pola kebijakan ekonomi orde baruperiode oktober 1965 sampai maret 1966 adalah periode yang penuh...
TRANSCRIPT
Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 sampai Maret
1966 adalah periode yang penuh dengan ketidak pastian. Di satu pihak Soekarno
masih enggan menggusur PKI, di lain pihak mahasiswa dan kekuatan politik
lainnya semakin gencar menuntut pembubaran PKI yang kemudian meluas
menjadi penggantian Presiden Soekarno . Dengan berakhirnya Demokrasi
Terpimpin yang begitu cepat pada periode kritis dari akhir akhir tahun 1965
hingga tahun 1967, mulailah Angkatan Bersenjata Indonesia yang di pimpin oleh
Jenderal Soeharto, berkuasa. Elit Angkatan darat dengan cepat mendefenisikan
kembali situasi itu sebagai suatu tindakan politik untuk mencegah berlanjutnya
disintegrasi di bidang-bidang sosial, politik dan ekonomi. Pada bulan Maret 1967
Jenderal soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintah di
bawah Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang sudah yang sudah hampir
ambruk. Hutang luar negeri berjumlah $ 24.00 juta, laju inflasi mencapai 20-30%
sebulan, infrasrtuktur berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan
ekspor sangat merosot dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah
tidak berfungsi lagi
Menghadapi kekacauan ekonomi itu, pemerintah baru bertekad untuk
membenahi keuangan negara. Dengan menggunakan pendekatan yang sangat
pragmatis sebagai konsep utamanya, yang berlawanan sepenuhnya dengan
kebijakan Demokrasi Terpimpin, pemerintah Orde Baru pada tanggal 1 Januari
1967 memberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tanggal 3 Juli
1968 sebagai UU. No. 6 tahun 1968. Kedua Undang-Undang itu dimaksudkan
untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta.
Kebijaksanaan itu di rumuskan dengan bantuan dan nasihat ahli-ahli ekonomi dan
tenaga-tenaga profesional selama itu mempunyai hubungan dengan Angkata Darat
.
1
Orde Baru memutuskan untuk menerapkan tiga langkah pembangunan
ekonomi berikut pada masa awal pemerintahannya. Pertama, menjadwalkan
kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal untuk mengembalikan
kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang tak terkontrol
melalui program impor komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-
pinjaman hasil re-negoisasi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya,
terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi . Pemerintah
yakin bahwa pertumbuhan karena suntikan modal dan teknologi akan meluber
secara spontan ke seluruh lapisan masyarakat.
Rencana ini diumumkan pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Ketetapan MPRS
No. XXIII tentang “Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan”, yang merinci tiga tahap pembangunan. Pertama, tahap
penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi lebih
buruk lagi. Kedua, tahap stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan
inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi. Ketiga, tahap pembangunan
ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
Suatu pendekatan yang sepenuhnya a-politik atau non politik atau sebagai
suatu versi teknokratis, yang dianggap kunci bagi keberhasilan pelaksanaan upaya
tersebut terletak pada kestabilan politik. Dalam pendekatan itu, yang memandang
masalah-masalah ekonomi dari segi kuantitatif dan kebutuhan-kebutuhan akan
modal dan teknologi tersirat anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
ditimbulkan oleh suntikan modal dan teknologi akan “meluber” secara spontan ke
seluruh lapisan masyarakat. Salah satu implikasi terpenting dari teori “Trickle
Down Effect” (tetesan ke bawah), yang hampir selama periode pemerintahan Orde
Baru sangat di percaya sebagai suatu model pembangunan ekonomi. Dalam
rangkaian teori ini, sangat erat kaitannya dengan teori yang dikembangkan oleh
Evsey Domar dan Roy Harrod , tentang tabungan dan investasi modal. Lebih jauh
Harrod dan Domar menguraikan teori pembangunan ekonomi yang didasarkan
pada jumlah tabungan dan investasi modal.
2
Menurut kedua peneliti tersebut, kalau tabungan dan investasi rendah,
pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara tersebut juga rendah . Tampaknya
pemerintahan Orde Baru secara tidak langsung memakai rumus tersebut dalam
membangun benteng perekonomiannya, karena itu, berdasarkan pada model ini,
pemerintah Orde Baru mengejar kebangkrutan ekonomi yang di wariskan dengan
mencari tambahan modal, baik dari dalam negeri (dengan mengusahakan
peningkatan tabungan dalam negeri), maupun dari luar negeri (melalui penanaman
modal dan utang luar negeri). Untuk mendukung konstruktif pembangunan
ekonomi pasca pemerintahan Orde Lama yang telah hancur, pemerintahan Orde
Baru meminta dukungan IMF (International Monetary Fund).
