perjanjian penetapan harga dan implikasinya i gusti ayu
TRANSCRIPT
34
ABSTRAK
Bahwa setiap pelaku usaha di Indonesia mendapat kesempatan untuk
berusaha dan bersaing secara sehat. Untuk itu salah satu perjanjian yang dilarang
yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat adalah perjanjian
penetapan harga. Tindakan yang dapat berakibat kepada persaingan harga yang
antara lain adalah perjanjian penetapan harga antar pelaku usaha, perjanjian
penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama atau
disebut juga diskriminasi harga, jual rugi, penetapan harga jual kembali.
Berkaitan dengan hal tersebut maka sangat menarik untuk deteliti apakah
perjanjian penetapan harga yang dilarang bagi pelaku usaha sudah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan apakah implikasi dari perjanjian penetapan harga
yang dilarang bagi pelaku usaha dalam hukum persaingan usaha.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan meneliti dan
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan masalah
yang dibahas.
Dengan dilarangnya perjanjian penetapan harga ini dalam UU no. 5 th
1999 maka antar pelaku usaha akan bersaing secara sehat. Untuk membuktikan
pelaku usaha telah melakukan perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh
ketentuan pasal 5,6,7,8 UU no. 5 th 1999 memerlukan penyelidikan lebih lanjut
oleh komisi pengawas persaingan usaha (KPPU) sesuai dengan tugas dan
wewenangnya.
Kata Kunci : Perjanjian penetapan harga, implikasi, hukum persaingan usaha.
ii
35
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karuniaNya
kegiatan penelitian dengan judul “Perjanjian Penetapan Harga dan Implikasinya
dalam Hukum Persaingan Usaha” dapat terlaksana dengan baik.
Bahwa kegiatan penelitian ini melibatkan dosen-dosen pengasuh mata
kuliah Hukum Persaingan Usaha dibagian hukum keperdataan dan juga
mahasiswa.
Sangat diharapkan sekali kegiatan penelitian ini dapat bermanfaat baik
bagi para pelaku usaha agar bersaing secara sehat dan tidak membuat perjanjian
penetapan harga diantara mereka, maupun bagi pengembangan mata kuliah
Hukum Persaingan Usaha secara teoritis dalam rangka proses pembelajaran pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Denpasar, 24 Juli 2016
Peneliti
iii
36
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................... i
ABSTRAK ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 5
BAB III METODE PENELITIAN ............................................... 12
3.1 Konsep Penelitian ................................................. 12
3.2 Jenis Penelitian ..................................................... 12
3.3 Jenis Pendekatan .................................................... 13
3.4 Data dan Sumber Data ........................................... 13
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................... 13
3.6 Pengolahan dan Analisis Data ................................. 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................... 15
4.1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement) 15
4.2 Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination
Agreement) ............................................................ 21
iv
37
4.3 Jual Rugi (Predatory Pricing) .................................. 23
4.4. Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price
Maintenance) ......................................................... 25
BAB V. PENUTUP ................................................................................... 29
5.1. Simpulan ............................................................................ 29
5.2 Saran .................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1999 Indonesia baru memiliki UU No. 5 th 1999
tentang, Lapangan Praktek Monopoli da Persaingan Usaha Tidak
Sehat”, yang mana UU baru efektif berlaku satu tahun kemudian
yaitu pada 5 Maret tahun 2000. Sebelum berlakunya UU ini praktek-
praktek monopoli banyak terjadi seperti monopoli cengkeh oleh
BPPC, monopoli tepung terigu oleh Bogasari. UU ini dimaksudkan
untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, sehingga dapat
diwjudkan kegiatan usaha yang lebih kompetitif bagi setiap pelaku
usaha. Sehingga konsumen dan atau masyarakat dapat memperoleh
menikmati barang serta jasa yang berkualitas tinggi dengan harga
bersaing yang rasional.
Perjanjian untuk penetapan harga merupakan salah satu bentuk
perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 5, 6, 7, 8 UU no. 5 tahun 1999.
Dilarangnya perjanjian penetapan harga disebabkan karena perjanjian
tersebut dianggap dapat menimbulkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Padahal harga itu terbentuk dari
adanya penawaran dan permintaan. Meskipun telah diketahui bahwa
2
perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1313 KUH Perdata
adalah :
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lain.
