politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan nasional yang termaktub dalam konstitusi adalah
menjadikan manusia Indonesia yang seutuhnya. Salah satunya dicapai melalui
peningkatan kualitas insan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa.
Kesadaran akan adanya Sang Khalik Allah SWT akan semakin mendalam melalui
pelayanan negara terhadap berbagai kegiatan keagamaan seperti ibadah haji.
Namun yang terjadi adalah kualitas pelayanan haji Indonesia tiap tahunnya selalu
dibawah sorotan kekecewaan. Masyarakat menilai bahwa masih banyak
ketidakadilan, kelemahan dari sisi manejerial, dan besaran biaya haji yang masih
tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia.
Tugas dan fungsi negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial
secara bersama-sama dan untuk mencapai cita-cita sebuah masyarakat. Karena itu
pelayanan haji harus memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tercermin dalam
keprofesionalan penyelenggara haji. Penjabaran prinsip atau kebijakan
penyelenggaraan haji, adalah penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan azas
keadilan (berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah atau tidak berpihak dan
tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan haji), azas profesionalitas (harus
dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya) dan
berdasarkan azas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba (penyelenggaraan harus
dilakukan dengan terbuka/transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan secara
etika dan hukum dengan prinsip tidak mencari keuntungan).
2
Negara dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama (Kemenag)
bertanggung jawab langsung terhadap pengambilan kebijakan dan pengelolaan
penyelenggaraan haji. Dalam hal ini panggung hukum yang mengatur tugas pokok
Kemenag sebagai penyelenggara haji dan umroh diatur dalam UU Nomor 13
Tahun 2008. Tuntutan ditujukan kepada penyelenggara yakni Kemenag agar
bekerja efektif dan efisien dengan penekanan pada pelayanan yang berbasis
customer value dan memposisikan diri sebagai public sevice. Namun demikian
harapan dan cita-cita tidak selalu sejalan dengan kenyataan dilapangan.
Penyelenggraan haji sarat dengan persoalan, salah satunya adalah terusiknya rasa
keadilan akibat kebijakan daftar tunggu atau waiting list dalam pengelolaan haji.
Tabel 1.1 Sepuluh Besar Antrean Haji Reguler
Data Rekapitulasi Setelah Musim Haji 2012
Provinsi Pendaftar Kuota Masa
Tunggu
Sulawesi Selatan 100.917 7.221 14 tahun
Kalimantan Selatan 51.407 3.811 13 tahun
Nangroe Aceh
Darussalam 46.843 3.924 12 Tahun
Kalimantan Tengah 15.318 1.349 11 tahun
Jambi 28.977 2.634 11 tahun
Kalimantan Timur 31.011 2.819 11 tahun
D.I. Yogyakarta 33.143 3.061 11 tahun
Jawa Timur 358.962 34.165 11 tahun
Bangka Belitung 9.538 913 10 tahun
Nusat Tenggara Barat 46.341 4.494 10 tahun
3
Sejak tahun 2004, Kemenag melalui SK Dirjen hingga diperkuat Permen
mulai menggunakan sistem daftar tunggu dalam pendaftaran berangkat haji. Dari
tahun ke tahun sistem ini seperti bom waktu yang menebar terror sehingga muncul
penumpukan Calon Jemaah Haji (CJH) hingga jutaan orang, padahal sebelum
tahun 2004 tidak pernah ada masalah dalam pelaksanaan haji bagi warga negara
Indonesia. Faktanya, sebelum pemberlakuan sistem daftar tunggu jumlah jemaah
haji Indonesia tidak pernah menembus 210.000 jemaah, karena sistem pendaftaran
sangat singkat dan praktis bagi mayoritas ummat Islam, karena jemaah yang
berangkat benar-benar berkemampuan sesuai kriteria. Dalam catatan jumlah daftar
tunggu pada tahun 2009 sekitar 800 ribu orang, tahun 2010 berjumlah 1,2 juta
orang CJH, tahun 2011 berjumlah 1,4 juta orang CJH dan untuk tahun 2012
terhitung 1,9 juta orang CJH sedangkan kuota pertahun adalah 211 ribu jemaah.
Tabel 1.2 Jumlah CJH Daftar Tunggu 31 Januari 2014
Kabupaten Jumlah CJH
(orang )
Persentase (%)
Denpasar 3.087 40,54
Buleleng 943 12,38
Jembrana 892 11,71
Kelungkung 247 3,24
Gianyar 227 2,98
Karangasem 315 4,13
Bangli 77 1,01
Badung 1.432 18,80
Tabanan 395 5,19
Total 7.615 100
Sumber: Kemenag Provinsi Bali
4
Kondisi yang sama juga terjadi dengan CJH Bali khususnya kota Denpasar. Saat
ini saja ada kurang lebih tiga ribu CJH Denpasar yang merasakan ketidakpastian
keberangkatan mereka. Padahal mereka dengan setia menyetor cicilan Ongkos
Naik Haji (ONH). Tabel 1.1 menunjukkan distribusi CJH disetiap kabupaten di
mana kota Denpasar merupakan yang terbesar.Rata-rata CJH yang diberangkatkan
sejak tahun 2009 sampai tahun 2013 adalah 613 orang (Tabel 1.2) sementara
kuota haji bagi provinsi Bali adalah 512 orang.
Tabel 1.3 Jumlah CJH yang berangkat tanggal 31 Januari 2014 (2009 s.d 2014)
Sumber: Kemenag Provinsi Bali
Dengan adanya penambahan pendaftaran CJH yang signifikan tapi tidak
berbanding lurus dengan kuota yang disiapkan sehingga terjadi penumpukan CJH
yang membutuhkan waktu antrian selama 10-15 tahun. Sudah dapat dipastikan
konsekuensinya adalah membludaknya jumlah CJH yang mengantre untuk
diberangkatkan. Data terkini di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat)
saat ini ada 2.288.189 CJH. Padahal sistem ini diklaim sebagai sistem yang dapat
0
100
200
300
400
500
600
700
2009 2010 2011 2012 2013 2014
639 639 639 639 639
512
5
mengatasi berbagai kelemahan penyelenggaraan haji. Sistem ini juga oleh Kemenag
dianggap solusi bagi pelayanan haji yang manusiawi. (http://hukum.kompasiana.com).
