program studi sosial ekonomi perikanan …
TRANSCRIPT
i
STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN
LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN
KABUPATEN TAKALAR
OLEH :
TITIN ARIATI L241 13 017
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
SKRIPSI
ii
STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN
LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN
KABUPATEN TAKALAR
OLEH:
TITIN ARIATI
L 241 12 271
Skripsi Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Pada Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
SKRIPSI
iii
iv
ABSTRAK
Titin Ariati (L24113017). Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Dibawa bimbingan Abdul Wahid sebagai pembimbing pertama dan Benny Audy Jaya Gosari sebagai pembimbing anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan aktivitas kearifan lokal
dalam pengelolaan lingkungan laut, bentuk partisipasi masyarakat nelayan dalam dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat dan dampak aktivitas kearifan lokal terhadap jasa lingkungan di Desa Bontomarannu. Penelitian dilaksanakan bulan Mei-Juli 2017 di Desa Bontomarannu Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu dengan pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Informan penelitian terdiri dari pemangku adat, nelayan mandiri, dan sawi yang berjumlah 11 orang. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan aktivitas kearifan lokal dibagi atas dua yaitu pemanfaatan lingkungan laut dan konservasi lingkungan laut. Dalam kearifan lokal pemanfaatan lingkungan laut yaitu penentuan waktu dan musim penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap. Sedangkan kearifan lokal dalam konservasi lingkungan laut yaitu upacara penghormatan laut, selektif dalam penangkapan ikan, dan pamali/tabu yang dilakukan selama dilaut. Bentuk partisipasi masyarakat terbagi atas 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan. Sedangkan dalam hal jasa lingkungan, dengan adanya lima bentuk dan aktivitas kearifan lokal yang ada di Desa Bontomarannu merupakan proses pembangunan berkelanjutan yang termasuk dalam menjaga ekosistem dengan tidak merusak lingkungan laut dan tidak mengubah fungsi ekosistem. Kata Kunci : Kearifan lokal, pengelolaan lingkungan laut, partisipasi, pembangunan berkelanjutan
v
ABSTRACT
Titin Ariati (L24113017). Study of Local Wisdom as the Foundation for Community Based Marine Environment Management in Bontomarannu Village, South Galesong Districts, Takalar District. By guidance of Abdul Wahid as a first preceptor and Benny Audy Jaya Gosari as a member of preceptor.
This study aims to determine the form and activities of local wisdom in the management of the marine environment, the form of community participation of fishermen in the basis of community-based marine environment management and the impact of local wisdom activities on environmental services in the Village Bontomarannu. The research was conducted from May to July 2017 at Bontomarannu Village, South Galesong subdistrict, Takalar district. This research uses purposive sampling technique that is by taking samples with certain consideration. The research informants consisted of costum stakeholders, independent fishermen, and mustard greens totaling 11 people. Data collection is done by observation, interview and literature study.
The results showed that the form and activity of local wisdom is divided into two, namely the utilization of the marine environment and the conservation of the marine environment. In the local wisdom of the use of the marine environment is the determination of time and seasons of fishing and the use of fishing gear. While the local wisdom in the conservation of the marine environment is the ceremony of the sea, selective in fishing, and pamali/taboo conducted during the sea. The form of community participation is divided into 4 stages : planning, implementation, evaluation, and utilization. In terms of environmental services, the exixtence of five forms and activities of local wisdom in the village of Bontomarannu is a sustainable development process which includes maintaining the ecosystem by not damaging the marine environment and not changing the function of the ecosystem.
Keywords: Local wisdom, marine environment management, participation, sustainable development
vi
RIWAYAT HIDUP
Titin Ariati lahir di Ujung Pandang, pada tanggal 23 Juni
1996. Penulis merupakan anak pertama dari lima
bersaudara, anak dari Ayahanda Aris dan Ibunda Sunarti.
Pada tahun 2002 penulis memasuki sekolah dasar di SD
Inpres Jogaya 1 Makassar kemudian pindah sekolah pada
tahun 2004 SD Inpres Tamangapa Makassar dan lulus pada
tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1 Watampone
dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan MAN 1
Watampone dan lulus pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan
pendidikan S1 Program Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis merupakan anggota dari
Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (Himasei-UH).
Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan merupakan syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan penulis melakukan penelitian dengan judul
“Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis
Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar”.
”Yang dibimbing oleh Dr. Abdul Wahid, S.Pi., M.Si dan Benny Audy Jaya Gosari,
S.Kel., M.Si”
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala Puji bagi Allah Subhana Wa Ta’ala atas
kebesaran dan karunia-Nya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan
Skripsi dengan judul “Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan
Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar”. yang merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan
Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan dan
bantuan dari pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut
menyumbangkan pikiran, tenaga dan inspirasi bagi penulis. Dan segala ikhlas dan
tulus, penulis mengucapkan terima kasi yang tak terhingga kepada :
1. Orang tua tercinta, terimakasih yang tak terhingga kepada yang terkasih,
tersayang dan tercinta Ayahanda Aris dan Ibunda Sunarti. Terima kasih atas
do’a, kasih sayang dan pengorbanan yang tak pernah bisa terbalas oleh
apapun. Semoga Allah Subhana Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-
Nya kepada kita semua di dunia dan di akhirat kelak. Amin.
2. Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanaan, Universitas Hasanuddin.
viii
3. Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M. Si selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
4. Ibu Dr. Nursinah Amir, S.Pi., M.P selaku ketua Jurusan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
5. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si selaku Ketua Program Studi Sosial
Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin.
6. Bapak Dr. Abdul Wahid, S.Pi., M.Si selaku pembimbing utama yang telah
membimbing, membantu serta memberikan saran dan kritikan kepada penulis
sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan menyelesaikan
skripsi ini.
7. Bapak Benny Audy Jaya Gosari, S.Kel., M.Si selaku panasehat akademik di
perguruan tinggi di Universitas Hasanuddin Makassar. Beliau juga pembimbing
anggota yang telah banyak membimbing, membantu serta memberikan saran
dan kritikan kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan
baik dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si dan Firman, S.Pi, M.Si serta Ibu Dr.
Ir. Mardiana E. Fachry, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran-saran pada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.
9. Seluruh Staf Dosen Jurusan Perikanan khususnya dosen-dosen Program
Sosial Ekonomi Perikanan saya ucapkan terima kasih atas bimbingannya
selama ini.
10. Seluruh karyawan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, saya ucapkan terima
kasih atas bantuannya dalam pengurusan administrasi selama perkuliahan
sampai penyelesaian tugas akhir ini.
ix
11. Terima kasih banyak saya ucapkan buat Pak Yesi, Pak Gatot dan Kak Aspar
atas segala bantuan dan saran yang diberikan dalam penyelesaian
pengurusan administrasi kampus.
12. Kepada adikku Muh. Rio Pambudi Aris, Siti Irmawati Aris, Muh. Isram
Syahbana Aris, dan Rezky Ariati Aris tersayang. Semoga Allah selalu
melindungi kita, kesehatan yang tidak bisa kita hitung dan senatiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua di dunia dan akhirat kelak. Amin.
13. Seluruh saudara-saudara SOSEK Perikanan Angkatan 2013, terima kasih
atas bantuan dan kebersamaannya. Semoga kelak kita bisa sukses dimasa
depan dengan akhlak yang baik dan masa depan yang cemerlang. Amiin
14. Buat sahabat saya Jusmawati dan Rahayu sejak semester satu sampai
sekarang terima kasih yang selalu menemani dan memberikan semangat,
saran, serta dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
15. Kepada Kak Sandy Rahman terima kasih atas doa, dukungan, dan
motivasinya pada saat penelitian maupun dalam pembuatan skripsi ini yang
tak henti-hentinya memberikan semangat dan kesabaran.
16. Terima kasih kepada Mustakina Sulaeman dan Muhammad Haris, teman
perjuangan satu pembimbing yang tak henti memberikan semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
17. Terima kasih kepada teman penelitian satu desa Ayu Rahayu dan Rada
Nipas yang telah memberikan dukungan, masukan, dan telah menemani pada
saat melakukan penelitian.
18. Terima kasih kepada teman-teman KKN gelombang 93 Kab. Wajo, Kec.
Belawa, Kel. Malakke, yaitu Uswah Khairi Fadillah, Ruhama Rara, Sri
x
Ayoesti, Faisal Oddang, Ashar, dan Muslimin yang telah memberikan
kenangan yang indah dan pelajaran berharga kepada penulis.
19. Terima kasih kepada seluruh warga Desa Bontomarannu atas kerjasamanya
dan bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan pengambilan data
untuk skripsi ini.
Penulis telah berusaha menyajikan skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun
disadari masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
sarannya yang bersifat membangun agar kedepannya dapat lebih baik. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian terutama kepada diri
pribadi penulis. Amin.
Makassar, 2017
Titin Ariati
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT .......................................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kearifan Lokal ............................................................................................. 7
B. Dimensi dan Prinsip-prinsip Kearifan Lokal ............................................... 9
C. Perubahan Kearifan Lokal dan Faktor-faktor Penyebab Perubahan Kearifan
Lokal Masyarakat Nelayan ......................................................................... 12
D. Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat ................................ 21
E. Kearifan Lokal dalam Pembangunan Perikanan ....................................... 25
F. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut .... 26
G. Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia ......................... 32
xii
H. Kerangka Pikir ............................................................................................ 38
III. MEDOTOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ..................................................................................... 40
B. Jenis Penelitian ........................................................................................... 40
C. Metode Pengambilan Sampel .................................................................... 40
D. Sumber Data ............................................................................................... 41
E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 42
F. Analisis Data ............................................................................................... 43
G. Konsep Operasional ................................................................................... 44
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis .......................................................................................... 47
B. Kondisi Demografi ...................................................................................... 48
C. Keadaan Sosial Ekonomi ........................................................................... 50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk dan Aktivitas Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Laut 53
1. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lingkungan Laut .......................... 54
2. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan Laut .............................. 65
B. Partisipasi Masyarakat dalam Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis
Masyarakat ................................................................................................. 80
C. Dampak Aktivitas Kearifan Lokal Terhadap Pembangunan Berkelanjutan 85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................. 92
B. Saran .......................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 94
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... 97
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Tangga Partisipasi Amstein ........... 28
2. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu Berdasarkan Jenis Kelamin .......... 48
3. Pembagian Jumlah Penduduk Berdasarkan Dusun Di Desa Bontomarannu 49
4. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu ............................. 50
5. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu ...................................... 51
6. Sarana Dan Prasarana Di Desa Bontomarannu ............................................ 52
7. Jenis Kegiatan Ritual Adat pada Desa Bontomarannu .................................. 68
8. Bentuk Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis
Mayarakat ........................................................................................................ 81
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pikir ................................................................................................. 39
2. Peta Desa Bontomarannu ............................................................................... 47
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi Desa Bontomarannu ................................................................... 98
2. Wawancara Terhadap Salah Satu Nelayan ................................................... 98
3. Alat Tangkap Pancing yang Digunakan Nelayan ........................................... 99
4. Alat Tangkap Pancing dengan Berbagai Ukuran dan Mata Pancing ............. 99
5. Rumah Adat atau Tempat Persinggahan Karaeng Loe’ ................................. 100
6. Kegiatan Padongkok Pakrappo yang Dilakukan Pemangku Adat ................. 100
7. Sesaji yang Warga Bawa Kepemangku Adat atau Rumah Roh/Leluhur yang
Mereka Percayai ............................................................................................. 101
8. Kegiatan Warga membawakan Sesaji Kepada Patanna Pa’rasangan (Roh Pemilik
Kampung) ........................................................................................................ 101
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki wilayah
laut dan pesisir. Dengan memiliki wilayah laut yang luas serta pulau-pulau,
tentunya Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dan
keanekaragaman budaya bahari pada suku bangsa ditiap-tiap daerah. Pada
setiap suku bangsa memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing baik dari
segi bahasa daerah yang digunakan, adat isitiadat serta kebiasaan dan lain-lain.
Sehingga dengan potensi tersebut, masyarakat Indonesia memiliki cara tersendiri
dalam melakukan pengelolaan lingkungan laut.
Pengelolaan laut yang terpadu lintas sektor ini berupa pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di
kawasan laut, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan
laut dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya,
menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan guna mencapai pembangunan
yang optimal dan berkelanjutan (Sinurat, 2015). Karena hal ini, Indonesia yang
memiliki wilayah laut yang amat luas sehingga pengelolaan lingkungan disetiap
wilayah berbeda-beda. Salah satunya dengan dipengaruhinya kearifan lokal yang
telah ada sejak dahulu hingga sekarang dan masih dipertahankan oleh
masyarakat lokal.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang diketahui oleh
masyarakat dan telah dijalankan secara turun-temurun atau dari generasi ke
generasi dalam waktu yang sangat lama. Biasanya kearifan lokal berisi tentang
cara memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam. Menurut Kosmaryandi
(2005) dalam Pawarti (2012), kekayaan pengetahuan masyarakat lokal sudah
berkembang dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan perkembangan
2
peradaban manusia. Sehingga pengetahuan masyarakat lokal yang didapat
karena hasil dari pengalaman yang telah dilalui dan proses adaptasi tehadap
lingkungan sekitar.
Dalam proses pengelolaan lingkungan laut, tentunya masyarakat
mempunyai kebiasaan dalam memanfaatkan dan menjaga kelestarian lautnya.
Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat adalah memiliki atau
menganggap bahwa laut merupakan sumberdaya untuk kelangsungan,
pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat pesisir
di wilayah Indonesia memiliki cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut
dan persepsi kelautan. Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh
masyarakat pesisir, muncul suatu tradisi untuk menghormati kekuatan sumber
daya laut. Tradisi tersebut lazimnya diwujudkan melalui ritual, yang bertujuan
untuk mengungkapkan rasa syukur karena alam melalui sumber daya laut telah
memberikan kelimpahan serta rezeki dalam kelangsungan hidup mereka (Ismail,
2007 dalam Hasmah, 2014).
Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam pelestarian
lingkungan dengan cara-cara yang sesuai dengan pola pikir dan tradisi setempat,
sehingga diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menjaga
keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bentuk pantangan,
larangan, tabu, pepatah-petitih dan berbagai tradisi lainnya dapat
mengungkapkan beberapa pesan yang memiliki makna sangat besar bagi
pelestarian lingkungan khususnya sumberdaya pesisir (Zulkarnain, 2007).
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan kewajiban pemerintah untuk
menetapkan sustainable development sebagai solusi untuk memperbaiki
kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi
dan keadilan sosial. Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam
3
pembangunan nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk
memadukan pilar pembangunan secara proporsional. Konsep pembangunan
berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa
pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan
hidup (Renjaan, 2013). Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2009, diharapkan
masyarakat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa
menimbulkan kerusakan lingkungan sekitarnya.
Dalam perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) modern di bidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada
masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumber daya hayati laut semaksimal
mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut mulai pula
dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya hayati
perairan serta kualitas lingkungan. Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) maka pendekatan secara non-
struktural, melalui peranan pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola
dan memanfaatkan sumber daya hayati perairan yang sarat dengan nilai
konservasi memiliki peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan
secara struktural, pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya
indentitas, budaya dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktivitas-
aktivitas secara tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung
pemanfaatan sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan (Hasmah, 2014).
Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan
kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Pada suatu komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan
lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai tata
pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah dan adaptasi
yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu
4
komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan
ekologis suatu komunitas masyarakat (Rusnita, 2016).
Bagi masyarakat di Indonesia, kearifan lokal mengandung nilai, norma,
sistem kepercayaan, mitos, dan ritual yang diyakini masyarakat terhadap
lingkungannya. Setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri yang berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan laut. Pengelolaan lingkungan laut melalui
kearifan lokal memiliki kelebihan tersendiri, selain untuk memelihara lingkungan
alam juga dapat menjaga kebudayaan masyarakat setempat. Masyarakat
dengan memiliki kearifan lokal yang telah ada sejak dahulu sampai sekarang
telah memberikan perilaku positif terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.
Dengan melihat gejala-gejala yang muncul di alam sekitar sehingga dapat
memprediksi apa yang akan terjadi serta penggunaan teknologi yang tradisional
tentunya akan menjaga kelestarian lingkungannya meskipun banyak faktor
penyebab perubahan kearifan lokal yang mulai tergerus oleh zaman teknologi
yang canggih.
Salah satu pulau di Indonesia yaitu Pulau Sulawesi yang terdapat
beberapa daerah yang masih mempertahankan eksistensi kearifan lokal mereka
hingga saat ini. Terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya Kabupaten
Takalar yang masih mempertahankan budaya bahari dalam penangkapan ikan
yang dilakukan secara tradisional dengan sistem pengetahuan dan peralatan
yang cukup sederhana. Salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Takalar
yaitu Desa Bontomarannu yang merupakan pemukiman masyarakat nelayan
yang masih mempertahankan kearifan lokalnya seperti alat tangkap tradisional
yang mereka gunakan, jenis ikan tertentu yang tidak dapat mereka tangkap,
serta pamali atau pantangan yang tidak boleh dilakukan selama melaut dan lain-
lain. Hal diatas merupakan kearifan lokal yang mereka lakukan sejak dahulu
5
hingga sekarang dan telah memberikan kontribusi besar dalam pengelolaan
lingkungan laut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tradisi yang dilakukan masyarakat dan nelayan dalam mengelola
lingkungan lautnya, partisipasi masyarakat nelayan terhadap kearifan lokal serta
pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan dari kearifan lokal tersebut. Dengan
dasar itulah peneliti mengambil judul ”Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar
Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu
Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan
lingkungan laut di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar ?
2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat nelayan di Desa
Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam
dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat ?
3. Bagaimana dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pembangunan
berkelanjutan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar ?
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan
lingkungan laut di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar.
2. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat nelayan di Desa
Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam
dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat.
3. Untuk mengetahui dampak aktivitas kearifan lokal terhadap
pembangunan berkerlanjutan di Desa Bontomarannu Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diberikan sebagai berikut :
1. Dari segi akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah
satu sumber informasi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian-
penelitian terkait yang akan dilaksanakan.
2. Dari segi sosial, dapat memperoleh penjelasan mengenai lingkungan
masyarakat setempat, seberapa jauh kelestarian sumberdaya alam dan
pengelolaan lingkungan laut dipengaruhi oleh kearifan lokal.
3. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan suatu kebijakan yang tepat bagi
masyarakat pedesaan.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk pengetahuan atau pola pikir
masyarakat secara tradisional yang telah dilaksanakan dan diwariskan secara
turun temurun dari masa ke masa. Pada setiap daerah memiliki keunikan
tersendiri dalam menjalankan kearifan lokal baik yang berhubungan dengan
lingkungan alam dan sosial. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Suhartini (2009),
kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam
berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu
kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku
yang berbeda.
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka, meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu
dan teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka
mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk
mempertahankan, memperbaiki, dan mengembangkan unsur kebutuhan dan
cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumber daya manusia dan sumber
daya alam disekitarnya (Suparmini, 2013).
Sedangkan menurut Zakaria (1994) dalam Arafah (2002) sebagaimana
dikutip oleh Aulia (2010), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional
dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang
berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan
8
masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur
lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia,
dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat)
dan lingkungan alamnya.
Umumnya kearifan lokal diwujudkan dengan cara tersendiri yang unik
dalam norma budaya dalam ritual dan tradisi masyarakat. Menurut pendapat
Aulia (2010) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam
masyarakat dapat berupa : nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Bentuk yang bermacam-macam ini mempengaruhi fungsi kearifan lokal menjadi
beragam pula. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber
daya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan
dan ilmu pengetahuan dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
Sementara itu dalam memelihara kearifan lokal agar tetap bertahan perlu
diperhatikan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang.
sedangkan menurut Saharuddin (2009), tantangan-tantangan kearifan lokal
adalah pertumbuhan penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar,
kemiskinan dan kesenjangan, kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
pokok seringkali menimbulkan masalah-masalah sosial dalam pemanfaatan
sumber daya alam (Zamzami, 2016).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah
suatu sikap atau pola pikir (pengetahuan) masyarakat lokal yang diketahui
berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan atau yang telah mereka
jalankan secara turun temurun dalam melakukan aktivitas dan masalah yang
dihadapi dikehidupan sehari-hari.
