perspektif hizbut tahrir tentang hubungan antar...
TRANSCRIPT
PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR TENTANG
HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
ATI PUSPITA
1111032100055
JURUSAN STUDI AGAMA - AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H. / 2017 M.
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Skripsi yang berjudul “Perspektif Hizbut Tahrir tentang Hubungan
antar Umat Beragama” ini merupakan hasil karya asli saya yang
diajukan untuk memenuhi salah-satu persyaratan memperoleh gelar
Strata I (S.Ag) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta. 20 September 2017
Ati Puspita
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR TENTANG
HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ati Puspita
NIM: 1111032100055
Di bawah bimbingan,
Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA
NIP: 19471019 197703 1 002
JURUSAN STUDI AGAMA - AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H. / 2017 M.
v
ABSTRAK
ATI PUSPITA
Perspektif Hizbut Tahrir tentang Hubungan antar Umat Beragama
Hizbut Tahrir sudah menjadi materi pembahasan oleh para cendekiawan
Muslim dari pertama Hizbut Tahrir muncul sebagai gerakan partai politik
berideologi islam. Hizbut Tahrir berusaha mewujudkan satu-satunya sistem
pemerintahan bagi umat Muslim di seluruh dunia. Maka tidak heran, ide
transnasional (menyatukan negara-negara kecil menjadi satu negara besar) seperti
ini bukan tidak mungkin memunculkan respon balik dari berbagai negara yang
sudah berdiri dan berjalan dengan sistemnya tersendiri.
Teknik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data dalam penyusunan
karya akademik ini adalah “library research” (studi kepustakaan). Metodelogi ini
berupaya mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas, melalui berbagai literatur baik sumber primer maupun sekunder. Sumber
primer diantaranya yaitu yang termuat dalam karya pendiri Hizbut Tahrir yaitu
Taqiyuddin an Nabhani dan sumber-sumber sekunder yaitu buku-buku yang
membahas tentang pemikiran Hizbut Tahrir secara netral dan mendalam.
Sedangkan metode yang diterapkan dalam penulisan ini adalah deskriptif dan
analitis kritis.
Membahas konsep Hizbut Tahrir tentang hubungan antar umat beragama
dapat menambah cakrawala pengetahuan mengetahui sisi lain Hizbut Tahrir
melintas dimensi pembahasan yang biasa. Tentang hal ini maka sedikit banyak
terkait dengan hubungan umat beragama yang penulis cermati, yang akan mereka
terapkan di dalam konsep Daulah Khilafah. Hubungan umat beragama yang
menurut Hizbut tahrir sudah ideal dan sesuai dengan syariat Islam dengan prinsip
lakum dinukum waliyadin. Walaupun pada akhirnya di dalam konsep hubungan
yang baik itu sendiri Hizbut Tahrir memiliki kecenderungan untuk membedakan
manusia menurut agama mereka. Hubungan yang menghendaki Hizbut Tahrir
berbuat adil sesuai aturan syariat, dan memposisikan non-Muslim sebagai pihak
terlindung sekaligus dimusuhi dengan ketentuan tertentu.
Kata kunci : hubungan, agama, khilafah islamiyah, non-Muslim.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah Swt. atas karunia dan kasih sayang yang diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Perspektif Hizbut Tahrir
tentang Hubungan antar Umat Beragama”. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada baginda agung Muhammad Saw., begitu juga
kepada para keluarga dan sahabat.
Bagi penulis, skripsi ini merupakan hasil karya yang menandai sebuah
perjalanan menuju gerbang kelulusan sebagai S.Ag (Sarjana Agama). Hal tersebut
tentu saja dapat diraih berkat dukungan, do’a dan bimbingan dari berbagai pihak.
Maka izinkankah melalui serangkaian kata-kata, penulis mendedikasikan rasa
terima kasih kepada berbagai pihak yang membuat perjalanan penulis menjadi
bermakna dan tak terlupakan.
1. Terima kasih untuk Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA. Seorang pembimbing
tangguh di tengah masa tua beliau telah banyak meluangkan waktu dan tenaga
untuk memberikan bimbingan kepada penulis dengan kesabaran yang luar
biasa. Beliau juga selalu memberi semangat dan motivasi penulis untuk segera
menyelesaikan kuliah dan mengharapkan muridnya lulus dengan baik serta
menjadi manusia yang bermanfaat di kemudian hari. Penulis haturkan, terima
kasih tak terhingga dari hati yang terdalam.
2. Untuk Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
vii
3. Untuk Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Dra. Halimah Mahmudy, MA., selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Studi Agama-agama yang selalu terbuka, gesit
dan ramah menyambut kami para mahasiswa yang datang dan memiliki
keperluan macam-macam dengan jurusan tercinta.
4. Untuk seluruh jajaran guru besar dan dosen Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Untuk ibu tercinta Ijah Katijah, yang senantiasa memberikan cinta, do’a,
motivasi, dan semangat tidak terbatas. Terima kasih untuk semua hal yang
diberikan tanpa pamrih, semoga Allah Swt. selalu merahmati ibu. Juga kepada
almarhum bapak, semoga damai, tenang dan bahagia di surga.
6. Untuk suami Iwan Yuliawan yang selalu memberikan dukungan kepada
penulis agar selalu semangat “menyicil” tugas akhir ini. Dan seluruh cinta
penulis sampaikan pada buah hati Syarifa Sayyidati Maryam, bagaimanapun
repotnya perasaan penulis untuk membagi waktu saat menjadi seorang ibu
rumah tangga sambil menyelesaikan tugas akhir kuliah, “Rifa tetaplah
pemberi spirit hidup yang tak pernah bisa mamah temukan di belahan dunia
manapun”.
7. Untuk para saudari kandung penulis Apriliany Safitri, Ria Ariyani, Sarah
Sartika, dan Dhiyaa Dzakwan atas dukungan yang tak pernah putus. Dan
terima kasih untuk si bungsu yang air mata idul fitri-nya selalu diingat penulis
supaya kakaknya dapat segera lulus. Atas hal itu penulis ingin segera lulus dan
viii
menjadi sarjana pertama di keluarga yang bisa memotivasi adik-adik agar
kelak dapat berada di titik yang sama.
8. Untuk Anniesa Fachraddiena, Mylinda, Noviah, Hizkiel, Arief, Hodari,
Muhyidin, Erik, Mila, Ratna, Anisa Rizki Amalia, Khemas, Robi, Fahad, Mail
dan adik-adik kelas yang selalu saling menyemangati juga sewaktu-waktu
menemani penulis di kampus untuk melepas penat dengan tertawa bersama,
sehingga segala kecemasan penulis hilang dengan bertemu kalian.
9. Tentu saja, terima kasih kepada teman-teman angkatan 2011 dengan semua
hal dan kisah-kisah terukir di dalamnya. I love you.
The last but not the least, semua tulisan yang ada di dalam skripsi ini
adalah tanggung jawab penulis. Bagi semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini penulis ucapkan terima kasih.
Jakarta, 25 September 2017
Ati Puspita
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 6
E. Kerangka Teori ...................................................................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................................ 10
G. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 10
BAB II KONSEP KHILAFAH DALAM HIZBUT TAHRIR ........................ 13
A. Konsep Khilafah dalam Al Qur’an ...................................................... 13
B. Konsep Khilafah dalam Al Hadist dan Pemikiran Ulama ................... 14
BAB III PELAKSANAAN KONSEP KHILAFAH .......................................... 20
A. Pelaksanaan Khilafah terhadap Umat Muslim ..................................... 20
B. Pelaksanaan Khilafah terhadap Umat non-Muslim.............................. 22
C. Pelaksanaan Khilafah terhadap Konsep Negara .................................. 30
D. Pelaksanaan Khilafah terhadap Konsep Hubungan Sosial .................. 34
E. Kedudukan Paham Khilafah dalam Pandangan Pemerintah ................ 35
BAB IV PENGERTIAN DAN IMPLEMENTASI HUBUNGAN ANTAR
UMAT BERAGAMA ....................................................................... 43
A. Pengertian Hubungan Umat Beragama ................................................ 43
B. Hubungan Umat Beragama menurut Hizbut Tahrir ............................. 45
a. Toleransi dalam Hal Pergaulan ...................................................... 47
b. Toleransi dalam Hal Perkawinan ................................................... 49
c. Toleransi dalam Hal Kepemimpinan ............................................. 52
x
d. Toleransi dalam Hal Perayaan Hari Besar Keagamaan ................. 54
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 56
A. Kesimpulan ................................................................................................ 56
B. Saran ........................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Di pentas sejarah, Islam memancar sebagai agama yang diturunkan pada
era akhir zaman guna mengatasi berbagai problem manusia, yaitu sebagai agama
yang menawarkan jalan kebahagiaan bagi individu dan masyarakat yang
pengaruhnya melampaui kehidupan duniawi yang fana.1
Dinamika kehidupan organisasi Islam Hizbut Tahrir Indonesia menarik
untuk dikaji karena fokus organisasi Islam ini salah satunya berkenaan dengan
peranan mereka yang mengagendakan Islam sebagai ideologi utama dalam hal
apapun. Walaupun tidak jarang, dalam perjalanannya untuk menyebar luaskankan
ideologi tersebut menimbulkan pertentangan antara hubungannya dengan negara
atau pandangan terhadap agama lainnya.
Dewasa ini, keberadaan Hizbut Tahrir menambah jumlah deretan
organisasi masyarakat yang bersuara untuk menjunjung revivalisme Islam
(Kebangkitan Islam dari keterpurukan, yang menilai dari berbagai fakta
ketidakadilan yang telah terjadi dan penyebabnya ditujukan pada sistem negara
yang mengatur masyarakat). Hizbut Tahrir hadir dengan membawa ideologi Islam
yang terus didengungkan yaitu Khilafah.
Khilafah sendiri, berasal dari kata khalafa. Thahawiy mengatakan
“Khilafah merupakan refleksi dari kepemimpinan Daulah Islamiyah yang
1 Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar (Jakarta: Nur Al-Huda,
2015), h. 15.
2
melaksanakan konstitusi Islam di wilayah tertentu, di antara pandangan-
pandangan politik yang ada.” 2
Kemunculan Hizbut Tahrir memunculkan reaksi pro dan kontra. Sebuah
keniscayaan yang akan terjadi ketika hal baru muncul di permukaan dan mulai
diperhatikan. Bagi mereka yang pro khilafah, menyetujui khilafah sebagai solusi
kehidupan dan yang kontra yaitu mereka yang tidak menyetujui khilafah sebagai
sistem penyeluruh umat, mengingat negara khususnya Indonesia adalah bukan
negara agama dan atau negara satu agama, melainkan negara bhineka tunggal ika
(yang berbeda-beda, namun tetap satu).
Gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia yang santun dan menggunakan
cara-cara damai, terlihat kontradiksi dengan doktrin dan ideologi ekstrim yang
mereka jadikan acuan. Dibandingkan gerakan Islam lainnya, aksi-aksi politik
yang dipraktikan di Indonesia bersifat moderat. Hal inilah yang mungkin menjadi
salah satu daya tarik para aktifis Muslim untuk bergabung ke dalam organisasi
yang didirikan Taqiyuddin an Nabhani ini. Aksi persuasif dan damai Hizbut
Tahrir Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk “rasionalisasi” ideologi Hizbut
Tahrir yang menjadi lebih lunak dalam implementasinya. Namun, bisa juga dilihat
sebagai strategi politik sebelum “saat yang menentukan” tiba.3
2 Syamsuddin Ramadlan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah (Jakarta: Pustaka
Panji Mas, 2003), h. 1. 3 Muhammad Zaki Mubarak, “Muslim Utopia-Gerakan dan Pemikiran Politik HTI Pasca
Reformasi.” Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. IX No. 1 tahun 2007 (Jakarta : UIN
Jakarta, 2007), h. 31.
3
Di lingkungan penulis, daerah Sumedang-Provinsi Jawa Barat, yang telah
terlihat banyaknya pengaruh Hizbut Tahrir di berbagai media, baik melalui cara
dakwah langsung atau tidak langsung yang kian banyak.
Dalam hubungan terhadap agama lain, Hizbut Tahrir memiliki
kekhawatiran besar tentang hubungan antar umat beragama. Hizbut Tahrir
mengkhawatirkan akibat apabila sinkretisme dan pluralism akan terjadi
pemurtadan, pernikahan beda agama dan hal lain juga akan semakin mulus
berjalan. Lebih jauh lagi, semangat Hizbut Tahrir untuk memperjuangkan syariat
Islam agar dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat akan melemah.
Spirit sinkretisme diartikan Hizbut Tahrir sebagai usaha mengkompromikan hal-
hal yang bertentangan, juga tentang keikutsertaan masyarakat Muslim dalam
perayaan Hari Raya Besar Agama lain, dinilai Hizbut Tahrir sebagai toleransi
yang melewati batas. Contohnya seperti memberikan selamat, menghadiri hari
raya non-Muslim, membolehkan Muslimah menikah dengan non-Muslim. Juga
diiringi dengan kecurigaan Hizbut Tahrir bahwa toleransi saat ini dijadikan
sebagai “senjata” oleh kalangan liberal dan non-Muslim untuk menyasar Islam
dan umatnya. Dengan menukil dalil sebagai berikut:
“Sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar
mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka
melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut
kesepakatan ahli ilmu.”
(Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, I/235).4
Menjalin hubungan yang baik dinilai bukan berarti menerima keyakinan
yang bertentangan dengan Islam. Allah Swt. berfirman:
4 “Toleran yang kebablasan,” tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/17/toleran-
yang-kebablasan/; diunduh pada 5 Mei 2017.
4
“Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun [109]: 6).
“Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul Kami dengan
membawa mukjizat-mukjizat yang gamblang. Dan telah Kami turunkan
pula kitab-kitab syariah dan keadilan bersama mereka, agar masyarakat
manusia dapat berdiri seutuhnya. Oleh sebab itu, Kami telah menciptakan
besi untuk dijadikan alat senjata yang hebat, juga untuk keperluan lainnya
bagi kehidupan manusia, supaya Allah mengetahui siapa yang telah
membantu-Nya menegakkan Agama Allah dengan mengganyang musuh
musuh-Nya dan sekaligus membantu Rasul-rasul-Nya sekalipun mereka
telah tiada.”
