pertusis

35
Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL KLINIK Fakultas Kedokteran2 Universitas Mulawarman PERTUSIS oleh: ABD. Rahim (1010015017) Pembimbing: dr. William S Tseng, Sp.A Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Upload: bobby-faisyal-rakhman

Post on 11-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

anak

TRANSCRIPT

Page 1: pertusis

Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL KLINIK

Fakultas Kedokteran2

Universitas Mulawarman

PERTUSIS

oleh:

ABD. Rahim (1010015017)

Pembimbing:

dr. William S Tseng, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

2015

Page 2: pertusis

Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL KLINIK

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

PERTUSIS

oleh:

ABD. Rahim (1010015017)

Pembimbing:

dr. William S Tseng, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikPada Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

2015

Page 3: pertusis

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu

penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-

an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis.

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak

kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih

mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau

anak yang belum diimunisasi.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang

bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara

maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat

ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis

diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan.

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang

lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan

cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih

lanjut.

Page 4: pertusis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali

menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai

dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak

berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau

batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat

menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang

dewasa dengan kekebalan yang menurun.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada

anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000

kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak

diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka

mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.

B. Angka Kejadian

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada

60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama

masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari

penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan

juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang

dari 5 tahun.

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun.

Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.

Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis

dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun,

Page 5: pertusis

umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena

lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1. Namun berdasarkan

(Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama

sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang

dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%.

Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi

sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh

karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak

didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat

infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas,

dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1976.

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk

mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat

ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah

diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan

pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa

reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih

tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,

adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus

gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu

bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan

batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.

Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan

tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.

Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan

kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari

Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii,

Page 6: pertusis

dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling

umum ditemukan pada manusia .

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi

pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin

klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang

mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan

serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah

spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.

B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak

sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca

penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama

FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin

(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat

pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase

diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala

pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.

TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas

histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan

manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang

percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa

memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis.

D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya

timbul penyakit sistemik.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/

Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis

Page 7: pertusis

pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi

dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh

karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella

pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang

dikenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena

pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit

B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A

yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi

limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur

sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan

pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan

meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus).

Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan

kolaps paru.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi

pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan

pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung

toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan

infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

E. Gejala Klinis

Page 8: pertusis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu

7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan

saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.

Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan:

1. Tahap Kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,

ciri-cirinya menyerupai flu ringan :

Bersin-bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi

sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-

15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk

bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh

bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).

Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.

Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat

sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi

dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.

3. Tahap Konvalesen

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk

semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.

Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran

pernafasan.

F. Diagnosis

Page 9: pertusis

1. Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala

klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit

dahulu, dan riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari

stadium saat pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 /

UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama

stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk

diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat

diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium

paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu

berikutnya.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk

menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat

dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai

serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik

disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang

paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak

setelah pertussis.

4. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,

atelektasis atau emfisema.

Page 10: pertusis

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,

pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang

menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.

Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya

mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi

B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis

B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.

G. Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati

keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat,

dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk

menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada

puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada

riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk

kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72

jam.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,

pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh

personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian

makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.

Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut

lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi,

atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak

atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan

sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-

faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat

diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada

Page 11: pertusis

bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau

medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut :

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau

diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran

infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi

empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.

Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat

juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan

dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24

jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis

40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan

organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,

Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi

pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul

daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-

satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup

pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol).

Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu

penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol

memicu paroksismal.

3. Kortikosteroid

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan

untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis.

Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada

Page 12: pertusis

manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi

pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

H. Pencegahan

1. Imunisasi aktif :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang

seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan

toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat

prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2

minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin

diimunisasi.

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama

adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai

sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis

monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara

orang dewasa yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum

seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering

terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,

hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam

dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada

saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit

panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat

kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome

(SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi

untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis

berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang

demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3

jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam

Page 13: pertusis

2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul

anafilaksis.

2. Kontak dengan penderita :

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru

lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi

dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang

telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.

Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi

B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum

mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah

kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin

diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7

hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi

epidemi.

I. Komplikasi

1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.

2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-

anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder

(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).

3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.

4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang

kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.

5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.

6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema

interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan

menetap.

7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.

Page 14: pertusis

8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat

menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,

perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia

inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.

9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia

serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang

dapat disebabkan oleh temperatur tinggi.

10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome

of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).

J. Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.

Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA.

Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat

berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk

sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia

atau komplikasi paru-paru lain.

