proposal penelitian analisis pola realisasi apbd dan
TRANSCRIPT
PROPOSAL PENELITIAN
ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN AKTIVITAS EKONOMI
BERBASIS PDRB DI KALIMANTAN SELATAN
Peneliti:
Dr. Riswan Yudhi Fahrianta, SE, M.Si./NIDN 1109096902
Sumber Dana:
Mata Anggaran P2M STIE Indonesia Banjarmasin
Tahun Anggaran 2020
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA BANJARMASIN
(STIE INDONESIA BANJARMASIN)
JUNI 2020
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 6
1.3 Batasan Masalah ..................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 7
1.5.1 Manfaat Akademis ......................................................... 7
1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori ....................................................................... 9
2.1.1 Teori Perekonomian Terbuka ........................................ 9
2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ..... 12
2.1.3 Analisis Realisasi APBD ............................................... 17
2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ................... 19
2.1.5 Analisis Aktivitas Ekonomi Berbasis PDRB ................ 22
2.2 Penelitian Terdahulu ............................................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian .................................................................... 30
3.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 30
3.3 Teknik Analisis Data .............................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 34
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Hubungan Variabel Makro dalam Perekonomian Terbuka ..................... 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Visi penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang
(UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Prinsip dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah demokrasi, pemerataan, keadilan,
dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip NKRI.
Pelaksanaan otonomi daerah membawa konsekuensi logis terhadap
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yakni
adanya pemberian sumber-sumber pendapatan daerah dalam rangka pelimpahan
kewenangan dari pusat (desentralisasi fiskal). Sumber-sumber pendapatan
dialokasikan ke dalam belanja daerah sesuai dengan prioritas pembangunan
melalui penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD
merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan
disetujui oleh Pemerintah Daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan peraturan
2
daerah. Penyusunan APBD tersebut disesuaikan dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
Komponen utama APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan
pembiayaan daerah. Realisasi APBD menunjukkan alokasi belanja untuk
melaksanakan program/kegiatan dan sumber-sumber pendapatan, serta
pembiayaan yang digunakan untuk mendanai pemerintahan daerah.
Program/kegiatan dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,
pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan
tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan
pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah pusat
yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah
yang mencukupi dan berkualitas. Pengelolaan APBD yang berkualitas dapat
menjadi pemicu yang efektif untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Salah satu bentuk evaluasi pengelolaan keuangan daerah adalah
melalui analisis realisasi APBD.
Pada konteks nasional sepanjang Indonesia menyelenggarakan otonomi
daerah terlihat jelas bahwa masalah utama dalam kebijakan fiskal daerah terletak
pada kapasitas dan mutu tata kelola keuangan daerah yang masih rendah yang
ditunjukkan dari indikator kemandirian daerah, rasio belanja daerah, dan ruang
fiskal daerah (Rheza dkk., 2015; DJPK Kemenkeu, 2017, 2018). Kemandirian
daerah berdasarkan data Kementerian Keuangan 2010-2014 menunjukkan bahwa
secara nasional proporsi dana perimbangan masih dominan setiap tahun anggaran
di banyak kabupaten/kota dimana lebih dari 60% APBD bersumber dari dana
4
Makasar di sebelah timur. Wilayah Kalimantan Selatan juga berbatasan langsung
dengan Kalimantan Tengah di sebelah barat serta Kalimantan Timur di sebelah
utara. Luas wilayah administrasi Kalimantan Selatan mencapai 37.530,52 km2
atau seluas 6,98% dari luas Pulau Kalimantan atau 1,96% dari luas Indonesia.
Wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1956 dengan ibukota provinsi di Banjarmasin. Wilayah
Kalimantan Selatan terdiri dari 11 kabupaten dan 2 kota, yang terbagi kepada 152
kecamatan dan 2.008 desa/kelurahan. Kabupaten termuda adalah Kabupaten
Tanah Bumbu sebagai pemekaran wilayah administrasi Kabupaten Kotabaru dan
Kabupaten Balangan yang merupakan pemekaran wilayah administrasi Kabupaten
Hulu Sungai Utara. Sehingga secara administrasi organisasi pemerintahan daerah
di Kalimantan Selatan memiliki satu organisasi pemerintah provinsi, 11
pemerintah kabupaten, dan dua pemerintah kota.
Kalimantan Selatan diharapkan mempunyai peran penting dalam
perekonomian nasional terutama pada aktivitas ekonomi pertanian dalam arti luas
baik pada tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, maupun
kehutanan. Secara spesifik pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kalimantan Selatan diharapkan menjadi lumbung
pangan nasional. Namun pada faktanya kontribusi aktivitas ekonomi pertanian
dalam arti luas Kalimantan Selatan cenderung mengalami penurunan dan
pertumbuhan yang fluktuatif dengan kecenderungan melambat. Ditunjukkan pada
kurun waktu 2015-2018, kontribusi aktivitas ekonomi pertanian dalam arti luas
pada tahun 2015 sebesar 15,00% dan pada tahun 2018 menurun menjadi 14,39%,
5
sedangkan pada sisi pertumbuhan ditunjukkan pada tahun 2015 ke 2016 tumbuh
sebesar 3,67 % kemudian meningkat pada tahun 2017 sebesar 4,18%, namun
kembali menurun pada tahun 2018 menjadi 3,97% (BPS Provinsi Kalimantan
Selatan, 2019). Struktur perekonomian di Kalimantan Selatan sampai dengan
tahun 2019 masih didominasi oleh aktivitas ekonomi pertambangan dan
penggalian sebesar 18,69%, industri pengolahan sebesar 14,28%, dan pertanian
dalam arti luas yang secara nyata kembali menurun kontribusinya sebesar 12,38%
(BPS Provinsi Kalimantan Selatan, 2020). Tingginya kontribusi aktivitas ekonomi
pertambangan dan penggalian harus menjadi perhatian, mengingat aktivitas
ekonomi tersebut merupakan lapangan usaha dengan sumber daya yang tidak
dapat diperbaharui sehingga perlu kebijakan riil terkait pengalihan sektor ini
untuk mempertahankan kinerja perekonomian daerah di masa depan (Sekretariat
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2020).
