policy note wajib kerja dokter spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan...
TRANSCRIPT
Policy Note
Wajib Kerja Dokter Spesialis
Tinjauan dari aspek subyek terdampak
Ahmad Fuady, Grace Wangge
HEMISPHERE
2017
1
Pendahuluan
Kebutuhan dan distribusi dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia masih menjadi permasalahan
yang belum terselesaikan selama beberapa dekade terakhir seperti yang dialami beberapa negara
berkembang.(Anderson et al. 2014; Ünal 2015; McPake and Edoka 2014) Secara kuantitatif, produksi
dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan
kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data Konsil Kedokteran Indonesia 2013 menunjukkan bahwa
secara nasional, rasio dokter umum terhadap populasi di Indonesia sudah mencapai 1:2270 dan telah
melampaui rasio minimal yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO)
dengan standar 1:2500. Rasio dokter spesialis terhadap populasi secara keseluruhan pun sudah
menunjukkan angka yang cukup dengan 12,7 spesialis per 100.000 populasi (Kementerian Kesehatan RI
2017; A. Kurniati et al. 2015). Namun demikian, persebaran dokter masih terpusat di daerah perkotaan
sehingga maladistribusi menjadi isu penting yang harus dipecahkan (Anderson et al. 2014; Meliala, Hort,
and Trisnantoro 2013). Dari 33 provinsi, hanya 11 provinsi yang memiliki rasio penyebaran dokter
spesialis penyakit dalam dan anestesiologi di atas standar. (Lihat Gambar 1) Kebutuhan penyebaran
dokter dan dokter spesialis ini menjadi semakin mendesak setelah implementasi Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). JKN tidak hanya perlu memastikan bahwa seluruh warga masuk dalam skema asuransi
public dan swasta, namun juga mensyaratkan adanya ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang
adekuat di seluruh wilayah Indonesia untuk memastikan masyarakat dapat mengakses layanan
kesehatan yang dibutuhkan.
(a) (b)
Gambar 1 Persebaran dokter spesialis (a) penyakit dalam dan (b) anestesi di seluruh provinsi Indonesia pada tahun 2013 (Anderson et al. 2014)
Maladistribusi dokter dan dokter spesialis sebenarnya bukan persoalan baru. Pemerintah Indonesia telah
berupaya dalam hitungan puluhan tahun untuk mengatasinya melalui kebijakan wajib kerja sarjana
(WKS), pegawai tidak tetap (PTT), dan menyediakan beasiswa pemerintah pusat dan daerah untuk
mendorong pemenuhan tenaga kesehatan di daerah pedesaan dan terpencil (Anderson et al. 2014;
Fuady 2015). Tetapi, kebijakan dan strategi yang dijalankan mengalami perubahan (Gambar 2).
Kebijakan yang dikeluarkan pun, termasuk penyediaan bantuan pendidikan dokter spesialis, belum
menghasilkan luaran yang optimal dengan beragam masalah, seperti tidak kembali ke daerah setelah
penugasan belajar, meninggalkan tugas, atau menolak penempatan (Ilyas 2006).
2
Gambar 2 Evolusi kebijakan penempatan dokter spesialis di Indonesia (1991-2013)
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan mutakhir di bawah Peraturan Presiden No 4 Tahun 2017
(Presiden Republik Indonesia 2017) yang mewajibkan lulusan baru dokter spesialis untuk memberikan
layanan kesehatan sesuai spesialisasinya di fasilitas yang ditentukan (Lihat Box 1).
Kebijakan mewajibkan dokter spesialis untuk bekerja di daerah yang dinilai kekurangan dokter spesialis
bukanlah kebijakan yang baru. Bahkan, kebijakan ini dapat dinilai sebagai pengulangan yang berpotensi
menghasilkan luaran yang tidak optimal, bahkan kegagalan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan
sudah berupaya membentuk Komite Penempatan Dokter Spesialis (Menteri Kesehatan RI 2016) sebagai
badan pemikir (think thank) untuk memastikan setidaknya kebijakan dapat berjalan sesuai ekpektasi yang
diharapkan. Dengan demikian, pemerintah harus benar-benar melakukan kajian yang kuat sehingga,
selain memastikan kemampulaksanaan, kebijakan dapat dilangsungkan secara kontinu,
berkesinambungan, dan memiliki ukuran luaran yang jelas dan mampu dimonitor dengan baik.
