profil-limbah ya.doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konsentrasi kandungan bahan organik dalam limbah
pencucian rumah makan mie nyonyor dengan metode titrasi
permanganometri?
2. Bagaimanakah konsentrasi dan kadar klor (Cl-) dalam limbah pencucian
rumah makan Mie Nyonyor dengan metode argentometric?
3. Bagaimanakah kadar sulfat air limbah cucian rumah makan Mie Nyonyor
secara turbidimetri?
4. Bagaimanakah tingkat kesadahan limbah rumah makan mie nyonnyor
dengan metode titrasi titrimetric?
5. Bagaimanakah kadar kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dalam air limbah
hasil pencucian RM. Mie Nyonyor secara refluks terbuka?
6. Bagaimanakah kadar bahan organik pada sampel tanah industri tahu-tempe
dengan metode Walkey-Black?
7. Bagaimanakah kapasitas tukar kation (KTK) pada sampel tanah industri
tahu-tempe?
8. Bagaimanakah pH sampel tanah industri tahu-tempe?
1.3 TUJUAN
Sejalan dengan rumusan masalah diatas maka tujuan dari percobaan ini yaitu:
1. Menentukan konsentrasi kandungan bahan organik dalam limbah pencucian
rumah makan mie nyonyor dengan metode titrasi permanganometri.
2. Menentukan konsentrasi dan kadar klor (Cl-) dalam limbah pencucian
rumah makan Mie Nyonyor dengan metode argentometri.1
3. Menentukan kadar sulfat air limbah cucian rumah makan Mie Nyonyor
secara turbidimetri.
4. Menentukan tingkat kesadahan limbah rumah makan mie nyonnyor dengan
metode titrasi titrimetri
5. Menentukan kadar kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dalam air limbah
hasil pencucian RM. Mie Nyonyor secara refluks terbuka.
6. Menentukan kadar bahan organik pada sampel tanah industri tahu-tempe
dengan metode Walkey-Black.
7. Menentukan kapasitas tukar kation (KTK) pada sampel tanah industri tahu-
tempe.
8. Menentukan pH sampel tanah industri tahu-tempe.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 ANALISIS LIMBAH CAIR
Permasalahan lingkungan saat ini yang dominan adalah limbah cair yang
berasal dari hasil kegiatan rumah tangga dan industri. Limbah cair didefinisikan
sebagai buangan cair yang berasal dari suatu lingkungan masyarakat dan
lingkungan industri yang komponen utamanya adalah air yang telah digunakan
dan mengandung benda padat yang terdiri dari zat-zat organik dan anorganik.
Pada konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak
negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu
dilakukan penanganan terhadap limbah.Teknik-teknik pengolahan limbah secara
umum terbagi menjadi tiga pengolahan, yaitu pengolahan secara fisika, biologi
dan kimia.
Pada suatu jenis limbah tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat
diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi. Limbah cair yang tidak
dikelola akan menimbulkan dampak pada perairan. Pengelolaan limbah cair dalam
proses produksi dimaksudkan untuk meminimalkan limbah yang terjadi, serta
untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan pencemar yang terkandung di
dalam perairan.
Limbah cair domestik (domestic wastewater), yaitu limbah cair hasil
buangan dari perumahan (rumah tangga), perdagangan, perkantoran, restoran, dan
sarana sejenis. Contoh limbah cair domestik adalah air deterjen sisa cucian, air
sabun dan air sisa cucian daging, buah, sayur dari restoran. Sedangkan limbah cair
industri (industrial wastewater), yaitu limbah cair hasil buangan industri. Limbah
cair restoran termasuk ke dalam limbah cair domestik. Berdasarkan hasil
laboratorium, didapatkan kandungan limbah restoran, diantaranya adalah:
Tabel 1. Kandungan Gizi Limbah Restoran
Parameter JumlahProtein 10.89 %Kalsium 0.08 %Fosfor 0.39 %Serat kasar 9.13 %
3
Lemak 9.70 %Energi 1780 Kcal
Bahan buangan yang biasanya terdapat dalam limbah restoran adalah
bahan buangan organik dan olahan bahan makanan atau minuman. Bahan buangan
organik umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh
mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan menaikkan populasi
mikroorganisme. Tidak tertutup kemungkinan dengan bertambahnya
mikroorganisme dapat berkembang pula bakteri patogen yang berbahaya bagi
manusia. Umumnya buangan olahan makanan mengandung protein dan gugus
amin, maka bila didegradasi akan terurai menjadi senyawa yang mudah menguap
dan berbau busuk, misalnya NH3 (Warlina dalam Vini Widyaningsih, 2004).
Karakteristik air limbah terbagi menjadi 3 bagian, yaitu karaktersitik
fisik, kimia dan biologi (Metcalf & Eddy, 1991)
Tabel 2. Karakteristik Air Limbah Domestik
Kontaminan Satuan KonsentrasiTotal Solid (TS) mg/L 350 – 1200Total Dessolved Solid (TDS)
mg/L 250 – 850
Suspended Solid (SS) mg/L 100 – 350BOD mg/L 110Total Organic Carbon (TOC)
mg/L 80 – 290
COD mg/L 250 – 1000NitrogenOrganikAmmonia
mg/Lmg/Lmg/L
20 – 858 – 3512 – 50
FosforOrganikAnorganik
mg/Lmg/Lmg/L
4 – 151 – 53 – 10
Klor mg/L 30 – 100Alkalinitas mg/L 50 – 200Lemak mg/L 50 – 150
Sumber: Metcalf & Eddy, 1991
Penentuan konsentrasi bahan organik dalam suatu limbah dapat ditentukan
dengan metode titrasi permanganometri. Prinsip dari titrasi permanganometri
didasarkan pada reaksi redoks. Titrasi redoks, yaitu titrasi yang reaksinya
melibatkan perpindahan elektron, dimana terdapat unsur-unsur yang mengalami
4
perubahan tingkat oksidasi. Salah satu contoh titrasi redoks adalah titrasi
permanganometri. Titrasi permanganometri merupakan titrasi oksidasimetri yang
menggunakan larutan standar kalium permanganat (KMnO4). Dalam reaksi
redoks, KMnO4 bertindak sebagai oksidator sehingga akan mengalami reduksi.
Berikut ini merupakan beberapa reaksi reduksi yang dapat dialami oleh ion
MnO4- :
MnO4-(aq) + 8H+
(aq) + 5e Mn2+(aq) + 4H2O(l)
MnO4-(aq) + 4H+
(aq) + 3e MnO2(s) + 2H2O(l)
MnO4-(aq) + 2H2O(l) + 3e MnO2(s) + OH-
(aq)
(Selamat dan Lanang Wiratma, 2004)
Berdasarkan ketiga reaksi di atas, dapat diketahui bahwa sifat oksidator
yang paling kuat terjadi pada suasana paling asam, yaitu pada reaksi pertama
dimana KMnO4 tereduksi menjadi ion Mn2+ (terjadi penurunan biloks dari +7
menjadi +2). Jadi, agar diperoleh hasil reduksi KMnO4 berupa Mn2+ sehingga
perlu dilakukan pencegahan agar tidak terbentuk hasil berupa MnO2 yang
berwarna coklat. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan titrasi dalam
keadaan panas (Selamat dan Lanang Wiratma, 2004).
Larutan KMnO4 merupakan larutan sekunder sehingga sebelum digunakan
perlu distandarisasi terlebih dahulu dengan larutan standar primer. Larutan standar
primer yang dapat dipakai untuk standarisasi larutan KMnO4 adalah suatu
reduktor, misalnya natrium oksalat (Na2C2O4), asam oksalat (H2C2O4), dan kalium
oksalat (K2C2O4). Berikut ini merupakan reaksi yang terjadi dalam proses
standarisasi KMnO4 dengan menggunakan reduktor Na2C2O4:
2MnO4-(aq) + 16H+ + 5C2O4 (aq) →2Mn2+
(aq) + 8H2O(l) + 10CO2(g)
Dalam standarisasi kalium permanganat, digunakan asam sulfat pekat untuk
pengasaman karena asam sulfat pekat tidak menghasilkan reaksi samping.
Sebaliknya jika digunakan asam klorida dapat terjadi kemungkinan teroksidasinya
ion klorida menjadi gas klor dan mengakibatkan larutan permanganat yang
digunakannya berlebih (Svehla, 1995 dalam AnnisaSyabatini, 2009).
Reaksi tersebut berjalan lambat dalam suhu ruangan, sehingga larutan
biasanya dipanaskan sampai suhu sekitar 60-70oC. Larutan kalium permanganat
5
yang telah distandarisasi, dapat digunakan untuk menentukkan konsentrasi
reduktor, misalnya ion ferro, seperti reaksi berikut ini.
MnO4-(aq) + 8H+
(aq) + 5Fe2+(aq) →Mn2+
(aq) + 5Fe3+(aq) + 4H2O(l)
Pada reaksi redoks tersebut, apabila KMnO4 dipakai sebagai titran, maka
sebagai petunjuk telah tercapainya titik ekivalen diperlihatkan dengan adanya
perubahan warna larutan dari tidak berwarna menjadi ungu muda (Selamat dan
Lanang Wiratma, 2004).
Selain itu, penentuan kadar klor pada sampel limbah dapat dilakukan
dengan metode titrasi argentometri. Titrasi argentometri termasuk salah satu cara
analisis dengan sistem pengendapan. Argentometri adalah suatu proses titrasi
yang menggunakan garam argentum nitrat (AgNO3) sebagai larutan standar.
Dalam titrasi argentometri, larutan AgNO3 digunakan untuk menetapkan garam-
garam halogen dan sianida karena kedua jenis garam ini dengan ion Ag+ dari
garam standar AgNO3 dapat membentuk suatu endapan atau suatu senyawa
kompleks.
Titrasi argentometri cara Mohr menggunakan ion kromat sebagai indikator.
Titik akhir titrasinya ditandai dengan terbentuknya endapan merah kecoklatan dari
Ag2CrO4. Apabila ke dalam larutan yang mengandung ion klorida ditambahkan
indikator kalium kromat dan selanjutnya dititrasi dengan larutan standar AgNO3
maka akan merjadi pengendapan bertingkat seperti reaksi berikut.
Cl- + Ag+ AgCl Ksp = 1,2 x 10-10
CrO42- + 2Aq+ Ag2CrO4 Ksp = 1,7 x 10-2
Kadar klorida dalam contoh uji dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Kadar Cl- (mg/L) = (A – B) x N x 35,450V
Keterangan:
A adalah volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi contoh uji (mL)
B adalah volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi blanko (mL)
N adalah normalitas larutan baku AgNO3 (mgrek/mL)
V adalah volume contoh uji (mL)
Seperti halnya pada proses titrasi netralisasi, pada proses argentometri juga
dapat digambarkan proses titrasinya meskipun pembuatan kurva ini tidak 6
dimaksudkan untuk memilih dan menentukan jenis indikator yang akan digunakan
untuk menentukan saat tercapainya titik ekivalen, sehingga untuk pembuatan
kurva ini sebagai ordinatnya bukan lagi besarnya pH larutan melainkan besarnya
pAg atau pX dalam larutan. Cara analisis ini biasanya dipergunakan untuk
menentukan ion-ion halogen, ion perak, ion tiosianat serta ion-ion lainnya yang
dapat diendapkan oleh larutan standarnya.
Selain itu salah satu zat yang kemungkinan terkandung dalam limbah cair
domestik adalah sulfat. Sulfat merupakan sejenis anion poliatom dengan rumus
SO42- yang memiliki massa molekul 96,06 satuan massa atom. Ion sulfat terdiri
dari atom pusat sulfur yang dikelilingi oleh empat atom oksigen dalam susunan
tetrahedral. Ion sulfat bermuatan negatif dua dan merupakan basa konjugat dari
ion hidrogen sulfat (bisulfat), HSO4-, yang merupakan basa konjugat dari asam
sulfat, H2SO4 (Aprianti, 2008).
Sulfat secara luas terdistribusi di alam dan dalam air alam, terutama dalam
air limbah industri. Salah satunya adalah air buangan limbah industri kertas dan
pertambangan yang memiliki kadar sulfat yang tinggi karena oksidasi dari pirit.
Konsentrasi sulfat di dalam air alam umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat
besar (Aprianti, 2008).
Peningkatan kadar sulfat dapat ditentukan dengan timbulnya bau, rasa
tidak enak dari air serta masalah korosi pada perpipaan. Hal ini diakibatkan oleh
reduksi sulfat menjadi hidrogen sulfida dalam kondisi anaerobik sesuai dengan
persamaan berikut.
SO42- + bahan organik anaerobik S2- + H2O + CO2
S2- + 2H+ H2S
H2S + 2O2 bakteria H2SO4
H2SO4 merupakan asam kuat yang selanjutnya akan bereaksi dengan
logam-logam yang merupakan bahan dari pipa yang digunakan sehingga terjadi
korosi. Sementara itu, masalah bau disebabkan karena terbentuknya H2S yang
merupakan suatu gas yang berbau (Aprianti, 2008)
Selain itu, penentuan kadar sulfat pada sampel limbah dapat dilakukan
secara turbidimetri yaitu berdasarkan pengukuran turbiditas (S) atau kekeruhan
7
dari suatu suspensi. Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi
yang bervarisasi dari ukuran koloidal sampai dispersi kasar, tergantung dari
derajat turbulensinya. Pengukuran intensitas cahaya yang ditransmisi sebagai
fungsi dari konsentrasi fase terdispersi adalah dasar dari analisis turbidimetri.
Dalam membuat kurva kalibrasi dianjurkan dalam penerapan turbidimetri karena
hubungan antara sifat-sifat optis suspensi dan konsentrasi fase terdispersinya
paling jauh adalah semi empiris. Agar kekeruhan (turbidity) itu dapat diulang
penyiapannya haruslah seseksama mungkin, endapan harus sangat halus.
Intensitas cahaya bergantung pada banyaknya dan ukuran partikel dalam suspensi
sehingga aplikasi analitik dapat dimungkinkan.
Dalam metode turbidimetri larutan yang digunakan
berupa koloid atau tersuspensi. Larutan jernih dapat diukur dengan metoda ini
dengan jalan memberikan emulgator untuk mengemulsi larutan. Larutan
tersuspensi atau koloid mengandung partikel yang berukuran 10-10 cm. Ukuran
partikel ini biasanya dapat dilihat dengan mata.
Hamburan yang terukur pada alat turbidimetri adalah hamburan yang
diteruskan atau yang membentuk sudut 1800 sedangkan hamburan yang
membentuk sudut 900, hamburannya terdeteksi oleh alat Nefelometer.
Sinar yang dihamburkan oleh partikel terlarut dalam suatu larutan ada
berbagai macam yaitu:
1. Hamburan Reyleg
Hamburan sinar oleh molekul-molekul yang diameternya jauh lebih kecil dari
sinar yang dihamburkan.
2. Hamburan Tyndall
Hamburan sinar yang diameter molekul-molekulnya lebih besar dari sinar
yang dihamburkan.
3. Hamburan Raman
Hamburan yang dapat mengubah frekuensi antara sinar yang datang dengan
sinar yang dihamburkan.
Proses hamburan cahaya yang mengenai partikel dalam larutan dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu:
1. Konsentrasi cuplikan.
8
Jika konsentrasi terlalu kecil maka partikel yang terbentuk juga akan kecil.
Partikel yang kecil akan sedikit menghamburkan sinar sehingga akan susah
terbaca.
2. Konsentrasi emulgator yang dimaksud adalah perbandingan antara konsentrasi
dengan emulgator. Jika perbandingan terlalu kecil koloid yang terbentuk
terlalu kecil sehingga susah terbaca oleh alat, namun jika perbandingan ini
terlalu besar, emulgator sisa akan terbuang dengan sia-sia.
3. Lamanya pendiaman.
Pengaruh ini bergantung pada kecepatan reaksinya. Sebaiknya reaksi berjalan
selama waktu optimumnya.
4. Kecepatan dan urutan pencampuran reagen
5. Suhu tergantung pada kondisi optimum reaksi.
6. pH atau derajat keasaman.
7. Kekuatan ion.
8. Intensitas sinar.
Pembuatan kurva kalibrasi
Kurva kalibrasi dapat dibuat larutan standar dengan berbagai konsentrasi
yang diketahui. Absorbansi larutan standar ini diukur, kemudian dibuat grafik
absorbansi (A) terhadap konsentrasi (C). Kurva yang terbentuk ini nantinya
disebut kurva kalibrasi. Melalui kurva kalibrasi atau kurva standar, konsentrasi
larutan sampel dapat dengan mudah diketahui atau dihitung dari pembacaan
absorbansi sampel. Ketelitian pembacaan absorbansi yang baik pada umumnya
ada pada nilai absorbansi diantara 0,2-1,0 atau nilai transmitansnya (T) diantara
0,1-0,75 (10-75%T) dengan kesalahan pembacaan T pada skala ini diperkirakan ±
0,5% T (Isomono,1981,75).
Hubungan antara kadar zat penyerap dengan dasarnya absorpsi radiasi
dirumuskan oleh Lambert-Beer pada tahun 1989. Hukum Lambert-Beer
menjabarkan pengurangan eksponensial dari intensitas radiasi yang diteruskan
karena peningkatan aritmatik dari kadar zat penyerap, sehingga diperoleh
persamaan:
9
Io/I disebut optical density (OD) atau absorbansi (A), sedangkan I/Io disebut
transmitan (T), yaitu proporsi radiasi yang diteruskan. Bila T dikalikan dengan
100% disebut persen transmitansi (%T). Dengan menggunakan notasi-notasi
yang merupakan penggabungan Hukum Beer dengan Hukum Bouguer, maka
Hukum Beer dapat dituliskan sebagai berikut
A = b C
merupakan absorptivitas molar yang nilainya tergantung pada panjang
gelombang dan jenis zat, b merupakan tebal medium penyerap yang biasanya
dinyatakan dalam centimeter, C merupakan konsentrasi molar.
Kurva kalibrasi dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi larutan
sampel yang dihitung dengan persamaam regresi. Berdasarkan kurva kalibrasi,
dapat diperoleh persamaan sebagai berikut:
y = ax – b
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = tan
x =konsentrasi sampel
b = titik potong terhadap sumbu y (intersep)
Kesadahan air adalah kandungan mineral-mineral tertentu di dalam air,
umumnya ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dalam bentuk garam karbonat.
Selain itu kesadahan juga dapat disebabkan karena adanya ion-ion lain dari
polivalent metal (logam bervalensi banyak) seperti Al, Fe, Mn, Sr dan Zn dalam
bentuk garam sulfat, klorida dan bikarbonat dalam jumlah kecil. Pada umumnya
yang lebih dominan menyebabkan kesadahan adalah Ca2+ dan Mg2+, khususnya
Ca2+, maka arti dari kesadahan dibatasi sebagai sifat/karakteristik air yang
menggambarkan konsentrasi jumlah dari ion Ca2+ dan Mg2+, yang dinyatakan
sebagai CaCO3 (Giwangkara, 2006).
Air sadah tidak begitu berbahaya untuk diminum, namun dapat
menyebabkan beberapa masalah. Kesadahan atau hardness adalah salah satu sifat
kimia yang dimiliki oleh air. Air sadah atau air keras adalah air yang memiliki
10
kadar mineral yang tinggi, sedangkan air lunak adalah air dengan kadar mineral
yang rendah. Kesadahan air dibedakan atas kesadahan sementara dan kesadahan
tetap. Kesadahan sementara disebabkan oleh garam-garam hidrogen karbonat,
yaitu Ca(HCO3)2 atau Mg(HCO3)2. Kesadahan sementara akan hilang jika air
dididihkan. Garam hidrogen karbonat akan mengendap pada pemanasan (Hunt,
1984):
Ca(HCO3)2 (aq) dipanaskan CaCO3 (s) + H2O (l) + CO2 (g)
Kesadahan tetap diakibatkan oleh garam selain garam hidrogen karbonat,
seperti CaSO4, CaCl2, MgSO4, dan MgCl2. Kesadahan tetap lebih sulit dihilangkan
bahkan tidak hilang sekalipun dididihkan (Hunt, 1984).
Reaksi yang terjadi adalah (Giwangkara S, 2006):
CaCl2 + Na2CO3 –> CaCO3 (padatan/endapan) + 2 NaCl (larut)
CaSO4 + Na2CO3 –> CaCO3 (padatan/endapan) + Na2SO4 (larut)
MgCl2 + Ca(OH)2 –> Mg(OH)2 (padatan/endapan) + CaCl2 (larut)
MgSO4 + Ca(OH)2 –> Mg(OH)2 (padatan/endapan) + CaSO4 (larut)
Titrasi kompleks meliputi reaksi pembentukan ion-ion kompleks ataupun
pembentukan molekul netral yang terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan yang
mendasari terbentuknya kompleks adalah tingkat kelarutan yang tinggi (Keenan
dan Donald, 1984).
Kesadahan total yaitu jumlah ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang dapat ditentukan
melalui titrasi kompleks dengan EDTA sebagai titran dan menggunakan indikator
yang peka terhadap semua kation tersebut (Giwangkara S, 2006). EDTA biasa
dikenal sebagai asam etilen diamina tetraasetat, mengandung atom oksigen dan
nitrogen yang efektif dalam membentuk kompleks yang stabil dengan logam lain
yang berbeda. EDTA adalah ligan yang dapat berkoordinasi dengan satu ion
logam melalui dua nitrogen dan satu oksigennya. EDTA juga dapat berlaku
sebagai ligan kudentat dan konsidentat yang membebaskan satu atau dua gugus
oksigen dari reaksi yang kuat dengan logam lain (Brady, 1994).
Selain dari Ca2+ dan Mg2+ beberapa kation seperti Al3+, Fe3+ dan Fe2+, Mn2+
dan sebagainya juga bergabung dengan EDTA. Tetapi untuk air ledeng, air sungai
atau danau, konsentrasi ion-ion ini cukup rendah (konsentrasi kurang dari
beberapa mg/L) dan tidak mengganggu. Namun kadang-kadang air tanah dan air
11
buangan industri mengandung konsentrasi ion-ion tersebut lebih dari beberapa
mg/L di mana dalam kasus ini suatu inhibitor harus digunakan untuk
menghilangkan gangguan tersebut (Anonimous2, 2009).
Manfaat penentuan kesadahan sementara dan kesadahan permanen yaitu
untuk mengetahui tingkat kesadahan air karena air sadah dapat menimbulkan
kerak sehingga dapat menyumbat pipa saluran air panas seperti radiator yang
digunakan dalam mesin-mesin pertanian (Bintoro, 2007). Metode paling
sederhana untuk menentukan kesadahan air adalah dengan sabun. Dalam air
lunak, sabun akan menghasilkan busa yang banyak. Pada air sadah, sabun tidak
akan menghasilkan busa atau menghasilkan sedikit sekali busa. Cara yang lebih
kompleks adalah menggunakan metode titrasi titrimetri. Kesadahan air total
dinyatakan dalam satuan ppm berat per volume (w/v) dari CaCO3.
Proses pengendapan memungkinkan kalsium bereaksi dengan magnesium di
dalam laut. Akibat reaksi itu kalsium akan mengalami pengendapan di laut
dibandingkan magnesium. Kalsium adalah unsur kunci dalam banyak proses
geokimia. (Rompas, 1998). Suatu endapan cenderung mengabsorbpsi dengan
mudah ion-ion yang membentuk senyawa tak dapat larut dengan salah satu ion
dalam kisi. Ion perak/klorida akan lebih mudah diserap oleh endapan perak
klorida daripada ion natrium/nitrit (Day dan Underwood, 1992). Kesadahan total
yaitu ion Ca2+ dan Mg2+ yang dapat ditentukan melalui titrasi dengan EDTA yang
dapat ditentukan melalui titrasi dengan EDTA sebagai titran dan menggunakan
indikator yang peka terhadap semua kation tersebut. Kejadian total tersebut dapat
dianalisis secara terpisah misalnya dengan metode AAS (Automic Absorption
Spectrophotometry) (Sumestri,SS, dkk, 1984).
KOK = Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand = COD)
adalah jumlah oksidan Cr2O7(2-) yang bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan
sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh uji. Senyawa organik dan anorganik,
terutama organik dalam contoh uji dioksidasi oleh Cr2O7(2-) dalam refluks tertutup
menghasilkan Cr(3+). Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen
oksigen (O2 mg/L) diukur secara spektrofotometri sinar tampak. Cr2O7(2-) kuat
mengabsorpsi pada panjang gelombang 400 nm dan Cr(3+) kuat mengabsorpsi pada
panjang gelombang 600 nm. Nilai KOK 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L
12
ditentukan kenaikan Cr(3+) pada panjang gelombang 600 nm. Pada contoh uji
dengan nilai KOK yang lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu
sebelum pengujian. Untuk nilai KOK lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L
ditentukan pengurangan konsentrasi Cr2O7(2-) pada panjang gelombang 420 nm.
Adapun kelebihan dari metode analisi COD adalah sebagai berikut :
1. Memakan waktu ±3 jam, sedangkan BOD5 memakan waktu 5 hari.
2. Untuk menganalisa COD antara 50 – 800 mg/l, tidak dibutuhkan pengenceran
sampel, sedangkan BOD5 selalu membutuhkan pengenceran.
3. Ketelitan dan ketepatan (reprodicibilty) tes COD adalah 2 sampai 3 kali lebih
tinggi dari tes BOD5.