Poin-poin penting yang disarankan untuk diterapkan oleh IMF adalah,
pertama, kekuatan pasar adalah kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi.
Kedua, untuk itu, maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi
pasar dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari negara,
tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga subsidi. Ketiga, sebagai
insentif bagi sektor swasta maka lisensi impor terhadap bahan baku dan
perlengkapan tidak lagi di batasi. Terakhir adalah fasilitas insentif berupa
keringanan pajak dan lain-lain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh
Undang-Undang .
Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde Baru bisa
dikatakan sebagai momentum awal dari pada ketergantungan (dependen)
pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar negeri.
Selain faktor-faktor eksternal (bantuan/pinjaman luar negeri) yang di jalankan
oleh pemerintahan Orde Baru, berkaitan dengan masalah pembangunan ekonomi,
pemerintah di bawah komando Presiden Soeharto juga mengeluarkan kebijakan
dinamika politik bagi masyarakat Indonesia, dengan tujuan pencapaian stabilitas
politik yang nantinya di percaya dapat mempengaruhi pertumbuhan pembangunan
ekonomi. Dalam pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi di pahami
sebagai serangkaian upaya untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat,
3
melalui langkah pencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (menggerakan roda
ekonomi), dengan dukungan stabilitas politik yang tinggi (mantap), karena
dinamika politik merupakan hambatan bagi gerak ekonomi.
Asumsi tersebut berdasarkan pengalaman yang menurut pemerintahan
Orde Baru adalah kemacetan ekonomi di masa rezim Soekarno. Maka karena
kepercayaan terhadap stabilitas politik lebih utama di bandingkan dengan
permasalahan lainnya, pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru,
yaitu Negara-Birokrat-Otoriter (NBO) , yang memang tidak dapat dipisahkan
dengan model pembangunan ekonomi “Trickle Down Effect”. Menurut O’
Donnell, Negara-Birokratik-Otoriter (NBO) memiliki karakteristik sebagai
berikut, pertama: posisi-posisi puncak pemerintahan biasanya di jabat oleh orang-
orang yang sebelumnya telah berhasil ketika mereka berada dalam organisasi
birokrat, misalnya, organisasi militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan
swasta besar. Kedua, dalam NBO akan selalu ada pembatasan partisipasi politik
yang ketat (political exclusion).
Ketiga, dalam NBO juga ada pembatasan dalam partisipasi ekonomi
(economic exclusion). Keempat, negara mengembangkan kebijaksanaan
depolitisasi dan demobilisasi massa. Secara ringkas, NBO ini dicirikan oleh
adanya peran dominan para birokrat, khususnya militer yang daripadanya lahir
kebijaksanaan pembatasan partisipasi politik dan ekonomi, serta muncul
kebijaksanaan depolitisasi dan demobilisasi . Dalam kajiannya tentang Indonesia
untuk periode permulaan Orde Baru (1966-1971), Mohtar Mas’oed menggunakan
konsep NBO yang dikembangkan oleh O’Donnell dan menggabungkannya
dengan konsep korporatisme. Menurut Mas’oed, lahirnya kembali bentuk negara
otoriter di Indonesia pada awal Orde Baru disebabkan oleh : pertama, oleh
warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an.
Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecendrungan
untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintahan. Lebih dari itu,
pada masa tersebut Orde Baru hendak berusaha secara cepat memproleh
4
legitimasi politiknya, karena menurutnya, Soekarno masih memiliki pengaruh
yang tidak kecil dan pendukung yang tidak sedikit. Kedua, koalisi intern Orde
Baru yang memaksa untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi secara
radikal juga menyebabkan lahirnya NBO di Indonesia.
