presentasi kasus hiv.doc

18

Click here to load reader

Upload: altamasidarta

Post on 30-Sep-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUS

HIV / AIDS

(Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome)Pembimbing :

dr. Erwanto B. W., Sp.PD

Disusun oleh :

Felicia Caroline (030.02.083)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RS DR. H. MARZOEKI MAHDI

PERIODE 24 DESEMBER 2007 1 MARET 2008

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, 2008STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap

: Tn. A

Umur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Srikandi 11 no. 43 RT 03 / 17 Kel. Mekar Jaya

Pekerjaan

: -

Status Perkawinan: Belum menikah

Pendidikan

: D3

No. RM

: 11 08 73

Tgl masuk

: 21 Januari 2008

ANAMNESISDiambil dari : Alloanamnesis( ibu pasien )

Tanggal : 24 Januari 2008 Pukul 16.00Keluhan Utama : Riwayat Penyakit Sekarang :

Riwayat Penyakit Dahulu :

-Riwayat Penyakit Keluarga :

Kakek

: meninggal karena tua

Nenek

: meninggal karena tua

Ayah

: -

Ibu

: -

Saudara: 1. Laki laki, 32 tahun, -

2. Pasien

3. Perempuan, 25 tahun, -

Riwayat Hidup :

Riwayat kelahiran: rumah sakit, spontan, dokter Riwayat makanan: Sikap terhadap

: Ayah

:Ibu

:

Saudara:

Pendidikan terakhir: D3 Bahasa Inggris Pekerjaan

: tidak bekerja Perumahan

: menumpang dengan orang tua Kebiasaan

: Kesulitan

: -Berat Badan :

Berat badan tertinggi: 49 kg

Berat badan

: cenderung tetap

Berat badan sekarang : 48 kgPEMERIKSAAN FISIK

KEADAAN UMUM

Kesan sakit

: berat Tingkat kesadaran

: apatis Keadaan gizi

: kurang Sianosis

: - Edema umum

: - Umur menurut taksiran pemeriksa: 30-an tahun ( sesuai umur ) Bentuk badan

: ektomorf Cara berbaring dan motilitas

: pasif Cara berjalan

: - Habitus

: asthenikusTANDA VITAL Tekanan darah

: 130 / 80 mmHg Nadi

: 104 x / menit Suhu

: 37,7 oC Frekuensi pernapasan: 28 x / menit Berat badan

: 48 kg Tinggi badan

: 165 cmASPEK KEJIWAAN Tingkah laku

: tenang Alam perasaan

: sedih Proses pikir

: sedihKULIT Warna

: sawo matang, tidak pucat Efloresensi

: - Jaringan parut

: -

Pigmentasi

: - Pertumbuhan rambut: normal Pembuluh darah: normal Suhu raba

: lembab Keringat

: umum Turgor

: cukup Ikterus

: - Lapisan lemak

: kurang Edema

: -

KELENJAR GETAH BENING

Submandibula

: tidak teraba membesar Leher

: tidak teraba membesar

Supraklavikula: tidak teraba membesar

Ketiak

: tidak teraba membesar

Lipat paha

: tidak teraba membesar

KEPALA Ekspresi wajah

: sedih Simetri muka

: simetris Rambut

: hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut Pembuluh darah temporal: normal Deformitas

: -

Nyeri tekan ( sinus )

: -

Noktah nyeri ( saraf )

: -MATA Eksoftalmus / enoftalmus: - Gerakan

: normal Deformitas

: - Tekanan bola mata

: normal Kelopak

: normal Konjungtiva

: tidak anemis Sklera

: tidak ikterik Pupil

: bulat, isokor, , refleks cahaya langsung +/+, refleks

cahaya tidak langsung +/+ Lensa

: tidak keruhTELINGA

MULUT

LEHER Kelenjar tiroid dan limfe: tidak teraba membesar

THORAKS

Bentuk

: normal

Paru-paru:Inspeksi: simetris pada saat statis dan dinamis

tidak tampak retraksi sela iga

tidak tampak retraksi suprasternal dan infrasternal

Palpasi

: vocal fremitus simetris di kedua hemithoraks

Perkusi: sonor di kedua hemithoraks

Auskultasi: suara napas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung:

Inspeksi: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS

Perkusi: batas jantung kanan:

batas jantung kiri:

Auskultasi: BJ I-II regular, M (-), G ()

ABDOMEN Inspeksi: datar Palpasi

: supel, tidak teraba massa, nyeri tekan Hepar

: tidak teraba membesar

Lien

: tidak teraba membesar

Ginjal : ballotement -/- Perkusi: timpani diseluruh lapangan abdomen

Auskultasi: bising usus + normal

EKSTREMITASLABORATORIUM

RESUME

ASESSMENT

PENATALAKSANAAN

FOLLOW UPTGLSOAP

TINJAUAN PUSTAKAPENDAHULUAN

AIDS merupakan kelainan imunodefisiensi paling sering di dunia, dan infeksi HIV merupakan salah satu dari epidemic terbesar dalam sejarah manusia. AIDS merukan konsekuensi dari infeksi retroviral yang mengakibatkan disfungsi berat sel T helper CD4, infeksi oportunistik, dan keganasan. Retrovirus merupakan virus RNA yang ditranskripsi oleh viral reverse transcriptase menjadi DNA rantai ganda yang diintegrasi ke dalam genom pejamu. Aktivasi selular mengakibatkan transkripsi produk gen HIV dan replikasi virus.

