pro poor budget: a study on the symbolic interaction …

59
TESIS PRO POOR BUDGET: STUDI INTERAKSI SIMBOLIK AKTOR ANGGARAN DI PEMERINTAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION OF BUDGET ACTORS IN THE PANGKAJENE AND ISLAND LOCAL GOVERNMENT NUR SOFYAN HAS PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: others

Post on 24-Feb-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

i

TESIS

PRO POOR BUDGET: STUDI INTERAKSI SIMBOLIK AKTOR ANGGARAN DI PEMERINTAH KABUPATEN

PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION OF BUDGET ACTORS IN THE

PANGKAJENE AND ISLAND LOCAL GOVERNMENT

NUR SOFYAN HAS

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

Page 2: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

ii

TESIS

PRO POOR BUDGET: STUDI INTERAKSI SIMBOLIK AKTOR ANGGARAN DI PEMERINTAH KABUPATEN

PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION OF BUDGET ACTORS IN THE

PANGKAJENE AND ISLAND LOCAL GOVERNMENT

sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

disusun dan diajukan oleh

NUR SOFYAN HAS P3400213348

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

ii

Page 3: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

iii

iii

Page 4: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

iv

iv

Page 5: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

v

v

Page 6: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, cinta dan

karuniaNya yang tak terhitung dan segala kekuatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Salam dan shalawat tak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, murobbi terbaik sepanjang zaman. Kepada kedua orang tua, penulis senantiasa mengiringkan doa agar kehidupan akhirat mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Penulis meyakini dengan kebaikan, keiklasan, syukur dan kekuatan doa, tesis yang merupakan tugas akhir untuk mencapai gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin dapat dipersembahkan sebagai karya ilmiah dengan harapan memberi manfaat dikemudian hari.

Menyelesaikan berbagai tahapan penelitian dan penulisan tesis ini atas dasar upaya dan kemampuan sendiri merupakan ketidak mungkinan. Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah dua hal yang sangat berperan untuk mengubah ketidak mungkinan tersebut menjadi sesuatu yang mungkin. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada;

1. Bapak Dr. Darwis Said, S.E., Ak., M.SA., dosen Jurusan Akuntansi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, selaku Pembimbing I telah memberi dukungan, arahan, motivasi dengan penuh kewibawaan, kesejukan dan keteduhan sehingga memudahkan penulis menerima pengetahuan baru di setiap tahapan penelitian. Banyak waktu yang beliau luangkan untuk berdiskusi, berbagi pengalaman hidup dan penelitian.

2. Ibu Dr. Ratna Ayu Damayanti, S.E., M.Soc.Sc., Ak., CA., dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, selaku Pembimbing II dengan ke ikhlasan telah memberi dukungan, arahan, dan motivasi untuk mengembangkan hasil penelitian dan segera menyelesaikannya, sehingga membawa penulis dapat melalui masa-masa penuh keraguan menjadi tercerahkan, melepaskan diri dari belenggu positifistik dan mengasah kemampuan yang intuitif mengingat esensinya fenomena ditemukan melalui kedalaman intuisi sebagai kebenaran yang melampaui eksistensi akal/rasio, dan olehnya menghasilkan kehendak kreatif dalam bentuk karya intelektual yang beketujuan. Diskusi dengan beliau memunculkan kesadaran pentingnya kehati-hatian menjadikan pengetahuan sebagai dasar filosofis, menambah keberanian menyelami paradigma non positivisme khususnya paradigma interpretif dan teori interaksi simbolik blummer sebagai instrumen analisis penelitian. Memperkaya pemahaman selama proses penyelesaian tesis tidak hanya melalui diskusi, tetapi beliau juga membantu menyediakan literatur sehingga memantapkan langkah penulis dalam mengembangkan penelitian ini.

vi

Page 7: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

vii

3. Bapak Dr. Syarifuddin, S.E., M.Soc.Sc., Ak., CA., Bapak Dr. Abdul Hamid Habbe, SE.,M.Si dan Bapak Dr. Alimuddin, S.E., Ak., M.M., masing-masing adalah dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin. Selaku Tim Penguji telah memberi dukungan melalui saran dan kritik konstruktif pada setiap tahap penelitian ini, mulai seminar proposal dan perbaikannya, seminar hasil dan perbaikannya, sampai seminar tutup dan perbaikannya. Setiap saran dan pertimbangan mengarahkan dan memunculkan keberanian penulis dalam menggambarkan interaksi simbolik aktor anggaran sehingga konsisten terhadap ketercapaian tujuan penelitian.

4. Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) bekerjasama Asian Development Bank (ADB) memberikan kesempatan kepada para Pegawai Negeri Sipil untuk melanjutkan pendidikan S2 melalui Program Beasiswa State Accountability Revitalization (STAR).

5. Rektor, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Direktur Pascasarjana, Ketua

Prodi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin beserta para dosen dan staf, selaku penyelenggara pendidikan tinggi.

6. Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kepada Bapak Bupati Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kab. Pangkep, Ibu Hj. Dra Jumliati, M.Si., yang tidak lain adalah atasan langsung penulis. Atas izin, persetujuan dan dukungan beliau, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan meskipun harus meninggalkan tugas. Kepada rekan-rekan pegawai Badan Pengelola Keuangan Daerah Kab. Pangkep yang selalu menyambut penulis dengan keramahannya baik di masa sibuk ataupun di masa senggang.

7. Kepada para informan penelitian, juga masih rekan kerja penulis di Badan Pengelola Keuangan Daerah Kab. Pangkep, telah meluangkan waktu dan bisa menerima kehadiran penulis sebagai “orang luar” maupun “orang dalam”. Para informan patut dihargai karena sifat keterbukaan dan keberaniannya menyampaikan realitas atas pemahaman tentang pro poor budget di Kab. Pangkep untuk diperbincangkan sehingga dapat ditampilkan dalam karya ilmiah.

8. Teman-teman kuliah yang mengikuti Program Beasiswa STAR BPKP

bekerjasama Asia Developmnet Bank (ADB) Angkatan Tahun 2012, 2013, 2014, 2015, dan kelas reguler yang sempat berkenalan dengan penulis atas diskusi, saran, dan motivasinya. Kesan kebersamaan dan kekompakan selama pendidikan berlangsung telah menorehkan pengalaman yang sulit terlupakan sekaligus memberi penguatan tersendiri bagi penulis. Semoga semua pihak mendapatkan kebaikan dari Nya atas bantuan yang diberikan hingga tesis ini terselesaikan dengan baik.

vi

vii

Page 8: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

viii

viii

Page 9: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

ix

ix

Page 10: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

x

x

Page 11: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... i HALAMAN JUDUL ........................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ........................................ v PRAKATA ......................................................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... ix ABSTRACT ....................................................................................................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi BAB I KEMISKINAN : “Accidental Proverty” ................................................ 1

1.1. Konteks Penelitian ................................................................... 5 1.2. Setting Ssosial Penelitian ........................................................ 14 1.3. Fokus Penelitian ...................................................................... 19 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 19 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................... 20 1.6. Sistematika Penulisan .............................................................. 20

BAB II LANDASAN PEMIKIRAN .................................................................. 22

2.1. Sekilas tentang Akuntansi Keperilakuan .................................. 22 2.2. Defenisi Anggaran ................................................................... 23

2.2.1. Anggaran: Alokasi Sumber Daya Keuangan Secara Efisien dan Efektif ............................................. 24 2.2.2. Anggaran: Mekanisme Untuk Mobilisasi dan Koordinasi .................................................................... 26 2.2.3. Anggaran: Permainan Kekuasaan dan Politik ................ 28

2.3. Penganggaran Sektor Publik ..................................................... 29 2.4. Penganggaran Anggaran .......................................................... 32 2.5. Pro Poor Budget ....................................................................... 34 2.4. Teori Interaksionisme Simbolik ................................................. 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN: Interpretasi Nilai Melalui Interaksi Simbolik ............................................................................... 49

3.1. Penelitian Kualitatif ................................................................... 49 3.2. Interaksi Simbolik dari Blumer .................................................. 51 3.3. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 56 3.3.1 Data Primer .................................................................... 56 3.3.2 Data Sekunder ............................................................... 56 3.4. Teknik Focus Group Discussion (FGD) .................................... 57 3.5. Teknik Pemilihan Informan ....................................................... 58 3.6. Metode Pelaksanaan FGD ....................................................... 58 3.7. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 59 3.8. Pengecekan Keabsahan Temuan ............................................ 59

xi

Page 12: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 61 PRO POOR : Bahasa, Pikiran dan Realitas Aktor Anggaran .............. 61

4.1. Deskripsi Data Informan ........................................................... 64 4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ........................................................ 69 4.2.1 Peran Antagonis antara “I” dan “Me” .............................. 70

4.2.2 Implementasi Kemiskinan oleh Aktor Anggaran: Mencari “I” dan “Me”........................................................ 74

BAB V ANGGARAN: Kebijakan Memberantas Kemiskinan ........................... 81

5.1. Kebijakan Anggaran: Kesejahteraan dan keadilan yang pro poor ............................................................................ 81 5.2. “I” dan “Me”: Mengungkap “Konflik Kebijakan Anggaran” ......... 88

BAB VI PENUTUP ......................................................................................... 95

6.1. Kesimpulan .............................................................................. 95 6.2. Refleksi .................................................................................... 98 6.3.. Rekomendasi dan keterbatasan Penelitian .............................. 99

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 101

xi

xii

Page 13: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

1

BAB I

KEMISKINAN: “ACCIDENTAL POVERTY”

“Like slavery and apartheid, poverty is not natural. It is man-made, and it can be overcome and eradicated by the action of human beings”(Mandela, 2003).

Tiga hal penting yang mendasari argumen mengapa harus

mengembangkan pro poor budget di Indonesia. Pertama, konteks kondisional

yang mengharuskan, yaitu kondisi kemiskinan yang mengharuskan negara

berpihak pada pro poor budget. Kedua, konteks yang menghambat (disabling),

yaitu kebijakan sosial-ekonomi yang kurang berpihak kepada orang miskin

sehingga harus direformasi. Ketiga, konteks yang memungkinkan (enabling)

berkembangnya pro poor budget, yaitu arus desentralisasi dan demokrasi lokal

(Sopanah, 2009a).

Pro poor budgeting merupakan politik baru reformasi anggaran di

Indonesia, yang menjadi kerangka pengarusutamaan (mainstreaming) anggaran

negara dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan. Selain didorong oleh

demokratisasi anggaran, pro poor budget merupakan bagian (turunan) dari

kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (poor poor policy). Dalam reformasi

anggaran, demokratisasi itulah yang belakangan memunculkan konsep-konsep

baru di sektor anggaran: participatory budgeting, gender budgeting, people

budgeting dan pro poor budgeting (Santos, 1998; Abers, 2000; Brautigam, 2004;

Robinson, 2006; Sintomer, 2008 dalam Zamroni dan Anwar, 2008:17). Sebagai

teman participatory budgeting, gender bugeting dan pro poor budgeting

menyebar ke seluruh penjuru dunia, menyusul kesepakatan Millennium

Development Goals (MDGs) sejak tahun 2000.

1

Page 14: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

2

Anggaran pro poor dapat dipahami sebagai anggaran yang memihak orang

miskin seperti yang diutarakan oleh (Suhirman, 2007), pro poor budget sebaiknya

dipahami dalam konteks peran negara mengurangi kesenjangan. Ada desain

pemenuhan kebutuhan dasar masyrakat miskin melalui proses anggaran mulai

dari perencanaan sampai pelaksanaan. Keberpihakan ini tercermin dalam

kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengan

demikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sehingga hak-hak dasarnya

dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan

anggaran.

