presentasi kasus rm pungky
DESCRIPTION
KisataTRANSCRIPT
Presentasi Kasus
SEORANG LAKI-LAKI 46 TAHUN DENGAN HEMIPARESE
SINISTRA ET CAUSA STROKE NON HAEMORRAGIK
Oleh:
Desrina Pungky Arum Sari
G99142083
Pembimbing
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR.MOEWARDI
2015
1
BAB I
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Sangkrah, Pasar Kliwon, Surakarta
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 11 Oktober 2015
Jam Masuk : 19.00
Tanggal Periksa : 13 Oktober 2015
No RM : 01316569
B. Keluhan Utama :
Kelemahan anggota gerak kiri yang mendadak
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh kelemahan anggota gerak kiri yang mendadak 7 jam
sebelum masuk rumah sakit saat akan berjalan memasuki rumah. Pasien
mengaku sebelumnya tidak ada keluhan kelemahan anggota gerak, dan masih
bisa melakukan aktivitas jalan-jalan keliling sekitar rumah. Namun, tiba-tiba
saat akan berjalan memasuki rumah, pasien merasa anggota gerak kiri lemah
sehingga pasien tidak dapat berjalan. Kelemahan pada pasien disertai dengan
nyeri kepala dan bicara pelo. Pasien tidak muntah, kejang, maupun penurunan
kesadaran. Tidak didapatkan riwayat trauma kepala sebelumnya. Pasien juga
menyangkal adanya demam dan riwayat benjolan abnormal di tubuh.
Pasien memiliki riwayat sakit hipertensi sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak
rutin minum obat. Apabila dirasa tensi agak tinggi, pasien akan minum buah
mengkudu. Selain itu, pasien juga memiliki riwayat sakit jantung kurang lebih 2
tahun yang lalu. Pasien dinyatakan jantungnya membesar akan tetapi pasien
2
tidak rutin meminum obat. Kemudian oleh keluarga, pasien diantar RSDM
karena merasa kelemahan yang dialami tidak membaik.
Pada hari perawatan ke-5, pasien masih merasa anggota gerak kiri masih
lemah dan sulit digerakkan. Pasien masih berbicara pelo dan mulai mengeluhkan
anggota gerak kiri terasa tebal dan sedikit sakit jika dipegang. Keluhan nyeri
kepala sudah tidak dirasakan. Pasien sampai saat ini juga masih mengalami
kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Dislipidemia : disangkal
Riwayat Alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat Trauma : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Penderita makan tiga kali sehari dengan sepiring nasi dan lauk pauk berupa
daging, tahu, tempe, telur, dan sayur.
Riwayat merokok : (+) kurang lebih 20 tahun
Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : tidak rutin
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Pasien bekerja sebagai
pedagang dan berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum kesan gizi cukup, GCS E4V5M6.
3
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 190/140 mmHg
Nadi : 84 x/ menit, isi cukup, irama teratur
Respirasi : 20 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal
Suhu : 36,6 0C per aksiler
VAS : 0
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam beruban,
tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-).
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris (-), lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP dalam batas normal, limfonodi tidak membesar,
nyeri tekan (-), benjolan (-).
J. Thorax
a. Retraksi (-), simetris
b. Cor
Inspeksi : Ictus Cordis tampak
Palpasi : Ictus Cordis kuat angkat, teraba di SIC VI linea axillaris
anterior
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan melebar ke caudolateral
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
4
c. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Simetris, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis(-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
M. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : BAB dan BAK normal, terpasang IV line dan DC
Fungsi Sensorik : menurun
Fungsi Motorik dan Reflek :
Atas Tengah
Bawah
ka/ki ka/ki ka/ki
a. Lengan
- Kekuatan 5/0 5/2 5/2
- Tonus n /n n /n n /n
- Reflek Fisiologis
5
- -
- -- -
- -
Reflek Biseps +2/+2
Reflek Triseps +2/+2
- Reflek Patologis
Reflek Hoffman - / -
Reflek Tromner - / -
Atas Tengah
Bawah
ka/ki ka/ki ka/ki
b. Tungkai
- Kekuatan 5/0 5/0 5/0
- Tonus n /n n /n n /n
- Klonus
Lutut - / -
Kaki - / -
- Reflek Fisiologis
Reflek Patella +2/+2
Reflek Achilles +2/+2
- Reflek Patologis
Reflek Babinski - / -
Reflek Chaddock - / -
Reflek Oppenheim - / -
Reflek Schaeffer - / -
Reflek Rosolimo - / -
Nn. Craniales
- N. I : dalam batas normal
- N. II, III : reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
- N. III, IV, VI : pergerakan bola mata dalam batas normal
- N. V : fungsi otot-otot mengunyah masih baik, sensibilitas
masih baik, refleks kornea (+).
- N. VII : parese sinistra UMN
- N. VIII : dalam batas normal
- N. IX, X : refleks bersin (+), disfagia (-)
6
- N. XI : dalam batas normal
- N. XII : parese sinistra UMN
Meningeal Sign
- Kaku kuduk : -
- Brudzinksi I-II : -
- Laseque : -
- Kernig : -
O. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
Penampilan : Laki-laki, tampak sesuai umur, berpakaian rapi, perawatan
diri cukup baik
Kesadaran : Kuantitatif : GCS E4V5M6
Kualitatif : Composmentis
Gangguan Persepsi
- Halusinasi : (-)
- Ilusi : (-)
Proses Pikir
- Bentuk : realistik
- Isi : waham (-)
- Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
- Daya Konsentrasi : baik
- Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
- Daya Ingat : Jangka pendek : baik
Jangka panjang : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : derajat 5
Taraf Dapat Dipercaya : dapat dipercaya
P. Manual Muscle Test (MMT)
NECK ROM MMT
7
Pasif Aktif
Fleksi 0 - 70º 0 - 70º 5
Ekstensi 0 - 40º 0 - 40º 5
Lateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60º 5
Lateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60º 5
Rotasi kanan 0 - 90º 0 - 90º 5
Rotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º 5
Ektremitas SuperiorROM Pasif ROM Aktif MMT
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra D S
Shoulder
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 0Ektensi 0-50º 0-50º 0-50º 0º 5 0Abduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0º 5 0Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0º 5 0Eksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 0Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 0
Elbow
Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-20º 5 2
Ekstensi 0º 0º 0º 0º 5 2
Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-20º 5 2
Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-20º 5 2
Wrist
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 2
Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0º 5 2
Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 2
Radius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0º 5 2
Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0º 5 2
MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 2
DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 2
PIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0º 5 2
MCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 2
Trunk Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0º 5 2
Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 2
Right Lateral
Bending
0-35º 0-35º 0-35º 0º 5 2
8
Left Lateral
Bending
0-35º 0-35º 0-35º0º
5 2
Ektremitas InferiorROM Pasif ROM Aktif MMT
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra D S
Hip
Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0º 5 0
