pro poor budget: a study on the symbolic interaction …
TRANSCRIPT
i
TESIS
PRO POOR BUDGET: STUDI INTERAKSI SIMBOLIK AKTOR ANGGARAN DI PEMERINTAH KABUPATEN
PANGKAJENE DAN KEPULAUAN
PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION OF BUDGET ACTORS IN THE
PANGKAJENE AND ISLAND LOCAL GOVERNMENT
NUR SOFYAN HAS
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
ii
TESIS
PRO POOR BUDGET: STUDI INTERAKSI SIMBOLIK AKTOR ANGGARAN DI PEMERINTAH KABUPATEN
PANGKAJENE DAN KEPULAUAN
PRO POOR BUDGET: A STUDY ON THE SYMBOLIC INTERACTION OF BUDGET ACTORS IN THE
PANGKAJENE AND ISLAND LOCAL GOVERNMENT
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
disusun dan diajukan oleh
NUR SOFYAN HAS P3400213348
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
ii
iii
iii
iv
iv
v
v
vi
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, cinta dan
karuniaNya yang tak terhitung dan segala kekuatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Salam dan shalawat tak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, murobbi terbaik sepanjang zaman. Kepada kedua orang tua, penulis senantiasa mengiringkan doa agar kehidupan akhirat mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Penulis meyakini dengan kebaikan, keiklasan, syukur dan kekuatan doa, tesis yang merupakan tugas akhir untuk mencapai gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin dapat dipersembahkan sebagai karya ilmiah dengan harapan memberi manfaat dikemudian hari.
Menyelesaikan berbagai tahapan penelitian dan penulisan tesis ini atas dasar upaya dan kemampuan sendiri merupakan ketidak mungkinan. Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah dua hal yang sangat berperan untuk mengubah ketidak mungkinan tersebut menjadi sesuatu yang mungkin. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada;
1. Bapak Dr. Darwis Said, S.E., Ak., M.SA., dosen Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, selaku Pembimbing I telah memberi dukungan, arahan, motivasi dengan penuh kewibawaan, kesejukan dan keteduhan sehingga memudahkan penulis menerima pengetahuan baru di setiap tahapan penelitian. Banyak waktu yang beliau luangkan untuk berdiskusi, berbagi pengalaman hidup dan penelitian.
2. Ibu Dr. Ratna Ayu Damayanti, S.E., M.Soc.Sc., Ak., CA., dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, selaku Pembimbing II dengan ke ikhlasan telah memberi dukungan, arahan, dan motivasi untuk mengembangkan hasil penelitian dan segera menyelesaikannya, sehingga membawa penulis dapat melalui masa-masa penuh keraguan menjadi tercerahkan, melepaskan diri dari belenggu positifistik dan mengasah kemampuan yang intuitif mengingat esensinya fenomena ditemukan melalui kedalaman intuisi sebagai kebenaran yang melampaui eksistensi akal/rasio, dan olehnya menghasilkan kehendak kreatif dalam bentuk karya intelektual yang beketujuan. Diskusi dengan beliau memunculkan kesadaran pentingnya kehati-hatian menjadikan pengetahuan sebagai dasar filosofis, menambah keberanian menyelami paradigma non positivisme khususnya paradigma interpretif dan teori interaksi simbolik blummer sebagai instrumen analisis penelitian. Memperkaya pemahaman selama proses penyelesaian tesis tidak hanya melalui diskusi, tetapi beliau juga membantu menyediakan literatur sehingga memantapkan langkah penulis dalam mengembangkan penelitian ini.
vi
vii
3. Bapak Dr. Syarifuddin, S.E., M.Soc.Sc., Ak., CA., Bapak Dr. Abdul Hamid Habbe, SE.,M.Si dan Bapak Dr. Alimuddin, S.E., Ak., M.M., masing-masing adalah dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin. Selaku Tim Penguji telah memberi dukungan melalui saran dan kritik konstruktif pada setiap tahap penelitian ini, mulai seminar proposal dan perbaikannya, seminar hasil dan perbaikannya, sampai seminar tutup dan perbaikannya. Setiap saran dan pertimbangan mengarahkan dan memunculkan keberanian penulis dalam menggambarkan interaksi simbolik aktor anggaran sehingga konsisten terhadap ketercapaian tujuan penelitian.
4. Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) bekerjasama Asian Development Bank (ADB) memberikan kesempatan kepada para Pegawai Negeri Sipil untuk melanjutkan pendidikan S2 melalui Program Beasiswa State Accountability Revitalization (STAR).
5. Rektor, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Direktur Pascasarjana, Ketua
Prodi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin beserta para dosen dan staf, selaku penyelenggara pendidikan tinggi.
6. Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kepada Bapak Bupati Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kab. Pangkep, Ibu Hj. Dra Jumliati, M.Si., yang tidak lain adalah atasan langsung penulis. Atas izin, persetujuan dan dukungan beliau, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan meskipun harus meninggalkan tugas. Kepada rekan-rekan pegawai Badan Pengelola Keuangan Daerah Kab. Pangkep yang selalu menyambut penulis dengan keramahannya baik di masa sibuk ataupun di masa senggang.
7. Kepada para informan penelitian, juga masih rekan kerja penulis di Badan Pengelola Keuangan Daerah Kab. Pangkep, telah meluangkan waktu dan bisa menerima kehadiran penulis sebagai “orang luar” maupun “orang dalam”. Para informan patut dihargai karena sifat keterbukaan dan keberaniannya menyampaikan realitas atas pemahaman tentang pro poor budget di Kab. Pangkep untuk diperbincangkan sehingga dapat ditampilkan dalam karya ilmiah.
8. Teman-teman kuliah yang mengikuti Program Beasiswa STAR BPKP
bekerjasama Asia Developmnet Bank (ADB) Angkatan Tahun 2012, 2013, 2014, 2015, dan kelas reguler yang sempat berkenalan dengan penulis atas diskusi, saran, dan motivasinya. Kesan kebersamaan dan kekompakan selama pendidikan berlangsung telah menorehkan pengalaman yang sulit terlupakan sekaligus memberi penguatan tersendiri bagi penulis. Semoga semua pihak mendapatkan kebaikan dari Nya atas bantuan yang diberikan hingga tesis ini terselesaikan dengan baik.
vi
vii
viii
viii
ix
ix
x
x
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... i HALAMAN JUDUL ........................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ........................................ v PRAKATA ......................................................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... ix ABSTRACT ....................................................................................................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi BAB I KEMISKINAN : “Accidental Proverty” ................................................ 1
1.1. Konteks Penelitian ................................................................... 5 1.2. Setting Ssosial Penelitian ........................................................ 14 1.3. Fokus Penelitian ...................................................................... 19 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 19 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................... 20 1.6. Sistematika Penulisan .............................................................. 20
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN .................................................................. 22
2.1. Sekilas tentang Akuntansi Keperilakuan .................................. 22 2.2. Defenisi Anggaran ................................................................... 23
2.2.1. Anggaran: Alokasi Sumber Daya Keuangan Secara Efisien dan Efektif ............................................. 24 2.2.2. Anggaran: Mekanisme Untuk Mobilisasi dan Koordinasi .................................................................... 26 2.2.3. Anggaran: Permainan Kekuasaan dan Politik ................ 28
2.3. Penganggaran Sektor Publik ..................................................... 29 2.4. Penganggaran Anggaran .......................................................... 32 2.5. Pro Poor Budget ....................................................................... 34 2.4. Teori Interaksionisme Simbolik ................................................. 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN: Interpretasi Nilai Melalui Interaksi Simbolik ............................................................................... 49
3.1. Penelitian Kualitatif ................................................................... 49 3.2. Interaksi Simbolik dari Blumer .................................................. 51 3.3. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 56 3.3.1 Data Primer .................................................................... 56 3.3.2 Data Sekunder ............................................................... 56 3.4. Teknik Focus Group Discussion (FGD) .................................... 57 3.5. Teknik Pemilihan Informan ....................................................... 58 3.6. Metode Pelaksanaan FGD ....................................................... 58 3.7. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 59 3.8. Pengecekan Keabsahan Temuan ............................................ 59
xi
xii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 61 PRO POOR : Bahasa, Pikiran dan Realitas Aktor Anggaran .............. 61
4.1. Deskripsi Data Informan ........................................................... 64 4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ........................................................ 69 4.2.1 Peran Antagonis antara “I” dan “Me” .............................. 70
4.2.2 Implementasi Kemiskinan oleh Aktor Anggaran: Mencari “I” dan “Me”........................................................ 74
BAB V ANGGARAN: Kebijakan Memberantas Kemiskinan ........................... 81
5.1. Kebijakan Anggaran: Kesejahteraan dan keadilan yang pro poor ............................................................................ 81 5.2. “I” dan “Me”: Mengungkap “Konflik Kebijakan Anggaran” ......... 88
BAB VI PENUTUP ......................................................................................... 95
6.1. Kesimpulan .............................................................................. 95 6.2. Refleksi .................................................................................... 98 6.3.. Rekomendasi dan keterbatasan Penelitian .............................. 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 101
xi
xii
1
BAB I
KEMISKINAN: “ACCIDENTAL POVERTY”
“Like slavery and apartheid, poverty is not natural. It is man-made, and it can be overcome and eradicated by the action of human beings”(Mandela, 2003).
Tiga hal penting yang mendasari argumen mengapa harus
mengembangkan pro poor budget di Indonesia. Pertama, konteks kondisional
yang mengharuskan, yaitu kondisi kemiskinan yang mengharuskan negara
berpihak pada pro poor budget. Kedua, konteks yang menghambat (disabling),
yaitu kebijakan sosial-ekonomi yang kurang berpihak kepada orang miskin
sehingga harus direformasi. Ketiga, konteks yang memungkinkan (enabling)
berkembangnya pro poor budget, yaitu arus desentralisasi dan demokrasi lokal
(Sopanah, 2009a).
Pro poor budgeting merupakan politik baru reformasi anggaran di
Indonesia, yang menjadi kerangka pengarusutamaan (mainstreaming) anggaran
negara dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan. Selain didorong oleh
demokratisasi anggaran, pro poor budget merupakan bagian (turunan) dari
kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (poor poor policy). Dalam reformasi
anggaran, demokratisasi itulah yang belakangan memunculkan konsep-konsep
baru di sektor anggaran: participatory budgeting, gender budgeting, people
budgeting dan pro poor budgeting (Santos, 1998; Abers, 2000; Brautigam, 2004;
Robinson, 2006; Sintomer, 2008 dalam Zamroni dan Anwar, 2008:17). Sebagai
teman participatory budgeting, gender bugeting dan pro poor budgeting
menyebar ke seluruh penjuru dunia, menyusul kesepakatan Millennium
Development Goals (MDGs) sejak tahun 2000.
1
2
Anggaran pro poor dapat dipahami sebagai anggaran yang memihak orang
miskin seperti yang diutarakan oleh (Suhirman, 2007), pro poor budget sebaiknya
dipahami dalam konteks peran negara mengurangi kesenjangan. Ada desain
pemenuhan kebutuhan dasar masyrakat miskin melalui proses anggaran mulai
dari perencanaan sampai pelaksanaan. Keberpihakan ini tercermin dalam
kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengan
demikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sehingga hak-hak dasarnya
dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan
anggaran.