Menentukan sebuah kebijakan anggaran pro poor dapat diidentifikasi

melalui dua hal yaitu proses dan isi atau alokasi anggarannya. Pengamatan

terhadap isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan

tahapan untuk memastikan apakah sebuah kebijakan anggaran pro poor atau

tidak. Ada dua sisi yang harus diperhatikan berkenaan dengan isi APBD yaitu

dari sisi belanja dan pendapatan. Dari sisi belanja, pengalokasian anggaran

untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti.

Anggaran yang berpihak kepada rakyat miskin (pro poor budget) dapat

diterjemahkan sebagai praktek perencanaan dan penganggaran yang sengaja

ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan kegiatan yang dampaknya

dapat meningkatkan kesejahteraan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar

masyarakat (Rinusu, 2006:2). Menilai kebijakan pro-poor harus dimulai dari

penilaian tentang kualitas pemahaman manusia akan akar persoalan penyebab

kemiskinan. Penilaian tersebut dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan

pemahaman konteks kemiskinan yang lebih komprehensif agar perumusan

Page 15: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

3

kebijakan yang akan dihasilkan dapat berkualitas dan memiliki relevansi yang

tinggi terhadap akar persoalan penyebab kemiskinan (Alemina et al., 2011).

Penelitian Mawardi dan Sudarno (2003) menjelaskan juga permasalahan

tentang kebijakan yang dapat menanggulangi kemiskinan adalah pro poor

budget yang harus dipandang sebagai salah satu kebijakan dalam

menanggulangi kemiskinan. Berikutnya menurut hasil riset Rahayu, Ludigdo dan

Affandy (2007) mengeksplorasi pemahaman atas fenomena penganggaran

dengan fokus pada tingkat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) khususnya

perilaku aparatur dalam penerapan performance budgeting dalam proses

penyusunan anggaran masih belum berjalan sebagaimana yang diinginkan.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa

dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu dipertimbangkan faktor-

faktor pendukung dalam perencanaa dan penganggaran yang saling

berhubungan. Ketika berbicara anggaran, biasanya yang menjadi fokus

perhatian adalah input teknis (lihat penelitian Syarifuddin, 2009; Ishak dan Iksan,

2005). Akhirnya produk anggaran hanyalah metode dan standar-standar tertentu.

Kita mungkin lupa bahwa anggaran ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-

faktor lain misalnya budaya, sosial, politik, persepsi, rasa, dan intuisi

(Syarifuddin, 2009). Bahkan beberapa riset menjelaskan bahwa, selain

dipengaruhi oleh perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya, proses

penganggaran daerah dipengaruhi oleh negosiasi, perubahan kekuasaan dan

politik internal (Siegel dan Marconi, 1989;124).

V.O. Key juga mengisyaratkan bahwa penganggaran memiliki satu

masalah paling mendasar, yakni keterbatasan sumber daya. Hal ini berimplikasi

pada pengalokasian anggaran memunculkan modus kepentingan politik yang

berbeda dari aktor dalam anggaran (Hermanto, 2010). Hal ini berarti pengambil

Page 16: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

4

kebijakan tidak memandang anggaran sebagai pekerjaan teknis, tetapi lebih dari

itu diperlukan kajian tentang pemahaman manusia (aktor) dan interaksinya

dalam menyusun anggaran.

Terkait dengan hal tersebut diatas, blumer, sosiolog ternama abad 20

mengkonstruksi manusia dan interaksi manusia dalam realitas sosial masyarakat

melalui pemaknaan simbol-simbol. Bersandar pada Mead dengan konsep mind,

self, and society, Blumer (Ritzer dan Goodman, 2010:280) mengajukan premis

interaksi manusia. Pertama, manusia bertindak terhadap manusia lain dilandasi

atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Kedua,

pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka.

Makna bukan muncul atau melekat pada suatu objek secara alamiah. Makna

berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language).

Ketiga, interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai

perbincangan dengan diri sendiri dengan menggunakan bahasa. Bahasa

meliputi bahasa verbal (kata-kata) berupa pernyataan, pertanyaan dan

sanggahan, maupun bahasa non verbal berupa perilaku sehari-hari budget

actors, seperti emosi, tindakan, sikap, dan lain-lain.

Bahasa merupakan simbol signifikan dalam memahami manusia, simbol

signifikan ini kemudian menjadi suatu interaksi manusia (Ritzer, 2010: 278).

Dalam penelitian ini, bahasa input (masukan) atau outcome (hasil) sangat

tergantung pada konteks pada saat interaksi budget actors berlangsung ketika

menyusun kebijakan pro poor budget.

Oleh karena itu, menyadari bahwa pentingnya bahasa dalam memahami

manusia, maka peneliti dalam studi ini akan mengkaji bagaimana budget actors

menciptakan makna melalui pernyataan, pertanyaan, sanggahan, sikap, perilaku

Page 17: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

5

dan interaksi sosialnya ketika menyusun atau merencanakan kebijakan pro poor

budget.

1.1 Konteks Penelitian

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pembangunan nasional adalah

salah satu upaya untuk menjadi tujuan masyarakat adil dan makmur. Sejalan

dengan tujuan tersebut, berbagai kegiatan pembangunan telah diarahkan

kepada pembangunan daerah khususnya daerah yang relatif mempunyai

kemiskinan yang terus naik dari tahun ke tahun.

Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan

sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan akar dan sasaran

pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui pembangunan jangka

panjang dan jangka pendek. Oleh karena itu, salah satu indikator utama

keberhasilan pembangunan nasional adalah laju penurunan jumlah penduduk

miskin. Efektivitas dalam menurunkan jumlah penduduk miskin merupakan

pertumbuhan utama dalam memilih strategi atau instrumen pembangunan. Hal

ini berarti bahwa satu kriteria utama pemilihan sektor titik berat atau sektor

andalan pembangunan nasional adalah efektivitas dalam penurunan jumlah

penduduk miskin (Simatupang dan Dermoredjo, 2003).

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama

untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah

sehingga kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat meningkat. Kesejahteraan

rakyat dapat ditingkatkan kalau kemiskinan dapat dikurangi, sehingga untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan melalui upaya

penanggulangan kemiskinan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan

Page 18: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

6

acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan (Suryahadi dan

Sumarto, 2001).

Dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah,

pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil

inisiatif pembangunan daerah. Efektivitas dalam menurunkan jumlah penduduk

miskin merupakan pertumbuhan utama dalam memilih strategi atau instrumen

pembangunan. Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku

ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut dalam

proses pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan (Soegijoko et al.,

1997:137).

Kemiskinan merupakan masalah kompleks tentang kesejahteraan yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat

pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap

barang dan jasa, lokasi, geografis, gender dan lokasi lingkungan. Kemiskinan

tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga

kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang

atau kelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya

kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,

pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau

ancaman tindak kekerasan dan hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.

Esensi kemiskinan adalah menyangkut kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan

kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi dan

pendapatan. Permasalahan kemiskinan sangat kompleks dan upaya

penanggulangannya harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai

Page 19: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

7

aspek kehidupan masyarakat dan dilaksanakan secara terpadu (Hendriwan,

2003).

Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran kemiskinan vicious

circle of poverty dari Nurkse (1953) dalam Kuncoro (1997). Yang dimaksud

lingkaran kemiskinan adalah satu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi

suatu keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak

mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik.

Adanya keterbelakangan, ketertinggalan sumber daya manusia yang tercermin

oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ketidaksempurnaan pasar

dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya

produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima yang

tercermin oleh rendahnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.

Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan

investasi. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya akumulasi modal

sehingga proses penciptaan lapangan kerja rendah. Rendahnya akumulasi

modal disebabkan oleh keterbelakangan dan seterusnya.

Penduduk miskin akan lebih banyak atau bahkan seluruh

pendapatannya digunakan untuk kebutuhan makanan, dibandingkan

penduduk kaya. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki kesempatan

untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak jika

hanya mengandalkan pendapatannya. Di sinilah perlunya campur tangan

pemerintah untuk membantu penduduk yang kurang mampu atau miskin

(Kuriata, 2008).

Kartasasmita (1996:235), Sumodiningrat (1998:67) dan Baswir (1997:23)

dalam Rustanto (2012:115) merumuskan bentuk-bentuk kemiskinan yang

sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan, pertama kemiskinan natural

Page 20: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

8

adalah keadaan miskin karena awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat

tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang tidak memadai

baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya

pembangunan, kalaupun mereka ikut dalam pembangunan, mereka hanya

mendapatkan imbalan rendah. Kondisi kemiskinan seperti ini disebut sebagai

“persistenproverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-temurun. Kedua

kemiskinan cultural, mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok

masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya

dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.

Kelompok masyarakat ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan,

tidak mau berusaha dan merubah tingkat kehidupannya.

Ketiga, kemiskinan structural, kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-

faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil distribusi aset

produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi, serta tatanan ekonomi dunia

yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu saja. Munculnya

kemiskinan structural disebabkan karena upaya-upaya penanggulangan

kemiskinan natural pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya

tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan

masyarakat tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang

timpang. Kemiskinan ini menurut Kartasasmita (1996:236) disebut juga

“accidental poverty” yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijakan

tertentu yang menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Penelitian Zamroni dan Anwar (2008:7–12) menunjukkan bahwa

kemiskinan, ketimpangan dan ketertinggalan sebenarnya berakar pada struktur

ekonomi politik anggaran yang timpang, yaitu tidak berorientasi pada

kesejahteraan. Ada tiga masalah dalam struktur ekonomi politik anggaran.

Page 21: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

9

Pertama, desentralisasi politik sudah dijalankan, namun di sisi lain, potret

kemiskinan sangat berakar di bawah dan beragam antar daerah. Kedua, negara

mempunyai formasi dan karakter pemangsa (predatory state) terhadap

anggaran. Ketiga, alokasi distribusi anggaran untuk rakyat, bersifat residual atau

“sisanya-sisa”.

Kebijakan akuntansi seperti anggaran, yang selama ini dalam perhatian

para akademisi lebih cenderung pada anggaran sebagai alat pengendalian yang

mekanis, tanpa memandang aspek manusia di balik angka-angka keuangan

(Von Hagen, 2002). Para akademisi dan pemerhati lainnya mulai melihat

pentingnya melakukan studi tentang aspek manusia yang memiliki peranan yang

penting dalam perancangan anggaran (Siegel dan Marconi, 1989; Greer dan

Patel, 2004; Callahan, 2002; Ebdon, 2002; Becker dan Green, 1962 dalam

Syarifuddin, 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa para akademisi yakin dalam

mengkaji akuntansi diperlukan pemahaman mengenai manusia sebagai pelaku,

sehingga perlu tersedia pengetahuan mengenai hal apa saja yang

melatarbelakangi kebijakan mereka (Syaifuddin, 2009:308).

Menurut Rohidin (2010), begitu banyak kebijakan yang diupayakan untuk

menanggulangan kemiskinan, tetapi secara agregat jumlah penduduk miskin

tidak mengalami penurunan yang berarti. Di berbagai daerah angka kemiskinan

cenderung tidak mengalami penurunan, belum lagi dampak dari kenaikan

berbagai kebutuhan dasar seperti bahan kebutuhan pokok, pendidikan,

kesehatan, perumahan, air bersih, pertanahan dan sumber daya alam.

Kecenderungan angka kemiskinan yang tidak berubah semakin membuat hak-

hak dasar masyarakat menjadi sulit terjangkau.

