persiapan audiensi

Upload: masbekel-sepuh-dwijasetyaprasaja

Post on 14-Apr-2018

271 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    1/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 1

    Bahasa Jawa ;

    Pantaskah Kita Lestarikan Dalam Dunia Pendidikan1

    Oleh :

    Mas Bekel Sepuh Dwijasetyaprasaja,S.S.2

    Wiwin Eko Santoso,S.S.3

    Basa Jawa iku tuhu, kudu winucalna siwi, saking tataran kang andhap, ing madya

    tanapi inggil, lestarin budaya Jawa, dadya ndah milangoni,

    Bicara tentang bahasa perlu dilestarikan atau tidak, bagaimana melestarikannya, itu

    memang mengerikan! Sekali lagi, mencemaskan! Sekali lagi, menggelisahkan! Bicara

    bahasa, mau tidak mau, ya bicara orang yang menggunakannya. Orang yang menggunakan

    bahasa, secara sadar atau tidak, secara struktur ataupun kultur, ia pasti punya motif yang

    kadang kabur. Nah, motif itu ada yang sifatnya pragmatis/praktis, ada pula motif yang

    bersifat filosofis/ ideologis. Baik dalam motif pragmatis ataupun ideologis itu, bahasa

    menjadi punya pijakan, sekaligus punya topangan untuk hidup. Kalau tidak ada salah satudari 2 itu, bahasa memang akan mati. Kalau pun, salah satu motif itu saja yang ada, bahasa

    tetap hidup, hanya ia akan memakan motif yang lain. Artinya, jika masyarakat berselera

    dengan motif pragmatis, misalnya, maka motif ideologis suatu bahasa akan mati. Tapi bahasa

    itu tidak benar-benar mati, karena salah satu dari 2 motif tadi masih ada, sebagaimana ginjal,

    yang satu hilang dijual orang masih bisa hidup, meski lemah. Jadi, ya bahasa itu tidak benar-

    benar mati, karena salah satu dari 2 motif, yang entah praktis atau ideologis tadi, masih ada.

    1 Hasil perbincangan serta diskusi dengan isu hilangnya muatan lokal bahasa daerah dari struktur kurikulum

    2013, dan mengerucutlah dialog tersebut seperti dalam tulisan yang coba saya sampaikan di sini.2Guru Bahasa Jawa SMAN 1 Sanden, Bantul, Yogyakarta.

    3 Wiwin Eko Santoso,S.S. seorang sarjana sejarah, alumnus FIB UGM.

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    2/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 2

    Misalnya pada Bahasa Jawa, ia mewujud dalam bahasa ideologis ataupun bahasa pragmatis,

    artinya ia masih / tetap hidup.

    Hanya saja, dua motif itu bersaing. Tetapi, bahasa, dalam motif ideologis saja, yang

    jelas-jelas bersaudara pula, juga bersaing. Contohnya, ideologis pada masa Orde BAru dan

    Orde Lama berbeda. Pada zaman Orde baru laku dan laris betul ungkapan Jawa seperti

    Dedalan guna lan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah dhuwur wekasan yang ini

    pernah digunakan oleh Nurcholis Madjid. Tetapi Jaman Orde Lama, Soekarno lebih suka

    menggunakan bahasa jawa Raw - raw rantas, malang - malang putung, karena mengalah

    itu sesuatu yang mulia, adalah omong kosong dalam motif ideologisnya jaman Soekarno.

    Lain halnya dengan jaman orde Baru, itulah motif ideologis dalam bahasa.

    Menurut pendapat seorang kawan lama di Swarnadwipa Jambi sana, yang iasampaikan dalam email, bahwa untuk mengupas beberapa hal terkait bahasa, bisa di dekati

    dengan empat dalil ;

    1. Pertama,dalil historis. Untuk apa bahasa Indonesia atau bahasa Jawa perlu dirawatdan diingat kalau dia tidak berdalil ? Makanya, dalilnya pasti akan ditagih orang dan

    generasi muda. Itulah pentingnya dalil historis, Itulah termasuk dalil historis di sini.:

    [dalam] kerapatan [pemoeda Indonesia] laloe mengambil kepoetoesan:

    Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTUMPAH

    DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

    Kedua: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG

    SATOE, BANGSA INDONESIA.Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA

    PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

    . Kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:

    KEMAOEAN

    SEDJARAH

    HOEKOEM ADAT

    PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN4

    Penerapan dan peraturan itu juga sejarah. Misalnya, para ambtenar Belanda juga

    dikenai peraturan untuk menguasai bahasa negeri jajahannya. Pada masa

    pemerintahan Gubernur Jendral HM de Kock (menjabat 1826-1830), dikeluarkanKeputusan Pemerintah No.38, 22 November 1827, yang menyatakan bahwa kenaikan

    pangkat dalam dinas tergantung dari taraf pengetahuan bahasa Melayu dan Jawa.

