program studi ilmu sejarah jurusan …eprints.uny.ac.id/30541/2/1. skripsi full 11407141005.pdf ·...
TRANSCRIPT
MIGRASI ORANG-ORANG MADURA KE JAWA TIMURTAHUN 1870-1930
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu SosialUniversitas Negeri YogyakartaUntuk Memenuhi Persyaratan
Guna Memperoleh GelarSarjana Sastra
Oleh:
Andreas Kresnan Hadi
11407141005
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
iii
v
MOTTO
Hiduplah seakan kau akan mati besok, belajarlah seolah-olah kau akan hidup
selamanya. Yang penting adalah apa yang kau rasakan, kau tidak perlu mengubah
pendapatmu, hanya karena orang lain punya pemikiran yang berbeda.
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan bagi orang tuaku yang selalu ada mendukungku,
secara langsung ataupun tidak langsung. Cita-cita ku cuma satu, yaitu
membahagiakan orang tuaku, dan membalas semua budi yang pernah beliau
berikan. Walaupun sepertinya tidak mungkin. Terimakasih juga untuk Tuhan
Yesus Kristus atas berkat dan kuasa-Nya kepadaku dalam mengerjakan dan
menyelesaikan skripsi ini.
vii
Abstrak
MIGRASI ORANG-ORANG MADURA KE JAWA TIMURTAHUN 1870-1930
Oleh:
Andreas Kresnan Hadi11407141005
Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantaiJawa Timur membawa dampak besar bagi kedua belah pihak, khususnya masyarakatMadura. Dengan munculnya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, membuatJawa Timur menjadi kawasan perkebunan yang besar. Serta membutuhkan tenagakerja dalam jumlah besar pula. Masyarakat Madura dengan geografis danekonominya yang buruk, tidak melewatkan kesempatan ini. Atas dasar faktorekonomi sebagian besar masyarakat Madura bermigrasi ke wilayah Jawa Timur.Banyak yang menetap dan tinggal disana, namun ada pula yang tetap pulang keMadura tiap bulannya. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui faktor penarik danpendorong, serta dampaknya bagi orang Madura dan masyarakat asli Jawa Timur dariadanya migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun 1870-1930.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis, dengan tahapan.Pertama, heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau.Dalam penelitian sejarah, heuristik adalah pencarian sumber sejarah yang berkaitandengan tema penelitian. Kedua, kritik sumber dilakukan untuk mencari keabsahandata dengan melakukan penyaringan secara kritis. Ketiga, interpretasai adalahpenciptaan fakta baru dengan menafsirkan berbagai fakta yang ada di dalam sumber-sumber. Keempat, penulisan sejarah merupakan sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor ekonomilah yang menjadimotivasi utama, ketika masyarakat Madura bermigrasi ke Jawa Timur. Banyaknyalahan-lahan perkebunan baru yang membutuhkan tenaga kerja, membuat peluangkerja mereka semakin besar, proses migrasi tersebut tejadi secara berantai. Dampakmigrasi di daerah tujuan pada akhirnya menyebabkan terjadinya pertumbuhanpenduduk, bertambahnya tingkat kepadatan penduduk, perkembangan wilayah,diferensiasi sosial dan mobilitas sosial. Meskipun begitu sikap toleran danmenghargai perbedaan tetap terjada diantara penduduk asli dan para migran.
Kata Kunci: Migrasi, Orang-Orang Madura, Jawa Timur.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi
ini yang berjudul ”Migrasi Orang-Orang Madura ke Jawa Timur Tahun 1870-1930”
sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini, tidak terlepas
dari kerjasama, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial.
2. Bapak Agus Murdiyastomo, M. Hum. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Sejarah.
3. Bapak Mudji Hartono, M. Hum. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
dan penuh perhatian telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam
membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Danar Widiyanta, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberikan motivasi dan perhatiannya.
5. Seluruh dosen Prodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan ilmu pengetahuan
serta wawasan kepada penulis. Saya merasa sangat bersyukur bisa menjadi
murid dari Bapak dan Ibu dosen sekalian.
ix
6. Seluruh petugas Perpustakaan Kependudukan UGM, Perpustakaan Pusat
Studi Pedesaan UGM, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM,
Perpustakaan Pusat UNY, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial UNY,
Perpustakaan Laboratorium Sejarah UNY, Perpustakaan Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Perpustakaan Sonobudoyo yang telah memberikan pelayanan
dengan baik dalam proses penyusunan skripsi ini.
7. Kedua orangtuaku tersayang, Bapak Heribertus Widodo dan Alm Ibu
Veronica S, yang telah mencurahkan dukungan kepada penulis.
8. Para sahabat di Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 beserta para kakak dan adik
tingkat yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.
9. Berbagai pihak yang telah banyak membantu di mana penulis tidak dapat
menyebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan
demikian, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pihak-pihak yang telah menggunakan skripsi ini sebagai bahan bacaan dan referensi.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi para
pembacanya. Amin.
Yogyakarta, 18 Januari 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………….. iv
MOTTO…………………………………………………………………………...v
PERSEMBAHAN……………………………………………………………...... vi
ABSTRAK……………………………………………………………………….. vii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………viii
DAFTAR ISI……………………………………………….......………………....x
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. xii
DAFTAR ISTILAH……………………………………………………………... xiv
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………............xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….xvii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………......1
A. Latar Belakang………………………………………….……………......1B. Rumusan Masalah………………………………………………..............5C. Tujuan Penulisan…………………………………....……………………5D. Manfaat Penelitian…………………………………….…………............6E. Kajian Pustaka……………………………………………………...........7F. Historiografi Relevan……………………………………………............ 10G. Metode Penelitian……………………………………………………….. 12
xi
H. Pendekatan Penelitian……………………………………………………15I. Sistematika Penulisan……………………………………………………17
BAB II LATAR BELAKANG MIGRASI……………………………………... 19
A. Letak dan Keadaan Alam………………………………………............. 19B. Pola Pemukiman………………………………………………………….25C. Mata Pencaharian………………………………………………..............32
BAB III PROSES MIGRASI……………………………………………………47
A. Migrasi Orang Madura….……………………………………................ 47B. Identifikasi Kelompok Migrasi……………………………………….....60
BAB IV DAMPAK MIGRASI ORANG-ORANG MADURA……………......68
A. Dampak Sosial Ekonomi………………………………………………... 68B. Dampak Sosial Budaya………………………………………………......77
BAB V KESIMPULAN…………………………………………………………. 87
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….93
LAMPIRAN……………………………………………………………............... 96
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Persediaan Bahan Makanan Rakyat Rata-Rata 1 Tahun/Jiwa (dalamkg) di Madura 1919-1940—21
Tabel 2 Jumlah Rata-Rata Banyaknya Hujan Per Hari Tiap-Tiap Bulan—22
Tabel 3 Jumlah Rata-Rata Curah Hujan Tiap-Tiap Bulan (dalam milimeter) —23
Tabel 4 Tanah yang Ditanami di Madura: Tipe-Tipe, Luas dalam Bau, danPersentase (dalam tanda kurung) Tahun 1906—24
Tabel 5 Kepadatan Penduduk Tahun 1867—28
Tabel 6 Kelompok-Kelompok Populasi di Madura—29
Tabel 7 Kepadatan Penduduk Per 100 Ha/ kepala—30
Tabel 8 Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912—33
Tabel 9 Jumlah Ternak di Madura—33
Tabel 10 Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul) —35
Tabel 11 Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau (dlam pikul) —35
Tabel 12 Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten (dalam kg)—37
Tabel 13 Penanaman Tembakau (dalam bau)—39
Tabel 14 Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih (dalam koyang)—43
Tabel 15 Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920—44
Tabel 16 Produksi Garam Tahun 1917—45
Tabel 17 Pemakaian Konsumsi Garam Tahun 1905—46
Tabel 18 Perbandingan Kepadatan Penduduk—53
xiii
Tabel 19 Kepadatan Penduduk Tahun 1867—53
Tabel 20 Jumlah Penumpang Madoera Stoomtram Maatschappij—58
Tabel 21 Jumlah Emigrasi dari Madura Tahun 1930—59
Tabel 22 Jumlah Emigran Madura di Jawa Timur Tahun 1930—61
Tabel 23 Jumlah Orang-orang Jawa dan Madura di beberapa wilayah—66
Tabel 24 Jumlah Penduduk, Angka Pertumbuhan di Indonesia, Jawa Maduradan Jawa Timur Tahun 1930—77
xiv
DAFTAR ISTILAH
Agrarische Wet : Undang-Undang Pokok Agraria, yang dikeluarkan tahun1870.
Aksentuasi : Pemberian tekanan suara pada suku kata atau kata.
Alluvial : Sejenis tanah liat, halus dan dapat menampung air hujan yangtergenang.
Bau : Satuan ukuran luas tanah 7.096 m2.
Erpacht : Hak sewa turun temurun untuk menggunakan benda yangtidak bergerak atau lahan milik orang lain dengan kewajibanmembayar sewa setiap tahunnya.
Empirik : Suatu keadaan yang bergantung pada bukti yang telah diamatioleh seorang.
Geologis : Bersangkut paut dengan geologi; peta-peta dan tektonismenjadi dasar untuk menaksir sumber mineral.
Geomorfologi : Sebuah ilmu yang mempelajari tentang bentuk alam danproses yang membentuknya.
Hydrologis : Suatu ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi dankualitas air di muka bumi.
Industrialisasi : Usaha menggalakkan industri dalam suatu negara;pengindustrian.
Inferioritas : Kerendahan diri atau rasa rendah diri.
Komperhensif : Bersifar mampu menangkap atau menerima dengan baik.
Kompleks : Mengandung beberapa unsur yang pelik, rumit, sulit dansaling berhubungan.
Koyan : Satuan berat untuk beras dan sebagainya, antara 27-40 pikul.
xv
Laten : Tersembunyi/terpendam/ tidak kelihatan, tetapi mempunyaipotensi untuk muncul.
Migrasi : Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain.
Pandalungan : Percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan masyarakatMadura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi denganbudaya Jawa.
Partisipan : Orang yang ikut serta dalam suatu kegiatan atau pemeranserta.
Retorika : Seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis.
Sekunar : Kapal layar bertiang dua.
Superioritas : Sebuah keunggulan ataupun kelebihan.
Tegalan : Tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dansebagainya, dengan tidak menggunakan sistem irigasi, tetapibergantung pada hujan; ladang, huma.
Topografi : Kajian ataupun penguraian yang terperinci tentang keadaanmuka bumi pada suatu daerah.
Dikumpulkan dari berbagai sumber.
xvi
DAFTAR SINGKATAN
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
MSM : Madoera Stoomtram Maatschappij
SDA : Sumber Daya Alam
VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 : Peta Madura Tahun 1930—98
2. Lampiran 2 : Peta Madura Tahun 1930 (lanjutan)—99
3. Lampiran 3 : Peta Administratif Jawa Timur—100
4. Lampiran 4 : Fisiografis Jawa Timur—101
5. Lampiran 5 : Iklim Jawa Timur—102
6. Lampiran 6 : Peta Kabupaten Situbondo—103
7. Lampiran 7 : Peta Fisiografis Madura—104
8. Lampiran 8 : Peta Persebaran Suku Bangsa dan Bahasa di Jawa Timur-105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Madura sangat erat hubungannya dengan pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur. Di sepanjang masa telah terjadi migrasi, penduduk dalam
jumlah yang sangat besar, baik untuk selama-lamanya, ataupun untuk waktu yang
singkat. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang
Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari
pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri.1 Pada
kenyataannya di daerah sepanjang pantai Utara Jawa Timur bagian Timur yang
berbatasan dengan Selat Madura, banyak terdapat orang-orang suku bangsa
Madura. Bahkan di beberapa tempat mereka menggunakan bahasa pengantar
sehari-hari dengan bahasa Madura. Daerah pedalaman yang banyak dijumpai suku
bangsa Maduranya di Jawa Timur bagian Timur adalah Kabupaten Bondowoso,
Kabupaten Jember, dan Kabupaten Lumajang.2
Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantai
Utara Jawa Timur telah terjalin lama. Pelabuhan-pelabuhan itu ialah Sumenep,
Pamekasa, Sampang dan Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di patai Utara
Jawa Timur di antaranya Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo dan Besuki.
1 Huub de Jonge, Madura dalam Empat Jaman: Pedagang, PerkembanganEkonomi dan Islam. Terjemahan (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 23.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya DaerahJawa Timur. (Jakarta: 1983), hlm. 28.
2
Melalui kontak dengan pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadilah perdagangan
beras yang sangat dibutuhkan oleh daratan Madura. Perdagangan ini merupakan
perdagangan hidup dalam arti terjadi pertukaran komoditi barang-barang
dagangan antara kedua kota tersebut.
Pada tahun 1832 Residen Pasuruan van Nes, berusaha meningkatkan
perdagangan berasnya dengan Madura melalui pelabuhan Pasuruan. Di samping
itu dengan majunya perdagangan, banyak sekali orang Madura yang masuk ke
Jawa melalui pelabuhan Pasuruan. Menurut catatan Kielstra, perpindahan
penduduk dari Madura ke Jawa pada 1850 setiap musim antara 20.000 hingga
30.000 pekerja dengan upah f 0,25 per hari. Pada saat mereka bekerja di
perkebunan teh atau gula, mereka mendapatkan upah f. 0,40 per hari.3 Para
imigran yang berasal dari Madura terus berdatangan di kawasan Jawa Timur. Pada
1892 penduduk yang berasal dari Madura sebanyak 40.000 orang pergi atau
pindah ke Jawa Timur untuk bekerja, 10.000 orang di antaranya berasal dari
Sumenep, 3.000 orang dari Pamekasan, 9.000 orang dari Bangkalan dan 18.000
orang dari Sampang. Para imingran yang berasal dari Sumenep beremigrasi ke
Besuki, dari Sampang bermukim di Probolinggo, sedangkan dari Bangkalan pergi
beremigrasi ke Pasuruan atau Surabaya kota.4
Mulai berlakunya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Di mana
pihak swasta selaku pemilik tanah, membuka lahan-lahan perkebunan baru yang
tentu saja membutuhkan tenaga kerja yang besar, untuk mengolah lahan mereka.
3 Sri Margana, Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup danPermasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 30.
4 Ibid.
3
Membuat orang-orang Madura semakin tergiur untuk bermigrasi. Di Madura
sendiri kebanyakan masyarakatnya, merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih
90% penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa, dukuh-
dukuh, dan kelompok-kelompok perumahan petani, namun alam yang tidak
mendukung inilah yang menjadi faktor terjadinya migrasi masyarakat Madura. Di
sepanjang masa telah terjadi migrasi penduduk dalam jumlah yang besar, baik
untuk selama-lamanya ataupun untuk waktu yang singkat maupun untuk masa
yang panjang ke Jawa dan ke pulau-pulau lain di Nusantara.
Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura
dan kira-kira sepertiga dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura.
Sama seperti di Madura, penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup
dari usaha pertanian dan perikanan. Sebagian besar dari Jawa Timur dibuka dan
diusahakan oleh orang-orang Madura.5 Di kota-kota, orang-orang Madura
berkerja sebagai kuli, penjaja, pedagang kecil, atau sebagai tukang. Akibat dari
pengembangan perusahaan perkebunan partikelir yang saling berkaitan dengan
pembukaan daerah pedalaman di Jawa Timur dalam paroh kedua abad ke-19, arti
migrasi pun menjadi meningkat. Dari Sumenep saja setiap tahun rata-rata sepuluh
ribu penduduk yang bermigrasi, ke perkebunan teh, gula, dan tembakau
memberikan pekerjaan kepada para migran yang tidak terbilang banyaknya itu.
Bahkan tercipta sumber penghasilan alternatif, banyak petani lokal pun
menyerahkan lahan mereka sebagian atau seluruhnya atas dasar bagi hasil kepada
pendatang baru. Biasanya para migran ini berangkat ke daerah yang berhadapan
5 Huub de Jonge, op.cit.
4
dengan kabupaten mereka. Berangsur-angsur daerah sekitar Jember, Malang, dan
Lumajang yang dulunya sedikit penduduknya, dihuni oleh orang-orang Madura.6
Di antara para migran itu terdapat sejumlah pekerja musiman yang setiap
tahunnya makin meningkat, mereka membantu saat panen. Pekerjaan musiman di
seberang dapat dikombinasikan dengan baik dengan pekerjaan mereka di rumah.
Baik di musim kemarau pada waktu lahan-lahan di Madura tidak digarap, maupun
di bulan-bulan musim hujan ketika tanaman sedang tumbuh, kebutuhan tenaga
kerja di Jawa untuk sementara besar sekali. Perkebunan memberikan banyak
kesempatan untuk bekerja di musim kemarau, dan di musim hujan terdapat
banyak pekerjaan di pertanian rakyat. Hampir sekitar 2,5 juta orang Madura yang
dalam tahun 1930 bertempat tinggal di luar Madura dan sebagian tersbesar
bertempat tinggal di Jawa Timur. Orang-orang yang melakukan migrasi ini
menemukan di pantai Jawa suatu lingkungan yang mereka kenal. Seolah-olah
selat Madura ini merupakan suatu teluk bagi daerah kebudayaan Madura.
Sepanjang tahun terdapat lalu lintas barang dan orang sangat ramai di antara kota-
kota dan desa-desa pantai dari kedua pulau itu. Jadi arus migrasi dari Bangkalan
terutama tertuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro. Orang-
orang dari Sampang terutama ke jurusan Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang,
sedangkan orang-orang Sumenep serta penduduk Pamekasan pada pokoknya ke
Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi. Di daerah-daerah pantai yang saling
berhadapan pun digunakan dialek yang sama.
6 Ibid., hlm. 24.
5
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul dan uraian latar belakang masalah, penulis mencoba
merumuskan dan menguraikan, permasalahan-permasalahan yang ada. Berikut
bebrapa rumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan:
1. Mengapa orang Madura bermigrasi ke Jawa Timur?
2. Bagaimana sikap penduduk Jawa Timur, ketika wilayahnya mulai didatangi
banyak orang Madura?
3. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat Madura yang melakukan
migrasi ke Jawa Timur?
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penulisan ini dilakukan untuk mencapai tujuan. Yang mana
disini, penulis berusaha mengungkapkan sebuah fakta pengetahuan dengan
menerapkan metode-metode ilmiah.
Penulisan ini bertujuan untuk:
1. Tujuan Umum
a. Mempertajam daya pikir kritis dalam menganalisa sebuah objek, yang
tentu saja dalam sebuah penulisan karya sejarah.
b. Mampu mengaplikasikan metodologi sejarah secara kritis, sehingga
menghasilkan karya sastra yang mampu dipercaya.
c. Memperbanyak karya tulis, yang berhubungan dengan sejarah,
khususnya mengenai sejarah sosial ekonomi.
6
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan penjelasan tentang migrasi orang-orang Madura ke Jawa
Timur dari tahun 1870-1930.
b. Mempelajari bagaimana sikap penduduk Jawa Timur, ketika
wilayahnya mulai didatangi banyak orang Madura.
c. Mengetahui bagaimana kondisi sosial-ekonomi dari orang-orang
Madura yang melakukan migrasi ke Jawa Timur dari tahun 1870-1930.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
a. Mengetahui sejarah migrasi orang-orang Madura di Jawa Timur tahun
1870-1930.
b. Menambah pengetahuan tentang khasanah kesejarahan sehingga dapat
menilai peristiwa sejarah dengan kristis dan obyektif.
c. Sebagai tolak ukur bagi penulis, sejauh mana kemampuan si penulis
dalam membuat sebuah karya tulis yang kristis.
2. Bagi Pembaca
a. Menjelaskan penyebab orang-orang Madura melakukan migrasi ke
Jawa Timur pada tahun 1870 hingga 1930.
b. Menjelaskan proses migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur pada
tahun 1870 hingga 1930.
c. Menjelaskan dampak migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur
pada tahun 1870 hingga 1930.
7
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah jawaban sementara dari rumusan masalah. Kajian
pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal
papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory manuals, dan karya
ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal. Telaah terhadap pustaka
atau literatur menjadi landasan pemikiran dalam penelitian.7 Perubahan pola
migrasi masyarakat Madura ke Jawa Timur dari tahun ke tahun terus mengalami
perubahan, di awal-awal migrasi berkembang sangat pesat, namun ketika Jepang
mulai menguasai wilayah Jawa dan Madura, pola migrasi berubah, sangat sedikit
orang Madura yang melakukan migrasi bahkan turun drastis. Kajian pustaka
pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Jakarta 1983. Yang berjudul Geografi Budaya Daerah Jawa Timur,
keluaran Depdikbud Daerah Jakarta. Buku ini menjelaskan faktor-faktor
pendorong dan penarik/push and pull, seperti fisis Pulau Madura, faktor politis,
faktor perdagangan, faktor perpindahan, mata pencaharian dan faktor perlakuan
dan peraturan dari penguasa setempat. Yang mana merupakan penyebab utama
terjadinya migrasi masyarakat Madura ke pulau Jawa, khususnya Jawa Timur.
Kajian Pustaka yang kedua adalah Prof. Dr. Kuntowijoyo yang berjudul,
Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1970. Di dalam buku
ini dijelaskan, migrasi orang Madura merupakan akibat ekologi Pulau Madura
7 Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,(Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, JurusanPendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sejarah, UNY, 2013), hlm. 6.
8
yang tidak menguntungkan, sehingga memaksa mereka mencari pekerjaan ke luar.
Sekitar 1880-1890 datangnya penduduk sebagai buruh ke perusahaan-perusahaan
gula sangat penting, hal ini menunjukkan bertambahnya sistem kerja upah.
Kesukaran-kesukaran yang berhubungan dengan pembukaan tanah baru pada
waktu itu dirasakan lebih berat daripada keberatan-keberatan rakyat terhadap
kerja upah. Kerja upah secara bebas mungkin sekali timbul karena desakan
ekonomi.8 Hal-hal yang menjurus ke perekonomian ini, yang mungkin saja
menjadi faktor utama dari adanya migrasi orang-orang Madura tersebut.
Kajian Pustaka yang ketiga adalah karya dari Egbert de Vries yang
berjudul “Pertanian dan Kemiskinan di Jawa”. Karya tersebut secara garis besar
memperkenalkan metoda komparatif yang berakar pada pengalaman pedesaan dan
yang menggabungkan perkembangan sosial-ekonomi. Melalui buku ini kita akan
memperoleh informasi masyarakat petani Jawa khususnya dan penelitian yang
diungkapkan Egbert de Vries akan membawa keluasan pandangan “masalah-
masalah pertanian-pedesaan” di berbagai pelosok dunia dan kurun zaman. Pada
dasarnya buku ini menjelaskan mengenai kemiskinan dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi petani-petani di Jawa, yang mana berarti teori Egbert de Vries
berlawanan dengan teori migrasi orang-orang Madura ke Pulau Jawa dalan hal ini
Jawa bagian Timur, yakni push and pull. Yang mana “pull” berarti adanya faktor
penarik terjadinya migrasi ke tanah Jawa. Dimana ketika masyarakat Madura
sudah sampai di Jawa mereka lebih memilih profesi sebagai petani atau buruh
untuk pekerjaan mereka.
8 D.H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid 1 (Jakarta:Pradnja Paramita, 1962), hlm. 226.
9
Mengenai migrasi sebagai sebuah dampak dari kependudukan dan sistem
sosial masyarakat Madura, Dr. Kuntowijoyo dalam karyanya pada tahun 1994
yang berjudul “Radikalisasi Petani”. Menurutnya penjelasan ekosistem masih
harus dilengkapi dengan penjelasan demografis. Untuk Madura, masalah
kependudukan mempunyai tempat sentral dalam perilaku, sehingga pengaruhnya
dalam aspek-aspek sosial, politik dan kultural dapat kita lihat.9 Ada pepatah
Madura yang mengatakan: lebih baik berputih tulang dari pada berputih mata.
Kalau Anda hanya menunjukkan bagian putih mata, Anda tidak berani melihat
musuh Anda. Mati lebih disukai daripada menanggung rasa malu karena
penghinaan.10 Hal ini menunjukkan besarnya keberanian masyarakat Madura,
dalam menghadapi suatu permasalahan, yang mana dalam konteks ini, migrasi
menjadi pilihan utama sebagian masyarakat Madura ketika lingkungan dan alam
mereka tidak mendukung. Migrasi orang Madura ke luar daerah membuat Madura
mempunyai penduduk yang sangat mobil. Migrasi ini disebabkan oleh bermacam-
macam hal.
Sebagai faktor pendorong, kita menemukan bahwa Madura mengalami
kekurangan dalam penyediaan bahan makan untuk penduduknya, karena tegalan11
9 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Jakarta: PT Gramedia, 1994), hlm.88.
10 Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, (Jakarta: CV.Rajawali, 1989), hlm. 162.
11 Tegalan adalah tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dansebagainya dengan tidak menggunakan irigasi tetapi bergantung pada hujan:lading, huma (KBBI).
10
tidak membuahkan hasil panen yang cukup. Bahkan, sawah-sawah Madura juga
berada di bawah hasil sawah di Jawa. Demikian juga tanaman tebu, yang pernah
dicoba pada pertengahan abad ke-19, tidak dapat menandingi hasil panen di Jawa.
Hanya tanaman tembakau mempunyai prospek yang baik di Madura, tetapi tidak
dapat mengubah tingkat ekonomi secara menyeluruh. Akibat yang tidak
terelakkan dari basis usaha pertanian yang sangat kecil itu menyebabkan selalu
terdapat bahaya laten dari kekurangan bahan pangan dan kekurangan uang. Untuk
mendapat uang, sang petani harus menjual sebagian dari hasil taninya, dan
demikian ia selalu dihadapkan pada dilema yang sulit, menahan bahan makanan
dan tidak melakukan pembelian sandang dan barang-barang industri lainnya, atau
menjual bahan makanan dan kelak menghadapi kekurangan pangan.12
F. Historiografi Relevan
Historiografi Relevan adalah adalah tahap untuk mencari, menemukan,
dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala
bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan
topik/judul penelitian. Dalam hal ini historiografi relevan adalah upaya
pembandingan sebuah penelitian yang akan dilangsungkan dengan penelitian
sejarah yang telah ada. Tujuannya untuk mendapatkan sebuah karya sejarah yang
benar-benar baru. Karya sejarah terdahulu dibedah untuk mengetahui kekurangan
12 Egbert de Vries, Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, (Jakarta: PTGramedia, 1985), hlm. 114.
11
peneliti terdahulu. Kekurangan peneliti digunakan sebagai landasan pembeda
karya sejarah yang akan ditulis.13
Dalam hal ini historiografi relevan yang dijadikan pembanding dalam
penulisan ini adalah disertasi dari Fransiskus Asisi Sutjipto Tjiptoatmojo yang
berjudul “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII Sampai Medio
Abad XIX), Universitas Gadjah Mada, 1983. Desertasi ini menjelaskan
bagaimana masyarakat Madura yang tinggal disekitar selat Madura tersebut.
Mulai dari bagaimana mereka mengupayakan lahan pertanian mereka hingga
terciptanya jalur-jalur perdagangan antara Pulau Jawa dan Madura.
Historiografi yang kedua adalah karya dari Huub de Jonge yang berjudul
“Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam”.
Buku ini membahas tentang peranan para saudagar dan berbagai persekutuan
dagang dalam proses perubahan ekonomis yang terjadi di Pulau Madura pada
paroh kedua abad ke-19 setelah berlaku pemerintahan kolonial secara langsung
dari pusat. Buku ini dimulai dengan penjelasan tentang keadaan geografi-sosial
dan latar belakang sejarah dari proses perubahan ekonomis tersebut; di situ
tampak bagaimana Pulau Madura secara berangsur dilibatkan dalam lalu lintas
perdagangan Indonesia. Pada bagian kedua dibahas keadaan ekonomi desa
Parindu, salah satu kota perdagangan terpenting di pantai selatan Madura, tempat
De Jonge melakukan penelitian lapangan. Semenjak pulau itu mulai terbuka, para
saudagar dari desa Parindu telah memainkan peranan kepeloporan dalam ekonomi
Madura. Bagian akhir buku ini membahas tentang kelompok pengusaha terpenting
13 Tim Prodi Ilmu Sejarah, op.cit,.hlm. 6.
12
dari desa tersebut, yaitu para saudagar tembakau. Dalam buku ini, penulis
memberikan pandangan-pandangan baru tentang watak perkembangan ekonomi di
daerah-daerah pinggiran, tentang peranan para saudagar dalam proses itu, dan
hubungan antara perdagangan dan agama Islam.
Pada bagian ke-3 buku karya Huub de Jonge “Madura dalam Empat
Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam”, beliau menjelaskan
tentang penyebarluasan tanaman tembakau. Yang mana ketika masyarakat
Madura telah mengenal tanaman tembakau, seharusnya kehidupan mereka
membaik. Karena, buku ini menjelaskan tanaman tembakau sangat cocok dengan
keadaan geografis Pulau Madura, walaupun tidak semua. Tetapi mengapa migrasi
terus saja berlangsung hingga 1930. Dan yang paling penting, pada halaman 23
buku ini secara khusus menjelaskan mengapa orang Madura bermigrasi ke Jawa
Timur mulai dari faktor hingga dampaknya.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan
penelitian historis menurut Kuntowijoyo. Metode historis merupakan salah
penyelidikan mengaplikasi metode pemecahan yang ilmiah dari prespektif historis
suatu masalah. Metode penelitian menurut Kuntowijoyo14 ini meliputi:
1. Heuristik
Heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa
lampau. Dalam penelitian sejarah, heuritik adalah tahap pencarian sumber sejarah
14 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Benteng, 2005),hlm. 91.
13
yang berkaitan dengan tema penelitian. Sumber sejarah adalah bahan-bahan yang
dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa sejarah.15
Jejak-jejak sejarah dikenal sebagai data-data sejarah. Kegiatan ini ditujukan untuk
menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak dari peristiwa sejarah yang
sebenarnya mencerminkan berbagai aspek aktivitas manusia masa lampau.
Tujuannya agar kerangka pemahaman yang didapatkan berdasarkan sumber-
sumber yang relevan untuk dapat disusun secara jelas, lengkapn dan menyeluruh.
Pengumpulan jejak-jejak dilakukan di Perpustakaan Sonobudoyo, Perpustakaan
Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Laboratorium Sejarah FIS, Perpustakaan
Pedesaan UGM dan perpustakaan-perpustakaa lain di Yogyakarta.
Sumber yang digunakan dalam penulisan adalah sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer yang digunakan diantaranya adalah koleksi
perpustakaan Sonobudoyo, berupa arsip tentang Perkembangan Laporan Jabatan
Karesidenan Pasuruan/MVO, oleh H.J. Domis tahun 1830, Volkstelling 1930 Deel
III Inheemsche Bevolking van Oos-Java dan Volkstelling 1930 Deel VIII
Overzicht voor Nederlands-Indie. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini berupa referensi yang mendukung penelitian ini.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber dilakukan untuk mencari keabsahan data dengan melakukan
penyaringan secara kritis. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan kritik
ekstern dan itern. Kritik ekstern ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian
15 Helius Sjamsudin, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: Depdikbud DirjenPendidikan Tinggi, 1996), hlm. 70.
14
terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang
berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekontruksi masa
lalu, maka terlebih dahulu harus dilakuka pemeriksaa yang ketat.16 Sedangkan
kritik intern lebih menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesakisan.
Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarawan
untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memastikan apakah
kesaksian itu dapat digunakan atau tidak.17
3. Interpretasi
Interpretasi adalah suatu pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu
atau tafsiran. Oleh karena itu setiap peneliti sejarah bisa saja memiliki penjelasan
yang berbeda meskipun berangkat dari sumber yang sama. Interpretasi sebagai
upaya untuk merangkai fakta-fakta agar memiliki bentuk dan struktur. Fakta-fakta
tersebut ditafsirkan sehingga menemukan struktur logisnya. Selain, diperlukan
landasan yang jelas agar terhindar dari penafsiran yang semena-mena akibat
pemikiran yang sempit.
4. Penulisan Sejarah
Penulisan Sejarah menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil
penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi. Kalau penelitian sejarah
bertugas merekontruksi sejarah masa lampau, maka rekontruksi itu hanya akan
menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis. Penulisan sejarah tidak
16 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012),hlm. 104.
17 Helius Sjamsuddin (1996), op.cit,.hlm. 112.
15
semudah dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan
informasi dan argumentasi. Penulisan sejarah, walaupun terikat pula oleh aturan-
aturan logika dan bukti-bukti empirik, tidak boleh dilipakan bahwa ia adalah juga
karya sastra yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta
nada retorika tertentu.
H. Pendekatan Penelitian
Sebagaimana permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah adalah
pendekatan. Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada
pendekatan. Seperti segi mana yang dipandang, dimensi mana yang diperhatikan
dan sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan
yang dipakai. Dalam menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap
penggambaran atau deskripsi menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan
penyaringan data yang diperlukan.18 Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini
menggunakan:
a. Pendekatan Sosial
Manusia senantiasa berada dalam kekurangan kemakmuran. Kekurangan
kemakmuran itulah yang memaksa dia bertindak menurut motif ekonomi.19 Hal
seperti inilah yang membuat masyarakat Madura rela pergi meninggalkan
pulaunya menuju Jawa Timur demi kehidupan mereka yang lebih baik.
18 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam MetodologiSejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 40.
19 Mohammad Hatta, Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi, (Jakarta:Fasco, 1957), hlm. 16.
16
Pendekatan sosial semacam ini akan sangat membantu penulis dalam
mengungkapkan unsur-unsur sosial. Pendekaan sosial ini digunakan untuk
mengetahui keadaan sosial masyarakat Madura dari tahun 1870-1930, baik yang
belum melakukan migrasi ataupun yang sudah melakukan migrasi ke hampir
semua wilayah di Jawa bagian Timur. Untuk mengungkap hal ini penulis
menggunakan karya tulis dari Mohammad Hatta yang berjudul Pengantar Kejalan
Ekonomi Sosiologi.
b. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi akan digunakan penulis untuk mengetahui keadaan
ekonomi masyarakat Madura setelah dan sebelum melakukan migrasi ke Pulau
Jawa khususnya, Jawa Timur tahun 1870-1930. Pendekatan ekonomi dipilih
karena penulis mengetahui bahwa faktor pendorong dari terjadinya migrasi adalah
kemiskinan yang cukup besar di wilayah Madura. Orang-orang ini kesulitan
mendapatkan penghasilan di wilayah mereka sendiri, sehingga mau tidak mau
mereka pergi meninggalkan pulaunya dan menuju Jawa Timur. Yang mana ketika
itu sedang memasuki periode Tanam Paksa. Hal inilah yang membuka peluang
mereka untuk bekerja di perkebunan. Contohnya wilayah Jember yang mana,
mulai mendapatkan perhatian orang-orang Madura sebagai tujuan migrasi karena
mulai banyak perusahaan swasta yang berdiri. Terjadinya gelombang migrasi
penduduk Madura ke daerah ini berawal dari usaha George Birnie yang pada 21
Oktober 1859 mendirikan perusahaan perkebunan tembakau yang diberi nama NV
17
Landbouw Maatscappij oud Djember (LMOD).20 Dengan ini tentunya kita dapat
mengetahui peranan ekonomi dalam mendorong terjadinya migrasi.
I. Sistematika Penulisan
Skripsi yang berjudul “Migrasi Orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun
1870-1930”, terbagi menjadi lima bab. Garis besar skripsi ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan dikaji,
dan manfaat dari penulisan, serta sistematika pembahasan yang akna menjabarkan
ringkasan dari bab yang akan disajikan dalam skripsi ini.
BAB II LATAR BELAKANG MIGRASI
Bab ini berisi tentang gambaran umum perekonomian dan SDA pulau
Madura, yang hingga pada akhirnya menjadi penyebab utama, kenapa masyarakat
Madura melakukan migrasi ke Pulau Jawa Timur tahun 1870-1930.
BAB III PROSES MIGRASI
Bab ini berisi penjelasan tentang pola migrasi yang banyak dilakukan
masyarakat Madura ke Jawa Timur. Dan macam-maca pekerjaan yang mereka
lakukan setelah sampai ditempat tujuan.
BAB IV DAMPAK MIGRASI
Bab ini menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya
migrasi masyarakat Madura ke Pulau Jawa Timur tahun 1870-1930 terhadap
sosial ekonomi masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli.
20 Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember: SuatuKajian Historis Komparatif, (Jember: Universitas Jember, 2006), hlm. 67.
18
BAB V KESIMPULAN
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari semua
pemaparan yang dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang
diperoleh disini, merupakan jawaban yang menjadi pokok pertanyaan dalam
rumusan masalah.
19
BAB II
LATAR BELAKANG MIGRASI
A. Letak dan Keadaan Alam
Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7o sebelah
selatan dari khatulistiwa di antara 112o dan 114o bujur timur. Pulau ini dipisahkan
dari Jawa oleh Selat Madura, yang menghubungkan Laut Jawa dan Laut Bali,
Moncongnya di baratlaut, karena bentuknya disebut corong, agak dangkal dan
lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut.1 Disebelah timur Surabaya, Selat
Madura menjadi lebih besar dan lebih dalam. Antara Madura dan pantai di Jawa
jarak selat itu bervariasi antara 30 sampai 40 mil laut. Di beberapa tempat di
depan pantai terdapat lumpur dan gundukan pasir yang agak melandai. Panjang
Pulau Madura itu kurang lebih 190 km dan jarak yang terlebar pulau itu adalah 40
km, dan luasnya 5.304 km2.
Pantai utara merupakan suatu garis panjang yang hampir lurus. Pantai
selatannya dibagian timur memiliki dua teluk yang besar, terlindung oleh pulau-
pulau, gundukan-gundukan pasir, dan batu-batu karang. Disebelah timur terletak
Kepulauan Sapudi dan Kangean yang termasuk administrasi Madura. Kepulauan
ini keseluruhannya terdiri dari hampir 50 pulau yang berpenghuni dan tidak
berpenghuni. Secara geologis Madura merupakan embel-embel bagian utara Jawa.
Daerah itu merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah
utara dan disebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura
1 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan,Perkembangan Ekonomi, Dan Islam, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 3.
20
merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat daripada
bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih bergabung. Pantai utara yang berada di
perpanjangan pegunungan bagian utara Jawa, di mana Kabupaten Rembang dan
Kabupaten Bojonegoro itu terletak, terdiri dari punggung kapur yang rendah dan
terpotong secara teratur oleh lembah-lembah sungai.
Deretan bukit yang terletak di tengah-tengah dan di selatan pulau,
membentuk kaki-kaki gunung dari pegunungan Kendeng yang terletak lebih ke
selatan. Dari punggung pantai utara dan tanah yang berbukit di bagian tengah, di
sana-sini memisahkan punggung-punggung bukit pendek kearah tenggara. Bukit-
bukit disebelah timur dan disebelah tenggara Madura dilanjutkan dalam bentuk
pulau-pulau dan karang-karang di laut. Pada umumnya bukit-bukit di pedalaman
itu lebih tinggi daripada bukit-bukit disepanjang pantai. Bukit-bukit di bagian
timur jelas lebih tinggi letaknya di atas permukaan laut dari pada di bagian barat
Madura. Puncak tertinggi di bagian timur Madura adalah Gunung Gadu 341 m,
Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m.
Sebagian besar Madura terdiri dari formasi-formasi batu sudut tersier,
yang di beberapa tempat di sepanjang pantai terendap dengan jalur-jalur alluvial.
Langsung disebelah selatan bukit-bukit kapur yang rusak karena cuaca di
pedalaman terdapat tanah liat bercampur kapur yang disela oleh tanah yang
mengandung gips. Pulau ini tidak memiliki banyak hutan. Kurang lebih enam
persen dari tanahnya merupakan daerah hutan. Pada waktu pembuatan topografi
yang pertama pada tahun 1873 di Madura, luas hutannya masih berkisar tiga belas
persen. Seharusnya sebagian besar pulau itu pada zaman dahulu merupakan
21
daerah hutan. Pertambahan penduduk yang besar awal abad ke-19 telah membuat
areal hutan itu menjadi sangat berkurang, semakin banyak lahan hutan yang terus
menerus dibuka, walaupun kenyataannya penghidupan para penghuni pulau itu
sebagian besar tergantung pada hutan. Disamping bahan makanan untuk mereka
sendiri dan ternak, kayu sebagai alat bangunan untuk perumahan, perahu dan
peralatan, serta kayu bakar untuk menanak makanan diambil dari hutan-hutan itu.
Juga pengolahan barang-barang untuk diekspor seperti ikan pindang, gula
siwalan, dan arang menggunakan kayu dalam jumlah yang besar.