Page 15: pertusis

BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : An. A

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 8 bulan

Alamat : Separi 3 Buana Jaya RT 5

Anak ke : 2 dari 2 bersaudara

MRS A. W Sjahranie : Tanggal 8 Februari 2015

Identitas Orang Tua

• Nama Ayah Kandung : Suwito

• Umur : 34 th

• Alamat : Separi 3 Buana Jaya RT 5

• Pekerjaan : Swasta

• Pendidikan Terakhir : SMA

• Golongan darah : -

• Ayah perkawinan ke : 1

• Nama Ibu : Umi

• Umur : 27 th

• Alamat : Separi 3 Buana Jaya RT 5

• Pekerjaan : IRT

• Pendidikan Terakhir : SMP

• Golongan darah : -

• Ibu perkawinan ke : 1

Page 16: pertusis

Anamnesa

Anamnesa dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 9 Februari 2015

dengan ibu kandung pasien.

Keluhan Utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien masuk dari IGD pada tanggal 8 februari 2015 jam 4 sore dengan

keluhan demam. Demam dirasakan sudah 4 hari sebelum masuk rumah sakit, sifatnya

hilang timbul. Demam reda saat diberikan paracetamol namun setelah iti demam

kembali naik. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk, batuk dirasakan lama dan terus

menerus, lebih sering pada sore hingga malam hari, sekali periode batuk dapat sampai

8-12 kali, seperti menggonggong, dan diselingi tarikan napas yang panjang setelah

batuk seperti tersedak dan suara hilang. Saat batuk, lidah pasien sampai keluar, mata

berair dan kepala sampai berubah menjadi merah di sertai muntah-muntah setelah

batuk selesai. Batuk ini sudah dirasakan 4 hari semenjak demam pertama kali. Pasien

juga mengeluhkan pilek kurang lebih 4 hari ini, nafsu makan juga menurun, dan

pasien susah tidur karena terganggu oleh batuk. Kejang (-), Biru (-), sesak nafas (-),

mimisan (-), gusi berdarah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya. Riwayat alergi (-),

riwayat trauma (-), riwayat kejang (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluhan serupa di keluarga. Hanya kakak pasien yang menderita

batuk pilek, namun sekarang sudah berkurang.

Riwayat Saudara-Saudaranya :

Hamil

ke

Kondisi

saat Lahir

Jenis

PersalinanUsia

Sehat/

Tidak

Umur

Meninggal

Sebab

Meninggal

Page 17: pertusis

1 Aterm Spontan 7,5 tahun sehat

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :

Berat badan lahir : 3300 gr

Panjang badan lahir : ibu lupa

Berat badan sekarang : 7,1 kg (saat masuk RS)

Tinggi badan sekarang : 73 cm

Gigi keluar : -

Tersenyum : 3 bulan

Miring : 3 bulan

Tengkurap : 3 bulan

Duduk : 8 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : -

Berjalan : -

Berbicara 2 suku kata : 8 bulan

Masuk TK : -

Sekarang kelas : -

Makan Minum anak :

ASI : 0 bulan – sekarang

Dihentikan : -

Susu sapi/buatan : susu sapi dari lahir hingga sekarang takaran 2 sendok

Buah : mengkonsumsi buah mangga mulai usia 8 bulan

Bubur susu : mulai usia 5 bulan

Tim saring : mulai usia 4 bulan

Makanan padat, lauknya : -

Pemeliharaan Prenatal

Periksa di : Bidan

Page 18: pertusis

Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin dan tablet zat besi

Riwayat Kelahiran :

Lahir : ditolong oleh : bidan

Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan

Jenis partus : spontan, langsung menangis

Pemeliharaan postnatal :

Periksa di : Posyandu

Keadaan anak : sehat

Keluarga berencana : Ya, metode suntikan 3 bulan

IMUNISASI

Imunisasi Usia saat imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

Polio + + + + - -

Campak - - //////////// //////////// //////////// ////////////

DPT + + + //////////// - -

Hepatitis B + + + ////////// - -

PEMERIKSAAN FISIK

(Dilakukan pada tanggal 8 Februari 2015)

Kesan umum : sakit sedang

Kesadaran : E4M6V5

Tanda Vital

Frekuensi nadi : 124x/menit, regular, kuat angkat

Frekuensi napas : 45x/menit, ireguler

Temperatur : 37,30C

Berat badan : 7,1 kg

Page 19: pertusis

Panjang Badan : 62 cm

Status Gizi : gizi baik

Kepala

Rambut : Hitam

Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks

Cahaya (+/+), Pupil: Isokor (3mm/3mm).

Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)

Telinga : Bersih, Sekret (-)

Mulut : Lidah bersih, faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah,

pembesaran Tonsil (-/-)

Leher

Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB (-)

Thoraks

Pulmo

Page 20: pertusis

Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi ICS (-)

Palpasi : Fremitus raba dekstra sama dengan sinistra

Perkusi : Sonor di semua lapangan paru

Auskultasi : bronkovesikuler, Ronki (+/+), wheezing (-/-)

Cor:

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V MCL sinistra, thrill (-)

Perkusi : Batas jantung

Kanan : ICS III, 3 cm dari right parasternal line

Kiri : ICS V left midclavicular line

Auskultasi : S1S2 tunggal egular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Tampak datar

Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit baik.

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia : Dalam batas normal

Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), uji tourniquet (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah saat pasien masuk tanggal 8 Februari 2010

Hemoglobin : 10,3 gr/dl

Leukosit : 17800 /mm3

Limfosit : 8800 | 49,4%

Granulosit : 7800 | 44,1%

Hematokrit : 30,5 %

Trombosit : 269000/mm3

GDS : 90 mg/dl

Page 21: pertusis

Natrium : 136 mmol/L

Kalium : 4,8 mmol/L

Clorida : 105 mmol/L

Diagnosis IGD : Suspek Thifoid Fever + Dehidrasi Ringan Sedang +

Observasi vomit

Diagnosa ruangan : Pertussis

PENATALAKSANAAN :

- Injeksi cefotaxim 3 x 130 mg

- Zinkid 1x1 tablet

- Paracetamol sirup 3x ¾ cth

- Eritromicin 4x80mg

Prognosa : Dubia at bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Page 22: pertusis

Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,

merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang

yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan

kekebalan yang menurun. Pada kasus ini pasien berumur 8 bulan menderita batuk

yang intensif yang didahului dengan demam 5 hari terakhir ini, batuk dirasakan terus

menerus dan lama lebih sering terjadi pada sore dan malam hari, sekali periode

sekitar 8-12 kali kemudian berhenti dengan muntah, mata berair, kepala kemerahan.

Tedapat tarikan nafas yang panjang seperti tersedak dan suara nafas hilang, nafsu

makan pasien juga berkurang. Berdasarkan teori pasien masih dalam fase kataral

dimana mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-

cirinya menyerupai flu ringan :

Bersin-bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi

sepanjang hari)

Penyebab dari pasein terkena gejala ini dimungkinkan karena beberapa hal seperti :

- Tertular oleh kakak pasien secara droplet yang menderita batuk pilek,

mungkin saja mengandung Bordetella Pertusis

- Imunisasi DPT yang tidak adekuat

Pada pemeriksaan laboratorium pada stadium ini didapatkan peningkatan

leukosit mencapai 17800/uL dimana kadar limfosit ikut meningkat sebesar 8800/uL

atau 49,4%, sesuai dengan teori bahwa pada pemeriksaan labratorium pertusis

didapatkan leukositosis tetapi angkanya sekitar 20,000-50,000 / UI dengan

limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal.

Page 23: pertusis

Untuk lebih meguatkan diagnosis dapat dilakukan Isolasi B.pertussis dari

secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis dengan harapan

didapatkan pada stadium kataral 95-100%. Dapat juga dilakukan Tes serologi untuk

menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai

untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM

FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau

vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk

mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis.

Untuk terapi pada pasien ini secara simptomatis diberikan zinkid 1x1 tablet

untuk mengurangi BAB cari pada pasien dan diberikan maintenance cairan untuk

mengganti cairan selama BAB cair. Antibiotic yang digunakan selama diruangan

adalah eritromicin dosis 4x80 mg dan cefotaxim 3x150 mg. berdasaran teori bahwa

untuk penatalaksanaan pertussis dapat diberikan Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam,

secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari

merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi

etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang

diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60

mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan

dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme

pada 98% anak. Salbutamol Efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja

pada reseptor Beta 2 adrenergik stimulant yang dapat Mengurangi paroksimal khas,

Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop, Mengurangi frekuensi apneu.

Page 24: pertusis

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention. Preventing tetanus, diphtheria

and pertussis among adolescents: use of tetanus and diphtheria toxoids and

acellular pertussis vaccines. Recommendations of the Advisory Committee on

Immunization Practices (ACIP). MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2006; In

press

2. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-

infective therapy 8 (2): 163–73.

3. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :

EGC. 181: 960-965.

4. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Pertusis.Dalam: Buku

Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI. 2010

5. WHO. (2009). Buku Saku Pedoman Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia