persoalan arah kiblat

Upload: mutoha-arkanuddin

Post on 10-Jul-2015

94 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERSOALAN ARAH KIBLATDiposkan oleh ZUL FAHMI Label: ARAH KIBLAT on undefined undefined, undefined | 0 komentar

Oleh : Zul Fahmi Akhir-akhir ini muncul persoalan di tengah-tengah umat Islam seputar masalah penentuan arah kiblat. Di masjid-masjid sedang ramai dilakukan perubahan arah kiblat yang menurut pengumuman Departemen Agama di berbagai media, telah mengalami pergeseran karena berkali-kali terjadi bencana gempa khususnya di Indonesia. Ramainya perubahan arah kiblat yang dilakukan oleh masing-masing pengurus masjid, bukanlah hal yang sederhana, namun ternyata menimbulkan persoalan yang sedikit rumit dan membingungkan. Di Sebagian masjid memang tidak terjadi kebingungan itu, namun di masjid-masjid yang lain hal itu terjadi. Misalnya beberapa masjid harus menggeser arah kiblatnya hingga bagian depannya hilang dua shaf. Ada pula masjid yang harus menggeser arahnya hampir 40 derajat. Ada juga masjid yang sudah kadung dibangun dengan susah payah, namun ternyata kiblatnya salah total. Bahkan ada wacana bahwa masjid-masjid itu akan dibongkar dan dan dibangun ulang. Hal ini telah menimbukan polemik di masyarakat, baik antar pengurus masjid maupun antar masyarakat umum apakah hanya menggeser posisi sholat atau membongkar masjid yang sudah berdiri megah. Bagaimana pula dengan masjid yang pergeserannya cukup tajam, apakah juga harus dibongkar dan dibangun yang baru atau cukup diubah posisi sholatnya. MENGHADAP KIBLAT ADALAH SYARAT SAH DALAM SHOLAT Menghadap arah kiblat hukumnya wajib dan menjadi syarat sahnya sholat. Dalam AlQuran surat Al-Baqoroh ayat 144 Allah Taala berfirman : Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan

Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. ( QS. AlBaqoroh :144) Nabi SAW. bersabda seorang sahabat kholad bin Rafi Al-Anshari : apabila kamu sholat maka sempurnakanlah wudlumu kemudian menghadaplah ke kiblat ( Hadits riwayat Bukhori dan Muslim ) An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah. Beliau juga mengatakan, Dalam hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah. (Lihat Syarh An Nawawi ala Muslim, 2/132) Ayat dan hadits di atas menjadi dalil bahwa dalam melakukan sholat wajib menghadap kiblat, dan tidak sah hukunya jika tidak menghadap kiblat. Namun dalam keadaan tertentu diperbolehkan melakukan shalat dengan tidak menghadap kiblat. 1. Dalam keadaan takut Dalam keadaan takut misalnya ketika melakukan peperangan, atau ada ancaman binatang buas, atau ada bahaya yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.( QS. Al-Baqoroh : 239 ) Imam Ibnu Katsier dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata farijaalan au rukbaanan, artinya adalah shalatlah dengan keadaan bagaimanapun, baik dengan menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat. 2. Melakukan shalat sunah di atas kendaraan. Orang yang melakukan shalat sunah di atas kendaraan boleh menghadap ke arah yang sesuai dengan arah kendaraannya berjalan. Hanya saja ketika takbiratul ihram ia harus menghadap ke arah kiblat. Sebuah hadits dari Jabir ra. Berkata : Adalah Rasulullah SAW. pernah shalat di atas kendaraannya kearah mana saja kendaraannya menghadap. Dan apabila beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat ( Hadits riwayat Bukhori ) 3. Tidak mengetahui arah kiblat Apabila arah kiblat tidak diketahui maka hendaklah menghadap kearah mana saja yang diyakini. Sebuah hadits dari Amir bin Rabiah dari ayahnya berkata :

