problematika implementasi uu pengelolaan zakat terkait optimalisasi pengumpulan zakat
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Zakat merupakan perintah agama yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang
mampu dalam melaksanakannya, ketika harta kekayaan obyek zakat yag dimilikinya sudah
mencapai nishab dan haul. Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen
pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di lembaga-lembaga pengumpul
zakat karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang dikeluarkan dari harta masih
terbatas pada sumber-sumber konvensional yang secara jelas dinyatakan dalam al-
Qur’an dan al-Hadhith dengan persyaratan tertentu.1 Selain mengetahui tentang al-amwal al-
zakawiyah , penting juga diketahui tentang pendistribusian zakat setelah terkumpul kepada
orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan dalam al-
Qur’an surat al-Taubah : 60.
Pengaturan mengenai zakat dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan hadis, kemudian
secara teknis diatur lebih lanjut dalam kaidah-kaidah fikih. Selain itu juga pengaturan
mengenai pengelolaan zakat ini telah diatur oleh hukum positif Indonesia pada UU No. 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. UU pengelolaan zakat ini juga mendapat kritik keras
dari banyak LAZ dan sebagian masyarakat. Kritik tersebut ditujukan kepada tiga masalah
krusial yang ada di dalamnya, yaitu :2
1. Syarat izin pendirian LAZ adalah harus didirikan oleh organisasi kemasyarakatan
Islam. Padahal pada kenyataannya saat ini banyak LAZ yang telah berdiri dan
beroperasi namun tidak didirikan oleh ormas Islam.
2. Tidak diatur dan dijelaskannya kedudukan dan posisi LAZ daerah, baik LAZ propinsi
maupun LAZ kabupaten/kota.
1 Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta : Gema Insani Press, 2002)2 http://shareeducation.wordpress.com/2012/10/25/perbedaan-uu-zakat-yang-lama-dengan-yang-baru/
3. Tidak diperkenankannya kelompok masyarakat atau organisasi untuk mengelola
zakat, apabila kelompok masyarakat atau organisasi tersebut tidak memiliki izin
sebagai LAZ.
Kritik-kritik ini juga menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap lembaga
amil zakat dalam melakukan pengumpulan zakat dan pengelolaan zakat. Oleh karena itu,
penulis akan membahas mengenai bagaimna Undang-undang tentang pengelolaan zakat ini
mengatur mengenai pengumpulan zakat oleh lembaga amil zakat dan mengatasi
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat tersebut.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mengatur
mengenai pengumpulan zakat?
2. Bagaimana UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mengatur
mengenai Lembaga Amil Zakat sehingga menyebabkan ketidakpercayaan dari
masyarakat terhadap Lembaga Amil Zakat dalam melakukan pengumpulan
zakat?
3. Bagaimana cara pemerintah dalam mengatasi ketidakpercayaan masyarakat
terhadap Lembaga Amil Zakat dalam hal melakukan pengumpulan zakat?
III. TUJUAN PEMBELAJARAN
Untuk mengetahui pengaturan pengumpulan zakat dari UU No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.
Untuk mengetahui alasan munculnya ketidakpercayaan dari masyarakat
terhadap Lembaga Amil Zakat.
Untuk mengetahui cara pemerintah dalam mengatasi ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Lembaga Amil Zakat.
IV. PEMBAHASAN
Landasan Teori
Hakikat Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, menurut lisan orang arab, kata zakat merupakan kata dasar
(masdar) dari zakat yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji, yang semua arti ini
digunakan di dalam menerjemahkan Al-Qur’an dan hadits. Menurut terminologi syariat
(istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu
yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak
menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Sedangkan dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari
golongan kaya kepada golongan tidak punya. Zakat merupakan perintah agama yang wajib
dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu dalam melaksanakannya. Seperti yang terdapat
pada QS. 2 Al Baqarah : 43 berikut ini.
[Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.]