    Lebih berat lagi, pada masa Gubernur Jendral DJ. de Eerens (1836-140), pemerintah

    mengeluarkan Keputusan No.30, 22 Mei 1837 yang menyatakan, bahwa semua

    permohonan resmi, termasuk naik pangkat di lingkungan pemerintahan dalam negeri,

    harus disertai dengan ijazah penguasaan Bahasa Melayu dan bahasa pulau Jawa, yakni

    Bahasa Jawa-Sunda dan Madura. Menurut pemerintah kolonial, bahasa Jawa dan lain

    4

    Lihat Maman S. Mahayana, Perkembangan Bahasa Indonesia-Melayu di Indonesia dalam Konteks SistemPendidikan, dalam Majalah Bahasa dan Sastra, Vol.21 Nomor.1 Edisi Januari-Maret 2003, hlm.103-104,

    Lampiran. [tanda garis bawah pada kutipan, aku yang nambahi Set]

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    3/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 3

    sebagainya, sangat berguna dalam hubungan komunikasi dengan para priyayi-priyayi

    pribumi.5

    Dengan begitu, bahasa disini sebagai alat komunikasi penguasa yang

    bersifat elit, bukan persatuan bangsa, tapi bahasa persatuan penguasa antar bangsa diHindia Belanda.

    Kita mengenal Sumpah Pemuda bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan.

    Memang kita tidak perlu lupa, bahwa Bahasa Indonesia sebenarnya adalah bahasa

    Melayu. Pada masa Pemerintahan Gubernur Jendral JJ.Rochussen, sudah menyebut

    bahwa bahasa Melayu adalah lingua franca di Nusantara. Oleh karenanya,

    berdasarkan Keputusan Gubernumen No.5, 13 Maret 1849, yang menyatakan

    perlunya pendirian sekolah pribumi, terutama bagi priyayi, dengan bahasa Melayu

    bertuliskan huruf Arab dan Latin. Tentu bahasa Melayunya adalah bahasa Melayu

    tinggi,6 yang krama inggil, bahasa priyayi sebagai bahasa penguasa. Para pemuda,

    yang memang anak priyayi, dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 mempunyai maksud

    dengan bahasa nasional Melayu atau Bahasa Indonesia yang tidak sama dengan

    maksud pemerintah kolonial. Lalu, Sejarah, lalu hukum adat, dan pendidikan,

    juga dalam butir penguat Sumpah Pemuda tidaklah sama dengan pengertian

    pendidikan dan sejarah dari pemerintah kolonial. Tentu saja tidak sama semangat

    bahasa Indonesia oleh Pemuda pada tahun 1928 dengan 79 tahun sebelumnya yakni

    Keputusan Gubernumen di bawah JJ. Rochussen. Namun kita tidaklah tahu siapa-

    siapa pemuda saat Sumpah Pemuda tahun 1928 itu yang melihat bahasa Melayu-

    Indonesia sebagai bahasa ideologis atau siapa yang melihat bahasa ini sebagai bahasapragmatis ? Jelas butuh satu abad rupanya, sejak dari Gubernur Jendral HM de Kock

    yang mengeluarkan Keputusan Pemerintah No.38, 22 November 1827 bahwa bahasa

    Melayu dan bahasa Jawa wajib dikuasai pejabat kolonial sebagai bahasa pragmatis

    [birokratis], hingga dari pemuda yang mengeluarkan keputusan Sumpah Pemuda

    tahun 1928 bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa ideologis, atau mulai ideologis,

    yang tentu, kini sudah menjadi bernilai historis. Tapi, itulah dalil historisnya, yah

    memang, bersumpah Pemuda, itu bahasa Indonesia, dan bahasa dalam cakupan

    hukum adat juga menjadi landasannya. Sekali lagi, itulah dalil historis, bahwa

    pengakuan bahasa persatuan oleh pemuda dengan nama bahasa Indonesia yangtanpa negara Indonesia itu. Tahun 1928 memang belum ada negara Indonesia,

    karena memang yang ada adalah negara Kolonial dan tentara kolonial. Jadi, negara

    dan tentara Indonesia saat itu belum ada, yang ada adalah pemuda. Jadi, dalil historis

    perlunya merawat bahasa Jawa, cukup dengan Sumpah Pemuda itu, dan cukup

    mantaplah.

    2. Kedua, dalil politis. Dalam Putusan Menteri Pengadjaran Pendidikan danKebudayaan Nomor 1186/BhgA, kutipan dari Berita Republik Indonesia Edisi 1

    Desember 1946, di sekolah juga diminta ajarkan demokrasi dengan cinta bangsa dan

    5Maman S. Mahayana,Ibid, hlm. 81

    6 Lihat Maman S. Mahayana,Ibid, hlm. 82-83

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    4/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 4

    kebudayaan, lalu diminta ajarkan rasa keadilan yang tidak terpisah dari rakyat.7

    Setidaknya sejak tahun 1946, menteri sudah instruksikan bahwa cinta bangsa dan

    budaya itu dapat mendekatkan diri pada demokrasi dan rakyat. Artinya, mana bisakita adil dan demokratis tanpa cinta bangsa dan budaya. Atau malah sebaliknya,

    memang suka budaya dan cinta bangsa yang diarahkan kepada demokrasi dan rakyat.