Kebijakan pengelolaan keuangan di daerah yang dijabarkan melalui

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adakalanya tidak berjalan

Page 22: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

10

dengan baik dan mampu menjawab permasalahan masyarakat termasuk upaya

pengentasan kemiskinan. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan telah banyak

digulirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tetapi secara nyata dampak

upaya ini tidak berjalan bersamaan, tidak berkelanjutan dan tidak menjawab inti

permasalahan kemiskinan. Berbagai kebijakan dalam upaya pengentasan

kemiskinan terkesan tidak terkoordinir, tidak komprehensif dan terpisah dari

kebijakan penganggaran. Padahal semua kebijakan bermuara pada hal-hal yang

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Begitupun kebijakan

dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari

kebijakan pengelolaan keuangan.

Kebijakan pengelolaan keuangan berhubungan dengan bagaimana

pemerintah mengalokasikan dan mengelola sumber daya yang ada dalam

anggaran. Anggaran adalah wajah dan hati dari para pelaku pengambilan

kebijakan. ”Wajah”, karena anggaran adalah sesuatu yang bisa dibaca oleh siapa

saja, dan tidak dapat disembunyikan. Sementara ”hati” adalah suatu proses

pergolakan bak sebuah drama, karena angka-angka yang terdapat dalam

sebuah naskah anggaran hanya merupakan suatu realitas fisik, sementara

realitas non fisiknya seperti semangat (spirit), emosional (emotional) dan jiwa

(soul) apalagi aspek spiritual selama ini hanya diketahui oleh para pelaku

kebijakan tersebut (Syarifuddin, 2009a:308-309).

Secara substansial anggaran memiliki bagian sebagai instrumen penting

yang bisa dipakai dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs),

peningkatan pelayanan publik dan pengentasan kemiskinan. Anggaran juga

menjadi bagian yang menentukan dari berfungsinya penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan yang baik (good govement). Kebijakan pemerintah

yang berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang

Page 23: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

11

sebagian besar telah diratifikasi bersama oleh eksekutif dan legislatif, belum

sepenuhnya berpihak pada kaum miskin (Kholid, 2008).

Filosofi dan definisi kemiskinan yang makin luas cakupannya

mengharuskan strategi kebijakan penanggulangannya bersifat multidisiplin, lintas

sektoral dan terus berkelanjutan. Kebijakan anggaran memang sangat

diperlukan, tetapi kebijakan ini saja tentu tidak cukup mengingat APBD lebih

merupakan instrumen kebijakan pemerintahan, maka persoalannya justru

terletak dan tergantung pada bentuk regim pemerintah itu sendiri. Jika regim

pemerintahan yang ada mempunyai karakter memihak pada orang miskin, maka

berbagai kebijakan publik, institusi, birokrasi dan penganggaran yang diterapkan

akan dengan sendirinya bercirikan keberpihakan kepada orang miskin (Mawardi

dan Sumarto, 2003:18).

Keberhasilan program penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi

tanggung jawab pemerintah pusat saja, tetapi juga memerlukan dukungan dari

semua pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat miskin yang

menerima manfaat program. Seiring perubahan yang ditandai dengan lahirnya

reformasi, tuntutan untuk menjadikan daerah memiliki otonomi dalam

penyelenggaraan negara menjadi isu penting yang kemudian terwujudkan

dengan lahirnya undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah dan

mengatur tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang terus

mengalami penyempurnaan dalam upaya mencapai hasil yang lebih baik.

Hal ini memberikan harapan bagi masyarakat yang ada di daerah untuk

dapat meningkatkan taraf hidupnya yang selama ini telah banyak mengalami

perlakuan yang tidak adil selama pemerintahan sentralistik. Namun, pelaksanaan

otonomi daerah ternyata meninggalkan banyak persoalan. Pemerataan

kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan belum benar-benar mampu

Page 24: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

12

diwujudkan, bahkan otonomi daerah dianggap sukses menciptakan banyak

praktik penyelenggaraan penyalahgunaan kekuasaan (Yulianto, 2005).

Proses-proses penyusunan dan pengambilan kebijakan merupakan kunci

keberhasilan pengentasan kemiskinan di suatu negara. Prosesnya dimulai dari

proses penilaian persoalan yang dihadapi dan membutuhkan intervensi

kebijakan, strategi yang dibutuhkan dan pernyataan tentang tujuan, sasaran dan

hasil yang ingin dicapai, pendefinisian kebutuhan dan prioritas-prioritas, serta

target yang ingin dicapai. Proses pro-poor policy (kebijakan yang memihak

rakyat miskin) dengan sederhana dapat dilihat sebagai proses yang melibatkan

kelompok miskin, maupun kebijakan yang tidak melibatkan kelompok miskin

secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka.

Berbicara mengenai penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari

kebijakan pro rakyat miskin (Pro Poor Policy). Hal ini telah banyak diungkapkan

oleh beberapa peneliti melalui beberapa kajian, Mirzakhanyan et al. (2005) dalam

Alemina et al. (2011:9) mendefinisikan Pro-Poor Policy sebagai:

Kebijakan yang dikembangkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang mengadopsi pendekatan pembangunan manusia (human development) yang tujuan utamanya adalah untuk memperkuat sumberdaya modal manusia (human capital strengthening) dan mengembangkan kesempatan (expanding opportunities) dari kelompok miskin.

Definisi lain dari kebijakan pro poor dikembangkan oleh Korayem (2004)

dalam Alemina et al. (2011:9) mengungkapkan kajiannya tentang Pro Poor Policy

di Mesir menjelaskan bahwa :

pro-poor policies can be divided into three types according to the target and the type of intervention for the poor: (1) policies / programs that specifically target the causes of poverty or beneficiary is primarily the poor, (2) policies / programs that improve the conditions of life of the group poor through the provision of basic infrastructure and supporting infrastructure of the economy, (3) policies/ programs targeting the reduction in the cost of living for the poor. Ada beberapa belanja publik yang secara alamiah memiliki sifat pro-poor

dan karenanya membantu mengurangi kemiskinan. Hal ini terlihat dari

Page 25: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

13

banyaknya literatur dan studi yang menyatakan belanja-belanja di sektor yang

dianggap sangat mempengaruhi kemiskinan, diantaranya penelitian Sepulveda

(2010) menyebutkan kesehatan dasar dan pendidikan dasar sebagai contoh

penting belanja yang memihak kepada orang miskin.

Studi Yao (2007) tentang desentralisasi fiskal dan pengurangan

kemiskinan menggunakan belanja di bidang pendidikan, kesehatan, dan

pertanian sebagai indikator yang dianalisis. Usman et al (2006) menyimpulkan

pos anggaran untuk pengeluaran yang sangat erat kaitannya dengan kemiskinan

atau menjadi faktor penentu solusi penanggulangan kemiskinan adalah sektor

pertanian, pendidikan, kesehatan keluarga, kesejahteraan keluarga dan

infrastruktur. Bahkan Bank Dunia (1990) dalam Kadji (2013:1) menjelaskan di

hadapan anggota PBB bertitel "Poverty and Human Development” menyatakan

bahwa "The case for human developement is not only or even primarily an

economic one. Less hunger, fewer child death, and better change of primary

education are almost universally accepted as important ends in themselves"

Hal ini menandakan bahwa pembangunan manusia tidak hanya

diutamakan pada aspek ekonomi, tapi yang lebih penting ialah mengutamakan

aspek pendidikan secara universal bagi kepentingan diri orang miskin guna

meningkatkan kehidupan sosial ekonominya. Untuk itu, menilai kebijakan pro-

poor harus dimulai dari penilaian tentang kualitas pemahaman akan akar

persoalan penyebab kemiskinan. Penilaian tersebut dianalisis secara mendalam

untuk mendapatkan pemahaman konteks kemiskinan yang lebih komprehensif

agar perumusan kebijakan yang akan dihasilkan dapat berkualitas dan memiliki

relevansi yang tinggi terhadap akar persoalan penyebab kemiskinan (Alemina et

al., 2011).

Page 26: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

14

Saya melihat bahwa isu kemiskinan yang dikaitkan dengan kebijakan pro

poor budget (anggaran yang memihak rakyat miskin) menjadi kajian yang

menarik untuk senantiasa dilakukan penelitian Diakui bahwa pro poor budget di

Indonesia tidak lepas dari kebijakan dan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari

aktor kebijakan. kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud

yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu

masalah atau suatu persoalan (Anderson dalam winarno, 2002).

Persoalan kebijakan dalam anggaran sektor publik merupakan persoalan

yang sangat menarik untuk diteliti dalam konteks pemerintahan daerah. Hal ini

dapat dilihat dari beberapa penelitian anggaran di sektor publik yang dilakukan

oleh Damayanti (2009), Syarifuddin (2009), Rahayu (2007), Utari (2009) dan

Widiantoro (2009). Anggaran menjadi penting untuk diteliti, karena anggaran

mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja organisasi. Bahkan, menurut

Syarifuddin (2009:4) anggaran berpengaruh pada kehidupan manusia.

Kebijakan publik menurut Laswel dan Kaplan, pada hakekatnya

merupakan Suatu keputusan yang sudah mantap (a standing decision)

menyangkut kepentingan umum, oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-

instansi pemerintah dalam proses penyelenggaraan negara. Dengan melihat

fakta yang ada, maka penulis sangat tertarik untuk dapat memahami dan

mengetahui perilaku dari aktor dalam memahami kebijakan pro poor budget di

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

1.2 Setting Sosial Penelitian

Saat dilangsungkan Millenium Summit pada bulan September tahun

2000, Pemerintah Indonesia bersama 188 negara lainnya sepakat

menandatangani Deklarasi Millenium Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB),

Page 27: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

15

sebuah program ambisius yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan,

meningkatkan kesehatan dan pendidikan, mendorong adanya perdamaian, hak

azasi manusia dan daya dukung lingkungan hidup. Pertemuan itu menghasilkan

sekumpulan tujuan yang disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs)

dan sejumlah kebijakan khusus yang terukur dan dapat dicapai di tahun 2015.

Komitmen Indonesia untuk mencapai MDGs adalah mencerminkan

komitmen Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan

memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia.

Karena itu, MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan Dokumen

Perencanan Pembangunan Nasional. Pemerintah Indonesia telah

mengarusutamakan MDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional (RPJPN 2005– 2025), Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN 2005 – 2009 dan 2010 – 2014). Dalam memenuhi target

MDGs di tahun 2015, maka indikator dari tujuan MDGs harus diintegrasikan

dalam Rencana Kerja Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan

dijabarkan dalam APBD sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaan program

pembangunan di daerah.

Terkait sebagai salah satu daerah otonomi, Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan selanjutnya disingkat Kab. Pangkep, memiliki permasalahan

kemiskinan tersendiri. Dari data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) melalui

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan setiap tahun

dengan cakupan seluruh wilayah Indonesia, diketahui bahwa angka kemiskinan

di Kab. Pangkep terhitung tahun 2002 hingga tahun 2013 mengalami fluktuasi.

Tahun 2010 jumlah penduduk miskin berjumlah 58.872 jiwa atau 19,26%,

tahun 2011 sebanyak 53.733 jiwa atau 17,36% tahun 2012 sebesar 52.300 jiwa

atau 16,62%, namun angka tersebut kembali meningkat menjadi 56,400 jiwa atau

Page 28: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

16

17,75% pada tahun 2013 dari total jumlah penduduk Kab. Pangkep (TKPKD Kab.

Pangkep, 2014). Persentase tingkat kemiskinan di Kab. Pangkep tahun 2013

masih berada pada posisi teratas dibandingkan seluruh kabupaten/kota lain se

Sulawesi Selatan yakni sebanyak 17,75%. Sebagaimana dapat dilihat pada

Grafik dibawah:

Grafik: Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan (%) Provinsi Sulsel 2013.

