problematika hukum keluarga islam di mesir

24
PROBLEMATIKA INSTITUSIONALISASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA ISLAM ( MESIR, INDONESIA, DAN FIKIH) Tugas makalah pada mata kuliah Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Disusun Oleh : Ratna Khuzaimah Lhutfi Kamali M. Akhfas al-Munir KOSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AHWAL AL-SAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

Upload: ratna

Post on 16-Jun-2015

1.558 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: problematika hukum keluarga islam di Mesir

PROBLEMATIKA INSTITUSIONALISASI DAN KODIFIKASI HUKUM

KELUARGA ISLAM ( MESIR, INDONESIA, DAN FIKIH)

Tugas makalah pada mata kuliah Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam

Disusun Oleh :

Ratna Khuzaimah

Lhutfi Kamali

M. Akhfas al-Munir

KOSENTRASI PERADILAN AGAMA

PRODI AHWAL AL-SAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009M/1430H

Page 2: problematika hukum keluarga islam di Mesir

BAB I

PENDAHULUAN

Mesir dan Indonesia adalah dua Negara yang mengalami pengalaman sejarah yang kuat

mengenai Islam, meskipun Mesir memperolehnya lebih awal dan pengaruhnya lebih nyata

terhadap struktur sosial masyarakat dari sejak awal datangnya Islam hingga sekarang.

Institusionalisasi merupakan sebuah proses menjadikan hukum Islam yang hidup di

masyarakat menjadi bahan hukum di institusi hukum, yaitu peradilan. Dalam perjalanan

sejarahnya, Islam di kedua Negara, Mesir dan Indonesia telah menjadi dasar kehidupan

masyarakat. Islam tidak hanya mengakar dalam aspek-aspek sosial, tetapi juga dalam aspek

hukum, saat lahir suatu kasus hukum, maka pemerintah menyelesaikannya dengan hukum

agama.

Sejalan dengan penguatan institusionalisasi hukum, pemerintah Mesir dan Indonesia

melakukan kodifikasi hukum untuk bahan hukum tertulis bagi para hakim di Peradilan Agama.

Kodifikasi hukum yang membawa pengaruh pada substansi hukum keluarga Islam di Mesir

terjadi tahun 1897, kemudian diamendemen tahun 1909, 1910, 1923 dan 1931. Usaha kodifikasi

di Mesir ini berjalan lambat dan dalam rentang waktu yang panjang. Seluruh kodifikasi hukum

keluarga Islam ini tidak diunifikasi dalam buku hukum, tetapi dalam bentuk draft di sejumlah

peraturan.

Sementara di Indonesia, meski dibarengi oleh perdebatan sengit antara kubu nasionalis

dan Islamis, pemerintah akhirnya mengesahkan Undang-undang hukum keluarga Islam dengan

nama Hukum Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini

merupakan jawaban dari kegalauan umat Islam ketika masih dalam bentuk rancangan undang-

undang yang akhirnya undang-undang ini merupakan satu bentuk kompromi pemerintah dan

para penentangnya dengan umat Islam yang mendukung. Pada dasarnya, keberadaan undang-

undang ini menguatkan eksistensi hukum Peradilan Agama, dan secara tidak langsung

mengukuhkan bahwa undang-undang ini adalah bukti konkrit dari perkembangan hukum

keluarga Islam di tengah-tengah ideologi nasional Negara, yaitu Pancasila . Setelah undang-

undang nomor 1 tahun 1974, proses institusionalisasi dan kodifikasi hukum Islam di Indonesia

semakin nyata dengan ditetapkannya Undang-undang nomor 7 tahun 1989, dan Kompilasi

Hukum Islam yang disahkan dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.

1

Page 3: problematika hukum keluarga islam di Mesir

BAB II

PROBLEMATIKA INSTITUSIONALISASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA

ISLAM ( FIKIH, MESIR, DAN INDONESIA)

A. BATASAN UMUR

1. Perspektif Fikih

Dalam fikih tidak ditemukan penjelasan secara langsung tentang batasan minimal usia

untuk melangsungkan perkawinan, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat

umurnya baru 6 tahun dan menggaulinya setelah berumur 9 tahun.

Dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan kawin itu kiranya sesuai

dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut mereka perkawinan itu

tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, Nabi mengawini Aisyah anak dari Abu bakar dalam

usia 6 tahun diantaranya ditujukan untuk kebebasan Abu Bakar memasuki rumah Nabi, karena

disitu terdapat anaknya sendiri. Namun sekarang perkawinan itu lebih ditekankan kepada tujuan

hubungan kelamin. Dengan demikian, tidak adanya batas umur sebagaimana yang berlaku dalam

kitab-kitab fikih tidak relevan lagi.1

Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk al- Quran atau hadits Nabi tentang

batas usia perkawinan, namun ada ayat al-Quran dan begitu pula ada hadits Nabi yang secara

tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.

Adapun al-Quran dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6 yang artinya :

Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin

Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu

adalah baligh.

Adapun hadits Nabi adalah hadits dari Abdullah ibn Mas’ud muttafaq alaih yang artinya:

Wahai para pemuda siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dalam persiapan

perkawinan, maka kawinlah.

Ada seperti persyaratan dalam hadits Nabi ini untuk melangsungkan perkawinan, yaitu

kemampuan persiapan untuk kawin. Kemampuan dan persiapan untuk kawin hanya dapat terjadi

bagi orang yang sudah dewasa.

1 Amir, syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di indonesia.(jakarta: Kencana) hal. 67

2

Page 4: problematika hukum keluarga islam di Mesir

2. Perspektif Hukum Keluarga di Mesir

Hukum keluarga islam di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat di izinkan

jika laki-laki berusia 18 tahun dan wanita berusia 16 tahun. Dalam ayat 5 pasal 99 Undang-

undang susunan Pengadilan agama tahun 1931, menjelaskan bahwa “ tidak didengar gugatan

perkara keluarga apabila usia istri kurang dari 16 tahun atau usia suami kurang dari 18 tahun

kecuali dengan satu ketetapan kami ”. Walaupun demikian , di Mesir perkawinan yang dilakukan

oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah, tapi tidak boleh didaftarkan.

Pemikiran fikih modern tidak merasa keberatan terhadap penetapan batas umur yang didasarkan

pada prinsip prosedural “larangan mendengarkan gugatan” tersebut, karena hal tersebut

didasarkan pada hak penguasa yang diakui oleh fikih untuk menentukan wewenang peradilan

menurut waktu, tempat dan jenis perkara. 2

3. Perspektif Hukum Keluarga di Indonesia

Di Indonesia batas usia dewasa diatur dalam Undang–undang Perkawinan pada pasal 7

sebagai berikut:

a. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas

tahun) dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun (enam belas tahun).

b. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada

Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang pria maupun pihak

wanita.

c. Ketentuan–ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tersebut

dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan

dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam

pasal (6) ayat (6).

KHI mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan

dengan rumusan sebagai berikut:

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan pada Pasal 7

2 Syamsul anwar,Islam, Negara, dan Hukum.(Jakarta; INIS) hal. 106-107

3

Page 5: problematika hukum keluarga islam di Mesir

Undang-undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19

tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.3

B. PENCATATAN PERKAWINAN

1.Perspektif fikih

Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak

diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk

mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain al-

Qur’an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan.

Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan. Agaknya

mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga,

tradisi Walimah al-Urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi

syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawiann yang berlangsung pada masa

awal Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa

itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama.

Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.4

Dengan alasan-alasan yang telah disebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan

perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat

bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Dan sejalan dengan perkembangan zaman serta

dinamika yang terus berubah, maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran

kultur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta,

surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang

dengan sebab kematian, manusia juga dapat mengalami kelupaan dan kehilafan. Atas dasar ini

diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.

Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum keluarga islam adalah

dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.

Dikatakan pembaharuan hukum islam karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-

kitab fikih ataupun fatwa ulama.

2. Perspektif Hukum Keluarga Mesir

3 Amir, syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di indonesia.(jakarta: Kencana) hal. 684 Amiur, Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.( Jakarta; kencana) hal. 121

4

Page 6: problematika hukum keluarga islam di Mesir

Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya

Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai

pencatat nikah dan dasar–dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan

pelaksananan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan

kepentingan mereka. Ordonasi tahun1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang

pasal 31-nya menyatakan bahwa “gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan

perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila

tidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan”. Tampak

bahwa pasal ini mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar dapat

dijadikan dasar keputusan. Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung ketentuan bahwa

dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang ditugaskan untuk itu.

Dari sini jelaslah bahwa undang-undang di mesir mengambil prinsip” tidak mendengarkan suatu

gugatan” dalam kasus-kasus perkawinan dan akibat- akibat hukumnya apabila perkawinan

tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat

berwenang, serperti hakim dan pegawai pencatat nikah atau kosul (untuk luar negri)5.

3. Perspektif Hukum keluarga di Indonesia

Undang-undang perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang

penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam

khusunya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan

kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum

Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar bila ada

pendapat yang mengungkapkan bahwa undang-undang Perkawinan merupakan ajal teori

receptie (istilah Hazairin). Pencatatan perkawinan seperti diatur pada Pasal 2 ayat (2) meskipun

telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-

kendala. Upaya ini perlu dilakukan oleh umat Islam secara berkesinambungan di negara

Republik Indonesia.

Berdasarkan kendala di atas, sebagai akibat adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i

yang sudah membudaya dikalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan

5 Syamsul anwar “islam, Negara dan hukum”

5

Page 7: problematika hukum keluarga islam di Mesir

telah diangap cukup bila syarat dan rukunnya telah terpenuhi tanpa dikuti oleh pencatatan,

apalagi akta nikah. Kondisi ini terjadi sehinga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan.

Kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan dalam Undang-undang

Perkawinan .

Di dalam UU No.1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa” tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Di dalam PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan pasal 3

ada dinyatakan:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) di lakukan sekurang-kurangnya 10 hari

kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu

alasan yang penting, di berikan oleh camat.

Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam UUP hanya diatur oleh

satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Tidaklah berlebihan jika

ada sementara pakar hukum yang menempatkanya sebagai syarat administratif yang juga

mencantumkan sah tidaknya sebuah perkawinan.

Perspektif KHI

KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut:

1. agar terjaminya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan

harus di catat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah

sebagaimana yang diatur dalam UU No.22 tahun 1946jo. UU No. 32 tahun 1954.

Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan :

(1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di

hadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.

(2). Perkawinan yang dilakukakan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak

mempunyai kekuatan hukum.

6

Page 8: problematika hukum keluarga islam di Mesir

C. POLIGAMI

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak

dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami di tolak dengan berbagai macam

argumentassi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan

ketidakadilan jender. Bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti

bahwa ajaran islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada

sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan

dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.

Kajian berikut ini sebisanya akan melihat persoalan poligami ini lebih jernih dan

berupaya untuk mendudukan perbedaan yang ada secara lebih proposional.

1. Perspektif fikih

Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang sepanjang sejarah peradaban

manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang

telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas.

Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan

sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak

terbaras para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.6

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak menghapus praktik

ini, namun islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan

syarat–syarat yang ketat pula seperi keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat-syarat ini

ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surah an-Nisa’:3 dan surah an-Nisa’:129.7

Dalam penafsirannya, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Qur’an

begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi

yang ada maka al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri dengan syarat

harus adil. Dengan mengutip al-Tabari, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan

poligami, tetapi bagaiman berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini

mereka.

6 Ahmad Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata islam di Indonesia. 2006. Jakarta ; Kencana

7

7

Page 9: problematika hukum keluarga islam di Mesir

Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut

dengan ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan

jika dikatakan, bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan

persyaratan yang bermacam-macam. As-sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan

mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-kasani menyatakan lelaki yang berpoligami

wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi’I juga mensyaratkan keadilan diantara para

istri-istrinya, dan menurutnya keadilan ini hanya meyangkut urusan fisik semisal mengunjungi

istri di malam atau di siang hari.8

Jika disederhanakan pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh

ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami.

Pertama, seorang laki-laki yang berpoligami harus memilki kemampuan dana yang cukup

untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang

lelaki harus memperlakukan istri sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.

2. Perspektif Hukum Keluarga di Mesir

Banyak pendapat bermunculan menentang gejala poligami dan menganggapnya

menimbulkan kerugian terhadap kedudukan wanita dalam keluarga dan penghalang kebebasan

serta keleluasaan wanita. Para Fuqoha modern menyerang pandangan tersebut dan

menganggapnya bertentangan dngan hak-hak yang diberikan al-Quran kepada suami. Dalam hal

ini muncul pendapat Muhammad Abduh yang menafsirkan ayat-ayat an-Nisa’ yang menyatakan

bahwa syarat kebolehan poligami adalah berlaku adil, kalau tidak bisa, poligami haram

dilakukan karena menyakiti istri, sehingga istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan

kepada Hakim.

Pemikiran fikih di Mesir pada tingkat yuridis memandang cukup ketentuan-ketentuan

Ordonasi tahun 1929 yang memberi hak kepada wanita untuk memutuskan perkawinan karena

menyakiti secara umum.

Setelah beberapa waktu sesudah dibukanya perdebatan mengenai masalah poligami,

pemikiran fikih di Mesir sampai pada suatu ketegasan bahwa:

1. Keadilan yang dituntut untuk dibolehkannya poligami dalam al-Quran adalah suatu syarat

moral yang pelaksanaanya lebih tepat diserahkan kepada suami dan tidak seyogyanya

8 Pendapat ulama ini telah dirangkum cukup baik oleh khairudin nasution, dalam, status wanita di asia tenggara;

8

Page 10: problematika hukum keluarga islam di Mesir

dianggap sebagai suatu syarat hukum, karena sukarnya pengadilan mengukur keadilan

itu.

2. Kenyataan-kenyataan angka statistik yang riil belum sampai menunjukkan bahwa

poligami telah menjadi problem sosial, sebab belum mencapai angka tiga per seribu.

3. Pemecahan hukum yang dibenarkan bagi wanita yang suaminya kawin lagi adalah

memberinya hak meminta pemutusan hubungan perkawinan dengan syarat ia dapat

membuktikan adanya kesakitan yang menimpanya karena tidak mendapatkan nafkah,

perlakuan kejam, tidak ditiduri atau semacam itu.

Dan pada tahun 1979 terbitlah Undang-undang yang membawa ketentuan-ketentuan

baru mengenai poligami. Dalam pasal undang-undang tersebut ditegaskan dua hal :

1. Pencatat nikah wajib memberitahu istri pertama tentang perkawinan kedua suaminya

apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh sang suami.

2. Dianggap menyakiti istri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa

persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu, ia tidak

mensyaratkan kepada suamiya agar tidak memadunya. Demikian pula suami

merahasiakan terhadap istrinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan

dengan orang lain.

3. Perspektif Hukum Keluarga di Indonesia

Kendatipun Undang-undang Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami

seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan “ Seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ” ,

namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.

Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat dibolehkan bila dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah mengizinkan (Pasal 3 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama

diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut :

Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang

apabila :

a. Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri ;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

9

Page 11: problematika hukum keluarga islam di Mesir

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun dengan

alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh undang-undang Perkawinan

sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau monogami

yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law),

atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance).

D. PERCERAIAN

1. Perspektif Fikih

Menurut kalangan Malikiyah pada umunya perceraian disebabkan oleh talak, khulu’

fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zhihar. Menurut kalangan Hanafiyah putusnya perceraian

disebabkan oleh talak, khulu’, ila’ dan zhihar. Sedangkan menurut Syafi’i di antara sebab-sebab

terjadinya perceraian antara lain talak, khulu’ fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ zhihar dan li’an.

Dari kedelapan hal-hal yang dapat mengakibatkan putusnya perceraian di atas, hampir

semuanya berada pada kendali suami. Bahkan pada talak, di dalam kitab-kitab fikih tidak

terdapat keterangan yang jelas mengenai sebab-sebab yang membolehkan suami untuk men-talak

istrinya. Dan dari sekian banyak sebab putusnya perceraian hanya satu yang berada dalam

kendali istri, yaitu khulu’. Meskipun khulu’ menjadi hak istri, itupun masih harus melalui

ketentuan yang melibatkan suami. Ketentuan fikih juga tidak mengatur proses perceraian.

Perceraian tidak harus dilakukan di depan sidang pengadilan atau di depan hakim.9

2. Perspektif Hukum Keluarga di Mesir

Pada umumnya muslim Mesir menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi. Maka tidak

mengherankan apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum keluarga di Mesir

banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya sebelum terjadi pembaruan.

Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan Perundang-

Undangan Perkawinan. Mesir juga lebih sering dalam melakukan pembaruan ini. Namun

demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan

semua pihak.

9 http;//mushthava.blogspot.com/2009/05/potret-perkembangan-hukum -talak.html

10

Page 12: problematika hukum keluarga islam di Mesir

Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1929 alasan untuk menuntut talak diperluas. Dalam

Undang-undang ini ditetapkan dua hal yang dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak

yaitu

a. Apabila suami tidak mampu untuk memberikan nafkah;

b. Apabila suami mempunyai penyakit menular atau membahayakan;

c. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami;

d. Apabila suami pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama.

Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang hukum keluarga, khususnya mengenai

cerai dan talak. Sama dengan Indonesia, tujuan pembaruan hukum keluarga di Mesir juga untuk

meningkatkan status wanita. Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini

maka suami tidak dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap istri. Karena suami

harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan talaknya. Selain itu

talak harus melalui proses sertifikasi. Berkaitan dengan gugat cerai, istri juga diberi hak yang

lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan khulu’. Begitu juga apabila suami pergi

meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas, suami mengidap penyakit atau tidak mampu

memberikan nafkah maka ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

3. Perspektif Hukum Keluarga di Indonesia

Pasal 38 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena, 1)

kematian, 2) perceraian, dan 3) atas putusan Pengadilan

Menurut UU.No. 1/1974 perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, dan

di dalam UU No. 7 tahun 1989 pasal 65 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Sedangkan di dalam KHI pasal 115 dinyatakan:

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Keterangan di atas menjelaskan bahwa dalam perundang-undangan yang berlaku, telah

diatur bagi siapa saja yang hendak menalak istrinya dapat mengajukan permohonan ke

Pengadilan Agama. Permohonan tersebut dapat berupa lisan maupun tulisan dan harus disertai

dengan bukti-bukti. Dan hal yang paling berbeda dengan ketentuan dalam fikih adalah perceraian

11

Page 13: problematika hukum keluarga islam di Mesir

yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang, hal ini diatur dalam pasal 39 UUP

No. 1/1974, UUPA No. 7/1989 dalam KHI pasal 115.

Selanjutnya pasal 18 menyatakan bahwa perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu

dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini senada dengan yang dituangkan dalam KHI pasal

123: perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang ditetapkan dalam undang-

undang hukum keluarga telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan apabila dibanding

dengan ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih. Berkaitan dengan tujuan pembaruan, yaitu

untuk mengangkat status sosial wanita juga sudah tampak, ini dapat kita cermati bahwa dalam

kitab-kitab fikih tidak menjelaskan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan talak.

Sedangkan dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khusunya sekarang, untuk

menjatuhkan talak harus ada alasan yang dikuatkan dengan saksi-saksi. Permohonan talak

dengan alasan apapun harus diajukan ke pengadilan serta harus diucapkan di depan sidang.

Terjadinya perceraian baik dengan talak maupun gugat cerai terhitung sejak putusan Pengadilan

Agama, putusan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.

Namun demikian pada umumnya perundang-undangan yang ada belum secara total menjunjung

hak-hak dan martabat wanita.

BAB III

KESIMPULAN

12

Page 14: problematika hukum keluarga islam di Mesir

Munculnya ide pembaruan Perundang-Undangan Hukum Perkawinan di berbagai Negara

muslim dewasa ini tidak terlepas dari banyaknya masukan dari pemikiran kaum intelektual. Para

intelektual ini menekankan pentingnya pembaruan Perundang-Undangan Hukum Keluarga yang

selama ini berpijak pada kitab-kitab fikih abad pertengahan atau kitab klasik agar lebih

menekankan pada realitas sosio-kultural masyarakat.