Menentukan sebuah kebijakan anggaran pro poor dapat diidentifikasi
melalui dua hal yaitu proses dan isi atau alokasi anggarannya. Pengamatan
terhadap isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
tahapan untuk memastikan apakah sebuah kebijakan anggaran pro poor atau
tidak. Ada dua sisi yang harus diperhatikan berkenaan dengan isi APBD yaitu
dari sisi belanja dan pendapatan. Dari sisi belanja, pengalokasian anggaran
untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti.
Anggaran yang berpihak kepada rakyat miskin (pro poor budget) dapat
diterjemahkan sebagai praktek perencanaan dan penganggaran yang sengaja
ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan kegiatan yang dampaknya
dapat meningkatkan kesejahteraan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar
masyarakat (Rinusu, 2006:2). Menilai kebijakan pro-poor harus dimulai dari
penilaian tentang kualitas pemahaman manusia akan akar persoalan penyebab
kemiskinan. Penilaian tersebut dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan
pemahaman konteks kemiskinan yang lebih komprehensif agar perumusan
3
kebijakan yang akan dihasilkan dapat berkualitas dan memiliki relevansi yang
tinggi terhadap akar persoalan penyebab kemiskinan (Alemina et al., 2011).
Penelitian Mawardi dan Sudarno (2003) menjelaskan juga permasalahan
tentang kebijakan yang dapat menanggulangi kemiskinan adalah pro poor
budget yang harus dipandang sebagai salah satu kebijakan dalam
menanggulangi kemiskinan. Berikutnya menurut hasil riset Rahayu, Ludigdo dan
Affandy (2007) mengeksplorasi pemahaman atas fenomena penganggaran
dengan fokus pada tingkat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) khususnya
perilaku aparatur dalam penerapan performance budgeting dalam proses
penyusunan anggaran masih belum berjalan sebagaimana yang diinginkan.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu dipertimbangkan faktor-
faktor pendukung dalam perencanaa dan penganggaran yang saling
berhubungan. Ketika berbicara anggaran, biasanya yang menjadi fokus
perhatian adalah input teknis (lihat penelitian Syarifuddin, 2009; Ishak dan Iksan,
2005). Akhirnya produk anggaran hanyalah metode dan standar-standar tertentu.
Kita mungkin lupa bahwa anggaran ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain misalnya budaya, sosial, politik, persepsi, rasa, dan intuisi
(Syarifuddin, 2009). Bahkan beberapa riset menjelaskan bahwa, selain
dipengaruhi oleh perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya, proses
penganggaran daerah dipengaruhi oleh negosiasi, perubahan kekuasaan dan
politik internal (Siegel dan Marconi, 1989;124).
V.O. Key juga mengisyaratkan bahwa penganggaran memiliki satu
masalah paling mendasar, yakni keterbatasan sumber daya. Hal ini berimplikasi
pada pengalokasian anggaran memunculkan modus kepentingan politik yang
berbeda dari aktor dalam anggaran (Hermanto, 2010). Hal ini berarti pengambil
4
kebijakan tidak memandang anggaran sebagai pekerjaan teknis, tetapi lebih dari
itu diperlukan kajian tentang pemahaman manusia (aktor) dan interaksinya
dalam menyusun anggaran.
Terkait dengan hal tersebut diatas, blumer, sosiolog ternama abad 20
mengkonstruksi manusia dan interaksi manusia dalam realitas sosial masyarakat
melalui pemaknaan simbol-simbol. Bersandar pada Mead dengan konsep mind,
self, and society, Blumer (Ritzer dan Goodman, 2010:280) mengajukan premis
interaksi manusia. Pertama, manusia bertindak terhadap manusia lain dilandasi
atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Kedua,
pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka.
Makna bukan muncul atau melekat pada suatu objek secara alamiah. Makna
berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language).
Ketiga, interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai
perbincangan dengan diri sendiri dengan menggunakan bahasa. Bahasa
meliputi bahasa verbal (kata-kata) berupa pernyataan, pertanyaan dan
sanggahan, maupun bahasa non verbal berupa perilaku sehari-hari budget
actors, seperti emosi, tindakan, sikap, dan lain-lain.
Bahasa merupakan simbol signifikan dalam memahami manusia, simbol
signifikan ini kemudian menjadi suatu interaksi manusia (Ritzer, 2010: 278).
Dalam penelitian ini, bahasa input (masukan) atau outcome (hasil) sangat
tergantung pada konteks pada saat interaksi budget actors berlangsung ketika
menyusun kebijakan pro poor budget.
Oleh karena itu, menyadari bahwa pentingnya bahasa dalam memahami
manusia, maka peneliti dalam studi ini akan mengkaji bagaimana budget actors
menciptakan makna melalui pernyataan, pertanyaan, sanggahan, sikap, perilaku
5
dan interaksi sosialnya ketika menyusun atau merencanakan kebijakan pro poor
budget.
1.1 Konteks Penelitian
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pembangunan nasional adalah
salah satu upaya untuk menjadi tujuan masyarakat adil dan makmur. Sejalan
dengan tujuan tersebut, berbagai kegiatan pembangunan telah diarahkan
kepada pembangunan daerah khususnya daerah yang relatif mempunyai
kemiskinan yang terus naik dari tahun ke tahun.
Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan akar dan sasaran
pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui pembangunan jangka
panjang dan jangka pendek. Oleh karena itu, salah satu indikator utama
keberhasilan pembangunan nasional adalah laju penurunan jumlah penduduk
miskin. Efektivitas dalam menurunkan jumlah penduduk miskin merupakan
pertumbuhan utama dalam memilih strategi atau instrumen pembangunan. Hal
ini berarti bahwa satu kriteria utama pemilihan sektor titik berat atau sektor
andalan pembangunan nasional adalah efektivitas dalam penurunan jumlah
penduduk miskin (Simatupang dan Dermoredjo, 2003).
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama
untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah
sehingga kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat meningkat. Kesejahteraan
rakyat dapat ditingkatkan kalau kemiskinan dapat dikurangi, sehingga untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan melalui upaya
penanggulangan kemiskinan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan
6
acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan (Suryahadi dan
Sumarto, 2001).
Dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah,
pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil
inisiatif pembangunan daerah. Efektivitas dalam menurunkan jumlah penduduk
miskin merupakan pertumbuhan utama dalam memilih strategi atau instrumen
pembangunan. Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku
ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut dalam
proses pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan (Soegijoko et al.,
1997:137).
Kemiskinan merupakan masalah kompleks tentang kesejahteraan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat
pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap
barang dan jasa, lokasi, geografis, gender dan lokasi lingkungan. Kemiskinan
tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga
kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang
atau kelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Esensi kemiskinan adalah menyangkut kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan
kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi dan
pendapatan. Permasalahan kemiskinan sangat kompleks dan upaya
penanggulangannya harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai
7
aspek kehidupan masyarakat dan dilaksanakan secara terpadu (Hendriwan,
2003).
Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran kemiskinan vicious
circle of poverty dari Nurkse (1953) dalam Kuncoro (1997). Yang dimaksud
lingkaran kemiskinan adalah satu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi
suatu keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak
mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik.
Adanya keterbelakangan, ketertinggalan sumber daya manusia yang tercermin
oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ketidaksempurnaan pasar
dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya
produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima yang
tercermin oleh rendahnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan
investasi. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya akumulasi modal
sehingga proses penciptaan lapangan kerja rendah. Rendahnya akumulasi
modal disebabkan oleh keterbelakangan dan seterusnya.
Penduduk miskin akan lebih banyak atau bahkan seluruh
pendapatannya digunakan untuk kebutuhan makanan, dibandingkan
penduduk kaya. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak jika
hanya mengandalkan pendapatannya. Di sinilah perlunya campur tangan
pemerintah untuk membantu penduduk yang kurang mampu atau miskin
(Kuriata, 2008).
Kartasasmita (1996:235), Sumodiningrat (1998:67) dan Baswir (1997:23)
dalam Rustanto (2012:115) merumuskan bentuk-bentuk kemiskinan yang
sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan, pertama kemiskinan natural
8
adalah keadaan miskin karena awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat
tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang tidak memadai
baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya
pembangunan, kalaupun mereka ikut dalam pembangunan, mereka hanya
mendapatkan imbalan rendah. Kondisi kemiskinan seperti ini disebut sebagai
“persistenproverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-temurun. Kedua
kemiskinan cultural, mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok
masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya
dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.
Kelompok masyarakat ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan,
tidak mau berusaha dan merubah tingkat kehidupannya.
Ketiga, kemiskinan structural, kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-
faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil distribusi aset
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi, serta tatanan ekonomi dunia
yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu saja. Munculnya
kemiskinan structural disebabkan karena upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan natural pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya
tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan
masyarakat tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang
timpang. Kemiskinan ini menurut Kartasasmita (1996:236) disebut juga
“accidental poverty” yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijakan
tertentu yang menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Penelitian Zamroni dan Anwar (2008:7–12) menunjukkan bahwa
kemiskinan, ketimpangan dan ketertinggalan sebenarnya berakar pada struktur
ekonomi politik anggaran yang timpang, yaitu tidak berorientasi pada
kesejahteraan. Ada tiga masalah dalam struktur ekonomi politik anggaran.
9
Pertama, desentralisasi politik sudah dijalankan, namun di sisi lain, potret
kemiskinan sangat berakar di bawah dan beragam antar daerah. Kedua, negara
mempunyai formasi dan karakter pemangsa (predatory state) terhadap
anggaran. Ketiga, alokasi distribusi anggaran untuk rakyat, bersifat residual atau
“sisanya-sisa”.
Kebijakan akuntansi seperti anggaran, yang selama ini dalam perhatian
para akademisi lebih cenderung pada anggaran sebagai alat pengendalian yang
mekanis, tanpa memandang aspek manusia di balik angka-angka keuangan
(Von Hagen, 2002). Para akademisi dan pemerhati lainnya mulai melihat
pentingnya melakukan studi tentang aspek manusia yang memiliki peranan yang
penting dalam perancangan anggaran (Siegel dan Marconi, 1989; Greer dan
Patel, 2004; Callahan, 2002; Ebdon, 2002; Becker dan Green, 1962 dalam
Syarifuddin, 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa para akademisi yakin dalam
mengkaji akuntansi diperlukan pemahaman mengenai manusia sebagai pelaku,
sehingga perlu tersedia pengetahuan mengenai hal apa saja yang
melatarbelakangi kebijakan mereka (Syaifuddin, 2009:308).
Menurut Rohidin (2010), begitu banyak kebijakan yang diupayakan untuk
menanggulangan kemiskinan, tetapi secara agregat jumlah penduduk miskin
tidak mengalami penurunan yang berarti. Di berbagai daerah angka kemiskinan
cenderung tidak mengalami penurunan, belum lagi dampak dari kenaikan
berbagai kebutuhan dasar seperti bahan kebutuhan pokok, pendidikan,
kesehatan, perumahan, air bersih, pertanahan dan sumber daya alam.
Kecenderungan angka kemiskinan yang tidak berubah semakin membuat hak-
hak dasar masyarakat menjadi sulit terjangkau.
Kebijakan pengelolaan keuangan di daerah yang dijabarkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adakalanya tidak berjalan
10
dengan baik dan mampu menjawab permasalahan masyarakat termasuk upaya
pengentasan kemiskinan. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan telah banyak
digulirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tetapi secara nyata dampak
upaya ini tidak berjalan bersamaan, tidak berkelanjutan dan tidak menjawab inti
permasalahan kemiskinan. Berbagai kebijakan dalam upaya pengentasan
kemiskinan terkesan tidak terkoordinir, tidak komprehensif dan terpisah dari
kebijakan penganggaran. Padahal semua kebijakan bermuara pada hal-hal yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Begitupun kebijakan
dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari
kebijakan pengelolaan keuangan.