Box 1 Kebijakan Wajib Kerja Dokter Spesialis berdasarkan Perpres No 4 Tahun 2017
- Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) adalah penempatan dokter spesialis di rumah sakit milik
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
- Bupati/Walikota mengajukan usulan kebutuhan dokter spesialis kepada Gubernur yang dilanjutkan
kepada Menteri Kesehatan untuk diverifikasi dan ditetapkan.
- Kebijakan WKDS berlaku untuk setiap dokter spesialis lulusan pendidikan profesi program dokter
spesialis dari perguruan tinggi negeri di dalam negeri dan perguruan tinggi di luar negeri.
- Peserta WKDS ditempatkan di rumah sakit daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, rumah sakit
rujukan regional, atau rumah sakit rujukan provinsi, baik milik pemerintah pusat maupun daerah yang
berada di seluruh wilayah Indonesia.
- Tahap awal kebijakan WKDS diperuntukkan bagi lulusan program dokter spesialis obstetri dan
ginekologi, spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, dan spesialis anestesi dan
terapi intensif.
3
- Jangka waktu pelaksanaan WKDS bagi peserta yang studi dengan biaya mandiri paling singkat
selama 1 (satu) tahun, sedangkan bagi penerima beasiswa dan/atau program bantuan lainnya
disesuaikan dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Survey Pendahuluan
Policy Note ini disusun dengan terlebih dahulu melakukan studi terbatas melalui survey online kepada
dokter Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di seluruh Indonesia. Survey dilakukan untuk menilai
penerimaan (acceptance) terhadap kebijakan serta pertimbangan (concerns) terkait penempatan dan
kemungkinan kelanjutan praktik di fasilitas penempatan. Menimbang bahwa kebijakan wajib kerja harus
dilakukan dalam kerangka jangka panjang, studi yang dilakukan pun melibatkan Dokter PPDS dari
hampir seluruh bidang spesialis yang memiliki kemungkinan terdampak oleh kebijakan dalam jangka
panjang dan tidak terbatas pada bidang spesialisasi anak, penyakit dalam, anestesi, obstetri dan
ginekologi, serta bedah. Survey ini dilakukan pada 15-22 Februari 2017 melalui kuesioner online berbasis
Google Form. Responden dipilih dengan metode sampling bola salju (snowball sampling) melalui pranala
media sosial, seperti Facebook, Google+, Twitter, dan WhatsApp. Setiap responden hanya dapat mengisi
kuesioner satu kali. Responden yang telah mengisi kuesioner dapat menyebarkan kuesioner tersebut ke
jejaring yang dimilikinya untuk diisi. Sebelum disebarkan, kuesioner telah diuji terlebih dahulu kepada
lima Dokter PPDS di Jakarta.
Kuesioner terdiri dari empat bagian utama, yaitu data demografi responden, pengetahuan terhadap
kebijakan, penerimaan dan ekspektasi, serta kemungkinan melanjutkan praktik di fasilitas yang
ditentukan. Responden mendapatkan informasi mengenai tujuan studi, data personal, kerahasiaan, dan
persetujuan di halaman awal kuesioner. Persetujuan (informed consent) responden diberikan secara
elektronik.
Penerimaan Calon Dokter Spesialis terhadap Kebijakan
Sebagai obyek terdampak kebijakan, dokter PPDS perlu diberikan perhatian khusus terkait kebijakan
yang dikeluarkan. Kebijakan mewajibkan lulusan baru dokter spesialis secara timbal balik akan
memengaruhi penerimaan sekaligus
kesuksesan implementasi kebijakan.
Dari 224 dokter PPDS yang mengisi
kuesioner, 97,3% sudah mengetahui
kebijakan wajib kerja dokter spesialis.
Meski demikian, tingkat pengetahuan
terhadap kebijakan masih beragam.