    Memang harus dipersempit dengan pertanyaan, bahwa cinta budaya Jawa, bisa tidak,

    menjadi cinta bahasa Jawa? Lalu, selain itu, bisa tidak, cinta bahasa Jawa menjadi

    cinta bangsa secara nasional bukan primordial? Kalau bisa, maka itu politis. Cinta

    budaya, misalnya cinta budaya Jawa, ya termasuk pasti pada saat orang mempelajari

    bahasa Jawa. Mungkin perlu dibuat suatu prinsipnya: untuk cinta bangsa, ya harus

    cinta budaya, dan untuk cinta budaya ya harus belajar bahasa Jawa.

    Jika seni Jawa termasuk dalam budaya dan bahasa Jawa, maka dalil bahasa Jawa yang

    merakyat bisa diambil dari pengertian dalil seni untuk rakyat. Menurut Penjelasan

    Peraturan Presiden Republik Indonesia No.26 Tahun 1960 tentang Pemberian HadiahSeni, bahwa seni harus mengandung harapan (optimistic realism), yang sesuai

    kenyataan (harapan), bukan sekedar kenikmatan (khayali) kepada rakyat. Harapan

    akan kesejahteraan dan keadilan melalui kesenian. Sosialisme Indonesia melalui seni.8

    Itu kata Penjelasan PP No.26/1960. maka itulah nilai politis bahasa Jawa, sehingga

    menjadi berguna.

    Pada tahun 1963 memang Presiden Soekarno, dalam Amanat PJM Presiden dalam

    Mubes ke-II Angkatan 45, memang mengatakan bahwa pemerintahlah yang

    berkewajiban menyediakan sarana dan fasilitas dalam upaya memperkembangkan

    Kebudayaan Daerah.9

    Ada pepatah Jawa terkenal berbunyi: Aja dumh, aja

    gumunan, aja kagtan (jangan sok, jangan mudah terpesona, jangan mudah

    terkejut)10, yang ini dapat menjadi menarik, kalau dikaitkan betapa hidup manusia danbahasa, sering menipu, mempesona dengan politik, dan sekaligus memperdaya

    dengan bahasa politik. Sebaliknya, dengan bahasa pula, ia bisa membalikkan bahasa

    tipuan tadi, ya dengan bahasa sungguhan (ini teori Rolland Barthers).

    3. Ketiga, dalil Yuridis. Kalau tadi dalil politis, sekarang dalil yuridis, untuk bicaraperlukah kita mengembangkan budaya atau bahasa Jawa. Dalil yuridisnya, ya pasti,

    mudah sekali, yakni Pasal 32 Ayat [1] dan [2] UUD 1945 Amandemen. Jaman Orde

    Baru (sama dengan jaman setelah dekrit 1959) dan jaman UUD Amandemen Pertama

    tahun 1999 itu, Pasal 32 UUD 45 itu tidak ada ayat 1 dan ayat 2-nya. Pasal 32 UUD

    1945 yang sebelum amandemen belum terinci dengan dua ayatnya. Pasal 32 itu

    bertulis hanya begini saja: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional

    Indonesia.11

    Sudah, itu saja. Pasal 32 tersebut masuk dalam Bab XIII Pendidikan,

    belum Kebudayaan dalam sebuah Bab khusus. Fokus Pasal 32 ini masih terletak pada

    7http://niod.x-cago.com/maleise_kranten/page.do?code=Niod010&date=19470201

    8 Penjelasan PP.no.26/1960, Tambahan Lembaran Negara RI. No.2093.hlm.451,Hawkgirl.p.259

    Buku Komando Presiden Pemimpin Besar Revolusi Kepada Angkatan 45. Departemen Penerangan RI,

    1963.hlm.6310 Arti ini menurut Mohammad Syuropati, Buku Cerdas 1818 Peribahasa Jawa. Cet. I. (Yogyakarta: In Azna

    Books, 2009).hlm.p.1111Pasal 32 UUD dikutip dari buku Iwan Gayo (ed.), Buku Pintar Yunior. Cetakan Ke-26. (Jakarta: Upaya

    Warga Negara, 2001).hlm.17.

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    5/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 5

    peran kewajiban negara, kayaknya, dan belum ada penjelasan peran hak warga.

    Pada jaman Pasal 32 masih bertulis begitu, hanya di penjelasannya saja disebut-sebut

    tentang kebudayaan bangsa, adapun kutipan Penjelasan Pasal 32 itu adalah ;

    Keboedajaan bangsa ialah keboedajaan jang timboel sebagai boeah

    oesaha boedinja rakjat Indonesia seloeroehnja.

