program studi sosial ekonomi perikanan …

116
i  STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN KABUPATEN TAKALAR OLEH : TITIN ARIATI L241 13 017 PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 SKRIPSI

Upload: others

Post on 27-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

i  

STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN

LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT

DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN

KABUPATEN TAKALAR

OLEH :

TITIN ARIATI L241 13 017

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

SKRIPSI

Page 2: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

ii  

STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN

LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT

DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN

KABUPATEN TAKALAR

OLEH:

TITIN ARIATI

L 241 12 271

Skripsi Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Pada Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan

Universitas Hasanuddin Makassar

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

SKRIPSI

Page 3: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

iii  

Page 4: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

iv  

ABSTRAK

Titin Ariati (L24113017). Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Dibawa bimbingan Abdul Wahid sebagai pembimbing pertama dan Benny Audy Jaya Gosari sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan aktivitas kearifan lokal

dalam pengelolaan lingkungan laut, bentuk partisipasi masyarakat nelayan dalam dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat dan dampak aktivitas kearifan lokal terhadap jasa lingkungan di Desa Bontomarannu. Penelitian dilaksanakan bulan Mei-Juli 2017 di Desa Bontomarannu Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu dengan pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Informan penelitian terdiri dari pemangku adat, nelayan mandiri, dan sawi yang berjumlah 11 orang. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan aktivitas kearifan lokal dibagi atas dua yaitu pemanfaatan lingkungan laut dan konservasi lingkungan laut. Dalam kearifan lokal pemanfaatan lingkungan laut yaitu penentuan waktu dan musim penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap. Sedangkan kearifan lokal dalam konservasi lingkungan laut yaitu upacara penghormatan laut, selektif dalam penangkapan ikan, dan pamali/tabu yang dilakukan selama dilaut. Bentuk partisipasi masyarakat terbagi atas 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan. Sedangkan dalam hal jasa lingkungan, dengan adanya lima bentuk dan aktivitas kearifan lokal yang ada di Desa Bontomarannu merupakan proses pembangunan berkelanjutan yang termasuk dalam menjaga ekosistem dengan tidak merusak lingkungan laut dan tidak mengubah fungsi ekosistem. Kata Kunci : Kearifan lokal, pengelolaan lingkungan laut, partisipasi, pembangunan berkelanjutan

Page 5: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

v  

ABSTRACT

Titin Ariati (L24113017). Study of Local Wisdom as the Foundation for Community Based Marine Environment Management in Bontomarannu Village, South Galesong Districts, Takalar District. By guidance of Abdul Wahid as a first preceptor and Benny Audy Jaya Gosari as a member of preceptor.

This study aims to determine the form and activities of local wisdom in the management of the marine environment, the form of community participation of fishermen in the basis of community-based marine environment management and the impact of local wisdom activities on environmental services in the Village Bontomarannu. The research was conducted from May to July 2017 at Bontomarannu Village, South Galesong subdistrict, Takalar district. This research uses purposive sampling technique that is by taking samples with certain consideration. The research informants consisted of costum stakeholders, independent fishermen, and mustard greens totaling 11 people. Data collection is done by observation, interview and literature study.

The results showed that the form and activity of local wisdom is divided into two, namely the utilization of the marine environment and the conservation of the marine environment. In the local wisdom of the use of the marine environment is the determination of time and seasons of fishing and the use of fishing gear. While the local wisdom in the conservation of the marine environment is the ceremony of the sea, selective in fishing, and pamali/taboo conducted during the sea. The form of community participation is divided into 4 stages : planning, implementation, evaluation, and utilization. In terms of environmental services, the exixtence of five forms and activities of local wisdom in the village of Bontomarannu is a sustainable development process which includes maintaining the ecosystem by not damaging the marine environment and not changing the function of the ecosystem.

Keywords: Local wisdom, marine environment management, participation, sustainable development

Page 6: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

vi  

RIWAYAT HIDUP

Titin Ariati lahir di Ujung Pandang, pada tanggal 23 Juni

1996. Penulis merupakan anak pertama dari lima

bersaudara, anak dari Ayahanda Aris dan Ibunda Sunarti.

Pada tahun 2002 penulis memasuki sekolah dasar di SD

Inpres Jogaya 1 Makassar kemudian pindah sekolah pada

tahun 2004 SD Inpres Tamangapa Makassar dan lulus pada

tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1 Watampone

dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan MAN 1

Watampone dan lulus pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan

pendidikan S1 Program Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis merupakan anggota dari

Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (Himasei-UH).

Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan merupakan syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Perikanan penulis melakukan penelitian dengan judul

“Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis

Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten

Takalar”.

”Yang dibimbing oleh Dr. Abdul Wahid, S.Pi., M.Si dan Benny Audy Jaya Gosari,

S.Kel., M.Si”

Page 7: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

vii  

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala Puji bagi Allah Subhana Wa Ta’ala atas

kebesaran dan karunia-Nya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan

Skripsi dengan judul “Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan

Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan

Galesong Selatan Kabupaten Takalar”. yang merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan

Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Hasanuddin.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan dan

bantuan dari pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut

menyumbangkan pikiran, tenaga dan inspirasi bagi penulis. Dan segala ikhlas dan

tulus, penulis mengucapkan terima kasi yang tak terhingga kepada :

1. Orang tua tercinta, terimakasih yang tak terhingga kepada yang terkasih,

tersayang dan tercinta Ayahanda Aris dan Ibunda Sunarti. Terima kasih atas

do’a, kasih sayang dan pengorbanan yang tak pernah bisa terbalas oleh

apapun. Semoga Allah Subhana Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-

Nya kepada kita semua di dunia dan di akhirat kelak. Amin.

2. Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanaan, Universitas Hasanuddin.

Page 8: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

viii  

3. Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M. Si selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

4. Ibu Dr. Nursinah Amir, S.Pi., M.P selaku ketua Jurusan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

5. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si selaku Ketua Program Studi Sosial

Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Hasanuddin.

6. Bapak Dr. Abdul Wahid, S.Pi., M.Si selaku pembimbing utama yang telah

membimbing, membantu serta memberikan saran dan kritikan kepada penulis

sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan menyelesaikan

skripsi ini.

7. Bapak Benny Audy Jaya Gosari, S.Kel., M.Si selaku panasehat akademik di

perguruan tinggi di Universitas Hasanuddin Makassar. Beliau juga pembimbing

anggota yang telah banyak membimbing, membantu serta memberikan saran

dan kritikan kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan

baik dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si dan Firman, S.Pi, M.Si serta Ibu Dr.

Ir. Mardiana E. Fachry, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran-saran pada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

9. Seluruh Staf Dosen Jurusan Perikanan khususnya dosen-dosen Program

Sosial Ekonomi Perikanan saya ucapkan terima kasih atas bimbingannya

selama ini.

10. Seluruh karyawan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, saya ucapkan terima

kasih atas bantuannya dalam pengurusan administrasi selama perkuliahan

sampai penyelesaian tugas akhir ini.

Page 9: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

ix  

11. Terima kasih banyak saya ucapkan buat Pak Yesi, Pak Gatot dan Kak Aspar

atas segala bantuan dan saran yang diberikan dalam penyelesaian

pengurusan administrasi kampus.

12. Kepada adikku Muh. Rio Pambudi Aris, Siti Irmawati Aris, Muh. Isram

Syahbana Aris, dan Rezky Ariati Aris tersayang. Semoga Allah selalu

melindungi kita, kesehatan yang tidak bisa kita hitung dan senatiasa

melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua di dunia dan akhirat kelak. Amin.

13. Seluruh saudara-saudara SOSEK Perikanan Angkatan 2013, terima kasih

atas bantuan dan kebersamaannya. Semoga kelak kita bisa sukses dimasa

depan dengan akhlak yang baik dan masa depan yang cemerlang. Amiin

14. Buat sahabat saya Jusmawati dan Rahayu sejak semester satu sampai

sekarang terima kasih yang selalu menemani dan memberikan semangat,

saran, serta dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

15. Kepada Kak Sandy Rahman terima kasih atas doa, dukungan, dan

motivasinya pada saat penelitian maupun dalam pembuatan skripsi ini yang

tak henti-hentinya memberikan semangat dan kesabaran.

16. Terima kasih kepada Mustakina Sulaeman dan Muhammad Haris, teman

perjuangan satu pembimbing yang tak henti memberikan semangat untuk

menyelesaikan skripsi ini.

17. Terima kasih kepada teman penelitian satu desa Ayu Rahayu dan Rada

Nipas yang telah memberikan dukungan, masukan, dan telah menemani pada

saat melakukan penelitian.

18. Terima kasih kepada teman-teman KKN gelombang 93 Kab. Wajo, Kec.

Belawa, Kel. Malakke, yaitu Uswah Khairi Fadillah, Ruhama Rara, Sri

Page 10: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

x  

Ayoesti, Faisal Oddang, Ashar, dan Muslimin yang telah memberikan

kenangan yang indah dan pelajaran berharga kepada penulis.

19. Terima kasih kepada seluruh warga Desa Bontomarannu atas kerjasamanya

dan bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan pengambilan data

untuk skripsi ini.

Penulis telah berusaha menyajikan skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun

disadari masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan

sarannya yang bersifat membangun agar kedepannya dapat lebih baik. Semoga

laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian terutama kepada diri

pribadi penulis. Amin.

Makassar, 2017

Titin Ariati

Page 11: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

xi  

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

ABSTRACT .......................................................................................................... v

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6

D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kearifan Lokal ............................................................................................. 7

B. Dimensi dan Prinsip-prinsip Kearifan Lokal ............................................... 9

C. Perubahan Kearifan Lokal dan Faktor-faktor Penyebab Perubahan Kearifan

Lokal Masyarakat Nelayan ......................................................................... 12

D. Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat ................................ 21

E. Kearifan Lokal dalam Pembangunan Perikanan ....................................... 25

F. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut .... 26

G. Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia ......................... 32

Page 12: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

xii  

H. Kerangka Pikir ............................................................................................ 38

III. MEDOTOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat ..................................................................................... 40

B. Jenis Penelitian ........................................................................................... 40

C. Metode Pengambilan Sampel .................................................................... 40

D. Sumber Data ............................................................................................... 41

E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 42

F. Analisis Data ............................................................................................... 43

G. Konsep Operasional ................................................................................... 44

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis .......................................................................................... 47

B. Kondisi Demografi ...................................................................................... 48

C. Keadaan Sosial Ekonomi ........................................................................... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk dan Aktivitas Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Laut 53

1. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lingkungan Laut .......................... 54

2. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan Laut .............................. 65

B. Partisipasi Masyarakat dalam Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis

Masyarakat ................................................................................................. 80

C. Dampak Aktivitas Kearifan Lokal Terhadap Pembangunan Berkelanjutan 85

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................................. 92

B. Saran .......................................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 94

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... 97

 

 

Page 13: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

xiii  

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Tangga Partisipasi Amstein ........... 28

2. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu Berdasarkan Jenis Kelamin .......... 48

3. Pembagian Jumlah Penduduk Berdasarkan Dusun Di Desa Bontomarannu 49

4. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu ............................. 50

5. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu ...................................... 51

6. Sarana Dan Prasarana Di Desa Bontomarannu ............................................ 52

7. Jenis Kegiatan Ritual Adat pada Desa Bontomarannu .................................. 68

8. Bentuk Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis

Mayarakat ........................................................................................................ 81

Page 14: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

xiv  

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pikir ................................................................................................. 39

2. Peta Desa Bontomarannu ............................................................................... 47

Page 15: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

xv  

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Desa Bontomarannu ................................................................... 98

2. Wawancara Terhadap Salah Satu Nelayan ................................................... 98

3. Alat Tangkap Pancing yang Digunakan Nelayan ........................................... 99

4. Alat Tangkap Pancing dengan Berbagai Ukuran dan Mata Pancing ............. 99

5. Rumah Adat atau Tempat Persinggahan Karaeng Loe’ ................................. 100

6. Kegiatan Padongkok Pakrappo yang Dilakukan Pemangku Adat ................. 100

7. Sesaji yang Warga Bawa Kepemangku Adat atau Rumah Roh/Leluhur yang

Mereka Percayai ............................................................................................. 101

8. Kegiatan Warga membawakan Sesaji Kepada Patanna Pa’rasangan (Roh Pemilik

Kampung) ........................................................................................................ 101

Page 16: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

1  

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki wilayah

laut dan pesisir. Dengan memiliki wilayah laut yang luas serta pulau-pulau,

tentunya Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dan

keanekaragaman budaya bahari pada suku bangsa ditiap-tiap daerah. Pada

setiap suku bangsa memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing baik dari

segi bahasa daerah yang digunakan, adat isitiadat serta kebiasaan dan lain-lain.

Sehingga dengan potensi tersebut, masyarakat Indonesia memiliki cara tersendiri

dalam melakukan pengelolaan lingkungan laut.

Pengelolaan laut yang terpadu lintas sektor ini berupa pengelolaan

pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di

kawasan laut, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan

laut dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya,

menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan guna mencapai pembangunan

yang optimal dan berkelanjutan (Sinurat, 2015). Karena hal ini, Indonesia yang

memiliki wilayah laut yang amat luas sehingga pengelolaan lingkungan disetiap

wilayah berbeda-beda. Salah satunya dengan dipengaruhinya kearifan lokal yang

telah ada sejak dahulu hingga sekarang dan masih dipertahankan oleh

masyarakat lokal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang diketahui oleh

masyarakat dan telah dijalankan secara turun-temurun atau dari generasi ke

generasi dalam waktu yang sangat lama. Biasanya kearifan lokal berisi tentang

cara memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam. Menurut Kosmaryandi

(2005) dalam Pawarti (2012), kekayaan pengetahuan masyarakat lokal sudah

berkembang dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan perkembangan

Page 17: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

2  

peradaban manusia. Sehingga pengetahuan masyarakat lokal yang didapat

karena hasil dari pengalaman yang telah dilalui dan proses adaptasi tehadap

lingkungan sekitar.

Dalam proses pengelolaan lingkungan laut, tentunya masyarakat

mempunyai kebiasaan dalam memanfaatkan dan menjaga kelestarian lautnya.

Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat adalah memiliki atau

menganggap bahwa laut merupakan sumberdaya untuk kelangsungan,

pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat pesisir

di wilayah Indonesia memiliki cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut

dan persepsi kelautan. Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh

masyarakat pesisir, muncul suatu tradisi untuk menghormati kekuatan sumber

daya laut. Tradisi tersebut lazimnya diwujudkan melalui ritual, yang bertujuan

untuk mengungkapkan rasa syukur karena alam melalui sumber daya laut telah

memberikan kelimpahan serta rezeki dalam kelangsungan hidup mereka (Ismail,

2007 dalam Hasmah, 2014).

Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam pelestarian

lingkungan dengan cara-cara yang sesuai dengan pola pikir dan tradisi setempat,

sehingga diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menjaga

keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bentuk pantangan,

larangan, tabu, pepatah-petitih dan berbagai tradisi lainnya dapat

mengungkapkan beberapa pesan yang memiliki makna sangat besar bagi

pelestarian lingkungan khususnya sumberdaya pesisir (Zulkarnain, 2007).

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan kewajiban pemerintah untuk

menetapkan sustainable development sebagai solusi untuk memperbaiki

kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi

dan keadilan sosial. Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam

Page 18: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

3  

pembangunan nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk

memadukan pilar pembangunan secara proporsional. Konsep pembangunan

berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa

pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan

hidup (Renjaan, 2013). Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2009, diharapkan

masyarakat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa

menimbulkan kerusakan lingkungan sekitarnya.

Dalam perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK) modern di bidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada

masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumber daya hayati laut semaksimal

mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut mulai pula

dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya hayati

perairan serta kualitas lingkungan. Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) maka pendekatan secara non-

struktural, melalui peranan pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola

dan memanfaatkan sumber daya hayati perairan yang sarat dengan nilai

konservasi memiliki peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan

secara struktural, pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya

indentitas, budaya dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktivitas-

aktivitas secara tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung

pemanfaatan sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan (Hasmah, 2014).

Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan

kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakteristik

yang berbeda-beda. Pada suatu komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan

lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai tata

pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah dan adaptasi

yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu

Page 19: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

4  

komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan

ekologis suatu komunitas masyarakat (Rusnita, 2016).

Bagi masyarakat di Indonesia, kearifan lokal mengandung nilai, norma,

sistem kepercayaan, mitos, dan ritual yang diyakini masyarakat terhadap

lingkungannya. Setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri yang berkaitan

dengan pengelolaan lingkungan laut. Pengelolaan lingkungan laut melalui

kearifan lokal memiliki kelebihan tersendiri, selain untuk memelihara lingkungan

alam juga dapat menjaga kebudayaan masyarakat setempat. Masyarakat

dengan memiliki kearifan lokal yang telah ada sejak dahulu sampai sekarang

telah memberikan perilaku positif terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.

Dengan melihat gejala-gejala yang muncul di alam sekitar sehingga dapat

memprediksi apa yang akan terjadi serta penggunaan teknologi yang tradisional

tentunya akan menjaga kelestarian lingkungannya meskipun banyak faktor

penyebab perubahan kearifan lokal yang mulai tergerus oleh zaman teknologi

yang canggih.

Salah satu pulau di Indonesia yaitu Pulau Sulawesi yang terdapat

beberapa daerah yang masih mempertahankan eksistensi kearifan lokal mereka

hingga saat ini. Terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya Kabupaten

Takalar yang masih mempertahankan budaya bahari dalam penangkapan ikan

yang dilakukan secara tradisional dengan sistem pengetahuan dan peralatan

yang cukup sederhana. Salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Takalar

yaitu Desa Bontomarannu yang merupakan pemukiman masyarakat nelayan

yang masih mempertahankan kearifan lokalnya seperti alat tangkap tradisional

yang mereka gunakan, jenis ikan tertentu yang tidak dapat mereka tangkap,

serta pamali atau pantangan yang tidak boleh dilakukan selama melaut dan lain-

lain. Hal diatas merupakan kearifan lokal yang mereka lakukan sejak dahulu

Page 20: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

5  

hingga sekarang dan telah memberikan kontribusi besar dalam pengelolaan

lingkungan laut.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui tradisi yang dilakukan masyarakat dan nelayan dalam mengelola

lingkungan lautnya, partisipasi masyarakat nelayan terhadap kearifan lokal serta

pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan dari kearifan lokal tersebut. Dengan

dasar itulah peneliti mengambil judul ”Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar

Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu

Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan

lingkungan laut di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan

Kabupaten Takalar ?

2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat nelayan di Desa

Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam

dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat ?

3. Bagaimana dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pembangunan

berkelanjutan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan

Kabupaten Takalar ?

Page 21: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

6  

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan

lingkungan laut di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan

Kabupaten Takalar.

2. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat nelayan di Desa

Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam

dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat.

3. Untuk mengetahui dampak aktivitas kearifan lokal terhadap

pembangunan berkerlanjutan di Desa Bontomarannu Kecamatan

Galesong Selatan Kabupaten Takalar.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diberikan sebagai berikut :

1. Dari segi akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah

satu sumber informasi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian-

penelitian terkait yang akan dilaksanakan.

2. Dari segi sosial, dapat memperoleh penjelasan mengenai lingkungan

masyarakat setempat, seberapa jauh kelestarian sumberdaya alam dan

pengelolaan lingkungan laut dipengaruhi oleh kearifan lokal.

3. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan untuk menentukan suatu kebijakan yang tepat bagi

masyarakat pedesaan.

Page 22: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

7  

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk pengetahuan atau pola pikir

masyarakat secara tradisional yang telah dilaksanakan dan diwariskan secara

turun temurun dari masa ke masa. Pada setiap daerah memiliki keunikan

tersendiri dalam menjalankan kearifan lokal baik yang berhubungan dengan

lingkungan alam dan sosial. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Suhartini (2009),

kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam

berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu

kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku

yang berbeda.

Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan

pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam

pemenuhan kebutuhan mereka, meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu

dan teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka

mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk

mempertahankan, memperbaiki, dan mengembangkan unsur kebutuhan dan

cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumber daya manusia dan sumber

daya alam disekitarnya (Suparmini, 2013).

Sedangkan menurut Zakaria (1994) dalam Arafah (2002) sebagaimana

dikutip oleh Aulia (2010), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional

dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu

masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang

berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan

Page 23: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

8  

masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur

lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia,

dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat)

dan lingkungan alamnya.

Umumnya kearifan lokal diwujudkan dengan cara tersendiri yang unik

dalam norma budaya dalam ritual dan tradisi masyarakat. Menurut pendapat

Aulia (2010) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam

masyarakat dapat berupa : nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.

Bentuk yang bermacam-macam ini mempengaruhi fungsi kearifan lokal menjadi

beragam pula. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber

daya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan

dan ilmu pengetahuan dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

Sementara itu dalam memelihara kearifan lokal agar tetap bertahan perlu

diperhatikan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang.

sedangkan menurut Saharuddin (2009), tantangan-tantangan kearifan lokal

adalah pertumbuhan penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar,

kemiskinan dan kesenjangan, kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

pokok seringkali menimbulkan masalah-masalah sosial dalam pemanfaatan

sumber daya alam (Zamzami, 2016).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah

suatu sikap atau pola pikir (pengetahuan) masyarakat lokal yang diketahui

berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan atau yang telah mereka

jalankan secara turun temurun dalam melakukan aktivitas dan masalah yang

dihadapi dikehidupan sehari-hari.

Konsep kearifan lokal yang menjadi ciri khas pada masyarakat tertentu

karena konsep kearifan lokal menjadi suatu norma yang memiliki nilai-nilai

tertentu yang harus dikembangkan untuk selanjutnya diwariskan oleh masyarakat

Page 24: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

9  

pemiliknya secara turun-temurun. Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk dalam

Mitchell (2007), yang dikutip oleh Saryani (2010), bahwa pengetahuan lokal

masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran

yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari

alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam

merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungannya inilah kemudian melahirkan

suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba” telah mengembangkan

pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan

tersebut.

B. Dimensi dan Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal

Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat

tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena

adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan

hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di

dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut

kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan

segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka

dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara

berkelanjutan (sustainable development) (Suparmini, 2013).

Menurut Mitchell (2003) dalam Riadi (2017), kearifan lokal memiliki enam

dimensi, yaitu :

1. Pengetahuan Lokal

Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan

lingkungan hidupnya karena masyarakat memiliki pengetahuan lokal dalam

Page 25: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

10  

menguasai alam. Seperti halnya pengetahuan masyarakat mengenai perubahan

iklim dan sejumlah gejala-gejala alam lainnya.

2. Nilai Lokal

Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal mengenai

perbuatan atau tingkah laku yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh

anggotanya tetapi nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan

kemajuan masyarakatnya. Nilai-nilai perbuatan atau tingkah laku yang ada di

suatu kelompok belum tentu disepakati atau diterima dalam kelompok

masyarakat yang lain, terdapat keunikan. Seperti halnya suku Dayak dengan

tradisi tato dan menindik di beberapa bagian tubuh.

3. Keterampilan Lokal

Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk bertahan hidup (survival)

untuk memenuhi kebutuhan kekeluargaan masing-masing atau disebut dengan

ekonomi substansi. Hal ini merupakan cara mempertahankan kehidupan

manusia yang bergantung dengan alam mulai dari cara berburu, meramu,

bercocok tanam, hingga industri rumah tangga.

4. Sumber daya Lokal

Setiap masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan

kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau

dikomersialkan. Masyarakat dituntut untuk menyimbangkan keseimbangan alam

agar tidak berdampak bahaya baginya.

5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal

Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri

atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang

memerintah warganya untuk bertindak sesuai dengan aturan yang telah

disepakati sejak lama. Kemudian jika seseorang melanggar aturan tersebut,

Page 26: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

11  

maka dia akan diberi sangsi tertentu dengan melalui kepala suku sebagai

pengambil keputusan.

6. Solidaritas Kelompok Lokal

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain

dalam melakukan pekerjaannya, karena manusia tidak bisa hidup sendirian.

Seperti halnya manusia bergotong-royong dalam menjaga lingkungan sekitarnya.

Pada umumnya masyarakat Indonesia yang masih bersifat tradisional,

mengetahui lingkungan alam yang ada disekitarnya. Mereka beradaptasi dengan

ekosistem alam dengan baik dengan hidup secara berdampingan sehingga dapat

mengenal kondisi alam dan memanfaatkan sumberdaya alam dengan berbagai

cara.

Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam

dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat.

Berkaitan dengan hal itu, Nababan (1995) yang dikutip oleh Suparmini (2013)

mengemukakan : “Prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumberdaya

alam secara tradisional meliputi :

(1) Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia

dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong

memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri,

(2) Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis

sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal

property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan

mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar,

(3) Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang

memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-

masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang

terbatas,

Page 27: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

12  

(4) Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan

hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat,

(5) Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan

sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat

sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat

tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek

kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu,

(6) Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik

bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam

masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan

mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang

berlaku”.

C. Perubahan Kearifan Lokal Dan Faktor-Faktor Penyebab Perubahan

Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan

Di era sekarang, dengan segala bentuk perkembangan yang terjadi

diseluruh dunia baik dalam hal teknologi serta cara berpikir yang membuat

masyarakat hanya mementingkan diri sendiri menyebabkan perubahan kearifan

lokal yang telah ada sejak dulu mulai pudar. Masyarakat adat dengan segala

kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya

pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu

wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Dalam Sartini (2004) yang dikutip oleh Aulia (2010), menjelaskan

bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan

penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas

tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan

Page 28: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

13  

akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar

individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan.

Seiring dengan perkembangan zaman, praktek-praktek kearifan lokal

yang sudah merupakan bagian dari budaya ini mulai dilupakan bahkan di anggap

tabu. Kepercayaan, takhayul, mitos, kebiasaan, pengetahuan serta keyakinan

adalah bagian dari budaya yang mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat.

Padahal jika kita lihat, program-program pembangunan di daerah bisa gagal

apabila tidak memperhitungkan faktor budaya dan kearifan lokal masyarakat.

Setiap masalah yang terjadi di masyarakat, tidak dapat dilihat hanya dari satu

sudut pandang saja. Akan tetapi aspek-aspek lain juga harus diperhitungkan.

Misalnya saja pada saat menyelesaikan masalah kemiskinan, kita tidak bisa

melihat itu sebagai suatu akibat dari rendahnya tingkat pendidikan saja, tetapi

kita harus juga memahami aspek pengetahuan lokal masyarakat, kepercayaan,

dan pola perilaku masyarakat (Saryani, 2010)

Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa dengan perkembangan zaman

yang sekarang menyebabkan adanya perubahan kearifan lokal. Masyarakat

tertentu berubah secara dinamis terhadap kearifan lokal yang ada atau yang

berlaku diwilayahnya. faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan

kebudayaan ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi perubahan

kearifan lokal. Seperti yang diketahui bahwa kearifan lokal merupakan produk

kebudayaan masyarakat yang melembaga pada masyarakat. Sehingga seiring

dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat, maka

kearifan lokal ini juga akan ikut mengalami perubahan.

Berikut adalah beberapa faktor-faktor penyebab perubahan kearifan lokal

adalah sebagai berikut :

1. Pertumbuhan Penduduk

Salah satu faktor penyebab perubahan kearifan lokal adalah dengan

Page 29: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

14  

adanya pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk tiap tahunnya semakin

bertambah seiring dengan jumlah kelahiran yang terus meningkat. Pertumbuhan

penduduk ini menyebabkan beberapa masalah, seperti semakin sedikitnya

jumlah lapangan pekerjaan yang ada dan rendahnya daya dukung pada

lingkungan sekitar. Sehingga menyebabkan masyarakat memulai segala macam

cara untuk memunuhi kebutuhan sehari-harinya dan mulai tidak mengindahkan

kearifan lokal atau aturan lokal yang berlaku. Mereka mulai berpikir secara

realistis berdasarkan fakta yang ada bukan percaya akan takhayui atau ritual

kearifan lokal.

Seperti yang dijelaskan oleh Sartini (2004) dalam Saryani (2010), bahwa

pertumbuhan penduduk akan menjadi salah satu faktor penyebab perubahan

kearifan lokal yang merupakan pembentuk budaya suatu komunitas. Pada saat

jumlah komunitas dalam suatu masyarakat terus meningkat, maka seiring

dengan itu, kebutuhan mereka pun meningkat. Misalnya saja kebutuhan untuk

pemukiman. Masyarakat dengan jumlah penduduk yang besar, untuk pemukiman

atau pun untuk mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk

tersebut. Pada saat itulah mereka mulai meninggalkan praktek-praktek kearifan

lokal. Misalnya saja, hutan yang semula dianggap sakral sehingga dilarang untuk

dibuka, maka pada saat jumlah penduduk meningkat dan mereka butuh lahan

untuk bermukim dan mencari nafkah, maka pada saat itulah mereka mulai

membuka hutan tersebut.

2. Kemudahan Akses Keluar Masuknya Individu Atau Komunitas Pada

Komunitas Lain

Pada saat peraturan adat dan budaya tidak membatasi/mengatur akses

keluar dan masuknya seorang individu atau anggota komunitas tertentu ke dalam

komunitasnya, maka masuknya kebudayaan asing kedalam komunitas tersebut

akan sangat mudah. Masuknya budaya luar yang dibawa oleh penduduk baru

Page 30: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

15  

dari luar tersebut akan memberi pengaruh terhadap budaya komunitas yang

dimasukinya (Saryani, 2010).

Kemudahan akses keluar atau masuknya komunitas budaya yang satu

dengan yang lain akan menyebabkan terjadinya percampuran budaya dan selalu

berhubungan dengan komunikasi lintas budaya. Artinya adalah pada saat

anggota komunitas tertentu masuk, maka dia akan berusaha

mengkomunikasikan budayanya atau mungkin dia akan mencoba menerima

budaya setempat sebagai budaya barunya bergantung seberapa besar kekuatan

budayanya dan seberapa pintar dia mengkomunikasikan budayanya untuk di

terima oleh komunitas barunya tersebut. Pada saat itulah sedikit demi sedikit

akan terjadi dinamika perubahan kebudayaan (beserta kearifan lokal yang ada

didalamnya) yang akan berlangsung secara evolusi, difusi dan akulturasi melalui

inovasi (Sartini, 2004 dalam Saryani, 2010).

Berdasarkan pendapat Sartini (2004) yang dikutip sebagaimana oleh

Saryani (2010) bahwa kearifan lokal dapat berubah karena benturan nilai dan

relativitas budaya pada komunikasi lintas budaya. Dalam aneka ragam budaya

dengan nilai-nilai kulturnya akan ada pemahaman yang tidak selalu sama dalam

hal nilai dan pemahamannya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya

benturan nilai antar budaya. Benturan nilai ini akan diselesaikan salah satunya

dengan cara mengkomunikasikan identitas/nilai budaya masing-masing sehingga

akan ditemukan suatu kesepakatan bersama. Saat itulah setiap anggota yang

berkepentingna akan mencoba menerima budaya masing-masing. Hal ini

memberi kesempatan budaya tertentu untuk tumbuh dan berkembang dalam

suatu komunitas sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan

kebudayaan yang berimplikasi pada berubahnya kearifan lokal masyarakat

setempat.

Page 31: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

16  

3. Globalisasi

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat dunia yang tidak

mengenal batas wilayah dan menghubungkan antara masyarakat di suatu

negara dengan masyarakat di negara lain di seluruh dunia. Globalisasi berangkat

dari suatu gagasan untuk menyatukan tatanan antar bangsa yang diharapkan

menjadi sebuah kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi

bangsa- bangsa di seluruh dunia. Sebagai proses yang berkesinambungan,

globalisasi mampu mengurangi kendala dimensi ruang dan waktu sehingga

interaksi dan komunikasi antar bangsa bisa dilakukan dengan cepat dan tepat

sasaran. Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi

merambah semua sektor kehidupan dan memberi pengaruh yang signifikan pada

tatanan masyarakat dunia (Masduqi, 2011).

Harus diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah

negara-negara maju. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya

untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat

dengan mudah melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi

dan komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama,

negara-negara berkembang tak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena

daya kompetitifnya yang rendah. Akibatnya, negara-negara berkembang hanya

menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai negara maju yang

dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya (Mubah, 2011).

Situasi yang kemudian muncul adalah Indonesia menjadi salah satu

pasar potensial berkembangnya budaya asing milik negara maju berkekuatan

besar. Situasi ini mengancam budaya-budaya lokal yang telah lama mentradisi

dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia. Budaya lokal dihadapkan

pada persaingan dengan budaya asing untuk menjadi budaya yang dianut

masyarakat demi menjaga eksistensinya. Daya tahan budaya lokal sedang diuji

Page 32: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

17  

dalam menghadapi penetrasi budaya asing yang mengglobal itu.

Permasalahannya, daya tahan budaya lokal relatif lemah dalam menghadapi

serbuan budaya asing. Perlahan tapi pasti, budaya lokal sepi peminat karena

masyarakat cenderung menggunakan budaya asing yang dianggap lebih modern

(Mubah, 2011).

4. Pengaruh Teknologi Baru dan Media Massa

Kearifan lokal sebenarnya ada dan hendaknya diperhatikan oleh setiap

individu yang hidup dalam masyarakat lokal. Tidak ada orang yang lepas

sepenuhnya dari adanya kearifan lokal dimana orang tersebut hidup. Indonesia

sebagai negara dengan kekayaan budaya yang tinggi, tentunya memiliki kearifan

lokal yang kuat pula. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa

ini menunjukkan perubahan yang cepat dan drastis, terutama di ranah

perkembangan media komunikasi massa. Sebagaimana yang kita tahu, media

komunikasi massa memiliki perkembangan yang cukup signifikan. Dimulai dari

menjamurnya media lokal, berkembangnya media online, hingga populernya

media sosial di berbagai kalangan masyarakat (Watie, 2015).

Perubahan sistem mata pencaharian disebabkan oleh masuknya

teknologi baru dalam penagkapan ikan seperti trawl yang telah menggeser alat

tangkap tradisional. Diawal, pendapatan nelayan relatif meningkat. Akan tetapi

seiring dengan peningkatan pendapatan, praktek penangkapan ikan dengan

teknologi baru itu mengarah pada eksploitasi sumber daya perairan yang sangat

berlebihan. Akibatnya keseimbangan ekologi jadi tidak stabil, degradasi

lingkungan, kerusakan terumbu karang, ikan mulai berkurang dan sebagainya.

Hal ini telah mengakibatkan berkurangnya jumlah tangkapan ikan di laut dan

pendapatan nelayan menjadi berkurang secara drastis. Fenomena ini

disebabkan oleh penggunaan teknologi oleh segelintir orang yang tidak

memperhatikan kearifan lokal masyarakat dan keseimbangan lingkungan dan

Page 33: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

18  

hanya memperhitungkan kebutuhan sesaat saja, sehingga kegiatan

penangkapan ikan mengarah pada bentuk eksploitasi yang berlebihan.

Masyarakat yang menggunakan tanda-tanda alam dalam melaut dan kebijakan

lokal masyarakat yang tidak menangkap ikan yang masih kecil, perlahan

ditinggalkan. Sementara penggunaan teknologi baru ini tidak memikirkan hal-hal

seperti itu akibatnya populasi ikan tertentu di laut menjadi berkurang bahkan

punah. Implikasinya adalah pendapatan nelayan menurun drastis dan nelayan

tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Sehingga masyarakat akan mencari

alternatif baru dalam mencari nafkah (Saryani, 2010).

Terlihat bahwa dengan diintroduksikannya teknologi baru melalui media

massa telah dapat merubah kearifan lokal yang masyarakat lokal miliki dalam

sistem mata pencaharian masyarakat. Akibat dari pemakaian teknologi yang

tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kearifan lokal masyarakat

akhirnya melahirkan berbagai permasalahan yang penanganannya harus

disegerakan. Pada saat mata pencaharian masyarakat nelayan tidak lagi

menjanjikan disektor perikanan, maka mereka akan mencari alternatif lain untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat itulah mereka meninggalkan peran

sebagai nelayan dan meninggalkan kearifan lokal mereka dalam menangkap

ikan di laut (Saryani, 2010).

5. Perubahan Kebijakan Pemerintah

Pada pasal 1 ayat (1) UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa lingkungan hidup adalah

kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

lainnya. Terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, mulai dengan pengertian

lingkungan sumber daya ikan, yakni bagian dari lingkungan hidup yang

Page 34: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

19  

merupakan perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan

faktor alamiah sekitarnya (UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Tidak terkecuali dengan

pengelolaan sumber daya laut yang merupakan bagian dari tindakan terhadap

lingkungan hidup, di mana pengelolaan sumber daya laut adalah segala upaya

mengoptimalkan manfaat sumber daya laut. Sumber daya laut itu sendiri adalah

unsur hayati, non hayati yang terdapat di wilayah laut dan dapat digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan manusia (Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor

30 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut)

(Siregar, 2014).

Peraturan tersebut merupakan peraturan tertulis yang mengatur

pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, baik

bagi pihak pemerintah itu sendiri, badan hukum lainnya, maupun bagi individu

khususnya para nelayan di Indonesia. Selain itu, pada pasal 3 UU RI No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan

bahwa tujuan dari Pengelolaan lingkungan hidup adalah :

a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian

ekosistem;

d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;

f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa

depan;

g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup

sebagai bagian dari hak asasi manusia;

Page 35: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

20  

h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu

pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Hal tersebut dapat

memberi dampak yang nyata pada suatu daerah dan masyarakat yang tinggal di

atasnya. Sebagai contoh, adanya ketegangan dan konflik antarkelompok nelayan

yang merupakan konsekuensi dari sifat sumber daya perikanan sebagai sumber

daya milik bersama (common pool resources). Konflik antarkelompok nelayan

juga terjadi dalam bentuk tumpang-tindih di antara kelompok-kelompok nelayan

yang menggunakan sumber daya yang sama dengan memakai peralatan yang

sama pula atau di antara para nelayan yang menggunakan peralatan berbeda

tetapi menangkap persediaan ikan yang berbeda pada daerah penangkapan

yang sama. Maka itu perlu adanya suatu strategi pengelolaan (Siregar, 2014).

6. Pergeseran Nilai Budaya

Pergeseran merupakan suatu perubahan secara sedikit demi sedikit atau

berkala pada seorang yang dipengaruhi oleh perkara lain yang mengakibatkan

perubahan pandangan hidup. Pendapat tersebut menegaskan bahwa,

perubahan dari setiap diri seseorang tidak datang dengan begitu saja melainkan

harus diusahakan dan diupayakan. Menurut Smith dalam Prayogi (2016),

menyatakan bahwa makna dari pergeseran tersebut merupakan peningkatan

kemampuan sistem sosial, kemampuan sistem sosial memproses informasi-

informasi, baik yang langsung maupun tidak langsung dan proses modernisasi ini

sesuai dengan pilihan dan kebutuhan masyarakat. Proses pergeseran nilai-nilai

ini tidak terjadi secara spontan melainkan dilandasi oleh kesadaran dan waktu

yang cukup lama menuju kearah suasana kehidupan yang lebih baik, secara

Page 36: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

21  

tidak langsung pergeseran atau perubahan akan terjadi secara perlahan-lahan

dan tanpa disadari.

Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-

perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti

mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun

luas. Serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga

yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai

nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan

lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan

wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya (Soekanto, 2012 dalam

Rohmawati, 2012)

Eksistensi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia,

sayangnya, telah mengalami penurunan. Kondisi ini digambarkan dari banyaknya

nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipraktikkan lagi, dan di banyak tempat,

keberadaan kearifan lokal sudah diabaikan dan tinggal menjadi cerita

masyarakat. Di beberapa tempat lainnya, kearifan lokal bahkan telah hilang.

Masyarakat, terutama generasi muda sudah tidak mengetahui lagi adanya

kearifan lokal di daerahnya, hanya ada satu atau dua ‘sesepuh’ anggota

masyarakat yang mengetahui namun karena faktor usia (sudah tua) dan

kesehatan, beliau sudah tidak dapat menjelaskannya dengan lengkap dan baik.

Pergeseran nilai sosial kearifan lokal digambarkan dari memudarnya tatanan

yang disepakati masyarakat dan dipraktikkan oleh anggota masyarakat secara

besama-sama (Hidayati, 2016).

D. Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat

Menurut Tulungen et al. (2002) yang dikuti oleh Mardijono (2008),

pengelolaan berbasis masyarakat merupakan pengelolaan yang dilakukan oleh

Page 37: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

22  

masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis

masyarakat bertujuan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan

perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Masyarkat mempunyai

kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri sehingga yang

diperlukan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat

dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhanannya.

Dalam pelaksanaan suatu kegiatan dukungan pemerintah memegang peranan

penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis serta pengambilan

keputusan sehingga sangat penting untuk melibatkan masyarakat dan

pemerintah secara bersama-sama dalam pengeloaan suatu kawasan pesisir.

Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan juga sebagai suatu

sistem pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal

ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya

alam yang terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001 dalam Hudiansyah, 2010).

Di Indonesia pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah

ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan

bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan

Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan

diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan

pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta

memajukan desa-desa pantai.

Dalam segi ekonomi lingkungan sangat berperan penting karena

memberikan manusia sumber makanan, bahan baku industri serta lahan untuk

ditinggali. Dalam segi sosial lingkungan sangat penting karena memberikan

Page 38: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

23  

ruang untuk masyarakat agar bersosialisasi dan mengembangkan budayanya.

Oleh karena itu betapa pentingnya fungsi lingkungan bagi keberlangsungan

hidup manusia, karena sangat pentingnya fungsi dari lingkungan maka

dibutuhkanlah pengelolaan yang serius untuk menjaga lingkungan guna

menstabilkan keberlangsungan hidup untuk masa depan. Dalam

perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan dengan

mengembangkan suatu kearifan yang berwujud ide-ide kreatif, pengetahuan,

peralatan dan teknologi yang dipadukan dengan nilai norma adat dan budaya,

aktifitas lingkungan hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya (Cahya, 2016)

Soerjani (1987) dalam Resosoedarmo et al. (1987) yang dikutip

sebagaimana oleh Aprianto (2008), menyatakan bahwa ada tiga upaya yang

harus dijalankan secara seimbang, yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku

atau sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi

karena dampak interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia

mempengaruhi lingkungan hidupnya atau juga mengusahakan sumberdaya alam

lingkungannya untuk mempertahankan jenisnya, dan sebaliknya manusia

dipengaruhi oleh lingkungannya.

Manusia bersama lingkungan hidupnya berada dalam suatu ekosistem.

Kedudukan manusia di dalam kesatuan ekosistem adalah sebagai bagian

penting yang tidak mungkin dipisahkan, karena itu kelangsungan hidup manusia

tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Agar kelestarian ekosistem

tersebut dapat terjamin, maka manusia harus menjaga keserasian hubungan

timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Jika keserasian hubungan

manusia dengan lingkungannya terganggu, maka terganggu pula

kesejahteraannya. Jadi manusia dan lingkungannya merupakan ikatan yang tidak

dapat dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi (Natsir, 1986

dalam Aprianto, 2008).

Page 39: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

24  

Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat,

namun pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan laut cenderung makin

berkurang, interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk

saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah

alasan terjadinya kegagalan pengelolaan laut yang ditunjukkan dengan rusaknya

sumberdaya serta adanya kemiskinan. Meskipun demikian, saling berinteraksi

antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat

dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan lingkungan

laut yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau

berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga

merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan lingkungan

laut yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan

membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara pengelolaan lingkungan

laut yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri

(Alains, 2009).

Community Based atau pendekatan yang Berbasis Masyarakat adalah

upaya pemberdayaan kapasitas masyarakat untuk dapat mengenali, menalaah

dan mengambil inisiatif guna memecahkan permasalahan yang ada secara

mandiri (Budi, 2004 dalam Cahya, 2016). Terdapat Pengertian, Tujuan dan

Sasaran Kegiatan yang Berbasis Masyarakat sebagai berikut :

1. Tujuan : Tujuan pendekakatan yang berbasis masyarakat adalah

meningkatnya kapasitas masyarakat dan mencoba untuk menurunkan

kerentanan individu, keluarga dan masyarakat luas serta adanya

perubahan masyarakat dalam upaya menangani permasalahan yang

terjadi di lingkungannya. Disamping itu program berbasis masyarakat

menggunakan pendekatan yang berbasis realita bahwa dengan cara-

cara yang relatif sederhana dan mudah dilaksanakan, maka masyarakat

Page 40: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

25  

di kalangan bawah pun dapat melakukan perubahan yang positif untuk

menuju ke arah yang lebih baik.

2. Sasaran : Sasaran dari program ini adalah masyarakat rentan yang hidup

didaerah rawan serta bersedia untuk menerima perubahan. Dan juga

Penekanan perencanaan program berbasis masyarakat lebih bersifat

internal daripada faktor ekternal dengan pendekatan bottom up, bukan

top down. Potensial ancaman tidak di luar, namun di dalam dengan

sistem sosial. Untuk mengurangi tingkat ancaman/bahaya dan resiko

kejadian bencana harus menjadi bagian dari pertimbangan

pembangunan.

E. Kearifan Lokal dalam Pembangunan Perikanan

Dalam aspek pembangunan perikanan dan kelautan dengan

pemberdayaan kearifan lokal, tampak belum begitu berjalan secara sinergis.

Banyak program dan kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat

pesisir dan nelayan umumnya didesain dari atas (top down). Kearifan lokal dan

tradisi serta aturan-aturan adat belum dilirik sebagai suatu yang dapat

menjembatani suksesnya program kegiatan pembangunan. Orientasi

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih bersifat proyek, belum

terlalu menyentuh pada aspek-aspek pemberdayaan dan belum mengakomodasi

sumberdaya lokal beserta capital culture yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia

(Santara, 2011).

Padahal di sisi lain, adanya pemberdayaan kearifan lokal dan perlibatan

masyarakat dalam keseluruhan proses dapat membangkitkan kesadaran,

motivasi, keikhlasan dan kesungguhan hati sehingga mereka ikut bertanggung

jawab secara penuh terhadap suksesnya suatu program. Lebih lanjut perilaku

positif yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir akan mampu

Page 41: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

26  

bertahan dan menjadi dasar filosofi dalam membangun kehidupan bersama

dengan makhluk lain secara serasi, selaras, dan harmonis dengan lingkungan

alam dalam suatu ekologis. Selain itu alokasi dana pembangunan perikanan dan

kelautan selama lima tahun relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan total

pembelajaran pembangunan daerah seluruhnya. Sebaliknya, jika dibandingkan

dengan dana pengembangan ekonomi rakyat adopsi dana sektor perikanan dan

kelautan relatif cukup besar. Namun demikian, kondisi ini belum dapat

mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pembangunan perikanan dan kelautan

(Santara, 2011)

Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam

ekosistem lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan

terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan

fungsional yang sedemikian rupa. Dalam hubungan fungsional

tersebut manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Manusia akan

selalu bergantung pada lingkungan yang sekaligus dipengaruhi dan

mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem secara

keseluruhan (Tuhulele, 2013).

F. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut

Pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi.

Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya

pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni

kemandirian dan partisipasi. Nasdian (2006) dalam Rosyida (2011)

mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga

komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan

menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka

dapat menegaskan kontrol secara efektif.

Page 42: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

27  

Menurut Keith Davis dalam Maryuningsih (2014), Partisipasi berasal dari

bahasa Inggris yaitu “participation” adalah pengambilan bagian atau

pengikutsertaan. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi

seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.

Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan

emosi. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang

diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut

memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat

kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun

bidang mental serta penentuan kebijakan.

Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian

mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Nasdian

(2006) dalam Rosyida (2011) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam

pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal

dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan

secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1979)

dalam Rosyida (2011) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yang

menyatakan bahwa keseluruhan tingkatan partisipasi merupakan kesatuan

integratif dari kegiatan pengembangan perdesaan, meskipun sebuah siklus

konsisten dari kegiatan partisipatoris mungkin dinilai belum biasa. Berikut adalah

penjelasan tahapan partisipasi yaitu sebagai berikut :

1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan

masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang

dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.

2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,

sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi

pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk

Page 43: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

28  

sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan

sebagai anggota proyek.

3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap

ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan

pelaksanaan proyek selanjutnya.

4. Tahap menikmati hasil atau pemanfaatan, yang dapat dijadikan indikator

keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan

pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai

subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan,

berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.

Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya

pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia

kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut

bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang

dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat

digambarkan dalam Tabel 1 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan

yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Rosyida, 2011) :

Page 44: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

29  

Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Amstein

No. Tangga/Tingkatan

Partisipasi Hakekat Kesertaan

Tingkat

Pembagian

Kekuasaan

1. Manipulasi

(Manipulation)

Permainan oleh

pemerintah Tidak ada

partisipasi 2. Terapi (Therapy)

Sekedar agar

masyarakat tidak

marah/Sosialisasi

3. Pemberitahuan

(Informing)

Sekedar pemberitahuan

searah/sosialisasi

Tokenism/sekedar

justifikasi agar

mengiyakan

4. Konsultasi (Consultation)

Masyarakat didengar,

tapi tidak selalu dipakai

sarannya

5. Penentraman (Placation)

Saran Masyarakat

diterima tapi tidak selalu

dilaksanakan

6. Kemitraan (Partnership) Timbal balik

dinegoisasikan

Tingkat

kekuasaan ada di

masyarakat

7.

Pendelegasian

Kekuasaan (Delegated

Power)

Masyarakat diberi

kekuasaan (sebagian

atau seluruh program)

8. Control Masyarakat

(Citizen Control)

Sepenuhnya dikuasai

oleh masyarakat

Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang

bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat simobilisasikan. Partisipasi swakarsa

mengandung arti bahwa keikutsertakan dan peran sertanya atas dasar

kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan

memiliki arti keikutsertakan dan berperan serta atas dasar pengaruh orang lain.

Menurut Tjokroamidjoyo (1990) dalam Mardijono (2008), ada tiga faktor yang

mempengaruhi peran serta atau partisipasi yaitu :

Page 45: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

30  

1. Kepemimpinan

Faktor pertama proses pengendalian usaha dalam pembangunan

ditentukan sekali oleh kepemimpinan.

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang memadai akan memberikan kesadaran yang

lebih tinggi dalam berwarga negara dan memudahkan bagi pengembangan

identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat nasioanal.

3. Komunikasi

Gagasan-gagasan, kebijaksanaan dan rencana-rencana akan

memperoleh dukungan bila hal tersebut diketahui dan dimengerti oleh

masyarakat.

Partisipasi yang baik adalah yang mendukung suksesnya suatu program.

Beberapa sifat dari partisipasi antara lain : positif, kreatif, kritis, korektif konstruktif

dan realistis. Partisipasi dikatakan positif, bila partisipasi tersebut mendukung

kelancaran usaha bersama dalam mencapai tujuan. Partisipasi kreatif, berarti

keterlibatan yang berdaya cipta, tidak hanya melaksanakan instruksi atasan

melainkan memikirkan sesuatu yang baru baik gagasan, metode maupun cara

baru yang lebih efektif dan efisien. Partisipasi dapat dikatakan kritis, korektif-

konstruktif bila keterlibatan dilakukan dengan mengkaji suatu jenis atau bentuk

kegiatan, menunjukkan kekurangan bila ada dan memberikan alternatif yang

lebih baik. Partisipasi yang realistis mempunyai arti bahwa keikutsertaan

seseorang dengan memperhitungkan realitas atau kenyataan, baik kenyataan

dalam masyarakat maupun realitas mengenai kemampuannya, waktunya yang

tersedia dan adanya kesempatan ketrampilan (Gultom, 1985 dalam Mardijono,

2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat menurut

Sastropoetro (1986), adalah keadaan sosial masyarakat, kegiatan program

Page 46: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

31  

pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat

meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem

sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan

dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan

tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau

keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat

setempat. Tokoh masyarakat, pemimpin adat, tokoh agama adalah merupakan

komponen yang juga berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat yang

berperan serta dalam suatu kegiatan (Rahardjo, 1996 dalam Mardijono, 2008).

Menurut Dahuri (1996) dalam Erwiantono (2006) menyatakan bahwa,

partisipasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut dapat

diwujudkan dengan mengadakannya program pengelolaan wilayah pesisir secara

terpadu dengan membutuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi dan setepat

mungkin. Masyarakat yang hidup di sepanjang pantai dan telah memanfaatkan

sumberdaya secara tradisional dapat terpengaruh oleh peraturan dan prosedur

baru. Oleh karena itu, masayarakat harus diikutsertakan dalam pembentukan

kebijaksanaan dan aturan terhadap pemanfaatan sumberdaya, jika aturan

tersebut dibuat untuk mendukung kemajuan bagi masyarakat.

Tingkat pastisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengalaman masyarakat

yang melihat masa lalu. Dengan melihat kondisi alam yang sekarang telah lebih

baik, yang telah memberikan manfaat sehingga membuat masyarakat sadar

akan pentingnya menjaga lingkungan. Partisipasi masyarakat nelayan

sebenarnya sangat tinggi terhadap pengelolaan lingkungan laut. Mereka sadar

bahwa lingkungan laut perlu dijaga dan dilestarikan tetapi ada beberapa faktor

yang mulai memunurunkan partisipasi masyarakat atau mulai bersikap acuh tak

acuh. Sehingga disinilah peran pemerintah setempat dalam melakukan

Page 47: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

32  

pengendalian lingkungan laut melalui sistem pengelolaan berbasis masyarakat

yang dapat meningkatkan partispasi masyarakat. Pemerintah harus melakukan

pendekatan terhadap masyarakat yang akan berdampak positif pada

kesejahteraan umum masyarakat.

Masyarakat harus merasa bertanggung jawab, berpartisipasi, dan turut

menjaga kelestarian sumberdaya laut dari kegiatan-kegiatan yang dapat merusak

lingkungan. Inti dari permasalahan partisipasi masyarakat adalah dengan

melakukan kerjasama antara pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan,

mengevaluasi, dan memanfaatkan serta membiayai pembangunan karena

masyarakat tidak dapat bekerja secara sendiri dalam mengatasi masalah

lingkungan laut dan menjaga lingkungan laut, sehingga pemerintah harus ikut

ambil peran dalam menjaga lingkungan dan mengatasi masalah yang terjadi.

G. Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia

Di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk kearifan lokal yang

tersebar disetiap daerah di bagian pesisir yang dipercayai dan dilaksanakan oleh

masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah sebuah bentuk kepercayaan dan

adat istiadat yang telah mereka jalankan sejak dahulu hingga sekarang meskipun

sedikit demi sedikit mulai tergerus akan zaman modern yang dimana alat

teknologi canggih dan pengetahuan yang lebih luas mulai mengikis akan kearifan

lokal tersebut. Tetapi disetiap daerah masih saja ada orang yang mampu

mempertahankannya sebagai budaya dan aturan yang berlaku untuk menjaga

lingkungan alam sekitarnya terkhususnya lingkungan laut.

Berikut ini adalah beberapa contoh kearifan lokal yang ada di Indonesia

hingga saat ini.

Page 48: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

33  

1. Seke di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara

Menurut Wahyono, et al., (1992) dalam Biasane (2004) yang dikutip oleh

Saryani (2010) menyatakan Seke merupakan kearifan tradisional dalam

pengelolaan sumber daya perikanan yang dijumpai di desa Para, kabupaten

Sangihe. Dalam organisasi Seke terdapat istilah lokal mengenai keanggotaan

berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing yaitu : Lekdeng, Tatalide, Seke

Kengkang, Matobo, Tonaas, Mandore, dan Mendoreso. Lekdeng artinya

anggota, sedangkan Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang ditugaskan

memegang Talontong (tongkat yang digunakan untuk menjaga Seke agar

posisinya tegak lurus di atas permukaan laut). Seke Kengkang merupakan

sebutan untuk anggota yang berada di atas perahu tempat meletakkan Seke

(perahu Kengkang). Matobo adalah anggota yang bertugas menyelam dan

melihat posisi gerombolan ikan sebelum Seke diturunkan ke laut. Tonaas

merupakan sebutan untuk seorang pemimpin pengoperasian Seke, sedangkan

wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah orang yang selalu

membangunkan anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil

tangkapan kepada anggota. Mendoreso adalah sebutan untuk orang yang

menjadi bendahara organisasi Seke.

Bagi hasil ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah :

a) Bagi hasil tangkapan diberikan kepada warga desa yang sudah

berkeluarga (termasuk janda/duda).

b) Bagi hasil tangkapan untuk warga desa yang belum berkeluarga

c) Bagi hasil tangkapan yang didasarkan atas status sosial tertentu, antara

lain seperti : kepala desa, guru, pendeta, perawat, dan sebagainya

d) Bagi hasil tangkapan diberikan menurut status keanggotaan dalam

organisasi Seke.

Page 49: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

34  

Menurut Satria, et al., (2002) dalam Biasane (2004) yang dikutip oleh

Saryani (2010), menegaskan bahwa organisasi tradisional Seke telah

menerapkan konsep bagi hasil layaknya organisasi modern. Ada dua pelajaran

yang dapat diambil dari pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh

organisasi tradisional Seke ini, diantaranya adalah :

a) Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa memberikan

perhatian kepada distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya alam,

khususnya ikan, kepada seluruh anggota masyarakat. Hal ini tercermin

pada pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke dalam

suatu periode waktu tertentu (misalnya satu minggu). Dengan demikian,

konflik pemanfaatan di antara masyarakat akan tereleminasi.

b) Selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke mengajarkan juga

pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari

sistem bagi hasil yang diterapkan. Seluruh komponen masyarakat

mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh sebuah

kelompok Seke tertentu. Dalam konteks modern, sistem distribusi

pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemanfaatan yang kuat

di kalangan masyarakat Para.

2. Awig-Awig di Desa Kedonganan Kec. Kuta, Pulau Bali

Awig-awig merupakan sekumpulan aturan lokal yang dibuat berdasarkan

kesepakatan masyarakat bersama untuk mengatur perilaku sehari-hari dalam

bermasyarakat. Awig-awig berbentuk aturan tertulis maupun tidak tertulis yang

mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sejak dahulu, Desa

Kedonganan dikenal sebagai desa nelayan karena mayoritas penduduknya

bekerja sebagai nelayan dan wilayahnya yang berada di sekitar Pantai

Kedonganan. Nelayannya pun masih banyak yang memakai alat tangkap dan

jukung tradisional.

Page 50: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

35  

Untuk mengatur perilaku nelayan, maka diberlakukan pula Awig-awig

mengenai pengaturan kehidupan masyarakat nelayan khususnya dalam

pengaturan penangkapan ikan. Awig-awig yang dibuat atas kesepakatan tokoh

masyarakat, ketua nelayan dan beberapa nelayan setempat ini sudah ada sejak

dulu namun ada yang mengalami beberapa perubahan karena menyesuaikan

dengan perkembangan zaman. Aturan dalam Awig-awig tersebut mempunyai

tingkatan norma yang berbeda dan mempunyai sanksi sebagai wujud kontrol

sosial (Widyastini, 2013).

3. Panglima Laot di Aceh

Adat meulaot (melaut) adalah adat turun temurun yang telah dilakukan

oleh masyarakat Aceh untuk mengambil hasil laut. Demi terciptanya keamanan

dan kenyamanan dalam mengambil hasil laut dibentuklah aturan-aturan tertentu

yang harus dijalani oleh para pelaut. Melaut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi

dalam masyarakat Aceh. Maka ditunjuklah seorang penanggungjawab ialah

seorang Panglima Laot. Panglima Laot merupakan suatu institusi Adat yang

mengatur tentang tata cara meupayang (penangkapan) ikan di laut. Biasanya

Panglima Laot akan dipilih oleh Keuchik. Pengelolaan konservasi laut yang telah

dilakukan Pengelolaan yang telah dilakukan di Pelabuhan Lampulo telah

berlangsung lama dengan cara menjalankan peraturan yang telah dibuat oleh

Pawang Laot agar tidak merusak ekosistem laut (Apriana, 2015).

Terdapat aturan yang mengikat komunitas masyarakat nelayan di

Pelabuhan Lampulo, terdiri dari kegiatan yang boleh dikerjakan dan tidak boleh

dikerjakan. Kegiatan yang boleh dikerjakan antara lain : Boleh mengambil hasil

laut di daerah sendiri dan wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah dan

Kenduri laot digelar untuk menandai akan dimulainya musim melaut, merayakan

pergantian panglima laot Lampulo, dan dijadikan sebagai salah satu wadah

aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan Lampulo untuk menyampaikan

Page 51: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

36  

keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik mengenai kelangkaan BBM

untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada pemerintah yang hadir pada

pelaksanaan acara tersebut. Kenduri laot dilaksanakan secara bergotong-royong

untuk mempersiapkan tempat, makanan dan minuman, sajian adat, dan melayani

tamu undangan yang hadir (Apriana, 2015).

Kegiatan yang tidak boleh dikerjakan antara lain : Hari Jumat tidak boleh

pergi ke laut karena Syariat Islam menjalankan ibadah, Tidak boleh bongkar

muatan pada hari Jumat, Wanita dilarang pergi melaut, dan Selama kenduri laot

berlangsung, para nelayan dilarang melaut selama tiga hari (Apriana, 2015).

4. Sasi di Maluku

Sasi mengacu pada pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional

dan termasuk larangan panen pada sumberdaya darat maupun laut. Peraturan

sasi melarang pemanenan hasil hutan atau hasil laut yang belum waktunya

dipanen secara gegabah, akan tetapi peraturan itu juga berlaku di dalam

kehidupan masyarakat. Bailey dan Zerner (1992) mengatakan bahwa sasi

berasal dari kata “saksi” (witness) yang berarti larangan terhadap panen,

penangkapan, atau pengambilan tanpa izin terhadap sumberdaya tertentu yang

secara subsisten atau ekonomis bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Kissya

(1993), sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara

tatakrama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan

pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh

warga atau penduduk setempat (Kuwati, 2014)

Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat bersama

masyarakat, pemuka kampung, tokoh adat, dan tokoh agama, untuk menentukan

zona wilayah sasi. Melalui rapat tersebut ditetapkan sumberdaya atau wilayah

yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, dan hal tersebut dinamakan tutup sasi.

Artinya, selama tutup sasi tidak diperkenankan seorangpun untuk mengambil

Page 52: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

37  

atau merusak habitat sumberdaya tersebut, sampai waktu yang kemudian

diperbolehkan kembali atau biasa disebut dengan masa buka sasi (Burdam,

2013 dalam Kuwati, 2013).

Keputusan buka sasi dilakukan berdasarkan rapat desa. Pengusahaan

zona sasi ini dilakukan oleh desa, bukan individu. Dalam rapat desa ditentukan

jumlah orang (tenaga kerja) yang terlibat langsung dalam eksploitasi sumberdaya

zona sasi. Tenaga kerja yang terlibat dibayar dengan uang hasil penjualan ikan

yang ditangkap atau produk yang diambil. Setelah dikurangi dengan ongkos

produksi lainnya, sisa uang hasil penjualan adalah milik desa. Penggunaan uang

ini adalah untuk kepentingan sarana dan prasarana umum (Andhamari et al.,

1991 dalam Nikijuluw, 1994 yang dikutip oleh Kuwati, 2014).

5. Mane’e di Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara

Mane’e merupakan kearifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten

Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, yang berupa pengaturan masa penangkapan

ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan di

wilayahnya, yaitu dengan cara membuat larangan menangkap ikan pada masa-

masa tertentu, serta pembuatan sejenis sistem bendungan hanya dilakukan pada

saat masa-masa tertentu yang diperbolehkan oleh ketua adat (Santara, 2011).

Dari berbagai potensi kearifan lokal diatas merupakan kegiatan yang

berbasis pemberdayaan kearifan lokal harus tetap dijaga dan dipertahankan

keberadaannya. Hal ini bertujuan agar segala kegiatan yang berkaitan dengan

pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan pesisir dan laut dapat dilakukan

dengan bijaksana dan terkontrol dengan baik. Sehingga masyarakat dapat

menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, aturan-aturan adat yang

berlaku, karena itu kepatuhan dan ketaatan terhadap peran kearifan lokal sangat

tinggi pula (Santara, 2011).

Page 53: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

38  

H. Kerangka Pikir

Seperti halnya masyarakat secara umum, masyarakat nelayan tentu saja

memiliki kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun pada generasi

berikutnya. Sebagai sesuatu yang diakui keberadaannya (meskipun bersifat

abstrak), kearifan lokal tentu saja memiliki karakteristik, dan bentuk sehingga

dapat dibedakan dengan kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat

lainnya. Kearifan lokal tersebut tentu saja terbentuk karena adanya modal sosial

dan dapat berupa kebudayaan bagi masyarakat. Disamping itu, kearifan lokal ini

juga memiliki makna sosial, budaya, ekonomi dan politik bagi masyarakat.

Kemudian, kearifan lokal tersebut diterapkan dan dijalankan berdasarkan hal-hal

tersebut.

Akan tetapi, mengingat sangat mungkin terjadi perubahan pada kearifan

lokal itu sendiri, maka tidak heran jika kearifan lokal ini pun dapat berubah seiring

dengan berjalannya waktu. Implikasinya adalah kearifan lokal dahulu akan

berbeda dengan saat ini. Perbedaan inilah yang kemudian dimaknai sebagai

suatu perubahan. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tentu saja

akan berbeda-beda dan mengikuti bentuk serta karakteristik dari kearifan lokal itu

sendiri.

Mengetahui kearifan lokal atau sistem pengetahuan (indigeneous

knowledge) pada nelayan sebagaimana di sebutkan di atas, maka di asumsikan

dapat melahirkan suatu konsep tentang kebijakan pemerintah dalam hal

pembangunan sumber daya hayati laut dan pesisir secara berkelanjutan yang

juga sekaligus dapat di arahkan untuk mengadaptasi perkembangan zaman

dalam upaya peningkatan kesejahteran.

Page 54: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

39  

Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada

skema berikut :

Gambar 1. Kerangka Pikir

Masyarakat Nelayan

Nilai-nilai Kearifan Lokal

Nilai

(Pengetahuan/Teknologi)

Norma

(Kepercayaan, adat istiadat, keagamaan dll)

Apresiasi dan Partisipasi Masyarakat

Pengelolaan Lingkungan Laut

Page 55: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

40  

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2017 yang bertempat di Desa

Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Lokasi

penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa

daerah tersebut memungkinkan untuk melakukan studi mendalam tentang

komunitas masyarakat pesisir yang dianggap masih melestarikan kearifan lokal

dalam pengelolaan lingkungan laut.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan

kualitatif yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun tulisan

dan perilaku dari orang-orang ataupun masyarakat pada wilayah penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan

mengambil bentuk studi kasus. John Creswell (2008) dalam Raco (2010),

mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan atau

penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral.

Sedangkan studi kasus adalah bagian dari metode kualitatif yang hendak

mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan

pengumpulan beraneka sumber informasi. Studi kasus didefinisikan sebagai

suatu eksplorasi dari sistem-sistem yang terkait atau kasus (Suryanegara, 2015).

C. Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik

pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,

misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita

Page 56: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

41  

harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan

peneliti menjelajahi pengambilan sampel (Sugiyono, 2012).

Dalam penelitian ini untuk memperoleh data tidak ditentukan dari mana dan

dari siapa peneliti memulai, tetapi apabila hal tersebut sudah berjalan maka

pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Informan

ditentukan dan ditetapkan tidak berdasarkan jumlah yang dibutuhkan, melainkan

berdasarkan pertimbangan fungsi dan peran informan sesuai batas penelitian.

Kategori informan dalam penelitian adalah mereka yang terlibat langsung dalam

proses dan pengamatan terhadap tujuan peneliti (Hermanto, 2012).

Dalam hal ini, pertimbangan peneliti untuk memilih sampel adalah

masyarakat nelayan asli dari Desa Bontomarannu, masyarakat nelayan yang

melakukan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut,

masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing dan pemangku

adat. Dengan pertimbangan tersebut diharapkan peneliti mendapat data yang

maksimal untuk mendeskripsikan hasil penelitian. Dalam penelitian mengambil

informan sebanyak 11 orang yang terdiri dari 1 orang pemangku adat, 4 orang

sawi, dan 6 orang nelayan mandiri.

D. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari

informan yang terdiri dari masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, dan

aparat Desa Bontomarannu Kabupaten Takalar.

2. Data sekunder adalah data dari instansi-instansi terkait dengan kearifan

lokal masyarakat dan karakteristik masyarakat itu sendiri, seperti data dari

Page 57: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

42  

pemerintah setempat dan dokumen-dokumen yang terkait dengan

kearifan lokal masyarakat setempat.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperoleh dengan tahapan sebagai berikut :

1. Observasi (pengamatan) adalah pengamatan yang dilakukan secara

langsung dengan mengamati objek dan situasi lapangan. Pengamatan

dilakukan dengan dua cara yaitu, pengamatan biasa dan berpartisipasi.

Data yang dikumpulkan melalui pengamatan biasa adalah data yang

dapat diamati oleh peneliti tanpa menuntut keterlibatan secara langsung.

Jenis data yang diperoleh dengan cara ini adalah antara lain, keadaan

pemukiman penduduk, jenis peralatan dalam aktifitas usahanya, pola

aktivitas dan kegiatan sehari-hari penduduk. Sedangkan pengamatan

berpartisipasi dilakukan untuk memperoleh data yang menuntut

keterlibatan peneliti dalam hal ini peneliti ikut terlibat langsung dalam

aktivitas yang dilakukan oleh nelayan di Desa Bontomarannu.

2. Wawancara adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan

informasi secara lebih jelas dilakukan melalui sejumlah pertemuan

dengan informan yang didalamnya berlangsung tanya jawab dan

pembicaraan terlibat mengenai berbagai aspek permasalahan seperti

bentuk aktivitas dalam konteks kearifan lokal yang dilakukan oleh nelayan

dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.

3. Studi pustaka adalah pengambilan data yang didapatkan dengan

membaca literatur atau hasil-hasil penelitian yang relevan dengan tema

penelitian.

Page 58: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

43  

F. Analisis Data

Metode analisis utama yang digunakan adalah analisis data kualitatif

yang analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman. Pengertian kualitatif di sini

bermakna bahwa data yang disajikan berwujud kata-kata ke dalam bentuk teks

yang diperluas bukan angka-angka. Data hasil wawancara dan pengamatan

ditulis dalam suatu catatan lapangan yang terinci kemudian dianalisis secara

kualitatif. Untuk memperoleh data yang akurat, maka dibuat catatan lapangan

yang selanjutnya disederhanakan atau disempurnakan dan diberi kode data dan

masalah. Pengkodean data berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data yang

sesuai dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai dengan

masalah penelitian atau data yang diragukan kebenarannya. Data yang diperoleh

dianalisis secara komponensial dengan melalui tiga tahap :

Tahap pertama, analisis data kualitatif yang dilakukan adalah proses

reduksi data kasar dari catatan lapangan. Dalam prosesnya, dipilih data yang

relevan dengan fokus penelitian dan data yang tidak memenuhi kriteria eksklusif-

inklusif. Proses reduksi data dilakukan bertahap selama dan sesudah

pengumpulan data sampel tersusun. Reduksi data dilakukan dengan cara

membuat ringkasan data, menelusuri tema tersebar, dan membuat kerangka

dasar penyajian data.

Tahap kedua, penyajian data, yaitu penyusunan sekumpulan informasi

menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data disajikan

dalam bentuk teks naratif, mulanya terpencar dan terpisah pada berbagai sumber

informasi, kemudian diklasifikasikan menurut tema dan kebutuhan analisis.

Tahap ketiga, penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian

data. Penarikan kesimpulan berlangsung bertahap dari kesimpulan umum pada

tahap reduksi data, kemudian menjadi lebih spesifik pada tahap penyajian data,

Page 59: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

44  

dan lebih spesifik lagi pada tahap penarikan kesimpulan yang sebenarnya.

Rangkaian proses ini menunjukkan bahwa analisis data kualitatif dalam

penelitian ini bersifat menggabungkan tahap reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan secara berulang dan bersiklus.

Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang utuh terkait gejala, fakta

atau realita kearifan lokal sebagai dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis

masyarakat nelayan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan

Kabupaten Takalar.

G. Konsep Operasional

1. Masyarakat lokal

Sejumlah besar orang yang tinggal dan berinterakasi dalam sebuah

wilayah tertentu yang mempunyai tujuan yang sama dan memiliki ciri khas

budaya tersendiri yang juga memiliki aturan dan sanksi yang mereka buat

sendiri.

2. Nelayan

Orang yang hidup dari mata pencaharian melakukan penangkapan ikan

atau hewan laut lainnya yang hidup di dasar perairan maupun permukaan

perairan dan segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir.

3. Kearifan Lokal

Nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki prinsip-prinsip

dan cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat di

tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun yang muncul dari waktu

yang lama.

Page 60: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

45  

4. Partisipasi Masyarakat

Keikutsertaan masyarakat nelayan Desa Bontomarannu secara sukarela

dalam usaha pengelolaan lingkungan laut dengan melestarikan kearifan lokal

yang telah ada.

5. Pelestarian Lingkungan Laut

Upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan laut terhadap tekanan

perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan suatu kegiatan serta menjaga

kestabilan lingkungan untuk menjadi tempat hidup manusia, hewan dan

tumbuhan.

6. Pemanfaatan Lingkungan Laut

Kegiatan yang dilakukan oleh nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya

laut sebagai sumber kehidupan atau sumber mata pencaharian baik dalam

jumlah yang besar maupun sedikit.

7. Sistem Nilai

Patokan, ukuran, anggapan dan keyakinan tentang sesuatu yang dianggap

benar, luhur dan baik yang harus dilakukan dan diperhatikan masyarakat atau

aturan lokal yang telah berlaku.

8. Norma

Aturan-aturan yang disertai sanksi tertentu yang digunakan untuk

memberikan dorongan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai nilai-

nilai yang dianut.

9. Padongko Pakrappo

Kegiatan pembacaan doa serta pembakaran lilin dengan memberikan

sesajen oleh nelayan atau istri nelayan untuk meminta permohonan

keselamatan, hasil tangkapan melimpah, dan lain-lain pada saat akan melakukan

kegiatan dilaut.

Page 61: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

46  

10. Passili

Kegiatan pembacaan doa atau syukuran yang dilakukan oleh para nelayan

sebelum berangkat kelaut agar selama perjalanan tidak terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan.

11. Pamali

Pantangan atau larangan sesuatu yang tak boleh dikerjakan dengan suatu

alasan tertentu.

Page 62: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

47  

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis

Desa Bontomarannu dengan Ibukota Dusun Balang merupakan satu

entitas dari sebuah kesatuan utuh wilayah pemerintahan desa. Secara

administratif, Desa Bontomarannu yang terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun

Barua, Dusun Mandi, Dusun Balang, Dusun Talisea. Selain itu Desa

Bontomarannu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Gambar 2. Peta Desa Bontomarannu

Sumber : Data Sekunder, 2017

Sebelah Utara berbatas dengan Desa Popo

Sebelah Timur berbatas dengan Desa Barammamase

Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Kalukubodo

Sebelah Barat berbatas dengan Selat Makassar

Gallarrang Popo, Gallarrang Barammamase, Daengta Kalukubodo, dan

Daengta Mangendara merupakan 4 (empat) daerah yang digabungkan menjadi

satu daerah dan diberi nama Bontomarannu dan berada pada naungan

pemerintahan distrik Galesong. Kepela Pemerintahan saat itu, dengan wilayah

Page 63: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

48  

kerja meliputi 4 (empat) wilayah penggabungan dan wilayah kerja masing-masing

4 (empat) wilayah tersebut di kepalai oleh Kepala Kampung. Bontomarannu

terbentuk pada Tahun 1951 atau 5 (lima) tahun sesudah masa kemerdekaan

Republik Indonesia. Pada saat Pembentukan Desa Bontomarannu sudah ada

istilah Desa dan dipimpin oleh Kepala Desa sampai sekarang. Desa

Bontomarannu dalam perjalananya mengalami perubahan wilayah kerja dimana

Bontomarannu dimekarkan menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Bontomarannu dan

Desa Barammamase, kemudian Pemekaran Barammammase di mekarkan lagi

Menjadi 2 (dua) yaitu Desa Barammamase dan Desa Popo, dan pada saat itu

Desa induk yaitu Bontomarannu dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu

Desa Bontomarannu dan Desa Mangindara, dan kemudian Kembali

Bontomarannu dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu Desa Bontomarnnu

dan Desa Kalukubodo.

B. Kondisi Demografi

Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan data Kesehatan tahun 2017

berjumlah 2.164 jiwa tersebar di 4 (empat) dusun, dengan jumlah penduduk

terbesar berada pada Dusun Mandi dan jumlah penduduk terkecil berada pada

Dusun Talisea. Dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih

besar dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan.

Berikut adalah tabel 2 jumlah penduduk Desa Bontomarannu

berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)

1. Laki-laki 1.104 51

2. Perempuan 1.060 49

Jumlah 2.164 100

Sumber : Data Sekunder, 2017

Page 64: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

49  

Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa rasio jumlah penduduk

yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk yang

berjenis kelamin perempuan perdusun dengan perbandingan 1.104 jiwa yang

berjenis kelamin laki-laki dan 1.060 jiwa yang berjenis kelamin perempuan.

Dengan jumlah persentase untuk berjenis kelamin laki-laki sebesar 51 %

sedangkan untuk berjenis kelamin perempuan sebesar 49 %.

Tabel 3. Pembagian Jumlah Penduduk berdasarkan Dusun Di Desa Bontomarannu

No. Nama Dusun Jumlah

Kepala Keluarga Persentase (%)

1. Dusun Mandi 152 kk 32

2. Dusun Barua 142 kk 29

3. Dusun Balang 121 kk 25

4. Dusun Talisea 67 kk 14

Jumlah 482 kk 100

Sumber : Data Sekunder, 2017

Dengan keseluruhan jumlah kepala keluarga sebanyak 482 kk. Desa

Bontomarannu terbagi atas 4 (empat) dusun, dengan jumlah kepala keluarga di

Dusun Mandi sebanyak 152 kk, Dusun Barua sebanyak 142 kk, Dusun Balang

sebanyak 121 kk, dan Dusun Talisea sebanyak 67 kk. Dengan jumlah

persentase masing-masing dusun, Dusun Mandi dengan jumlah persentase 32

%, Dusun Barua sebesar 29 %, Dusun Balang sebesar 25 %, dan terakhir Dusun

Talisea sebesar 14 %. Dan berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa

Dusun Mandi memiliki persentase tinggi yaitu sebesar 32 % karena jumlah

penduduk yang lebih banyak dibandingkan dusun lain. Sedangkan untuk jumlah

persentase terendah pada Dusun Talisea sebesar 14 % karena jumlah penduduk

paling sedikit di Dusun Talisea.

Penduduk Desa Bontomarannu dilihat dari 4 (empat) tahun terakhir 2013-

2017 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Akibat bertambahnya

Page 65: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

50  

jumlah penduduk setiap tahun, tingkat kepadatan penduduk di Desa

Bontomarannu juga mengalami peningkatan.

C. Keadaan Sosial Ekonomi

Penduduk Desa Bontomarannu sesuai data penduduk pada tahun 2017

sebanyak 482 jiwa yang tercatat sebagai kepala keluarga. Data demografi

penduduk di desa ini juga memperlihatkan bahwa sebagian besar dari penduduk

kehidupannya sangat tergantung dari sektor perikanan, dengan berprofesi

sebagai nelayan. Disamping itu mata pencaharian sebagai petani menempati

posisi kedua, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu

No. Mata Pencaharian Jumlah

Kepala Keluarga

Persentase

(%)

1. Nelayan 141 29

2. Petani 43 9

3. Wiraswasta 22 5

4. Pelajar/Mahasiswa 5 1

5. PNS 11 2

6. Polisi/Tentara 4 1

7. Pelaut 3 1

8. Pedagang 5 1

9. Guru 3 1

10. Belum/Tidak Bekerja 151 31

11. Mengurus Rumah Tangga 89 18

12. Dan lain-lain 5 1

Jumlah 482 100

Sumber : Data Sekunder, 2017

Dapat dilihat dari tabel 4 diatas, bahwa profesi yang ditekuni sebagian

besar penduduk Desa Bontomarannu adalah nelayan sebesar 29% yang

disebabkan wilayah Desa Bontomarannu berada pada kawasan pesisir atau

Page 66: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

51  

pantai yang memudahkan para nelayan untuk pergi melaut dan menangkap ikan.

Sedangkan untuk pekerjaan pelajar/mahasiswa, polisi/tentara, pelaut, pedagang,

guru adalah profesi yang paling sedikit ditekuni yang hanya berjumlah 1%

sedangkan dan lain-lain ini jenis pekerjaan yang ditekuni adalah konsultan,

bidan, perawat, buruh harian lepas, dan sopir dengan nilai persentase sebesar

1%.

Penduduk yang sebagian besar nelayan ini, ternyata pendidikannya

sangat rendah hampir sebagian diantaranya hanya mampu menyelesaikan

pendidikannya sebatas sekolah dasar (SD) saja bahkan ada yang tidak tamat.

Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, kurang

memperhatikan yang namanya pendidikan dengan salah satu alasan terkendala

oleh biaya pendidikan dan ingin membantu orangtua mencari nafkah.

Tabel 5. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

1. Tidak Pernah Sekolah 597 27,6

2. Belum Sekolah 134 6,2

3. Tidak Tamat SD 459 21,2

4. TK 56 2,6

5. SD 672 31,1

6. SMP 107 4,9

7. SMA 114 5,3

8. D-3 5 0,2

9. S-1 17 0,8

10. S-2 3 0,1

Jumlah 2164 100

Sumber : Data Sekunder, 2017

Berdasarkan tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa jumlah tertinggi tingkat

pendidikan penduduk di Desa Bontomarannu ada pada tingkatan Sekolah Dasar

(SD) yaitu sebesar 672 orang dengan total persentase 31,1% sedangkan untuk

Page 67: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

52  

penduduk yang melanjutkan pendidikan S-2 hanya berjumlah 3 orang yang

paling terendah dengan total persentase 0,1%.

Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Bontomarannu

adalah sebagai berikut :

Tabel 6. Sarana dan Prasarana di Desa Bontomarannu

No. Sarana prasarana Jumlah

1 Mesjid 4

2 Puskesmas 1

3 Kantor Kelurahan 1

4 Lapangan 1

5 Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) 2

6 Sekolah Dasar (SD) 2

7 Wc Umum 6

Sumber : Data Sekunder, 2017

Berdasarkan tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana

yang ada di Desa Bontomarannu adalah Mesjid, Puskesmas, Kantor Kelurahan,

Lapangan, Sekolah, dan Wc umum. Mesjid digunakan sebagai tempat ibadah

bagi masyarakat yang beragama islam. Fasilitas pendidikan yang ada yaitu

Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 2 buah dan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2

buah. Sedangkan fasilitas olahraga berupa lapangan olahraga. Fasilitas

kesehatan yang ada yaitu Puskesmas sebanyak 1 unit. Dan Wc umum yang

berjumlah 6 buah tersebar diseluruh desa.