Ektensi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 0Abduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0º 5 0Adduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0º 5 0Eksorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 0Endorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 0
KneeFleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0º 5 0Ekstensi 0º 0º 0º 0º 5 0
Ankle
Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 0Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0º 5 0Eversi 0-50º 0-50º 0-50º 0º 5 0Inversi 0-40º 0-40º 0-40º 0º 5 0
Q. Status Ambulasi
Skor ADL dengan Barthel Index
Activity ScoreFeeding0 = unable5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau membutuhkan modifikasi diet10 = independen
5
Bathing0 = dependen5 = independen (atau menggunakan shower)
0
Grooming0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
0
Dressing0 = dependen5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan sendiri10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
5
9
dll.Bowel0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)5 = occasional accident10 = kontinensia
10
Bladder0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani sendiri5 = occasional accident10 = kontinensia
10 (dengan
DC)
Toilet use0 = dependen5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri10 = independen (on and off, dressing)
0
Transfer0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)15 = independen
0
Mobility0 = immobile atau < 50 yard5 = wheelchair independen, > 50 yard10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat) > 50 yard
10
Stairs0 = unable5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)10 = independen
5
Total (0-100) 45
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah 11 Oktober 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
SITOLOGI
Hb 11.9 g/dl 13 –17,5
Hct 36 % 33 – 45
AL 11.7 103/ L 4.5 – 11.0
AT 263 103 / L 150–450
AE 4.42 103/ L 4.50 – 5.90
10
Golongan darah O
HEMOSTASIS
PT 12.5 detik 10.0-15.0
APTT 25.4 detik 20.0-40.0
INR 0.990
KIMIA KLINIK
GDS 132 mg/dL 60-140
SGOT 19 u/l <35
SGPT 14 u/l <45
Creatinie 1.6 mg/dL 0.9-1.3
Ureum 35 mg/dL <50
ELEKTROLIT
Natrium Darah 143 mmol/ L 136-145
Kalium Darah 3.0 mmol/ L 3.7-5.1
Clorida Darah 107 mmol/ L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HBsAg Nonreaktif Nonreaktif
B. Laboratorium Darah 12 Oktober 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
GDS 115 mg/dL 70-110
Glukosa 2 jam PP 232 mg/dL 80-140
Asam urat 7.2 mg/dL 2.4-6.1
Kolesterol total 236 mg/dL 50-200
Kolesterol LDL 175 mg/dL 97-202
Kolesterol HDL 40 mg/dL 30-64
Trigliserida 130 mg/dL <150
11
C. CT Scan Kepala (11 Oktober 2015)
Kesan : lacunar infark corona radiata kanan dan brain atrofi
D. Foto Rontgen Thoraks (11 Oktober 2015)
12
Kesan : Cardiomegaly
IV. ASSESSMENT
Klinis : Hemiparese sinistra, parese N.VII dan N. XII sinistra UMN,
cephalgia, disartria
Topis : capsula interna dextra
Etiologis : Stroke non haemorragik
V. DAFTAR MASALAH
A. Problem Medis
1. Hemiparese sinistra
2. Parese N.VII, XII sinistra UMN
3. Cephalgia
4. Disartria
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : Kelemahan ekstremitas kiri atas dan bawah
2. Speech Terapi : Bicara pelo
3. Okupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas fisik
4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari
13
5. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi
6. Psikologi : Beban pikiran karena kesulitan melakukan aktivitas
sehari–hari
VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Infus Assering 20 tpm
2. Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
3. Injeksi vit B12 500 mg/ 12 jam
4. Paracetamol 2 x 1000 mg
5. KSR 3 x 600 mg
6. Bisoprolol 1 x 2.5 mg
7. Ramipril 1 x 10 mg
8. Novorapid 6-6-6 IU SC
9. Simvastatin 1 x 20 mg
10. Aspilet 1 x 80 mg
11. Allopurinol 1 x 100 mg
B. Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi :
- Head up 300
- PROM exercise anggota gerak kiri
- Proper bed positioning
- Alih baring tiap 2 jam, miring kiri kanan
Setelah fase akut :
- Latihan duduk jalan (mobilisasi bertahap)
- Electrical stimulation
- Infrared superficial
2. Speech terapi :
- Latihan artikulasi, latihan berbicara pelan, penggunaan kata- kata singkat
3. Okupasi terapi :
Melatih pasien agar dapat menjalankan ADL sesuai fungsi awalnya,
terutama latihan motorik halus tangan dengan aktif
14
4. Sosiomedik :
Edukasi terhadap keluarga pasien mengenai bagaimana perawatan pasien
dan pentingnya peran keluarga dalam pengawasan dan membantu pasien
untuk melakukan latihan rehabilitasi di rumah.
5. Ortesa dan protesa :
Menyiapkan alat bantu jalan jika diperlukan
6. Psikologis :
Evaluasi status mental pasien setelah pasien sadar dan merencanakan terapi
psikologis berdasarkan hasil pemeriksaan status mental pasien tersebut,
memberikan terapi suportif pada keluarga pasien
VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP
A. Impairment
1. Hemiparese sinistra e.c stroke non haemorragik
2. Parese N. VII, XII sinistra UMN
3. Cephalgia
4. Disartria
5. Cardiomegaly
6. Hipertensi urgensi
7. Diabetes melitus tipe 2
8. Hipokalemia
9. Hiperchlorida
10. Asam urat
11. Dislipidemia
B. Disabilitas
Terjadi disabilitas personal dengan skor ADL 45 dengan gangguan dalam
makan, mandi, merawat diri, memakai baju, menggunakan toilet, mobilisasi,
dan menaiki tangga.
C. Handicap : gangguan berinteraksi dengan masyarakat luas, keterbatasan
menghadiri acara sosial seperti pengajian, undangan resepsi
pernikahan, dsb.
15
VIII. PLANNING
Planning Diagnostik: pemeriksaan laboratorium darah (GDP, GD2PP,
HbA1C)
Planning Terapi : tidak ada
Planning Edukasi :
- Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi.
IX. GOAL
A. Jangka pendek
1. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
2. Minimalisasi impairment dan disabilitas pada pasien
3. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama seperti ulkus
decubitus, pneumonia, atrofi otot, hipotensi ortostatik dan lain sebagainya.
B. Jangka panjang
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada
fase akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot
4. Meningkatkan dan memelihara ROM
5. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang diderita
pasien
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Stroke didefiniskan sebagai keadaan dimana terjadi interupsi suplai darah ke
otak, yang biasanya disebabkan karena bocornya pembuluh darah maupun adanya
blokade akibat bekuan darah. Berhentinya suplai oksigen dan nutrisi ini
menyebabkan kerusakan jaringan otak.27
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh
iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal
pembuluh darah otak yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan glukosa
ke bagian otak tertentu.11 Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau
tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia salah satu daerah
pendarahan otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral
atau perdarahan subarachnoid.3
II. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika
Serikat dan meskipun rata-rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita
17
stroke tetap meningkat yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah populasi
tua/meningkatnya harapan hidup. Terdapat beberapa variasi terhadap insidensi dan
outcome stroke di berbagai negara. Sampai dengan tahun 2005 dijumpai prevalensi
stroke pada laki-laki 2,7% dan 2,5% pada perempuan dengan usia ≥18 tahun.