Sumber : TKPKD Kab. Pangkep, 2014.

Setiap tahunnya persentase tingkat kemiskinan kabupaten/kota di

Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan adanya penurunan. Dari data yang ada

Kab. Pangkep dalam lima tahun terakhir persentase tingkat kemiskinannya selalu

menempati urutan teratas dari kabupaten lainnya hingga tahun 2013. Tingkat

Kemiskinan Kab. Pangkep pada dasarnya menunjukkan perbaikan meskipun

efektifitasnya masih cukup lambat, ini membuktikan bahwa pemerintah Kab.

Pangkep sudah berupaya untuk mengurangi angka kemiskinan, namun tidak

sesuai dengan apa yang diharapkan karena masih berstatus daerah termiskin di

Sulawesi Selatan (TKPKD Prov. Sulawesi Selatan, 2013).

Data menunjukkan APBD Kab. Pangkep tahun 2013 sebesar Rp 880,8

miliar lebih, cukup besar bila dibandingkan dengan APBD sebahagian

Page 29: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

17

kabupaten/kota di Sulawesi selatan (Bank Indonesia, 2013). Hal ini membuktikan

bahwa dengan APBD yang ada, Pemerintah Kab. Pangkep seharusnya mampu

untuk lebih menekan angka kemiskinan setiap tahun, apalagi didukung dengan

pengelolaan keuangan yang baik karena tahun 2013 Pemerintah Kab. Pangkep

berhasil memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk penilaian pengelolaan keuangan daerah

tahun anggaran 2012 dan tahun anggaran 2013.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ada beberapa sektor belanja

publik yang secara alamiah memiliki sifat pro-poor dan karenanya membantu

mengurangi kemiskinan di Kab. Pangkep diantaranya sektor pendidikan,

kesehatan dan infrastruktur dasar. Untuk itu peneliti memberi gambaran kondisi

anggaran dari tiap-tiap sektor tersebut. Data dari Bappeda Kab. Pangkep tahun

2014, menunjukkan bahwa alokasi dana pendidikan di Kab. Pangkep dari kurun

waktu 5 tahun terakhir nilainya terus bertambah, tahun 2010 alokasi anggaran

untuk pendidikan sekitar 14,70% sedangkan tahun 2013 telah mencapai 21,61%

dan tahun 2014 mencapai 21,91% atau melebihi 20% dari total anggaran.

Alokasi anggaran bidang kesehatan juga cenderung meningkat, namun di

tahun 2013 alokasi anggaran terjadi penurunan. Pada tahun 2012 anggaran

kesehatan sebesar 12,14%, pada tahun 2013 turun menjadi 12,10% dan pada

tahun 2014 naik menjadi 13,51%. Sedangkan untuk anggaran di sektor

infrastruktur dasar nilainya fluktuatif dari tahun ke tahun.Tahun 2008 nilai

anggaran mencapai 66 miliyar namun tahun 2009, 2010 dan 2011 nilainya

cenderung menurun. Di tahun 2012 alokasi anggaran mencapai 82 milyar,

berikutnya untuk tahun 2013 alokasi anggaran sebesar 25,86% dari total

anggaran dengan nilai anggaran sebesar 113 milyar. Di tahun 2014 alokasi

anggaran mencapai 169 milyar. Alokasi anggaran di sektor sosial dan tenaga

Page 30: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

18

kerja cenderung mengalami peningkatan dari kurun waktu 5 tahun terakhir, tahun

2010 alokasi anggaran untuk sekitar 0,47% sedangkan tahun 2013 telah

mencapai 2,24% dan tahun 2014 mencapai 2,07%. Sebagaimana dapat dilihat

pada tabel di bawah:

Tabel : Alokasi anggaran sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar Kab. Pangkep

Sumber : Bappeda Kab. Pangkep 2014

Data di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan proporsi

APBD Kab. Pangkep yang ada sebenarnya cukup besar untuk secara bertahap

dan terencana mampu menurunkan angka kemiskinan. Dengan kata lain tingkat

kemiskinan di Kabupaten Pangkep bukan disebabkan karena proporsi APBD,

tetapi menurut saya ada faktor-faktor lain yang membuat masih tingginya tingkat

kemiskinan di Kab. Pangkep, seperti adanya berbagai kepentingan para aktor

pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi proses penganggaran misalnya

melalui pemahaman tentang pro poor budget yang tidak merata dan tidak tepat

sasaran. Saya melihat bahwa eksekutif adalah budget actors yang eksistensinya

tidak terlepas dari peran sebagai pembuat kebijakan anggaran dan konstitusi

memberi amanah kepada budget actors ini untuk menciptakan hubungan yang

dinamis dalam merumuskan kebijakan anggaran. Hal inilah yang

melatarbelakangi ketertarikan saya untuk melakukan penelitian terhadap

interaksi aktor dalam memahami pro poor budget yang berlangsung di Kab.

Pangkep.

2010 % 2011 % 2012 % 2013 % 2014 %1 Dinas Kesehatan dan RSU 34,258,418,419 14.70 43,320,583,672 13.73 41,792,402,964 12.94 52,947,057,207 12.10 78,444,631,473 13.51 2 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga 43,283,436,414 18.57 104,231,326,350 33.04 66,070,541,176 20.46 94,561,219,152 21.61 127,247,909,119 21.91 3 Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang 82,308,134,527 35.31 75,748,485,000 24.01 82,263,383,845 25.47 113,126,626,018 25.86 169,064,695,481 29.11 4 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja 1,089,620,332 0.47 1,218,000,000 0.39 3,684,440,380 1.14 9,817,040,000 2.24 12,036,607,650 2.07

No SKPD JUMLAH ANGGARAN

Page 31: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

19

1.3 Fokus Penelitian

Berbagai kebijakan para budget actors yang ditampilkan pada

penyelenggaraan negara menjadi hal yang sangat menarik bagi peneliti, simbol

yang diimplementasikan dalam mengambil kebijakan pro poor budget menjadi

cerminan dalam mewujudkan anggaran yang memihak rakyat miskin. Namun,

agar penelitian ini menjadi lebih fokus, peneliti membatasi masalah pada

interpretasi simbol yang tercipta dari budget actors melalui interaksi simbolik

dalam memahami konsep pro poor budget yang terjadi pada organisasi

pemerintah daerah, secara spesifik yang terjadi pada pemerintah Kab. Pangkep.

Para budget actors yang menjadi fokus perhatian saya adalah eksekutif

yang tergabung dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) sebagai aktor

yang menyusun dan merencanakan kebijakan umum anggaran pemerintah

daerah, serta berfungsi sebagai pelaksana keputusan anggaran dalam bentuk

APBD.

Interaksi antara budget actors yang seharusnya mengedepankan

kepentingan rakyat miskin melalui pemahaman dan analisa pro poor budget

dengan kenyataan perilaku yang cenderung banyak menyimpang dari tujuan

anggaran yang memberikan pemenuhan kesejahteraan rakyat akan menjadi

pokok penelitian ini. Sehingga pertanyaan penelitian studi ini adalah: “Bagaimana

interaksi simbolik budget actors dalam memaknai konsep pro poor budget di Kab.

Pangkajene dan Kepulauan”?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap simbol interaksi budget actors

(Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dalam memaknai pro poor budget di Kab.

Pangkep.

Page 32: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

20

1.5 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kontribusi,

baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat

menambah nilai dalam khazanah ilmu akuntansi sektor publik, terutama konsep

pro poor budgeting di daerah. Penelitian ini dapat menjadi sumber acuan bagi

para insan akademis yang ingin memperluas pemahamannya atas persoalan

akuntansi anggaran dan pola perilaku melalui simbol-simbol yang tercipta oleh

para aktor anggaran. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai batu loncatan

dalam melakukan kajian lanjutan dengan paradigma lainnya, serta dapat

diperbandingkan dengan penelitian-penelitian anggaran sebelumnya yang telah

dilakukan oleh para peneliti anggaran terdahulu.

Manfaat praktis penelitian ini, budget actors (Tim Anggaran Pemerintah

Daerah) dapat mengeksplorasi pemahaman tentang pro poor budgeting

(anggaran yang memihak rakyat miskin) dalam skala prioritas. Hasil studi ini

dapat digunakan untuk mengungkap simbol melalui interaksi simbolik yang

tercipta di antara budget actors dalam kebijakan anggaran di daerah.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam rangka pemahaman secara menyeluruh dalam penulisan tesis ini,

saya merasa perlu untuk membuat sistematika penulisan tesis ini agar dapat

menunjukkan arah penulisan, serta keterkaitan antar bab. Adapun sistematika

penulisan dari tesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bab satu konteks

penelitian, setting sosial penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian dan

manfaat penelitian. Dalam konteks penelitian penulisan diantaranya

menggambarkan tentang kemiskinan dan kebijakan anggaran.

Bab dua tinjauan pustaka membahas proses akuntansi keperilakuan,

penganggaran, teori interaksi simbolik, serta membahas berbagai pendapat dan

Page 33: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

21

literatur yang berkaitan dengan pustaka yang mendukung penelitian. Bab tiga

metode penelitian membahas berbagai hal yang berisi tentang pendekatan

penelitian, jenis penelitian, metode dan strategi penelitian. Dalam bab ini, peneliti

ingin memberikan gambaran tentang hal-hal berkaitan dengan metode penelitian

yang digunakan, dalam hal ini saya mengunakan teori interaksi simbolik untuk

mengungkap simbol yang tercipta dari budget actors dalam memahami pro poor

budget.

Bab empat dan bab lima merupakan pembahasan dari penelitian

mengenai interaksi simbolik aktor anggaran dalam memaknai pro poor badget

dan kebijakan anggaran di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Bab enam

merupakan kesimpulan, refleksi serta rekomendasi dan keterbatasan penelitian.

Page 34: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

22

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN

"Budget partly political, partly to contain economic, partly containing accounting and partly administrative nature" (Hyde, 1978)

2.1 Sekilas tentang Akuntansi Keperilakuan

Akuntansi, biasanya hanya terpusat pada pelaporan informasi keuangan.

Pada beberapa dekade terakhir para manajer dan akuntan profesional mulai

mengetahui kebutuhan akan tambahan informasi ekonomi yang dihasilkan oleh

sistem akuntansi. Oleh karena itu, informasi ekonomi dapat ditambahkan dengan

tidak hanya melaporkan data-data keuangan saja, tetapi juga data-data non

keuangan yang terkait dengan proses pengambilan keputusan. Berdasarkan

kondisi ini adalah wajar jika akuntansi sebaiknya memasukkan dimensi-dimensi

keperilakuan dari berbagai pihak yang terkait dengan informasi yang dihasilkan

oleh sistem akuntansi.

Teori-teori ilmu pengetahuan seperti sosiologi, psikologi, maupun

antropologi sangat mempengaruhi perkembangan ilmu akuntansi. Akuntansi

adalah disiplin ilmu yang hadir dan terus berubah seiring dengan munculnya

gagasan, hasil riset dan tuntutan baru yang berkenaan dengan akuntansi

sebagai disiplin ilmu yang melayani publik. Khusus mengenai riset akuntansi,

telah banyak menghubungkan antara akuntansi dengan aspek perilaku individu

ataupun kelompok dalam organisasi sehubungan kebijakan akuntansi (Arfan,

2010:13).