Zakat adalah ibadah “maaliyah ijtimaiyah” yang memiliki posisi dan peranan yang penting
dan strategis, dari sudut keagamaan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pemungutan dan penyaluran zakat kepada mustahik yang berhak menerimanya sejak dari
masa Nabi Muhammad SAW, yang dilanjutkan dengan masa sahabat dan seterusnya, harus
dilakukan melalui amil yang amanah (QS At Taubah ayat 60 dan 103).
Tujuan Zakat
Zakat memiliki tujuan menurut Sartika (2008 : 80) antara lain :
1. Mengangkat derajat fakir – miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta
penderitaan.
2. Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para mustahiq.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat muslim dan manusia pada
umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir pemilik harta.
5. Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.
6. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu
masyarakat.
7. Mengembangkan rasa tanggungjawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka
yang mempunyai harta.
8. Mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain
yang ada padanya.
Fungsi Organisasi Pengelolaan Zakat
Menurut Ridwan (2005) Organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan posisinya
secara umum mempunyai dua fungsi yakni :
1. Sebagai perantara keuangan
Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan Mustahiq. Sebagai
perantara keuangan, amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan). Sebagai
layaknya lembaga keuangan yang lain, azas kepercayaan menjadi syarat mutlak yang
harus dibangun. Setiap amil dituntut mampu menunjukkan keunggulan masing –
masing sampai terlihat jelas positioning organisasi, sehingga masyarakat dapat
memilihnya. Tanpa adanya positioning, maka kedudukan akan sulit berkembang.
2. Pemberdayaan
Fungsi ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan amil, yakni
sebagaimana muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya
menjadi terjamin di satu sisi masyarakat Mustahiq tidak selamanya tergantung dengan
pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi Muzakki
baru.
Pengaturan Mengenai Pengumpulan Zakat dalam UU No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat
Allah SWT berfirman dalam Q.S At-Taubah Ayat 103:
“Ambillah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan Zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
Dalam firman Allah ini telah memerintahkan kepada kita semua mahluk-Nya untuk
memungut/mengambil Zakat dari sebagian harta para muzakki untuk diberikan kepada
mustahik Zakat. Zakat ini dipergunakan selain untuk dimensi ibadah yaitu sebagai salah satu
rukun Islam juga sebagai dimensi sosial yaitu untuk memperkecil jurang pemisah antara si
kaya dan si miskin, mengembangkan solidaritas sosial, menghilangkan sikap materialisme
dan individualisme.
Dalam hal pengumpulan Zakat ini pemerintah telah membuat aturan atau tata cara
Pengelolaan Zakat yang dimuat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2011 yang
menyempurnakan Undang-undang mengenai Zakat sebelumnya yaitu Undang-undang No. 38
Tahun 1999. Undang-undang No.38 Tahun 1999 masih berlaku selagi tidak bertentangan
dengan Undang-undang No.23 Tahun 2011.
Salah satu gagasan besar penataan pengelolaan zakat yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan menjiwai keseluruhan pasalnya adalah pengelolaan yang
terintegrasi. Kata “terintegrasi” menjadi asas yang melandasi kegiatan pengelolaan zakat di
negara kita, baik dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di semua tingkatan
maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mendapat legalitas sesuai ketentuan perundang-
undangan.