Konsep kearifan lokal yang menjadi ciri khas pada masyarakat tertentu
karena konsep kearifan lokal menjadi suatu norma yang memiliki nilai-nilai
tertentu yang harus dikembangkan untuk selanjutnya diwariskan oleh masyarakat
9
pemiliknya secara turun-temurun. Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk dalam
Mitchell (2007), yang dikutip oleh Saryani (2010), bahwa pengetahuan lokal
masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran
yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari
alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam
merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungannya inilah kemudian melahirkan
suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba” telah mengembangkan
pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan
tersebut.
B. Dimensi dan Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat
tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena
adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan
hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut
kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan
segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka
dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara
berkelanjutan (sustainable development) (Suparmini, 2013).
Menurut Mitchell (2003) dalam Riadi (2017), kearifan lokal memiliki enam
dimensi, yaitu :
1. Pengetahuan Lokal
Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
lingkungan hidupnya karena masyarakat memiliki pengetahuan lokal dalam
10
menguasai alam. Seperti halnya pengetahuan masyarakat mengenai perubahan
iklim dan sejumlah gejala-gejala alam lainnya.
2. Nilai Lokal
Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal mengenai
perbuatan atau tingkah laku yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh
anggotanya tetapi nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan
kemajuan masyarakatnya. Nilai-nilai perbuatan atau tingkah laku yang ada di
suatu kelompok belum tentu disepakati atau diterima dalam kelompok
masyarakat yang lain, terdapat keunikan. Seperti halnya suku Dayak dengan
tradisi tato dan menindik di beberapa bagian tubuh.
3. Keterampilan Lokal
Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk bertahan hidup (survival)
untuk memenuhi kebutuhan kekeluargaan masing-masing atau disebut dengan
ekonomi substansi. Hal ini merupakan cara mempertahankan kehidupan
manusia yang bergantung dengan alam mulai dari cara berburu, meramu,
bercocok tanam, hingga industri rumah tangga.
4. Sumber daya Lokal
Setiap masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan
kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau
dikomersialkan. Masyarakat dituntut untuk menyimbangkan keseimbangan alam
agar tidak berdampak bahaya baginya.
5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal
Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri
atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang
memerintah warganya untuk bertindak sesuai dengan aturan yang telah
disepakati sejak lama. Kemudian jika seseorang melanggar aturan tersebut,
11
maka dia akan diberi sangsi tertentu dengan melalui kepala suku sebagai
pengambil keputusan.
6. Solidaritas Kelompok Lokal
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain
dalam melakukan pekerjaannya, karena manusia tidak bisa hidup sendirian.
Seperti halnya manusia bergotong-royong dalam menjaga lingkungan sekitarnya.
Pada umumnya masyarakat Indonesia yang masih bersifat tradisional,
mengetahui lingkungan alam yang ada disekitarnya. Mereka beradaptasi dengan
ekosistem alam dengan baik dengan hidup secara berdampingan sehingga dapat
mengenal kondisi alam dan memanfaatkan sumberdaya alam dengan berbagai
cara.
Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, Nababan (1995) yang dikutip oleh Suparmini (2013)
mengemukakan : “Prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumberdaya
alam secara tradisional meliputi :
(1) Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia
dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong
memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri,
(2) Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis
sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal
property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan
mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar,
(3) Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang
memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-
masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terbatas,
12
(4) Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan
hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat,
(5) Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan
sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat
sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat
tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek
kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu,
(6) Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik
bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam
masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan
mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang
berlaku”.
C. Perubahan Kearifan Lokal Dan Faktor-Faktor Penyebab Perubahan
Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan
Di era sekarang, dengan segala bentuk perkembangan yang terjadi
diseluruh dunia baik dalam hal teknologi serta cara berpikir yang membuat
masyarakat hanya mementingkan diri sendiri menyebabkan perubahan kearifan
lokal yang telah ada sejak dulu mulai pudar. Masyarakat adat dengan segala
kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya
pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu
wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Dalam Sartini (2004) yang dikutip oleh Aulia (2010), menjelaskan
bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan
penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas
tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan
13
akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar
individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, praktek-praktek kearifan lokal
yang sudah merupakan bagian dari budaya ini mulai dilupakan bahkan di anggap
tabu. Kepercayaan, takhayul, mitos, kebiasaan, pengetahuan serta keyakinan
adalah bagian dari budaya yang mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat.
Padahal jika kita lihat, program-program pembangunan di daerah bisa gagal
apabila tidak memperhitungkan faktor budaya dan kearifan lokal masyarakat.
Setiap masalah yang terjadi di masyarakat, tidak dapat dilihat hanya dari satu
sudut pandang saja. Akan tetapi aspek-aspek lain juga harus diperhitungkan.
Misalnya saja pada saat menyelesaikan masalah kemiskinan, kita tidak bisa
melihat itu sebagai suatu akibat dari rendahnya tingkat pendidikan saja, tetapi
kita harus juga memahami aspek pengetahuan lokal masyarakat, kepercayaan,
dan pola perilaku masyarakat (Saryani, 2010)
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa dengan perkembangan zaman
yang sekarang menyebabkan adanya perubahan kearifan lokal. Masyarakat
tertentu berubah secara dinamis terhadap kearifan lokal yang ada atau yang
berlaku diwilayahnya. faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan
kebudayaan ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi perubahan
kearifan lokal. Seperti yang diketahui bahwa kearifan lokal merupakan produk
kebudayaan masyarakat yang melembaga pada masyarakat. Sehingga seiring
dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat, maka
kearifan lokal ini juga akan ikut mengalami perubahan.
Berikut adalah beberapa faktor-faktor penyebab perubahan kearifan lokal
adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan Penduduk
Salah satu faktor penyebab perubahan kearifan lokal adalah dengan
14
adanya pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk tiap tahunnya semakin
bertambah seiring dengan jumlah kelahiran yang terus meningkat. Pertumbuhan
penduduk ini menyebabkan beberapa masalah, seperti semakin sedikitnya
jumlah lapangan pekerjaan yang ada dan rendahnya daya dukung pada
lingkungan sekitar. Sehingga menyebabkan masyarakat memulai segala macam
cara untuk memunuhi kebutuhan sehari-harinya dan mulai tidak mengindahkan
kearifan lokal atau aturan lokal yang berlaku. Mereka mulai berpikir secara
realistis berdasarkan fakta yang ada bukan percaya akan takhayui atau ritual
kearifan lokal.
Seperti yang dijelaskan oleh Sartini (2004) dalam Saryani (2010), bahwa
pertumbuhan penduduk akan menjadi salah satu faktor penyebab perubahan
kearifan lokal yang merupakan pembentuk budaya suatu komunitas. Pada saat
jumlah komunitas dalam suatu masyarakat terus meningkat, maka seiring
dengan itu, kebutuhan mereka pun meningkat. Misalnya saja kebutuhan untuk
pemukiman. Masyarakat dengan jumlah penduduk yang besar, untuk pemukiman
atau pun untuk mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk
tersebut. Pada saat itulah mereka mulai meninggalkan praktek-praktek kearifan
lokal. Misalnya saja, hutan yang semula dianggap sakral sehingga dilarang untuk
dibuka, maka pada saat jumlah penduduk meningkat dan mereka butuh lahan
untuk bermukim dan mencari nafkah, maka pada saat itulah mereka mulai
membuka hutan tersebut.
2. Kemudahan Akses Keluar Masuknya Individu Atau Komunitas Pada
Komunitas Lain
Pada saat peraturan adat dan budaya tidak membatasi/mengatur akses
keluar dan masuknya seorang individu atau anggota komunitas tertentu ke dalam
komunitasnya, maka masuknya kebudayaan asing kedalam komunitas tersebut
akan sangat mudah. Masuknya budaya luar yang dibawa oleh penduduk baru
15
dari luar tersebut akan memberi pengaruh terhadap budaya komunitas yang
dimasukinya (Saryani, 2010).
Kemudahan akses keluar atau masuknya komunitas budaya yang satu
dengan yang lain akan menyebabkan terjadinya percampuran budaya dan selalu
berhubungan dengan komunikasi lintas budaya. Artinya adalah pada saat
anggota komunitas tertentu masuk, maka dia akan berusaha
mengkomunikasikan budayanya atau mungkin dia akan mencoba menerima
budaya setempat sebagai budaya barunya bergantung seberapa besar kekuatan
budayanya dan seberapa pintar dia mengkomunikasikan budayanya untuk di
terima oleh komunitas barunya tersebut. Pada saat itulah sedikit demi sedikit
akan terjadi dinamika perubahan kebudayaan (beserta kearifan lokal yang ada
didalamnya) yang akan berlangsung secara evolusi, difusi dan akulturasi melalui
inovasi (Sartini, 2004 dalam Saryani, 2010).
Berdasarkan pendapat Sartini (2004) yang dikutip sebagaimana oleh
Saryani (2010) bahwa kearifan lokal dapat berubah karena benturan nilai dan
relativitas budaya pada komunikasi lintas budaya. Dalam aneka ragam budaya
dengan nilai-nilai kulturnya akan ada pemahaman yang tidak selalu sama dalam
hal nilai dan pemahamannya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya
benturan nilai antar budaya. Benturan nilai ini akan diselesaikan salah satunya
dengan cara mengkomunikasikan identitas/nilai budaya masing-masing sehingga
akan ditemukan suatu kesepakatan bersama. Saat itulah setiap anggota yang
berkepentingna akan mencoba menerima budaya masing-masing. Hal ini
memberi kesempatan budaya tertentu untuk tumbuh dan berkembang dalam
suatu komunitas sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
kebudayaan yang berimplikasi pada berubahnya kearifan lokal masyarakat
setempat.
16
3. Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat dunia yang tidak
mengenal batas wilayah dan menghubungkan antara masyarakat di suatu
negara dengan masyarakat di negara lain di seluruh dunia. Globalisasi berangkat
dari suatu gagasan untuk menyatukan tatanan antar bangsa yang diharapkan
menjadi sebuah kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa- bangsa di seluruh dunia. Sebagai proses yang berkesinambungan,
globalisasi mampu mengurangi kendala dimensi ruang dan waktu sehingga
interaksi dan komunikasi antar bangsa bisa dilakukan dengan cepat dan tepat
sasaran. Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi
merambah semua sektor kehidupan dan memberi pengaruh yang signifikan pada
tatanan masyarakat dunia (Masduqi, 2011).
Harus diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah
negara-negara maju. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya
untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat
dengan mudah melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi
dan komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama,
negara-negara berkembang tak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena
daya kompetitifnya yang rendah. Akibatnya, negara-negara berkembang hanya
menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai negara maju yang
dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya (Mubah, 2011).
Situasi yang kemudian muncul adalah Indonesia menjadi salah satu
pasar potensial berkembangnya budaya asing milik negara maju berkekuatan
besar. Situasi ini mengancam budaya-budaya lokal yang telah lama mentradisi
dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia. Budaya lokal dihadapkan
pada persaingan dengan budaya asing untuk menjadi budaya yang dianut
masyarakat demi menjaga eksistensinya. Daya tahan budaya lokal sedang diuji
17
dalam menghadapi penetrasi budaya asing yang mengglobal itu.
Permasalahannya, daya tahan budaya lokal relatif lemah dalam menghadapi
serbuan budaya asing. Perlahan tapi pasti, budaya lokal sepi peminat karena
masyarakat cenderung menggunakan budaya asing yang dianggap lebih modern
(Mubah, 2011).
4. Pengaruh Teknologi Baru dan Media Massa
Kearifan lokal sebenarnya ada dan hendaknya diperhatikan oleh setiap
individu yang hidup dalam masyarakat lokal. Tidak ada orang yang lepas
sepenuhnya dari adanya kearifan lokal dimana orang tersebut hidup. Indonesia
sebagai negara dengan kekayaan budaya yang tinggi, tentunya memiliki kearifan
lokal yang kuat pula. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa
ini menunjukkan perubahan yang cepat dan drastis, terutama di ranah
perkembangan media komunikasi massa. Sebagaimana yang kita tahu, media
komunikasi massa memiliki perkembangan yang cukup signifikan. Dimulai dari
menjamurnya media lokal, berkembangnya media online, hingga populernya
media sosial di berbagai kalangan masyarakat (Watie, 2015).
Perubahan sistem mata pencaharian disebabkan oleh masuknya
teknologi baru dalam penagkapan ikan seperti trawl yang telah menggeser alat
tangkap tradisional. Diawal, pendapatan nelayan relatif meningkat. Akan tetapi
seiring dengan peningkatan pendapatan, praktek penangkapan ikan dengan
teknologi baru itu mengarah pada eksploitasi sumber daya perairan yang sangat
berlebihan. Akibatnya keseimbangan ekologi jadi tidak stabil, degradasi
lingkungan, kerusakan terumbu karang, ikan mulai berkurang dan sebagainya.
Hal ini telah mengakibatkan berkurangnya jumlah tangkapan ikan di laut dan
pendapatan nelayan menjadi berkurang secara drastis. Fenomena ini
disebabkan oleh penggunaan teknologi oleh segelintir orang yang tidak
memperhatikan kearifan lokal masyarakat dan keseimbangan lingkungan dan
18
hanya memperhitungkan kebutuhan sesaat saja, sehingga kegiatan
penangkapan ikan mengarah pada bentuk eksploitasi yang berlebihan.
Masyarakat yang menggunakan tanda-tanda alam dalam melaut dan kebijakan
lokal masyarakat yang tidak menangkap ikan yang masih kecil, perlahan
ditinggalkan. Sementara penggunaan teknologi baru ini tidak memikirkan hal-hal
seperti itu akibatnya populasi ikan tertentu di laut menjadi berkurang bahkan
punah. Implikasinya adalah pendapatan nelayan menurun drastis dan nelayan
tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Sehingga masyarakat akan mencari
alternatif baru dalam mencari nafkah (Saryani, 2010).
Terlihat bahwa dengan diintroduksikannya teknologi baru melalui media
massa telah dapat merubah kearifan lokal yang masyarakat lokal miliki dalam
sistem mata pencaharian masyarakat. Akibat dari pemakaian teknologi yang
tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kearifan lokal masyarakat
akhirnya melahirkan berbagai permasalahan yang penanganannya harus
disegerakan. Pada saat mata pencaharian masyarakat nelayan tidak lagi
menjanjikan disektor perikanan, maka mereka akan mencari alternatif lain untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat itulah mereka meninggalkan peran
sebagai nelayan dan meninggalkan kearifan lokal mereka dalam menangkap
ikan di laut (Saryani, 2010).
5. Perubahan Kebijakan Pemerintah
Pada pasal 1 ayat (1) UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya. Terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, mulai dengan pengertian
lingkungan sumber daya ikan, yakni bagian dari lingkungan hidup yang
19
merupakan perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan
faktor alamiah sekitarnya (UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Tidak terkecuali dengan
pengelolaan sumber daya laut yang merupakan bagian dari tindakan terhadap
lingkungan hidup, di mana pengelolaan sumber daya laut adalah segala upaya
mengoptimalkan manfaat sumber daya laut. Sumber daya laut itu sendiri adalah
unsur hayati, non hayati yang terdapat di wilayah laut dan dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia (Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor
30 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut)
(Siregar, 2014).
Peraturan tersebut merupakan peraturan tertulis yang mengatur
pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, baik
bagi pihak pemerintah itu sendiri, badan hukum lainnya, maupun bagi individu
khususnya para nelayan di Indonesia. Selain itu, pada pasal 3 UU RI No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan
bahwa tujuan dari Pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
20
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu
pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Hal tersebut dapat
memberi dampak yang nyata pada suatu daerah dan masyarakat yang tinggal di
atasnya. Sebagai contoh, adanya ketegangan dan konflik antarkelompok nelayan
yang merupakan konsekuensi dari sifat sumber daya perikanan sebagai sumber
daya milik bersama (common pool resources). Konflik antarkelompok nelayan
juga terjadi dalam bentuk tumpang-tindih di antara kelompok-kelompok nelayan
yang menggunakan sumber daya yang sama dengan memakai peralatan yang
sama pula atau di antara para nelayan yang menggunakan peralatan berbeda
tetapi menangkap persediaan ikan yang berbeda pada daerah penangkapan
yang sama. Maka itu perlu adanya suatu strategi pengelolaan (Siregar, 2014).
6. Pergeseran Nilai Budaya
Pergeseran merupakan suatu perubahan secara sedikit demi sedikit atau
berkala pada seorang yang dipengaruhi oleh perkara lain yang mengakibatkan
perubahan pandangan hidup. Pendapat tersebut menegaskan bahwa,
perubahan dari setiap diri seseorang tidak datang dengan begitu saja melainkan
harus diusahakan dan diupayakan. Menurut Smith dalam Prayogi (2016),
menyatakan bahwa makna dari pergeseran tersebut merupakan peningkatan
kemampuan sistem sosial, kemampuan sistem sosial memproses informasi-
informasi, baik yang langsung maupun tidak langsung dan proses modernisasi ini
sesuai dengan pilihan dan kebutuhan masyarakat. Proses pergeseran nilai-nilai
ini tidak terjadi secara spontan melainkan dilandasi oleh kesadaran dan waktu
yang cukup lama menuju kearah suasana kehidupan yang lebih baik, secara
21
tidak langsung pergeseran atau perubahan akan terjadi secara perlahan-lahan
dan tanpa disadari.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-
perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti
mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun
luas. Serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga
yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan
lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya (Soekanto, 2012 dalam
Rohmawati, 2012)
Eksistensi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia,
sayangnya, telah mengalami penurunan. Kondisi ini digambarkan dari banyaknya
nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipraktikkan lagi, dan di banyak tempat,
keberadaan kearifan lokal sudah diabaikan dan tinggal menjadi cerita
masyarakat. Di beberapa tempat lainnya, kearifan lokal bahkan telah hilang.
Masyarakat, terutama generasi muda sudah tidak mengetahui lagi adanya
kearifan lokal di daerahnya, hanya ada satu atau dua ‘sesepuh’ anggota
masyarakat yang mengetahui namun karena faktor usia (sudah tua) dan
kesehatan, beliau sudah tidak dapat menjelaskannya dengan lengkap dan baik.
Pergeseran nilai sosial kearifan lokal digambarkan dari memudarnya tatanan
yang disepakati masyarakat dan dipraktikkan oleh anggota masyarakat secara
besama-sama (Hidayati, 2016).
D. Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat
Menurut Tulungen et al. (2002) yang dikuti oleh Mardijono (2008),
pengelolaan berbasis masyarakat merupakan pengelolaan yang dilakukan oleh
22
masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis
masyarakat bertujuan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Masyarkat mempunyai
kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri sehingga yang
diperlukan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat
dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhanannya.
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan dukungan pemerintah memegang peranan
penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis serta pengambilan
keputusan sehingga sangat penting untuk melibatkan masyarakat dan
pemerintah secara bersama-sama dalam pengeloaan suatu kawasan pesisir.
Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan juga sebagai suatu
sistem pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal
ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya
alam yang terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001 dalam Hudiansyah, 2010).
Di Indonesia pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah
ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan
Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan
diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan
pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta
memajukan desa-desa pantai.
Dalam segi ekonomi lingkungan sangat berperan penting karena
memberikan manusia sumber makanan, bahan baku industri serta lahan untuk
ditinggali. Dalam segi sosial lingkungan sangat penting karena memberikan
23
ruang untuk masyarakat agar bersosialisasi dan mengembangkan budayanya.
Oleh karena itu betapa pentingnya fungsi lingkungan bagi keberlangsungan
hidup manusia, karena sangat pentingnya fungsi dari lingkungan maka
dibutuhkanlah pengelolaan yang serius untuk menjaga lingkungan guna
menstabilkan keberlangsungan hidup untuk masa depan. Dalam
perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan dengan
mengembangkan suatu kearifan yang berwujud ide-ide kreatif, pengetahuan,
peralatan dan teknologi yang dipadukan dengan nilai norma adat dan budaya,
aktifitas lingkungan hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya (Cahya, 2016)
Soerjani (1987) dalam Resosoedarmo et al. (1987) yang dikutip
sebagaimana oleh Aprianto (2008), menyatakan bahwa ada tiga upaya yang
harus dijalankan secara seimbang, yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku
atau sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi
karena dampak interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia
mempengaruhi lingkungan hidupnya atau juga mengusahakan sumberdaya alam
lingkungannya untuk mempertahankan jenisnya, dan sebaliknya manusia
dipengaruhi oleh lingkungannya.