Data publikasi BPS Provinsi Kalimantan Selatan (2019, 2020)
memperlihatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan
berdasarkan harga berlaku memang selalu meningkat setiap tahunnya, ditunjukkan
secara nominal berdasarkan harga berlaku pada periode 2015-2018 nilai PDRB
mengalami peningkatan, secara berturut-turut tahun 2015 sebesar 137,06 triliun
rupiah, tahun 2016 sebesar 146,09 triliun rupiah, tahun 2017 sebesar 159,18
triliun rupiah, dan tahun 2018 sebesar 171,94 triliun rupiah. Namun kalau dilihat
PDRB berdasarkan harga konstan 2010 atau dari sisi pertumbuhannya pada
periode 2015-2019 perekonomian Kalimantan Selatan cenderung mengalami
perlambatan, ditunjukkan pada tahun 2015 ke 2016 pertumbuhan PDRB
6
mengalami peningkatan dari 3,82% ke 4,40%, tahun 2017 mengalami peningkatan
menjadi 5,28%, tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 5,13%, dan tahun
2019 kembali mengalami penurunan menjadi 4,08%. Tidak dapat dipungkiri
perlambatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan tersebut karena
melambatnya kinerja tiga aktivitas ekonomi yang menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi Kalimantan Selatan, yaitu: pertambangan dan penggalian; industri
pengolahan terkait industri pengolahan kelapa sawit; dan pertanian dalam arti luas
terkait aktivitas ekonomi perkebunan kelapa sawit.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang maka
rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pola realisasi APBD organisasi pemerintah daerah di Kalimantan
Selatan?
2. Bagaimana pola aktivitas ekonomi berbasis (berdasarkan) PDRB di
Kalimantan Selatan?
1.3 Batasan Masalah
Penelitian berusaha mengeksplorasi dan mendeskripsikan pada analisis pola
realisasi APBD organisasi pemerintah daerah dan pola aktivitas ekonomi berbasis
PDRB di Kalimantan Selatan dalam rentang waktu pengamatan minimal lima
tahun terakhir berdasarkan data sekunder yang tersedia dan dapat diakses dari
publikasi-publikasi resmi pemerintah daerah (dominan dari BPS). Eksplorasi awal
7
berdasarkan data yang tersedia dan dapat diakses terdapat publikasi yang
menyediakan rentang waktu pengamatan cukup panjang, yakni dari tahun 2010
sampai 2019, namun juga terdapat data yang tersedia hanya dari tahun 2015
sampai 2019. Untuk analisis perbandingan antar pemerintah daerah maka data
pengamatan disamakan tahun pengamatannya untuk menghindari bias.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis pola realisasi APBD organisasi
pemerintah daerah di Kalimantan Selatan.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis pola aktivitas ekonomi berbasis PDRB di
Kalimantan Selatan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Akademis
Penelitian sekarang menitikberatkan pada usaha mendeskripsikan pola
pengelolaan keuangan daerah berdasarkan realisasi APBD dan pola aktivitas
ekonomi daerah berdasarkan PDRB untuk memberikan kontribusi kepada
pengayaan referensi ilmiah berbasis bukti empiris yang lebih spesifik pada kondisi
organisasi pemerintahan daerah di Kalimantan Selatan. Sepanjang pengetahuan
penulis, referensi hasil-hasil penelitian dengan topik studi deskriptif yang
mengkombinasikan pada analisis realisasi APBD dan aktivitas ekonomi
8
berdasarkan PDRB masih sangat terbatas dan pada ruang lingkup hanya pada satu
pemerintah daerah atau secara agregat nasional saja.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan memberikan kontribusi kepada pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Selatan sebagai bahan
pertimbangan dan masukan dalam merencanakan program pembangunan dan
merumuskan, menentukan, dan memprioritaskan serta memutuskan arah
kebijakan pembangunan ekonomi. Diharapkan juga dengan perbandingan kondisi
antara kabupaten/kota dalam satu provinsi atas pola pengelolaan keuangan daerah
berdasarkan realisasi APBD dan pola aktivitas ekonomi daerah berdasarkan
PDRB akan memberikan kontribusi penjelasan dan pemahaman ilmiah yang lebih
komprehensif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi
pada tingkat wilayah regional Kalimantan Selatan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Perekonomian Terbuka
Perekonomian terbuka atau perekonomian empat sektor merupakan
perekonomian suatu negara yang mempunyai hubungan ekonomi dengan negara-
negara lain, dimana dalam perekonomian terbuka sebagian produksi dalam negeri
diekspor atau dijual ke luar negeri dan disamping itu terdapat pula barang di
negara itu yang diimpor dari negara-negara lain. Perekonomian terbuka dapat
diformulasikan sebagai berikut.