Dengan demikian, sungguhpun mungkin sulit dibuktikan,
perjanjian biasa secara hukum sudah dapat dianggap sebagai suatu
perjanjian yang sah dan sempurna1. Hal tersebut dipertegas lagi
dalam pasal 1 ayat (7) dari UU antimonopoli yang menyebutkan
bahwa :
Yang dimaksud dengan suatu perjanjian adalah satu perbuatan
dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Akan tetapi, bagaimana halnya jika tidak ada perjanjian yang
tegas (tertulis atau lisan). Apakah semacam “understanding” antara
para pihak sudah dapat dianggap sebagai perjanjian. Perjanjian
dengan understanding ini disebut dengan “tacit a greement”2 Dalam
hukum anti monopoli beberapa negara tacit agreement mungkin
dapat diterima sebagai suatu perjanjian, tetapi untuk hukum anti
monopoli di Indonesia, yang didasari atas UU no. 5 tahun 1999,
masih belum mungkin menerima adanya perjanjian dalam anggapan
1 Munir Fuady. 1999. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan
Sehat. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung. h.51. 2 Ibid, h.52
3
atau tacit agreement tersebut. Contoh dari perjanjian dengan
understanding ini adalah jika seorang pelaku usaha memberi sinyal
kepada pelaku usaha lain dengan jalan membatasi output atau
mengumumkan perubahan harga dengan harapan diikuti oleh pelaku
usaha lain. Oleh UU no. 5 tahun 1999, tentang larangan Praktek
Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang untuk selanjutnya
akan disebut UU anti monopoli, ada sepuluh macam atau jenis
perjanjian-perjanjian yang dilarang bagi pelaku usaha, yang antara
lain adalah perjanjian penetapan harga sebagaimana diatur dalam
pasal 5,6,7,8 dan UU no. 5 tahun 1999, yang antara lain adalah :
1. Penetapan harga antar pelaku usaha
2. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa
yang sama
3. Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha
lain
4. Penetapan harga jual kembali.
Dengan dilarangnya perjanjian – perjanjian tersebut di atas
maka diharapkan pelaku usaha memahami akan hal tersebut sehingga
tidak akan melanggarnya. Karena diharapkan pelaku usaha bersaing
secara sehat. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka penting
untuk dilakukan penelitian ini yang berjudul “Perjanjian Penetapan
Harga dan Implikasinya dalam Hukum Persaingan Usaha”.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka
permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah perjanjian penetapan harga yang dilarang bagi pelaku
usaha sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?
2. Apakah implikasi dari perjanjian penetapan harga yang dilarang
bagi pelaku usaha dalam hukum persaingan usaha?
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah-istilah yang digunakan dan diperkenalkan dalam hukum
persaingan usaha (competition low) meliputi hukum antimonopoli (anti
monopoly law) dan hukum antitrust (antitrust law).3
Hukum persaingan usaha merupakan panah hukum privat dimana
mengatur hubungan hukum antara pelaku usaha yang menyangkut hak
dan kewajiban para pihak secara keperdataan dalam transaksi
perdagangan yang meliputi kegiatan jual beli dan hubungan kontraktual.
Dalam setiap persaingan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling
menggungguli;
b. Ada kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang
sama4
Dengan demikian kondisi persaingan sebenarnya merupakan satu
karakteristik yang sehat dalam kehidupan manusia yang cenderung untuk
saling mengungguli dalam banyak hal. Meskipun demikian Andersena
dan Arie Siswanto berpendapat bahwa persaingan di bidang ekonomi
merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama dari sekian
3 Galuh Puspaningrum. 2013. Hukum Persaingan Usaha, Perjanjian dan
Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Penerbit
Aswaja Pressindo Yogyakarta. H.67. 4 Ibid, h.70
6
banyak persaingan antar manusia, kelompok masyarakat dan bahkan
bangsa.
Pengertian persaingan usaha secara emplisit tidak dicantumkan
dalam UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun UU ini hanya memberikan
pengertian mengenai “persaingan usaha tidak sehat” dalam pasal 1 butir
6 yang menyebutkan bahwa : Persaingan Usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dan atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Persaingan usaha tidak sehat merupakan dampak dari praktek persaingan
usaha. Kondisi persingan usaha dalam beberapa hal memiliki juga
aspek-aspek negatif, salah satunya apabila suatu persaingan dilakukan
oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur, bertentangan dengan kepentingan
publik. Resiko ekstrim dari persaingan ini adalah kemungkinan
ditempuhnya praktek-praktek curang karena persaingan dianggap sebagai
kesempatan untuk menyingkirkan pesaing dengan cara apapun.