Orde Baru memilih untuk dengan segera melakukan stabilisasi ekonomi
yang memberikan peluang yang besar kepada modal domestik dan modal
internasional untuk terlibat, sekalipun kebikasanaan ini dibayar dengan harga
mahal. Ketiga, orientasi ekonomi keluar yang dirumuskan oleh Orde baru pada
masa akhir tahun 1960-an dan berlanjut pada tahun 1970-an adalah adalah satu
faktor yang mendesak pemerintah untuk memilih bentuk NBO. Dengan adanya ke
tiga faktor tersebut, Mas’oed menyimpulkan bahwa mengharapkan adanya
bangunan politik demokratis pada awal Orde Baru merupakan harapan yang tidak
realistik, kalau bukan khayalan . Keunikan teori NBO yang dikembangkan oleh
Mas’oed, dalam melihat kasus di Indonesia adalah urgensi faktor krisis politik
lebih bertanggung jawab terhadap lahirnya pemerintahan yang otoriter dari Orde
Baru dibanding variabel ekonomi. Selain keunikan teori NBO yang di
kembangkan oleh Mas’oed,
semua karakteristik struktural NBO yang di kemukakan oleh O’ Donnell
sepenuhnya dapat di jumpai pada sistem Politik Orde Baru . Pertama, pemerintah
Orde Baru hampir dapat dikatakan berada di bawah kendali militer secara
organisatoris yang bekerja sama dengan teknokrat sipil. Kedua, modal domestik
swasta besar yang memiliki hubungan khusus dengan negara, dan modal
internasional memiliki peran ekonomis yang menentukan. Ketiga, hampir seluruh
bentuk kebijaksanaan pembangunan yang dilahirkan, sejak dari proses
perencanaan sampai pada evaluasinya sepenuhnya berada pada tangan birokrat
dan teknokrat. Keempat, ada kecenderungan kuat dalam pemerintahan Orde Baru,
secara terencana, melakukan demobilisasi massa, kususunya yang dilakukan
dengan kebijaksanaan massa mengambang (floating mass). Kelima, dalam
menanggapi kritik dan para penentangnya,
5
pemerintah Orde Baru tidak segan-segan melakukan tindakan tegas.
Terakhir, dan merupakan ciri khusus untuk Indonesia, dapat dijumpai pada
otonomi dan besarnya peran kantor kepresidenan, yang diwujudkan dengan
demikian luas wewenang yang ada pada Sekretariat Negara . Implikasi kebijakan
stabilisasi politik pada masa Orde Baru dengan munculnya Negara-Borokratik-
Otoriter (NBO), pada mulanya sedikit membawa imbas positif bagi pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Hal ini terbukti dengan perekonomian yang tumbuh rata-
rata 7,9% per-tahun, dan bahkan tahun 1968 tingkat pertumbuhan mencapai 10%.
Laporan resmi pemerintah menyebutkan
Repelita I (1969/1970-1973/1974) pertumbuhan rata-rata 9,9% per-tahun,
jauh di atas target yang telah ditentukan sebesar 5% per-tahun. Booming ekonomi
ini mendapat sokongan besar lagi dari pendapatan minyak Indonesia pada Pelita
Kedua dan Ketiga. Namun, akibat dari munculnya NBO ini, tanpa disadari
pemerintahan Orde Baru mangalami dampak serius mengenai pola pembangunan
ekonomi di Indonesia, karena pemerataan pembangunan melalui proses “menetes
kebawah” (trickle down effect) atau “luberan” (spill over) yang direncanakan
pada awal permulaan tidak dapat terjadi di seluruh lapisan masyarakat Indonesia,
justeru malah sebaliknya, pemerataan pembangunan hanya terjadi pada level elit
penguasa dan elit pengusaha pemilik modal besar.
Sedangkan masyarakat bawah, yang bisa dikatakan sangat minim modal
dan hubungan atau patron dengan negara tidak dapat merasakan pemerataan
pembangunan yang selalu di giat-giatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Dan
khususnya mengenai masalah-masalah non-ekonomi, seperti masalah sosial,
politik dan budaya, masyarakat Indonesia mengalami alienasi struktural karena
keberadaanya yang tidak mudah berkembang berdasarkan tradisi lokal yang telah
di milikinya. Memang telah di sebutkan diatas bahwa pada awalnya pertumbuhan
ekonomi berdampak positif bagi devisa negara, terutama di saat Indonesia
mengalami booming minyak 1974-1982, tetapi di balik itu semua ada kemacetan
dalam pembangunan masyarakat Indonesia, karena dengan munculnya kekuatan
6
NBO, masyarakat Indonesia selalu di jadikan objek massifikasi bagi
terselenggaranya pembangunan pemerintah Orde Baru. Masyarakat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam aktivitas politik
maupun ekonomi. Setiap warga masyarakat yang mencoba mengkritisi
pemerintahan Orde Baru selalu dijawab dengan tindakan “subversif” dan isu-isu
bahaya laten komunisme. Negara pada saat itu merupakan unsur pemaksa yang
paling kuat, seakan-akan tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat melawannya.