{ } kami pernah bersama Nabi SAW. dalam sebuah perjalanan di malam yang gelap gulita dan tidak mengetahui arah kiblat. Maka kemudian shalatlah kami menurut pendapat masing-masing. Setelah waktu shubuh kami beritahukan kepada Nabi SAW. maka ketika itu turunlah ayat maka kemana saja kamu menghadap, disitulah arah yang disukai Allah ( hadits riwayat At-Titmidzi ) KIBLAT DAN PENDAPAT TENTANG MENGHADAP KIBLAT Mengenai arah kiblat ada dua hal yang perlu dijelaskan yaitu apa pengertian kiblat dan bagaimana yang dimaksud dengan menghadap kiblat. Kiblat sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih adalah arah kabah atau ainul kabah yaitu fisik dari bangunan kabah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Mughnil Muhtaj salah satu kitab yang masyhur dikalangan madzhab SyafiI disebutkan kiblat secara bahasa adalah arah, dan yang dimaksud dengannya adalah bangunan kabah itu sendiri. Disebut kiblat karena kaum muslimin sholat menghadapnya, dan disebut kabah karena ketinggiannya. Sedangkan yang dimaksud menghadap arah kiblat adalah menghadapkan dada menuju arah kiblat ketika melaakukan shalat. Dalam kitab Al-fiqh ala Al-Madzahibul Al-Arbaah disebutkan bahwa bagi orang yang bermukim di mekkah atau dekat dengannya, maka shalatnya tidak sah kecuali dengan menghadap kiblat ( kabah ) secara yakin selama hal itu memungkinkan. Namun jika tidak memungkinkan, maka hendaknya ia berijtihad untuk menghadap ainul kabah, karena tidak cukup hanya menyamakan arah saja selama masih muqim di mekkah. sedangkan bagi orang yang bertempat di daerah yang tinggi ( di atas bukit ) atau di daerah yang rendah, yang tidak mungkin ketika shalat bisa mengarah tepat ke kabah, maka sah shalatnya jika ia menghadap ke arah yang bertepatan di atas kabah atau di bawah kabah. Karena menghadap ke udara di atas kabah atau menghadap ke tanah di bawah bangunan kabah sama halnya dengan menghadap ke arah bangunan kabah. Hal ini disepakati oleh semua madzhab kecuali oleh Malikiyah Sedangkan orang yang hidup di Madinah maka kiblat mereka adalah mihrabnya masjid nabawi, karena mihrab itu diletakkan oleh Nabi SAW. berdasarkan wahyu. Dan tidak wajib bagi mereka berusaha menghadap kepada ainul kabah. Abdurrahman Al-Jaziiri mengatakan bahwa apabila penduduk Madinah bergeser kiblatnya dari kabah baik ke kanan atau ke kiri, maka shalatnya tetap sah. Karena inhiraf atau bergeseran yang sedikit itu tidak merusak shalat dan masih bisa dikatakan searah dengan kiblat. Pendapat sebagaimana penjelasan di atas adalah pendapat jumhur ulama. Dalil-dalil yang mereka sebutkan diantaranya adalah : Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan syatro dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah kabah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke kabah namun cukup menghadap arahnya. Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,

Arah antara timur dan barat adalah qiblat. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih.) Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat kabah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah kabah. Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa menghadap ke arah kiblat itu harus persis ke bangunan kabah. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafiiyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah. Mereka berdalil Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke kabah. (QS. Al Baqarah: 144) Yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kabah. Jadi seseorang harus menghadap ke kabah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun alaih bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua rakaat di depan kabah, lalu beliau bersabda, Inilah arah kiblat. (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330). Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah kabah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa orang yang tidak bisa melihat kabah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja berdasarkan hadits antara arah timur dan barat ada kiblat , dan pendapat kelompok Syafiiyah, yang mengatakan bahwa harus menghadap persis kea rah kabah berdasarkan pada sebuah hadits inilah arah kiblat adalah dalil-dalil yang bisa dikompromikan. Hadits yang digunakan oleh golongan Syafiiyah adalah hadits untuk orang yang melihat kabah secara langsung, sedangkan hadits yang digunakan oleh kelompok jumhur adalah hadits bagi orang yang jauh dan tidak bisa melihat kabah. Sehingga dapat disimpulkan : 1. Bagi orang yang bisa melihat kabah secara langsung, maka ia punya kewajiban untuk menghadap ke arah kabah persis, tanpa boleh melenceng. 2. Namun jika seseorang berada jauh dari Kabah, maka cukuplah baginya menghadap ke arahnya saja. KESIMPULAN Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa berkaitan dengan perubahan arah kiblat di Indonesia dan sekitarnya sebagaimana pengumuman MUI maka umat Islam tidak perlu merubah posisi sholat mereka. Kewajiban menghadap ke arah kiblat persis ke bangunan kabah itu berlaku bagi orang yang mukim di mekkah dan bisa menyaksikan bangunan

