF-T rata-rata siswa-siswi tunarungu adalah 4,17.
Pada kelompok usia 14-16 tahun DMF-T rata-rata siswa-siswi tunarungu adalah
5,53. Indeks DMF-T dikategorikan tinggi.
Pada tahun 1989 Tati Hartati melakukan penelitian dalam skripsinya
tentang prevalensi karies gigi dan keadaan kebersihan mulut pada tunanetra di
PRCPN Wyata Guna, SLB/B Cicendo, dan Panti Asuhan Taman Harapan
Muhammadiyah Bandung. Pada penelitiannya tersebut diketahui bahwa rata-rata
indeks kebersihan mulut subjekdi SLB/B Cicendo adalah 1,58. Dari hasil
penelitian tentang prevalensi karies gigi, diperoleh hasil bahwa prevalensi karies
yang paling besar di SLB/ B sebesar 81%, dibandingkan dengan tunanetra di
Wyata Guna yaitu sebesar 75,53%.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka penulis merasa
tertarik untuk melakukan suatu penelitian terhadap siswa tunarungu untuk
3
mengetahui indeks kebersihan mulut dan indeks DMF (decay, missing, filling)
untuk gigi tetap, atau def (decay, extracted, filling) untuk gigi sulung.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang pemilihan masalah tersebut, maka masalah
yang timbul dan ingin diketahui adalah :
Bagaimana indeks DMF-T/def-t dan indeks kebersihan mulut pada tunarungu di
SLB B Cicendo
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mengetahui
indeks DMF-T/def-t dan keadaan kebersihan mulut pada tunarungu di SLB B
Cicendo.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks DMF-T/def-t dan keadaan
kebersihan mulut pada tunarungu di SLB B Cicendo
2. Untuk dapat dijadikan dasar bagi penelitian lebih lanjut bagi lembaga
lainnya di dalam upaya pembinaan kesehatan gigi dan mulut pada orang-
orang cacat
4
1.5. Kerangka Pemikiran
Menurut pernyataan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), kesehatan
adalah keadaan fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara lengkap dan bukan
hanya sekedar tidak mengidap penyakit atau kelemahan. Secara umum, seseorang
dikatakan sehat tidak hanya tubuhnya saja yang sehat tetapi juga sehat rongga
mulut dan giginya. Gigi yang sehat juga tidak cukup hanya rapi dan putih saja
tetapi harus didukung oleh gusi, akar dan tulang pendukung yang sehat. Gigi akan
berfungsi dengan baik apabila gigi tersebut dalam keadaan sehat, sebaliknya gigi
dan mulut yang tidak sehat akan menimbulkan masalah (Pintauli dan Hamada,
2008)
Penderita khusus, dalam hal ini adalah penderita cacat, yaitu penderita yang
mengalami hambatan rohani dan atau jasmani, sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan dalam menjalankan fungsi sosialnya perlu
ditangani secara khusus. Sebagian besar individu penderita cacat mempunyai
kebersihan mulut yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal, yang
disebabkan diet makanan yang buruk dan kurangnya pemeliharaan di rumah,
sehingga gigi banyak rusak dan berlubang (Maulani, 2005)
Anak Tunarungu/Tunawicara/wicara adalah anak yang memiliki hambatan
dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
Anak Tunarungu/Tunawicara mengalami gangguan komunikasi secara verbal
karena kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mereka
5
menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan
dengan orang normal mengalami hambatan. Selain itu mereka memiliki sifat ego-
sentris yang melebihi anak normal, cepat marah dan mudah tersinggung.
Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan anak normal lainnya.(Depkes, 2010)
Untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut, Greene dan Vermillion
menggunakan indeks yang dikenal dengan Oral Hygiene Index (OHI) dan
Simplified Oral Hygiene Index (OHI-S). Pada awalnya indeks ini digunakan untuk
menilai penyakit peradangan gusi dan penyakit periodontal, akan tetapi data dari
data yang diperoleh ternyata kurang berarti atau bermakna. Oleh karena itu hanya
digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan gigi dan mulut dan menilai
efektiftas dari penyikatan gigi. OHI terdiri dari komponen Debris Index dan
Calculus Index, dengan demikian OHI merupakan hasil penjumlahan dari Debris
Index dan Calculus Index, (Widodo, 2010)
Indeks DMFT yang dikeluarkan oleh WHO bertujuan untuk
menggambarkan pengalaman karies seseorang atau dalam suatu populasi. Semua
gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut
dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT
(decayed missing filled teeth) yang digunakan untuk gigi permanen pada orang
dewasa dan deft (decayed extracted filled tooth) untuk gigi susu pada anak-anak.
