proposal hilal
DESCRIPTION
anshariTRANSCRIPT
KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA
PASIEN INFARK MIOKARD DI CARDIOVASCULAR CARE UNIT
(CVCU) RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR
NAMA : NURHILAL
NIM : P2500213414
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian
terbesar secara global, dimana lebih banyak orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit kardiovaskular daripada penyakit lainnya. Pada tahun 2012,
menurut data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan 17,5 juta
orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskular yang mewakili 31%
dari semua kematian global (7,4 juta orang akibat penyakit jantung koroner
dan 6,7 juta orang akibat stroke). Lebih dari tiga perempat dari kematian
akibat penyakit kardiovaskular terjadi pada negara dengan pendapatan
rendah dan menengah. Dari 16 juta kematian di bawah usia 70 akibat
noncommunicable diseases, 82% berada di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah dan 37% disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.
(WHO, 2012)
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama karena menyebabkan angka perawatan Rumah Sakit Umum
Pusat dan angka kematian yang tinggi. Sebagian besar sindrom koroner akut
adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang
koyak atau pecah. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit
dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit yang
akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang
lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). (PERKI, 2014)
Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan
elevasi segmen ST (STEMI : ST segment elevation myocardial infarction) dan
infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI : non ST segment
elevation myocardial infarction). Diagnosa infark miokard STEMI ditegakkan
melalui angina tipikal dengan riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20
menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian niitrogliserin dan
perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI.
Infark miokard NSTEMI ditegakkan diagnosanya atas dasar keluhan angina
tipikalyang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan
peningkatan marka jantung.(PERKI, 2014)
Penatalaksanaan terapi infark miokard baik STEMI maupun NSTEMI
memiliki beberapa tahap. Penatalaksanaan infark miokard STEMI dimulai
sejak kontak medis , baik untuk diagnosis dan pengobatan, dilanjutkan
dengan terapi reperfusi, terapi fibrinolitik, subbagian khusus, logistik,
penilaian risiko dan pencitraan, terapi jangka panjang, dan komplikasi STEMI.
Untuk penatalaksanaan infark miokard NSTEMI berdasarkan stratifikasi rasio,
dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi invasif dan waktu
pelaksanaan revaskularisasi, kemudian perhatian terhadap populasi dan
situasi khusus, dan manajemen jangka panjang dan pencegahan sekunder.
(PERKI, 2014)
Pengobatan pasien infark miokard secara umum mengacu pada
pedoman tata laksana terapi dan standarisasi formularium yang ditetapkan
oleh rumah sakit. Pengobatan hendaknya bersifat rasional dan bertujuan
meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Terapi obat yang
rasional, aman, dengan biaya yang efisien tergantung pada ketepatan
diagnosa, peresepan, monitoring, evaluasi terapi obat, pemahaman dan
kepatuhan pasien. (Adusumilli and Adepu, 2014)
Dalam perjalanan penyakit infark miokard ini, sering ditemukan
beberapa masalah yang terkait dengan pengobatan. Masalah yang terkait
penggunaan obat seperti efek yang tidak diharapkan, interaksi obat, alergi,
tidak tepat dosis, intoksikasi, dan lainnya.
Drug Related Problems/DRPs (masalah yang terkait dengan obat)
adalah suatu kejadian terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau
potensial mengganggu pencapaian hasil terapi yang diinginkan (PCNE 2013)
atau setiap kejadian yang tidak diinginkan, dialami oleh seorang pasien yang
melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat sehingga dapat mengganggu
tercapainya tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle et.al, 2007).