(QS. Al Hadid [57]: 25)5
Hizbut Tahrir terdapat melarang siapa saja yang menjadikan orang-orang
kafir sebagai wali/penolong. Namun, ada satu kondisi yang dikecualikan dari
larangan tegas tersebut, yaitu menghindar dari gangguan mereka. Maka, dalam
kondisi tersebut diperbolehkan menampakkan loyalitas pada orang kafir demi
untuk menghindari tindakannya yang menyakitkan/membahayakan. Hal ini jika
orang Muslim berada dalam kekuasaan orang kafir dan berada pada posisi yang
lemah. Artinya, rasa takut kepada orang kafir, memperbolehkan orang Muslim
untuk bersikap loyal terhadap orang kafir. Namun, ketika rasa takut hilang, maka
hukum loyal kembali menjadi haram. Dengan begitu, titik persoalannya adalah
5 Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat.
(Bandung: Mizan, 1993), h. 195.
5
mengecualikan situasi ketakutan orang Muslim atas tindakan kasar orang kafir
ketika ia berada dalam posisi yang lemah.6
Hubungan beragama antara Muslim dengan non-Muslim inilah yang akan
lebih jauh lagi dibahas dalam skripsi ini. Pembahasan tersebut telah menarik hati
penulis untuk lebih jauh melakukan penelitian mengenai perspektif Hizbut Tahrir
tentang hubungan antar umat agama.
Begitulah, seperti yang diuraikan di atas tentang sejarah Hizbut Tahrir
juga konsep khilafah pada non-Muslim beserta kekhawatiran-kekhawatirannya.
Sejarah yang terjadi di Indonesia disertakan penulis agar berfungsi untuk
mengingat kembali hubungan agama dan negara ini yang begitu kompleks. Dan
ketika kita berbicara tentang hubungan antar agama menurut Hizbut Tahrir, yang
akan menjadi kata kuncinya yaitu “khilafah” itu sendiri. Karena bagaimanapun
konsep khilafah adalah pokok ideologi Hizbut Tahrir yang mengkonsepkan
segalanya tentang pemikiran – pemikiran Hizbut Tahrir.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini berusaha untuk
menjawab beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimanakah hubungan antar agama yang ideal dalam pandangan Hizbut
Tahrir?
2. Bagaimana kedudukan, hak dan kewajiban seseorang yang hidup di Darul
Islam atau Darul Kufur menurut Hizbut Tahrir?
6 Taqiyyudin an Nabhani, Kepribadian Islam (Jakarta Selatan: HTI Press, 2011) h. 422.
6
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini untuk memperkuat keyakinan beragama
dalam memahami problematika kehidupan dengan pemikiran Hizbut Tahrir
tentang hubungan antar umat beragama, dan untuk menambah khazanah
pemikiran pemahaman agama bagi masyarakat umum.
Adapun beberapa tujuan penelitian yang telah penulis susun yaitu:
1. Mengidentifikasi lebih jauh tentang pemikiran Hizbut Tahrir tentang hubungan
antar umat beragama.
2. Mengetahui perspektif Hizbut Tahrir terhadap agama-agama lain.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Pembahasan tentang hubungan antar umat beragama bukanlah merupakan
suatu hal yang baru, melainkan telah ada beberapa peneliti yang membahas
tentang hal ini. Karya penulis ini hanyalah sebagian kecil saja di antara para
peneliti yang sudah terlebih dahulu menganalisa Hizbut Tahrir.
Kajian yang mengulas tentang hubungan antar umat beragama dalam perspektif
Hizbut Tahrir dibahas oleh:
1. Taqiyuddin Nabhani dalam karyanya yang berjudul Sistem Pemerintahan
Islam (Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik).
2. Salim Azzam dalam karyanya yang berjudul “Beberapa Pandangan Tentang
Pemerintahan Islam”.
7
3. Roy Mardi Pamenang dalam skripsinya yang berjudul Konsep Khilafah Hizbut
Tahrir.
4. Haedar Nashir dalam karyanya yang berjudul Gerakan Islam Syariat:
Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.
Dilihat dari objeknya, penelitian ini bukan sesuatu hal yang baru.
Penelitian yang mempunyai korelasi dan menjadi sumber rujukan dengan yang
penulis bahas saat ini, yaitu:
1. Mundhir dengan judul “Khilafah Islamiyah dan Hak-hak Minoritas Perspektif
Hizbut Tahrir”.
E. KERANGKA TEORI
Dalam menganalisa Hizbut Tahrir, penulis menggunakan perspektif teori-
teori di bawah ini:
1. Gerakan Sosial
Kata “gerakan” menunjukkan orang yang tengah bergerak menolak
tatanan yang ada dan mencari tatanan yang baru. Kata movement dalam bahasa
Inggris itu berasal dari kata kerja Prancis lama “movoir”, yang berarti bergerak,
mengobarkan, atau mendorong. Sedangkan menurut kamus Oxford, istilah
“gerakan” menunjukkan serangkaian aksi dan usaha seseorang untuk
mendapatkan sebuah tujuan khusus.7
7 A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, sixth edition
(Ttp.: Oxford University Press: 2000), h. 832-834.
8
Karakteristik dan tipe gerakan sosial paling tidak memiliki lima
karakteristik8, yaitu:
1. Gerakan yang melibatkan sebagian besar individu yang berusaha
memprotes suatu keadaan. Agar dapat dikategorikan sebagai gerakan,
usaha sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dasar dari suatu
organisasi.
2. Gerakan harus mempunyai skop yang relatif luas. Gerakan tersebut
mungkin berawal dari skop yang kecil, tetapi akhirnya harus mampu
memengaruhi sebagian warga masyarakat.
3. Gerakan tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk
mencapai tujuannya. Taktik-taktik bervariasi dari yang sifatnya tidak
menggunakan kekerasan sampai dengan menggunakan kekerasan.
4. Gerakan tersebut walau didukung oleh individu-individu tertentu, namun
tujuan akhir gerakan adalah mengubah kondisi yang ada pada masyarakat.
5. Gerakan merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk
mengadakan perubahan dan bagi mereka yang terlibat di dalamnya
mungkin tidak menyadari segala tindakannya tetapi mereka tetap
mengetahui tujuan utama dari gerakan tersebut.
2. Sosiologis
Pendekatan ini penulis lakukan untuk mengetahui interelasi antara agama
dengan masyarakat serta interaksinya dengan masyarakat sosial.
3. Toleransi
8 Haryanto, Gerakan Sosial Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 3.
9
Secara harfiah, toleransi adalah sikap menenggang (menghargai,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan) kepercayaan dan lain
sebagainya.9
4. Agama
Emile Durkheim menganggap bahwa agama dipandang sebagai satu
sistem yang terintegrasi antara kepercayaan dan praktik suci. Kepercayaan dan
praktik suci mempersatukan individu dalam satu komunitas yang disebut umat
beragama. Agama bertujuan menciptakan hubungan yang harmonis antara sesama
manusia dengan Tuhan yang ia yakini, manusia dengan sesama dan manusia
dengan lingkungannya.10
Menurutnya, agama dipandang sebagai basis moral dari
masyarakat, di mana anggota masyarakat secara bersama berpegang dan
berpedoman kepada keyakinan, nilai-nilai dan norma suci.
Namun, di samping fungsi agamanya secara umum yang dapat
mempersatukan dan mengumpulkan orang-orang dalam suatu komunitas seiman,
agama juga berpotensi untuk menimbulkan konflik karena agama merupakan isu
yang sensitif jika diangkat ke permukaan, yaitu ketika agama dipraktikan dan
dipahami secara fanatisme oleh penganutnya atau faktor kepentingan lainnya yang
dikaitkan dengan agama.
9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 955.
10 Asep Saepudin Jahar dkk., Sosiologi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium
Sosiologi Agama, 2010), h. 92.
10
F. METODE PENELITIAN
Teknik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data dalam
penyusunan karya akademik ini adalah “library research” (studi kepustakaan).
Metodelogi ini berupaya mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas, melalui berbagai literatur baik sumber primer
maupun sekunder. Sumber primer diantaranya yaitu yang termuat dalam karya
Taqiyuddin an Nabhani dan sumber-sumber sekunder yang bisa menjadi rujukan
penulis dalam menemukan/mencari poin terkait karya ini.
Sedangkan metode yang diterapkan dalam penulisan ini adalah deskriptif
dan analitis kritis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberi
gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan karya
akademik ini. Analitis kritis digunakan agar penulis dapat menyusun karya
akademik ini dalam bentuk yang sistematis sehingga dapat mengenai pada inti
permasalahan.
Adapun panduan dalam penulisan karya ilmiah ini berdasarkan pada buku
Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2011/2012, penerbit UIN Jakarta
Press.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika pembahasan disusun untuk memudahkan dalam memahami
penelitian ini secara sistematis. Adapun kerangka penulisannya tersistematika
sebagai berikut :
11
Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang terdiri atas: Latar Belakang
masalah yang memuat alasan-alasan terhadap munculnya masalah yang diteliti.
Tujuan yang akan dicapai dan manfaat yang diharapkan. Tinjauan Pustaka sebagai
penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan
objek penelitian. Kemudian Kerangka Teori, menyangkut pola pikir atau kerangka
teori yang digunakan dalam memecahkan masalah. Metode Penelitian, berupa
penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan
menganalisis data. Sistematika Pembahasan, sebagai upaya yang
mensistematiskan penyusunan skripsi.
Bab kedua, merupakan bahasan tentang Konsep Khilafah dalam Hizbut
Tahrir, yang terbagi atas: Konsep Khilafah dalam Al Qur’an dan Konsep Khilafah
dalam Al Hadist dan Pemikiran Ulama.
Bab ketiga, membahas mengenai Pelaksanaan Konsep Khilafah, yang
dibagi atas: Pelaksanaan Khilafah terhadap Umat Muslim, Umat Non-Muslim,
Konsep Negara, Konsep Hubungan Sosial, dan Kedudukan Paham Khilafah
dalam Pandangan Pemerintah.
Bab ke empat, membahas mengenai Pengertian dan Implementasi
Hubungan antar Umat Beragama, yang terbagi atas: Pengertian Hubungan antar
Umat Beragama, Hubungan Umat Beragama menurut Hizbut Tahrir (Hubungan
Umat Beragama dalam Hal Pergaulan, Perkawinan. Kepemimpinan, dan
Perayaan Hari Besar Keagamaan).
Bab ke lima, Penutup, adalah bab terakhir dari keseluruhan rangkaian
pembahasan, memaparkan kesimpulan sehingga memperjelas jawaban terhadap
12
persoalan yang dikaji serta saran-saran berkenaan dengan pengembangan
keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat.
13
BAB II
KONSEP KHILAFAH DALAM HIZBUT TAHRIR
A. KONSEP KHILAFAH DALAM AL QUR’AN
Daulah Islam adalah khalifah yang menerapkan sistem Islam. Khilafah
adalah pengaturan tingkah laku secara umum atas kaum Muslim, artinya khilafah
bukan bagian dari akidah, tetapi bagian dari hukum syara‟. Dengan demikian
khilafah adalah masalah cabang yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan
hamba.1 Karena itu, baik khalifah maupun umat, sama-sama terikat kepada syariat
Islam. Khalifah wajib menerapkan syariah Islam dengan benar, sesuai dengan
ketetapan Allah dalam Al Qur‟an dan As Sunnah, seperti terdapat dalam Al
Qur‟an:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]:
44)2
Kewajiban mengangkat seorang khalifah ditetapkan berdasarkan Al-
Qur‟an, As-Sunnah dan Ijma‟ Sahabat. Adapun penetapan berdasarkan Al-Qur‟an,
maka sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan Rasul Saw. supaya menjalankan
pemerintahan di tengah-tengah kaum Muslim dengan apa-apa yang telah
diturunkan kepadanya. Perintah-Nya tersebut bersifat pasti. Allah Swt. berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa-
apa yang telah Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
1 Taqiyuddin an Nabhani, Daulah Islam: Edisi Mu’tamadah 2002 (Jakarta: Hizbut Tahrir,
2012), h. 312. 2 Hizbut Tahrir Indonesia, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, (-: Hizbut Tahrir,
2009), h. 16.
14
Berhati-hatilah kamu terhdap mereka supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu” (QS. Al-
Maidah [5]: 49).
Hizbut Tahrir memaknai bahwa kebenaran mutlak hanya dari Allah Swt.
Adapun Nabi Saw. beserta Nabi-nabi yang lain, merupakan wujud bukti bahwa
mereka adalah wakil dari kekhalifahan itu sendiri yang langsung dari Allah.
Sebagai gantinya atas hal tersebut, setiap khalifah berhak atas kehormatan dari
umat yang berada di bawah naungan khilafah.
Bagi Hizbut Tahrir tidak ada yang salah dengan agenda “Kebangkitan
Khilafah”, karena istilah “khilafah” berasal dari Nabi Saw. untuk menyebut
kepemimpinan kaum Muslim yang menggantikannya. Pemangkunya disebut
khalifah, jamaknya khulafa. Khilafah diyakini telah disepakati para sahabat dan
dipraktikkan sepanjang 14 abad. Dan Hizbut Tahrir menyayangkan dengan sikap
Muslim yang tidak sepakat dengan khilafah sebagai bentuk dan sistem
pemerintahan, karena menurut mereka dengan begitu telah mengingkari apa yang
disampaikan Nabi Saw., ijma sahabat, dan fakta sejarah umat Islam yang panjang.