(Pintauli dan Hamada, 2008)
6
Untuk mendukung hal tersebut, maka perlu dilakukan pelaksanaan
program kesehatan pada seluruh tingkat masyarakat, tidak terkecuali untuk orang-
orang yang mengalami keterbatasan seperti pada siswa tunarungu.
Kesehatan
Kesehatan gigi dan mulut
Penderita Cacat
Tuna rungu
1.6. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian survei deskriptif. Penelitian ini
diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan indeks DMF-T/deft-t dan
indeks kebersihan mulut pada tunarungu di SLB B Cicendo.
1.7. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap siswa tunarungu dari TK sampai SMA
di SLB B Cicendo Bandung.
7
- Keterbatasan berbicara- Keterbatasan berkomunikasi
Indeks kebersihan mulut
Indeks DMF T/deft
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan jenis penelitian survei.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua siswa di SLB B Cicendo dari TKLB
sampai SMALB
3.2.2. Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan total sampling
berjumlah 152 siswa, terdiri dari siswa TKLB berjumlah 27 orang, SDLB
berjumlah 68 orang, SMPLB berjumlah 34 orang, dan SMALB berjumlah 23
orang.
3.3. Variabel Penelitian
Variable-variabel yang dicari dalam penelitian ini adalah
1. Indeks DMF-T/def-t
2. Indeks kebersihan mulut
3.4. Definisi Operasional Variabel
1. Indeks DMF-T/def-t
8
Untuk mendapatkan data mengenai pengalaman karies gigi, dipakai angka
DMF (untuk gigi tetap) dan def (untuk gigi sulung) sebagai indeks.
Pemeriksaan klinis yang dilalukan terhadap setiap subjek adalah
pemeriksaan karies dengan menggunakan index def-t/ DMF-T yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. def-t
def-t (decayed, extracted, filled teeth) adalah jumlah gigi sulung yang
mengalami karies pada subjek, berupa angka yang diperoleh dengan
menghitung keadaan sebagai berikut:
d : Apabila jaringan email gigi sulung mengalami dekalsifikasi, terlihat
keputih-putihan atau kecokelatan dengan ujung ekskavator yang terasa
menyangkut pada kavitas. Keadaan lain yang termasuk kategori ini yaitu:
karies dengan kavitas besar yang melibatkan dentin, karies mencapai
jaringan pulpa baik pulpa tersebut masih vital maupun non-vital, karies
terhenti serta karies pada gigi sulung walaupun pada gigi tersebut terdapat
restorasi. Seluruh keadaan ini masih dapat dikategorikan d (decayed),
apabila kavitas tersebut nantinya masih dapat direstorasi.
e: Apabila gigi tersebut telah dilakukan pencabutan atau tanggal. Keadaan
lain yang termasuk ke dalam kategori ini yaitu karies gigi sulung yang
diindikasikan untuk pencabutan, contohnya jika mahkota gigi tidak ada
atau yang ada hanya sisa akar.
9
f: Apabila pada gigi sulung tersebut telah ditumpat atau direstorasi secara
tatap maupun sementara. Apabila gigi yang sudah ditumpat terdapat karies
maka tidak termasuk dalam kategori ini.
2. DMF-T
DMF-T (Decayed, Missing, Filled Teeth) adalah jumlah gigi tetap yang
mengalami karies pada subjek berupa angka yang diperoleh dengan
menghitung keadaan sebagai berikut:
D: Apabila jaringan email gigi tetap mengalami dekalsifikasi, terlihat
keputih-putihan atau kecokelatan dengan ujung ekskavator yang terasa
menyangkut pada kavitas. Keadaan lain yang termasuk ke dalam kategori
ini yaitu keadaan karies dengan kavitas besar yang melibatkan dentin,
karies mencapai jaringan pulpa
M :Apabila gigi tersebut telah dilakukan pencabutan atau tanggal.
Keadaan lain yang termasuk ke dalam kategori ini, yairu karies gigi tetap
yang diindikasikan untuk pencabutan, contohnya jika mahkota gigi tidak
ada atau yang ada hanya sisa akar.