Masalah HIV / AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang mengurus masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9 44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV / AIDS. HIV / AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan basis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain, HIV / AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.

HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Ini merupakan virus yang menyebabkan AIDS. HIV berbeda dari kebanyakan virus lain karena menyerang system imun. Sistem imun memberikan tubuh kita kekuatan untuk melawan infeksi. HIV menemukan dan menghancurkan satu tipe sel darah putih ( sel T atau sel CD4 ) yang merupakan sistem imun yang digunakan untuk melawan infeksi.

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome. AIDS merupakan tahap akhir infeksi HIV. Untuk mencapai tahap ini dapat terjadi bertahun-tahun pada seseorang yang tereinfeksi HIV walaupun tanpa pengobatan. Menderita AIDS berarti bahwa virus tersebut telah melemahkan sistem imun pada titik dimana tubuh menjadi sulit melawan infeksi. Ketika seseorang mendapatkan satu atau lebih infeksi dan jumlah sel T rendah, ia menderita AIDS.DEFINISI

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodificiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

Sistem klasifikasi CDC terbaru untuk mengkategorikan remaja dan dewasa yang terinfeksi HIV berdasarkan pada kondisi klinis yang berhubungan dengan infeksi HIV dan jumlah limfosit T CD4+. Sistem ini berdasarkan tiga rentang jumlah limfosit T CD4+ dan tiga kategori klinis. Menggunakan sisitem ini setiap individu terinfeksi HIV dengan jumlah sel T CD4+ < 200 L merupakan penderita AIDS sesuai dengan definisi, tanpa melihat adanya gejala-gejala atau penyakit oportunistik.

Revisi sistem klasifikasi 1993 untuk infeksi HIV dan meluasnya surveilans kasus definitif AIDS untuk remaja dan dewasa.

Kategori klinis infeksi HIV :

Kategori A : terdiri dari satu atau lebih kondisi berikut pada remaja atau dewasa ( > 13 th ) dengan adanya infeksi HIV. Kondisi-kondisi pada kategori B dan C harus tidak ada.

infeksi HIV asimptomatik

limfadenopati persisten generalisata

infeksi HIV akut (primer) dengan adanya gejala atau riwayat infeksi HIV akut.

Kategori B : terdiri dari kondisi simptomatik pada remaja atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak meliputi kondisi klinis kategori C dan dijumpai setidaknya satu dari kriteria berikut :

1. kondisi yang menandakan infeksi HIV atau mengindikasikan adanya defek imunitas seluluar ; atau

2. kondisi yang dipikirkan dokter untuk perlunya penanganan klinis atau perlunya penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Contohnya adalah sebagai berikut, tetapi tidak terbatas pada ini saja :

angiomatosis basiler

kandidiasis, orofaringeal (trush)

kandidiasis, vulvovaginal; persisten, berulang, atau merespon dengan buruk pada terapi

displasia serviks (moderate atau berat) / karsinoma serviks in situ

gejala konstitusional, seperti demam (38,5o) atau diare > 1 bulan

hairy leukaplakia, oral

herpes zaster (shingles), meliputi setidaknya dua episode terpisah atau lebih dari satu dermatom

purpura trombositopenia idiopatik

listeriosis

penyakit inflamasi pelvis, terutama bila komplikasi dari abses tuboovarium

neuropati perifer

Kategori C : kondisi pada surveilans kasus definitif AIDS.

kandidiasis bronkus, trakea, atau paru

kandidiasis, esofagus

kanker serviks, invasif

coccidiadomycosis, diseminata atau ekstrapulmonar

cryptococcosis, ekstrapulmonar

cryptosporidiosis, intestinal kronis ( > 1 bulan )

penyakit sitomegalovirus (selain pada hepar, limpa, atau nodus)

retinitis sitomegalovirus (dengan hilangnya penglihatan)

ensefalopati, berhubungan dengan HIV

herpes simpleks : ulkus kronis ( > 1 bulan ) ; atau bronkitis, pneumonia, atau esofagitis histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmonar

isosporiasis, intestinal kronis ( > 1 bulan )

sarkoma Kaposi

limfoma, Burkitt ( atau bentuk ekuivalen )

limfoma, primer, di otak

Mycobacterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstrapulmonar

Mycobacterium tuberculosis ( pulmonar atau eksrapulmonar )

Mycobacterium, spesies lain atau spesies tak teridentifikasi, diseminata atau ekstrapulmonar

Pneumocystis carinii pneumonia

pneumonia, berulang

leukoensefalopati multipel progresif

septikemia Salmonella, berulang

toksoplasmosis pada otak

wasting syndrome akibat HIVSEJARAH

Kasus pertama AIDS di dunia pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari beberapa literatur sebelumnya ditemukan virus yang cocok dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria berusia 15 tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat sarkoma kaposi diseminata dan agresif pada 1968 menunjukkan antibodi HIV positif dengan Western Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi ke luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularaannya berasal dari orang lain yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an, atau lebih awal.

Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathy Virus), sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinmakan HTLV III. Sedangkan tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia pada tahun 1985.

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif, sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-progressor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.

EPIDEMIOLOGI

Penularan HIV / AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntuk pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu, kelompok resiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana.

Namun, infeksi HIV / AIDS saat ini juga mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.

Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV / AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV / AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90000 samapai 130000 orang.

Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkuangan PSK di Merauke yaitu 5 26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa Barat.

Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar ODHA yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga tampaknya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group) tampaknya lebih menonjol.

Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS ketergantungan obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survey di sebuah kelurahan di Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV.

Surveilans pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/ AIDS pada masyarakat umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lama makin meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0.004% pada periode 1998/1999 dan 0,016% pada tahun 2000.

Prevalensi ini tentu ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor darah berasal dari tahanan di lembaga pemasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini, tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara.

Survey yang dilakukan pada tahun 1999 2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata positif terinfeksi HIV.

ETIOLOGI

Agen penyebab AIDS adalah HIV yang merupakan famili human retrovirus (Retroviridae) dan subfamili lentivirus. Lentivirus nononkogenik menyebabkan penyakit pada spesies hewan lainnya, termasuk domba, kuda, kambing, sapi, kucing, dan monyet. Keempat bentuk human retrovirus terbagi dalam dua kelompok : human T lymphotropic viruses (HTLV)-I dan HTLV-II yang merupakan retrovirus; dan human immunodeficiency virus, HIV-1 dan HIV-2 yang merupakan virus sitopatik.MORFOLOGI HIV

Mikroskop elektron menunjukkan bahwa virion HIV memiliki struktur icosahedral terdiri dari beberapa ujung tajam eksternal yang dibentuk oleh dua amplop protein utama, gp120 eksternal dan gp41 transmembran. Bunga-bunga virion berasal dari permukaan sel yang terinfeksi dan meliputi berbagai protein hospes, termasuk antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan II, dalam lapisan lipid gandanya.PATOGENESIS

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dpat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening makaka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7 12 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengkspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia P26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walalupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol maksimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level steady-state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktivitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.

PATOFISIOLOGI

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali orang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatakan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8 10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelanjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpos, dll.

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 50% pengguna narkotika terinfeksi virus Hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumania dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu, juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif.

Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS Dokter Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/penyakit HIV-nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik.

TRANSMISI

HIV ditransmisikan baik melalui kontak homoseksual dan heteroseksual; melalui darah atau produk darah; melalui ibu yang terinfeksi ke bayinya saat inpartu, perinatal, atau melalui ASI. Setelah > 20 tahun penelitian, tidak ada kejadian bahwa HIV ditransmisikan melalui kontak singkat atau virus dapat ditularkan oleh serangga, seperti melalui gigitan nyamuk.TES HIV

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan ELISA ( enzyme-linked immunosorbent assay ), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah ELISA.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya resiko terinfeksicukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.

WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien.

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I, hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non reaktif dianggap tidak teerinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi ( 99% ).

Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis atau antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.

Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga reaktif , maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga non reaktif atau pertama reaktif, kedua dan ketiga non reaktif, maka keadaan ini PENATALAKSANAAN

HIV / AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral / ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV / AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik.

Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu : a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV), b) pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV / AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toxoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, c) pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis corinii pada ODHA yang hilang timbul, biasanya mengharuskan ODHA minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum obat ARV teratur, banyak ODHA yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia.

Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat-obatan anti retroviral tersebut. Sarkoma kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertubuhan sarkoma kaposi. Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dpat membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan kejadian sarkoma kaposi.

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 250 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100000 kopi/ml.

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat. Kombinasi obat anti retroviral lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin (3 TC), dengan Nevirapin (NVP).

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post-exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.

Interaksi dengan obat anti tuberkulosis (OAT)

Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berb eda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan. Pada ODHA yang telah mendapat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diterusakan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya.

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddI yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.

Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan pada ODHA dengan TB adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun jika evafirens tidak memungkinkan diberikan, pada pemberian bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikkan.Sheet1

Kategori sel T CD4+ Kategori Klinis

A. Asimptomatik, HIVB. Simptomatik, bukanC. Kondisi indikasi AIDS

atau PGL akut (primer) kondisi A atau C

> 500 / LA1B1C1

200 - 499 / LA2B2C2

< 200 / LA3B3C3

PGL : Progressive Generalized Lymphadenopathy