potret kawasan prostitusi legal red light district

4
Pekerja seks komersial itu juga bayar pajak Potret kawasan prostitusi legal Red Light District Femi Adi Soempeno (Amsterdam, Belanda) Salah satu pemutar roda ekonomi Amsterdam adalah pariwisata. Para pelancong berduyun-duyun menyambangi Amsterdam untuk mengarungi kanal Amstel sepanjang 100 km dengan 200 jembatan, menghisap marijuana dengan bebas mencicipi ikan hering yang terjepit roti plus saus tomat, dan tentu saja, menjajal perempuan jelita nan menggoda di kawasan prostitusi Red Light District (RLD). Orang Belanda sendiri menyebut RLD ini dengan nama Rosse Buurt. RLD memiliki dua ruas jalan sempit yang mengapit kanal. Tidak ada kendaraan disini karena semua orang menikmati RLD dengan berjalan kaki. Beberapa orang menunjukkan letak kawasan ini dengan menggunakan kata kunci nama hotel ‘Krasnapolsky’. Beberapa pelancong yang ditemui KONTAN di Amsterdam mengaku tidak sengaja menemukan RLD. Wajar, soalnya letak RLD ini tidak jauh dari tempat-tempat yang wajib dikunjungi selama plesiran di Amsterdam. Sebut saja, Oude Kerk dan Zuider Kerk yang merupakan gereja di Amsterdam. Tempat lainnya, The Sensi Seed Bank (Marijuana Museum), Sex Museum dan Erotic Museum. RLD bukan semata-mata kawasan prostitusi saja. Di jalan ini juga berjajar sex shops, coffee shops untuk menghisap marijuana dan sinema yang menawarkan live-sex-show. Lebih dari itu, ada juga gerai-gerai yang menawarkan souvenir khas RLD. Setidaknya, setiap tahun tingkat kunjungan turis disini tak pernah kurang dari 4 juta orang. Di Amsterdam sendiri, ada tiga kawasan utama RLD. Yaitu Walletjes yang letaknya antara Centraal Station dan Nieuwenmarkt, Singel yang letaknya antara Raadhuistraat dan

Upload: femi-adi-soempeno

Post on 12-Jun-2015

975 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Potret kawasan prostitusi legal Red Light District

Pekerja seks komersial itu juga bayar pajakPotret kawasan prostitusi legal Red Light District

Femi Adi Soempeno (Amsterdam, Belanda)

Salah satu pemutar roda ekonomi Amsterdam adalah pariwisata. Para pelancong berduyun-duyun menyambangi Amsterdam untuk mengarungi kanal Amstel sepanjang 100 km dengan 200 jembatan, menghisap marijuana dengan bebas mencicipi ikan hering yang terjepit roti plus saus tomat, dan tentu saja, menjajal perempuan jelita nan menggoda di kawasan prostitusi Red Light District (RLD).

Orang Belanda sendiri menyebut RLD ini dengan nama Rosse Buurt. RLD memiliki dua ruas jalan sempit yang mengapit kanal. Tidak ada kendaraan disini karena semua orang menikmati RLD dengan berjalan kaki. Beberapa orang menunjukkan letak kawasan ini dengan menggunakan kata kunci nama hotel ‘Krasnapolsky’.

Beberapa pelancong yang ditemui KONTAN di Amsterdam mengaku tidak sengaja menemukan RLD. Wajar, soalnya letak RLD ini tidak jauh dari tempat-tempat yang wajib dikunjungi selama plesiran di Amsterdam. Sebut saja, Oude Kerk dan Zuider Kerk yang merupakan gereja di Amsterdam. Tempat lainnya, The Sensi Seed Bank (Marijuana Museum), Sex Museum dan Erotic Museum.

RLD bukan semata-mata kawasan prostitusi saja. Di jalan ini juga berjajar sex shops, coffee shops untuk menghisap marijuana dan sinema yang menawarkan live-sex-show. Lebih dari itu, ada juga gerai-gerai yang menawarkan souvenir khas RLD. Setidaknya, setiap tahun tingkat kunjungan turis disini tak pernah kurang dari 4 juta orang.

Di Amsterdam sendiri, ada tiga kawasan utama RLD. Yaitu Walletjes yang letaknya antara Centraal Station dan Nieuwenmarkt, Singel yang letaknya antara Raadhuistraat dan Centraal Station, dan de Pijp yang letaknya persis di belakang Rijksmuseum. Tiga area di Amsterdam ini punya sekitar 450 kabin transparan. Di luar Amsterdan, RLD juga dengan mudah dijumpai di Utrecht, Rotterdam, Groningen dan Alkmaar.

Dari namanya sudah ketahuan bahwa lampu merah yang redup maupun terang menjadi pertanda RLD. Bahkan, kanopi yang berwarna merah juga bisa dijadikan patokan kawasan prostitusi ini. Selain berjalan kaki, pelancong yang menyewa perahu kecil juga bisa membikin rute menyusuri kanal yang melewati RLD.