Tabel 1
Persediaan Bahan Makanan Rakyat Rata-Rata 1 Tahun/Jiwa (dalam kg) diMadura 1919-1940
Bahan Tahun
makanan 1919 1920 1925 1930 1935 1940
Beras
Jagung
Ketela
Ubi
Kacang tanah
Kedelai
102
29
71
25
3,7
4,3
86
44
160
42
4,9
3,7
86
40
142
25
2,6
4,2
89
45
116
26
3,
4,9
85
42
132
30
2,3
4,9
87
37
159
32
2,7
5,9
Sumber: Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: DalamRangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta:Bharatara, 1965), hlm. 84.
Keadaan fisik Pulau Madura kurang menguntungkan untuk usaha
pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur, yang terbentuk pada
jaman pleistosen, yang umumnya kurang subur untuk pertanian. Disamping itu
18,20 % atau kira-kira 99,650 hektar, merupakan tanah gundul dalam keadaan
fisis tehnis kritis dan hydrologis kritis. Curah hujan rata-rata di Madura hanya
22
sekitar 1276 mm, dengan rata-rata bulan basah tahunan 5,4 dan bulan keringnya
4,8. Suhu udara rata-rata di Madura 26.61oC. Tipe iklim Madura termasuk dalam
klasifikasi “Type Aw”. Tipe iklim ini ditandai oleh curah hujan bulan terkering
13,95 mm (di bawah 60 mm) dan kekeringan ini tidak dapat diimbangi oleh
jumlah curah hujan sepanjang tahun. Iklim di Madura ditandai oleh dua musim,
yaitu musim kering dan musim hujan, yang masing-masing berlangsung dari
bulan Mei sampai pertengahan Oktober dan dari pertengahan November sampai
April. Yang mana kegiatan pertanian di sebagian besar pulau ini tergantung pada
besarnya curah hujan.2
Tabel 2Jumlah Rata-Rata Banyaknya Hujan Per Hari Tiap-Tiap Bulan
(dalam millimeter)
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Jawa-
Madura
Bangkalan
Pamekasan
Sumenep
18,9
17,6
18,4
16,7
18,4
15,5
16,4
14,6
18,1
15,3
15,7
15,1
14,4
14,9
13,3
10,3
10,2
10,5
9,1
8,0
8,3
8,6
7,6
6,6
6,4
5,3
3,1
3,3
4,6
3,4
1,6
1,1
5,2
3,3
0,9
0,6
9,5
5,8
2,2
1,9
14,1
10,2
8,1
7,8
18,1
17,1
17,0
16,1
146,6
127,4
113,4
102,1
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 28.
2 Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, Dan Ekonomi, (Jakarta: Rajawali),hlm. 230.
23
Tabel 3Jumlah Rata-Rata Curah Hujan Tiap-Tiap Bulan
(dalam millimeter)
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Jawa-
Madura
Bangkalan
Pamekasan
Sumenep
Madura
369
252
252
259
254
369
228
253
281
254
344
250
262
268
260
261
254
190
180
208
171
170
113
126
136
162
124
95
102
107
102
76
43
52
57
68
45
13
7
22
87
40
8
4
17
179
68
23
29
40
274
153
136
97
129
356
264
137
273
258
2722
1924
1625
1678
1742
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 29.
Dari tabel di atas kita dapat simpulkan, bahwa wilayah Madura, seperti
Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Memiliki curah hujan yang sangat sedikit
jika dibandingkan dengan wilayah Jawa. Keadaan yang semacam ini sangat
menganggu untuk usaha pertanian, karena curah airnya tidak mencukupi terutama
di musim kemarau. Ketidakseimbangan tata air yang ada di Madura bukan
semata-semata dari pengaruh unsur iklim saja tetapi juga dipengaruhi oleh
keadaan jenis hutannya dan jumlahnya, keadaan fisik tanah, serta kegiatan
manusianya.
24
Tabel 4
Tanah yang Ditanami di Madura: Tipe-Tipe, Luas dalam Bau, danPersentase (dalam tanda kurung) Tahun 1906
Sawah TegalWilayah Irigasi
TahunanIrigasiMsmHjn
Tergantung
Hujan
SawahDiubahMenjadi
Tegal
Tahunan TdkTetap
Total
Pamekasan
Sumenep
Bangkalan
Sampang
Madura
1.917(3,6)3.978(3,0)1.385(1,4)1.329(1,9)8.609(2,4)
935(0,7)970(1,0)176(0,2)2.801(0,6)
11.397(21,5)18,821(14,3)36,662(36,4)27.720(39,1)94.600(26,5)
695(1,3)254(0,2)895(0,8)
1.844(0,6)
39.099(73,6)
107.729(81,8)60.872(60,4)30.944(43,7)
238.644(66,9)
10.717(15,1)10.717(3,0)
53.108(100)
131.717(100)
100.784(100)
70.885(100)
356.495(100)
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 39.
Statistik di atas menunjukkan bahwa ekologi Pulau Madura sebenarnya
sangatlah tidak mendukung sebagai tempat bercocok tanam. Respons orang
Madura terhadap kekurangan ekologis ini tentu saja sangat penting untuk
diketahui. Orang Madura tidak hanya memiliki persedian tanah yang sedikit,
kenyataannya mereka sering kali kekurangan tenaga pengolah tanah. Tanah-tnah
pertanian yang ditanami telah dicatat selama Belanda melaksanakan kembali
distribusi tanah Pamekasan. Laporan tahun 1860 mencatat bahwa di Desa Tokol,
misalnya, beberapa lading ditinggalkan, tidak ditanami karena kekurangan tenaga
kerja, dan orang-orang desa enggan untuk menerima penghuni-penghuni tetap
yang baru. Sebuah alasan telah diberikan pejabat resmi bahwa kekosongan tanah
itu karena adanya gerakan penduduk petani ke bagian pojok timur Pulau Jawa,
25
meninggalkan tanah-tanah pertanian miliknya untuk bekerja di perkebunan
Belanda yang secara ekonomis lebih menguntungkan.3
Secara keseluruhan keadaan fisik Pulau Madura baik yang mencakup
masalah tanahnya, iklimnya, morfologinya, tata airnya dan sebagainya kurang
menguntungkan untuk usaha pertanian. Keadaan alam yang kurang
menguntungkan ini mendorong mereka meninggalkan daerahnya untuk
bermigrasi. Karesidenan Madura terletak antara 6o49 dan 7o20 Lintang Selatan
dan antara 112o40 dan 116o20 Bujur Timur. Karena letak Madura termasuk dalam
jajaran pulau-pulau tropika, maka temperatur di Madura selalu panas.4
B. Pola Pemukiman
Desa dalam artian pengelompokan pekarangan yang merupakan kesatuan
geografis menurut imbangannya kurang terdapat di Madura. Desa dalam artian
yang demikian hanya terdapat disepanjang pantai, di pusat-pusat persimpangan
jalan yang penting, dan di daerah yang dahulu adalah milik raja, bukan merupakan
daerah pertanian. Mata pencaharian penduduk desa-desa tersebut, pada pokoknya
terdiri dari perdagangan dan perikanan. Sebagian besar penduduk pedesaan hidup
terpencar-pencar di pedalaman dalam rumah-rumah petani, yang bergabung dalam
kelompok-kelompok yang kecil. Kelompok-kelompok perumahan itu terletak di
antara lading-ladang dan persawahan, dan saling dihubungi melalui jalan-jalan
kecil yang ruwet. Di Madura bagian timur, perumahan petani yang berkelompok
3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 38.
4 Ibid., hlm. 27.
26
menjadi satu disebut tanean lanjang, arti harfiahnya ialah “pekarangan panjang”.
Perumahan petani itu didirikan secara berdampingan dengan arah yang sejajajar
dengan panjangnya pulau. Tanean Lanjang mungkin sekali merupakan bentuk
pemukiman yang tertua di Pulau Madura. Di pekarangan terdapat rumah, dapur,
kandang dan sering juga langgar. Pada dasarnya semua rumah dibangun di utara
halaman dengan sisi depannya menghadap selatan. Dapur dan kandang
berhadapan dengan perumahan dengan sisi depannya menghadap ke utara, filosofi
dari hal ini adalah bahwa petani harus bias mengawasi istri dan ternaknya.
Langgar menutup pekarangan tersebut di bagian barat. Pada malam hari langgar
digunakan sebagai tempat tidur bagi anak laki-laki yang sudah besar. Di sekitar
pekarangan terdapat pohon-pohon, semak-semak, belukar dan tanaman-tanaman
yang membuat perumahan itu sebagian besar tertutup dari pandangan mata.
Pertama-tama tumbuhan di pekarangan itu diperkuat oleh pagar bambu yang
dibelah, tanaman tersebut memenuhi aneka ragam kebutuhan seperti sayur-mayur,
buah-buahan, bunga, rempah, tali-temali, minyak, kayu untuk bangunan, dan kayu
bakar. Sampai pada tingkat tertentu, sejarah dan susunan keluarga yang bermukim
di tanean lanjang dapat diketahui dari caranya pekarangan itu dibangun.5
Anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang
tuanya. Anak lelaki yang sudah menikah pindah ke pekarangan istri atau
mertuanya. Rumah pertama yang terletak di baratlaut merupakan rumah asal dan
dengan demikian menjadi terpenting dari pekarangan. Rumah ini dihuni oleh para
orang tua. Di rumah-rumah berikutnya, tinggal anak perempuan yang telah
5 Huub de Jonge (Jakarta: PT. Gramedia), op.cit., hlm. 14.
27
menikah dengan suaminya menurut urutan umur. Yang menentukan urutan
sebenarnya adalah hari perkawinan, tetapi jarang sekali seorang anak perempuan
yagn lebih muda akan menikah lebih dahulu dari pada saudara perempuan yang
lebih tua. Biasanya orang tua sudah mencarikan calon ketika anaknya masih
sangat muda. Setelah orang tua itu meninggal dunia, para penghuni semuanya
berpindah tempat. Anak perempuan tertua dengan sendirinya menempati rumah
kediaman orang tuanya dan anak perempuan yang kedua menempati rumah
kediaman saudara perempuannya yang tertua. Menantu laki-laki yang pertama,
kini menjadi kepala tanean lanjang.
Suatu perubahan yang mendalam terjadi, bila anak perempuan dari para
ibu yang orang tuanya masih hidup itu menikah. Supaya anak perempuan itu
bertempat tinggal di samping orang tuanya, ia diberi tempat tinggal di antara
anak-anak perempuan dari kepala pekarangan. Bila kakek dan nenek pun telah
meninggal dunia, maka pekarangan itu dibagi-bagikan di antara anak-anak
perempuan itu dan keluarga mereka, ditempatkan dinding pemisah dan dua atau
lebih, sedikit banyak hidup berdampingan secara berdikari. Sebuah pekarangan
tidak boleh mengambil banyak tempat. Bila perluasan itu terjadi dengan
mengorbankan lahan pertanian yang memang sangat diperlukan, perumahan pun
dibangun di sebelah selatan. Dalam hal ini, anak perempuan tinggal di sebelah kiri
orang tuanya. Keadaan ini sepintas lalu nampaknya bertentangan dengan prinsip
“barat-timur”. Sebetulnya ini adalah penerapan yang konsekuen dari situasi yang
terbalik dalam kasus yang luar biasa. Penyimpangan dan variasi-variasinya makin
28
meningkat di desa-desa dan di dukuh-dukuh di mana sebagian besar penghuni
tidak bekerja di bidang agraria.
Tabel 5
Kepadatan Penduduk Tahun 1867
Ukuran Dalam Kepadatan Dalam
Wilayah Persegi Populasi Persegi
Mil Pal Mil Pal
Pamekasan
Sampang
Bangkalan
Sumenep
9,66
14,48
28,97
68,50
253
351
704
1.096
103.117
68.832
212.774
210.218
10.674
4.753
7.343
3.068
442
196
302
193
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 84.
Pola pemukiman dalam bentuknya yang paling murni terdapat di daerah-
daerah pertanian. Namun, di desa nelayan di sepanjang pantai pola tanean juga
masih dipertahankan. Walaupun tanean lanjang itu dihuni oleh satu atau lebih
keluarga luas, keluarga-keluarga inti tetap merupakan kesatuan social terpenting.
Setiap keluarga mengurus rumah tangganya sendiri dan menguasai sebidang lahan
tertentu. Tetapi di antara keluarga-keluarga inti dari sebuah pekarangan itu
terdapat kerjasama yang sangat erat. Para penghuni saling membantu dalam hal
berbelanja, masak pun kadang dilakukan bersama dan secara teratur saling
mengurus anak-anak mereka. Para penghuni dari suatu tanean lanjang merupakan
figurasi sosial terpenting di pedesaan sesudah keluarga inti.
29
Tabel 6
Kelompok-Kelompok Populasi di Madura
Tahun Pend. Asli Eropa Cina Arab Lain-lain Total
1857
1870
1880
1885
1890
1895
1900
1905
1920
1930
308.985
651.273
804.015
1.367.875
1.496.044
1.626.148
1.751.498
1.487.925
1.731.790
1.953.812
408
495
509
473
462
578
747
612
814
1051
3.776
3.319
Peranakan
5.366
3.932
4.028
4.469
4.127
4.381
3.085
5.029
879
979
1.516
1.425
1.564
1.524
1.774
1.586
36 Bengali
7 “moor”
4.159 Mly
36 budak
4.607
164
147
140
133
(111)
81
6.322
2.719
393.605
662.720
810.135
1.373.948
1.502.679
1.592.514
1.758.511
1.493.289
1.738.926
1.962.611
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 76.
Tabel di atas menjelaskan bagaimana pada tahun 1870 penduduk Madura
berkurang dengan pesatnya. Satu-satunya yang dapat menjelaskan masalah
penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa, yang tentu saja penyebab emigrasi
ini antara lain, geografis Madura yang tidak layak, tekanan penguasa lokal, dan
tentu saja pandangan tentang penghidupan di Pulau Jawa yang lebih baik dari
pada Pulau Madura.
30
Tabel 7
Kepadatan Penduduk Per 100 Ha/ kepala
Kabupaten Areal
dalam Ha
1885 1890 1900 1905
Pamekasan
Sumenep
(+Kangean,
Sapudi)
Bangkalan
Sampang
78.704
114.848
129.555
123.870
273
243
292
427
315
267
340
439
320
289
373
529
353
300
Total 337 360
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 88.
Wilayah pemukiman tradisional di Madura tidak hanya tanean lanjang
saja, namun ada pula takat lanjang. Takat lanjang adalah sebutan untuk rumah di
atas laut, tepatnya di Sumenep, Desa Sepanjang, Kecamatan Sepaken. Untuk
menuju kesana dengan perahu dari Pulau Sepaken membutuhkan waktu sekitar
satu jam. Jika dilihat dari jauh, rumah-rumah tersebut menyerupai keramba ikan
raksasa di tengah laut, namun sebenarnya dari sejumlah “keramba” itu adalah
rumah tempat tinggal penduduk setempat. Bentuk bangunan rumah takat lajang
tersebut sangat sederhana. Dindinnya terbuat dari anyaman bambu. Sebagian ada
juga yang terbuat dari papan. Sementara atap rumah menggunakan anyaman
jannur kering. Setiap rumah dibangun berukuran 3x5 meter. Rumah-rumah
tersebut dibangun dengan pola berjajar. Jarak lantai rumah dengan laut sekitar 1
meter. Lokasi takat lanjang tepat berada di atas gugusan karang. Mereka
menyebut rumah mereka dengan takat lanjang atau karang panjang. Bentuknya
31
yang berjajar mengingatkan kita pada rumah saudara mereka yang ada di daratan,
yang disebut tanean lanjang.6
Sama seperti tanean lanjang, semua penghuni rumah apung tersebut
memiliki hubungan kekerabatan. Kehidupan mereka yang mengelompok dan
hanya terdiri dari beberapa keluarga itu membuat mereka rukun satu sama lain.
Mereka juga sangat ramah dan hangat, pada tamu yang berkunjung kesana. Ketika
ada tamu yang dating, semua warga di tempat itu segera berkumpul di satu tempat
untuk menemui tamu. Satu-satunya alat transportasi disana adalah perahu, yang
dimiliki setiap keluarga. Untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok mereka
mencari di pulau terdekat. Untuk mendapatkan air minum, warga menuju Pulau
Sasel’el. Sementara untuk kebutuhan lain, mereka mennuju pulau lainnya. Warga
disana semuanya bekerja sebagai nelayan. Di tempat ini tentu saja sangat mudah
mendapatkan ikan segar. Karena tinggal di antara sejumlah pulau, warga di sini
memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi. Mereka rata-rata menguasai
tiga bahasa, yakni bahasa Madura, Bajo, Indonesia. Ketiga bahasa tersebut
digunakan sesuai dengan lawan bicara. Baha Bajo digunakan saat berhadapan
dengan warga pulau sekitar yang juga menggunakan bahasa Bajo. Begitu pula
dengan bahasa Madura, digunakan saat mereka berhadapan dengan orang yang
berbahasa Madura.
6 Samsul Ma’arif, The History Of Madura, (Yogyakarta: Araska, 2015),hlm. 181.
32
C. Mata Pencaharian
Tanah dan hewan ternak merupakan sesuatu yang sangat spesial di Pulau
Madura. Walaupun kebanyakan tanah di Pulau Madura, tandus dan berkapur.
Namun tidak sedikit dari masyarakat Madura yang bermata pencaharian
sepenuhnya bergantung pada tanah. Pertanian dan peternakan merupakan mata
pencaharian utama. Antara 70% dan 80% dari penduduk Madura, bagi kehidupan
sehari-hari seluruhnya atau sebagian besar tergantung pada kegiatan-kegiatan
agraris. Di daerah-daerah pantai dan di sekitar kepulauan, perikanan mempunyai
arti penting disamping pertanian.
Perdagangan, kerajinan, pembuatan garam dan pelayaran merupakan
sumber pendapatan penting lainnya. Lagi pula mata pencaharian dari sebagian
besar penduduk masih bertumpu kepada pekerjaan yang mereka lakukan di
seberang laut. Pada tahun 1879 ketika topografi pulau itu untuk pertama kali
dibuat, ternyata kira-kira 70% dari luas lahan telah dibudidayakan. Pada akhir
tahun-tahun dua puluhan, pertanian tersebut telah meningkat menjadi hampir
sekitar 80%. Sejak saat itu luas lahan pertanian tidak berubah. Luas lahan
pertanian dewasa ini ialah 433.000 ha, dan 52.000 ha terdiri dari pekarangan dan
kebun.
33
Tabel 8Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912
Wilayah JumlahDesa
PemilikanIndividu
Campuran Komunal Perdikan BukanTanahPertanian
PamekasanSumenepBangkalanSampang
195330413227
1.165
183314381224
1.102
----
----
613103
32
63
22-
31Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 357.
Tabel 9Jumlah Ternak di Madura
Tahun Sapi Kerbau Kuda Total Rata-rata
per 1.000
1885
1890
1900
1906
1922
1930
415.360
473.000
567.922
581.413
603.895
657.818
30.797
27.900
28.738
21.637
17.065
22.299
26.200
29.622
12.000
499.668
527.100
616.282
686.883
342
361
356
1,5
Per rumah
Tangga
358
N.A.
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 369.
Sepertiga dari lahan sawah ini diairi secara teknis dengan air sungai, mata
air atau dari waduk-waduk cadangan yang dahulu dibuat di bawah pemerintahan
kolonial. Sawah seluruhnya tergantung pada curah hujan. Dua pertiga dari areal
sawah tersebut terletak di bagian barat Pulau Madura. Di Pulau Madura hanya
pertanian rakyat saja yang ada. Pada waktu tanah-tanah partikelir di Jawa
mengalami zaman makmur, Pulau Madura hanya memiliki dua buah perusahaan
perkebunan, yaitu sebuah perkebunan gula dan sebuah perkebunan tembakau.
Tetapi tidak lama kemudian kedua perkebunan tersebut tutup. Karena
34
pertumbuhan penduduk yang pesat, lambat laun tekanan yang berlangsung terus
menerus terhadap lahan menjadi semakin berat.
Pulau Madura juga memiliki sejumlah perusahaan kecil, seperti
pembakaran kapur, pabrik batu bata, dan genteng, pabrik tenun, pabrik es batu,
perusahaan pemintalan tali, dan galangan kapal yang kecil. Selain pabrik garam,
tidak ada perusahaan besar. Madura merupakan salah satu dari daerah-daerah
yang paling miskin di kepulauan Indonesia per kepala. Dibandingkan dengan
daerah-daerah lain sehubungan dengan permasalahan ekonominya, seperti
Gunung Kidul yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta, Madura kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan propinsi. Kehidupan yang pelik
seperti ini tentunya memancing niat dari orang-orang Madura untuk pindah atau
bermigrasi ke wilayah lain terutama Jawa Timur.