Diantara orang kulit hitam, prevalensi stroke adalah 3,7% dan 2,2% pada orang
kulit putih serta 2,6 % pada orang Asia.2,5
Dari Survey ASNA di 28 RS seluruh Indoneisia, diperoleh gambaran bahwa
penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan profil usia 45 tahun yaitu
11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5%. Data-
data lain dari ASNA Stroke Collaborative Study diperoleh angka kematian sebesar
24,5%.18
III. FAKTOR RISIKO
Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk
pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas
hidup.8 Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan
dengan ketat.6
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke 21
Beberapa faktor diketahui meningkatkan penyakit stroke, dan telah dilakukan
banyak studi berskala luas. Faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat
diklasifikasikan berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak
18
(nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well
documented atau less well documented).9
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Berat badan lahir rendah
d. Ras/etnis
e. Genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
1) Hipertensi
2) Paparan asap rokok
3) Diabetes
4) Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
5) Dislipidemia
6) Stenosis arteri karotis
7) Sickle cell disease
8) Terapi hormonal pasca menopause
9) Diet yang buruk
10) Inaktivitas fisik
11) Obesitas
b. Less well-documented and modifiable risk factors
1) Sindroma metabolik
2) Penyalahgunaan alkohol
3) Penggunaan kontrasepsi oral
4) Sleep-disordered breathing
5) Nyeri kepala migren
6) Hiperhomosisteinemia
7) Peningkatan lipoprotein (a)
8) Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
9) Hypercoagulability
10) Inflamasi
19
11) Infeksi
Fisiologi Otak
Jumlah aliran darah ke otak disebut sebagai cerebral blood flow (CBF) dan
dinyatakan dalam satuan cc/menit/100 gram otak. Nilainya tergantung pada
tekanan perfusi otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan resistensi
serebrovaskular/cerebrovascular resistance (CVR).6,11 Dalam keadaan normal dan
sehat, rata-rata aliran darah otak adalah 50,9 cc/100 gram otak/menit. Hubungan
antara ketiga variabel ini dinyatakan dalam persamaan berikut:24
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik /mean arterial blood
pressure (MABP) dikurangi dengan tekanan intracranial/intracranial pressure
(ICP), sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tonus
pembuluh darah otak, struktur dinding pembuluh darah, viskositas darah yang
melewati pembuluh darah otak.6,11
Ambang batas aliran darah otak ada tiga, yaitu:10
a. Ambang fungsional : batas aliran darah otak 50-60 cc /100 gram/menit. Bila
tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi
integritas sel-sel saraf masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak: batas aliran darah otak sekitar 15 cc/100
gram/menit, yang bila tidak tercapai akan menyebabkan aktivitas listrik
neuronal berhenti. Ini berarti sebagian struktur intrasel telah berada dalam
proses disintegrasi.
c. Ambang kematian sel, yaitu batas aliran darah otak yang bila tidak terpenuhi
akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak. CBF dibawah 15 cc/100
gram/menit.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak antara lain:10,22
a. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/embolus.
20
b. Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
akan menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat
dapat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistemik yang memegang peranan tekanan perfusi otak.
Autoregulasi Otak
Autoregulasi otak yaitu kemampuan darah arterial otak untuk
mempertahankan aliran darah otak tetap meskipun terjadi perubahan pada tekanan
perfusi otak. Dalam keadaan fisiologis, tekanan arterial rata – rata adalah 50 – 150
mmHg pada penderita normotensi. Pembuluh darah serebral akan berkontraksi
akibat peningkatan tekanan darah sistemik dan dilatasi bila terjadi penurunan.10
Keadaan inilah yang mengakibatkan perfusi otak tetap konstan. Autoregulasi
masih dapat berfungsi baik, bila tekanan sistolik 60 – 200 mmHg dan tekanan
diastolik 60 – 120 mmHg. Dalam hal ini 60 mmHg merupakan ambang iskemia,
200 mmHg merupakan batas sistolik dan 120 mmHg adalah batas atas diastolik.
Respon autoregulasi juga berlangsung melalui refleks miogenik intrinsik dari
dinding arteriol dan melalui peranan dari sistem saraf otonom.10
Metabolisme Otak
Otak dapat berfungsi dan bermetabolisme tergantung dengan pemasukan
oksigen. Pada individu yang sehat pemasukan oksigen sekitar 3,5 ml/100 gr/menit
dan aliran darah otak sekitar 50 ml/100 gram/menit. Glukosa merupakan sumber
energi yang dibutuhkan otak, bila dioksidasi maka akan dipecah menjadi CO2 dan
H2O. Secara fisiologis 90% glukosa mengalami metabolisme oksidatif secara
komplit, 10% yang diubah menjadi asam piruvat dan asam laktat (metabolisme
anaerob). Bila aliran darah otak turun menjadi 20 – 25 ml/100 gram otak/ menit
maka akan terjadi kompensasi berupa peningkatan ekstraksi ke jaringan otak
sehingga fungsi-fungsi neuron dapat dipertahankan.10
IV. KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan patologis, stroke dapat dibagi menjadi:14,17,25
a. Stroke hemoragik
21
1. Perdarahan intra serebral
2. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)
b. Stroke non-hemoragik
1. Trombosis serebri
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama
makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran
darah ini menyebabkan iskemia.14,17 Trombosis serebri adalah obstruksi aliran
darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah
lokal.14,17
2. Emboli serebri
Infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi
ateromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-
gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke
tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang
terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi tersumbat, aliran darah fragmen
distal akan terhenti, mengakibatkan infark jaringan otak distal karena
kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke
non hemoragik.17
Klasifikasi stroke non hemoragik menurut Trial Of Org 10172 In Acute
Stroke Treatment:1
1) Aterosklerosis arteri besar
Pasien-pasien ini akan memiliki gejala klinis dan pencitraan otak
berupa stenosis atau oklusi yang signifikan (> 50%) pada arteri otak
besar atau cabang arteri kortikal yang memungkinkan adanya
aterosklerosis. Gejala klinisnya terdapat gangguan kortikal (afasia,
kelalaian, atau keterbatasan fungsi motorik) atau disfungsi pada batang
otak dan cerebellum. Riwayat serangan TIA pada vaskular yang sama,
adanya bruit di carotis atau denyutan carotis yang berkurang membantu
penegakan diagnosis. Lesi kortikal atau cerebellum dan infark batang
otak atau hemisfer subkortikal dengan gambaran CT Scan atau MRI
diameter lebih besar dari 1,5 cm dianggap berpotensi aterosklerosis pada
22
arteri besar. Gambaran studi duplek atau arteriografi yang menunjukkan
adanya stenosis >50% pada arteri intrakranial atau ekstrakranial
diperlukan. Studi diagnostik harus mengecualikan potensi sumber emboli
kardiogenik. Diagnosis stroke sekunder untuk aterosklerosis arteri besar
tidak dapat ditegakkan jika studi duplex atau arteriografi menunjukkan
hasil yang normal atau hanya kelainan yang minimal.