    Keboedajaan lama dan asli terdapat sebagai poentjak-poentjak

    keboedajaan didaerah-daerah diseloeroeh Indonesia, terhitoeng

    sebagai keboedajaan bangsa. Oesaha keboedajaan haroes

    menoedjoe kearah kemadjoean adab, boedaja dan persatoean,

    dengan tidak menolak bahan-bahan baroe dari keboedajaan asing

    jang dapat memperkembangkan atau memperkaja keboedajaan

    bangsa sendiri, serta mempertinggi deradjat kemanoesiaan bangsa

    Indonesia.12Penjelasan Pasal 32 inilah baru menyebut kebudayaan daerah sebagai bagian

    kebudayaan bangsa, lalu menjadi kebudayaan negara. Masalahnya, justru nama atau

    istilah kebudayaan daerah hanya ada di Penjelasan Pasal 32, bukan di batang

    tubuhnya Pasal 32 itu sendiri. Sekarang kita lihat saja istilah bahasa daerah pada

    Penjelasan Pasal 36-nya, yang berbunyi begini:

    Didaerah-daerah jang mempoenjai bahasa sendiri, jang dipelihara

    oleh rakjatnja dengan baik-baik (misalnja bahasa Djawa, Soenda,

    Madoera, dsb) bahasa-bahasa itoe akan dihormati dan dipelihara

    djoega oleh Negara.Bahasa-bahasa itoe poen meroepakan sebagian dari keboedajaan

    Indonesia jang hidoep.13

    Nah, secara khusus, bahasa daerahtermasuk bahasa Jawasecara jelas disebut

    hanya dari Penjelasan Pasal 36 barusan. Dari situ jelas kayaknya, bahwa bahasa

    daerah memang dipelihara oleh rakyat sendiri, dan pada saat yang sama, bahasa

    daerah hanya dihormati dan dipelihara oleh negara. Bahasa daerah menurut

    Penjelasan Pasal 36 sekadar dihormati saja oleh negara atau ikut dipelihara? Entah

    gimana juntrungnya?! Jangan lengah Set, itulah Penjelasan Pasal 36 UUD 1945,

    bukan Pasal 36-nya yang menyebut secara khusus bahasa daerah. Batang asli Pasal36 berbunyi: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia, Sejak tahun 1946, atau sejak

    dekrit 1959 hingga era Reformasi awal anget-anget taik ayam itu, Pasal 32 UUD

    1945 ada istilah umum kebudayaan daerah, lalu di Penjelasan Pasal 36UUD 1945

    baru ada istilah khusus bahasa daerah. Sebelum amandemen itu, untuk dijadikan

    dalil tentang perlunya secara khusus bela bahasa daerah, hanya bisa melalui Pasal 32

    dan Penjelasan Pasal 36UUD 45 saja, namun sekarang dalil yuridisnya sudah cukup

    12 Penjelasan Pasal 32 yang ada di Berita Repoeblik Indonesia Tahun II No.7 tanggal 15 Pebroeari 1946.hl.55

    yang bisa dikutip dari http://niod.x-cago.com/maleise_kranten/page.do?code=Niod010&date=19470201.13Penjelasan Pasal 36 ini ejaan lamanya, ejaan baru, ya baca saja Team Pembinaan Penatar dan Bahan-bahan

    Penataran RI,Ibid.hlm.21Time negara hlm21 atau di pintar Yonior.p.17

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    6/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 6

    mantap dan tegap, yakni Pasal 32 UUD 45 Amandemen Keempat UUD 1945 pada

    tanggal 10 Agustus 2002, yang sudah ada Ayat [1] dan [2] nya, bahwaAyat [1] Pasal

    32 UUD 1945 Amandemen itulah yang zaman dulu bunyi pendeknya Pasal 32 sematawayang tadi, danAyat [2] Pasal 32 UUD 1945 Amandemen yang dulu hanya sebagai

    Penjelasan Pasal 36 UUD 1945 gitu saja. Mari kita lihat bunyi Pasal 32 Ayat [1]

    UUD 1945 Amandemennya, yakni:

    Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah

    peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam

    memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya

    Lantas sekalian saja lihat juga bunyi Pasal 32 Ayat [2] UUD 1945 Amandemen:

    Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai

    kekayaan budaya nasional14

    Pasal 32 Ayat [2] UUD 1945 Amandemen ini menarik, karena dulu ia hanya ada

    dalam Penjelasan Pasal 36 saja, eh kini langsung tergabung ia dengan Pasal 32

    Amandemen, sehingga ia tidak perlu tercampur dengan istilah Bahasa Negara yang

    sempat bikin tersubordinat saja bahasa daerah itu. Sekarang, orang-orang pecinta

    bahasa Jawa dan pengajar budaya Jawa kepada siswa sekolah pasti akan percaya diri

    dengan Pasal 32 Ayat [2] UUD 1945 berbunyi Negara menghormati dan

    memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional itu, yang sudahsejajar dengan Pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi Bahasa Negara ialah Bahasa

    Indonesia itu tadi.

