profit center
DESCRIPTION
profitTRANSCRIPT
![Page 1: Profit Center](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082613/55cf96f7550346d0338eedf7/html5/thumbnails/1.jpg)
Orientasi Profit Center dan Cost Center Pada BUMN
BUMN masih sering dianggap sebagai cost center daripada profit center bagi
sebagian kalangan. Jika dilihat dari struktur maupun visi dan misi sebagian besar
BUMN, mereka cenderung masih berfokus pada pemenuhan pelayanan publik.
Padahal terdapat banyak peluang bagi BUMN untuk dapat mengoptimalkan
potensinya dalam memenuhi demand dari pasar. Hal ini disebabkan oleh manajemen
yang tidak profesional dari BUMN. Sering kita jumpai, komisaris atau direksi di
BUMN tidak memliki kapasitas dan kapabilitas yang terkait dengan core business
perusahaan bahkan beberapa diantara mereka menduduki jabatan tersebut karena
alasan politis.
Untuk dapat bertransformasi dari cost center menjadi profit center, BUMN
haruslah dikelola dengan profesional. Salah satu caranya adalah dengan melakukan
IPO pada beberapa BUMN yang dapat menghasilkan untung bagi negara. Dengan
adanya IPO, baik pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN dan juga perusahaan
dinilai akan lebih terpacu dalam mengenerate profit. Selain itu, persyaratan sebuah
perusahaan bisa go public adalah perusahaan tersebut harus sehat alias tidak merugi,
hal ini tentu saja akan berpengaruh kepada investor yang akan menanamkan
modalnya di perusahaan.
BUMN yang menerapkan profit center adalah Nusantara Indonesia (RNI).
Perusahaan ini bergerak dibidang agroindustri, farmasi, dan perdagangan. Pada akhir
tahun 2014, RNI berencana untuk melakukan IPO pada tiga anak perusahaannya. RNI
mengelola aset-asetnya dengan berorientasi pada profit center. Hal ini terbukti dari
prestasi dan kinerja Direktorat Keuangan Korporasi Unit Aset yang telah berhasil
melakukan berbagai usaha mengamankan hingga mengoptimalkan aset menjadi
pendapatan bagi perusahaan. RNI menyadari aset bukan saja kekayaan yang
perusahaan miliki, seperti tanah, bangunan, kendaraan, peralatan dan sebagainya,
tetapi juga sebagai sebuah modal bagi perusahaan untuk menjalankan aktivitasnya.
Saat ini RNI berencana untuk masuk ke industri properti dengan mulai
mengembangkan bisnis properti dan merencanakan pembangunan gedung
perkantoran, hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Beberapa proyek tersebut
memanfaatkan aset dari RNI yang tersebar di beberapa tempat.
Menurut BPK ada sekitar Rp 2.500 triliun aset BUMN yang
terbengkalai dan tidak dimanfaatkan. Aset tersebut sebagian besar berbentuk tanah
dan bangunan. Pertamina dan Bulog adalah dua BUMN yang tidak mengelola asetnya
Bayu Adhi Prabowo13/358607/PEK/18668
![Page 2: Profit Center](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082613/55cf96f7550346d0338eedf7/html5/thumbnails/2.jpg)
dengan benar. Hal tersebut dapat menjadi cost center bagi perusahaan karena mereka
perlu mengeluarkan biaya untuk merawat dan memeliharanya. Padahal jika dikelola
dengan baik, aset perusahaan justru akan mendatangkan keuntungan berupa profit.
Disisi lain, Pertamina baru saja mengubah Energia atau media yang dimiliki
Pertamina untuk menginformasikan segala bentuk kegiatan perusahaan kepada
stakeholder dari cost center ke profit center. Setelah bertransforamsi sebagai profit
center, Energia membuka kesempatan bagi pihak lain untuk memasang iklan. Hal ini
tentu saja membawa keuntungan bagi perusahaan karena mereka tidak perlu
menanggung lagi biaya cetak dari Energia.
Lalu mengapa Pertamina dan Bulog tidak menerapkan hal yang sama dalam
mengelola aset-aset mereka yang terbengkalai seperti halnya RNI? Jawabannya
adalah karena dalam melakukan pemeliharaan terhadap aset juga membutuhkan biaya
walaupun sebenarnya biaya yang dikeluarkan dapat ditutup dengan keuntungan yang
diperoleh ketika perusahaan dapat melakukan pemanfaatan aset-aset yang
terbengkalai. Permasalahannya tanpa melakukan pengelolaan terhadap aset mereka
yang terbengkalai pun, business model Pertamina dan Bulog telah memberikan
keuntungan yang luar biasa. Seperti kita ketahui bahwa Pertamina juga memiliki
hotel, Patra Jasa sebagai bagian dari entitas bisnis perusahaan. Hal ini terkait dengan
kesadaran dari perusahaan untuk mengelola aset yang tidak produktif. Aset tidak
produktif bisa didefinisikan dalam tiga kelompok. Pertama aset tidak produktif yang
bisa diproduktifkan, aset tidak produktif untuk bisa segera diproduktifkan serta aset
tidak produktif yang tidak bisa diproduktifkan. Oleh karena itu, pemerintah harus
turun tangan dalam menyelesaikan aset-aset BUMN agar dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya.
Sumber
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/12/06/19/m5um0i-nilai-aset-tak-
produktif-bumn-capai-rp-2500-triliun
http://www.bumn.go.id/ptpn8/publikasi/berita/bisnis-pelat-merah-jadi-profit-center/
http://www.bumn.go.id/rni/publikasi/berita/pengelolaan-aset-menjadi-profit-center-
perusahaan/
http://www.antaranews.com/berita/358169/rni-garap-bisnis-properti