Manusia bersama lingkungan hidupnya berada dalam suatu ekosistem.
Kedudukan manusia di dalam kesatuan ekosistem adalah sebagai bagian
penting yang tidak mungkin dipisahkan, karena itu kelangsungan hidup manusia
tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Agar kelestarian ekosistem
tersebut dapat terjamin, maka manusia harus menjaga keserasian hubungan
timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Jika keserasian hubungan
manusia dengan lingkungannya terganggu, maka terganggu pula
kesejahteraannya. Jadi manusia dan lingkungannya merupakan ikatan yang tidak
dapat dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi (Natsir, 1986
dalam Aprianto, 2008).
24
Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat,
namun pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan laut cenderung makin
berkurang, interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk
saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah
alasan terjadinya kegagalan pengelolaan laut yang ditunjukkan dengan rusaknya
sumberdaya serta adanya kemiskinan. Meskipun demikian, saling berinteraksi
antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat
dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan lingkungan
laut yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau
berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga
merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan lingkungan
laut yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan
membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara pengelolaan lingkungan
laut yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri
(Alains, 2009).
Community Based atau pendekatan yang Berbasis Masyarakat adalah
upaya pemberdayaan kapasitas masyarakat untuk dapat mengenali, menalaah
dan mengambil inisiatif guna memecahkan permasalahan yang ada secara
mandiri (Budi, 2004 dalam Cahya, 2016). Terdapat Pengertian, Tujuan dan
Sasaran Kegiatan yang Berbasis Masyarakat sebagai berikut :
1. Tujuan : Tujuan pendekakatan yang berbasis masyarakat adalah
meningkatnya kapasitas masyarakat dan mencoba untuk menurunkan
kerentanan individu, keluarga dan masyarakat luas serta adanya
perubahan masyarakat dalam upaya menangani permasalahan yang
terjadi di lingkungannya. Disamping itu program berbasis masyarakat
menggunakan pendekatan yang berbasis realita bahwa dengan cara-
cara yang relatif sederhana dan mudah dilaksanakan, maka masyarakat
25
di kalangan bawah pun dapat melakukan perubahan yang positif untuk
menuju ke arah yang lebih baik.
2. Sasaran : Sasaran dari program ini adalah masyarakat rentan yang hidup
didaerah rawan serta bersedia untuk menerima perubahan. Dan juga
Penekanan perencanaan program berbasis masyarakat lebih bersifat
internal daripada faktor ekternal dengan pendekatan bottom up, bukan
top down. Potensial ancaman tidak di luar, namun di dalam dengan
sistem sosial. Untuk mengurangi tingkat ancaman/bahaya dan resiko
kejadian bencana harus menjadi bagian dari pertimbangan
pembangunan.
E. Kearifan Lokal dalam Pembangunan Perikanan
Dalam aspek pembangunan perikanan dan kelautan dengan
pemberdayaan kearifan lokal, tampak belum begitu berjalan secara sinergis.
Banyak program dan kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat
pesisir dan nelayan umumnya didesain dari atas (top down). Kearifan lokal dan
tradisi serta aturan-aturan adat belum dilirik sebagai suatu yang dapat
menjembatani suksesnya program kegiatan pembangunan. Orientasi
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih bersifat proyek, belum
terlalu menyentuh pada aspek-aspek pemberdayaan dan belum mengakomodasi
sumberdaya lokal beserta capital culture yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
(Santara, 2011).
Padahal di sisi lain, adanya pemberdayaan kearifan lokal dan perlibatan
masyarakat dalam keseluruhan proses dapat membangkitkan kesadaran,
motivasi, keikhlasan dan kesungguhan hati sehingga mereka ikut bertanggung
jawab secara penuh terhadap suksesnya suatu program. Lebih lanjut perilaku
positif yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir akan mampu
26
bertahan dan menjadi dasar filosofi dalam membangun kehidupan bersama
dengan makhluk lain secara serasi, selaras, dan harmonis dengan lingkungan
alam dalam suatu ekologis. Selain itu alokasi dana pembangunan perikanan dan
kelautan selama lima tahun relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan total
pembelajaran pembangunan daerah seluruhnya. Sebaliknya, jika dibandingkan
dengan dana pengembangan ekonomi rakyat adopsi dana sektor perikanan dan
kelautan relatif cukup besar. Namun demikian, kondisi ini belum dapat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pembangunan perikanan dan kelautan
(Santara, 2011)
Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam
ekosistem lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan
terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan
fungsional yang sedemikian rupa. Dalam hubungan fungsional
tersebut manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Manusia akan
selalu bergantung pada lingkungan yang sekaligus dipengaruhi dan
mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem secara
keseluruhan (Tuhulele, 2013).
F. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut
Pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi.
Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni
kemandirian dan partisipasi. Nasdian (2006) dalam Rosyida (2011)
mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga
komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka
dapat menegaskan kontrol secara efektif.
27
Menurut Keith Davis dalam Maryuningsih (2014), Partisipasi berasal dari
bahasa Inggris yaitu “participation” adalah pengambilan bagian atau
pengikutsertaan. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi
seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.
Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan
emosi. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang
diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut
memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat
kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun
bidang mental serta penentuan kebijakan.
Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian
mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Nasdian
(2006) dalam Rosyida (2011) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam
pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal
dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan
secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1979)
dalam Rosyida (2011) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yang
menyatakan bahwa keseluruhan tingkatan partisipasi merupakan kesatuan
integratif dari kegiatan pengembangan perdesaan, meskipun sebuah siklus
konsisten dari kegiatan partisipatoris mungkin dinilai belum biasa. Berikut adalah
penjelasan tahapan partisipasi yaitu sebagai berikut :
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang
dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,
sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi
pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk
28
sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan
sebagai anggota proyek.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap
ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan proyek selanjutnya.
4. Tahap menikmati hasil atau pemanfaatan, yang dapat dijadikan indikator
keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan
pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai
subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan,
berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.
Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya
pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia
kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut
bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang
dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat
digambarkan dalam Tabel 1 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan
yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Rosyida, 2011) :
29
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Amstein
No. Tangga/Tingkatan
Partisipasi Hakekat Kesertaan
Tingkat
Pembagian
Kekuasaan
1. Manipulasi
(Manipulation)
Permainan oleh
pemerintah Tidak ada
partisipasi 2. Terapi (Therapy)
Sekedar agar
masyarakat tidak
marah/Sosialisasi
3. Pemberitahuan
(Informing)
Sekedar pemberitahuan
searah/sosialisasi
Tokenism/sekedar
justifikasi agar
mengiyakan
4. Konsultasi (Consultation)
Masyarakat didengar,
tapi tidak selalu dipakai
sarannya
5. Penentraman (Placation)
Saran Masyarakat
diterima tapi tidak selalu
dilaksanakan
6. Kemitraan (Partnership) Timbal balik
dinegoisasikan
Tingkat
kekuasaan ada di
masyarakat
7.
Pendelegasian
Kekuasaan (Delegated
Power)
Masyarakat diberi
kekuasaan (sebagian
atau seluruh program)
8. Control Masyarakat
(Citizen Control)
Sepenuhnya dikuasai
oleh masyarakat
Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang
bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat simobilisasikan. Partisipasi swakarsa
mengandung arti bahwa keikutsertakan dan peran sertanya atas dasar
kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan
memiliki arti keikutsertakan dan berperan serta atas dasar pengaruh orang lain.
Menurut Tjokroamidjoyo (1990) dalam Mardijono (2008), ada tiga faktor yang
mempengaruhi peran serta atau partisipasi yaitu :
30
1. Kepemimpinan
Faktor pertama proses pengendalian usaha dalam pembangunan
ditentukan sekali oleh kepemimpinan.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan yang memadai akan memberikan kesadaran yang
lebih tinggi dalam berwarga negara dan memudahkan bagi pengembangan
identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat nasioanal.
3. Komunikasi
Gagasan-gagasan, kebijaksanaan dan rencana-rencana akan
memperoleh dukungan bila hal tersebut diketahui dan dimengerti oleh
masyarakat.
Partisipasi yang baik adalah yang mendukung suksesnya suatu program.
Beberapa sifat dari partisipasi antara lain : positif, kreatif, kritis, korektif konstruktif
dan realistis. Partisipasi dikatakan positif, bila partisipasi tersebut mendukung
kelancaran usaha bersama dalam mencapai tujuan. Partisipasi kreatif, berarti
keterlibatan yang berdaya cipta, tidak hanya melaksanakan instruksi atasan
melainkan memikirkan sesuatu yang baru baik gagasan, metode maupun cara
baru yang lebih efektif dan efisien. Partisipasi dapat dikatakan kritis, korektif-
konstruktif bila keterlibatan dilakukan dengan mengkaji suatu jenis atau bentuk
kegiatan, menunjukkan kekurangan bila ada dan memberikan alternatif yang
lebih baik. Partisipasi yang realistis mempunyai arti bahwa keikutsertaan
seseorang dengan memperhitungkan realitas atau kenyataan, baik kenyataan
dalam masyarakat maupun realitas mengenai kemampuannya, waktunya yang
tersedia dan adanya kesempatan ketrampilan (Gultom, 1985 dalam Mardijono,
2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat menurut
Sastropoetro (1986), adalah keadaan sosial masyarakat, kegiatan program
31
pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat
meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem
sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan
dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan
tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau
keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat
setempat. Tokoh masyarakat, pemimpin adat, tokoh agama adalah merupakan
komponen yang juga berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat yang
berperan serta dalam suatu kegiatan (Rahardjo, 1996 dalam Mardijono, 2008).
Menurut Dahuri (1996) dalam Erwiantono (2006) menyatakan bahwa,
partisipasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut dapat
diwujudkan dengan mengadakannya program pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu dengan membutuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi dan setepat
mungkin. Masyarakat yang hidup di sepanjang pantai dan telah memanfaatkan
sumberdaya secara tradisional dapat terpengaruh oleh peraturan dan prosedur
baru. Oleh karena itu, masayarakat harus diikutsertakan dalam pembentukan
kebijaksanaan dan aturan terhadap pemanfaatan sumberdaya, jika aturan
tersebut dibuat untuk mendukung kemajuan bagi masyarakat.
Tingkat pastisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengalaman masyarakat
yang melihat masa lalu. Dengan melihat kondisi alam yang sekarang telah lebih
baik, yang telah memberikan manfaat sehingga membuat masyarakat sadar
akan pentingnya menjaga lingkungan. Partisipasi masyarakat nelayan
sebenarnya sangat tinggi terhadap pengelolaan lingkungan laut. Mereka sadar
bahwa lingkungan laut perlu dijaga dan dilestarikan tetapi ada beberapa faktor
yang mulai memunurunkan partisipasi masyarakat atau mulai bersikap acuh tak
acuh. Sehingga disinilah peran pemerintah setempat dalam melakukan
32
pengendalian lingkungan laut melalui sistem pengelolaan berbasis masyarakat
yang dapat meningkatkan partispasi masyarakat. Pemerintah harus melakukan
pendekatan terhadap masyarakat yang akan berdampak positif pada
kesejahteraan umum masyarakat.
Masyarakat harus merasa bertanggung jawab, berpartisipasi, dan turut
menjaga kelestarian sumberdaya laut dari kegiatan-kegiatan yang dapat merusak
lingkungan. Inti dari permasalahan partisipasi masyarakat adalah dengan
melakukan kerjasama antara pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan,
mengevaluasi, dan memanfaatkan serta membiayai pembangunan karena
masyarakat tidak dapat bekerja secara sendiri dalam mengatasi masalah
lingkungan laut dan menjaga lingkungan laut, sehingga pemerintah harus ikut
ambil peran dalam menjaga lingkungan dan mengatasi masalah yang terjadi.
G. Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia
Di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk kearifan lokal yang
tersebar disetiap daerah di bagian pesisir yang dipercayai dan dilaksanakan oleh
masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah sebuah bentuk kepercayaan dan
adat istiadat yang telah mereka jalankan sejak dahulu hingga sekarang meskipun
sedikit demi sedikit mulai tergerus akan zaman modern yang dimana alat
teknologi canggih dan pengetahuan yang lebih luas mulai mengikis akan kearifan
lokal tersebut. Tetapi disetiap daerah masih saja ada orang yang mampu
mempertahankannya sebagai budaya dan aturan yang berlaku untuk menjaga
lingkungan alam sekitarnya terkhususnya lingkungan laut.
Berikut ini adalah beberapa contoh kearifan lokal yang ada di Indonesia
hingga saat ini.
33
1. Seke di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara
Menurut Wahyono, et al., (1992) dalam Biasane (2004) yang dikutip oleh
Saryani (2010) menyatakan Seke merupakan kearifan tradisional dalam
pengelolaan sumber daya perikanan yang dijumpai di desa Para, kabupaten
Sangihe. Dalam organisasi Seke terdapat istilah lokal mengenai keanggotaan
berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing yaitu : Lekdeng, Tatalide, Seke
Kengkang, Matobo, Tonaas, Mandore, dan Mendoreso. Lekdeng artinya
anggota, sedangkan Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang ditugaskan
memegang Talontong (tongkat yang digunakan untuk menjaga Seke agar
posisinya tegak lurus di atas permukaan laut). Seke Kengkang merupakan
sebutan untuk anggota yang berada di atas perahu tempat meletakkan Seke
(perahu Kengkang). Matobo adalah anggota yang bertugas menyelam dan
melihat posisi gerombolan ikan sebelum Seke diturunkan ke laut. Tonaas
merupakan sebutan untuk seorang pemimpin pengoperasian Seke, sedangkan
wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah orang yang selalu
membangunkan anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil
tangkapan kepada anggota. Mendoreso adalah sebutan untuk orang yang
menjadi bendahara organisasi Seke.
Bagi hasil ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah :
a) Bagi hasil tangkapan diberikan kepada warga desa yang sudah
berkeluarga (termasuk janda/duda).
b) Bagi hasil tangkapan untuk warga desa yang belum berkeluarga
c) Bagi hasil tangkapan yang didasarkan atas status sosial tertentu, antara
lain seperti : kepala desa, guru, pendeta, perawat, dan sebagainya
d) Bagi hasil tangkapan diberikan menurut status keanggotaan dalam
organisasi Seke.
34
Menurut Satria, et al., (2002) dalam Biasane (2004) yang dikutip oleh
Saryani (2010), menegaskan bahwa organisasi tradisional Seke telah
menerapkan konsep bagi hasil layaknya organisasi modern. Ada dua pelajaran
yang dapat diambil dari pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh
organisasi tradisional Seke ini, diantaranya adalah :
a) Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa memberikan
perhatian kepada distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya alam,
khususnya ikan, kepada seluruh anggota masyarakat. Hal ini tercermin
pada pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke dalam
suatu periode waktu tertentu (misalnya satu minggu). Dengan demikian,
konflik pemanfaatan di antara masyarakat akan tereleminasi.
b) Selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke mengajarkan juga
pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari
sistem bagi hasil yang diterapkan. Seluruh komponen masyarakat
mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh sebuah
kelompok Seke tertentu. Dalam konteks modern, sistem distribusi
pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemanfaatan yang kuat
di kalangan masyarakat Para.
2. Awig-Awig di Desa Kedonganan Kec. Kuta, Pulau Bali
Awig-awig merupakan sekumpulan aturan lokal yang dibuat berdasarkan
kesepakatan masyarakat bersama untuk mengatur perilaku sehari-hari dalam
bermasyarakat. Awig-awig berbentuk aturan tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sejak dahulu, Desa
Kedonganan dikenal sebagai desa nelayan karena mayoritas penduduknya
bekerja sebagai nelayan dan wilayahnya yang berada di sekitar Pantai
Kedonganan. Nelayannya pun masih banyak yang memakai alat tangkap dan
jukung tradisional.
35
Untuk mengatur perilaku nelayan, maka diberlakukan pula Awig-awig
mengenai pengaturan kehidupan masyarakat nelayan khususnya dalam
pengaturan penangkapan ikan. Awig-awig yang dibuat atas kesepakatan tokoh
masyarakat, ketua nelayan dan beberapa nelayan setempat ini sudah ada sejak
dulu namun ada yang mengalami beberapa perubahan karena menyesuaikan
dengan perkembangan zaman. Aturan dalam Awig-awig tersebut mempunyai
tingkatan norma yang berbeda dan mempunyai sanksi sebagai wujud kontrol
sosial (Widyastini, 2013).
3. Panglima Laot di Aceh
Adat meulaot (melaut) adalah adat turun temurun yang telah dilakukan
oleh masyarakat Aceh untuk mengambil hasil laut. Demi terciptanya keamanan
dan kenyamanan dalam mengambil hasil laut dibentuklah aturan-aturan tertentu
yang harus dijalani oleh para pelaut. Melaut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
dalam masyarakat Aceh. Maka ditunjuklah seorang penanggungjawab ialah
seorang Panglima Laot. Panglima Laot merupakan suatu institusi Adat yang
mengatur tentang tata cara meupayang (penangkapan) ikan di laut. Biasanya
Panglima Laot akan dipilih oleh Keuchik. Pengelolaan konservasi laut yang telah
dilakukan Pengelolaan yang telah dilakukan di Pelabuhan Lampulo telah
berlangsung lama dengan cara menjalankan peraturan yang telah dibuat oleh
Pawang Laot agar tidak merusak ekosistem laut (Apriana, 2015).
Terdapat aturan yang mengikat komunitas masyarakat nelayan di
Pelabuhan Lampulo, terdiri dari kegiatan yang boleh dikerjakan dan tidak boleh
dikerjakan. Kegiatan yang boleh dikerjakan antara lain : Boleh mengambil hasil
laut di daerah sendiri dan wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah dan
Kenduri laot digelar untuk menandai akan dimulainya musim melaut, merayakan
pergantian panglima laot Lampulo, dan dijadikan sebagai salah satu wadah
aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan Lampulo untuk menyampaikan
36
keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik mengenai kelangkaan BBM
untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada pemerintah yang hadir pada
pelaksanaan acara tersebut. Kenduri laot dilaksanakan secara bergotong-royong
untuk mempersiapkan tempat, makanan dan minuman, sajian adat, dan melayani
tamu undangan yang hadir (Apriana, 2015).
Kegiatan yang tidak boleh dikerjakan antara lain : Hari Jumat tidak boleh
pergi ke laut karena Syariat Islam menjalankan ibadah, Tidak boleh bongkar
muatan pada hari Jumat, Wanita dilarang pergi melaut, dan Selama kenduri laot
berlangsung, para nelayan dilarang melaut selama tiga hari (Apriana, 2015).
4. Sasi di Maluku
Sasi mengacu pada pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional
dan termasuk larangan panen pada sumberdaya darat maupun laut. Peraturan
sasi melarang pemanenan hasil hutan atau hasil laut yang belum waktunya
dipanen secara gegabah, akan tetapi peraturan itu juga berlaku di dalam
kehidupan masyarakat. Bailey dan Zerner (1992) mengatakan bahwa sasi
berasal dari kata “saksi” (witness) yang berarti larangan terhadap panen,
penangkapan, atau pengambilan tanpa izin terhadap sumberdaya tertentu yang
secara subsisten atau ekonomis bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Kissya
(1993), sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara
tatakrama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan
pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh
warga atau penduduk setempat (Kuwati, 2014)
Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat bersama
masyarakat, pemuka kampung, tokoh adat, dan tokoh agama, untuk menentukan
zona wilayah sasi. Melalui rapat tersebut ditetapkan sumberdaya atau wilayah
yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, dan hal tersebut dinamakan tutup sasi.
Artinya, selama tutup sasi tidak diperkenankan seorangpun untuk mengambil
37
atau merusak habitat sumberdaya tersebut, sampai waktu yang kemudian
diperbolehkan kembali atau biasa disebut dengan masa buka sasi (Burdam,
2013 dalam Kuwati, 2013).
Keputusan buka sasi dilakukan berdasarkan rapat desa. Pengusahaan
zona sasi ini dilakukan oleh desa, bukan individu. Dalam rapat desa ditentukan
jumlah orang (tenaga kerja) yang terlibat langsung dalam eksploitasi sumberdaya
zona sasi. Tenaga kerja yang terlibat dibayar dengan uang hasil penjualan ikan
yang ditangkap atau produk yang diambil. Setelah dikurangi dengan ongkos
produksi lainnya, sisa uang hasil penjualan adalah milik desa. Penggunaan uang
ini adalah untuk kepentingan sarana dan prasarana umum (Andhamari et al.,
1991 dalam Nikijuluw, 1994 yang dikutip oleh Kuwati, 2014).