    Tapi apa yang terbunyi dalam Ayat [1]dan [2] Pasal 32 UUD 1945 Amandemen

    Keempat pada tahun 2002 itu sebenarnya bukan hal yang baru lagi, dulu waktu kita

    pakai UUD Sementara 1950 yang liberal itu, ya juga sudah ada apa yang mirip betul

    dengan Ayat [1]dan [2] Pasal 32 UUD 1945 tersebut. UUD Sementara Tahun 1950

    itu punya Pasal yang menggabungkan sekaligus antara budaya (culture), seni (art) dan

    ilmu (science) dalam kesatuan yang harmonis sekali. Cobalah cermati Pasal 40

    UUDS 1950 sebagai berikut:

    Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta

    kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini

    maka penguasa memadjukan sekuat tenaganja perkembangan

    kebangsaan dalam kebudajaan serta kesenian dan ilmu

    pengetahuan.15

    14Pasal 32 Ayat [1] dan [2] UUD 1945 Amandemen kutipan dari buku saku Undang-undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah. (Yogyakarta: Suluh Media, 2009).hlm.47-48 itu.15

    Pasal 40 UUDS 1950 dari Undang-undang Republik Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang PerubahanKonstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik

    Indonesia petikan dariLembaran Negara Rebublik Indonesia 1950 Nr 56. hlm.859 (diHawgirl.p.75)

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    7/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 7

    Pasal 40 UUDS 1950 ini memang terasa lebih nikmat sebagai dalil tentang hak bela

    bahasa dan budaya, daripada UUD 1945 Amandemen kita tadi. Yah, kalau tadi Pasal

    32Ayat [1] UUD 1945 Amandemen Keempat pada Tahun 2002 ada berbunyiNegaramenjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam

    mengembangkan nilai-nilai budayanya saja, maka Pasal 40 UUDS 1950 berbunyi

    Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan

    ilmu pengetahuan. . Lebih komplit Pasal 40 UUDS 1950. Bagaimana tidak,

    UUDS ini adalah semacam ratifikasi hak dasar manusia (terutama Pasal 18 hingga

    Pasal 43-nya) yang ada dalam Universal Declaration of Human Right [DUHAM]

    Tahun 1948 dari PBB,16

    saat negara lain waktu itu masih butuh waktu penyesuaian.

    Kita benar-benar negara yang gaul bangsa-bangsa waktu itu. Lalu kaitan dengan

    bahasa Jawa ? Ya itu tadi, Pasal 40 UUDS 1950 yang meratifikasi DUHAM 1948,mengakui kebebasan mengembangkan kebudayaan sendiri, jadi mengapa tidak bela

    bahasa Jawa sebagai bahasa daerah yang perlu dilestarikan, Pasal 40 UUDS 1950 itu

    mirip dengan Pasal 27 DUHAM, cermati Pasal 27 Ayat [1] DUHAM berikut ini:

    Everyone has the right freely to participate in the cultural life of

    the community, to enjoy the art and to share in scientific

    advancement and its benefits.

    Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara bebas dalam

    kehidupan budaya suatu masyarakat, menikmati kesenian dan ikut

    serta dalam kemajuan ilmu dan manfaat-manfaatnya

    Jadi, siapa yang akan bisa melarang orang berpartisipasi secara bebas dalam

    kehidupan budaya Jawa, dan menikmati kesenian sastra Jawa?!. Kata Pasal 27

    DUHAM. Di Indonesia, negara malah kena kewajiban, yakni Penguasa melindungi

    kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian kata Pasal 40 UUDS 1950

    tadi. Tapi, Pasal 40 UUDS 1950 ini adalah dalil yuridis yang sudah historis. Untuk itu

    kembali pada Pasal 32 Ayat [2] UUD 1945 Amandemen 2002 yang berbunyi

    Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya

    nasional tadi saja.