Kementrian Agama bukan institusi yang bebas dari kepentingan politik,
dan telah lama menjadi arena kontestasi dan pertarungan kekuasaan dari berbagai
latar belakang organisasi politik yang hidup di Indonesia (Saidi, 2004: 56). Sejak
merdeka, Kemenag, selalu menjadi inceran partai politik tertentu karena dianggap
strategis baik untuk mengembangkan partai maupun menjadi sumber keuangan
partai.
”Diharapkan sebagai kelanjutannya, Masjumi menguasai politik
Indonesia...dalam rangka ini ia teringat pada para jemaah haji. Dasar
pemikirannya ialah bahwa para jemaah sudah dipermudah dengan berbagai
fasilitas untuk naik haji. Oleh sebab itu, akan lebih bermanfaat bila umat
seluruhnya juga memperoleh keuntungan dari para jemaah:dengan
menambah dana partai dari kesempatan naik haji hari ini...” (Noer,
1987:68)
Secara idiologi dan praktik, partai politik punya kepentingan dalam
penyelenggaraan haji. Fakta ini ditemukan pada rapat pimpinan Masjumi tahun
1950, yang mana diusulkan cara yang dilakukan oleh Nu‟aim bin Masbud.
“Yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Departemen Agama
dikuasai oleh NU untuk sebagian besar masa yang kita bicarakan. Dari
duapuluh tiga kabinet tahun 1946-1965 hanya tiga kali kursi menteri
agama diduduki oleh bukan NU...Yang dua pertama dari Muhammadiyah,
yang terakhir independen. Dengan demikian, kementrian itu menjadi alat
yang sangat berguna bagi NU dalam menyebarkan pengaruhnya ke
segenap penjuru tanah air...”(Noer, 1987:340)
Keterlibatan partai politik yang secara ansich ikut sebagai rezim pemerintah
menimbulkan persoalan „tarik menarik‟ dari berbagai kepentingan. Dengan
demikian kepentingan partai dan golongan lebih mengedepan, tetapi melalaikan
tugasnya melayani masyarakat.
6
Kementrian Agama tidak seteril dari campur tangan partai politik sehingga
conflict of interest menjadi nuansa bagi pelayanan publik dan umat.
Kecenderungan seperti ini rawan akan penyimpangan. Misalnya yang menjadi
sorotan masyarakat luas adalah mengenai Laporan Keuangan Penyelenggaraan
Ibadah Haji (LKPIH) 2013 yang diterbitkan Kemenag, terungkap nilai
outstanding dana haji per Desember 2013 senilai Rp 64,5 triliun. Portofolio
investasi untuk pengelolaan dana haji dalam sukuk meningkat hingga Rp 31,10
triliun. Sedangkan, penempatan pada deposito juga meningkat sampai Rp 26,2
triliun (http://www.republika.co.id). Kecenderungan yang terjadi di sini, pengelola
ibadah haji selalu berusaha memegang sebanyak mungkin uang dari jamaah.
Semakin banyak uang yang dikelola, semakin banyak bunga uang yang didapat.
Sistem administrasi haji membuka celah kecurangan. Sistem antrean yang
awalnya ditentukan berdasarkan masuknya setoran awal calon jamaah, diserobot
oleh oknum tertentu yang bersedia membayar sejumlah uang, atau oknum pejabat
yang ingin didahulukan. Hal ini terjadi akibat tumpang tindihnya kekuasaan,
dimana posisi pengawasan, pelaksana, sekaligus evaluasi, dipegang oleh satu
pihak, yaitu Kementerian Agama. (http://www.antikorupsi.org).
Indikasi adanya penyimpangan dalam menejemen dan pengelolaan
keuangan haji menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga
ini melakukan kajian lebih mendalam dengan dukungan undang-undang KPK
yaitu sebagai pelaksanaan UU no. 30 tahun 2002 dimana Pasal 6 huruf e, KPK
mempunyai tugas melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara. Sejauh ini KPK melalui temuan nya pada April 2010 memfokuskan pada
aspek yang harus ditindaklanjuti yaitu aspek regulasi, kelembagaan, tatalaksan,
7
menejemen SDM dan menejemen kesehatan haji (http://acch.kpk.go.id/kajian-
sistem-penyelenggaraan-ibadah-haji).
Anggito Abimanyu menyuarakan bahwa ada banyak sisa kuota jemaah haji
yang selama ini diperjualbelikan melalui transaksi di bawah meja dengan petugas.
Kemudian, adanya ketidakpercayaan dari calon jemaah haji karena pengelolaan
haji yang tidak transparan. Menurutnya CJH yang sudah daftar dan punya jatah
satu kursi, akan tetapi tidak memperoleh kejelasan waktu berangkatnya
(http://www.tempo.co). Ini jelas bertentangan dengan ajaran islam yang
menekankan kejujuran dan keadilan. Islam melarang praktik jual beli dan taklid
(menghitung yang belum jelas) tetapi Islam mengajarkan transparansi dan
keterbukaan (Fatwa, 2001:xiii)
Rezim Orde Baru menunjukkan sikap yang menempatkan Islam vis a vis
dengan negara (Shokheh, 2008:xiii). Dalam banyak kasus, negara menjalankan
komunikasi satu arah dalam menjalankan program-programnya. Akibatnya
aspirasi masyarakat terabaikan, hal ini menimbukan ketegangan di antara elit
pemerintah dan masyarakat yang seharusnya diayomi. Ketaatan berbagai
kelompok dalam masyarakat harus dibangun dengan menciptakan keyakinan
bahwa sistem yang dibangun oleh pemerintah merupakan yang terbaik untuk
mencapai tujuan (Fuad, 2005:147). Kemajuan Indonesia tidak hanya diukur pada
tingkat kesejahteraan lahiriah saja tetapi juga mencakup bagaimana aspirasi
masyarakat diakomodasi dan pembangunan mental spritual masyarakat terutama
dalam menghadapi era “perang antar nilai budaya” sekarang ini (Widminarko
dalam Adnan, 1999:vii).
8
Menurut Noer (1987) keterlibatan kepentingan politik dari beberapa latar
belakang partai dalam kementrian agama merupakan sumber berbagai
penyimpangan. Indikasi penyimpangan kewenangan oleh Kemenag didasari tidak
adanya sistem pengelolaan baik secara syariat maupun ekonomis. Adanya
penumpukan puluhan triliun dana calon jemaah untuk masa sampai puluhan
tahun. Dana haji hingga 25 Juli 2012, total uang setoral awal CJH sebesar Rp 47,5
triliun. diantara yang bisa ditaksir Rp 35 triliun di sukuk, Rp12 triliun deposito,
dan Rp 3 triliun di giro atas nama menteri agama dan menghasilkan bunga Rp 2,8
triliun sesuai BI rate tak jelas pertanggung jawabannya.