B. KONSEP KHILAFAH DALAM AL HADIST DAN PEMIKIRAN
ULAMA
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa Rasul Saw. memerintahkan umat Islam
untuk memberikan bai‟at kepada seorang Khalifah. Nabi menggambarkan bahwa
kematian seorang Muslim yang tidak memberikan bai‟at (kepada seorang
Khalifah) merupakan kematian yang sangat buruk, dengan menyebutnya sebagai
mati jahiliyah:
15
“Dan barangsiapa mati, sementara tidak ada bai‟at di pundaknya, maka
matinya (dalam keadaan) jahiliyah.” (HR. Muslim)3
Sedangkan penetapan berdasarkan As-Sunnah, yaitu dari Hisyam bin
„Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abu Hurairah yang menuturkan
bahwa Rasul Saw. bersabda:
“Setelahku akan ada para wali yang memerintah kalian. Lalu orang baik
akan memerintah kalian dengan kebaikannya dan orang yang jahat akan
memerintah kalian dengan kejahatannya. Maka dari itu, dengarkanlah
mereka dan taatilah dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika
mereka berbuat baik, maka itu bagi kalian. Jika mereka berbuat jahat,
maka itu bagi kalian dan tanggung jawab mereka”4
Seruan utama menegakkan khilafah berdasarkan As-Sunnah, disandarklan
pada hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad dan Thabrani, yaitu “Dan siapa saja
mati dan tidak ada bai’at di pundaknya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Dua perawi ini meriwayatkannya dari hadits Mu‟awiyah. Dalam shahihnya, Imam
Muslim dari Ibnu Umar berkata, aku mendengar Rasul Saw. bersabda:
“Siapa saja melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah, maka dia pasti
akan bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah
bagi-Nya. Dan siapa saja mati dan tidak ada bai‟at di pundaknya, maka dia
mati dalam keadaan mati jahiliyah”.5
Adapun penetapan berdasarkan Ijma, para sahabat telah menjadikan hal
yang paling penting bagi mereka setelah wafat Nabi Saw. adalah mengangkat
seorang khalifah. Hal ini berdasarkan riwayat yang ada di dalam dua kitab shahih
dari peristiwa Saqifah bani Sa‟idah. Demikian juga setelah kematian setiap
khalifah, secara mutawatir telah sampai adanya ijma sahabat tentang kewajiban
3 Hizbut Tahrir Indonesia, Manifesto Hizbut Tahrir, h. 15.
4 Nabhani, Daulah Islam, h. 313.
5 Nabhani, Daulah Islam, h. 313.
16
mengangkat seorang khalifah bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban
yang paling penting. Hal itu dianggap sebagai dalil yang qath‟i.6
Karena itu, wajib bagi umat mengangkat seorang imam atau
menegakkannya dan mengangkatnya menjadi seorang penguasa. Seluruh umat
diseru dengan kewajiban tersebut sejak awal wafatnya beliau Saw. hingga tibanya
hari Kiamat. Keharusan yang pasti untuk mengangkat seorang khalifah sangat
jelas dan ini terlihat dari kegamblangan pemahaman sahabat terhadap hal itu,
yaitu dari apa yang telah sahabat lakukan dengan mendahulukan mengangkat
seorang khalifah dan membai‟atnya dari pada memakamkan jenazah Rasul Saw.7
Demikian juga nampak jelas dari tindakan Umar bin Khathab saat dia
ditikam dan sedang menjelang kematian. Kaum Muslim meminta kepadanya
untuk menunjuk pengganti, namun dia menolak. Mereka sekali lagi meminta
kepadanya, maka akhirnya dia menunjuk sebuah tim yang beranggotakan enam
orang. Dengan kata lain dia telah membatasi pencalonan sebanyak enam orang
yang akan dipilih dari mereka seorang khalifah.8
Kemudian dia berpesan apabila ada yang tidak sepakat terhadap seorang
khalifah setelah tempo tiga hari, maka bunuhlah orang tersebut. Dia juga
mewakilkan kepada mereka siapa yang akan membunuh orang yang tidak sepakat
tersebut, padahal mereka adalah ahlu syuro dan sahabat besar. Tentu saja
demikian, karena mereka adalah Ali, „Utsman, Abdurrahman bin „Auf, Zubair bin
„Awwam, Thalhah bin „Ubaidillah dan Sa‟ad bin Abi Waqash.9
6 Nabhani, Daulah Islam, h. 314.
7 Nabhani, Daulah Islam, h. 314.
8 Nabhani, Daulah Islam, h. 314.
9 Nabhani, Daulah Islam, h. 314.
17
Munawwir Sjadzali (w. 2004) sudah terlebih dahulu memperhatikan
pendapat beberapa ulama tentang pemerintahan Islam, yaitu:10
1. Ibn Arabi, al Ghazali dan Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa kekuasaan
kepala negara atau raja merupakan mandat dari Allah yang diberikan
kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Khalifah adalah bayangan Allah di
muka bumi ini. Menurut al Ghazali, kekuasaan khalifah adalah muqaddas,
suci dan tidak dapat diganggu gugat. Menurut al Mawardi, kekuasaan
kepala negara menurut kontrak sosial.
2. Mawardi dan al Ghazali menyatakan bahwa khalifah harus dari suku
quraish.
3. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa lebih baik menggunakan ajaran dan
hukum agama sebagai dasar kebijakan dan peraturan negara daripada hasil
rekayasa otak manusia, meskipun banyak juga negara yang berhasil jaya
tanpa mendasarkan pada ajaran dan hukum agama. Demikian pun Ibnu
Taimiyah menyutujui bahwa kepala negara yang adil walaupun non-
Muslim lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meski beragama
Islam.
4. Pemikiran ulama kontemporer dibagi menjadi tiga kategori yang
menyangkut bahasan politik pemerintahan Islam; (1) Islam adalah pola
hidup yang lengkap dengan berbagai aturan menyangkut segala aspek
kehidupan, termasuk politik. Karena itulah untuk meraih kembali kejayaan
Islam harus kembali ke pola hidup generasi awal Islam terdahulu, yaitu
10
Mundhir. “Khilafah Islamiyah dan Hak-hak Minoritas Perspektif Hizbut Tahrir.”
Teologia: Jurnal Kajian Ilmu Ushuluddin Volume 20 Nomor 1 tahun 2009 (Semarang: IAIN
Walisongo, 2009), h. 213-214.
18
Nabi Muhammad Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Pemikir yang mewakili
kelompok ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, dan Abu a‟la al
Maududi. (2) Islam disamakan dengan agama-agama lain soal urusan
hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan segala urusan yang
menyangkut kehidupan manusia selain hal itu, terserah pada cara atau pola
yang dipakai. Salah satu pemikir tokoh ini adalah Ali Abd al-Raziq. (3)
Pemikir yang mengakomodir kedua pendapat di atas, meyakini kelompok
pertama juga tidak menolak kelompok kedua. Umat Islam boleh mengikuti
tata hubungan kemasyarakatan yang dianggap baik, seperti politik
kenegaraan. Pemikir aliran ini di antaranya adalah Muhammad Abduh dan
M. Husain Haikal.
5. Al Maududi dan Sayyid Qutb berpendapat, manusia adalah khalifah Allah
dan pelaksana kedaulatan Allah di bumi ini, sehingga tidak ada nama
kedaulatan rakyat. Khalifah tersebut hanya bagi orang-orang Islam saja.
Qutb berpendapat bahwa pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang
menerima Islam sebagai dasar negara dan melaksanakan syariat Islam.
Adapun bentuk dan sistem pemerintahannya dapat mengikuti sistem dan
pola apapun.
6. Ali Abd Raziq berpendapat pemerintahan dalam Islam tidak harus
berbentuk khilafah dengan penguasanya yang disebut khalifah.
Muhammad berpendapat bahwa kepala negara adalah seorang penguasa
sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan oleh rakyat dan kepada
mereka dia bertanggung jawab.
19
Dari enam poin di atas, Hizbut Tahrir termasuk pada kelompok yang
dijelaskan pada poin pertama yaitu yang menginginkan sistem Islam dan
mencontoh kehidupan Nabi Saw. untuk menegakkan khilafah yang dicita-citakan
sebagai sistem terbaik.
Hizbut Tahrir meyakini tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama mengenai
kedudukan khilafah sebagai masalah ma’lumun min ad-din bi adh-dharurah
[sudah maklum dan diketahui nilai pentingnya dalam Islam]. Baik di kalangan
Ahlussunnah wal Jamaah, Syi‟ah, Khawarij maupun Murjiah. Ulama mutakhir
pun sama, tidak ada perselisihan di kalangan mereka. Kecuali, Hizbut Tahrir
menyebut ulama yang tidak menyetujui khilafah sebagai “ulamanya penguasa”,
yang lebih takut kepada penguasa dibandingkan dengan takut kepada Allah.
Menegakkan kembali Khilafah artinya ialah menjalankan salah satu kewajiban
Islam, tidak menegakkannya berarti tidak menjalankan salah satu dari ajaran
Islam.11
11
“Khilafah Ajaran Islam Wajib Ditegakkan Kembali,” tersedia di https://hizbut-
tahrir.or.id/2017/06/21/khilafah-ajaran-islam-wajib-ditegakkan-kembali/; diunduh pada 21 Juni
2017.
20
BAB III
PELAKSANAAN KONSEP KHILAFAH
A. PELAKSANAAN KHILAFAH TERHADAP UMAT MUSLIM
Menurut Hizbtu Tahrir, seorang Muslim terikat kuat dengan perintah
mendirikan Daulah Islamiyah, hidup dan berkewarganegaraan Daulah Islam. Hal
itu tidak akan kaum Muslim peroleh kecuali dengan menegakkan Daulah Islam.
Kaum Muslim dianggap akan berdosa, hingga mereka berjuang untuk
menegakkan Daulah Islam dan membaiat seorang khalifah yang akan menerapkan
Islam dan mengemban dakwahnya ke seluruh penjuru dunia.1
Kehidupan di Daulah Islam mewajibkan warga Muslim mengikuti segala
peraturan yang sudah dibuat yang berdasarkan ada Al Qur‟an dan As Sunnah oleh
khalifah, apabila tidak patuh akan dikenakan hukuman. Karena hal tersebut, sama
hal dengan melanggar perintah Allah (bagaimanapun, khalifah adalah pemangku
kekuasaan, yang merupakan wakil Allah di muka bumi ini). Warga Muslim juga
dapat hidup berdampingan dengan non Muslim dan dilarang menyakiti non
Muslim, seperti diperintahkan Nabi Saw. dalam hadist, bahwa “Siapa saja yang
menyakiti kafir dzimmy (yaitu non-Muslim yang menetap di Daulah Islam) tak
ubahnya menyakiti kaum Muslim”. Harta dan darah Muslim terjaga dalam
perlindungan Daulah Islam. Tidak perlu membayar pajak seperti non-Muslim
pertahun dan Muslim memiliki hak penuh sebagai mayoritas dapat mengendalikan
kekuasaan khilafah.
1 Taqiyuddin an Nabhani, Daulah Islam: Edisi Mu’tamadah 1423 H/2002 M (Jakarta:
HTI Press, 2012), h. 318.
21
Abu ala al Maududi menyebutkan Muslim di Daulah Islam memiliki hak
penuh dalam pemerintahan (kekuasaan ini untuk menjalankan aturan Allah). Hak
Allah tersebut merangkum semua bidang kehidupan manusia baik mengenai
doktrin, moral, hukum dan politik, seperti tertulis dalam QS. Yusuf [12]: 40.
“… Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.2
Di samping itu, kaum Muslim mempunyai kewajiban untuk berdakwah
dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Dan
pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariat Islam. Seorang
Muslim, baik penguasa maupun rakyat, tidak diperkenankan toleran terhadap
kekufuran dan kemaksiatan apapun bentuknya. Kekufuran dan kemaksiatan harus
dilenyapkan. Hanya saja, Islam tidak memaksa orang-orang kafir untuk masuk ke
dalam agama Islam. Apabila ada seorang Muslim yang melakukan tindak
kemaksiatan, maka ia akan mendapatkan sanksi yang sejalan dengan ketetapan
syariat. Penjatuhan sanksi bagi pelanggar seperti potong tangan, perang, rajam,
dan sebagainya, merupakan perkara lumrah yang diakui dalam perspektif Islam.3
2 Abul A‟la Maududi, “Dasar-dasar Konstitusi Islam,” Beberapa Pandangan Tentang
Pemerintahan Islam”, Salim Azzam, pen. (Bandung: Mizan, 1983), h. 89. 3 “Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan,” tersedia di https://hizbut-
tahrir.or.id/2012/12/06/keadilan-islam-dalam-keragaman-dan-perbedaan/; diunduh pada 27 Juni
2017.
22
Seorang Muslim dapat hidup nyaman di Daulah Islam karena memang
pemberdayaan Muslim akan lebih diutamakan di Daulah Islam. Perlindungan bagi
Muslim cuma-cuma, namun sanksi tetap diberlakukan bagi para Muslim yang
melanggar aturan/norma. Dalam hal ini, Muslim dan non Muslim diperlakukan
sama di bawah naungan syariat Islam.
B. PELAKSANAAN KHILAFAH TERHADAP UMAT NON MUSLIM
Hizbut Tahrir pernah menerbitkan buku Rancangan Undang-undang Dasar
Islam, sebagai respon terhadap UUD 1945 Indonesia. Beberapa poin penting
diajukan Hizbut Tahrir dalam RUUD Islam tersebut, antara lain tentang
kewarganegaraan, dinyatakan di dalamnya bahwa warga negara Daulah Islam
terdiri kaum Muslim dan non Muslim. Warga negara non Muslim adalah mereka
yang termasuk kategori kafir dzimmy yaitu non Muslim yang tidak memerangi
Muslim dan tunduk pada hukum Islam yang diterapkan, kecuali dalam masalah
akidah dan ibadah. Turut dinyatakan pula dalam naskah tersebut bahwa satu-
satunya bahasa resmi Daulah Islam adalah bahasa Arab.
Dalam sebuah pasal dalam RUUD Islam yaitu pasal 7: ayat 4d,
menyatakan, “Non Muslim dalam masalah terkait pakaian dan makanan,
diperlakukan sesuai dengan kepercayaan mereka dan dalam lingkup yang
diijinkan oleh hukum syara.”4
Terkait hal pakaian, ada syarat untuk wajib menutup aurat, tidak berhias
diri, memakai jilbab dan khimar, dan tidak boleh memakai celana panjang di
4 Atha‟ bin Khalil Abur Rasytah, “Pakaian Wanita Non-Muslim dalam Naungan
Khilafah,” tersedia di http://www.putra-dayeuhluhur.com/2014/08/pakaian-wanita-non-Muslim-
dalam-naungan.html; diunduh pada 18 Mei 2017.