Untuk agama yang dianut penduduk Desa Bontomarannu, hampir semua

masyarakatnya beragama islam. Hanya 1 (satu) orang penduduk yang beragama

Kristen karena dia berasal dari luar Desa Bontomarannu yang kemudian menikah

dengan salah satu penduduk Desa Bontomarannu.

Page 68: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

53  

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Dan Aktivitas Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan

Laut

Kearifan lokal merupakan suatu cara pandang atau pengetahuan serta

perilaku sosial masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut pendapat Zulkarnain (2007), Perilaku sosial dalam kaitannya dengan

lingkungan, paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu : pertama, bagaimana

karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku sosial tertentu, dan

kedua, bagaimana perilaku sosial tertentu mempengaruhi karakteristik dan

kualitas lingkungan.

Dijelaskan bahwa dimensi yang pertama selalunya terjadi pada

masyarakat tradisional, dimana terdapat ketergantungan yang tinggi terhadap

perubahan lingkungan alam. Dimensi yang kedua biasanya terjadi pada

masyarakat modern, karena penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi

telah memunculkan kemampuan dan keahlian bahwa manusia mampu mengatur

dan mengendalikan kondisi lingkungan (Zulkarnain, 2007).

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat Desa

Bontomarannu dikategorikan pada dimensi pertama yang merupakan

masyarakat tradisional yang pada umumnya mengenal dengan baik lingkungan

disekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka telah mengetahui berbagai

ekosistem alam yang ada disekitarnya dan telah terbiasa hidup dengan alam

yang menyebabkan mereka mengenal dan mengetahui berbagai cara

memanfaatkan lingkungan.

Desa Bontomarannu merupakan kampung nelayan yang sebagian besar

masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Dimana pekerjaan

sebagai nelayan sangat menggantungkan hidupnya terhadap alam dan apabila

Page 69: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

54  

terjadi perubahan alam akan menyebabkan hasil laut atau hasil tangkapan yang

mereka dapatkan akan berkurang atau mungkin tidak mendapatkan hasil.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa masyarakat di

Desa Bontomarannu adalah masyarakat yang memiliki bentuk dan aktivitas

kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan laut. Mereka

telah lama melaksanakan kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan

lingkungan laut yang telah diwariskan secara turun temurun dan berdasarkan

atas pengalaman yang didapatkan. Mereka secara tidak sadar telah melakukan

pengelolaan lingkungan laut dalam hal memanfaatkan sumberdaya laut dan

menjaga kelestarian laut baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga

lingkungan laut mereka cukup terjaga saat ini.

Pada masyarakat di Desa Bontomarannu, pengelolaan lingkungan laut

yang dilakukan telah menyesuaikan dengan karakteristik atau ciri khas yang

mereka miliki. Kearifan lokal biasanya hanya sebagai suatu ciri khas pada suatu

daerah tetapi kearifan lokal juga dapat berfungsi untuk menjaga dan melestarikan

lingkungan laut. Kearifan lokal yang masih sangat kental dan terlihat hingga saat

ini adalah mereka masih percaya dengan pamali/tabu dan ritual-ritual yang

dianggap sakral untuk meminta keselamatan diri dan ungkapan rasa syukur

mereka terhadap hasil tangkapan yang didapatkan,

Penjelasan berikut mengidentifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal

masyarakat di Desa Bontomarannu dalam pengelolaan lingkungan laut yang

terbagi atas dua yaitu dalam hal pemanfaatan lingkungan laut dan konservasi

(pelestarian) lingkungan laut.

1. Kearifan Lokal dalam Aktivitas Pemanfaatan Lingkungan Laut

Kegiatan pemanfaatan lingkungan laut merupakan suatu kegiatan yang

dilakukan dengan memanfaatkan segala potensi yang ada dilingkungan laut.

Page 70: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

55  

Masyarakat Desa Bontomarannu telah melakukan pemanfaatan lingkungan laut

untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dalam melakukan proses

pemanfaatan lingkungan laut tidak terlepas dari kearifan lokal yang mereka

percaya sejak dahulu.

Menurut hasil penelitian yang telah saya lakukan, terdapat dua kearifan

lokal yang berlaku dan termasuk dalam kegiatan pengelolaan lingkungan laut.

Pertama dalam hal penentuan waktu dan musim yang akan dilakukan sebelum

melakukan proses penangkapan dan kedua adalah penggunaan alat tangkap.

Kearifan lokal tersebut telah mereka ketahui secara turun temurun dan dilakukan

sejak dahulu. Nilai kearifan lokal yang terkandung pada masing-masing kegiatan

pemanfaatan lingkungan laut tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, tentang penentuan waktu dan musim. Dalam melakukan proses

penangkapan ikan, diketahui bahwa para nelayan di Desa Bontomarannu

melakukan perhitungan atau penentuan waktu dan musim. Penentuan ini sangat

memberikan pengaruh terhadap keberhasilan penangkapan nelayan, jika

kegiatan penangkapan dilakukan pada waktu dan musim yang benar maka

kegiatan penangkapan akan mendapatkan hasil yang baik

Mereka percaya bahwa kesalahan dalam penentuan waktu

pemberangkatan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat

menimbulkan hal yang fatal. Sehingga dalam penentuan waktu pemberangkatan

kapal harus dilakukan perhitungan secara teliti dan secermat mungkin agar tidak

menimbulkan kesalahan. Penentuan waktu ini yang dikatakan sebagai waktu

yang baik dalam melakukan aktivitas dilaut telah menjadi kebiasaan dan sebuah

tradisi yang telah lama dijalankan dan dipertahankan berdasarkan pengalaman

yang sudah mereka alami sendiri selama dilaut.

Page 71: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

56  

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Japa (55 tahun)

mengatakan bahwa :

“…iyangasenna punggawaya massing ammake buku pa’pijojo napake a’boya ri je’ne. anjo bukunna sannami sallona nialleangi ri pa’tau toanna, mange ri anak cucu cucunna sollana baji tallasa’ katallassanna sikamma a’boya boya ri je’ne. ingaka nia tau ammake menuru pengalamanna na gappa ritampatangnga selama a’boya boya je’ne, nasaba allo siagang bangngia tena singkamma kamma…” (Rata-rata para punggawa memiliki buku pegangan yang digunakan pada saat pergi kelaut. Buku tersebut telah lama dimiliki, diberikan secara turun-temurun yang diberikan anak cucu-cucunya. Oleh sebab itu, buku tersebut telah lama digunakan karena hal itu telah dipakai ketika akan turun dilaut. Ada beberapa juga berdasarkan hasil pengalaman yang dimiliki yang didapatkan selama dilaut karena keadaan sekarang telah berbeda yang dimana cuaca tidak menentu) Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa setiap punggawa

memiliki suatu buku pegangan yang telah lama digunakan dan diberikan secara

turun-temurun. Oleh sebab itu, punggawa yang akan menentukan waktu

keberangkatan untuk pergi melaut selain karena memiliki buku pegangan

punggawa juga adalah pemilik kapal. Penentuan waktu yang ditentukan oleh

punggawa sehingga punggawalah yang sangat berkaitan dengan hasil

tangkapan yang diperoleh dan ketika punggawa melakukan kesalahan akan

menyebabkan kerugian.

Wawancara diatas juga mengatakan bahwa seorang punggawa

menentukan waktu berdasarkan juga akan pengalaman yang telah didapatkan

selama melaut. Pengalaman yang didapatkannya tersebut membuat dia

mengenal laut secara dalam dan mengetahui lebih jelas kapan waktu-waktu

harus pergi melaut. Disini juga tetap menggunakan akan buku pegangan yang

dia miliki, punggawa mengkombinasikan berdasarkan buku yang dimiliki dan

pengalaman yang dia dapatkan. Namun pada saat sekarang, dalam melakukan

kegiatan melaut punggawa akan sangat memperhatikan faktor musim karena

sekarang kondisi musim yang berubah-ubah. Hal ini juga ada kaitannya dengan

perubahan iklim yang terjadi.

Page 72: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

57  

Untuk penentuan waktu ini hanya dilakukan pada pemilik kapal besar

yang akan berangkat melaut sampai berbulan-bulan hingga bertahun-tahun

karena wilayah penangkapannya sangat luas sampai keluar Pulau Sulawesi

bahkan ada yang sampai kedaerah perbatasan Negara Australia sehingga perlu

adanya penentuan waktu yang mereka lakukan. Sedangkan untuk para nelayan

mandiri yang hanya menggunakan kapal kecil, tidak ada penentuan waktu yang

mereka lakukan. Mereka melakukan penangkapan ikan setiap hari tanpa

menentukan perhitungan waktu karena mereka hanya melakukan penangkapan

ikan selama satu hari atau hanya beberapa jam selama dilaut dan wilayah

penangkapannya hanya sekitar daerah Kabupaten Takalar.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Burhan (54 tahun)

mengatakan bahwa :

“…nelayan niaki ri pa’kampongan massing ammalaki carana a’boya juku, singkamma punggawaya niaka kappala’ lompona na rekeng memangmi. Siapa sallonna lampanna, nasaba’ na sallo lampanna. Ingka nakke paboya caddia tenaja kumake, iyaji ku bataei linoa iyareka cuacaya niaka, punna lampa mekang juku…” (Nelayan disini memiliki hal masing-masing dalam melakukan penangkapan ikan. Seperti punggawa yang memiliki kapal besar, yang biasanya menggunakan perhitungan waktu karena pada saat dilaut membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi berbeda dengan halnya saya yang hanya nelayan kecil, tidak perlu menggunakan hal tersebut (perhitungan waktu). Saya hanya melihat keadaan alam atau cuaca yang ada ketika melakukan penangkapan ikan) Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa seorang nelayan

mandiri tidak melakukan perhitungan waktu yang seperti dilakukan oleh

punggawa. Hal itu disebabkan karena para punggawa pada saat berada dilaut

membutuhkan waktu yang cukup lama berbeda dengan nelayan kecil atau

nelayan mandiri yang hanya berangkat satu hari atau beberapa jam saja.

Nelayan kecil hanya mengandalkan keadaan alam sekitar yang mereka lihat.

Kondisi alam yang dimaksud adalah arus air laut, angin yang berhembus, dan

pergerakan awan.

Page 73: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

58  

Biasanya dalam penentuan waktu dilakukan berdasarkan dengan melihat

gejala alam sekitar yang terjadi. Sama halnya dengan nelayan yang berada

didaerah lain, nelayan tidak akan pergi melaut pada saat musim angin barat.

Begitupun dengan nelayan di Desa Bontomarannu mulai mengurangi aktivitas

melaut atau tidak pergi melaut ketika musim angin barat telah masuk. Pada saat

musim angin barat dianggap sebagai waktu yang kurang baik untuk melakukan

penangkapan dilaut. Mereka mengetahui bahwa musim angin barat akan terjadi

gelombang besar dan hujan yang sangat deras sehingga dapat menimbulkan

bahaya pada saat melakukan aktivitas penangkapan dilaut.

Di Desa Bontomarannu tidak terdapat penentuan hari yang dianjurkan

dan hari yang dilarang. Para nelayan menganggap bahwa tidak ada hari tertentu

yang di ‘tabuhkan’ ketika pergi menangkap ikan, mereka hanya mengandalkan

kondisi alam yang muncul dalam melihat hari yang baik untuk melakukan

penangkapan dilaut. Ini hanya tergantung dari masing-masing nelayan yang

menggangap hari apa saja yang dianggap baik dan buruk. Biasanya mereka

tidak pergi melaut, ketika adanya ritual adat yang dilaksanakan dan ketika

adanya hari raya besar Islam.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Japa (55 tahun)

mengatakan bahwa :

“…Anrinni tenaja make allo pa’lampang mange ri tamparangan, sambarang alloji iya mami eroka lampa. Punna nakana bajiki alloa lampa nampapiseng a’lampa, punna nakana kodi alloa tena na si’ra lampa. Battu ri punggawa mami allo apa baji pa’lampanna…” (Disini tidak ada ditentukan hari yang akan berangkat kelaut. Bebas dan terserah dari kita hari apa akan pergi. Apabila merasa bahwa hari itu adalah baik maka kita akan pergi. Ketika memang hari itu adalah hari buruk maka tidak akan pergi. Tergantung dari setiap punggawa, hari yang dia rasa baik) Dalam penentuan musim ini, biasanya berdasarkan pengalaman berlayar

nelayan yang mengenal tanda-tanda pada musim tertentu. Ini merupakan

pengetahuan tersendiri bagi para nelayan yang telah menjadi sebuah kebiasaan

Page 74: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

59  

dalam melihat pergantian musim. Para nelayan biasanya melihat pergantian

musim dari perubahan arus gelombang laut atau pasang surut air laut. Hal ini

sama dengan pendapat yang dikemukan oleh Hasmah (2014) dalam jurnalnya

yang menyatakan, para nelayan tradisional melakukan aktivitasnya setiap hari

selalu berulang-ulang dan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung dari

waktu-waktu, dari generasi ke generasi melahirkan sistem pengetahuan

tersendiri.

Para nelayan melihat musim yang baik untuk melakukan penangkapan

ikan. Pada musim angin barat, sebagian nelayan yang menggunakan kapal kecil

tidak dapat mencari ikan karena dapat membahayakan keselamatan nelayan.

Walaupun ada nelayan yang melaut, hasil tangkapan yang didapatkan hanya

sedikit. Sedangkan untuk kapal yang berukuran besar yang telah berada dilaut,

biasanya akan mencari pulau terdekat untuk bersandar dan berlindung dari angin

dan gelombang yang besar. Pada waktu inilah beberapa jenis ikan akan

melakukan pemijahan sehingga kegiatan tidak menangkap ikan akan

memberikan kesempatan bagi berbagai jenis ikan untuk berkembang biak.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Sattu (48 tahun)

mengatakan bahwa :

“…Punna antami musim bara’ka, tenamo kulampa ri tamparangnga, na saba’ lompomi bombanganga siagang sarromi bosia tena ni passai dudui katalassanga. Nasaba biseang nipakea biseang ca’di…” (Ketika mulai memasuki musim barat, saya akan berhenti melaut. Akan terjadi ombak yang besar dan hujan yang deras, kami tidak akan memaksa keadaan. Perahu yang digunakan hanya perahu kecil) Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa para nelayan

di Desa Bontomarannu akan mulai mengurangi atau tidak akan melakukan

aktivitas penangkapan ketika musim angin barat telah masuk sehingga

pemasukan pendapatan mereka tidak ada atau berkurang. Mereka hanya

mengandalkan tabungan yang selama ini dikumpulkan ketika melakukan

Page 75: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

60  

penangkapan ikan karena untuk sebagian nelayan tidak mempunyai pekerjaan

sampingan. Mereka hanya bekerja sebagai nelayan sebagai mata

pencahariannya sedangkan untuk para istri mereka tidak memiliki pekerjaan dan

hanya sebagai ibu rumah tangga.

Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa nelayan di Desa Bontomarannu

dalam hal penentuan waktu dan musim dalam penangkapan ikan merupakan

salah satu sistem pengetahuan yang diketahui nelayan yang telah dilakukan dari

waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi yang dapat mempengaruhi

aktivitas penangkapan ikan. Sebuah sistem pengetahuan yang lahir dari

pengalaman yang didapatkan dan adanya cerita dari orang terdahulu merupakan

salah satu bentuk kearifan lokal bagi para nelayan yang memberikan keuntungan

tersendiri didalam proses penangkapan ikan seperti terhindarnya dari bahaya

akan musim angin barat.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kearifan lokal dalam

penentuan waktu sebelum melakukan penangkapan sesuai dengan dimensi

pengetahuan lokal menurut Mitchel (2003) dalam Riadi (2017) yang menyatakan

bahwa dimensi pengetahuan lokal adalah setiap masyarakat yang memiliki

kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya karena masyarakat

memiliki pengetahuan lokal dala menguasai alam seperti halnya pengetahuan

masyarakat mengenai perubahan iklim dan sejumlah gejala-gejala alam lainnya.

Kedua, tentang penggunaan alat tangkap. Salah satu cara yang baik

untuk menjaga pelestarian dalam lingkungan laut adalah dengan menggunakan

alat tangkap tradisional. Penggunaan alat tangkap tradisional lebih ramah

lingkungan, efektif dan hasil tangkapan lebih selektif sehingga dapat

mempertahankan kondisi potensi sumberdaya perikanan yang ada.

Alat tangkap tradisional yang digunakan oleh masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu adalah pancing dengan jumlah mata pancing yang berbeda-beda

Page 76: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

61  

tergantung jenis ikan yang akan ditangkap. Alat tangkap yang digunakan cukup

ramah lingkungan dan tidak merusak alam. Penggunaan teknologi alat tangkap

ikan di Desa Bontomarannu dipengaruhi oleh aktivitas nelayan, karena setiap

nelayan memiliki kebiasaan tersendiri. Setiap kebiasaan nelayan akan

mempengaruhi alat tangkap yang mereka pergunakan.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Tobo (50 tahun)

mengatakan bahwa :

“…Anrinni ri kampongnga pekangji na pake, tena tau ero’ make jala iyareka langra”, nia le’ba ammake jala iyareka langra’ ingka susai na pake. Taua ri galesongji biasa na pake. Punna pangra anjo lanra’na tena tommo lampa boya juku, bedai singang pekangnga kulleji ni bajiki rate biseang. Punna jala tena kulle ni bajiki, anjoengpi ri balla’na siangang jalaya sipa’na amamraki na saba’na jala na laloi ni gappa. Siangang poeng punna tassambang ri batu karangnga pasti kekkeki iyareka pangraki poeng. Susai na baji punna jala ni pake…” (Di daerah ini hanya menggunakan pancing, tidak ada yang menggunakan jaring. Pernah ada yang gunakan jaring tapi sulit digunakan, orang galesong yang biasanya menggunakan. Ketika jaring itu rusak, maka kita akan berhenti menangkap ikan, berbeda dengan pancing yang bisa diperbaiki diatas kapal. Berbeda hal dengan jaring yang harus diperbaiki dirumah dan jaring juga bersifat merusak karena jaring setiap yang dilewati akan ditangkap. Dan ketika melewati batu karang akan dirusak juga. Menggunakan jaring hanya akan menimbulkan masalah) Dari penuturan diatas dapat ketahui, bahwa penggunaan teknologi alat

tangkap yang digunakan oleh para nelayan hingga saat ini adalah pancing.

Meskipun pancing ini merupakan alat tangkap yang tradisional tapi eksistensi

terhadap pemakaiannya masih terjaga dan tidak tergerus oleh alat tangkap yang

modern seperti jaring. Para nelayan masih menggunakan pancing karena alat

dan bahannya mudah didapatkan, selain itu harganya yang cukup terjangkau

dan cara pembuatannya juga tidak terlalu rumit sehingga tidak perlu keahlian

khusus dalam pembuatan pancing tersebut.

Dalam pemakaian pancing ini juga tidak telalu sulit, hanya memegang

langsung tali senar pancing yang telah di pasangkan umpan kemudian

Page 77: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

62  

diturunkan ke dalam laut. Penggunaan alat tangkap pancing ini cukup efektif dan

selektif dalam tangkapan ikan yang didapatkan karena ikan yang ditangkap dapat

pilih sesuai keinginan tergantung umpan yang digunakan dan tidak menangkap

ikan yang berukuran kecil atau belum dewasa serta tidak merusak lingkungan

laut atas pemakaiannya.

Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap tradisional tetapi tidak

merusak lingkungan dan tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar apabila

terjadi kerusakan dalam penggunaannya. Penggunaan teknologi alat tangkap

pancing yang digunakan oleh nelayan secara tidak langsung telah menjaga

lingkungan laut dan melestarikan keanekaragaman biota laut meskipun nelayan

hanya melihat dari cara penggunaannya dan kerugian materi yang ditimbulkan.

Selain itu, para nelayan juga tidak menggunakannya karena dalam perbaikan

alat tangkap jaring yang cukup rumit dan perlu keahlian khusus serta

memerlukan waktu dalam proses perbaikannya. Berbeda dengan pancing, ketika

mengalami kerusakan dapat diperbaiki diatas kapal dan tidak memakan waktu

yang lama dalam perbaikannya sehingga ketika alat tangkap pancing rusak

dapat langsung diperbaiki dan langsung dapat digunakan.

Dengan penggunaan alat tangkap pancing yang memiliki nilai kearifan

lokal tersendiri yang telah tumbuh dan berkembang pada para nelayan. Alat

tangkap pancing tersebut, secara sadar maupun tidak sadar telah menumbuhkan

nilai atau sikap kesabaran dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sehingga

mereka mulai menghargai lingkungan laut. Ketika para nelayan melakukan

aktivitas penangkapan ikan dilaut dengan menggunakan alat tangkap pancing

akan membuat mereka menunggu selama berjam-jam sampai umpan yang

dipasang akan dimangsa ikan. Apalagi nelayan akan pergi menangkap ikan pada

waktu subuh sekitar jam 03.00 atau jam 04.00 sampai jam 10.00 atau jam 11.00

Page 78: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

63  

sehingga hal tersebut akan menimbulkan sikap sabar dalam menunggu hasil

tangkapan.

Sikap rasa kepedulian juga muncul ketika menggunakan alat tangkap

pancing karena dalam melakukan penangkapan ikan tidak serta merta menguras

sumberdaya laut secara berlebihan dan tidak akan merusak lingkungan. Dengan

menggunakan alat tangkap pancing menimbulkan suatu sistem pengetahuan

lokal tentang daerah penangkapan sehingga para nelayan dapat mengetahui

keberadaan ikan. Keberadaan ikan ini dapat diketahui dengan melihat simbol

alam seperti banyaknya bebatuan yang muncul dipermukaan laut dan dengan

melihat ikan-ikan yang muncul dipermukaan laut karena nelayan Bontomarannu

biasanya menangkap jenis ikan pelagis.

Pada saat memancing, tentu para nelayan mempunyai lokasi yang

mereka ketahui bahwa daerah tersebut terdapat banyak jenis ikan yang dapat

ditangkap. Para nelayan menyebut daerah penangkapan tersebut adalah daerah

Taka Mandi. Daerah Taka Mandi merupakan suatu tempat bagi para nelayan

ketika yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan. Daerah tersebut

merupakan daerah yang hanya diketahui oleh nelayan di Desa Bontomarannu

dan tempat yang dijadikan sebagai tempat memancing atau menangkap ikan.

Pengetahuan lokal yang nelayan ketahui dengan melihat simbol alam dan daerah

penangkapan didapatkan secara turun-temurun agar dapat dengan mudah

melakukan penangkapan ikan.

Dengan penjelasan diatas, dengan menggunakan alat tangkap pancing

yang masih bersifat tradisional dapat dikatakan bahwa masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu telah menggunakan dimensi-dimensi kearifan lokal yaitu dimensi

sumber daya lokal. Menurut Mitchell (2003) dalam Riadi (2017) yang menyatakan

“Setiap masyarakat akan menggunakan sumberdaya lokal sesuai dengan

kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besaran atau

Page 79: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

64  

dikomersialkan. Masyarakat dituntut untuk menyimbangkan keseimbangan alam

agar tidak berdampak bahaya baginya.”

Untuk nelayan di Desa Bontomarannu tidak menggunakan bahan peledak

bom dan bius untuk menangkap ikan karena mereka percaya bahwa bahan

tersebut dapat merusak lingkungan yang dapat membuat para roh-roh atau

leluhur yang tinggal di lokasi penangkapan marah dan murka sehingga dapat

menyebabkan terjadinya bahaya dan kekurangan atas rezekinya dengan

kurangnya hasil tangkapan yang didapat.

Untuk sebagian warga nelayan meyakini juga bahwa bahan peledak bom

dapat membahayakan diri sendiri dan merugikan secara materi seperti terjadinya

peledakkan tiba-tiba diatas kapal yang menyebabkan kehilangan nyawa,

kerusakan kapal. Penggunaan bahan peledak bom dan bius juga dilarang keras

oleh Kepala Desa Bontomarannu dan polisi laut setempat yang selalu melakukan

pengawasan yang ketat terhadap alat tangkap yang dilarang dan dapat merusak

lingkungan. Pemberlakuan hukum atas pemakaian bom dan bius juga sangat

ketat yang dapat membuat para nelayan tidak akan menggunakannya seperti

ditangkap dan ditahan dengan masa tertentu.

Berikut adalah penuturan responden, (Dg. Sattu, 48 tahun) :

“…Tena nia ammake bom anrinni, iya ji biasa ammake iyami antu tau puloa. Katte ni kassuiki ammake bom anrinni. Pak desa larroi punna nia na langgere ammake bom anrinni, sarropa poeng punna nacini langsung. Ammake pa’balle bius siangang bom sanna bahayana, niondangki. Anrinni ri kampongnga tena tau barani ammake bom nasaba mallaki nilappoki rate biseang. Kamma ri sitaung laloa, nasaba nia tau nilappoki limanna siangang bangkenna…” (Tidak ada yang menggunakan bom disini, yang biasa menggunakan adalah orang pulau. Kami disini di larang menggunakan bom. Kepala Desa akan marah apabila mendengar ada yang menggunakan bom apalagi ketika dia melihat secara langsung. Pemakaian bius dan bom sangat berbahaya, kami akan dikejar. Didaerah ini tidak ada yang berani memakai bom karena dapat meledak diatas perahu. Seperti beberapa tahun yang lalu, telah ada kaki dan tangannya diamputasi akibat bom)

Page 80: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

65  

Mereka juga tidak ingin merusak laut karena hal ini terkait dengan mitos

yang mereka percaya bahwa melakukan pengrusakan terhadap sumberdaya laut

akan membuat roh atau leluhur yang tinggal di laut akan marah dan murka

sehingga dapat menyebabkan terjadinya bahaya dan kekurangan atas rezekinya

dengan kurangnya hasil tangkapan yang didapat. Sebenarnya kurangnya atas

hasil tangkapan yang didapatkan akibat dari perbuatan mereka sendiri apabila

melakukan kerusakan laut. Seperti melakukan pengeboman dan penangkapan

secara berlebihan, sehingga menyebabkan rusaknya terumbu karang yang

merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan dan tidak membiarkan ikan untuk

hidup berkembang biak dengan baik.

2. Kearifan Lokal dalam Aktivitas Pelestarian Lingkungan Laut

Laut merupakan bagian utama dan tempat mencari rezeki bagi

masyarakat nelayan Desa Bontomarannu. Hal ini adalah pemahaman terhadap

unsur alam yang sangat kuat di kalangan masyarakat nelayan. Laut merupakan

bagian dari lingkungan yang dapat mengambil manfaat dari manusia dengan

kelebihan yang dimiliki. Manusia pun dapat mengambil manfaat dari lingkungan

untuk memenuhi kebutuhan. Bentuk perilaku pelestarian lingkungan yang

dilakukan oleh masyarakat Desa Bontomarannu tercermin dalam kehidupan

seharian mereka yang menganggap laut adalah tempat sakral sehingga

masyarakat menghormati kawasan laut mereka.

Cara hidup masyarakat nelayan yang melihat kehidupan jauh kedepan

sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya. Lingkungan yang ditujukan

untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan memenuhi

kebutuhan hidup sendiri. Pandangan mereka dalam kelestarian lingkungan,

sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan dimana mereka

beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk

Page 81: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

66  

lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat dengan

kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya.

Masyarakat pesisir Desa Bontomarannu memiliki potensi dan kekayaan

lokal yang masih mereka pertahankan hingga saat ini. Kearifan tersebut dianut

sebagai bentuk peradaban dan sistem nilai serta pranata berkaitan dengan

usaha pemanfaatan dan konservasi sumberdaya laut dan pesisir. Kekayaan

kearifan lokal/tradisi tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup secara

harmonis dengan alam lingkungannya. Dalam pelestarian sumberdaya laut

masyarakat Bontomarannu selalu mengikuti kebiasaan yang sudah menjadi

tradisi adat yakni dengan melakukan acara ritual yang menurut sistem

kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat ritual tersebut dapat

memberikan hasil usaha mereka sebagai nelayan maupun keselamatan mereka

selama melaut.

Hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu dalam hal melakukan pelestarian sumberdaya pesisir terdapat 3

(tiga) nilai dan norma yang berlaku hingga saat ini.

Pertama, ritual adat terhadap laut. Ritual terhadap laut ini merupakan

kegiatan masyarakat yang telah dilaksanakan secara turun temurun sehingga

menjadi suatu peninggalan dari nenek moyang mereka yang terdahulu. Kegiatan

ini dilakukan sebagai bentuk hormat dan memohon restu kepada makhluk-

makhluk gaib yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam

semesta ini.

Di Desa Bontomarannu memiliki kearifan atau tradisi yang terdapat

sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada

penguasanya yang disebut “Karaeng Loe’” dan penguasa didarat atau penguasa

kampung/desa disebut Patanna pa’rasangan. Adanya sistem kepercayaan ini

Page 82: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

67  

mendorong pemangku adat untuk melakukan ritual/upacara memberi makan atau

persembahan kepada penguasa laut dan penguasa darat.

Didesa ini terdapat sebuah rumah yang mereka bangun secara sukarela

untuk roh yang mereka percaya sebagai pemilik laut yang bernama Karaeng

Loe’. Menurut masyarakat setempat bahwa Karaeng Loe’ adalah sebutan nama

makhluk gaib yang mereka percayai sebagai penguasa atau pemilik laut yang

harus mereka hormati karena laut merupakan sumber mata pencaharian bagi

nelayan.

Rumah ini terbuat dari kayu sebagai tiang dan pondasi, yang dindingnya

terbuat anyaman bambu yang dibungkus plastik agar debu tidak masuk kedalam

rumah tersebut. Rumah ini dibuat dengan sedemikian rupa seperti ada orang

yang menempatinya karena didalamnya terdapat sebuah ranjang yang dilengkapi

dengan bantal dan guling beserta sarung dan sajadah. Sedangkan untuk rumah

Patanna pa’rasangan (roh pemilik kampung) untuk ukurannya lebih kecil dari

rumah Karaeng Loe’ dan berbentuk segi empat. Ukuran rumah tersebut hanya

1,5 m x 1,5 m dan terbuat dari kayu sebagai dinding dan atapnya dari seng yang

mulai rusak serta hanya beralaskan tanah atau pasir.

Berikut adalah jenis kegiatan ritual adat yang masih dipertahankan dan

dilakukan hingga saat ini yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu.

Page 83: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

68  

Tabel 7. Jenis Kegiatan Ritual Adat pada Desa Bontomarannu

No Jenis Ritual Tujuan Bentuk Ritual Tata Cara Waktu Ket.

1. Upacara Penghormatan

Laut

Bentuk hormat dan memohon

restu serta bentuk syukur

terhadap hasil tangkapan

yang didapatkan kepada roh

laut atau makhluk-makhluk

gaib

Sesajen berupa :

- Pisang

- Songkolo (Nasi

ketan)

- Onde-onde

- Telur ayam

kampong

- Kolak pisang

- Ayam masak

- Dupa

Sesajen akan

disimpan diatas baki’

kemudian dibawa ke

rumah “Pemilik Laut” ,

“Pemilik Kampung”,

serta dihanyutkan

kelaut

Bulan

Agustus

Dilakukan

oleh

Pemangku

Adat dan

nelayan

2. Passili

Untuk memohon kelancaran

dan perlindungan kepada

Allah SWT selama di laut

Sesajen berupa :

- Lilin merah

- 3 sisir buah

pisang

- Songkolo (Nasi

ketan)

- Ayam masak

- Kolak pisang

Sesajen dibawa

kekapal yang akan

digunakan melaut.

Pemangku adat akan

melakukan

pembakaran lilin dan

pembacaan doa

diatas kapal

Tidak

ditentukan

Dilakukan

oleh

Pemangku

Adat dan

nelayan

Page 84: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

69  

- Dupa’

3. Padongko pakrappo

Untuk meminta rezeki agar

hasil tangkapan melimpah

dan selama melaut tidak

mendapatkan kendala

apapun.

Sesajen berupa :

- Lilin merah

- Buah pisang

- Daun sirih

- Kapur

- Benang putih

Pemangku adat akan

melakukan

pembacaan doa serta

pembakaran lilin di

rumah “Pemilik Laut”

dan “Pemilik

Kampung”

Hari kamis

Dilakukan

oleh

Pemangku

Adat dan

nelayan

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2017

Page 85: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

70  

Berdasarkan tabel 7 diatas dapat dijelaskan bahwa di Desa

Bontomarannu terdapat tiga jenis ritual yang dilaksanakan secara turun temurun

sampai saat ini. Ritual tersebut mempunyai tujuan masing-masing dan waktu

pelaksanaan yang berbeda-beda tetapi mereka memiliki kesamaan yaitu dengan

memberikan persembahan atau sesajen kepada roh atau makhluk halus yang

mereka percayai. Informasi ini didapatkan dari pemangku adat selaku pemimpin

kegiatan ritual tersebut dan para nelayan.

Desa Bontomarannu setiap tahunnya mengadakan upacara

penghormatan terhadap laut atau ritual laut terhadap Karaeng Loe’ sebagai

bentuk penghormatan dan rasa syukur terhadap hasil tangkapan yang mereka

dapatkan. Kegiatan upacara/ritual ini dilakukan secara bersama-sama dan

dilakukan sekali setahun oleh masyarakat Desa Bontomarannu yang dipimpin

oleh Pemangku Adat. Kegiatan ini melibatkan masyarakat nelayan dan ketika

acara ini akan dilaksanakan semua nelayan yang sedang melaut diberitahukan

untuk kembali ke Desa Bontomarannu tetapi apabila para nelayan sedang melaut

didaerah yang cukup jauh maka akan diwakilkan oleh istrinya untuk

melaksanakan upacara tersebut. Pada saat upacara ini dilaksanakan semua

kapal tidak boleh melintas atau bersandar di Desa Bontomarannu.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Ramba (65 tahun) selaku

pemangku adat :

“…Anjo anak ritualki ni gaukangngi sikali si taung untuk anyomba siagang nia ta’tila rasa sukkurutta mange ri Karaeng Loe’ patanna pa’rasangan. Nasaba pasasaba’kanna dalleta battu ri iya ni sareangi mange ri paboya-boya ri tamparanga. Angkanaya niakki sukkuru mange ri karaeng loe saba’ ni bantu dalle’na. Jari na palaki anne ni somba iyareka ritual ri taenanapa na naik benderah ya. Nasaba ni sarei pa’pijo’jo ri lalang tingro anggaukangi panyombang iyareka ritual. Katte sanna parallu amparcayai kana anne battuji ri Allah Ta’ala, nasaba iya ji ampareki. Ingka katte ampercayai kana karaeng loe anjo battu anjagai si kamma tamparangnga siangang tau paboya jukuka anrinni…” (itu anak ritual diadakan setiap tahun buat persembahan dan rasa syukur terhadap Karaeng Loe’ sebagai pemilik laut. Melalui dia rejeki itu diberikan kepada nelayan. Sebagai bentuk rasa syukur terhadap Karaeng

Page 86: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

71  

Loe’ yang telah membantu nelayan disini. Jadi dia minta untuk diadakan ini ritual yang biasanya dilaksanakan pada bulan agustus sebelum tujuh belasan. Melalui mimpi diberikan petunjuk bahwa kapan ritual ini akan dilaksanakan. Kita juga percaya akan Allah SWT bahwa semua ini ciptaan-Nya tapi kami percaya bahwa Karaeng Loe’ diutus untuk menjaga laut dan para nelayan disini) Berdasarkan penuturan pemangku adat diatas, bahwa mereka mengakui

dan mempercayai bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Allah Swt. Bahwa

semua yang ada dimuka bumi baik manusia, tumbuhan, hewan, dan segala

makhluk baik jin dan malaikat adalah Ciptaan-Nya dan tidak akan ada yang

mampu selain-Nya. Salah satu ciptaan-Nya adalah makhluk-makhluk gaib atau

roh leluhur yang mereka percayai sebagai utusan-Nya untuk menjaga laut dan

para nelayan sehingga mereka melakukan ritual semacam memberikan

penghormatan dan meminta restu agar selama melakukan aktivitas di laut baik

merencanakan kegiatan pemanfaatan lingkungan laut maupun pada saat

kegiatan operasional dilakukan.

Ritual ini dilaksanakan pada bulan Agustus, untuk hari dan tanggalnya

tidak ditetapkan. Biasanya kegiatan upacara ini dilaksanakan sebelum tanggal 17

Agustus. Kegiatan ini akan dilaksanakan setelah diberitahu oleh pemangku adat,

setelah dia diberitahukan oleh Sang Pencipta melalui mimpi bahwa kegiatan ini

akan dilaksanakan. Menurut penuturan pemangku adat, kegiatan upacara

penghormatan laut ini adalah sesuatu yang sakral dan sangat penting untuk

dilaksanakan.

Upacara/ritual diadakan dipinggir pantai pada waktu pagi hari. Kegiatan

ini dilaksanakan dengan menghadirkan 7 pasangan yang terdiri dari 7 orang laki-

laki dan 7 orang perempuan yang dipilih oleh pemangku adat. Dimana 7

pasangan tersebut menggunakan baju adat atau baju bodo yang warnanya sama

dan untuk pemangku adat menggunakan pakaian serba hitam. Menurut

pemangku adat, adanya 7 orang pasangan dalam kegiatan upacara bahwa roh

Page 87: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

72  

leluhur yang mereka percaya berjumlah 7 orang bersaudara dengan memiliki

masing-masing pasangan yang berkumpul pada satu waktu dimana setiap

saudara roh leluhur tersebut memiliki tempat penguasaan/tempat yang mereka

tinggali sendiri.

Sebelum acara ini berlangsung akan disiapkan sesajen yang akan

dipersembahkan kepada roh leluhur yang akan disimpan pada tiga tempat yaitu

di rumah Karaeng Loe (roh pemilik laut), rumah Patanna pa’rasangan (roh

pemilik kampung) dan di hanyutkan kelaut. Sesajen ini berupa pisang, songkolo

(nasi ketan), onde-onde, telur ayam kampung, kolak pisang, ayam masak dan

dupa yang disimpan diatas baki’. Sesajen ini akan dipersiapkan oleh para istri

nelayan secara bersama-sama dirumah pemangku adat atau rumah warga yang

dipercaya merupakan keturunan dari roh pemilik laut tersebut. Kemudian untuk

para suami (nelayan) akan mempersiapkan bambu panjang dan gendang.

Bambu panjang yang digunakan berfungsi untuk membuat obor yang akan

ditancap pinggir laut, sedangkan gendang berfungsi untuk menciptakan alunan

musik yang akan dipakai mengiringi rombongan orang yang mengikuti ritual ini.

Setelah semua persiapan telah selesai maka akan dilaksanakan upacara

tersebut. Pertama, semua sesajen yang dipersiapkan akan dibawa kerumah

Karaeng loe’ (roh pemilik laut) dengan diiringi pukulan gendang, pemangku adat

dan 7 orang pasangan. Setelah sampai disana sesajen akan disimpan lalu

pemangku adat akan membacakan doa-doa dan mulai membakar lilin di atas

pendupaan. Kemudian pemangku adat dan arak-arakkan menuju rumah Patanna

pa’rasangan (roh pemilik kampung), hal yang sama juga dilakukan pembacaan

doa pada sesajen dan pembakaran lilin. Dan yang terakhir, sesajen yang telah

dibacakan doa-doa akan dibawa kelaut kemudian dihanyutkan sementara bambu

yang telah disiapkan tadi akan dibakar lalu ditancapkan dipinggir laut sebagai

Page 88: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

73  

tanda bahwa Desa Bontomarannu sedang melaksanakan upacara/ritual

persembahan terhadap laut.

Kemudian kegiatan Passili yang dilakukan para nelayan sebelum turun

kelaut. Dimana kegiatan ini dilakukan dengan cara mengadakan syukuran

dirumah dan diatas kapal. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memohon kelancaran

dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa selama nelayan dilaut dengan

menyiapkan sesajen. Kegiatan ini dipimpin oleh pemangku adat untuk

membacakan doa-doa kepada nelayan yang ingin berangkat melaut dan sesajen

yang akan dibawa diatas kapal. Sesajen berupa lilin, buah pisang 3 sisir,

songkolo (nasi ketan), ayam masak dan kolak pisang. Syukuran akan dilakukan

dirumah nelayan dengan mengundang beberapa tetangga untuk kegiatan makan

bersama. Sebelum kegiatan makan dimulai, sesajen yang telah dipersiapkan

dibawa menuju kapal yang akan digunakan nelayan untuk melaut. Diatas kapal

tersebut, pemangku adat akan membakar lilin didalam pendupaan dan mulai

membacakan doa-doa untuk keselamatan para nelayan. Kemudian sesajen yang

telah dibacakan doa akan dihanyutkan kelaut sebagai persembahan kepada roh

leluhur yang mereka percayai. Setelah pembacaan doa selesai baru akan

memulai kegiatan makan bersama.

Kegiatan Passili ini biasanya dilakukan oleh punggawa dan nelayan

mandiri atau pemilik kapal yang akan digunakan melaut tetapi untuk punggawa

mereka akan melakukan kegiatan ini setiap akan berangkat kelaut dalam

melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan untuk nelayan mandiri,

mereka hanya melakukannya sesekali atau ketika hasil tangkapan yang mereka

dapatkan kurang. Waktu pelaksanaan kegiatan Passili ini tidak ditentukan karena

kegiatan ini akan dilaksanakan ketika nelayan akan pergi melaut atau hasil

tangkapan yang didapatkan kurang menguntungkan.