Kebijakan pengelolaan keuangan berhubungan dengan bagaimana
pemerintah mengalokasikan dan mengelola sumber daya yang ada dalam
anggaran. Anggaran adalah wajah dan hati dari para pelaku pengambilan
kebijakan. ”Wajah”, karena anggaran adalah sesuatu yang bisa dibaca oleh siapa
saja, dan tidak dapat disembunyikan. Sementara ”hati” adalah suatu proses
pergolakan bak sebuah drama, karena angka-angka yang terdapat dalam
sebuah naskah anggaran hanya merupakan suatu realitas fisik, sementara
realitas non fisiknya seperti semangat (spirit), emosional (emotional) dan jiwa
(soul) apalagi aspek spiritual selama ini hanya diketahui oleh para pelaku
kebijakan tersebut (Syarifuddin, 2009a:308-309).
Secara substansial anggaran memiliki bagian sebagai instrumen penting
yang bisa dipakai dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs),
peningkatan pelayanan publik dan pengentasan kemiskinan. Anggaran juga
menjadi bagian yang menentukan dari berfungsinya penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan yang baik (good govement). Kebijakan pemerintah
yang berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang
11
sebagian besar telah diratifikasi bersama oleh eksekutif dan legislatif, belum
sepenuhnya berpihak pada kaum miskin (Kholid, 2008).
Filosofi dan definisi kemiskinan yang makin luas cakupannya
mengharuskan strategi kebijakan penanggulangannya bersifat multidisiplin, lintas
sektoral dan terus berkelanjutan. Kebijakan anggaran memang sangat
diperlukan, tetapi kebijakan ini saja tentu tidak cukup mengingat APBD lebih
merupakan instrumen kebijakan pemerintahan, maka persoalannya justru
terletak dan tergantung pada bentuk regim pemerintah itu sendiri. Jika regim
pemerintahan yang ada mempunyai karakter memihak pada orang miskin, maka
berbagai kebijakan publik, institusi, birokrasi dan penganggaran yang diterapkan
akan dengan sendirinya bercirikan keberpihakan kepada orang miskin (Mawardi
dan Sumarto, 2003:18).
Keberhasilan program penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat saja, tetapi juga memerlukan dukungan dari
semua pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat miskin yang
menerima manfaat program. Seiring perubahan yang ditandai dengan lahirnya
reformasi, tuntutan untuk menjadikan daerah memiliki otonomi dalam
penyelenggaraan negara menjadi isu penting yang kemudian terwujudkan
dengan lahirnya undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah dan
mengatur tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang terus
mengalami penyempurnaan dalam upaya mencapai hasil yang lebih baik.
Hal ini memberikan harapan bagi masyarakat yang ada di daerah untuk
dapat meningkatkan taraf hidupnya yang selama ini telah banyak mengalami
perlakuan yang tidak adil selama pemerintahan sentralistik. Namun, pelaksanaan
otonomi daerah ternyata meninggalkan banyak persoalan. Pemerataan
kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan belum benar-benar mampu
12
diwujudkan, bahkan otonomi daerah dianggap sukses menciptakan banyak
praktik penyelenggaraan penyalahgunaan kekuasaan (Yulianto, 2005).
Proses-proses penyusunan dan pengambilan kebijakan merupakan kunci
keberhasilan pengentasan kemiskinan di suatu negara. Prosesnya dimulai dari
proses penilaian persoalan yang dihadapi dan membutuhkan intervensi
kebijakan, strategi yang dibutuhkan dan pernyataan tentang tujuan, sasaran dan
hasil yang ingin dicapai, pendefinisian kebutuhan dan prioritas-prioritas, serta
target yang ingin dicapai. Proses pro-poor policy (kebijakan yang memihak
rakyat miskin) dengan sederhana dapat dilihat sebagai proses yang melibatkan
kelompok miskin, maupun kebijakan yang tidak melibatkan kelompok miskin
secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka.
Berbicara mengenai penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari
kebijakan pro rakyat miskin (Pro Poor Policy). Hal ini telah banyak diungkapkan
oleh beberapa peneliti melalui beberapa kajian, Mirzakhanyan et al. (2005) dalam
Alemina et al. (2011:9) mendefinisikan Pro-Poor Policy sebagai:
Kebijakan yang dikembangkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang mengadopsi pendekatan pembangunan manusia (human development) yang tujuan utamanya adalah untuk memperkuat sumberdaya modal manusia (human capital strengthening) dan mengembangkan kesempatan (expanding opportunities) dari kelompok miskin.
Definisi lain dari kebijakan pro poor dikembangkan oleh Korayem (2004)
dalam Alemina et al. (2011:9) mengungkapkan kajiannya tentang Pro Poor Policy
di Mesir menjelaskan bahwa :
pro-poor policies can be divided into three types according to the target and the type of intervention for the poor: (1) policies / programs that specifically target the causes of poverty or beneficiary is primarily the poor, (2) policies / programs that improve the conditions of life of the group poor through the provision of basic infrastructure and supporting infrastructure of the economy, (3) policies/ programs targeting the reduction in the cost of living for the poor. Ada beberapa belanja publik yang secara alamiah memiliki sifat pro-poor
dan karenanya membantu mengurangi kemiskinan. Hal ini terlihat dari
13
banyaknya literatur dan studi yang menyatakan belanja-belanja di sektor yang
dianggap sangat mempengaruhi kemiskinan, diantaranya penelitian Sepulveda
(2010) menyebutkan kesehatan dasar dan pendidikan dasar sebagai contoh
penting belanja yang memihak kepada orang miskin.
Studi Yao (2007) tentang desentralisasi fiskal dan pengurangan
kemiskinan menggunakan belanja di bidang pendidikan, kesehatan, dan
pertanian sebagai indikator yang dianalisis. Usman et al (2006) menyimpulkan
pos anggaran untuk pengeluaran yang sangat erat kaitannya dengan kemiskinan
atau menjadi faktor penentu solusi penanggulangan kemiskinan adalah sektor
pertanian, pendidikan, kesehatan keluarga, kesejahteraan keluarga dan
infrastruktur. Bahkan Bank Dunia (1990) dalam Kadji (2013:1) menjelaskan di
hadapan anggota PBB bertitel "Poverty and Human Development” menyatakan
bahwa "The case for human developement is not only or even primarily an
economic one. Less hunger, fewer child death, and better change of primary
education are almost universally accepted as important ends in themselves"
Hal ini menandakan bahwa pembangunan manusia tidak hanya
diutamakan pada aspek ekonomi, tapi yang lebih penting ialah mengutamakan
aspek pendidikan secara universal bagi kepentingan diri orang miskin guna
meningkatkan kehidupan sosial ekonominya. Untuk itu, menilai kebijakan pro-
poor harus dimulai dari penilaian tentang kualitas pemahaman akan akar
persoalan penyebab kemiskinan. Penilaian tersebut dianalisis secara mendalam
untuk mendapatkan pemahaman konteks kemiskinan yang lebih komprehensif
agar perumusan kebijakan yang akan dihasilkan dapat berkualitas dan memiliki
relevansi yang tinggi terhadap akar persoalan penyebab kemiskinan (Alemina et
al., 2011).
14
Saya melihat bahwa isu kemiskinan yang dikaitkan dengan kebijakan pro
poor budget (anggaran yang memihak rakyat miskin) menjadi kajian yang
menarik untuk senantiasa dilakukan penelitian Diakui bahwa pro poor budget di
Indonesia tidak lepas dari kebijakan dan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari
aktor kebijakan. kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud
yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu
masalah atau suatu persoalan (Anderson dalam winarno, 2002).
Persoalan kebijakan dalam anggaran sektor publik merupakan persoalan
yang sangat menarik untuk diteliti dalam konteks pemerintahan daerah. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa penelitian anggaran di sektor publik yang dilakukan
oleh Damayanti (2009), Syarifuddin (2009), Rahayu (2007), Utari (2009) dan
Widiantoro (2009). Anggaran menjadi penting untuk diteliti, karena anggaran
mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja organisasi. Bahkan, menurut
Syarifuddin (2009:4) anggaran berpengaruh pada kehidupan manusia.
Kebijakan publik menurut Laswel dan Kaplan, pada hakekatnya
merupakan Suatu keputusan yang sudah mantap (a standing decision)
menyangkut kepentingan umum, oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-
instansi pemerintah dalam proses penyelenggaraan negara. Dengan melihat
fakta yang ada, maka penulis sangat tertarik untuk dapat memahami dan
mengetahui perilaku dari aktor dalam memahami kebijakan pro poor budget di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
1.2 Setting Sosial Penelitian
Saat dilangsungkan Millenium Summit pada bulan September tahun
2000, Pemerintah Indonesia bersama 188 negara lainnya sepakat
menandatangani Deklarasi Millenium Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB),
15
sebuah program ambisius yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan,
meningkatkan kesehatan dan pendidikan, mendorong adanya perdamaian, hak
azasi manusia dan daya dukung lingkungan hidup. Pertemuan itu menghasilkan
sekumpulan tujuan yang disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs)
dan sejumlah kebijakan khusus yang terukur dan dapat dicapai di tahun 2015.
Komitmen Indonesia untuk mencapai MDGs adalah mencerminkan
komitmen Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan
memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia.
Karena itu, MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan Dokumen
Perencanan Pembangunan Nasional. Pemerintah Indonesia telah
mengarusutamakan MDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN 2005– 2025), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2005 – 2009 dan 2010 – 2014). Dalam memenuhi target
MDGs di tahun 2015, maka indikator dari tujuan MDGs harus diintegrasikan
dalam Rencana Kerja Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan
dijabarkan dalam APBD sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaan program
pembangunan di daerah.
Terkait sebagai salah satu daerah otonomi, Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan selanjutnya disingkat Kab. Pangkep, memiliki permasalahan
kemiskinan tersendiri. Dari data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) melalui
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan setiap tahun
dengan cakupan seluruh wilayah Indonesia, diketahui bahwa angka kemiskinan
di Kab. Pangkep terhitung tahun 2002 hingga tahun 2013 mengalami fluktuasi.
Tahun 2010 jumlah penduduk miskin berjumlah 58.872 jiwa atau 19,26%,
tahun 2011 sebanyak 53.733 jiwa atau 17,36% tahun 2012 sebesar 52.300 jiwa
atau 16,62%, namun angka tersebut kembali meningkat menjadi 56,400 jiwa atau
16
17,75% pada tahun 2013 dari total jumlah penduduk Kab. Pangkep (TKPKD Kab.
Pangkep, 2014). Persentase tingkat kemiskinan di Kab. Pangkep tahun 2013
masih berada pada posisi teratas dibandingkan seluruh kabupaten/kota lain se
Sulawesi Selatan yakni sebanyak 17,75%. Sebagaimana dapat dilihat pada
Grafik dibawah:
Grafik: Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan (%) Provinsi Sulsel 2013.
Sumber : TKPKD Kab. Pangkep, 2014.
Setiap tahunnya persentase tingkat kemiskinan kabupaten/kota di
Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan adanya penurunan. Dari data yang ada
Kab. Pangkep dalam lima tahun terakhir persentase tingkat kemiskinannya selalu
menempati urutan teratas dari kabupaten lainnya hingga tahun 2013. Tingkat
Kemiskinan Kab. Pangkep pada dasarnya menunjukkan perbaikan meskipun
efektifitasnya masih cukup lambat, ini membuktikan bahwa pemerintah Kab.