Akuntansi perilaku berisi studi reaksi manusia ketika informasi diproses

untuk pembuatan keputusan dan pengembangan strategi untuk memotivasi dan

mempengaruhi perilaku, aspirasi dan tujuan orang yang menjalankan organisasi,

22

Page 35: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

23

(Siegel dan Marconi, 1989:3-4). Dalam buku akuntansi keperilakuan, Arfan

(2010) menyatakan bahwa terdapat banyak faktor kompleks yang terkait dengan

perilaku manusia, yakni kebutuhan individu dan motivasi, tekanan kelompok,

tuntutan organisasi, sejarah pribadi dan latar belakang individu yang unik, konflik

pesan dari dalam dan luar organisasi, tuntutan waktu, sosial, serta tanggung

jawab pribadi.

Dalam interaksi sosial, individu yang berorientasi hanya pada dirinya

cenderung berperilaku untuk mengejar kepentingan pribadinya, sedang dalam

hubungan berorientasi kolektif, kepentingan yang ada sebelumnya akan

didominasi oleh kelompok (Poloma, 2013:173). Secara terperinci, ruang lingkup

akuntansi keperilakuan tersebut adalah mempelajari pengaruh perilaku manusia

terhadap desain, konstruksi dan penggunaan sistem akuntansi yang diterapkan,

mempelajari pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku manusia, dalam hal ini

motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan dan kerja sama, serta

menjadikan sistem akuntansi dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku

(Hudayati, 2002:81).

2.2 Defenisi Anggaran

Anggaran dapat didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda. Munandar

(1986 : 1) anggaran adalah suatu rencana yang disusun secara sistematis,

meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan dalam unit moneter dan

berlaku untuk jangka waktu tertentu. Menurut Wildavsky dalam Prawoto (2010

:116) mengatakan bahwa anggaran adalah:

(i) catatan masa lalu; (ii) rencana masa depan; (iii) mekanisme pengalokasian sumber daya; (iv) metode untuk pertumbuhan; (v) alat penyaluran pendapatan; (vi) mekanisme untuk negosiasi; (vii) harapan –aspirasi-strategi-organisasi; (viii) satu bentuk kekuatan kontrol; (ix) alat atau jaringan komunikasi.

Page 36: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

24

Berdasarkan konsep anggaran di atas, anggaran negara/daerah meliputi:

rencana keuangan mendatang yang berisi pendapatan dan belanja, gambaran

strategi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya untuk pembangunan, alat

pengendalian, instrumen politik dan disusun dalam periode tertentu

Suhanda, (2007 : 6) mengatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah merupakan suatu rencana tahunan sebagai aktualisasi

pelaksanaan rencana jangka panjang dan menegah, dan dalam penganggaran,

rencana jangka panjang dan jangka menengah perlu diperhatikan. Dengan

demikian, anggaran memiliki hubungan yang kuat dengan perencanaan. Disatu

pihak, pencerminan dalam anggaran belanja negara menjamin kepastian

pembiayaan, sedangkan dilain pihak perencanaan akan memberikan perhatian

keterbatasan pembiayaan (Tjokroamidjojo, 1994 : 166). Dan sebagai sebuah

kebijakan publik, perencanaan pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk

anggaran merupakan suatu proses politik, yang melibatkan banyak pihak dengan

banyak kepentingan. Anggaran yang disusun pemerintah akan mencerminkan

apakah pemerintah memperhatikan kepentingan, kebutuhan, melindungi, serta

menghargai hak-hak rakyat atau hanya akan menguntungkan pihak elit saja

(Puspitasari. 2006 : 67). Selanjutnya oleh Puspitosari dkk, dikatakan bahwa

anggaran harus dapat memenuhi kebutuhan rakyat, antara lain kesejahteraan,

pendidikan, perlindungan ekonomi, lapangan kerja, adanya jaminan social, serta

standar hidup yang layak, program dan kegiatan yang disusun harus bisa

mengatasi segala macam persoalan yang dihadapi oleh rakyat.

2.2.1 Anggaran: Pengalokasi Sumber Daya Keuangan Secara Efisien dan

Efektif Mardiasmo (2004:178), memberikan definisi anggaran sebagai

pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode

Page 37: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

25

waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Lebih lanjut Mardiasmo

mengatakan, anggaran daerah juga merupakan managerial plan for action

sebagai fasilitas tercapainya tujuan organisasi yang meliputi aspek perencanaan,

aspek pengendalian, dan aspek akuntabilitas publik.

Melalui pendekatan ekonomi publik, penganggaran secara esensial

dipandang sebagai alat untuk menempatkan sumber daya (resouce allocation)

secara efisien sesuai kebutuhan dengan asumsi bahwa kebutuhan memiliki

keterkaitan ekonomi secara alami dan alokasi sumber daya yang optimum dapat

dilakukan. Dalam interpretasi luas menurut Myles (2001:3), ekonomi publik

adalah studi tentang kebijakan ekonomi yang diperankan oleh negara atau

pemerintah dengan penekanan khusus pada perpajakan. Pendekatan ekonomi

publik dalam sektor publik. Disis lain, Pinto (1980:33) dalam Suhirman (2007:2)

menekankan pada alokasi anggaran publik sebagai instrumen untuk

menyelesaikan tujuan fiskal yang telah ditetapkan agar memenuhi efisensi pasar

(market efficiency) dan program publik yang efektif (public program

effectiveness). Oleh karenanya, relevansi dari tiap pilihan alokasi, secara

eksplisit memformulasikan struktur preferensi dan berbagai kepentingan

masyarakat serta merefleksikan permintaan masyarakat terhadap barang publik.

Jika konsep kepuasan sosial (social utility) atau kesejahteraan (welfare)

akan digunakan sebagai pedoman untuk alokasi sumber daya oleh pemerintah,

menurut Fozzard (2001:43) maka dua unsur pokok harus dipenuhi. Pertama,

kriteria dan mekanisme untuk rekonsiliasi dari perbedaan-perbedaan relatif

kepuasan individu untuk kombinasi yang berbeda terhadap barang dan jasa.

Dengan kriteria dan mekanisme yang menyeluruh tersebut maka fungsi

kepuasan sosial yang menyeluruh dapat dideskripsikan. Kedua, denominator dari

kepuasan bersama sebagai dasar untuk perbandingan dari alternatif

Page 38: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

26

penggunaan dana publik. Terpenuhinya kedua unsur pokok tersebut maka akan

menyediakan solusi menyeluruh atas konsep efisiensi alokatif dan penilaian atas

manfaat-biaya yang dapat digunakan dalam analisis manfaat-biaya (cost-benefit

anlaysis).

Selain memperhatikan kegagalan pasar sebagai dasar rasionalitas untuk

belanja publik, menurut Tanzi et al. (1999) dalam Fozzard (2001:63) saat ini

diterima secara luas bahwa pengurangan kesenjangan sosial dan kemiskinan

merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan belanja. Dalam pendekatan

ini, metode analisis fokus pada distribusi pendapatan, yang biasanya diukur dari

dampak pajak, pengeluaran dan pendapatan rumah tangga diantara kelompok

sosial yang berbeda. Pendekatan ini konsisten dengan kerangka konseptual

dimana kesetaraan dan kemiskinan didefinisikan dengan ukuran pendapatan

sebagai salah satu kriteria untuk menilai dan mendesain kebijakan pengeluaran.

2.2.2 Anggaran: Mekanisme Untuk Mobilisasi dan Koordinasi

Sumber daya juga dialokasikan melalui proses pembuatan kebijakan yang

melibatkan lembaga-lembaga pemerintah, masyarakat dan organisasi non

pemerintahan yang beragam, yang masing-masing merepresentasikan

kepentingan tertentu (Fozzard, 2001:23-25). Adanya berbagai institusi yang

terlibat dalam proses penganggaran tersebut tentunya memerlukan sebuah

koordinasi diantara lembaga tersebut. Oleh karena itu, analisis terhadap

anggaran pemerintah juga harus fokus pada desain kelembagaan sebagai

wahana proses penetapan anggaran.

Desain struktur kelembagaan, proses dan aktor merupakan bagian utama

dalam penganggaran. Anggaran publik dalam administrasi publik menurut Pinto

(1986:42) dalam Suhirman (2007) tidak hanya dipandang sebagai bentuk alokasi

Page 39: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

27

untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat atas barang publik, akan tetapi proses

penganggaran juga dapat dipandang sebagai pembentukan strategi untuk

koordinasi dan kombinasi sumber daya dalam pola-pola tindakan untuk

mencapai tujuan. Dalam konteks ini, penganggaran merupakan alat untuk

menilai dan mengontrol pencapaian tujuan secara efektif. Penganggaran tidak

dibatasi sebagai pembentukan pola-pola pilihan untuk alokasi tetapi sebagai

pola-pola pilihan untuk mobilisasi. Melalui proses ini, Pinto (1986:44)

menegaskan bahwa sumber daya langka dengan beragam segmen masyarakat

dilegitimasi tidak hanya berdasarkan rasionalitas ekonomi tetapi juga

berdasarkan rasionalitas untuk mencapai pemenuhan tujuan secara efektif, yaitu

integrasi sosial dan politik. Frederickson dan Smith (2003:134) menyatakan

bahwa teori keputusan rasional adalah teori yang berkaitan dengan

mengklasifikasi dan menempatkan prioritas nilai dan tujuan organisasi yang

mempertimbangkan dan menyediakan alternatif atau kemungkinan untuk

mencapai tujuan tersebut, serta menganalisis alternatif atau kelompok alternatif

yang lebih tampak dapat mencapai tujuan yang ditetapkan.

Anggaran juga dapat didekati dengan menggunakan teori ‘pilihan publik’

yang berasumsi bahwa manusia adalah rasional, yaitu ia akan berusaha untuk

mengoptimalkan kepuasannya diantara pilihan-pilihan yang tersedia (Fozzard,

2001:33). Hill (1999:1) menyatakan bahwa pilihan publik didefinisikan sebagai

penerapan model pilihan rasional untuk pengambilan keputusan publik.

Sementara itu, pembuat kebijakan tidak memiliki informasi yang lengkap dan

tindakan mereka dibatasi oleh peraturan (Kraan, 1996) dalam Fozzard (2001:73).

Oleh karenanya, menurut Fozzard perlu dibuat kerangka kerja kelembagaan

yang dapat memoderasi berbagai kepentingan dengan aturan main yang adil.

Dengan cara pandang ini maka pendekatan pilihan publik dapat membangun

Page 40: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

28

teori positif yang dapat menjelaskan tingkah laku dari pembuat kebijakan,

interaksi diantara mereka dan implikasinya terhadap outcomes anggaran.

Berdasarkan teori ini maka rekomendasi dapat disusun untuk membuat kerangka

kelembagaan yang sesuai dengan tujuan dari belanja publik.

2.2.3 Anggaran: Permainan Kekuasaan dan Politik

Dalam konteks kelembagaan yang lebih luas, proses penganggaran juga

dipandang sebagai persoalan politik yang lebih luas dan tidak semata-mata

politik dalam pengertian representasi pemilihan umum. Mengutip Wildavsky

(2001:12)

..all budgeting is about politics, most politics is about budgeting, and budgeting therefore be understood as part of political game..

Argumen Wildavsky tersebut, menggambarkan anggaran sebagai usaha-

usaha untuk mengalokasikan sumber daya keuangan melalui proses politik untuk

melayani cara-cara hidup yang berbeda dan sekaligus sebagai perjuangan

merebut kekuasaan. Oleh karena itu, kebijakan anggaran adalah keputusan

tentang kekuasaan, siapa yang memegangnya, siapa yang diuntungkan dan

siapa yang tidak diuntungkan. Dari sini dapat dilihat bahwa masalah-masalah

dan agenda-agenda dijadikan masalah politik yang menunjukan persilangan

kepentingan antar kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan sehingga

sampai pada lahirnya sebuah kebijakan anggaran.