Integrasi dalam pengertian undang-undang berbeda dengan sentralisasi. Menurut
ketentuan undang-undang, zakat yang terkumpul disalurkan berdasarkan prinsip pemerataan,
keadilan, dan kewilayahan. Melalui integrasi pengelolaan zakat, dipastikan potensi dan
realisasi pengunpulan zakat dari seluruh daerah serta manfaat zakat untuk pengentasan
kemiskinan akan lebih terukur berdasarkan data dan terpantau dari sisi kinerja lembaga
pengelolanya. Secara keseluruhan pasal-pasal dalam Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah yang sedang disiapkan, memberi ruang dan jaminan bagi terwujudnya
pengelolaan zakat yang amanah, profesional, transparan, akuntabel dan partisipatif.3
Dalam hal pengaturan mengenai pengumpulan zakat, ini terkait dengan BAZNAS yang
merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Yang dalam pasal 7 UU ini, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Dalam melaksakan upaya untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ
3 http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/integrasi-pengelolaan-zakat-dalam-uu-no-23-tahun-2011/
(pasal 17). Dijelaskan pula pada pasal 19 bahwa LAZ wajib melaporkan pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS
secara berkala. Ketentuan mengenai pengumpulan zakat ini dapat ditemukan dalam BAB III
Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan, dan Pelaporan UU No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, pada bagian kesatu, yaitu pada Pasal 21, 22, 23 dan 24.
Pengaturan Mengenai Lembaga Amil Zakat dalam UU No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat yang menyebabkan adanya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Lembaga Amil Zakat
Seperti yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya mengenai BAZNAS,
pengaturan mengenai pengelolaan zakat dalam UU ini sebetulnya kewenangan luas yang
yang diberikan pemerintah ke Baznas dalam UU tersebut bertujuan agar pengelolaan zakat
lebih teroptimalisasi dan terintegrasi. Dana terkumpul pun lebih besar dari pada yang
dihimpun oleh LAZ. Inilah yang kemudian membutuhkan konsentrasi penuh untuk
merumuskan aturan Baznas agar tidak terjebak dalam konstelasi politik dalam pembuatan PP
dan Keputusan Menteri Agama.
Dalam undang-undang sebelumnya antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ) dalam relasi sejajar, bahkan dalam situasi tertentu cenderung pada posisi
saling berhadap-hadapan (vis a vis). Sehingga memuncul dikhotomi antara dua lembaga
tersebut. BAZ seolah-olah milik pemerintah, sedang LAZ punya masyarakat. Keadaan
semacam itu dinilai kurang kondusif sehingga potensi yang begitu besar terabaikan sehingga
pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki arah, dimana saja wilayah mustahik yang
lebih krusial.4
Kembali lagi sesuai dengan pembahasan selanjutnya mengenai ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Lembaga Amil Zakat dalam melakukan pengumpulan zakat, akan lebih
4 Legislasi Undang-Undang Zakat, Puji Kurniawan, Al-Risalah-Volume 13 Nomor 1 Mei 2013
baik kita mengetahui bagaimana UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mengatur
dan menjelaskan mengenai Lembaga Amil Zakat yaitu pada Pasal 17 bahwa Lembaga Amil
Zakat ialah untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Dan ketentuan mengenai
Lembaga Amil Zakat pada Pasal 18, yaitu sebagai berikut :
1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri.
2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan
kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Dari dasar itulah maka ada pikiran dari masyarakat bahwa adanya pasal-pasal dalam
UU ini juga memberikan batasan ruang gerak dan aturan yang sempit bagi perkembangan
LAZ.5
Kritik tersebut ditujukan kepada tiga masalah krusial yang ada di dalamnya, yaitu:6
5 Seminar Nasional bertajuk Masa Depat Zakat Sumatera Barat; Kritikan terhadap Undang-Undang No.23 Th. 2011 tentang Zakat di Aula Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang hari ini, Rabu (30/5)6 Legislasi Undang-Undang Zakat, Puji Kurniawan, Al-Risalah-Volume 13 Nomor 1 Mei 2013
a. Syarat izin pendirian LAZ adalah harus didirikan oleh organisasi kemasyarakatan
Islam. Padahal pada kenyataannya saat ini banyak LAZ yang telah berdiri dan
beroperasi namun tidak didirikan oleh ormas Islam.
b. Tidak diatur dan dijelaskannya kedudukan dan posisi LAZ daerah, baik LAZ propinsi
maupun LAZ kabupaten/kota.
c. Tidak diperkenankannya kelompok masyarakat atau organisasi untuk mengelola
zakat, apabila kelompok masyarakat atau organisasi tersebut tidak memiliki izin
sebagai LAZ.