Orang-orang Madura dipaksa oleh keadaan untuk memilih jenis bibit padi
yang mempunyai masa pertumbuhan singkat, hanya sedikit yang memilih bibit
dengan masa tumbuh lama. Di Pameksan tidak ada padi berumur 5 sampai 6 bulan
ditanam; padi tengah dengan masa tumbuh 4 sampai 5 bulan dipilih untuk ditanam
di sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Di Sumenep, padi dalem juga ditanam,
namun sebagian besar menanam padi genjah dengan masa pertumbuhan pendek,
yakni 3 sampai 4 bulan. Di Bangkalan, padi dalem juga ditanam, tetapi yang
paling disukai adalah padi tengah. Di Sampang, padi dalem ditanam dalam skala
yang sangat kecil di sawah tadah hujan, namun petani lebih banyak menanam di
sawah irigasi dibandingkan dengan padi tengah. Rupanya, keterbatasan air
menentukan jenis padi yang akan ditanam.
35
Tabel 10Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau
(dalam pikul)
Tahun Madura Jawa-Madura
1896
1900
1906
1911
14,26
14,84
15
15
24,17
24,99
25,26
27
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 49.
Tabel 11
Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul)
Tahun Madura Jawa-Madura
1916
1921
1926
1929
11,20
10,91
14,34
11,17
23,59
19,08
23,88
22,65
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 49.
1 bau = 0,7096 hektar; 1 pikul = 137 lb
Buruknya kondisi tanah dan kurangnya air mengakibatkan hasil yang
rendah. Dibandingkan dengan Jawa, produktivitas tanah di Madura lebih rendah,
kurang lebih separuh dari jumlah padi per unit tanah. Tabel 10 dan 11
memperlihatkan hasil panen dan hasil ladang yang ditanami rata-rata per bau di
Madura dan Jawa-Madura. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, resiko
penanaman padi di Madura jelas lebih besar dibanding dengan di Jawa. Walaupun
mereka mengalami kesulitan, orang Madura lebih intensif dalam pengolahan
tanah disbanding rata-rata orang Jawa. Pada tahun 1930 proporsi hasil panen dari
seluruh tanah yang ditanami di bagian barat Madura adalah 143 persen dan
Madura timur 119 persen; dibandingkan dengan gambaran untuk Jawa-Madura
36
adalah 102 persen (Bojonegoro 151,6 persen yang tertinggi dan Priangan Timur
61,3 persen yang terindah). Intensitas penanaman mereka yang lebih tinggi tidak
menjadikan orang Madura makmur. Beras langka dan harganya menjadi tinggi.
Bagi orang Madura, pemanfaatan bahan makanan pokok tergantung pada
tanaman-tanaman lain juga. Jagung paling popular, kemudian singkong. Ubi jalar
sekali waktu dianggap sebagai pengganti. Pada tahun 1880, orang Madura
mempunyai andil yang cukup besar dalam produksi jagung untuk Jawa-Madura,
yaitu lebih dari 50 persen. Jumlah areal yang ditanami jagung di Jawa-Madura
pada tahun itu seluas 637.677 bau, di Madura sendiri 324.252 bau.
Andil orang Madura ini terus-menerus dan turun-temurun. Tahun 1895
tanah yang ditanami jagung di Jawa-Madura 1.090.497 bau, dan di Madura
321.920 bau. Adapun distribusi tiga tanaman pokok subsisten, yakni padi, jagung,
dan singkong, seperti terlihat dalam tabel 11. Ubi jalar ditanam dalam jumlah
yang agak besar: 23.467 bau pada tahun 1916, 35.981 bau pada tahun 1926, dan
32.260 hektar pada tahun 1935. Sedangkan kentang hanya ditanam dalam jumlah
yang kecil: 1 bau pada tahun 1926, 58 hektar pada tahun 1935. Umbi-umbian
yang lain ditanam pada areal seluas 19.492 hektar. Kacang ditanam dalam jumlah
yang cukup berarti, namun tidak demkian dengan keledai. Persentase tanaman
selain padi yang ditanam pada tahun 1927: jagung 61,7 persen, singkong 16,6
persen, ubi jalar 3,6 persen, kacang-kacangan 5,4 persen, dan tanaman lain 5,3
persen.7
7 Kuntowijoyo (2002), op.cit., hlm. 50.
37
Tabel 12
Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten (dalam kg)
Tahun dan
Wilayah
Padi Jagung Singkong
1916
Madura
Jawa-Madura
84.065
4.273.332
342.852
2.229.833
35.734
639.171
1921
Madura
Jawa-Madura
93.876
4.118.499
391.314
2.104.287
154.194
1.107.326
1926
Madura
Jawa-Madura
112.665
4.784.342
463.251
2.764.073
78.551
957.970
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 51.
Di antara tanaman keras, siwalan menduduki tempat yang penting di
dalam perekonomian orang Madura. Siwalan tumbuh di dataran tinggi bagian
timur perbatasan Sapulu-Pameasan, yang paling banyak di Sumenep. Siwalan
dapat tumbuh dengan baik di tanah-tanah tandus. Seluruh bagian dari pohon
Siwalan dapat dimanfaatkan: daunnya untuk membuat tikar, keranjang, timba, dan
mainan; sari buahnya untuk bahan dasar minuman keras, arak, dan cuka; rebusan
sari buahnya untuk membuat gula; pohonnya untuk bahan-bahan bagunan; dan
buahnya dapat dimakan. Tanaman lain yang memberikan keuntungan bagi orang
Madura dalam perdagangan di antaranya asam jawa, kapuk, dan pohon buah-
buahan (khususnya mangga). Di Pulau Madura kelapa tumbuh dimana-mana dan
buahnya dimanfaatkan untuk minyak. Satu lagi tanaman tradisional adalah Indigo
digunakan sebagai pewarna tekstil. Indigo hanya tumbuh dalam jumlah yang kecil
di wilayah Bangkalan.
38
Tanaman-tanaman komersial seperti tebu, tembakau, dan kopi juga
tumbuh di Madura. Mulai tahun 1835 perkebunan tebu di Pamekasan dikuasai
oleh raja-raja pribumi. Semula hanya terbatas di desa-desa, dan tak lebih dari 400
bau. Setelah penguasa pribumi dihentikan pada tahun 1858, pemerintah kolonial
melanjutkan kontrak dan pengawasan perkebunan tebu tersebut. Pada tahun 1860
jumlah areal yang ditanami tebu 300 bau dan menghasilkan 10.000 pikul tebu.
Tanaman itu ternyata menguntungkan pemerintah regional Madura, yang
kemudian merencanakan perluasan penanaman ke seluruh bagian pulau, dengan
masing-masing ditanami 400 sampai 500 bau. Namun sesungguhnya Madura
tidak cocok untuk perkebunan tebu. Hasil per bau pada tahun 1867 adalah 32,02
pikul pada tahun 1871. Madura termasuk penghasil tebu terjelek. Keuntungan
terus mengalir untuk pengusaha perkebunan, tetapi kenyataan perkebunan itu
telah merusak produksi tanaman pangan lain serta menimbulkan beberapa
persoalan yang serius.
Namun meskipun begitu bukan berarti Pulau Madura tidak memiliki
komiditi unggulan di bidang pertaniannya. Tembakau bukanlah tanaman baru, ada
dua pendapat tentang asal-usul tanaman tembakau di Madura. Pendapat pertama
mengatakan bahwa tanaman tembakau diperkenalkan di Madura oleh bangsa
Portugis pada akhir abad 16. Pendapat kedua mengatakan bahwa pada waktu
kedatangan Belanda di Madura sekitar abad 16, tanaman tembakau telah banyak
dibudidayakan rakyat. Tanaman tembakau telah ada sebelum kedatangan Portugis
ke Indonesia. Bahkan timbul dugaan bahwa tembakau merupakan tanaman asli
Madura. Hal ini berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat
39
Madura, bahwa tanaman tembakau diperkenalkan pertama kali oleh penyebar
Islam dari Kudus bernama Pangeran Katandur sekitar abad ke-12. Tanaman
tembakau Madura ini tersebar mulai dari dataran tinggi di sebelah utara Pulau
Madura, mulai Pakong, Kabupaten Pamekasan, sampai Batu Putih, Kabupaten
Sumenep. Awalnya sebagian besar petani menanam tembakau untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Hanya sedikit yang diperjualbelikan di pasar. Pemerintah
Belanda mengenalkan tembakau jenis Virginia. Namun gagal karena lahan dan
sistem pengairan yang buruk serta kondisi sosial budaya pada saat itu yang tidak
mendukung untuk penanaman tembakau secara besar-besaran. Baru pada era
kepemimpinan Raffles kesuksesan budidaya tembakau Madura mulai dapat
dirasakan. Bahkan hasil dari petanian tembakau nomor dua setelah padi.
Tabel 13Penanaman Tembakau (dalam bau)
Tahun Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan19171918191919201921192219231924192519261927
2,1122,1482,7822,7113,6794,6573,4854,0663,8514,0894,492
1,6431,6181,2211,0941,9462,8452,2293,5893,7882,7263,189
289712163191235433396402384323280
--
1212142210130502790
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 58.
Tanaman tembakau memberikan harapan bagi ekonomi pertanian orang
Madura. Walaupun terdapat keluhan-keluhan dari pemerintah setempat mengenai
kurangnya keberanian petani untuk berusaha, pertumbuhan temabaku sebagai
tanaman komersial terus meningkat. Perkembangan itu sangat menarik,
40
kemungkinan karena adanya kemampuan adaptasi dari tanaman tembakau
terhadap variasi tanah dan kondisi air. Di musim penghujan dan musim kemarau,
tembakau akan tumbuh di sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegal. Pada tahun
1875 di Pamekasan telah dipanen tembakau dari tanah seluas 137 bau dan pada
tahun 1880, 279 bau. Di Sumenep, pada tahun 1884 luas areal tembakau yang
dipanen adalah 3.671 bau; tahun 1895, 2.629 bau; tahun 1900, 3.652 bau; tahun
1905, 8.865 bau; tahun 1910, 6.410 bau; dan tahun 1915, 8.506 bau.
Cepatnya popularitas itu menguntungkan pasaran tembakau Madura.
Sebelum Perang Dunia I, produksi tembakau terbatas untuk pasar local, tetapi
setelah Perang Dunia I tembakau Madura banyak dibutuhkan di pasaran Eropa.
Akan tetapi, tembakau Madura kemudian mengecewakan pasaran Eropa; sebab
yang mendasar adalah karena tiap-tiap produsen tidak sama dalam menjaga mutu.
Pada tahun 1919 hanya satu perusahaan di Surabaya yang mengadakan transaksi
ekspor tembakau Madura. Meskipun tembakau telah hancur reputasinya di
pasaran luar negeri, tetapi di pasaran local tembakau Madura tidak merosot.
Penanaman tembakau semakin meluas pada dasawarsa setelah tahun 1917. Tabel
12 memperlihatkan penanaman tembakau di masing-masing kabupaten. Pusat
penanamannya ada di Pegantenan dan waru di Pamekasan, barat laut dan timur
laut di Sumenep, dan Kedundung di Sampang. Pusat-pusat pengiriman di Waru,
Ambunten dan Bunder.
Selain dibidang pertanian Pulau Madura juga memiliki komoditi unggulan
lain, dalam hal ini ialah produksi garamnya. Produksi garam terpusat di Pantai
Selatan dari pulau utama, dan jumlah pekerjanya lebih kecil dibanding pekerja
41
pertanian. Sebuah laporan 1885 mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun
dalam kenyataannya hal itu berarti hanya pemilik-pemilik ladang garam. Pada
tahun 1894, jumlah yang terlibat seluruhnya dalam produksi garam diperkirakan
24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, 10.000 orang di Pamekasan dan 10.600 di
Sumenep. Pembuat-pembuat garam yang betul-betul bekerja di ladang jumlahnya
3.269 dengan perincian 815 di Sampang, 1.072 di Pamekasan, dan 1.382 di
Sumenep. Taksiran yang komperhensif untuk partisipan-partisipan8 produksi
garam tidak hanya para pemilik, pembuat, dan pekerja saja, tetapi juga yang
terlibat dalam transportasi. Pada tahun 1894 terdapat 222 perahu yang terlibat
dalam transportasi garam dengan perincian, 94 di Sampang, 38 di Pamekasan, dan
90 di Sumenep, seluruh pekerja transportasi itu jumlahnya 1.110 orang. Dalam
rangka proses pengiriman garam, pada umumnya digunakanlah perahu, nama-
nama perahu yang ada seperti perahu Jukung, Lis-alis, Paduwang, Leti-leti,
Galekan, dan Janggolan. Perahu Lis-alis terutama Janggolan, biasa untuk
mengangkut garam dari Madura ke tempat tujuan ke Jawa. Perahu Janggolan amat
efektif untuk pengangkutan garam karena mempunyai daya muat dalam jumlah
yang besar. Jenis perahu ini merupakan perahu raksasa yang mempunyai berat
100 hingga 200 ton.
Tujuan pengangkutan garam dengan meggunakan perahu semacam itu
adalah ke gudang-gudang yang telah ditentukan. Sebagai konsekuensi adanya
monopoli, maka mengenai pendistribusiannya pemerintah tekah menentukan
tempat atau gudang dari setiap propinsi di ketiga propinsi di Jawa dan ditempat
8 Orang yang ikut serta dalam suatu kegiatan atau pemeran serta.
42
lainnya. Kemudian dari gudang-gudang itu diangkat ke tempat-tempat penjualan
yang resmi. Produksi garam tidak hanya banyak menguntungkan pendapatan
keuangan pemerintah kolonial, tetapi juga menguntungkan penduduk Madura.
Secara ekologis di katakan bahwa produksi garam adalah salah satu alternatif dari
pertanian. Ketika keadaan cuaca tidak menguntungkan untuk pertanian, justru
untuk produksi garam menguntungkan, begitu sebaliknya. Dengan keadaan alam
di Madura yang demikian itu, migrasi kerja ke ujung timur Jawa diatur oleh
keadaan cuaca.
Dalam musim kemarau, petani-petani pergi ke Jawa untuk bekerja dan
kembali lagi pada musim hujan, sedangkan produsen-produsen garam di Pantai
Selatan pada musim hujan giliran pergi ke Jawa dan kembali lagi ke Madura pada
musim kemarau. Namun, tidak adanya pembatasan prosuksi garam
mengakibatkan stok garam di gudang-gudang berlebih. Hal itu terjadi misalnya
pada tahun-tahun setelah krisis garam tahun 1859 ketika pemerintah pada tahun
1861 mencoba menstimulasi produksi dengan menaikkan harga beli dari f3,50 per
koyang (1.825 kg) menjadi f10. Akibat kelebihan produksi, pemerintah terpaksa
memberhentikan produksi garam sampai 24.000 koyang per tahun.9 Pada tahun
1876 Sampang dibuka kembali dengan produksi per tahun 7.250 koyang, jadi
pada tahun-tahun itu produksi garam di Madura hanya kira-kira 30.000 koyang.
Pemerintah menangguhkan pembukaan kembali Pamekasan karena kesulitan
transportasi. Malahan, mereka membuka ladang-ladang garam milik pemerintah
9 Kuntowijoyo (2002), loc.cit.
43
di Gersik Putih, Sumenep, pada tahun 1876. Seribu rancangan dibuat, tetapi
karena kurangnya kerja sama dengan peduduk rencana itu baru dilaksankan pada
Tabel 14Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih (per koyang 27-28 pikul)
Tahun Hasil Produksi (koyang)
187018711873187718791883189018911900190119021903190419051906190719081909191019131915191619171918
88818.25638.16866.901
15484.56320.79668.00038.28152.20063.47749.61550.78963.46934.72681.35953.7217.604
12.927132.00095.00026.00029.000
128.000Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 405.
tahun 1881. Menurut catatan, pada tahun-tahun itu ladang-ladang garam di
Pamekasan dibuka kembali dengan rata-rata produksi 10.000 koyang pertahun.
Pada tahun 1882, dengan demikian, jumlah seluruh produksi adalah 42.250
koyang dan pada tahun 1892 meningkat menjadi 48.000 koyang.
44
Tabel 15Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920
Jumlah PemilikPlot Sumenep Pamekasan Sampang Total
12345678910141618
2328293444
Tak terbatasgabungan
milik keluargaTidak
digunakan
664 (39%)13817271064163-4-
1111-
198(11,72%)
30
819 (52,6%)6429842111111-
----1
359 (23%)
-
815 (68,8%)5813531-2-1--1
-----
386 (20%)
-
2.336 (50,48%)26059401795475151
11111
841 (13,23%)
30
Total 1.719* 1.557 1.377 4.653Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 414.
*termasuk 41 plot baru yang digunakan pertama kali tahun 1919. Plot adalahsebuah istilah yang dibuat oleh pihak kolonial, untuk menandai lahan satu denganlahan lainnya.
Pemerintah sendiri menyatakan tidak lagi membuka ladang-ladang garam
baru sampai tahun 1910. Landasan dasar monopoli garam adalah untuk
melindungi produksi. Belanda telah lama menganggap monopoli garam sebagai
bagian dari pelayanan kerja, mirip dengan jasa penanaman (kultuurdiensten) yang
45
diterapkan di Jawa. Kemudian ketika pelayanan kerja dan jasa penanaman secara
resmi dihapuskan, monopoli dianggap sebagai bagian dari sistem pajak, yang
setiap warga Negara wajib melakukannya demi kepentingan-kepentingan umum.
Di samping rendahnya harga beli garam yang ditetapkan, kebijakan pemerintah
seringkali merugikan produksi garam penduduk di tempat lain. Produsen-
produsen garam di Pantai Selatan, yang semata-mata hidupnya terganung dari
garam, praktis kehilangan mata pencaharian mereka ketika pemerintah
menghentikan produksi garam pada akhir tahun 1860-an. Jumlah pemilik tanah
yang terdaftar, yang tidak mengerjakan tanah mereka lebih banyak daripada yang
mengerjakannya. Sebagai akibat dari berbagai jenis transaksi, banyak tanah yang
Tabel 16Produksi Garam Tahun 1917
Jumlah plot per pemilik
Wilayah 1 2-5 6-10 11-15 16-20 20-
lebih
Jml
Plot
Sumenep
Pamekasan
Sampang
914
1.204
1.218
167
51
47
23
6
3
3
-
-
1
1
1
3
2
-
35
289
202
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 415.
dikerjakan oleh orang lain. Transaksi-transaksi itu mirip sekali dengan transaksi
yang terjadi di tanah pertanian. Pada waktu itu, banyak orang tidak bekerja,
banyak orang meninggalkan pulau untuk menuju ke wilayah Jawa Timur dan
sekitarnya untuk mencari upah, dan beberapa lainnya terpaksa melakukan tindak
kejahatan. Sering kali musim yang tampak baik itu berbalik menjadi buruk.
46
Tabel 17Pemakaian Konsumsi Garam Tahun 1905
Daerah Pemakai Garam Pemakaian Garam per kepala per tahun
(kg)
Madura
Pasuruan
Surabaya
Madiun
Kedu
2,26
2,52
2,34
3,28
3,08
Sumber: Kolonial Studien 1916-1917 (1917), hlm. 134.
Bila kita melihat dari data tabel di atas, Madura yang notabene penghasil dan
pengekspor garam itu sendiri. Memilik konsumsi yang sangat kecil terhadap
garam, jika dibandingkan dengan daerah lain di pulau Jawa.
47
BAB III
PROSES MIGRASI
A. Migrasi Orang Madura
Migrasi ialah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi
permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya,
yaitu apakah perpindahan itu bersifat sukarela atau terpaksa; serta tidak diadakan
perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Jadi, pindah
tempat dari satu apartemen ke apartemen lain hanya dengan melintasi lantai antara
kedua ruangan itu dipandang sebagai migrasi, sama seperti perpindahan dari
Bombay di India ke Cedar Rapids di Iowa, meskipun tentunya sebab-sebab dan
akibat-akibat perpindahan itu sangat berbeda. Akan tetapi, tidak semua macam
perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dapat digolongkan ke dalam
definisi ini. Yang tidak dapat digolongkan misalnya, pengembaraan orang nomad
dan pekerja-pekerja musiman yang tidak lama berdiam di suatu tempat atau
perpindahan sementara, seperti pergi ke daerah pegunungan untuk berlibur selama
musim panas. Intinya, migrasi adalah gerak penduduk dari suatu tempat ke tempat
lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan.
Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah atau sulitnya,
setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan, dan bermacam-macam
48
rintangan yang menghambat.1 Nelson menggolongkan faktor-faktor yang
menyebabkan perpindahan itu atas 3 faktor, yaitu:
1. Push factor (faktor yang mendorong) yang ada pada daerah asal;
2. Pull factor (faktor yang menarik) yang ada pada daerah tujuan;
3. Other factor (faktor-faktor lainnya).
ad. 1. Kedalam faktor yang mendorong manusia untuk pindah tempat kediaman
ini ialah:
a. Adanya pertambahan alami dari jumlah manusia yang mengakibatkan
adanya tekanan penduduk;
b. Adanya kekeringan sumber alam (telah habis);
c. Fluktuasi iklim, hal ini sangat terasa bagi manusia yang telah lanjut
usianya;
d. Social maladjustment, ketidaksesuaian diri dengan tempat semula.
ad. 2. Kedalam faktor yang menarik orang untuk pindah ketempat bersangkuta
ialah:
a. Munculnya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru;
b. Adanya pendapatan-pendapatan baru;
c. Iklim yang sangat baik.
ad. 3. Faktor-faktor lain. Kedalam faktor ini sesungguhnya dapat dimasukkan
dalam sub (1) atau sub (2).
a. Adanya perubahan-perubahan tehnologi, misalnya adanya mekanisasi
pertanian bisa menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk
1 Everett S. Lee, Teori Migrasi, (Yogyakarta: Pusat PenelitianKependudukan UGM, 2000), hlm. 5-6.
49
pertanian. Hal ini memaksa buruh-buruh tani pindah ketempat atau
pekerjaan lain;
b. Adanya perubahan pasar;
c. Faktor agama dan politik;
d. Faktor pribadi (personal factor), yang buat segolongan orang perpindahan
ini merupakan suatu social habit.2
Hubungan antara suku bangsa Madura dengan daerah sekitarnya terutama
dengan Jawa Timur yang secara geografis letaknya lebih dekat dengan Madura.
Dari data sejarah dapat diketahui bahwa hubungan antar suku bangsa Madura
dengan Jawa Timur meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Proses
perpindahan penduduk (migrasi) suku bangsa Madura ke Jawa Timur berlangsung
sejak masa lampau. Bahkan pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang
Madura di pojok timur karesidenan-karesidenan Jawa, seperti: 25 desa di
Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan.3
Dalam proses migrasinya orang-orang Madura ke Jawa Timur, dibagi menjadi
tiga periode waktu. Periode pertama bisa ditelusuri setelah terjadinya peperangan
antara Mataram dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sekitar
permulaan abad ke kedelapan belas. Peperangan ini berlangsung lama sekali
sehingga benar-benar membutuhkan dana besar serta amat melelahkan.
Akibatnya, VOC tidak lagi bias memberikan banyak perhatian kepada anak-anak
2 Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam RangkaPembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: Bharatara, 1965), hlm. 24.
3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 75.
50
Surapati yang menjadi bupati di Lumajang dan Malang. Bahkan setelah VOC
menerima laporan bahwa British East Indian Company4 melakukan perdagangan
candu di kedua sisi Selat Bali, mereka memutuskan untuk mengambil sesuatu
tindakan. Kegiatan perdagangan Inggris di kedua sisi Selat Bali oleh VOC
dipandang merusak monopoli perdagangannya sebagaimana tercantum dalam
perjanjian dengan Mataram. Pada tahun 1757 VOC melancarkan serangan ke
ujung timur pulau Jawa untuk membersihkan daerah perdagangan Inggris. Daerah
Blambangan diduduki, kemudian serangan dilanjutkan ke Lumajang dan Malang.
Setelah kedua daerah ini diduduki oleh VOC serta dengan perginya orang-orang
Bali dan Inggris, maka didatangkanlah orang-orang Madura untuk mencegah
kembalinya orang-orang Bali.
Gelombang migrasi orang-orang Madura berikutnya terjadi pada bagian
kedua abad kesembilan belas. Pada tahun 1870 pemerintah Hindia Beanda
mengeluarkan undang-undang Agraria sebagai akibat politik liberal pemerintah di
negeri Belanda. Dengan adanya undang-undang ini, yang memberi lebih banyak
kesempatan kepada pihak swasta dalam bidang ekonomi, di bagian pojok timur
pulau Jawa mulai banyak dibuka perkebunan. Perkebunan-perkebunan ini,
terutama tembakau dan tebu, sangat banyak membutuhkan tenaga kerja manusia.
Kebanyakan tenaga kerja murah didatangkan dari pulau Madura, baik sebagai
tenaga kerja tetap maupun musiman. Setiap tahun ribuan orang Madura
berdatangan ke Jawa Timur. Di samping sebagai pekerja perkebunan banyak di
antara mereka yang bekerja sebagai petani kecil. Gelombang migrasi ini terus
4 Sebuah Kongsi Dagang milik Inggris yang beroprasi di Hindia bagianTimur
51
berlangsung sampai terjadi krisis ekonomi internasional pada tahun 1929. Sebagai
akibat merosotnya pasaran hasil perkebunan di dunia internasional banyak tenaga
kerja musiman yang tidak diperlukan lagi. Akibatnya banyak dari mereka yang
menetap di sekitar perkebunan dan bekerja apa saja. Periode ketiga perpindahan
orang-orang Madura ke daerah Lumajang yang biasa diamati mulai terjadi
sesudah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada saat itu, berbeda
dengan situsai Perang Dunia II, kebanyakan kaum migran di Indonesia mencari
dan memperoleh pekerjaan di sektor informal. Produktifitas perkebunan tidak lagi
mencapai tingkatan yang sama dengan masa-masa sebelumnya sehingga
permintaan akan tenaga kerja manusia tidak meningkat, bahkan mulai stabil. Di
kota-kota besar, sebaliknya, dimana penduduk meningkat secara drastis,
kesempatan kerja semakin banyak khususnya yang berkaitan dengan sector
informal. Meskipun kebanyakan kaum migran berdiam di kota-kota besar, seperti
Surabaya, sebagian lainnya berdiam pula di kota kecil seperti Lumajang.
Dibandingkan dengan migrasi yang terjadi sebelumnya, kedatangan kaum migran
asal Madura pada waktu itu lebih kecil. Dari ketiga periode waktu ini, periode
kedualah yang menjadi kajian dalam tulisan ini.
Keadaan fisik Pulau Madura sangat tidak menguntungkan untuk usaha
pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur serta iklim yang
buruk. Faktor ini semakin menegaskan masyarakat Madura untuk pindah dari
pulau itu, demi kehidupan yang lebih baik. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan
di Madura denga kota-kota di pantai Utara Jawa Timur telah ada sejak jaman
dahulu. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan
52
Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa Timur di antaranya
Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki. Melalui kontak dengan
pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadi perdagangan beras yang sangat dibutuhkan
oleh daratan Madura. Dengan majunya perdagangan ini banyak sekali orang
Madura yang masuk ke Jawa Timur melalui pelabuhan Pasuruan. Sebenarnya
sebagian besar penduduk Madura bermata pencaharian sebagai petani. Karena
keadaan alamnya yang kurang menguntungkan untuk usaha pertanian ini
menyebabkan banyakan di antara orang Madura ini berpindah mata pencaharian,
misalnya berdagang, mencari ikan dan sebagainya. Yang mendorong mereka
untuk keluar dari daerahnya hingga akhirnya sampai ke Jawa. Dari perantau-
perantau ini banyak yang menetap di daerah yang baru dan berintegrasi dengan
penduduk setempat. Sebagai catatan, sebab utama “dorongan” untuk migrasi tentu
saja disebabkan oleh tanah pertanian yang kurang menguntungkan dan susahnya
pasokan makanan di Madura.
Dibandingkan dengan tanah pertanian, kepadatan penduduk Madura
termasuk tinggi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pada awal abad XIX
kepadatan penduduk Jawa dan Madura hampir sama, tetapi kemudian Madura
tertinggal oleh Jawa, sampai abad itu berakhir. Kualitas tanah pertanian tidak
menjanjikan rasio5 populasi tinggi. Tabel 17 menunjukkan kepadatan penduduk
dari tahun 1815 sampai tahun 1863. Faktor migrasi lain seperti perlakuan atau
peraturan dari penguasa-penguasa setempat juga patut di perhitungkan.
5 Hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip; perbandingan
antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan dua angka.
53
Tabel 18
Perbandingan Kepadatan Penduduk
Wilayah Areal Geografis dalam mil
persegi
1815 1814 1860 1863
Madura
Jawa
115,6
2.329,0
1.891
1.892
2.558
3.977
4.401
5.242
4.434
5.638
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 83.
Dalam hal ini banyak terjadi apabila penguasa setempat membuat suatu peraturan
tetapi mereka tidak/kurang bisa menerima, misalnya menghindari diri dari
kewajiban masuk tentara, baik untuk keperluan Belanda ataupun birokrasi Madura
sendiri. Selain itu mereka menghindarkan diri dari penindasan, pemerasan,
tekanan serta perlakuan tidak adil dari penguasa setempat. Kepadatan penduduk di
pulau Madura juga menjadi faktor pendorong terjadinya migrasi. Wilayah yang
terlampau padat serta lowongan pekerjaan yang minim dan bayaran yang tidak
seberapa menjadi penyebabnya.
Tabel 19
Kepadatan Penduduk Tahun 1867
Wilayah Ukuran Dalam
persegi Populasi
Kepadatan Dalam
persegi
Mil Pal Mil Pal
Pamekasan
Sampang
Bangkalan
Sumenep
9,66
14,48
28,97
68,50
253
351
704
1.096
103.117
68.832
212.774
210.218
10.674
4.753
7.343
3.068
442
196
302
193
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 84.
54
Dari sebab-sebab kesemuanya tersebut di atas, banyak penduduk Madura
meninggalkan daerahnya untuk berpindah ke daerah lain, seperti Jawa, khususnya
Jawa Timur. Sifat dari perpindahan penduduk ini sendiri bermacam-macam, ada
yang sifatnya sementara, ada yang menetap dengan tidak kembali lagi ketempat
asalnya. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang
Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari
pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri. Bagian terbesar
penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura dan kira-kira sepertiga
dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura. Sama seperti di
Madura penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup dari usaha
pertanian dan perikanan.
Sampai pada awal abad ini adalah lebih mudah menyebrang ke Jawa dari
pada melakukan perjalanan keliling di pulau. Hubungan melalui laut telah
berkembang lebih baik dari pada hubungan di darat. Perahu-perahu niaga berlayar
dari tempat-tempat di pantai ke berbagai tujuan di seberang laut. Armada niaga di
pualu itu berjumlah beberapa ribu perahu layar. Perahu-perahu angkutan muatan
Madura memiliki saham penting dalam lalu lintas pelayaran antarpulau. Para
pelaut Madura, seperti halnya dengan seni navigasi dan keberanian mereka.
Kapal-kapal yang lebih besar, termasuk sekunar-sekunar Bugis dengan daya muat
lebih dari seratus ton dan 15 sampai 20 awak kapal, terutama ikut serta dalam lalu
lintas pelayaran yang tak teratur. Perahu-perahu layar ini mengangkut orang
maupun barang. Biasanya muatan itu adalah milik para pedagang yang ikut
berlayar sebagai penumpang. Terutama pengangkutan orang antara Madura dan
55
Jawa adalah penting sekali artinya. Bila pekerjaan di perkebunan dan pertanian
rakyat meningkat, ruang kapal pun penuh dengan migran. Para penduduk yang
berangkat ke Jawa, biasanya mengenal lebih baik jalan di seberang daripada di
Madura. Kebanyakan penduduk di pulau itu sendiri hanya mengadakan perjalanan
di daerah sekitar tempat kediaman mereka atau ke desa pantai yang terdekat.
Pelayaran pantai dan pengangkutan barang melalui darat yang sedang jaraknya
atau yang jauh, kurang begitu berarti dengan lalu lintas niaga lewat laut.
Migrasi ke Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Pada tahun
1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan-
karesidenan Jawa; 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Proboliggo, 22 desa di Puger,
dan 1 desa di Panarukan. Pada tahun 1846, populasi orang Madura di pojok timur
Jawa diperkirakan berjumlah 498.273, dan di Surabaya, Gersik, serta Sedayu
sekitar 240.000. Adapun jumlah total etnis Madura di Jawa-Madura adalah
1.055.915. Pola migrasi seterusnya tak banyak diketahui. Laporan dari Sumenep
pada tahun 1857 mencatat bahwa 20.000 orang minta izin meninggalkan pulau,
jumlah itu tidak termasuk orang-orang yang pergi tanpa meminta izin. Tidak
semuanya menyebrangi selat dan mencari makan di Jawa, tetapi bila dihitung rata-
rata pertumbuhan populasinya, migrasi orang Madura tertinggi adalah di
kabupaten-kabupaten di Jawa Timur sebelah timur. Di Karesidenan Probolinggo,
umpamanya, pertumbuhan yang besar terjadi pada tahun 1855. Populasi di
Probolinggo adalah 270.734 pada tahun 1854 dan menjadi 281.294, bertambah
10.560 atau 3,9 persen. Laporan resmi menambahkan bahwa pemukiman-
pemukiman baru orang Madura di Probolinggo berjumlah 13.974 atau 5,19
56
persen. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk
menjadi buruh di perkebunan.
Migrasi temporer mempengaruhi pertumbuhan penduduk di Madura
sendiri. Penurunan jumlah kelahiran terjadi pada tahun-tahun 1868. 1869, dan
1870. Penurunan total populasi juga terjadi, misalnya dari 1.532.764 pada tahun
1891 menjadi 1.530.220 pada tahun 1892. Satu-satunya yang dapat menjelaskan
masalah penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa. Penurunan tajam terjadi
dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dalam periode antara
tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dari 1.750.511 menjadi 1.738.926.
Penduduk Kota Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan turun tajam
sekali dalam dasawarsa antara tahun 1920 hingga 1930. Pada tahun 1892
diperkirakan perpindahan tiap-tiap tahun dari semua penduduk Madura ke Jawa
berjumlah 40.000, dengan perincian 10.000 dari Sumenep, 3.000 dari Pamekasan,
18.000 dari Sampang, dan 9.000 dari Bangkalan. Selama musim kemarau, ketika
air sangat jarang, pekerja-pekerja migran meninggalkan pulau dan kembali lagi
setelah masa panen, atau pada akhir bulan Ramadhan, untuk berpesta bersama
keluarga mereka. Mereka biasanya tinggal di Jawa selama tiga sampai enam bulan
atau dua minggi sampai satu bulan. Para pedagang biasanya tinggal lebih lama,
enam bulan atau lebih. Kesempatan menyeberangi selat sangat menguntungkan
karena ongkos transportasi relatif murah.
Ongkos berlayar hanya 25 sen, atau setara dengan upah buruh sehari.
Rendahnya ongkos perjalanan mendorong mereka pergi hanya untuk sementara di
Jawa, kira-kira bagi 20.000 sampai 30.000 orang membantu panen di Jawa Timur
57
dan daerah-daerah pantai; Surabaya, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, dan Besuki.
Mereka juga menyediakan jasa menjadi buruh-buru upah upahan, kuli, tukang
angkut air, tukang angkut barang, dengan mendapat imbalan 24 sampai 30 sen
sehari. Ada juga yang pergi jauh ke pedalaman untuk bekerja di perkebunan tebu
atau perkebunan kopi dengan upah lebih tinggi; 30, 35 atau 40 sen. Jumlah
penduduk Madura yang sangat besar namun diwaktu yang sama dapat berkurang
dengan sangat pesat. Hal seperti ini hanya bisa dijelaskan sebagai akibat dari
adanya migrasi. Kepergian para suami ke Jawa tampak berpengaruh terhadap rata-
rata fertilitas.
Ketidakhadiran laki-laki dewasa di lingkungan keluarganya, dicatat
dengan baik selama kampanye melawan wabah demam tahun 1906. Pada
dasarnya emigrasi permanen jarang terlihat. Semua yang menyebrangi selat
biasanya kembali lagi ke Madura. Komisi kesejahteraan pada tahun 1911
melaporkan bahwa karakteristik pekerja-pekerja migran temporer, yang dari
Bangkalan, adalah laki-laki yang belum menikah, tidak memiliki tanah pertanian
atau anak-anak, sedangkan yang dari Sumenep juga laki-laki yang sudah menikah.
Laporan-laporan mengenai para penumpang yang menggunakan perahu atau MSM
memberikan beberapa keterangan mengenai sifat dan jumlah pekerja-pekerja
migran. Para penumpang yang menggunakan perahu antara Madura-Jawa,
berdasarkan catatan resmi tahun 1917 berjumlah 255.734/berangkat dan 261.728
datang.
58
Tabel 20Jumlah Penumpang Madoera Stoomtram Maatschappij
Tahun Jurusan
Kamal
-Surabaya
P.P.
Jurusan
Kalianget-Panarukan
P.P
Per Tahun Per Hari Per Tahun:
Semua Kelas
Pribumi: Kelas
Dua/Kelas Tiga
1905
1906
1907
1908
1909
1910
1911
1912
1913
1914
1915
1916
1917
1918
1919
1920
1921
1922
1923
1924
1925
1926
1927
1928
1929
1930
263.158
269.960
290.395
407.113
278.701
401.166
469.685
475.329
626.027
701.497
516.644
702.853
656.843
663.378
774.601
942.012
1.090.723
927.930
779.476
712.840
705.256
646.322
710.247
838.457
942.948
781.712
721
739
796
1.117
1.037
1.099
1.273
1.298
1.714
1.925
1.415
1.925
1.799
1.817
2.122
2.574
2.988
2.545
2.135
1.948
1.932
1.771
1.946
2.291
2.577
2.141
51.583
53.175
54.534
59.053
63.672
66.290
75.003
68.314
59.490
61.620
61.559
73.040
75.714
63.661
81.274
76.249
59.712
46.224
43.196
50.296
53.030
61.219
82.736
79.659
83.081
71.086
51.376
52.890
54.140
58.710
63.354
65.955
74.555
67.985
58.920
60.730
60.492
71.950
74.210
61.008
78.649
73.370
55.961
43.604
40.990
47.737
51.376
59.976
79.928
77.617
80.963
69.633
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 614.
Berdasarkan laporan penumpang-penumpang perahu, laporan penumpang
MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij) tahun 1917, dan laporan populasi
untuk tahun yang sama, proporsi penduduk yang bergerak pergi dan pulang ke
59
Madura pada tahun 1917 adalah separuh dari keseluruhan penumpang dibagi
jumlah penduduk. Jumlah para pekerja migran temporer yang tinggal d Jawa jelas
sekali menunjukkan bahwa angka keberangkatan dan kedatangannya tidak jauh
berbeda. Laporan jasa angkutan kapal uap MSM menerangkan jumlah
penumpang, tetapi tidak memerinci antara yang datang dan yang berangkat. Selain
migran-migran temporer, sampai tahun 1930 pemukim-pemukim baru orang
Madura banyak yang datang dan menetap di Jawa Timur.
Tabel 21
Jumlah Emigrasi dari Madura Tahun 1930
Wilayah Jumlah Persentase
dari
Tujuan
Emigrasi Total populasi Lokal Jawa Timur
Sumenep
Pamekasan
Sampang
Bangkalan
92.357
63.057
59.525
65.773
17,66
17,81
12,66
13,09
8,34
12,21
12,95
11,56
91,66
87,79
87,45
88,44
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 81.
Tabel 19 menunjukkan jumlah dari pemukiman-pemukiman baru orang
Madura di karesidenan-karesidenan di Jawa Timur dan di Kota Surabaya. Tahun
1930, separuh lebih dari etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok
bagian timur. Sensus penduduk pada tahun itu memperlihatkan bahwa orang
Madura yang tinggal di Jawa Timur berjumlah 4.287.276. Sejumlah 1.940.567
atau 45 persen orang Madura bertempat tinggal di Madura, sedangkan 2.346.707
atau 55 persen menyebrangi selat dan menetap di Jawa. Di wilayah pojok timur
Jawa orang Madura merupakan kelompok mayoritas (kecuali di Banyuwangi
mereka hanya berjumlah 17,6 persen). Di Karesidenan Panarukan, Bondowoso,
60
dan Kraksaan hampir seluruh penduduknya adalah orang Madura; populasi
terbesar terdapat di Krakasan sebanyak 88,3 persen. Di Probolinggo orang
Madura berjumlah 72 persen, di Jember 61 persen, di Pasuruan 45 persen, di
Lumajang 45,6 persen, di Malang 12 persen, dan di Bangil 12,7 persen dari total
populasi.