Mengenai perjanjian penetapan harga ini dibedakan dalam 4
(empat) macam sebagaimana diatur dalma pasal 5 sampai pasal 8 UU anti
monopoli :
a. Penetapan harga (fixed pricing)
Pasal 5 UU no. 5 th 1999 menyatakan bahwa :
7
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha persaingan untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagiamana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi :
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha
patungan ; atau
b. Suatu perjanjian yang didasarkan UU yang berlaku.
Penetapan harga diartikan sebagai penentuan suatu harga
umum untuk suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok
pemasok yang bertindak secara bersama-sama, sebagai
kebalikan atas pemasok yang menetapkan harganya sendiri
secara bebas5. Penentuan harga sering merupakan pencerminan
dari suatu pasar aligopoli yang tidak teratur, serta tidak
berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari
adanya penawaran dan permintaan. Larangan melakukan
perjanjian penetapan harga karena menyebabkan tidak dapat
berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari
penawaran dan permintaan (supply and demand)6
5 Ibid. h.33. 6 Mustafa Kamal Rokan. 2011.Hukum Persaingan Usaha Teori dan Prakteknya
di Indonesia. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. H.97.
8
Pasal yang mengatur penetapan harga merupakan perse
illegal, sehingga dapat dilakukan dan diterapkan secara
langsung tanpa harus mencari latar belakang mereka
melakukan perbuatan tersebut atau tidak diperlukan
pembuktian perbuatan tersebut menimbulkan terjadinya
praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Diskriminasi harga
Pasal 6 UU no. 5 tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang
dan atau jasa yang sama.
Perjanjian deskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat
oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya dimana unutk suatu produk dengan harga yang
berbeda-beda. Hal yang dilarang adalah membuat perjanjian
yang memberlakukan deskriminasi terhadap kedudukan
konsumen yang satu dengan konsumen lainnya, dengan cara
memberikan harga yang berbeda-beda terhadap barang atau
jasa yang sama. Namun demikian dapat saja terjadi harga yang
berbeda antara konsumen yang satu dengan lain disebabkan
perbedaan biaya seperti promosi dan lain-lain. Karenanya
9
dalam teori ilmu hukum persaingan dikenal beberapa macam
deskriminasi harga antara lain :7
a. Deskriminasi harga primer
b. Deskriminasi harga sekunder
c. Deskriminasi harga umum
d. Deskriminasi harga geografis
e. Deskriminasi harga tingkat pertama
f. Deskriminasi harga tingkat kedua
g. Deskriminasi harga secara langsung
h. Deskriminasi harga secara tidak langsung.
Oleh karena itu, secara teknis deskriminasi harga baru layak
dilarang oleh hukum anti monopoli manakah perbedaan harga
terhadap konsumen yang satu dengan konsumen lainnya pada
prinsipnya bukan cermin dari perbedaan harga dasar (marginal
cost) yang dikeluarkan oleh pihak penjual.
c. Penetapan harga dibawah harga pasal (predatoring princing)
Pasal 7 UU no. 5 tahun 1999 menyatakan bahwa :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal ini melarang pelaku usaha tidak sehat. Pasal ini
7 Ibid. h.104
10
melarang pelaku usaha melakukan kesepakatan dengan pelaku
usaha pesaing untuk menetapkan harga jual barang atau jasa di
bawah harga standar pasar, sehingga dapat merugikan pelaku
usaha lainnya. Penetapan harga di bawah harga pasar adalah
strategis yang biasa dilakukan oleh suatu perusahaan atau
beberapa perusahaan yang dominan untuk menyingkirkan dan
merugikan pesaingnya di suatu pasar, seperti penekanan harga
dan pemotongan harga selektif agar mereka dapat memonopoli
pasar.
d. Penetapan harga jual kembali.
Pasal 8 UU no. 5 tahun 1999 menyatakan bahwa : pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali, dengan barang dan
atau jasa yang diterimanya harga yang lebih rendah dari pada
harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pada prinsipnya
pembeli bebas untuk menetapkan harga dari barang atau jasa
yang sudah dibelinya sesuai dengan permintaan dan penawaran
yang ada di pasar.