Pangkep sudah berupaya untuk mengurangi angka kemiskinan, namun tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan karena masih berstatus daerah termiskin di
Sulawesi Selatan (TKPKD Prov. Sulawesi Selatan, 2013).
Data menunjukkan APBD Kab. Pangkep tahun 2013 sebesar Rp 880,8
miliar lebih, cukup besar bila dibandingkan dengan APBD sebahagian
17
kabupaten/kota di Sulawesi selatan (Bank Indonesia, 2013). Hal ini membuktikan
bahwa dengan APBD yang ada, Pemerintah Kab. Pangkep seharusnya mampu
untuk lebih menekan angka kemiskinan setiap tahun, apalagi didukung dengan
pengelolaan keuangan yang baik karena tahun 2013 Pemerintah Kab. Pangkep
berhasil memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk penilaian pengelolaan keuangan daerah
tahun anggaran 2012 dan tahun anggaran 2013.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ada beberapa sektor belanja
publik yang secara alamiah memiliki sifat pro-poor dan karenanya membantu
mengurangi kemiskinan di Kab. Pangkep diantaranya sektor pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur dasar. Untuk itu peneliti memberi gambaran kondisi
anggaran dari tiap-tiap sektor tersebut. Data dari Bappeda Kab. Pangkep tahun
2014, menunjukkan bahwa alokasi dana pendidikan di Kab. Pangkep dari kurun
waktu 5 tahun terakhir nilainya terus bertambah, tahun 2010 alokasi anggaran
untuk pendidikan sekitar 14,70% sedangkan tahun 2013 telah mencapai 21,61%
dan tahun 2014 mencapai 21,91% atau melebihi 20% dari total anggaran.
Alokasi anggaran bidang kesehatan juga cenderung meningkat, namun di
tahun 2013 alokasi anggaran terjadi penurunan. Pada tahun 2012 anggaran
kesehatan sebesar 12,14%, pada tahun 2013 turun menjadi 12,10% dan pada
tahun 2014 naik menjadi 13,51%. Sedangkan untuk anggaran di sektor
infrastruktur dasar nilainya fluktuatif dari tahun ke tahun.Tahun 2008 nilai
anggaran mencapai 66 miliyar namun tahun 2009, 2010 dan 2011 nilainya
cenderung menurun. Di tahun 2012 alokasi anggaran mencapai 82 milyar,
berikutnya untuk tahun 2013 alokasi anggaran sebesar 25,86% dari total
anggaran dengan nilai anggaran sebesar 113 milyar. Di tahun 2014 alokasi
anggaran mencapai 169 milyar. Alokasi anggaran di sektor sosial dan tenaga
18
kerja cenderung mengalami peningkatan dari kurun waktu 5 tahun terakhir, tahun
2010 alokasi anggaran untuk sekitar 0,47% sedangkan tahun 2013 telah
mencapai 2,24% dan tahun 2014 mencapai 2,07%. Sebagaimana dapat dilihat
pada tabel di bawah:
Tabel : Alokasi anggaran sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar Kab. Pangkep
Sumber : Bappeda Kab. Pangkep 2014
Data di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan proporsi
APBD Kab. Pangkep yang ada sebenarnya cukup besar untuk secara bertahap
dan terencana mampu menurunkan angka kemiskinan. Dengan kata lain tingkat
kemiskinan di Kabupaten Pangkep bukan disebabkan karena proporsi APBD,
tetapi menurut saya ada faktor-faktor lain yang membuat masih tingginya tingkat
kemiskinan di Kab. Pangkep, seperti adanya berbagai kepentingan para aktor
pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi proses penganggaran misalnya
melalui pemahaman tentang pro poor budget yang tidak merata dan tidak tepat
sasaran. Saya melihat bahwa eksekutif adalah budget actors yang eksistensinya
tidak terlepas dari peran sebagai pembuat kebijakan anggaran dan konstitusi
memberi amanah kepada budget actors ini untuk menciptakan hubungan yang
dinamis dalam merumuskan kebijakan anggaran. Hal inilah yang
melatarbelakangi ketertarikan saya untuk melakukan penelitian terhadap
interaksi aktor dalam memahami pro poor budget yang berlangsung di Kab.
Pangkep.
2010 % 2011 % 2012 % 2013 % 2014 %1 Dinas Kesehatan dan RSU 34,258,418,419 14.70 43,320,583,672 13.73 41,792,402,964 12.94 52,947,057,207 12.10 78,444,631,473 13.51 2 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga 43,283,436,414 18.57 104,231,326,350 33.04 66,070,541,176 20.46 94,561,219,152 21.61 127,247,909,119 21.91 3 Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang 82,308,134,527 35.31 75,748,485,000 24.01 82,263,383,845 25.47 113,126,626,018 25.86 169,064,695,481 29.11 4 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja 1,089,620,332 0.47 1,218,000,000 0.39 3,684,440,380 1.14 9,817,040,000 2.24 12,036,607,650 2.07
No SKPD JUMLAH ANGGARAN
19
1.3 Fokus Penelitian
Berbagai kebijakan para budget actors yang ditampilkan pada
penyelenggaraan negara menjadi hal yang sangat menarik bagi peneliti, simbol
yang diimplementasikan dalam mengambil kebijakan pro poor budget menjadi
cerminan dalam mewujudkan anggaran yang memihak rakyat miskin. Namun,
agar penelitian ini menjadi lebih fokus, peneliti membatasi masalah pada
interpretasi simbol yang tercipta dari budget actors melalui interaksi simbolik
dalam memahami konsep pro poor budget yang terjadi pada organisasi
pemerintah daerah, secara spesifik yang terjadi pada pemerintah Kab. Pangkep.
Para budget actors yang menjadi fokus perhatian saya adalah eksekutif
yang tergabung dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) sebagai aktor
yang menyusun dan merencanakan kebijakan umum anggaran pemerintah
daerah, serta berfungsi sebagai pelaksana keputusan anggaran dalam bentuk
APBD.
Interaksi antara budget actors yang seharusnya mengedepankan
kepentingan rakyat miskin melalui pemahaman dan analisa pro poor budget
dengan kenyataan perilaku yang cenderung banyak menyimpang dari tujuan
anggaran yang memberikan pemenuhan kesejahteraan rakyat akan menjadi
pokok penelitian ini. Sehingga pertanyaan penelitian studi ini adalah: “Bagaimana
interaksi simbolik budget actors dalam memaknai konsep pro poor budget di Kab.
Pangkajene dan Kepulauan”?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap simbol interaksi budget actors
(Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dalam memaknai pro poor budget di Kab.
Pangkep.
20
1.5 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kontribusi,
baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat
menambah nilai dalam khazanah ilmu akuntansi sektor publik, terutama konsep
pro poor budgeting di daerah. Penelitian ini dapat menjadi sumber acuan bagi
para insan akademis yang ingin memperluas pemahamannya atas persoalan
akuntansi anggaran dan pola perilaku melalui simbol-simbol yang tercipta oleh
para aktor anggaran. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai batu loncatan
dalam melakukan kajian lanjutan dengan paradigma lainnya, serta dapat
diperbandingkan dengan penelitian-penelitian anggaran sebelumnya yang telah
dilakukan oleh para peneliti anggaran terdahulu.
Manfaat praktis penelitian ini, budget actors (Tim Anggaran Pemerintah
Daerah) dapat mengeksplorasi pemahaman tentang pro poor budgeting
(anggaran yang memihak rakyat miskin) dalam skala prioritas. Hasil studi ini
dapat digunakan untuk mengungkap simbol melalui interaksi simbolik yang
tercipta di antara budget actors dalam kebijakan anggaran di daerah.
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam rangka pemahaman secara menyeluruh dalam penulisan tesis ini,
saya merasa perlu untuk membuat sistematika penulisan tesis ini agar dapat
menunjukkan arah penulisan, serta keterkaitan antar bab. Adapun sistematika
penulisan dari tesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bab satu konteks
penelitian, setting sosial penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian. Dalam konteks penelitian penulisan diantaranya
menggambarkan tentang kemiskinan dan kebijakan anggaran.
Bab dua tinjauan pustaka membahas proses akuntansi keperilakuan,
penganggaran, teori interaksi simbolik, serta membahas berbagai pendapat dan
21
literatur yang berkaitan dengan pustaka yang mendukung penelitian. Bab tiga
metode penelitian membahas berbagai hal yang berisi tentang pendekatan
penelitian, jenis penelitian, metode dan strategi penelitian. Dalam bab ini, peneliti
ingin memberikan gambaran tentang hal-hal berkaitan dengan metode penelitian
yang digunakan, dalam hal ini saya mengunakan teori interaksi simbolik untuk
mengungkap simbol yang tercipta dari budget actors dalam memahami pro poor
budget.
Bab empat dan bab lima merupakan pembahasan dari penelitian
mengenai interaksi simbolik aktor anggaran dalam memaknai pro poor badget
dan kebijakan anggaran di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Bab enam
merupakan kesimpulan, refleksi serta rekomendasi dan keterbatasan penelitian.
22
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
"Budget partly political, partly to contain economic, partly containing accounting and partly administrative nature" (Hyde, 1978)
2.1 Sekilas tentang Akuntansi Keperilakuan
Akuntansi, biasanya hanya terpusat pada pelaporan informasi keuangan.
Pada beberapa dekade terakhir para manajer dan akuntan profesional mulai
mengetahui kebutuhan akan tambahan informasi ekonomi yang dihasilkan oleh
sistem akuntansi. Oleh karena itu, informasi ekonomi dapat ditambahkan dengan
tidak hanya melaporkan data-data keuangan saja, tetapi juga data-data non
keuangan yang terkait dengan proses pengambilan keputusan. Berdasarkan
kondisi ini adalah wajar jika akuntansi sebaiknya memasukkan dimensi-dimensi
keperilakuan dari berbagai pihak yang terkait dengan informasi yang dihasilkan
oleh sistem akuntansi.
Teori-teori ilmu pengetahuan seperti sosiologi, psikologi, maupun
antropologi sangat mempengaruhi perkembangan ilmu akuntansi. Akuntansi
adalah disiplin ilmu yang hadir dan terus berubah seiring dengan munculnya
gagasan, hasil riset dan tuntutan baru yang berkenaan dengan akuntansi
sebagai disiplin ilmu yang melayani publik. Khusus mengenai riset akuntansi,
telah banyak menghubungkan antara akuntansi dengan aspek perilaku individu
ataupun kelompok dalam organisasi sehubungan kebijakan akuntansi (Arfan,
2010:13).
Akuntansi perilaku berisi studi reaksi manusia ketika informasi diproses
untuk pembuatan keputusan dan pengembangan strategi untuk memotivasi dan
mempengaruhi perilaku, aspirasi dan tujuan orang yang menjalankan organisasi,
22
23
(Siegel dan Marconi, 1989:3-4). Dalam buku akuntansi keperilakuan, Arfan
(2010) menyatakan bahwa terdapat banyak faktor kompleks yang terkait dengan
perilaku manusia, yakni kebutuhan individu dan motivasi, tekanan kelompok,
tuntutan organisasi, sejarah pribadi dan latar belakang individu yang unik, konflik
pesan dari dalam dan luar organisasi, tuntutan waktu, sosial, serta tanggung
jawab pribadi.