2) Kardioembolisme
Kategori ini meliputi pasien dengan oklusi arteri yang mungkin
disebabkan oleh kardioemboli. Sumber emboli jantung dibagi menjadi
kelompok risiko tinggi dan risiko menengah. Sedikitnya satu sumber
jantung untuk emboli harus diidentifikasi untuk diagnosis kemungkinan
terjadinya stroke kardioemboli. Gambarannya hampir sama dengan
aterosklerosis arteri besar. Riwayat TIA, stroke pada lebih dari satu
wilayah pembuluh darah atau emboli sistemik sebelumnya mendukung
diagnosis klinis stroke kardioemboli. Kemungkinan diagnosis
aterosklerosis arteri besar yang disebabkan trombosis atau emboli harus
dihilangkan. Pasien dengan risiko emboli menengah dan tidak ada
penyebab lain dari stroke dapat diklasifikasikan sebagai pasien yang
mungkin mengalami kardioemboli. Berikut adalah poin-poin untuk
klasifikasi derajat resiko kardioemboli menurut TOAST:
Tabel 2. TOAST Classification of High- and Medium-Risk Sources of
Cardioembolim
23
3) Oklusi arteri kecil (lacunar)
Pasien ini biasanya memiliki gejala klinis sindroma lakuner dan
tidak didapatkan disfungsi kortikal. Riwayat Diabetes mellitus dan
hipertensi menyokong penegakan diagnosis. Gambaran ST Scan atau
MRI harus normal dan adanya disfungsi daerah otak yang relevan
ataupun pada subkorteks pada hemisfer lesi dengan diameter <1,5 cm.
4) Stroke akut dengan etiologi lainnya
Pasien ini termasuk pasien dengan etiologi yang relatif jarang,
misalnya nonarterosklerosis vaskulopati, hiperkoagulasi, dan kelainan
hematologi. Gambaran stroke iskemik akut pada CT Scan atau MRI pada
ukuran atau lokasi yang sesuai. Kemungkinan adanya aterosklerosis dan
kardioemboli harus disingkirkan.
5) Stroke dengan penyebab lainnya
Beberapa pasien memiliki gejala klinis dan etiologi yang tidak sesuai
diatas atau pasien dengan lebih dari satu kemungkinan penyebab
sehingga klinisi masih ragu dengan diagnosis finalnya maka akan masuk
dalam kategori ini. Misalnya pasien dengan atrial fibrilasi yang juga
memiliki stenosis arteri carotis ipsilateral. Berikut adalah tabel subtipe
stroke iskemik menurut TOAST:
Tabel 3. Subtipe stroke iskemik TOAST1
24
a. Stroke Hemoragik
Pendarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada jaringan yang
melindungi otak (subarachnoid hemorrhage). Terdapat dua jenis utama pada
stroke yang mengeluarkan darah : (intracerebral hemorrhage dan
(subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi pendarahan di
dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya
disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang
berbeda dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke.
b. Serangan Iskemik Sesaat (TIA)
Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA) adalah
gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari berkurangnya aliran
darah ke otak untuk sementara waktu. TIA lebih banyak terjadi pada usia
setengah baya dan resikonya meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Kadang-kadang TIA terjadi pada anak-anak atau dewasa muda yang
memiliki penyakit jantung atau kelainan darah.
Penyebabnya biasanya karena serpihan kecil dari endapan lemak dan
kalsium pada dinding pembuluh darah (ateroma) bisa lepas, mengikuti
aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil yang menuju ke otak,
sehingga untuk sementara waktu menyumbat aliran darah ke otak dan
menyebabkan terjadinya TIA. Gejala TIA terjadi secara tiba-tiba dan
biasanya berlangsung selama 2-30 menit, jarang sampai lebih dari 1-2 jam,
tergantung kepada bagian otak mana yang mengalami kekuranan darah. Jika
mengenai arteri yang berasal dari arteri karotis, maka yang paling sering
ditemukan adalah kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan
kelemahan. Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis,
biasanya terjadi pusing, penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.
Gejala-gejala yang sama akan ditemukan pada stroke, tetapi pada TIA
gejala ini bersifat sementara dan reversibel. Tetapi TIA cenderung kambuh;
penderita bisa mengalami beberapa kali serangan dalam 1 hari atau hanya 2-
3 kali dalam beberapa tahun. Sekitar sepertiga kasus TIA berakhir menjadi
stroke dan secara kasar separuh dari stroke ini terjadi dalam waktu 1 tahun
setelah TIA.
25
V. PATOFISIOLOGI
1. Trombosis (penyakit trombo - oklusif):
Merupakan penyebab stroke yang paling sering. Arteriosclerosis serebral
dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis selebral.
Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan yang
tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau
kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis serebral
tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau
parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada
beberapa jam atau hari.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan
intima arteria besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut,
sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan
berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik
tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat
yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus
tersebut. Pembuluh – pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan
yang makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis
bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat
terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga
permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan
melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi.
Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli, atau dapat
tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan
sempurna.
1. Embolisme:
Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita
trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam
jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari
penyakit jantung. Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi
embolus biasanya embolus akan menyumbat bagian – bagian yang sempit..
26
tempat yang paling sering terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi
media, terutama bagian atas.
2. Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama
kasus GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh
dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan
oleh ruptura arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau
subaraknoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan
tertekan. Darah ini mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan
vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke
seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah yang semula lunak
menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang dari
sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak
dan mengalami nekrosis. Stroke iskemik akut hasil dari oklusi vaskuler
sekunder akibat penyakit tromboemboli. Iskemia menyebabkan hipoksia sel
dan menipisnya adenosin trifosfat selular (ATP). Tanpa ATP, tidak ada lagi
energi untuk mempertahankan gradien ionik melintasi membran sel dan
depolarisasi sel. Masuknya ion natrium dan kalsium dan aliran pasif air ke
dalam sel memimpin timbulnya edema sitotoksik. Stroke iskemik dapat terjadi
berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri dan
pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran
darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal.
Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem
vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade
aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi
iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau
hipovolemik.16
VI. GAMBARAN CT SCAN
a. Infark hiperakut
Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan
biasanya tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal
27
pada >50% pasien; tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan
intrakranial akut dan/atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi terapi
trombolitik. Gambaran CT scan yang khas untuk iskemia serebri hiperakut
adalah sebagai berikut:7,23,26
Gambar 1. Infark luas pada area arteri serebri media kanan dengan gambaran
edema difus hemisfer serebri kanan yang bermanifestasi sebagai pendangkalan
sulcus serebri dan obliterasi fissura Sylvii kanan
Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal effacement). Gambaran ini
tampak akibat adanya edema difus di hemisfer serebri. Infark serebral akut
menyebabkan hipoperfusi dan edema sitotoksik. Berkurangnya kadar oksigen
dan glukosa seluler dengan cepat menyebabkan kegagalan pompa natrium-
kalium, yang menyebabkan berpindahnya cairan dari ekstraseluler ke
intraseluler dan edema sitotoksik yang lebih lanjut. Edema serebri dapat
dideteksi dalam 1-2 jam setelah gejala muncul. Pada CT scan terdeteksi sebagai
pembengkakan girus dan pendangkalan sulcus serebri.26
Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri.