Page 89: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

74  

Berikut adalah kutipan wawancara dengan Dg. Ramba (65 tahun) selaku

pemangku adat :

“…Anjo anak nia ni gaukang anrinni setia’ anjo allo kammisi, padongko pakrappo arenna. Biasaya nia battu bainengnna papekangnga mange riballana iya na erang liling siagang ungti ri ballana Karaeng Loe’. Ingka biasa tongki punggawana siagan sawihna, ingak biasa niaka anggerang bainenaji nasaba bura’nenna lamapi ammekang. Sollanna harapanna appala slama siagan ni sare dale bura’nengna ri tamparangnga. Nia poeng tampa’ balla saukang patanna pa’rasangan ni pattunuang lilin siagang appala’ pala’ do’a, lebbana ballana Karaeng Loe’…” (Itu juga anak ada kegiatan disini setiap hari kamis dilaksanakan, Paddongko pakrappo namanya. Biasanya yang datang adalah istri nelayan kerumah (rumah pemangku adat) membawa lilin dan pisang untuk diberikan di rumah Karaeng Loe’. Biasanya para punggawa atau sawi yang akan langsung datang tetapi lebih sering istrinya karena suaminya pergi melaut. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan meminta keselamatan dan rejeki untuk suaminya yang berada dilaut. Dilain hal, ada juga rumah “Pemilik Kampung” yang akan juga melakukan pembakaran lilin dan berdoa setelah dari rumah Karaeng Loe’) Selanjutnya untuk kegiatan padongko pakrappo, kegiatan ini biasanya

dilakukan secara individu. Padongko pakrappo merupakan kegiatan permohonan

keselamatan kepada leluhur yang dilakukan oleh pemangku adat dengan

melakukan pembacaan doa serta pembakaran lilin dengan memberikan buah

pisang dan daun sirih serta kapur yang telah dibungkus daun pisang kemudian

diikat oleh benang putih sebagai bentuk sesajen yang diberikan kepada leluhur

dan penjaga laut yang diutus oleh Sang Pencipta.

Kegiatan ini dilakukan setiap minggu yaitu hari kamis pada waktu sore

hari. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para istri nelayan untuk meminta rezeki

agar hasil tangkapan suaminya melimpah dan selama melaut tidak mendapatkan

kendala apapun. Mereka membawa lilin dan uang seikhlasnya kemudian ditaruh

diatas piring dibungkus dengan kain putih atau kuning lalu dibawa ke rumah yang

dipercaya sebagai tempat persinggahan para leluhur (ballana karaeng loe atau

balla sau’saukang) dan rumah Patanna pa’rasangan (roh pemilik kampung) untuk

dibakar lilinnya dan dibacakan doa oleh pemangku adat.

Page 90: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

75  

Upacara padongko pakrappo hanya dilakukan secara individu dengan

tujuan yang berbau mistis atau takhayul. Nelayan di desa ini masih mempercayai

tentang adanya kekuatan-kekuatan roh yang terdapat pada pantai dan laut. Bagi

mereka bahwa hal tersebut adalah suatu benda hidup yang sakral. Maka

muncullah pemujaan-pemujaan dalam kegiatan ekonomi kelompok nelayan

terhadap unsur alam yang dimaksud (pantai dan laut) dengan harapan agar

kekuatan-kekuatan gaib penuh misteri yang terdapat di pantai dan laut tetap

stabil dan memberikan keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam

perjuangan hidupnya. Kegiatan upacara Passili dan Padongko pakrappo

sebenarnya memiliki satu tujuan yaitu sebagai bentuk rasa syukur dan hormat

terhadap roh leluhur atau makhluk gaib yang mereka percaya hanya saja

dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda.

Hasil penelitian tersebut dapat dikatakan signifikan, karena sejalan

dengan hasil kajian Stanis, dkk (2007) yang menyatakan bahwa, “Mereka

mempersepsikan kearifan lokal sebagai suatu yang dapat menata kehidupan

baik antar mereka sebagai komunitas sosial maupun dengan alam sebagai

komunitas ekologi. Mereka menyadari pula bahwa eksistensi kehidupan mereka

tidak terlepas dari eksistensi kehidupan makhluk lain dalam bumi yang satu sama

ini. Oleh karena itu bagi nelayan lokal, ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan

adat, kearifan dan tradisi yang ada sangat dijunjung tinggi.”

Ritual yang mereka jalankan adalah bentuk kearifan lokal yang dikenal

dan telah dilakukan secara turun-temurun. Masyarakat Desa Bontomarannu

meyakini bahwa ritual ini adalah kepercayaan spiritual terhadap pemilik laut.

Ritual ini adalah hal yang sangat diutamakan, terbukti dengan masih dijalankan

dan dipertahankan oleh masyarakat. Apabila ritual ini tidak dijalankan akan

terjadinya suatu musibah yang akan menimpa para nelayan selama proses

melaut. Mereka meyakini bahwa pemilik laut akan marah dan tidak dihormati

Page 91: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

76  

akibat proses ritual yang tidak dijalankan. Sehingga ritual ini telah diketahui oleh

seluruh masyarakat Desa Bontomarannu yang bersifat mengikat dan telah

dijalankan secara turun-temurun.

Upacara penghormatan kepada laut yang dilakukan para nelayan

merupakan sebuah mitos masyarakat lokal yang tidak bisa diterima dengan

logika. Tetapi sebuah mitos lahir dari pemikiran manusia pada zaman dahulu

yang memiliki kaitan pada hubungan terhadap manusia dengan alam. Mitos dan

ritual ini menjadi bagian dari pengetahuan dan kepercayaan masyarakat yang

memiliki pengaruh terhadap sistem pengelolaan lingkungan laut. Upacara

penghormatan kepada laut yang dilakukan dengan sebuah ritual memiliki makna

alam untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut sehingga keseimbangan

hubungan manusia dan alam terjaga. Mitos mengandung kearifan lokal yang

akan membentuk pola pikir masyarakat agar lebih hati-hati terhadap sesuatu

yang dianggap bernilai suci atau sakral.

Kedua, selektif dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Para

nelayan di Desa Bontomarannu dalam melakukan penangkapan ikan akan

selektif dalam memilih ikan-ikan yang akan ditangkap. Mereka tidak melakukan

penangkapan dan membunuh terhadap lumba-lumba, hiu martil, penyu dan kura-

kura. Para nelayan biasanya hanya akan menangkap jenis ikan pelagis dan ikan

karang seperti ikan kerapu, ikan kakap, ikan cakalang, ikan tuna, ikan tembang

dan lain-lain.

Alasan tidak menangkap lumba-lumba karena diketahui bahwa lumba-

lumba akan membawa rejeki karena suatu kawasan perairan yang terdapat

lumba-lumba akan banyak terdapat ikan-ikan yang berukuran lebih kecil, karena

merupakan sumber makanan bagi lumba-lumba. Selain itu menurut masyarakat,

lumba-lumba tidak ditangkap karena mereka percaya bahwa lumba-lumba

merupakan jelmaan arwah manusia yang telah meninggal di laut.

Page 92: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

77  

Nilai kearifannya adalah lumba-lumba merupakan petunjuk bahwa

diperairan itu masih banyak terdapat ikan. Selain itu, adanya pula larangan yang

dikeluarkan oleh pemerintah Desa Bontomarannu bahwa lumba-lumba, ikan hiu

martil, penyu, dan kura-kura adalah hewan yang dilindungi dan dijaga

kelestariannya yang terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan.

Terdapatnya pula mitos masyarakat yang percaya bahwa lumba-lumba adalah

jelmaan arwah manusia sehingga dapat mencegah adanya penangkapan lumba-

lumba dan menjaga kelestaraian lingkungan laut.

Ketiga, tentang pamali atau tabu. Pamali yang dimaksud adalah dengan

tidak dilakukan kegiatan membuang sampah dilaut atau melakukan hal yang

tidak sopan selama dilaut. Para nelayan percaya apabila melakukan

pembuangan sampah sembarangan dilaut dapat menyebabkan marahnya

penghuni laut yang mengakibatkan bahaya bagi para nelayan diatas kapal. Untuk

para nelayan mempercayai adanya mitos laut dalam melakukan pengelolaan

lingkungan laut. Menurut hasil wawancara yang saya dapatkan, bahwa ada

seorang nelayan jatuh diatas kapal yang mayatnya tidak ditemukan sampai

sekarang. Nelayan tersebut diceritakan telah melakukan buang air kecil

disembarangan tempat tanpa permisi sehingga dia terjatuh tanpa sengaja.

Nelayan berpendapat bahwa kejadian yang terjadi adalah pamali dan akan ada

akibat yang ditimbulkan. Ini sejalan dengan pendapat Alimuddin (2005) dalam

Hasmah (2014) bahwa “Perilaku masyarakat utamanya dalam kegiatan ekonomi

senantiasa berdasarkan pamali. Pantangan atau pamali sebenarnya merupakan

kepercayaan yang berorientasi untuk mencapai keselamatan dan mendapatkan

berkah yang lebih banyak.”

Pamali telah memiliki nilai luhur tersendiri dan makna yang sangat

berharga meskipun tidak tertulis secara jelas tetapi hanya diuraikan secara lisan.

Pamali yang memliki pesan-pesan yang tersembunyi bersifat khayalan yang

Page 93: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

78  

terkadang tidak masuk akal tapi juga melihat dan memandang sesuatu hal jauh

kedepan. Pamali telah mampu menjaga lingkungan laut dan tradisi kearifan lokal

yang penuh makna. Makna yang diambil dari pantangan/larangan ini adalah agar

laut tidak tercemar, sehingga berbagai aktivitas kehidupan hewan laut tidak

terganggu. Sampah berserakan di laut akan mengganggu kualitas perairan,

menghalangi intensitas cahaya matahari yang masuk, dan pada akhirnya

menyebabkan kerusakan ekosistem perairan.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan kegiatan wawancara yang

dilakukan, diperoleh gambaran bahwa masyarakat pesisir sampai saat ini

memandang bahwa nilai yang kearifan lokal terutama dalam kaitan dengan

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir merupakan bagian

integral dan melekat dengan aktivitas kehidupan mereka.

Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa masyarakat meyakini

segala yang telah diwariskan oleh para pendahulu mereka mengandung banyak

hikmah dan pelajaran dalam menjalankan berbagai aktifitas mereka. Keraf (2002)

dalam Suhartini (2009) menyatakan bahwa kearifan tradisional adalah semua

bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat

kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di

dalam komunitas ekologis. Jadi, kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut

pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan

bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut

pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan

bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus

dibangun.

Hal yang menarik dari macam-macam kearifan lokal yang dimiliki

masyarakat pesisir adalah bahwa mereka begitu menyadari akan betapa

pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menopang kehidupan mereka.

Page 94: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

79  

Tindakan yang bersifat merusak terhadap kekayaan sumberdaya alam pesisir

dan sistem penangkapan yang tidak ramah lingkungan hampir tidak pernah

terjadi. Sistem nilai ini merupakan aturan yang dapat menuntun dan mengatur

hubungan mereka dengan alam lingkungannya. Mereka memiliki pemahaman

dan kepercayaan bahwa alam memiliki suatu kekuatan dan alamiah yang dapat

memberikan mereka rezeki serta keberuntungan. Dilain pihak mereka juga

percaya bahwa pada kondisi tertentu, ketika manusia serakah dan bertindak

dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir tidak sesuai dengan

sistem nilai, maka alam akan bertindak sebaliknya akan memberikan sanksi dan

hukuman kepada manusia.

Menurut sistem kepercayaan masyarakat Bontomarannu, bentuk

hukuman yang alam diberikan kepada mereka dalam memanfaatkan

sumberdaya alam laut dan pesisir yang tidak sesuai dengan kesepakatan adat

dan tradisi masyarakat setempat. Semacam ada rasa takut, mereka percaya jika

tindakan mereka tidak sesuai dengan kehendak alam, bersifat merusak, lambat

laun cepat atau lambat mereka akan mengalami resiko. Resiko yang dihadapi

dapat berupa kurangnya hasil tangkapan, tenggelam di laut, terjadi badai selama

dilaut dan lain-lain.

Makna lain yang dapat disimak dari kearifan lokal/tradisional yang dimiliki

oleh masyarakat pesisir di lokasi penelitian yakni selalu tercipta suasana

kekerabatan dan kegotong royongan di antara masyarakat nelayan. Selalu

tercipta hubungan sosial, saling membantu, bersaing yang tidak sehat dan saling

merusak perlengkapan penangkapan nelayan tidak pernah terjadi. Dengan

demikian dalam memanfaatkan sumberdaya tidaklah bersifat serakah. Semacam

ada pesan moral bagi mereka bahwa mereka hanya boleh menangkap untuk

kepentingan hidup mereka (konsumsi) atau dijual untuk keperluan yang lain.

Page 95: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

80  

B. Bentuk Partisipasi Nelayan dalam Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut

Berbasis Masyarakat

Partisipasi nelayan berbasis masyarakat adalah suatu kegiatan yang

dilakukan oleh para nelayan yang ikut terlibat langsung dan ikut bertanggung

jawab dalam perencanaan pengelolaan laut yang dibuat oleh masyarakat dan

pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat bertujuan untuk

melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan

pelaksanaan suatu pengelolaan. Partisipasi masyarakat ini dapat dilakukan

dengan adanya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah juga

harus ikut ambil bagian dengan memberikan program kerja dalam membangun

partisipasi masyarakat dibidang pengelolaan lingkungan laut.

Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Dahuri (1996) dalam

Erwiantono (2006) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat nelayan dalam

pengelolaan lingkungan laut dapat diwujudkan dengan mengadakan program

pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan membutuhkan partisipasi

masyarakat yang tinggi dan setepat mungkin. Sehingga masyarakat nelayan

harus diikutsertakan dalam pembuatan rencana dan aturan terhadap

pengelolaan lingkungan laut. Partisipasi masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu dalam pengelolaan lingkungan laut dengan tidak melakukan

pelanggaran terhadap Undang-Undang yang berlaku yang dipengaruhi oleh

pengetahuan lokal yang membawa mereka bersifat menjaga dan melindungi

terhadap kelestarian sumberdaya alam.

Bentuk partisipasi yang telah nelayan lakukan dalam kegiatan

pemanfaatan dan pelestarian lingkungan laut dengan proses penangkapan yang

dilakukan. Kegiatan penangkapan yang dilakukan dapat dilihat dari jenis alat

tangkap yang digunakan dan jenis ikan yang ditangkap. Disini pemerintah akan

ikut ambil andil dengan memperhatikan dan melakukan pengontrolan terhadap

Page 96: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

81  

jenis alat tangkap yang digunakan dan tangkapan ikan yang dilarang. Dengan

adanya kerjasama yang dilakukan oleh para nelayan dan pemerintah akan

mencegahnya timbulnya kerusakan lingkungan pada laut.

Berikut adalah bentuk partisipasi nelayan dalam pengelolaan lingkungan

laut berbasis kearifan lokal :

Tabel 8. Bentuk Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat

No. Tahapan

Partisipasi Kegiatan Tujuan Ket.

1. Perencanaan

Kegiatan rapat

yang dilakukan

Pemerintah

desa dengan

para nelayan

- Untuk

mendiskusikan

jenis-jenis alat

tangkap yang

digunakan

- Untuk

menetapkan jenis

alat tangkap yang

akan digunakan

- Kesepakatan

dengan

dilarangnya

penggunaan bius

dan bom

Agar laut tetap

terjaga

kelestariannya

dan nelayan

tidak akan

merusak

sumberdaya

laut

2. Pelaksanaan

Aktivitas

penangkapan

yang dilakukan

nelayan saat

dilaut

- Nelayan tidak

menggunakan

bom dan bius

pada saat

melakukan

penangkapan

- Nelayan tidak

menggunakan

alat tangkap yang

dilarang

Didukung oleh

peran Kepala

Desa dan Polisi

laut

Page 97: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

82  

- Nelayan

menangkap

sesuai aturan

yang telah

disepakati

3. Evaluasi Melakukan

pelaporan

- Melakukan

pelaporan kepada

Pemerintah Desa

apabila terjadi

pelanggaran yang

dilakukan

- Adanya

pengawasan yang

dilakukan

Pemerintah Desa

dalam

penggunaan alat

tangkap yang

dilarang

Dipantau oleh

Kepala Desa

4. Pemanfaatan

- Penangkapan

ikan yang

dilakukan

- Pemanfaatan

sumberdaya

laut terhadap

ikan-ikan

yang

ditangkap

Dengan tidak

menangkap jenis-

jenis ikan yang

dilarang

Jenis-jenis ikan

yang dilarang

adalah lumba-

lumba, hiu

martil, kura-kura

dan penyu

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2017

Berdasarkan tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa bentuk partisipasi terbagi

atas 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan

pemanfaatan.

Page 98: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

83  

Tahap pertama, Perencanaan. Perencanaan dilakukan dengan

melakukan kegiatan rapat yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat

nelayan. Pemerintah desa tidak melakukan kerjasama terhadap pemangku adat

dalam mendiskusikan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan jadi

pemerintah desa hanya melakukan rapat bersama masyarakat nelayan. Kegiatan

ini baru dilaksanakan setelah adanya pergantian kepala desa. Sebelumnya pada

pemerintahan sebelumnya, tidak pernah dilakukannya rapat bersama oleh

nelayan.

Sedangkan kegiatan yang dilakukan bersama pemangku adat adalah

proses menjalankan ritual yang akan dilakukan sebelum turun kelaut dan

pembicaraan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan pada saat dilaut.

Kegiatan ini dilakukan bukan dalam forum yang dimana semua warga berkumpul

hanya dilakukan pembicaraan-pembicaraan perindividu pada saat ada kegiatan

upacara adat berlangsung dirumah mereka atau para nelayan datang kerumah

pemangku adat. Bisa dikatakan nelayan hanya melakukan diskusi biasa dengan

pemangku adat.

Kegiatan rapat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendiskusikan

kegiatan penangkapan yang dilakukan para nelayan dalam penggunaan alat

tangkapnya. Dimana alat tangkap yang digunakan harus ramah lingkungan dan

tidak merusak lingkungan laut. Dalam proses kegiatan rapat tersebut, diketahui

bahwa masyarakat nelayan Desa Bontomarannu menggunakan alat tangkap

tradisional berupa pancing. Alat tangkap yang mereka gunakan tidak merusak

lingkungan dan tidak menangkap ikan secara berlebihan.

Tahap kedua, Pelaksanaan. Pelaksanaan adalah wujud nyata partisipasi

yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa. Pelaksanaan ini dilakukan

setelah hasil kegiatan rapat telah disetujui oleh semua pihak. Dalam hasil rapat

yang telah dilakukan ini bahwa pemerintah desa mengeluarkan aturan tentang

Page 99: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

84  

alat tangkap dan masyarakat nelayan mematuhi aturan yang berlaku dengan

tidak menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan seperti bahan

peledak bom dan bius. Mereka juga menyadari bahwa bahan peledak bom

sangat berbahaya yang bersifat fatal dan dapat merugikan nelayan itu sendiri.

Masyarakat Desa Bontomarannu juga menjalankan pantangan-pantangan

yang dilarang oleh pemangku adat yaitu menangkap hewan yang dilindungi

seperti lumba-lumba, hiu martil, penyu, dan kura-kura serta tidak membuang

sampah dilaut karena mereka percaya dengan tidak melakukan hal tersebut tidak

akan membawa musibah atau hal yang tidak diinginkan terjadi.

Tahap ketiga, Evaluasi. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui

partisipasi masyarakat dalam perbaikan pelaksanaan aturan yang sepekati.

Partisipasi masyarakat akan dinilai, apakah mereka telah menjalankan aturan

yang telah mereka sepakati sendiri. Pada tahap evaluasi, masyarakat nelayan

Desa Bontomarannu masyarakat telah melaksanakan aturan yang berlaku

dengan melakukan pelaporan kepada aparat desa apabila terjadi pelanggaran.

Dan partisipasi pemerintah desa terhadap aturan yang telah dibuat dengan

melakukan pengawasan yang ketat dalam penggunaan alat tangkap yang

dilarang dan memberikan hukuman bagi yang telah melanggar aturan.

Tahap keempat, Pemanfaatan. Pemanfaatan merupakan hasil dari aturan

yang telah dibuat dan dapat dinikmati. Kesadaran masyarakat dalam menjaga

lingkungan laut dan mematuhi aturan yang berlaku dengan menjaga

keseimbangan ekosistem laut akan menghasilkan tangkapan ikan yang lebih

melimpah karena alat tangkap yang digunakan tidak menggunakan bahan

peledak bom dan bius yang bisa mengakibatkan rusaknya terumbu karang dan

jenis ikan yang dilindungi akan dapat dinikmati oleh generasi-generasi

selanjutnya

Page 100: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

85  

C. Dampak Aktivitas Kearifan Lokal Terhadap Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia merupakan negara kepualauan terbesar yang memiliki wilayah

laut dan pesisir tentunya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dibidang

kelautan dan perikanan. Apabila potensi tersebut dikelola secara baik dan benar,

tentunya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju. Kearifan lokal

terhadap pembangunan keberlanjutan merupakan salah satu potensi

sumberdaya yang sering diabaikan oleh pemerintah. Pemberdayaan kearifan

lokal kurang tersosialisasikan oleh pemerintah dan masyarakat yang seharusnya

dapat membangun Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga

dengan menjaga kesinambungan melalui Sustainable development dapat

menjadi solusi dalam menangani berbagai masalah.

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pembangunan yang

dilakukan untuk memenuhi akan kebutuhan sekarang dan dengan

memperhatikan kebutuhan yang akan datang. Upaya ini dilakukan untuk

meningkatkan kesejahteraan dengan menggunakan sumberdaya lingkungan laut

secara bijaksana dan memperhatikan akan terpenuhinya kebutuhan generasi

yang akan datang. Dalam melakukan pengelolaan lingkungan, tentu harus

menjaga kualitas, keanekaragaman hayati dan ketersediaan akan sumberdaya

alam dalam jumlah yang mencukupi untuk masa sekarang dan generasi

mendatang agar mencegah terjadinya pengelolaan lingkungan yang berlebihan

dan merusak.

Dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya alam tidak boleh dilakukan

dengan cara-cara yang berlebihan sehingga tidak dapat diperbaharui yang akan

menimbulkan masalah pada lingkungan laut. Kearifan lokal saat ini masih dapat

dilihat dan diamati secara langsung tetapi dimasa mendatang akan hanya tinggal

cerita apabila tidak dijaga dengan baik. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan

Page 101: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

86  

perlu ditingkatkan agar seimbang dengan pemanfaatan alam demi menjamin

masa depan manusia. Kearifan lokal adalah salah satu pengelolaan lingkungan

laut terhadap proses pembangunan berkelanjutan yang sering dikesampingkan

padahal kearifan lokal memiliki potensi yang besar apabila dimanfaatkan secara

optimal.

Kearifan lokal merupakan suatu perilaku masyarakat tertentu yang

menjadi kebiasaan turun temurun dan tradisi yang bersifat sakral bagi

masyarakat tertentu. Dengan adanya kearifan lokal tersebut secara tidak

langsung masyarakat akan melakukan hal-hal yang berbeda dari masyarakat

lainnya dalam hal pengelolaan laut. Contohnya bagi masyarakat Desa

Bontomarannu yang melakukan persembahan untuk laut seperti memberikan

sesajen dalam bentuk makanan. Mereka meyakini bahwa di laut terdapat roh

leluhur yang menjadi panutan mereka. Selain itu, mereka juga mengenal istilah

pamali. Pamali yang dimaksud yaitu adanya larangan-larangan bagi masyarakat

Desa Bontomarannu dalam hal 'memperlakukan' laut. Di balik dari berbagai

kearifan lokal tersebut ternyata menyimpan berbagai dampak positif bagi

pengelolaan lingkungan laut di Desa Bontomarannu.

Secara tidak langsung masyarakat Desa Bontomatannu telah melakukan

usaha pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan kearifan lokal. Kearifan

lokal terhadap pengelolaan lingkungan laut adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan alat tangkap tradisional yaitu pancing dengan jumlah mata

pancing yang berbeda sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap.

Penggunaan alat tangkap pancing tersebut dapat membantu

pemeliharaan lingkungan laut sekaligus menjaga kelangsungan hidup

keanekaragaman biota laut di Desa Bontomarannu. Hal ini sangat berbeda

dengan penggunaan alat tangkap di berbagai wilayah laut Indonesia, sebagian

besar masyarakat nelayan modern menggunakan pukat harimau ataupun

Page 102: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

87  

dengan bahan peledak. Bayangkan saja, apabila sebuah kapal yang melakukan

penangkapan ikan dengan pukat harimau, mulai dari ikan-ikan kecil hingga

dewasa, semua jenis ikan tersebut akan terperangkap di dalam pukat harimau

tersebut. Karena jaring-jaring pada pukat harimau lebih kecil ukuran diameternya

daripada jaring yang digunakan oleh masyarakat nelayan tradisional. Selain itu,

pukat harimau yang dilemparkan jauh hingga ke dasar laut secara tidak langsung

akan merusak ekosistem terumbu karang dan rumput laut ketika pukat tersebut

mulai ditarik naik ke permukaan oleh para nelayan modern. Pukat harimau ini

sangatlah efektif dalam penggunaannya, namun sayangnya tidak selektif dalam

hasil tangkapannya. Tidak hanya dalam hal penggunaan pukat harimau.

Seringkali nelayan masa kini juga menggunakan bahan peledak atau meracuni

ikan-ikan laut dengan bahan sianida. Mereka benar-benar tidak memikirkan

keberlanjutan lingkungan untuk masa depan. Dengan menggunakan bahan

peledak, ekosistem terumbu karang akan rusak seketika dan sangat sulit untuk

memulihkannya.

Maka dari itu, dengan adanya kearifan lokal masyarakat Bontomarannu,

isu-isu kerusakan lingkungan laut tersebut dapat diminimalisasi. Kearifan lokal

tersebut berkaitan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan

Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). UU tersebut menegaskan

pentingnya perhatian atas daya dukung dan kelestarian sumber daya perikanan

untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat Indonesia. Hal itu sejalan dengan UU No 31 Tahun 2004 dan Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Dalam Pasal 9 Ayat (1) UU tersebut disebutkan: “Setiap orang dilarang

memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan

dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

Page 103: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

88  

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia“. Di dalam undang-undang ini, alat

penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan

merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk di antaranya jaring trawl atau

pukat harimau, dan/atau kompresor jelas diharamkan.

2. Adanya penghormatan untuk laut.

Masyarakat Bontomarannu meyakini bahwa laut dijaga oleh roh leluhur

yang bernama Karaeng Loe. Setiap tahunnya mereka melakukan ritual sebagai

penghormatan untuk leluhur mereka. Mereka sangat menjaga kelestarian laut

dan amat berhati-hati ketika melakukan aktivitas di laut. Secara tidak langsung,

kearifan lokal tersebut membawa dampak positif terhadap pengelolaan

lingkungan laut di Desa Bontomarannu. Dengan keyakinan bahwa adanya roh

leluhur yang selalu menjaga laut, secara otomatis masyarakat Bontomarannu

tidak akan melakukan kerusakan di lingkungan laut. Mereka sangat menjunjung

tinggi tradisi dalam menjaga dan melestarikan alam laut karena mereka takut

akan murka dari roh leluhur yang mereka yakini tersebut. Mereka akan menjaga

kebersihan laut, tidak membuang sampah dan limbah yang akan merusak

ekosistem bawah laut. Mereka juga akan mencintai laut sebagaimana laut telah

menjadi sumber mata pencaharian mereka.

3. Masyarakat Bontomarannu selektif dalam melakukan penangkapan dengan

tidak menangkap lumba-lumba, hiu martil, penyu dan kura-kura.

Wilayah perairan Desa Bontomarannu memiliki berbagai jenis biota laut,

mulai dari ikan-ikan yang berukuran besar maupun ikan yang berukuran kecil.

Hal ini dapat dijadikan sebagai keuntungan tersendiri bagi masyarakat

Bontomarannu yang menjadikan wilayah laut sebagai sumber mata pencaharian.

Meskipun wilayah laut mereka terdapat berbagai jenis biota yang bernilai jual

tinggi seperti ikan hiu, penyu, kura-kura serta lumba-lumba. Namun mereka tidak

Page 104: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

89  

serta merta mengeksploitasi biota-biota tersebut. Adanya kearifan lokal yang

berlaku menyebabkan mereka tidak dapat memanfaatkan biota tersebut. Mereka

meyakini dengan adanya lumba-lumba tersebut sebagai pertanda bahwa di

perairan itu masih terdapat ikan. Selain itu, adanya pula larangan yang

dikeluarkan bahwa lumba-lumba tidak ditangkap karena mereka percaya bahwa

lumba-lumba adalah jelmaan arwah manusia yang telah meninggal di laut.

Berbagai kearifan lokal ini tentu saja sangat membantu pemerintah dalam hal

pelestarian jenis-jenis ikan yang langka. Lumba-lumba adalah spesies yang

dilindungi dibawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diikuti

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

Tumbuhan dan Satwa, dimana didalam lampirannya ditegaskan bahwa lumba-

lumba adalah mamalia laut yang dilindungi oleh undang-undang.

4. Diberlakukannya mitos laut.

Mitos laut yang ada di masyarakat nelayan Desa Bontomarannu yaitu

tidak boleh mencemari wilayah laut dan berlaku tidak sopan selama berada di

tengah laut seperti membuang sampah sembarangan dilaut dan buang air

disembarang tempat. Mitos ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam hal

pengelolaan lingkungan laut yaitu untuk menjaga kestabilan ekologi laut dan

menghindari terjadinya pencemaran. Pencemaran laut merupakan salah satu

masalah lingkungan yang dihadapi saat ini dan seringkali disebabkan oleh

aktivitas atau kegiatan manusia. Sebagian besar pencemaran laut yang

disebabkan oleh manusia dilakukan baik secara langsung maupun tidak

langsung. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah laut dan banyak

orang yang menggantungkan hidup dari laut sangatlah perlu menjaga laut dari

berbagai pencemaran agar sumber daya laut tetap lestari.

Page 105: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

90  

Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang

Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah masuknya atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam

lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke

tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku

mutu dan/atau fungsinya. Di Indonesia terdapat satu peraturan yang khusus

mengatur tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yaitu

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999. Keberadaan Peraturan Pemerintah ini

ditetapkan dalam kaitannya dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan

Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan undang-undang Iainnya antara lain UU

No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.

Sustainable develompent dalam konteks pengelolaan pembangunan

kelautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut : "Suatu upaya pemanfaatan

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya

dukung kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya".

5. Persyaratan ekologis agar pembangunan suatu wilayah (pesisir dan laut)

berlangsung secara berkelanjutan :

a. Perlu adanya keharmonisan ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan

pembangunan yang dituangkan dalam peta tata ruang.

b. Tingkat laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya

terumbu karang, perikanan dan mangrove) tidak boleh melebihi

kemampuan pulih dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu.

c. Jika kita mengekploitasi sumberdaya tidak terbarukan harus dilakukan

dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan agar tidak mematikan

kelayakan usaha sektor pembangunan ekonomi lainnya.

d. Tidak membuang limbah yang bersifat meracuni kekayaan biota laut

Page 106: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

91  

e. Merancang dan membangun kawasan pesisir dan laut sesuai dengan

kaidah-kaidah alam.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal

yang berlaku di masyarakat Bontomarannu sangat sejalan dengan syarat-syarat

pembangunan berkelanjutan tersebut. Kegiatan kearifan lokal yang masih

dipertahankan dan dilakukan oleh nelayan sangat berpengaruh dan ikut ambil

bagian dalam proses pembangunan dimana menjaga lingkungan laut dan

melestarikannya. Hingga saat ini, kearifan lokal masih dipandang sebelah mata

dan dianggap bukan suatu hal yang penting bagi pemerintah padahal dalam

proses pembangunan, kearifan lokal akan menjadi peran penting bagi

masyarakat dan pemerintah.

Page 107: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

92  

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut

terbagi atas dua yaitu dalam pemanfaatan dan pelestarian. Jenis

kegiatan kearifan lokal dalam pemanfaatan lingkungan laut yaitu

penentuan waktu dan musim dalam penangkapan ikan dan penggunaan

alat tangkap tradisional. Sedangkan untuk jenis kegiatan kearifan lokal

dalam pelestarian lingkungan laut yaitu upacara penghormatan terhadap

laut, tidak menangkap dan membunuh lumba-lumba, hiu martil, penyu,

dan kura-kura, dan terakhir pamali atau tabu tidak melakukan kegiatan

membuang sampah dilaut atau melakukan hal yang tidak sopan selama

dilaut.

2. Bentuk partisipasi nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut berbasis

kearifan lokal terbagi atas 4 (empat) tahapan yaitu tahapan

perencanaan, tahapan pelaksanaan, tahapan evaluasi, dan tahapan

pemanfaatan.

3. Dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pengelolaan lingkungan laut

adalah bahwa semua nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di Desa

Bontomarannu tidak hanya bersifat tradisonal dan sekedar tradisi tetapi

dapat memberikan manfaat yang sangat besar terhadap pembangunan

berkelanjutan. Seperti penggunaan alat tangkap pancing yang dapat

membantu pemeliharaan lingkungan laut dan menjaga kelangsungan

hidup keanekaragaman biota laut, adanya penghormatan untuk laut,

selektif dalam melakukan penangkapan, dan berlakunya mitos laut yang

menghindari terjadinya pencemaran.

Page 108: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

93  

B. Saran

Adapun saran yang direkomendasikan untuk pemerintah Desa

Bontomarannu adalah agar lebih memperhatikan keadaan lingkungan laut yang

mulai tercemar dengan menyediakan sarana dan prasana yang memadai seperti

tempat pembuangan sampah dan dengan mengadakan kegiatan penyuluhan

tentang Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku baik dalam hal

perlindungan dan pengelolaan lingkungan, alat tangkap, maupun daerah

penangkapan.

Adapun saran yang direkomendasikan untuk masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu yaitu dapat ikut berpartisipasi lebih aktif lagi dan bertanggung

jawab terhadap pengelolaan lingkungan laut sehingga keturunan mereka

(nelayan) dapat menikmati hasil perikanan.

Page 109: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

94  

DAFTAR PUSTAKA

Alains, A. Muluk, dkk. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) Melalui Model Co-Management Perikanan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10, No.2, Desember 2009, hlm. 172 – 198.

Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. 2010. Skripsi “Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan

Sumberdaya Air Di Kampung Kuta (Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)”. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Apriana, Evi. 2015. Kearifan Lokal Masyarakat Aceh Dalam Konservasi Laut.

Jurnal Biologi Edukasi Edisi 14, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015, hal 47-55. Aprianto, Yudie. 2008. Skripsi “Tingkat Partisipasi Warga Dalam Pengelolaan

Lingkungan Berbasis Masyarakat (Kasus : Kampung Hijau Rawajati, Rw 03, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan, Provinsi Dki Jakarta)”. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Cahya, Darmawan L dan Weldi Rama. 2016. Analisis Tingkat Partisipasi

Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan Berbasis Masyarakat. Universitas Esa Unggul : Jakarta.

Erwiantono. 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan

Ekosistem Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. Jurnal EPP. Vol. 3 No. 1 2006 : 44-50 Samarinda : Kalimantan Timur.

Hasmah. 2014. Sistem Pengetahuan Lokal Nelayan dalam Pengelolaan Sumber

Daya Laut di Desa Ujung Lero Kabupaten Pinrang. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar : Makassar.

Hidayati, Deny. 2016. Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Dalam

Pengelolaan Sumber Daya Air. Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 11 No. 1 Juni 2016 | 39-48.

Hermanto, B. Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Akuntansi. Sekolah Tinggi

Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) : Surabaya. Hudiansyah, Sefry dkk. 2010. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Dan

Berkelanjutan Yang Berbasis Masyarakat. Universitas Padjadjaran : Bandung.

Kuwati, dkk. 2014. Eksistensi Sasi Dalam Pelaksanaan Konservasi Di Kabupaten

Raja Ampat. Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat, Waisai – 12 – 13 Agustus 2014 “Raja Ampat And Future Of Humanity (As A World eritage)” Kajian Lingkungan, Konservasi, Dan Biota Laut.

Mardijono. 2008. Tesis “Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan

Kawasan Konservasi Laut Kota Batam”. Universitas Diponegoro : Semarang.

Page 110: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

95  

Maryuningsih, Yuyun, S.Si.,M.Pd. 2014. Analisis Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Desa Karangrejo Suranenggala Cirebon Pada Pemanfaatan Hasil Laut Untuk Kesejahteraan Keluarga. Jurnal Holistik Volume 15 Nomor 01, 2014.

Masduqi, Harits. 2011. Pengaruh Globalisasi Terhadap Kebudayaan Nasional.

Universitas Negeri Malang : Semarang. Mubah, A. Safril. 2011. Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya

Homogenisasi Global. Universitas Airlangga : Surabaya. Pawarti, 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan Dalam Kearifan Lokal Lubuk

Larangan Ngalau Agung Dikampung Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan.

Prayitno, Adi Setiyo. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Dan Kelestarian

Lingkungan. http://laminoadi.yolasite.com/. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 pada Pukul 11.15 Wita.

Prayogi, Ryan., dan Endang Danial. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada

Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau dalam jurnal HUMANIKA Vol. 23 No. 1 (2016) ISSN 1412-9418.

Riadi, Muchlisin. 2017. Pengertian, Fungsi dan Dimensi Kearifan Lokal.

http://www.kajianpustaka.com/. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 pada Pukul 11.15 Wita.

Renjaan, Melissa Justine. 2013. Tesis “Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada

Masyarakat Adat Kei Desa Ngilngof Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Utara”. Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro : Semarang.

Rusnita, Ida. 2016. Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan dengan menggunakan

Rumpun di Desa Tanjung Batang Kabupaten Natuna. Universitas Maritim Raja Ali Haji : Kepulauan Riau.

Rohmawati. 2012. Skripsi “Masyarakat Dan Perubahan Sosial (Studi Tentang

Pergeseran Nilai Di Desa Paciran Kabupaten Lamongan Pasca Pembangunan Hotel Tanjung Kodok Beach Resort (Tkbr) Dan Wisata Bahari Lamongan (Wbl))”. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel : Surabaya.

Rosyida, Isma dkk. 2011. Partisipasi Masyarakat Dan Stakeholder Dalam

Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (Csr) Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Perdesaan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia | April 2011, hlm. 51-70

Saryani, Yayan. 2010. Skripsi “Langgan Bagi Nelayan Muara-Binuangeun (Studi

Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten”). IPB : Bogor.

Page 111: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

96  

Sinurat, Sahat. 2015. Pengelolaan Wilayah Laut Yang Terpadu. https://www.kompasiana.com/. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pada pukul 04.45.

Siregar, Dian Ricta. 2014. Skripsi “Penerapan Undang-undang Lingkungan Hidup

dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut pada Nelayan di Pulau Salemo: Suatu Kajian Pluralisme Hukum”. Universitas Hasanuddin : Makassar.

Stanis, Stefanus, dkk. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Melalui

Pemberdayaan Kearifan Lokal Di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut : Vol. 2, No.2, Januari 2007 : 67-82

Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. ALFABETA : Bandung. Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.

Suparmini, dkk. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis

Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No.1, April 2013: 8-22. FIS Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Suryanegara, Ellen, dkk. 2015. Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo

Studi Kasus di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara dalam Tahara, T. (2011). Politik Identitas Orang Bajo. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwista.

Watie, Errika Dwi Setya. 2015. Membaca Kearifan Lokal Dalam Penggunaan

Media Sosial. Universitas Semarang : Semarang. Widyastini, Tyas Dan Arya Hadi Dharmawan. 2013. Efektivitas Awig-Awig Dalam

Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Pantai Kedonganan Bali. Jurnal Sosiologi Pedesaan | April 2013, Hlm : 37-51. ISSN : 2302 - 7517, Vol. 01, No. 01

Tuhulele, Popi. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Maluku Dalam

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Universitas Pattimura : Ambon.

Zamzami, Lucky. 2016. Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal

Masyarakat Nelayan Dalam Melestarikan Wisata Bahari dalam jurnal Antropologi : Isu-isu Sosial Budaya Juni 2016 Vol. 18 (1): 57-67.

Zulkarnain, dkk. 2007. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan dan Pelestarian

Sumberdaya Pesisir (Stusi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau). Jurnal Agribisnis Kerakyatan : Volume 1, Nomor 1. Juli 2008, hal 69-84.

 

Page 112: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

97  

L A M P I R A N

Page 113: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

98  

1. Peta Lokasi Desa Bontomarannu Sumber : Data Sekunder, 2017

2. Wawancara terhadap salah satu nelayan

Foto diambil pada tgl 25 Juli 2017

Page 114: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

99  

3. Alat tangkap pancing yang digunakan nelayan

Foto diambil pada tgl 25 Juli 2017

4. Alat tangkap pancing dengan berbagai ukuran

Foto diambil pada tgl 11 Agustus 2017

Page 115: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

100  

5. Rumah adat atau tempat persinggahan Karaeng Loe’

Foto diambil pada tgl 13 Juli 2017

6. Kegiatan padongkok pakrappo yang dilakukan pemangku adat

Foto diambil pada tgl 13 Juli 2017

Page 116: PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN …

101  

7. Sesajen yang warga bawa kepemangku adat atau rumah roh/leluhur

yang mereka percayai Foto diambil pada tgl 10 Juli 2017

8. Kegiatan warga membawakan sesajen kepada Patanna pa’rasangan (roh pemilik kampung)

Foto diambil pada tgl 27 Juli 2017