    UU No.12 Tahun 1954, tapi bukan UU Nr.12 Tahun 1954, melainkan Penjelasan

    Umum Undang-undang Nr.12 tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-

    undang Nr 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang Dasar-dasar

    Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia, pada point ke-9

    mengatakan, bahwa bahasa daerah boleh diajarkan disekolah bersama-sama bahasa

    Indonesia,17

    dimana UU ini, melihat pendidikan dan kebudayaan tidak bisa

    dilepaskan satu sama lain. Selain itu, menurut Maria Martiningsih dan Ninuk

    16

    Penjelasan tentang kaitan Pasal UUDS 1950 dengan Universal Declaration of Human Right (DUHAM),bukuTambahan Lembaran Negara RI.Nr.37.hlm.134.17Tambahan Lembaran-Negara RI No.550 hlm.147 (di catatankuHawkgirl.p.68)

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    8/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 8

    Mardiana Pambudi, bahwa Undang-undang Nr.12 Tahun 1954 tersebut benar-benar

    tidak memisahkan Kebudayaan dan Pendidikan,18

    agar keduanyasekali lagi,

    Kebudayaan dan Pendidikanini saling melekat dan tidak lepas. Kalau salah satulepas, maka yang satu itu lalu akan gabung dengan Pariwisata. Coba bayangin, jika

    ada penggabungan seperti Pendidikan dan Pariwisata atau Kebudayaan dan

    Pariwisata, maka corak kebudayaan ataupun pendidikan akan menjadi kapitalis dan

    komersialis, atau minimal berbau kapitalis-komersialis. Maksudnya Maria

    Martiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudi kayaknya begitu, bahwa Undang-undang

    Nr.12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran itu tidak melihat

    Pariwisata selain ia tersendiri, sedangkan Pendidikan dan Kebudayaan tetap

    tergabung, yang jelas UU ini dalil yuridis yang sudah historis, apalagi hanya UU

    bukan UUD, kurang dahsyat kalau untuk dipergunakan sebagai dalil siapa-siapa yangakan bela bahasa daerah dan budaya daerah dari gempuran kapitalis.

    Namun meski dibawah UUD, tapi pantas juga dilirik sebagai dalil yuridis yang tidak

    historis, karena masih berlaku, yakni Undang-undang No.11 Tahun 2005 tentang

    Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

    (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Agaknya

    istimewa, karena UU yang meratifikasi Kesepakatan/ Kovenan Internasional, terlihat

    Pasal 1-nya UU.No.11/2005 ini. Contoh sederhananya, waktu ada isu bahwa

    Jakarta pernah hampir tidak mengakui keistimewaan budaya Jogjakarta?

    Kejadian itu belum lama. Mereka, yang sebenarnya tidak anonim di Jakarta itu,sengaja meremehkan budaya Jogja dalam hal ini aturan Kraton, karena orang

    Jakarta (yang aslinya juga orang Jawa) itu hendak merebut hak ekonomi rakyat

    Jogja. Mereka itu, yang kapitalis itu, ingin merebut tanah, sehingga dapat memamah-

    biakan modalnya di Jogjakarta. Nah, untuk mendapatkan keuntungan ekonomis

    kapitalis Jakarta itu, mereka perlu membabat hak budaya Jogja, yang itu bisa

    dilakukan secara sadar atau tidak sadar. Jika budaya Jawa itu adalah pelindung hak

    ekonomi rakyat, maka ia menjadi penghalang bagi kaum kapitalis, maka, cara mereka

    juga bisa dengan target pertama hancurkan saja budaya Jawa itu lebih dahulu,

    meski mereka tidak mengatakannya secara eksplisit. Jika ada bahasa Jawa yang kerapkritis terhadap kapitalis Jakarta, maka bahasa itu perlu dilenyapkan, begitu pikir

    kaum kapitalis. Dan itu biasa saja, disitulah mungkin maksud UU No.11 Tahun 2005

    tadi. tidak semua orang Jakarta akan menghancurkan hak istimewa Jogjakarta, juga

    tidak semua orang Jogja akan menyelamatkan budaya Jawa. Dengan demikian

    bahwa dalil yuridis yang paling mantap adalah Ayat [1] dan Ayat [2] Pasal 32 UUD

    1945 Amandemen Keempat pada tahun 2002.

    Perubahan dari Pasal 32 plus Penjelasan Pasal 36 bisa menjadi Ayat [1]dan [2]

    Pasal 32 UUD 1945 Amandemen Keempat pada tahun 2002 yang sekarang ini

    18Lihat Maria Martiningsih & Ninuk Mardiana, Hartilaar: Gagasan Tak Pernah Mati, Kompas Minggu 17

    Januari 2010/Batman.p.40.

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    9/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 9

    tidaklah murah, karena ada darah mahasiswa di situ, darah menjelang Reformasi 1998

    dan dramanya 1999. Darah merekalah yang sebenarnya memuluskan Amandemen itu.

    Mereka adalah mahasiswa dan mereka adalah pemuda. Kalau meminjam perkataanPramoedya, memang mahasiswa yang berjuang tahun 1998 itu seperti idealismenya

    Pemuda tahun 1928, yang Bersumpah Pemuda itu. Merekalah yang, entah langsung

    maupun tidak, yang membuat UUD 1945, khususnya Pasal 32 kita tadi yang kini

    semakin canggih, yang kini berbunyi: Negara menghormati dan memelihara bahasa

    daerah sebagai kekayaan budaya nasional

    4. Keempat, dalil teologis. Ini dalil yang terakhir setelah dalil yuridis. Dalil teologismemang banyak dari bahasa langit ketimbang bahasa bumi [bahasa manusia],

    meski kedua bahasa ini tidak harus dikotomis. Baiklah, kembali ke pertanyaan: untuk

    apa membela Bahasa Jawa, dan untuk apa memperdulikan bahasa daerah? Kalau

    bisa ada bahasa nasional, kenapa perlu bahasa daerah agar tidak menjadi primordialis?