Drug Related Problems/DRPs didefinisikan sebagai kejadian yang
berpotensi mempengaruhi outcome kesehatan pada pasien. DRPs dapat
terjadi pada semua proses penggunaan obat mulai dari peresepan hingga
penyerahan dan juga karena tidak adanya follow up dan pengkajian outcome
terapeutik. Pharmaceutical care menjadi kegiatan kooperatif dengan tenaga
kesehatan profesional lainnya dan bersentuhan langsung dengan pasien
untuk meningkatkan kualitas penggunaaan obat dan mencapai harapan
outcome terpeutik. Pharmaceutical care mengidentifikasi dan mengatasi baik
aktual maupun berpotensi terjadinya DRPs. . (Adusumilli and Adepu, 2014)
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian tentang
kajian drug related problems (DRPs) pada pasien infark miokard.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah berapa besar tingkat kejadian
Drug Related Problems /DRPs pasien infark miokard di Cardiovascular Care
Unit (CVCU) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kejadian
Drug Related Problems /DRPs pasien infark miokard di Cardiovascular Care
Unit (CVCU) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya :
a) Indikasi tidak diterapi
b) Pemilihan obat tidak sesuai
c) Dosis subterapi
d) Kegagalan pasien menerima obat
e) Overdosis
f) Reaksi obat yang merugikan
g) Interaksi obat
h) Terapi tanpa indikasi
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mendapatkan pola dan frekuensi kejadian
Drug Related Problems /DRPs pasien infark miokard serta menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan terapi farmakologis pasien infark miokard
di Cardiovascular Care Unit (CVCU) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infark miokard
1. Definisi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan
akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke
daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus. Proses
infark miokardium terjadi segera setelah terjadi sumbatan
koroner akut, aliran darah di pembuluh darah koroner di luar
sumbatan menjadi terhenti, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. (Guyton and Hall,
2007 )
Infark miokard didefinisikan secara universal
berdasarkan dua kriteria utama yakni kriteria untuk Infark
miokard akut dan kriteria sebelum terjadinya Infark miokard
(Braunwald dkk, 2015).
a. Kriteria untuk Infark miokard akut
Istilah infark miokard akut digunakan bila terjadi nekrosis
miokard yang konsisten dengan iskemia miokard akut. di
bawah ini merupakan beberapa kondisi yang menjadi salah
satu kriteria diagnosa infark miokard :
i. Deteksi kenaikan dan / atau penurunan nilai biomarka
jantung , dengan setidaknya satu nilai di atas persentil
ke-99 URL dan dengan setidaknya salah satu dari
kriteria di bawah ini :
Gejala iskemia
Perubahan gelombang T segmen ST yang baru atau
dianggap baru secara signifikan atau left bundle
branch block (LBBB) yang baru
Pengembangan patologis gelombang Q pada EKG
Adanya bukti pencitraan terhadap hilangnya viabilitas
atau munculnya kelainan kinetik regional yang baru
dari miokardium
Identifikasi suatu trombus intrakoroner dengan
angiografi atau otopsi
ii. Kematian jantung dengan gejala iskemia miokard
sugestif dan diduga terjadi perubahan iskemik baru pada
EKG atau LBBB yang baru, namun kematian terjadi
sebelum biomarka jantung ditentukan atau sebelum
nilainya mengalami peningkatan.
iii. Percutaneous Coronary Intervention terkait infark
miokard yang berubah-ubah didefinisikan melalui
peningkatan nilai ctn (untuk> 5 × persentil ke-99 URL)
pada pasien dengan nilai-nilai dasar yang normal (≤99th
persentil dari URL) atau kenaikan nilai ctn> 20% jika nilai
dasar mengalami kenaikan dan stabil atau menurun.
Selain itu,
Gejala sugestif iskemia miokard,
Perubahan iskemik baru pada EKG,
Temuan angiografi konsisten dengan komplikasi
prosedural,
Pencitraan perlu dilakukan untuk mendeteksi kelainan
kinetik miokardium
iv. Trombosis stent dengan infark miokard bila terdeteksi
dengan angiografi koroner atau otopsi dengan iskemia
miokard dan dengan kenaikan dan / atau penurunan nilai
biomarka jantung dan setidaknya satu nilai yang lebih
tinggi dari persentil ke-99 URL.
v. Coronary Artery Bypass Grafting dengan infark miokard
yang berubah-ubah didefinisikan melalui peningkatan
nilai biomarka jantung (untuk> 10 × persentil ke-99 URL)
pada pasien dengan yang nilai normal dasar ctn
(persentil ≤99th URL). Selain itu,
Gelombang Q patologis yang baru atau LBBB yang
baru,
Angiografi menggambarkan graft baru atau
oklusi arteri koroner yang baru, atau
Perlunya bukti pencitraan terhadap hilangnya
viabilitas atau munculnya kelainan kinetik regional
yang baru dari miokardium
b. Kriteria sebelum terjadinya infark miokard
Salah satu dari kriteria berikut memenuhi diagnosis untuk
sebelum terjadinya infark miokard :
i. Gelombang Q patologis dengan atau tanpa gejala
tidak adanya penyebab non iskemik
ii. Imaging evidence of a region of loss of viable
myocardium that is thinned and fails to contract in the
absence of a nonischemic cause
iii. Temuan patologis dari sebelum terjadi infark miokard
2. Patologi penyakit
Patologi infark miokard yaitu kematian sel miokard akibat
iskemia berkepanjangan. (Thygesen K. dkk, 2012).