Y = C + I + G + (X - M)
Keterangan:
Y = output (pendapatan);
C = pengeluaran konsumsi rumah tangga;
I = pengeluaran investasi sektor bisnis;
G = pengeluaran pemerintah;
X = ekspor; dan
M = impor.
Syarat keseimbangan pendapatan nasional dalam perekonomian terbuka
adalah Y = C + I + G + (X – M) dan I + G + X = S + T + M. Persamaan Y = C + I
+ G + (X-M) dapat dimodifikasi menjadi NetX = Y – (C + I + G), dengan (C + I +
G) adalah pengeluaran domestik. Suatu perekonomian akan mengalami surplus
perdagangan apabila output lebih besar dari pengeluaran domestik, atau ekspor
lebih dari impor. Sebaliknya, suatu perekonomian akan mengalami defisit
11
Gambar 2.1 Hubungan Variabel Makro dalam Perekonomian Terbuka
Sumber: Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul (2018).
Modal dalam teori pertumbuhan neoklasik juga dapat berupa uang. Dalam
hal ini, uang yang beredar di masyarakat tidak hanya berasal dari sektor bisnis,
namun juga berasal dari pemerintah. Ini sejalan dengan teori pengeluaran
pemerintah yang dicetuskan John Maynard Keynes (Rheza dkk., 2015). Inti teori
adalah imperasi campur tangan pemerintah dalam peningkatan belanja
masyarakat, baik melalui upaya meningkatkan suplai uang maupun berupa
pembelian barang dan jasa oleh pemerintah sendiri. Keyness berpendapat level
perekonomian ditentukan pembelanjaan agregat, dimana dalam sistem pasar bebas
penggunaan full employment tidak selalu bisa tercipta. Untuk itu diperlukan
rangkaian kebijakan pemerintah guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi tidak hanya melalui
kebijakan moneter tetapi juga kebijakan fiskal melalui APBN/D. Maka,
12
persamaan keseimbangan pendapatan nasional menurut Keynes adalah Y = C + I
+ G, sehingga untuk menghindari timbulnya stagnasi perekonomian
(meningkatnya pengangguran dan deflasi), pemerintah mesti meningkatkan
jumlah pengeluaran pemerintah pada level lebih tinggi dari pendapatan nasional
agar dapat mengimbangi meningkatnya kecenderungan konsumsi dalam
perekonomian. Dengan kata lain, jika pemerintah meningkatkan pengeluarannya,
uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan
terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya (sehingga
permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan meningkat
sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi dan kondisi perekonomian
akan kembali ke tingkat normal.
2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya adalah segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Halim dan Kusufi (2016) menjelaskan lebih lanjut dengan semua hak dan
kewajiban, yaitu semua hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber
penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan usaha
milik daerah, dan lain-lain, dan/atau hak untuk menerima sumber-sumber
penerimaan lain seperti dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan, dimana semua hak tersebut akan menaikkan
13
kekayaan daerah. Sedangkan semua kewajiban adalah kewajiban untuk
mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan
pengembangan ekonomi daerah, dimana semua kewajiban tersebut akan
menurunkan kekayaan daerah. Keuangan daerah yang dikelola langsung oleh
pemerintahan daerah adalah APBD dan barang-barang inventaris milik daerah,
sedangkan pengelolaan yang dipisahkan adalah yang dikelola oleh badan usaha
milik daerah (BUMD).
Anggaran adalah rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finansial,
yang meliputi usulan pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode tertentu,
beserta usulan cara-cara untuk memenuhi pengeluaran tersebut (Halim dan
Kusufi, 2012). Selanjutnya Halim dan Kusufi (2012) berdasarkan definisi APBD
menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
dan Wajong (1962) mendefinisikan APBD adalah anggaran daerah yang memiliki
unsur-unsur: (1) rencana kegiatan suatu daerah; (2) adanya sumber penerimaan
yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-beban yang merupakan
batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; (3) jenis
kegiatan dan proyek yangdituangkan dalam bentuk angka; dan (4) dengan periode
anggaran, biasanya satu tahun. Sehingga fungsi anggaran daerah adalah sebagai:
(1) pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah untuk suatu periode
di masa mendatang; (2) alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan
yang telah dipilih pemerintah daerah, karena sebelum anggaran dijalankan harus
mendapat persetujuan DPRD terlebih dahulu; dan (3) alat pengawas bagi
14
masyarakat terhadap kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan
kebijaksanaan yang telah dipilihnya, karena pada akhirnya anggaran harus
dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah daerah kepada DPRD.
Secara spesifik pada Pasal 15 dan 16 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
ditegaskan fungsi strategis dari APBD, yaitu fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Terutama pada fungsi alokasi dan
stabilisasi, bahwa APBD pada fungsi alokasi harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah, serta pada fungsi
stabilitasi, bahwa APBD menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Pada era pasca reformasi, bentuk APBD pertama kali ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah
serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah
dan Penyusunan Perhitungan APBD. Perubahan berikutnya adalah pada
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah sebagaimana kemudian dirubah kembali pada Permendagri Nomor 59
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian
berubah kembali pada Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa perubahan di era reformasi
16
program dan kegiatan pemerintahan daerah), belanja barang dan jasa, dan belanja
modal.
Pembiayaan daerah merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di
era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin
informatif, yaitu memisahkan pinjaman dan pendapatan daerah. Hal ini sesuai
dengan definisi pendapatan sebagai hak pemerintah daerah, sedangkan pinjaman
belum tentu menjadi hak pemerintah daerah (Halim dan Kusufi, 2012). Selain itu,
dalam APBD mungkin terdapat surplus dan defisit, sehingga pos pembiayaan
merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran. Pembiayaan
daerah terdiri dari dua sumber, yaitu sumber penerimaan pembiayaan dan sumber
pengeluaran pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan daerah mencakup sisa
lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana
cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan
pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan
piutang daerah. Sedangkan sumber pengeluaran daerah mencakup pembentukan
dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran
pokok hutang, dan pemberian pinjaman daerah.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pengelolaan
keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah. Dalam konteks pelaporan dan pertanggungjawaban APBD,
pemerintahan daerah adalah sebagai entitas pelaporan dan entitas akuntansi yang
wajib menyelenggarakan sistem akuntansi pemerintahan daerah, dimana sebagai
17
entitas pelaporan wajib menyusun laporan keuangan berupa: laporan realisasi
anggaran; neraca; laporan arus kas; dan catatan atas laporan keuangan, sedangkan
sebagai entitas akuntansi wajib menyusun laporan keuangan berupa: laporan
realisasi anggaran; neraca; dan dan catatan atas laporan keuangan (Pasal 232).
Berdasarkan paragraf 28 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan Standar
Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),
komponen laporan keuangan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) berupa:
laporan realisasi anggaran; laporan perubahan saldo anggaran lebih; neraca;
laporan operasional; laporan arus kas; laporan perubahan ekuitas; dan catatan atas
laporan keuangan.
2.1.3 Analisis Realisasi APBD
Laporan realisasi anggaran (APBD) adalah salah satu komponen dari
laporan keuangan pemerintah daerah yang menyajikan informasi tentang realisasi
anggaran dalam suatu periode tertentu. Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan SAP Berbasis Akrual dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71
Tahun 2010 menjelaskan pada paragraf 61 dan 62, bahwa laporan realisasi
anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya
keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan
perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan,
dengan unsur yang dicakup secara langsung oleh laporan realisasi anggaran terdiri
dari pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan. Sebagai salah satu komponen
laporan keuangan, secara umum peran laporan realisasi anggaran disusun untuk
18
menginformasikan nilai sumber daya ekonomi yang dimanfaatkan untuk
melaksanakan kegiatan operasional pemerintahan, menilai kondisi keuangan,
mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan (terutama
penggunaan anggaran), dan membantu menentukan ketaatannya terhadap
peraturan perundang-undangan, dengan kepentingan yang ingin dicapai salah
satunya adalah untuk evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah.
Laporan realisasi APBD merupakan salah satu alat ukur untuk melihat
implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan
keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal
serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Besarnya
realisasi anggaran dan jenis belanjanya mengindikasikan besarnya komitmen dan
keseriusan suatu pemerintahan daerah pada aspek-aspek yang menjadi prioritas
daerah (DJPK Kemenkeu, 2014).
Analisis realisasi APBD adalah bagian dari analisis laporan keuangan.
Analisis laporan keuangan berusaha menggali lebih banyak informasi yang
dikandung dari laporan keuangan, atau dengan kata lain usaha untuk menyediakan
tambahan penjelasan atas data dan informasi keuangan termasuk informasi yang
tidak secara eksplisit disajikan di dalam laporan keuangan (DJPK Kemenkeu,
tanpa tahun). Pendekatan yang dapat dilakukan dalam analisis realisasi APBD
terkait kinerja keuangan pemerintah daerah adalah pendekatan komposisi,
kontribusi, pertumbuhan, dan rasio dari masing-masing kategori inti atau
komponen/kelompok realisasi APBD (DJPK Kemenkeu, tanpa tahun; Seknas
Fitra dan The Ford Foundation, 2016).
19
2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Salah satu fokus kebijakan pembangunan dalam suatu wilayah/daerah
adalah terkait perekonomian adalah penggunaan indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan ekonomi dalam cakupan statistik makro ekonomi yang disebut
Produk Domestik Bruto (PDB). Indikator tersebut digunakan untuk mengetahui
kondisi ekonomi baik nasional maupun regional secara agregat. PDB merupakan
jumlah nilai tambah bruto seluruh aktivitas ekonomi (barang dan jasa) suatu
wilayah pada periode waktu tertentu yang timbul akibat berbagai aktivitas
ekonomi dalam suatu periode tertentu tanpa memperhatikan apakah faktor
produksi yang dimiliki residen atau non-residen (BPS Provinsi Kalimantan
Selatan, 2019). PDB di Indonesia dihasilkan sampai tingkat terendahnya adalah
tingkat kabupaten/kota, dimana untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, PDB
disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Penyusunan PDRB
dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi (lapangan
usaha), pendapatan, dan pengeluaran (konsumsi atas produksi) yang disajikan atas
dasar harga berlaku dan harga konstan.
PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menggambarkan nilai ekonomi
yang tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan volume produksi tetapi juga
dipengaruhi oleh inflasi. Melalui distribusi nilai PDRB atas dasar harga berlaku
dapat diketahui struktur perekonomian suatu wilayah. Selain itu kinerja
perekonomian daerah yang dinilai dari pertumbuhan ekonominya dapat diketahui
melalui perkembangan nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menggunakan
tahun tertentu sebagai dasar (saat sekarang menggunakan tahun dasar 2010).
20
Manfaat dari data dan informasi PDRB antara lain, untuk mengetahui
keterbandingan antarwilayah, kesenjangan ekonomi antarwilayah dan antarsektor,
dan untuk mengetahui potensi ekonomi yang masih bisa dikembangkan untuk
meningkatkan perekonomian di masing-masing wilayah, serta PDRB juga
digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengalokasian DAU (Seknas Fitra,
tanpa tahun; Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul, 2018).
PDRB dapat menjadi salah satu ukuran kinerja pembangunan daerah dalam
bidang ekonomi pada era desentralisasi. Desentralisasi menjadi pilihan suatu
negara untuk mempercepat pembangunan ekonomi karena dengan pelimpahan
sejumlah kewenangan pemerintah pusat kepada daerah maka daerah memiliki
kewenangan memberikan dan mendistribusikan barang dan jasa pelayanan publik
(Suhartono, 2015). Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan
strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sebagai negara
kepulauan adalah kebijakan pengembangan ekonomi lokal. Kebijakan
pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan
pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang
menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam wadah aktivitas ekonomi
masyarakat lokal (Wiranto, 2004).
Pembangunan ekonomi sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur
produksi dan penyerapan sumber daya yang diupayakan secara terencana.
Biasanya, peranan sektor pertanian akan berkontribusi pertama kali untuk
memberi kesempatan bagi tampilnya sektor-sektor industri manufaktur dan jasa-
jasa yang selalu diupayakan untuk berkembang (Todaro, 2000). Oleh karena itu
21
kaitan pembangunan ekonomi dan pembangunan daerah dapat dilihat dari
permasalahan pokok dalam pembangunan daerah yang terletak pada penekanan
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan
daerah yang besangkutan (endogenous development) dengan menggunakan
potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal
(daerah). Orientasi ini mengarahkan kepada pengambilan inisiatif yang berasal
dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan
kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi (Arsyad, 2004).
Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda
dengan daerah lain. Oleh karena itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu
daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah
itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Sehingga tidak ada strategi
pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah (Rahayu,
2010). Namun di pihak lain, penyusunan strategi pembangunan ekonomi daerah,
baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori
pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola
pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup
menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan
daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan
peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara
optimal juga diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyesuaikan laju
pertumbuhan antardaerah, antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
22
2.1.5 Analisis Aktivitas Ekonomi Berbasis PDRB
Penentuan prioritas pembangunan suatu wilayah/daerah diperlukan karena
adanya keterbatasan dalam hal waktu, pendanaan, tenaga, dan sumber daya yang
tersedia. Salah satu cara untuk mengetahui pertumbuhan dan perkernbangan suatu
wilayah adalah dengan cara melakukan analisis terhadap kegiatan perekonomian
atau sektor ekonomi prioritas yang ada guna mengetahui kemampuan kinerja serta
tumbuh kembang dari masing-masing sektor ekonomi tersebut (Kuncoro, 2001).
Kemampuan tumbuh kembang pada salah satu sektor ekonomi akan menjadi
faktor penunjang dan penentu atau pemacu dari pertumbuhan sektor yang lainnya.
Beberapa analisis yang dapat digunakan untuk memetakan (memotret)
pembangunan ekonomi regional (daerah) adalah analisis Location Quotient (LQ),
Shift Share (SS), dan Tipologi Klassen (Klassen Typology).
Analisis LQ digunakan untuk menunjukkan besar kecilnya peranan kategori
perekonomian suatu wilayah dengan membandingkan kategori yang sama pada
wilayah yang lebih besar (di atasnya). Analisis LQ digunakan untuk
mengidentifikasi kategori ekonomi yang dapat menjadi pemicu pertumbuhan
(derajat spesialisasi ekonomi) untuk dikembangkan pada suatu wilayah/daerah.
Selain itu, analisis ini juga dipergunakan untuk mengidentifikasi keunggulan
komparatif (comparative advantage) suatu wilayah (Hendayana, 2003; Dinas
Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul, 2018).
Analisis SS digunakan untuk membandingkan perbedaan laju pertumbuhan
berbagai sektor di suatu wilayah/daerah dengan wilayah nasional (referensi).
Analisis SS memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel yang tidak
23
dapat dijelaskan dalam analisis LQ dengan membandingkan laju pertumbuhan
sektor-sektor di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional
serta sektor-sektornya serta mengamati penyimpangan-penyimpangan dari
perbandingan-perbandingan tersebut. Bila penyimpangan itu positif, hal itu
disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut (Soepono,
1993; Marlina 2014; Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul, 2018).
Pada analisis SS, pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah
dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: (1) pertumbuhan regional; (2)
pertumbuhan proporsional; dan (3) pertumbuhan pangsa wilayah (Marlina, 2014).
Komponen pertumbuhan regional adalah perubahan produksi suatu wilayah yang
disebabkan oleh perubahan produksi regional secara umum, perubahan kebijakan,
ekonomi regional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi
perekonomian suatu wilayah atau sektor. Bila diasumsikan tidak ada perubahan
karakteristik antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan
membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada
kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor
dan wilayah lainnya. Untuk komponen pertumbuhan proporsional terjadi karena
perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan
bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri, dan perbedaan dalam struktur
dan keragaman pasar. Selanjutnya komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul
karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu
wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan
24
ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan,
prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan regional pada wilayah tersebut.
Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang
pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen
pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah, yaitu dengan
menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata
pendapatan per kapita sebagai sumbu horisontal, daerah yang diamati dapat dibagi
menjadi empat kategori, yaitu: daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth
and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah
berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif tertinggal (low
growth and low income) (Aswandi dan Kuncoro, 2002; Suhartono, 2015;
Nurhasanah dkk., 2018). Tipologi Klassen juga dapat digunakan untuk
mengelompokkan aktivitas (sektor) ekonomi dengan melihat pertumbuhan dan
kontribusi sektor tertentu dalam PDRB terhadap total PDRB suatu
wilayah/daerah, yaitu dengan mengelompokkan suatu sektor ke dalam 4 kategori,
yaitu: sektor prima, sektor potensial, sektor berkembang, dan sektor terbelakang
(Rahayu, 2010).
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian atau studi/kajian ilmiah terdahulu terkait realisasi APBD dan
aktivitas ekonomi kewilayahan berbasis PDRB (struktur dan pertumbuhan
ekonomi) sudah cukup banyak dilakukan baik oleh akademisi maupun institusi
26
peningkatan anggaran pendapatan, maka defisit tahun 2018 juga lebih besar
24,40% dari defisit tahun 2017. Defisit yang lebih besar tersebut, diiringi dengan
peningkatan pembiayaan netto sebesar 22,80%. Sampai dengan tahun 2018 dana
perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan pemerintah daerah, yaitu
sebesar 60,90% atau 666,7 triliun rupiah dari total pendapatan daerah sebesar
1.095,0 triliun rupiah.
Pada belanja daerah sampai dengan tahun 2018 secara nasional terjadi
pertumbuhan belanja daerah dengan belanja pegawai masih menjadi komponen
belanja terbesar dengan rasio terbesar dalam belanja daerah yang selanjutnya
secara berurutan disusul oleh belanja barang dan jasa, belanja lainnya, dan belanja
modal. Namun dari sisi peningkatan dari tahun 2017 ke 2018 berdasarkan
komponen belanja yang mengalami peningkatan adalah belanja barang dan jasa
sebesar 2,20%, sedangkan komponen belanja yang mengalami penurunan rasio
adalah belanja pegawai, belanja modal, dan belanja lainnya, yang masing-masing
secara berurutan sebesar 1,30%, 0,80%, dan 0,10% (DJPK Kemenkeu, 2018).
Pada tema kesehatan keuangan daerah, studi Tikha dan Sujarwoto (2015)
menunjukkan bahwa setelah satu setengah dasawarsa pelaksanaan desentralisasi
sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum mandiri. Ini ditunjukkan
oleh kecilnya rasio PAD terhadap total pendapatan. Rendahnya rasio PAD
tersebut menunjukkan rendahnya kompetensi kabupaten/kota dalam memobilisasi
dan mengelola sumber-sumber keuangan selama desentralisasi. Hubungan negatif
antara ruang fiskal dan rasio kemandirian daerah memperkuat hasil temuan
tersebut. Hasil studi juga menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang memiliki
27
ruang fiskal cukup besar justru memiliki rasio kemandirian yang rendah.
Kesenjangan dalam rasio kemandirian daerah juga tampak jelas antara
kabupaten/kota di pulau Jawa dan luar Jawa, khususnya pedalaman Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pulau Jawa adalah pusat pemerintahan,
pendidikan, ekonomi dan industri sejak jaman orde baru, sehingga pada umumnya
kabupaten/kota di Pulau Jawa memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan
dengan kabupaten/kota di luar Jawa. Studi ini mengindikasikan bahwa transfer
keuangan yang cukup besar ke kabupaten/kota selama lima belas tahun terakhir
belum mampu meningkatkan kompetensi kabupaten/kota di luar Jawa secara
berarti.
Studi yang dapat ditelusuri tentang Kalimantan Selatan secara agregat
terkait PDRB periode 2010-2014 yang dipublikasikan oleh Bappenas (2015)
dengan menggunakan sektor basis dengan analisis LQ menunjukkan sektor
pertambangan dan penggalian; pengadaan air, pengelolaan sampah dan limbah;
jasa perusahaan; dan jasa lainnya merupakan sektor-sektor yang dapat
diperdagangkan antardaerah (tradable), dengan nilai LQ lebih besar dari satu.
Studi Asyahri dan Syafril (2018) dengan menggunakan LQ dan Tipologi Klassen
untuk menganalisis tiga kawasan andalan yang ditetapkan oleh Perda Nomor 9
Tahun 2000 Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kalimantan Selatan. Ketiga kawasan andalan tersebut adalah: (1)
Kawasan Banua Anam yang terdiri dari enam kabupaten, yaitu Tapin, Hulu
Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan
Tabalong; (2) Kawasan Banjarbakula yang meliputi dua kota, yakni Banjarmasin
28
dan Banjarbaru, serta dua kabupaten, yaitu Banjar dan Tanah Laut; dan (3)
Kawasan Kapet Batulicin meliputi dua wilayah kabupaten, yaitu Tanah Bumbu
dan Kotabaru.