Dalam interaksi sosial, individu yang berorientasi hanya pada dirinya
cenderung berperilaku untuk mengejar kepentingan pribadinya, sedang dalam
hubungan berorientasi kolektif, kepentingan yang ada sebelumnya akan
didominasi oleh kelompok (Poloma, 2013:173). Secara terperinci, ruang lingkup
akuntansi keperilakuan tersebut adalah mempelajari pengaruh perilaku manusia
terhadap desain, konstruksi dan penggunaan sistem akuntansi yang diterapkan,
mempelajari pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku manusia, dalam hal ini
motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan dan kerja sama, serta
menjadikan sistem akuntansi dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku
(Hudayati, 2002:81).
2.2 Defenisi Anggaran
Anggaran dapat didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda. Munandar
(1986 : 1) anggaran adalah suatu rencana yang disusun secara sistematis,
meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan dalam unit moneter dan
berlaku untuk jangka waktu tertentu. Menurut Wildavsky dalam Prawoto (2010
:116) mengatakan bahwa anggaran adalah:
(i) catatan masa lalu; (ii) rencana masa depan; (iii) mekanisme pengalokasian sumber daya; (iv) metode untuk pertumbuhan; (v) alat penyaluran pendapatan; (vi) mekanisme untuk negosiasi; (vii) harapan –aspirasi-strategi-organisasi; (viii) satu bentuk kekuatan kontrol; (ix) alat atau jaringan komunikasi.
24
Berdasarkan konsep anggaran di atas, anggaran negara/daerah meliputi:
rencana keuangan mendatang yang berisi pendapatan dan belanja, gambaran
strategi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya untuk pembangunan, alat
pengendalian, instrumen politik dan disusun dalam periode tertentu
Suhanda, (2007 : 6) mengatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah merupakan suatu rencana tahunan sebagai aktualisasi
pelaksanaan rencana jangka panjang dan menegah, dan dalam penganggaran,
rencana jangka panjang dan jangka menengah perlu diperhatikan. Dengan
demikian, anggaran memiliki hubungan yang kuat dengan perencanaan. Disatu
pihak, pencerminan dalam anggaran belanja negara menjamin kepastian
pembiayaan, sedangkan dilain pihak perencanaan akan memberikan perhatian
keterbatasan pembiayaan (Tjokroamidjojo, 1994 : 166). Dan sebagai sebuah
kebijakan publik, perencanaan pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk
anggaran merupakan suatu proses politik, yang melibatkan banyak pihak dengan
banyak kepentingan. Anggaran yang disusun pemerintah akan mencerminkan
apakah pemerintah memperhatikan kepentingan, kebutuhan, melindungi, serta
menghargai hak-hak rakyat atau hanya akan menguntungkan pihak elit saja
(Puspitasari. 2006 : 67). Selanjutnya oleh Puspitosari dkk, dikatakan bahwa
anggaran harus dapat memenuhi kebutuhan rakyat, antara lain kesejahteraan,
pendidikan, perlindungan ekonomi, lapangan kerja, adanya jaminan social, serta
standar hidup yang layak, program dan kegiatan yang disusun harus bisa
mengatasi segala macam persoalan yang dihadapi oleh rakyat.
2.2.1 Anggaran: Pengalokasi Sumber Daya Keuangan Secara Efisien dan
Efektif Mardiasmo (2004:178), memberikan definisi anggaran sebagai
pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode
25
waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Lebih lanjut Mardiasmo
mengatakan, anggaran daerah juga merupakan managerial plan for action
sebagai fasilitas tercapainya tujuan organisasi yang meliputi aspek perencanaan,
aspek pengendalian, dan aspek akuntabilitas publik.
Melalui pendekatan ekonomi publik, penganggaran secara esensial
dipandang sebagai alat untuk menempatkan sumber daya (resouce allocation)
secara efisien sesuai kebutuhan dengan asumsi bahwa kebutuhan memiliki
keterkaitan ekonomi secara alami dan alokasi sumber daya yang optimum dapat
dilakukan. Dalam interpretasi luas menurut Myles (2001:3), ekonomi publik
adalah studi tentang kebijakan ekonomi yang diperankan oleh negara atau
pemerintah dengan penekanan khusus pada perpajakan. Pendekatan ekonomi
publik dalam sektor publik. Disis lain, Pinto (1980:33) dalam Suhirman (2007:2)
menekankan pada alokasi anggaran publik sebagai instrumen untuk
menyelesaikan tujuan fiskal yang telah ditetapkan agar memenuhi efisensi pasar
(market efficiency) dan program publik yang efektif (public program
effectiveness). Oleh karenanya, relevansi dari tiap pilihan alokasi, secara
eksplisit memformulasikan struktur preferensi dan berbagai kepentingan
masyarakat serta merefleksikan permintaan masyarakat terhadap barang publik.
Jika konsep kepuasan sosial (social utility) atau kesejahteraan (welfare)
akan digunakan sebagai pedoman untuk alokasi sumber daya oleh pemerintah,
menurut Fozzard (2001:43) maka dua unsur pokok harus dipenuhi. Pertama,
kriteria dan mekanisme untuk rekonsiliasi dari perbedaan-perbedaan relatif
kepuasan individu untuk kombinasi yang berbeda terhadap barang dan jasa.
Dengan kriteria dan mekanisme yang menyeluruh tersebut maka fungsi
kepuasan sosial yang menyeluruh dapat dideskripsikan. Kedua, denominator dari
kepuasan bersama sebagai dasar untuk perbandingan dari alternatif
26
penggunaan dana publik. Terpenuhinya kedua unsur pokok tersebut maka akan
menyediakan solusi menyeluruh atas konsep efisiensi alokatif dan penilaian atas
manfaat-biaya yang dapat digunakan dalam analisis manfaat-biaya (cost-benefit
anlaysis).
Selain memperhatikan kegagalan pasar sebagai dasar rasionalitas untuk
belanja publik, menurut Tanzi et al. (1999) dalam Fozzard (2001:63) saat ini
diterima secara luas bahwa pengurangan kesenjangan sosial dan kemiskinan
merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan belanja. Dalam pendekatan
ini, metode analisis fokus pada distribusi pendapatan, yang biasanya diukur dari
dampak pajak, pengeluaran dan pendapatan rumah tangga diantara kelompok
sosial yang berbeda. Pendekatan ini konsisten dengan kerangka konseptual
dimana kesetaraan dan kemiskinan didefinisikan dengan ukuran pendapatan
sebagai salah satu kriteria untuk menilai dan mendesain kebijakan pengeluaran.
2.2.2 Anggaran: Mekanisme Untuk Mobilisasi dan Koordinasi
Sumber daya juga dialokasikan melalui proses pembuatan kebijakan yang
melibatkan lembaga-lembaga pemerintah, masyarakat dan organisasi non
pemerintahan yang beragam, yang masing-masing merepresentasikan
kepentingan tertentu (Fozzard, 2001:23-25). Adanya berbagai institusi yang
terlibat dalam proses penganggaran tersebut tentunya memerlukan sebuah
koordinasi diantara lembaga tersebut. Oleh karena itu, analisis terhadap
anggaran pemerintah juga harus fokus pada desain kelembagaan sebagai
wahana proses penetapan anggaran.
Desain struktur kelembagaan, proses dan aktor merupakan bagian utama
dalam penganggaran. Anggaran publik dalam administrasi publik menurut Pinto
(1986:42) dalam Suhirman (2007) tidak hanya dipandang sebagai bentuk alokasi
27
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat atas barang publik, akan tetapi proses
penganggaran juga dapat dipandang sebagai pembentukan strategi untuk
koordinasi dan kombinasi sumber daya dalam pola-pola tindakan untuk
mencapai tujuan. Dalam konteks ini, penganggaran merupakan alat untuk
menilai dan mengontrol pencapaian tujuan secara efektif. Penganggaran tidak
dibatasi sebagai pembentukan pola-pola pilihan untuk alokasi tetapi sebagai
pola-pola pilihan untuk mobilisasi. Melalui proses ini, Pinto (1986:44)
menegaskan bahwa sumber daya langka dengan beragam segmen masyarakat
dilegitimasi tidak hanya berdasarkan rasionalitas ekonomi tetapi juga
berdasarkan rasionalitas untuk mencapai pemenuhan tujuan secara efektif, yaitu
integrasi sosial dan politik. Frederickson dan Smith (2003:134) menyatakan
bahwa teori keputusan rasional adalah teori yang berkaitan dengan
mengklasifikasi dan menempatkan prioritas nilai dan tujuan organisasi yang
mempertimbangkan dan menyediakan alternatif atau kemungkinan untuk
mencapai tujuan tersebut, serta menganalisis alternatif atau kelompok alternatif
yang lebih tampak dapat mencapai tujuan yang ditetapkan.
Anggaran juga dapat didekati dengan menggunakan teori ‘pilihan publik’
yang berasumsi bahwa manusia adalah rasional, yaitu ia akan berusaha untuk
mengoptimalkan kepuasannya diantara pilihan-pilihan yang tersedia (Fozzard,
2001:33). Hill (1999:1) menyatakan bahwa pilihan publik didefinisikan sebagai
penerapan model pilihan rasional untuk pengambilan keputusan publik.
Sementara itu, pembuat kebijakan tidak memiliki informasi yang lengkap dan
tindakan mereka dibatasi oleh peraturan (Kraan, 1996) dalam Fozzard (2001:73).
Oleh karenanya, menurut Fozzard perlu dibuat kerangka kerja kelembagaan
yang dapat memoderasi berbagai kepentingan dengan aturan main yang adil.
Dengan cara pandang ini maka pendekatan pilihan publik dapat membangun
28
teori positif yang dapat menjelaskan tingkah laku dari pembuat kebijakan,
interaksi diantara mereka dan implikasinya terhadap outcomes anggaran.
Berdasarkan teori ini maka rekomendasi dapat disusun untuk membuat kerangka
kelembagaan yang sesuai dengan tujuan dari belanja publik.
2.2.3 Anggaran: Permainan Kekuasaan dan Politik
Dalam konteks kelembagaan yang lebih luas, proses penganggaran juga
dipandang sebagai persoalan politik yang lebih luas dan tidak semata-mata
politik dalam pengertian representasi pemilihan umum. Mengutip Wildavsky
(2001:12)
..all budgeting is about politics, most politics is about budgeting, and budgeting therefore be understood as part of political game..
Argumen Wildavsky tersebut, menggambarkan anggaran sebagai usaha-
usaha untuk mengalokasikan sumber daya keuangan melalui proses politik untuk
melayani cara-cara hidup yang berbeda dan sekaligus sebagai perjuangan
merebut kekuasaan. Oleh karena itu, kebijakan anggaran adalah keputusan
tentang kekuasaan, siapa yang memegangnya, siapa yang diuntungkan dan
siapa yang tidak diuntungkan. Dari sini dapat dilihat bahwa masalah-masalah
dan agenda-agenda dijadikan masalah politik yang menunjukan persilangan
kepentingan antar kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan sehingga
sampai pada lahirnya sebuah kebijakan anggaran.