4. Gangguan zat yang bersifat racun tidak menjadi masalah.
Sedangkan kekurangan dari tes COD adalah tidak dapat membedakan
antara zat yang sebenarnya yang tidak teroksidasi (inert) dan zat-zat yang
teroksidasi secara biologis. Hal ini disebabkan karena tes COD merupakan suatu
analisa yang menggunakan suatu oksidasi kimia yang menirukan oksidasi
biologis, sehingga suatu pendekatan saja. Untuk tingkat ketelitian penyimpangan
baku antara laboratorium adalah 13 mg/L. Sedangkan penyimpangan maksimum
dari hasil analisa dalam suatu laboratorium sebesar 5% masih diperkenankan.
Senyawa kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat teroksidasi juga
ikut dalam reaksi (De Santo, 1978), sehingga dalam kasus-kasus tertentu nilai
COD mungkin sedikit ‘over estimate’ untuk gambaran kandungan bahan organik.
Prinsip analisa COD yaitu sebagian besar zat organik melalui tes COD ini
dioksidasi oleh K2Cr2O7 dalam keadaan asam yang mendidih seperti reaksi
berikut:
CaHbOc + Cr2O72- + H+ CO2 + H2O + Cr3+
Zat organik
(Warna Kuning) (Warna Hijau)
Reaksi ini berlangsung ± 2 jam, uap direfluks dengan alat kondensor, agar
zat organik volatil tidak lenyap ke luar. Perak sulfat Ag2SO4 ditambahkan sebagai
katalisator untuk mempercepat reaksi, sedang merkuri sulfat ditambahkan untuk
menghilangkan gangguan klorida yang pada umumnya ada didalam air buangan.
13
∆E
Ag2SO4
Dalam memastikan bahwa hampir semua zat organik habis teroksidasi maka zat
pengoksidasi K2Cr2O7 masih harus tersisa sesudah di refluks. K2Cr2O7 yang tersisa
didalam larutan tersebut digunakan untuk menentukan berapa oksigen yang telah
terpakai. Sisa K2Cr2O7 tersebut ditentukan melalui titrasi dengan feroamonium
sulfat (FAS), dimana reaksi yang berlangsung adalah sebagai berikut:
6 Fe 2+ + Cr2O72- + 14 H+ 6 Fe 3+ + 2 Cr3+ + 7 H2O
Indikator feroin digunakan untuk menetukan titik akhir titrasi yaitu di saat
warna hijau-biru larutan menjadi coklat-merah. Sisa K2Cr2O7 dalam larutan blanko
adalah K2Cr2O7 awal, karena diharapkan blanko tidak mengandung zat organks
yang dapat dioksidasi oleh K2Cr2O7. Sampel air yang akan diperiksa pada
praktikum ini adalah limbah cair dari salah satu rumah makan yang ada di daerah
Singaraja yaitu Mie Nyonyor. Perhitungan untuk menentukan kandungan COD
dalam larutan uji:
Keterangan:
A adalah volume FAS yang digunakan pada blanko
B adalah volume FAS yang digunakan pada sampel uji
N adalah normalitas FAS yang digunakan dalam percobaan
2.2 ANALISIS TANAH INDUSTRI TEMPE-TAHU
Tanah adalah lapisan yang menyeliputi bumi antara litosfer (batuan yang
membentuk kerak bumi) and atmosfer. Tanah adalah tempat tumbuhnya tanaman
dan mendukung hewan dan manusia. Tanah berasal dari pelapukan batuan dengan
bantuan tanaman dan organisme, membentuk tubuh unik yang menyelaputi
lapisan batuan. Proses pembentukan tanah dikenal sebagai pedogenesis. Proses
yang unik ini membentuk tanah sebagai tubuh alam yang terdiri atas lapisan-
lapisan atau disebut sebagai horizon. Setiap horizon dapat menceritakan mengenai
asal dan proses-proses fisika, kimia dan biologi yang telah dilalui tubuh tanah
tersebut (Winarso, 2005).
Tanah yang baik merupakan tanah yang mengandung hara. Unsur yang
terpenting dalam tanah agar dapat mendukung kesuburan tanah salah satunya
14
adalah kandungan c-organik yang dapat menentukan tingkat kesuburan tanah.
Kandungan bahan organik tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
iklim, tipe penggunaan lahan, relief, landform, aktivitas manusia. C/N adalah
salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mencirikan kualitas bahan
organik. Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode Walkey and
Black yang menggunakan tahapan antara arti nyata kandungan bahan organik
yang ditentukan oleh besarnya C-organik hasil titrasi yang kemudian dikalikan
dengan konstanta tertentu. Kandungan bahan organik tanah dihitung dari
kandungan C-organik dengan rumus sebagai berikut (Hardjowigeno, 2003):
Untuk mencari atau mengetahui sifat fisik tanah, kita dapat
menggunakan pengambilan contoh tanah dengan 3 cara yaitu: pengambilan dalam
keadaan agregat tidak terusik, pengambilan tanah tidak terusik dan pengambilan
tanah terusik (Abdul dkk., 2014). Menurut Hardjowigeno (2003), teknik
pengambilan contoh tanah ada 4 cara, yaitu :
1. Contoh tanah utuh (undisturbed soil sample), digunakan untuk penetapan-
penetapan berat volume (bulk density), porositas tanah, kurva pH dan
permeableitas.
2. Contoh tanah dengan agregrat utuh (undisturbed soil agregrat) digunakan
untuk penetapan agregrat dan nilai COLE (Coeffisient of Linear
Extensibility).
3. Cntoh tanah terganggu atau tidak utuh (disturbed soil sample), digunakan
untuk penetapan-penetapan kadar air, tekstur, konsistemsi dan batas-batas
angka atterberg, warna dan sebagainya.
4. Contoh tanah dari suatu profil yaitu gabungan dari cara pengambilan contoh
tanah utuh, tanah agregrat utuh, dan tanah terganggu/tidak utuh.
Tanah sebagai media pertumbuhan tanaman berada dalam kondisi yang
optimum jika komposisinya terdiri dari : 25% udara, 25% air, 45% mineral dan
5% bahan organik. Atas dasar perbandingan ini, nampak kebutuhan tanah
terhadap bahan organik adalah paling kecil. Kehadiran bahan organik dalam tanah
mutlak dibutuhkan karena bahan organik merupakan bahan penting dalam
15
Bahan organik (%) = 1,74 x C-Organik (%)
menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun dari segi biologi
tanah (Lengkong dan Kawulusan, 2008).
Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem
kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman atau binatang yang
terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena
dipengaruhi oleh faktor biologis, fisika, dan kimia. Bahan organik tanah adalah
semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk fraksi bahan
organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik didalam air, dan bahan
organik yang stabil atau humus. Kadar C-organik tanah cukup bervariasi, tanah
mineral biasanya mengandung C-organik antara 1 hingga 9%, sedangkan tanah
gambut dan lapisan organik tanah hutan dapat mengandung 40 sampai 50% C-
organik dan biasanya < 1% di tanah gurun pasir (Fadhilah, 2010).
Terdapat beberapa pengertian mengenai C-organik yakni merupakan
bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang
bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang
terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor
biologi, fisika, dan kimia. C-organik juga merupakan bahan organik yang
terkandung di dalam maupun pada permukaan tanah yang berasal dari senyawa
karbon di alam, dan semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah,
termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan
organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus (Supryono
dkk, 2009). Adapun menurut Indranada (1994), sumber-sumber bahan organik
adalah:
Sumber primer
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar,
batang.ranting dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses
fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama dari bahan
organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa
polisakarida seperti selulosa, hemi-selulosa, pati dan bahan-bahan pectin dan
lignin. Selain itu nitrogen merupakan unsur yang paling banyak terakumulasi
dalam bahan organik karena merupakan unsur yang paling penting dalam mikroba
16
yang terlibat dalam proses perombakan bahan organik tanah. Jaringan tanaman ini
akan mengalami dekomposisi dan terangkul ke lapisan bawah (Sutanto, 2002).
Sumber sekunder
Sumbernya adalah binatang. Dalam kegiatannya, binatang terlebih dahulu harus
menggunakan bahan organik tanaman, setelah itu barulah binatang menyumbang
bahan organiknya. Kedua sumber bahan organik tersebut memiliki pengaruh yang
berbeda terhadap tanah. Hal ini dikarenakan perbedaan komposisi atau susunan
dari bahan organik tersebut. Jaringan binatang berbeda dengan jaringan
tumbuhan, oleh sebab itu pada jaringan binatang umumnya lebih cepat hancur
dibandingkan dengan jaringan tumbuhan (Indranada, 1994).
Beberapa senyawa organik lebih tahan lapuk seperti lignin lemak dan
beberapa senyawa yang mengandung N melalui proses biokimia menghasilkan
suatu kelompok senyawa yang agak stabil, koloid amorf, dan berwarna gelap yang
dikenal dengan humus(Indranada, 1994). Humus merupakan salah satu bentuk
bahan organik.Jaringan asli berupa tubuh tumbuhan atau hewan baru yang belum
lapuk.Terus menerus mengalami serangan jasad-jasad mikro yang
menggunakannya sebagai sumber energinya dan bahan bangunan
tubuhnya(Balasubramian, 2005).
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan
binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan
kembali.Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi
mangsa serangan jasad mikro.Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus dan
tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa
tanaman atau binatang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bahan organik dalam tanah adalah
kedalaman tanah, iklim (curah hujan dan suhu), drainase, tekstur tanah dan
vegetasi. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan pada lapisan atas setebal 20
cm, sehingga lapisan tanah makin ke bawah maka bahan organik
yangdikandungnya akan semakin kurang (Hakim dkk, 1986).
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu
menjerat dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK
17
rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K,
Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila
didominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi
kesuburan tanah. Karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan
koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air. KTK
pada jenis tanah yang ada berbeda-beda, dipengaruhi oleh faktor lingkungan
setempat. KTK tanah pada umumnya digunakan sebagai indikator pembeda pada
proses klasifikasi tanah.
Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchange capacity (CEC)
merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid
yang bermuatan negative. Berdasarkan pada jenis permukaan koloid yang
bermuatan negative, KTK dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a) KTK
koloid anorganik atau KTK liat yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan
pada permukaan koloid anorganik (koloid liat) yang bermuatan negative, b) KTK
koloid organic yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan
koloid oerganik yang bermuatan negative, dan c) KTK total atau KTK tanah yaitu
jumlah total kation yang dapat dipertukarkan dari suatu tanah baik kation pada
permukaan koloid organic (humus) maupun kation pada permukaan koloid
anorganik (liat) (Madjid, 2007).
Besarnya KTK tanah tergantung pada tekstur tanah, tipe mineral liat
tanah, dan kandungan bahan organic. Semakin tinggi kadar liat atau tekstur
semakin halus maka KTK tanah akan semakin besar. Demikian pula pada
kandungan bahan organic tanah, semakin tinggi bahan oerganik tanah maka KTK
tanah akan semakin tinggi (Mukhlis, 2007).
Kapasitas Tukar Kation (KTK) setiap jenis tanah berbeda-beda. Humus
yang berasal dari bahan organik mempunyai KTK jauh lebih tinggi (100-300
me/100g). Koloid yang berasal dari batuan memiliki KTK lebih rendah (3-150
me/100g). Secara kualitatif KTK tanah dapat diketahui dari teksturnya. Tanah
dengan kandungan pasir yang tinggi memiliki KTK yang lebih rendah
dibandingkan dengan tanah dengan kandungan liat atau debu. KTK tanah yang
rendah dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan organik seperti kompos
18
atau pupuk kandang, penambahan hancuran batuan zeolit secara signifikan juga
dapat meningkatkan KTK tanah (Novizan, 2005).
Kapasitas tukar kation tanah tergantung pada tipe dan jumlah kandungan
liat, kandungan bahan organik, dan pH tanah. Kapasitas tukar kation tanah yang
memiliki banyak muatan tergantung pH dapat berubah-ubah dengan perubahan
pH. Keadaan tanah yang masam menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar
kation dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar, karena
perkembangan muatan positif. Kapasitas tukar kation kaolinit menjadi sangat
berkurang karena perubahan pH dari 8 menjadi 5,5. KTK tanah adalah jumlah
kation yang dapat dijerap 100 gram tanah pada pH 7 (Pairunan, dkk., 1999).
Gambar 1. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+, Na+, NH4+,
H+, Al3+, dan sebagainya. Di dalam tanah kation-kation tersebut terlarut di dalam
air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam
miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per
100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah dijerap
oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat diganti
oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. Hal tersebut dinamakan
pertukaran kation. Jenis-jenis kation yang telah disebutkan di atas merupakan
kation-kation yang umum ditemukan dalam kompleks jerapan tanah.(Rosmarkam
dan Yuwono, 2002).
Pertukaran kation merupakan pertukaran antara satu kation dalam suatu
larutan dan kation lain dalam permukaan dari setiap permukaan bahan yang aktif.
Semua komponen tanah mendukung untuk perluasan tempat pertukaran kation,
tetapi pertukaran kation pada sebagaian besar tanah dipusatkan pada liat dan
19
bahan organik. Reaksi tukar kation dalam tanah terjadi terutama di dekat
permukaan liat yang berukuran seperti klorida dan partikel-partikel humus yang
disebut misel. Setiap misel dapat memiliki beribu-ribu muatan negative yang
dinetralisir oleh kation yang diabsorby (Soares et al., 2005).