Hasil penelitian Asyahri dan Syafril (2018) menunjukkan Kawasan Andalan
Banua Anam sektor potensial adalah sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, serta sektor jasa-jasa lainnya. Kawasan Banjarbakula adalah sektor
industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan
restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, real estate dan jasa
perusahaan serta jasa-jasa lainnya. Sedangkan Kawasan Kapet adalah sektor
pertanian; pertambangan dan penggalian; serta sektor pengangkutan dan
komunikasi. Selanjutnya dari analisis tipologi Klassen daerah-daerah yang tepat
sebagai kawasan andalan dengan kategori sebagai daerah yang cepat maju dan
cepat tumbuh adalah Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong, Balangan, dan
Kotabaru. Daerah yang berkembang cepat adalah Kota Banjarmasin dan
Banjarbaru, serta Kabupaten Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Tengah. Untuk
Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, dan Balangan
menurut hasil penelitian ini tidak tepat sebagai kawasan andalan karena
dikategorikan sebagai daerah relatif tertinggal.
Studi sebelumnya juga terkait tiga kawasan andalan di Kalimantan Selatan
dilakukan oleh Aswandi dan Kuncoro (2002) berdasarkan PP Nomor 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dengan kondisi Kabupaten
Balangan masih bergabung dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten
Tanah Bumbu masih bergabung dengan Kabupaten Kotabaru. Berdasarkan
29
analisis LQ, hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh kabupaten/kota baik
yang berada dalam kawasan andalan maupun pada kawasan bukan andalan,
memiliki nilai LQ yang lebih besar dari satu pada beberapa subsektor lapangan
usaha. Artinya, semua kabupaten/kota di Kalimantan Selatan memiliki subsektor
unggulan dan penetapan kawasan andalan berdasarkan persyaratan sektor
unggulan dapat dipandang tepat. Sedangkan dengan analisis tipologi Klassen
menunjukkan Kabupaten Kotabaru merupakan satu-satunya daerah kawasan
andalan yang termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh,
sedangkan dua daerah lainnya yaitu Kota Banjarmasin dan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan masing-masing berada pada kategori daerah maju tapi tertekan dan
daerah relatif tertinggal. Keadaan tersebut menunjukkan kurang tepatnya
penetapan kawasan andalan Kalimantan Selatan, dilihat dari sisi pertumbuhan
ekonomi sebagai salah satu persyaratan penetapannya, terutama penetapan Kota
Banjarmasin sebagai daerah maju tapi dengan tingkat pertumbuhan rendah, dan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berada pada klasifikasi daerah relatif
tertinggal.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian sekarang difokuskan pada penelitian deskriptif, yaitu penelitian
yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran secermat mungkin (jelas dan
terperinci) mengenai aspek-aspek yang terkait suatu fenomena tertentu (Solimun
dkk, 2017). Secara umum penelitian deskriptif sudah mengandung penelitian
eksploratif. Penelitian sekarang berusaha menjelaskan secara sistematis tentang
fakta yang diperoleh saat penelitian dilakukan, terkait realisasi APBD organisasi
pemerintah daerah dan aktivitas ekonomi berbasis (berdasarkan) PDRB di
Kalimantan Selatan yang terdiri dari satu pemerintah provinsi, 11 pemerintah
kabupaten, dan dua pemerintah kota.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian berdasarkan cara pengukuran pada penelitian sekarang
adalah data kuantitatif (metrik) dan berdasarkan tingkat (skala) pengukuran adalah
skala rasio (Asra dan Rudiansyah, 2017). Pengumpulan data penelitian dengan
mengakses sumber-sumber sekunder, seperti publikasi-publikasi resmi statistik
yang disajikan oleh institusi BPS baik pada tingkat nasional, Provinsi Kalimantan
Selatan, dan kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Data pendukung penelitian
dari sumber-sumber sekunder lainnya yang dipublikasikan institusi/lembaga
pemerintah juga menjadi rujukan untuk mencapai tujuan penelitian sekarang.
31
3.3 Teknik Analisis Data
Data penelitian sekarang akan dianalisis dengan statistik deskriptif. Statistik
deskriptif adalah bagian dari statistik yang digunakan untuk memberikan
gambaran tentang suatu fenomena yang sedang diamati dalam bentuk penyajian
seperti tabel, grafik, atau angka ringkasan (Asra dan Rudiansyah, 2017). Alat
analisis adalah perbandingan antarkategori/antarkelompok angka realisasi PDRB
baik secara vertikal (kontribusi) dan maupun horisontal (pertumbuhan atau
perubahan), serta analisis Location Quotient (LQ), Shift Share (SS), dan Tipologi
Klassen (Klassen Typology) berdasarkan data angka PDRB.
Perhitungan untuk analisis LQ, SS, dan Tipologi Klassen dengan
menggunakan formulasi seperti yang digunakan oleh penelitian atau kajian
sebelumnya dengan bantuan MS-Excel, seperti yang digunakan oleh Marlina
(2014) dan Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul (2018). Ketentuan
untuk analisis LQ adalah jika nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1) maka
aktivitas (sektor) ekonomi tersebut tergolong kategori basis di suatu
wilayah/daerah. Jika nilai LQ lebih kecil dari 1 (LQ < 1) maka aktivitas (sektor)
ekonomi tersebut tergolong kategori non basis di suatu wilayah. Jika nilai LQ
sama dengan satu ( LQ = 1), menunjukkan aktivitas (sektor) ekonomi tersebut
swasembada (seimbang) di suatu wilayah.