Dalam konteks politik, Kelly (2005:37) mencoba menghubungkan
perubahan dukungan publik untuk peranan pemerintah dengan fokus reformasi
anggaran dengan studi kasus di masyarakat Amerika. Kelly mengklaim bahwa
dia memiliki jawaban terhadap pertanyaan V.O. Key tentang teori anggaran yaitu
bahwa anggaran adalah teori siklus politik yang didorong oleh perubahan opini
publik mengenai peran pemerintah yang pantas. Di sisi lain, Kaufman (2004:412)
29
menghubungkan proses anggaran dengan ‘rent seeking’. Terminologi ‘rent-
seeking’ merujuk pada kelompok kepentingan tertentu yang berusaha mencari
keuntungan khusus dengan sedikit atau tanpa biaya. Studi Kaufman ini mencatat
peran kompetisi dan persilangan kepentingan antara bermacam-macam sektor
ekonomi lokal sebagai kekuatan untuk pembentukan dan mobilisasi organisasi
kelompok kepentingan.
Studi yang dilakukan Hagen et al. (1996:41-63) di Norwegia menunjukkan
kecenderungan mengenai studi-studi penetapan anggaran pemerintah saat ini
yang lebih banyak menekankan pada proses tawar menawar (bargaining) antara
‘penjaga’ dan ‘advokat’ disebabkan adanya perbedaan dan persilangan
kepentingan. Berdasarkan studinya, Hagen et al. menjelaskan dampak prosedur
kelembagaan dalam ’perundingan kekuasaan’ (bargaining power), yang
menunjukkan bahwa prosedur anggaran dan siklus pemilihan berdampak pada
kekuatan berunding dari para negosiator. Oleh karena itu, pentingnya
peningkatan kapasitas dan komitmen stakeholder yang berkepentingan dan
terlibat dalam penganggaran yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan legislatif.
2.3. Perencanaan Anggaran
Jones (1998) yang dikutip oleh Waidl et al (2008:76) menyatakan bahwa
ada dua kunci unsur dalam anggaran yaitu perencanaan anggaran dan kontrol.
Selanjutnya Waidl et al (2008:76) menjelaskan bahwa perencanaan anggaran
adalah rencana keuangan untuk masa depan, sedangkan kontrol anggaran
adalah penggunaan anggaran yang telah ditetapkan untuk memantau dan
mengontrol kinerja aktual. Perencanaan anggaran yang efektif dan pengendalian
proses dapat membantu manajer dalam mencapai tujuan operasional jangka
panjang, jangka pendek, dan tujuan-tujuan strategis.
30
Menurut Bastian (2009: 100) dengan jelas menyatakan bahwa:
“Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnya underfinancing atau overfinancing yang akan memengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran. Dalam situasi seperti itu, banyak layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik. Sementara, dana pada anggaran yang pada dasarnya merupakan dana publik habis dibelanjakan seluruhnya. Dalam jangka panjang kondisi seperti ini memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan pengusaha dalam proses pembangunan”.
Rencana pembangunan baik dalam bentuk program, kebijakan, maupun
kegiatan hanya akan tinggal sebagai dokumen sia-sia dan tidak akan berarti apa-
apa jika tidak dianggarkan. Disisi lain, keterbatasan anggaran semakin menuntut
adanya perencanaan yang matang agar pemanfaatan sumber daya yang
tersedia benar-benar dilakukan secara efisien dan efektif. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sri Mulyani Indrawati (2004) bahwa tugas pemerintah melalui
perencanaan adalah :
“Mengarahkan penggunaan sumber daya tersebut melalui suatu mekanisme pengaturan, proses pengelolaan, alokasi sumber daya masyarakat, dan anggaran pemerintah. Untuk itu keterkaitan dan keserasian antara perencanaan dan penganggaran merupakan syarat yang mutlak. Apabila penganggaran terlepas dengan perencanaan juga sebaliknya, maka dipastikan tujuan pembangunan akan sulit untuk diwujudkan karena terjadi alokasi anggaran yang memungkinkan terjadinya pemborosan dan inefisiensi, bahkan salah arah dan sia-sia”.
Menurut Bastian (2009: 3) mengatakan bahwa “perencanaan dan
penganggaran merupakan rangkaian kegiatan dalam satu kesatuan atau
kontinum”. Penganggaran perlu memperhatikan kapasitas fiskal yang tersedia.
Sehingga, dalam penerapannya konsekuensi atas integrasi kegiatan
perencanaan dan penganggaran perlu diperhatikan.
Sejalan dengan itu, menurut Kwik Kian Gie (2004) dikatakan bahwa
perencanaan dan penganggaran adalah dua hal yang sulit dipisahkan karena
bertautan sangat erat. Perencanaan dan penganggaran baik tingkat pusat
maupun daerah dapat berkoordinasi dengan baik dan efektif serta dapat menjadi
lembaga yang handal dalam menyiapkan rencana kerja sehingga dapat
31
menghasilkan suatu rencana yang berkualitas dengan dukungan dana yang
memadai.
Perencanaan anggaran setidaknya berarti memilih tingkat sasaran
pelayanan tertentu melalui aktivitas yang dilakukan dan selanjutnya mencari tahu
biaya personil dan perlengkapan untuk mencapai tujuan tertentu (Rubin, 1990:
180). Selanjutnya, Rubin (1990: 180) mengatakan bahwa para reformis anggaran
pada pergantian abad ini juga menekankan peran perencanaan dalam anggaran.
Mereka berargumen bahwa anggaran harus berisi rencana kerja dan
memberikan dana untuk masa depan serta kebutuhan saat ini. Beberapa
reformis melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa perencanaan anggaran
adalah cara untuk menemukan dan menanggapi kebutuhan yang belum
terpenuhi dalam masyarakat.
2.4. Penganggaran Sektor Publik
Penganggaran dilakukan oleh semua organisasi baik organisasi publik
maupun privat. Menurut Mardiasmo (2002:181), penganggaran adalah:
proses untuk mempersiapkan suatu anggaran yang berisi pernyataan dalam bentuk satuan uang yang merupakan refleksi dari aktivitas dan target kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu.
Penganggaran pada dasarnya merupakan proses penentuan jumlah
alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap program dan aktivitas dalam
bentuk satuan uang. Dengan demikian tahap penganggaran menjadi sangat
penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja
akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah ditetapkan. Anggaran
merupakan managerial plan for action untuk memfasilitasi tercapainya tujuan
organisasi.
Kenis (1979) dalam Yuliastuti (2015) mengemukakan anggaran
merupakan pernyataan mengenai apa yang diharap dan direncanakan dalam
32
periode tertentu di masa yang akan datang. Proses penganggaran sebagai cara
memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi tidak terkecuali organisasi sektor
publik.Proses penyusunan anggaran selanjutnya disebut dengan istilah
penganggaran. Penganggaran (budgeting) merupakan aktivitas mengalokasikan
sumber daya keuangan yang terbatas untuk pembiayaan belanja organisasi yang
cenderung tidak terbatas (Haryanto, 2007).
Kebijakan anggaran adalah jantung dari desentralisasi dalam era
demokrasi di Indonesia. Dalam pengelolaan keuangan publik, sudah sepatutnya
menempatkan rakyat pada porsi utama dalam penyusunan anggaran. Ada
beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran
yang rasional dan proposional menurut Rahayu (2010:253), yaitu :
Pertama, rakyat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam anggaran publik melalui pajak dan retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari utang selalu dipresentasikan dari kebutuhan rakyat. Kedua, sesuai hakikat dan fungsi anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan. Ketiga, amanah konstitusi yang memberi rakyat haknya untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan anggaran. Penganggaran pada sektor publik merupakan suatu proses yang cukup
rumit, termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sektor publik
terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program
dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran organisasi sektor
publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategi telah selesai
dilakukan.Dengan demikian dikatakan oleh Mardiasmo, (2002:61) bahwa
dalam organisasi sektor publik penganggaran merupakan suatu proses
politik. Hal ini berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta yang
relatif kecil nuansa politiknya. Karena pada sektor swasta anggaran
merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik,
namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan
33
kepada publik untuk dikritik, didiskusikan dan diberi masukan. Anggaran
sektor publik merupakan instrument akuntabilitas atas pengelolaan dana
publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.
Sebagai instrumen kebijakan publik, anggaran tidak dapat terlepas dari
berbagai kepentingan aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Pada dasarnya,
masyarakat atau masing-masing orang atau aktor-aktor memiliki aspirasi yang
beragam dan sifatnya tidak tunggal sehingga perbedaan kepentingan adalah
keniscayaan. Trijono et al. (2004:269) mengatakan bahwa ketika pintu partisipasi
dibuka dalam proses perumusan kebijakan publik, maka persilangan kepentingan
adalah suatu keniscayaan, hal itu juga berarti membuka pintu bagi beragam
kepentingan yang bersilangan untuk mengedepan.
Anggaran publik adalah alat utama pemerintah untuk melaksanakan
semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan
terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan
dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut
(Dobell dan Ulrich, 2002:2). Oleh karenanya, menurut Rahayu (2010:156),
kebijakan anggaran publik adalah suatu kebijakan ekonomi yang diperankan oleh
pemerintah dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi
lebih baik.
2.5 Pro Poor Budget
Anggaran merupakan pernyataan resmi pemerintah tentang perkiraan
penerimaan dan usulan belanja pada tahun berjalan. Dengan kalimat lain,
anggaran adalah sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan
kebijakan pemerintah, baik kebijakan sosial maupun ekonomi (Khan dan Hildreth
2002; Salihu, 2005; Shim dan Siegel, 2005 dalam Zamroni dan Anwar, 2008:12).
34
Sebagai kebijakan publik dan ekonomi, Musgrave (1959) dalam Zamroni
dan Anwar (2008:11), mengidentifikasi tiga fungsi anggaran, yaitu
Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan sebuah instrumen pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa publik guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, fungsi alokasi ini sering disebut dengan "belanja pembangunan" atau "belanja publik", yang misalnya hadir melalui pembangunan fasilitas publik, pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahandansebagainya) maupun bantuan untuk pemberdayaan masyarakat. Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan sebuah instrumen untuk membagi sumberdaya (kue pembangunan) dan pemanfaatannya kepada publik secara adil dan merata. Fungsi distribusi anggaran terutama ditujukan untuk menanggulangi kesenjangan sosial-ekonomi, misalnya kesenjangan antara golongan kaya dan kaum miskin, kesenjangan antara daerah maju dengan daerah tertinggal atau kesenjangan antara desa dan kota. Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu akan mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi sebuah instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi, yakni terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan stabilitas ekonomi makro (laju inflasi, nilai tukar, harga-harga barang dan lain-lain).
Sebagai sebuah dokumen politik, anggaran hendak mengalokasikan
sumberdaya langka kepada masyarakat di antara kepentingan yang kompleks,
kompetitif dan bahkan konfliktual. Sebagai dokumen ekonomi dan fiskal,
anggaran menjadi instrumen utama untuk mengevaluasi distribusi pendapatan,
mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi inflasi, mempromosikan
lapangan pekerjaan maupun menjaga stabilitasekonomi. Sebagai dokumen
akuntansi, anggaran menjadi pedoman dan pagu bagi belanja pemerintah.
Sebagai dokumen manajerial dan administratif, anggaran menjadi instrumen
untuk mengarahkan penyediaan pelayanan publik. Sebagai sebuah kebijakan,
maka anggaran sebenarnya merupakan dokumen publik, bahkan di Indonesia
dikatakan bahwa anggaran merupakan kumpulan "uang rakyat" (Zamroni dan
Anwar, 2008:13).