Substansia grisea merupakan area yang lebih mudah mengalami iskemia
dibandingkan substansia alba, karena metabolismenya lebih aktif. Karena itu,
menghilangnya diferensiasi substansia alba dan substansia grisea merupakan
gambaran CT scan yang paling awal didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh
influks edema pada substansia grisea. Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6
jam setelah gejala muncul pada 82% pasien dengan iskemia area arteri serebri
media.23
Tanda insular ribbon, yaitu gambaran hipodensitas insula serebri cepat
tampak pada oklusi arteri serebri media karena posisinya pada daerah
28
perbatasan yang jauh dari suplai kolateral arteri serebri anterior maupun
posterior.23
Gambar 2. Hipodensitas insula serebri kiri pada infark arteriserebri media kiri
(panah putih)
Hipodensitas nukleus lentiformis Hipodensitas nukleus lentiformis akibat
edema sitotoksik dapat terlihat dalam 2 jam setelah onset. Nukleus lentiformis
cenderung mudah mengalami kerusakan ireversibel yang cepat pada oklusi
bagian proksimal arteri serebri media karena cabang lentikulo striata arteri
serebri media yang memvaskularisasi nukleus lentiformis merupakan end
vessel.23
Tanda hiperdensitas arteri serebri media Gambaran ekstraparenkimal
dapat ditemukan paling cepat 90 menit setelah gejala timbul, yaitu gambaran
hiperdensitas pada pembuluh darah besar, yang biasanya terlihat pada cabang
proksimal (segmen M1) arteri serebri media, walaupun sebenarnya bisa
didapatkan pada semua arteri. Arteri serebri media merupakan pembuluh darah
yang paling banyak mensuplai darah ke otak. Karena itu, oklusi arteri serebri
media merupakan penyebab terbanyak stroke yang berat. Peningkatan densitas
ini diduga akibat melambatnya aliran pembuluh darah lokal karena adanya
trombus intravaskular atau menggambarkan secara langsung trombus yang
menyumbat itu sendiri. Gambaran ini disebut sebagai tanda hiperdensitas arteri
serebri media (Gambar 4).
29
Gambar 3. Hipodensitas nukleus lentiformis (panah putih panjang),
hipodensitas kaput nukleus kaudatus (kepala panah putih), hipodensitas insula
serebri (panah putih pendek), dan pendangkalan sulkus serebri region
temporoparietal (panah hitam)
Gambar 4. Tanda hiperdensitas arteri serebri media,hiperdensitas linear pada
segmen proksimal arteri serebri media (tanda panah)
Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri serebri
media (cabang M2 atau M3) yang tampak sebagai titik hiperdens pada fisura
Sylvii:
30
Gambar 5. Tanda Sylvian dot, tampak titik hiperdens pada fisura Sylvii
(tanda panah)
b. Infark akut
Pada periode akut (6-24 jam), perubahan gambaran CT scan non-kontras
akibat iskemia makin jelas. Hilangnya batas substansia alba dan substansia
grisea serebri, pendangkalan sulkus serebri, hipodensitas ganglia basalis, dan
hipodensitas insula serebri makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang
tersumbat makin jelas pada fase ini.28
c. Infark subakut dan kronik
Selama periode subakut (1-7 hari), edema meluas dan didapatkan efek
massa yang menyebabkan pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal.
Hal ini terjadi pada infark yang melibatkan pembuluh darah besar. Edema dan
efek massa memuncak pada hari ke-1 sampai ke-2, kemudian berkurang.
Infark kronis ditandai dengan gambaran hipodensitas dan berkurangnya
efek massa. Densitas daerah infark sama dengan cairan serebrospinal (Gambar
6).
Gambar 6. Gambaran hipodensitas masing-masing lesi. Densitasnya sama
dengan cairan serebrospinal dan bentuknya sesuai distribusi vaskular arteri
serebri media (untuk infark di sulkus sentralis) dan arteri serebri posterior
(untuk infark oksipital)
VII. TATALAKSANA
31
Penatalaksanaan stroke iskemik trombotik berdasarkan waktunya meliputi
fase prehospital, fase akut, fase perawatan dan fase pemulihan/rehabilitasi. Pada
fase prehospital diperlukan pendekatan diagnosis secara klinis serta mengatasi
kegawatan (primary survey), selain itu diperlukan sistem transportasi dan rujukan
yang baik untuk mengantarkan penderita ke pusat kesehatan secepat mungkin.
Berdasarkan guideline PERDOSSI tahun 2011 penatalaksanaan stroke fase akut
antara lain:
1. Evaluasi cepat dan diagnosis: berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologis, skala stroke dengan NIHSS.
2. Terapi umum/suportif:
a. Stabilitas jalan nafas dan pernafasan: dianjurkan memantau terus status
neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dalam 72
jam pada pasien dengan defisiti neurologis yang nyata. Pemberian
oksigenasi dianjurkan pada keadaan saturasi <95% (bila pasien stroke
trombotik non hipoksia tidak perlu tambahan oksigen). Intubasi ETT
diperlukan pada pasien hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg),
syok, atau pada pasien yang berisiko aspirasi. Bila perlu dilakukan
trakeostomi bila pemakaian ETT lebih dari 2 minggu.
b. Stabilisasi hemodinamik: infus kristaloid/koloid, pemasangan central
venous catheter dan dijaga tekanannya 5-12 mmHg, pemantauan tekanan
darah optimal 140-220 mmHg untuk stroke trombotik fase akut, monitoring
jantung pada 24 jam pertama, bila ada penyakit jantung kongestif segera
mengatasinya, hipotensi arterial, hipovolumia.
c. Pemeriksaan awal fisik umum: tekanan darah, pemeriksaan jantung,
pemeriksaan neurologis umum awal (derajat kesadaran, pupil dan
okulomotor, keparahan hemiparesis).
d. Pengendalian tekanan intra kranial (TIK): pemantauan ketat terhadap edema
serebral terutama 24 jam pertama pasca stroke dengan melihat perburukan
neurologis, terutama penderita dengan GCS <9 dipasang monitor TIK
dengan sasaran terapi <20 mmHg dan CPP> 70 mmHg. Pada penderita
dengan kenaikan TIK, posisi kepala 20-30o, hindari penekanan vena
jugularis, hindari hipotermi, jaga norovolumi, osmoterapi dengan mannitol
32
0,25-0,5 g/kgBB selama 20 menit diulang tiap 4-6 jam.
e. Pengendalian suhu tubuh: pemberian asetaminofe 650 mg bila suhu >
38,5oC, pemeriksaan hapusan dan kultur bila dicurigai ada infeksi.
f. Pemeriksaan penunjang: EKG, kimia darah, fungsi ginjal, hemtologi, faal
hemostasis, glukosa darah, analisis urine, analisis gas darah, serum
elektrolit, foto rontgen dada, CT Scan tanpa kontras.
Agen trombolitik menunjukkan peran yang utama dalam penatalaksaaan
stroke. Agen trombolitik digunakan untuk memicu tingkat reknalisasi endogen
sehingga terjadi reperfusi jaringan. Berdasarkan guideline stroke PERDOSSI syarat
pemberian tPA adalah hanya diberikan pada 3 jam pertama sejak serangan, tidak
ada serangan stroke maupun trauma pada 3 bulan terakhir dan tekanan darah
sistolik < 185 mmHg sedangkan menurut The European Cooperative Acute Stroke
Study, penggunaan trombolitik dalam 4,5 jam masih bermanfaat dan aman.
Risiko perdarahan meningkat pada penggunaan tPA di atas 6 jam sejak
serangan, diduga karena terbentuknya porous pada blood brain barier. Risiko
perdarahan diduga meningkat berhubungan dengan peningkatan usia, perubahan
iskemi awal pada CT scan, peningkatan tekanan darah dan gula darah.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut akan memperkecil kemungkinan
terjadinya edema serebral, transformasi perdarahan, mencegah kerusakan vaskular
lebih lanjut dan terjadinya serangan stroke ulang (early recurrent stroke). Akan
tetapi, disisi lain, penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat mengakibatkan
penurunan perfusi serebral sehingga kerusakan daerah iskemik di otak akan
menjadi semakin luas. Terlebih pada hipertensi kronik dengan kurva perfusi
(tekanan darah – aliran darah ke otak) bergeser ke kanan, Penurunan tekanan darah
pada kondisi seperti ini akan semakin mengakibatkan penurunan perfusi serebral.
Atas dasar itu, dalam batas-batas tertentu, penurunan tekanan darah pada pasien
stroke fase akut dengan kondisi darurat emergensi sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena dapat memperburuk kondisi pasien, menimbulkan kecacatan dan
kematian. Sementara itu, pada banyak pasien stroke akut, tekanan darah akan turun
dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
33
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke
tahun 2011 perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Penurunan tekanan darah
yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di anjurkan, karena
kemungkinan dapat memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar pasien,
tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Guideline stroke tahun 2011 merekomendasikan penurunan
tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini :
1. Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik
maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah
sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien
stroke iskemik akut yang diberi terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik
diturunkan hingga < 185 mmHg dan tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau
Diltiazem intravena.
2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik
> 200 mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai
dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan
pemantauan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermitten
dengan pemantauan tekanan perfusi serebral > 60 mmHg.
4. Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa
disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit
hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada Studi
INTERACT 2010, penurunan tekanan darah sistole hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan.
5. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau
34
dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah
resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk
mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke
perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah
sistole 140 – 160 mmHg. Sedangkan tekanan darah sistole 160 – 180 mmHg
sering digunakan sebagai target tekanan darah sistole dalam mencegah resiko
terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia
pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskuler.
6. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal
akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 – 25%
pada jam pertama dan tekanan darah sistolik 160/90 mmHg dalam 6 jam
pertama.
7. Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak di kelola dengan baik dapat
berakibat meluasnya area infark (reinfark), edema serebral serta transformasi
perdarahan, sedangkan pada stroke perdarahan, hipertensi dapat mengakibatkan
perdarahan ulang dan semakin luasnya hematoma (perdarahan).
Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut harus dilakukan dengan hati-
hati. Penurunan tekanan darah yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan
kerusakan semakin parah dan memperburuk keadaan klinik neurologik pasien. Oleh
karena itu, pemilihan obat anti hipertensi parenteral yang ideal adalah yang dapat
dititrasi dengan mudah dengan efek vasodilator serebral yang minimal. Pedoman
penurunan tekanan darah pada stroke akut adalah sebagai berikut :
1. Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting
agent)
2. Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah
3. Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah otak
4. Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung)
5. Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan
35
dicapai.
Penatalaksanaan fase perawatan menurut Guideline PERDOSSI antara lain:
1. Cairan
a. Infus cairan isotonis, dijaga euvolemi dengan CV 5-12 mmHg
b. Rata-rata kebutuhan cairan 20 cc/kgBB/hari.
c. Balance cairan
d. Mengkoreksi kelainan elektrolit dan asam basa darah
e. Cairan hipotonis yang mengandung glukosa dihindri kecuali dalam
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi parenteral sebaiknya diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi diberikan
bila fungsi menelan sudah baik.
b. Nutrisi yang diberikan pada masa akut adalah sebesar 25-30mg/kgBB/hari.
c. Apabila diperkirakan pemasangan nasogastrik tube melebihi 6 minggu
sebaiknya dilakukan gastrostomi.
3. Pencegahan dan komplikasi
Komplikasi sub akut yang sering terjadi antara lain aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, deep vein thrombosis, emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedik, dan kontraktur. Untuk itu perlu dilakukan mobilisasi terbatas,
penggunaan antibiotik sesuai kultur, bila perlu menggunakan kasur anti
dekubitus. Pasien dengan risiko DVT perlu diberi heparin subkutan atau
LMWH atau heparinoid. Pada pasien dengan risiko DVT yang tidak dapat
menggunakan obat anti koagulan, sebaiknya menggunakan stocking eksternal
atau aspirin.
4. Penatalaksanaan medik lain
Penatalaksanaan medik lain antara lain menjaga kadar glukosa darah tetap
normal, analgesik dan antiemetik digunakan sesuai indikasi, perdarahan
lambung dapat diberikan antihistamin 2.
Untuk menghindari serangan ulang, pada penderita dengan stroke minor/TIA
memerlukan prevesi sekunder dengan obat antiplatelet, obat antihipertensi, statin,
36
antikoagulan, serta carotid enderectomy untuk pasien tertentu. Obat antiplatelet,
Aspirin, harus diberikan dalam waktu 7 hari sejak terapi awal. Selain itu modifikasi
gaya hidup bebas alkohol, berhenti merokok, olahraga, diet juga berperan untuk
mengurangi risiko stroke.
Penanganan stroke iskemi pada sistem saraf bertujuan untuk mencegah injury
karena iskemia awal dan menghindari reperfusi injury. Reperfusi dapat
menyebabkan iskemi sekunder karena masuknya sel darah putih pada area yang
sebelumnya hipoperfusi sehingga menyebabkan perbuntuan arteriol, selain itu sel
darah putih juga memicu terbentuknya radikal bebas. Citicholine merupakan obat
yang mampu mengurangi iskemia jaringan dengan menstabilkan membran dan
mencegah pembentukkan radikal bebas. Citicholine dapat diberikan 24 jam pertama
semenjak serangan sebanyak 500 mg.
Rehabilitasi program juga harus diperhatikan dalam penatalaksanaan stroke
multidisipliner pada penyakit stroke, terutama karena penurunan angka morbiditas,
maka kecacatan akibat stroke menjadi meningkat. Kecacatan itu antara lain
gangguan bicara, berbahasa dan fungsi lainnya.
VIII. REHABILITASI
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase.
Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan
tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam
perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke.
Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di
unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri,
lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai
kualitas hidup yang lebih baik. Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas
lebih lanjut dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan spesialistik di
rumah sakit. 29
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke
37
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan
diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan
penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien
pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya (sekitar
10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan memerlukan
perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan
gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi
rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal. Rehabilitasi
pasien stroke fase subakut dan kronis mungkin dapat ditangani oleh pelayanan
kesehatan primer. Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih. 29
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar
melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa
rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke.
Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering
digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang
terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat
dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih
terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut
dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara
kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak. 29
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase
sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk,
membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan
masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk memperlancar sirkuit yang
telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan penggunaan
tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara bertahap
terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal.
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai
berbagai tingkat seperti mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti
sebelum sakit, mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih
38
ringan sesuai kondisi, mandiri penuh namun tidak bekerja, aktivitas sehari-hari
perlu bantuan minimal dari orang lain, atau aktivitas sehari-hari sebagian besar
atau sepenuhnya dibantu orang lain. 29
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
a. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang
terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk
bergerak/ beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin
juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali
beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya
sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila
ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di
otak akan mengecil dan terlupakan. 29
b. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional
daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan
meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional
mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian– bagian dari otak, baik area lesi
maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan
yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut
bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional, namun
tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru. 29
c. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak
fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak
normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena
masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana pasien
masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan
membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga
secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat
gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya
39
dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang diberikan harus disesuaikan
dengan kemajuan pemulihan pasien. 29
d. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai,
yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam
stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa
berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi.
Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan
posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke arah depan, belakang, ke sisi
kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi
sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas.
Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan
dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas
dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien
juga mampu melakukan aktivitas sambil berjalan. 29
e. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak
fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap
secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot,
lingkup gerak semua persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri
pada pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman
akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan terapi latihan tersebut.
Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan
denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu dimonitor. Lama latihan
tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan
yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-
60 menit) namun dengan pengulangan sesering mungkin. 29
f. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat
dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui
kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses
belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas
40
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada. Intervensi rehabilitasi pada
stroke fase subakut ditujukan untuk mencegah timbulnya komplikasi akibat
tirah baring, menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan
pemulihan fungsional yang paling optimal, mengembalikan kemandirian
dalam melakukan aktivitas sehari-hari, mengembalikan kebugaran fisik dan
mental. 29
Rangkaian program rehabilitasi stroke:
1) Fisioterapi
a) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2
ke bawah)
b) Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot.
c) Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif tergantung dari
kekuatan otot.
d) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
e) Latihan fasilitasi / redukasi otot
f) Latihan mobilisasi. 20
2) Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS)
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam
AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang
terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS
dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan.
Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang
disesuaikan. 20
3) Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi.
Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
a) Latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
b) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
c) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
41
d) Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.29
Pelayanan terapi wicara dilakukan oleh profesional yang telah
memiliki keahlian khusus dan diakui secara nasional serta telah
mendapatkan ijin praktek dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pelayanan Terapi Wicara di meliputi:
1. Asesmen atau pemeriksaan
2. Pembuatan program terapi
3. Pelaksanaan program terapi
4. Evaluasi program terapi
5. Evaluasi Gabungan (OT, TW,dll) 30
4) Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti
dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering
digunakan antara lain: arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee
back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee
ankle foot orthotic (KAFO). 20
5) Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase
penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-
fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara
lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah
lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk
dapat menerima rehabilitasi. 20
6) Sosial Medik dan Vokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara
keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup serta keadaan rumah.20
42
Program Rehabilitasi pada Pasien 30
Tujuan rehabilitasi medik adalah tercapainya sasaran fungsional yang realistik
dan untuk menyusun suatu program rehabilitasi yang sesuai dengan sasaran tersebut.
Pemeriksaan penderita meliputi empat bidang evaluasi:
1. Evaluasi neuromuskuloskeletal
Mencakup evaluasi neurologi secara umum dengan perhatian khusus pada:
- Tingkat kesadaran
- Fungsi mental termasuk intelektual.
- Kemampuan bicara.
- Nervus kranialis.
- Pemeriksaan sensorik.
- Pemeriksaan fungsi persepsi.
- Pemeriksaan motorik
- Pemeriksaan gerak sendi.
- Pemeriksaan fungsi vegetatif.
2. Evaluasi medik umum
Mencakup sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem endokrin serta sistem
saluran urogenital.
43
3. Evaluasi kemampuan fungsional
Meliputi kegiatan sehari-hari (AKS) seperti makan dan minum, mencuci, kebersihan
diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis aktivitas tersebut ditentukan derajat
kemandiriaan dan ketergantungan penderita juga kebutuhan alat bantu.
4. Evaluasi psikososial-vokasional
Mencakup faktor psikologis, vokasional dan aktifitas rekreasi, hubungan dengan
keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya lingkungan Evaluasi psikososial
dapat dilakukan dengan menyuruh penderita mengerjakan suatu hal sederhana yang
dapat dipakai untuk penilaian tentang kemampuan mengeluarkan pendapat,
kemampuan daya ingat dan orientasi.15
IX. PROGNOSIS
Penelitian Framingham dan Rochester tentang stroke, secara umum tingkat
mortalitas pada 30 hari setelah serangan stroke adalah 28%. Pada stroke ischemic
tingkat mortalitas pada 30 hari setelah serangan adalah 19% dan 77% dapat
bertahan sampai 1 tahun. Namun, secara umum prognosis pada stroke tergantung
dari beberapa faktor, yaitu:
a. Keparahan stroke
b. Kondisi premorbid pasien
c. Usia pasien
d. Kecepatan pemberian terapi awal
e. Fungsi tubuh yang terpengaruh akibat stroke
f. Komplikasi post stroke 4,16
X. KOMPLIKASI
Otak mengontrol banyak hal yang berlangsung di tubuh kita. Kerusakan otak
dapat mempengaruhi pergerakan, perasaan, perilaku, kemampuan
berbicara/berbahasa dan kemampuan berpikir seseorang. Stroke dapat
mengakibatkan gangguan beberapa bagian dari otak, sedangkan bagian otak lainnya
bekerja dengan normal. Pengaruh stroke terhadap seseorang tergantung pada:
1. Bagian otak yang terkena stroke
2. Seberapa serius stroke yang terjadi
44
3. Usia, kondisi kesehatan dan kepribadian penderitanya 13
Beberapa akibat stroke yang sering dijumpai adalah :13
1. Kelumpuhan satu sisi tubuh
Ini merupakan salah satu akibat stroke yang paling sering terjadi.
Kelumpuhan biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari letak lesi di otak,
karena adanya pengaturan representasi silang oleh otak. Pemulihannya
bervariasi untuk masing-masing individu;
2. Gangguan penglihatan
Penderita stroke sering mengalami gangguan penglihatan berupa defisit
lapangan pandang yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Hal ini
menyebabkan penderita hanya dapat melihat sesuatu pada satu sisi saja,
sehingga misalnya ia hanya memakan makanan di sisi yang dapat dilihatnya
atau hanya mampu membaca tulisan pada satu sisi buku saja;
3. Afasia
Afasia adalah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan. Stroke
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berbicara/berbahasa,
membaca dan menulis atau untuk memahami pembicaraan orang lain.