Terdapat dua macam penetapan harga jual kembali yaitu :
11
a. Penetapan harga secara maksimum
(maximum price fixing)
Strategi penetapan harga ini biasanya diterapkan oleh
produsen kepada distributor produk bersangkutan, yang
bertujuan untuk mengontrol distributor untuk menjual
diatas harga maksimum yang ditawarkan. Yang
diinginkan dari perjanjian ini adalah terkendalinya harga
yang bersaing sampai pada tingkat penjualan eceran.
b. Penetapan harga secara minimum (minimum price
fixing)
Penetapan harga minimum ini juga sering disebut
dengan floor price, artinya kesepakatan antar pelaku
usaha dimana pembeli akan menjual kembali barang
yang dibelinya pada harga yang tidak boleh dibawah
harga yang ditentukan. Strategi penetapan harga ini
umumnya memiliki dua tujuan utama, yakni
mempertahankan nama baik produsen atau merek
tertentu dan untuk mencegah terjadinya persaingan tidak
sehat pada level distributor.8
8 Ibid.h.109.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Konsep Penelitian
Konsep penelitian ini adalah dalam konteks hukum persaingan
(hukum persaingan bisnis), dimana ketika pelaku usaha akan
memasarkan produknya haruslah bersaing secara sehat dan tidak
melakukan perjanjian penetapan harga yang dilarang sebagaimana
diatur dalam UU no. 5 tahun 1999 karena akan dapat menimbulkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Maka konsep hukum yang akan dianalisis adalah hukum
persaingan usaha, yang memberikan kepastian hukum bahwa UU no.
5 tahun 1999, telah memberikan sumber-sumber mengenai perjanjian-
perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
3.2 Jenis Penelitian
Jika ditinjau dari jenis penelitian hukum, maka penelitian yang
akan dilakukan ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yang
bertujuan untuk menemukan azas-azas hukum yang terkandung dalam
suatu peraturan.
13
3.3 Jenis Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan dan regulasi. Disamping itu
untuk mempertajam analisis juga dilakukan pendekatan konseptual.
3.4 Data dan Sumber Data
Data yang diteliti adalah data sekunder yang bersumber dari
penelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang
digunakan antara lain UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Bahan hukum sekunder yang terdiri dari karya ilmiah dalam
bentuk buku-buku yang relevan dengan masalah yang diteliti. Bahan
hukum tersier yang berupa kamus hukum dan lainnya.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi
dokumen dengan sistem kartu.
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,
pertama – tama digunakan teknik diskripsi artinya uraian apa adanya
14
terhadap suatu kondisi dari proporsi – proporsi hukum dan non
hukum. Kemudian dilanjutkan dengan teknik interpretasi berdasarkan
jenis enterpretasi yang ada dalam hukum.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
UU No. 5 Tahun 1999 melarang perjanjian antarprodusen, di
mana produsen menetapkan harga yang hams dibayar pembeli untuk
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang
sama dari segi faktual dan geografis. Perjanjian harga akan
menjadikan harga menjadi tinggi, bukan harga pasar. Karenanya,
penetapan harga merupakan tindakan yang mencederai persaingan.
Tindakan tersebut akan merugikan konsumen dengan bentuk harga
yang lebih tinggi dan jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.
Larangan melakukan perjanjian penetapan harga karena menyebabkan
tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk
dari penawaran dan permintaan (supply and demand) Pasal 5 Ayat 1
berbunyi:
"Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan."
Melihat rumusan pasal tersebut berarti larangan ini ber-sifat
per se yang tidak mengharuskan melihat implikasi atau ada-nya
hambatan persaingan usaha. Perjanjian penetapan harga dilarang oleh
UU No. 5 Tahun 1999 disebabkan penetapan harga bersama-sama
16
akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga
yang terbentuk dari adanya tawaran dan permintaan. "Pelaku usaha
dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya.
Selaijn itu, pihak yang melakukan perjanjian harus saling bersaing,
berarti pelaku usaha tersebut berada pada pasar bersangkutan faktual
yang sama baik secara vertikal maupun horizontal. Perjanjian dapat
dilakukan dengan tertulis ataupun lisan.
Harga adalah pembayaran untuk barang dan jasa yang tidak
hanya meliputi biaya pokok, tetapi juga mencakup biaya tambahan
seperti diskon atau penundaan pembayaran. Hal ini menegaskan
bahwa setiap penjual "bebas" menetapkan sendiri harga penjualannya.