Penyimpangan pengelolaan haji dengan sistem daftar tunggu
memperlihatkan negara telah bertindak sewenang-wenang dan membuka lebar
celah-celah ketidak adilan. Hal ini bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai
Islam dalam bernegara yang mengajarkan prinsip persamaan (musaawah),
keadilan („adaalah) kebebasan (hurriyyah), musyawarah (syuraa) dan konsensus
bersama (ijma). (Kamaruzazaman, 2001). Karena itu perlu kiranya membicarakan
substansi permasalahan ini lebih mendalam dengan kerangka pemikiran kritis
dan berbasis kajian budaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan uraian di atas, rumusan permasalahan penelitian
disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk politik negara dalam kebijakan daftar tunggu pada
penyelengaraan haji?
9
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pemerintah melakukan kebijakan
daftar tunggu pada penyelenggaraan haji?
3. Apa makna politik negara dalam kebijakan daftar tunggu pada
penyelengaraan haji?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan penjelasan bahwa
telah terjadi politisasi negara/Kemenag melalui kebijakan daftar tunggu dalam
penyelenggaraan haji. Data yang didapat dianalisis secara kritis memposisikan
dirinya sebagai panduan kepada pengambil keputusan dalam hal ini Kemenag
khususnya Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh dan menjadikannya sebagai
pertimbangan sebagai upaya memberbaiki sistem pengelolaan haji yang
berkeadilan untuk masyarakat dan umat.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan bagaimana bentuk politik negara dalam kebijakan daftar
tunggu dalam penyelengaraan haji.
b. Mendiskusikan mengapa pemerintah melakukan kebijakan daftar tunggu
dalam penyelenggaraan haji.
c. Mengungkapkan makna politik negara dalam kebijakan daftar tunggu
dalam penyelengaraan haji.
1.4 Manfaat Penelitian
1.5. 1 Manfaat Teoretis
10
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan seputar
penerapan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Penelitian ini
diharapkan sebagai “pintu masuk” untuk meneliti permasalahan-permasalahan
menejerial haji dari perspektif teori-teori kritis yang mengarah pada perubahan
sikap pengambil keputusan dan pelaksana operasional penyelenggaraan haji di
Indonesia dalam kerangka menegakkan keadilan.
1.5. 2 Manfaat Praktis
Dalam tingkat praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1) Memberikan pemahaman kepada pihak pemangku berkepentingan untuk
bersikap kritis terhadap pengelolahan penyelenggaraan haji.
2) Masukan bagi pemangku kepentingan untuk memahami dan melaksanakan
kebijakan pendidikan secara kritis dan inovatif dengan mempertimbangkan
suara-suara yang meneriakkan keadilan dan serta keluh kesah masyrakat
khususnya calon jemaah haji Indonesia.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang terkait ibadah haji sebagai fokus penelitian sudah ada
dalam lingkungan kajian budaya Universitas Udayana. Misalnya tesis Aliffiati
(2006) “Representasi Ibadah Haji Orang Madura di Dusun Wanasari Kota
Denpasar” menjelaskan representasi pelaksanaan, motivasi dan makna ibadah haji
bagi orang Madura di Dusun Wanasari. Objek formal dari penelitian ini hanya
menyoal ibadah haji, sebagai jati diri bagi masyrakat Islam di Wanasari. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori praksis dari Bourdieu, teori
manusia dan makna dari Blumer, teori pertukaran dari Hotman, dan teori
strukturasi dari Gidden. Dalam penelitian ini terungkap bahwa warga Wanasari
sangat termotivasi untuk melaksankan ibadah haji karena dorongan internal ingin
memperoleh ridha Allah, dan dorongan eksternal sebagai prestise dan gaya hidup.
Makna ibadah haji bagi masyarakat tidak saja terkait keimanan dan spritual tetapi
juga berhubungan dengan aktualisasi diri, solidaritas sosial dan kesejahteraan.
Tesis Aliffiati memiliki objek materi yang sama dengan penelitian ini
yakni masalah tentang haji tetapi berbeda dalam hal substansi permasalahan dan
fokus penelitian. Baik tesis Aliffiati dan penelitian ini keduanya menggunakan
alat analisis teori strukturasi Giddens dan teori praksis Bordieu yang dilengkapai
dengan dua alat analisis lain yang berbeda. Penelitian ini berkontribusi membantu
12
penulis dalam menggambarkan representasi umat Islam di Kota Denpasar,
karateristik umat Islam, nilai-nilai Islam dan definisi operasional haji.
Jurnal ”Peran Negara Dalam Peyelenggaraan Ibadah Haji: Studi Kasus
Penyelenggaraan Ibadah Haji di Kota Malang” (2013) oleh Nindia Noer Anisyah
memiliki objek materi yang sama tentang penyelenggaraan haji. Dalam penelitian
ini Anisyah menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif untuk
menganalisis transparansi, akuntabilitas, dan partisipatori terhadap pelayanan
publik penyelenggaraan haji. Penelitian ini mengungkap peran negara dalam
penyelenggaraan ibadah haji yaitu, Kemenag Kota Malang bertanggung jawab
atas 3 (tiga) hal utama, yaitu pelayanan, pembinaan dan perlindungan terhadap
jamaah haji. Adanya peran negara ini memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat dalam hal keagamaan, masyarakat mendapatkan kepastian untuk
berangkat beribadah haji serta hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara
mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Moeslim Abdurahman dalam buku ”Bersujud di Baitullah: Ibadah Haji,
Mencari Kesalehan Hidup” adalah sebuah etnografi intepretatif yang melihat dan
menjelaskan kegiatan naik haji, bukan hanya sebagai gejala keagamaan tetapi
juga gejala-gejala sosial budaya, ekonomi, dan politik dalam upaya memahami
kompleksnya makna-makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu
Abdurahman menggunakan alat analisis semiotika dan hermeneutika pada
berbagai tingkatan dalam menginterpretasi informasi yang diperolehnya. Semua
tindakan, ucapan, keyakinan, tulisan dan benda material yang dibeli oleh jemah
haji merupakan fakta-fakta etnografi yang digunakan untuk mengurai makna yang
kompleks. Sebagai sebuah karya etnografi intepretatif buku ini berkontribusi
13
dalam menggali makna, menyeleksi, dan menentukan makna-makna yang paling
dominan, memberi informasi tentang konteks sosial budaya, hubungan simbolis
para aktor dalam perhajian.