kabah. Sementara bagi orang yang berada jauh dari kota mekkah mereka tidak punya kewajiban untuk menghadap kiblat persis ke bangunan kabah. Ash-shonani dalam kitabnya subulus salam mengatakan : Ada yang mengatakan bahwa kami akan berusaha menghadap arah kiblat persis ke kabah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaikbaik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Kabah secara langsung). Seperti yang disebutkan dalam kitab subulus salam tersebut bahwa menghadap arah kiblat persis ke bangunan kabah adalah pekerjaan yang sangat sulit bagi orang hidup jauh dari mekkah. Padahal dien ini diturunkan bukan untuk mempersulit tetapi untuk mempermudah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam Dari hadits di atas bisa disimpulkan bahwa apabila seseorang memang mampu menghadap kiblat persis ke arah bangunan kabah maka itu adalah yang lebih utama. Tetapi jika hal itu menimbulkan kesulitan dan tidak mungkin dilakukan maka tidak mempersulit diri adalah tindakan yang lebih utama. Kita tahu bahwa bumi itu bulat dan semua wilayah yang jaraknya jauh dari Mekkah seperti Negara Indonesia itu tidak mungkin bisa orang yang melakukan shalat bisa menghadapkan dirinya ( dadanya ) ketika sholat, persis ke arah bangunan kabah, tetapi pasti ke arah udara atau ruangan hampa di atas kabah. Maka dari itu berkaitan dengan pengumuman MUI atau DEPAG bahwa arah kiblat mengalami pergeseran, kaum muslimin tidak perlu merubah arah kiblatnya jika hal itu menimbulkan kesulitan atau masalah-masalah yang tidak diinginkan, apalagi harus merobohkan masjid yang sudah terlanjur dibangun. Namun jika perubahan kiblat tersebut tidak menimbulkan kesulitan dan juga tidak menimbulkan kebingungan, maka hal itu baik- baik saja dilakukan. BAHAN BACAAN Syarh shahih Muslim, Imam Nawawi. Mughnil Muhtaj, Imam khatib Asy-Syirbini. Al-fiqh ala Al-madzahibu Al-arbaah, Syaikh Abdurrohman Al-jaziiri. Nailul author, imam Syaukani Subulus salam syarh bulugul marom, Imam Ash-Shanani.

Pemikiran Syeikh Nawawi Banten tentang Arah Kiblat.pta-banten.net | Serang (01/03) Pendahuluan. Dalam sebuah silaturrahim antara Prof. Abdurahman (Hakim Agung) dan Prof Tihami (Rektor IAIN Maulana Hasanudin) di Serang, saya berkesempatan untuk ikut hadir dan mendengarkan percakapan mereka tentang Syeikh Nawawi Banten Allahu yarham. Saya sangat tertarik ketika percakapan mereka sampai ke sebuah topik dimana Syeikh Nawawi juga punya konsep tentang bagaimana cara menentukan arah kiblat untuk masyarakat Banten pada khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya. Hal tersebut terdapat pada kitab beliau yang berjudul Muraqil ubudiyah hal 44 dan d5. Kata beliau kitab itu ada yang dicetak di Timur Tengah dan ada pula yang di cetak di Jawa. Walau isinya sama, tetapi dari segi artistik memang ada perbedaannya. Sebagai pencinta ilmu falak saya sangat tertarik, kemudian saya membelinya dan di Serang sangat mudah mencarinya. (Ketika kemudian saya melihat kitab itu di Purwokerto, ternyata berbeda, syarah kitab itu di Purwokerto isinya adalah Bidayatul hidayah, dan tidak ada kaitannya dengan penentuan arah kiblat.) Setelah saya baca dan pahami , maka saya ingin coba rangkum isinya sebagai berikut.

Beberapa pandangan beliau tentang arah kiblat : 1. Shalat wajib menghadap ke arah ainul kabah, secara yakin bagi yang dekat dari kabah, dan secara dzanni bagi yang jauh darinya 2. Dimaksud dengan arah kiblat adalah arah yang didapati dari prinsip qadah mutsalats, atau segitiga sama sisi dimana salah satu sudutnya adalah wajah musholli, dan sudut lainnya adalah dua buah titik di ufuk, dan ditengah-tengah dua titik diufuk itulah arah kabah yang sebenarnya 3. Dimaksud dengan kabah disini bukan bangunan fisiknya, tetapi azimuthnya, termasuk tanah dibawahnya dan udara diatasnya , sampai bumi dan langit yang tujuh. 4. Untuk Banten, sudutnya adalah 26 ke utara dari arah barat. 5. Cara sederhana menentukan arah kiblat adalah sbb. a. Buat garis dari barat ketimur se olah olah sebagai garis katulistiwa b. Letakkan diatas garis tersebut 64 koin berjajar dari timur kebarat. Angka ini adalah selisih bujur Banten dan bujur Makkah c. Pada ujung koin paling barat letakkan berderet keutara 21 koin (21 adalah bilang lintang Makkah) d. Pada ujung koin paling timur letakkan berderet ke selatan 6 koin ( 6 adalah lintang selatan Banten)

e. Tarik dari ujung selatan koin yang enam ke arah ujung utara koin yang 21, itulah garis arah kiblat. Keterangan Point 1 isinya murni fiqih sehingga saya tidak akan membahasnya, tetapi nampaknya beliau ingin mengambil pendapat yang tengah-tengah, dan tidak terlalu menyulitkan bagi rakyat awam. Point 2 yang dengan memperluas sudut arah kiblat secara dzonni sebesar sudut segi tiga sama sisi yakni 60 derajat, berakibat adanya toleransi penyimpangan sampai 30 derajat ke kiri maupun ke kanan ,mungkin disini beliau ingin menjelaskan maksud dari jihad kabah, atau ainul kabah secara dzonni. Alasanya cukup rasional . Yang wajib menghadap Kabah adalah wajah seorang musholli ( Al Baqarah Ayat 144), sedang wajah bukanlah bagian tubuh yang rata, tetapi bidang yang melengkung, karena pipi kiri maupun kanan, dan bagian pinggir dahi, tidaklah se-arah dengan bagian tengah dahi maupun hidung (yang kesemuanya adalah bagian dari wajah). Dengan demikian dengan toleransi 30 ke kiri ataupun kekanan berarti masih ada bagian wajah kita yang menghadap kea rah kaabah . Misalnya, disuatu tempat arah kiblat secara tepat adalah azimuth 296 ( 26 dari barat ke utara). Kalau kita berdiri menghadap ke barat lurus, maka bagian pinggir wajah kita (pinggir pipi Kanan) masih menghadap ke arah azimuth 300 derajat ( 30 derajat dari barat arah ke utara). Berarti tentu ada bagian wajah yang mengarah ke Azimuth 296 Derajat. Ini bisa dianggap sebagai jihad kabah atau ainul kabah secara dzonni. Point 3 yang mengatakan bahwa dimaksud ainul kabah adalah azimuthnya, ini juga sangat rasional, karena kalau kita berada di lantai atas hotel di sekitar masjidil haram saja, dengan berdiri tegak kita tidak lagi menghadap kabah, tetapi menghadap ke udara diatas kabah. Kelihatannya seperti debat kusir, tetapi untuk jarak jauh dibumi , misalnya dari Madinatunnabi , kalau kita berdiri tegak kita hanya dapat menghadap ke azimuth kabah. Dengan berdiri tegak arah lurus horizontal di Madinah, sampai ke Makkah tentu sudah berada jauh diatas kabah. Ini terjadi karena permukaan kulit bumi yang melengkung berhubung bentuk bumi yg bulat laksana bola raksasa. Bapak Saaduddin Jambek dulu pernah berpendapat, bahwa arah kiblat bagi musholli yang ada di angkasa (planet bulan misalnya) adalah azimuth bumi . Pendapat ini saya kira parallel dengan pendapat Syekh Nawawi tadi, karena ketika bumi tampak tinggal sebuah titik , maka Kabah hanya merupakan sebuah titik yang berimpit dengan bumi yang juga hanya tampak seperti sebuah titik juga. Sehingga, menghadap azimuth bumi sama dengan menghadap bumi, dan menghadap bumi sama juga menghadap Kabah yang ada dalam bumi itu. Point 4 Arah Kiblat sebesar 26 dari barat arah ke utara atau 64 dari utara arah kebarat adalah hitungan kasar untuk daerah Banten, yang mungkin bisa juga bagi seluruh Jawa, ini adalah konsekwensi kalau kita menghitung memakai sistem beliau sebagaimana terdapat dalam point 5. Point 5 hitungannya sangat kasar. Untuk saat ini ada dua hali yang perlu diperbaiki yaitu : 1. Pengambilan data pada poin 5 huruf c dan d yaitu 21, 66 dan 6 adalah lambang dari jumlah derajat dari lintang Makkah, lintang Banten (Serang) dan selisih antara bujur Banten (Serang) dan bujur Makkah. Setelah saya coba menghitungnya dengan sistem tersebut, hasilnya adalah 24 0852. Untuk saat ini sudah diketahui secara lebih detil, bahwa lintang Banten bukan 6 lintang selatan, tetapi 6 08, lintang makkah bukan 21 lintang utara, tetai 21 25, sedang selisih bujur bukan