Dalam konteks politik, Kelly (2005:37) mencoba menghubungkan

perubahan dukungan publik untuk peranan pemerintah dengan fokus reformasi

anggaran dengan studi kasus di masyarakat Amerika. Kelly mengklaim bahwa

dia memiliki jawaban terhadap pertanyaan V.O. Key tentang teori anggaran yaitu

bahwa anggaran adalah teori siklus politik yang didorong oleh perubahan opini

publik mengenai peran pemerintah yang pantas. Di sisi lain, Kaufman (2004:412)

Page 41: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

29

menghubungkan proses anggaran dengan ‘rent seeking’. Terminologi ‘rent-

seeking’ merujuk pada kelompok kepentingan tertentu yang berusaha mencari

keuntungan khusus dengan sedikit atau tanpa biaya. Studi Kaufman ini mencatat

peran kompetisi dan persilangan kepentingan antara bermacam-macam sektor

ekonomi lokal sebagai kekuatan untuk pembentukan dan mobilisasi organisasi

kelompok kepentingan.

Studi yang dilakukan Hagen et al. (1996:41-63) di Norwegia menunjukkan

kecenderungan mengenai studi-studi penetapan anggaran pemerintah saat ini

yang lebih banyak menekankan pada proses tawar menawar (bargaining) antara

‘penjaga’ dan ‘advokat’ disebabkan adanya perbedaan dan persilangan

kepentingan. Berdasarkan studinya, Hagen et al. menjelaskan dampak prosedur

kelembagaan dalam ’perundingan kekuasaan’ (bargaining power), yang

menunjukkan bahwa prosedur anggaran dan siklus pemilihan berdampak pada

kekuatan berunding dari para negosiator. Oleh karena itu, pentingnya

peningkatan kapasitas dan komitmen stakeholder yang berkepentingan dan

terlibat dalam penganggaran yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan legislatif.

2.3. Perencanaan Anggaran

Jones (1998) yang dikutip oleh Waidl et al (2008:76) menyatakan bahwa

ada dua kunci unsur dalam anggaran yaitu perencanaan anggaran dan kontrol.

Selanjutnya Waidl et al (2008:76) menjelaskan bahwa perencanaan anggaran

adalah rencana keuangan untuk masa depan, sedangkan kontrol anggaran

adalah penggunaan anggaran yang telah ditetapkan untuk memantau dan

mengontrol kinerja aktual. Perencanaan anggaran yang efektif dan pengendalian

proses dapat membantu manajer dalam mencapai tujuan operasional jangka

panjang, jangka pendek, dan tujuan-tujuan strategis.

Page 42: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

30

Menurut Bastian (2009: 100) dengan jelas menyatakan bahwa:

“Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnya underfinancing atau overfinancing yang akan memengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran. Dalam situasi seperti itu, banyak layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik. Sementara, dana pada anggaran yang pada dasarnya merupakan dana publik habis dibelanjakan seluruhnya. Dalam jangka panjang kondisi seperti ini memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan pengusaha dalam proses pembangunan”.

Rencana pembangunan baik dalam bentuk program, kebijakan, maupun

kegiatan hanya akan tinggal sebagai dokumen sia-sia dan tidak akan berarti apa-

apa jika tidak dianggarkan. Disisi lain, keterbatasan anggaran semakin menuntut

adanya perencanaan yang matang agar pemanfaatan sumber daya yang

tersedia benar-benar dilakukan secara efisien dan efektif. Sebagaimana

dikemukakan oleh Sri Mulyani Indrawati (2004) bahwa tugas pemerintah melalui

perencanaan adalah :

“Mengarahkan penggunaan sumber daya tersebut melalui suatu mekanisme pengaturan, proses pengelolaan, alokasi sumber daya masyarakat, dan anggaran pemerintah. Untuk itu keterkaitan dan keserasian antara perencanaan dan penganggaran merupakan syarat yang mutlak. Apabila penganggaran terlepas dengan perencanaan juga sebaliknya, maka dipastikan tujuan pembangunan akan sulit untuk diwujudkan karena terjadi alokasi anggaran yang memungkinkan terjadinya pemborosan dan inefisiensi, bahkan salah arah dan sia-sia”.

Menurut Bastian (2009: 3) mengatakan bahwa “perencanaan dan

penganggaran merupakan rangkaian kegiatan dalam satu kesatuan atau

kontinum”. Penganggaran perlu memperhatikan kapasitas fiskal yang tersedia.

Sehingga, dalam penerapannya konsekuensi atas integrasi kegiatan

perencanaan dan penganggaran perlu diperhatikan.

Sejalan dengan itu, menurut Kwik Kian Gie (2004) dikatakan bahwa

perencanaan dan penganggaran adalah dua hal yang sulit dipisahkan karena

bertautan sangat erat. Perencanaan dan penganggaran baik tingkat pusat

maupun daerah dapat berkoordinasi dengan baik dan efektif serta dapat menjadi

lembaga yang handal dalam menyiapkan rencana kerja sehingga dapat

Page 43: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

31

menghasilkan suatu rencana yang berkualitas dengan dukungan dana yang

memadai.

Perencanaan anggaran setidaknya berarti memilih tingkat sasaran

pelayanan tertentu melalui aktivitas yang dilakukan dan selanjutnya mencari tahu

biaya personil dan perlengkapan untuk mencapai tujuan tertentu (Rubin, 1990:

180). Selanjutnya, Rubin (1990: 180) mengatakan bahwa para reformis anggaran

pada pergantian abad ini juga menekankan peran perencanaan dalam anggaran.

Mereka berargumen bahwa anggaran harus berisi rencana kerja dan

memberikan dana untuk masa depan serta kebutuhan saat ini. Beberapa

reformis melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa perencanaan anggaran

adalah cara untuk menemukan dan menanggapi kebutuhan yang belum

terpenuhi dalam masyarakat.

2.4. Penganggaran Sektor Publik

Penganggaran dilakukan oleh semua organisasi baik organisasi publik

maupun privat. Menurut Mardiasmo (2002:181), penganggaran adalah:

proses untuk mempersiapkan suatu anggaran yang berisi pernyataan dalam bentuk satuan uang yang merupakan refleksi dari aktivitas dan target kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu.

Penganggaran pada dasarnya merupakan proses penentuan jumlah

alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap program dan aktivitas dalam

bentuk satuan uang. Dengan demikian tahap penganggaran menjadi sangat

penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja

akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah ditetapkan. Anggaran

merupakan managerial plan for action untuk memfasilitasi tercapainya tujuan

organisasi.

Kenis (1979) dalam Yuliastuti (2015) mengemukakan anggaran

merupakan pernyataan mengenai apa yang diharap dan direncanakan dalam

Page 44: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

32

periode tertentu di masa yang akan datang. Proses penganggaran sebagai cara

memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi tidak terkecuali organisasi sektor

publik.Proses penyusunan anggaran selanjutnya disebut dengan istilah

penganggaran. Penganggaran (budgeting) merupakan aktivitas mengalokasikan

sumber daya keuangan yang terbatas untuk pembiayaan belanja organisasi yang

cenderung tidak terbatas (Haryanto, 2007).

Kebijakan anggaran adalah jantung dari desentralisasi dalam era

demokrasi di Indonesia. Dalam pengelolaan keuangan publik, sudah sepatutnya

menempatkan rakyat pada porsi utama dalam penyusunan anggaran. Ada

beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran

yang rasional dan proposional menurut Rahayu (2010:253), yaitu :

Pertama, rakyat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam anggaran publik melalui pajak dan retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari utang selalu dipresentasikan dari kebutuhan rakyat. Kedua, sesuai hakikat dan fungsi anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan. Ketiga, amanah konstitusi yang memberi rakyat haknya untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan anggaran. Penganggaran pada sektor publik merupakan suatu proses yang cukup

rumit, termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sektor publik

terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program

dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran organisasi sektor

publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategi telah selesai

dilakukan.Dengan demikian dikatakan oleh Mardiasmo, (2002:61) bahwa

dalam organisasi sektor publik penganggaran merupakan suatu proses

politik. Hal ini berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta yang

relatif kecil nuansa politiknya. Karena pada sektor swasta anggaran

merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik,

namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan

Page 45: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

33

kepada publik untuk dikritik, didiskusikan dan diberi masukan. Anggaran

sektor publik merupakan instrument akuntabilitas atas pengelolaan dana

publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.

Sebagai instrumen kebijakan publik, anggaran tidak dapat terlepas dari

berbagai kepentingan aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Pada dasarnya,

masyarakat atau masing-masing orang atau aktor-aktor memiliki aspirasi yang

beragam dan sifatnya tidak tunggal sehingga perbedaan kepentingan adalah

keniscayaan. Trijono et al. (2004:269) mengatakan bahwa ketika pintu partisipasi

dibuka dalam proses perumusan kebijakan publik, maka persilangan kepentingan

adalah suatu keniscayaan, hal itu juga berarti membuka pintu bagi beragam

kepentingan yang bersilangan untuk mengedepan.

Anggaran publik adalah alat utama pemerintah untuk melaksanakan

semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan

terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan

dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut

(Dobell dan Ulrich, 2002:2). Oleh karenanya, menurut Rahayu (2010:156),

kebijakan anggaran publik adalah suatu kebijakan ekonomi yang diperankan oleh

pemerintah dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi

lebih baik.

2.5 Pro Poor Budget

Anggaran merupakan pernyataan resmi pemerintah tentang perkiraan

penerimaan dan usulan belanja pada tahun berjalan. Dengan kalimat lain,

anggaran adalah sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan

kebijakan pemerintah, baik kebijakan sosial maupun ekonomi (Khan dan Hildreth

2002; Salihu, 2005; Shim dan Siegel, 2005 dalam Zamroni dan Anwar, 2008:12).

Page 46: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

34

Sebagai kebijakan publik dan ekonomi, Musgrave (1959) dalam Zamroni

dan Anwar (2008:11), mengidentifikasi tiga fungsi anggaran, yaitu

Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan sebuah instrumen pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa publik guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, fungsi alokasi ini sering disebut dengan "belanja pembangunan" atau "belanja publik", yang misalnya hadir melalui pembangunan fasilitas publik, pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahandansebagainya) maupun bantuan untuk pemberdayaan masyarakat. Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan sebuah instrumen untuk membagi sumberdaya (kue pembangunan) dan pemanfaatannya kepada publik secara adil dan merata. Fungsi distribusi anggaran terutama ditujukan untuk menanggulangi kesenjangan sosial-ekonomi, misalnya kesenjangan antara golongan kaya dan kaum miskin, kesenjangan antara daerah maju dengan daerah tertinggal atau kesenjangan antara desa dan kota. Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu akan mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi sebuah instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi, yakni terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan stabilitas ekonomi makro (laju inflasi, nilai tukar, harga-harga barang dan lain-lain).

Sebagai sebuah dokumen politik, anggaran hendak mengalokasikan

sumberdaya langka kepada masyarakat di antara kepentingan yang kompleks,

kompetitif dan bahkan konfliktual. Sebagai dokumen ekonomi dan fiskal,

anggaran menjadi instrumen utama untuk mengevaluasi distribusi pendapatan,

mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi inflasi, mempromosikan

lapangan pekerjaan maupun menjaga stabilitasekonomi. Sebagai dokumen

akuntansi, anggaran menjadi pedoman dan pagu bagi belanja pemerintah.

Sebagai dokumen manajerial dan administratif, anggaran menjadi instrumen

untuk mengarahkan penyediaan pelayanan publik. Sebagai sebuah kebijakan,

maka anggaran sebenarnya merupakan dokumen publik, bahkan di Indonesia

dikatakan bahwa anggaran merupakan kumpulan "uang rakyat" (Zamroni dan

Anwar, 2008:13).