Mayoritas responden (81,2%) sudah
mengetahui bahwa kebijakan WKDS
akan menempatkan mereka di rumah
sakit di daerah pedesaan, terpencil dan
kepulauan. Namun, masih banyak
yang tidak tahu jika kebijakan tersebut
memungkinkan penempatan di rumah
sakit rujukan provinsi (57,3%) atau
rujukan lainnya (61,0%), dan masih
ada yang beranggapan bahwa
penempatan dapat ditujukan ke rumah Gambar 3 Penerimaan dokter PPDS terhadap kebijakan WKDS
4
sakit swasta (4,6%) dan Puskesmas (6,4%). Mengenai jangka waktu penempatan, hampir seluruh
responden mengetahui jangka waktu penempatan bagi dokter spesialis mandiri (96,3%), tetapi mayoritas
responden (78,4%) tidak mengetahui jangka waktu penempatan bagi dokter spesialis yang dibiayai
beasiswa pemerintah.
Temuan ini mengindikasikan bahwa
informasi yang diterima oleh obyek
terdampak kebijakan masih terbatas.
Oleh karenanya, Pemerintah perlu
menyusun strategi terkait sosialisasi
kebijakan WKDS. Sosialisasi ini dapat
dilakukan secara terbuka maupun
dengan pendekatan kepada institusi
pendidikan pengampu. Untuk itu
diperlukan kerjasama lintas
kementerian dengan kementerian riset
dan pendidikan tinggi. Informasi yang
tepat dan menyeluruh memengaruhi
seberapa besar penerimaan dokter
PPDS terhadap kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah. Hal ini terlihat
dari rendahnya penerimaan dokter
PPDS terhadap kebijakan WKDS
(Gambar 3). Mayoritas responden
(67,2%) tidak setuju dengan kebijakan WKDS. Ketidaksetujuan tampak merata, baik dari mereka yang
membiayai sendiri pendidikan PPDS maupun yang dibiayai melalui beasiswa pemerintah pusat, daerah
dan LPDP. Perbedaan tingkat penerimaan terhadap kebijakan tampak pada pengalaman praktik
kedokteran dengan tingkat penerimaan tertinggi di Kalimantan (100%) dan Maluku-Papua (52%). Namun
jika melihat berdasarkan spesialisasi, persentase persetujuan akan kebijakan ini didapatkan dari
kelompok Dokter PPDS Obstetri dan Ginekologi, sedangkan dokter dari bidang spesialisasi lainnya
menunjukkan ketidaksetujuan lebih dari 60%.
Rendahnya tingkat penerimaan sesuai dengan persepsi mayoritas responden yang menyatakan bahwa
informasi mengenai kebijakan WKDS belum jelas (82,5%). Namun demikian, tingkat penerimaan ini
bertolak belakang dengan persepsi mayoritas responden (85%) yang menyatakan bahwa distribusi
dokter spesialis belum merata di seluruh Indonesia (Gambar 4). Ini menunjukkan bahwa dokter PPDS
menyadari bahwa maladistribusi dokter spesialis masih terjadi, namun persepsi tersebut tidak serta merta
membuat responden setuju terhadap kebijakan WKDS.
Beberapa literatur menyatakan bahwa penerimaan dokter untuk ditempatkan di daerah dipengaruhi oleh
beberapa faktor penting, di antaranya insentif yang disediakan dan akses dari dan menuju daerah
menempatan (Anderson et al. 2014; Ilyas 2006; Meliala, Hort, and Trisnantoro 2013; McPake and Edoka
2014) Meskipun belum ada informasi resmi mengenai besaran insentif yang akan diberikan, responden
merasa bahwa Pemerintah belum menyediakan insentif yang layak bagi dokter spesialis yang akan
diwajibkan bertugas.
Gambar 4 Persepsi terhadap kebijakan WKDS
5
Selain keterkaitan dengan persepsi
terhadap insentif, penerimaan
terhadap kebijakan WKS juga terkait
dengan persepsi bahwa pemerintah
belum mengkaji kebijakan dengan
tepat, tidak berhak mewajibkan dokter
untuk bertugas di daerah tertentu, dan
tidak berhak membatasi ijin praktek
dokter spesialis. Mayoritas responden
juga tidak setuju dengan anggapan
bahwa mereka memiliki hutang budi
terhadap subsidi yang diberikan
Pemerintah selama menjalani studi
spesialis (Gambar 5). Uniknya,
persepsi ini juga muncul secara
dominan pada dokter PPDS yang
mendapatkan beasiswa, baik dari
pemerintah pusat, daerah maupun
LPDP.