F : Apabila pada gigi tetap tersebut telah ditumpat atau direstorasi secara
tetap maupun sementara. Apabila gigi yang sudah ditumpat terdapat karies
maka tidak termasuk dalam kategori ini.
Dengan kriteria ini maka dapat diketahui jumlah gigi yang D, M, F juga d,
e, f. Selain itu indeks ini juga dipkai untuk menentukan status kesehatan gigi yang
menyangkut serangan karies pada masyarakat.
10
Indeks DMF : jumlah gigi DMF
Jumlah gigi yang diperiksa
Indeks def : jumlah gigi d e f
Jumlah gigi yang diperiksa
WHO memberikan kategori dalam perhitungan DMF-T dan def-t
berupa derajat
interval sebagai berikut (Pine, 1997) :
1. Sangat rendah : 0,0 – 1,1
2. Rendah : 1,2 – 2,6
3. Moderat : 2,7 – 4,4
4. Tinggi : 4,5 – 6,5
5. Sangat Tinggi : > 6,6
2. Indeks Kebersihan Mulut
Indeks yang digunakan adalah “Oral Hygiene Index Simplified” . OHI-S
dari Green dan Vermillion, merupakan hasil penjumlahan debris indeks dan
kalkulus indeks.
Langkah-langkah pemeriksaannya adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan pada gigi-gigi tertentu yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31, 46
11
4 gigi diperiksa permukaan facial (molar 1 RA kanan - kiri, incisivus 1 atas kanan,
incisivus 1 bawah kiri) dan 2 gigi diperiksa permukaan lingual (molar 1 bawah
kanan - kiri)
gambar 3.1. pemilihan gigi menurut Greene dan
Vermillion (Moslehzadeh, diakses dari
http://www.whocollab.od.mah.se/expl/ohisgv64.html)
Bukal Labial Bukal
6 1 6
6 1 6
Lingual Labial Lingual
Bila gigi penentu tidak ada, maka yang digunakan sebagai gigi penentu
adalah gigi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila gigi molar pertama tidak ada maka penilaian dilakukan pada gigi
molar kedua, apabila gigi molar pertama dan kedua tidak ada maka
penilaian dilakukan pada gigi molar ketiga akan tetapi bila gigi molar
12
pertama, kedua dan ketiga tidak ada, maka tidak ada penilaian untuk
segmen tersebut
b. Apabila gigi incisivus pertama kanan atas tidak ada, maka dapat diganti
oleh gigi incisivus kiri dan apabila gigi incisivus kiri bawah tidak ada,
dapat diganti dengan gigi incisivus pertama kanan bawah, akan tetapi bila
gigi incisivus pertama kiri atau kanan tidak ada, maka tidak ada penilaian
untuk segmen tersebut.
c. Gigi indeks dianggap tidak ada pada keadaan-keadaan seperti: gigi hilang
karena dicabut, gigi yang merupakan sisi akar, gigi yang merupakan
mahkota jaket baik yang terbuat dari akrilik maupun logam, mahkota gigi
sudah hilang atau rusak lebih dari ½ bagiannya pada permukaan indeks
akibat karies maupun fraktur, gigi yang erupsinya belum mencapai ½
tinggi mahkota klinis.
Penilaian dapat dilakukan apabila minimal ada dua gigi indeks yang dapat
diperiksa.
2. Pemeriksaan debris index (DI)
Debris index adalah endapan lunak/ plak yang melekat pada gigi penentu.
Cara pemeriksaannya yaitu dengan menggunakan sonde atau disclosing
solution
Kriteria penilaian:
0 = jika tidak ada debris lunak dan pewarnaan ekstrinsik
13
1= kurang dari 1/3 permukaan gigi terdapat debris lunak atau tidak ada
debris lunak, tetapi ada pewarnaan ekstrinsik
2 = lebih dari 1/3 tetapi kurang dari 2/3 permukaan gigi terdapat debris
lunak
3= lebih dari 2/3 permukaan gigi terdapat debris lunak
Gambar 3.2. kriteria pengklasifikasian debris menurut Greene dan Vermillion
(Moslehzadeh, diakses dari http://www.whocollab.od.mah.se/expl/ohisgv64.html)
Debris index = ∑ nilai debris
∑ jumlah gigi yang diperiksa
3. Calculus Index (CI)
Adalah nilai dari endapan keras/ karang gigi yang melekat pada gigi
penentu
Kriteria penilaian adalah:
0= permukaan gigi bersih
1= kurang dari 1/3 permukaan gigi terdapat karang gigi supra gingival
14
2= lebih dari 1/3 tetapi kurang dari 2/3 permukaan gigi terdapat karang gigi
supra gingival atau pada servikal/ leher gigi terdapat bercak-bercak karang
gigi sub gingival tapi permukaan gigi bersih
3= lebih dari 2/3 permukaan gigi terdapat karang gigi atau permukaan gigi
bersih, karang gigi melingkari leher gigi
Calculus Index (CI) = ∑ penilaian calculus
∑ jumlah gigi yang diperiksa
4. Oral Hygiene Index merupakan penjumlahan debris index dan calculus
index
OHI= DI+ CI
Tingkat kebersihan oral hygiene dapat digolongkan sebagai berikut:
Baik : 0,0-1,2
Sedang : 1,3-3,0
Jelek : 3,1-6,0
3.5. Teknik Pengumpulan Data
15
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan survei yaitu
dengan cara memeriksa langsung keadaan mulut subjek penelitian, untuk
mengetahui indeks DMF-T/def-t dan keadaan kebersihan mulutnya.
3.6. Alat dan Bahan
3.6.1. Bahan Penelitian
a. Alkohol untuk mensterilkan alat-alat
b. Disclosing solution
c. Kapas
3.6.2. Alat Penelitian
a. Sonde
b. Kaca mulut
c. Pinset
d. Gelas kumur
e. Tissue
f. Formulir informed consent
g. Alat tulis
3.7. Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Subjek penelitian diminta untuk mengisi informed consent yang dibimbing
oleh guru atau peneliti
16
2. Peneliti mencatat identitas subjek penelitian selengkapnya dalam formulir
status
3. Subjek penelitian duduk pada kursi dan diinstruksikan untuk membuka mulut
4. Dilakukan pemeriksaan pada gigi yang DMF (decayed, missing, filled) atau
gigi yang def (decayed, extracted, filled) dengan menggunakan sonde dan
kaca mulut, kemudian mencatatnya pada formulir pemeriksaan
5. Pemberian disclosing solution pada ujung lidah subjek penelitian, kemudian
diinstruksikan untuk melumatkan ujung lidah pada permukaan gigi.
6. Periksa akumulasi plak dan kalkulus dengan melihat gigi yang terwarnai
disclosing solution, kemudian mencatatnya pada formulir pemeriksaan.
3.8. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada siswa tunarungu dari TK sampai
SMA di SLB B Cicendo.
17
Daftar Pustaka
Budiharto. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta :EGC
Definisi kesehatan menurut WHO diakses dari http://www.who.int/about/definition/en/print.html diakses 2 feb 2011 11.32 p.m
Hallahan, D. P., & Kauffman, J.M. 1991. Exceptional Children. 5th edition. EnglewoodCliffs, USA : Prentice Hall Inc
Hernawati, Tati. 2007. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu. JASSI_anakku Volume 7 Nomor 1 Juni 2007 hlm 101-110
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan.
Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia
Moeis, E.F. 2004. Menuju Sehat Gigi dan Mulut Indonesia 2020. Jurnal Kedokteran Gigi Edisi Khusus KOMIT KG.
Moslahzadeh. Oral Hygiene Index Simplified. Diakses dari http://www.whocollab.od.mah.se/expl/orhdmft.html (Januari 2011)
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineke Cipta
Pine, C.M.1997. Community Oral Health. Great Britain. Wright.
Pintauli, sondang. Hamada taizo. 2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat: pencegahan dan pemeliharaan. Medan: USU Press
Resphaty Sri, Suharsono Ismu, BB Sarworini. Karies Gigi Pada Anak Tunarungu Usia 2-5 Tahun Menurut Tingkat Kehilangan Pendengaran di SLB B Sanu Rama. Jakarta: Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2003
18
Samaranayake, Lakshman. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. Hongkong: Elsevier
Siagan, Krista Veronika. 2005. Gambaran Oral Hygiene Dan Karies Gigi Pada Siswa Sekolah Tunarungu Dan Tidak Tunarungu Pada Kelompok Usia 11-12 Tahun Dan 14-16 Tahun
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor. 36 Tahun 2009
Widodo, Tiyo. 2010. Mengukur Kebersihan Gigi. Diakses dari http://setiyowidodo.blogspot.com/2010/12/mengukur-kebersihan-gigi.html (29 jan 2011 pukul 12.20 am)
19