Pada kebanyakan tanah ditemukan bahwa pertukaran kation berubah
dengan berubahnya pH tanah. Pada pH rendah, hanya muatan permanen liat, dan
sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui
pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. (Harjowigeno, 2002)
KTK tanah berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi
jumlah liat suatu jenis tanah yang sama, KTK juga bertambah besar. Makin halus
tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid organiknya, tekstur
tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid organiknya, sehingga KTK
juga makin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid
liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih
kecil daripada tanah bertekstur halus.(Hakim, 1986)
Pengaruh bahan organik tidak dapat disangkal terhadap kesuburan tanah.
Telah dikemukakan bahwa organik mempunyai daya jerap kation yang lebih besar
daripada koloid liat. Berarti semakin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah
makin tinggi pula KTK yang dimiliki.(Rosmarkam dan Yuwono, 2002)
Nilai kapasitas tukar kation tanah pada umumnya berkisar antara 25-45
cmol/kg sampai dengan kedalaman 1 meter. Besarnya nilai KTK sangat
dipengaruhi oleh kadar lempung, C-organik, dan jenis mineral lempungnya.
Pengaruh kadar lempung dan C-organik terhadap nilai KTK tanah terlihat dari
grafik hubungan sifat-sifat fisik-kimia. Kadar lempung berpengaruh cukup tinggi
terhadap KTK dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.62. Makin tinggi kadar
lempung maka makin tingi nilai KTK, sedangkan untuk C-organik pengaruhnya
kacil terhadap KTK (R2 = 0.29), hal ini mungkin karena kadar C-organik yang
rendah, selain itu jenis mineral lempung pun berpengaruh terhadap nilai KTK (Al-
Jabri, 2008).
Dalam kondisi tertentu kation teradsorpsi terikat secara kuat oleh
lempung sehingga tidak dapat dilepaskan kembali oleh reaksi pertukaran, kation
ini disebut kation terfiksasi. Mineral lempung yang banyak menyumbang fiksasi
20
K+ dan NH4+ antara lain : zeolit, mika, dan ilit. Fiksasi K penting didalam tanah
pasiran untuk mencegah dari pelindian dan pemupukan K+ dan NH4+ yang terus
menerus yang dapat menurunkan fiksasi K (Aragno dan Michel, 2005).
Masukan kapur akan menaikkan pH tanah. Pada tanah-tanah yang
bermuatan tergantung pH, seperti tanah kaya montmorillonit atau koloid organik,
maka KTK akan meningkat dengan pengapuran. Di lain pihak pemberian pupuk-
pupuk tertentu dapat menurunkan pH tanah, sejalan dengan hal itu KTK pun akan
turun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh pengapuran dan
pemupukan ini berkaitan erat dengan perubahan pH, yang selanjutnya
memperngaruhi KTK tanah (Hakim, dkk., 1986).
Salah satu tanah yang kemungkinan mengalami pencemaran adalah
tanah yang berada dilingkungan dekat industri tahu. Pabrik tahu seringkali belum
menangani dengan baik limbahnya sehingga menimbulkan dampak terhadap
lingkungan. Limbah tahu mengandung protein tinggi sehingga konsekuensinya
menimbulkan gas buang berupa Amoniak/ Nitrogen dan Sulfur yang tidak sedap
dan mengganggu kesehatan.
Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan
dasar kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Sebagian
besar produk tahu di Indonesia dihasilkan oleh industri skala kecil yang
kebanyakan terdapat di Pulau Jawa. Industri tersebut berkembang pesat sejalan
dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, di sisi lain industri ini
menghasilakan limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tahu
membutuhkan air untuk pemrosesannya, yaitu untuk prosees sortasi, peredaman,
pengupasan kulit, pencucian, penggilingan, perebusan dan penyaringan.
Kegiatan industri tahu di Indonesia didominasi oleh usaha-usaha skala
kecil dengan modal yang terbatas. Dari segi lokasi, usaha ini juga sangat tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Sumber daya manusia yang terlibat pada umumnya
bertaraf pendidikan yang relatif rendah, serta belum banyak yang melakukan
pengolahan limbah.
Industri kecil rumah tangga (IKRT) dapat dibagi/dikelompokkan
berdasarkan atas komoditi dan produk yang dihasilkan, antara lain
IKRT yang memproduksi bahan konsumsi (pangan, sandang).
21
IKRT yang memproduksi alat pertanian dan pertukangan.
IKRT yang memproduksi barang-barang seni (ukir-ukiran kayu, patung,
perhiasan, batik tulis, tenun ikat, dll).
Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah baik
limbah padat maupun cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan
penggumpalan, limbah ini kebanyakan oleh pengrajin dijual dan diolah menjadi
tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung
ampas tahu yang akan dijadikan bahan dasar pembuatan roti kering dan cake.
Sedangkan limbah cairnya dihasilkan dari proses pencucian, perebusan,
pengepresan dan pencetakan tahu, oleh karena itu limbah cair yang dihasilkan
sangat tinggi. Limbah cair tahu dengan karakteristik mengandung bahan organik
tinggi dan kadar BOD, COD yang cukup tinggi pula, jika langsung dibuang ke
badan air, jelas sekali akan menurunkan daya dukung lingkungan. Sehingga
industri tahu memerlukan suatu pengolahan limbah yang bertujuan untuk
mengurangi resiko beban pencemaran yang ada.
22
BAB III
METODE
3.1 PROSEDUR PERCOBAAN
3.2 SUBJEK DAN OBJEK PERCOBAAN
Subjek dalam percobaan ini ada dua yaitu limbah cair buangan cucian
rumah makan “Mie Nyonyor” dan tanah industry tahu-tempe yang terdapat di
Singraja. Objek dalam percobaan terhadap limbah cair yaitu kandunga bahan
organik, kandungan klor (Cl-), kandungan sulfat, tingkat kesadahan limbah dan
kadar kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dalam air limbah hasil pencucian RM.
Mie Nyonyor. Objek terhadap tanah industri tahu-tempe yaitu kandungan bahan
organik tanah, pH tanah dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah.
3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pada praktikum analisis limbah cair berdasarkan kandungan bahan organik,
klor, sulfat, kesadahan, dan COD dapat dilakukan dengan menggunakan 5
metode. Adapun masing-masing metode yang digunakan untuk menganalisis
limbah cair, yaitu sebagai berikut.
23
BAHAN ORGANIK
KADAR KLOR
KADAR SULFAT
KESADAHAN
KOK
SAMPEL LIMBAH
CAIR
ANALISIS
BAHAN ORGANIK
KTK PH
METODE PERMANGANO
METRI
METODE ARGENTOM
ETRI
METODE TITRIMETRI
METODE TURBIDIME
TRI
METODE TITRIMETRI
METODE WALKEY-BLACK
TANAH
1) Metode titrasi permanganometri untuk menganalisis kandungan Bahan
Organik dalam Limbah Cair
2) Metode Argentometri untuk menganalisis Konsentrasi dan Kadar Klor (Cl-)
Dalam Limbah
3) Metode turbidimetri Analisis Konsentrasi Kandungan Sulfat dalam Limbah
Cair
4) Metode titrasi titrimetri untuk menganalisis Tingkat Kesadahan Total
(CaCO3) Sampel Limbah.
5) Metode titrimetrik dengan refluks terbuka untuk menganalisis Uji Kebutuhan
Oksigen Kimiawi (KOK) pada sampel limbah.
Tahapan pertama yang dilakukan pada percobaan ini yaitu dengan
menyiapkan larutan sampel hasil pencucian R.M. mie nyonyor yang sebelumnya
telah disaring menggunakan kertas saring. Filtrat sampel yang diperoreh
kemudian diencerkan hingga 10x pengenceran untuk diuji berdasarkan kandungan
bahan organik, klor, sulfat, kesadahan, dan COD pada sampel tersebut.
1. Analisis kandungan Bahan Organik dalam Sampel Limbah Cair dengan
metode titrasi Permanganometri
Sebanyak 10 mL sampel limbah yang telah diencerkan, ditambahkan dengan
1 mL H2SO4 pekat dan dipanaskan hingga suhunya 70oC. Kemudian larutan
sampel dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N hingga muncul warna merah
muda yang bertahan selama 30 detik lalu dicatat volume titran yang
digunakan pada proses titrasi.
2. Analisis Konsentrasi Dan Kadar Klor (Cl-) dalam Limbah cair dengan
metode argentometri
Tahap awal yang dilakukan dalam uji klor yaitu mengatur pH larutan sampel
agar berada pada kisaran pH 7 sampai 10 dengan menambahkan larutan
NaOH 0,2 N atau H2SO4 1 N. Selanjutnya, larutan sampel ditambahkan
dengan 1 mL H2O2 30 % kemudian diaduk selama 1 menit. Larutan sampel
yang akan diuji dimasukkan ke dalam 3 buah labu Erlenmeyer 100 mL
masing-masing sebanyak 10 mL dan ditambahkan dengan 0,1 mL larutan
K2Cr2O4 kemudian dititrasi dengan larutan AgNO3 0,01 N hingga muncul
24
warna merah-kecoklatan yang bertahan selama 30 detik. Dicatat volume titran
yang digunakan pada proses titrasi.
3. Analisis Konsentrasi Kandungan Sulfat dalam Limbah Cair dengan
Metode Turbidimetri
Tahap awal yang dilakukan dalam uji sulfat pada sampel limbah yaitu dengan
menyiapkan larutan standar SO42- 0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm,
dan 50 ppm yang berada pada kondisi asam dan telah ditambahkan dengan
padatan BaCl2. Kemudian dibuat kurva kalibrasi larutan dengan cara
mengukur absorbansi dan %transmitan pada masing-masing larutan standar
menggunakan spektrofotometer 20+. Tahap selanjutnya, sampel limbah yang
yang telah diencerkan diberikan perlakuan yang sama seperti halnya larutan
standar yaitu dengan membuat agar kondisi larutan tersebut menjadi asam,
kemudian ditambahkan dengan padatan BaCl2. Selanjutnya diukur abosrbansi
dan % transmitannya menggunakan alat spektrofotometer 20+.
4. Analisis Tingkat Kesadahan Total (CaCo3) Sampel Limbah Hasil
Pencucian Rumah Makan Mie Nyonyor dengan Metode Titrasi
Titrimetri
Tahap awal sampel limbah yang akan diuji disaring terlebih dahulu
menggunakan kertas saring. Selanjutnya larutan sampel ditambahkan dengan
larutan NaOH hingga berada dalam suasana basa (pH 10) kemudian
ditambahkan larutan buffer beberapa tetes. Tiga buah labu Erlenmeyer 50 mL
disiapkan dan masing-masing labu ditambahkan 5 mL sampel pencucian
rumah makan Mie Nyonyor yang telah diencerkan. Selanjutnya ditambahkan
indikator EBT seujung spatula. Larutan sampel kemudia dititrasi dengan
larutan Na2EDTA 0,1 N hingga muncul warna biru kehijauan yang bertahan
selama 30 detik. Volume titran yang digunakan pada proses titrasi kemudian
dicatat.
5. Analisis uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) refluks terbuka dengan
refluks terbuka secara titrimetrik pada sampel Limbah Hasil Pencucian
RM. “Mie Nyonyor”
25
Tahap awal sebanyak 10 mL sampel limbah yang telah diencerkan
dimasukkan ke dalam labu dasar bulat dan ditambahkan berturut-turut dengan
0,2 gram serbuk HgSO4, 5 mL larutan K2Cr2O7, dan 15 mL larutan Asam
Sulfat-Perak Sulfat perlahan-lahan sambil didinginkan dalam penangas
kemudian direfluks selama 1 jam. Setelah proses refluks, dinginkan larutan
sampai temperature kamar, dimasukkan ke dalam 3 buah labu Erlenmeyer
masing-masing sebanyak 5 mL dan ditambahkan indikator feroin 2-3 tetes,
selanjutnya titrasi dengan larutan FAS 0,2 N sampai warna merah-kecoklatan.
Dicatat volume larutan FAS 0,1 N yang digunakan untuk titrasi. Selain
dengan larutan sampel, disiapkan juga pengujian dengan larutan blanko.
Sebanyak 10 mL aquades dimasukkan dalam labu dasar bulat dan
ditambahkan berturut-turut dengan 0,2 gram serbuk HgSO4, 5 mL larutan
K2Cr2O7, dan 15 mL larutan Asam Sulfat-Perak Sulfat perlahan-lahan sambil
didinginkan dalam penangas kemudian direfluks selama 1 jam. Setelah proses
refluks, dinginkan larutan blanko sampai temperature kamar, dimasukkan ke
dalam 3 buah labu Erlenmeyer masing-masing sebanyak 5 mL dan
ditambahkan indikator feroin 2-3 tetes, selanjutnya titrasi dengan larutan FAS
0,2 N sampai warna merah-kecoklatan. Dicatat volume larutan FAS 0,1 N
yang digunakan untuk titrasi.