Misalnya, terjadinya kartel harga di mana anggota-anggota kartel
menyepakati harga tertentu terhadap suatu barang, karenanya para
pihak yang melakukan perjanjian tidak mempunyai pilihan lain,
apakah menaikkan atau menurunkan harga. Inilah yang
menghilangkan persaingan.
Dalam, praktiknya, pada pasar yang bersifat oligopolis ataupun
pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan
penentuan harga dapat dilakukan hanya dengan memberikan tanda
kepada pelaku usaha lainnya dengan bentuk menaikkan harga yang
biasanya akan selalu diikuti oleh pelaku usaha lainnya. Atau juga
dengan cara membuat pengumuman atau artikel di media massa yang
17
mengindikasikan bahwa perlu kenaikan harga sehingga pelaku usaha
lainnya tahu bahwa mereka harus ikut menaikkan harga. Hal ini
merupakan bentuk kolusi yang disamarkan (tacit collusion).
Perjanjian penetapan harga dikecualikan dalam tiga hal,
yakni :
a. Perjanjian harga yang diizinkan. Seperti penentuan harga
yang dilakukan oleh pemerintah. Contoh kasus, sewaktu
perusahaan penerbangan di dalam negeri terlibat perang
harga yang sebetulnya menguntungkan konsumen, tindakan
yang diambil pemerintah adalah mendamaikan perusahaan
penerbangan dengan jalan menentukan harga yang harus
dipatuhi oleh semua perusahaan penerbangan.
b. Perjanjian harga yang dibuat dalam-joint venture. Sebe-
narnya tidak jelas yang dimaksud dengan joint venture
dalam UU ini. Sehingga joint venture di sini dapat diartikan
penggabungan usaha tertentu dari ketentuan Pasal 5 ayat'l
UUNo. STahun 1999.
c. Perjanjian Harga Langsung.
Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2005 tentang Penyediaan Jasa
Survei Gula Impor
Diawali kegiatan monitoring KPPU terhadap kegiatan
penyediaan jasa verifikasi atau penelusuran teknis gula yang
18
pelaksanaannya dilakukan oleh PT Superintending Company of
Indonesia (Pesero) dan PT Surveyor Indonesia (Pesero).
Bahwa dari hasil pemeriksaan KPPU terbukti telah terjadi
kese-pakatan kerja sama antara Sucofindo dan Surveyor Indonesia
tentang pelaksanaan Verifikasi atau penelusuran Teknis Impor Gula
dengan MOU-01/SP-DRU/IX/2004, No. 80S.1/DRU-IX/SPMM/2004
pada 24 September 2004.
Majelis Komisi melihat bahwa unsur-unsur Pasal 5 telah
terpenuhi, yakni:
l. Pelaku Usaha. Bahwa PT Surveyor Indonesia (Pesero) merupakan
badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan di Jakarta dan melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia. PT Superintending Company of
Indonesia (Pesero) merupakan badan usaha yang berbentuk badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan di Jakarta dan melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.
2. Perjanjian. Bahwa PT Surveyor Indonesia (Pesero) dan PT
Superintending Company of Indonesia (Pesero) telah bersepakat
atau mengikatkan diri dalam suatu Memorandum of Understanding
membentuk KSO untuk pelaksanaan verifikasi atau penelusuran
teknis imporgula.
19
3. Pelaku Usaha Pesaing. Yang dimaksud dengan pelaku usaha
pesaing dalam hal ini adalah PT Surveyor Indonesia (Pesero)
dan/atau PT Superintending Company of Indonesia (Pesero). PT
Surveyor Indonesia (Pesero) dan/atau PT Superintending Company
of Indonesia (Pesero) menjalankan usaha yang sama dan saling
bersaing.
4. Unsur Menetapkan Harga. Berdasarkan fakta PT Surveyor
Indonesia (Pesero) dan PT Superintending Company of Indonesia
(Pesero) yang ditunjuk sebagai surveyor pelaksana verifikasi atau
penelusuran teknis impor gula tidak pernah menawarkan surveyor
fee masing-masing, tetapi justru membentuk KSO dengan
menawarkan surveyor fee hasil kesepakatan PT Surveyor
Indonesia (Pesero) dan PT Superintending Company of Indonesia
(Pesero) kepada para importir gula. Fakta menunjukkan bahwa
telah terjadi pertemuan antara KSO dengan para importir gula
yang juga membahas mengenai besaran surveyor fee namun para
importir gula tidak mempunyai pilihan lain sehingga harus
menerima besaran surveyor fee yang ditetapkan oleh KSO.