Lembaga-lembaga politik yang pro-demokrasi, seperti partai politik dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak ter-patronase dengan pemerintahan Orde
Baru, diatur dan dikontrol dengan mesin politik yang dikenal sebagai paket 5 UU
politik yang memang telah disusun sedemikian rupa sehingga posisi negara dalam
menjalankan pembangunan ekonomi tidak dapat dihambat dengan dinamika
politik. Pada sekitar tahun 1998, atau kurang lebih semenjak 32 tahun Orde Baru
berkuasa, Indonesia mengalami dampak buruk dari pembangunan ekonomi yang
di jalankan.
Krisis ekonomi terjadi, akibat daripada kebijakan ekonomi yang
dilakukan oleh negara beserta aparaturnya. Dalam teori dependensi baru, krisis
yang dialami oleh negara Indonesia pada saat pemerintahan Orde Baru berkuasa
di karenakan 2 faktor penyebab, faktor pertama adalah faktor eksternal, yaitu
utang luar negeri, yang menyebabkan ketergantungan pemerintah terhadap
negara/lembaga donor. Dan faktor kedua adalah faktor internal, yang antara lain :
pertama, buruknya efesiensi organisasi dan efesiensi perekonomian yang
berdampak pada merosotnya daya saing. Kedua, buruknya distribusi sumberdaya
nasional dalam segala bentuknya yang berakibat pada mencoloknya gejala
kesenjangan sosial. Ketiga, buruknya insentif untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan produktif karena terdorong untuk mencari jalan pintas. Keempat,
buruknya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang berakibat pada
meningkatnya gejala instabilitas politik . Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun
1998, semakin meluas menjadi krisis politik yang justeru menyebabkan semakin
parahnya kondisi perekonomian Indonesia.
7
Demonstrasi mahasiswa merebak ke seluruh penjuru nusantara. Rupiah
yang sempat menguat Rp. 7.000 per satu dollar AS, melemah kembali ke tingkat
Rp. 9.000. Lebih-lebih setelah pemerintah memustuskan menaikan harga BBM.
Harga kebutuhan pokok serta merta turut melambung. Bara api kemarahan
mahasiswa yang ketika itu sudah semakin menyala, seperti mendapat siraman
bahan bakar. Kian memburuknya kondisi perekonomian di Indonesia
menyebabkan pecahnya aksi-aksi kerusuhan massal di beberapa tempat di
Indonesia. Rupiah kian terpuruk ke tingkat Rp. 12.000 per satu dollar AS, yang
akhirnya dimulai dengan drama politik baru dengan pendudukan DPR/MPR oleh
ribuan mahasiswa. Setelah gedung DPR/MPR di tumpah-ruahi oleh para
mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai
presiden RI, maka nilai rupiah semakin melorot ke tingkat Rp. 16.000 per satu
dollar AS, dan puncaknya adalah ketika secara monumental Soeharto akhirnya
sepakat turun dari jabatannya dan menyerahkan kursi kepresidenannya kepada
B.J. Habibie. Mengenai kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenannya,
serta faktor-faktor yang berdiri di belakang krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, Revrisond Baswir mengemukakan lima faktor riil dalam latar belakang
tersebut , pertama, buruknya beberapa indikator ekonomi makro, seperti rasio
tabungan-investasi dan rasio angsuran hutang.
Kedua, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
berujung pada buruknya inefesiensi dan kesenjangan. Ketiga, meledaknya
kerusuhan massal sebagai akibat kian parahnya kesenjangan. Keempat,
meningkatnya perlawanan dunia terhadap berbagai kebijakan ekonomi Indonesia
yang bersifat diskriminatif. Kelima, meningkatnya ketegangan politik menjelang
terjadinya pergeseran formasi politik dan suksesi. Dengan kelima faktor itu,
Revrisond Baswir ingin mengatakan bahwa krisis ekonomi di Indonesia bukanlah
sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ia telah di rintis sejak lama melalui
pembentukan rezim kekuasaan yang bersifat monopolis, atau menurut O’ Donnell
dan Mas’oed adalah dengan rezim Negara-Birokratik-Otoriter (NBO). Monopoli
8
kekuasaan itu pada gilirannya menyebabkan merajalelanya KKN. Dengan
merajalelanya KKN, maka tidak hanya penyimpangan di berbagai sektor
cenderung meluas, kesenjangan ekonomi cenderung melebar. Akhirnya KKN
mendorong terjadinya pelestarian kekuasaan tanpa batas. Dan apa yang pernah di
alami oleh Soekarno, pada akhirnya juga di alami oleh Soeharto, yaitu permintaan
suksesi kursi kepresidenannya oleh rakyat.Pola Kebijakan Ekonomi Pasca Orde
Baru Setelah kekuasaan Orde Baru runtuh bersama pemimpinnya, yaitu Soeharto,
maka secara sepihak B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto sebagai Presiden
RI yang ketiga. Pelimpahan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menjadi
kontroversial. Masalahnya adalah selain kekuasaan Habibie masih mengandung
kontroversi, tantangan dan sifat pemerintahan Habibie belum sepenuhnya dapat di
bedakan dari pemerintahan Soeharto.