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh
darah. Segera setelah terjadi sumbatan koroner akut aliran darah di
pembuluh darah koroner di luar sumbatan menjadi terhenti, kecuali
sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya.
Daerah otot yang sama sekali tidak mendapat aliranatau alirannya
sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark. (Guyton and Hall, 2007 )
Segera setelah onset infark, sejumlah kecil daerah kolateral
mulai merembes ke dalam daerah infark, dan hal ini bersamaan
dengan dilatasi progresif pembuluh darah lokal. Pada tahap
selanjutnya, dinding pembuluh darah menjadi sangat permeabel dan
membocorkan cairan; jaringan otot lokal menjadi edem, dan sel otot
jantung mulai membengkak akibat berkurangnya metabolism seluler.
Dalam waktu beberapa jam hamper tanpa suplai darah, sel-sel otot
jantung akan mati. (Guyton and Hall, 2007 )
3. Kategori Infark miokard
Infark miokard akut dapat didefinisikan dari beberapa presentasi
klinik, gambaran elektrokardiogram (EKG), biokimia, dan karakteristik
patologik.(Chairperson F.dkk, 2008)
Gejala utama yang memulai penegakan diagnosa dan
pemberian terapi adalah nyeri dada, namun klasifikasi pasien
didasarkan pada elektrokardiogram (EKG). Dua kategori pasien
sebagai berikut: (Bassand JP.dkk, 2011)
Pasien dengan nyeri dada akut dan persisten (> 20 menit) elevasi
ST-segmen. Hal ini dinamakan Acute Coronary Syndrome
elevasi-ST (STE-ACS) dan umumnya menggambarkan jumlah
oklusi koroner akut. Sebagian besar berkembang menjadi ST-
elevasi Miocard Infarction (STEMI). Tujuan terapi adalah untuk
mencapai reperfusi yang cepat, lengkap, dan berkelanjutan
dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik.
Pasien dengan nyeri dada akut tetapi tanpa persisten segmen
elevasi ST. Pasien-pasien ini memiliki depresi segmen ST lebih
persisten atau transient atau gelombang T yang inversi,
gelombang T datar, pseudo-normalisasi gelombang T, atau
terdapat presentasi perubahan pada EKG. Strategi awal pada
pasien ini adalah untuk mengurangi iskemia dan gejalanya, untuk
memantau serial EKG pasien, dan pengukuran ulang penanda
nekrosis miokard. Pada presentasi klinik, diagnosa non elevasi –
segmen ST ACS (NSTE-ACS), berdasarkan pengukuran
troponin, akan lebih khusus menjadi non elevasi-ST Miocard
Infarction (NSTEMI) atau angina tidak stabil.
Gambar 1. Iskemik miokard dan infark (Thygesen K. dkk, 2012)
B. Farmakoterapi Infark Miokard
1. Pasien infark miokard dengan elevasi segmen-ST (STEMI)
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama
pada tempat yang tidak melakukan intervensi koroner perkutan
(IKP) pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-
pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bias
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak medis pertama.(PERKI, 2014).
Tabel 1. Dosis Obat Fibrinolitik (Steg G, 2012)
Terapi fibrinolitik dilanjutkan dengan pemberian antiplatelet dan
antikoagulan sebagai terapi tambahan. Dosis antiplatelet dan
antikoagulan sebagai terapi tambahan pada pemberian fibrinolisis
tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Dosis antiplatelet dan antikoagulan sebagai terapi
tambahan pada fibrinolisis (Steg G, 2012)
2. Pasien infark miokard dengan non elevasi segmen-ST (NSTEMI)
Obat yang digunakan pada pasien berisiko rendah (Depkes, 2006)
Aspirin & Klopidogrel
Jika aspirin intoleransi dan klopidogrel tidak dapat digunakan,
gunakan :
Ticlopidine
Nitrat
Tablet sublingual atau spray atau IV
(kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam
ke belakang. Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan
gagal RV)
β-bloker oral (jika tidak kontra indikasi)
antagonis kalsium non-dihidropiridin jika sukar untuk
meneruskan pengobatan yang terdahulu.