Sehingga timbul banyak pertanyaan seperti bagaimana pengelolaan zakat yang dikelola
oleh masjid, pondok pesantren, yayasan panti asuhan dan lain-lain? Karena apabila
mengelola zakat tanpa ijin dari pemerintah yang berwenang maka sangsi yang diberikan
cukup berat yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).7
Pembatasan peran lembaga amil zakat yang tadinya di beri kebebasan, dengan adanya
undang-undang yang baru lembaga amil zakat hanya berperan sebagai pembantu Baznas. Hal
ini menyebabkan masyarakat kemudian berpikir ulang untung menggunakan jasa Lembaga
Amil Zakat sebagai pengelola zakat yang telah diberikan. Karena tentunya masyarakat
menginginkan suatu lembaga yang amanah dapat dipercaya sehingga dalam pengelolaan
zakat (baik itu pengumpulan dan pendistribusian zakat) dapat dilakukan sesuai dengan yang
seharusnya.
Karena perlu kita ketahui pula peran Lembaga Amal Zakat selama ini di Indonesia
cukuplah penting, karena mereka mampu membantu dalam melaksanakan pengelolaan zakat
sampai ke pelosok desa, dimana tentunya BAZNAS yang seharusnya bisa sampai ke tahap itu
kurang menjangkau dengan baik wilayah-wilayah tersebut. selain berdasarkan faktor wilayah,
7 http://dompetdhuafasinggalang.org/2012/05/25/masa-depan-zakat-sumatera-barat-uu-no-23-tahun-2011-tentang-pengelolaan-zakat/
melainkan juga faktor kedekatan secara langsung antara pengelola zakat dan pemberi zakat,
hal ini mempunyai kelebihan yang positif terhadap kedua belah pihak, utamanya bagi
masyarakat yang memberi zakat ialah mereka dapat memantau langsung bagaimana
pendistribusian zakat yang dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat karena tidak harus tertutup
dinding pemerintahan atau birokrasi dalam memantau kegiatan tersebut. dan bagi pengelola
zakat (Lembaga Amil Zakat), karena mereka lebih dekat dengan pemberi zakat secara
langsung, dapat membantu mensosialisasikan zakat lebih ke masyarakat, menjelaskan secara
rinci apa itu zakat, manfaat dan pentingnya melakukan zakat bagi orang Islam.
Atas ketidakpercayaan ini pula, dapat memberikan dampak bagi masyarakat dalam hal:
- Pemerataan distribusi masyarakat bisa merata, antara daerah yang minus zakat dan
daerah yang surplus dana zakat
- Zakat konsumtif yang biasanya dikelola oleh LAZ yang tradisional bisa berkurang
- Pemberdayaan masyarakat melalui zakat yang produktif dan terpusat
- Masyarakat yang biasa mengumpulkan dana zakat secara tradisional menjadi
terkerdilkan dan dapat diancam dengan 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) bila tanpa izin pejabat yang berwenang.