Di satu pihak, pemerintahan Habibie di bangun atas struktur kekuasaan
yang monopolis, sehingga membuka peluang di lanjutkannya praktek KKN dalam
berbagai bentuknya. Dari segi pembangunan ekonomi, pemerintahan Habibie
(pada masa itu terkenal dengan Orde Reformasi) mendapati pola yang sama
dengan pemerintahan Orde Baru, yakni ketika pemerintahan Orde Baru mewarisi
pemerintahan Orde Lama dengan hutang luar negeri yang cukup besar. Begitu
juga dengan pemerintahan Habibie yang harus menanggung beban hutang luar
negeri yang di tinggalkan oleh pemerintahan Orde Baru sebesar 150 miliar dollar
AS.
Dari sejarah pembangunan ekonomi yang di kembangkan oleh Orde Baru,
tampaknya Habibie memiliki pengalaman yang jauh tentang problem bagaimana
mangatasi krisis multi dimensi yang melanda Indonesia. Menurut Habibie, salah
satu kegagalan pemerintahan Orde Baru adalah dengan munculnya stabilitas
politik yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga memunculkan Negara-
Birokratik-Otoriter (NBO). Untuk itu jalan yang di tempuh oleh Habibie pertama-
tama adalah dengan meminimalisir kegiatan NBO pada pemerintahannya, dan
membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipas politik dan ekonomi masyarakat.
9
Hal tersebut terbukti dengan kebebasan bersuara dan berkumpul pada periode ini.
Partai politik baru muncul, media massa di berikan kebebasan dan buku-buku
ilmiah yang selama Orde Baru dilarang mulai di terbitkan kembali. Sedangkan 6
karakteristik NBO yang di utarakan oleh Mas’oed pada pemerintahan Orde Baru,
hanya satu yang di teruskan oleh pemerintahan Habibie, yaitu, dengan
menggunakan modal domestik swasta besar yang memiliki hubungan khusus
dengan negara, dan modal internasional memiliki peran ekonomis yang
menentukan.
Kesimpulan
Ketergantungan dan pembangunan adalah dua hal yang seakan-akan tidak dapat
dipisahkan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Akan tetapi semua itu tidak
dapat lepas dari masalah-masalah politik yang terjadi di Indonesia. Dari semua
periode pemerintahan yang pernah berkuasa di negara ini, masalah politik telah
menjadi dominan dalam memutuskan setiap kebijakan pembangunan. Kalau saat
pemerintahan Orde Lama revolusi menjadi panglima, maka di saat pemerintahan
Orde Baru stabilitas politik menjadi panglima. Padahal semua itu bisa dikatakan
hanya sebagai retorika pemerintah dalam memberikan kebijakan dalam
pembangunan ekonomi. Sedangkan masyarakat sampai saat ini terus berkubang
dengan hasil-hasil pembangunan yang diciptakan oleh semua pemerintahan,
seperti kemiskinan dan pengangguran. Pemerataan pembangunan yang selama ini
di idolakan oleh para teknokrat dan birokrat tidak pernah terwujud menjadi
kenyataan, dikarenakan pembangunan yang tidak merata dan hanya di kuasai oleh
sekelompok penguasa dan pengusaha. Sedangkan masyarakat kecil tetap tidak
mengalami perubahan. Pembangunan di Indonesia, sedikit banyaknya di
pengaruhi oleh dua faktor yang tetap dalam kerangka ketergantungan dan
pembangunan. Kedua faktor tersebut adalah apa yang pernah dikemukakan oleh
Mohtar Mas’oed berdasarkan pengembangan teori yang berasal dari O’ Donnell,
yaitu, faktor eksternal yang meliputi pengaruh ketergantungan dari luar negeri dan
faktor internal yang meliputi pengaruh dalam negeri. Lebih jauh Mas’oed
mengatakan, bahwa yang mempengaruhi ketidak merataan pembangunan di
10
Indonesia adalah faktor internal, yaitu, krisis politik. Masalah inilah sebetulnya
yang bertanggung jawab atas munculnya Negara-Birokratik-Militer, dibanding