Anggaran adalah sesuatu yang tidak dapat disentuh (untouchable) oleh

setiap orang. Secara keilmuan, anggaran dimonopoli oleh ekonom, akuntan,

serta administrasi publik, dan secara politik kebijakan anggaran didominasi oleh

eksekutif dan legislatif. Tampaknya anggaran merupakan produk teknokratik

Page 47: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

35

yang bekerja di ruang hampa politik.Pandangan seperti itu juga mempengaruhi

reformasi anggaran. Arus utama reformasi anggaran didominasi oleh cara

pandang institusionalis dan teknokratis, yang berupaya membuat anggaran lebih

ekonomis, efisien, akuntabel, perbaikan atau hanya berorientasi pada anggaran

yang lebih baik (Wildavsky, 1958) dalam Rahman (2010:4-5). Anggaran berbasis

kinerja (performance budgeting) termasuk sebuah konsep mutakhir yang

membimbing reformasi anggaran untuk membuat anggaran yang lebih baik

(Shim dan Siegel, 2005;Shah, 2007,dalam Zamroni dan Anwar, 2008). Kaum

liberal umumnya mengatakan bahwa birokrasi adalah “pemangsa” anggaran

terbesar, "lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan", yang

menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu formasi dan peran negara harus

dikurangi seminimal mungkin dan birokrasi harus dirasionalisasi agar anggaran

lebih efisien. Privatisasi dan outsourcing merupakan rute utama yang ditempuh

untuk membuat anggaran dan pelayanan lebih efisien dan lebih baik.

Di Indonesia, reformasi anggaran menjadi wacana dan kebijakan

pemerintah yang utama sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Selain

privatisasi dan outsourcing dijalankan secara gencar oleh lembaga-lembaga

pemerintah, cara pandang better budget menjadi pegangan utama rezim

keuangan di Indonesia dalam melakukan reformasi anggaran. Tampaknya

reformasi anggaran ditujukan untuk mendukung upaya-upaya pemberantasan

korupsi dalam tubuh pemerintah. Memang betul bahwa korupsi menjadi akar

masalah rendahnya kesejahteraan dan tinggi kemiskinan. Reformasi keuangan

yang mengutamakan akuntabilitas administrasi dan hukum untuk pencegahan

korupsi itu sangat tidak kompatibel dengan kebijakan redistributif untuk mencapai

kesejahteraan.

Page 48: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

36

Jika upaya-upaya reformasi anggaran yang tengah berjalan tidak

kompatibel dengan tujuan kesejahteraan, maka kita perlu melihat reformasi

anggaran dari sisi lain. Karya klasik Key (1940) maupun Wildavsky (1958) dalam

Zamroni dan Anwar, (2008:15)sudah mengingatkan bahwa :

reformasi anggaran bukan sekadar membuat better budget(anggaran yang lebih baik), tetapi yang lebih penting harus melihat dimensi politik anggaran, terutama "siapa memperoleh apa" (who gets what). Pembicaraan tentang "siapa memperoleh apa" itu mencakup dua fungsi anggaran, yakni distribusi dan alokasi. Kedua fungsi ini tentu tidak hanya berbicara mengenai perhitungan secara teknokratik, tetapi juga mengandung politik.

Better budget (anggaran yang lebih baik) seharusnya ditempatkan pada

dimensi kesekian dalam reformasi anggaran. Dimensi pertama yang harus

ditekankan adalah "politik anggaran", terutama kebijakan untuk alokasi dan

distribusi anggaran kepada publik. Reformasi politik sebaiknya juga menyentuh

reformasi anggaran, atau sebaliknya reformasi anggaran sebaiknya

diintegrasikan ke dalam agenda reformasi politik. Secara teoretis dan empirik,

arus utama reformasi politik adalah desentralisasi dan demokratisasi.

Desentralisasi di sektor anggaran menghasilkan apa yang disebut dengan

desentralisasi fiskal, yang notabene mengikuti devolusi politik, yakni

distribusialokasi anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dengan

tujuan untuk mendanai pelayanan publik yang sesuai dan dekat dengan konteks

dan preferensi lokal (Burkietal.,1999; Bird dan Vaillancourt, 2000; Boexetal.,

2006, dalamZamroni dan Anwar, 2008:16).

Di Indonesia, desentralisasi anggaran (melalui desentralisasi fiskal) sudah

berjalan sejak 1999, yang mengalihkan kurang lebih 40% anggaran negara ke

level daerah melalui dana perimbangan. Yang menjadi persoalan mendasar

dalam politik anggaran adalah otokrasi anggaran, yakni keterbatasan distribusi-

alokasi anggaran pemerintah daerah ke rakyat dan akses rakyat terhadap

anggaran daerah. Karena problem otokrasi itu, maka harus direformasi dengan

Page 49: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

37

demokratisasi anggaran. Sesuai dengan frasa pemerintahan rakyat,

demokratisasi di sektor anggaran mencakup partisipasi (dari rakyat),

akuntabilitas dan transparansi (oleh rakyat) dan responsivitas (untuk rakyat).

Anggaran tidak hanya menjadi domain yang teknokratik, tetapi menjadi arena

politik kontestasi antara negara dan masyarakat.

Dalam reformasi anggaran, demokratisasi itulah yang belakangan

memunculkan konsep-konsep baru di sektor anggaran: participatory budgeting,

gender budgeting, people budgeting dan pro poor budgeting (Santos, 1998;

Abers, 2000; Brautigam, 2004; Robinson, 2006; Sintomer, 2008 dalam Zamroni

dan Anwar, 2008:17). Sebagai teman participatory budgeting, gender bugeting

dan pro poor budgeting menyebar ke seluruh penjuru dunia, menyusul

kesepakatan Millennium Development Goals(MDGs) sejak 2000.

Pro poor budgeting merupakan politik baru reformasi anggaran di

Indonesia, yang menjadi kerangka pengarusutamaan (mainstreaming) anggaran

negara dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan. Selain didorong oleh

demokratisasi anggaran, pro poor budget merupakan bagian (turunan) dari

kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (poor poor policy). Sejauh ini tidak

ada definisi baku tentang pro poor budgeting maupun pro poor policy. Keduanya

bukanlah sekumpulan teori yang terbangun secara sistematis dan komplet,

melainkan berbentuk sekumpulan praktik/tindakan afirmatif, berpihak dan

menggunakan targeting secara fokus pada rakyat miskin (IFAD, 2006) dalam

Zamroni dan Anwar (2008:17)

Secara konseptual pro-poor policy (kebijakan pro poor) adalah tindakan

politik yang bertujuan mengalokasikan hak-hak dan sumberdaya kepada individu,

organisasi dan wilayah yang termarginalisasi oleh pasar dan negara (Moore dan

Putzel, 2000). Karena mengandung keberpihakan secara afirmatif, kebijakan pro

Page 50: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

38

poor menekankan bahwa indikator sosial ekonomi orang miskin harus diperbaiki

lebih cepattepat daripada kelompok lain yang tidak miskin (Vandemoortele, 2003)

dalam Sunaji Zamroni dan Anwar (2008:18).

Kemiskinan harus dipandang sebagai persoalan yang multidimensi, oleh

karenanya pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya dengan satu

kebijakan. Pendekatan kebijakan pengentasan kemiskinan tidak bisa parsial,

melainkan juga harus bersifat multidimensi dan komprehensif. Oleh karenanya

pengarusutamaan kebijakan yang pro rakyat miskin diperlukan dalam

perencanaan dan penganggaran.Pengarusutamaan dalam strategi kebijakan

penanggulangan kemiskinan dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan

efisiensi dalam berbagai program kebijakan dan pembangunan yang diarahkan

secara tajam pada pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar masyarakat miskin

(Waidl et al., 2008).

Waidl et al. (2008:200) menekankan pra-syarat kebijakan terhadap

kemiskinan: pertama kehendak publik,adanya komitmen kuat dan tekad keras

pihak-pihak yang secara langsung mempunyai kewenangan dan

bertanggungjawab dalam penanggulangan kemiskinan,Agenda pembangunan

(daerah) menempatkan upaya dan program penanggulangan kemiskinan pada

skala prioritas utama, Kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui

kelemahan dan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu,

dan bertekad untuk memperbaikinya, baik pada waktu sekarang maupun di masa

datang.Kedua iklim yang mendukung, ada kesadaran kolektif untuk

menempatkan kemiskinan sebagai musuh bersama yang harus diperangi.

Kesadaran ini kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui

berbagai saluran informasi untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan dan

partisipasi masyarakat, Ada peraturan dan kebijakan daerah (Perda) yang

Page 51: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

39

mendukung penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan

usaha kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan

terhadap hasil-hasil pertanian.

Jika dilihat dari kerangka demokrasi, pro poor budget berproses secara

partisipatif yang melibatkan partisipasi rakyat dan secara substantif ia bersifat

responsif dan berpihak kepada hak dan kepentingan orang miskin yang selama

ini terpinggirkan dari kebijakan alokasi distribusi anggaran. Waidl et al. (2008)

misalnya, memberi pemahaman bahwa Pro Poor Budget berarti anggaran yang

memihak orang miskin atau dapat diterjemahkan pula sebagai praktik

penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja (by

design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan proyek yang berpihak

pada kepentingan masyarakat miskin. Tidak jauh berbeda, Berek et al. (2006)

dalam Zamroni dan Anwar (2008:18) memberi tiga pengertian pro poor budget:

Pertama, suatu anggaran yang mengarahkan pada pentingnya kebijakan pembangunan yang berpihak kepada orang miskin. Kedua, praktik penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja (by design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan proyek yang berpihak kepada kepentingan masyarakat miskin. Ketiga, kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan dan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar rakyat miskin.

Sedangkan Waidl et al.(2008:203) menyatakan:

Pro Poor budget (PPB) dapat dipahami sebagai anggaran yangmemihak orang miskin. Proses anggaran mulai dari perencanaansampai pelaksanaan didesain untuk memenuhi kebutuhan dasarmasyarakat miskin. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakanprogram serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengandemikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknyadapat meningkatkan kesejahteraan msayarakat miskin, sehingga hak-hakdasarnya dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalamkebijakan anggaran.

Ardiyanto (2012) menuliskan Beberapa contoh Best Practies Pro Poor

budgeting di daerah antara lain: Jembrana, sebuah Kabupaten yang berada di

propinsi Bali merupakan sebuah contoh yang mengadopsi pro poor budget. Hal

ini dapat dilihat dari gratisnya beberapa pelayanan dasar bagi masyarakat

Page 52: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

40

Jembrana, yaitu pendidikan dan kesehatan. Seluruh biaya pendidikan mulai dari

SD (sekolah dasar) sampai SMA (sekolah menengah atas) digratiskan.

Sementara di bidang kesehatan, Bupati Jembrana yang mempunyai latar

belakang dokter, juga mengembangkan jaminan kesehatan jembrana (JKJ).

Semua warga jembrana diasuransikan, sehingga mereka bisa berobat disemua

rumah sakit yang ada di Jembrana secara gratis.

Untuk meningkatkan daya beli petani, pemerintah daerah melakukan

terobosan berupa program dana talangan gabahcengkeh. Mulai tahun 2001

melalui 9 KUD harga gabah petani dibeli sesuai dengan harga dasar. Kemudian

seluruh PNS dan pegawai honorer membeli beras ini dikembalikan oleh KUD

sesuai dengan perpanjangan yang dilakukan setiap tahun. Hal yang sama juga

dilakukan terhadap petani cengkeh.