Gangguan lain dapat berupa disatria, yaitu gangguan artikulasi kata-kata saat
berbicara;
4. Gangguan persepsi
Stroke dapat mengganggu persepsi seseorang. Penderita stroke dapat tidak
mengenali obyek-obyek yang ada di sekitarnya atau tidak mampu
menggunakan benda tersebut;
5. Lelah
Penderita stroke sering mengalami kelelahan. Mereka membutuhkan
tenaga ekstra untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan sebelumnya.
Kelelahan juga dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas, kurang
makan atau mengalami depresi;
6. Depresi
45
Depresi dapat terjadi pada penderita stroke. Masih merupakan perdebatan
apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan otak
akibat stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak stroke yang
dialaminya. Dukungan keluarga akan sangat membantu penderita.
7. Emosi yang labil
Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami ketidakstabilan
emosi sehingga menunjukkan respons emosi yang berlebihan atau tidak sesuai.
Keluarga/pengasuh harus memahami hal ini dan membantu meyakinkan
penderita bahwa hal ini adalah hal yang lazim terjadi akibat stroke dan bukan
berarti mengalami gangguan jiwa.
8. Gangguan memori
Penderita stroke dapat mengalami gangguan memori dan kesulitan
mempelajari dan mengingat hal baru.
9. Perubahan kepribadian
Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol emosi positif
maupun negatif. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku penderita dan caranya
berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan perilaku ini dapat menimbulkan
kemarahan keluarga/pengasuhnya. Untungnya perubahan perilaku ini akan
mengalami perbaikan seiring dengan pemulihan strokenya. Memahami efek
yang dapat terjadi pada seseorang yang mengalami stroke akan sangat
membantu keluarga penderita memahamai perubahan yang terjadi pada
penderita. Pengetahuan yang memadai tentang hal tersebut dan membantu
penderita melalui masa-masa sulit ini akan sangat bermanfaat bagi upaya
pemulihan penderita.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam, Bendixen, Kapelle, Biller, Love (1993). Classification of acute ischemic stroke, Definition for use in multicentre clinical trial. Journal of American Heart Association; vol. 24 (1): 35-41.
2. Ali M, Atula S, Bath PMW, Grotta J, Hacke W, Lyden P, Marler JR, Sacco RL, Lees KR (2009). Stroke Outcome in Clinical Trial Patients Deriving from Different Countries. Stroke. hal. 40:35-40
3. Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY (2000). The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGraw-Hill. hal. 53-87.
4. Campellone J. (2015). Stroke. Diakses dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm pada 14 Oktober 2015.
5. Carnethon, Simone GD, Ferguson TB, Flegal K, Ford E (2009). Heart Disease and Stroke Statistics Update: A Report from the American Heart Assocoation Statistics Committee and Stroke Statistics Subcomittee. Circulation. 119:e21-e181
6. Cohen SN (2000). The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. hal. 89-109. 3.
47
7. Choksi V, Quint DJ, Maly-Sundgren P, Hoeffner E (2005). Imaging of Acute Stroke. Applied Radiology. 34(2): 10-19. Diakses di http://www.medscape.com/viewarticle/500443_print pada 14 Oktober 2015.
8. Currie CJ, Morgan CL, Gill L, Stott NCH, Peters A (1997). Epidemiology and costs of acute hospital care for cerebrovascular disease in diabetic and non diabetic populations. 28: 1142-6.
9. Goldstein LB, Adams R, Albert MJ, Appel LJ, Brass LM (2006). Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council. 37:1583-1633
10. Guyton, AC. Hall, JE. Aliran Darah Serebral, Cairan Serebrospinal, dan Metabolisme Otak. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006. Hlm: 801-808
11. Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K (2003). Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative Recommendations.
12. Hadjiev, DI. Mineva, PP. Vukov, MI. Multiple Modifiable Risk Factors for First Ischemic Stroke: a Population-based Epidemiological Study. European Journal of Neurology. 2003; 10: 577-582
13. Heart and Stroke Foundation (2003). Let’s Talk About Stroke: An Information Guide for Survivors and Their Families. Ottawa.
14. Hinkle, JL. Guanci, MM. Acute Ischemic Stroke Review. J Neurosci Nurs. 2007; 39 (5): 285-293, 310
15. Islam MS (1997). Stroke. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal: 26.
16. Jauch, EC (2015). Ischemic Stroke. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#aw2aab6b2b7 pada 14 Oktober 2015.
17. Maas, MB. Safdieh, JE. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of Localization. Neurology Board Review Manual. Neurology. 2009; 13(1): 2-16
18. Misbach J, Achmad A, Soertidewi L, Jannis J, Harris S, Lumempauw S, Rasyid A, Mulyatsih E (2007). Unit Stroke Manajemen Stroke secara Komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
19. PERDOSSI (2011). Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
48
20. Ropper AH, Brown RH (2005).Cerebrovaskular disease.Pada Adams & victor's principles of neurology Ed.8. Chapter 34. USA: McGraw-Hill companies.
21. Setyopranoto I (2011). Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 2011; 38 (4).
22. ThirumaVArumugam Biswas, M. Sen, S. Simmons, J. Etiology and Risk Factors of Ischemic Stroke in Indian-American Patients from a Hospital-based Registry in New Jersey, USA. Neurology Asie. 2009; 14(2): 81-86
23. Tomandl BF, Klotz E, Handschu R, Stemper B, Reinhardt F, Huk WJ, Eberhardt KE, Fateh-Moghadam S (2003). Comprehensive Imaging of Ischemic Stroke with Multisection CT. 23:565–592. Diakses di http://radiographics.rsna.com/content/23/3/565.full.pdf+html pada 14 Oktober 2015.
24. Trent MW, John T, Sung CT, Christopher GS, Sthepen MT. Pathophysiology, treatment, animal and cellular models of human ischemic stroke. Molecular Neurodegeneration. 2011; 6:11
25. Truelsen, T. Begg, S. Mathers, C. The Global Burden of Cerebrovascular Disease.2000. Burden of Diseases. World Health Organization. 2000. Tersedia di:http://www.who.int/healthinfo/statistics/bod_cerebrovasculardiseasestroke.pdf(Akses: 14 Oktober 2015)
26. Warren DJ, Musson R, Connoly DJA, Griffiths PD, Hoggard N (2010). Imaging in Acute Ischaemic Stroke: Essential For Modern Stroke Care. Postgrad Med J. 86:409-18.
27. WHO (2014). Stroke, cerebrovascular accident. http://www.who.int /topics/cerebrovascular_accident/en/- Diakses 14 Oktober 2015
28. Xavier AR, Qureshi AI, Kirmani JF, Yahia AM, Bakshi R (2003). Neuroimaging of Stroke: A Review. South Med J.96(4). Diakses di http://www.medscape.com/viewarticle/452843 pada 14 Oktober 2015.
29. Wirawan RP (2009). Rehabilitasi stroke pada pelayanan kesehatan primer. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 2
30. National Stroke Foundation (2010). Clinical guidelines for stroke management 2010. Melbourne, Australian.
49