Pada percobaan analisis sampel tanah industri tahu-tempe dilakukan
penentuan kadar bahan organik dengan menggunkan metode Walkley Black.
Selain dilakukan penentuan bahan organik, dilakukan pula penentuan KTK
(Kapasitas Tukar Kation) dan penentuan pH pada sampel tanah yang digunakan.
Tahap awal yang dilakukan pada analisis sampel tanah industry tahu-tempe yaitu
mengkondisikan tanah agar kering dan terbebas dari kandungan air yang dapat
mengganggu analisis terhadap sampel tanah. Selanjutnya tanah yang sudah kering
ditumbuk dan diayak untuk memperoleh sampel tanah dengan tekstur yang lebih
halus. Sampel tanah kemudian siap dianalisis kadar bahan organik, KTK
(Kapasitas Tukar Kation), dan pH.
1. Analisis Kadar Bahan Organik
Prosedur kerja dari penentuan kadar bahan organik yaitu sampel tanah
yang sudah kering dan halus ditambahkan dengan K2Cr2O7 selanjutnya
26
ditambahkan pula dengan H2SO4 pekat. Campuran sampel kemudian
diencerkan dengan aquades dan didiamkan beberapa saat sampai dingin,
kemudian ditambahkan H3PO4 85 % dan diaduk 10-20 menit. Selanjutnya
campuran tersebut dimasukkan ke dalam tiga labu dan ditambahkan beberapa
tetes fenantrolin 20 % kemudian selanjutnya dititrasi dengan menggunakan
larutan FeSO4. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna. (Pada
tahap ini dilakukan pula pembuatan larutan blanko dengan prosedur yang
sama namun tidak menggunakan sampel tanah).
2. Analisis Kapasitas Tukar Kation
Sampel tanah yang telah halus ditambahkan dengan aquades dan
dikocok selama 10 menit. Campuran yang telah terbentuk tersebut disaring
kemudian endapannya diambil. Endapan ditambahkan dengan ammonium
asetat (CH3COONH4) dan dikocok selama 60 menit, selanjutnya endapan
yang terbentuk disaring (Langkah ini diulangi sebanyak 4x). Endapan hasil
saringan ditambahkan dengan etanol kemudian dikocok selama 10 menit dan
endapan yang terbentuk disaring kembali (Langkah ini diulangi sebanyak
4x). Sampel tanah yang telah selesai dicuci, dimasukkan ke dalam labu
destilasi kemudian ditambahkan dengan aquades dan larutan NaOH 40% lalu
didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam larutan H2SO4 0,1 N yang telah
ditambahkan beberapa tetes indikator Conway. Desilasi dihentikan hingga
volume tampungan ± 40 mL. Hasil destilasi sebanyak 40 mL diencerkan
dengan aquades hingga volume 200 mL kemudian dititrasi dengan larutan
NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna pada titrat menjadi hijau terang
dan tidak berubah warna selama 30 detik (Pada tahap ini dilakukan pula
pembuatan larutan blanko dengan prosedur yang sama namun tidak
menggunakan sampel tanah).
3. Analisis pH
Tahap ini dilakukan dengan penambahan aquades pada sampel tanah
yang akan dianalisis kemudian dilakukan proses pengadukan selama 20 menit
dan didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam pendiaman, campuran diaduk
kembali selama 20 menit dan diukur pHnya menggunakan pH meter yang
telah dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 7,0 dan 4,0.
27
3.4 ANALISIS DATA
3.4.1 ANALISIS DATA SAMPEL LIMBAH CAIR RUMAH MAKAN MIE NYONYOR
3.4.2 ANALISIS DATA SAMPELTANAH INDUSTRI TAHU-TEMPE
1. Penentuan Kadar Bahan Organik
Tabel 3.Titrasi sampel dengan menggunakan titran larutan FeSO4
Titrasi Ke- Volume sampel Volume Larutan FeSO4
I 10 mL 6,9 mL
II 10 mL 6,7mL
III 10 mL 6,7mL
Volume rata-rata 6,7mL
Tabel 4. Titrasi blanko dengan menggunakan titran larutan FeSO4
Titrasi Ke- Volume blanko Volume Larutan FeSO4
I 10 mL 8,2 mL
II 10 mL 8,2 mL
III 10 mL 8,2 mL
Volume rata-rata 8,2 mL
Titrasi pada sampel dan blanko dilakukan tiga kali pengulangan
untuk memperoleh data hasil pengamatan yang lebih akurat. Setelah
dilakukan proses titrasi maka dapat dihitung %C yang terdapat pada
sampel tanah industri tahu-tempe. Adapun perhitungannya yaitu sebagai
berikut.
% C =
% C = = 1,05 %
28
Kandungan C-organik tersebut kemudian dikalikan dengan faktor
van bemmelen untuk menentukan besarnya kandungan bahan organik pada
sampel tanah industri tahu-tempe yang dinyatakan sebagai berikut:
%Bo = %C x (faktor van bemmelen)
%Bo = 1,05% x 1,729
%Bo = 1,815%
Kandungan bahan organik pada sampel tanah industri tahu-tempe
yaitu sebesar 1,815%. Namun pada percobaan ini dilakukan pengenceran
larutan sampel maupun blanko sebanyak lima kali. Oleh sebab itu,
kandungan bahan organik yang telah diperoleh dikalikan dengan faktor
pengenceran (fp) sebanyak 5x.
%Bo = 1,815% x fp
%Bo = 9,077%
Jadi kandungan bahan organik pada sampel tanah industri tahu tempe
adalah 9,077%.
2. Penentuan KTK (Kapasitas Tukar Kation)
Berdasarkan data hasil pengamatan, nilai kapasitas tukar kation
pada sampel tanah dapat dihitung sebagai berikut.
KTK(me/100 g) =
=
= = 6 me/100 g
Kapasitas tukar kation yang diperoleh merupakan nilai yang
diperoleh setelah pengenceran sebanyak 5x pengenceran, sehingga nilai
KTK sebelum pengenceran yaitu:
KTK (sebelum pengenceran) = 6 me/100 g x 5
= 30 me/100 g.
29
Jadi nilai kapasitas tukar kation yang dimiliki oleh sampel tanah dari
industri tempe-tahu sebesar 30 me/100 g.
30
BAB VI
PEMBAHASAN
3.5 ANALISIS LIMBAH CAIR RUMAH MAKAN MIE NYONYOR
4.1.1 Penentuan Konsentrasi Bahan Organik Pada Limbah Pencucian
Rumah Makan Mie Nyonyor
Penentuan konsentrasi bahan organik dalam limbah pencucian rumah
makan mie Nyonyor dilakukan dengan cara titrasi permanganometri. Sampel
limbah pencucian rumah makan mie Nyonyor bertindak sebagai titrat dan larutan
KMnO4 0,01 N yang telah distandarisasi bertindak sebagai titran. Larutan limbah
pencucian rumah makan mie Nyonyor ditambahkan dengan larutan H2SO4 pekat
sebanyak 1 mL, kemudian dipanaskan hingga suhunya 70oC, terbentuk larutan
sampel yang tidak berwarna. Tujuan penambahan H2SO4 dan pemanasan yaitu
agar larutan sampel bersuasana asam serta menghindari terbentuknya MnO2.
Setelah suhu larutan mencapai 70o C, maka proses titrasi mulai dilakukan. Proses
titrasi ini dihentikan ketika warna titrat berubah. Dalam percobaan dapat diamati
larutan titrat yang awalnya berwarna putih keruh berubah menjadi ungu muda.
Adapun data yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Tabel 5. Volume KMnO4 0,01 yang digunakan untuk mentitrasi sampel
limbah cair
Titrasi ke- Volume limbah
Volume KMnO4 0,01 N
I 10 mL 5,1 mLII 10 mL 4,9 mL
III 10 mL 5,0 mL
Rata-rata 5,0 mL
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, maka dapat ditentukan konsentrasi bahan
organik dalam limbah pencucian rumah makan mie Nyonyor melalui perhitungan
sebagai berikut.
Vsampel x Nsampel = VKMnO4 x NKMnO4
10 mL x Nsampel = 5,0 mL x 0,01 N
Nsampel = 0,005 N 31
Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh konsentrasi sampel
setelah 10x pengenceran yaitu 0,005 N, maka konsentrasi sampel tanpa
pengenceran yaitu.
Sampel setelah 10x pengenceran x 10 = 0,005 N x 10
= 0,05 N
Secara teoritis kadar batas maksimum kandungan limbah domestik
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 tahun
2003 tentang baku mutu air limbah domestik yaitu sebagai berikut.
Tabel 6. Baku mutu air limbah domestik berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 112 tahun 2003
4.1.2 Penentuan kandungan Klor dalam sampel limbah pencucian rumah
makan mie nyonyor dengan metode Argentometri
Penentuan klorida dapat dilakukan dengan beberapa metode salah satunya
adalah metode argentometri. Penggunaan metode titrasi argentometri merupakan
metode yang klasik untuk menganalisis kadar klorida pada sampel yang dilakukan
dengan mempergunakan larutan AgNO3 dan indikator. Kelebihan analisis klorida
dengan metode ini yaitu pelaksanaannya yang mudah cepat, memiliki keakuratan
dan ketelitian yang tinggi serta dapat digunakan untuk menentukan kadar yang
memiliki sifat yang berbeda-beda (Titis, U A. 2009). Dasar titrasi argentometri
32
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH - 6-9
BOD mg/l 100
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 10
adalah reaksi pengendapan (presipitasi). Zat yang hendak ditentukan kadarnya di
endapkan oleh larutan baku AgNO3. Zat tersebut misalnya garam-garam Cl.
Prinsip pengukuran metode ini adalah melakukan titrasi terhadap sampel
dengan menggunakan larutan perak nitrat (AgNO3) sehingga terbentuk endapan
AgCl yang berwarna putih. Pendeteksian endapan AgCl dilakukan dengan
penambahan indikator kalium kromat (K2Cr2O4) yang akan menghasilkan endapan
Ag2Cr2O4 yang berwarna merah coklat. Adapun persamaan reaksinya yaitu
sebagai berikut.
Ag+(aq) + Cl-
(aq) AgCl
(endapan putih)
2Ag+(aq) + CrO4
2-(aq) Ag2CrO4
(endapan merah coklat)
Jika ion perak ditambahkan ke dalam suatu larutan yang mengandung ion
klorida dengan konsentrasi besar dan ion kromat dengan konsentrasi kecil maka
perak klorida (AgCl) akan mengendap terlebih dahulu sedangkan perak kromat
(Ag2CrO4) tidak terbentuk sebelum konsentrasi ion perak meningkat sampai ke
nilai yang cukup besar untuk melebihi Ksp dari perak kromat atau dengan kata
lain endapan merah dari Ag2CrO4 akan terbentuk ketika mendekati titik ekuivalen
atau tercapainya titik ekuivalen.
Pada percobaan penentuan konsentrasi kandungan klor dalam limbah
pencucian rumah makan mie Nyonyor dilakukan dengan metode titrasi
argentometri menggunakan AgNO3 sebagai titran dan larutan sampel pencucian
rumah makan mie Nyonyor sebagai titrat. Larutan AgNO3 bukan merupakan
larutan standar primer sehingga harus distandarisasi menggunakan larutan NaCl
0,01 N (larutan standar) untuk memperoleh konsentrasinya yang pasti. Tahapan-
tahapan yang akan dilakukan meliputi standarisasi larutan standar sekunder
AgNO3 0,01 N dengan larutan standar primer, titrasi larutan AgNO3 0,01 N
dengan larutan blanko. Selanjutnya tahapan yang terakhir adalah penentuan
kandungan klor dalam sampel limbah pencucian rumah makan mie nyonyor
dengan metode argentometri.
33
Proses standarisasi larutan AgNO3 0,01 N ini dilakukan dengan cara titrasi.
Larutan AgNO3 bertindak sebagai titran dan NaCl sebagai titrat dan larutan
K2Cr2O4 sebagai indikator.
Selama proses titrasi penggocokan harus dilakukan dengan sempurna atau
dapat menggunakan magnetic stirrer. Titrasi ini dihentikan sampai penambahan
AgNO3 memberikan perubahan warna pada titrat dari kuning menjadi warna
merah bata yang bertahan selama 30 detik.
Tabel 7. Volume titran NaCl 0,01 N yang digunakan dalam titrasi
Titrasi ke- Volume TitranI 5 mLII 5,2 mL
III 5,1 mL
Rata-rata 5,1 mL
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat ditentukan konsentrasi AgNO3
melalui perhitungan berikut:
Diketahui: Volume NaCl = 5 mL
N NaCl = 0,01 N
Volume AgNO3 = 5,1 mL
Pada titik akhir titrasi :
m ekiv NaCl = m ekiv AgNO3
N NaCl x VNaCl = N AgNO3 x V AgNO3
0,01 N x 5 mL = N AgNO3 x 5,1 mL
N AgNO3 =
N AgNO3 = 0,0098 N 0,01 N
Selanjutnya dilakukan tahap titrasi larutan AgNO3 0,01 N dengan larutan
blanko yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan yang disebabkan oleh zat
pereaksi atau pelarut dalam percobaan titrasi argentometri. Pada proses titrasi ini,
larutan AgNO3 bertindak sebagai titran dan larutan blanko (aquades) sebagai
titrat. Langkah awal proses titrasi ini adalah dengan memasukkan 10 mL larutan
blanko ke dalam tiga labu Erlenmeyer. Kemudian pada masing-masing larutan
tersebut ditambahkan sebanyak 0,1 mL larutan indikator K2Cr2O4.