Senyawa penurun lipid
Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet LDL-c> 2.6 mmol/L (100
mg/dL) dimulai dalam 24-96 jam setelah masuk RS.Dilanjutkan
pada saat keluar RS
Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri
atau dalam kombinasi dengan obnormalitas lipid lain
Heparin
(tidak dilanjutkan jika diagnosa enzim kardiak sekunder normal)
test stress direkomendasikan meskipun selama berada di RS atau
dalam 72 jam
Obat yang digunakan pada pasien berisiko tinggi :
Pengobatan Iskemia
Nitrat
Tablet sublingual atau spray (max 3 dosis). Jika sakit tidak
berkurang, lanjutkan dengan pemakaian IV. Nitrogliserin IV
lazimnya diganti dengan nitrat oral dalam 24 jam periode bebas
sakit. Regimen dosis oral seharusnya memiliki interval bebas
nitrat untuk mencegah berkembangnya toleransi. Kontraindikasi
pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam yang lalu.
Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV.
β-bloker
Direkomendasikan jika tidak ada kontraindikasi. Jika sakit dada
berlanjut, gunakan dosis pertama IV yang diikuti dengan tablet
oral. Semua β-bloker itu keefektifannya sama, tetapi β-bloker
tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik lebih disukai.
Morfin sulfat
Direkomendasikan jika sakit tidak kurang dengan terapi anti
iskemia yang cukup dan jika terdapat kongesti pulmonary atau
agitasi parah. Dapat digunakan dengan nitrat selama tekanan
darah dimonitor. 1-5 mg IV setiap 5-30 menit jika diperlukan, perlu
diberikan juga obat anti muntah. Penggunaan disertai perhatian
jika terjadi hipotensi pada penggunaan awal nitrat
Pilihan Pengobatan Lain Untuk Iskemia :
Antagonis Kalsium
Dapat digunakan ketika β-bloker kontra indikasi (verapamil &
diltiazem lebih disukai). Antagonis kalsium dihidropiridin dapat
digunakan pada pasien yang sulit sembuh hanya setelah gagal
menggunakan nitrat dan β-bloker Inhibitor ACE. Diindikasikan
pada hipertensi yang tetap (walaupun sedang menjalani
pengobatan dengan nitrat dan β-bloker), disfungsi sistolik LV,CHF.
Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan
Esensial untuk memodifikasi proses penyakit & kemungkinan
perkembangannya menuju kematian, MI atau MI berulang.
Aspirin dan Klopidogrel
Sebaiknya diinisiasi dengan baik. Untuk pasien intoleransi aspirin
& ketika klopidogrel tidak dapat digunakan.
Heparin
Heparin bobot molekul rendah (LMWH = low molecular weight
heparin) secara subkutan atau heparin tidak terfraksinasi (UFH =
unfractioned heparin) secara IV dapat ditambahkan sebagai terapi
antiplatelet.
Antagonis GP IIb/IIIa
Penggunaannya direkomendasikan sebagai tambahan aspirin &
UFH pada pasien dengan iskemia berlanjut atau dengan risiko
tinggi lainnya & untuk pasien yang intervensi koroner
percutaneous direncanakan
Modifikasi risiko :
Senyawa menurun lipid
- Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c> 2,6 mmol/L
(100mg/dL) dimulai dengan 24-96 jam setelah masuk RS
Diteruskan saat keluar RS
- Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul
sendiri atau kombinasi dengan abnormalitas lipid lain.
C. Drug Related Problems (DRPs)
1. Definisi
Drug related problems (DRPs) atau masalah terkait obat
didefinisikan sebagai kejadian yang yang berpotensi mempengaruhi
outcome kesehatan pada pasien. DRPs dapat terjadi pada semua
proses penggunaan obat mulai dari peresepan hingga penyerahan
serta tidak adanya follow up dan pengkajian outcome terapeutik juga
dapat berkontribusi pada DRPs. (Adusumilli and Adepu, 2014)
Drug related problems (DRPs) didefinisikan sebagai beberapa
kejadian yang tidak diharapkan yang dialami pasien yang melibatkan
atau diduga melibatkan terapi obat yang secara aktual atau berpotensi
menggangu harapan dan pencapaian outcome pasien secara optimal.