66 , tetapi 66 19.Dengan data yang lebih akurat, maka hasilnya tentu lebih teliti. Dan ketika saya coba dengan data tersebut, hasilnya adalah 24 3247. 2. Perhitungan menurut Syeikh Nawawi, masih dilandaskan pada anggapan bahwa bumi itu datar bagai tikar yang terhampar, sehingga perhitungan dilakukan dengan rumus tangens pada segitiga bidang datar, padahal kenyataan bumi bulat, sehingga perhitungan haruslah didasarkan pada rumus rumus goneometri. Untuk sekarang dari data tersebut diatas kalau dihitung dengn rumus terakhir ini didapatkan hasil 25 18. Tidak terlalu besar memang hanya selisih sekitar 1 08 apalagi kalau dikaitkan dengan poin 2 yang mengenal toleransi sampai dengan 30 .

Bahwa oleh karena itu untuk kepentingan praktis maka perhitungan sederhana ini cukuplah memadai, lebih-lebih bila koin sebagaimana dimaksud oleh Syeikh Nawawi ,diganti dengan hitungan sentimeter, desimeter atau bilangan tegel di masjid, sungguh sangat praktis. Untuk hal ini saja saya harus angkat topi atas penemuannya itu, padahal itu hanya sebuah pemikiran kecil beliau yang tertulis dalam salah satu dari sekian kitab-kitabnya. Sayang saya belum pernah jadi murid beliau langsung atau tidak langsung ,dan selama 3,5 tahun di Banten juga belum pernah berjumpa dengan keturunannya, tetapi kalau salah seorang cucunya, sewaktu kecil saya pernah melihatnya, yaitu yang biasa disebut oleh Bapak saya (KH Muthi bin KH Abd kafi Tsani) dengan Ibu Kaltsum,isteri kepala desa Tersobo Kebumen, ketika beliau silaturahmi kerumah Bapak sekitar tahun 1955. Beliau pernah mengajari keluarga kami doa mohon dipelihara kesehatan penglihatan dan pendengaran kita. Itupun kalau saya tidak salah ingat. Wallahu alam

Purwokerto, 20 Pebruari 2011.

*) Di tulis oleh Manshur Muthi Al Kafi, sebagai kenangan selama tiga setengah tahun mengabdi di PTA Banten