- Dimungkinkan kurang terhimpunnya dengan baik dana zakat, karena terbatas LAZ
yang memiliki status non ormas Islam
Dampak-dampak tersebut harus dapat diatasi dengan baik oleh pemerintah dengan
pemberian kejelasan, pengaturan pelaksana yang dapat mengatur Lembaga Amil Zakat
sehingga dampak ini tidak meluas dan memperburuk citra Lembaga Amil Zakat yang pada
awalnya dibentuk untuk melakukan sesuatu perbuatan yang positif dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Cara pemerintah dalam mengatasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap Lembaga
Amil Zakat dalam hal melakukan pengumpulan zakat
Berbicara mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah tentang pelaksanaan zakat
ada baiknya kita menengok kepada sejarah pelaksaan zakat di masa Rasul. Ketika Rasul
mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadli di Yaman, Rasul memberikan wejangan
kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli kitab beberapa hal termasuk supaya
menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan :
فقرائهم فى فترد اغنيائهم من تؤخذ صدقة عليهم افترض الله ان فأعلمهم
“sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda meraka, yang
dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara
mereka….” (HR. Bukhari)
Kemudian juga hadits yang meriwayatkan bagaimana tindakan Abu Bakar dalam
persoalan zakat sebagaimana hadits berikut :
المال حق الزكاة وان والصالة الزكاة بين فرق من ألقاتلن والله
“…..Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan
zakat. Zakat itu kewajiban (pemilik) harta….”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Berdasarkan dua hadits tersebut di atas dapat diambil pengertian,
Pertama bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
pensuksesan program zakat. Baik Rasulullah (ketika mengutus Mu’adz menjadi qadhi di
Yaman) maupun Abu Bakar saat menggantikan Rasulullah menjadi khalifah, sama-sama
memiliki komitmen yang tinggi terhadap persoalan zakat. Bahkan Abu Bakar bersumpah
akan memerangi orang-orang yang mengingkari zakat.
Kedua, pemerintah dengan kewenangannya dapat menjadi kekuatan
penekan. Pemerintah juga dapat memaksakan kehendak terhadap pensuksesan program
zakat kepada siapa saja. Hal ini dicontohkan Abu Bakar yang akan memerangi para
pengingkar zakat sebagaimana tersebut diatas. Dengan melakukan fungsi ini, maka
pemerintah telah ikut tanggung jawab penuh atas zakat.
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Sehingga sangatlah
wajar apabila zakat disosialisasikan dan dikembangkan dengan baik di kalangan umat Islam.
Dalam proses ini pemerintah dapat memerankan diri sebagaimana yang diperankan Mu’adz
dan Abu Bakar. Barangkali yang sedikit membedakan adalah perangkat hukum yang
diperlukan dalam pelaksanaan zakat. Pada zaman Rasul dan Abu Bakar perangkat hukumnya
adalah Al-Qur’an. Sedangkan pada zaman sekarang diperlukan perangkat hukum lain yang
dapat dijadikan pijakan bertindak. Perangkat hukum lain itu adalah undang-undang tentang
zakat yang berisi tidak saja berupa kewajiban pelaksanaannya, tetapi juga konsekuensi
hukumnya apabila meninggalkannya.8
Ada tiga alternatif yang bisa diperankan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan zakat
ini yaitu :
1. Pertama, pemerintah dapat memerankan diri secara penuh antara sebagai penanggung
jawab, pelaksana atau pengelola, dan sekaligus menjadi kekuatan penekan.
2. Kedua, pemerintah hanya menjadi kekuatan penekan sedangkan yang lainnya
diserahkan kepada lembaga swasta.. Atau,
3. ketiga, antara pemerintah dan swasta dalam posisi yang sama. Hanya dibedakan dalam
pengambilan tindakan hukum, pemerintah dalam posisi sebagai penindak dan pemberi
sanksi kepada pengingkar zakat, sementara lembaga swasta zakat melaporkannya
kepada pemerintah.
Permasalahan kejelasan atas syarat pembentukan Lembaga Amil Zakat ini telah dibawa
oleh sebuah Lembaga Amil Zakat bernama Dompet Duafa untuk diuji materiil di Mahkamah
8 Hadi Permono, Sjechul, “Pemerintah RI sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992
Konstitusi (MK) dan telah diputuskan dalam sidang pleno pengucapan putusan perkara
pengujian konstitusionalitas UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan pada
Kamis 31 Oktober 2013, dimana mengabulkan sebagian tuntutan para pemohon dengan
memberikan tafsiran atas tiga pasal dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat, yaitu syarat
terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan berbentuk lembaga berbadan hukum
untuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus dibaca merupakan pilihan atau alternatif. Selain itu,
pengawas syariah untuk LAZ harus dimaknai internal atau eksternal, serta pengecualian izin
pejabat berwenang terhadap pengelola zakat perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat
Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushalla yang tidak terjangkau oleh BAZ
atau LAZ.