Anggaran adalah sesuatu yang tidak dapat disentuh (untouchable) oleh
setiap orang. Secara keilmuan, anggaran dimonopoli oleh ekonom, akuntan,
serta administrasi publik, dan secara politik kebijakan anggaran didominasi oleh
eksekutif dan legislatif. Tampaknya anggaran merupakan produk teknokratik
35
yang bekerja di ruang hampa politik.Pandangan seperti itu juga mempengaruhi
reformasi anggaran. Arus utama reformasi anggaran didominasi oleh cara
pandang institusionalis dan teknokratis, yang berupaya membuat anggaran lebih
ekonomis, efisien, akuntabel, perbaikan atau hanya berorientasi pada anggaran
yang lebih baik (Wildavsky, 1958) dalam Rahman (2010:4-5). Anggaran berbasis
kinerja (performance budgeting) termasuk sebuah konsep mutakhir yang
membimbing reformasi anggaran untuk membuat anggaran yang lebih baik
(Shim dan Siegel, 2005;Shah, 2007,dalam Zamroni dan Anwar, 2008). Kaum
liberal umumnya mengatakan bahwa birokrasi adalah “pemangsa” anggaran
terbesar, "lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan", yang
menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu formasi dan peran negara harus
dikurangi seminimal mungkin dan birokrasi harus dirasionalisasi agar anggaran
lebih efisien. Privatisasi dan outsourcing merupakan rute utama yang ditempuh
untuk membuat anggaran dan pelayanan lebih efisien dan lebih baik.
Di Indonesia, reformasi anggaran menjadi wacana dan kebijakan
pemerintah yang utama sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Selain
privatisasi dan outsourcing dijalankan secara gencar oleh lembaga-lembaga
pemerintah, cara pandang better budget menjadi pegangan utama rezim
keuangan di Indonesia dalam melakukan reformasi anggaran. Tampaknya
reformasi anggaran ditujukan untuk mendukung upaya-upaya pemberantasan
korupsi dalam tubuh pemerintah. Memang betul bahwa korupsi menjadi akar
masalah rendahnya kesejahteraan dan tinggi kemiskinan. Reformasi keuangan
yang mengutamakan akuntabilitas administrasi dan hukum untuk pencegahan
korupsi itu sangat tidak kompatibel dengan kebijakan redistributif untuk mencapai
kesejahteraan.
36
Jika upaya-upaya reformasi anggaran yang tengah berjalan tidak
kompatibel dengan tujuan kesejahteraan, maka kita perlu melihat reformasi
anggaran dari sisi lain. Karya klasik Key (1940) maupun Wildavsky (1958) dalam
Zamroni dan Anwar, (2008:15)sudah mengingatkan bahwa :
reformasi anggaran bukan sekadar membuat better budget(anggaran yang lebih baik), tetapi yang lebih penting harus melihat dimensi politik anggaran, terutama "siapa memperoleh apa" (who gets what). Pembicaraan tentang "siapa memperoleh apa" itu mencakup dua fungsi anggaran, yakni distribusi dan alokasi. Kedua fungsi ini tentu tidak hanya berbicara mengenai perhitungan secara teknokratik, tetapi juga mengandung politik.
Better budget (anggaran yang lebih baik) seharusnya ditempatkan pada
dimensi kesekian dalam reformasi anggaran. Dimensi pertama yang harus
ditekankan adalah "politik anggaran", terutama kebijakan untuk alokasi dan
distribusi anggaran kepada publik. Reformasi politik sebaiknya juga menyentuh
reformasi anggaran, atau sebaliknya reformasi anggaran sebaiknya
diintegrasikan ke dalam agenda reformasi politik. Secara teoretis dan empirik,
arus utama reformasi politik adalah desentralisasi dan demokratisasi.
Desentralisasi di sektor anggaran menghasilkan apa yang disebut dengan
desentralisasi fiskal, yang notabene mengikuti devolusi politik, yakni
distribusialokasi anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dengan
tujuan untuk mendanai pelayanan publik yang sesuai dan dekat dengan konteks
dan preferensi lokal (Burkietal.,1999; Bird dan Vaillancourt, 2000; Boexetal.,
2006, dalamZamroni dan Anwar, 2008:16).
Di Indonesia, desentralisasi anggaran (melalui desentralisasi fiskal) sudah
berjalan sejak 1999, yang mengalihkan kurang lebih 40% anggaran negara ke
level daerah melalui dana perimbangan. Yang menjadi persoalan mendasar
dalam politik anggaran adalah otokrasi anggaran, yakni keterbatasan distribusi-
alokasi anggaran pemerintah daerah ke rakyat dan akses rakyat terhadap
anggaran daerah. Karena problem otokrasi itu, maka harus direformasi dengan
37
demokratisasi anggaran. Sesuai dengan frasa pemerintahan rakyat,
demokratisasi di sektor anggaran mencakup partisipasi (dari rakyat),
akuntabilitas dan transparansi (oleh rakyat) dan responsivitas (untuk rakyat).
Anggaran tidak hanya menjadi domain yang teknokratik, tetapi menjadi arena
politik kontestasi antara negara dan masyarakat.
Dalam reformasi anggaran, demokratisasi itulah yang belakangan
memunculkan konsep-konsep baru di sektor anggaran: participatory budgeting,
gender budgeting, people budgeting dan pro poor budgeting (Santos, 1998;
Abers, 2000; Brautigam, 2004; Robinson, 2006; Sintomer, 2008 dalam Zamroni
dan Anwar, 2008:17). Sebagai teman participatory budgeting, gender bugeting
dan pro poor budgeting menyebar ke seluruh penjuru dunia, menyusul
kesepakatan Millennium Development Goals(MDGs) sejak 2000.
Pro poor budgeting merupakan politik baru reformasi anggaran di
Indonesia, yang menjadi kerangka pengarusutamaan (mainstreaming) anggaran
negara dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan. Selain didorong oleh
demokratisasi anggaran, pro poor budget merupakan bagian (turunan) dari
kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (poor poor policy). Sejauh ini tidak
ada definisi baku tentang pro poor budgeting maupun pro poor policy. Keduanya
bukanlah sekumpulan teori yang terbangun secara sistematis dan komplet,
melainkan berbentuk sekumpulan praktik/tindakan afirmatif, berpihak dan
menggunakan targeting secara fokus pada rakyat miskin (IFAD, 2006) dalam
Zamroni dan Anwar (2008:17)
Secara konseptual pro-poor policy (kebijakan pro poor) adalah tindakan
politik yang bertujuan mengalokasikan hak-hak dan sumberdaya kepada individu,
organisasi dan wilayah yang termarginalisasi oleh pasar dan negara (Moore dan
Putzel, 2000). Karena mengandung keberpihakan secara afirmatif, kebijakan pro
38
poor menekankan bahwa indikator sosial ekonomi orang miskin harus diperbaiki
lebih cepattepat daripada kelompok lain yang tidak miskin (Vandemoortele, 2003)
dalam Sunaji Zamroni dan Anwar (2008:18).
Kemiskinan harus dipandang sebagai persoalan yang multidimensi, oleh
karenanya pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya dengan satu
kebijakan. Pendekatan kebijakan pengentasan kemiskinan tidak bisa parsial,
melainkan juga harus bersifat multidimensi dan komprehensif. Oleh karenanya
pengarusutamaan kebijakan yang pro rakyat miskin diperlukan dalam
perencanaan dan penganggaran.Pengarusutamaan dalam strategi kebijakan
penanggulangan kemiskinan dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi dalam berbagai program kebijakan dan pembangunan yang diarahkan
secara tajam pada pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar masyarakat miskin
(Waidl et al., 2008).
Waidl et al. (2008:200) menekankan pra-syarat kebijakan terhadap
kemiskinan: pertama kehendak publik,adanya komitmen kuat dan tekad keras
pihak-pihak yang secara langsung mempunyai kewenangan dan
bertanggungjawab dalam penanggulangan kemiskinan,Agenda pembangunan
(daerah) menempatkan upaya dan program penanggulangan kemiskinan pada
skala prioritas utama, Kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui
kelemahan dan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu,
dan bertekad untuk memperbaikinya, baik pada waktu sekarang maupun di masa
datang.Kedua iklim yang mendukung, ada kesadaran kolektif untuk
menempatkan kemiskinan sebagai musuh bersama yang harus diperangi.
Kesadaran ini kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui
berbagai saluran informasi untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan dan
partisipasi masyarakat, Ada peraturan dan kebijakan daerah (Perda) yang
39
mendukung penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan
usaha kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan
terhadap hasil-hasil pertanian.
Jika dilihat dari kerangka demokrasi, pro poor budget berproses secara
partisipatif yang melibatkan partisipasi rakyat dan secara substantif ia bersifat
responsif dan berpihak kepada hak dan kepentingan orang miskin yang selama
ini terpinggirkan dari kebijakan alokasi distribusi anggaran. Waidl et al. (2008)
misalnya, memberi pemahaman bahwa Pro Poor Budget berarti anggaran yang
memihak orang miskin atau dapat diterjemahkan pula sebagai praktik
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja (by
design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan proyek yang berpihak
pada kepentingan masyarakat miskin. Tidak jauh berbeda, Berek et al. (2006)
dalam Zamroni dan Anwar (2008:18) memberi tiga pengertian pro poor budget:
Pertama, suatu anggaran yang mengarahkan pada pentingnya kebijakan pembangunan yang berpihak kepada orang miskin. Kedua, praktik penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja (by design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program dan proyek yang berpihak kepada kepentingan masyarakat miskin. Ketiga, kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan dan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar rakyat miskin.
Sedangkan Waidl et al.(2008:203) menyatakan:
Pro Poor budget (PPB) dapat dipahami sebagai anggaran yangmemihak orang miskin. Proses anggaran mulai dari perencanaansampai pelaksanaan didesain untuk memenuhi kebutuhan dasarmasyarakat miskin. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakanprogram serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengandemikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknyadapat meningkatkan kesejahteraan msayarakat miskin, sehingga hak-hakdasarnya dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalamkebijakan anggaran.
Ardiyanto (2012) menuliskan Beberapa contoh Best Practies Pro Poor
budgeting di daerah antara lain: Jembrana, sebuah Kabupaten yang berada di
propinsi Bali merupakan sebuah contoh yang mengadopsi pro poor budget. Hal
ini dapat dilihat dari gratisnya beberapa pelayanan dasar bagi masyarakat
40
Jembrana, yaitu pendidikan dan kesehatan. Seluruh biaya pendidikan mulai dari
SD (sekolah dasar) sampai SMA (sekolah menengah atas) digratiskan.
Sementara di bidang kesehatan, Bupati Jembrana yang mempunyai latar
belakang dokter, juga mengembangkan jaminan kesehatan jembrana (JKJ).
Semua warga jembrana diasuransikan, sehingga mereka bisa berobat disemua
rumah sakit yang ada di Jembrana secara gratis.
Untuk meningkatkan daya beli petani, pemerintah daerah melakukan
terobosan berupa program dana talangan gabahcengkeh. Mulai tahun 2001
melalui 9 KUD harga gabah petani dibeli sesuai dengan harga dasar. Kemudian
seluruh PNS dan pegawai honorer membeli beras ini dikembalikan oleh KUD
sesuai dengan perpanjangan yang dilakukan setiap tahun. Hal yang sama juga
dilakukan terhadap petani cengkeh.