Persepsi yang cenderung negatif dan terkait dengan tingkat penerimaan ini perlu ditanggapi dengan
serius oleh Pemerintah. Logika yang dimunculkan bahwa biaya pendidikan spesialis telah banyak
mendapat subsidi ternyata mendapat persepsi yang berbeda dari para PPDS. Subsidi yang diberikan
pemerintah nampaknya dianggap tidak memadai dibandingkan dengan tingginya biaya pendidikan
spesialis. Selain harus membayar biaya pendidikan, seorang peserta PPDS juga tidak atau belum
mendapat imbal jasa dari praktek kedokteran yang dijalani selama masa pendidikan. Hal tersebut yang
membuat “subsidi non-material” melalui pengajaran di fasilitas publik milik Pemerintah tidak mendasari
persepsi perlunya rasa hutang budi terhadap Pemerintah. Terlebih, biaya yang tinggi ini disertai dengan
beban kerja yang tinggi dan minimnya penghargaan.
Kebijakan WKDS juga dipertanyakan mengingat banyaknya lulusan baru dokter spesialis yang
membiayai pendidikan mereka sendiri tanpa bantuan dari anggaran negara secara langsung. Padahal,
Pemerintah juga telah memberlakukan program tugas belajar dokter spesialis dalam satu dekade
terakhir. Munculnya kebijakan ini dapat dianggap sebagai kegagalan program pemerintah yang kemudian
mengorbankan hak dokter PPDS yang memilih untuk membiayai sendiri pendidikannya. Terlebih,
kebijakan WKDS berlaku langsung setelah ditetapkan dan bukan dipersiapkan dan diseminasikan lima
tahun sebelum penerapan. Kebijakan ini dapat dianggap tidak adil karena bersifat memaksa. Temuan ini
juga sejalan dengan persepsi responden yang menganggap bahwa kebijakan WKDS menghambat karir
mereka.
Ekpektasi terhadap Kebijakan WKDS
Sesuai dengan persepsi yang muncul, dokter PPDS memiliki ekspektasi tinggi terhadap insentif yang
layak dan tepat waktu, informasi yang jelas, akomodasi yang layak, ketersediaan fasilitas yang
dibutuhkan dan penerimaan yang baik dari instansi penempatan (Gambar 6)
Gambar 5 Persepsi bahwa dokter spesialis memiliki hutang budi kepada Pemerintah
yang telah memberikan subsidi biaya pendidikan spesialis.
6
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Informasi mengenai WKS jelas
Insentif atau gaji layak
Insentif atau gaji tepat waktu
Akomodasi layak
Aksesibilitas
Ketersediaan fasilitas
Penerimaan dari fasilitas penempatan
Gambar 6 Ekspektasi terhadap Kebijakan WKDS
Komite Penempatan Dokter Spesialis yang dibentuk Kementerian Kesehatan memiliki tugas besar untuk
memastikan ekspektasi tersebut terpenuhi. Kisaran insentif yang dianggap layak oleh responden
bervariasi dengan median antara Rp 40-50 juta per bulan (Tabel 1). Pemerintah Pusat melalui
Kementerian Keuangan telah menyepakati insentif di kisaran Rp 20-25 juta per bulan, meskipun dalam
beberapa media Kementerian Kesehatan sempat menyebutkan bahwa insentif yang diberikan dapat
mencapai maksimum Rp 80 juta per bulan. Ada „lubang‟ yang cukup besar antara keluangan fiskal yang
diberikan oleh Kementerian Keuangan dengan janji dan ekspektasi yang telah muncul. Kesenjangan ini
harus dapat ditutupi oleh Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, serta aturan imbal
jasa yang diterapkan dan sangat mungkin bervariasi antar fasilitas kesehatan. Penjelasan mengenai
insentif ini harus secara jernih diformulasikan oleh Kementerian Kesehatan sehingga dapat diterima
sekaligus menjadi beban tersendiri dalam monitoring dan evaluasi. Proses formulasi insentif ini
hendaknya dilakukan dengan perhitungan matang dengan memperhatikan kemampuan kas negara dan
daerah. Koordinasi lintas kementerian, dalam hal ini dengan kementerian keuangan dan kementerian
dalam negeri diperlukan untuk merumusan formulasi perhitungan insentif yang dapat diterima semua
pihak.