Pasca keluarnya putusan MK tersebut, peran BAZNAS sebagai koordinator
pengelolaan zakat nasional harus tetap berjalan dan begitu juga fungsi regulator yang
dilaksanakan Kementerian Agama sesuai peraturan perundang-undangan. Yang perlu
dicermati ialah implikasi putusan MK yang memperlonggar syarat pendirian Lembaga
Amil Zakat (LAZ) dan membuka lebar peran pengelolaan zakat oleh lembaga milik
masyarakat, serta pengecualian keharusan perizinan untuk amil zakat perkumpulan orang
atau perseorangan sepanjang “memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat kepada pejabat
yang berwenang”.
Pemerintah selaku regulator dan BAZNAS selaku koordinator tidak dirugikan dengan
putusan tersebut. Tindakan mendasar yang harus dilakukan selanjutnya ialah menyusun
strategi “integrasi” pelaporan dan pertanggungjawaban pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat oleh banyak lembaga dan perseorangan yang menjadi amil zakat. Jika
dibaca dengan cermat, putusan MK menyangkut pasal 18 ayat (2) dapat dimaknai memberi
peluang kepada Menteri Agama apabila diperlukan untuk mengangkat atau menugaskan
pengawas syariah eksternal untuk mengaudit Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Salah satu cara pemerintah dalam mengantasipasi permasalahan teknis maupun non
teknis pelaksanaan pengelolaan zakat, sekaligus menjawab bagaimana pemerintah mengatasi
ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap Lembaga Amil Zakat ialah dengan diresmikannya
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. PP ini merupakan turunan dari UU nomor 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat. Dan jika berbicara masyarakat, dampak adanya PP ini akan
sangat besar dan bermanfaat.
PP ini mengatur tentang kedudukan, tugas dan fungsi Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas); keanggotaan Baznas; organisasi dan tata kerja Baznas; organisasi dan tata kerja
sekretariat Baznas; lingkup dan wewenang pengumpulan zakat, serta persyaratan dan
mekanisme perizinan dan pembentukan perwakilan Lembaga Amil Zakat (LAZ); termasuk
pembiayaan Baznas dan penggunaan hak amil.
PP mengatur tentang posisi amil zakat yang berupa perseorangan. Dalam UU
Pengelolaan zakat, amil zakat harus berupa badan resmi. Ia bisa berupa badan hukum, ormas,
atau harus mendapat ijin resmi. Ini akan berdampak dalam penghimpunan zakat di
masyarakat, meski prakteknya tidak secara otomatis. Untuk itu PP tersebut perlu
disosialisasikan dan diimplementasikan. Edukasi kepada masyarakat juga perlu dilakukan,
dalam hal ini untuk mengubah paradigma masyarakat yang selama ini lebih suka membayar
zakat secara langsung (langsung dibagi-bagikan). Selain itu diperlukan pula perbaikan
infrastruktur kelembagaan Baznas.
Pada intinya, PP diperlukan supaya UU Nomor 23/Tahun 2011 bisa dilaksanakan
dengan benar, karena ada aturan mainnya, mengingat banyak hal detil yang perlu diatur.