34
Tabel 8. Volume titran AgNO3 yang digunakan dalam titrasi
Titrasi ke- Volume TitranI 0,2 mLII 0,2 mL
III 0,2 mL
Rata-rata 0,2 mL
Penentuan kandungan klor dalam limbah hasil pencucian rumah makan
mie Nyonyor dilakukan dengan cara titrasi argentometri. Sampel limbah
pencucian rumah makan mie Nyonyor yang telah diencerkan sebanyak 10x
pengenceran bertindak sebagai titrat dan larutan AgNO3 yang telah distandarisasi
bertindak sebagai titran. Selanjutnya larutan limbah tersebut ditambahkan dengan
NaOH. Tujuan penambahan NaOH adalah agar suasana sampel limbah menjadi
basa dengan pH 8,91 karena proses titrasi akan berlangsung maksimal apabila
sampel limbah berada pada rentangan pH 7-10. Kemudian sampel limbah tersebut
ditambahkan H2O2 30% untuk mengilangkan kandungan sulfida, sulfit atau
tiosulfat.
Berdasarkan hasil percobaan dapat diamati sampel limbah yang awalnya
berupa larutan tak berwarna berubah menjadi kuning. Adapun data yang diperoleh
yaitu.
Tabel 9. Volume titran AgNO3 yang digunakan dalam titrasi
Titrasi ke- Volume TitranI 1 mLII 1,1 mL
III 1,2 mL
Rata-rata 1,1 mL
sehingga konsentrasi klor dalam limbah pencucian rumah makan mie Nyonyor
yaitu sebagai berikut.
Vsampel x Nsampel = V AgNO3 x N AgNO3
10 mL x Nsampel = 1,1 mL x 0,01 N
Nsampel = 0,0011 N
35
Hasil yang diperoleh berdasarkan percobaan yang telah dilakukan
diperoleh konsentrasi sampel setelah 10x pengenceran yaitu 0,0011 N, maka
konsentrasi sampel tanpa pengenceran adalah:
Sampel setelah 10x pengenceran x 10 = 0,0011 N x 10 = 0,011 N
Berdasarkan pemeriksaan sampel limbah yang dilaksanakan di
Laboratorium Analitik Jurusan Pendidikan Kimia UNDIKSHA pada tanggal 27
Maret 2015 didapatkan hasil analisa kadar klorida dengan menggunakan cara SNI
06-6989.19-2004, yaitu.
Kadar Cl – (mg/ L) = ( A – B ) x N x 35,45 mL Sampel
Kadar Cl – (mg/ L) = ( 1,1 – 0,2 ) x 0,01 x 35,45 10 mL
= 0,03 mg/L
4.1.3 Analisis Konsentrasi Kandungan Sulfat dalam Limbah Cair dengan
Metode Turbidimetri
Penentuan konsentrasi kandungan sulfat pada limbah cair dapat dilakukan
dengan metode turbidimetri, yang mana tahap awal yang dilakukan yaitu dengan
cara membuat kurva kalibrasi larutan standar 0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40
ppm dan 50 ppm. Dalam hal ini, persiapan pembuatan larutan standar dilakukan
dengan penambahan BaCl2 secara hati-hati agar kristal yang ditambahkan tidak
menempel pada dinding gelas kimia agar seluruh kristal dapat melarut dengan
sempurna. Adapun reaksinya yaitu sebagai berikut.
BaCl2(s) + SO2-(aq) BaSO4(s) + 2Cl-
(aq)
Padatan putih
BaSO4 berupa endapan berwarna putih akan tetapi dalam hal ini endapan yang
diperoleh koloid yang tersuspensi. Kekeruhan yang terbentuk setelah penambahan
BaCl2 inilah yang akan diukur pada spektrofotometer. Setelah ditambahkan
dengan BaCl2 kemudian larutan diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer
selama 3 menit dengan kecepatan yang tetap. Pengadukan ini bertujuan untuk
menghomogenkan larutan. Larutkan standar tersebut kemudian dimasukkan ke
36
dalam kuvet untuk diukur absorbansi dan konsentrasi dari tiap larutan standar
tersebut.
Saat pengukuran larutan standar dengan spektofotometer, panjang
gelombang diatur sebesar 420 nm karena sulfat akan optimal akan optimal terbaca
pada panjang gelombang tersebut. Pada awalnya yang diukur adalah larutan
blanko 0 ppm. Fungsi dari larutan blanko adalah sebagai faktor koreksi terhadap
pelarut dan pereaksi yang digunakan sehingga pada pengukuran blanko adalah
pengukuran serapan pelarut dan pereaksinya. Agar pada pengukuran deret standar
dan sampel yang diukur adalah serapan sulfatnya sehingga pada larutan blanko
serapan pereaksi dan pelarut dibuat “0” dengan cara mengubah % transmitannya
menjadi 100. Kemudian dilakukan pengukuran larutan standar pada 0 ppm.
Sebelum pengukuran masing-masing larutan standar dikocok terlebih dahulu agar
koloid merata saat diukur. Setelah diperoleh panjang gelombang, setiap larutan
standar diukur absorbansinya. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh
semakin besar konsentrasi (ppm) maka absorbansinya juga semakin besar. Garis
yang terbentuk adalah garis linear yang menyatakan bahwa absorbansi adalah
fungsi dari konsentasi. Setelah diperoleh persamaan garis linear pada grafik maka
konsentrasi sampel dapat dihitung. Adapun grafiknya yaitu sebagai berikut.
Gambar 2. Kurva perbandingan absorbansi dan konsentrasi
Berdasarkan grafikk di atas diamati bahwa garis regresi yang diperoleh
memiliki persamaan y = 0,0081x + 0,0095. Nilai ini menunjukan bahwa linearitas
dari kurva adalah baik dan dapat digunakan dalam penentuan kosentrasi sampel.
Nilai absorbansi sampel limbah pencucian rumah makan mie Nyonyor yang
37
diperoleh adalah 0,1 mg/L setelah diencerkan sebanyak 10x. Hal ini dilakukan
karena nilai absorbansi sampel berada di luar range kurva kalibrasi sehingga harus
dilakukan pengenceran agar nilai absorbansi yang terukur berada pada range
kurva kalibrasi yang terukur melalui larutan standar. Nilai absorbansi sampel
sebesar 0,1 nilai absorbansi tersebut disubstitusikan ke dalam persamaan sehingga
diperoleh konsentrasi sampel adalah sebagai berikut.
y = 0,0081x + 0.0095
0,081x = 0,0905
x = 11,17 ppm
Konsentrasi protein dari larutan sampel adalah 11,17 μg/mL, namun
konsentrasi tersebut merupakan hasil pengeneran 10 kali sehingga konsentrasi
sampel albumin awal adalah
M1. V1 = M2. V2
11,17 μg/mL. 100 mL = M2. 10 mL
M2 = 111,7 μg/mL
M2 = 0,117 mg/L
Jadi, konsentrasi dari larutan sampel air limbah cucian rumah makan Mie
Nyonyor yang digunakan dalam percobaan ini adalah 0,117 mg/L.
4.1.5 Analisis Tingkat Kesadahan Total (CaCo3) Sampel Limbah Hasil
Pencucian Rumah Makan Mie Nyonyor dengan Metode Titrasi
Titrimetri
Pada percobaan ini, dilakukan penentuan kesadahan total (CaCO3) pada
sampel limbah dengan metode titrasi titrimetri yang menggunakan larutan
Na2EDTA 0,01 M sebagai larutan standar. Senyawa EDTA atau asam etilen
diamina tetraasetat yang terdapat pada larutan Na2EDTA merupakan salah satu
senyawa kompleks khelat dengan rumus molekul dari senyawa ini yaitu
(H2CCH2)2NCH2CH2N(CH2CO2H)2. EDTA digunakan dalam penentuan
kesadahan karena sifatnya yang dapat membentuk ion kompleks stabil dengan
Ca2+, Mg2+, dan ion divalen lain yang menyebabkan kesadahan seperti pada
persamaan berikut :
38
M2+ + EDTA [M . EDTA]compleks
Tahap pertama yang dilakukan dalam menentukan tingkat kesadahan
limbah rumah makan mie nyonyor yaitu dengan mempersiapkan larutan standar
Na2EDTA 0,01 M. Larutan standar Na2EDTA 0,01 M dibuat dengan melarutkan
1,86 gram padatan Na2EDTA yang berwarna putih dalam 500 mL aquades.
Larutan standar Na2EDTA 0,01 M yang terbentuk berupa larutan tidak berwarna.
Selanjutnya dilakukan penentuan kesadahan total pada sampel limbah
pencucian rumah makan Mie Nyonyor. Larutan sampel ditambahkan dengan
larutan NaOH hingga mencapai pH 10 selanjutnya ditambahkan dengan larutan
buffer yang berfungsi untuk mempertahankan pH agar larutan tersebut agar tetap
10. pH 10 merupakan pH yang dapat mengindikasikan bahwa adanya kombinasi
ion Ca2+ dan Mg2+ pada larutan dengan ditandai oleh perubahan warna menjadi
merah keunguan (warna wine). Selanjutnya, sampel yang telah berada dalam
kondisi basa kemudian ditambahkan indikator EBT (Eriochrome Black T atau
Calmagite). Fungsi EBT adalah untuk mereaksikan kation penyebab kesadahan
menjadi lebih kompleks dengan ditandai perubahan warna tersebut. Berikut reaksi
yang terjadi, M adalah kation bermuatan M2+ (dapat berupa Ca atau Mg).
M2+ + Eriochrome Black T (M. Eriochrome Black T)complex
Penggunaan indikator berguna untuk menunjukkan bahwa semua ion
sudah terhubung menjadi ion kompleks. Selanjutnya, larutan dititrasi dengan
Na2EDTA. Fungsinya untuk mengganggu warna yang dihasilkan oleh EBT
complex (red wine) karena EDTA mampu membentuk kondisi lebih stabil dengan
ion-ion penyebab kesadahan. Adanya senyawa Na2EDTA yang ditambahkan
sebagai titran, ion-ion kalsium dan magnesium akan membentuk senyawa
kompleks, molekul indikator terlepas kembali, dan pada titik akhir titrasi larutan
akan berubah warna dari merah keunguan menjadi biru-kehijauan seperti
ditunjukkan pada gambar 3.
39
Gambar 3. Larutan setelah proses titrasi
Perubahan warna ini menandakan bahwa jumlah molekul EDTA yang
ditambahkan sebagai titran, sama dengan jumlah ion kesadahan dalam sampel dan
molekul indikator terlepas dari ion kesadahan. Berdasarkan hasil pengamatan
yang diperoleh pada percobaan, rata-rata volume titran yang digunakan untuk
mentitrasi larutan sampel yaitu sebanyak 1,47 mL (Tabel 4.1).
294 mg/L
Tabel 10. Klasifikasi tingkat kesadahan
Tingkat Kesadahan Mg/CaCO3
Lunak (soft) 0-75
Sedang (Modearately hard) 75-150
Tinggi (hard) 150-300
Sangat tinggi (vary hard) >300
Sumber : Sawyer, 2003
4.1.6 Analisis uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) refluks terbuka
dengan refluks terbuka secara titrimetrik pada sampel Limbah Hasil
Pencucian RM. “Mie Nyonyor”
Pada percobaan ini, dilakukan penentuan kadar COD (Chemical Oxygen
Demand) pada sampel limbah cair domestik dengan cara refluks terbuka secara
titrimetri. Sampel limbah cair yang digunakan dalam percobaan ini adalah sampel
limbah cair sisa pencucian rumah makan “Mie Nyonyor” yang berwarna putih
keruh dan berminyak. Sebelum digunakan pada proses selanjutnya sampel limbah
cair tersebut di saring terlebih dahulu dengan kertas saring. Sampel limbah yang
telah disaring menggunakan kertas saring diperoleh larutan berwarna putih keruh.
Selanjutnya sampel limbah diambil sebanyak 10 mL dan diencerkan sebanyak 10x
pengenceran, terbentuk larutan sampel bening tidak berwarna.
40
Sampel limbah hasil pencucian rumah makan “Mie Nyonyor” yang telah
diencerkan diambil sebanyak 10 mL dan ditambahkan dengan 0,2 gram serbuk
HgSO4 terbentuk larutan tidak berwarna. Tujuan dari penambahan HgSO4 yaitu
untuk menghilangkan ion klorida yang biasanya terdapat di dalam air buangan
dengan cara mengikatnya membentuk kompleks HgCl. Hal ini dikarenakan ion
klorida merupakan bahan anorganik yang dapat mengganggu proses oksidasi.
Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
Hg+ + Cl- → HgCl
Sampel yang telah ditambahkan padatan HgSO4 selanjutnya ditambahkan
dengan 5 mL larutan K2Cr2O7 yang berwarna oranye. Tujuan dari penambahan
larutan K2Cr2O7 untuk mengoksidasi zat organik dalam sampel limbah. Selain itu
juga ditambahkan beberapa batu didih untuk meratakan pemanasan. Proses
selanjutnya ditambahkan sebanyak 15 mL larutan Asam Sulfat-Perak Sulfat
perlahan-lahan sambil didinginkan dalam penangas, terbentuk larutan yang
berwarna orange. Tujuan ditambahkan larutan asam sulfat-perak sulfat adalah
sebagai katalisator (memepercepat reaksi), karena akan menyebabkan suhu yang
tinggi pada larutan campuran ketika ditambahkan dalam larutan sehingga akan
mempercepat reaksi.
Kalium dikromat lebih efektif mengoksidasi bahan organik dalam sampel
pada suhu yang tinggi dan keadaan asam. Prosesnya yaitu sebagian besar jenis
bahan organik akan teroksidasi oleh campuran mendidih dari kromat dan asam
sulfat. Sampel direfluks dengan menggunakan larutan asam kuat hingga diperoleh
kelebihan dari kalium dikromat (K2Cr2O7). Setelah proses tersebut sisa dari
K2Cr2O7 yang tidak tereduksi akan dititrasi menggunakan FAS (Ferrous
Ammonium Sulfate) untuk menghitung jumlah dari K2Cr2O7 yang dikonsumsi,
yang setara dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-
bahan organik yang terlarut dalam sampel. Setelah larutan sampel direfluks
selama 1 jam, larutan yang terbentuk berubah warna dari orange menjadi kuning.
Sebelum dilakukan proses titrasi menggunkaan FAS, campuran yang telah
direfluks tersebut kemudian didinginkan dalam penangas air hingga suhunya tidak
terlalu tinggi. Masing-masing sebanyak 5 mL campuran dimasukkan tiga buah
labu erlenmeyer kemudian ditambahkan indikator feroin. Setelah ditambahkan
41
indikator feroin larutan tetap berwarna kuning. Fungsi dari larutan indikator ini
sebagai penentu terjadinya titik akhir titrasi, yaitu ketika warna larutan berubah
dari hijau kebiruan menjadi merah kecoklatan. Berdasarkan hasil pengamatan
larutan yang awalnya berwarna kuning setelah dititrasi larutan menjadi berwarna
merah-kecoklatan seperti ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Larutan berwarna kuning menjadi merah-kecoklatan setelah titrasi
Indikator Ini bekerja pada pH antara 4-7 sehingga cocok digunakan untuk
menganalisis kandungan KOK dalam sampel. Setelah ketiga labu erlenmeyer
dititrasi dengan larutan FAS, terjadi perubahan warna larutan yaitu dari kuning
menjadi merah-kecoklatan. Berdasarkan hasil pengamatan volume FAS yang
digunakan untuk mentitrasi adalah 1,53 mL.
Pada percobaan ini juga dilakukan pengujian pada larutan blanko dengan
cara yang sama seperti yang dilakukan pada larutan sampel limbah. Sebanyak 10
mL aquades ditambahkan dengan serbuk HgSO4, terbentuk larutan tidak
berwarna. Kemudian ditambahkan dengan larutan K2Cr2O7 dan larutan Asam
Sulfat-Perak Sulfat perlahan-lahan sambil didinginkan dalam penangas, terbentuk
larutan yang berwarna orange. Larutan blanko hasil refluks yang telah dingin
kemudian dimasukkan ke dalam 3 buah labu erlenmeyer masing-masing sebanyak
5 mL, kemudian ditambahkan dengan 1 tetes indikator feroin, terbentuk larutan
yang tetap berwarna kuning. Pada larutan blanko juga dilakukan titrasi
menggunakan FAS. Volume rata-rata FAS yang digunakan dalam mentitrasi
sebanyak 1,83mL. Hasil yang diperoleh pada percobaan mebuktikan teori bahwa
kadar COD meningkat akibat adanya aktivitas oksidasi di dalam perairan. Artinya
semakin lama waktu praktikum maka jumlah oksigen yang di dalam larutan
42
tersebut akan semakin berkurang. Angka untuk larutan blanko yang selalu lebih
besar membuktikan bahwa kadar organik atau pencemar dalam air suling bernilai
kecil atau sedikit.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh pada percobaan maka dapat
diperoleh kandungan KOK pada limbah cair sisa pencucian rumah makan “Mie
Nyonyor” adalah sebagai berikut:
KOK = 48 mg/L
Kandungan COD dari larutan sampel adalah 48 mg/L, namun konsentrasi
tersebut merupakan hasil pengeneran 10 kali sehingga konsentrasi sampel awal
dapat ditentukan sebagai berikut:
M1. V1 = M2. V2
48 mg/mL. 100 mL = M2. 10 mL
M2 = 480 mg/mL
Jadi, kandungan COD dari larutan sampel air limbah cucian rumah makan
“Mie Nyonyor” yang digunakan dalam percobaan ini adalah 480 mg/L.
Berdasarkan literatur, karakteristik limbah domestik memiliki kadar klor
rata-rata 30-100 mg/L. Hal ini menunjukkan kadar klor yang terdapat pada limbah
pencucian rumah makan Mie nyonyor tergolong rendah. Selain penentuan kadar
klor, percobaan ini menunjukkan bahwa kadar sulfat dalam sampel limbah
pencucian rumah makan Mie Nyonyor yang diambil masih berada dibawah
ambang batas menurut Permenkes No.416/MENKES/PER/IX/1990, yaitu 400
ppm untuk kualitas air bersih. Dalam hal ini sampel yang diuji mengandung
sulfat sebanyak 0,117 mg/L. Hal ini menandakan sampel limbah cair cucian Mie
Nyonyor masih dapat diterima oleh lingkungan karena konsentrasinya masih
rendah dan daya dukung lingkungan masih sanggup untuk menetralkannya.
Kesadahan air limbah secara teoritis diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kesadahan air yang memiliki rentang nilai 150-300 mg/CaCO3 dapat dikategorikan
43
memiliki tingkat kesadahan yang tinggi (Hard), sedangkan berdasarkan data hasil
pengamatan dan perhitungan diperoleh tingkat kesadahan sampel limbah memiliki
nilai sebesar 294 mg/L, oleh karena itu nilai kesadahan pada sampel limbah rumah
makan mie Nyonyor dapat dikatakan memiliki tingkat kesadahan yang tinggi
(Hard) karena berkisar pada harga 150-300mg/CaCO3. Menurut Peraturan Mentri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah cair bagi kegiatan industri kandungan COD pada air limbah golongan
I adalah 100 mg/L dan golongan II adalah 300 mg/L. Berdasarkan hasil percobaan
kandungan COD pada limbah cair sisa pencucian rumah makan “Mie Nyonyor”
adalah 480 mg/L sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan COD pada sampel
limbah tersebut dapat dikatagorikan diatas rata-rata yang diperbolehkan oleh baku
mutu.
4.2 ANALISIS TANAH INDUSTRI TAHU-TEMPE
Pada percobaan ini dilakukan analisis sampel tanah industri tahu-tempe
untuk mengetahui kadar bahan organik, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan pH
pada sampel tanah.
Penentuan Kadar Bahan Organik Dalam percobaan ini dilakukan analisis kadar bahan organik pada sampel
tanah industri tahu-tempe dengan metode Walkley dan Black (metode oksidasi
asam kromat). Prinsip kerja dari metode Walkley dan Black yaitu karbon yang
terdapat sebagai bahan organik di dalam sampel tanah tereduksi dengan larutan
kalium dikromat sampel tanah (K2Cr2O7) 0,5 N dalam suasana asam, dalam hal ini
dilakukan penambahan asam sulfat pekat (H2SO4) untuk mengkondisikan agar
larutan berada pada suasana asam. Selanjutnya dikromat yang telah bereaksi di
titrasi dengan ferro sulfat (FeSO4) menggunakan fenantrolin sebagai indikator.
Reaksi yang terjadi dengan metode Walkley dan Black yaitu sebagai berikut.
C(organik) + 2K2Cr2O7 + 8H2SO4 2Cr2(SO4)3 + 2K2SO4 + 8H2O + CO2
C(organik) akan mereduksi Cr6+ yang terdapat pada kalium dikromat
menjadi Cr3+. Besarnya C yang hilang karena teroksidasi merupakan kadar C-
organik dalam tanah. Berdasarkan analisis perhitungan diatas, diperoleh
44
kandungan C-organik pada sampel tanah industri tahu-tempe sebesar 1,05 %.
Hasil perhitungan dari %C pada sampel tanah industri tahu-tempe kemudian
dicocokan dengan standar sifat kimia tanah Hardjowigeno (2003) yang disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 11. Tingkat nilai sifat kimia tanah
Sifat kimia SangatRendah Rendah Sedang Tinggi Sangat
tinggiC-organik(%) <1 1-2 2,01-3 3,01-5 >5N-total (%) < 0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75C/N < 5 5-10 11-15 16-25 >25P2O5 HCL (me/100g) <10 10-20 21-40 41-60 >60
P2O5 Bray 1 (ppm) <10 10-20 21-40 41-60 >60
K2O HCL 25% (me/100g) <10 10-20 21-40 41-60 >60
KTK (me/100 g) <5 5-16 17-24 25-40 >40K (me/100g) <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0Na (me/100g) <0,1 0,1-0,3 0,44-0,7 0,8-1,0 >1,0Mg (me/100g) <0,4 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 >8,0Ca (me/100g) <2 2-5 6-10 11-20 >20KB (%) <20 20-35 36-50 51-70 >70Kejenuhan Al <10 10-20 21-30 31-60 >60Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2003)
Berdasarkan uraian tingkat nilai sifat kimia tanah diatas, maka
%C(organik) pada sampel tanah industri tahu-tempe tergolong rendah. Namun
selanjutnya %C(organik) yang telah diperoleh tersebut dikalikan faktor Vam
Bemmelen dan dikalikan dengan faktor pengenceran (5x) sehingga diperoleh %Bo
atau kandungan bahan organik pada tanah, maka kandungan bahan organik pada
tanah industri tahu-tempe sebesar 9,077 %. Kandungan bahan organik pada
sampel tanah tergolong tinggi hal tersebut didukung dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Putra, Abdul Mufti (2014) bahwa kandungan bahan organik pada
tanah subur (lapisan atas) > 5 % dan kurang subur apabila kandungan bahan
organik < 5 %.
Kapasitas Tukar KationPada praktikum ini dilakukan pengukuran terhadap Kapasitas Tukar
Kation (KTK) pada sampel tanah. Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca+
45
+, Mg+, K+, Na+, H+, Al3+ dan sebagainya. Di dalam tanah kation-kation tersebut
terlarut dalam air tanah atau diserap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation
(dalam miliekuivalen) yang dapat diserap oleh tanah persatuan berat tanah
(biasanya per 100 gram) dinamakan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Kation-
kation yang telah diserap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air
gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat di dalam larutan
tanah.
Prinsip kerjanya yaitu jumlah unsur hara yang terserap dalam sampel tanah
akan ditukarkan dengan garam ammonium (NH4+), kemudian jumlah NH4 yang
terjerap ini ditentukan kembali melalui penyulingan, jumlah NH4 yang disuling
akan sama banyak dengan jumlah unsur hara yang ditukar oleh koloid pada
sampel tanah. Kation yang terjerap dapat ditukar oleh kation lainnya, dan proses
ini dinamakan sebagai pertukaran kation. Reaksi pertukaran ini berlangsung
secara instant, yaitu :
Ca – Tanah + 2NH4+ (NH4)2 - Tanah + Ca2+
Tahap pertama yang dilakukan dalam penetapan KTK pada sampel tanah
yaitu tahap ekstraksi yang menggunakan prinsip pencucian unsur-unsur basa oleh
suatu garam amonium asetat (CH3COO-NH4 atau NH4O Ac) 1 N pH 7,0 yang
akan mengekstrak semua kation-kation pada sampel tanah. Dalam hal ini
digunakan ion ammonium karena ion NH4+ merupakan salah satu ion yang
bervalensi satu yang akan ditarik oleh koloid liat kurang kuat sehingga lebih
mudah untuk dilakukannya proses pertukaran kation, selain itu ion amonium
mempunyai daya penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ion bervalensi
dua seperti halnya ion Ba2+.