    Kalau ada bahasa internasional, kenapa gunakan bahasa nasional agar tidak disebut

    chauvinis? Inilah sejumlah pertanyaan yang sesungguhnya perlu dijawab juga.

    Walaupun ini adalah pertanyaan orang-orang kenyang dan sedang tidak lapar tapi

    haus ilmu, bukan pertanyaan orang lapar atau orang kenyang yang tidak haus ilmu.

    Seringkali orang tidak sadar fakta sederhana, bahwa tiap-tiap individu dilahirkan tidak

    bisa memilih dengan siapa (orang tuanya) ia lahir dan juga tidak dapat meminta

    tempat ia lahir. Seorang lahir di Jawa dan ibunya Jawa pula, ia tidak bisa memilih

    untuk menjadi Belanda misalnya, kecuali, itulah takdirnya sejak awalnya, sehinggawajar ia berbahasa ibu, bahasa Jawa. Seseorang lahir di Madura, sejak kecil diajarkan

    bahasa Madura dan agama Islam mazhab Syiah, tentu tidak aneh kalau dia seorang

    berbahasa Madura dan Syiah. Seandainya kita dilahirkan di Israel sebagai orang bani

    Israel, apakah mungkin kita akan berbahasa Jawa ? dan, satu pertanyaan mengerikan,

    apakah kita juga akan berbudaya Islam jika ibu bapaknya orang Israel, itu pertanyaan

    dengan pengandaian, dengan pertanyaan kalau. Tapi sekarang, ya sekarang dengan

    pernyataan pastinya saja, kita lahir sebagai orang Jawa, dengan ibu orang Jawa,

    tentu, dan pasti, determinisme kulturalnya kita akan berbudaya dan berbahasa Jawa,

    jika kita hidup dibesarkan memang di lingkungan orang Jawa. Oleh karena itu, setiapmanusia/ orang menurut keadaannya, yang tidak atau sering tak bisa ia pilih, sehingga

    ia berbuat menurut apa yang ia pelajari, apapun itu. Mungkin, itu salah satu yang

    ingin dinyatakan oleh QS Al Israa : 84 berikut:

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    10/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 10

    Sebagian besar penafsir ayat ini mengatakan bahwa keadaan itu termasuk soal

    tabiat dan lingkungan hidupnya, sehingga, wajar di dunia ini terlihat pluralistic.

    Mungkin jika ada istilahpluralism agama, maka ayat ini adapluralism bahasa. Yangjelas, tidak mutlak orang yang lahir dengan berbahasa Arab atau bahasa Ibrani ia akan

    masuk syurga, dan tidak mutlak pula orang yang lahir berbahasa Jawa akan masuk

    neraka. Coba cermati kutipan QS. Arrum : 22 ;

    Kalau bahasa memang diciptakan secara sengaja berlainan oleh Tuhan, kenapa sibuk

    ingin menghapuskan perbedaan bahasa. Misalnya dengan menganggap bahasa yang

    satu lebih mulia daripada bahasa yang lainnya. Kalau kita orang Jawa, silahkan

    berbahasa dan berkata-kata dalam bahasa Jawa. Kalau kita orang Jawa, jangan hanya

    karena berlagak ingin modern, terus coba sok berbudaya Pop Belanda, Korea, Jepang;

    atau hanya karena ingin terlihat suci, terus coba sok berbudaya Arab. Kita boleh sajamodern dengan menerima ilmu dari barat, tetapi kita tidak perlu sok kebarat-baratan.

    kita boleh saja menerima agama Islam, tetapi kita jangan bertingkah aneh menjadi sok

    kearab-araban. Aneh bukan, orang Jawa kok pentas seni dan budaya dengan bahasa

    Arab yang sok kearab-araban! Kalau di Jawa dan bertemu orang Jawa, kenapa

    menyapa orang dengan ana dan antum segala, jadi wagu, kecuali sapalah cukup

    dengan kula dan panjenengan, atau aku-kowe.