Untuk analisis SS pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah
dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: (1) pertumbuhan regional (PR); (2)
pertumbuhan proporsional (PP); dan (3) pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).
Analisis SS dilakukan dengan cara memperhatikan nilai PP dan nilai PPW. Jika
33
dimana sektor yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan yang
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi acuan tetapi
memiliki kontribusi terhadap yang lebih besar dibandingkan kontribusi nilai
sektor tersebut terhadap daerah yang menjadi acuan. Sektor dalam kategori ini
juga dapat dikatakan sebagai sektor yang telah jenuh; (3) sektor potensial atau
masih dapat berkembang dengan pesat (disebut dengan kuadran III), dimana
sektor ini memiliki nilai pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan daerah
yang menjadi acuan, tetapi kontribusi sektor tersebut lebih kecil dibandingkan
nilai kontribusi sektor tersebut terhadap daerah yang menjadi acuan. Sektor dalam
kuadran III dapat diartikan sebagai sektor yang sedang booming, meskipun pangsa
pasar daerahnya relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata daerah acuan; dan (4)
sektor relatif tertinggal (disebut kuadran IV), dimana sektor yang memiliki nilai
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi
acuan dan sekaligus memiliki kontribusi sektor tersebut lebih kecil dibandingkan
nilai kontribusi sektor tersebut terhadap daerah yang menjadi acuan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogyakarta:
STIE YKPN.
Asra, Abuzar dan Rudiansyah. 2017. Statistik Terapan untuk Pembuat Kebijakan
dan Pengambil Keputusan. Edisi Kedua. Jakarta: In Media.
Aswandi, Hairul dan M Kuncoro. 2002. Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan:
Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia. Volume 17 (1). Hal 27-45.
Asyahri, Yusuf dan Syafril. 2018. Pengembangan Kawasan Andalan Provinsi
Kalimantan Selatan. Matra Pembaruan - Jurnal Inovasi Kebijakan. Volume
2(1). Hal 27-38.
Bappenas. 2015. Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan. Jakarta.
BPS Provinsi Kalimantan Selatan. 2019. Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi Kalimantan Selatan Menurut Lapangan Usaha 2014-2018.
Banjarbaru: CV Samudra Wisesa.
BPS Provinsi Kalimantan Selatan. 2020. Berita Resmi Statistik: Pertumbuhan
Ekonomi Kalimantan Selatan Triwulan IV-2019. Banjarbaru.
Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul. 2018. Analisis Makro
Ekonomi Kabupaten Gunungkidul. Wonosari: CV Centra Grafindo.
DJPK Kemenkeu. -. Modul Kerjasama Peningkatan Kapasitas Pengelolaan
Keuangan Daerah: Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah. Jakarta.
DJPK Kemenkeu. 2014. Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran
2013. Jakarta.
DJPK Kemenkeu. 2017. Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Jakarta.
DJPK Kemenkeu. 2018. Ringkasan APBD 2018. Jakarta.
Halim, Abdul dan MS Kusufi. 2012. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi
Keuangan Daerah. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam
Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. Volume
12.
35
Kuncoro, Mudrajad. 2001. Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi untuk Bisnis
dan Ekonomi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit UPP AMP YPKN.
Marlina, Yeni. 2014. Analisis Sektor Unggulan dalam Perekonomian Kota Bogor
(Periode 2006-2012). Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi
dan Manajemen IPB.
Nurhasanah, Aan, B Juanda, dan EIK Putri. 2018. Analisis Kelayakan dan Strategi
Pengembangan Wilayah dalam Wacana Pembentukan Daerah Otonom Baru
Bogor Timur. Tata Loka. Volume 20(3). Hal 282-294.
Rahayu, Endang Siti. 2010. Aplikasi Tipologi Klassen pada Strategi
Pengembangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten
Boyolali. Journal of Rural and Development. Volume 1(2). Hal 105-121.
Rheza, Boedi, MI Damanik, TE Agustine, dan MN Sianturi. 2015. Laporan
Penelitian Optimalisasi Fiskal bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Peran
Belanja Operasional dan Belanja Modal dalam APBD. Jakarta: KPPOD.
Seknas Fitra dan The Ford Foundation. 2016. Laporan Analisis Anggaran Daerah
2016 Hasil Penelitian di 70 Kabupaten/Kota. Jakarta.
Soepono, Prasetyo. 1993. Analisis Shift-Share: Perkembangan dan Penerapan.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Volume 8.
Solimun, AAR Fernandes, dan Nurjannah. 2017. Metode Statistika Multivariat:
Pemodelan Persamaan Struktural (SEM) Pendekatan WarpPLS. Malang:
UB Press.
Suhartono. 2015. Ketimpangan dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Daerah Hasil Pemekaran: Studi Kasus di Provinsi Banten dan Gorontalo.
Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik. Volume 6(1). Hal 33-43.
Tikha, Dhea dan Sujarwoto. 2015. Desentralisasi dan Kesehatan Keuangan
Daerah di Indonesia. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik. Volume 1(1). Hal
39-42.
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
Wiranto, Tatag. 2004. Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Laut dalam Kerangka
Pembangunan Perekonomian Daerah. Makalah disampaikan pada
Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September. Jakarta: Bappenas.