Buku ”Haji dari Masa ke Masa” (2012) oleh Kementrian Agama berisi
tentang sejarah dan dinamika penyelenggaraan haji di Indonesia sejak masa pra
kolonial sampai masa setelah kemerdekaan. Buku ini menjelaskan berbagai sistem
dan menejemen penyelenggaraan haji dan juga mengurai berbagai konteks
peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan dalam menejemen haji
diakhiri dengan upaya memberikan masukan bagi penyelenggaraan haji ke depan.
Kontribusi buku ini dalam penelitian ini adalah menjelaskan makna ritual haji dan
membantu merumuskan konsep operasional penelitian terkait menejemen haji.
Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umroh (2011) dalam
“Mengelola Haji dengan Hati” merupakan catatan kerja Slamet Riyanto sebagai
dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Buku ini berisi tentang gagasan-gagasan
dalam mengelola menejemen modern dan aspek spiritual dalam penyelenggaraan
haji. Tulisan ini berkontribusi dalam memberikan wawasan tentang prinsi-prinsip
pengelolaan haji dan memberikan informasi tentang dinamika menejemen
penyelenggaraan haji sesuai konteks yang ada.
Jurnal yang berjudul” Wait control: a new system for better waiting list
management” Mei 2012 ditulis oleh Rob Findlay dalam Health Service Journal
(http://www.hsj.co.uk) memberikan informasi sebuah implementasi penerapan
sistem daftar tunggu dalam menejemen rumah sakit yang digagas secara nasional
(National Health System). Daftar tunggu akan selalu membengkak dalam jumlah
sehingga melebihi kemampuan sistem tunggu 18 hari yang tersedia. Untuk
14
mengurangi rentang waktu harus dilakukan sistem kontrol terhadap daftar tunggu
dengan mengklasifikasi keaktifan pasien, pengobatan, prioritas bahkan
kecenderungan pasien untuk melanggar target waktu tunggu. Tulisan ini
memberikan wawasan tentang kerumitan mengelolah sistem daftar tunggu.
Tulisan berjudul ” A fatal wait: Veterans languish and die on a VA
hospital's secret list” dalam warta berita CNN (www.cnn.com) mengungkap
kematian beberapa veteran sebgai pasien daftar tunggu. Rumah sakit lazimnya
menetapkan batasan waktu 14 sampai dengan 30 hari tunggu, namun sistem
tersebut gagal memenuhi tanggung jawabnya sehingga akhirnya memakan korban.
Tulisan ini mengungkap kecenderungan adanya tindak kecurangan yang
dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi
dalam penerapan sistem daftar tunggu.
Objek materi dari penelitian ini adalah sistem daftar tunggu dalam
pengelolaan haji. Yang menjadi tekanan pada penelitian ini adalah bentuk-bentuk
politik negara dalam konteks penerapan sistem daftar tunggu dalam pengelolaan
haji. Dengan objek materi serta lokus dan fokus penelitian yang secara essensial
berbeda dengan kajian-kajian yang terdahulu maka tesis ini berharap mampu
memberikan sebuah sumbangan pemikiran dalam khazanah kajian budaya.
2.2 Konsep
2.2. 1 Politik Negara
Secara etimologis kata politik berasal dari kata bahasa Yunanai yaitu polis
yang berarti kota atau negara. Jadi politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik juga merupakan kegiatan yang
15
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
Dalam konsepsi klasik Plato dan Aristoteles politik digambarkan sebagai usaha
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Rapar, 2001).
“Kehidupan yang baik” menjadi raison d’etre dari semua organisasi politik atau
polis untuk menjamin kehidupan semua warga negara. Secara aktuil politik
berkaitan dengan masalah-masalah sehari-hari dalam pemerintahan dan
mengingatkan orang akan partai politik (Isjwara, 1999: 23). Senada dengan ini
dalam konteks Indonesia politik menurut Pilliang (dalam Pito, 2006: 10 ) adalah
seputar aktivitas partai-partai politik. Lebih jauh menurut Pilliang akibat sistem
multipartai di Indonesia kinerja pemerintah dalam pelaksanaan program-program
tidak maksimal.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah melalui Kemenag
berasal dari proses politik. Kemenag menjadi tangan negara untuk mengurus
masalah-masalah terkait haji. Dilain pihak, partai politik yang menguasai
Kemenag juga dicurigai menjalankan agenda politik partainya. Negara secara
eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008: 13). Dengan
demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya,
merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada di atas
masyarakat. Politik negara dalam penelitian ini adalah segala sesuatu tentang
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik yang menyangkut
pengelolaan haji. Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut negara
memiliki kekuasaan yang sangat kuat untuk memaksakan kebijakan tersebut
diterima oleh masyarakat.
16
2.2.2 Penyelenggaraan Ibadah Haji
Haji menurut pengertian bahasa berarti sengaja dan ziarah yaitu sengaja
menzirahi Baitullah untuk menunaikan ibadah (Muhammad: 94). Haji menurut
Hanafi (dalam Simogaki, 2013:21) adalah sebuah peristiwa yang dilakukan oleh
umat Muslim setiap tahun dalam rangka mengkaji masalah-masalah penting
mereka. Secara esensial ibadah haji ialah melakukan napak tilas pengalaman nabi
Ibrahim, Hajar dan Ismail (Hidayat, dalam Madjid, 2001:426). Haji maupun
umroh disebut juga istitha’ah sebuah konsep yang bermakna kemampuan atau
kesanggupan. Bila diperjelas haji adalah sebuah tindakan melaksanakan perintah
agama karena pribadinya mampu secara langsung atau dengan bantuan orang
lain. Dalam pengertian theologi Islam haji sebagai salah satu ibadah yang menjadi
rukun Islam kelima, hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi setiap orang
Islam yang memenuhi syarat untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah. Ibadah
haji dalam masa-masa tertentu dan ditempat tertentu pula. Ibadah ini dilakukan
dengan niat iklas tanpa pakaian yang terjahit, perhiasan dan barang-barang yang
mewah.
Menurut Mu‟ti (2004: 37) haji dalam konteks Indonesia memiliki dua
pengertian, yang pertama berarti ibadah yang merupakan rukun Islam kelima,
yang kedua berarti orang yang telah menunaikan haji, sehingga gelar haji
disematkan di depan nama asli. Gelar haji diberikan oleh pemerintah Belanda
sebagai bagian dari politik devide et impera. Dalam perkembangannya Haji
menjadi komunitas elit terlebih setelah berdirinya organisasi formal Ikatan
Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang mewadai anggota masyarakat yang
sudah menunaikan haji di setiap provinsi. Haji menjadi sumber elitisme religious
17
karena dipandang telah mencapai kesempurnaan menunaikan rukun Islam. Secara
politik kultural haji juga menjadi sumber elitisme baru karena tokoh-tokohnya
membawa gerakan perubahan dan pembaharuan Islam. Gelar “Haji” membawa
konsekuensi politik karena untuk mendapatkan gelar tersebut dibutuhkan modal
keagamaan dan modal ekonomi.
Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah serangkaian proses yang dilakukan
oleh CJH yang difasilitasi oleh Kemenag, mulai dari proses mendaftar di kantor
Kemenag kabupaten kota domisili sampai pada keberangkatan serta kepulangan
jemaah dari ibadah haji ke tanah air. Berdasarkan UU No 13 pasal 2 ayat 1
penyelenggaraan ibadah haji mencakup kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan.
Proses awalnya dimulai ketika CJH mendaftar kan diri mereka dengan
menyetorkan dana deposit awal sebesar Rp. 25.000.000,- untuk mendapatkan
nomor porsi atau nomor antrean. Jumlah tabungan yang telah diperoleh porsi
dinyatakan sah telah ditransfer kerekening menteri agama, kemudian melapor
pada kantor Kemenag kabupaten kota dengan menyerahkan tanda bukti setoran
BPIH Kemenag melakukan proses inputan dan melakukan rekapitulasi terhadap
data CJH, bila jumlah kuota provinsi dipenuhi maka Kemenag provinsi
mengumumkan nomor porsi yang akan diberangkatkan. Penentuan keberangkatan
pada tahun berjalan mengacu pada kuota nasional dan porsi provinsi dan
dialokasikan melalui keputusan Kemenag.
2.2.3 Sistem Daftar Tunggu Haji.
Sistem daftar tunggu atau waiting list dalam ilmu menejemen disebut juga
sistem antrean. A.K. Erlang (1910) dalam bukunya “Solution of Some Problem in
the Theory of Probability of Significance in Automatic Telephone Exchange”
18
berpendapat bahwa setiap masalah antrian melibatkan kedatangan, misalnya
orang, mobil, atau panggilan telepon untuk dilayani. Kedatangan ini sering
dinamakan proses input. Proses input meliputi sumber kedatangan atau biasa
dinamakan calling population dan cara terjadinya. Kedatangan pada umumnya
merupakan proses random. Menurutnya antrean tidak diperuntukkan untuk
kegiatan yang melebihi batas waktu minggu, bulanan, tahunan ataupun puluhan
tahun.
Sistem tata kelola haji berdasarkan daftar tunggu merupakan sistem
pengelolaan keberangkatan haji berdasarkan antrean. Berdasarkan surat keputusan
Dirjen Bimbingan masyarakat (bimas) Islam dan Penyelenggaraan Haji
disebutkan bahwa daftar tunggu adalah daftar CJH yang telah mendapatkan porsi
tetapi tidak masuk dalam daftar yang diberangkatkan pada tahun berjalan.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Wacana Kuasa Pengetahuan Michel Foucault
Teori ini memandang bahwa kekuasaan menyangkut ide-ide tentang
wacana atau diskursus. Kekuasaan selalu melekat dengan diskursus khususnya
diskursus pengetahuan sebagai sumber kuasa dan kuasa itu sendiri. Menurut
Foucault kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama
siapa yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya (Foucault dalam
Parchiano, 2007: 177). Diskursus merupakan sarana bagi suatu institusi untuk
meraih kekuasaan melalui proses definisi dan eksklusi dan formasi diskursif
tertentu. Dengan diskursus sebuah institusi memiliki otoritas untuk
mendefinisikan ‟kebenaran‟ tentang suatu topik. Dalam hubungan diskursus dengan
19
relasi kuasa menurut Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (2007),
kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan dapat menghasilkan
kekuasaan secara produktif. Pengetahuan dipandang sebagai dampak dari
hubungan kekuasaan-pengetahuan (relasional) dan perubahan-perubahannya
dalam sejarah.
Foucault membongkar motivasi bagaimana orang-orang mengatur atau
meregulasi diri mereka sendiri dan orang lain dengan menciptakan klaim
kebenaran yakni sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk,
indah-jelek, dapat dibuat teratur, tetap, dan stabil. Kuasa menjelma ke dalam
pengetahuan agar ia operatif dan efektif merasuki alam bawah sadar setiap orang
melalui kebudayaan yang memikat, nilai-nilai yang memukau, dan kebijakan-
kebijakan yang baik. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa kuasa tidak
bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak
bekerja secara negatif dan represif, tetapi melainkan dengan cara positif dan
produktif.
Kemenag adalah institusi resmi negara yang membidangi bimbingan
masyarakat dalam keagamaan. Sebagai pemegang kuasa formal dalam agama,
kementrian agama didukung oleh tokoh agama yang juga mungkin bagian dari
depattemen ini. Mereka-mereka ini adalah pemegang kuasa pengetahuan dalam
keagamaan. Sejak awal Kemenag didirikan sebagai sebuah proses politik yang
mengakomodasi keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Partai politik
berbasis agama tentunya menganggap posisi Kemenag bersifat strategis sehingga
lembaga ini menjadi arena kontestasi. Posisi menteri dalam Kemenag dengan
demikian adalah elit-elit partai yang memenangkan pertarungan. Dengan
20
demikian setiap kebijakan juga sedapat mungkin adalah pengejahtawanan visi dan
misi partai yang berkuasa.
Teori wacana kuasa pengetahuan Michel Foucault digunakan untuk
menganalisis pertanyaan penelitian mengenai bentuk dan faktor penyebab dalam
politik negara dalam kebijakan penyelenggaraan haji pada bab 5 dan bab 6.