    Inilah dalil teologisnya, bahwa bahasa Jawa perlu dilestarikan, budaya Jawa yang

    baik-baik, tentang kebaikan, perlu dipelajarkan. Setiap bahasa dan budaya pasti ada

    kelebihannya, maka tidak ada salahnya orang mempelajari sisi kelebihan itu. Yangsalah, kalau orang Arab mengajarkan anak-anak Arab tentang agama Islam dengan

    bahasa Jawa, karena bisa bikin bingung. Yang salah, jika ada orang Jawa

    mengajarkan anak-anak Jawa tentang agama Islam atau kebaikan dengan bahasa

    Arab, sehingga bikin bingung orang Jawa. Orang Jawa, sampaikanlah kebaikan

    dengan penjelasan bahasa yang dimengerti orang Jawa. Bahasa kaummu, ya bahasa

    kaummu, jadi jangan bahasa kaum lain. Ini ada dalil teologisnya dengan ayat dalam

    QS. Ibrahim : 4, sebagai berikut:

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    11/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 11

    Selain itu bagaimana orang Jawa bisa menyampaikan ajaran kebaikan (Islam) kepada

    orang Jawa dengan bahasa Jawa, kalau dia sendiri tidak merawat bahasa Jawa

    tersebut? Jangan sampai wong jawa ilang jawane. Setiap nabi berbahasa sesuaibahasa kaumnya. Nabi Ibrahim dengan bahasa Caldean, Nabi Musa dengan bahasa

    Ibrani, seorang nabi di Asia Tenggara berbahasa Asia Tenggara. Jadilah kita dengan

    bahasa jatidiri bangsa kita. Frasa dengan bahasa kaumnya QS Ibrahim 14: 4 ini bisa

    menjadi dalil teologisnya. Meski begitu, memang, untuk era Nabi Muhammad SAW

    saja, baru bahasa Internasional kitabnya adalah Bahasa Arab. Mau tidak mau, bahasa

    hukum induk keagamaan seluruh bangsa adalah bahasa Arab pada Al Quran [dan

    Hadist]. Seandainya Nabi Muhammad SAW orang Jawa, tentu ia akan berbahasa

    Jawa. Logika sederhana ini ada dalam QS. Fushshilat : 44 berikut:

    Coba amati kalau kita fokus di sini, maka ayat itu menekankan pada pertanyaan

    sejenis: Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa Jawa, sedangkan (rasul adalah

    orang) Arab? Nah, ini kan sederhana?! Dulu, sebelum zaman Nabi Muhammad

    SAW, bangsa nenek moyang orang Jawa kuna, tentu punya Nabi sendiri yang

    berbahasa Jawa Kuna juga, hanya tidak diketahui siapa nama Nabi Jawa itu dan

    tepatnya kapan. Sekarang, era Al Quran Nabi Muhammad SAW, ada peraturan

    internasional karena dunia semakin global, bahwa bahasa Al Quran adalah bahasa

  • 7/30/2019 persiapan audiensi

    12/12

    Lintar Jawa Paguyuban Pecinta Aksara Jawa

    www.lingkarjawa.webnode.com

    | 12

    Arab sebagai bahasa bakunya. Tetapi, saat yang sama, Al Quran mengakui bahwa

    orang Jawa wajar dan sah berbahasa Jawa (lihat lagi QS Ar Ruum 30: 22 di atas tadi).

    Masih ingat tidak perseteruan anti Nurdin Halid PSSI dulu, dimana mereka protes

    Nurdin Halid mengubah arti sebuah pasal Statuta FIFA soal mantan narapidana

    bolehkan memimpin PSSI? Nah, ketika itu juga seorang pengamat bola mengatakan,

    jika terjadi debat soal suatu pasal, maka balik ke bahasa aslinya, yakni bahasa Inggris

    Statuta Fifa itu, karena itu bahasa bakunya. Atau begini, ada contoh lagi, di atas tadi

    ada UU no.11/2005, dalam Penjelasan Pasal 1 Ayat [2] UU No.11 tahun 2005

    tentang Ecosoc tersebut ada bunyi:

    Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya

    dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah aslidalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hak-hak

    Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Declaration (Pernyataan)

    terhadap Pasal 1 Kovenan ini.

    Jadi tidak ada bedanya, dalam hal ini, kalau ada orang yang ribut tentang tafsir dari

    terjemahan Al Quran yang bikin perdebatan dalam bahasa Indonesia atau Jawa, maka

    kembalilah ke bahasa bakunya, yakni Bahasa Arab Al Quran. Al quran sebagai bahasa

    hukum baku agama Islam secara internasionalnya. Oleh karena itu tidak penting untuk

    mempertanyakan mengapa Al Quran dalam bahasa Arab, karena ia memang bahasa

    baku internasional agama Islam di bumi. Itu saja. Sebab, masalah pokok di sini adalahdalil teologisnya, dalil untuk apa kita membela-bela bahasa Jawa, Apakah boleh kita

    bela bahasa Jawa, maka jawabnya boleh. Sebab, QS Ibrahim 14: 4 berintikan, bahwa

    sampaikan [agama] dengan bahasa kaummu; atau dalil teologis dari QS Ar Ruum 30:

    22, yang berbunyi jelas dan lugas Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah

    menciptakan langit dan bumi dan berlainan BAHASAmu dan warna KULITmu