23
tempat umum, karena itu juga bagian dari tabarruj. Karena, sepanjang sejarah
khilafah, para perempuan Muslim atau non Muslim selalu memakai jilbab dan
menutup kepala mereka, di sebagian negeri yang terdapat perempuan Muslim atau
non Muslim, mereka tidak bisa dibedakan dari pakaian mereka.5
Dalam konsep Hizbut Tahrir pemberlakuan sanksi dan hukum pidana Islam
diberlakukan juga terhadap kelompok non Muslim. Misalnya seperti, hukum
rajam bagi non Muslim yang berzina, serta hukum qisas (bunuh) bagi non Muslim
melakukan pembunuhan.6
Sebelum itu perlu diketahui di dalam kehidupan Daulah Islam, khilafah
mengklasifikasikan non Muslim menjadi dua kategori, yaitu kafir dzimmy dan
kafir harby.
Kafir dzimmy ialah non Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Daulah
Islam dan mereka dapat perlindungan. Sedangkan, kafir Harby merupakan non
Muslim yang dianggap memerangi kekuasaan Daulah Islam. Kafir dzimmy secara
teoritis mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan warga Muslim,
tetapi dengan syarat lain yaitu mereka harus membayar pajak tiap tahun kepada
pemerintahan Muslim. Apabila menolak membayar pajak maka segala
perlindungan, pelayanan dan hak-hak yang dimilikinya dengan sendirinya akan
hilang. 7
Al Maududi berpendapat bahwa kafir dzimmy sebagai kaum lemah yang
harus dilindungi di bawah kekuasaan Islam. Kafir dzimmy tersebut dibagi dalam
5 Rasytah, “Pakaian Wanita Non-Muslim”, diunduh pada 18 Mei 2017.
6 Muhammad Zaki Mubarak, “Muslim Utopia-Gerakan dan Pemikiran Politik HTI Pasca
Reformasi,” Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. IX No. 1 tahun 2007 (Jakarta : UIN
Jakarta, 2007), h. 44. 7 Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 39.
24
tiga golongan; Pertama, non Muslim yang menjadi rakyat suatu negara Islam
berdasarkan perdamaian atau perjanjian. Kedua, non Muslim yang menjadi rakyat
negara Islam setelah dikalahkan dalam suatu peperangan. Ketiga, non Muslim
yang berada di wilayah negara Islam dengan cara lainnya. Prinsip pokoknya
adalah sama, bahwa jaminan perlindungan terhadap mereka adalah berlaku
bersyarat, yaitu kewajiban membayar pajak kepada penguasa Daulah Islam.8
Perlakuan umum khilafah terhadap non Muslim terdapat dalam karya
Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab al Syakhshiyyah al Islamiyyah, intinya dapat
diringkas sebagai berikut9:
1. Khilafah Islamiyah tidak memaksa non Muslim masuk Islam. Khilafah
tidak memberangus peribadatan-peribadatan mereka. Mereka hidup
berdampingan dengan Muslim, selama tidak memusuhi dan memerangi.
Mereka juga mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan Muslim,
seperti harta dan darah mereka. Muslim tidak boleh menyakiti kafir
dzimmy. Diriwayatkan Al Khathib dari Ibnu Mas‟ud, bahwa Nabi Saw.
bersabda:
“Siapa saja yang menyakiti dzimmy, maka aku berperkara dengan
dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku, maka aku akan
memperkarakan dia pada Hari Kiamat.” (Imam al-Jalil Abu
Zahrah, Zuhrat at-Tafasir, 1/1802)
2. Kafir dzimmy tidak dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Mereka
hanya diwajibkan membayar pajak. Setelah itu tidak dipungut biaya-biaya
lain, kecuali jika syarat yang disebut dalam perjanjian.
8 Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 44.
9 Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Kebijakan Khilafah Terhadap Non-
Muslim,” tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id; diunduh pada 6 Mei 2017.
25
Dari Hasan bin Muhammad bin „Ali bin Abi Thalib berkata:
“Nabi Muhammad Saw. pernah mengirim surat kepada Majuzi
Hajar. Beliau mengajak mereka masuk Islam. Siapa saja yang
memeluk Islam, diterima. Jika tidak, dipungut atas dia jizyah.
Sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanita-wanitanya tidak
boleh dinikahi.” (HR Abu „Ubaid).
Jizyah (pajak) non Muslim hanya dikenakan kepada laki-laki dan
baligh. Tidak dipungut dari orang miskin, lemah dan membutuhkan
sedekah. Dari Nafi‟ dari Aslam Maula „Umar:
“Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan agar
mereka memungut jizyah. Mereka tidak boleh memungut jizyah
dari wanita dan anak kecil. Mereka juga tidak diperkenankan
memungut jizyah kecuali atas orang yang telah tumbuh mawasi
(pubis)-nya.”
3. Perempuan ahlul kitab kafir dzimmy halal dinikahi Muslim. Selain ahlul
kitab, sembelihan dan wanita diharamkan secara mutlak. Ini didasarkan
pada ketetapan Nabi Saw. kepada Majuzi Hajar, “Sembelihannya tidak
boleh dimakan dan wanitanya (Majuzi) tidak boleh dinikahi” (HR. Abu
Ubaid). Para perempuan Muslim diharamkan mutlak dinikahi oleh laki-
laki kafir, musyrik maupun ahlul kitab.
4. Non Muslim diperbolehkan bermuamalah dengan Muslim sesuai
ketentuan syariat. Mereka boleh melakukan jual-beli dan syirkah dengan
Muslim. Boleh ikut berperang bersama Muslim, tetapi perang jihad
hukumnya tidak wajib atas mereka.
5. Kafir dzimmy menjadi tanggung jawab negara. Mereka berhak
mendapatkan pelayanan, perlindungan dan perlakuan baik dari Daulah
Islam.
26
6. Sikap terhadap musta’min, yaitu orang yang memasuki negara lain dan
meminta perlindungan keamanan, juga diatur dengan ketentuan khusus.
Baik itu kafir harby atau Muslim. Jika seorang Muslim memasuki dar al-
harby dengan jaminan keamanan, maka kaum Muslim tidak boleh
mengganggu apapun yang dimiliki orang tersebut. Sebab, Muslim itu
diperlakukan sesuai dengan syaratnya. Harta yang dia tinggalkan tidak
boleh diambil atau dimanfaatkan. Tetapi, harta itu wajib dizakati.
Seperti hal, Muslim yang boleh memasuki darul kufur dengan
jaminan keamanan, demikian juga terhadap kaum kafir. Mereka boleh
masuk ke Daulah Islam dengan jaminan keamanan juga. Nabi Saw. pernah
memberikan jaminan keamanan kepada orang kafir saat Penaklukan
Mekah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Saw. telah memberikan
jaminan keamanan kepada orang musyrik dan melarang mengkhianati
orang yang telah diberi jaminan keamanan. Abu Said berkata, Nabi Saw.
pernah bersabda, “Setiap orang yang berkhianat kelak akan membawa
bendera pada hari kiamat yang dengan bendera itu ia akan dikenal
banyak orang.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)
7. Kafir harby tidak diizinkan tinggal lebih dari satu tahun di Daulah Islam.
Negara memberikan jaminan keamanan selama satu setengah bulan atau
lebih, tidak akan diberi jaminan keamanan jika lebih dari satu tahun. Jika
mereka menghendaki tinggal lebih dari satu tahun, maka mereka diberi
dua pilihan, yaitu; (1) keluar dari Daulah Islam (2) tinggal di Daulah Islam
dengan membayar pajak. Pajak dipungut dari mereka setahun sekali.
27
Selama mendapatkan jaminan keamanan dari Daulah Islam, mereka boleh
tinggal tanpa membayarnya, kecuali jika mereka tinggal lebih dari
setahun. Jika akhir tahun mereka telah meninggalkan Daulah Islam,
mereka tidak dikenakan pajak.
8. Kafir musta’min yang melakukan pelanggaran, akan diberlakukan hukum
Islam terhadapnya, seperti kafir dzimmy, kecuali had syirbul-kham
(hukuman bagi peminum). Daulah Islam merupakan tempat pemberlakuan
hukum Islam bagi Muslim, kafir dzimmy maupun musta’min. Nabi Saw.
pernah mengirim surat kepada penduduk Najran orang-orang Nasrani
“Sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang melakukan jual-beli
dengan riba, maka tidak ada dzimmah (perlindungan) bagi dia.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah, Mushannif fi al-Ahadits wa al-Atsar, 7/426).
9. Harta dan jiwa kafir musta’min terjaga. Seperti Muslim tetap harus
mengganti harga atas babi dan khamr mereka, jika Muslim tersebut
membunuh babi atau merusak khamr-nya. Diyat akan dikenakan atas siapa
saja yang membunuh kafir musta’min tanpa sengaja. Bila dilakukan
dengan sengaja, maka diberlakukan hukuman qishash.
10. Kafir musta’min yang meninggal di Daulah Islam, sedangkan pewarisnya
ada di negara lain. Hartanya tetap harus dijaga dan dikembalikan kepada
pewarisnya.
11. Perlakuan terhadap kafir mu’ahad yaitu orang kafir yang negaranya
terlibat perjanjian dengan Daulah Islam. Mereka diperlakukan sesuai isi
perjanjian yang ditandangani oleh kedua belah pihak.
28
12. Kafir harby yang memerangi Islam dan kaum Muslim. Daulah Islam akan
memerangi mereka sampai mereka masuk Islam atau tunduk di bawah
kekuasaan Daulah Islam.
Bagi kafir dzimmy terdapat lembaga yang dapat menaungi mereka dan
mereka dapar berperan aktif di dalamnya, yaitu Majelis Umat. Non Muslim dapat
menjadi anggota Majelis Umat dan ia menjadi wakil dari kalangan non Muslim.
Mereka hasil dari pemilihan untuk menyampaikan pendapat/bermusyawarah
(representasi dari orang-orang non Muslim) apabila terdapat buruknya penerapan
hukum Islam terhadap mereka yang dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi non
Muslim tidak dapat ikut memilih khalifah, termasuk membatasi calon untuk
jabatan khilafah yang akan dipilih menjadi seorang khalifah. Hal tersebut karena
mereka tidak memiliki hak apapun dalam masalah pemerintahan. Dalam hal
tertentu, perempuan non Muslim juga memiliki posisi yang sama dengan laki-laki.
Jika sudah baligh dan berakal sehat, mereka memiliki hak untuk dipilih menjadi
anggota Majelis Umat. Hal itu terjadi karena Majelis Umat bukanlah bagian dari
pemerintahan, maka cakupan hadist melarang seorang pemimpin dari kalangan
perempuan tidak berlaku. Keberadaan Majelis Umat ini untuk fungsi musyawarah
dan koreksi.10
Apabila terdapat urusan antara non Muslim dengan Muslim
ditetapkan sesuai hukum Islam dan oleh qadhi Muslim.11
Wakil rakyat yang menjadi anggota Majelis Umat dipilih oleh umat, bukan
ditunjuk atau ditetapkan oleh khalifah. Akan tetapi, sebagaimana khalifah, mereka
10
Mundhir, “Khilafah Islamiyah dan Hak-hak Minoritas Perspektif Hizbut Tahrir,”
Teologia: Jurnal Kajian Ilmu Ushuluddin Volume 20 Nomor 1 tahun 2009 (Semarang: IAIN
Walisongo, 2009), h. 212. 11
Nabhani, Daulah Islam, h. 203.
29
tidak berhak menetapkan hukum, karena kedaulatan tidak berada di tangan
mereka, tetapi di tangan syariat. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan
khalifah dengan ketat dalam mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, khalifah berhak
mendatangi Majelis Umat untuk bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan
dengan pengaturan urusan umat. Akan tetapi, anggota Majelis Umat yang non
Muslim tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariat yang
ditetapkan oleh khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut
pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syariat.12
Namun, di balik usaha khilafah untuk mengakomodasi semua
kemajemukan yang ada di wilayahnya, khilafah tidak mengizinkan pembangunan
tempat-tempat peribadatan non Muslim. Karena khilafah tidak turut campur atau
memberikan dukungan atau bantuan. Hal ini, didasarkan atas larangan seorang
Muslim melibatkan diri dalam peribadatan non Muslim, termasuk membantu
terlaksananya ibadah-ibadah mereka. Jika dilakukan, sama artinya telah menolong
kekufuran. Tindakan ini dilakukan sebagai wujud dakwah Islam yang
diselenggarakan oleh negara. Seperti tidak dibolehkannya juga memasukkan
ajaran-ajaran kufur ke dalam kurikulum pendidikan negara. Khilafah tidak akan
menyediakan guru-guru non Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah resmi
negara.13
12
Hizbut Tahrir, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam (T.tp: Hizbut Tahrir Indonesia, 2009), h. 17. 13
“Keadilan Islam”, diunduh pada 27 Juni 2017.
30
C. PELAKSANAAN KHILAFAH TERHADAP KONSEP NEGARA
Penegakkan institusi khilafah Islam mengharuskan hukum-hukum Allah
dijadikan sebagai pemutus perkara semua warga Muslim maupun non Muslim.
Khilafah Islam akan menyatukan negeri-negeri Islam yang kecil, lemah dan
terpecah-pecah, menjadi satu negara besar. Khilafah mengemban risalah Islam ke
seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad fii sabilillah.14
Sedangkan, bentuk negara dibagi menjadi dua dalam pandangan Hizbut
Tahrir, yaitu Darul Islam dan Darul Kufur. Alasan dibagi berdasarkan keimanan.