2.3.2 Teori Ideological State Apparatus (ISA) oleh Louis Althuser
Teori ISA mengarah pada ideologi yang masuk ke dalam setiap kehidupan
manusia. Ideologi ini terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum,
keluarga, politik, komunikasi, serta moralitas (Bertens, 2002: 197). Teori ini
menganalisis hubungan antara pemilik kuasa ideologis dalam hal ini pemerintah,
Kemenag dan partai politik dan sasaran ideologis yaitu calon jemaah haji.
Menurut Althusser, Ideologi memiliki kemampuan untuk melancarkan kekuasaan
dan pengaruh dengan caranya sendiri terhadap basis ekonomi dan arah
perkembangan perubahan sosial (Takwin, 2009: 83-84). Negara menjalankan
ideologinya melalui dua cara; yang pertama Repressive State Apparatus (RSA)
bekerja dengan cara represif dengan memakai kekerasan melalui apparatus/alat
negara seperti polisi, militer, pengadilan, penjara. Termasuk juga
penculikan/penangkapan para aktivis. Yang kedua Ideological State Apparatus
(ISA) bekerja dengan cara persuasif „memasukkan‟ ideologi kepada individu
melalui pendidikan (sekolah), agama, media, keluarga, industri budaya, dan
sebagainya. Pada rezim Orde Baru kedua cara ini digunakan. Bentuk ideologi ISA
merupakan ideologi yang dipakai negara untuk memperkuat represi dan
penindasan terhadap rakyat. Piranti yang ideologis ini dibedakan dari piranti
21
negara yang bersifat fisikal, Ideological State Apparatus tampil dalam bentuk
institusi pendidikan, keagamaan, penataran-penataran, film yang dibuat negara,
acara televisi dan sebagainya. Ideological state apparatus bisa berkembang
setelah ada piranti yang bersifat fisikal dan sering digunakan untuk
melanggengkan penindasan fisik (Takwin, 2009: 85).
Teori Ideological State Apparatus (ISA) oleh Louis Althuser dalam
penelitian ini menganalisis bentuk dan faktor penyebab dalam politik negara
dalam penyelenggaraan haji.
2.3.3 Teori Strukturasi Giddens
Teori strukturasi mengajarkan konsep tentang aktor (agency) yang
memiliki peran untuk memproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan
sosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan struktur-
struktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada
sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya
(resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara
rekursif sebagai sifat-sifat sosial. Menurut Giddens, struktur lahir atas beberapa
kesadaran sebagai hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari dalam konteks tindakan
sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif)). Kita mengenal keadaran
praktis dan diskursif serta keadaan tidak sadar. Kesadaran praktis sendiri terdiri
atas semua hal yang aktor-aktor mengetahui secara diam-diam tanpa dapat
memberi mereka pernyataan diskursif secara langsung. Jadi apa yang aktor
ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari
tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara
diskursif. Sementara itu, kesadaran diskursif (diskursive conciousnes) berarti
22
kemampuan meletakkan sesuatu dalam kata-kata. apa yang mampu dikatakan atau
diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya
tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu
kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif. Sedangkan tidak
sadar (unconciousnes) dalam konteks teori psikoanalisis memiliki referensi pada
lawan dari kesadaran diskursif atau memiliki pengertian sebagai tidak dapat
memberikan ungkapan verbal pada ketepatan tindakan. Motif atau kognisi tak
sadar (unconscious motives/cognition lebih merujuk ke potensial bagi tindakan,
ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki
kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang
menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari
tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.
Rezim penguasa memamfaatkan struktur yang sudah terbangun melalui
kehidupan beragama sehari-hari masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap agama
juga ditunjukkan kepada pemimpin-pemimpin keagamaan karena dipandang
memiliki kesalehan dan teladan yang baik. Aktor-penguasa dalam Kemenag
dalam hal ini memiliki posisi yang sama dengan tokoh agama, sehingga lebih
mudah mengendalikan dan menuntut ketaatan masyarakat.
Teori Strukturasi Giddens dalam penelitian ini sebagai alat analisis yang
akan menjawab masalah penilitian tentang bentuk dan makna politik negara dalam
penyelenggaraan haji melalui sistem daftar tunggu Hasil analisis dijelaskan dalam
bab 5 dan bab 7.
23
2.3.4 Teori Praksis Bordieu
Dalam rumusan Bordieu praktik kekuasaan terjadi apabila penguasa modal
(budaya, ekonomi, pendidikan, dan religi) yang berinteraksi dengan habitus dan
ranah. Atau kalau diformulasikan secara matematis; Praktik = (Habitus x
Modal) + Ranah. Habitus diterjemahkan sebagai kebiasaan (habitual), penampilan
diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan
kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan
bagi substansi tertentu. Menurut Ritzer (2009), yang menguraikan konsep habitus
Bourdieu, juga mengungkapkan habitus sebagai “akal sehat” (common sense)
yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompk usia,
jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus bisa jadi merupakan
fenomena kolektif, dia memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial,
namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya
tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor. Ranah atau arena
(field) adalah pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal,
seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Ranah lebih befokus pada
relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi
merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah.
Dalam penelitian ini pemerintah (partai politik) memiliki modal politik
yang memberikan kekuasaannya melalui legitimasi pemilihan umum. Kemenag
sebagai bagian dari kekuasaan sendiri memiliki modal politik budaya sebagai
institusi formal yang mengatur agama dan kepercayaan masyarakat.
Teori praksis Bordieu digunakan untuk menjawab masalah penelitian
tentang faktor penyebab, dan makna politik negara dalam peyelenggaraan haji.
24
2.3 Model Penelitian
*Keterangan
: hubungan langsung : variabel penelitian
: hubungan timbal balik : fokus kajian
Penjelasan Model Penelitian
Berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 1999 dan Undang-undang No.
13 tahun 2008, pemerintah menjadi atau bertindak sebagai regulator sekaligus
operator dan eksekutor pengelolahan haji dan umroh. Negara dalam hal ini
diwakili oleh Kemenag merupakan bagian dari sebuah rezim pemerintahan yang
Politik Negara dalam
Kebijakan Daftar
Tunggu Haji
di Kota Denpasar
NEGARA
Kemenag
Umat / Calon
Jemaah Haji
*UU no 17/ 1999
*UU no 13/2008
* Pemberangkatan
* Keadilan
Bentuk Faktor-Faktor Makna
Peyelenggaraan
Haji dan Umroh
Nasional
25
terpilih melalui mekanisme atau proses politik. Dengan demikian ada partai
politik yang melatarbelakangi setiap kebijakan sebuah rezim yang berkuasa.
Jumlah calon jemaah haji Indonesia termasuk yang terbesar. Tetapi tidak
semua CJH dapat diberangkatkan karena adanya batasan kuota yang diterapkan
oleh negara tujuan haji. Sebagai sebuah solusi, pemerintah sebagai pelaksana
pengelolaan haji menerapkan sistem daftar tunggu untuk menggilir CJH berangkat
haji. Selama ini masyarakat merasakan adanya ketidakadilan dalam penerapan
sistem daftar tunggu ini. Negara sebagai satu-satunya pihak yang memonopoli
regulasi dan operasional haji merupakan sebuah bentuk arogansi kekuasaan.
Penelitian ini menganalisis bentuk-bentuk politik negara, faktor penyebab dan
makna yang terungkap dibalik pengelolahaan haji melalui sistem daftar tunggu.
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini dibuat berdasarkan permasalahan penelitian
yakni menjelaskan bentuk hubungan negara dengan umat atau calon jemaah haji
dalam bentuk pengelolaan haji yang menampilkan wajah kekuasaan pemerintah.
Sebagai bagian dari penelitian humaniora dan sosial keagamaan Assegaf
(2007:17) berpendapat bahwa penelitian ini mencakup rangkaian peristiwa,
institusi, organisasi, dan pola prilaku dalam kehidupan umat Islam, wilayahnya
bersifat aktual, empiris, dan deskriptif yang menekankan perhatiaannya pada
agama sebagai sistem atau sistem keagamaan sedang sasarannya adalah “agama
sebagai gejala sosial”. Walaupun terkait dengan isu-isu sosial keagamaan,
penelitian ini tidak termasuk dalam katagori penelitian agama, karena penelitian
agama menggunakan objek material prilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh
kepercayaan agamanya dan kepercayaan agama yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan masyarakat (Sumardi,1982:53). Kajian ini berdasarkan keadaan di
lapangan (field research) oleh karena itu menuruti kaidah-kaidah teori sosial
secara umum.
Alat analisis yang dikembangkan adalah alat analisis yang umum
digunakan dalam kajian budaya yang bersifat bersifat “eklektif”: dekonstruktif,
analitis-interpretatif, dan intuitif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen
(1992) lebih memperhatikan proses dari pada produk. Hal ini disebabkan oleh
cara peneliti mengumpulkan dan memaknai data, setting atau hubungan antar
27
bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.
Data yang dikumpulkan lebih banyak kata-kata atau gambar-gambar daripada
angka. Penelitian kualitatif mencoba menganalisis data secara induktif. Peneliti
tidak mencari data untuk membuktikan hipotesis yang mereka susun sebelum
mulai penelitian, namun untuk menyusun abstraksi. Selain itu penelitian kualitatif
lebih menitikberatkan pada makna bukan sekadar perilaku yang tampak.
Fokus penelitian ini adalah menjelaskan politik negara, sikap pengambil
keputusan dan pengelolah operasional pengelolaan haji Indonesia. Manejerial haji
masih jauh dari harapan. Kepuasan masyarakat tak kunjung dapat diwujudkan
selama sistem pelayanan haji bertumpu pada sistem daftar tunggu. Karena itu
objek material dari penelitian ini adalah penyelenggaraan haji dimana kajiannya
memfokuskan pada kebijakan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji. Sebagai
objek formalnya adalah cara pandang terhadap objek material tersebut (Bakhtiar,
2007:1), yakni pendekatan deduktif dalam perspektif teori-teori kritis terhadap
permasalahan penelitian (objek material).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga perhimpunan haji dan umroh
di kota denpasar, kelompok pengajian dan kantong-kantong masyarakat muslim
di Kota Denpasar. Data yang diperoleh diverifikasi terlebih dahulu dan
dicocokkan dengan informasi yang tersedia di bimas haji dan umroh kantor dinas
kementrian agama Kota Denpasar.
Penentuan lokasi penelitian ini mempertimbangkan beberapa hal
diantaranya adalah Kota Denpasar secara administratif merupakan pusat berbagai
28
pengambilan keputusan pada tingkat provinsi Bali, dan secara demografi jumlah
jemaah haji dan calon jemaah haji terbesar seprovinsi Bali berada di Kota
Denpasar. Selain itu Kota Denpasar dianggap memiliki tingkat heterogenitas yang
tinggi sehingga sumber data yang akan diperoleh mewakili keberagaman latar
belakang sosial budaya dari informan. Kota Denpasar juga memberikan
kemudahan akses untuk memperoleh baik data primer dan sekunder mengingat
fasilitas yang ada masih lebih baik dari pada daerah kabupaten se Bali lainnya.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data kualitatif dan data
kuantitatif dengan sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder. Data dan
informasi yang diperoleh akan membantu dalam keakuratan penulisan.
3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
dan data kuantitatif. Data kualitatif didapatkan langsung dari sumber primer
(informan), merupakan data yang berupa keterangan-keterangan didapatkan
dengan rinci yaitu gambaran umum lokasi penelitian, serta partisipasi dan aspirasi
yang berhubungan dengan pengelolaan haji di Kota Denpasar. Data kuantitatif
adalah data yang berbentuk angka-angka berupa tabulasi sederhana berisikan
informasi yang mendukung dan memberi penjelasan yang lebih mendetail dan
lengkap. Data kuantitatif sederhanan ini hanya membutuhkan intepretasi tanpa
pengolahan matematis statistik.
29
3.3.2 Sumber Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber sebagai
berikut :
1. Data primer yang diperoleh secara langsung dari narasumber. Adapun
yang menjadi informan dan responden dalam penelitian antara lain calon
jemaah haji, anggota persaudaraan haji dan masyarakat umum sebagai
responden sambil lalu.
2. Data sekunder data diperoleh dari sumber-sumber lain yang menunjang
penelitian ini yang bukan merupakan pihak pertama. Sumber data
sekunder dapat diperoleh dari sumber kepustakaan, hasil riset maupun
jurnal, majalah, laporan statistik, foto, arsip dan media massa online dan
cetak.