(Cipolle et.al, 2007)
2. Klasifikasi
Klasifikasi Drug Related Problems (DRPs) terdiri dari berbagai
macam pola dengan sistematika yang berbeda-beda. (Adusumilli and
Adepu, 2014)
a) The ABC of DRPs
i. Tipe A (aksi obat) efek merugikan
ii. Tipe B (reaksi pasien) efek merugikan
iii. Tipe C (statistik) efek merugikan
b) American Society of Hospital Pharmacists (ASHP)
i. Pengobatan tanpa indikasi
ii. Kondisi dimana obat tidak diresepkan
iii. Peresepan pengobatan tidak sesuai pada kondisi khusus
iv. Ketidaksesuaian dosis, bentuk sediaan, waktu pemberian, rute
pemberian, atau metode pemberian.
v. Duplikasi pengobatan
vi. Peresepan obat pada pasien alergi obat tersebut
vii. Kejadian aktual dan yang berpotensi menghasilkan efek
merugikan
viii. Interaksi signifikan baik aktual maupun berpotensi pada obat-
obat, obat-penyakit, obat-nutrisi, dan obat-tes laboratorium
ix. Gangguan terapi pengobatan oleh penggunaan obat secara
social atau rekreasional.
x. Gagal menerima keuntungan penuh dari terapi yang diresepkan
xi. Masalah yang timbul dari pengaruh biaya terapi
xii. Kurangnya pemahaman terhadap pengobatan
xiii. Kegagalan pasien mematuhi pengobatan
c) Klasifikasi Cipolle/Morley/Strand
i. Kebutuhan untuk terapi tambahan
ii. Terapi yang tidak perlu
iii. Salah obat
iv. Dosis terlalu rendah
v. Reaksi obat yang merugikan
vi. Dosis terlalu tinggi
vii. Masalah kepatuhan
d) Granada consensus
i. Indikasi
Pasien tidak menggunakan obat yang dibutuhkan
Pasien menggunakan obat yang tidak dibutuhkan
ii. Efektivitas
Pasien menggunakan obat yang keliru
iii. Pengobatan
Pasien menggunakan obat dengan dosis, interval, atau durasi
yang lebih rendah
iv. Keamanan
Pasien menggunakan obat dengan dosis, interval, atau durasi
yang lebih tinggi
Pasien menggunakan obat yang menyebabkan reaksi yang
merugikan
e) Pendekatan Hanlon
i. Indikasi
ii. Efektivitas
iii. Dosis
iv. Arahan benar
v. Arahan praktis
vi. Interaksi obat-obat
vii. Interaksi obat-penyakit
viii. Duplikasi
ix. Durasi
x. Biaya
f) Klasifikasi Hepler-Strand
i. indikasi tidak diterapi
ii. pemilihan obat yang tidak sesuai
iii. dosis subterapi
iv. gagal menerima obat
v. overdosis
vi. reaksi merugikan
vii. interaksi obat
viii. penggunaan obat tanpa indikasi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan
mengikuti rancangan deskriptif analitik dan pengambilan data
secara prospektif.
B. Waktu dan lokasi penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada periode bulan April - Juli
dan lokasi penelitian di Cardiovascular Care Unit (CVCU) Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
C. Bahan dan alat penelitian
Bahan penelitian untuk mengkaji Drug Related Problems /DRPs
berupa rekam medik pasien meliputi informasi umum pasien (usia,
jenis kelamin, TB, BB), regimen terapi (jenis obat, dosis pemberian
dan aturan pemakaian), serta kondisi klinis pasien berdasarkan
informasi dalam rekam medis dan penilaian klinisi
Alat penelitian untuk mengkaji DRPs digunakan standar acuan
penilaian DRPs yaitu Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut
oleh PERKI 2014, ACCF/AHA Guideline for the Management of
ST-Elevation Myocardial Infarction 2013, ACCF/AHA Focused
Update of the Guideline for the Management of Patients With
Unstable Angina/Non -ST-Elevation Myocardial Infarction 2012,
Pharmacotherapy-A pathophysiologic Approach 2008 meliputi
kajian DRPs berdasarkan Hepler and Strand Classifications.
D. Populasi dan sampel
Populasi adalah pasien infark miokard di Cardiovascular Care
Unit (CVCU) RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Sampel
adalah pasien infark miokard rawat inap di CVCU RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo periode April – Juli 2015. Kriteria inklusi dari
sampel yakni :
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI : ST
segment elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI : non
ST segment elevation myocardial infarction)
3. Bersedia menjadi sampel penelitian.
Kriteria eksklusi dari sampel penelitian yakni pasien yang tidak
bersedia menjadi sampel penelitian
E. Definisi operasional
1. Drug Related Problems /DRPs dalam penelitian ini adalah kejadian
yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien akibat atau diduga
akibat terapi obat secara aktual maupun potensial menganggu
outcome terapi yang diharapkan
2. Indikasi tidak diterapi adalah kondisi ketika pasien membutuhkan
terapi obat tetapi tidak menerima terapi. Problems pasien dilihat
dari hasil diagnosa dokter dan data laboratorium serta keluhan
yang dialami pasien.
3. Pemilihan obat tidak sesuai dilihat berdasarkan penggunaan obat
pasien yang tidak diperbolehkan pada pasien infark miokard pada
situasi atau kondisi tertentu sesuai dengan standar acuan
penelitian
4. Dosis subterapi maksudnya dosis yang diberikan terlalu rendah
untuk memberikan respon terapi yang diinginkan atau frekuensi
maupun durasi terapi tidak sesuai dengan standar terapi pada
pasien infark miokard.
5. Kegagalan dalam menerima obat dilihat berdasarkan kepatuhan
pasien terhadap terapi yang diberikan serta faktor lain yang
mempengaruhi kegagalan mendapat terapi seperti
ketidakmampuan secara ekonomi.
6. Overdosis maksudnya penggunaan obat dalam dosis berlebihan
meliputi dosis obat yang diberikan untuk pasien lebih tinggi
dibanding standar terapi atau durasi terapi berlebihan dari
ketentuan dan standar acuan penelitian.
7. Reaksi obat merugikan merupakan suatu kondisi klinis (aktual)
pasien mengalami reaksi efek merugikan dari obat yang digunakan
8. Interaksi obat merupakan hasil kajian literatur kejadian interaksi
antara obat dengan obat lainnya yang digunakan pasien.
9. Terapi tanpa indikasi berarti pasien menerima obat tanpa adanya
problems medis yang jelas pada diri pasien dalam rekam medis;
atau jika terapi non obat lebih sesuai dengan kondisi pasien; atau
adanya terapi obat untuk mengatasi efek samping obat lain; atau
karena duplikasi obat yang digunakan pasien.
10.Penilaian tingkat kejadian DRPs dilakukan dengan cara mencatat
kejadian DRPs setiap pasien berdasarkan klasifikasi yang
ditentukan.
F. Prosedur penelitian
1. Pengajuan proposal penelitian
Berdasarkan kajian literatur dan studi pustaka maka
proposal berjudul Kajian Drug Related Problems (DRPs) Pasien Infark
Miokard di Cardiovascular Care Unit (CVCU) RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar ini disusun dan diajukan
2. Pengajuan izin etika penelitian (ethical clearance)
Penelitian dilakukan melibatkan sampel penelitian berupa
pasien infark miokard. Untuk mendapat data sesuai tujuan penelitian
diperlukan pengajuan izin etika penelitian kepada Komite Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
3. Pengajuan izin penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat
Rencana penelitian akan dilakukan di Cardiovascular Care
Unit (CVCU) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Untuk
mendapatkan ijin penelitian, dibuat surat permohonan izin penelitian
kepada Direktur melalui bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit)
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
4. Penetapan sampel yang akan di evaluasi
Sampel adalah pasien dengan kriteria inklusi infark miokard
dengan elevasi segmen ST dan non elevasi segmen ST. Selanjutnya
meminta kesediaan pasien sebagai sampel penelitian dengan mengisi
inform consent .