Karena sudah dipastikan akidah Islam mampu memecahkan problematika besar
manusia. Karena itu, pelaksanaan akidah merupakan ukuran suatu negara disebut
sebagai Darul Islam atau Darul kufur.15
Demi tegaknya Daulah Islam menuntut adanya usaha menjadikan negeri-
negeri Islam menjadi satu kesatuan, karena seluruh Muslim adalah umat yang
satu, kumpulan manusia yang disatukan oleh akidah yang satu, yang terpancar
darinya aturan-aturan Islam. Munculnya aktivitas apapun di sebuah Negeri Islam
akan berpengaruh pada wilayah-wilayah Islam lainnya. Karena itu, seluruh negeri-
negeri Islam harus dijadikan sebagai negeri yang satu dan dakwah harus diemban
di seluruh negeri tersebut.16
Sementara, struktur negara khilafah mencontoh apa yang sudah
dipraktekkan Nabi Saw. ketika berada di Madinah dan dipraktekan oleh khulafaur
14
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 38. 15
Taqiyudin an Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir: Edisi Mu’tamadah (Jakarta: Hizbut
Tahrir Indonesia, 2001), h. 54. 16
Nabhani, Daulah Islam, h. 332.
31
rasyidin sepeninggal beliau Saw. Secara lengkap struktur Negara Khilafah dalam
bidang pemerintahan dan administrasinya, adalah sebagai berikut; khalifah,
muawin at tafwidh, wuzara at tanfidz, para wali, amir al Jihad, keamanan dalam
negeri, urusan luar negeri, industri, peradilan, kemaslahatan umum (masalih al
nas), bait al mal, lembaga informasi, dan majelis umat.17
Pentingnya mengidentifikasi calon khalifah mengharuskan adanya Dewan
Ahli Kepemimpinan yang bertugas memperkenalkan kepada publik orang yang
paling layak menjadi pemimpin. Dalam hal ini, fungsi tersebut dimiliki oleh
Mahkamah Mazalim. Mahkamah Mazalim memilihi hak untuk menetapkan jenis-
jenis kelemahan yang tidak boleh ada pada diri khalifah, sehingga ia dapat
dikatakan termasuk orang yang memiliki kemampuan.
Di samping itu, ada juga syarat utama khalifah yang didasarkan pada dalil
sahih seperti ketentuan harus berasal dari kalangan suku Quraish, ketentuan harus
seorang mujtahid, ketentuan ahli menggunakan senjata, atau syarat-syarat lainnya
yang memiliki dalil tidak tegas. 18
Khalifah mengemban tugas-tugas tertentu dalam pemerintahan Islam, hal
tersebut dibagi menjadi tiga konteks:
a) Konteks pembangunan dan kemajuan pemerintahan Islam.
Di mana tanggung jawab pemimpin terfokus pada masalah eksistensi
Islam dan kekuatannya di dunia serta strateginya dalam menghadapi pihak
musuh. Pada konteks ini pemimpin mengemban dua tugas utama, yaitu
17
Mundhir, “Khilafah Islamiyah”, h. 208. 18
Mundhir, “Khilafah Islamiyah”, h. 209.
32
mengembangkan peradaban Islam dan mempertahankan kekuatan Islam
dengan cara mengatasi semua tantangan yang ada.
b) Konteks Negara Islam.
Di mana pemimpin berkewajiban menjaga keberadaan pemerintahan Islam
pada jalur yang sudah ditetapkan, membuat kebijakan-kebijakan umum
pemerintahan untuk mencapai tujuan, cita-cita, dan terlibat dalam proses
pengambilan keputusan umum pemerintahan.
c) Konteks pemenuhan hak warga negara dan masyarakat Islam terhadap
pemimpinnya sesuai ajaran agama, seperti menjaga amanah,
memperjuangkan keadilan, mengeluarkan perintah sesuai hukum Allah,
menghindari penggunaan baitul mal untuk kepentingan pribadi, membayar
gaji tepat waktu kepada semua orang yang berhak mendapatkannya tanpa
diskriminasi, bermusyawarah dengan masyarakat, menyampaikan
informasi kepada masyarakat secara transparan, bersimpati dan
menunjukan rasa santun dan kasih sayang kepada rakyat, berlapang dada
terhadap kesalahan dan kekurangan orang lain, mendapat simpati dari
masyarakat, bernasihat, menghendaki kebaikan, memberikan pendidikan
kepada masyarakat, memberikan tarbiyah serta membenahi kekurangan
dan mengajarkan penyucian jiwa.19
19
Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 420.
33
Aparatur pemerintahan menyatakan berkomitmen menjalankan misi
agama, mengamalkan hukum-hukum agama dan memandang kepemimpinan
sebagai bagian dari misi Ilahiyah, untuk menjaga dan menyebarluaskan agama.20
Mengenai sistem pemerintahan, struktur negara di dalam Daulah Islam
yang pasti terdiri dari delapan bagian, yaitu: 21
(1) Khalifah, sebagai kepala negara,
(2) Mu’awin Tafwidl (sebagai pembantu khalifah yang berkuasa penuh).
(3) Mu’awin Tanfidz (sebagai pembantu khalifah dalam urusan
administrasi).
(4) Amirul Jihad.
(5) Wali (gubernur).
(6) Qadla (pengadilan).
(7) Aparat Administrasi Negara.
(8) Majelis Umat.
Sistem pemerintahan khilafah islamiyah tidak mengenal pergantian
pemimpin secara turun termurun seperti sistem kerajaan. Khilafah tidak
membedakan status masyarakat dalam hukum, ekonomi dan sebagainya seperti
dalam imperium. Tidak berdasarkan daerah yang ingin bergabung dalam suatu
kesepakatan tertentu, seperti sistem federasi. Dan juga bukan berdasarkan suara
rakyat dengan sistem demokrasinya, seperti republik. Khalifah merupakan wakil
umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh
umat untuk menerapkan hukum-hukum syariat Islam atas mereka. Khalifah terikat
dengan hukum-hukum syariat dalam melakukan seluruh tindakan, kebijakan,
keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan
umat.22
20
Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 89. 21
Taqiyuddin an Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, terj. Abu Amin, cet ke-11
(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2013), h. 82. 22
Mundhir, “Khilafah Islamiyah”, h. 208.
34
D. PELAKSANAAN KHILAFAH TERHADAP KONSEP HUBUNGAN
SOSIAL
Daulah Islamiyah telah mengatur bahwa baik Muslim dan non Muslim
dapat hidup bersama dan memiliki hak sama, kecuali dalam pemerintahan, akidah
dan ibadah. Hal di atas merupakan salah satu konsepsi keadilan yang terdapat
dalam khilafah. Pemerintahan Islam sangat terikat dengan hal keadilan.
Daulah Islam adalah lembaga yang dianggap paling bisa memberikan
keadilan kepada rakyat. Nabi Muhammad Saw. dan khulafaur rasyidin
menekankan untuk berperilaku adil pada rakyat, misalnya:23
1. Pemerintah Islam menjaga kehidupan, kekayaan, dan kehormatan semua warga
negaranya.
2. Prinsip Syariat Islam diterapkan juga untuk kafir dzimmy karena mereka
mempunyai hak sama dengan yang dinikmati oleh kaum Muslim.
3. Adil terhadap Muslim dan non-Muslim.
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa Islam memandang keragaman agama,
keyakinan, suku, ras dan bahasa sebagai perkara yang alami dan lumrah. Islam
tidak berusaha menghapus keragaman tersebut dengan cara memaksa semua orang
untuk meninggalkan keyakinan mereka. Islam melarang seorang Muslim
memaksa orang kafir memeluk agama Islam. Islam hadir untuk mengatur
keragaman yang ada di tengah-tengah masyarakat agar terbina kerukunan dan
sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Tidak ada larangan bagi kaum
Muslim untuk berinteraksi dengan orang kafir dalam perkara-perkara mubah
seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi
23
Maududi, “Dasar-dasar Konstitusi”, h. 97.
35
dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariat, seperti
menikahi wanita musyrik –kecuali ahlul kitab, menikahkan wanita Muslimah
dengan orang kafir, perwalian, dan lain sebagainya.24
Ketentuan-ketentuan di atas tidak menafikan kewajiban kaum Muslim
untuk tetap berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun
mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan
syariat. Kafir dzimmy diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan
kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islam sama dengan Muslim.
Harta dan jiwa mereka dilindungi, siapa saja yang berusaha menciderainya, baik
Muslim maupun kafir, akan mendapatkan sanksi. Adapun terhadap kafir harby
(kafir yang wajib dimusuhi), maka hubungan dengan mereka adalah hubungan
perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir
harby, seperti negara Amerika Serikat, Israel, dan lain sebagainya.25
E. KEDUDUKAN PAHAM KHILAFAH DALAM PANDANGAN
PEMERINTAH
Dalam konsep Daulah Islam terdapat dua bentuk konsep pemerintahan,
yaitu Darul Islam dan Darul Kufur. Muhammad Zaki Mubarok dalam artikel
jurnalnya, “Muslim Utopia-Gerakan dan Pemikiran Politik HTI Pasca Reformasi”
dalam jurnal “Refleksi” menjelaskan pengertian Darul Kufur yakni suatu
pemerintahan yang harus diperangi dan diambil alih oleh Hizbut Tahrir, lebih
lanjut memiliki pengertian yang luas. Darul Kufur ini juga berarti berlaku untuk
24
“Keadilan Islam”, diunduh pada 27 Juni 2017. 25
“Keadilan Islam”, diunduh pada 27 Juni 2017.
36
suatu pemerintahan atau negara, meskipun “terdapat tanda-tanda kekuasaan
Islam” namun hukum yang diberlakukan dalam negeri tersebut adalah hukum-
hukum kufur.26
Demikian pula, sistem politik dan ideologi yang dianut kaum
Muslim harus sistem ideologi Islam. Di luar itu adalah kufur, seperti
nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, dan demokrasi. Karena demokrasi adalah
sistem kufur, maka Hizbut Tahrir menyatakan umat Islam dilarang berpartisipasi
dalam proses-proses demokrasi, seperti mengikuti pemilihan umum dan lain
sebagainya.27
Jika hukum kufur tersebut tetap saja dipertahankan, maka pemimpin
negeri tersebut akan dihadapi dan diperangi dengan kekuatan bersenjata, sehingga
kepemimpinannya terdepak dari kekuasaan sampai saatnya nanti berhasil dibentuk
Daulah Islam. Maka demikian, semua negara dan pemerintahan yang ada saat ini,
baik di negeri mayoritas penduduknya Muslim ataupun non Muslim, masuk dalam
kategori Darul Kufur yang harus ditumbangkan kekuasaannya.28
Sikap Hizbut Tahrir yang menolak untuk berkompromi ini, apalagi turut
melibatkan diri dengan berbagai mabda’ dan akidah yang dinilainya kufur
tersebut, telah menimbulkan berbagai kesulitan sendiri bagi Hizbut Tahrir dalam
hubungannya dengan pemerintahan sekuler di beberapa negara di Timur Tengah.
Sikap mereka “menarik diri”, namun menawarkan revolusi untuk merombak
sistem kufur menjadi sistem Islam, telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai
gerakan ekstrim dan menjadi sasaran penumpasan oleh sejumlah pemerintahan
yang tidak mau menerimanya. Hal ini kemungkinan berkaitan juga dengan
26
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 34. 27
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 33. 28
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 35.
37
metode-metode perjuangan Hizbut Tahrir yang mengharuskan untuk melakukan
kudeta (pengambil-alihan kekuasaan) terhadap pemerintahan yang dianggap
kufur. Dalam Trilogi tahapan perjuangan Hizbut Tahrir, pengambil-alihan
kekuasaan itu diwajibkan apabila kekuatan Hizbut Tahrir telah dirasa
mencukupi.29
Metode perjuangan Hizbut Tahrir diilhami oleh sirah perjalanan dakwah
Nabi Muhammad Saw. Ketika beliau berhasil menghancurkan Darul kufur
menjadi Darul Islam, serta mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat
Muslim. Dari titik inilah kemudian Hizbut Tahrir menyusun langkah operasional
gerakan dalam tiga tahapan atau marhalah:
Pertama, tahapan pembinaan dan pengkaderan, yang ditujukan untuk
membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir
dalam upaya membentuk kerangka gerakan.
Kedua, tahapan interaksi dengan umat, yang dilaksanakan agar umat
memikul kewajiban dakwah Islam, hingga menjadikan umat sebagai
permasalahan utamanya, serta berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
Ketiga, tahapan pengambil-alihan kekuasaan, hal ini ditujukan untuk
menerapkan Islam secara menyeluruh dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh
dunia.30
Untuk memahami lebih baik cara berpikir Hizbut Tahrir, adalah tentang
keyakinan mereka bahwa sistem Islam paling sempurna. Sistem Islam merupakan
29
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 34. 30
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 34.
38
produk Ilahiyah, jelas lebih sempurna dibandingkan apapun produk akal manusia.
Oleh karena itu, dalam menilai demokrasi pun perspektif yang selalu ditonjolkan
para aktifis Hizbut Tahrir adalah mengkonfrontasikan antara “akal” Tuhan versus
akal manusia.31
Di negara Indonesia, usaha Hizbut Tahrir untuk memperjuangkan
berlakunya sistem khalifah Islam salah satunya yaitu dengan cara mengajukan
risalah “Kritik Islam atas UUD 1945”, yang di dalamnya memuat penolakan-
penolakan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dikonfrontasi dengan
prinsip Islam yang dijadikan pegangan Hizbut Tahrir. Konsepsi kritik ini sengaja
diluncurkan Hizbut Tahrir Indonesia untuk menjawab ramainya perdebatan
tentang konsep-konsep dalam amandemen UUD 1945.32
Risalah tersebut dapat
membantu kita mengerti lebih jauh konsepsi Hizbut Tahrir Indonesia tentang
politik kenegaraan dan karakteristik pemerintahan Daulah Islam yang mereka
impikan.
Terkait dengan bentuk negara dan kedaulatan misalnya, sebagai penolakan
terhadap pasal menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik,” maka Hizbut Tahrir menawarkan konsepsinya yaitu,
“Negara memang berbentuk kesatuan, tetapi pemerintahannya berbentuk
kekhilafahan, karena pemerintahan republik hanya ada dalam koridor demokrasi,
sementara demokrasi sendiri tidak dikenal dalam Islam.”
31
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 35. 32
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 38.
39
Selanjutnya kritik atas pasal yang menyatakan, “Kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,” maka
mereka mengajukan tawarannya:
“Kedaulatan hanya ada di tangan Syariat Allah (Al Quran dan Sunah),
sementara rakyat hanyalah pemilik kekuasaan, yang kemudian
memberikannya kepada khalifah. Kekuasaan khalifah, dengan demikian
dibatasi oleh syariat. Sementara itu, keberadaan MPR dengan seluruh
kewenangannya, sebagaimana lazimnya dalam sistem demokrasi, tidak
dibenarkan …..”.33
Kemudian, terhadap pasal “Presiden ialah orang Indonesia asli” maka
Hizbut Tahrir Indonesia menjawabnya dengan, “Kepala negara tidak harus orang
Indonesia asli, karena Islam tidak membeda-bedakan dari segi etnisitas. Dalam
hal ini, yang paling penting kepala negara memang harus seorang Muslim dan
harus laki-laki,…”.
Selanjutnya terhadap pasal yang berbunyi, “Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan
wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”,
maka Hizbut Tahrir Indonesia mengkonfrontasi lagi dengan konsepsinya yang
berbunyi:
“Daulah Islam adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin
di dunia sebagai suatu kekuatan politik praktis untuk menetapkan dan
memberlakukan hukum-hukum Islam serta mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Wilayah
Daulah Islam mencakup seluruh wilayah di muka bumi yang di dalamnya
diterapkan hukum-hukum Islam dan keamanannya berada dalam
kekuasaan kaum Muslimin walaupun mayoritas penduduknya bukan
Muslim.”34
33
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 39. 34
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 39.
40
Dinyatakan juga mengenai bahasa resmi, yaitu bahasa yang dikehendaki
dalam Daulah Islam adalah bahasa Arab.35
Dalam hal ini, bahasa Arab dianggap
Hizbut Tahrir berkaitan erat dengan kharisma Islam,36
direalisasikan dengan
menempatkan bahasa Arab sebagai unsur yang sangat penting di dalam Daulah
Islam.
Selanjutnya, konsepsi Pemerintahan Ideal telah coba dijelaskan dalam
buletin resmi yang diterbitkan Hizbut Tahrir. Dinyatakan bahwa pertama-tama
pemerintahan tersebut haruslah berlandaskan kepada akidah Islam dan peraturan-
peraturan yang berlaku di dalamnya harus sepenuhnya bersandar kepada hukum
yang berasal dari Tuhan. Secara tepat dapat dikatakan bahwa pemerintahan yang
ideal adalah pemerintahan yang menegakkan dan memberlakukan seluruh hukum
Islam. Khilafah itulah yang disebut pemerintahan yang ideal.
Nasionalisme yang menjadi ciri spirit berbangsa di Indonesia, dipandang
Hizbut Tahrir bertentangan dengan konsep ukhuwah islamiyah (persaudaraan
Muslim) antar negara. Saat ini Organisasi Hizbut Tahrir di Indonesia sudah resmi
dibubarkan pada hari Rabu, tanggal 18 Juli 2017 di gedung Kementerian Hukum
dan HAM, Kuningan, Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB seiring dengan
digulirkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2
tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan [Isi Perppu Ormas, lihat lampiran
II]. Efek dari Perppu Ormas tersebut adalah dicabutnya Badan Hukum yang
dimiliki oleh Hizbut Tahrir di Indonesia. Karena menurut Wiranto, Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (menkopolhukam), Hizbut Tahrir
35
Mubarak, “Muslim Utopia”, h. 40. 36
Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, h. 6.
41
memiliki ideologi yang terindikasi kuat berlawanan dengan ideologi resmi bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Sebelum ini, pemerintah Indonesia telah
mengungkapkan wacana pembubaran HTI pada Mei 2017 namun hal itu
mendapat reaksi dari kalangan Hizbut Tahrir atau yang setuju pada gerakan
Hizbut Tahrir, dengan beralasan bahwa HTI memiliki badan hukum dan menolak
segala tuduhan terutama tentang anti Pancasila, dengan mengatakan Hizbut Tahrir
hanya menawarkan solusi khilafah untuk kebaikan bangsa dan khilafah itu adalah
bagian dari ajaran Islam. Tidak ada yang salah dengan ajaran Islam, karena ajaran
Islam tidak dilarang di Indonesia [Pernyataan HTI terhadap Rencana Pemerintah
Membubarkan HTI, lihat lampiran I]. Walaupun pada akhirnya Hizbut Tahrir
tidak dapat menjelaskan lebih jauh di beberapa kali sesi diskusi atau wawancara,
ketika Khilafah tegak apakah NKRI masih ada eksistensinya? Atau masih adakah
Ideologi Pancasila ketika Khilafah tegak? seperti yang ditanyakan oleh Aiman
Widjaksono, seorang pemandu acara AIMAN di Kompas TV.
Di kancah internasional sedikit informasi yang bisa didapatkan tentang
struktur organisasi Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir cenderung meminimkan
informasi dari dunia luar, mengingat eksistensi Hizbut Tahrir seringkali berujung
pada pembubaran organisasi tersebut di suatu negara. Namun yang tersiar dan
pasti, saat ini Hizbut Tahrir dipimpin oleh Syaikh Atha Abu Rusythah, nama
lengkapnya adalah 'Atha bin Khalil bin Ahmad bin Abdul Qadir al-Khathib Abu
ar-Rasytah. Beliau menjabat sejak tahun 2003 M/1424 H. Beliau adalah seorang
insinyur dan aktivis Hizbut Tahrir sejak masih sangat muda. Beliau pernah
menjadi pembantu Syaikh Abdul Qadim Zallum, dan menjadi juru bicara Hizbut
42
Tahrir di Yordania. Syaikh Atha‟ Abu Rusythah pernah beberapa kali dipenjara,
sehingga dinyatakan oleh organisasi Amnesti International sebagai “tahanan
nurani”.37
Namun untuk mengetahui rincian tentang fisik dan biografi beliau
sedikit sekali yang bisa didapat atau ditemukan sebagai referensi untuk karya
ilmiah ini.
37
Hizbut Tahrir, Manifesto Hizbut Tahrir, h. 72.
43
BAB IV
PENGERTIAN DAN IMPLEMENTASI
HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA
A. PENGERTIAN HUBUNGAN UMAT BERAGAMA
Hubungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kondisi yang
saling berhubungan, kontak, sangkut-paut, ikatan; pertalian (keluarga,
persahabatan, dan lain sebagainya).1 Hubungan antar umat beragama sangat
terkait dengan toleransi. Juga dalam KBBI disebutkan bahwa arti kata “toleransi”
berarti sifat atau sikap toleran. Sedangkan, toleran sendiri memiliki definisi,
“bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”2 Istilah
toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi
“golongan/kelompok” yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik,
dan lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta kritik mengenai
prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum konservatif atau liberal. Pada sila pertama
Pancasila, disebutkan bertakwa kepada Tuhan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing merupakan hal yang mutlak. Karena semua agama menghargai
1 Kbbi.web.id/hubung, diakses 25 Desember 2017.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 1065.
44
manusia, oleh karena itu semua umat beragama juga harus saling menghargai.
Sehingga, terbina kerukunan hidup antar umat beragama.3
Islam juga mengakui adanya keragaman manusia dari berbagai aspeknya.
Di antara ayat Al Qur‟an yang menyatakan keragaman manusia. Keragaman
adalah suatu kenyataan yang harus diterima. Seperti keragaman alam semesta
misalnya perbedaan hewan (QS. Fathir [35]: 28), perbedaan tumbuhan (QS. Al
Waqi‟ah [56]: 141), dan perbedaan bahasa serta suku bangsa di antara manusia
(QS. Ar Ruum [30]: 23). Menolak perbedaan atas keragaman sama dengan
menolak sunatullah (hukum alam) yang tidak berubah-ubah (QS. Al Maidah [5]:
44). Hal ini kemudian sesuai dengan QS. Huud [11]: 118: “Andaikan Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi senantiasa
mereka (dibiarkan) berbeda”. Nada yang sama terdapat dalam ayat lain yaitu QS.
Yunus [10]: 99,
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”4
Lebih lanjut di dalam QS. Al Maidah [5]: 48 menjelaskan tujuan
keragaman agama dan keharusan menyerahkan diri kepada Tuhan saja untuk
memutuskan mana kebenaran hakiki di antara banyaknya kebenaran agama.
3“Toleransi antar Umat Beragama (Lengkap),” tersedia di http://info-bendera-
putih.blogspot.co.id/2017/04/toleransi-antar-umat-beragama-lengkap.html ; diunduh pada 15 Juni
2017. 4 Kementrian Agama R.I. Modul Diklat Teknis Kerukunan Umat Beragama: Faktor
Integrasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Pusdiklat Tenaga Teknis
Pendidikan dan Keagamaan, 2012), h. 36.
45
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa setiap umat telah diberikan Allah
aturan/hukum dan minhaj (jalan) masing-masing. Tujuan keragaman adalah
semangat berlomba-lomba untuk meraih kebaikan di antara kelompok-kelompok
yang berbeda, sehingga terjadi kemajuan.5
B. HUBUNGAN UMAT BERAGAMA MENURUT HIZBUT TAHRIR
Dalam hal ini, Hizbut Tahrir mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan
umat Islam, tetapi hal itu tidak perlu membawa perpecahan. Seperti ikhtilaf yaitu
sikap perbedaan masalah yang dianggap sebagai cabang agama penilaiannya tidak
bisa hitam dan putih, juga tidak bisa abu-abu sehingga masing-masing pihak tidak
bisa mengklaim paling benar. Maka, yang terbaik mengambil dalil terkuat.6
Demikian juga dalam menyikapi pemikiran yang berbeda yaitu
menghadapi kalangan Islam Liberal yang dianggap Hizbut Tahrir tidak
menyuarakan suara Islam. Status liberal dalam pandangan Hizbut Tahrir tetap
Muslim namun pemikirannya yang menyimpang.7 Pemahaman salah dalam benak
pikiran umat Islam jika berpikir bahwa Islam harus sesuai dengan perkembangan
zaman. Islam kemudian ditakwilkan oleh banyak orang agar sesuai dengan
mazhab, aliran, dan ideologinya; disesuaikan dengan setiap peristiwa yang terjadi,
atau dengan tolak ukur masing-masing. Semua itu telah memberikan andil bagi
5 Kementrian Agama R.I., Modul Diklat Teknis, h. 36
6 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta:
LIPI Press, 2005), h. 278. 7 Turmudi, ed., Islam dan Radikalisme, h. 279.
46
usaha-usaha menjauhkan Islam dari kehidupan yang mengakibatkan kegagalan
setiap gerakan reformasi.8
Dalam Daulah Islam, hubungan antar umat beragama dan rasa keadilan
didapatkan pada hukum Islam yang diterapkan. Tidak ada yang dinamakan
mayoritas dan minoritas namun yang ada hanya perbedaan agama yang
mendapatkan perhatian masing-masing. Setiap perbedaan diselesaikan dengan
musyawarah merupakan contoh yang baik, musyawarah memiliki arti bebas
berpikir antar manusia yang memiliki kemampuan dan tidak dibatasi oleh suatu
ideologi namun tetap dalam koridor agama. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad
Saw., “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah melainkan mendapat petunjuk bagi
jalan yang terbaik.”9
Islam sendiri membagi persaudaraan menjadi dua jenis, yaitu persaudaraan
seagama dan persaudaraan manusiawi.10
Pertama, persaudaraan ukhuwah
islamiyah (seagama) mengatur hidup satu umat dalam soal-soal serasa,
sependapat, sejalan dan seirama. Ke dua, persaudaraan tidak seagama terhadap
mereka (kafir dzimmy) yang patuh pada syariat Islam.
Dalam Daulah Islam menurut Hizbut Tahrir, hubungan antar umat
beragama tetap didasarkan pada hukum Islam yang diterapkan. Tidak ada yang
dinamakan mayoritas dan minoritas namun yang ada hanya perbedaan agama
yang mendapatkan perhatian masing-masing. Setiap perbedaan diselesaikan
dengan musyawarah merupakan contoh yang baik, musyawarah memiliki arti
8 Taqiyuddin an Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir: Edisi Mu’tamadah, cet. ke-6 (Jakarta:
Hizbut Tahrir Indonesia, 2001), h. 12. 9 Fuad. Muhd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,
1988), h. 238. 10
Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, h. 234.
47
bebas berpikir antar manusia yang memiliki kemampuan dan tidak dibatasi oleh
suatu ideologi namun tetap dalam koridor agama. Sebagaimana hadist Nabi
Muhammad Saw., “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah melainkan mendapat
petunjuk bagi jalan yang terbaik.”11
a) Hubungan Umat Beragama dalam Hal Pergaulan
Dalam hal pergaulan, warga non Muslim diperbolehkan bermuamalah
dengan Muslim sesuai dengan syariat Islam.12
Walaupun begitu seorang Muslim
diharapkan dapat konsisten memegang kebenaran Islam, bersikap lemah lembut,
penuh kasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan bersikap keras juga
terhormat di hadapan non Muslim.13
Interaksi Muslim dan non Muslim membolehkan hal-hal tertentu. Aturan
syariat Islam itu penting karena Hizbut Tahrir menganggap sejak peradaban Barat
menyerang negeri Muslim, dan Muslim diperintah dengan aturan sistem kufur,
saat itu para wanita non Muslim keluar dari rumahnya dalam keadaan nyaris
telanjang; tersingkap dada, punggung, rambut, lengan, atau betis mereka.
Akhirnya sebagian dari Muslimah pun meniru wanita-wanita non Muslim itu. Hal
yang terjadi kemudian, tidak bisa lagi membedakan Muslimah dan wanita non
Muslim.14
11
Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, h. 238. 12
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Kebijakan Khilafah Terhadap Non-
Muslim,” tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id; diunduh pada 6 Mei 2017. 13
Nawiy, “Kebijakan Khilafah”, diunduh pada 6 Mei 2017. 14
Taqiyuddin an Nabhani, Sistem Pergaulan Islam: Edisi Mu'tamadah, terj. M. Nashir,
cet. ke-8 (Jakarta: HTI Press, 2014), h. 82.
48
Adapun terkait diperbolehkannya berjabat tangan pria menjabat tangan
wanita dan demikian pula sebaliknya, tanpa penghalang di antara ke dua tangan
mereka. Hal ini didasarkan pada HR. Al Bukhari yang bersumber dari „Ummu
„Athiyah. „Ummu „Athiyah menuturkan. “Kami membaiat Nabi Saw., lalu beliau
membacakan kepada kami “bahwa mereka tidak akan menyekutukan sesuatupun
dengan Allah” dan beliau melarang kami untuk meratap. Maka, seorang wanita
di antara kami menarik kembali tangannya.”15
Dalam hadist tersebut menunjukkan bahwa tidak haram menyentuh wanita
tanpa disertai nafsu. Karena telapak tangan wanita tidak termasuk aurat dan tidak
diharamkan memandangnya, tanpa disertai nafsu.16
Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan ditentukan oleh Allah Swt.
Sesuai Fitrah masing-masing, Bukan berdasar konsep “Kesetaraan Gender” ala
Barat. Bagi-Nya, satu-satunya ukuran yang membedakan kedudukan mereka
adalah ketaqwaannya. Dalam al-Quran Allah SWT. berfirman:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat [49]: 13)17
15
Nabhani, Sistem Pergaulan Islam, h. 83. 16
Nabhani, Sistem Pergaulan Islam, h. 84. 17
Hizbut Tahrir. Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam (T.tp: Hizbut Tahrir Indonesia, 2009), h. 37.
49
Pada dasarnya dalam masyarakat Islam, kehidupan laki-laki terpisah dari
kehidupan perempuan. Karenanya, pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan, serta aktivitas campur-baur (ikhthilath) di antara keduanya tidak
dibolehkan. Namun demikian, laki-laki dan perempuan bisa bertemu dalam
aktivitas-aktivitas tertentu di mana ada kepentingan yang dibenarkan oleh syariah,
misalnya dalam perdagangan, jual-beli, sewa-menyewa, urusan perwakilan
(wakalah), urusan kesehatan, pendidikan, dan perkara-perkara mubah lainnya.
Untuk keperluan yang sifatnya wajib, seperti pelaksanaan ibadah haji atau
pembayaran zakat, dan keperluan yang sifatnya sunnah (mandub), seperti
sedekah, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, atau menengok orang
sakit, laki-laki dan perempuan boleh bertemu. Selain itu, perempuan tidak
dilarang keluar rumah untuk memenuhi keperluannya selama bisa menjaga cara
berpakaian dan pergaulan sesuai dengan tuntunan syariah. Laki-laki dan seorang
perempuan yang tidak mempunyai hubungan mahram dilarang berduaan
(khalwat) di suatu tempat tanpa ada orang ketiga bersama mereka.18
b) Hubungan Umat Beragama dalam Hal Pergaulan Perkawinan
Dalam hal perkawinan, seorang Muslimah diharamkan secara mutlak
dinikahi oleh lelaki kafir, musyrik maupun ahlul kitab.19
Apabila terjadi
pernikahan dan perceraian di Daulah Islam antara non Muslim, perkara tersebut
18
Hizbut Tahrir. Manifesto Hizbut Tahrir, h. 41. 19
Nawiy, “Kebijakan Khilafah”, diunduh pada 6 Mei 2017.
50
diatur sesuai dengan agama mereka oleh para hakim yang berasal dari kalangan
mereka di Mahkamah Negara bukan di Mahkamah Khusus.20
Seandainya terjadi kasus Muslimah yang telah menikah dengan pria
Nasrani sebelum Khilafah tegak, maka setelah Khilafah tegak, akad pernikahan
tersebut dibatalkan sesuai dengan ketentuan hukum syariat (Muslimah haram
dinikahi oleh laki-laki non Muslim).21
Mengenai perbedaan agama, diperbolehkan pria Muslim untuk mengawini
wanita ahlul kitab, yaitu wanita Yahudi atau Nasrani, sesuai dengan keterangan
dari ayat QS. Al Maidah [5]: 5:
“……(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu……”22
Ayat tersebut jelas menyatakan kebolehan menikahi wanita-wanita ahlul
kitab yang menjaga kehormatannya. Namun sebaliknya, pernikahan seorang
Muslimah dengan pria ahlul kitab baik Yahudi maupun Nashrani, secara syariat
adalah haram dan sama sekali tidak boleh. Jika telah terjadi maka perkawinannya
20
Taqiyuddin an Nabhani, Daulah Islam: Edisi Mu’tamadah 1423 H/2002 M (Jakarta:
HTI Press, 2012), h. 203. 21
Hizbut Tahrir Indonesia, Struktur Negara Khilafah: Pemerintahan dan Administrasi,
Terj. Yahya A.R., cet ke-3 (Jakarta: HTI Press, 2008), h. 209. 22
Nabhani, Sistem Pergaulan Islam, h. 183.
51
adalah tidak sah dan tidak terakadkan. Keharaman ini terdapat dalam QS. Al
Mumtahanah [60]: 10, sebagai berikut: 23
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka......”
Ayat di atas mencakup seluruh orang kafir, baik orang musyrik maupun
ahlul kitab. Muslimah haram dinikahi pria ahlul kitab, karena ahlul kitab termasuk
kelompok orang-orang kafir. Sementara itu, penyebutan orang-orang musyrik
adalah bagi kafir selain ahlul kitab. Mereka adalah orang Majuzi, kaum shabi‟ah,
Buddha, pagan, dan semacamnya. Seluruh kaum Muslim tidak boleh menikah
dengan mereka secara mutlak. Keterangan ini diterangkan dalam QS. Al Baqarah
[2]: 221, sebagai berikut:24
23
Nabhani, Sistem Pergaulan Islam, h. 184. 24
Nabhani, Sistem Pergaulan Islam, h. 188.
52
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu….”
Akad nikah dianggap sah apabila mencukupi syarat syariat Islam dan jelas
bahwa mempelai wanita haruslah Muslimah atau ahlul kitab (Yahudi atau
Nashrani), sedangkan mempelai pria harus seorang Muslim, bukan non Muslim.
Ketentuan seperti ini tidak bisa diubah dengan alasan perdamaian atau toleransi.
Tentang perkawinan, Hizbut Tahrir juga membolehkan poligami dengan
dasar alasan terdapat tabiat pada laki-laki yang tidak bisa puas hanya dengan satu
orang isteri, istri yang mandul, istri yang sakit sehingga tidak bisa melakukan
kewajibannya, janda ditinggal mati suami dalam perang, tidak seimbang angka
kelahiran laki-laki dan perempuan, kaum perempuan lebih banyak daripada laki-
laki.25
c) Hubungan Umat Beragama dalam Hal Pergaulan Kepemimpinan
Dalam hal kepemimpinan, khilafah tidak membolehkan non Muslim untuk
menjadi pemimpin dalam Daulah Islam. Warga non Muslim dilarang memegang
jabatan penting dalam kekuasaan, seperti tercantum dalam rancangan draft UU
Hizbut Tahrir pasal 19 tentang Sistem Pemerintahan, “Tidak dibenarkan
seorangpun berkuasa atau menduduki suatu jabatan apa saja yang berkaitan
25
Nabhani, Sistem Pergaulan Islam, h. 220.
53
dengan kekuasaan, kecuali seorang laki-laki, merdeka, adil, dan beragama
Islam.”26
Dalil ayat Al Quran yang digunakan untuk melarang non Muslim sebagai
pemimpin adalah QS. Ali Imran ayat 28, sebagai berikut:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah……”
Banyak ulama yang menafsirkan “kafir” dalam ayat ini sebagai non
Muslim, namun ada pula ulama yang menyampaikan tafsir berbeda dan lebih
bersahabat.27
Dalam menyelenggarakan politik dalam negeri, Daulah Islam mempunyai
kewajiban melaksanakan syariat Islam kepada warga negara Muslim atau non
Muslim. Bentuk pelaksanaannya dirinci sebagai berikut:28
1. Seluruh hukum Islam dilaksanakan kepada Muslim atau non Muslim.
2. Warga non Muslim dibebaskan atas akidah dan peribadatan mereka.
3. Warga non Muslim diperlakukan dalam urusan makanan dan pakaian
sesuai agama mereka.
4. Pernikahan dan perceraian warga non Muslim diurus sesuai agama mereka
oleh para qadhi yang berasal dari kalangan mereka. Kemudian, ditetapkan
26
Muhammad Zaki Mubarak, “Muslim Utopia-Gerakan dan Pemikiran Politik HTI
Pasca Reformasi,” Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. IX No. 1 tahun 2007 (Jakarta
: UIN Jakarta, 2007), h. 39-40. 27
Abdillah Toha, “Membela Islam,” Koran Kompas, Sabtu, 11 Oktober 2014. 28
Nabhani, Daulah Islam, h. 203.
54
urusan tersebut di antara mereka dengan kaum Muslim sesuai hukum
Islam dan oleh qadhi dari kalangan Muslim.
Negara melaksanakan syariat Islam lainnya seperti muamalah, sanksi, sistem
pemerintahan, perekonomian dan sebagainya kepada seluruh warga negara.
Pelaksanaan tersebut diberlakukan sama, baik kepada Muslim maupun non
Muslim yang dalam perlindungan negara.
d) Hubungan Umat Beragama dalam Hal Perayaan Hari Besar
Keagamaan
Fenomena yang terjadi di Indonesia, HTI kerap kali mengkritisi hari raya
agama lain saat momennya, seperti natal, nyepi, dan lain sebagainya. Bahkan
untuk perayaan lainnya seperti Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang). HTI juga
kerap kali mengharamkan Hari Kasih Sayang tersebut yang dinilai tidak
mencerminkan Islam dan memicu terbukanya pintu kemaksiatan bagi para
generasi muda.
Sebagai contoh dalam konteks perayaan hari Natal, apabila ikut
merayakan Hizbut Tahrir menganggap umat Muslim didorong untuk menerima
kebenaran ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan
Yesus. Hal tersebut rentan dengan konsep pluralisme. Jika ide pluralisme berhasil
ditanamkan di tubuh umat Islam, hal-hal sensitif terkait masalah agama seperti
pemurtadan, pernikahan beda agama akan semakin mulus berjalan sebagai agenda
jahat dari non Muslim. Lebih jauh, akan menurunkan semangat umat Islam untuk
memperjuangkan syariat. Perayaan Natal bersama dan Tahun Baru dapat
55
memunculkan sinkretisme, hal tersebut tampak dalam seruan partisipasi Muslim
merayakan Natal dan Tahun Baru, termasuk mengucapkan “Selamat Natal”.29
Karena itulah, dalam pandangan Hizbut Tahrir umat Islam diharamkan
ikut serta dalam peribadatan pemeluk agama lain dalam bentuk apapun saat hari
raya agama lain. Dengan menukil hadist Nabi Saw.: “Siapa saja yang menyerupai
suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).30
Dengan demikian Hizbut Tahrir menganggap hubungan antar umat
beragama yang ideal, tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan yang
dianut. Apabila terjadi, hal tersebut merupakan bentuk hubungan antar umat
beragama yang berlebihan karena tidak mengikuti syariat Islam seperti perilaku
Muslim membandingkan Islam dengan agama lain.
Dengan berbagai perhatian Hizbut Tahrir terhadap umat membuat mereka
memiliki ciri tersendiri yang dominan dapat dilihat oleh masyarakat umum yaitu
totalistik dan formalistik, menerapkan sikap kaku dalam memahami teks-teks
agama sehingga harus sesuai dengan keadaan dan perilaku Nabi Saw. saat di
Mekah dan Madinah. Diterapkannya syariat Islam di Daulah Islam seperti yang
diinginkan Hizbut Tahrir diharapkan dapat menawan hati non Muslim yang ikut
bernaung di dalamnya supaya memeluk Islam.
29
“Toleran yang Kebablasan,” tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/17/toleran-
yang-kebablasan/; diunduh pada 5 Mei 2017. 30
“Toleran yang Kebablasan”, diunduh pada 5 Mei 2017.
56
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hubungan antar umat beragama yang ideal menurut perspektif Hizbut
Tahrir yaitu lakum dinukum waliyadin, masing-masing dalam ajaran agama yang
dianut. Hubungan antar umat beragama ini mencermati bagaimana perspektif
Hizbut Tahrir terhadap hubungan antar umat bergama, maka penulis sadari hal
tersebut tidak akan terlepas dari konsep khilafah sebagai konsep utama yang
dimiliki Hizbut tahrir. Secara sederhana menurut konsep Daulah Islam, Khilafah
memberi pemisahan terhadap warga negara berdasarkan agama yang dianut, yaitu
Muslim dan non Muslim. Secara logis, konsekuensi dari pemisahan tersebut
menyebabkan adanya pembedaan hak dan kewajiban, walaupun seringkali
disebutkan memperlakukan mereka tersebut secara sama dan bahwa dalam konsep
khilafah terdapat hukuman tersendiri bagi muslim yang menjadi pemeluk agama
lain dan nantinya non muslim adalah makhluk ke dua, yang diposisikan lemah dan
patut dilindungi sekaligus tunduk pada institusi Islam.
Hizbut Tahrir menilai agama lain sebagai kaum lemah yang patut
dilindungi sekaligus juga kaum musuh yang pantas diperangi. Tergantung kepada
kaum mana yang menghormati Islam. Apabila memusuhi dakwah Islam, yang
mana oleh Hizbut Tahrir disebut kafir harby maka halal darahnya. Namun Hizbut
Tahrir juga melindungi kafir yang taat pada aturan khilafah dan hidup di
57
dalamnya dengan syarat membayar jizyah. Kafir tersebutlah yang Hizbut Tahrir
berikan jaminan perlindungan.
Dalam realitasnya, Hizbut Tahrir tidak bermasalah dengan non muslim
selama tidak menganggu dakwah Islam. Namun Hizbut Tahrir sangat hati-hati
terdapat isu-isu lintas agama seperti pernikahan beda agama, kepemimimpinan,
pergaulan dan hari raya. Bagi mereka hubungan dengan non muslim jangan
sampai berlebihan sampai-sampai lupa jati diri Islam yang sejati.
Secara misi, Hizbut Tahrir sangat mengutamakan umat Islam bersatu dan
memiliki jumlah yang banyak. Agar cita-cita utama mereka yaitu tegaknya
khilafah sebagai hal yang dijanjikan segera dapat terwujud. Karena terdapat beban
yang berat bagi Hizbut Tahrir yang memegang kuat prinsip dari sebuah hadist,
barangsiapa yang tidak menegakkan Khilafah dalam kurun waktu tiga hari saja.
Maka seluruh kaum itu berdosa besar.
Dengan tiga jalan dakwah yang dilaksanakan yaitu pembinaan dan
pengkaderan, interaksi dengan umat, dan pengambil-alihan kekuasaan, Hizbut
Tahrir berdakwah untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan menyebarkan
risalah Islam ke seluruh dunia.
Walaupun memang dalam prosesnya Hizbut Tahrir tidak jarang menemui
kendala. Seperti yang terjadi baru-baru ini pada tanggal 18 Juli 2017 di gedung
Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB
seiring dengan digulirkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan, Hizbut Tahrir
dibubarkan secara paksa oleh pemerintahan Presiden Jokowi di Indonesia. Tidak
58
hanya di Indonesia, melainkan banyak di negara lain Hizbut Tahrir dicap sebagai
organisasi terlarang karena ajaran dakwahnya yang kontras dengan spirit
demokrasi dan nasionalisme di berbagai dunia. “Menabrakkan” sistem buatan
manusia dan sistem Tuhan inilah yang menjadi kendala.
Pemikiran Hizbut Tahrir tentang khilafah secara akademis membuka
kembali wacana politik dalam Islam. Dan masyarakat Indonesia memerlukan
persatuan bangsa untuk melanjutkan pembangunan bangsa. Jika suatu bangsa
tidak berhasil mengatasi konflik intern pemeluk agama yang terjadi kemudian
adalah kekacauan dan ketidakstabilan, sehingga akan mengalami disintegrasi.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kerukunan umat beragama merupakan
prasyarat keberhasilan pembangunan Indonesia.
B. SARAN
Penulis menyadari perlu adanya penelitian lebih jauh mengenai Hizbut
Tahrir, karena Hubungan antar Umat Beragama menurut Hizbut Tahrir hanya
sebagian kecil materi dalam konsep khilafah. Dari seluruh rangkaian di atas ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh aktifis Hizbut Tahrir yaitu dengan
bergulirnya Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017 Hizbut Tahrir Indonesia resmi
dibubarkan pemerintah Indonesia, selanjutnya perlu penelitian mengenai apakah
setelah badan hukum ormas dicabut dapat menerima dengan baik atau tidak,
dibuktikan dengan aktifitas apa yang mereka lakukan setelah pembubaran.
Kemudian, Hizbut Tahrir perlu belajar menginterpretasikan Al Qur’an dan
As Sunnah dengan pemikiran yang terbuka dan relevan sesuai zaman. Walaupun
59
pada teorinya Taqiyuddin an Nabhani tidak menghendaki pemikiran yang
disesuaikan dengan zaman. Namun realita yang sedang dan sudah terjadi,
berbagai kesulitan dan penuh liku dari masa ke masa dihadapi organisasi Hizbut
Tahrir di berbagai negara dunia.
60
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Fachruddin, Fuad. Muhd. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1988.
Haryanto. Gerakan Sosial Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Hizbut Tahrir Indonesia. Struktur Negara Khilafah: Pemerintahan dan
Administrasi, Terj. Yahya A.R., cet ke-3. Jakarta: HTI Press, 2008.
Hizbut Tahrir. Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam. T.tp: Hizbut Tahrir Indonesia, 2009.
Hornby, A.S. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, sixth
edition. Ttp.: Oxford University Press, 2000.
Jahar, Asep Saepudin, dkk., Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Laboratorium
Sosiologi Agama, 2010.
Kbbi.web.id/hubung, diakses 25 Desember 2017.
Kementrian Agama R.I. Modul Diklat Teknis Kerukunan Umat Beragama: Faktor
Integrasi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, 2012.
Maududi, Abu A’la al. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, terj. Asep
Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
______. “Dasar-dasar Konstitusi Islam.” Beberapa Pandangan Tentang
Pemerintahan Islam, Salim Azzam, pen. Bandung: Mizan, 1983.
Mubarak, Muhammad Zaki. “Muslim Utopia-Gerakan dan Pemikiran Politik HTI
Pasca Reformasi.” Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. IX
No. 1 tahun 2007. Jakarta : UIN Jakarta, 2007.
Mundhir. “Khilafah Islamiyah dan Hak-hak Minoritas Perspektif Hizbut Tahrir.”
Teologia: Jurnal Kajian Ilmu Ushuluddin Volume 20 Nomor 1 tahun
2009. Semarang: IAIN Walisongo, 2009.
Nabhani, Taqiyuddin an. Daulah Islam: Edisi Mu’tamadah 1423 H/2002 M.
Jakarta: HTI Press, 2012.
______. Peraturan Hidup dalam Islam, terj. Abu Amin, cet ke-11. Jakarta: Hizbut
Tahrir Indonesia, 2013.
61
______. Sistem Pergaulan Islam: Edisi Mu'tamadah, terj. M. Nashir, cet. ke-8.
Jakarta: HTI Press, 2014.
______. Mafahim Hizbut Tahrir: Edisi Mu’tamadah, cet. ke-6. Jakarta: Hizbut
Tahrir Indonesia, 2001.
______. Kepribadian Islam. Jakarta Selatan: HTI Press, 2011.
Nusrati, Ali Asgar. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar. Jakarta: Nur al-Huda,
2015.
Ramadlan, Syamsuddin. Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah. Jakarta:
Pustaka Panji Mas, 2003.
Toha, Abdillah. “Membela Islam.” Koran Kompas, Sabtu, 11 Oktober 2014.
Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi, ed. Islam dan Radikalisme di Indonesia.
Jakarta: LIPI Press, 2005.
Website:
“Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan,” tersedia di https://hizbut-
tahrir.or.id/2012/12/06/keadilan-islam-dalam-keragaman-dan-perbedaan/;
diunduh pada 27 Juni 2017.
“Khilafah Ajaran Islam Wajib Ditegakkan Kembali,” tersedia di https://hizbut-
tahrir.or.id/2017/06/21/khilafah-ajaran-islam-wajib-ditegakkan-kembali/;
diunduh pada 21 Juni 2017.
“Toleran yang kebablasan,” tersedia di http://hizbut-
tahrir.or.id/2014/12/17/toleran-yang-kebablasan/; diunduh pada 5 Mei
2017.
“Toleransi antar Umat Beragama (Lengkap),” tersedia di http://info-bendera-
putih.blogspot.co.id/2017/04/toleransi-antar-umat-beragama-lengkap.html
; diunduh pada 15 Juni 2017.
Nawiy, Fathiy Syamsuddin Ramadhan An. “Kebijakan Khilafah Terhadap Non
Muslim,” tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id; diunduh pada 6 Mei 2017.
Rasytah, Atha’ bin Khalil Abur. “Pakaian Wanita Non-Muslim dalam Naungan
Khilafah,” tersedia di http://www.putra-
dayeuhluhur.com/2014/08/pakaian-wanita-non-Muslim-dalam-
naungan.html; diunduh pada 18 Mei 2017.
Lampiran I :
PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
RENCANA PEMERINTAH MEMBUBARKAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
(Diterbitkan di dalam website resmi Hizbut Tahrir Indonesia hhtp:hizbut-
tahrir.or.id setelah tersiar wacana pembubaran HTI oleh Pemerintah)
Melalui konferensi pers yang diselenggarakan pada Senin, 8 Mei 2017,
Menkopolhukam Wiranto menyatakan akan melakukan proses pembubaran
terhadap organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dengan alasan bahwa HTI
dinilai tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses
pembangunan guna mencapai tujuan nasional; terindikasi kuat telah bertentangan
dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas; kegiatan yang dilakukan nyata-nyata telah
menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan
ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Berkenaan dengan hal tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Menolak keras rencana pembubaran tersebut, karena langkah itu tidak
memiliki dasar sama sekali. HTI adalah organisasi legal berbadan hukum
perkumpulan (BHP) dengan Nomor AHU-0000258.60.80.2014 tertanggal
2 Juli 2014. Sebagai organisasi legal, HTI memiliki hak konstitusional
untuk melakukan dakwah yang amat diperlukan untuk perbaikan bangsa
dan negara ini. Maka, semestinya hak ini dijaga dan dilindungi oleh
pemerintah, apalagi selama ini kegiatan HTI telah terbukti memberikan
kebaikan kepada masyarakat di berbagai wilayah negeri ini. Oleh karena
itu, rencana pembubaran yang hendak dilakukan oleh pemerintah telah
secara nyata akan menegasikan hak konstitusional tersebut, yang dijamin
oleh peraturan perundangan yang ada, serta akan menghilangkan kebaikan
yang sudah dihasilkan. Kemudian secara syar’iy, pembubaran terhadap
HTI berarti penghambatan terhadap kegiatan dakwah yang
konsekuensinya amat berat di hadapan Allah SWT di Akhirat kelak.
2. Secara faktual, HTI selama lebih dari 20 tahun telah terbukti mampu
melaksanakan kegiatan dakwahnya secara tertib, santun dan damai, serta
diselenggarakan sesuai prosedur yang ada. Oleh karena itu, tudingan
bahwa kegiatan HTI telah menimbulkan benturan yang dapat mengancam
keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan
NKRI adalah tudingan mengada-ada.
3. Sebagai organisasi dakwah, kegiatan HTI adalah menyampaikan ajaran
Islam. Tidak ada yang disampaikan oleh HTI, baik itu terkait aqidah,
syakhsiyyah, syariah, dakwah maupun khilafah dan lainnya kecuali ajaran
Islam. Menurut Pasal 59 UU No. 17/2013 Tentang Ormas, ajaran Islam
tidaklah termasuk paham yang disebut bertentangan dengan Pancasila.
Oleh karena itu tudingan bahwa kegiatan HTI bertentangan dengan
Pancasila adalah tidak benar, dan bertentangan dengan UU Ormas itu
sendiri.
4. Melalui kegiatan dakwah yang dilakukan secara intensif di seluruh
wilayah Indonesia, HTI telah memberikan kontribusi penting bagi
pembangunan SDM negeri ini yang bertakwa dan berkarakter mulia,
sesuatu yang sangat diperlukan di tengah berbagai krisis yang tengah
dialami oleh negara ini seperti korupsi yang berpangkal pada lemahnya
integritas SDM yang ada. Selain itu, HTI juga terlibat dalam usaha
mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang bakal merugikan
bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal,
juga UU Sisdiknas dan lainnya; sosialisasi anti narkoba; menentang
gerakan separatisme dan upaya disintegrasi. HTI juga terlibat dalam usaha
membantu para korban bencana alam di berbagai tempat, seperti tsunami
Aceh (2004), gempa Jogjakarta (2006) dan lainnya. Oleh karena itu,
tudingan bahwa HTI tidak memiliki peran positif tidaklah benar.
5. Berdasarkan semua hal di atas, HTI meminta pemerintah menghentikan
rencana tersebut. Bila diteruskan, publik akan semakin mendapatkan bukti
bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini adalah rezim represif anti
Islam. Buktinya, setelah sebelumnya melakukan kriminalisasi terhadap
para ulama, bahkan diantaranya ada yang masih ditahan hingga sekarang,
lalu melakukan pembubaran atau penghalangan terhadap kegiatan dakwah
di sejumlah tempat, kini pemerintah melakukan langkah guna
membubarkan ormas Islam. Sementara di saat yang sama, rezim justru
dengan sekuat tenaga melindungi penista al Quran, termasuk melalui
sidang peradilan yang tampak sekali dilihat oleh publik berjalan sangat
tidak adil.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
(M. Ismail Yusanto)
Lampiran II :
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa negara berkewajiban melindungi kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi kemasyarakatan
yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam
pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis,
agama, dan kebangsaan pelakunya;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena
belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum
dalam hal penerapan sanksi yang efektif;
d. bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam
kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan sesuai
dengan anggaran dasar organisasi kemasyarakatan yang telah terdaftar dan
telah disahkan Pemerintah, dan bahkan secara faktual terbukti ada asas
organisasi kemasyarakatan dan kegiatannya yang bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan belum menganut asas cantrarius actus sehingga tidak
efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
SALINAN
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan;
Mengingat:
1. Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara
sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah peraturan dasar
Ormas.
3. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat ART adalah
peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD Ormas.
4. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang dalam negeri.
2. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(l) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan narna,
lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau
lembaga/ badan internasional menjadi narna, lambang, atau bendera Ormas;
dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera,
atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam
bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan / atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang
dianut di Indonesia;
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban
umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila.
3. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) diiatuhi sanksi administratif.
(2) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana.
4. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6l
(1) Sanksi administratif sebegaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri
atas:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian kegiatan; dan/atau
c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum.
(2) Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) selain dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga dikenakan
sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)
berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(4) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari
instansi terkait.
5. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
(1) Peringatan tertulis sebagaimala dimaksud dalam Pasal 61 ayat (l) huruf a
diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian
kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat
keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
6. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 66 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 69 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 70 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 71 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 76 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 77 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 80 dihapus.
24. Di antara Pasal 80 dan Pasal 8l disisipkan I (satu) pasal, yakni Pasal 80A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 80A
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud daLam Pasal 61
ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
25. Ketentuan Pasal 81 dihapus.
26. Di antara BAB XVII dan BAB XVIII disisipkan I (satu) BAB, yakni BAB
XVIIA yang berbunyi sebagai berikut:
BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA
27. Di antara Pasal 82 dan pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82A
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan
sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan - dan paling
lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan
sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal- 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(3) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan pidana.
28. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan I (satu) pasal, yakni Pasal 83A
yang berbunyi sebagai berikut:
pasal 83A
Pada saat Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang ini.
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 138