B. Identifikasi Kelompok Migrasi
Sejak tahun 1846 Karesidenan Bojonegoro-Tuban, Karesidenan Gersik,
Karesidenan Surabaya, Karesidenan Pasuruan, Karesidenan Besuki, Karesidenan
Bondowoso, telah dipenuhi orang-orang Madura yang bermigrasi ke Jawa Timur.
Mereka memiliki berbagai macam profesi di daerah-daerah tersebut. Namun
sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai buruh dan petani. Seperti halnya di
Jember, populasi orang Madura disana hampir 61 % pada tahun 1930. Yang
tersebar di Bondowoso, Kalisat dan Majang, karena di Jember saat itu banyak
perusahaan yang membutuhkan buruh. Hal inilah yang membuat Jember menjadi
tujuan utama masyarakat Madura yang bermigrasi ke Jawa Timur, seperti yang
ditunjukkan pada tabel 20. Sedangkan di kabupaten Pasuruan, Lumajang, Malang
dan Bangil, orang Madura tidak lagi menjadi mayoritas. Ini adalah persentase
terkecil orang-orang Madura di Jawa Timur. Orang-orang yang bekerja sebagai
buruh di Jawa Timur ini, sebagian besar datang secara musiman. Mereka menjadi
buruh penuai padi dan tanaman-tanaman pertanian lainnya pada musim panen.
Pada masa pemerintahan kolonial orang Madura yang bekerja di perkebunan milik
onderneming-onderneming pemerintahan maupun milik
61
Tabel 22
Jumlah Emigran Madura di Jawa Timur Tahun 1930
Tempat-
tempat
Tempat-tempat kelahiran di Madura
Kediaman
baru
Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan
Banyuwangi
Jember
Panarukan
Bondowoso
Probolinggo
Krakasan
Lumajang
Malang
Pasuruan
Bangil
Sidoarjo
Mojokerto
Jombang
Blitar
Tulungagung
Gersik
Kota Surabaya
29.147
28.918
1.464
7.300
238
1.093
1.015
369
75
82
54
23
14
14
2
42
537
9.477
30.958
4.028
1.628
1.252
3.415
4.391
962
129
134
48
16
26
29
11
91
573
3.036
14.688
1.478
548
2.577
727
11.840
9.631
1.627
489
53
79
139
122
29
18
5.237
2.340
2.145
285
128
237
278
1.081
20.985
1.176
944
914
494
757
1.062
560
939
20.767
Jumlah 70.387 57.168 52.318 55.092
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 82.
swasta orang Eropa atau orang Cina. Jember menjadi tujuan utama dari para
migran yang berasal dari Madura dikarenakan hadirnya sistem perkebunan
partikelir di Jember yang mana membawa perubahan sosial dan ekonomi pada
masyarakat Jember dan para pendatang yang berasal dari Madura dan sekitarnya.
62
1.000.000
500.000
100.000
50.000
10.000
5.000
(jumlah orang)
100
1805 20 25 40 60 80 1900 (tahun)
Sumber: Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura ke Jember: Suatu KajianHistoris Komparatif, dalam Jurnal DPRD Dalam PerkembanganKabupaten Jember, hlm. 27.
Hal ini mengakibatkan Jember yang semula termasuk daerah yang sepi dan
berpenduduk paling sedikit jika dibanding dengan daerah-daerah lain di
Karesidenan Besuki, kemudian menjadi daerah yang paling ramai dan paling
padat penduduknya. Penyebab pertumbuhan kota Jember erat kaitannya dengan
penetrasi sistem kapitalisme yang berwujud perkebunan partikelir.
Perusahaan perkebunan partikelir banyak berdiri di daerah Jember sejak
diterapkannya “the system of interprise” oleh pemerintah kolonial Belanda pada
desenia keenam abad ke XIX. Perusahaan-perusahaan ini antara lain; NV LMOD
(Landbouw Maatscappij Oud Djember), Djelboek Tabak Maatscppij, N.V Cultuur
Maatscappij Zuid Djember dan masih banyak yang lainnya. Grafik diatas
63
memperlihatkan penduduk Jember pada tahun 1820-an hanya berjumlah sekitar
10.000 jiwa, namun pada tahun 1970-an meningkat tajam menjadi sekitar 100.000
jiwa. Peningkatan tersebut antara lain dikarenakan sejak desenia keenam abad
XIX terjadi gelombang migrasi orang-orang Madura ke wilayah Jember dan
mereka menetap di kawasan Jember Utara karena sesuai dengan kondisi
ekosistem di tempat asal mereka yakni hidup di kawasan tegalan. Namun mulai
akhir abad XIX terjadi perubahan arus migrasi ke Jember. Pada waktu itu orang-
orang Jawa terutama yang berasal dari Bojonegoro, Ponorogo, Kediri dan orang-
orang Vorstenlanden mulai berdatangan dan menetap di daerah Jember. Mereka
umumnya menetap di kawasan Jember Selatan sesuai dengan asal mereka yang
berekosistem persawahan dan kehisupan agraris. Salah satu penyebabnya
dikarenakan lancarnya jalur transportasi karena sejak akhir abad XIX dibuka jalur
kereta api Surabaya-Probolinggo-Jember. Terjadinya migrasi ke Jember itu
mengakibatkan terjadinya pola settelement baru yang sesuai dengan latar
belakang etnisnya. Adanya kondisi pemukiman seperti itu memungkinkan bagi
etnis-etnis di daerah Jember tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan
budaya asalnya. Itulah sebabnya secara demografis dan kultural Jember Utara dan
Jember Selatan berbeda. Seperti yang dituliskan E.G. Ravenstein dalam
makalahnya bahwa ekonomi sangat kuat mempengaruhi seseorang untuk
bermigrasi walaupun faktor nonekonomi tidak dapat diabaikan dalam motivasi
seseorang untuk bermigrasi, seperti contohnya faktor sosial.
Dalam makalahnya, beliau juga menjelaskan tujuh butir hukum dari
migrasi; migrasi dan jarak; migrasi cendrung menempuh jarak dekat dan apabila
64
daerah tujuan semakin jauh, frekuesi migran menuju kedaerah tersebut semakin
kecil, migrasi bertahap, arus dan arus balik, adanya perbedaan antara penduduk
perkotaan dan pedesaan dalam minat bermigrasi, kebanyakan perempuan lebih
suka melakukan migrasi ke daerah-daerah yang dekat, teknologi dan migrasi,
motif ekonomi merupakan dorongan utama. Tujuh poin inilah yang selalu menjadi
patokan dari E.G. Ravenstein untuk mempertahankan tulisannya. Namun secara
luas, migrasi lebih dipahami sebagai perubahan tempat tinggal secara permanen
atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun
sifatnya, yaitu apakah perpindahan itu bersifat sukarela atau terpaksa; serta tidak
diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri.6 Ada
empar faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk bermigrasi
dan proses migrasi sebagai berikut; faktor-faktor yang terdapat di daerah asal,
faktor-faktor yang terdapat didaerah tujuan, penghalang dan faktor pribadi.
Faktor Tempat/Daerah Asal dan Tempat Daerah Tujuan
Serta Penghalang-Antara dalam Migrasi
Daerah Asal Penghalang Daerah Tujuan
6 Everett S. Lee, op.cit., hlm. 6.
-+---+---
+--+-O-
++O-O---
-----+-----
++++-
+++O--
+-O++--
-O++---
65
Luas daratan propinsi Jawa Timur adalah 47.922 km2. Berdasarkan ciri-
ciri geomorfologis, daerah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 3 bagian yang
membujur dari Barat ke Timur. Pertama, daerah Jawa Timur bagian Utara dan
Pulau Madura. Bagian ini merupakan daerah yang berupa gunung kapur, sehingga
tanahnya relatif kurang subur untuk usaha pertanian. Sebagian dari daerah ini
sejak lama merupakan daerah yang cocok untuk hutan jati. Kedua, daerah Jawa
Timur bagian Tengah. Daerah ini sangat subur, antara lain karena banyak dialiri
oleh sungai-sungai seperti; Brantas, Madiun, Konto, Sampean dan sungai-sungai
kecil. Daerah Jawa Timur bagian Tengah ini sangat cocok untuk pertanian
persawahan. Ketiga, daerah Jawa Timur bagian Selatan yang merupakan
pegunungan kapur selatan, mulai dari Gunung Kidul membujur sampai daerah
Malang sebelah Selatan. Daerah ini keadaan tanahnya relatif tandus. Selain faktor
geomorfologis, faktor pertumbuhan industri di Hindia Belanda mendorong
perkembangan baru yang membutuhkan keahlian kerja bagi kaum urban di Jawa.
Yaitu ketika Undang-undang Agraria mulai diberlakukan tahun 1870. Permintaan
komoditas tanaman ekspor mengalami peningkatan, hal itu menyertai
bertambahnya tenaga kerja untuk keperluan pabrik. Di beberapa kota di Jawa
Timur secara umum tidak hanya menjadi pusat aktivitas masyarakat Eropa dan
administrasi orang-orang pribumi, tetapi lambat laun juga berkembang sebagai
daerah komersial yang menarik bagi tenaga kerja.
Pada periode itu, memang pabrik-pabrik gula di kawasan Jawa Timur telah
mengalami moderniasasi. Alasan terpenting, modernisasi selalu khas mencakup
industrialisasi, dan industrialisasi secara khas ditempatkan kawasan urban, dengan
66
mengalirnya penduduk yang mencari keuntungan dari sektor ekonomi yang
ditimbulkan. Pada 1905, penduduk Bojonegoro dan Lamongan banyak yang
berpindah ke daerah Lumajang dan Malang sebagai tenaga kerja musiman di
perkebunan teh, tembakau dan kopi. Sementara itu dari Gersik dan Lumajang,
penduknya berdatangan ke Surabaya pada saat musim kemarau sebagai tenaga
kerja musiman untuk mengemas gula karungan yang jumlahnya hingga ribuan
ton.7
Tabel 23
Jumlah Orang-orang Jawa dan Madura di beberapa Wilayah
Wilayah Jawa MaduraLaki-laki
Perempuan Total Laki-laki
Perempuan Total
Mojokerto
Surabaya
Pasuruan
Malang
Probolinggo
Jombang
Sidoarjo
Bangil
Tempeh
Lumajang
Krakasan
Jember
Banyuwangi
Bondowoso
Situbondo
8.926
109.212
14.116
29.603
8.821
8.013
4.795
7.483
3.288
7.006
562
4.832
5.971
1.387
659
10.404
118.312
16.122
33.149
10.000
9.069
5.706
9.020
3.793
7.341
683
5.200
6.315
1.691
735
19.330
227.524
30.233
62.752
18.821
17.082
10.501
16.503
7.081
14.347
1.245
10.032
12.286
3.078
1.394
122
18.241
1.268
2.270
6.311
51
57
581
1.696
1.354
1.257
3.788
2.819
5.920
5.786
86
16.192
1.077
1.629
6.480
34
69
407
1.714
1.274
1.301
3.418
2.093
6.293
6.059
208
34.433
2.345
3.899
12.791
85
126
988
3.410
2.628
2.558
7.206
4.912
12.213
11.845Jumlah 214.674 237.540 452.210 51.521 48.126 99.647Sumber : Volksteling 1930 Deel III Inheemsche Bevolking van Oost-Java, hlm.
21.
7 Sri Margana, Kota-Kota di Jawa: Identitas Gaya Hidup danPermasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 193.
67
Tabel di atas menunjukkan, bahwa para emigran yang datang ke Jawa Timur tidak
hanya berasal dari Madura, melainkan dari wilayah lainnya di pulau Jawa.
Perkebunan teh, gula, tembakau memberikan peluang kerjaan bagi para migran.
Apalagi banyak petani lokal yang menyerahkan lahannya untuk digarap dengan
cara bagi hasil. Berangsur-angsur daerah sekitar Mojokerto, Surabaya, Pasuruan,
Malang, Probolinggo, Jombang, Sidoarjo, Bangil, Tempeh, Lumajang, Kraksaan,
Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo dihuni oleh para migran Madura
dan Jawa.
68
BAB IV
DAMPAK MIGRASI ORANG-ORANG MADURA
A. Dampak Sosial Ekonomi
Migrasi penduduk adalah suatu bentuk respon dari adanya variasi keadaan
lingkungan di mana mereka hidup. Keadaan alam yang terus berubah, adanya
perubahan dalam kehidupan sosial politik masyarakat, fluktuasi kondisi ekonomi
dan perkembangan penduduk melalui proses siklus kehidupannya, telah
mengakibatkan penduduk bermigrasi dari satu ke lain tempat. Pertumbuhan
penduduk dan perkembangan sosial-ekonomi jarang sekali terjadi kesamaan untuk
semua wilayah. Perbedaan perkembangan tersebut telah menimbulkan
kesempatan-kesempatan yang berbeda pula. Dalam hal ini migrasi dianggap
sebagai suatu respon dari perubahan dan perbedaan dalam kesempatan.1 Tanah
yang memunyai fungsi multidimensional akan mempengaruhi status sosial dari
masyarakat penguasa atau pemilik tanah.2 Menurut Nelson, dengan migrasi
dimaksudkan sebagai suatu perubahan tempat tinggal seseorang atau segolongan
orang. Perubahan tempat tinggal ini bisa bersifat menetap, bisa juga tidak tetap
atau bersifat musiman. Perpindahan ini oleh Nelson digolongkan atas 3 macam,
1 Suko Bandiyono, Migrasi Permanen Penduduk Jawa Timur, (Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI,1987), hlm. 37-38.
2 Brahmana Adhie, Reformasi Pertanian: Pemberdayaan Hak-hak atasTanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis,Agama dan Budaya, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 203.
69
yaitu: (a) sirkulasi dari tempat tinggal tertentu; (b) perpindahan tempat tinggal
(domisili); (c) berkelana.
Pada dasarnya, karena ketiadaan keseragaman dari berbagai ahli dalam
penggunaan istilah migrasi, maka biasanya migrasi dipakai dalam arti yang kedua,
yaitu perpindahan tempat kediaman (menetap). Ahli lain, Eisenstadt, mengartikan
migrasi sebagai suatu perpindahan badaniah dari orang perseorangan atau
segolongan orang dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Disini ditegaskan
perpindahan itu dari suatu masyarakat kedalam masyarakat lain yang baru.
Penegasan ini penting karena tiap masyarakat itu mempunyai pola hidup yang
berbeda satu sama lain, sehingga dalam soal migrasi terlihat adanya pelepasan
manusia dari ikatan masyarakatnya yang lama (desocialization) dan memasuki
lingkungan masyarakat yang baru (resocialization).3 Letak geografis suatu daerah
memungkinkan kita mengetahui potensi wilayah dan memberi wawasan analisis
yang lebih dalam terhadap potensi tersebut.4 Dalam Peraturan Agraria tahun 1870
semua tanah milik pribumi dinyatakan sebagai tanah domein (domein van de
Staat). Ini disebut juga tanah bebas, sedangkan tanah yang dikuasai pribumi juga
disebut tanah bebas. Di sini dinyatakan pula bahwa penyewa adalah warga negara
Belanda yang ada di Nederland atau Hindia Belanda; maksimum areal yang
disewa 500 bau dengan sewa antara f.1 sampai 1.6. Tanah pribumi yang dikuasai
3 Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijakan Transmigrasi; Dalam RangkaPembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: Bharatara, 1965), hlm. 23.
4 Ida Komang Wisnu, Profil Kependudukan: Propinsi Jawa Timur,(Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1993), hlm. 4.
70
berdasarkan hokum adat hanya dapat disewa selama lima tahun, sedangkan tanah
milik mereka untuk dua puluh tahun.
Selanjutnya perjanjian harus terdaftar. Suatu akibat dari peraturan tersebut
ialah bahwa ada kecendrungan menjadikan status yang disewakan berubah
sehingga berstatus milik yang menyewakan.5 Aturan seperti ini, tentu saja
mempermudah modal-moda asing untuk menanamkan modalnya di Pulau Jawa
dalam hal ini Jawa Timur. Yang secara otomatis memperbanyak pabrik-pabrik
yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1910
dengan disertasinya yang terkenal Staathuishoudkunde, J.H. Boeke secara tepat
memisahkan dua macam kebutuhan orang Indonesia, yaitu kebutuhan ekonomi
dan kebutuhan sosial. Perbedaan diantara dua macam kebutuhan ini adalah bahwa
yang pertama merupakan kebutuhan perorangan yang diukur dengan ukuran
individu, sedangkan yang kedua merupakan kebutuhan perorangan tetapi diukur
berdasar norma yang ditetapkan masyarakat. Yang menjadi masalah adalah bahwa
tidak selalu mudah memisahkan dua tipe kebutuhan tersebut. Kadang-kadang ada
kebutuhan yang jelas-jelas merupakan kebutuhan ekonomi seperti kebutuhan akan
makan. Kebutuhan akan sandang mudah dimasukkan sebagai kebutuhan ekonomi,
tetapi sesudah tingkat tertentu orang dapat pula mengklasifikasikannya sebagai
kebutuhan sosial, misalnya pakaian seragam atau pakaian untuk pesta atau
upacara-upacara. Bagaimana dengan rumah, ternak, dan kendaraan? Semakin
5 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 ;Dari Emporium sampai Imperium, (Jakarta: PT. Gramedia,1987), hlm. 331.
71
banyak macam kebutuhan manusia yang kita sebutkan, makin sulit untuk
memisah-misahkan fungsinya antara ekonomi dan sosial.6
Pulau Madura serta pulau-pulau kecil yang lain di laut Jawa merupakan
pulau-pulau yang keadaan tanahnya kurang cocok untuk persawahan. Berlayar
dan mencari ikan di laut merupakan tradisi yang dimiliki oleh penduduk di pulau-
pulau tersebut. Tradisi berlayar ini juga mendorong migrasi ke luar penduduk
Madura. Apabila dilihat dari pengelompokan permukiman penduduk secara
geografis, terutama terpusat di daerah-daerah yang keadaan tanahnya subur,
seperti dari Surabaya sampai Pasuruan, Sepajang jalur Surabaya-Malang, dan
sepanjang jalur tengah Surabaya-Mojokerto-Jombang sampai perbatasan Jawa
Tengah. Pemusatan penduduk di daerah-daerah yang tanahnya subur bisa
dimengerti, bercocok tanam merupakan pekerjaan turun temurun yang dilakukan
penduduk di Jawa. Daerah persawahan dan perkebunan yang sebagian besar
menempati wilayah tersebut menyerap tenaga kerja yang besar. Keterikatan antara
aspek-aspek geografis dengan pemusatan penduduk secara perlahan-lahan
mengalami perubahan, sejalan dengan dinamika aspek sosial-ekonomi seperti
berubahnya struktur pekerjaan baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan,
yang antara lain diakibatkan oleh berkembangnya sektor-sektor; seperti
administrasi pemerintahan (birokrasi), persekolahan (pendidikan), transportasi,
komunikasi, dan industrialisasi.7
6 Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media,1980), hlm. 32.