6. Barang dan/atau Jasa. Bahwa kegiatan verifikasi atau penelusuran
teknis impor gula yang dilakukan oleh PT Surveyor Indonesia
(Pesero) dan PT Superintending Company of Indonesia (Pesero)
merupakan layanan yang berbentuk pekerjaaVi yang
20
diperdagangkan dan dimanfaatkan oleh para importirgula dan PT
Surveyor Indonesia (Pesero) dan PT Superintending Company of
Indonesia (Pesero) memperoleh imbalan atas pekerjaan verifikasi
atau penelusuran teknis impor gula yang dilakukannya, dan oleh
karenanya kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula
ini dapat dikategorikan sebagai jasa.
7. Konsumen atau Pelanggan. Bahwa para importir gula adalah
pemakai jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula untuk
kepentingan mencukupi kebutuhan perusahaannya sendiri dan/
atau untuk kepentingan pihak lainnya.
8. Pasar Bersangkutan. Berdasarkan fakta telah terjadi interaksi
antara PT Surveyor Indonesia (Pesero) dan PT Superintending
Company of Indonesia (Pesero) dengan para importir gula dalam
hal proses verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. Dalam
interaksi tersebut, PT Surveyor Indonesia (Pesero) dan PT
Superintending Company of Indonesia (Pesero) berada dalam
posisi sebagai penyedia jasa verifikasi atau penelusuran teknis
impor gula dan para importir gula berada dalam posisi sebagai
pengguna atau pemakai jasa verifikasi.
Bahwa PT Surveyor Indonesia (Pesero) dan PT Superintending
Company of Indonesia (Pesero) menyediakan jasa verifikasi atau
penelusuran teknis impor gula bagi importir gula yang berada di
21
dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Majelis Komisi
menyimpulkan bahwa PT Surveyor Indonesia (Pesero) dan PT
Superintending Company of Indonesia (Pesero) secara sah dan
meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
4.2 Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)
Perjanjian diskriminasi harga diatur pada Pasal 6 UU No 5
Tahun 1999 sebagai berikut.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang meng-
akibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untiik barang
dan jasa yang sama."
Hal yang dilarang pada pasal ini adalah membuat perjanjian
yang memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen
yang satu dengan konsumen lainnya, dengan cara memberikan harga
yang berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang sama. Namun
demikian, dapat saja terjadi harga yang berbeda antara konsumen satu
dengan yang lain disebabkan perbedaan biaya seperti promosi dan
lain-lain.
Tentu, tidak semua pemberian harga yang berbeda tersebut
dilarang oleh hukum anti monopoli. Sebab, jika cost yang dikeluarkan
22
oleh penjual untuk satu konsumen dengan konsumen lainnya berbeda,
maka harga secara logis tentu akan berbeda-beda pula. Misalnya,
barang yang diambil dari tempat yang jauh dan memakan biaya yang
tinggi, tentu akan menaikkan harga. Karena itu, secara teknis,
diskriminasi harga baru layak dilarang oleh hukum antimonopoli
manakala perbedaan harga terhadap konsumen yang satu dengan
konsumen lainnya pada prinsipnya bukan cermin dari perbedaan harga
dasar (marginal cost) yang dikeluarkan oleh pihak penjual.
Karenanya terdapat beberapa syarat untuk terjadinya dis-
kriminasi harga:
1. Para pihak haruslah melakukan kegiatan bisnis, sehingga
diskriminasi harga akan merugikan apa yang disebut dengan
"primary line injury", yakni diskriminasi harga yang dilakukan
produsen atau grosir terhadap pesaingnya. Demikian pula
diskriminasi harga dapat merugikan "secondary line" jika
diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen terhadap
suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lain mendapat-
kan perlakuan khusus. Hal ini akan menyebabkan grosir
atau retail yang tidak disenangi tidak dapat berkompetisi
secara sehat dengan grosir atau retail yang disenangi.
2. Terdapat perbedaan harga baik secara langsung maupun
tidak langsung, misalnya melalui diskon atau pembayaran
23
secara kredit, namun pada pihak lain harus cash dan tidak
ada diskon.
3. Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal
ini paling sedikit harus ada dua pembeli.
4. Terhadap barang yang sama tingkat kualitasnya.
5. Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan,
merusak, atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat
atau dapat menyebabkan monopoli pada suatu aktivitas
perdagangan."
4.3 Jual Rugi (Predatory Pricing)
Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha
lain disebut juga penetapan harga di bawah biaya marjinal. Larangan
ini dicakup oleh Pasal 7 dari Undang-Undang Anti Monopoli.
Larangan berlaku apabila penetapan harga di bawah harga pasar dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dengan
demikian, penetapan harga di bawah harga pasar bersifat rule of
reason. Larangan pembuatan perjanjian yang berisikan penetapan
harga barang atau jasa di bawah harga pasar atau yang dikenal dengan
istilah "and dumping". Ini dimaksudkan agar pesaingnya mengalami
kerugian karena barang atau jasanya tidak laku, padahal harga barang
atau jasa-nya sesuai dengan harga pasar.
24
Apabila perjanjian yang menetapkan harga di bawah harga
pasar ini tidak dilarang, rnaka pihak yang kurang kuat modalnya tentu
tidak sanggup menyainginya. Biasanya pada gilirannya nanti, apabila
pihak pesaing satu demi satu berguguran karena barangnya tidak laku,
pihak yang membuat perjanjian tadi kem-bali menaikkan harga
dengan sangat tinggi karena tidak mem-punyai pesaing lagi.
Tentunya, pasar akan menjadi monopolis atau oligopolis sehingga
akan mudah merugikan konsumen.
Dengan kata lain, menetapkan harga yang sangat rendah untuk
sementara waktu agar pelaku usaha lain tidak dapat masuk karena
harga pasar yang ada terlalu rendah untuk mendapatkan keuntungan.
Untuk menghambat atau rnengusir pelaku usaha dari pasar memang
biasanya pelaku usaha saingannya akan menerapkan harga yang
rendah (banting harga). Predatory pricing dari segi ekonomi adalah
menetapkan harga yang tidak wajar, yaitu lebih rendah daripada biaya
variabel rata-rata. Penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit
dilakukan dalam dunia nyata. Oleh sebab itu, kebanyakan praktisi
akan mengatakan bahwa predatory pricing adalah tindakan
menentukan harga di bawah biaya rata-rata atau tindakan jual rugi.
Tindakan lain yang juga biasa dilakukan adalah membuat
kapasitas produksi yang tidak memungkinkan pelaku usaha Jainnya
untuk dapat masuk ke pasar karena skala ekonomis-nya tidak lagi
25
terjangkau. Penentuan kapasitas produksi dapat terjadi jauh sebelum
pelaku usaha lain masuk atau sesaat sebelum pelaku usaha lain
masuk.
Tindakan pertama dilakukan pada saat pendirian usaha, pada
saat itu skala produksi ditentukan jauh lebih besar dari-pada jumlah
produksi sesungguhnya. Jika ada pesaing yang ingin masuk, pelaku
usaha itu tinggal membanjiri pasar dengan produknya. Akibat yang
terjadi di pasar adalah jumlah peluang menipis dan harga turun.
Dalam hal ini pesaing akan berpikir panjang dan bahkan mungkin
akan mengurungkan niatnya untuk masuk ke pasar.
Cara kedua biasanya dilakukan pada bidang yang
membutuhkan masa konstruksi panjang. Pada praktiknya sering kali
penambahan kapasitas dilakukan hanya untuk menakut-nakuti pesaing
tanpa perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kedua kegiatan ini
tergolong pada tindakan pre-emptive expansion.
4.4. Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance)
Penetapan harga jual kembali dilarang oleh Pasal 8 UU No. 5
Tahun 1999. Pexaku usaha dilarang untuk membuat perjan-jian
dengan pelaku usaha lainnya bahwa pihak pembeli barang atau jasa
tersebut tidak akan menjual atau memasok barang atau jasa barang
tersebut di bawah harga yang telah ditetapkan bersama. Prinsipnya,
26
pihak pembeli bebas untuk menetapkan harga dari barang atau jasa
yang sudah dibelinya sesuai dengan permintaan dan penawaran yang
ada di pasar.