Hal lain yang cukup menarik dari kebijakan anggaran Kabupaten
Jembrana ini adalah adanya program subsidi pajak bumi dan bangunan (PBB)
sawah. Karena petani sawah selalu dalam posisi tawar yang lemah (marginal),
Pemerintah Kabupaten Jembrana membantu subsidi PBB sawah di samping
mengurangi derasnya alih fungsi sawah. Tahun 2003 telah dibayar subsidi PBB
sebesar Rp. 600.000.000 (tidak seluruh pemilik sawah diberikan subsidi kecuali
yang memiliki KTP Jembrana dan belum alih fungsi). Sampai tahun 2005 subsidi
PBB sawah mencapai 639.000.000.
Kabupaten lain yang bisa dijadikan contoh penerapan pro poor budget
adalah Kabupaten Sleman. Bupati yang memiliki latar belakang akuntansi ini
membuat program dombanisasi (pemberian bantuan domba). Program ini
diyakini dapat menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup besar
karena akan mendorong munculnya kegiatan-kegiatan usaha pupuk organik
(berupa kotoran kambing), jasa pemotong kambing,penyamakan kulit, kerajinan
41
kulit, penjualan daging kambing dalam berbagai bentuk hidangan, pembuat
kerupuk kulit, dan lain-lain.
Selain program dombanisasi, ibu-ibu PKK juga diberi modal sebesar 1juta
rupiah untuk kredit candak kulak. Bupati yang berlatar belakang akademisi ini
juga mengatakan bahwa kredit yang diberikan kepada orang miskin lebih mudah
dikelola dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada tokoh masyarakat
seperti program KUT (Kredit Usaha Tani). Modal seorang penjual kue dipasar
hanya membutuhkan modal seratus ribu dengan demikian sektor riil akan tetap
berjalan dan si penjual bisa bertahan dengan modal yang tidak begitu besar.
2.6 Teori Interaksionisme Simbolik
Sejarah teori interaksionisme simbolik tidak bisa dilepaskan dari
pemikiran George Harbert Mead (1863-1931) dalam Harramain (2009). Mead
dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat
beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead
berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya
saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas
Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang
memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu
sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada
perkembangannya nanti menjadi cikal bakal Teori Interaksi Simbolik, dan
sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu
sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal
dunia pada tahun 1931 (Rogers, 1994:166) dalam kurnia (2010).
Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun
perspektif dari Mahzab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu
42
interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West dan
Turner, 2008:97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan
makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang
berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal
(seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti
kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh
semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol
yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).
Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori
interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus
pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan
banyak memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E.
Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark
Baldwin (Rogers, 1994:168) dalam kurnia (2010). Generasi setelah Mead
merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar
pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab
tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago
School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School)
yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers, 1994:171) dalam
kurnia (2010).
Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969
yang mencetuskan nama interaksi simbolik). Blumer melanjutkan penelitian yang
telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana
meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi
terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago
43
banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George
Harbert Mead (Ardianto. 2007:135).
Herbert Blumer merupakan murid dari Mead pada saat kuliah di
Universitas Chicago, sehingga Blumer banyak mengembangkan ajaran dari
Mead dalam membangun pemikirannya mengenai interaksionisme simbolik
(Ritzer dan Goodman, 2010:269). Blumer merupakan Tokoh kunci dalam
interaksi simbolik yang menyatakan dirinya adalah penerus pemikiran
interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (Ritzer dan Goodman, 2010:267).
Meskipun Blumer dianggap sebagai murid dari Mead, namun oleh
beberapa sosiolog seperti Lewis, Smith, James, memiliki pandangan yang
berbeda terhadap Mead dan Blumer (Ritzer dan Godman, 2010: 267). Mead
dianggap memiliki pandangan realis yang berbeda dengan pandangan nominalis
yang banyak digunakan dalam pendekatan interaksionisme simbolik. Perbedaan
pandangan realis dan nominalis menurut dan Morgan (1979:4) dalam Fachry
(2013) adalah bahwa pandangan realis merupakan “..postulat that social world
external to individual cognition is a real world made of hard, tangible, and
relatively immutable structure. Whether or not we label and perceive these
structure, the realists maintain, they still exist as empirical entities...”. Sedang
pandangan nominalis dikatakan sebagai berikut:“...The nominalist position
revolves around the assumption that the social world external to individual
cognition is made up of nothing more than names, concept and labels which are
used to structure reality...”. Dalam pandangan realis, pemahaman individu atau
manusia terhadap realitas dunia sosial adalah bahwa dunia merupakan sesuatu
hal yang keras, berwujud, dengan struktur yang tidak tahan terhadap relativitas.
Dalam hubungan kemasyarakatan, individu sebagai aktor tidak memiliki
ruang yang bebas atas perilaku ataupun kesadaran mereka. Individu sangat
44
dikendalikan oleh realitas eksternalnya. Sementara pandangan nominalis lebih
memberikan kebebasan dalam memberikan dan mendefinisikan atas nama,
label, konsep, yang digunakan dalam realitas struktural.
Mead menyatakan bahwa dari pengalaman dalam proses sosial
sebelumnya, eksistensi pikiran (mind) dan penjelasan mengenai asal usul pikiran
tidak hanya berasal dari hasil interaksi sosial beberapa individu, akan tetapi dia
berasal dari interaksi sejumlah pikiran yang ada pada individu yang berinteraksi.
Tentang hubungan antara pikiran dan komunikasi, Mead (1934: 50) dalam
harramain (2009) menyatakan:mind arises throught communication by a
conversation of gestures in a social process or context of experience, not
communication throught mind.
Bahwa pikiran muncul melalui komunikasi dengan percakapan gerakan
dalam suatu proses sosial ataupun dalam konteks pengalaman. Komunikasi tidak
dapat melalui pikiran individu. Pikiran muncul dalam proses komunikasi sehingga
untuk memahaminya tidak dapat dilakukan pemisahan diantara keduanya.
Proses komunikasi yang memunculkan pikiran melibatkan dua tahap, yang oleh
Mead (1934:42-50) dalam Harramain (2009) tahap tersebut adalah tahap
percakapan gerakan (gesture conversation) dan tahap bahasa (language).
Menurut Mead, percakapan gerakan dianggap sebagai percakapan yang
menjadikan individu tidak sadar jika dia sedang berkomunikasi. menyebutnya
sebagai percakapan yang tidak signifikan.
Bahasa (language) kemudian muncul untuk menjadikan komunikasi
tersebut menjadi signifikan meskipun bahwa kemunculan bahasa tidak serta
merta menghilangkan gerakan. Selanjutnya proses komunikasi yang merupakan
proses sosial bukanlah merupakan produk dari pikiran. Justru pikiran yang
muncul dan berkembang dalam proses sosial. Karakteristik istimewa dari pikiran
45
sebagaimana Ritzer dan Goodman (2010: 280) memahami pandangan Mead
adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak
hanya satu respon saja, akan tetapi respon komunitas secara keseluruhan, dan
itulah yang dikatakan oleh Mead sebagai pikiran.
Sementara konsep diri (self) Mead melihat bahwa diri akan menjadi ada
dan terus berkembang setelah adanya hubungan sosial oleh aktivitas yang
dilakukan. Mead (1925: 267) dalam harramain (2009) dengan jelas menyatakan:
the individual in such an act is a self. If the cortex has become an organ of social conduct, and has made possible the appearance of social objects, it is because the individual has become a self, that is, an individual who organize his own response by tendences on the part of other to respond to his act. Diri akan menjadi ada setelah pikiran berkembang sehingga tidak
mungkin untuk memisahkan diri dengan pikiran. Mead menekankan pada
gagasannya mengenai diri yang tidak lahir dari sebuah kesadaran, akan tetapi
diri ada setelah melalui proses sosial (Ritzer dan Goodman, 2010: 281). Diri (self)
adalah pusat dari segala pengalaman yang nampak hanya dalam tingkah laku
sosial. Hal ini menyebabkan individu menemukan dirinya mengambil sikap lain
yang dilibatkan dalam tingkah lakunya yang menjadikannya obyek untuk dirinya
(Mead, 1925: 268).
Mead juga mengidentifikasi dua aspek atau fase diri yang dikenal sebagai
“I” dan “Me” yang merupakan proses yang terjadi dalam proses diri individu yang
luas. “I” menjadi sumber sesuatu yang baru dalam proses sosial yang merupakan
perwujudan diri yang akan membentuk kepribadian individu. Sementara “Me”
yang menjadikan individu memiliki rasa tanggung jawab serta menguasai individu
pada masyarakat.
Sementara masyarakat (society) bagi Mead memiliki peran dalam
membentuk pikiran dan diri individu. Masyarakat juga yang memengaruhi individu
serta memberi stimulus bagi individu untuk memiliki sikap kritis serta kemampuan
46
untuk mengontrol segala sikap, namun di masyarakat pula kreativitas individu
diwujudkan (Ritzer dan Goodman, 2010: 285-287). Dalam konteks sosial, Mead
melihat tindakan pribadi dari tiap individu akan melalui suatu proses “self
indication” yang selalu mengambil tempat pada konteks sosial (social context).
Individu akan berusaha untuk memastikan tindakan yang mereka kerjakan atau
apa yang cenderung untuk mereka kerjakan, sehingga mereka mendapatkan
“pemaknaan” terhadap tindakan yang dilakukannya. Disinilah yang menurut
Mead moment bagi individu untuk mengambil peran dari yang lainnya, yakni
suatu peran spesifik personal atau peran dari suatu kelompok, dimana individu
akan merupakan bagian dari suatu kelompok dalam masyarakat sosial (Blumer,
1969: 82 dalam Ritzer dan Goodman, 2010).
Analisis Mead sebenarnya berdasarkan pada interaksionisme simbolik
yang mengandaikan masyarakat manusia dibuat oleh “diri” individu. Tindakan
individu merupakan suatu konstruksi melalui penafsiran ciri keadaan dimana dia
bertindak. Bahwa kelompok atau kumpulan tingkah laku selaras dengan tindakan
individu yang kemudian akan menjadikan individu menafsirkan atau melakukan
catatan dari tiap tindakan lain.
Dari sudut pandang interaksionisme simbolik, Menurut Blumer (1969: 87
dalam Ritzer dan Goodman, 2010). bahwa organisasi sosial adalah:
is a framework inside of which acting units develop their actions. Structure features, such as culture, social system, social stratification, social roles, set conditions for their action but do not determine their action. People their is, acting units do not act toward culture, social structure or the like, they act toward situations.
Bahwa konsep struktural dalam lingkungan sosial manusia memandang
organisasi yang dibangun sangat familiar dengan istilah-istilah seperti struktur
sosial, sistem sosial, peran sosial, stratifikasi sosial, struktur institusional, pola
kebudayaan, kode sosial, norma sosial dan nilai sosial. Blumer menyatakan
47
tentang konsep yang menganggap bahwa suatu lingkungan manusia adalah
terstruktur dengan menghargai posisi sosial yang dimiliki oleh orang-orang di
dalamnya, serta juga menghargai pola perilaku yang mereka ikuti. Selanjutnya
dianggap struktur antara mata rantai posisi sosial dan pola perilaku akan
melewati seluruh ketentuan tindakan sosial, yang dijelaskan pada praktik sosial
dalam hubungannya dengan konsep struktural sebagai persyartan peran,
permintaan status, perbedaan strata, preskripsi budaya, nilai dan norma. Blumer
membagi dua kategori umum yang menjadi acuan tindakan sosial, yakni yang
pertama adalah kecocokan (conformity), serta penyimpangan (deviance).