5. Pengambilan Data
a) Pencatatan rekam medik pasien
Jenis data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi
karakteristik pasien (nama, no.rekam medik, usia, jenis kelamin) serta
kondisi klinis pasien (mulai MRS dan komorbiditas)
b) Data profil pengobatan
Jenis data profil pengobatan pasien dibutuhkan untuk
melakukan kajian DRPs meliputi regimen terapi (jenis obat, jumlah
obat, dosis pemberian, dan aturan pemakaian) serta data pelengkap
sesuai rekam medis pasien antara lain hasil diagnosa, hasil
laboratorium, pemeriksaan marka jantung, dan gambaran
elektrokardiogram (EKG). Metode wawancara juga dilakukan untuk
menggali informasi yang tidak ada dalam rekam medis terkait efek
pengobatan pasien seperti kejadian merugikan akibat obat atau efek
samping selama penggunaan obat. Selain itu wawancara juga
dimaksudkan untuk mengetahui apakah pasien gagal menerima obat
akibat ketidakpatuhan terapi maupun kemampuan ekonomi atau
faktor lain misal intoleransi dengan efek samping obat
G. Analisis data
1. Data pengobatan pasien dilakukan kajian DRPs berdasarkan standar
acuan penelitian.
2. Hasil kajian DRPs dikelompokkan berdasarkan poin dan klasifikasi
DRPs berdasarkan standar acuan penelitian.
Klasifikasi DRPs berdasakan Hepler And Strand Classification
a) Indikasi tidak diterapi
b) Pemilihan obat tidak tepat
c) Dosis subterapi
d) Gagal menerima obat
e) Over dosis
f) Adverse reactions
g) Interaksi obat
h) Terapi tanpa indikasi
3. Untuk mengetahui tingkat kejadian maka setiap poin DRPs
dipersentasekan dengan cara menghitung sesuai rumus :
Jumlah kasus DRPs untuk setiap poin DRPs x 100%
Total kasus DRPs
H. KERANGKA TEORI
Presentasi Klinik
Diagnosa
EKG
Biomarka
Diagnosa akhir
Manifestasi akhirEKG
IM gelombang QIM non gelombang Q
Negatif Positif Positif Negatif
Elevasi STElevasi non ST
Ruptur plak dengan trombus
Vasospasme / disfungsi endotel
Aterosklerosis dan imbalansi suplai kebutuhan
Imbalansi suplai kebutuhan
Penyebab imbalansi kebutuhan suplai 02
I S K E M I A
Sindrom Koroner Akut (Aterotrombotik)
Imbalansi suplai kebutuhan (Aterotrombotik)
Angina ≠ stabil NSTEMI tipe IAngina ≠ stabilNSTEMI tipe II STEMI
F A R M A K O T E R A P I
Drug related problems (DRPs)
I. KERANGKA KONSEP
PASIEN INFARK MIOKARD (IM) :
IM elevasi segmen-ST
IM non elevasi segmen-ST
FARMAKOTERAPI
Indikasi
Dosis
Lama pemberian
Drug Related Problems (DRPs)
Indikasi tidak diterapi
Pemilihan obat tidak sesuai
Dosis subterapi
Gagal menerima obat
Over dosis
Reaksi obat merugikan
Interaksi obat
Terapi tanpa indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Adusumulli P.K. Adepu R.. 2014. Drug Related Problems : An Over View of Various Classification Systems Vol 7. Issue 4
Chairperson F., Bax J., Bietriu A., et al. 2008. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment elevation
Cipolle, R.J., Strand L.M., and Morley P.C.. 1998. Pharmaceutical Care
Practice. The McGraw-Hill Companies, New York
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Depkes RI : Jakarta
Guyton A.C., Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hlm 266
Hamm C.W., Bassand P., Agewall S., et al. 2011. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation :The Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J ;32:2999-3054
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2014. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. PERKI. Jakarta
Scirica M.B., Morrow D.A. 2015. ST Elevation Myocardial Infarction : Pathology, Pathopysiology, and Clinical Features. In: Braunwald’s Heart Disease: A Textbook Of Cardiovascular Medicine, 10th ed. Elseiver , Singapore ;1069-70.
Steg G, James SK, Atar D, et al. 2012. Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with Persistent ST-segment Elevation: The Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J ;33:2586-90.
Thygesen K, Alpert JS, Harvey D., et al. 2007. Universal Definition of Myocardial Infarction. : White on behalf of the Joint ESC/ACCF/AHA/WHF Task Force for the Redefinition of Myocardial Infarction Eur Heart J ;28:2525-38
World Health Organization. 2012. World Health Report-Cardiovascular Disease. (Online. Diakses 7 Januari 2015 )