Sebuah Undang-Undang tidak bisa dilaksanakan dengan baik, kecuali ada instrumen
pelaksanaan yang menjadi kitab acuannya (tafsirnya).9
V. KESIMPULAN
Di Indonesia pengaturan mengenai pengelolaan zakat telah diatur dalam suatu Undang-
undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, namun sayangnya masih ada hal-
hal pro-kontra di kalangan masyarakat di dalam undang-undang tersebut. Permasalahan
bagaimana Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diberikan batasan ruang gerak dan aturan yang
sempit sehingga mengurangi daya fungsinya untuk melakukan pengelolaan zakat, yang
tentunya kita tahu bahwa Lembaga Amil Zakat ini sebetulnya jauh lebih efektif dalam
kedekatan kepada masyarakat dan jangkauan yang diraihnya untuk melakukan pengumpulan
serta pendistribusian zakat. Maka dari itu atas permasalahan ini, Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan atas uji materiil atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 dengan
memperlonggar syarat pendirian Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan membuka lebar peran
pengelolaan zakat oleh lembaga milik masyarakat. Dan dengan diresmikannya suatu
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat sebagai
peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 23 tahun 2011, menjadi cara bagi
pemerintah untuk menjawab atau setidaknya mengurangi keresahan dan ketidakpercayaan
dari masyarakat atas Lembaga Amil Zakat dalam melakukan pengelolaan zakat.
VI. SARAN
Meskipun pemerintah telah membuat peraturan pelaksana atas UU Nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan zakat, saran penulis agar dapat terciptanya akuntabilitas lembaga
zakat, perlu dibuat suatu mekanisme pengaturan pelaporan oleh para amil zakat perkumpulan
orang atau perseorangan kepada BAZNAS dengan regulasi di bawah undang-undang,
9 http://radiosmartfm.com/smart-syariah/14793-peraturan-pemerintah-tentang-pengelolaan-zakat.html
sehingga setiap kegiatan pengelolaan zakat tetap berada dalam satu kesatuan sistem
pengelolaan zakat masional. Agar pengelolaan zakat yang dihimpun oleh BAZNAS dan LAZ
dapat diketahui secara jelas oleh masyarakat, yang mana masih melihat belum meratanya
akses fakir miskin terhadap zakat yang dihimpun oleh berbagai lembaga di tanah air. Perlu
diingat bahwa setiap orang yang bertindak sebagai amil zakat perlu menyadari bahwa uang
zakat, infaq dan sedekah yang dihimpunnya merupakan milik mustahik yang tidak bisa
digunakan semaunya dan hati-hati dengan hak orang miskin.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta : Gema Insani
Press, 2002)
Hadi Permono, Sjechul, “Pemerintah RI sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1992
Legislasi Undang-Undang Zakat, Puji Kurniawan, Al-Risalah-Volume 13 Nomor 1
Mei 2013
Seminar Nasional bertajuk Masa Depat Zakat Sumatera Barat; Kritikan terhadap
Undang-Undang No.23 Th. 2011 tentang Zakat di Aula Pasca Sarjana IAIN Imam
Bonjol Padang hari ini, Rabu (30/5)
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/integrasi-pengelolaan-zakat-dalam-uu-no-
23-tahun-2011/ diakses pada hari Jumat, 4 April 2014 pukul 15:00 W.I.B
http://radiosmartfm.com/smart-syariah/14793-peraturan-pemerintah-tentang-
pengelolaan-zakat.html diakses pada hari Jumat, 4 April 2014 pukul 15:00 W.I.B
http://shareeducation.wordpress.com/2012/10/25/perbedaan-uu-zakat-yang-lama-
dengan-yang-baru/ diakses pada hari Jumat, 4 April 2014 pukul 15:00 W.I.B
http://dompetdhuafasinggalang.org/2012/05/25/masa-depan-zakat-sumatera-barat-
uu-no-23-tahun-2011-tentang-pengelolaan-zakat/ diakses pada hari Jumat, 4 April
2014 pukul 15:30 W.I.B
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM
TUGAS MATA KULIAH KONSENTRASI
HUKUM ZAKAT DAN WAKAF
Munculnya Ketidakpercayaan dari Masyarakat terhadap Lembaga Amil Zakat sebagai Salah Satu
Problematika Implementasi UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Terkait
Optimalisasi Pengumpulan Zakat
Oleh :
Devi Nur Fianti
11/316420/HK/18902
YOGYAKARTA
2014