Tabel 1 Insentif yang diharapkan dari Kebijakan WKDS (dalam juta Rupiah)
Spesialis Insentif atau gaji yang diharapkan
Median (IQR)
Obstetri dan ginekologi 50 (30-90)
Bedah 50 (40-75)
Anesiologi 50 (30-60)
Anak 45 (37,5-50)
Penyakit dalam 40 (30-60)
. Ruang fiskal yang lapang dibutuhkan bagi pemerintah daerah untuk menyokong besarnya anggaran
yang akan dikeluarkan. Asumsi kasar jika pemerintah daerah menanggung secara penuh kesenjangan
untuk memenuhi ekspektasi tersebut, maka proporsi antara pemerintah pusat dan daerah seimbang
dengan rasio mendekati 1:1 untuk satu dokter spesialis yang ditempatkan. Dengan perhitungan
sederhana, satu daerah membutuhkan masing-masing tiga dokter spesialis di lima bidang spesialisasi
tersebut dengan penyediaan insentif Rp 20 juta per bulan, maka setidaknya anggaran yang harus
7
disiapkan mencapai Rp 3,6 miliar per tahun untuk insentif dasar. Meskipun terbilang kecil, tidak semua
daerah mampu menanggungnya. Perbedaan kesanggupan antar daerah, di sisi lain, tidak akan
mengatasi maladistribusi dokter spesialis. Di samping itu, studi menunjukkan bahwa ruang fiskal yang
lapang tidak serta merta menarik minat dokter spesialis untuk praktik. Hal ini disebabkan ruang fiskal
hanya menunjukkan potensi kapasitas daerah dan tidak mengindikasikan kapasitas implementasi
aktualnya (World Bank, 2014). Pemerintah daerah bukan hanya harus sanggup memenuhi insentif
financial, tetapi juga sedianya sanggup memenuhi tunjangan dan akomodasi yang ditimbulkan akibat
kesulitan akses dan keterpencilan daerah, serta keterbatasan infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang
ada. Beban tidak langsung ini yang seringkali diabaikan dan tidak tampak dalam perhitungan matematis
saat perencanaan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanan kebijakan ini harus jauh lebih baik dibandingkan implementasi
kebijakan sebelumnya. Meskipun belum ada bukti ilmiah terpublikasi, pengalaman dokter PTT di
lapangan menunjukkan adanya permasalahan terkait insentif, mulai dari ketidaksesuaian besaran insetif,
pemotongan insentif oleh instansi penempatan, dan keterlambatan pencairan insentif. Kewajiban Komite
Penempatan Dokter Spesialis lainnya –yang juga telah sebagian dilaksanakan, adalah memastikan
bahwa fasilitas kesehatan yang tersedia di instansi penempatan sesuai dengan bidang spesialisasi yang
ditugaskan. Akomodasi termasuk ketersediaan rumah dinas dan sejenisnya menjadi pertimbangan
penting dalam penilaian kesesuaian fasilitas. Selain itu, penerimaan dari daerah penempatan menjadi
poin kritis lainnya. Tugas dan tanggungjawab dokter spesialis yang ditempatkan bergantung banyak dari
seberapa baik penerimaan dari instansi penempatan, baik instansi kesehatan maupun instansi lain yang
terkait dengan ranah kerja dokter spesialis tersebut..
Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan melalui Komite Penempatan Dokter Spesialis
seharusnya juga membangun sistem komunikasi dan evaluasi yang terintegrasi mencakup pelaporan
penempatan, keaktifan, laporan permasalahan, dan penyaluran insentif setransparan mungkin. Sistem
tersebut juga harus memungkinkan adanya umpan balik (feedback) dari semua pelaksana kebijakan,
baik dokter spesialis, instansi penempatan, maupun Kementerian Kesehatan. Sistem monitoring
beasiswa seperti yang dibangun oleh Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian
Keuangan dan QLue yang dikembangkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat menjadi contoh sistem
monitoring dan evaluasi yang baik.