3.4 Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini adalah upaya mencari
narasumber yang tepat dan memiliki informasi yang dibutuhkan. Subjek
penelitian, responden penelitian, dan informan (narasumber) penelitian merespon
atau menanggapi pertanyaan yang mana mereka (subjeknya) adalah si pemilik
“sesuatu” yang akan diteliti. Jadi teknik penentuan informan yang digunakan
adalah teknik purposive yakni peniliti dengan sengaja memilih narasumber sesuai
dengan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Sugiyono (2009:221), penentuan
sampel atau informan dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan
informasi yang maksimum, karena itu orang yang dijadikan sampel atau informan
sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
30
1. Mereka menguasai atau memahami permasalahan haji di Denpasar,
2. Mereka sedang berkecimpung atau terlibat dalam organisasi atau institusi
pengelolaan haji.
3. Mereka adalah calon jemaah haji dan umroh atau anggota atau pengurus
persaudaraan haji.
4. Mereka mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai.
Selain itu untuk mendapatkan data yang menyeluruh, peneliti juga
melengkapi informasi yang berasal dari informan sambil lalu. Riduwan (2007:62)
mengatakan siapa saja yang ditemui peneliti asalkan mereka memiliki
karakteristik yang sama maka orang tersebut dapat digunakan sebagai responden.
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, instrumen yang utama adalah peneliti sendiri
(Bogdan dan Biklen,1992). Dalam penelitian kualitatatif fungsi peneliti adalah
melihat langsung, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi pada subjek yang
ditelitinya. Dengan demikian, peneliti akan lambat laut memahami makna-makna
apa saja yang tersembunyi di balik realita yang kasat mata (verstehen). Selain itu
peneliti juga melakukan pengumpulan data, menganalisanya, melakukan refleksi
secara terus menerus, dan secara gradual membangun pemahaman yang tuntas
tentang sesuatu hal.
Selain peneliti sebagai instrumen penelitian utama, penelitian
membutuhkan alat bantu pendukung berupa pedoman wawancara untuk
mendapatkan gambaran menyeluruh tentang sistem daftar tunggu dalam
pengelolaan haji. Penelitian juga membutuhkan beberapa alat bantu dokumentasi
31
berupa kamera untuk merekam gambar-gambar data yang dibutuhkan baik berupa
perekam audiovisual dan alat tulis menulis untuk melakukan pencatatan.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Kholil (2006) mengemukakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
dalam proses pengumpulan data kualitatif, yaitu (1) Meringkaskan data hasil
kontak dengan sumber, (2) Pengkodean dengan menggunakan simbol atau
ringkasan, (3) Pembuatan catatan objektif, klasifikasi dan mengedit data, (4)
Membuat catatan reflektif, (5) Membuat catatan marginal untuk komentar, (6)
Penyimpanan data, (7) Membuat analisis dalam proses pengumpulan data, (8)
Analisis antar lokasi.
Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan
penelitian ini, maka dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti
berikut :
1. Observasi
Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan yaitu
menemukan bentuk politik negara dan dampaknya yang dirasakan umat dalam
pengelolaan haji khususnya melalui sistem daftar tunggu Dalam melakukan
pengamatan, peneliti berperan sebagai pengamat partisipatif, yaitu terlibat dalam
kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian (Sugiyono, 2009:145).
2. Wawancara Mendalam
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah
wawancara mendalam (in-depth interview) dengan cara tanya jawab sambil
32
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara..
Hal ini dilakukan untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitia
mendapatkan informasi yang lengkap dan menyeluruh. Daftar pertanyaan dibuat
sebagai alat bantu dalam pengumpulan data baik data kualitatif maupun kuantitatif
(Daniel, 2005:135).
3. Dokumentasi
Metode dokumen adalah pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis atau
dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni
dan karya pikir (Satori & Komariah, 2009:148). Dokumentasi disini adalah
mengumpulkan data terkait dengan penyelenggaraan haji dengan mengambil
beberapa dokumen sekarang atau catatan terdahulu.
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai
mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting
atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut
pada upaya menjawab fokus penelitian. Menurut Sugiyono (2009:244) analisis
data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematis sehingga
mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam
penelitian ini digunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif
kualitatif yaitu dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang
33
diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna. Langkah-langkahnya adalah
reduksi data, penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian penarikan
kesimpulan. Lewat data akan diperoleh informasi yang lebih bermakna. Untuk
bisa menentukan kebermaknaan data atau informasi ini diperlukan pengertian
mendalam, kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman dan
expertise peneliti.
Langkah terakhir dalam penelitian adalah mengambil kesimpulan secara
induktif, yaitu berdasarkan informasi atau data yang diperoleh dari berbagai
sumber yang bersifat khusus dan individual, diambil kesimpulan yang bersifat
umum atau general.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian
Hasil dari data yang telah dianalisis akan disajikan secara formal, dalam
bentuk gambaran yang jelas dan mendalam tentang penelitian dalam bentuk
bagan, tabel, dan gambar, maupun informal dalam bentuk narasi dan interpretasi,
sesuai dengan teori dan kerangka pikir sehingga dalam penyajiannya akan
didapatkan hasil yang akurat dan jelas tentang penelitan yang dilakukan.
Hasil analisis data disajikan secara deskriptif, artinya hasil analisis
dipaparkan sebagaimana adanya dan pada bagian tertentu diinterpretasikan sesuai
dengan teori dan kerangka pikiran yang berlaku umum. Dengan penyajian secara
formal dan informal dengan demikan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas
dan mendalam tentang penelitian yang dilakukan.
34
3.9 Kendala Penelitian
Penelitian ini membutuhkan informan yang berasal dari kader partai
poltik, pengurus partai dan bahkan meduduki jabatan tertentu dalam kepengurusan
partai di Bali khususnya di Kota Denpasar. Hal ini sekaligus menjadi sebuah
peluang dan tantangan karena sikap kehati-hatian yang ditunjukkan oleh informan
dalam memberikan informasi. Kendala ini menyebabkan peneliti sulit
mendapatkan konfirmasi yang tegas terhadap sebuah isu dan transparasi data.
Disamping itu peneliti berusaha keras untuk mendapatkan jawaban dari
informan yang dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan sensitif. Informan selalu
berusaha untuk menghindar atau mengalihkan jawaban, atau menjawab dengan
jawaban diplomatis dan abu-abu.