Terdapat dua macam penetapan harga jual kembali, yaitu:
a. Penetapan Harga Secara Maksimum (Maximum Price Fixing)
Strategi penetapan harga ini biasanya diterapkan oleh pro-
dusen kepada distributor produk bersangkutan, yang bertujuan
untuk mengontrol distributor untuk tidak menjual di atas harga
maksimum yang ditawarkan. Mungkin saja konsumen tidak di-
rugikan dengan perjanjian ini, malah bisa diuntungkan karena
yang diperjanjikan larangan untuk menjual lebih mahal atau di
atas harga maksimum. Yang diinginkan dari perjanjian ini
adalah hasil yang diharapkan melalui strategi ini adalah
terkendalinya harga yang bersaing, sampai pada tingkat
penjualan eceran.
b. Penetapan harga secara minimum (Minimum Price Fixing)
Penetapan harga minimum ini juga sering disebut dengan
floor price artinya, kesepakatan antarpelaku usaha di mana
pembeli akan menjual kembali barang yang dibelinya pada
harga yang tidak boleh di bawah harga yang ditentukan.
Strategi penetapan harga ini umumnya memiliki dua tujuan
utama, yakni mempertahankan nama baik (goodwill) produsen
27
atau merek tertentu dan untuk mencegah terjadinya persaingan
tidak sehat pada level distributor. Produsen yang memiliki
nama yang terkenal untuk produk tertentu pada pasar tertentu,
akan berusaha untuk mempertahankan nama baiknya tidak
hanya melalui kualitas dan rancangan barang yang
diproduksinya akan tetapi juga pada harga yang ditetapkannya.
Produk yang berkelas biasanya juga memiliki kelas harga yang
relatif tinggi yang harus dipertahankan untuk menjaga citra
produsen.
Di sisi lain, pada level distributor, mereka juga bersaing
untuk memperebutkan pasar produk berkelas tersebut dari dis-
tributor pesaing. Untuk menciptakan kesan bahwa distributor
bersangkutan merupakan pusat distribusi produk berkelas
tertentu, maka dibutuhkan promosi yang memerlukan biaya
tambahan. Hasil akhir, distributor yang harus mengeluarkan
biaya tambahan untuk promosi sehingga distributor akan me-
nawarkan harga yang sedikit lebih tinggi untuk produk
berkelas yang sama, dibandingkan dengan distributor lain yang
tidak melakukan upaya promosi. Namun, hampir dapat
dipastikan konsumen akan lebih cenderung memilih untuk
memperoleh produk yang dimaksud dari distributor yang
menawarkan harga lebih rendah (karena tanpa biaya promosi).
28
Distributor yang memperoleh keuntungan (pangsa pasar)
dalam situasi sema-cam ini disebut sebagai "free rider" pihak
yang memperoleh keuntungan secara cuma-cuma.
Dengan kedua alasan pokok di atas, produsen biasanya
menetapkan harga minimum untuk produk yang dihasilkan.
Strategi ini selain dapat mengontrol produknya dijual pada
tingkat harga yang sesuai dengan kelasnya, juga untuk men-
cegah kemungkinan munculnya free rider.
29
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perjanjian penetapan harga yang dilarang bagi pelaku usaha
sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana disini
jelas ditetapkan bahwa pelaku usaha yang melanggar
ketentuan UU No.5 th 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat khususnya
mengenai penetapan harga ini diancam dengan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam pasal 47.
2. Implikasi dari perjanjian penetapan harga yang dilarang
bagi pelaku usaha dalam hukum persaingan usaha adalah
pelaku usaha akan bersaing secara sehat. Karena perjanjian
penetapan harga antara para pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam pasal 5,6,7,8 UU no. 5 th 1999 akan
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
30
5.2 Saran
Diharapkan pada komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
untuk lebih intensif melakukan pengawasan terhadap para pelaku
usaha yang berindikasi melakukan persaingan usaha tidak sehat
sehingga benar-benar persaingan diantara mereka terjadi secara sehat.
31
DAFTAR PUSTAKA
Galuh Puspaningrum. Hukum Persaingan Usaha, Perjanjian dan
Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha Di
Indonesia. Penerbit Aswaja Pressindo Yogyakarta. 2013.
Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan
Sehat. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung. 1999.
Mustafa Kamal Rokan. Hukum Persaingan Usaha Teori dan Prakteknya
di Indonesia. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011.
UU No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.