Potensi praktik permanen di tempat penempatan
Meski dominan, insentif bukan satu-satunya konsideran bagi dokter spesialis untuk praktik di tempat
penempatan secara permanen. Studi Meliala dkk (2013) juga menunjukkan bahwa insentif finansial tidak
efektif secara jangka panjang dalam mengatasi maladistribusi dokter (Meliala, Hort, and Trisnantoro
2013). Adanya rumah sakit pemerintah harus didukung dengan upaya pengembangan daerah. Salah
satu faktor ketertarikan dokter spesialis bekerja di suatu daerah adalah ketersediaan tempat praktik lain,
seperti rumah sakit swasta (Gambar 8). Untuk menunjang hal ini, peran pemerintah lokal harus
dikembangkan secara simultan. Selain kesiapan rumah sakit pemerintah, kebijakan WKDS juga harus
memperhatikan kesiapan pemerintah daerah dalam mengembangkan daerahnya. Kemitraan antara
Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah tidak dapat lagi sekadara permohonan dokter dan
kesiapan suplai untuk memenuhi kebutuhan dokter. Harus ada kemitraan kuat antar pemangku kebijakan
(multi-stakeholders coordination) yang mencakup perencanaan pembangunan nasional dan
pembangunan kesehatan daerah secara komprehensif dalam jangka panjang (Anna Kurniati, Efendi, and
Yeh 2014; A. Kurniati et al. 2015). Koordinasi ini harus menjadi upaya lintas kementerian di bawah
koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, serta melibatkan pemerintah daerah dan aliansi non-pemerintah.
8
Semakin besar ruang fiskal daerah dan semakin jelas arah pembangunan kesehatan nasional dan
daerah, akan meningkatkan ketertarikan dokter spesialis untuk praktik di daerah tersebut. Dalam jangka
panjang, strategi komprehensif ini yang akan dapat secara sinambung mengatasi maladistribusi dokter
spesialis.
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Status kepegawaian
Insentif atau gaji layak
Insentif atau gaji tepat waktu
Akomodasi layak
Aksesibilitas
Ketersediaan fasilitas kesehatan
Penerimaan dari fasilitas penempatan
Apakah memberikan keluangan praktik dan tidak membatasi ijin praktik dokter spesialis hanya di satu
rumah sakit pemerintah akan memberikan dampak yang baik? Beberapa studi menunjukkan bahwa
kebebasan untuk praktik di rumah sakit swasta akan menurunkan frekuensi layanan dokter spesialis di
rumah sakit pemerintah (Hipgrave and Hort 2014; Anderson et al. 2014; Meliala 2014). Temuan tersebut
didasarkan pada populasi dokter spesialis yang terpusat di perkotaan. Jika tetap pada pola restriksi untuk
meniadakan praktek ganda (dual practice), pemerintah harus siap dengan imbas beban anggaran untuk
dapat menyediakan insentif yang cukup bagi mereka yang hanya mendapatkan penghasilan dari satu
sumber. Namun, jika yang diharapkan pemerintah adalah meningkatkan ketertarikan dokter spesialis
untuk praktik di daerah secara sinambung, paparan terhadap kemungkinan praktik di layanan luar
fasilitas pemerintah tetap harus dibuka.
Keluangan ijin praktik ini akan bermanfaat untuk mendorong dua hal. Pertama, dokter spesialis yang
ditempatkan akan memiliki kesempatan untuk membangun kepercayaan dan citranya di masyarakat yang
meningkatkan peluang keterikatannya dengan masyarakat di daerah penempatan. Kedua, studi World
Bank (2010) menunjukkan bahwa keterbukaan praktik di fasilitas non-pemerintah akan meningkatkan
utilisasi layanan kesehatan (Anderson et al. 2014). Akan muncul kongesti dengan semakin
terkonsentrasinya masyarakat miskin di layanan pemerintah dan berpisahnya masyarakat menengah ke
atas ke layanan non-pemerintah. Meski demikian, jika keluangan ini dibuka, Pemerintah harus secara
sigap menyusun regulasi dan prosedur yang ketat dan menjamin layanan kesehatan di fasilitas
pemerintah tidak terbengkalai. Upaya ini harus diimbangi dengan penyediaan jumlah layanan kesehatan
yang adekuat (Hipgrave and Hort 2014).