Kawasan dengan dominasi warna merah ini memang membuat mata para pelancong bakal terbelalak dan nyaris tak bisa berkedip. Mereka yang menjelajahi kawasan ini bukan hanya anak-anak muda saja, tetapi juga anak-anak dan kaki-nini. Belasan hingga puluhan orang menumpuk di jembatan kanal sembari menengok kanan-kiri. Decak kagum tercuat dari bibir mereka, bahkan sampai mereka tak bisa berkata-kata.

Page 2: Potret kawasan prostitusi legal Red Light District

Perempuan-perempuan cantik itu nyata. Mereka berada di kabin-kabin transparan di lantai dasar. Di dalam kabin ada tombol khusus yang berfungsi sebagai alarm bila terjadi kekerasan oleh pelancong terhadap pekerja seks disini. Di lantai atas, pelancong bisa melihat perempuan-perempuan sedang menggoreskan pensil alis atau menyapukan maskara. Maklum, beberapa diantara mereka yang tengah berdandan itu memunculkan wajah mereka ke luar jendela.

Dengan sepatu ber sol tinggi, pakaian yang terlilit di badan hanyalah celana dalam dan bra saja. Selebihnya, sebatang rokok terselip diantara rekahan bibir merah. Gaya berdiri mereka tidak sembarangan. Seperti sudah diatur untuk mencaplok lembaran euro milik pelancong. Sesekali mereka memiringkan tubuh mereka, menyilangkan kaki, menggoyangkan pantat, berkacak pinggang, menyedot rokok dan menghembuskannya dengan perlahan. Wow!

Dari luar, setiap orang yang berlalu lalang bisa menjelajahi tubuh seksi mereka dengan telanjang mata dan gratis. Bila ada pelancong yang ingin bertransaksi, mereka boleh membuka kabin transparan itu. Sambutan pekerja seks ini cukup ramah, “Good evening!” Sejak pemerintah Belanda melegalkan kawasan prostitusi ini pada Oktober 2000 lalu, ada persyaratan khusus bagi mereka yang ingin menjadi prostitusi di kawasan RLD, yaitu berumur 18 tahun dan memegang paspor European Union.

Para pekerja seks di RLD terbagi menjadi tiga kelompok. Yaitu, kelompok pekerja seks yang memang bekerja untuk mencari uang untuk membayar hutang dan membeli perkakas mewah, pekerja seks yang butuh duit untuk menyuplai kebiasaan nge-drugs, dan pekerja seks yang dipaksa melacur RLD karena paksaan perdagangan manusia (human trafficking).

Namun, mereka juga tidak gratis untuk menjadi prostitusi. Pemerintah mengutip pajak sebesar € 80-135 untuk window-show selama 2 shift setiap hari antara 8-12 jam. Lebih dari ketentuan jam bekerja, perempuan-perempuan ini harus membayar ekstra pajak. Mereka mengeruk kantong pelancong sebesar € 35-50 per 15 menit.

Kalo duit ini masih belum cukup untuk membeli rumah mewah maupun memangkas hutang, pekerja seks ini bisa saja bekerja di bar atau nightclub dengan bayaran sedikitnya € per jam. Atau, menjajakan dirinya di jalanan. Hanya saja, opsi terakhir ini tidak memberikan garansi keselamatan bagi diri mereka sendiri.

Asal tahu saja, nilai bisnis prostitusi ini cukup besar, mencapai € 1,6 milyar setahun. Belum lagi, beberapa hotel yang berada di sekitar RLD ikut kecipratan rejeki dengan membludaknya pengunjung ke kawasan ini. Sebut saja, hotel bintang 5 Krasnapolsky, Barbizon Palace Hotel dan The Grand. Sedangkan hotel bintang 4 diantaranya Radisson SAS dan Victoria. Hotel bintang 3 yaitu Luxer City Centre dan France.

Usia RLD ini tergolong tua, yaitu 700 tahun. Dokumen sejarah mencatat keberadaan RLD ini sejak 27 Oktober 1275. Konon, dulunya Amsterdam adalah perkampungan

Page 3: Potret kawasan prostitusi legal Red Light District

perikanan yang kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar. Amsterdam mulai menggeliat sejak akhir abad 12.

Para pelaut yang datang pada abad 14 bukan hanya butuh gereja untuk memenuhi kebutuhan spritual mereka, tetapi juga perempuan-perempuan untuk menemani mereka. Maka muncullah sex shops, gay bars, sinema dan hotel. Namun saat pelaut ini pergi, klab malam dan perempuan-perempuan ini tetap ada di sini.

RLD sama menariknya dengan tujuan plesiran lain di Amsterdam. Jadi, jangan lupa mampir ke kawasan ini bila Anda menjadi pelancong di negeri kincir angin ini.