dengan variabel ekonomi. Jadi Mas’oed banyak memberikan sumbangan atas
teori-teori yang urgen mengenai ketergantungan Indonesia dalam pembangunan,
tidak seperti teoritikus keteregantungan klasik yang belum tentu dapat di
sesuaikan dengan konteks ke Indonesiaan. Perubahan demokrasi yang diawali
dengan perpindahan tongkat estafet pemerintahan dari pemerintahan Orde Lama
ke Orde Baru pada tahun 1966, Perubahan tersebut berlangsung pada sidang
istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967. MPRS menghasilkan ketetapan
nomor XXXIII/MPRS/ 1967 yang memutuskan mencabut kekuasaan
pemerintahan dari Sukarno dan menarik kembali mandat serta segala kekuasaan
Sukarno. Suharto dengan ketetapan yang sama dengan pencabutan mandat ke
Sukarno, Suharto dilantik MPRS pada 12 Mei 1967, dengan ketua MPRS pada
saat itu adalah A. H. Nasution. Pemerintahan baru tersebut telah mewarisi
keadaan ekonomi yang sudah hampir. Hutang luar negeri berjumlah $ 2,400 juta,
laju infalsi mencapai 20-30% satu bulan, infrastruktur berantakan, kapasitas
produksi sektor-sektor industri dan eksport sangat merosot serta penarikan atas
anggaran pajak tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Pola perubahan perekonomian di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan
dengan membanjirnya industri manufaktur di dalam negeri yang memberikan
kebebasan pada penanam modal asing untuk melakukan investasi. Perubahan
tersebut disertai kebijakan pintu terbuka yang di awali dengan penerapan Undang-
Undang Penanaman Modal Asing pada 1 Januari 1967 serta beberapa regulasi
pendukung lainnya.
Sementara inflasi mulai dapat dikendalikan dan perekonomian mulai
normal kembali, pemerintah Orde Baru menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang pertama pada tahun 1969/1970-1973/1974 atau Repelita I. Dengan
diberlakukannya bebarapa kebijakan di atas merupakan tonggak perubahan kelas-
kelas sosial pada struktural masyarakat Indonesia.
11
Hal tersebut, mendorong mengalirnya arus modal asing, baik yang
berupa investasi swasta, grant, maupun loan. Proses industrialisasi dengan subsidi
impor pun mulai dijalankan Awal pemerintahan Orde Baru telah terlihat adanya
perkembangan yang pesat dalam bidang industri substitusi impor dan produksi
ekspor bahan mentah, khususnya minyak mentah, kayu gelondongan, dan mineral.
Dalam sektor industri olahan perusahaan asing berlomba-lomba menanamkan
modal dibalik pagar tarif hasil kebijakan 15 November 1978 alih-alih usaha
mendorong PMA dan juga PMDN kebijakan tersebut telah dijadikan suplemen
bagi peningkatan penanaman modal pada pelita III.
perubahan penting dan beberapa hal yang sangat mendasar telah terjadi
sesudah tahun 1982. Sejak terjadinya kemerosotan harga minyak yang berawal
pada tahun 1982 pemerintah Indonesia harus menghadapi tantangan krisis
finansial dam fiskal yang bertubi-tubi. Sebagai konsekuensi dari perubahan
kondisi dalam negeri, maka pemerintah Orde Baru melakukan perubahan
kebijakan perekonomian yang lebih mengarah pada kebijakan. Pola perubahan
tersebut di atas direalisasikan dengan mengadakan pembaharuan dari pola
kebijakan 15 November 1978 dan diperkuat dengan paket 6 Mei 1986. Paket
kebijakan tersebut telah menarik investor baik dalam negeri maupun luar negeri
untuk menanamkan modal di Indonesia, di sisi lain pangsa pasar dalam negeri
memperlihatkan tumbuh pesat perubahan barang konsumsi sebagai dampak dari
meningkatnya harga minyak dan intensif pajak dan bea masuk yang ditawarkan
oleh pemerintah Orde Baru pada saat itu.
Kebijakan 6 Mei 1986 telah memberikan berbagai kemudahan bagi
investor dalam mengimpor kemasan dari sumber lain, tanpa bayar bea masuk (.
Modal dalam negeri sendiri, memperoleh donor baru dengan adanya berbagai
regulasi yang ditetapkan pemerintah berupa adanya keharusan bagi perusahaan
asing untuk berpatungan dengan perusahaan dalam negeri dan menyediakan
12
modal berupa penyertaan modal dalam bentuk saham. Di samping aspek
murahnya tenaga kerja di Indonesia
Bagi sebagian besar perusahaan dalam negeri merupakan sebuah batu
loncatan untuk mendapatkan pencapaian sukses dalam dunia usaha. Pencapaian
sukses terlihat dengan adanya monopoli yang didistribusikan negara, yang
membuka peluang bagi sebagian kelompok perusahaan besar untuk masuk ke
dalam sektor kegiatan perekonomian yang vital dan menampung hajat hidup
orang banyak. Banyaknya Instruksi Presiden, terutama Inpres No. 4/ 1985
semakin meneguhkan posisi dan kewenangan investor, dalam Inpres tersebut
berisi penyederhanan prosedur eksport-Import dengan mengacu pada usaha
penyelamatan pemasukan devisa negara
Menjelang akhir tahun 1980-an, pemilik modal yang semula
mendapatkan kemudahan dengan berbagai fasilitas yang menunjang keberadaan
modal dan keberlangsungan usaha harus menghadapi berbagai kondisi kritis, dari
sudut ekonomi dan dari sudut politik .pertama, mereka dihadapkan dengan
melemahnya tahap pembangunan industri Indonesia yang berorientasi ke dalam
negeri. Kedua, mereka dihadapkan pada ketidakpastian mengenai arah masa
depan dari rezim otoriter”.
Pelita IV (1983-1988) merupakan masa terpenting dalam tahap
perkembangan industrialisasi umumnya dan kondisi perburuhan pada khususnya.
Setelah berakhir masa boom minyak, pemerintah Orde Baru mulai menerapkan
berbagai kebijakan guna menghadapi berbagai tekanan terhadap segi struktural
dari perubahan strategi industri. Pola perubahan tersebut ditandai dengan
perubahan pengembangan strategi pemenuhan ekonomi dalam negeri. Sebelum
terjadi masa boom minyak strategi yang dikembangkan oleh pemerintah Orde
Baru menggariskan penekanan pada substansi dari pengembangan strategi industri
13
substitusi impor sehingga pasca terjadinya boom minyak secara gradual
pemerintah Orde Baru harus merubah strategi industri dengan orientasi pada
eksport
Berdasar kenyataan dan sebagai implikasi dari pola perubahan strategi
dan kebijakan adalah keharusan dalam mempersiapkan suatu angkatan kerja yang
berdisiplin ilmu tinggi (patuh), Richard Robinson dalam Ruth Mc Vey (1998:
114) memberikan penilaian bahwa adanya indikasi dari pola kebijakan
perekonomian internasional tersebut telah mendorong pemerintah masa Orde Baru
untuk melakukan langkah-langkah dalam mendorong investasi modal baik modal
yang berasal dari dalam negeri maupun modal yang berasal dari investor asing.
Langkah-langkah berupa pengkondisian stabilitas perekonomian dan politik, serta
melakukan penekanan dalam biaya produksi dari berbagai komoditas di bidang
produksi manufaktur agar bisa bersaing pada tingkat pasar internasional.
Perubahan deregulasi perdagangan dan keuangan yang berguna untuk
menciptakan iklim investasi telah menyebabkan membanjirnya investor swasta
yang menanamkan investasi yang semula masuk dalam wilayah lain, yang
sebelumnya telah dimonopoli.