Demikian adalah tabel ringkasan perbandingan hukum keluarga di Mesir,

indonesia, dan fikih.

Masalah Fikih Mesir Indonesia

Batas umur dalam

perkawinan

Di dalam fikih tidak

dijelaskan secara

langsung, akan tetapi

dalam surat an-Nisa’

ayat 6 dipahami

bahwa batas umur

perkawinan

seseorang adalah

baligh.

Dalam ayat 5 pasal 99

Undang-undang

pengadilan Agama

tahun 1931, batas usia

laki-laki 18 tahun dan

perempuan 16 tahun .

Dalam Undang-undang

No.7 tahun 1974

menjelaskan bahwa

batas usia dalam

perkawinan adalah

untuk laki-laki 19

tahun dan perempuan

16 tahun.

Pencatatan

Perkawinan

Di dalam fikih tidak

dijelaskan tentang

adanya pencatatan

perkawinan, tapi ada

ayat al-Quran yang

menganjurkan

mencatat setiap

transaksi muamalah.

Hukum keluarga di

Mesir, sesuai dengan

Ordonasi 1897 Pasal

31 yang menyatakan

bahwa, suatu perkara

tidak akan diterima

gugatannyaa apabila

tidak ada pencatatan

dalam dokumen

resmi.

Di Indonesia

pencatatan perkawinan

merupakan sesuatu hal

yang sangat penting,

setiap perkara bisa

diproses gugatannya

kalau ada bukti

autentik

(dokumennya).

Poligami Ulama’ sepakat

membolehkan

poligami. Dengan

batasan empat orang

istri.

Poligami dibolehkan,

dengan syarat adil

dan tidak menyakiti

istri, apabila ada

unsur menyakiti maka

sang istri boleh

Poligami dibolehkan,

akan tetapi harus dapat

izin dari Pengadilan

Agama. Dan dengan

syarat-syarat tertentu,

poligami ditempatkan

13

Page 15: problematika hukum keluarga islam di Mesir

meminta pemutusan

hubungan

perkawinan.

pada status hukum

darurat.

Perceraian Di dalam fikih

putusnya perkawinan

masih dalam kendali

suami, dan tidak ada

ketentuan untuk

melapor ke

pengadilan, hak

perempuan untuk

mlakukan gugatan

masih sempit.

Perceraian di mesir

harus ada sertifikasi

dari pengadilan,

seorang istri

diberikan hak lebih

luas untuk melakukan

khulu’ atau gugatan

perceraian terhadap

suami.

Perceraian harus

dilakukan di muka

pengadilan, dengan

saksi dan bukti yang

jelas, putusnya

perkawinan hanya bisa

dibuktikan dengan

adanya surat cerai.

Dari tabel diatas kita bisa menyimpulakan bahwa Hukum keluarga di Mesir dan

Indonesia telah banyak mengalami perkembangan dari segi pembaruan. Sesuai dengan

perkembangannya, Hukum keluarga di Mesir dan di Indonesia telah mengangkat status sosial

wanita, walaupun belum secara total. Ini mengidentifikasikan adanya kemajuan pemikiran

dikalangan pakar Hukum Islam di setiap negara, walaupun tidak bisa dipungkiri banyaknya

pergulatan politik didalam pembentukannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul. Islam, Negara, dan Hukum . 1993. Jakarta; INIS

14

Page 16: problematika hukum keluarga islam di Mesir

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. 2007. Jakarta ; Prenada

Media (cetakan ke-2)

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. 2006. Jakarta ; Sinar grafika

Nuruddin, Ahmad dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata islam di Indonesia. 2006.

Jakarta ; Kencana

http://mushthava.blogspot.com/2009/05/potret-perkembangan-hukum -talak-html

Atho’, Mudhar dan Khoiruddin Nasution . Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,

2003. Jakarta: Ciputat Press

http://pchuzaimahbb.com/journal/item/20/hukum-islam-keluarga-di-Mesir-dan-Indonesia

15