Faktor status kepegawaian cenderung tidak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan apakah
dokter spesialis akan tetap berkarir di satu daerah penempatan atau tidak (Gambar 9). Mirip dengan
ekspektasi terhadap kebijakan WKDS, pertimbangan untuk melanjutkan karier di daerah penempatan
bergantung pada kesiapan akomodasi, akses, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan penerimaan yang
baik dari daerah penempatan.
Gambar 8 Korelasi antara jumlah dokter spesialis dan
jumlah rumah sakit swasta (World Bank, 2013)
Gambar 9 Pertimbangan untuk melanjutkan praktik di daerah
penempatan
9
Pesan kunci dan rekomendasi bagi perumus kebijakan
Mengatasi maladsitribusi dokter spesialis yang masih menjadi problem tenaga kesehatan di Indonesia
memerlukan strategi yang komprehensif. Kebijakan WKDS yang dikeluarkan secara teknis akan
menutupi kesenjangan maladistribusi dalam jangka pendek. Kebijakan yang sama juga diterapkan di
negara berkembang lain, seperti Turki dan Malaysia,(Ünal 2015; Faizah et al. 2011) dengan catatan
pembelajarannya masing-masing.
Aspek penting dalam penyusunan kebijakan dan teknis implementasi selanjutnya adalah pemahaman
terhadap dokter PPDS yang menjadi obyek terdampak kebijakan dalam jangka panjang. Diseminasi
informasi belum dilaksanakan dengan baik sehingga pengetahuan obyek terdampak saat ini masih
minim, keliru, dan berpotensi menyebabkan mispersepsi. Kondisi ini dipersulit dengan persepsi yang
dominan bahwa Pemerintah tidak berhak mewajibkan lulusan dokter spesialis baru tanpa memberikan
informasi dan opsi yang adil ketika mereka memutuskan melanjutkan pendidikan dokter spesialis.
Strategi diseminasi informasi harus diformulasikan sebaik mungkin dengan mengedepankan kerjasama
lintas kementerian.Penyediaan insentif yang adil dan transparan menjadi salah satu faktor kunci yang
perlu dipertimbangkan dengan matang. Kapasitas anggaran pemerintah pusat harus dengan cermat
dihitung dengan imbangan anggaran pemerintah daerah dengan tetap mempertimbangkan ekspektasi
dari obyek terdampak kebijakan. Ketimpangan kapasitas financial antar daerah dalam memenuhi insentif
dapat menimbulkan efek samping maladistribusi dan tingginya kecenderungan pemenuhan distribusi ke
daerah tertentu. Meski demikian, insentif bukan satu-satunya factor yang memengaruhi penerimaan
obyek terdampak. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan ketersediaan fasilitas
kesehatan bagi setiap bidang spesialis yang ditempatkan, transparansi keuangan, dan penerimaan dari
daerah penempatan. Faktor-faktor tersebut yang juga secara dominan menjadi pertimbangan bagi obyek
terdampak untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan praktik kedokteran di fasilitas atau area
penempatan.
Restriksi ijin praktek tunggal dapat dievaluasi dalam satu tahun pertama dengan dua pertanyaan evaluasi
mendasar, yaitu (a) apakah restriksi meningkatkan utilisasi dan akses masyarakat terhadap layanan
kesehatan atau sebaliknya dan (b) apakah keluangan ijin praktik mendorong ketertarikan dokter spesialis
untuk bekerja secara permanen di lokasi penempatan. Strategi jangka panjang perlu disiapkan dengan
mempertimbangkan ketersediaan fasilitas kesehatan lainnya dan bersinergi dengan pemerintah daerah
dalam upaya pembangunan kesehatan daerah.
Cetak biru (blue print) pemenuhan dokter dan dokter spesialis di Indonesia menjadi perhatian penting
yang harus disiapkan dengan melibatkan semua pemangku kebijakan yang terkait, baik lintas
kementeraian coordinator, kementerian, serta pemerintah daerah dan aliansi non-pemerintah. Tahun
pertama implementasi kebijakan ini harus dipantau secara ketat dan dievaluasi dengan jernih untuk
menjadi bahan perbaikan dan penyusunan cetak biru yang ajeg dalam jangka panjang. Untuk itu,
Kementerian Kesehatan perlu melibatkan kementerian dan institusi lain, baik pemerintah maupun non-
pemerintah, untuk ikut terlibat dalam riset implementasi (implementation research) yang digunakan
sebagai evaluasi dan dasar pertimbangan untuk perluasan (scaling up) kebijakan di tingkat nasional.