5. Mane’e di Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara
Mane’e merupakan kearifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, yang berupa pengaturan masa penangkapan
ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan di
wilayahnya, yaitu dengan cara membuat larangan menangkap ikan pada masa-
masa tertentu, serta pembuatan sejenis sistem bendungan hanya dilakukan pada
saat masa-masa tertentu yang diperbolehkan oleh ketua adat (Santara, 2011).
Dari berbagai potensi kearifan lokal diatas merupakan kegiatan yang
berbasis pemberdayaan kearifan lokal harus tetap dijaga dan dipertahankan
keberadaannya. Hal ini bertujuan agar segala kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan pesisir dan laut dapat dilakukan
dengan bijaksana dan terkontrol dengan baik. Sehingga masyarakat dapat
menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, aturan-aturan adat yang
berlaku, karena itu kepatuhan dan ketaatan terhadap peran kearifan lokal sangat
tinggi pula (Santara, 2011).
38
H. Kerangka Pikir
Seperti halnya masyarakat secara umum, masyarakat nelayan tentu saja
memiliki kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun pada generasi
berikutnya. Sebagai sesuatu yang diakui keberadaannya (meskipun bersifat
abstrak), kearifan lokal tentu saja memiliki karakteristik, dan bentuk sehingga
dapat dibedakan dengan kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat
lainnya. Kearifan lokal tersebut tentu saja terbentuk karena adanya modal sosial
dan dapat berupa kebudayaan bagi masyarakat. Disamping itu, kearifan lokal ini
juga memiliki makna sosial, budaya, ekonomi dan politik bagi masyarakat.
Kemudian, kearifan lokal tersebut diterapkan dan dijalankan berdasarkan hal-hal
tersebut.
Akan tetapi, mengingat sangat mungkin terjadi perubahan pada kearifan
lokal itu sendiri, maka tidak heran jika kearifan lokal ini pun dapat berubah seiring
dengan berjalannya waktu. Implikasinya adalah kearifan lokal dahulu akan
berbeda dengan saat ini. Perbedaan inilah yang kemudian dimaknai sebagai
suatu perubahan. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tentu saja
akan berbeda-beda dan mengikuti bentuk serta karakteristik dari kearifan lokal itu
sendiri.
Mengetahui kearifan lokal atau sistem pengetahuan (indigeneous
knowledge) pada nelayan sebagaimana di sebutkan di atas, maka di asumsikan
dapat melahirkan suatu konsep tentang kebijakan pemerintah dalam hal
pembangunan sumber daya hayati laut dan pesisir secara berkelanjutan yang
juga sekaligus dapat di arahkan untuk mengadaptasi perkembangan zaman
dalam upaya peningkatan kesejahteran.
39
Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
skema berikut :
Gambar 1. Kerangka Pikir
Masyarakat Nelayan
Nilai-nilai Kearifan Lokal
Nilai
(Pengetahuan/Teknologi)
Norma
(Kepercayaan, adat istiadat, keagamaan dll)
Apresiasi dan Partisipasi Masyarakat
Pengelolaan Lingkungan Laut
40
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2017 yang bertempat di Desa
Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Lokasi
penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa
daerah tersebut memungkinkan untuk melakukan studi mendalam tentang
komunitas masyarakat pesisir yang dianggap masih melestarikan kearifan lokal
dalam pengelolaan lingkungan laut.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan
kualitatif yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun tulisan
dan perilaku dari orang-orang ataupun masyarakat pada wilayah penelitian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan
mengambil bentuk studi kasus. John Creswell (2008) dalam Raco (2010),
mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan atau
penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral.
Sedangkan studi kasus adalah bagian dari metode kualitatif yang hendak
mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan
pengumpulan beraneka sumber informasi. Studi kasus didefinisikan sebagai
suatu eksplorasi dari sistem-sistem yang terkait atau kasus (Suryanegara, 2015).
C. Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik
pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,
misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita
41
harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan
peneliti menjelajahi pengambilan sampel (Sugiyono, 2012).
Dalam penelitian ini untuk memperoleh data tidak ditentukan dari mana dan
dari siapa peneliti memulai, tetapi apabila hal tersebut sudah berjalan maka
pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Informan
ditentukan dan ditetapkan tidak berdasarkan jumlah yang dibutuhkan, melainkan
berdasarkan pertimbangan fungsi dan peran informan sesuai batas penelitian.
Kategori informan dalam penelitian adalah mereka yang terlibat langsung dalam
proses dan pengamatan terhadap tujuan peneliti (Hermanto, 2012).
Dalam hal ini, pertimbangan peneliti untuk memilih sampel adalah
masyarakat nelayan asli dari Desa Bontomarannu, masyarakat nelayan yang
melakukan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut,
masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing dan pemangku
adat. Dengan pertimbangan tersebut diharapkan peneliti mendapat data yang
maksimal untuk mendeskripsikan hasil penelitian. Dalam penelitian mengambil
informan sebanyak 11 orang yang terdiri dari 1 orang pemangku adat, 4 orang
sawi, dan 6 orang nelayan mandiri.
D. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari
informan yang terdiri dari masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, dan
aparat Desa Bontomarannu Kabupaten Takalar.
2. Data sekunder adalah data dari instansi-instansi terkait dengan kearifan
lokal masyarakat dan karakteristik masyarakat itu sendiri, seperti data dari
42
pemerintah setempat dan dokumen-dokumen yang terkait dengan
kearifan lokal masyarakat setempat.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperoleh dengan tahapan sebagai berikut :
1. Observasi (pengamatan) adalah pengamatan yang dilakukan secara
langsung dengan mengamati objek dan situasi lapangan. Pengamatan
dilakukan dengan dua cara yaitu, pengamatan biasa dan berpartisipasi.
Data yang dikumpulkan melalui pengamatan biasa adalah data yang
dapat diamati oleh peneliti tanpa menuntut keterlibatan secara langsung.
Jenis data yang diperoleh dengan cara ini adalah antara lain, keadaan
pemukiman penduduk, jenis peralatan dalam aktifitas usahanya, pola
aktivitas dan kegiatan sehari-hari penduduk. Sedangkan pengamatan
berpartisipasi dilakukan untuk memperoleh data yang menuntut
keterlibatan peneliti dalam hal ini peneliti ikut terlibat langsung dalam
aktivitas yang dilakukan oleh nelayan di Desa Bontomarannu.
2. Wawancara adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan
informasi secara lebih jelas dilakukan melalui sejumlah pertemuan
dengan informan yang didalamnya berlangsung tanya jawab dan
pembicaraan terlibat mengenai berbagai aspek permasalahan seperti
bentuk aktivitas dalam konteks kearifan lokal yang dilakukan oleh nelayan
dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.
3. Studi pustaka adalah pengambilan data yang didapatkan dengan
membaca literatur atau hasil-hasil penelitian yang relevan dengan tema
penelitian.
43
F. Analisis Data
Metode analisis utama yang digunakan adalah analisis data kualitatif
yang analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman. Pengertian kualitatif di sini
bermakna bahwa data yang disajikan berwujud kata-kata ke dalam bentuk teks
yang diperluas bukan angka-angka. Data hasil wawancara dan pengamatan
ditulis dalam suatu catatan lapangan yang terinci kemudian dianalisis secara
kualitatif. Untuk memperoleh data yang akurat, maka dibuat catatan lapangan
yang selanjutnya disederhanakan atau disempurnakan dan diberi kode data dan
masalah. Pengkodean data berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data yang
sesuai dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai dengan
masalah penelitian atau data yang diragukan kebenarannya. Data yang diperoleh
dianalisis secara komponensial dengan melalui tiga tahap :
Tahap pertama, analisis data kualitatif yang dilakukan adalah proses
reduksi data kasar dari catatan lapangan. Dalam prosesnya, dipilih data yang
relevan dengan fokus penelitian dan data yang tidak memenuhi kriteria eksklusif-
inklusif. Proses reduksi data dilakukan bertahap selama dan sesudah
pengumpulan data sampel tersusun. Reduksi data dilakukan dengan cara
membuat ringkasan data, menelusuri tema tersebar, dan membuat kerangka
dasar penyajian data.
Tahap kedua, penyajian data, yaitu penyusunan sekumpulan informasi
menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data disajikan
dalam bentuk teks naratif, mulanya terpencar dan terpisah pada berbagai sumber
informasi, kemudian diklasifikasikan menurut tema dan kebutuhan analisis.
Tahap ketiga, penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian
data. Penarikan kesimpulan berlangsung bertahap dari kesimpulan umum pada
tahap reduksi data, kemudian menjadi lebih spesifik pada tahap penyajian data,
44
dan lebih spesifik lagi pada tahap penarikan kesimpulan yang sebenarnya.
Rangkaian proses ini menunjukkan bahwa analisis data kualitatif dalam
penelitian ini bersifat menggabungkan tahap reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan secara berulang dan bersiklus.
Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang utuh terkait gejala, fakta
atau realita kearifan lokal sebagai dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis
masyarakat nelayan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar.
G. Konsep Operasional
1. Masyarakat lokal
Sejumlah besar orang yang tinggal dan berinterakasi dalam sebuah
wilayah tertentu yang mempunyai tujuan yang sama dan memiliki ciri khas
budaya tersendiri yang juga memiliki aturan dan sanksi yang mereka buat
sendiri.
2. Nelayan
Orang yang hidup dari mata pencaharian melakukan penangkapan ikan
atau hewan laut lainnya yang hidup di dasar perairan maupun permukaan
perairan dan segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir.
3. Kearifan Lokal
Nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki prinsip-prinsip
dan cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat di
tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun yang muncul dari waktu
yang lama.
45
4. Partisipasi Masyarakat
Keikutsertaan masyarakat nelayan Desa Bontomarannu secara sukarela
dalam usaha pengelolaan lingkungan laut dengan melestarikan kearifan lokal
yang telah ada.
5. Pelestarian Lingkungan Laut
Upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan laut terhadap tekanan
perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan suatu kegiatan serta menjaga
kestabilan lingkungan untuk menjadi tempat hidup manusia, hewan dan
tumbuhan.
6. Pemanfaatan Lingkungan Laut
Kegiatan yang dilakukan oleh nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya
laut sebagai sumber kehidupan atau sumber mata pencaharian baik dalam
jumlah yang besar maupun sedikit.
7. Sistem Nilai
Patokan, ukuran, anggapan dan keyakinan tentang sesuatu yang dianggap
benar, luhur dan baik yang harus dilakukan dan diperhatikan masyarakat atau
aturan lokal yang telah berlaku.
8. Norma
Aturan-aturan yang disertai sanksi tertentu yang digunakan untuk
memberikan dorongan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai nilai-
nilai yang dianut.
9. Padongko Pakrappo
Kegiatan pembacaan doa serta pembakaran lilin dengan memberikan
sesajen oleh nelayan atau istri nelayan untuk meminta permohonan
keselamatan, hasil tangkapan melimpah, dan lain-lain pada saat akan melakukan
kegiatan dilaut.
46
10. Passili
Kegiatan pembacaan doa atau syukuran yang dilakukan oleh para nelayan
sebelum berangkat kelaut agar selama perjalanan tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
11. Pamali
Pantangan atau larangan sesuatu yang tak boleh dikerjakan dengan suatu
alasan tertentu.
47
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis
Desa Bontomarannu dengan Ibukota Dusun Balang merupakan satu
entitas dari sebuah kesatuan utuh wilayah pemerintahan desa. Secara
administratif, Desa Bontomarannu yang terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun
Barua, Dusun Mandi, Dusun Balang, Dusun Talisea. Selain itu Desa
Bontomarannu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Gambar 2. Peta Desa Bontomarannu
Sumber : Data Sekunder, 2017
Sebelah Utara berbatas dengan Desa Popo
Sebelah Timur berbatas dengan Desa Barammamase
Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Kalukubodo
Sebelah Barat berbatas dengan Selat Makassar
Gallarrang Popo, Gallarrang Barammamase, Daengta Kalukubodo, dan
Daengta Mangendara merupakan 4 (empat) daerah yang digabungkan menjadi
satu daerah dan diberi nama Bontomarannu dan berada pada naungan
pemerintahan distrik Galesong. Kepela Pemerintahan saat itu, dengan wilayah
48
kerja meliputi 4 (empat) wilayah penggabungan dan wilayah kerja masing-masing
4 (empat) wilayah tersebut di kepalai oleh Kepala Kampung. Bontomarannu
terbentuk pada Tahun 1951 atau 5 (lima) tahun sesudah masa kemerdekaan
Republik Indonesia. Pada saat Pembentukan Desa Bontomarannu sudah ada
istilah Desa dan dipimpin oleh Kepala Desa sampai sekarang. Desa
Bontomarannu dalam perjalananya mengalami perubahan wilayah kerja dimana
Bontomarannu dimekarkan menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Bontomarannu dan
Desa Barammamase, kemudian Pemekaran Barammammase di mekarkan lagi
Menjadi 2 (dua) yaitu Desa Barammamase dan Desa Popo, dan pada saat itu
Desa induk yaitu Bontomarannu dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu
Desa Bontomarannu dan Desa Mangindara, dan kemudian Kembali
Bontomarannu dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu Desa Bontomarnnu
dan Desa Kalukubodo.
B. Kondisi Demografi
Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan data Kesehatan tahun 2017
berjumlah 2.164 jiwa tersebar di 4 (empat) dusun, dengan jumlah penduduk
terbesar berada pada Dusun Mandi dan jumlah penduduk terkecil berada pada
Dusun Talisea. Dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan.
Berikut adalah tabel 2 jumlah penduduk Desa Bontomarannu
berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)
1. Laki-laki 1.104 51
2. Perempuan 1.060 49
Jumlah 2.164 100
Sumber : Data Sekunder, 2017
49
Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa rasio jumlah penduduk
yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk yang
berjenis kelamin perempuan perdusun dengan perbandingan 1.104 jiwa yang
berjenis kelamin laki-laki dan 1.060 jiwa yang berjenis kelamin perempuan.
Dengan jumlah persentase untuk berjenis kelamin laki-laki sebesar 51 %
sedangkan untuk berjenis kelamin perempuan sebesar 49 %.
Tabel 3. Pembagian Jumlah Penduduk berdasarkan Dusun Di Desa Bontomarannu
No. Nama Dusun Jumlah
Kepala Keluarga Persentase (%)
1. Dusun Mandi 152 kk 32
2. Dusun Barua 142 kk 29
3. Dusun Balang 121 kk 25
4. Dusun Talisea 67 kk 14
Jumlah 482 kk 100
Sumber : Data Sekunder, 2017
Dengan keseluruhan jumlah kepala keluarga sebanyak 482 kk. Desa
Bontomarannu terbagi atas 4 (empat) dusun, dengan jumlah kepala keluarga di
Dusun Mandi sebanyak 152 kk, Dusun Barua sebanyak 142 kk, Dusun Balang
sebanyak 121 kk, dan Dusun Talisea sebanyak 67 kk. Dengan jumlah
persentase masing-masing dusun, Dusun Mandi dengan jumlah persentase 32
%, Dusun Barua sebesar 29 %, Dusun Balang sebesar 25 %, dan terakhir Dusun
Talisea sebesar 14 %. Dan berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa
Dusun Mandi memiliki persentase tinggi yaitu sebesar 32 % karena jumlah
penduduk yang lebih banyak dibandingkan dusun lain. Sedangkan untuk jumlah
persentase terendah pada Dusun Talisea sebesar 14 % karena jumlah penduduk
paling sedikit di Dusun Talisea.
Penduduk Desa Bontomarannu dilihat dari 4 (empat) tahun terakhir 2013-
2017 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Akibat bertambahnya
50
jumlah penduduk setiap tahun, tingkat kepadatan penduduk di Desa
Bontomarannu juga mengalami peningkatan.
C. Keadaan Sosial Ekonomi
Penduduk Desa Bontomarannu sesuai data penduduk pada tahun 2017
sebanyak 482 jiwa yang tercatat sebagai kepala keluarga. Data demografi
penduduk di desa ini juga memperlihatkan bahwa sebagian besar dari penduduk
kehidupannya sangat tergantung dari sektor perikanan, dengan berprofesi
sebagai nelayan. Disamping itu mata pencaharian sebagai petani menempati
posisi kedua, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu
No. Mata Pencaharian Jumlah
Kepala Keluarga
Persentase
(%)
1. Nelayan 141 29
2. Petani 43 9
3. Wiraswasta 22 5
4. Pelajar/Mahasiswa 5 1
5. PNS 11 2
6. Polisi/Tentara 4 1
7. Pelaut 3 1
8. Pedagang 5 1
9. Guru 3 1
10. Belum/Tidak Bekerja 151 31
11. Mengurus Rumah Tangga 89 18
12. Dan lain-lain 5 1
Jumlah 482 100
Sumber : Data Sekunder, 2017
Dapat dilihat dari tabel 4 diatas, bahwa profesi yang ditekuni sebagian
besar penduduk Desa Bontomarannu adalah nelayan sebesar 29% yang
disebabkan wilayah Desa Bontomarannu berada pada kawasan pesisir atau
51
pantai yang memudahkan para nelayan untuk pergi melaut dan menangkap ikan.
Sedangkan untuk pekerjaan pelajar/mahasiswa, polisi/tentara, pelaut, pedagang,
guru adalah profesi yang paling sedikit ditekuni yang hanya berjumlah 1%
sedangkan dan lain-lain ini jenis pekerjaan yang ditekuni adalah konsultan,
bidan, perawat, buruh harian lepas, dan sopir dengan nilai persentase sebesar
1%.
Penduduk yang sebagian besar nelayan ini, ternyata pendidikannya
sangat rendah hampir sebagian diantaranya hanya mampu menyelesaikan
pendidikannya sebatas sekolah dasar (SD) saja bahkan ada yang tidak tamat.
Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, kurang
memperhatikan yang namanya pendidikan dengan salah satu alasan terkendala
oleh biaya pendidikan dan ingin membantu orangtua mencari nafkah.
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1. Tidak Pernah Sekolah 597 27,6
2. Belum Sekolah 134 6,2
3. Tidak Tamat SD 459 21,2
4. TK 56 2,6
5. SD 672 31,1
6. SMP 107 4,9
7. SMA 114 5,3
8. D-3 5 0,2
9. S-1 17 0,8
10. S-2 3 0,1
Jumlah 2164 100
Sumber : Data Sekunder, 2017
Berdasarkan tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa jumlah tertinggi tingkat
pendidikan penduduk di Desa Bontomarannu ada pada tingkatan Sekolah Dasar
(SD) yaitu sebesar 672 orang dengan total persentase 31,1% sedangkan untuk
52
penduduk yang melanjutkan pendidikan S-2 hanya berjumlah 3 orang yang
paling terendah dengan total persentase 0,1%.
Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Bontomarannu
adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Sarana dan Prasarana di Desa Bontomarannu
No. Sarana prasarana Jumlah
1 Mesjid 4
2 Puskesmas 1
3 Kantor Kelurahan 1
4 Lapangan 1
5 Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) 2
6 Sekolah Dasar (SD) 2
7 Wc Umum 6
Sumber : Data Sekunder, 2017
Berdasarkan tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana
yang ada di Desa Bontomarannu adalah Mesjid, Puskesmas, Kantor Kelurahan,
Lapangan, Sekolah, dan Wc umum. Mesjid digunakan sebagai tempat ibadah
bagi masyarakat yang beragama islam. Fasilitas pendidikan yang ada yaitu
Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 2 buah dan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2
buah. Sedangkan fasilitas olahraga berupa lapangan olahraga. Fasilitas
kesehatan yang ada yaitu Puskesmas sebanyak 1 unit. Dan Wc umum yang
berjumlah 6 buah tersebar diseluruh desa.
Untuk agama yang dianut penduduk Desa Bontomarannu, hampir semua
masyarakatnya beragama islam. Hanya 1 (satu) orang penduduk yang beragama
Kristen karena dia berasal dari luar Desa Bontomarannu yang kemudian menikah
dengan salah satu penduduk Desa Bontomarannu.
53
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk Dan Aktivitas Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan
Laut
Kearifan lokal merupakan suatu cara pandang atau pengetahuan serta
perilaku sosial masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut pendapat Zulkarnain (2007), Perilaku sosial dalam kaitannya dengan
lingkungan, paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu : pertama, bagaimana
karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku sosial tertentu, dan
kedua, bagaimana perilaku sosial tertentu mempengaruhi karakteristik dan
kualitas lingkungan.
Dijelaskan bahwa dimensi yang pertama selalunya terjadi pada
masyarakat tradisional, dimana terdapat ketergantungan yang tinggi terhadap
perubahan lingkungan alam. Dimensi yang kedua biasanya terjadi pada
masyarakat modern, karena penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi
telah memunculkan kemampuan dan keahlian bahwa manusia mampu mengatur
dan mengendalikan kondisi lingkungan (Zulkarnain, 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat Desa
Bontomarannu dikategorikan pada dimensi pertama yang merupakan
masyarakat tradisional yang pada umumnya mengenal dengan baik lingkungan
disekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka telah mengetahui berbagai
ekosistem alam yang ada disekitarnya dan telah terbiasa hidup dengan alam
yang menyebabkan mereka mengenal dan mengetahui berbagai cara
memanfaatkan lingkungan.
Desa Bontomarannu merupakan kampung nelayan yang sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Dimana pekerjaan
sebagai nelayan sangat menggantungkan hidupnya terhadap alam dan apabila
54
terjadi perubahan alam akan menyebabkan hasil laut atau hasil tangkapan yang
mereka dapatkan akan berkurang atau mungkin tidak mendapatkan hasil.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa masyarakat di
Desa Bontomarannu adalah masyarakat yang memiliki bentuk dan aktivitas
kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan laut. Mereka
telah lama melaksanakan kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan
lingkungan laut yang telah diwariskan secara turun temurun dan berdasarkan
atas pengalaman yang didapatkan. Mereka secara tidak sadar telah melakukan
pengelolaan lingkungan laut dalam hal memanfaatkan sumberdaya laut dan
menjaga kelestarian laut baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga
lingkungan laut mereka cukup terjaga saat ini.
Pada masyarakat di Desa Bontomarannu, pengelolaan lingkungan laut
yang dilakukan telah menyesuaikan dengan karakteristik atau ciri khas yang
mereka miliki. Kearifan lokal biasanya hanya sebagai suatu ciri khas pada suatu
daerah tetapi kearifan lokal juga dapat berfungsi untuk menjaga dan melestarikan
lingkungan laut. Kearifan lokal yang masih sangat kental dan terlihat hingga saat
ini adalah mereka masih percaya dengan pamali/tabu dan ritual-ritual yang
dianggap sakral untuk meminta keselamatan diri dan ungkapan rasa syukur
mereka terhadap hasil tangkapan yang didapatkan,
Penjelasan berikut mengidentifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat di Desa Bontomarannu dalam pengelolaan lingkungan laut yang
terbagi atas dua yaitu dalam hal pemanfaatan lingkungan laut dan konservasi
(pelestarian) lingkungan laut.
1. Kearifan Lokal dalam Aktivitas Pemanfaatan Lingkungan Laut
Kegiatan pemanfaatan lingkungan laut merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan dengan memanfaatkan segala potensi yang ada dilingkungan laut.
55
Masyarakat Desa Bontomarannu telah melakukan pemanfaatan lingkungan laut
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dalam melakukan proses
pemanfaatan lingkungan laut tidak terlepas dari kearifan lokal yang mereka
percaya sejak dahulu.
Menurut hasil penelitian yang telah saya lakukan, terdapat dua kearifan
lokal yang berlaku dan termasuk dalam kegiatan pengelolaan lingkungan laut.
Pertama dalam hal penentuan waktu dan musim yang akan dilakukan sebelum
melakukan proses penangkapan dan kedua adalah penggunaan alat tangkap.
Kearifan lokal tersebut telah mereka ketahui secara turun temurun dan dilakukan
sejak dahulu. Nilai kearifan lokal yang terkandung pada masing-masing kegiatan
pemanfaatan lingkungan laut tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, tentang penentuan waktu dan musim. Dalam melakukan proses
penangkapan ikan, diketahui bahwa para nelayan di Desa Bontomarannu
melakukan perhitungan atau penentuan waktu dan musim. Penentuan ini sangat
memberikan pengaruh terhadap keberhasilan penangkapan nelayan, jika
kegiatan penangkapan dilakukan pada waktu dan musim yang benar maka
kegiatan penangkapan akan mendapatkan hasil yang baik
Mereka percaya bahwa kesalahan dalam penentuan waktu
pemberangkatan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat
menimbulkan hal yang fatal. Sehingga dalam penentuan waktu pemberangkatan
kapal harus dilakukan perhitungan secara teliti dan secermat mungkin agar tidak
menimbulkan kesalahan. Penentuan waktu ini yang dikatakan sebagai waktu
yang baik dalam melakukan aktivitas dilaut telah menjadi kebiasaan dan sebuah
tradisi yang telah lama dijalankan dan dipertahankan berdasarkan pengalaman
yang sudah mereka alami sendiri selama dilaut.
56
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Japa (55 tahun)
mengatakan bahwa :
“…iyangasenna punggawaya massing ammake buku pa’pijojo napake a’boya ri je’ne. anjo bukunna sannami sallona nialleangi ri pa’tau toanna, mange ri anak cucu cucunna sollana baji tallasa’ katallassanna sikamma a’boya boya ri je’ne. ingaka nia tau ammake menuru pengalamanna na gappa ritampatangnga selama a’boya boya je’ne, nasaba allo siagang bangngia tena singkamma kamma…” (Rata-rata para punggawa memiliki buku pegangan yang digunakan pada saat pergi kelaut. Buku tersebut telah lama dimiliki, diberikan secara turun-temurun yang diberikan anak cucu-cucunya. Oleh sebab itu, buku tersebut telah lama digunakan karena hal itu telah dipakai ketika akan turun dilaut. Ada beberapa juga berdasarkan hasil pengalaman yang dimiliki yang didapatkan selama dilaut karena keadaan sekarang telah berbeda yang dimana cuaca tidak menentu) Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa setiap punggawa
memiliki suatu buku pegangan yang telah lama digunakan dan diberikan secara
turun-temurun. Oleh sebab itu, punggawa yang akan menentukan waktu
keberangkatan untuk pergi melaut selain karena memiliki buku pegangan
punggawa juga adalah pemilik kapal. Penentuan waktu yang ditentukan oleh
punggawa sehingga punggawalah yang sangat berkaitan dengan hasil
tangkapan yang diperoleh dan ketika punggawa melakukan kesalahan akan
menyebabkan kerugian.
Wawancara diatas juga mengatakan bahwa seorang punggawa
menentukan waktu berdasarkan juga akan pengalaman yang telah didapatkan
selama melaut. Pengalaman yang didapatkannya tersebut membuat dia
mengenal laut secara dalam dan mengetahui lebih jelas kapan waktu-waktu
harus pergi melaut. Disini juga tetap menggunakan akan buku pegangan yang
dia miliki, punggawa mengkombinasikan berdasarkan buku yang dimiliki dan
pengalaman yang dia dapatkan. Namun pada saat sekarang, dalam melakukan
kegiatan melaut punggawa akan sangat memperhatikan faktor musim karena
sekarang kondisi musim yang berubah-ubah. Hal ini juga ada kaitannya dengan
perubahan iklim yang terjadi.
57
Untuk penentuan waktu ini hanya dilakukan pada pemilik kapal besar
yang akan berangkat melaut sampai berbulan-bulan hingga bertahun-tahun
karena wilayah penangkapannya sangat luas sampai keluar Pulau Sulawesi
bahkan ada yang sampai kedaerah perbatasan Negara Australia sehingga perlu
adanya penentuan waktu yang mereka lakukan. Sedangkan untuk para nelayan
mandiri yang hanya menggunakan kapal kecil, tidak ada penentuan waktu yang
mereka lakukan. Mereka melakukan penangkapan ikan setiap hari tanpa
menentukan perhitungan waktu karena mereka hanya melakukan penangkapan
ikan selama satu hari atau hanya beberapa jam selama dilaut dan wilayah
penangkapannya hanya sekitar daerah Kabupaten Takalar.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Burhan (54 tahun)
mengatakan bahwa :
“…nelayan niaki ri pa’kampongan massing ammalaki carana a’boya juku, singkamma punggawaya niaka kappala’ lompona na rekeng memangmi. Siapa sallonna lampanna, nasaba’ na sallo lampanna. Ingka nakke paboya caddia tenaja kumake, iyaji ku bataei linoa iyareka cuacaya niaka, punna lampa mekang juku…” (Nelayan disini memiliki hal masing-masing dalam melakukan penangkapan ikan. Seperti punggawa yang memiliki kapal besar, yang biasanya menggunakan perhitungan waktu karena pada saat dilaut membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi berbeda dengan halnya saya yang hanya nelayan kecil, tidak perlu menggunakan hal tersebut (perhitungan waktu). Saya hanya melihat keadaan alam atau cuaca yang ada ketika melakukan penangkapan ikan) Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa seorang nelayan
mandiri tidak melakukan perhitungan waktu yang seperti dilakukan oleh
punggawa. Hal itu disebabkan karena para punggawa pada saat berada dilaut
membutuhkan waktu yang cukup lama berbeda dengan nelayan kecil atau
nelayan mandiri yang hanya berangkat satu hari atau beberapa jam saja.
Nelayan kecil hanya mengandalkan keadaan alam sekitar yang mereka lihat.
Kondisi alam yang dimaksud adalah arus air laut, angin yang berhembus, dan
pergerakan awan.
58
Biasanya dalam penentuan waktu dilakukan berdasarkan dengan melihat
gejala alam sekitar yang terjadi. Sama halnya dengan nelayan yang berada
didaerah lain, nelayan tidak akan pergi melaut pada saat musim angin barat.
Begitupun dengan nelayan di Desa Bontomarannu mulai mengurangi aktivitas
melaut atau tidak pergi melaut ketika musim angin barat telah masuk. Pada saat
musim angin barat dianggap sebagai waktu yang kurang baik untuk melakukan
penangkapan dilaut. Mereka mengetahui bahwa musim angin barat akan terjadi
gelombang besar dan hujan yang sangat deras sehingga dapat menimbulkan
bahaya pada saat melakukan aktivitas penangkapan dilaut.
Di Desa Bontomarannu tidak terdapat penentuan hari yang dianjurkan
dan hari yang dilarang. Para nelayan menganggap bahwa tidak ada hari tertentu
yang di ‘tabuhkan’ ketika pergi menangkap ikan, mereka hanya mengandalkan
kondisi alam yang muncul dalam melihat hari yang baik untuk melakukan
penangkapan dilaut. Ini hanya tergantung dari masing-masing nelayan yang
menggangap hari apa saja yang dianggap baik dan buruk. Biasanya mereka
tidak pergi melaut, ketika adanya ritual adat yang dilaksanakan dan ketika
adanya hari raya besar Islam.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Japa (55 tahun)
mengatakan bahwa :
“…Anrinni tenaja make allo pa’lampang mange ri tamparangan, sambarang alloji iya mami eroka lampa. Punna nakana bajiki alloa lampa nampapiseng a’lampa, punna nakana kodi alloa tena na si’ra lampa. Battu ri punggawa mami allo apa baji pa’lampanna…” (Disini tidak ada ditentukan hari yang akan berangkat kelaut. Bebas dan terserah dari kita hari apa akan pergi. Apabila merasa bahwa hari itu adalah baik maka kita akan pergi. Ketika memang hari itu adalah hari buruk maka tidak akan pergi. Tergantung dari setiap punggawa, hari yang dia rasa baik) Dalam penentuan musim ini, biasanya berdasarkan pengalaman berlayar
nelayan yang mengenal tanda-tanda pada musim tertentu. Ini merupakan
pengetahuan tersendiri bagi para nelayan yang telah menjadi sebuah kebiasaan
59
dalam melihat pergantian musim. Para nelayan biasanya melihat pergantian
musim dari perubahan arus gelombang laut atau pasang surut air laut. Hal ini
sama dengan pendapat yang dikemukan oleh Hasmah (2014) dalam jurnalnya
yang menyatakan, para nelayan tradisional melakukan aktivitasnya setiap hari
selalu berulang-ulang dan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung dari
waktu-waktu, dari generasi ke generasi melahirkan sistem pengetahuan
tersendiri.
Para nelayan melihat musim yang baik untuk melakukan penangkapan
ikan. Pada musim angin barat, sebagian nelayan yang menggunakan kapal kecil
tidak dapat mencari ikan karena dapat membahayakan keselamatan nelayan.
Walaupun ada nelayan yang melaut, hasil tangkapan yang didapatkan hanya
sedikit. Sedangkan untuk kapal yang berukuran besar yang telah berada dilaut,
biasanya akan mencari pulau terdekat untuk bersandar dan berlindung dari angin
dan gelombang yang besar. Pada waktu inilah beberapa jenis ikan akan
melakukan pemijahan sehingga kegiatan tidak menangkap ikan akan
memberikan kesempatan bagi berbagai jenis ikan untuk berkembang biak.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Sattu (48 tahun)
mengatakan bahwa :
“…Punna antami musim bara’ka, tenamo kulampa ri tamparangnga, na saba’ lompomi bombanganga siagang sarromi bosia tena ni passai dudui katalassanga. Nasaba biseang nipakea biseang ca’di…” (Ketika mulai memasuki musim barat, saya akan berhenti melaut. Akan terjadi ombak yang besar dan hujan yang deras, kami tidak akan memaksa keadaan. Perahu yang digunakan hanya perahu kecil) Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa para nelayan
di Desa Bontomarannu akan mulai mengurangi atau tidak akan melakukan
aktivitas penangkapan ketika musim angin barat telah masuk sehingga
pemasukan pendapatan mereka tidak ada atau berkurang. Mereka hanya
mengandalkan tabungan yang selama ini dikumpulkan ketika melakukan
60
penangkapan ikan karena untuk sebagian nelayan tidak mempunyai pekerjaan
sampingan. Mereka hanya bekerja sebagai nelayan sebagai mata
pencahariannya sedangkan untuk para istri mereka tidak memiliki pekerjaan dan
hanya sebagai ibu rumah tangga.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa nelayan di Desa Bontomarannu
dalam hal penentuan waktu dan musim dalam penangkapan ikan merupakan
salah satu sistem pengetahuan yang diketahui nelayan yang telah dilakukan dari
waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi yang dapat mempengaruhi
aktivitas penangkapan ikan. Sebuah sistem pengetahuan yang lahir dari
pengalaman yang didapatkan dan adanya cerita dari orang terdahulu merupakan
salah satu bentuk kearifan lokal bagi para nelayan yang memberikan keuntungan
tersendiri didalam proses penangkapan ikan seperti terhindarnya dari bahaya
akan musim angin barat.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kearifan lokal dalam
penentuan waktu sebelum melakukan penangkapan sesuai dengan dimensi
pengetahuan lokal menurut Mitchel (2003) dalam Riadi (2017) yang menyatakan
bahwa dimensi pengetahuan lokal adalah setiap masyarakat yang memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya karena masyarakat
memiliki pengetahuan lokal dala menguasai alam seperti halnya pengetahuan
masyarakat mengenai perubahan iklim dan sejumlah gejala-gejala alam lainnya.
Kedua, tentang penggunaan alat tangkap. Salah satu cara yang baik
untuk menjaga pelestarian dalam lingkungan laut adalah dengan menggunakan
alat tangkap tradisional. Penggunaan alat tangkap tradisional lebih ramah
lingkungan, efektif dan hasil tangkapan lebih selektif sehingga dapat
mempertahankan kondisi potensi sumberdaya perikanan yang ada.
Alat tangkap tradisional yang digunakan oleh masyarakat nelayan Desa
Bontomarannu adalah pancing dengan jumlah mata pancing yang berbeda-beda
61
tergantung jenis ikan yang akan ditangkap. Alat tangkap yang digunakan cukup
ramah lingkungan dan tidak merusak alam. Penggunaan teknologi alat tangkap
ikan di Desa Bontomarannu dipengaruhi oleh aktivitas nelayan, karena setiap
nelayan memiliki kebiasaan tersendiri. Setiap kebiasaan nelayan akan
mempengaruhi alat tangkap yang mereka pergunakan.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Tobo (50 tahun)
mengatakan bahwa :
“…Anrinni ri kampongnga pekangji na pake, tena tau ero’ make jala iyareka langra”, nia le’ba ammake jala iyareka langra’ ingka susai na pake. Taua ri galesongji biasa na pake. Punna pangra anjo lanra’na tena tommo lampa boya juku, bedai singang pekangnga kulleji ni bajiki rate biseang. Punna jala tena kulle ni bajiki, anjoengpi ri balla’na siangang jalaya sipa’na amamraki na saba’na jala na laloi ni gappa. Siangang poeng punna tassambang ri batu karangnga pasti kekkeki iyareka pangraki poeng. Susai na baji punna jala ni pake…” (Di daerah ini hanya menggunakan pancing, tidak ada yang menggunakan jaring. Pernah ada yang gunakan jaring tapi sulit digunakan, orang galesong yang biasanya menggunakan. Ketika jaring itu rusak, maka kita akan berhenti menangkap ikan, berbeda dengan pancing yang bisa diperbaiki diatas kapal. Berbeda hal dengan jaring yang harus diperbaiki dirumah dan jaring juga bersifat merusak karena jaring setiap yang dilewati akan ditangkap. Dan ketika melewati batu karang akan dirusak juga. Menggunakan jaring hanya akan menimbulkan masalah) Dari penuturan diatas dapat ketahui, bahwa penggunaan teknologi alat
tangkap yang digunakan oleh para nelayan hingga saat ini adalah pancing.
Meskipun pancing ini merupakan alat tangkap yang tradisional tapi eksistensi
terhadap pemakaiannya masih terjaga dan tidak tergerus oleh alat tangkap yang
modern seperti jaring. Para nelayan masih menggunakan pancing karena alat
dan bahannya mudah didapatkan, selain itu harganya yang cukup terjangkau
dan cara pembuatannya juga tidak terlalu rumit sehingga tidak perlu keahlian
khusus dalam pembuatan pancing tersebut.
Dalam pemakaian pancing ini juga tidak telalu sulit, hanya memegang
langsung tali senar pancing yang telah di pasangkan umpan kemudian
62
diturunkan ke dalam laut. Penggunaan alat tangkap pancing ini cukup efektif dan
selektif dalam tangkapan ikan yang didapatkan karena ikan yang ditangkap dapat
pilih sesuai keinginan tergantung umpan yang digunakan dan tidak menangkap
ikan yang berukuran kecil atau belum dewasa serta tidak merusak lingkungan
laut atas pemakaiannya.
Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap tradisional tetapi tidak
merusak lingkungan dan tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar apabila
terjadi kerusakan dalam penggunaannya. Penggunaan teknologi alat tangkap
pancing yang digunakan oleh nelayan secara tidak langsung telah menjaga
lingkungan laut dan melestarikan keanekaragaman biota laut meskipun nelayan
hanya melihat dari cara penggunaannya dan kerugian materi yang ditimbulkan.
Selain itu, para nelayan juga tidak menggunakannya karena dalam perbaikan
alat tangkap jaring yang cukup rumit dan perlu keahlian khusus serta
memerlukan waktu dalam proses perbaikannya. Berbeda dengan pancing, ketika
mengalami kerusakan dapat diperbaiki diatas kapal dan tidak memakan waktu
yang lama dalam perbaikannya sehingga ketika alat tangkap pancing rusak
dapat langsung diperbaiki dan langsung dapat digunakan.
Dengan penggunaan alat tangkap pancing yang memiliki nilai kearifan
lokal tersendiri yang telah tumbuh dan berkembang pada para nelayan. Alat
tangkap pancing tersebut, secara sadar maupun tidak sadar telah menumbuhkan
nilai atau sikap kesabaran dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sehingga
mereka mulai menghargai lingkungan laut. Ketika para nelayan melakukan
aktivitas penangkapan ikan dilaut dengan menggunakan alat tangkap pancing
akan membuat mereka menunggu selama berjam-jam sampai umpan yang
dipasang akan dimangsa ikan. Apalagi nelayan akan pergi menangkap ikan pada
waktu subuh sekitar jam 03.00 atau jam 04.00 sampai jam 10.00 atau jam 11.00
63
sehingga hal tersebut akan menimbulkan sikap sabar dalam menunggu hasil
tangkapan.
Sikap rasa kepedulian juga muncul ketika menggunakan alat tangkap
pancing karena dalam melakukan penangkapan ikan tidak serta merta menguras
sumberdaya laut secara berlebihan dan tidak akan merusak lingkungan. Dengan
menggunakan alat tangkap pancing menimbulkan suatu sistem pengetahuan
lokal tentang daerah penangkapan sehingga para nelayan dapat mengetahui
keberadaan ikan. Keberadaan ikan ini dapat diketahui dengan melihat simbol
alam seperti banyaknya bebatuan yang muncul dipermukaan laut dan dengan
melihat ikan-ikan yang muncul dipermukaan laut karena nelayan Bontomarannu
biasanya menangkap jenis ikan pelagis.
Pada saat memancing, tentu para nelayan mempunyai lokasi yang
mereka ketahui bahwa daerah tersebut terdapat banyak jenis ikan yang dapat
ditangkap. Para nelayan menyebut daerah penangkapan tersebut adalah daerah
Taka Mandi. Daerah Taka Mandi merupakan suatu tempat bagi para nelayan
ketika yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan. Daerah tersebut
merupakan daerah yang hanya diketahui oleh nelayan di Desa Bontomarannu
dan tempat yang dijadikan sebagai tempat memancing atau menangkap ikan.
Pengetahuan lokal yang nelayan ketahui dengan melihat simbol alam dan daerah
penangkapan didapatkan secara turun-temurun agar dapat dengan mudah
melakukan penangkapan ikan.
Dengan penjelasan diatas, dengan menggunakan alat tangkap pancing
yang masih bersifat tradisional dapat dikatakan bahwa masyarakat nelayan Desa
Bontomarannu telah menggunakan dimensi-dimensi kearifan lokal yaitu dimensi
sumber daya lokal. Menurut Mitchell (2003) dalam Riadi (2017) yang menyatakan
“Setiap masyarakat akan menggunakan sumberdaya lokal sesuai dengan
kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besaran atau
64
dikomersialkan. Masyarakat dituntut untuk menyimbangkan keseimbangan alam
agar tidak berdampak bahaya baginya.”
Untuk nelayan di Desa Bontomarannu tidak menggunakan bahan peledak
bom dan bius untuk menangkap ikan karena mereka percaya bahwa bahan
tersebut dapat merusak lingkungan yang dapat membuat para roh-roh atau
leluhur yang tinggal di lokasi penangkapan marah dan murka sehingga dapat
menyebabkan terjadinya bahaya dan kekurangan atas rezekinya dengan
kurangnya hasil tangkapan yang didapat.
Untuk sebagian warga nelayan meyakini juga bahwa bahan peledak bom
dapat membahayakan diri sendiri dan merugikan secara materi seperti terjadinya
peledakkan tiba-tiba diatas kapal yang menyebabkan kehilangan nyawa,
kerusakan kapal. Penggunaan bahan peledak bom dan bius juga dilarang keras
oleh Kepala Desa Bontomarannu dan polisi laut setempat yang selalu melakukan
pengawasan yang ketat terhadap alat tangkap yang dilarang dan dapat merusak
lingkungan. Pemberlakuan hukum atas pemakaian bom dan bius juga sangat
ketat yang dapat membuat para nelayan tidak akan menggunakannya seperti
ditangkap dan ditahan dengan masa tertentu.
Berikut adalah penuturan responden, (Dg. Sattu, 48 tahun) :
“…Tena nia ammake bom anrinni, iya ji biasa ammake iyami antu tau puloa. Katte ni kassuiki ammake bom anrinni. Pak desa larroi punna nia na langgere ammake bom anrinni, sarropa poeng punna nacini langsung. Ammake pa’balle bius siangang bom sanna bahayana, niondangki. Anrinni ri kampongnga tena tau barani ammake bom nasaba mallaki nilappoki rate biseang. Kamma ri sitaung laloa, nasaba nia tau nilappoki limanna siangang bangkenna…” (Tidak ada yang menggunakan bom disini, yang biasa menggunakan adalah orang pulau. Kami disini di larang menggunakan bom. Kepala Desa akan marah apabila mendengar ada yang menggunakan bom apalagi ketika dia melihat secara langsung. Pemakaian bius dan bom sangat berbahaya, kami akan dikejar. Didaerah ini tidak ada yang berani memakai bom karena dapat meledak diatas perahu. Seperti beberapa tahun yang lalu, telah ada kaki dan tangannya diamputasi akibat bom)
65
Mereka juga tidak ingin merusak laut karena hal ini terkait dengan mitos
yang mereka percaya bahwa melakukan pengrusakan terhadap sumberdaya laut
akan membuat roh atau leluhur yang tinggal di laut akan marah dan murka
sehingga dapat menyebabkan terjadinya bahaya dan kekurangan atas rezekinya
dengan kurangnya hasil tangkapan yang didapat. Sebenarnya kurangnya atas
hasil tangkapan yang didapatkan akibat dari perbuatan mereka sendiri apabila
melakukan kerusakan laut. Seperti melakukan pengeboman dan penangkapan
secara berlebihan, sehingga menyebabkan rusaknya terumbu karang yang
merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan dan tidak membiarkan ikan untuk
hidup berkembang biak dengan baik.
2. Kearifan Lokal dalam Aktivitas Pelestarian Lingkungan Laut
Laut merupakan bagian utama dan tempat mencari rezeki bagi
masyarakat nelayan Desa Bontomarannu. Hal ini adalah pemahaman terhadap
unsur alam yang sangat kuat di kalangan masyarakat nelayan. Laut merupakan
bagian dari lingkungan yang dapat mengambil manfaat dari manusia dengan
kelebihan yang dimiliki. Manusia pun dapat mengambil manfaat dari lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan. Bentuk perilaku pelestarian lingkungan yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Bontomarannu tercermin dalam kehidupan
seharian mereka yang menganggap laut adalah tempat sakral sehingga
masyarakat menghormati kawasan laut mereka.
Cara hidup masyarakat nelayan yang melihat kehidupan jauh kedepan
sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya. Lingkungan yang ditujukan
untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan memenuhi
kebutuhan hidup sendiri. Pandangan mereka dalam kelestarian lingkungan,
sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan dimana mereka
beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk
66
lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat dengan
kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya.
Masyarakat pesisir Desa Bontomarannu memiliki potensi dan kekayaan
lokal yang masih mereka pertahankan hingga saat ini. Kearifan tersebut dianut
sebagai bentuk peradaban dan sistem nilai serta pranata berkaitan dengan
usaha pemanfaatan dan konservasi sumberdaya laut dan pesisir. Kekayaan
kearifan lokal/tradisi tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup secara
harmonis dengan alam lingkungannya. Dalam pelestarian sumberdaya laut
masyarakat Bontomarannu selalu mengikuti kebiasaan yang sudah menjadi
tradisi adat yakni dengan melakukan acara ritual yang menurut sistem
kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat ritual tersebut dapat
memberikan hasil usaha mereka sebagai nelayan maupun keselamatan mereka
selama melaut.
Hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat nelayan Desa
Bontomarannu dalam hal melakukan pelestarian sumberdaya pesisir terdapat 3
(tiga) nilai dan norma yang berlaku hingga saat ini.
Pertama, ritual adat terhadap laut. Ritual terhadap laut ini merupakan
kegiatan masyarakat yang telah dilaksanakan secara turun temurun sehingga
menjadi suatu peninggalan dari nenek moyang mereka yang terdahulu. Kegiatan
ini dilakukan sebagai bentuk hormat dan memohon restu kepada makhluk-
makhluk gaib yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam
semesta ini.
Di Desa Bontomarannu memiliki kearifan atau tradisi yang terdapat
sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada
penguasanya yang disebut “Karaeng Loe’” dan penguasa didarat atau penguasa
kampung/desa disebut Patanna pa’rasangan. Adanya sistem kepercayaan ini
67
mendorong pemangku adat untuk melakukan ritual/upacara memberi makan atau
persembahan kepada penguasa laut dan penguasa darat.
Didesa ini terdapat sebuah rumah yang mereka bangun secara sukarela
untuk roh yang mereka percaya sebagai pemilik laut yang bernama Karaeng
Loe’. Menurut masyarakat setempat bahwa Karaeng Loe’ adalah sebutan nama
makhluk gaib yang mereka percayai sebagai penguasa atau pemilik laut yang
harus mereka hormati karena laut merupakan sumber mata pencaharian bagi
nelayan.
Rumah ini terbuat dari kayu sebagai tiang dan pondasi, yang dindingnya
terbuat anyaman bambu yang dibungkus plastik agar debu tidak masuk kedalam
rumah tersebut. Rumah ini dibuat dengan sedemikian rupa seperti ada orang
yang menempatinya karena didalamnya terdapat sebuah ranjang yang dilengkapi
dengan bantal dan guling beserta sarung dan sajadah. Sedangkan untuk rumah
Patanna pa’rasangan (roh pemilik kampung) untuk ukurannya lebih kecil dari
rumah Karaeng Loe’ dan berbentuk segi empat. Ukuran rumah tersebut hanya
1,5 m x 1,5 m dan terbuat dari kayu sebagai dinding dan atapnya dari seng yang
mulai rusak serta hanya beralaskan tanah atau pasir.
Berikut adalah jenis kegiatan ritual adat yang masih dipertahankan dan
dilakukan hingga saat ini yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Desa
Bontomarannu.
68
Tabel 7. Jenis Kegiatan Ritual Adat pada Desa Bontomarannu
No Jenis Ritual Tujuan Bentuk Ritual Tata Cara Waktu Ket.
1. Upacara Penghormatan
Laut
Bentuk hormat dan memohon
restu serta bentuk syukur
terhadap hasil tangkapan
yang didapatkan kepada roh
laut atau makhluk-makhluk
gaib
Sesajen berupa :
- Pisang
- Songkolo (Nasi
ketan)
- Onde-onde
- Telur ayam
kampong
- Kolak pisang
- Ayam masak
- Dupa
Sesajen akan
disimpan diatas baki’
kemudian dibawa ke
rumah “Pemilik Laut” ,
“Pemilik Kampung”,
serta dihanyutkan
kelaut
Bulan
Agustus
Dilakukan
oleh
Pemangku
Adat dan
nelayan
2. Passili
Untuk memohon kelancaran
dan perlindungan kepada
Allah SWT selama di laut
Sesajen berupa :
- Lilin merah
- 3 sisir buah
pisang
- Songkolo (Nasi
ketan)
- Ayam masak
- Kolak pisang
Sesajen dibawa
kekapal yang akan
digunakan melaut.
Pemangku adat akan
melakukan
pembakaran lilin dan
pembacaan doa
diatas kapal
Tidak
ditentukan
Dilakukan
oleh
Pemangku
Adat dan
nelayan
69
- Dupa’
3. Padongko pakrappo
Untuk meminta rezeki agar
hasil tangkapan melimpah
dan selama melaut tidak
mendapatkan kendala
apapun.
Sesajen berupa :
- Lilin merah
- Buah pisang
- Daun sirih
- Kapur
- Benang putih
Pemangku adat akan
melakukan
pembacaan doa serta
pembakaran lilin di
rumah “Pemilik Laut”
dan “Pemilik
Kampung”
Hari kamis
Dilakukan
oleh
Pemangku
Adat dan
nelayan
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2017
70
Berdasarkan tabel 7 diatas dapat dijelaskan bahwa di Desa
Bontomarannu terdapat tiga jenis ritual yang dilaksanakan secara turun temurun
sampai saat ini. Ritual tersebut mempunyai tujuan masing-masing dan waktu
pelaksanaan yang berbeda-beda tetapi mereka memiliki kesamaan yaitu dengan
memberikan persembahan atau sesajen kepada roh atau makhluk halus yang
mereka percayai. Informasi ini didapatkan dari pemangku adat selaku pemimpin
kegiatan ritual tersebut dan para nelayan.
Desa Bontomarannu setiap tahunnya mengadakan upacara
penghormatan terhadap laut atau ritual laut terhadap Karaeng Loe’ sebagai
bentuk penghormatan dan rasa syukur terhadap hasil tangkapan yang mereka
dapatkan. Kegiatan upacara/ritual ini dilakukan secara bersama-sama dan
dilakukan sekali setahun oleh masyarakat Desa Bontomarannu yang dipimpin
oleh Pemangku Adat. Kegiatan ini melibatkan masyarakat nelayan dan ketika
acara ini akan dilaksanakan semua nelayan yang sedang melaut diberitahukan
untuk kembali ke Desa Bontomarannu tetapi apabila para nelayan sedang melaut
didaerah yang cukup jauh maka akan diwakilkan oleh istrinya untuk
melaksanakan upacara tersebut. Pada saat upacara ini dilaksanakan semua
kapal tidak boleh melintas atau bersandar di Desa Bontomarannu.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Ramba (65 tahun) selaku
pemangku adat :
“…Anjo anak ritualki ni gaukangngi sikali si taung untuk anyomba siagang nia ta’tila rasa sukkurutta mange ri Karaeng Loe’ patanna pa’rasangan. Nasaba pasasaba’kanna dalleta battu ri iya ni sareangi mange ri paboya-boya ri tamparanga. Angkanaya niakki sukkuru mange ri karaeng loe saba’ ni bantu dalle’na. Jari na palaki anne ni somba iyareka ritual ri taenanapa na naik benderah ya. Nasaba ni sarei pa’pijo’jo ri lalang tingro anggaukangi panyombang iyareka ritual. Katte sanna parallu amparcayai kana anne battuji ri Allah Ta’ala, nasaba iya ji ampareki. Ingka katte ampercayai kana karaeng loe anjo battu anjagai si kamma tamparangnga siangang tau paboya jukuka anrinni…” (itu anak ritual diadakan setiap tahun buat persembahan dan rasa syukur terhadap Karaeng Loe’ sebagai pemilik laut. Melalui dia rejeki itu diberikan kepada nelayan. Sebagai bentuk rasa syukur terhadap Karaeng
71
Loe’ yang telah membantu nelayan disini. Jadi dia minta untuk diadakan ini ritual yang biasanya dilaksanakan pada bulan agustus sebelum tujuh belasan. Melalui mimpi diberikan petunjuk bahwa kapan ritual ini akan dilaksanakan. Kita juga percaya akan Allah SWT bahwa semua ini ciptaan-Nya tapi kami percaya bahwa Karaeng Loe’ diutus untuk menjaga laut dan para nelayan disini) Berdasarkan penuturan pemangku adat diatas, bahwa mereka mengakui
dan mempercayai bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Allah Swt. Bahwa
semua yang ada dimuka bumi baik manusia, tumbuhan, hewan, dan segala
makhluk baik jin dan malaikat adalah Ciptaan-Nya dan tidak akan ada yang
mampu selain-Nya. Salah satu ciptaan-Nya adalah makhluk-makhluk gaib atau
roh leluhur yang mereka percayai sebagai utusan-Nya untuk menjaga laut dan
para nelayan sehingga mereka melakukan ritual semacam memberikan
penghormatan dan meminta restu agar selama melakukan aktivitas di laut baik
merencanakan kegiatan pemanfaatan lingkungan laut maupun pada saat
kegiatan operasional dilakukan.
Ritual ini dilaksanakan pada bulan Agustus, untuk hari dan tanggalnya
tidak ditetapkan. Biasanya kegiatan upacara ini dilaksanakan sebelum tanggal 17
Agustus. Kegiatan ini akan dilaksanakan setelah diberitahu oleh pemangku adat,
setelah dia diberitahukan oleh Sang Pencipta melalui mimpi bahwa kegiatan ini
akan dilaksanakan. Menurut penuturan pemangku adat, kegiatan upacara
penghormatan laut ini adalah sesuatu yang sakral dan sangat penting untuk
dilaksanakan.
Upacara/ritual diadakan dipinggir pantai pada waktu pagi hari. Kegiatan
ini dilaksanakan dengan menghadirkan 7 pasangan yang terdiri dari 7 orang laki-
laki dan 7 orang perempuan yang dipilih oleh pemangku adat. Dimana 7
pasangan tersebut menggunakan baju adat atau baju bodo yang warnanya sama
dan untuk pemangku adat menggunakan pakaian serba hitam. Menurut
pemangku adat, adanya 7 orang pasangan dalam kegiatan upacara bahwa roh
72
leluhur yang mereka percaya berjumlah 7 orang bersaudara dengan memiliki
masing-masing pasangan yang berkumpul pada satu waktu dimana setiap
saudara roh leluhur tersebut memiliki tempat penguasaan/tempat yang mereka
tinggali sendiri.
Sebelum acara ini berlangsung akan disiapkan sesajen yang akan
dipersembahkan kepada roh leluhur yang akan disimpan pada tiga tempat yaitu
di rumah Karaeng Loe (roh pemilik laut), rumah Patanna pa’rasangan (roh
pemilik kampung) dan di hanyutkan kelaut. Sesajen ini berupa pisang, songkolo
(nasi ketan), onde-onde, telur ayam kampung, kolak pisang, ayam masak dan
dupa yang disimpan diatas baki’. Sesajen ini akan dipersiapkan oleh para istri
nelayan secara bersama-sama dirumah pemangku adat atau rumah warga yang
dipercaya merupakan keturunan dari roh pemilik laut tersebut. Kemudian untuk
para suami (nelayan) akan mempersiapkan bambu panjang dan gendang.
Bambu panjang yang digunakan berfungsi untuk membuat obor yang akan
ditancap pinggir laut, sedangkan gendang berfungsi untuk menciptakan alunan
musik yang akan dipakai mengiringi rombongan orang yang mengikuti ritual ini.
Setelah semua persiapan telah selesai maka akan dilaksanakan upacara
tersebut. Pertama, semua sesajen yang dipersiapkan akan dibawa kerumah
Karaeng loe’ (roh pemilik laut) dengan diiringi pukulan gendang, pemangku adat
dan 7 orang pasangan. Setelah sampai disana sesajen akan disimpan lalu
pemangku adat akan membacakan doa-doa dan mulai membakar lilin di atas
pendupaan. Kemudian pemangku adat dan arak-arakkan menuju rumah Patanna
pa’rasangan (roh pemilik kampung), hal yang sama juga dilakukan pembacaan
doa pada sesajen dan pembakaran lilin. Dan yang terakhir, sesajen yang telah
dibacakan doa-doa akan dibawa kelaut kemudian dihanyutkan sementara bambu
yang telah disiapkan tadi akan dibakar lalu ditancapkan dipinggir laut sebagai
73
tanda bahwa Desa Bontomarannu sedang melaksanakan upacara/ritual
persembahan terhadap laut.
Kemudian kegiatan Passili yang dilakukan para nelayan sebelum turun
kelaut. Dimana kegiatan ini dilakukan dengan cara mengadakan syukuran
dirumah dan diatas kapal. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memohon kelancaran
dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa selama nelayan dilaut dengan
menyiapkan sesajen. Kegiatan ini dipimpin oleh pemangku adat untuk
membacakan doa-doa kepada nelayan yang ingin berangkat melaut dan sesajen
yang akan dibawa diatas kapal. Sesajen berupa lilin, buah pisang 3 sisir,
songkolo (nasi ketan), ayam masak dan kolak pisang. Syukuran akan dilakukan
dirumah nelayan dengan mengundang beberapa tetangga untuk kegiatan makan
bersama. Sebelum kegiatan makan dimulai, sesajen yang telah dipersiapkan
dibawa menuju kapal yang akan digunakan nelayan untuk melaut. Diatas kapal
tersebut, pemangku adat akan membakar lilin didalam pendupaan dan mulai
membacakan doa-doa untuk keselamatan para nelayan. Kemudian sesajen yang
telah dibacakan doa akan dihanyutkan kelaut sebagai persembahan kepada roh
leluhur yang mereka percayai. Setelah pembacaan doa selesai baru akan
memulai kegiatan makan bersama.
Kegiatan Passili ini biasanya dilakukan oleh punggawa dan nelayan
mandiri atau pemilik kapal yang akan digunakan melaut tetapi untuk punggawa
mereka akan melakukan kegiatan ini setiap akan berangkat kelaut dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan untuk nelayan mandiri,
mereka hanya melakukannya sesekali atau ketika hasil tangkapan yang mereka
dapatkan kurang. Waktu pelaksanaan kegiatan Passili ini tidak ditentukan karena
kegiatan ini akan dilaksanakan ketika nelayan akan pergi melaut atau hasil
tangkapan yang didapatkan kurang menguntungkan.
74
Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Ramba (65 tahun) selaku
pemangku adat :
“…Anjo anak nia ni gaukang anrinni setia’ anjo allo kammisi, padongko pakrappo arenna. Biasaya nia battu bainengnna papekangnga mange riballana iya na erang liling siagang ungti ri ballana Karaeng Loe’. Ingka biasa tongki punggawana siagan sawihna, ingak biasa niaka anggerang bainenaji nasaba bura’nenna lamapi ammekang. Sollanna harapanna appala slama siagan ni sare dale bura’nengna ri tamparangnga. Nia poeng tampa’ balla saukang patanna pa’rasangan ni pattunuang lilin siagang appala’ pala’ do’a, lebbana ballana Karaeng Loe’…” (Itu juga anak ada kegiatan disini setiap hari kamis dilaksanakan, Paddongko pakrappo namanya. Biasanya yang datang adalah istri nelayan kerumah (rumah pemangku adat) membawa lilin dan pisang untuk diberikan di rumah Karaeng Loe’. Biasanya para punggawa atau sawi yang akan langsung datang tetapi lebih sering istrinya karena suaminya pergi melaut. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan meminta keselamatan dan rejeki untuk suaminya yang berada dilaut. Dilain hal, ada juga rumah “Pemilik Kampung” yang akan juga melakukan pembakaran lilin dan berdoa setelah dari rumah Karaeng Loe’) Selanjutnya untuk kegiatan padongko pakrappo, kegiatan ini biasanya
dilakukan secara individu. Padongko pakrappo merupakan kegiatan permohonan
keselamatan kepada leluhur yang dilakukan oleh pemangku adat dengan
melakukan pembacaan doa serta pembakaran lilin dengan memberikan buah
pisang dan daun sirih serta kapur yang telah dibungkus daun pisang kemudian
diikat oleh benang putih sebagai bentuk sesajen yang diberikan kepada leluhur
dan penjaga laut yang diutus oleh Sang Pencipta.
Kegiatan ini dilakukan setiap minggu yaitu hari kamis pada waktu sore
hari. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para istri nelayan untuk meminta rezeki
agar hasil tangkapan suaminya melimpah dan selama melaut tidak mendapatkan
kendala apapun. Mereka membawa lilin dan uang seikhlasnya kemudian ditaruh
diatas piring dibungkus dengan kain putih atau kuning lalu dibawa ke rumah yang
dipercaya sebagai tempat persinggahan para leluhur (ballana karaeng loe atau
balla sau’saukang) dan rumah Patanna pa’rasangan (roh pemilik kampung) untuk
dibakar lilinnya dan dibacakan doa oleh pemangku adat.
75
Upacara padongko pakrappo hanya dilakukan secara individu dengan
tujuan yang berbau mistis atau takhayul. Nelayan di desa ini masih mempercayai
tentang adanya kekuatan-kekuatan roh yang terdapat pada pantai dan laut. Bagi
mereka bahwa hal tersebut adalah suatu benda hidup yang sakral. Maka
muncullah pemujaan-pemujaan dalam kegiatan ekonomi kelompok nelayan
terhadap unsur alam yang dimaksud (pantai dan laut) dengan harapan agar
kekuatan-kekuatan gaib penuh misteri yang terdapat di pantai dan laut tetap
stabil dan memberikan keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam
perjuangan hidupnya. Kegiatan upacara Passili dan Padongko pakrappo
sebenarnya memiliki satu tujuan yaitu sebagai bentuk rasa syukur dan hormat
terhadap roh leluhur atau makhluk gaib yang mereka percaya hanya saja
dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda.
Hasil penelitian tersebut dapat dikatakan signifikan, karena sejalan
dengan hasil kajian Stanis, dkk (2007) yang menyatakan bahwa, “Mereka
mempersepsikan kearifan lokal sebagai suatu yang dapat menata kehidupan
baik antar mereka sebagai komunitas sosial maupun dengan alam sebagai
komunitas ekologi. Mereka menyadari pula bahwa eksistensi kehidupan mereka
tidak terlepas dari eksistensi kehidupan makhluk lain dalam bumi yang satu sama
ini. Oleh karena itu bagi nelayan lokal, ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan
adat, kearifan dan tradisi yang ada sangat dijunjung tinggi.”
Ritual yang mereka jalankan adalah bentuk kearifan lokal yang dikenal
dan telah dilakukan secara turun-temurun. Masyarakat Desa Bontomarannu
meyakini bahwa ritual ini adalah kepercayaan spiritual terhadap pemilik laut.
Ritual ini adalah hal yang sangat diutamakan, terbukti dengan masih dijalankan
dan dipertahankan oleh masyarakat. Apabila ritual ini tidak dijalankan akan
terjadinya suatu musibah yang akan menimpa para nelayan selama proses
melaut. Mereka meyakini bahwa pemilik laut akan marah dan tidak dihormati
76
akibat proses ritual yang tidak dijalankan. Sehingga ritual ini telah diketahui oleh
seluruh masyarakat Desa Bontomarannu yang bersifat mengikat dan telah
dijalankan secara turun-temurun.
Upacara penghormatan kepada laut yang dilakukan para nelayan
merupakan sebuah mitos masyarakat lokal yang tidak bisa diterima dengan
logika. Tetapi sebuah mitos lahir dari pemikiran manusia pada zaman dahulu
yang memiliki kaitan pada hubungan terhadap manusia dengan alam. Mitos dan
ritual ini menjadi bagian dari pengetahuan dan kepercayaan masyarakat yang
memiliki pengaruh terhadap sistem pengelolaan lingkungan laut. Upacara
penghormatan kepada laut yang dilakukan dengan sebuah ritual memiliki makna
alam untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut sehingga keseimbangan
hubungan manusia dan alam terjaga. Mitos mengandung kearifan lokal yang
akan membentuk pola pikir masyarakat agar lebih hati-hati terhadap sesuatu
yang dianggap bernilai suci atau sakral.
Kedua, selektif dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Para
nelayan di Desa Bontomarannu dalam melakukan penangkapan ikan akan
selektif dalam memilih ikan-ikan yang akan ditangkap. Mereka tidak melakukan
penangkapan dan membunuh terhadap lumba-lumba, hiu martil, penyu dan kura-
kura. Para nelayan biasanya hanya akan menangkap jenis ikan pelagis dan ikan
karang seperti ikan kerapu, ikan kakap, ikan cakalang, ikan tuna, ikan tembang
dan lain-lain.
Alasan tidak menangkap lumba-lumba karena diketahui bahwa lumba-
lumba akan membawa rejeki karena suatu kawasan perairan yang terdapat
lumba-lumba akan banyak terdapat ikan-ikan yang berukuran lebih kecil, karena
merupakan sumber makanan bagi lumba-lumba. Selain itu menurut masyarakat,
lumba-lumba tidak ditangkap karena mereka percaya bahwa lumba-lumba
merupakan jelmaan arwah manusia yang telah meninggal di laut.
77
Nilai kearifannya adalah lumba-lumba merupakan petunjuk bahwa
diperairan itu masih banyak terdapat ikan. Selain itu, adanya pula larangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Desa Bontomarannu bahwa lumba-lumba, ikan hiu
martil, penyu, dan kura-kura adalah hewan yang dilindungi dan dijaga
kelestariannya yang terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan.
Terdapatnya pula mitos masyarakat yang percaya bahwa lumba-lumba adalah
jelmaan arwah manusia sehingga dapat mencegah adanya penangkapan lumba-
lumba dan menjaga kelestaraian lingkungan laut.
Ketiga, tentang pamali atau tabu. Pamali yang dimaksud adalah dengan
tidak dilakukan kegiatan membuang sampah dilaut atau melakukan hal yang
tidak sopan selama dilaut. Para nelayan percaya apabila melakukan
pembuangan sampah sembarangan dilaut dapat menyebabkan marahnya
penghuni laut yang mengakibatkan bahaya bagi para nelayan diatas kapal. Untuk
para nelayan mempercayai adanya mitos laut dalam melakukan pengelolaan
lingkungan laut. Menurut hasil wawancara yang saya dapatkan, bahwa ada
seorang nelayan jatuh diatas kapal yang mayatnya tidak ditemukan sampai
sekarang. Nelayan tersebut diceritakan telah melakukan buang air kecil
disembarangan tempat tanpa permisi sehingga dia terjatuh tanpa sengaja.
Nelayan berpendapat bahwa kejadian yang terjadi adalah pamali dan akan ada
akibat yang ditimbulkan. Ini sejalan dengan pendapat Alimuddin (2005) dalam
Hasmah (2014) bahwa “Perilaku masyarakat utamanya dalam kegiatan ekonomi
senantiasa berdasarkan pamali. Pantangan atau pamali sebenarnya merupakan
kepercayaan yang berorientasi untuk mencapai keselamatan dan mendapatkan
berkah yang lebih banyak.”
Pamali telah memiliki nilai luhur tersendiri dan makna yang sangat
berharga meskipun tidak tertulis secara jelas tetapi hanya diuraikan secara lisan.
Pamali yang memliki pesan-pesan yang tersembunyi bersifat khayalan yang
78
terkadang tidak masuk akal tapi juga melihat dan memandang sesuatu hal jauh
kedepan. Pamali telah mampu menjaga lingkungan laut dan tradisi kearifan lokal
yang penuh makna. Makna yang diambil dari pantangan/larangan ini adalah agar
laut tidak tercemar, sehingga berbagai aktivitas kehidupan hewan laut tidak
terganggu. Sampah berserakan di laut akan mengganggu kualitas perairan,
menghalangi intensitas cahaya matahari yang masuk, dan pada akhirnya
menyebabkan kerusakan ekosistem perairan.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan kegiatan wawancara yang
dilakukan, diperoleh gambaran bahwa masyarakat pesisir sampai saat ini
memandang bahwa nilai yang kearifan lokal terutama dalam kaitan dengan
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir merupakan bagian
integral dan melekat dengan aktivitas kehidupan mereka.
Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa masyarakat meyakini
segala yang telah diwariskan oleh para pendahulu mereka mengandung banyak
hikmah dan pelajaran dalam menjalankan berbagai aktifitas mereka. Keraf (2002)
dalam Suhartini (2009) menyatakan bahwa kearifan tradisional adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Jadi, kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut
pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan
bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus
dibangun.
Hal yang menarik dari macam-macam kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat pesisir adalah bahwa mereka begitu menyadari akan betapa
pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menopang kehidupan mereka.
79
Tindakan yang bersifat merusak terhadap kekayaan sumberdaya alam pesisir
dan sistem penangkapan yang tidak ramah lingkungan hampir tidak pernah
terjadi. Sistem nilai ini merupakan aturan yang dapat menuntun dan mengatur
hubungan mereka dengan alam lingkungannya. Mereka memiliki pemahaman
dan kepercayaan bahwa alam memiliki suatu kekuatan dan alamiah yang dapat
memberikan mereka rezeki serta keberuntungan. Dilain pihak mereka juga
percaya bahwa pada kondisi tertentu, ketika manusia serakah dan bertindak
dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir tidak sesuai dengan
sistem nilai, maka alam akan bertindak sebaliknya akan memberikan sanksi dan
hukuman kepada manusia.
Menurut sistem kepercayaan masyarakat Bontomarannu, bentuk
hukuman yang alam diberikan kepada mereka dalam memanfaatkan
sumberdaya alam laut dan pesisir yang tidak sesuai dengan kesepakatan adat
dan tradisi masyarakat setempat. Semacam ada rasa takut, mereka percaya jika
tindakan mereka tidak sesuai dengan kehendak alam, bersifat merusak, lambat
laun cepat atau lambat mereka akan mengalami resiko. Resiko yang dihadapi
dapat berupa kurangnya hasil tangkapan, tenggelam di laut, terjadi badai selama
dilaut dan lain-lain.
Makna lain yang dapat disimak dari kearifan lokal/tradisional yang dimiliki
oleh masyarakat pesisir di lokasi penelitian yakni selalu tercipta suasana
kekerabatan dan kegotong royongan di antara masyarakat nelayan. Selalu
tercipta hubungan sosial, saling membantu, bersaing yang tidak sehat dan saling
merusak perlengkapan penangkapan nelayan tidak pernah terjadi. Dengan
demikian dalam memanfaatkan sumberdaya tidaklah bersifat serakah. Semacam
ada pesan moral bagi mereka bahwa mereka hanya boleh menangkap untuk
kepentingan hidup mereka (konsumsi) atau dijual untuk keperluan yang lain.
80
B. Bentuk Partisipasi Nelayan dalam Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut
Berbasis Masyarakat
Partisipasi nelayan berbasis masyarakat adalah suatu kegiatan yang
dilakukan oleh para nelayan yang ikut terlibat langsung dan ikut bertanggung
jawab dalam perencanaan pengelolaan laut yang dibuat oleh masyarakat dan
pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat bertujuan untuk
melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan suatu pengelolaan. Partisipasi masyarakat ini dapat dilakukan
dengan adanya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah juga
harus ikut ambil bagian dengan memberikan program kerja dalam membangun
partisipasi masyarakat dibidang pengelolaan lingkungan laut.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Dahuri (1996) dalam
Erwiantono (2006) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat nelayan dalam
pengelolaan lingkungan laut dapat diwujudkan dengan mengadakan program
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan membutuhkan partisipasi
masyarakat yang tinggi dan setepat mungkin. Sehingga masyarakat nelayan
harus diikutsertakan dalam pembuatan rencana dan aturan terhadap
pengelolaan lingkungan laut. Partisipasi masyarakat nelayan Desa
Bontomarannu dalam pengelolaan lingkungan laut dengan tidak melakukan
pelanggaran terhadap Undang-Undang yang berlaku yang dipengaruhi oleh
pengetahuan lokal yang membawa mereka bersifat menjaga dan melindungi
terhadap kelestarian sumberdaya alam.
Bentuk partisipasi yang telah nelayan lakukan dalam kegiatan
pemanfaatan dan pelestarian lingkungan laut dengan proses penangkapan yang
dilakukan. Kegiatan penangkapan yang dilakukan dapat dilihat dari jenis alat
tangkap yang digunakan dan jenis ikan yang ditangkap. Disini pemerintah akan
ikut ambil andil dengan memperhatikan dan melakukan pengontrolan terhadap
81
jenis alat tangkap yang digunakan dan tangkapan ikan yang dilarang. Dengan
adanya kerjasama yang dilakukan oleh para nelayan dan pemerintah akan
mencegahnya timbulnya kerusakan lingkungan pada laut.
Berikut adalah bentuk partisipasi nelayan dalam pengelolaan lingkungan
laut berbasis kearifan lokal :
Tabel 8. Bentuk Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat
No. Tahapan
Partisipasi Kegiatan Tujuan Ket.
1. Perencanaan
Kegiatan rapat
yang dilakukan
Pemerintah
desa dengan
para nelayan
- Untuk
mendiskusikan
jenis-jenis alat
tangkap yang
digunakan
- Untuk
menetapkan jenis
alat tangkap yang
akan digunakan
- Kesepakatan
dengan
dilarangnya
penggunaan bius
dan bom
Agar laut tetap
terjaga
kelestariannya
dan nelayan
tidak akan
merusak
sumberdaya
laut
2. Pelaksanaan
Aktivitas
penangkapan
yang dilakukan
nelayan saat
dilaut
- Nelayan tidak
menggunakan
bom dan bius
pada saat
melakukan
penangkapan
- Nelayan tidak
menggunakan
alat tangkap yang
dilarang
Didukung oleh
peran Kepala
Desa dan Polisi
laut
82
- Nelayan
menangkap
sesuai aturan
yang telah
disepakati
3. Evaluasi Melakukan
pelaporan
- Melakukan
pelaporan kepada
Pemerintah Desa
apabila terjadi
pelanggaran yang
dilakukan
- Adanya
pengawasan yang
dilakukan
Pemerintah Desa
dalam
penggunaan alat
tangkap yang
dilarang
Dipantau oleh
Kepala Desa
4. Pemanfaatan
- Penangkapan
ikan yang
dilakukan
- Pemanfaatan
sumberdaya
laut terhadap
ikan-ikan
yang
ditangkap
Dengan tidak
menangkap jenis-
jenis ikan yang
dilarang
Jenis-jenis ikan
yang dilarang
adalah lumba-
lumba, hiu
martil, kura-kura
dan penyu
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2017
Berdasarkan tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa bentuk partisipasi terbagi
atas 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pemanfaatan.
83
Tahap pertama, Perencanaan. Perencanaan dilakukan dengan
melakukan kegiatan rapat yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat
nelayan. Pemerintah desa tidak melakukan kerjasama terhadap pemangku adat
dalam mendiskusikan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan jadi
pemerintah desa hanya melakukan rapat bersama masyarakat nelayan. Kegiatan
ini baru dilaksanakan setelah adanya pergantian kepala desa. Sebelumnya pada
pemerintahan sebelumnya, tidak pernah dilakukannya rapat bersama oleh
nelayan.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan bersama pemangku adat adalah
proses menjalankan ritual yang akan dilakukan sebelum turun kelaut dan
pembicaraan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan pada saat dilaut.
Kegiatan ini dilakukan bukan dalam forum yang dimana semua warga berkumpul
hanya dilakukan pembicaraan-pembicaraan perindividu pada saat ada kegiatan
upacara adat berlangsung dirumah mereka atau para nelayan datang kerumah
pemangku adat. Bisa dikatakan nelayan hanya melakukan diskusi biasa dengan
pemangku adat.
Kegiatan rapat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendiskusikan
kegiatan penangkapan yang dilakukan para nelayan dalam penggunaan alat
tangkapnya. Dimana alat tangkap yang digunakan harus ramah lingkungan dan
tidak merusak lingkungan laut. Dalam proses kegiatan rapat tersebut, diketahui
bahwa masyarakat nelayan Desa Bontomarannu menggunakan alat tangkap
tradisional berupa pancing. Alat tangkap yang mereka gunakan tidak merusak
lingkungan dan tidak menangkap ikan secara berlebihan.
Tahap kedua, Pelaksanaan. Pelaksanaan adalah wujud nyata partisipasi
yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa. Pelaksanaan ini dilakukan
setelah hasil kegiatan rapat telah disetujui oleh semua pihak. Dalam hasil rapat
yang telah dilakukan ini bahwa pemerintah desa mengeluarkan aturan tentang
84
alat tangkap dan masyarakat nelayan mematuhi aturan yang berlaku dengan
tidak menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan seperti bahan
peledak bom dan bius. Mereka juga menyadari bahwa bahan peledak bom
sangat berbahaya yang bersifat fatal dan dapat merugikan nelayan itu sendiri.
Masyarakat Desa Bontomarannu juga menjalankan pantangan-pantangan
yang dilarang oleh pemangku adat yaitu menangkap hewan yang dilindungi
seperti lumba-lumba, hiu martil, penyu, dan kura-kura serta tidak membuang
sampah dilaut karena mereka percaya dengan tidak melakukan hal tersebut tidak
akan membawa musibah atau hal yang tidak diinginkan terjadi.
Tahap ketiga, Evaluasi. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui
partisipasi masyarakat dalam perbaikan pelaksanaan aturan yang sepekati.
Partisipasi masyarakat akan dinilai, apakah mereka telah menjalankan aturan
yang telah mereka sepakati sendiri. Pada tahap evaluasi, masyarakat nelayan
Desa Bontomarannu masyarakat telah melaksanakan aturan yang berlaku
dengan melakukan pelaporan kepada aparat desa apabila terjadi pelanggaran.
Dan partisipasi pemerintah desa terhadap aturan yang telah dibuat dengan
melakukan pengawasan yang ketat dalam penggunaan alat tangkap yang
dilarang dan memberikan hukuman bagi yang telah melanggar aturan.
Tahap keempat, Pemanfaatan. Pemanfaatan merupakan hasil dari aturan
yang telah dibuat dan dapat dinikmati. Kesadaran masyarakat dalam menjaga
lingkungan laut dan mematuhi aturan yang berlaku dengan menjaga
keseimbangan ekosistem laut akan menghasilkan tangkapan ikan yang lebih
melimpah karena alat tangkap yang digunakan tidak menggunakan bahan
peledak bom dan bius yang bisa mengakibatkan rusaknya terumbu karang dan
jenis ikan yang dilindungi akan dapat dinikmati oleh generasi-generasi
selanjutnya
85
C. Dampak Aktivitas Kearifan Lokal Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia merupakan negara kepualauan terbesar yang memiliki wilayah
laut dan pesisir tentunya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dibidang
kelautan dan perikanan. Apabila potensi tersebut dikelola secara baik dan benar,
tentunya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju. Kearifan lokal
terhadap pembangunan keberlanjutan merupakan salah satu potensi
sumberdaya yang sering diabaikan oleh pemerintah. Pemberdayaan kearifan
lokal kurang tersosialisasikan oleh pemerintah dan masyarakat yang seharusnya
dapat membangun Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga
dengan menjaga kesinambungan melalui Sustainable development dapat
menjadi solusi dalam menangani berbagai masalah.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pembangunan yang
dilakukan untuk memenuhi akan kebutuhan sekarang dan dengan
memperhatikan kebutuhan yang akan datang. Upaya ini dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dengan menggunakan sumberdaya lingkungan laut
secara bijaksana dan memperhatikan akan terpenuhinya kebutuhan generasi
yang akan datang. Dalam melakukan pengelolaan lingkungan, tentu harus
menjaga kualitas, keanekaragaman hayati dan ketersediaan akan sumberdaya
alam dalam jumlah yang mencukupi untuk masa sekarang dan generasi
mendatang agar mencegah terjadinya pengelolaan lingkungan yang berlebihan
dan merusak.
Dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya alam tidak boleh dilakukan
dengan cara-cara yang berlebihan sehingga tidak dapat diperbaharui yang akan
menimbulkan masalah pada lingkungan laut. Kearifan lokal saat ini masih dapat
dilihat dan diamati secara langsung tetapi dimasa mendatang akan hanya tinggal
cerita apabila tidak dijaga dengan baik. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan
86
perlu ditingkatkan agar seimbang dengan pemanfaatan alam demi menjamin
masa depan manusia. Kearifan lokal adalah salah satu pengelolaan lingkungan
laut terhadap proses pembangunan berkelanjutan yang sering dikesampingkan
padahal kearifan lokal memiliki potensi yang besar apabila dimanfaatkan secara
optimal.
Kearifan lokal merupakan suatu perilaku masyarakat tertentu yang
menjadi kebiasaan turun temurun dan tradisi yang bersifat sakral bagi
masyarakat tertentu. Dengan adanya kearifan lokal tersebut secara tidak
langsung masyarakat akan melakukan hal-hal yang berbeda dari masyarakat
lainnya dalam hal pengelolaan laut. Contohnya bagi masyarakat Desa
Bontomarannu yang melakukan persembahan untuk laut seperti memberikan
sesajen dalam bentuk makanan. Mereka meyakini bahwa di laut terdapat roh
leluhur yang menjadi panutan mereka. Selain itu, mereka juga mengenal istilah
pamali. Pamali yang dimaksud yaitu adanya larangan-larangan bagi masyarakat
Desa Bontomarannu dalam hal 'memperlakukan' laut. Di balik dari berbagai
kearifan lokal tersebut ternyata menyimpan berbagai dampak positif bagi
pengelolaan lingkungan laut di Desa Bontomarannu.
Secara tidak langsung masyarakat Desa Bontomatannu telah melakukan
usaha pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan kearifan lokal. Kearifan
lokal terhadap pengelolaan lingkungan laut adalah sebagai berikut :
1. Penggunaan alat tangkap tradisional yaitu pancing dengan jumlah mata
pancing yang berbeda sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap.
Penggunaan alat tangkap pancing tersebut dapat membantu
pemeliharaan lingkungan laut sekaligus menjaga kelangsungan hidup
keanekaragaman biota laut di Desa Bontomarannu. Hal ini sangat berbeda
dengan penggunaan alat tangkap di berbagai wilayah laut Indonesia, sebagian
besar masyarakat nelayan modern menggunakan pukat harimau ataupun
87
dengan bahan peledak. Bayangkan saja, apabila sebuah kapal yang melakukan
penangkapan ikan dengan pukat harimau, mulai dari ikan-ikan kecil hingga
dewasa, semua jenis ikan tersebut akan terperangkap di dalam pukat harimau
tersebut. Karena jaring-jaring pada pukat harimau lebih kecil ukuran diameternya
daripada jaring yang digunakan oleh masyarakat nelayan tradisional. Selain itu,
pukat harimau yang dilemparkan jauh hingga ke dasar laut secara tidak langsung
akan merusak ekosistem terumbu karang dan rumput laut ketika pukat tersebut
mulai ditarik naik ke permukaan oleh para nelayan modern. Pukat harimau ini
sangatlah efektif dalam penggunaannya, namun sayangnya tidak selektif dalam
hasil tangkapannya. Tidak hanya dalam hal penggunaan pukat harimau.
Seringkali nelayan masa kini juga menggunakan bahan peledak atau meracuni
ikan-ikan laut dengan bahan sianida. Mereka benar-benar tidak memikirkan
keberlanjutan lingkungan untuk masa depan. Dengan menggunakan bahan
peledak, ekosistem terumbu karang akan rusak seketika dan sangat sulit untuk
memulihkannya.
Maka dari itu, dengan adanya kearifan lokal masyarakat Bontomarannu,
isu-isu kerusakan lingkungan laut tersebut dapat diminimalisasi. Kearifan lokal
tersebut berkaitan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). UU tersebut menegaskan
pentingnya perhatian atas daya dukung dan kelestarian sumber daya perikanan
untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia. Hal itu sejalan dengan UU No 31 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Dalam Pasal 9 Ayat (1) UU tersebut disebutkan: “Setiap orang dilarang
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
88
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia“. Di dalam undang-undang ini, alat
penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk di antaranya jaring trawl atau
pukat harimau, dan/atau kompresor jelas diharamkan.
2. Adanya penghormatan untuk laut.
Masyarakat Bontomarannu meyakini bahwa laut dijaga oleh roh leluhur
yang bernama Karaeng Loe. Setiap tahunnya mereka melakukan ritual sebagai
penghormatan untuk leluhur mereka. Mereka sangat menjaga kelestarian laut
dan amat berhati-hati ketika melakukan aktivitas di laut. Secara tidak langsung,
kearifan lokal tersebut membawa dampak positif terhadap pengelolaan
lingkungan laut di Desa Bontomarannu. Dengan keyakinan bahwa adanya roh
leluhur yang selalu menjaga laut, secara otomatis masyarakat Bontomarannu
tidak akan melakukan kerusakan di lingkungan laut. Mereka sangat menjunjung
tinggi tradisi dalam menjaga dan melestarikan alam laut karena mereka takut
akan murka dari roh leluhur yang mereka yakini tersebut. Mereka akan menjaga
kebersihan laut, tidak membuang sampah dan limbah yang akan merusak
ekosistem bawah laut. Mereka juga akan mencintai laut sebagaimana laut telah
menjadi sumber mata pencaharian mereka.
3. Masyarakat Bontomarannu selektif dalam melakukan penangkapan dengan
tidak menangkap lumba-lumba, hiu martil, penyu dan kura-kura.
Wilayah perairan Desa Bontomarannu memiliki berbagai jenis biota laut,
mulai dari ikan-ikan yang berukuran besar maupun ikan yang berukuran kecil.
Hal ini dapat dijadikan sebagai keuntungan tersendiri bagi masyarakat
Bontomarannu yang menjadikan wilayah laut sebagai sumber mata pencaharian.
Meskipun wilayah laut mereka terdapat berbagai jenis biota yang bernilai jual
tinggi seperti ikan hiu, penyu, kura-kura serta lumba-lumba. Namun mereka tidak
89
serta merta mengeksploitasi biota-biota tersebut. Adanya kearifan lokal yang
berlaku menyebabkan mereka tidak dapat memanfaatkan biota tersebut. Mereka
meyakini dengan adanya lumba-lumba tersebut sebagai pertanda bahwa di
perairan itu masih terdapat ikan. Selain itu, adanya pula larangan yang
dikeluarkan bahwa lumba-lumba tidak ditangkap karena mereka percaya bahwa
lumba-lumba adalah jelmaan arwah manusia yang telah meninggal di laut.
Berbagai kearifan lokal ini tentu saja sangat membantu pemerintah dalam hal
pelestarian jenis-jenis ikan yang langka. Lumba-lumba adalah spesies yang
dilindungi dibawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diikuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, dimana didalam lampirannya ditegaskan bahwa lumba-
lumba adalah mamalia laut yang dilindungi oleh undang-undang.
4. Diberlakukannya mitos laut.
Mitos laut yang ada di masyarakat nelayan Desa Bontomarannu yaitu
tidak boleh mencemari wilayah laut dan berlaku tidak sopan selama berada di
tengah laut seperti membuang sampah sembarangan dilaut dan buang air
disembarang tempat. Mitos ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam hal
pengelolaan lingkungan laut yaitu untuk menjaga kestabilan ekologi laut dan
menghindari terjadinya pencemaran. Pencemaran laut merupakan salah satu
masalah lingkungan yang dihadapi saat ini dan seringkali disebabkan oleh
aktivitas atau kegiatan manusia. Sebagian besar pencemaran laut yang
disebabkan oleh manusia dilakukan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah laut dan banyak
orang yang menggantungkan hidup dari laut sangatlah perlu menjaga laut dari
berbagai pencemaran agar sumber daya laut tetap lestari.
90
Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku
mutu dan/atau fungsinya. Di Indonesia terdapat satu peraturan yang khusus
mengatur tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yaitu
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999. Keberadaan Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan dalam kaitannya dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan undang-undang Iainnya antara lain UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.
Sustainable develompent dalam konteks pengelolaan pembangunan
kelautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut : "Suatu upaya pemanfaatan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya
dukung kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya".
5. Persyaratan ekologis agar pembangunan suatu wilayah (pesisir dan laut)
berlangsung secara berkelanjutan :
a. Perlu adanya keharmonisan ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan
pembangunan yang dituangkan dalam peta tata ruang.
b. Tingkat laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya
terumbu karang, perikanan dan mangrove) tidak boleh melebihi
kemampuan pulih dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu.
c. Jika kita mengekploitasi sumberdaya tidak terbarukan harus dilakukan
dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan agar tidak mematikan
kelayakan usaha sektor pembangunan ekonomi lainnya.
d. Tidak membuang limbah yang bersifat meracuni kekayaan biota laut
91
e. Merancang dan membangun kawasan pesisir dan laut sesuai dengan
kaidah-kaidah alam.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal
yang berlaku di masyarakat Bontomarannu sangat sejalan dengan syarat-syarat
pembangunan berkelanjutan tersebut. Kegiatan kearifan lokal yang masih
dipertahankan dan dilakukan oleh nelayan sangat berpengaruh dan ikut ambil
bagian dalam proses pembangunan dimana menjaga lingkungan laut dan
melestarikannya. Hingga saat ini, kearifan lokal masih dipandang sebelah mata
dan dianggap bukan suatu hal yang penting bagi pemerintah padahal dalam
proses pembangunan, kearifan lokal akan menjadi peran penting bagi
masyarakat dan pemerintah.
92
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut
terbagi atas dua yaitu dalam pemanfaatan dan pelestarian. Jenis
kegiatan kearifan lokal dalam pemanfaatan lingkungan laut yaitu
penentuan waktu dan musim dalam penangkapan ikan dan penggunaan
alat tangkap tradisional. Sedangkan untuk jenis kegiatan kearifan lokal
dalam pelestarian lingkungan laut yaitu upacara penghormatan terhadap
laut, tidak menangkap dan membunuh lumba-lumba, hiu martil, penyu,
dan kura-kura, dan terakhir pamali atau tabu tidak melakukan kegiatan
membuang sampah dilaut atau melakukan hal yang tidak sopan selama
dilaut.
2. Bentuk partisipasi nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut berbasis
kearifan lokal terbagi atas 4 (empat) tahapan yaitu tahapan
perencanaan, tahapan pelaksanaan, tahapan evaluasi, dan tahapan
pemanfaatan.
3. Dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pengelolaan lingkungan laut
adalah bahwa semua nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di Desa
Bontomarannu tidak hanya bersifat tradisonal dan sekedar tradisi tetapi
dapat memberikan manfaat yang sangat besar terhadap pembangunan
berkelanjutan. Seperti penggunaan alat tangkap pancing yang dapat
membantu pemeliharaan lingkungan laut dan menjaga kelangsungan
hidup keanekaragaman biota laut, adanya penghormatan untuk laut,
selektif dalam melakukan penangkapan, dan berlakunya mitos laut yang
menghindari terjadinya pencemaran.
93
B. Saran
Adapun saran yang direkomendasikan untuk pemerintah Desa
Bontomarannu adalah agar lebih memperhatikan keadaan lingkungan laut yang
mulai tercemar dengan menyediakan sarana dan prasana yang memadai seperti
tempat pembuangan sampah dan dengan mengadakan kegiatan penyuluhan
tentang Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku baik dalam hal
perlindungan dan pengelolaan lingkungan, alat tangkap, maupun daerah
penangkapan.
Adapun saran yang direkomendasikan untuk masyarakat nelayan Desa
Bontomarannu yaitu dapat ikut berpartisipasi lebih aktif lagi dan bertanggung
jawab terhadap pengelolaan lingkungan laut sehingga keturunan mereka
(nelayan) dapat menikmati hasil perikanan.
94
DAFTAR PUSTAKA
Alains, A. Muluk, dkk. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) Melalui Model Co-Management Perikanan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10, No.2, Desember 2009, hlm. 172 – 198.
Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. 2010. Skripsi “Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air Di Kampung Kuta (Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)”. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Apriana, Evi. 2015. Kearifan Lokal Masyarakat Aceh Dalam Konservasi Laut.
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 14, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015, hal 47-55. Aprianto, Yudie. 2008. Skripsi “Tingkat Partisipasi Warga Dalam Pengelolaan
Lingkungan Berbasis Masyarakat (Kasus : Kampung Hijau Rawajati, Rw 03, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan, Provinsi Dki Jakarta)”. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Cahya, Darmawan L dan Weldi Rama. 2016. Analisis Tingkat Partisipasi
Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan Berbasis Masyarakat. Universitas Esa Unggul : Jakarta.
Erwiantono. 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. Jurnal EPP. Vol. 3 No. 1 2006 : 44-50 Samarinda : Kalimantan Timur.
Hasmah. 2014. Sistem Pengetahuan Lokal Nelayan dalam Pengelolaan Sumber
Daya Laut di Desa Ujung Lero Kabupaten Pinrang. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar : Makassar.
Hidayati, Deny. 2016. Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air. Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 11 No. 1 Juni 2016 | 39-48.
Hermanto, B. Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Akuntansi. Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) : Surabaya. Hudiansyah, Sefry dkk. 2010. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Dan
Berkelanjutan Yang Berbasis Masyarakat. Universitas Padjadjaran : Bandung.
Kuwati, dkk. 2014. Eksistensi Sasi Dalam Pelaksanaan Konservasi Di Kabupaten
Raja Ampat. Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat, Waisai – 12 – 13 Agustus 2014 “Raja Ampat And Future Of Humanity (As A World eritage)” Kajian Lingkungan, Konservasi, Dan Biota Laut.
Mardijono. 2008. Tesis “Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Kota Batam”. Universitas Diponegoro : Semarang.
95
Maryuningsih, Yuyun, S.Si.,M.Pd. 2014. Analisis Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Desa Karangrejo Suranenggala Cirebon Pada Pemanfaatan Hasil Laut Untuk Kesejahteraan Keluarga. Jurnal Holistik Volume 15 Nomor 01, 2014.
Masduqi, Harits. 2011. Pengaruh Globalisasi Terhadap Kebudayaan Nasional.
Universitas Negeri Malang : Semarang. Mubah, A. Safril. 2011. Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya
Homogenisasi Global. Universitas Airlangga : Surabaya. Pawarti, 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan Dalam Kearifan Lokal Lubuk
Larangan Ngalau Agung Dikampung Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan.
Prayitno, Adi Setiyo. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Dan Kelestarian
Lingkungan. http://laminoadi.yolasite.com/. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 pada Pukul 11.15 Wita.
Prayogi, Ryan., dan Endang Danial. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada
Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau dalam jurnal HUMANIKA Vol. 23 No. 1 (2016) ISSN 1412-9418.
Riadi, Muchlisin. 2017. Pengertian, Fungsi dan Dimensi Kearifan Lokal.
http://www.kajianpustaka.com/. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 pada Pukul 11.15 Wita.
Renjaan, Melissa Justine. 2013. Tesis “Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada
Masyarakat Adat Kei Desa Ngilngof Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Utara”. Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro : Semarang.
Rusnita, Ida. 2016. Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan dengan menggunakan
Rumpun di Desa Tanjung Batang Kabupaten Natuna. Universitas Maritim Raja Ali Haji : Kepulauan Riau.
Rohmawati. 2012. Skripsi “Masyarakat Dan Perubahan Sosial (Studi Tentang
Pergeseran Nilai Di Desa Paciran Kabupaten Lamongan Pasca Pembangunan Hotel Tanjung Kodok Beach Resort (Tkbr) Dan Wisata Bahari Lamongan (Wbl))”. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel : Surabaya.
Rosyida, Isma dkk. 2011. Partisipasi Masyarakat Dan Stakeholder Dalam
Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (Csr) Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Perdesaan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia | April 2011, hlm. 51-70
Saryani, Yayan. 2010. Skripsi “Langgan Bagi Nelayan Muara-Binuangeun (Studi
Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten”). IPB : Bogor.
96
Sinurat, Sahat. 2015. Pengelolaan Wilayah Laut Yang Terpadu. https://www.kompasiana.com/. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pada pukul 04.45.
Siregar, Dian Ricta. 2014. Skripsi “Penerapan Undang-undang Lingkungan Hidup
dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut pada Nelayan di Pulau Salemo: Suatu Kajian Pluralisme Hukum”. Universitas Hasanuddin : Makassar.
Stanis, Stefanus, dkk. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Melalui
Pemberdayaan Kearifan Lokal Di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut : Vol. 2, No.2, Januari 2007 : 67-82
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. ALFABETA : Bandung. Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.
Suparmini, dkk. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis
Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No.1, April 2013: 8-22. FIS Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Suryanegara, Ellen, dkk. 2015. Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo
Studi Kasus di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara dalam Tahara, T. (2011). Politik Identitas Orang Bajo. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwista.
Watie, Errika Dwi Setya. 2015. Membaca Kearifan Lokal Dalam Penggunaan
Media Sosial. Universitas Semarang : Semarang. Widyastini, Tyas Dan Arya Hadi Dharmawan. 2013. Efektivitas Awig-Awig Dalam
Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Pantai Kedonganan Bali. Jurnal Sosiologi Pedesaan | April 2013, Hlm : 37-51. ISSN : 2302 - 7517, Vol. 01, No. 01
Tuhulele, Popi. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Maluku Dalam
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Universitas Pattimura : Ambon.
Zamzami, Lucky. 2016. Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal
Masyarakat Nelayan Dalam Melestarikan Wisata Bahari dalam jurnal Antropologi : Isu-isu Sosial Budaya Juni 2016 Vol. 18 (1): 57-67.
Zulkarnain, dkk. 2007. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan dan Pelestarian
Sumberdaya Pesisir (Stusi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau). Jurnal Agribisnis Kerakyatan : Volume 1, Nomor 1. Juli 2008, hal 69-84.
97
L A M P I R A N
98
1. Peta Lokasi Desa Bontomarannu Sumber : Data Sekunder, 2017
2. Wawancara terhadap salah satu nelayan
Foto diambil pada tgl 25 Juli 2017
99
3. Alat tangkap pancing yang digunakan nelayan
Foto diambil pada tgl 25 Juli 2017
4. Alat tangkap pancing dengan berbagai ukuran
Foto diambil pada tgl 11 Agustus 2017
100
5. Rumah adat atau tempat persinggahan Karaeng Loe’
Foto diambil pada tgl 13 Juli 2017
6. Kegiatan padongkok pakrappo yang dilakukan pemangku adat
Foto diambil pada tgl 13 Juli 2017
101
7. Sesajen yang warga bawa kepemangku adat atau rumah roh/leluhur
yang mereka percayai Foto diambil pada tgl 10 Juli 2017
8. Kegiatan warga membawakan sesajen kepada Patanna pa’rasangan (roh pemilik kampung)
Foto diambil pada tgl 27 Juli 2017