Dalam hal ini, setiap kation mempunyai daya yang berbeda untuk dapat
dijerap dan dipertukarkan. Jumlah yang dijerap biasanya tidak setara dengan
jumlah yang dipertukarkan. Ion bervalensi dua biasanya lebih kuat dipegang
daripada ion bervalensi satu oleh koloid tanah, dengan demikian akan lebih sukar
untuk dipertukarkan. Itulah sebabnya jika ion Ba2+ yang digunakan sebagai kation
penukar, pertukaran tidak terjadi dalam jumlah yang setara. Barium dijerap kuat
sekali oleh liat, tetapi mempunyai daya penetrasi yang rendah. Oleh karena itu
jumlah pertukaran yang diperoleh lebih rendah dari jumlah barium yang dijerap.
46
Pada tahap ini dilakukan sebanyak 4x pengulangan dan dishaker masing-
masing selama 1 jam, hal ini mengakibatkan terbentuk campuran yang berwarna
coklat. Tujuan dilakukannya pengocokan selama 1 jam berturut-turut sebanyak 4
kali adalah untuk mengoptimalkan terjadinya pertukaran kation-kation pada
sampel tanah oleh adanya ion ammonium.
Selanjutnya setelah ekstraksi pertama pada sampel tanah jenuh oleh ion
NH4+, maka akan dilakukan proses reduksi menggunakan etanol untuk
menghilangkan /membersihkan ion amonium yang berlebih pada larutan tanah.
Tahap ini dilakukan sebanyak 4x pengulangan dan dikocok masing-masing
selama 10 menit. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan proses pembersihan ion
ammonium yang berlebih pada sampel sehingga tidak mengganggu penelitian
selanjutnya.
Tahap selanjutnya dilakukan proses destilasi dengan menggunakan larutan
NaOH 40% untuk mengubah NH4+ menjadi NH3 yang diikuti pemanasan dan
kondendasi gas NH3 pada campuran tanah. Proses destilasi yang dilakukan
menggunakan labu kjeldahl yang ditempatkan pada kondensor air dan dipanaskan
untuk menguapkan gas NH3 dari larutan. Ujung kondensor dihubungkan dengan
labu yang telah berisi larutan H2SO4 0,1 N untuk menangkap NH3 yang terbentuk.
Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
NH3(l) + H2SO4(aq) (NH4)2SO4(aq) + H2SO4(aq)
Setelah destilat yang diperoleh cukup, selanjutnya dilakukan proses titrasi
untuk mengindikasikan keberadaan amonia dalam air destilat dengan menujukkan
perubahan warna dan memungkinkan dilakukannya perhitungan konsentrasi.
Kelebihan larutan asam akan dinetralkan dengan larutan basa yang telah
distandarisasi, dalam hal ini digunakan larutan NaOH 0,1 N sebagai titran dan
larutan fenolptalien sebagai indikator tercapainya titik akhir titrasi. Berdasarkan
hasil pengamatan terjadi perubahan warna menjadi merah muda ketika titrasi telah
mencapai titik akhir, yang mana masing-masing volume NaOH 01 N yang
digunakan telah tertera pada Tabel 3.3. Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
(NH4)2SO4(aq) + H2SO4(aq) + 2NaOH(aq) (Na)2SO4(aq) + (NH4)2SO4(aq) + H2O(l)
Tahap selanjutnya yang dilakukan ada menentukan nilai kapasitas tukar
kation pada sampel tanah. Berdasarkan analisis data nilai tukar kation yang
47
diperoleh pada sampel tanah industri tahu-tempe yaitu sebesar 30 me/100 g.
Secara teoritis KTK tanah tergolong tinggi dalam rentangan 25-40 me/100g,
sehingga berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh KTK sampel tanah industri
tahu-tempe tergolong katagori tinggi.
Penentuan pH
Pada percobaan ini juga dilakukan penentuan pH tanah sampel yang
diperoleh dari industri tahu-tempe. Sampel tanah yang digunakan dicampur
dengan aquades dan dikocok selama 20 menit. Tujuan dari pengocokkan ini
adalah untuk memaksimalkan proses pencampuran hingga menjadi lebih
sempurna. Setelah proses pengocokkan dilakukan pengukuran pH tanah
menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi sebelumnya menggunakan buffer
pH 4.
pH adalah tingkat keasaman atau kebasaan suatu benda yang diukur
dengan menggunakan skala pH antara 0 hingga 14. pH tanah sangat penting
karena tanah mengandung unsur hara seperti Nitrogen (N), Potassium/kalium (K),
dan Pospor (P) yang mana tanaman membutuhkan dalam jumlah tertentu untuk
tumbuh, berkembang, dan bertahan terhadap penyakit. Pada tanah asam, tanaman
mempunyai kemungkinan yang besar untuk teracuni logam berat yang pada
akhirnya dapat mati karena keracunan tersebut. Tanah dapat bersifat asam
dikarenakan kation kalsium, magnesium, kalium dan natrium. Tanah asam juga
dapat dikarenakan banyaknya kandungan Fe dan Al di tanah yang dapat
menyebabkan tanaman mempunyai kemungkinan yang besar untuk teracuni
logam berat, semisal Al dan Fe. pH tanah rendah memungkinkan terjadinya
hambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang bermanfaat bagi proses
mineralisasi unsur hara seperti N dan P dan mikroorganisme yang berpengaruh
pada pertumbuhan tanaman.
Menurut Buckman dan Brady (1982) keasaman tanah berkaitan dengan
ketersediaan hara esensial bagi tanaman, pada kisaran pH 6-7 ion-ion hara
sebagian besar tersedia bagi tanaman. Sehingga akar tanaman dapat mudah
menyerap ion-ion tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa pH
48
sampel tanah sebesar 6,9. Jadi dapat dikatakan bahwa sampel tanah industri tahu-
tempe dapat dikatagorikan tanah yang subur.
49
BAB V
PENUTUP
5.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan yaitu sebagai berikut.
1. Penentukan konsentrasi kandungan bahan organik pada limbah pencucian
rumah makan mie Nyonyor dapat dilakukan dengan titrasi permanganometri
serta diperoleh konsentrasi limbah pencucian rumah makan mie Nyonyor
sebesar 0,05 N.
2. Penentuan konsentrasi dan kadar klor pada limbah pencucian rumah makan
Mie Nyonyor dapat dilakukan dengan metode argentometri serta diperoleh
konsentrasi dan kadar masing-masing sebesar 0,011 N dan 0,03 mg/L.
3. Penentuan kadar sulfat air limbah cucian rumah makan Mie Nyonyor dapat
dilakukan secara turbidimetri dan diperoleh kadar sulfat sebesar 0,117 mg/L.
4. Penentuan kesadahan total dari larutan sampel limbah pencucian rumah
makan “Mie Nyonyor” adalah 294 mg/L.
5. Penentuan kandungan KOK/COD dalam sampel limbah cair sisa pencucian
rumah makan “Mie Nyonyor” adalah 480 mg/L.
6. Kandungan bahan organik (%Bo) pada sampel tanah industri tahu-tempe
tergolong tinggi yaitu 9,077%.
7. Kapasitas tukar kation (KTK) pada sampel tanah industry tahu-tempe yaitu
30 me/100 g.
8. pH sampel tanah industri tahu-tempe tergolong asam dengan pH sebesar
6,90.
50
DAFTAR PUSTAKA
Aleart, G dan Santika Sri Sumestri. 1984. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha
nasional.
Al-Jabri, M. 2008. Kajian penetapan kapasitas tukar kation zeolit sebagai
pembenah tanah untuk lahan pertanian terdegradasi. Jurnal
Standardisasi 10 : 56-59
Apriatni, M. 2008. Analisis kandungan Boron, Seng, Mangan dan Sulfat dalam
air sungai Mesjid sebagai air baku PDAM Dumai. Pekanbaru: FMIPA-
UR
Aragno, M dan J. Michel. 2005. The Living Soil. Science Publishers. Inc, New
Jersey.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Air dan air limbah – bagian 15 Cara uji
kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) refluks terbuka dengan reflus terbuka
secara titrimetri. SNI 06-6989.15-2004.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Air dan air limbah – bagian 22: Cara uji
nilai permanganate secara titrimetri. SNI 06-6989.22-2004.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Analisis Tingkat Kesadahan Total (Caco3) Sampel Limbah Hasil Pencucian Rumah Makan Mie Nyonyor Dengan Metode Titrasi Titrimetri. SNI 06-6989.15-2004.
Balasubramian, V. 2005.Bahan Organik Tanah.www.lemlit.unud.ac.id, diakses
pada tanggal 20 Mei 2015.
Bintoro. 2007. Penentuan Kesadahan Sementara dan Kesadahan Permanen.
Terdapat pada http://aabin.blogsome.com, diakses pada tanggal 21 April
2015
Brady, J.E., 1994. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta: Erlangga
Buckman, H.O. dan N. C. Brady. 1982. Ilmu tanah (terjemahan Soegiman).
Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal
Day, R.A. & RA. Underwood. 1992. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga
De Santo, R.S. 1978. Concepts of applied ecology. Heidelberg Science Library.
Springer-Verlag, New York. 320 p.
51
Fadhilah. 2010. Pengertian tanah bertalian. Tersedia pada
http://repository.usu.ac.id /bitstream/123456789/20172/3/Chapter
%20II.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
Giwangkara, S. 2006. Air Sadah. Terdapat pada http://www.chem-is-try.org
diakses tanggal pada tanggal 21 April 2015
Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin
Diha, Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Universitas Lampung, Lampung
Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo: Jakarta.
Hunt. 1984. General Chemistry. London: Oxford University Press.
Indranada K. Henry. 1994. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bumi Aksara.
Jakarta.
Keenan, C.W., & Donald, C.F., 1984, Ilmu Kimia untuk Universitas, edisi
keenam. Jakarta: Erlangga
Lengkong, J.E., dan Kawulusan R.I. 2008. Pengelolaan Bahan Organik Untuk
Memelihara Kesuburan Tanah. Soil Environment, Vol. 6, No. 2, Hal :
91-97.
Madjid, A. 2007. Kapasitas Tukar Kation. http://dasarilmutanah.blogspot.com.
Diakses tanggal 20 Mei 2015.
Metcalf & Eddy. 1991. Waste Water Engineering Treatment Reuse. New Delhi:
McGraw-HillBook Company
Muderawan, I Wayan. 2009. Analisis Instrumen. Singaraja: Undiksha Press
Muklis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press,
Medan.
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Tangerang: Agro Media
Pustaka.
Pairunan, Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus
Tangkaisari, J. R. Lalopua, Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1999.
Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri
Indonesia Timur, Makassar
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
52
Prastika, A., Mitria, Wina. 2012. Sulfat (Metode Spektofotometer). Modul 7.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Putra, Abdul Mufti. 2014. Pengambilan Contoh Tanah, Morfologi Tanah, Kadar
Lengas Tanah, Kadar Bahan Organik Tanah, Kadar Kapur
Ekivalen/Setara Tanah, Tekstur Tanah, Struktur Tanah, Konsistensi
Dengan Angka-Angka Atterberg Tanah. Yogyakarta: Universitas Mercu
Buana Yogyakarta.
Rompas, R.M. 1998. Kimia Lingkungan I. Bandung: Tarsito
Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta
Sawyer, Clair N. 2003. Chemistry for environmental engineering and science. 5th
ed. McGraw-Hill.
Selamat, I Nyoman dan I Gusti Lanang Wiratama. 2004. Penuntun Praktikum
Kimia Analitik. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.
Soares, M. R., R. F. A. Luis, P. V. Torrado, M. Cooper. 2005. Mineralogy ion
exchange properties of the partide size fractions of some brazilian soils
in tropical humid areas. Goderma 125: 355-367.
Standar Nasional Indonesia No. 06-6-6989.19-2004. Bagian 19: Cara uji klorida
(Cl-) dengan metode argentometri (mohr) Medan: Badan Stantartlisasi
Nasional.
Standar Nasional Indonesia No. 06-6-6989.19-2004. Bagian 20: Cara uji sulfat,
SO42- secara turbidimetri. Medan: Badan Stantartlisasi Nasional.
Sudjadi, 1998, Metode Pemisahan Air, Kanisius,Yogyakarta
Sumestri, S.S dan Alaerts, G, 1984, Metode Penelitian Air, Usaha Nasional,
Surabaya
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Syabatini,Annisa.(2009).Permanganometri.Tersedia:http://annisanfushie.wordpress.com/2009/04/22/permanganometri/ diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Titis, U A. 2009. Analisis Kadar Klorida Pada Air dan Air Limbah dengan
metode Argentometri. Diakses dari http://repositori.usu.ac.id/
bitstream/123456789/ 13905/1/1/09E02375 pada tanggal 6 April 2015.
Underwood A. L, JR. R. A. DAY. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
53
Vogel. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro Dan Semimakro Edisi Kelima.
Jakarta: PT. Kalman Media Pustaka.
Widyaningsih, Vini. 2011. Pengolahan Limbah Cair Yongma FISIP UI, Skirpsi
Program S1, Universitas Indonesia.
Winarso. 2005. Pengertian dan Sifak Kimia Tanah..Yogyakarta:Gadjah Mada.
Universiti Press.
54