10
Penyusun
Ahmad Fuady, Grace Wangge
Peneliti di HEMISPHERE –institusi non-pemerintah yang bergerak dalam bidang penelitian kedokteran
serta manajemen dan kebijakan kesehatan. Keduanya juga merupakan peneliti di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Policy Note ini disusun secara independen dengan pembiayaan mandiri di bawah naungan
HEMISPHERE. Dengan ini pula penyusun menyatakan tidak ada conflict of interest dalam penyusunan
Policy Note.
Referensi
Anderson, Ian, Andreasta Meliala, Puti Marzoeki, Eko Pambudi, and others. 2014. “The Production, Distribution, and Performance of Physicians, Nurses, and Midwives in Indonesia: An Update.” The World Bank, 1–56.
Faizah, A., D Kamilah, S Sivasampu, PK Tahrani, and M Kasturi. 2011. “Distrbution of Clinical Specialist in Malaysian Hospitals.” Kuala Lumpur: National Clinical Research Centre. http://www.crc.gov.my/nhsi/wp-content/uploads/document/Distribuation_of_Clinical_Specialist_in_Malaysia.pdf.
Fuady, Ahmad. 2015. Jaminan kesehatan universal dan pemenuhan hak kesehatan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Hipgrave, David Barry, and Krishna Hort. 2014. “Dual Practice by Doctors Working in South and East Asia: A Review of Its Origins, Scope and Impact, and the Options for Regulation.” Health Policy and Planning 29 (6): 703–716.
Ilyas, Y. 2006. “Determinan distribusi dokter spesialis di kota/kabupaten Indonesia.” Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 9 (3): 146–55.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. “Menkes soroti masalah distribusi dokter spesialis Indonesia.” depkes.go.id. February 24. http://www.depkes.go.id/article/print/17022400008/menkes-soroti-masalah-maldistribusi-dokter-spesialis-indonesia.html.
Kurniati, A., E. Rosskam, M. M. Afzal, T. B. Suryowinoto, and A. G. Mukti. 2015. “Strengthening Indonesia‟s Health Workforce through Partnerships.” Public Health 129 (9): 1138–1149.
Kurniati, Anna, Ferry Efendi, and Pi-Ming Yeh. 2014. “Human Resource Development for Health in Indonesia: Challenges of Achieving the Millennium Development Goals.” JURNAL SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN 1 (1). http://jurnalsdmk.observatorisdmkindonesia.org/ojs-asli/index.php/jsdmk/article/view/1.
McPake, Barbara, and Ijeoma Edoka. 2014. “Universal Health Coverage Reforms: Implications for the Distribution of the Health Workforce in Low-and Middle-Income Countries.” http://imsear.li.mahidol.ac.th/handle/123456789/172035.
Meliala, Andreasta. 2014. “Distribution and Engagement of Specialist Doctors in Public Hospitals in Indonesia.” BMC Public Health 14 (Suppl 1): O15. doi:10.1186/1471-2458-14-S1-O15.
Meliala, Andreasta, Krishna Hort, and Laksono Trisnantoro. 2013. “Addressing the Unequal Geographic Distribution of Specialist Doctors in Indonesia: The Role of the Private Sector and Effectiveness of Current Regulations.” Social Science & Medicine 82 (C): 30–34.
Menteri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Komite Penempatan Dokter Spesialis. Vol. No 10 Tahun 2016. http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._10_ttg_Komite_Penempatan_Dokter_Spesialis_.pdf.
Presiden Republik Indonesia. 2017. Peraturan Presiden RI tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis. Vol. No 4 Tahun 2017. http://www.kopertis12.or.id/2017/01/29/perpres-no-4-tahun-2017-tentang-wajib-kerja-dokter-spesialis.html.
Ünal, Erdinç. 2015. “How the Government Intervention Affects the Distribution of Physicians in Turkey between 1965 and 2000.” International Journal for Equity in Health 14 (1): 1.