7 Suko Bandiyono, op.cit., hlm. 37-38.
72
Daerah Madura sudah lama dikenal banyak migran yang keluar. Menurut
MEI, dalam sensus 1930 lebih dari 250 ribu penduduk tiba di Jawa Timur (tidak
termasuk Madura), mempunyai tempat kelahiran di pulau Madura.8 Jawa Timur
yang terdiri lebih dari 60 pulau-pulau, memiliki luas daratan 47.922 km2, atau
sekitar 2,5 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Dengan kondisi geografis yang
agak terpencar, penduduk lebih terkonsentrasi di pulau terbesar yaitu daratan
pulau Jawa bagian timur. Penduduk yang tinggal di daratan pulau Jawa adalah
90,53 persen, tinggal di daratan pulau Madura 8,40 persen dan sisanya 1,07 persen
terpencar di pulau-pulau sekitar Madura dan Bawean. Di daratan Jawa, sebagian
besar penduduk tinggal di dataran alluvial, yaitu dataran yang subur dengan
kondisi persawahan yag baik, terletak di zona tengah Jawa, dimulai dari
Kabupaten Ngawi sampai Banyuwangi. Sedikit dibawah kesuburan zona tengah,
daerah pantai Jawa memiliki tanah berkapur. Terbentang dari kabupaten Tuban,
Bojonegoro sampai Gersik. Karena luas wilayah yang relatif lebih kecil
disbanding zona tengah, persentase penduduk yang tinggal di daerah ini cukup
besar. Pengembangan industri besar/sedang dan perdagangan merupakan sektor-
sektor yang memiliki daya tarik bagi pendatang daerah lain. Hal ini sangat
berbeda dengan zona selatan Jawa. Walaupun merupakan daerah pantai, struktur
tanah di wilayah ini lebih tidak subur dibanding zona utara. Zona selatan ini
dimulai dari Lumajang Selatan, Malang Selatan terus membujur kearah barat
sampai di Kabupaten Pacitan.9
8 Suko Bandiyono, loc.cit.
9 Ida Komang Wisnu, op.cit., hlm. 12.
73
Bagi masyarakat Madura sendiri, dengan berpindahnya mereka dari
Madura menuju Jawa Timur. Ada hal-hal yang di dalam diri mereka, yang mau
tidak mau berubah secara mereka sadari atau tidak. Dalam konteks ini proses
penilaian bukan hanya proses kebudayaan, dan nilai bukan hanya inti dari benda-
benda kebudayaan tetapi proses penilaian dan nilai-nilai adalah tenaga integrasi
pribadi maupun masyarakat. Proses penilaian dan nilai yang berkuasa adalah juga
tenaga yang menentukan konfigurasi proses penilaian dan nilai pribadi serta
masyarakat. Proses penilaian dan nilai-nilai yang lain sedikit banyaknya tunduk
pada tujuan, logika dan kenyataan dari proses penilaian dan nilai-nilai yang
berkuasa itu menjadi norma yang tertinggi atau etik dari seluruh konfigurasi, baik
dalam bentuk pribadi maupun dalam bentuk masyarakat. Demikian kita telah
mendapat definisi kebudayaan, pribadi dan masyarakat.10 Perubahan ini dimulai
dari adanya pekerjaan baru dengan keahlian baru, pengetahuan akan bercocok
tanam, kebudayaan, interaksi sosial, sampai Fisiografi Jawa Timur. Jawa Timur
sendiri terletak antara 111o Bujur Timur, serta antara 5o dan 10o Lintang Selatan.
Propinsi ini dikelilingi oleh Laut Jawa dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan,
sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Jawa Tengah. Yang mana, hampir
dua pertiga dari daratan Jawa Timur merupakan daerah pegunungan dan
perbukitan, sedangkan selebihnya adalah dataran rendah. Paparan dataran rendah
terdapat di sepanjang pantai dan daerah aliran gunung. Di bagian utara, dataran
rendah terhampar mulai dari daerah Tuban sampai Gersik. Kemudian dataran
10 Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia:Dilihat Dari Jurusan Nila-Nilai, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1982), hlm. 15.
74
rendah ini bersambung ke pantai timur yaitu daerah Sidoarjo, Pasuruan dan terus
ke Probolinggo.
Di bagian pantai selatan juga terdapat dataran rendah tapi tidak seberapa
luas yaitu di daerah Lumajang dan Jember. Paparan dataran rendah cukup luas
terdapat di sepanjang aliran Bengawan Solo dan Kali Brantas. Di daerah aliran
Kali Brantas paparan ini meliputi wilayah Tulung Agung, Kediri, Nganjuk,
Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Surabaya, sedangkan di darah aliran
Bengawan Solo terhampar dari Ngawi ke utara yaitu melalui daerah Bojonegoro
sampai ke pantai utara. Di bagian selatan, paparan dataran rendah dan rawa-rawa
terdapat di wilayah Lumajang, dekat kota kecil Puger dan demikian pula
semenanjung Blambangan dan di sekitar kota kecil Muncar terdapat dataran
rendah yang tidak seberapa luas.11 Ditambah lagi iklim di Madura berbeda dengan
daerah di Jawa Timur. Jawa Timur sendiri terletak di belahan selatan garis
khatulistiwa sehingga memiliki iklim tropis yang terbagi dalam dua musim
kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai bulan April dan
musim kemarau antara bulan Mei sampai bulan November. Di antara kedua
musim tersebut terdapat musim pancaroba atau musim peralihan yaitu sekitar
bulan April/ Mei dan Oktober/ November, suhu udara berkisar antara 20oC-
30oC.12 Tanah di Jawa Timur ini digunakan kurang lebih 4,0 juta ha untuk
pertanian, 1,2 juta ha untuk perkebunan dan sejumlah hampir 0,1 ha digunakan
untuk perkebunan campuran dengan sayur-sayuran. Yang digunakan untuk areal
11 Soemargono, Profil Propinsi Republik Indonesia: Jawa Timur, (Jakarta:Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), hlm. 33.
12 Ibid., hlm. 38.
75
hutan sekitar 1,4 juta ha dan kurang lebih 0,2 ha tergolong rusak dan tandus.
Sedangkan untuk pemukiman digunakan sekitar 0,7 juta ha.13
Berakhirnya Tanam Paksa telah membawa konsekuensi semakin
terbukanya kesempatan bagi pemilik modal swasta Barat untuk mempergunakan
tanah-tanah penduduk dalam usaha perkebunan. Terbukanya kesempatan ini tidak
lain karena telah disahkannya Agrarische Wet Staatsblad no 55 tahun 1870 yang
merupakan aturan bagi penduduk pribumi dalam menyewakan tanahnya kepada
orang asing. Undang-Undang Agraria ini memungkinkan penyewaan tanah
menggunakan hak erfpacht selama 75 tahun. Tahun-tahun sesudah 1870 mulai
berlaku proses komunalisasi atau perluasan hak milik desa atas tanah yang terjadi
secara bersamaan dengan proses pembentukan hak milik perorangan atas sebagian
tanah itu. Namun demikian, ini tidak berarti kekuasaan kepala desa yang selama
periode cultuurstelsel semakin besar, secara otomatis menjadi melorot.
Sebaliknya, banyak kepala desa selama tahun-tahun tersebut telah berhasil
memperluas kekuasaan dan memperbesar kekayaannya.14
Dampak dari hal ini, adalah terjadi perkembangan pesat dalam kerja upah
dan persewaan tanah. Sehingga semakin banyak alasan orang-orang Madura untuk
bermigrasi ke Jawa Timur, yaitu peluang kerja di perkebunan-perkebunan di Jawa
Timur. Semua keperluan yang berhubungan dengan kepindahan orang-orang
Madura ditanggung oleh perkebunan. Banyak dari perusahaan-perusahaan
13 Eddy Yuwono Slamet, Profil Kependudukan Jawa Timur, (Jakarta:Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan LembagaDemografi Fakultas Ekonomi UI, 1986), hlm. 1-2.
14 Frans Husken, Masyarakar Desa dalam Perubahan Zaman: SejarahDiferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. (Jakarta: PT. Grasindo, 1998), hlm. 125.
76
perkebunan memberikan janji-janji manis kepada orang-orang Madura yang mau
melakukan migran. Begitupun bagi mereka yang berhasil mengajak sanak saudara
mereka bermigrasi ke Jawa Timur untuk bekerja di perkebunan. Salah satu
janjinya yakni apabila mereka banyak memasukkan tenaga kerja, mereka akan
diberi tanah garapan yang luas dan akan dijadikan mandor perkebunan. Pada
waktu itu jabatan mandor merupakan jabatan yang banyak diharapkan oleh para
penduduk pribumi.15Perluasan permintaan persewaan tanah oleh penguasa swasta
Barat ternyata meningkatkan permintaan tenaga kerja. Situasi ini bersamaan
dengan semakin langkanya tanah garapan, banyak tenaga yang menganggur yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan petani untuk mempertahankan
nafkahnya.16 Sejak tahun 1870-an berduyun-duyunlah orang Madura pindah dan
menetap didaerah Jember. Pihak perkebunan tembakau tidak hanya memerlukan
tenaga kerja laki-laki untuk membabat hutan dan membenahi tanah moeras (rawa)
untuk dijadikan persil tembakau, tetapi tenaga kerja wanita dan anak-anak juga
dibutuhkan di perkebunan tembakau. Wanita dan anak-anak tersebut
dimanfaatkan untuk bekerja di gudang-gudang penyortiran, peragian, dan
pengepakan.17
15 Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember: SuatuKajian Historis Komparatif, (Jember: Universitas Jember, 2006), hlm. 68.
16 Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, (Yogyakarta: AdityaMedia, 1992), hlm. 110.
17 Edy Burhan Arifin, op.cit., hlm. 68.
77
Peningkatan jumlah kebutuhan tenaga kerja ternyata berjalan seiring
dengan kenaikan jumlah penduduk yang dapat diartikan sebagai respon demografi
atas tuntutan tenaga kerja dalam keluarga.
Tabel 24Jumlah penduduk, Angka Pertumbuhan di Indonesia, Jawa Madura dan
Jawa Timur tahun 1930Wilayah Penduduk (dalam ribuan) Perkembangan rata-rata
tiap tahun 1930-1961
Indonesia
Jawa-Madura
Jawa Timur
68.727
62.993
21.823
1,5
1,3
1,2
Sumber: Eddy Yuwono Slamet, Profil Kependudukan Jawa Timur, (Jakarta:Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup denganLembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, 1986), hlm. 13.
Dengan melihat pola migrasi tersebut diatas, dapat diketahui dampak yang paling
jelas adalah meningkatnya pendapatan keluarga migran, seberapapun kecilnya,
akibat tambahan pendapatan migran di daerah tujuan. Dampak yang lain adalah
berkaitan dengan perubahan kualitas kehidupan keluarga.
B. Dampak Sosial Budaya
Di samping dampak sosial ekonomi, mobilitas penduduk juga membawa
dampak sosial budaya, dalam kaitannya dengan intervensi nilai budaya baru yang
dibawa migran dari daerah tujuan. Seperti halnya dampak sosial ekonomi, dampak
sosial budaya sebenarnya juga sulit diidentifikasikan secara akurat. Artinya, tidak
mudah untuk mengklaim bahwa terjadinya perubahan sosial budaya di daerah asal
semata-mata disebabkan karena mobilitas penduduk. Penilaian terhadap
perubahan sosial budaya, di antaranya dilakukan dengan mengajukan beberapa
78
pertanyaan. Pada umumnya pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan dengan
persepsi terhadap kondisi sosial budaya dan keterlibatan mereka terhadap kegiatan
yang ada di desa. Disamping itu perubahan sosial tidak semata-mata di dasarkan
atas wawancara dengan migran, tetapi juga didasarkan atas pengamatan dan
wawancara dengan tokoh masyarakat.18 Kebudayaan dapat dilihat sebagai
blueprint atau pedoman bagi kehidupan sesuatu masyarakat yang menjadi pemilik
kebudayaan tersebut. Dalam perspektif ini kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas
perangkat-perangkat sistem-sistem acuan atau model-model kognitif yang berlaku
pada beranekaragam tingkat perasaan dan kesadaran. Pendukung kebudayaan
yang bersangkutan menggunakan kebudayaan tersebut secara selektif, yang
mereka rasakan sebagai yang paling cocok atau yang terbaik untuk mendorong
terwujudnya interpretasi-interpretasi yang penuh makna dari situasi-situasi atau
gejala-gejala yang mereka hadapi dan utnuk menuntun tindakan-tindakan di
dalam lingkungan hidup mereka, melalui pranata-pranata dan adat istiadat yang
berlaku.
Tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai dorongan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dan sebagai tanggapan-
tanggapan atas rangsangan-rangsangan atau stimulasi yang berasal dari
18 Sofian Effendi, Pola Mobilitas dan Dampaknya Terhadap Daerah YangDitinggalkan: Studi Kasus Kabupaten Sukoharjo, Madura, Ciamis dan Asahan,(Yogyakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup danPusat Penelitian Kependudukan UGM, 1988/1989), hlm. 86.
79
lingkungan hidupnya.19 Indonesia adalah negara yang bersifat pluralistik, baik
dari segi etnis maupun budayanya. Pluralisme budaya ini merupakan faktor yang
rawan dalam penyelenggaraan transmigrasi. Para transmigran dari Jawa, Bali,
ombok dan Madura akan bertemu dengan penduduk asli yang memiliki budaya
yang sangat berbeda. Dengan demikian penyesuaian budaya pendatang yang
sangat berbeda. Dengan demikian penyesuaian budaya pendatang dan budaya
penduduka asli merupakan masalah yang dihadapi oleh para transmigran,
disamping penyesuaian budaya antarkelompok transmigran sendiri yang terdiri
dari berbagai suku.20 Pertemuan beberapa kelompok etnik tersebut akan
membuahkan dua alternative, baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai
perwujudan proses interaksi sosial. Hal yang bersifat positif timbul bila pertemuan
itu mampu menciptakan suasana hubungan sosial yang harmonis dalam
masyarakat baru. Kondisi ini bisa dicapai jika ada rasa saling menghargai dan
mengakui keberadaan masing-masing etnik, mengurangi dan memperlunak hal-
hal yang bisa menyebabkan timbulnya benturan atau konflik serta perasaan
terbuka dalam bertoleransi sehingga perbedaan-perbedaan yang tajam bisa
dikurangi, ditingkatkannya kegiatan pencarian kepentingan bersama sehingga
timbul suatu simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara golongan
etnik misalnya dengan proses akulturasi, asimilasi dan amalgamasi.
19 Muhajir Utomo, 90 Tahun Kolonialisasi 45 Tahun Transmigrasi,(Jakarta: PT. Penebar Swadaya, 1997), hlm. 146-147.
20 Ibid., hlm. 163.
80
Kesemua unsur ini sangatlah besar sumbangsihnya dalam menata
kehidupan yang rukun dan damai di daerah transmigrasi. Sedangkan hal yang
bersifat negatif muncul bila pertemuan beberapa golongan etnik itu menimbulkan
suasana hubungan sosial yang tidak harmonis karena adanya perbedaan sikap
dalam memandang suatu obyek yang menyangkut kepentingan bersama. Faktor
ini bisa menyebabkan hubungan antar golongan menjadi tegang dan gampang
menjurus kepada konflik. Selanjutnya pemaksaan atau pendiktean suatu tata nilai
ataupun norma baru oleh golongan yang merasa sebagai mayoritas kepada
golongan yang dianggap minoritas akan menyempurnakan ajang pertikaian serta
memperuncing masalah-masalah nilai budaya. Karena hal ini hanya akan
mendukung timbulnya superioritas dan inferioritas.21 Penduduk Jawa Timur
terdiri dari 2 (dua) suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Madura. Suku bangsa Jawa
bertempat tinggal di daratan pulau Jawa, sedangkan suku bangsa Madura
mendiami pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya dan sebagian dari
mereka mendiami pesisir dari daerah-daerah pantai utara selat Madura seperti di
kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso dan juga di kabupaten
Jember dan beberapa tersebar di seluruh Jawa Timur. Penduduk Jawa Timur
umumnya bersifat terbuka dan tinggi tingkat partisipasinya dalam melaksanakan
pembangunan, mereka bersedia berkorban untuk kepentingan orang banyak dan
mempunyai semangat membangun yang tinggi.
21 Rukmadi Warsito, Transmigrasi; Dari Daerah Asal sampai BenturanBudaya di Tempat Pemukiman, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 144-145.
81
Suku Madura mempunyai sifat dan bakat wiraswasta yang cukup tinggi.
Tentu saja sifat-sifat ini sangat diperlukan dalam era pembangunan.22 Penduduk
Madura mempunyai kebiasaan, kebudayaan, serta bahasa daerah sendiri. Bahasa
daerah ini adalah bahasa ibu dari etnik suku Madura. Adapun fungsi bahasa
Madura ini ialah sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat sesama suku
Madura sekaligus sebagai lambang identitas daerah Madura. Wilayah pemakai
bahasa Madura adalah kepulauan Madura, mantan karesidenan Besuki, dan pesisir
utara mantan karesidenan Malang.23 Merupakan suatu gejala umum terjadinya
gelombang migrasi sekelompok etnis tertentu biasanya membawa dan
mengembangkan budaya asal. Penggunaan bahasa Jawa dan budaya Jawa di Jawa
Timur hingga saat ini masih tetap digunakan walaupun sudah sejak dahulu, sedikit
demi sedikit tergerus oleh budaya Madura yang dominan. Seperti yang bisa kita
lihat di Probolinggo hari ini, bahasa dan budaya yang terdapat disana ialah bahasa
dan budaya Madura. Situasi itu terjadi karena adanya migrasi secara sporadis dari
pulau Madura ke wilayah-wilayah Pesisir Timur Pulau Jawa bukan hanya pada
tataran kebahasaan namun juga pada tataran kuantitas penduduknya yang tidak
seimbang antara pendatang Madura dengan penduduk asli. Ketidakseimbangan
jumlah pendatang dan penduduk asli Probolinggo dapat diduga kemudian
22 Eddy Yuwono Slamet, op.cit., hlm 2.
23 Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, Dan Ekonomi, (Jakarta: Rajawali,1989), hlm. 181.
82
menyebabkan tersisihnya bahasa dan budaya asli Jawa di kabupaten
Probolinggo.24
Pengembangan budaya asalnya itu dilakukan karena pada waktu senggang
mereka memerlukan hiburan dan hal itu sebagai salah satu cara pelepas rindu pada
tanah asalnya. Pengembangan budaya asalnya itu juga untuk menjalin interaksi
dengan orang-orang sekutunya. Sudah pasti, bahwa antara etik pribadi dan etik
masyarakat senantiasa ada perseregangan. Individu mesti tunduk kepada dua
sistem norma, yaitu yang berpusat pada kata hatinya dan yang tersimpul dalam
adat istiadat, kebiasaan, dan hukum masyarakat.25 Dengan alasan itu para migran
menganggap perlu mengembangkan budaya asal sebagai media yang terbaik
untuk menjalin solidaritas agar jatidiri kesukuan dan budayanya di daerah rantau
tetap terbina dengan baik. Pengembangan budaya asal itu terjadi pada migran
Madura dan Jawa di daerah Jember. Orang-orang Madura di daerah rantau hidup
secara berkelompok di suatu tempat. Tempat kelompok orang-orang Madura
biasanya didasarkan pada unsur geologis. Para migran Madura pertama-pertama
membawa bahasa Madura ke tempat yang baru. Oleh karenanya sampai saat
sekarang penduduk yang berada di Jawa timur khususnya Jember utara
menggunakan bahasa Madura sebagai alat penuturnya. Sebagian besar dari
mereka banyak yang tidak menguasai bahasa Jawa. Selain itu para migran Madura
membawa dan mengembangkan seni-seni tradisional dari daerah asalnya.
24 Bahasa dan Budaya Jawa, http://ki demang.com/kbj5/index.php/makalahpengombyong/1204-22-bahasa dan budaya jawa selogudingan di kabupatenprobolinggo potret kebertahanan sebuah entitas masyarakat jawa lama dalamdominasi madura, diakses 28 Oktober 2015, pukul. 23.59.
25 Takdir Alisjahbana, op.cit., hlm. 16.
83
Seni-seni tradisional yang dibawa oleh para migran Madura sejak desenia
akhir-akhir abad XIX di antaranya ialah: seni macopat Madura, seni topeng
Madura, tandhak, sronen , dan sandhur. Seni mocopat termasuk kesenian yang
digemari oleh masyarakat Madura. Hal ini terbukti hampir di setiap desa yang
sebagian besar masyarakatnya Madura memiliki kesenian ini. Seni macopat
Madura memiliki dua unsur seni yakni sebagi seni sastra dan sebagai seni baca
(tembang). Dalam seni macopat selain terdapat penemban yang membaca cerita-
cerita, juga terdapat juru makna yang bertugas menjelaskan arti dan isi tembang.
Juru makna itu dalam penjelasannya menggunakan bahasa Madura. Sampai saat
sekarang sulit untuk menentukan kapan asal mula macopat Madura berkembang
di daerah Jember. Semua orang yang banyak mengetahui seluk beluk macopat
Madura tidak ada yang dapat memastikan. Mereka hanya memberikan keterangan
bahwa sejak kecil, seni macopat sudah ada di daerah Jember. Kesenain topeng
juga berkembang di daerah Jember sudah sejak lama, yang dibawa oleh para
migran Madura. Kesenian wayang topeng Madura termasuk jenis wayang purwo
yang mengambil cerita dari epos India yakni Mahabrata dan Ramayana. Pada
awalnya di pulau Madura kesenian ini hanya untuk kaum bangsawan tetapi
kemudian berkembang menjadi kesenian rakyat yang banyak digemari oleh
masyarakat Madura di pedesaan. Seperti halnya wayang purwo, dalang
mempunyai peranan yang sangat besar. Dalang berfungsi mengatur dialog
permainan kecuali para punakawan yang diperkenankan untuk berbicara sendiri.