Kurun waktu telah terjadi perubahan yang masif terhadap situasi dalam
negeri. Situasi dalam negeri, khususnya mengenai pola politik perburuhan yang
berkembang pada periode tahun 1978-1982 telah banyak diwarnai dengan
berbagai gerakan pemogokan. Gerakan pemogokan terjadi karena adanya
kepentingan antara buruh dan majikan tersebut tidak bisa terselesaikan secara
damai dan sebagai senjata terakhir adalah pemogokan
Sebagian besar tuntutan yang selalu dilontarkan dalam setiap aksi pemogokan
oleh buruh adalah soal upah serta jaminan sosial (tunjangan transport, tunujangan
makan, premi, tunjangan hari raya serta bonus). Sebagian lagi menuntut
14
kebebasan membentuk serikat buruh, serta memprotes tindakan majikan
(employer) yang sewenang-wenang
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kepala Satuan Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamptib), Laksamana Sudomo yang mengakui
bahwa “penyebab utama pemogokan buruh yang terjadi adalah masalah
pengupahan (71%), sisanya masalah THR, pembentukan serikat buruh, pemecatan
(pemutusan hubungan kerja atau PHK), dan lain-lain”.
Kondisi upah buruh pada pasca kondisi dari kejatuhan harga minyak dunia
berdampak pada pengupahan yang memprihatinkan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Union Bank Switzherland (1979) memperlihatkan bahwa dari 45
kota besar diseluruh dunia, tingkat upah dan daya beli di Jakarta yang terendah
bahkan lebih rendah di banding Bangkok dan ManilaRendahnya upah buruh ini
semakin memperlihatkan penurunan yang signifikan dengan kenaikan harga
barang-barang kebutuhan pokok akibat adanya pengurangan subsidi Bahan Bakar
Minyak dan bahan pangan serta terjadinya beberapa kali devaluasi rupiah. Inflasi
sebesar 65,97% yang terjadi pada sekitar tahun 1979-1983 menyebabkan
terjadinya penurunan upah riil buruh sebesar 80% atau rata-rata turun 20%
setahun
Meningkatnya frekuensi tuntutan pembentukan berbagai basis serikat buruh
sampai pada terjadinya pemogokan sebagai suatu wujud dan ungkapan solidaritas
buruh terhadap buruh lain yang dipecat karena dianggap sebagai pelopor
terjadinya pemogokan. Hal ini sesungguhnya menunjukkan adanya kesadaran
dalam hal perlunya organisasi demi memperjuangkan kepentingan buruh, tanpa
melalui organisasi buruh lama yang telah terbagi ke dalam pilar-pilar aliran
politik. Perpecahan kaum buruh terjadi semenjak terbelahnya Barisan Buruh
Indonesia (BBI) pada 7 November 1945, dimana BBI pada saat itu terbelah ke
15
dalam faksi-faksi yang cenderung kepada politik dan kelompok yang berkeras
mempertahankan serikat buruh sebagai gerakan sosial
Kesadaran dan kebutuhan akan organisasi telah dimulai sejak lahirnya serikat-
serikat buruh kiri dan serikat pekerja kanan. Serikat Sebagai basis dukungan
massa, terlihat perangkat Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan/ Federasi Buruh
Seluruh Indonesia (SBLP/FBSI) masih sangat diperlukan bergerak di tingkatan
grass root (pabrik), karena sebagian akar yang lalu merupakan milik organisasi
buruh yang ada sebelum terbentuknya FBSI. Sehingga FBSI akan sangat
bermanfaat membantu berdirinya berbagai basis serikat buruh pada tingkat pabrik,
tetapi hal tersebut tidak terjadi.
Pembentukan serikat buruh ternyata menunjukkan terjadinya pro dan kontra
pada realitas masyarakat. Sebab utama dari adanya pro dan kontra tersebut adalah
adanya penolakan/ campur tangan majikan dalam. Bagi buruh yang mempelopori
pembentukan organisasi buruh harus menanggung resiko dipecat atau diputus
hubungan kerja. Pemecatan atau putus hubungan kerja ini sangat bertentangan
dengan pasal 2 Undang-undang No.18 tahun 1956 yang secara tegas melarang
terjadinya campur tangan majikan dalam serikat buruh, baik dalam pembentukan,
cara kerja maupun cara mengurus organisasi.
Pembentukan satu-satunya organisasi buruh (FBSI) pada tanggal 11 Maret
1974 memungkinkan terjadinya pembatasan terbentuknya serikat atau organisasi
buruh lain di luar FBSI. Hal ini didukung pula oleh pemerintah dengan
menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi N0. 01/ 1975 Tetang Pendaftaran Organisasi Buruh, yang sekaligus
mencabut Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 90/1955 tentang Pendaftaran
Serikat Buruh. Sehingga Serikat Buruh semenjak tahun 1975 yang dianggap sah
secara administratif dan yuridis adalah FBSI dan 21 SBLP-
16
17