Hal lain yang cukup menarik dari kebijakan anggaran Kabupaten

Jembrana ini adalah adanya program subsidi pajak bumi dan bangunan (PBB)

sawah. Karena petani sawah selalu dalam posisi tawar yang lemah (marginal),

Pemerintah Kabupaten Jembrana membantu subsidi PBB sawah di samping

mengurangi derasnya alih fungsi sawah. Tahun 2003 telah dibayar subsidi PBB

sebesar Rp. 600.000.000 (tidak seluruh pemilik sawah diberikan subsidi kecuali

yang memiliki KTP Jembrana dan belum alih fungsi). Sampai tahun 2005 subsidi

PBB sawah mencapai 639.000.000.

Kabupaten lain yang bisa dijadikan contoh penerapan pro poor budget

adalah Kabupaten Sleman. Bupati yang memiliki latar belakang akuntansi ini

membuat program dombanisasi (pemberian bantuan domba). Program ini

diyakini dapat menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup besar

karena akan mendorong munculnya kegiatan-kegiatan usaha pupuk organik

(berupa kotoran kambing), jasa pemotong kambing,penyamakan kulit, kerajinan

Page 53: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

41

kulit, penjualan daging kambing dalam berbagai bentuk hidangan, pembuat

kerupuk kulit, dan lain-lain.

Selain program dombanisasi, ibu-ibu PKK juga diberi modal sebesar 1juta

rupiah untuk kredit candak kulak. Bupati yang berlatar belakang akademisi ini

juga mengatakan bahwa kredit yang diberikan kepada orang miskin lebih mudah

dikelola dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada tokoh masyarakat

seperti program KUT (Kredit Usaha Tani). Modal seorang penjual kue dipasar

hanya membutuhkan modal seratus ribu dengan demikian sektor riil akan tetap

berjalan dan si penjual bisa bertahan dengan modal yang tidak begitu besar.

2.6 Teori Interaksionisme Simbolik

Sejarah teori interaksionisme simbolik tidak bisa dilepaskan dari

pemikiran George Harbert Mead (1863-1931) dalam Harramain (2009). Mead

dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat

beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead

berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya

saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas

Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang

memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu

sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada

perkembangannya nanti menjadi cikal bakal Teori Interaksi Simbolik, dan

sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu

sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal

dunia pada tahun 1931 (Rogers, 1994:166) dalam kurnia (2010).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun

perspektif dari Mahzab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu

Page 54: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

42

interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West dan

Turner, 2008:97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan

makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang

berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal

(seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti

kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh

semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol

yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori

interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus

pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan

banyak memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E.

Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark

Baldwin (Rogers, 1994:168) dalam kurnia (2010). Generasi setelah Mead

merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar

pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab

tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago

School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School)

yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers, 1994:171) dalam

kurnia (2010).

Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969

yang mencetuskan nama interaksi simbolik). Blumer melanjutkan penelitian yang

telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana

meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi

terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago

Page 55: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

43

banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George

Harbert Mead (Ardianto. 2007:135).

Herbert Blumer merupakan murid dari Mead pada saat kuliah di

Universitas Chicago, sehingga Blumer banyak mengembangkan ajaran dari

Mead dalam membangun pemikirannya mengenai interaksionisme simbolik

(Ritzer dan Goodman, 2010:269). Blumer merupakan Tokoh kunci dalam

interaksi simbolik yang menyatakan dirinya adalah penerus pemikiran

interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (Ritzer dan Goodman, 2010:267).

Meskipun Blumer dianggap sebagai murid dari Mead, namun oleh

beberapa sosiolog seperti Lewis, Smith, James, memiliki pandangan yang

berbeda terhadap Mead dan Blumer (Ritzer dan Godman, 2010: 267). Mead

dianggap memiliki pandangan realis yang berbeda dengan pandangan nominalis

yang banyak digunakan dalam pendekatan interaksionisme simbolik. Perbedaan

pandangan realis dan nominalis menurut dan Morgan (1979:4) dalam Fachry

(2013) adalah bahwa pandangan realis merupakan “..postulat that social world

external to individual cognition is a real world made of hard, tangible, and

relatively immutable structure. Whether or not we label and perceive these

structure, the realists maintain, they still exist as empirical entities...”. Sedang

pandangan nominalis dikatakan sebagai berikut:“...The nominalist position

revolves around the assumption that the social world external to individual

cognition is made up of nothing more than names, concept and labels which are

used to structure reality...”. Dalam pandangan realis, pemahaman individu atau

manusia terhadap realitas dunia sosial adalah bahwa dunia merupakan sesuatu

hal yang keras, berwujud, dengan struktur yang tidak tahan terhadap relativitas.

Dalam hubungan kemasyarakatan, individu sebagai aktor tidak memiliki

ruang yang bebas atas perilaku ataupun kesadaran mereka. Individu sangat

Page 56: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

44

dikendalikan oleh realitas eksternalnya. Sementara pandangan nominalis lebih

memberikan kebebasan dalam memberikan dan mendefinisikan atas nama,

label, konsep, yang digunakan dalam realitas struktural.

Mead menyatakan bahwa dari pengalaman dalam proses sosial

sebelumnya, eksistensi pikiran (mind) dan penjelasan mengenai asal usul pikiran

tidak hanya berasal dari hasil interaksi sosial beberapa individu, akan tetapi dia

berasal dari interaksi sejumlah pikiran yang ada pada individu yang berinteraksi.

Tentang hubungan antara pikiran dan komunikasi, Mead (1934: 50) dalam

harramain (2009) menyatakan:mind arises throught communication by a

conversation of gestures in a social process or context of experience, not

communication throught mind.

Bahwa pikiran muncul melalui komunikasi dengan percakapan gerakan

dalam suatu proses sosial ataupun dalam konteks pengalaman. Komunikasi tidak

dapat melalui pikiran individu. Pikiran muncul dalam proses komunikasi sehingga

untuk memahaminya tidak dapat dilakukan pemisahan diantara keduanya.

Proses komunikasi yang memunculkan pikiran melibatkan dua tahap, yang oleh

Mead (1934:42-50) dalam Harramain (2009) tahap tersebut adalah tahap

percakapan gerakan (gesture conversation) dan tahap bahasa (language).

Menurut Mead, percakapan gerakan dianggap sebagai percakapan yang

menjadikan individu tidak sadar jika dia sedang berkomunikasi. menyebutnya

sebagai percakapan yang tidak signifikan.

Bahasa (language) kemudian muncul untuk menjadikan komunikasi

tersebut menjadi signifikan meskipun bahwa kemunculan bahasa tidak serta

merta menghilangkan gerakan. Selanjutnya proses komunikasi yang merupakan

proses sosial bukanlah merupakan produk dari pikiran. Justru pikiran yang

muncul dan berkembang dalam proses sosial. Karakteristik istimewa dari pikiran

Page 57: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

45

sebagaimana Ritzer dan Goodman (2010: 280) memahami pandangan Mead

adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak

hanya satu respon saja, akan tetapi respon komunitas secara keseluruhan, dan

itulah yang dikatakan oleh Mead sebagai pikiran.

Sementara konsep diri (self) Mead melihat bahwa diri akan menjadi ada

dan terus berkembang setelah adanya hubungan sosial oleh aktivitas yang

dilakukan. Mead (1925: 267) dalam harramain (2009) dengan jelas menyatakan:

the individual in such an act is a self. If the cortex has become an organ of social conduct, and has made possible the appearance of social objects, it is because the individual has become a self, that is, an individual who organize his own response by tendences on the part of other to respond to his act. Diri akan menjadi ada setelah pikiran berkembang sehingga tidak

mungkin untuk memisahkan diri dengan pikiran. Mead menekankan pada

gagasannya mengenai diri yang tidak lahir dari sebuah kesadaran, akan tetapi

diri ada setelah melalui proses sosial (Ritzer dan Goodman, 2010: 281). Diri (self)

adalah pusat dari segala pengalaman yang nampak hanya dalam tingkah laku

sosial. Hal ini menyebabkan individu menemukan dirinya mengambil sikap lain

yang dilibatkan dalam tingkah lakunya yang menjadikannya obyek untuk dirinya

(Mead, 1925: 268).

Mead juga mengidentifikasi dua aspek atau fase diri yang dikenal sebagai

“I” dan “Me” yang merupakan proses yang terjadi dalam proses diri individu yang

luas. “I” menjadi sumber sesuatu yang baru dalam proses sosial yang merupakan

perwujudan diri yang akan membentuk kepribadian individu. Sementara “Me”

yang menjadikan individu memiliki rasa tanggung jawab serta menguasai individu

pada masyarakat.

Sementara masyarakat (society) bagi Mead memiliki peran dalam

membentuk pikiran dan diri individu. Masyarakat juga yang memengaruhi individu

serta memberi stimulus bagi individu untuk memiliki sikap kritis serta kemampuan

Page 58: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

46

untuk mengontrol segala sikap, namun di masyarakat pula kreativitas individu

diwujudkan (Ritzer dan Goodman, 2010: 285-287). Dalam konteks sosial, Mead

melihat tindakan pribadi dari tiap individu akan melalui suatu proses “self

indication” yang selalu mengambil tempat pada konteks sosial (social context).

Individu akan berusaha untuk memastikan tindakan yang mereka kerjakan atau

apa yang cenderung untuk mereka kerjakan, sehingga mereka mendapatkan

“pemaknaan” terhadap tindakan yang dilakukannya. Disinilah yang menurut

Mead moment bagi individu untuk mengambil peran dari yang lainnya, yakni

suatu peran spesifik personal atau peran dari suatu kelompok, dimana individu

akan merupakan bagian dari suatu kelompok dalam masyarakat sosial (Blumer,

1969: 82 dalam Ritzer dan Goodman, 2010).

Analisis Mead sebenarnya berdasarkan pada interaksionisme simbolik

yang mengandaikan masyarakat manusia dibuat oleh “diri” individu. Tindakan

individu merupakan suatu konstruksi melalui penafsiran ciri keadaan dimana dia

bertindak. Bahwa kelompok atau kumpulan tingkah laku selaras dengan tindakan

individu yang kemudian akan menjadikan individu menafsirkan atau melakukan

catatan dari tiap tindakan lain.

Dari sudut pandang interaksionisme simbolik, Menurut Blumer (1969: 87

dalam Ritzer dan Goodman, 2010). bahwa organisasi sosial adalah:

is a framework inside of which acting units develop their actions. Structure features, such as culture, social system, social stratification, social roles, set conditions for their action but do not determine their action. People their is, acting units do not act toward culture, social structure or the like, they act toward situations.

Bahwa konsep struktural dalam lingkungan sosial manusia memandang

organisasi yang dibangun sangat familiar dengan istilah-istilah seperti struktur

sosial, sistem sosial, peran sosial, stratifikasi sosial, struktur institusional, pola

kebudayaan, kode sosial, norma sosial dan nilai sosial. Blumer menyatakan

Page 59: PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION …

47

tentang konsep yang menganggap bahwa suatu lingkungan manusia adalah

terstruktur dengan menghargai posisi sosial yang dimiliki oleh orang-orang di

dalamnya, serta juga menghargai pola perilaku yang mereka ikuti. Selanjutnya

dianggap struktur antara mata rantai posisi sosial dan pola perilaku akan

melewati seluruh ketentuan tindakan sosial, yang dijelaskan pada praktik sosial

dalam hubungannya dengan konsep struktural sebagai persyartan peran,

permintaan status, perbedaan strata, preskripsi budaya, nilai dan norma. Blumer

membagi dua kategori umum yang menjadi acuan tindakan sosial, yakni yang

pertama adalah kecocokan (conformity), serta penyimpangan (deviance).