Dalam penuturannya, dalang menggunakan bahasa Madura. Selain kedua seni
diatas, masih banyak seni-seni lainnya yang dibawa oleh para migran Madura.
84
Selain budaya asal para migran Madura, di Jawa Timur terdapat juga kebudayaan
yang lahir akibat dari adanya pertemuan budaya asli setempat dengan budaya
pendatang. Seperti budaya pandalungan ini merupakan hasil sentuhan budaya
Madura dan Jawa.
Perubahan-perubahan kebudayaan biasanya telah terjadi karena adanya
kontak-kontak hubungan dengan kebudayaan lain yang lebih tinggi tingkat
efisiensi dan ekonomi dari teknologinya, yang biasanya berlangsung melalui
proses-proses difusi atau penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Proses ini
menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang merupakan perpaduan dengan atau
pengaruh dari kebudayaan yang datang dari luar. Proses ini tejadi bila warga
masyarakat setempat menganggap bahwa peminjaman unsur-unsur kebudayaan
dari luar tersebut menguntungkan. Di samping itu, perubahan kebudayaan juga
terjadi kalau dalam masyarakat tersebut memungkinkan terjadinya inovasi melalui
penciptaan dan penemuan yang secara teknologi menguntungkan warga
masyarakat yang bersangkutan.26 Budaya ini banyak ditemui di daerah Jember
tengah dan sekitarnya. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya budaya itu
ialah karena komposisi migran Madura dan migran Jawa jumlahnya berimbang.
Penduduk di Jember tengah dan sekitarnya memiliki dwi bahasa dalam artian
pemakai bahasa Madura dapat berbahasa Jawa dan sebaliknya pemakai bahasa
Jawa dapat pulau berbahasa Madura. Demikian pula dalam bidang kesenian, seni
yang berkembang di daerah ini adalah seni pandalungan yang memiliki ciri
budaya Madura dan juga memiliki ciri budaya Jawa. Perkembangan kesenian
26 Muhajir Utomo, op.cit., hlm. 150.
85
pandalungan tidak terlepas dari bentuk-bentuk akulturasi dan akomodasi produk
kesenian etnik dominan.
Percampuran budaya tampaknya sangat mempengaruhi ekspresi
masyarakatnya dalam berkesenian. Sejatinya, proses invensi dan modifikasi
kesenian juga terjadi. Sebagai sebuah media berkomunikasi, maka produk
kesenian yang berkembang di wilayah pandalungan melahirkan pola ekspresi
yang cendrung akomodatif, egaliter, kasar dan marginal. Pola ini berkembang
tampaknya lebih didorong oleh keinginan mengedepankan sifat komunikatif
antaretnik yang ada.27 Pandalungan merujuk pada kelompok sub etnik yang
mendiami kawasan Jawa Timur bagian timur tengah Pulau Jawa, yang dikenal
dengan istilah daerah tapal kuda. Dinamakan tapal kuda karena bentuk kawasan
tersebut dalam peta mirip dengan bentuk tapal kuda. Kawasan Tapal Kuda
meliputi Pasuruan (bagian timur), Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo,
Bondowoso, dan banyuwangi. Masyarakat penghuni tapal kuda mayoritas adalah
etnis Madura. Meski ada minoritas etnis Jawa, namun pengaruh Madura yang
sangat kuat menyebabkan karakter budaya di wilayah ini lebih beraroma Madura
daripada etnis lain.
Orang-orang tapal kuda juga identik dengan Islam tradisional yang
merujuk pada pengikut Nahdatul Ulama (NU). Secara tradisional, kawasan Tapal
Kuda merupakan kawasan yang diwarnai nuansa keislaman yang kental. Nahdatul
Ulama mempunyai akar yang sangat kuat di wilayah ini. Meskipun berada di
27Kesenian Masyarakat Pandalungan, www.infobondowoso.net/2013/05/12kesenian masyarakat pandalungan.html, diakses pada 28 Oktober 2015, pukul.22.28.
86
pulau Jawa, namun mayoritas penduduk Tapal Kuda adalah masyarakat Madura
atau berbahasa Madura. Tapi anehnya mereka banyak yang enggan disebut orang
Madura dan lebih suka disebut sebagia orang pendalungan atau campuran,
dikarenakan nenek moyang mereka yang merupakan pembauran antara etnis Jawa
dan Madura.28 Para migran Madura dan Jawa di daerah yang baru membentuk
pola pemukiman seperti di tempat asalnya. Di dalam kehidupan sosial masyarakat
Madura dikenal suatu pola pemukiman berkelompok. Pola pemukiman ini terdiri
atas beberapa rumah yang berderet memanjang sehingga membentuk suatu
formasi halaman memanjang. Pola pemukiman ini dikenal sebagai tanean lanjang
yang artinya halaman panjang. Pola pemukiman tanean lanjang itu dikembangkan
oleh para migran di tempat yang baru, sehingga pola pemukiman di daerah
Jember utara yang penduduknya sebagian besar Madura masih tetap
menggunakan pola tanean lanjang. Pengembangan pola tanean lanjang
memungkinkan karena gelombang migrasi orang-orang Madura ke daerah Jawa
Timur bersifat migrasi keluarga.
28 http://pksbl.ipb.ac.id/berita-mengenal-kebudayaan-masyarakat-pesisir-utara-jawa-timur-dan-Madura.html, diakses 9 November 2015, pukul 15.33.
87
BAB V
KESIMPULAN
Masyarakat Madura yang hampir setiap tahun selalu mengalami kesulitan,
mulai dari keadaan topografi alamnya yang sulit diolah sampai perlakuan para
pejabatnya yang semena-mena. Menempa jati diri masyarakat Madura itu sendiri,
menjadi pribadi yang kuat, tegas, serta apa adanya. Sebenarnya sebagian
penduduk Madura bermata pencaharian sebagai petani. Namun, karena keadaan
alamnya yang kurang menguntungkan untuk usaha pertanian ini, menyebabkan
banyak di antara orang Madura ini berpindah mata pencaharian, misalnya
berdagang, mencari ikan dan sebagainya. Ditambah banyaknya aturan yang dibuat
para pejabat setempat, namun malah merugikan masyarakat Madura itu sendiri.
Selain itu ada pula yang sengaja menghindarkan diri dari kewajiban masuk tentara
untuk keperluan Belanda. Adanya teknologi seperti alat transportasi juga
menunjang terjadinya migrasi, menurut Ravenstein peningkatan sarana
perhubungan, perkembangan industri, dan perdagangan menyebabkan frekuensi
migrasi meningkat. Yang mana, pada masa itu kapal dan kereta, sudah menjadi
alat transportasi utama untuk penyeberangan dan lintas daerah. Dari sebab-sebab
kesemuanya tersebut di atas, banyak penduduk Madura meninggalkan daerahnya
untuk berpindah ke lain tempat misalnya ke Jawa, khususnya Jawa Timur.
Sifat dari perpindahan penduduk ini sendiri juga bermaca-macam, ada
yang sementara dan ada yang menetap dengan tidak kembali lagi ketempat
asalnya. Di Jawa Timur orang-orang adura ini rata-rata bekerja di wilayah
perkebunan sebagai buruh, ada pula yang bekerja dengan masyarakat lokal
88
dengan cara bagi hasil bersama pemilik lahan. Masyarakat Madura yang menetap
di Jawa Timur kebanyakan menikah dengan wanita setempat, sehingga lama-
kelamaan memiliki rumah dan tanah di Jawa Timur. Namun setiap hari raya tiba,
mereka akan pulang kampong ke Madura, begitupun seterusnya. Berbeda halnya
dengan masyarakat Madura yang melakukan migrasi non permanen, mereka ke
Jawa Timur hanya dengan tujuan berdagang atau membeli barang-barang tertentu.
Sehingga tidak terlalu lama menetap di Jawa Timur.
Migran cendrung menempuh jarak dekat, dan apabila daerah tujuan
semakin jauh, frekuensi migran menuju ke daerah tersebut semakin kecil. Migran
yang menempuh jarak jauh umumnya menuju ke pusat-pusat perdagangan dan
industri yang penting, seperti perkebunan, dan lahan-lahan pertanian baru. Jika
seorang “laki-laki” Madura dengan bebasnya dapat melakukan migrasi kemana
saja, berbeda halnya dengan “perempuan” Madura, mereka ini lebih cendrung
bermigrasi ke wilayah yang lebih dekat dengan tanah kelahirannya. Undang-
undang yang menindas di suatu Negara, pajak yang tinggi, iklim yang tidak
menarik, lingkungan masyarakat yang tidak menyenangkan, dan pemaksaan.
Semuanya itu dari dahulu sampai sekarang menimbulkan arus migrasi keluar dari
wilayah tersebut. Akan tetapi, volume migrasi karena paksaan ini tidak dapat
dibandingkan dengan volume migrasi yang didorong oleh keinginan untuk
memperbaiki kehidupannya dalam bidang ekonomi. Di Jawa Timur orang-orang
Madura ini sebagian besar tetap tinggal sebagian koloni, yang berarti mereka
tinggal bersama orang-orang Madura lainnya, dengan sistem permuahan
tradisional mereka, yaitu tanean lanjang. Setelah di Jawa Timur pun mereka tidak
89
begitu saja lepas dari cara-cara mereka bercocok tanam, seperti sistem tegalan
yang selalu mereka manfaatkan di Madura, karena lahan yang kurang
menguntungkan. Yang mana di Jawa Timur pun mereka kebanyakan tinggal di
lahan yang kering dan berkapur sama halnya dengan wilayah Madura.
Sifat orang-orang Madura yang pekerja keras dan hemat, membuktikan
bahwa orang-orang Madura itu selektif, yang membuktikan bahwa mereka bukan
orang-orang sembarangan. Sebagian besar orang Madura yang bermigrasi ke Jawa
Timur, sebagian besar mendapatkan pekerjaan di tanah perkebunan asing maupun
lokal, hanya sedikit yang mengalami kegagalan kemudian terpaksa pulang
kembali ke Madura. Namun meskipun begitu, kota-kota di Jawa Timur seperti
Surabaya, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Bangil, Lumajang, Krakasan, Jember,
Banyuwangi, Bondowoso dan Situbondo, selalu menjadi kota-kota tujuan utama
dari migrasi orang-orang Madura ini. Banyaknya pembukaan lahan-lahan
perkebunan barulah yang menjadi alasannya. Yang mana otomastis membutuhkan
tenaga kerja yang besar, apalagi iming-iming dari perusahaan yang selalu
menjanjikan posisi mandor bagi mereka yang berhasil mengajak orang-orang
lebih banyak untuk bekerja di tempat itu. Karena dengan menjadi mandor, mereka
merasa derajat mereka terangkat, dengan fasilitas-fasilitas lebih yang diberikan
perusahaan. Motivasi ini yang membuat mereka mengajak sanak saudara mereka
yang masih tinggal di Madura. Sekian lama tinggal di Jawa Timur, para migran
dari Madura ini sudah pasti mau tidak mau, langsung tidak langsung, membaur
dengan masyarakat setempat. Sehingga menghasilkan nilai-nilai sosial dan
kebudayaan baru yang berkembang yang dikenal dengan istilah pendalungan.
90
Definisi sederhana dari pandalungan ini adalah sebuah percamuran antara
budaya Jawa dan Madura, yang mana masyarakat Madura yang lahir di wilayah
Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa. Wilayah pandalungan merujuk pada
suatu kawasan di wilayah pantai utara bagian timur Jawa Timur yang mayoritas
penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Pada umunya orang pendalungan
bertempat tinggal di perkotaan yang secara historis sebagai melting pot, pusat
pertemuan berbagai budaya. Dalam pertumbuhan sebuah kota, bagaikan sebuah
“dulang besar” tempat bertemunya manusia dengan latar belakang budaya yang
berbeda, maka secara tidak langsung menjadi pusat interaksi berbagai kelompok
etnik, yang memungkinkan terjadinya proses asimilasi melalui perkawinan
campuran antar etnik (intermariage). Memang ketika membicarakan
pendalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah perpaduan antara dua tradisi
besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut tentu tidak lepas dari fakta bahwa
kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di wilayah ini. Di Jember
misalnya, interaksi antara warga Madura dan Jawa Timur melahirkan sebuah
Bahasa Jawa Dialek Jember yang mempunyai perbedaan daam struktur dengan
Bahasa Jawa pada umumnya. Dalam konteks kesenian juga terjadi proses
perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada kesenian yang berakar
dari budaya Jawa. Di Desa Candi Jati, Kecamatan Arjasa, Jember misalnya, ada
kelompok ludruk Masa Jaya yang dalam pertunjukkannya menggunakan bahasa
Madura karena memang komunitas penontonnya berasal dari etnis Madura. Di
Desa Panti, terdapat kelompok jaranan Turonggo Sakti yang memadukan jaranan
91
Jawa dan Osing (sebuah suku asli di Banyuwangi), sedangkan para pelakunya
merupakan campuran antara warga etnis Madura, Jawa dan sebagian kecil Osing.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehadiran komunitas Madura di pelataran
Jawa Timur telah melahirkan budaya baru akibat interaksi yang cukup intens
dengan budaya Jawa, khususnya Jawa Timur. Dan hal itu tidak berlangsung dalam
waktu yang singkat. Di Jember misalnya, sejak migrasi era kolonial sebagai
bentuk mobilasasi masa oleh pihak kolonial, telah menghasilkan struktur
masyarakat multietnis. Dalam perilaku sehari-hari, meskipun terkesan berperangai
keras sebagaimana watak orang Madura, masyarakat pandalungan dikenal
akomodatif, toleran dan menghargai perbedaan. Jika merasa tidak senang,
merekapun akan segera mengatakannya. Di kawasan ini hampir tidak pernah
terjadi konflik antar keompok etnik. Konflik yang terjadi dan mungkin terjadi,
disebabkan karena kecemburuan sosial yang bernuansa ekonomi, politik, pribumi
dan nonpribumi, atau bernuansa keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya,
budaya pandalungan sangat sarat dengan nuansa Islam. Hal itu terjadi karena di
wilayah ini, ulama dan kiai bukan hanya menjadi tokoh panutan, tetapi juga tokoh
yang memiliki akar kuat pada beberapa kekuatan politik. Terdapat beberapa ciri
umum masyarakat pendalungan; Pertama, masyarakatnya cendrung bersifat
terbuka dan mudah beradaptasi. Kedua, sebagian besar lebih bersifat ekspresif,
cenderung keras, temperamental, transparan dan tidak suka basa-basi. Ketiga,
menjunjung tinggi hubungan primer, memiliki hubungan kekerabatan yang relatif
kuat, sehingga penyelesaian persoalan seringkali dilakukan secara beramai-ramai.
Keempat, cenderung bersifat peternalistik, keputusan bertindak mengikuti
92
keputusan yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan. Kelima, seagian
besar masih terkungkung tradisi lisan tahap pertama (primary orality), yang
memiliki ciri-ciri suka mengobrol, ngarasani (membicarakan aib orang), takut
menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum (solidaritas mekanis).
Keenam, sebagian besar agraris tradisional, berada di pertengahan jalan antara
masyarakat agraris dan indurtri: tradisi dan mitos mengambil tempat yang
dominan dalam kesehariannya.
93
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Memorie van Overgave van den resident van Passaroeang, H.J. Domis, 1930.
(Museum Sonobudoyo).
Volkstelling 1930 Deel III Inheemsche Bevolking van Oost-Java
Volkstelling 1930 Deel VIII Overzicht voor Nederlands-Indie
Buku-buku dan Artikel
Abdul Madjid, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 1987.
Brahmana Adhie, Reformasi Pertanian: Pemberdayaan Hak-hak atas Tanahditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis,Agama dan Budaya, Bandung: Mandar Maju, 2002.
Burger, D.H., Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid 1. Jakarta: PradnjaParamita, 1962.
De Jonge, Huub, Agama Kebudayaan dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali, 1989.
_________, Madura dalam Empat Jaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomidan Islam. Terjemahan KITLV-LIPI. Jakarta: P.T Gramedia, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya Daerah Jawa Timur.Jakarta: 1983.
Eddy Yawono Slamet, Profil Kependudukan Jawa Timur, Jakarta: Kantor MenteriNegara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan LembagaDemografi Fakultas Ekonomi UI, 1986.
Egbert de Vries, Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, Jakarta: Yayasan OborIndonesia dan PT Gramedia, 1985.
Everett.S.Lee, Teori Migrasi, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM,2000.
Frans Husken, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah DiferensiasiSosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: PT.Grasindo, 1998.
94
Helius Syamsuddin, Metodelogi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012.
_________, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: Depdikbud Dirjen PendidikanTinggi, 1996.
Ida Komang Wisnu, Profil Kependudukan: Propinsi Jawa Timur, Jakarta: BiroPusat Statistik, 1993.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 2005.
_________, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.
_________, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura; 1850-1940,Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
_________, Radikalisasi Petani, Yogyakarta: Bentang, 1994.
Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Aditya Media, 1980.
Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja, Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
Muhajir Utomo, 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi, Jakarta: PT,Penebar Swadaya, 1997.
Mohammad Hatta, Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi, Jakarta: Fasco, 1957.
Ricklefs M.C, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: UGM Press, 1989.
Rukmadi Warsito, Transmigrasi; Dari Daerah Asal sampai Benturan Budaya diTempat Pemukiman, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Samsul Ma’arif, The History of Madura, Yogyakarta: Araska, 2015.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:Gramedia, 1992.
Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi; Dalam RangkaPembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharatara, 1965.
Soemargono, Profil Propinsi Republik Indonesia; Jawa Timur, Jakarta: YayasanBhakti Wawasan Nusantara, 1992.
Sofian Effendi, Pola Mobilitas dan Dampaknya Terhadap Daerah YangDitinggalkan: Studi Kasus Kabupaten Sukoharjo, Madura, Ciamis dan
95
Asahan, Yogyakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan danLingkungan Hidup dan Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1988/1989.
Sri Margana, Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan PermasalahanSosial, Yogyakarta: Ombak, 2010.
Suko Bandiyono, Migrasi Permanen Penduduk Jawa Timur, Jakarta: PusatPenelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Ketenagakerjaan UPI,1987.
Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia; Dilihat DariJurusan Nila-Nilai, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1982.
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah,Fakultas Ilmu Sosial, UNY, 2013
Skripsi
Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember: Suatu KajianHistoris Komparatif, Jember: Universitas Jember, 2006.
Internet
http://pksbl.ipb.ac.id/berita-mengenal-kebudayaan-masyarakat-pesisir-utara-jawa-timur-dan-Madura.html, diakses 9 November 2015, pukul 15.33.
“Kesenian Masyarakat Pandalungan”, http://www.infobondowoso.net/2013/05/12-kesenian-masyarakat-pandalungan.html?m=1, diakses pada 28 Oktober2015, pukul. 22.28.
“Bahasa dan Budaya Jawa”, http://ki-demang.com/kbj5/index.php/makalah-pengombyong/1204-22-bahasa-dan-budaya-jawa-seloguding-an-di-kabupaten-probolinggo-potret-kebertahanan-sebuah-entitas-masyarakat-jawa-lama-dalam-dominasi-madura, diakses 28 Oktober 2015, pukul.23.59.
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1: Peta Madura Tahun 1930
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura;1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
98
Lampiran 2: Peta Madura Tahun 1930 (lanjutan)
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura;1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
99
Peta 3: Peta Administratif Jawa Timur
Sumber : Volkstelling 1930 Deel III Inhemsche Bevolking van Oost-Java.
100
Lampiran 4: Fisiografis Jawa Timur.
Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya DaerahJawa Timur, Jakarta: 1983.
101
Lampiran 5: Iklim Jawa Timur.
Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya DaerahJawa Timur, Jakarta: 1983.
102
Lampiran 6: Peta Kabupaten Situbondo
Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya DaerahJawa Timur, Jakarta: 1983.
103
Lampiran 7: Peta Fisiografis Madura
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya DaerahJawa Timur, Jakarta: 1983.
104
Lampiran 8: Peta Persebaran Suku Bangsa Dan Bahasa Di Jawa Timur
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya DaerahJawa Timur, Jakarta: 1983.